Upload
jemy-ikki
View
46
Download
12
Embed Size (px)
DESCRIPTION
makalah forensik
Citation preview
Etika dan Hukum pada Pemberian Terapi Minimal
Terhadap Pasien Ca Colon Terminal
Jemie Rudyan
F6
Mahasiswa Kedokteran Universitas Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No. 6 – Jakarta Barat
Bab I
Pendahuluan
A. Kanker Kolon
Karsinoma kolon adalah suatu proses penyakit multifaktorial, dengan etiologi seperti faktor genetik,
pengaruh lingkungan (termasuk diet), dan inflamasi kronik dari saluran pencernaan. Karsinoma kolon
merupakan penyakit invasif yang dapat dicegah dan berbentuk adenokarsinoma. Gejala klinis yang
sering ditemukan termasuk anemia defisiensi besi, perdarahan rektum, nyeri perut, perubahan
kebiasaan buang air besar, dan obstruksi usus atau perforasi. Tumor pada sisi kanan lebih cenderung
terjadi perdarahan dan menyebabkan diare, sedangkan tumor sisi kiri biasanya lambat terdeteksi dan
bisa disertai dengan gejala obstruksi usus. Pembedahan merupakan modalitas terapi pasti untuk
karsinoma kolon tetapi perkembangan obat-obatan seperti irinotecan dan oxaliplatin dapat
meningkatkan kesembuhan pasien pada stadium II dan III dan memperpanjang masa hidup bagi
pasien dengan stadium IV. Prognosis karsinoma kolon tergantung stadium dan pengobatannya.1
Terdapat beberapa macam klasifikasi staging pada kanker kolon ada klasifikasi TNM dan ada
klasifikasi Dukes. Pembagian stadium karsinoma adalah berdasarkan sistem TNM dan dibagi seperti
berikut:2
Kategori Tumor (T)
Tx: Tidak ada deskripsi sejauh tumor ini
Tis: Karsinoma in situ, tumor hanya melibatkan mukosa muskularis
T1: Kanker telah berkembang melalui mukosa muskularis dan meluas ke dalam submukosa
T2: Kanker telah berkembang melalui submukosa dan meluas ke propria muskularis
1 | P a g e
T3: Kanker telah berkembang melalui propria muskularis dan masuk ke lapisan terluar dari
usus besar tetapi tetapi belum mencapai organ terdekat atau jaringan
T4a: Kanker telah berkembang melalui serosa (peritoneum visceral)
T4b: Kanker telah berkembang melalui dinding usus besar dan ditemukan pada jaringan
sekitarnya atau organ
Kategori Kelenjar Getah Bening (N)
Nx: Tidak ada keterangan keterlibatan kelenjar getah bening
N0: Tidak ada kanker pada kelenjar getah bening di sekitarnya
N1a: Sel-sel kanker ditemukan di 1 kelenjar getah bening yang berdekatan
N1b: Sel-sel kanker ditemukan di 2 sampai 3 kelenjar getah bening berdekatan
N1c: sel kanker ditemukan di daerah lemak sekitar kelenjar getah bening, tetapi tidak dalam
kelenjar getah bening itu sendiri.
N2a: Sel-sel kanker ditemukan di 4 hingga 6 kelenjar getah bening sekitarnya
N2b: Sel-sel kanker ditemukan pada 7 atau lebih kelenjar getah bening sekitarnya
Kategori Metastasis (M)
M0: Tidak ditemukan metastasis
M1a: Kanker telah menyebar ke organ lain atau satu kumpulan kelenjar getah bening yang
jauh
M1b: Kanker telah menyebar ke lebih dari 1 organ atau kumpulan kelenjar getah bening yang
jauh, atau telah menyebar ke bagian jauh dari peritoneum
Stadium Tumor Primer (T) Kelenjar Getah Bening (N)
Metastasis (M)
Stadium 0 Karsinoma in situ (Tis) N0 M0Stadium I Tumor di submukosa (T1)
atau di muskularis propria (T2)
N0 M0
Stadium II Tumor di lapisan muskularis (T3) atau struktur lain (T4)
N0 M0
Stadium IIA T3 N0 M0Stadium IIB T4a N0 M0Stadium IIC T4b N0 M0Stadium IIIA T1-4 N1-2 M0Stadium IIIB T1-4 N1-2 M0Stadium IIIC T3-4 N1-2 M0Stadium IVA T1-4 N1-3 M1aStadium IVB T1-4 N1-3 M1b
2 | P a g e
Staging Pada Kanker Kolon : Klasifikasi Dukes
Stadium 1: Kanker terjadi di dalam dinding kolon
Stadium 2: Kanker telah menyebar hingga ke lapisan otot kolon
Stadium 3: Kanker telah menyebar ke kelenjar-kelenjar limfa
Stadium 4: Kanker telah menyebar ke organ-organ lain1
B. Euthanasia
Euthanasia dalam Oxford English Dictionary dirumuskan sebagai “kematian yang lembut dan
nyaman, dilakukan terutama dalam kasus penyakit yang penuh penderitaan dan tak
tersembuhkan”. Istilah yang sangat populer untuk menyebut jenis pembunuhan ini adalah mercy
killing (Tongat, 2003 :44). Sementara itu menurut Kamus Kedokteran Dorland euthanasia
mengandung dua pengertian. Pertama, suatu kematian yang mudah atau tanpa rasa sakit. Kedua,
pembunuhan dengan kemurahan hati, pengakhiran kehidupan seseorang yang menderita penyakit
yang tak dapat disembuhkan dan sangat menyakitkan secara hati-hati dan disengaja.3
Secara konseptual dikenal tiga bentuk euthanasia, yaitu
voluntary euthanasia : euthanasia yang dilakukan atas permintaan pasien itu sendiri
karena penyakitnya tidak dapat disembuhkan dan dia tidak sanggup menahan rasa sakit
yang diakibatkannya
non voluntary euthanasia : di sini orang lain, bukan pasien, mengandaikan, bahwa
euthanasia adalah pilihan yang akan diambil oleh pasien yang berada dalam keadaan
tidak sadar tersebut jika si pasien dapat menyatakan permintaannya
involuntary euthanasia :merupakan
pengakhiran kehidupan pada pasien
tanpa persetujuannya. 3
Dari penggolongan Euthanasia, yang paling
praktis & mudah dimengerti adalah:
Euthanasia aktif, tindakan secara
sengaja dilakukan oleh dokter atau
tenaga kesehatan lain untuk
memperpendek atau mengakhiri
hidup pasien. Merupakan tindakan yang dilarang, kecuali di negara yang telah
membolehkannya lewat peraturan perundangan.
3 | P a g e
Euthanasia pasif, dokter atau tenaga kesehatan lain secara sengaja tidak (lagi)
memberikan bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien, misalnya
menghentikan pemberian infus, makanan lewat sonde, alat bantu nafas, atau menunda
operasi.
