Upload
achmad-sayuti-mrc
View
137
Download
6
Embed Size (px)
DESCRIPTION
MAKALAH, Penalaran, hukum, tugas
Citation preview
MAKALAH
PENALARAN LOGIKA HUKUM DALAM MASALAH HUKUM
Dosen Pengampu: Dr. Kelik Wardiyono
DISUSUN
Oleh:
Indah Mawarni PutriC 1000 600 44
Fakultas HukumUniversitas Muhammadiyah Surakarta
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu hukum mempunyai keterkaitan yang erat dengan masyarakatnya.Sulit
untuk memahami hukum suatu bangsa dengan baik, apabila hukum dilepaskan
dari lingkungan dan habitat, dalam hal ini masyarakat dimana hukum berada
dijalannya. Maka pantaslah apabila dikatakan hukum selalu tertanam dalam “
peculiar form of social life “ dan “ social specific “untuk bagian bagian tertentu
dari hukum, memang para ahli dunia biasa berkumpul di satu meja untuk
mendiskusikanya tetapi tidak untuk bagian besar selebihnya.
Das Sollen adalah segala sesuatu yang mengharuskan kita untuk
berpikir dan bersikap. Contoh : dunia norma, dunia kaidah dsb. Dapat
diartikan bahwa das sollen merupakan kaidah dan norma serta kenyataan
normatif seperti apa yang seharusnya dilakukan. Secara impiris, kasus yang
paling baru adalah kasus anak Ahmad Dani yang di putus bebas, padahal
dalam kasus tersebut 7 nyawa manusia melayang. Ada norma social yang
perlu diperhatikan berkaitan dengan kelangsungan hidup korban. Meskipun
penyelesaian norma social terhadap keluarga korban sudah dipenuhi dalam
bentuk tanggung jawab meringankan beban hidup sepeninggal korban.
Norma social lain yang belum ditegakkan adalah tewasnya korban itu
sendiri. Sehingga perlu logika hukum yang digunakan untuk menetapkan
keputusan perlu di kembangkan lagi.
Das sein, adalah segala sesuatu yang merupakan implementasi dari
segala hal yang kejadiannya diatur oleh das sollen dan mogen. Dapat
dipahami bahwa das sein merupakan peristiwa konkrit yang terjadi.
Merokok merupakan peristiwa konkrit (das sein) tetapi bila orang merokok
di dekat pom bensin dan terjadi ledakan akibat orang yang merokok
tersebut, maka merokok menjadi peristiwa hukum yang dapat menyebabkan
perokok tersebut dihukum.
Makalah ini berangkat dari optic sosiologis, hendaknya melakukan
semacam advikasi guna membela hak suatu bangsa untuk mencari jalan sendiri
untuk menjadikan hukumnya benar – benar berfungsi memecahkan masalah yang
harus dihadapi. Untuk itu, maka bukan ketundukan secara kaku terhadap konvensi
– konvensi, Melainkan “ Pembebasan “ merupkan kata kuncinya.
Apabila fungsi hukum untuk (turut) memecahkan masalah dalam
masyarakat dan kemampuan untuk mewujudkannya disebut sebagai suatu hal
yang ideal, maka yang dialami dan terjadi di Indonesia masih sangat jauh, untuk
tidak mengatakan bertolak belakang.
Kepercayaan terhadap hukum makin menurun yang disebabkan oleh
kinerja buruk hukum itu sendiri. Sejak tahun 70-an misalnya Istilah “ mafia
pengadilansudah memperkaya kosa kata bahasa Indonesia. Di masa lalu ( dan
mudah – mudahan sekarang sudah tidak demikian ), Hukum kekuasaan. Dengan
demikian, bukan lagi “ Law as a tool of social engginering” secara positif terjadi,
melainkan sudah mengarah kepada “ dark engginering” ketidak puasan
masyarakat terutama difokuskan pada latar belakang kegagalan hukum untuk
memberantas korupsi, Peraturan disempurnakan berkali – kali dan sebuah komisi
khusus yang baru juga dibentuk ( KPK) tetapi hasilnya tetap mengecewakan.
B. Permasalahan
Masalah hukum yg dihadapi oleh masyarakat Indonesia khususnya pada suatu
bangsa yang bertekat untuk membangun tatahukum yang samasekali baru, tidak
bisa dikaji secara terpisah dari konteks sosialnya. Bahkan bisa dikatakan,
perubahan- perubahan tersebut yang berlangsung dalam masyarakat akan
memberikan bebannya sendiri terhadap hukum sehingga hukum dituntut untuk
mengembangkan kepekaannya menghadapi keadaan tersebut.
Melihat dan merenungkan penderitaan bangsa tersebut sampailah pada penyataan
“apa yang salah dengan hukum kita? Dan “ apa serta bagaimana jalan untuk
mengatasinya?. Memang dari hari kehari kita berusaha untuk mengatasi
keterpurukan hukum tersebut tetapi keadaan tak kunjung membaik, tetapi tidak
jarang makin memburu, sehingga muncul pernyataan apa yang salah dengan cara
kita?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Paradigma Hukum
Hukum sudah menjadi bahan refleksi sejak dahulu kala, maka kegiatan berfikir
tentang hukum tidak dapat bertolak dari titik nol, Artinya pemikiran tentang
hukum merupakan lanjutan pemikiran hukum sejak zaman dahulu. Dalam
lintasannya sejarah pikiran – pikiran tersebut berubah sesuai dengan
perkembangan kebudayaan zaman dan semangat zaman1. Dalam study filsafat
Hukum2 dikenal berbagai Aliran pemikiran, didalam Aliran pemikiran tersebut
ditemui paradikma dan persfektef tertentu dalam memandang dan memaknai
hukum. Tentu juga dengan asumsi – asumsi yang berbeda dalam
mengitepretasikan Hukum asumsi – asumsi tersebut tentunya juga tidak bisa
dilepaskan di konteks dan basis sosialnya. Maupun Muatan ideologinya.
