Upload
miftah-hasbi-haikal
View
245
Download
29
Embed Size (px)
Citation preview
MAKALAH PENELITIAN SOSIOLINGUISTIK
INTERFERENSI DAN CAMPUR KODE DI LINGKUNGAN KOSAN
OLEH
NAMA : NOPRIANSAH
NPM : 1021048
DOSEN PEMBIMBING : DONI SANJAYA S.Pd.
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA, SASTRA INDONESIA DAN
DAERAH
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS BATURAJA
2013/2014
INTERFERENSI DAN CAMPUR KODE DI LINGKUNGAN KOSAN
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bahasa sebagai alat komunikasi dan alat interaksi yang hanya dimiliki
oleh manusia, bahasa dapat dikaji secara internal maupun secara eksternal.
Kajian secara internal, artinya, pengkajian itu hanya dilakukan terhadap
struktur intern bahasa itu saja, seperti struktur fonologisnya, struktur
morfologisnya, atau struktur sintaksisnya. Kajian secara internal ini akan
menghasilkan bahasa itu saja tanpa ada kaitannya dengan masalah lain
diluar bahasa. Kajian internal ini dilakukan dengan menggunakan teori-teori
dan prosedur-prosedur yang ada dalam disiplin linguistik saja. Sebaliknya,
kajian secara eksternal, berarti, kajian itu dilakukan terhadap hal-hal atau
faktor-faktor yang berada di luar bahasa yang berkaitan dengan pemakaian
bahasa itu oleh para penuturnya didalam kelompok-kelompok sosial
kemasyarakatan. Pengkajian secara eksternal ini akan menghasilkan
rumusan-rumusan atau kaidah-kaidah yang berkenaan dengan kegunaan
dan penggunaan bahasa tersebut dalam segala kegiatan manusia didalam
masyarakat. Pengkajian secara eksternal ini tidak hanya menggunakan teori-
teori dan prosedur linguistik saja, tetapi juga menggunakan teori dan
prosedur disiplin lain yang berkaitan dengan penggunaan bahasa itu,
misalnya disiplin sosiologi, disiplin psikologi, dan disiplin antropologi. Oleh
karena itu, ilmu bahasa tidak lekang dengan disiplin lain. karena bahasa
sangat dekat dengan kehidupan masyarakat, maka tidaklah heran ilmu
bahasa dan sosiologi bersatu menjadi sosiolinguistik.
B. RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan permasalahan yang diangkat sebagai berikut:
1. Bagaimanakah bentuk Campur Kode pada rekaman 1?
2. Bagaimanakah bentuk Interferensi pada rekaman 1?
C. TUJUAN
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini
adalah:
1) Mendeskripsikan bentuk Campur kode pada rekaman 1.
2) Mendeskripsikan bentuk Interferensi pada rekaman 1.
D. MANFAAT PENELITIAN
Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1) Menambah wawasan dalam mengkaji suatu bahasa dari peristiwa tutur.
2) Memberikan masukan bagi mereka yang tertarik dengan masalah
sosiolinguistik dan Sebagai bahan referensi dan sumber informasi untuk
penelitian sejenis.
BAB II LANDASAN TEORI
A. Kajian Teori
a. Pengertian Sosiolinguistik
Sosiolinguistik merupakan gabungan dari kata sosiologi dan linguistik.
Sosiologi adalah kajian yang objektif dan ilmiah mengenai manusia dalam
masyarakat dan mengenai lembaga-lembaga serta proses sosial yang ada di
dalam masyarakat (Chaer dan Agustina, 1995:3). Dalam Aslinda dan
Syafiahya. Liguistik adalah ilmu bahasa atau bidang yang mengambil bahasa
sebagai objek kajian. Dengan demikian sosiolinguistik merupakan bidang
ilmu antar disiplin yang mempelajari bahasa di dalam masyarakat.
Sosiolinguistik memandang sebagai sistem sosial dan sistem
komunikasi serta merupakan bagian dari masyarakat dan kebudayaan
tertentu, sedangkan yang dimaksud dengan pemakai bahasa adalah bentuk
interaksi sosial yang terjadi dalam situasi konkter. Dengan demikian, bahasa
tidak dilihat secara internal, tetapi dilihat sebagai sarana interaksi atau
komunkasi di dalam masyasarakat.