Auto euthanasia, seorang pasien menolak secara tegas dengan sadar untuk menerima
perawatan medis & dia mengetahui bahwa hal ini akan memperpendek atau mengakhiri
hidupnya. Dengan penolakan tersebut ia membuat sebuah codicil (pernyataan tertulis
tangan). Auto euthanasia pada dasarnya adalah euthanasia pasif atas permintaan.4
Tujuan
Mahasiswa mampu mengerti aspek etika dan hukum dari kasus yang diberikan
serta mengetahui prosedur terapi yang seharusnya diambil.
Hipotesis
Pasien meminta kepada dokter untuk memberika pengobatan minimal, karena
penyakitnya yang sudah terminal sehingga pasien ingin mati secara alami.
Bab II
Tinjauan Pustaka
ETIKA KEDOKTERAN
Ada dua macam etika yang harus kita pahami bersama dalam menentukan baik dan buruknya perilaku
manusia terutamanya apabila menyangkut ilmu profesi kedokteran yang berhadapan dengan pasien:
Etika deskriptif :
Yaitu etika yang berusaha meneropong secara kritis dan rasional sikap dan perilaku manusia dan
apa yang dikejar oleh manusia dalam hidup ini sebagai sesuatu yang bernilai. Etika deskriptif
4 | P a g e
memberikan fakta sebagai dasar untuk mengambil keputusan tentang perilaku atau sikap yang
mau diambil.
Etika normatif:
Yaitu etika yang berusaha menetapkan berbagai sikap dan pola perilaku ideal yang seharusnya
dimiliki oleh manusia dalam hidup ini sebagai sesuatu yang bernilai. Etika normatif memberi
penilaian sekaligus memberi norma sebagai dasar dan kerangka tindakan yang akan diputuskan.5
Etika secara umum dapat dibagi menjadi :
Etika Umum :
Mengenai kondisi-kondisi dasar bagaimana manusia bertindak secara etis, tentang bagaimana
manusia mengambil keputusan etis, teori-teori etika dan prinsip-prinsip moral dasar yang menjadi
pegangan bagi manusia dalam bertindak serta tolak ukur dalam menilai baik atau buruknya suatu
tindakan.Etika umum dapat di analogkan dengan ilmu pengetahuan, yang membahas mengenai
pengertian umum dan teori-teori.
Etika khusus :
Penerapan prinsip-prinsip moral dasar dalam bidang kehidupan yang khusus. Penerapan ini bisa
berwujud :
- mengambil keputusan dan bertindak dalam bidang kehidupan dan kegiatan yang
dilakukan
- menilai perilaku diri dan orang lain dalam bidang kegiatan dan kehidupan khusus yang
- dilatarbelakangi oleh kondisi yang memungkinkan manusia bertindak etis
- mengambil suatu keputusan atau tindakan, dan teori serta prinsip moral dasar yang ada
dibaliknya.
Etika khusus dibagi lagi menjadi dua bagian :
a. Etika individual, yaitu menyangkut kewajiban dan sikap manusia terhadap dirinya sendiri.
b. Etika sosial, yaitu berbicara mengenai kewajiban, sikap dan pola perilaku manusia sebagai anggota
umat manusia.6
A. Prinsip-prinsip etika profesi :
1. Tanggung jawab
Terhadap pelaksanaan pekerjaan itu dan terhadap hasilnya.
Terhadap dampak dari profesi itu untuk kehidupan orang lain atau masyarakat pada
umumnya.
2. Keadilan untuk memberikan kepada siapa saja apa yang menjadi haknya.
3. Otonomi menuntut agar setiap kaum profesional diberi kebebasan menjalankan profesinya.6
5 | P a g e
B. Peranan etika dalam profesi:
1. Suatu kelompok diharapkan akan mempunyai tata nilai untuk mengatur kehidupan bersama
kerana nilai-nilai etika itu tidak hanya milik satu atau dua orang, atau segolongan orang saja,
tetapi milik setiap kelompok masyarakat, bahkan kelompok yang paling kecil yaitu keluarga
sampai pada suatu bangsa.
2. Salah satu golongan masyarakat yang mempunyai nilai-nilai yang menjadi landasan dalam
pergaulan baik dengan kelompok atau masyarakat umumnya maupun dengan sesama
anggotanya, yaitu masyarakat profesional. Golongan ini sering menjadi pusat perhatian
karena adanya tata nilai yang mengatur dan tertuang secara tertulis (yaitu kode etik profesi)
dan diharapkan menjadi pegangan para anggotanya.
3. Sorotan masyarakat menjadi semakin tajam manakala perilaku-perilaku sebagian para anggota
profesi yang tidak didasarkan pada nilai-nilai pergaulan yang telah disepakati bersama
(tertuang dalam kode etik profesi), sehingga terjadi kemerosotan etik pada masyarakat profesi
tersebut. 5
C. Tujuan kode etik profesi:
1. Untuk menjunjung tinggi martabat profesi.
2. Untuk menjaga dan memelihara kesejahteraan para anggota.
3. Untuk meningkatkan pengabdian para anggota profesi.
4. Untuk meningkatkan mutu profesi.
5. Untuk meningkatkan mutu organisasi profesi.
6. Meningkatkan layanan di atas keuntungan pribadi.
7. Mempunyai organisasi profesional yang kuat dan terjalin erat.6
Praktek kedokteran juga berpegang kepada prinsip-prinsip moral kedokteran, prinsip-prinsip moral
yang dijadikan arahan dalam membuat keputusan dan bertindak, arahan dalam menilai baik-buruknya
atau benar-salahnya suatu keputusan atau tindakan medis dilihat dari segi moral. Pengetahuan etika
ini dalam perkembangannya kemudian disebut sebagai etika biomedis. Etika biomedis memberi
pedoman bagi para tenaga medis dalam membuat keputusan klinis yang etis (clinical ethics) dan
pedoman dalam melakukan penelitian di bidang medis.Nilai-nilai materialisme yang dianut
masyarakat harus dapat dibendung dengan memberikan latihan dan teladan yang menunjukkan sikap
etis dan profesional dokter, seperti:
Autonomy: menghormati hak pasien, terutama hak dalam memperoleh informasi dan hak
membuat keputusan tentang apa yang akan dilakukan terhadap dirinya
Beneficence: melakukan tindakan untuk kebaikan pasien
Non maleficence: tidak melakukan perbuatan yang memperburuk pasien
6 | P a g e
Justice:bersikap adil dan jujur.
D. Etika Profesi dalam Kasus Euthanasia
Dalam KODEKI pasal 2 dijelaskan bahwa;
“Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar
profesi tertinggi”.