Menurut periodesasi perkembanagan pemikiran hukum tersebut, Maka sejarah
akan mencatat munculnya beberapa tradisi berfikir yang cenderung keluar dari
kemampuan dan kelaziman cara berfikir hukum pada umumnya. Beberapa
pemikiran tersebut melampaui generalisasi pada zamannya., ia merupakan wujud
pemberontakan dari dominasi dari wacana arus utama yang tidak mampu lagi
menjelaskan dan menjawab berbagai kebutuhan manusia akan hukumnya.
Ledakan pemikiran dan cara pandang baru terhadap hukum tersebut merupakan
upaya nyata dri intelektual dan filosof hukum untuk memberikan kontribusi solusi
terhadap deretan kegagalan serta krisis hukum dan kemanusiaan.Wujudnya
tampak pada munculnya berbagai aliran filsafat dan teori hukium yang menghiasi
cakrawala pemikiran hukum untuk memberikan pencerahan kepada gulita dunia
1 Theo Huijbers, Filsafat Hukum, Yogyakarta, Kanisius 1995 hal 222 Lili Rasjidi, Filsafat Hukum ( Aakah Hukum itu?) Bandung, 1988 hal 1-12
berhukum dizamanya, maka sesungguhnya historisasi pemikiran hukum dipenuhi
kisah – kisah pergulatan paradigma satu menuju paradigma yang lainnya.
Kegiatan Paradigma Hukum yang dikemukkan diatas tidak berlangsung begitu
saja tanpa pedoman apapun. Disadari atau tidak, Ilmuan Hukum dalam kegiatan
Ilmiahnya bertolak dari sejumlah asumsi dan bekerja dalam kerangka dasar umum
( Basic Frame work) Tertentu yang mendominasi kegiatan ilmiah dan
memungkinkan berlangsungnya diskursus ( komunikasi dan diskusi secara
rasional ) dalam konunitas ilmuan hukum3.Perangkat asumsi dan kerangka umum
tersebut pada masa kini dapat disebut paradigm dalam ilmu hukum.Istilah
paradigm yang dimaksud adalah kerangka umum yang mempedomani kegiatan
ilmiah dalamsuatu disiplin. Thomas khun Mendefinisikan Paradigma sebagai”….
University recognized scientific achievements that for a time provide model
problems and solution to community of practitiones”.4
Paradigma Sebagai Suatu system Filosofis induk meliputi ( premis ) Ontologi,
epistimologi dan metodologi tertentu yang tidak dapat begitu saja dipertukarkan.
Paradigma dapat dipandang sebagai seperangkat basic belif atau metafisika yang
berkenaan dengan prinsip – prinsip utama atau pertama.Paradigm
memperesentasikan suatu wawasan atau world view yang mendefinisikan bagi
pemegang atau penganutnya sifat dan ciri – ciri dunia, posisi individu di dalm
dunia tersebut dan rentang segala hubungan yang memungkinkan antara individu
dengan dunia yang dimaksud dengan seluruh komponennya. Paradigm yang
membentuk cara bagaimana pemegang atau penganutnya melihat lain dari pada
itu, pradigma membentuk cara bagaimana pemegang atau penganutnya melihat,
mempelajarai atau memahami dunia yang dimaksud. Paradigma memadu dan
mengarahkan action.yaitu aksi, tindakan atau langkah para pemegang atau
penganutnya yang termasuk pikiran atau pemahaman sikap serta kata mereka5
3 Bernard Arief Sidarra, Refleksi tentang struktur ilmuan Hukum ( sebuah penelitian tentang fundasi kefilsafatan dan sifat ilmu hukum sebagai dasar pengembangan ilmu hukum nasional Indonesia) Bandung, Mandar Maju 2000, Hal.155
4 Thomas Kuhn, The Structure Of scientific Revolution University Of Chigago Press. Chicago, 1970, p.vii
5 N K Denzin dan Y S Lincoln, Introduction: Entering The Field of Qualitative Research, didalam Erlyn Indriarti, Selayang Pandang Critical Theory, Sritical Legal Theory, dan Critical Legal Studies, Jurnal masalah – masalah Hukum vol.xxxi No. 3 Juli-Sept 2002 hal. 1338-139
karena diterima secara umum dilingkungan komunitas ilmuwan sevbagai landasan
kegiatan ilmiah, maka paradigm berperan sebagai Research Guidancelewat model
problem and solution yang menunjukan bagaimana ilmuwan harus menjalankan
penelitian ilmiah dan telaah ilmiah khususnya terhadap hukum.