Dalam masyarakat, seseorang tidak lagi dipandang sebagai individu
yang terpisah, tatapi sebagai anggota dari kelompok sosial. Oleh karena itu,
bahasa dan pemakaian tidak diamati secara individual, tetapi dihubungkan
dengan secara sosial. Bahasa dan pemakaiannya yang dipandang secara
sosial dipengaruhi oleh faktor linguistik dan faktor nonlinguistik.
b. Pengertian Campur Kode
(Chaer dan Agustina, 2004:114) Campur kode (code mixing) terjadi
apabila seorang penutur menggunakan suatu bahasa secara dominan untuk
mendukung suatu tuturan yang disisipi dengan unsur bahasa lainnya. Gejala
campur kode ini biasanya terkait dengan karakteristik penutur, misal, latar
belakang sosil, pendidikan, kepercayaan, dan sebagainya. Dalam
keseharian, masyarakat Indonesia yang multilangual, kita sering sekali
mendengar peristiwa campur kode ini.
Di dalam campur kode ada sebuah kode utama atau kode dasar yang
digunakan dan memiliki fungsi dan keotonomiannya, sedangkan kode-kode
lain yang terlibat dalam peristiwa tutur itu hanyalah berupa serpihan-
serpihan (pieces) saja, tanpa fungsi atau keotonomian sebagai sebuah kode.
Seorang penutur misalnya, yang dalam berbahasa Indonesia banyak
menyelipkan serpihan-serpihan bahasa daerahnya, bisa dikatakan telah
melakukan campur kode.
c. Pengertian Interferensi
Menurut Chaer (2004:120) istilah interferensi pertama kali digunakan
oleh Weinrich untuk menyebut adanya perubahan sistem suatu bahasa
sehubungan dengan adanya persentuhan bahasa tersebut dengan unsur-
unsur bahasa lain yang dilakukan oleh penutur yang bilingual. Interferensi
mengacu pada adanya penyimpangan dalam menggunakan suatu bahasa
dengan memasukkan sistem bahasa lain. Serpihan-serpihan klausa dari
bahasa lain dalam suatu kalimat bahasa lain juga dapat dianggap sebagai
peristiwa interferensi. Sedangkan, menurut Hartman dan Stonk (1972:115)
dalam Chaer tidak menyebutnya “pengacauan” atau “kekacauan, melainkan
“kekeliruan”, yang terjadi sebagai akibat terbawanya kebiasaan-kebiasaan
ujaran bahasa ibu atau diaek ke dalam bahasa atau dialek kedua.
BAB III METODE DAN TEKNIK PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif dengan metode
deskriptif. Menurut Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2005:4), penelitian
kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan data deskriftif yang berupa
kata-kata atau lisan objek yang diamati. Metode ini dilakukan dengan tidak
menggunakan angka-angka, tetapi menggunakan penghayatan terhadap
interaksi antarkonsep yang sedang dikaji secara emiris. Metode deskriptif
dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan
menggambarkan atau melukiskan keadaan atau objek penelitian
berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya.
Metode penelitian tersebut digunakan untuk berfokus pada dialog-dialog atau
ujaran dari kata-kata yang dipakai oleh si penutur.
B. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dengan cara merekam pembicaraan
sesorang yang diteliti, dari pembicaraaan tersebut kemudian dialog-dialog
penutur ditulis dan diamati dengan melihat kata-kata apa saja yang dipakai
ketika bertutur. Data yang diambil dari hasil percakapan dikalangan
mahasiswa yang sedang bertutur dengan temannya, percakapan tersebut
berlangsung pada siang hari di sebuah kamar kosan perempuan yang
membicarakan mengenai masalah keluarganya, percakapan berlangsung
berdurasi sekitar 2 menit.