Jelasnya bahwa seorang dokter dalam melakukan kegiatan kedikterannya sebagai seorang profesi
dikter harus sesuai dengan ukuran ilmu tertinggi. Yang dimaksud dengan ukuran tertinggi dalam
melakukan protesi kedokteran mutakhir, yaitu yang sesuai dengan perkembangan IPTEK Kedokteran,
etika umum, etika kedokteran, hukum dan agama, sesuai tingkat/jenjang pelayanan kesehatan, serta
kondisi dan situasi setempat..
KODEKI pasal 7d juga menjelaskan bahwa
“setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup insani”
Artinya dalam setiap tindakan dokter harus bertujuan untuk memelihara kesehatan dan kebahagiaaan
manusia. Mengenai euthanasia, ternyata dapat digunakan dalam tiga arti, yaitu
1. Berpindah ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa penderitaan dan bagi yang beriman
dengan nama Allah di bibir.
2. Waktu hidup akan berakhir (sakaratul maut) penderitaan pasien diperingan dengan memberi
obat penenang.
3. Mengakhiri penderitaan dan hidup pasien dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri dan
keluanganya. 4
Pada suatu saat seorang dokter mungkin menghadapi penderitaan yang tidak tertahankan, misalnya
karena kanker dalam keadaan yang menyedihkan, kurus kering bagaikan tulang di bungkus kulit,
menyebarkan bau busuk, menjerit-jerit kesakitan dan sebagainya. Orang yang berpendirian pro
euthanasia dalam butir c, akan mengajukan supaya pasien di beri saja morphin dalam dosis lethal,
supaya ia bebas dan penderitaan yang berat itu. Kita di Indonesia sebagai umat yang beragama dan
benfalsafah/berazaskan Pancasila percaya pada kekuasaan mutlak dan Tuhan Yang Maha Esa. Segala
sesuatu yang diciptakannya serta penderitaan yang dibebankan kepada makhluknya mengandung
makna dan maksud tertentu. Dokter harus mengerahkan segala kepandaiannya dan kemampuannya
untuk meringankan penderitaan dan memelihara hidup akan tetapi tidak untuk mengakhirinya. Jadi
dalam menjalankan prifesinya seorang dokter tidak boleh melakukan mengakhiri kehidupan seorang
pasien yang menurut ilmu dan pengetahuan tidak mungkin akan sembuh lagi (euthanasia).6
7 | P a g e
INFORM CONSENT
“Informed Consent” terdiri dari dua kata yaitu “informed” yang berarti telah mendapat penjelasan
atau keterangan (informasi), dan “consent” yang berarti persetujuan atau memberi izin. Jadi
“informed consent” mengandung pengertian suatu persetujuan yang diberikan setelah mendapat
informasi. Dengan demikian “informed consent” dapat didefinisikan sebagai persetujuan yang
diberikan oleh pasien dan atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medis yang akan
dilakukan terhadap dirinya serta resiko yang berkaitan dengannya.Suatu informed consent baru sah
diberikan oleh pasien jika memenuhi minimal 3 (tiga) unsur sebagai berikut :
Keterbukaan informasi yang cukup diberikan oleh dokter
Kompetensi pasien dalam memberikan persetujuan
Kesukarelaan (tanpa paksaan atau tekanan) dalam memberikan persetujuan.
Di Indonesia perkembangan “informed consent” secara yuridis formal, ditandai dengan munculnya
pernyataan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tentang “informed consent” melalui SK PB-IDI No.
319/PB/A.4/88 pada tahun 1988. Kemudian dipertegas lagi dengan PerMenKes No. 585 tahun 1989
tentang “Persetujuan Tindakan Medik atau Informed Consent”. Hal ini tidak berarti para dokter dan
tenaga kesehatan di Indonesia tidak mengenal dan melaksanakan “informed consent” karena jauh
sebelum itu sudah ada kebiasaan pada pelaksanaan operatif, dokter selalu meminta persetujuan tertulis
dari pihak pasien atau keluarganya sebelum tindakan operasi itu dilakukan.Secara umum bentuk
persetujuan yang diberikan pengguna jasa tindakan medis (pasien) kepada pihak pelaksana jasa
tindakan medis (dokter) untuk melakukan tindakan medis dapat dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu:
1. Persetujuan Tertulis, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang mengandung resiko
besar, sebagaimana ditegaskan dalam PerMenKes No. 585/Men.Kes/Per/IX/1989 Pasal 3 ayat
(1) dan SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 butir 3, yaitu intinya setiap tindakan medis yang
mengandung resiko cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan tertulis, setelah
sebelumnya pihak pasien memperoleh informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan
medis serta resiko yang berkaitan dengannya (telah terjadi informed consent);
2. Persetujuan Lisan, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang bersifat non-invasif dan
tidak mengandung resiko tinggi, yang diberikan oleh pihak pasien;
3. Persetujuan dengan isyarat, dilakukan pasien melalui isyarat, misalnya pasien yang akan
disuntik atau diperiksa tekanan darahnya, langsung menyodorkan lengannya sebagai tanda
menyetujui tindakan yang akan dilakukan terhadap dirinya.7
A. Tujuan Pelaksanaan Informed Consent
8 | P a g e
Dalam hubungan antara pelaksana (dokter) dengan pengguna jasa tindakan medis (pasien), maka
pelaksanaan “informed consent”, bertujuan :
1. Melindungi pengguna jasa tindakan medis (pasien) secara hukum dari segala tindakan medis
yang dilakukan tanpa sepengetahuannya, maupun tindakan pelaksana jasa tindakan medis
yang sewenang-wenang, tindakan malpraktek yang bertentangan dengan hak asasi pasien dan
standar profesi medis, serta penyalahgunaan alat canggih yang memerlukan biaya tinggi atau
“over utilization” yang sebenarnya tidak perlu dan tidak ada alasan medisnya;
2. Memberikan perlindungan hukum terhadap pelaksana tindakan medis dari tuntutan-tuntutan
pihak pasien yang tidak wajar, serta akibat tindakan medis yang tak terduga dan bersifat
negatif, misalnya terhadap “risk of treatment” yang tak mungkin dihindarkan walaupun
dokter telah bertindak hati-hati dan teliti serta sesuai dengan standar profesi medik.