B. Merombak dan Membangun Hukum Indonesia
Upaya pembaharuan hukum Indonesia yang dimulai sejak lahinya UUD
19455, Tidak dapat dilepaskan pula dari landasn sekaligus tujuan yang ingin
dicapai oleh bangsa Indonesia seperti telah dirumuskan dalam Pembukaan UUD
1945 Yaitu, Melindungi segenap bangsa Indonesia dan untuk mewujudkan
kesejah teraan umum berdasarkan parncasila”.6
Tujuan pembangunan nasioanal yang terdapat dalam pembukaan Undang –
undang Dasar 1945itu semata demi terciptanya kesejah teraan bagi bangsa
Indonesia dan untuk mencapai semua itu maka dilakukan pembangunan yang
dilakukan tidaj hanya pada satu sisi kehidupan saja akan tetapi pada semua sisi
kehidupan berbangsadan bernegara termasuk pembangunan hukum,7
Pembangunan hukum dalam era globalisasi akan mempunyai Arti khusus untuk
pembnagunan bidang hukum, karena bermakan bahwa hukum Indonesia akan
menuju pada keterbukaan yang lebih besar dari pada nilai – nilai dan tatanan
norma berlaku pada hukum internasional ( Publik Perdata) 8
Pola Umum rencana strategis pembangunan hukum ini dapat dijadikan landasan
bagi penataan hukum Nasioanal yang meletak kan pola piker yang mendsari
penulisan system hukum nsional yang berintikan komponen materi hukum ( Legal
substance ) Aparatur hukum ( Legal struckture ) dan budaya Hukum ( Legal
culture ) Serta sarana danprasarana yang memadai. 9
C. Berfikir Dalam Hukum
6 Barda nawawi Arif, Beberapa aspek pengembangan ilmu hukum pidan ( menyongsong generasi baru Hukum pidan Indonesia ) Pidato Pengukuhan guru besar FH UNDIP Semarng, 1994 Hal 1
7 Kongres PBB ke IV tahun 1970 di Tokyo The prefention of crime and the treadment of offenders “ ( Sudarto, Hukum Pidana Cetakan Ke – 2 1981 hal 102
8 Marjono Rokso diputro, Reformasi Hukum di Indonesia, Makalah yang disampai kan pada seminar hukum Nasional VII 12 Oktober 1999 hal 8
9 H.A.S Natabaya Pembangunan Hukum Nasional Mochtar kusuma Admaja Cet 1. Alumni 1999 hal 297
Dalam Konteks atau kaitannya ilmu hukum dan Filsafat hukum di mulai dari
asumsi dasar bahwa hukum adalah untuk manusia, bukan sebaliknya. Menurut
Prof. Dr. Satjipto Raharja, SH cara berfikir hukum yang disting itu adalah berfikir
datar dan lurus( linear ) pada asas peraturan dan logika. Peraturan tersebut berisi
konsep dan devinisi tentang banyak hal dalam kehidupan individu maupun
bermasyarakat.Dengan demikian, kehidupan manusia yang diatur oleh hukum
atau peraturan dapat berupa konsep dan devinis, bukan realita kehidupan itu
sendiri.Dengan demikian yang dilihat dan dibicarakan hukum adalah konsep dan
definisi yang bersifatartifisial.Disamping substansi tersebut peraturan juga berisi
tentang prosedur peraturan substansi dan procedural menjadi landasan dan titik
tolak penting dan hanya dari situlah kehidupan hukum itu dibangun.Dengan
demikian para ahli hukum memiliki kacamata sendiri dalam melihat realitas
kehidupan manusia dimasyarakat. Peraturan, Konsep, Definisi dan Prosedur
selanjutnya diproses dengan menggunakan logika, Disitulah pemikiran hukum
mulai menjadi khas atau disting.
Hukum yang menjadi disting tersebut sudah dipupuk sejak zaman Romawi oleh
para ahli hukum ( yuris ) Romawi. Mereka telah mengolah peraturan – peraturan
atau teks – teks hukum begitu canggih ( shopisticated ) sehingga memunculkan
suatu dunia hukum yang semakin menjauh dari Realitas (….Ontwikkelden de
romainse juristen een wijze van rechtsbeoefening, die gelieidelijk een abstracte
karakter heft verkregen ). Hukum yang sudah menjadi teks – teks yang artificial
dan canggih tersebut oleh vanden bergh dinamakan “ geleerd recht” suatu tipe
hukum yang untuk memahaminya orang harus belajar secara khusus.
Cara berfikir Hukum seperti itu sangat dekat dengan Metode berfikir Cartesian
dalam sains Klasik ( abad ke – 14 )Metode tersebut membangun pemahaman
mengenai alam dan Blok – Blok secara logis dan matematis yang pemahaman
substansinya ( dalam Hal ini fisika ) secara mekanistik. Pandangan dan cara
berfikir seperti itu mencapai puncaknya pada fisika Newtonia ( Abad ke – 19 )
Dalam Ilmu Hukum, cara berfikir tersebut Mencapai Puncaknya pada Abad ke –
19 yang disebut sebagai era kodifikasi. Penyebutan seperti itu kita baca sebagai
konsolidasi dari masa konsep, definisi, dan prosedur yang membanjiri pada masa
tersebut. Tidak heran jika era tersebut melahirkan banyak pemikir – pemikir
positif, seperti hans kelsen dan aliran seperti begriffsjurisprudenz.Positivisme juga
mengonsolidasikan kehadiran dari masa peraturan yang sudah di sistematis kan
sehingga tidak mengherankan jika pekerjaan para positifis tersebut
mempertahankan masa peraturan yang ada atau disebut juga hukum positif.
Berbagai asas, fiksi, dan teori diciptakan untuk melegitimasi orde hukum
peraturan tersebut. Mereka juga melihat dunia dan tatanan Hukum sebagai
bangunan yang disusun dari blok ke blok secara logis – rasional. Teori Stugen bau
Kelsen yang sering disebut sebagai “ Logische Stufentheorie “ serta berfikir
Kelsenian merupakan contoh Positivisme abad ke – 19 .