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. DESKRIFSI DATA (Hasil rekaman)
Rekaman 1
a. Waktu : 14:22 WIB
b. Tanggal : 26/12/2012
c. Tempat : Di kosan
d. Topik : Membicarakan keluarganya
Peristiwa tutur :
A : Gue harus bisa kata gw beli apa nih gue. (Saya harus bisa, mau beli apa ini)
B : Aing mah boro-boro ceuk aing tea, “de mamah mah beli baju jeung si nenk, pas dideuleu sabaraha ieu mah? 75rb sasetel”, ceuk aing tea heeehhh neng iti!!! aing geh teu menta haduh. ( “Apalagi saya” kata saya itu “de mamah beli baju untuk dede bayi ketika dilihat berapa ini mah? 75ribu satu pasang”, kata saya itu haduh dede iti!! Saya juga tidak minta)
A : Sareukseuk nyah . . . . (kesel melihatnya)
B : Hooh,, jengkel mah demi allah, nu nyeseuhan popok, aing. Laju si bapa seneb mah “de ceunah,coba jing ieu diseseuhkeun hela, kumaha dia mah nyesuhna teu kabeh”, kan capenya urang, seneb mah dipaido, ya allah ya tuhan. ( Iya, kesel demi Allah, yang nyuci popok, saya! Ditambah bapak bilang “ de” katanya coba ini dicuci dahulu, bagaimana kamu, menucucinya tidak semuanya” kita kan cape, kesel di marahi saja, ya Allah ya Tuhan)
A : Orok mah ganti-ganti bae. (kalau bayi itu sering ganti-ganti saja)
B : Heeh, teteh aing mararahan “geus eta geura diseseh”. Ceuk mamah aing “Ges ulah loba keneh ditoko, urang meli bae”. Ceuk aing tea edan sombong dia, sekebel emak aing meuli baju eta mah salamari orok ngaborong .
(Iya, kakak saya marah-marah “udah itu cepat dicuci”. Kata ibu saya “ udah jangan, masih banyak di toko, kita beli saja”. Kata saya itu hebat sekali, selama ibu saya beli baju itu seperti satu lemari bayi, belanja banyak)
A : Itu juga teteh gw. “geus sih asal ada syarat ajah”, kata gw “ada neneknya ada bapaknya buru-buru amat”, enek. (Itu juga kakak saya “ udah asal ada syarat saja” kata saya. Masih ada neneknya, ada kakeknya cepet-cepet sekali)
B : Aing geh enek, mah aing mah teu dibeulikeun baju. “Kebae ate” mah. Masyaallah (Saya juga kesel. “Mah saya juga tidak dibelikan baju. “nanti saja tante” Masyaallah)
A : Adik gue ajah engga suka dibeliin baju, kasian loh.belinya apa coba teteh gue ajah sama suaminya, bloon kan, najis ceuk aing naon meren. (Adik saya saja tidak suka dibelikan baju, kasihan. Belinya hanya kakak saya saja sama suaminya, bodoh kan, najis kata saya apa kali.)
A : Laju enek mah, ogoan maruriang, naon coba daharna geh jatake bae, iraha dararia cageurna, cape aing nyesuhan bae, enek gue mah ( kesel, manja sakit juga makannya jatake saja, kapan sembuhnya, cape saya nyuci saja. Kesel itu )
B : Teteh aing geh sarua, kamari beak 20juta lebih dia.. (kakak saya juga sama, kemarin habis 20juta lebih)A : Kunaon??? (Kenapa???)
B : Ngalahirkeun,, pertama kan perutna kontraksi bae anakna hanyang kaluar, terus ngalahirkeun disesar dan seminggu kemudian setelah disesar teteh aing di kiret.. (Melahirkan, pertama perutnya kontrasi saja, bayinya ingin keluar, setelah itu melahirkan di sesar dan seminggu kemudian setelah disesar kakak saya dikiret)
A : Ko dikiret??.. (Kenapa dikiret)
B : Uterusna teu kabawa, “lupa” ceuk dokterna kandungana teu dikaluarkeun”, apa gitu tempat apanya gitu engga kebawa. (Uterusnya tidak terbawa, “lupa” kata dokter kandungannya tidak dikeluarkan”, apa gitu tempat apanya gitu tidak terbawa)
A : Gue mah kenapa sih keluarga suaminya, suaminya ke yang gimana, itu mah orang tua gue lagi, orang tua gue lagi hewa aing mah (Saya itu, kenapa gitu dengan keluarga suaminya, suaminya coba yang harus bagaimana, masa orang tua saya lagi, orang tua saya lagi, benci )
A : Sekarang gua dikekeyek coba , gua engga boleh sama orang kayak gitu lagi, kayak teteh gue. Kata gue “itu mah salah sndiri milih orang kayak gitu”. (Sekarang saya di kekang, tidak boleh sama orang seperti itu lagi, seperti kakak saya. Kata saya “ salah sendiri milih orang seperti itu”)
C : Ohh engga boleh deket - deket yah.. (oh, tidak boleh dekat-dekat)
A : Iyahhh , gue di kasih tau ibu gue, jgn kayak gitu yah ke gue “kenapa nyalahin gue kan”, gue mh udah lama kan sama dia. Dia mah baru kemaren kata gue, enggak mau kalo suruh kayak gitu. (Iya, saya dikasih tahu ibu saya, jangan seperti itu, “kenapa menyalahkan saya”, saya itu sudah lama dengan dia. Kecuali dia, baru kenal kemarin, kata saya, tidak ingin jika kalau diperintah seperti itu )
A : Sekarang juga dirumah ajah engga ngapa-ngapain. (Sekarang juga dirumah saja tidak melakukan apa-apa)
C : Kerja?? (Kerja)
A : Engga, orang tidur ajah dirumah. (Tidak, orang tidur saja dirumah)