Perlunya dimintakan informed consent dari pasien karena informed consent mempunyai beberapa
fungsi sebagai berikut :
1. Penghormatan terhadap harkat dan martabat pasien selaku manusia
2. promosi terhadap hak untuk menentukan nasibnya sendiri
3. untuk mendorong dokter melakukan kehati-hatian dalam mengobati pasien
4. menghindari penipuan dan misleading oleh dokter
5. mendorong diambil keputusan yang lebih rasional
6. mendorong keterlibatan publik dalam masalah kedokteran dan kesehatan
7. sebagai suatu proses edukasi masyarakat dalam bidang kedokteran dan kesehatan.5
B. Aspek Hukum Informed Consent
Dalam hubungan hukum, pelaksana dan pengguna jasa tindakan medis (dokter, dan pasien) bertindak
sebagai “subyek hukum ” yakni orang yang mempunyai hak dan kewajiban, sedangkan “jasa tindakan
medis” sebagai “obyek hukum” yakni sesuatu yang bernilai dan bermanfaat bagi orang sebagai
subyek hukum, dan akan terjadi perbuatan hukum yaitu perbuatan yang akibatnya diatur oleh hukum,
baik yang dilakukan satu pihak saja maupun oleh dua pihak.Dalam masalah “informed consent”
dokter sebagai pelaksana jasa tindakan medis, disamping terikat oleh KODEKI (Kode Etik
Kedokteran Indonesia) bagi dokter, juga tetap tidak dapat melepaskan diri dari ketentuan-ketentuan
hukun perdata, hukum pidana maupun hukum administrasi, sepanjang hal itu dapat diterapkan.Pada
pelaksanaan tindakan medis, masalah etik dan hukum perdata, tolok ukur yang digunakan adalah
“kesalahan kecil” (culpa levis), sehingga jika terjadi kesalahan kecil dalam tindakan medis yang
merugikan pasien, maka sudah dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum. Hal ini
disebabkan pada hukum perdata secara umum berlaku adagium “barang siapa merugikan orang lain
harus memberikan ganti rugi”.Sedangkan pada masalah hukum pidana, tolok ukur yang dipergunakan
9 | P a g e
adalah “kesalahan berat” (culpa lata). Oleh karena itu adanya kesalahan kecil (ringan) pada
pelaksanaan tindakan medis belum dapat dipakai sebagai tolok ukur untuk menjatuhkan sanksi
pidana.
Aspek Hukum Perdata, suatu tindakan medis yang dilakukan oleh pelaksana jasa tindakan medis
(dokter) tanpa adanya persetujuan dari pihak pengguna jasa tindakan medis (pasien), sedangkan
pasien dalam keadaan sadar penuh dan mampu memberikan persetujuan, maka dokter sebagai
pelaksana tindakan medis dapat dipersalahkan dan digugat telah melakukan suatu perbuatan melawan
hukum (onrechtmatige daad) berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata
(KUHPer). Hal ini karena pasien mempunyai hak atas tubuhnya, sehingga dokter dan harus
menghormatinya;Aspek Hukum Pidana, “informed consent” mutlak harus dipenuhi dengan adanya
pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penganiayaan. Suatu tindakan
invasive (misalnya pembedahan, tindakan radiology invasive) yang dilakukan pelaksana jasa tindakan
medis tanpa adanya izin dari pihak pasien, maka pelaksana jasa tindakan medis dapat dituntut telah
melakukan tindak pidana penganiayaan yaitu telah melakukan pelanggaran terhadap Pasal 351
KUHP.
Sebagai salah satu pelaksana jasa tindakan medis dokter harus menyadari bahwa “informed consent”
benar-benar dapat menjamin terlaksananya hubungan hukum antara pihak pasien dengan dokter, atas
dasar saling memenuhi hak dan kewajiban masing-masing pihak yang seimbang dan dapat
dipertanggungjawabkan. Masih banyak seluk beluk dari informed consent ini sifatnya relative,
misalnya tidak mudah untuk menentukan apakah suatu inforamsi sudah atau belum cukup diberikan
oleh dokter. Hal tersebut sulit untuk ditetapkan secara pasti dan dasar teoritis-yuridisnya juga belum
mantap, sehingga diperlukan pengkajian yang lebih mendalam lagi terhadap masalah hukum yang
berkenaan dengan informed consent ini.8
C. Contoh Inform Consent:
SURAT PERSETUJUAN/PENOLAKAN MEDIS KHUSUS
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : (L/P)
Umur/Tgl Lahir :
Alamat :
Telp :
10 | P a g e
Menyatakan dengan sesungguhnya dari saya sendiri/*sebagai orang tua/*suami/*istri/*anak/*wali dar
i :
Nama : (L/P)
Umur/Tgl Lahir
Dengan ini menyatakan SETUJU/MENOLAK untuk dilakukan Tindakan Medis berupa……………
……………………………………………………………….
Dari penjelasan yang diberikan, telah saya mengerti segala hal yang berhubungan dengan penyakit ter
sebut, serta tindakan medis yang akan dilakukan dan kemungkinana pasca tindakan yang dapat terjadi
sesuai penjelasan yang diberikan.
Jakarta,………………….20……
Dokter/Pelaksana, Yang membuat pernyataan,
Ttd ttd
(……………………) (…………………………..)
*Coret yang tidak perlu
REKAM MEDIS
Rekam medis mempunyai berbagai pengertian menurut pelbagai kepustakaan, antaranya adalah:
a. Menurut Pasal 46 ayat (1) UU Praktik Kedokteran: Rekam medis merupakan berkas yang
berisi catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan
pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien.
b. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 749a/Menkes/Per/XII/1989: Rekam medis
adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan,
pengobatan, tindakan dan pelayanan lain kepada pasien pada sarana pelayanan kesehatan.
c. Menurut Edna K Huffman: Rekam Medis adalab berkas yang menyatakan siapa, apa,
mengapa, dimana, kapan dan bagaimana pelayanan yang diperoleb seorang pasien selama
dirawat atau menjalani pengobatan.
d. Menurut Gemala Hatta: Rekam Medis merupakan kumpulan fakta tentang kehidupan
seseorang dan riwayat penyakitnya, termasuk keadaan sakit, pengobatan saat ini dan saat
11 | P a g e
lampau yang ditulis oleb para praktisi kesehatan dalam upaya mereka memberikan pelayanan
kesehatan kepada pasien.
e. Waters dan Murphy: Kompendium (ikhtisar) yang berisi informasi tentang keadaan pasien
selama perawatan atau selama pemeliharaan kesehatan7
Kesemua catatan mengenai keadaan tubuh dan kesehatan, termasuk data tentang identitas dan data
medis seorang pasien merupakan isi di dalam rekam medis. Secara umum isi Rekam Medis dapat
dibagi dalam dua kelompok data yaitu:
a. Data medis atau klinis: segala data tentang riwayat penyakit, hasil pemeriksaan fisik,
pemeriksaan laboratorium, rontgen, diagnosis, pengobatan serta hasilnya, laporan dokter,
perawat dan sebagainya. Segalam data medis ini merupakan rahsia dan tidak boleh dibuka
kepada orang lain tanpa izin pasien kecuali ada alasan lain yang berkaitan peraturan atau
undang-undang.
b. Data sosiologis atau non-medis: data selain data medis yaitu identitas pasien, data sosial
ekonomi, alamat, pekerjaan, status perkahwinan dan sebagainya. Data ini bagi sebagian orang
tidak rahsia tetapi ade juga yang mengatakan ianya rahsia.5
Terdapat pelbagai jenis rekam medis antaranya adalah:
a. Rekam medis konvensional
b. Rekam medis elektronik
Berdasarkan Pasal 2:
(1) Rekam medís harus dibuat secara tertulis, lengkap dan jelas atau secara elektronik.