Pemrosesan Hukum sebagaimana di uraikan dilakukan tersebut dengan
menggunakan logika dengan berkualitas IQ atau “ Linear Thinking “10Menurut
Paul Scholten, Cara berfikir tersebut disebut “ hanteren van Logisce figure”
( Menangani soal Yang Logis). Sebagai akibat kesuksesan dan perkembangan
ynag Luar biasa dalam Ilmu – ilmu ke alaman Di abad ke 18 dan ke 19 tersebut
maka cara berfikirdalam ilmu Alam yang Cartesian dan Bacionan ( Dari francis
Bacon) segera menjadi symbol dari berfikir dan metode sains. Berfikir sains
Adalah Mekanistik dan fragmentasi. Apabila Dalam Ilmu Hukum ada Hans
Kelsen maka Auguste Comte, Bapak sosiologi Modern, juga menyebut sosiologi
sebagai “ The physics of society”.
Scholten Menyebut berfikir Linear sebagai “ Whetstore passing “ Yaitu
menerapkan peraturan terhadap fakta – fakta tertentu. Cara bertindak seperti itu
juga dikenal dengan menjalankan hukum dibaratkan mengoprasikan “ mesin
Otomatis “ yang sederhana dan lurus. Melangkah lebih jauh lagi, aliran
Begriffsjurisprudenz Dengan mempersiapkan dunia Hukum Sebagai lahan konseo
dan definisi Hukum secara mutlak.Disini sudah tidak ada lagi perbedaan atau
batasan – batasan antara konsep dan antifisial yang realitas Konsep dianggap nya
sebagai realitas mutlak.Kita tidak benar – benar nyata, Melainkan konsep –
konsep yang diterima dan diperlakukan seperti hal – hal yang nyata.
10 Zohar, Danah & Marsall, Ian, SQ, spiritual intelegence, the ultimate intelegence, London : Blooms Bury 2000
Menurut Prof. Dr Satjipto Raharjo SH, sudah waktunya melakukan peninjauan
kembali terhadap konsep berfikir hukum yang selama ini ada, diterima, dan
dilakukan dalam komunitas ilmu hukum. Komunitas Hukum tidak dapat lebih
lama bersikukuh pada pikiran yang menyatakan bahwa berfikir hukum itu adalah
khas ( disting ).
Menurut Prof. Dr Satjipto Raharjo SH, Perkembangan berfikir dalam sains tidak
dapat di dibiarkan berada diluar komunitas hukum. Hukum tidak akan mampu
menghadapi kehidupan yang kompleks dan kehidupan yang bergantung bila selalu
mengisolasi diri. Alih – alih mengatur dan memfasilitasi kehidupan sehingga
menjadi produktif Hukum malah menjadi suatu anomali, Berfikir dalam sains
yang sudah menjadi holistis dan Ekologis seyogyanya juga mengoreksi cara
berfikir hukum yang bertolak dari dunia konsep dan definisi yang artificial itu.
Meskipun hukum berangkat dari teks – teks tertulis, tetapi melihat dan
memeperlakukan masyarakat semata- mata sebagai konsep dan devinisi yang telah
dituliskan dalam teks yang berbeda dari memakai teks sebagai pintu masuk untuk
menghadapi kenyataan. Sehubungan dengan masalah yang sedang dihadapi di
fakultas Hukum Universitas Erasmus, Rotterdam, Belanda, Berkembang suatu
cara fikir hukum yang menarik.11
D. Berfikir Hukum Secara Sosial
Hukum merupakan institute publik yang memiliki sejarah yang sangat panjang,
yang menjorok jauh sampai ke masa sebelum masehi. Pada waktu itu di masa
kerajaan romawi para ahli hukum sudah menyibukkan diri dengan menggarap
bahan hukum yang ada, hasilnya sangat terkenal berupa penghimpunan peraturan
– peraturan dalam kitab – kitab, seperti Codex justinianus ,Codev juris civilis.
Pada waktu itu konsep, doktrin, dan asas dibuatnya sehingga menjadikan hukum
sebagai suatu institute yang canggih ( sophistichated ). Akan tetapi justru dari
kecanggihan tersebut membuat hukum jauh dari jangkauan raktar biasa. Untuk
mendiaminya secara khusus orang harus belajar agar dapat masuk kedalam dunia
hukum yang sudah dipenuhi berbagai konstruksi ( Man made construction )
11 Foque, R. et al ( red ) ., Geintegreerde rectswetenschap, Arnhem: Gounda Quit, 1994
hukum12. Hukum menjadi dunia esoteric yang hanya dapat dimasuki dan
dimengerti oleh mereka yang sengaja belajar.
Puncak Perkembangan hukum seperti itu terjadi pada Abad ke – 19 atau yang
dikenal sebagai era kodifikasi dalam abad ke – 19 dunia mengalami kemajuan
kehidupan yang sangat pesat dan pada gilirannya juga memicu perbuatan hukum
yang eksentif. Pada perkembangannya, Bidang – bidang hukum baru
bermunculan, seperti hukum perniagaan ( wetboek van koophandel ), hukum laut
dan lain – lain. Kodifikasi itu tidak hanya menghimpun peraturan – peraturan
yang tersebar itu kedalam kitab – kitab hukum, melainkan juga pembakuan dalam
berfikir sehingga ada suatu cara berfikir yang khas, yaitu cara berfikir
hukum( rechtdenken, legal reasoning )13
Paul scholten nraksasa pemikir hukum belanda, Melihat adanya perubahan dalam
cara orang menjalankan hukum ( rechtsbeofening ) dan dalam cara berfikirnya
dalam abad ke – 19 Orang berfikir dengan penuh kepastian. Dalam keadaan yang
demikian, maka penalaran hukum berupa “ hanteren van logische figuren “ yaitu
memproses hukum seperti orang mengerjakan tugas matematik.