(2) Penyelenggaraan rekam medis dengan menggunakan teknologi informasi elektronik diatur lebih
lanjut dengan peraturan tersendiri.
Selain itu, rekam medis juga terbagi kepada:
a. Rekam medis bagi pasien rawat jalan.
b. Rekam medis pasien rawat inap.
c. Rekam medis untuk pasien gawat darurat.
d. Rekam medis pasien dalam keadaan bencana.9
Yang berkewajiban membuat rekam medis adalah tenaga kesehatan yang terdiri daripada:
a. Dokter dan dokter gigi
b. Tenaga keperawatan meliputi perawat dan bidan.
c. Tenaga kefarmasian meliputi apoteker, analis farmasi dan asisten apoteker.
12 | P a g e
d. Tenaga kesehatan masyarakat meliputi epidemiolog kesehatan, entomolog kesehatan,
mikrobiologi kesehatan, penyuluh kesehatan, administrator kesehatan dan sanitarian.
e. Tenaga keterapian fisik meliputi fisioterapis, okupasiterapis dan terapis wicara.
f. Tenaga gizi meliputi nutrisionis dan dietisien.
g. Tenaga keteknisian medis meliputi radiografer, radioterapis, teknisi gigi, teknisi elektromedis,
analisi kesehatan, refraksionis optisien, othotik prostetik, teknisi tranfusi dan perekam medis.
Menurut Permenkes no. 749a tahun 1989, rekam medis mempunyai 5 manfaat yaitu:
a. Sebagai dasar pemeliharaan kesehatan dan pengobatan pasien.
b. Bahan bukti dalam perkara hukum.
c. Bahan bagi kepentingan penelitian.
d. Sebagai dasar pembayaran biaya pelayanan kesehatan.
e. Sebagai bahan untuk menyiapkan statistik kesehatan.
Hubungan kontrak terapeutik antara pasien dan dokter sudah mula terbentuk pada saat pasien
datang berobat ke dokter dan ia berdasarkan kepercayaan pasien di mana dokter mampu
mengobatinya dan merahsiakan segala data peribadi dan kesehatan pasien. Sebagian dari rahasia tadi
dibuat dalam bentuk tulisan yang kita kenal sebagai Rekam Medis. Dengan demikian, kewajiban
tenaga kesehatan untuk menjaga rahasia kedokteran, mencakup juga kewajiban untuk menjaga
kerahasiaan isi Rekam Medis.7
Pada prinsipnya isi Rekam Medis adalah milik pasien, sedangkan berkas Rekam Medis
(secara fisik) adalah milik Rumah Sakit atau institusi kesehatan. Pasal 10 Permenkes No. 749a
menyatakan bahwa berkas rekam medis itu merupakan milik sarana pelayanan kesehatan, yang harus
disimpan sekurang-kurangnya untuk jangka waktu 5 tahun terhitung sejak tanggal terakhir pasien
berobat. Oleh sebab itu, di setiap institusi pelayanan kesehatan, Unit Rekam Medis dibentuk bagi
menyelenggarakan proses pengelolaan serta penyimpanan Rekam Medis. Untuk tujuan itulah di setiap
institusi pelayanan kesehatan, dibentuk Unit Rekam Medis yang bertugas menyelenggarakan proses
pengelolaan serta penyimpanan Rekam Medis di institusi tersebut. Karena isi Rekam Medis
merupakan milik pasien, maka pada prinsipnya tidak pada tempatnya jika dokter atau petugas medis
menolak memberitahu tentang isi Rekam Medis kepada pasiennya, kecuali pada keadaan-keadaan
tertentu yang memaksa dokter untuk bertindak sebaliknya. Sebaliknya, karena berkas Rekam Medis
merupakan milik institusi, maka tidak pada tempatnya pula jika pasien meminjam Rekam Medis
tersebut secara paksa, apalagi jika institusi pelayanan kesehatan tersebut menolaknya.5
PEMERIKSAAN MEDIS
13 | P a g e
A. Pemeriksaan Fisik
Tanda-tanda Ca Colon tergantung pada letak tumor. Tanda-tanda yang biasanya terjadi adalah :
Perdarahan pada rectal
Anemia
Perubahan feces
Kemungkinan darah ditunjukan sangat kecil atau lebih hidup seperti mahoni atau bright-red stooks.
Darah kotor biasanya tidak ditemukan tumor pada sebelah kanan kolon tetapi biasanya (tetapi bisa
tidak banyak) tumor disebelah kiri kolon dan rectum.
Pemeriksaan rektal dengan jari (Digital Rectal Exam), di mana dokter memeriksa keadaan dinding
rektum sejauh mungkin dengan jari; pemeriksaan ini tidak selalu menemukan adanya kelainan,
khususnya kanker yang terjadi di kolon saja dan belum menyebar hingga rectum. Hal pertama yang
ditunjukkan oleh Ca Colon adalah :
teraba massa
pembuntuan kolon sebagian atau seluruhnya
perforasi pada karakteristik kolon dengan distensi abdominal dan nyeri
Ini ditemukan pada indikasi penyakit Cachexia.2
B. Pemeriksaan Psikososial.
Orang-orang sering terlambat untuk mencoba perawatan kesehatan karena khawatir dengan diagnosa
kanker. Kanker biasanya berhubungan dengan kematian dan kesakitan. Banyak orang tidak sadar
dengan kemajuan pengobatan dan peningkatan angka kelangsungan hidup. Deteksi dini adalah cara
untuk mengontrol Ca Colon dan keterlambatan dalam mencoba perawatan kesehatan dapat
mengurangi kesempatan untuk bertahan hidup dan menguatkan kekhawatiran klien dan keluarga
klien. Orang-oarang yang hidup dalam gaya hidup sehat dan mengikuti oedoman kesehatan mungkin
merasa takut bila melihat pengobatan klinik, klien ini mungkin merasa kehilangan kontrol, tidak
berdaya dan shock. Proses diagnosa secara umum meluas dan dapat menyebabkan kebosanan dan
menumbuhkan kegelisahan pada pasien dan keluarga pasien. Perawat membolehkan klien untuk
bertanya dan mengungkapkan perasaanya selama proses ini.1
C. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dilaksanakan dengan tujuan menilai fungsi organ pasien, untuk antisipasi
prosedur diagnostik dan terapeutik yang akan membebani organ pasien juga. Pilihan pemeriksaan
adalah pemeriksaan darah lengkap, kimia serum, fungsi hati, fungsi ginjal, dan level serum
14 | P a g e
carcinoembryonic antigen (CEA). Nilai dasar CEA harus didapatkan sebelum operasi, karena
mengandung nilai prognostik dan jika meningkat memberikan arti penyakit yang semakin menyebar
dan semakin berat.
Nilai hemaglobin dan Hematocrit biasanya turun dengan indikasi anemia. Hasil tes Gualac positif
untuk accult blood pada feces memperkuat perdarahan pada GI Tract. Pasien harus menghindari
daging, makanan yang mengandung peroksidase (Tanaman lobak dan Gula bit) aspirin dan vitamin C
untuk 48 jam sebelum diberikan feces spesimen. Perawat dapat menilai apakah klien pada
menggumakan obat Non steroidal anti peradangan (ibu profen) Kortikosteroid atau salicylates.
Kemudian perawat dapat konsul ke tim medis tentang gambaran pengobatan lain. Makanan-makanan
dan obat-obatan tersebut menyebabkan perdarahan. Bila sebenarnya tidak ada perdarahan dan
petunjuk untuk kesalahan hasil yang positif. Dua contoh sampel feses yang terpisah dites selama 3
hari berturut-turut, hasil yang negatif sama sekali tidak menyampingkan kemungkinan terhadap Ca
Colon. Carsinoma embrionik antigen (CEA) mungkin dihubungkan dengan Ca Colon, bagaimanapun
ini juga tidak spesifik dengan penyakit dan mungkin berhubungan dengan jinak atau ganasnya
penyakit. CEA sering menggunakan monitor untuk pengobatan yang efektif dan mengidentifikasi
kekambuhan penyakit.
D. Pemeriksaan radiografi
Pemeriksaan dengan enema barium mungkin dapat memperjelas keadaan tumor dan
mengidentifikasikan letaknya. Tes ini mungkin menggambarkan adanya kebuntuan pada isi perut,
dimana terjadi pengurangan ukuran tumor pada lumen. Luka yang kecil kemungkinan tidak
teridentifikasi dengan tes ini. Enema barium secara umum dilakukan setelah sigmoidoscopy dan
colonoscopy. Computer Tomografi (CT) membantu memperjelas adanya massa dan luas dari
penyakit. Chest X-ray dan liver scan mungkin dapat menemukan tempat yang jauh yang sudah
metastasis. Pemeriksaan CT dan MRI lebih dipilih untuk menggambarjan abdomen dan hepar untuk
tujuan staging dari kanker.
E. Pemeriksaan Diagnosa lainnya.
Tim medis biasanya melakukan sigmoidoscopy dan colonoscopy untuk mengidentifikasi tumor.
Biopsi massa dapat juga dilakukan dalam prosedur tersebut.
F. Screening
Tujuan dari skrining kanker koorektal adalah untuk mengurangi mortalitas dengan diagnosis dan
pengobatan dari lesi prekanker dan lesi kanker awal yang masih dapat disembuhkan. Pilihan skrining
terdiri dari tes-tes yang mendeteksi adenomatous polip dan kanker, dan tes yang terutama mendeteksi
kanker.
15 | P a g e
Pilihan tes yang mendeteksi adenomatous polip dan kanker adalah :
- Flexible sigmoidoscopy setiap5 tahun
- Colonoscopy setiap 10 tahun
- Double contrast barium enema setiap 5 tahun
- CT colonography setiap 5 tahun
Pilihan tes yang mendeteksi kanker :
- Annual guaiac-based fecal occult blood test (sensitivitas tinggi)
- Annual fecal immunochemical test (FIT) (sensitivitas tinggi)
- Stool DNA test (sensitivitas tinggi)
Menurut database cochrane dari 14 percobaan, menemukan bahwa flexible sigmoidescopy lebih
efektif menemukan adenoma dan karsinoma dibanding tes tinja.
RENCANA TERAPI
Perawatan penderita tergantung pada tingkat staging kanker itu sendiri dan komplikasi yang
berhubungan. Endoskopi, ultrasonografi dan laparoskopi telah terbukti berhasil dalam staging kanker
kolorektal pada periode praoperatif. Metode staging yang dapat digunakan secara luas adalah
klasifikasi Duke:
Kelas A – tumor dibatasi pada mukosa dan sub mukosa
Kelas B – penetrasi melalui dinding usus
Kelas C – Invasi ke dalam sistem limfe yang mengalir regional
Kelas D – metastasis regional tahap lanjut dan penyebaran yang luas
Terapi akan jauh lebih mudah bila kanker ditemukan pada stadium dini. Tingkat kesembuhan kanker
stadium 1 dan 2 masih sangat baik. Namun bila kanker ditemukan pada stadium yang lanjut, atau
ditemukan pada stadium dini dan tidak diobati, maka kemungkinan sembuhnya pun akan jauh lebih
sulit.
16 | P a g e
Di antara pilihan terapi untuk penderitanya, operasi masih menduduki peringkat pertama, dengan
ditunjang oleh radiasi dan kemoterapi mungkin juga digunakan untuk membantu pembedahan, untuk
mengontrol dan mencegah kekambuhan kanker.1
A. Pelaksanaan tanpa pembedahan.
Tim medis dapat menilai kanker tiap pasien untuk menentukan rencana pengobatan yang baik dengan
mempertimbangkan usia, komplikasi penyakit dan kualitas.
1. Terapi radiasi
Persiapan penggunaan radiasi dapat diberikan pada pasien yang menderita Ca kolorektal yang
besar, walaupun ini tidak dilaksanakan secara rutin. Terapi ini dapat menyebabkan kesempatan
yang lebih banyak dari tumor tertentu, yang mana terjadi fasilitas reseksi tumor selama
pembedahan. Radiasi dapat digunakan post operatif sampai batas penyebaran metastase. Sebagai
ukuran nyeri, terapi radiasi menurunkan nyeri, perdarahan, obstruksi usus besar atau metastase ke
paru-paru dalam perkembangan penyakit. Perawat menerangkan prosedur terapi radiasi pada
klien dan keluarga dan memperlihatkan efek samping (contohnya diare dan kelelahan). Perawat
melaksanakan tindakan untuk menurunkan efek samping dari terapi.
2. Kemoterapi
Obat non sitotoksik memajukan pengobatan terhadap Ca kolorektal kecuali batas tumor pada
anal kanal. Bagaimanapun juga 5 fluorouracil (5-FU,Adrucil) dan levamisole (ergamisol) telah
direkomendasikan terhadap standar terapi untuk stadium khusus pada penyakit (contoh stadium
III) untuk mempertahankan hidup. Kemoterapi juga digunakan sesudah pembedahan untuk
mengontrol gejala-gejala metastase dan mengurangi penyebaran metastase. Kemoterapi
intrahepatik arterial sering digunakan 5 FU yang digunakan pada klien dengan metastasis liver.1
B. Penatalaksanaan dengan Pembedahan
Tindakan ini dibagi menjadi Curative, Palliative, Bypass, Fecal diversion, dan Open-and-close.