Bahan yang dip roses dengan sitem matematis atau logis merupakan konsep,
pengertian, doktrin, asas, fiksi yang sudah dibuat oleh hukum sendiri. Hukum
bermain dalam entitas yang diciptakan sendiri, semmua itu dilakukan dengan
bantuan Logika. Oliver Wendell Homes mengatakan sebagai pembuat putusan
hukum berdasarkan silogisme ( “syllogism in determining the rules by which man
should be governed )
E. Transformasi Menuju Pemikiran Hukum Modern
Dalam kehidupan dan peradapan modern, hukum bahkan jauh mengungguli
bentuk – bentuk manifestasi tatanan dan kejelasannya serta kemampuannya untuk
memaksa dipatuhi, maka hukum merupakan bentuk tatanan masyarakat par
excellence.Disebabkan bentuknya yang sangat tajam dan penetrative, maka sejak
kemunculan hukum modern terjadilah suatu revolusi diam – diam di dunia.Sejak
12 Bergh, G.C.J. Van den, Gelerd recht, Een geschiedenis van de euro pese rechtswetenschap in von vlucht, Deventer : Kluwer, 1980
13 Raharjo, Satjpto, Senja kala Ilmu tradisional dan Munculnya ilmu Hukum baru, Bacaan Mahasiswa No 13, 2006
saat itu, maka dunia terbelah menjadi dua secara tajam, yakni dunia hukum dan
dunia social.
Pemikiran tentang hukum yng kemudian melahirkan positifisme tidak dapat
dipisah kan dari kehadiran Negara modern . sebelum abad ke – 19 pemikiran itu
sudah hadir dan menjadi semakin kuat sejak kehadiran Negara modern, jauh dari
tradisi untuk menuangkan atau menjadikan hukum positif itu, masayarakan lebih
menggunakan apayang disebut interactional law atau cus tomary law. Akan tetapi,
dengan tidak semakin sederhana dan intimnya lagi hubungan dan proses dalam
masyarakat atau semakin kompleks nya sebuah masyarakat , maka semakin kuat
tuntutan terhadap pemositifan tersebut atau terhadap the statutorines of law. Hal
ini karena dikehendaki adanya dokumen tertulis bukti – bukti tertulis untuk
meyakini dan mendasari terjadinya proses atau transaksi hukum Seperti yang di
amati unger menyusun tipe hukum yang interaksional tersebut diatas, dating faseh
yang positif dan publik. Perkembangan tersebut mengiringi yang oleh unger
disebut sebagai tipe bureaucratic law
Pada tahun 1648, ditanda tangani “ treaty of westplaria” yang merupakan tonggak
penting kelahiran Negara modern. Sejak saat itu maka kedaulatan tidak hanya
dilekatkan pada pribadi raja, tetapi pada seluruh wilayah teritorial.Rakyat tidak
melekat pada warga bangsa melainkan pada bangsadan itu tidak dapat dikurangi.
[32]Tidak da dalam sejarah suatu institusi dan organisasi politik disusun begitu
sistematis dan rasional dengan kekuasaan begitu besar seperti Negara
modern.Negara telah menghisap habis semua kekuasaan asli yang sudah ada
sebelumnya dalam wilayah itu dan menjadikan Negara sebagai kekuasaan
teoritis.Negara menjadi organisasi kekuasaan yang serbameliputi dan berdaulat
penuh dalam suatu wilayah. Dari tititk ini muncul suatu system dunia yang terdiri
dari Negara – Negara yang berdaulat tersebut sebab – sebab historis dari kualitas
rasional yang merupakan karakteristik hukum modern seperti yang telah terbentuk
di eropa barat dan dari sana telah menyebar keseluruh dunia.
F. Hukum Progresif: Hukum Yang Membebaskan
Gagasan hukum progresif muncul dari suasana ketidakpuasan terhadap
kinerja penegak hukum.Hukum progresif muncul dari setting Indonesia akhir abad
ke 20, berupa keprihatinan terhadap kualitas penegak hukum di
Indonesia.Kepercayaan terhadap hukum makin menurun yang disebabkan oleh
kinerja buruk hukum itu sendiri.Di masa lalu, hukum makin bergeser menjadi alat
politik untuk mempertahankan kekuasaan.Dengan demikian, bukan lagi “Law as
a tool of social enginering” secara positif yang terjadi, melainkan sudah
mengarah kepada “dark enginering” (Podgorecki & Olgati, 1996). Masuk pada
Era Reformasi sejak tumbangnya Orde baru pada tahun 1998, bangsa Indonesia
belum berhasil mengangkat hukum samapai pada taraf mendekati keadaan ideal.
Setiap kali ada masalah dalam dan dengan hukum, hukumlah yang ditinjau
dan diperbaiki, bukan manusia yang dipaksa untuk dimasukkan ke dalam skema
hukum.Dalam istilah Santos, mendahulukan emansipasi daripada regulasi (Santos,
1995). Pandangan tersebut membawa kita pada ihwal “pembebasan” sebagai kata
kunci.Hukum bukan merupakan suatu intuisi yang absolut dan final, melainkan
sangat bergantung pada bagaimana manusia melihat dan
menggunakannya.Semakin landasan suatu teori bergeser ke faktor hukum,
semakin mengganggap hukum sebagai sesuatu yang mutlak, otonom dan final.
Hukum progresif tidak menerima hukum sebagai intuisi yang mutlak serta
final, melainkan sangat ditentukan kepada kemampuannya untuk mengabdi
kepada manusia. Kualitas kesempurnaan hukum bisa diverifikasikan kedalam
faktor – faktor keadilan, kesejahteraan, kepedulian kepada rakyat dan lain – lain.
Inilah hakekat “hukum yang selalu dalam proses menjadi” (Las as a process, law
in the making). Hukum tidak ada untuk hukum itu sendiri, tetapi untuk manusia.
Gagasan ekstrem ditunjukkan oleh autopoietic jurisprudence yang melihat
hukum sebagai etintas yang memiliki kehidupan sendiri. Pemikiran
autopoietictersebut hukum memang berinteraksi dengan lingkungan di luar serta
menerima pengaruh – pengaruh dari luar, tetapi semua “faktor luar” tersebut pada
akhirnya akan diolah sendiri oleh hukum menurut kemauan, logika, kultur
komunitas hukum sendiri. Hukum sudah menjadi mesin yang dapat memproses
sendiri, yang oleh Luhmann dilukis, “the legal system as self-referential, self-
reproducing..”(William Evan, 1990).
Hukum Progresif memasukkan perilaku sebagai unsur penting dalam
hukum dan lebih khusus lagi dalam penegakkan hukum. Pengalaman bidang
hukum di Indonesia masih kental dengan “pengalaman perilaku ”. proses hukum
masih dilihat sebagai proses peraturan daripada perilaku mereka yang terlibat
disitu. Hukum progresif ingin secara sadar menempatkan kehadirannya dalam
hubungan erat dengan manusia dan masyarakat.Hukum progresif memiliki tipe,
dalam tipe tersebut selalu dikaitkan pada tujuan – tujuan diluar narasi tekstual
hukum itu sendiri. (Nonet & Selznick,1978). Hukum progresif juga menggandeng
kritik terhadap sistem hukum yang liberal.Pikiran liberal yang merangkul rule of
law, sebetulnya bertentangan dengan prinsip esensial dalam alam pikiran politik
liberal. “Law can not perform the liberal task of constraining power and
protecting people from intolerance and oppression, so even if the rule law did
exist, it could not accomplish in liberal goal (Altman, 1990).
Hukum progresif tidak berpendapat, ketertiban (order) hanya bekerja
melalui intuisi – intuisi kenegaraan, melainkan menerima dan mengakui
kontribusi intuisi – intuisi yang bukan negara. Ketertiban juga didukung oleh
bekerjanya intuisi bukan negara tersebut (Ellikson,1991). Dalam hukum telah
dibangun konstruksi tatemate dan honne (Formal acceptance), tetapi tidak sampai
ketingkat honne (nurani jepang). Hal tersebut menyebabkan Jepang harus banyak
melakukan “Japanese Twist” untuk mempertahankan kejepangannya (Ozaki,
1978, Woveren,1990, Parker, 1984).
BAB III
PENUTUP
Perjalanan intelektual yang panjang yang sekaligus juga merupakan
simbolik yang mngungkap kekuasaan dan kompleksitas dari hukum itu ,
Masyarakat yang menjadi landasan dari adanya atau terbentuknya hukum
internasional pendekatan untuk memahami hukum dapat ditempuh melalui dua
cara yaitu cara statis atau teoritis doktriner melalui berbagai pemahaman aliran
filsafat yang mempelajari dasar hakikat mengingat hukum. Dalam hal ini aliran
hukum alam ( dalam bentuknya yang murni sebagai suatu bentuk ajaran atau
dalam bentuknya yang dkeluarkan maupun ajaran hukum alam yang bangkit
kembali). Tampil kesemua mempertahan kan teori – terorinya.
Adanya hukum alam yang mengharuskan bangsa hidup berdampingan
secara damai dapat dikembalikan sebagai akal manusia ( rasio ) dan naluri untuk
mempertahankan jenisnya. Negara atau bangsa menerimanya karena ada
kesamaaan kasusu hukum diantara mereka padahal wujud hukum positif mereka
satu sama lain mungkin banyak yang berbeda. Asas – asas hokumyang bersamaan
ini merupakan konsepsi atau dontrin yang berasal dari hukum alam yang didalam
ajaran hukum formal dikenal dikenal dengan asas –asa hukum umum yang diakui
oleh bangsa – bangsa beradab.Kemudian asas ini dalam hukum internasional
positif.