17 | P a g e
i. Bedah Curative dikerjakan apabila tumor ditemukan pada daerah yang terlokalisir. Intinya
adalah membuang bagian yang terkena tumor dan sekelilingnya. Pada keadaan ini mungkin
diperlukan suatu tindakan yang disebut TME (Total Mesorectal Excision), yaitu suatu tindakan
yang membuang usus dalam jumlah yang signifikan. Akibatnya kedua ujung usus yang tersisa
harus dijahit kembali. Biasanya pada keadaan ini diperlukan suatu kantong kolostomi, sehingga
kotoran yang melalui usus besar dapat dibuang melalui jalur lain. Pilihan ini bukanlah suatu
pilihan yang enak akan tetapi merupakan langkah yang diperlukan untuk tetap hidup, mengingat
pasien tidak mungkin tidak makan sehingga usus juga tidak mungkin tidak terisi makanan /
kotoran; sementara ada bagian yang sedang memerlukan penyembuhan. Apa dan bagaimana
kelanjutan dari kolostomi ini adalah kondisional dan individual, tiap pasien memiliki keadaan
yang berbeda-beda sehingga penanganannya tidak sama.
ii. Bedah paliatif dikerjakan pada kasus terjadi penyebaran tumor yang banyak, dengan tujuan
membuang tumor primernya untuk menghindari kematian penderita akibat ulah tumor primer
tersebut. Terkadang tindakan ini ditunjang kemoterapi dapat menyelamatkan jiwa. Bila
penyebaran tumor mengenai organ-organ vital maka pembedahan pun secara teknis menjadi
sulit, sehingga dokter mungkin memilih teknik bedah bypass atau fecal diversion (pengalihan
tinja) melalui lubang. Pilihan terakhir pada kondisi terburuk adalah open-and-close, di mana
dokter membuka daerah operasinya, kemudian secara de facto melihat keadaan sudah sedemikian
rupa sehingga tidak mungkin dilakukan apa-apa lagi atau tindakan yang akan dilakukan tidak
memberikan manfaat bagi keadaan pasien, kemudian di tutup kembali. Tindakan ini sepertinya
sudah tidak pernah dilakukan lagi mengingat sekarang sudah banyak tersedia laparoskopi dan
radiografi canggih untuk mendeteksi keberadaan dan kondisi kanker jauh sebelum diperlukan
operasi.2
C. Penatalaksanaan pasien Karsinoma Kolon Terminal
Pembedahan merupakan pilihan terbaik untuk memperpanjangkan jangka hayat hidup pasien. Melalui
pembedahan dokter akan membuang bagian tumor kolon dan mencantumkan bagian yang sehat
bersama. Pilihan lain adalah cryotherapy yaitu membekukan dan membuang tumor tersebut.
Kemudian, kemoterapi dilakukan untuk membunuh sel-sel yang tersisa setelah pengangkatan dan
biasanya ditujukan pada organ yang terinfeksi. Metode yang digunakan adalah hepatic artery infusion
di mana targetnya langsung ke hati.1
ASPEK HUKUM PIDANA
18 | P a g e
Undang-undang yang tertulis dalam KUHP hanya melihat dari sisi dokter sebagai pelaku utama
euthanasia, khususnya euthanasia aktif dan dianggap sebagai pembunuhan berencana, atau dengan
sengaja menghilangkan nyawa seseorang. Sehingga dalam aspek hukum, dokter selalu pada pihak
yang dipersalahkan dalam tindakan euthanasia, tanpa melihat latar belakang dilakukannya euthanasia
tersebut, tidak peduli apakah tindakan tersebut atas permintaan pasien itu sendiri atau keluarganya,
untuk mengurangi penderitaan pasien dalam keadaan sekarat atau rasa sakit yang sangat hebat yang
belum diketahui pengobatannya. Meskipun euthanasia bukan merupakan istilah yuridis, namun
mempunyai implikasi hukum yang sangat luas, baik pidana maupun perdata. Pasal-pasal dalam
KUHP menegaskan bahwa euthanasia baik aktif maupun pasif tanpa permintaan adalah dilarang.
Demikian pula dengan euthanasia aktif dengan permintaan. Berikut adalah bunyi pasal-pasal dalam
KUHP tersebut:
Pasal 344 KUHP:
“Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas
dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas
tahun”.
Pasal 345 KUHP:
“Barangsiapa dengan sengaja membujuk orang lain untuk bunuh diri, menolongnya dalam
perbuatan itu atau memberi sarana kepadanya untuk itu, diancam dengan pidana penjara
paling lama empat tahun, kalau orang itu jadi bunuh diri.”
Bertolak dari ketentuan Pasal 344 KUHP tersebut tersimpul, bahwa pembunuhan atas permintaan
korban sekalipun tetap diancam pidana bagi pelakunya. Dengan demikian, dalam konteks hukum
positif di Indonesia euthanasia tetap dianggap sebagai perbuatan yang dilarang. Dengan demikian
dalam konteks hukum positif di Indonesia, tidak dimungkinkan dilakukan “pengakhiran hidup
seseorang” sekalipun atas permintaan orang itu sendiri. Perbuatan tersebut tetap dikualifikasi sebagai
tindak pidana, yaitu sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana bagi siapa yang melanggar
larangan tersebut.9
Dalam ketentuan Pasal 338 KUHP secara tegas dinyatakan,
“ Barang siapa sengaja merampas nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan dengan
pidana penjara paling lama lima belas tahun”.
Sementara dalam ketentuan Pasal 340 KUHP dinyatakan,
19 | P a g e
“ Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana lebih dulu merampas nyawa orang lain
diancam, karena pembunuhan berencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur
hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun”.
Di luar dua ketentuan di atas juga terdapat ketentuan lain yang dapat digunakan untuk menjerat pelaku
euthanasia, yaitu ketentuan Pasal 356 (3) KUHP yang juga mengancam terhadap
“Penganiayaan yang dilakukan dengan memberikan bahan yang berbahaya bagi nyawa dan
kesehatan untuk dimakan atau diminum”.
Selain itu patut juga diperhatikan adanya ketentuan dalam Bab XV KUHP khususnya Pasal 304 dan
Pasal 306 (2). Dalam ketentuan Pasal 304 KUHP dinyatakan,
“Barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam keadaan
sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan, dia wajib
memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan
pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus
rupiah”.