A. Kesimpulan
Dari uraian Khusus mengenai mana yang harus dipilih, mengenai konsepsi
hukum alam kah atau positivisme yang seperti dijelaskan diatas, Dapat ditarik
kesimpulan seperti ini:
Naturalisme tipe tinggi sebagai idealisme tinggi harus dihindari sepanjang
sifat manusia tetap sebagai mana adanya. Pada saat yang sama kebenaran –
kebenaran yang fundamental hukum alam yang mempunyai Universalitas atau
konstan memegang peranan penting dalam pembentukan hukum nasional pada
bagian – bagian tertentu. Bagian hukum yang lain mempunyai variable – variable
dan ditempa oleh turun naiknya peradaban. Dalam perjalananya peradaban
manusia terdapat masa kebangkitan dan kejatuhan. Dengan kebangkitan
Kebudayaan dalam suatu pedaban akan ditemukan suatu kualitas hukum, dan pada
saat suatu peradaban jatuh akan didapat pula turunya kualitas hukum. Disini
waktu dan tempat merupakan faktor penentuyang penting. Dalam hukum, Akal
saja tidak cukup akal harus berbarengan dengan pengalaman dan kenyataan –
kenyataan sosial disekitarnyaDengan perkataan lain, metode apriori dan empiris
harus bekerja sama. Jurang antara hukum alam dan hukum positivisme, khususnya
dalam dalam hukum nasional, harus dijembatani. Suatu harmoni sintesis harus
ditegakan, dan dalam teori hukum sintesis harus ditegakkan, dalam teori hukum
sintesis ( sintetic – juris prudence), kebenaran yang dituntut hukum nasional yang
diperoleh secara deduktif harus diuji pengalaman yang didapat dari bidang
empiris positivisme. Juga kesimpulan induktif harus diferifikasi oleh akal. Dengan
demikian, naturalisme dan positivisme sama sekali tidak usah berlawanan dan
harus dianggap sebagai bergandengan.
B. Rekomendasi
Hukum merupakan kekuasaan untuk terwujunya keadilan, bukan
kekuasaan yang merupakan hukum. Jika kekuasaan merupakan hukum, maka
tindakan yang dilakukan oleh yang berkuasa itu benar mengingat semua tindakan
itu adalah manifestasi kekuasaan yang merupakan hukum. Dalam keadaan
demikian tidak akan ada keadilan karena kekuasaan dapat dilaksanakan
sekehendak hati penguasa. Namun tidak dapat dipungkiri dan dielakkan bahwa
hukum itu sendiri memerlukan adanya kekuasaan sebab, apabila hukum tanpa
kekuasaan, ia akan menjadi angan – angan. Dengan perkataan lain, hukum
memerlukan daya paksa agar dapat ditaati dan mengikat para subjek hukum yang
terkena demi tegaknya keadilan dan kepastian hukum. Hukum juga sebagai sistem
norma yang harus dijamin pelaksanaanya oleh masyarakat, kalau perlu dengan
tindakan paksaan. Penguasa yang sah adalah negara dan negara yang wajib
menjamin berlakunya hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Rahardjo, Satjipto., “Membangun dan Merombak Hukum Indonesia”, Genta Publishing, 2009.
Rahardjo, Satjipto., “Sosiologi Hukum”, Genta Publishing, 2010
Rahardjo, Satjipto., “Hukum Progresif”,Genta Publishing, 2009
Rahardjo, Satjipto., “ Lapisan – Lapisan Dalam Studi Hukum”, Bayumedia Publishing, 2009
Rasjidi, Lili & Arif Sidharta.,“Filsafat Hukum, Mahzab dan Refleksinya”, Ramadja Karya Offset, 1989
Prasetyo, Teguh & Abdul Halim Barkatullah., “Ilmu Hukum & Filsafat Hukum”, Pustaka Pelajar, 2011
Raharja Satjipto, “ Hukum Dan Perubahan Sosial ”. Genta Publising, 2009
[1]Theo Huijbers, Filsafat Hukum, Yogyakarta, Kanisius 1995 hal 22
[2]Filsafat hukum adalh refleksi teoritis ( intelektual ) yang paling tua dan dapat dikatakan merupakan induk dari semua refleksi teoritis tentang hukum. Filsafat Hukum adalah merupakan bagian bagian dari filsafat yang mengarah ( memusat ) refleksi terhadap hukum/ gejala Hukum, dalam keumumannya atau hukum sebagai demikian ( Law as such) Lili Rasjidi, Filsafat Hukum ( Aakah Hukum itu?) Bandung, 1988 hal 1-12
[5] Bernard Arief Sidarra, Refleksi tentang struktur ilmuan Hukum ( sebuah penelitian tentang fundasi kefilsafatan dan sifat ilmu hukum sebagai dasar pengembangan ilmu hukum nasional Indonesia) Bandung, Mandar Maju 2000, Hal.155
[6] Thomas Kuhn, The Structure Of scientific Revolution University Of Chigago Press. Chicago, 1970, p.vii.
[7] N K Denzin dan Y S Lincoln, Introduction: Entering The Field of Qualitative Research, didalam Erlyn Indriarti, Selayang Pandang Critical Theory, Sritical Legal Theory, dan Critical Legal Studies, Jurnal masalah – masalah Hukum vol.xxxi No. 3 Juli-Sept 2002 hal. 1338-139
[8]Dany Gahral Adian, Percik Pemikiran Kontemporer (sebuah Pengantar Komperhensif), cet.I, Jalasutra, Yogyakarta, 2006.Hal 28.
[9] Dony Gahral Adian, Arus Pemikiran Kontemporer, jalasutra, Yogyakarta, 2001, hal 30-31
[10] Husni Muadz, Pembaharuan Pemikiran Pemahaman Keislaman: Sebuah Tawaran Model Konseptual, Pusat Penelitian Bahasa dan Kebudayaan Universitas Mataram E-mail :[email protected] atau or [email protected]
[11] Dohnny Gahral Adian, Percik Pemikiran ………., op.cit, hal 29
[12] Bonaventure De Susa Santos dalam FX Adji Samekto, Positivisme Sebagai Paradigma dan pengaruhnya Terhadap Hukum Modern, Jurnal Masalah – Masalah Hukum vol.xxxi No. 3 Juli – sept. 2002 hal 151
[13]Ibid hal 152
[14]Syska soraya, Seksiskah Hukum? Jurnal perempuan edisi 10 / Februari – April, 1999, hal 5
[15] Barda nawawi Arif, Beberapa aspek pengembangan ilmu hukum pidan ( menyongsong generasi baru Hukum pidan Indonesia ) Pidato Pengukuhan guru besar FH UNDIP Semarng, 1994 Hal 1
[16] Kongres PBB ke IV tahun 1970 di Tokyo The prefention of crime and the treadment of offenders “ ( Sudarto, Hukum Pidana Cetakan Ke – 2 1981 hal 102
[17]Marjono Rokso diputro, Reformasi Hukum di Indonesia, Makalah yang disampai kan pada seminar hukum Nasional VII 12 Oktober 1999 hal 8
[18] H.A.S Natabaya Pembangunan Hukum Nasional Mochtar kusuma Admaja Cet 1. Alumni 1999 hal 297
[19] Foque R& Ladan, R. & rood – pijpers, E & zijdervelt, A.C. (red), geintegrerde rechtswetenschap, Arnhem : Gounda Quit, 1994
[20] Bergh, G.c.j.Van den, Geleerd
[21] Zohar, Danah & Marsall, Ian, SQ, spiritual intelegence, the ultimate intelegence, London : Blooms Bury 2000
[22] Foque, R. et al ( red ) ., Geintegreerde rectswetenschap, Arnhem: Gounda Quit, 1994
[23] Bergh, G.C.J. Van den, Gelerd recht, Een geschiedenis van de euro pese rechtswetenschap in von vlucht, Deventer : Kluwer, 1980
[24] Raharjo, Satjpto, Senja kala Ilmu tradisional dan Munculnya ilmu Hukum baru, Bacaan Mahasiswa No 13, 2006
[25] Scholten, paul, “ Algeameen deel “ dari assers in leiding tot het Netherlands burgerlijk recht, Zwolle : WEJ Tjeenk Willingk 1954
[26]Holmes, Oliver Wendell, The Common Law, Boston : little, Brown and Company, 1963
[27] Unger, Roberto Mangabeira, law in modern society – Toward a Critsm of Social Theory, Ny Th free prees 1976
[28] Captra, fritjof, The tao of phsics An Exploration of the pllals Between modern physics and eastern mysticism ( 4th ed, 2000)
[29] Satjipto roharjo, “ paradigm ilmu hukum Indonesia dalam persfektif sejarah “, Makalah disajikan dalam Imposium nasional ilmu hukum bekerja sama dengan pusat kajian ilmu hukum undip semarang, 10 Februari 1998
[30] Satjipto roharjo “ rekontruksi pemikiran hukum di era refirmasi” “, Makalah disajikan dalam Imposium nasional ilmu hukum bekerja sama dengan pusat kajian ilmu hukum undip semarang, 22 juli 2000
[31] Unger, op. cit., 1976 hlm 58 – 65
[32] Matrew hosman dan andrewmarsall sebagaimana dikutip satjipto raharja “ dalam rekonstruksi pemikiran hukum diera reformasi “ 22 juli 200
[33] Satjipto raharja, 2000 op. cit.,
[34] “The conception’s ideas about the relationship between law and development derive from it’s interpretation of the fact that the modern legal system, the centralized state, and the industrial economy arose in the same historical period. From this historical observation,..(Tubrek, 1972:11) ”
[35] Diantaranya David M. Trubek (“ Toward a social Theory of law ”) dan Lawrence M.freidman (“ on legal Development ”)
[36] Pemikiran yang menolak etnosentris dapat dicatat pula dari pendapat Daniel S. Lev yang berikut “..it is critically important to recognize that legal research in indonesia…” (Lev, 1972: 40-41)
[37]Schur, Edwi M, Law and Society. A sociological View, New York, 1968: 3-6
[38]Stone Julius. Law of the social sciences in the second half century.1966 hal 5
[39] Pound, Roscoe, Scope and purpose of Sociological Jurisprudence, jilid XXIV vol 24 # 8 dan 25 # 2, 1911 hal 489-516
[40]Podgorecki, Adam & Vittorio Oligati, Totalitarian and Post – Totalitarian Law, Aldershot. UK: Dartmouth Publishing Company, 1912
[41] Bank Dunia, Menciptakan Peluang Keadilan (Laporan atas studi “Village Justice in Indonesia” Terobosan dalam menegakkan hukum dan aspirasi reformasi hukum di tingkat lokal)2005
[42] Santos, Beventura de Sousa, Toward A New Common Sense – Law, science and politices in the paradigmatic transition, New York:Routledge, 1995
[43] William Evan, Social Structure and Law, 1990
[44] Philipe Nonet & Philip Selznick,” the souvereignity of Purpose “1978
[45] Altman Andrew, Critical Legal Studiies – a liberal critique,1990
[46] Ellickson, Robert C, Order Without Law, Combrige, Mass : Harvard University Press, 1991
[47] Ozaki Robert S., The Japanese, Routland :Charles E. Tuttle, 1978 & Parker L,Craig, Jr., The Japanese Police System Today. Tokyo: Kodaansha International, 1984