Sementara dalam ketentuan Pasal 306 (2) KUHP dinyatakan,
“Jika mengakibatkan kematian, perbuatan tersebut dikenakan pidana penjara maksimal
sembilan tahun”.
Dua ketentuan terakhir tersebut di atas memberikan penegasan, bahwa dalam konteks hukum positif
di Indonesia, meninggalkan orang yang perlu ditolong juga dikualifikasi sebagai tindak pidana. Dua
pasal terakhir ini juga bermakna melarang terjadinya euthanasia pasif yang sering terjadi di
Indonesia.4
ASPEK HUKUM MEDIKOLEGAL
Prosedur medikolegal adalah tata-cara atau prosedur penatalaksanaan dan berbagai aspek yang
berkaitan pelayanan kedokteran untuk kepentingan hukum. Secara garis besar prosedur medikolegal
mengacu kepada peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia, dan pada beberapa bidang juga
mengacu kepada sumpah dokter dan etika kedokteran.
1. Peraturan menteri kesehatan no 585/Men Kes /Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik,
yang boleh dibahagi kepada :
Pasal 1 – Pasal 15.
20 | P a g e
2. Peraturan Menteri Kesehatan No. 554/Men Kes/Per/XII/1982 tentang Panitia Pertimbangan dan
Pembinaan Etik Kedokteran, yang terbahagi kepada :
Pasal 2.
Pasal 8.
Pasal 22.
Pasal 24
3. Praktek dokter.
Menurut UU nomor 29 tahun 2004 “Praktik kedokteran adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan
oleh dokter dan dokter gigi terhadap pasien dalam melaksanakan upaya kesehatan”
Pasal 512a KUHP.
Barang siapa sebagai mata pencaharian baik khusus mahupun sebagai sambilan
menjalankan pekerjaan dokter atau dokter gigi, dengan tidak mempunyai surat izin, di dalam
keadaan yang tidak memaksa, diancam dengan kurungan paling lama 2 bulan atau denda
setinggi-tingginya sepuluh ribu rupiah.
Pasal 531 KUHP.
Barang siapa ketika menyaksikan bahawa ada orang yang sedang menghadapi maut, tidak
memberi pertolongan yang dapat diberikan padanya, tanpa selayaknya menimbulkan bahaya
pada dirinya atau pada orang lain, diancam jika kemudian orang itu meninggal, dengan
kurungan paling lama tiga bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.
Pasal 53 UU Kesehatan.
a. Tenaga kesehatan berhak memperoleh perlindungan hokum dalam melaksanakan tugas
sesuai profesinya.
b. Tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar
profesi dan menghormati pasien.
c. Tenaga kesehatan, untuk kepentingan pembuktian, dapat melakukan tindakan medic
terhadap seseorang dengan memperhatikan kesehatan dan keselamatan yang
bersangkutan.
d. Ketentuan mengenai standar profesi dan hak-hak pasien ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 54 UU Kesehatan.
a. Terhadap tenaga kesehatan yang melakukan kesalahan atau kelalaian dalam
melaksanakan profesinya dapat dikenakan tindakan displin.
21 | P a g e
b. Penentuan ada tidaknya kesalahan atau kelalaian ditentukan oleh Majlis Displin Tenaga
Kesehatan.
c. Ketentuan mengenai pembentukan, tugas, fungsi, dan tata kerja MDTK ditetapkan
dengan Keppres.
Pasal 55 UU Kesehatan.
Setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga
kesehatan.4
KESIMPULAN
Mengingat kondisi demikian, yang dibutuhkan kemudian adalah perawatan dan pendampingan, baik
bagi si pasien maupun bagi pihak keluarga. Perhatian dan kasih sayang sangat diperlukan bagi
penderita sakit terminal, bukan lagi bagi kebutuhan fisik, tetapi lebih pada kebutuhan psikis dan
emosional, sehingga baik secara langsung maupun tidak kita dapat membantu si pasien menyelesaikan
persoalan-persoalan pribadinya dan kemudian hari siap menerima kematian penuh penyerahan kepada
penyelenggaraan Tuhan Yang Maha Esa. Bagaimanapun si pasien adalah manusia yang masih hidup,
maka perlakuan yang seharusnya adalah perlakuan yang manusiawi kepadanya. Jelas bahwa hukum
(pidana) positif di Indonesia belum memberikan ruang bagi euthanasia baik euthanasia aktif maupun
euthanasia pasif. Tanpa harus mengesampingkan pendapat lain, kesimpulan normatif ini penting
untuk disampaikan mengingat berbagai hal. Pertama, munculnya permintaan tindakan medis
euthanasia hakikatnya menjadi indikasi, betapa masyarakat sedang mengalami pergeseran nilai
kultural.4
22 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA
1. Littlejohn C, Hilton S, Macfarlane GJ, Phull P. Systematic review and meta-analysis of the
evidence for flexible sigmoidoscopy as a screening method for the prevention of colorectal
cancer. Br J Surg. Sep 21 2012
2. Arkenau HT, Arnold D, Cassidy J, Diaz-Rubio E, Douillard JY, Hochster H, et al. Efficacy of
oxaliplatin plus capecitabine or infusional fluorouracil/leucovorin in patients with metastatic
colorectal cancer: a pooled analysis of randomized trials. J Clin Oncol. Dec 20
2008;26(36):5910-7.
3. Euthanasia (13). - Euthanasia Pengertian Disita tanggal: 30 Des 2008, dari:
www.fk.uwks.ac.id/elib/arsip/departemen/.../euthanasia%20(13).pdf
4. Aspek Hukum dalam Pelaksanaan Euthanasia di Indonesia. Disita tanggal: 15 maret 2008
dari: http://hukumkes.wordpress.com/2008/03/15/aspek-hukum-dalam-pelaksanaan-
euthanasia-di-indonesia/.
5. Budi Sampurna, Zulhasmar Syamsu, Tjetjep Dwijdja Siswaja, Bioetik dan Hukum
Kedokteran, Pengantar bagi Mahasiswa Kedokteran dan Hukum, Penerbit Pustaka Dwipar,
Oktober 2005
6. Kode Etik Kedokteran. Disita tanggal: 18 januari 2009, dari: http://www.ilunifk83.com/t130-
kode-etik-kedokteran-indonesia.
7. Rekam Medis dan Informed Consent. Disita tanggal: 27 April 2009 dari:
http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/11/b6fa37a62692182ad455b08bac8ac3d8bc639f55.
pdf.
8. Peraturan undang-undangan bidang kedokteran, bahagian kedokteran forensik, fakultas
kedokteran universitas Indonesia, cetakan kedua, 1994. 20-1, p 159-164
9. Aspek Hukum Rekam Medis. Disita tanggal: dari:
http://yoyoke.web.ugm.ac.id/download/aspekhukumrekammedis.pdf
23 | P a g e