B. ANALISIS DATA
1. Bentuk rekaman Campur Kode.
Terjadi campur kode ketika penutur A berbicara menggunakan B2 yaitu
bahasa Indonesia kemudian ditanggapi oleh penutur B dengan B1 yaitu
bahasa sunda ragam kasar otomatis penutur A menanggapi pembicaraan
tersebut dengan menggunakan B2 yaitu (bahasa Ibu) bahasa sunda ragam
kasar. Karena dilatar belakangi oleh daerah asalnya yaitu bahasa daerah
(sunda) yang mana ketika si penutur B menanggapi pembicaraan penutur A
dia menggunakan bahasa daerah, yang keduanya sama-sama berasal dari
kelompok daerah yang sama. Maka terjadilah unsur campur kode
mencamurkan B2 ke B1 yaitu bahasa Indonesia ke bahasa Sunda ragam
kasar
Jika dilihat dari percakapan di atas, penutur A memulai
pembicaraannya dengan menggunakan bahasa Indonesia yang kemudian
ditanggapi oleh penutur B yang menggunakan bahasa sunda ragam kasar.
Kemudian penutur A menanggapi pembicaraan penutur B dengan
menggunakan bahasa sunda ragam kasar, menyesuaikan bahasa yang
digunakan oleh lawan bicaranya dan dilanjutkan kembali menggunakan
bahasa Indonesia. Berdasarkan kriteria kegramatikalan, dari awal
pembicaraan penutur A mencampurkan bahasa gaul yaitu kata “gue”
dengan menyebutkan dirinya. Kemudian dilanjutkan dengan bahasa
Indonesia yaitu kata (harus bisa, beli apa). Kata-kata (aing, mah, ceuk, tea,
sih, amat). Merupakan serpihan bahasa Sunda ragam kasar yang digunakan
penutur A dan B dalam pembicaraannya.
PENUTUR A
Penutur A yang dalam berbahasa Indonesia banyak menyelipkan serpihan-
serpihan bahasa daerahnya yaitu bahasa sunda ragam kasar, untuk lebih
jelas dapat dilihat dari ujaran berikut:
A : Itu juga teteh gue. “geus sih asal ada syarat aja”, kata gue “ada neneknya ada bapaknya buru-buru amat”, enek.
A : Adik gue aja sekarang mah engga suka dibeliin baju, kasian loh.belinya apa coba teteh gue aja sama suaminya, boloon kan, najis aing naon meren.
Kata-kata yang bercetak tebal merupakan serpihan – serpihan bahasa
ragam sunda kasar yang digunakan oleh penutur A. Kata yang bercetak
miring merupakan serpihan dari bahasa gaul. Dari peristiwa di atas dapat
disimpulkan bahwa penutur A mencampurkan dua bahasa sekaligus secara
bersamaan yaitu bahasa gaul dan bahasa sunda ke dalam bahasa Indonesia
karena dilatarbelakangi oleh faktor lingkungan dan kebiasaan. Pencampuran
serpihan kata (bahasa Indonesia) di dalam bahasa sunda ragam kasar yang
digunakan ini merupakan peristiwa campur kode Maka muncul lah ragam
bahasa Indonesia yang kesunda-sundaan yang sedikit menyelipkan bahasa
gaul.
PENUTUR B
Sama halnya dengan penutur A yaitu peristiwa Campur Kode, tapi jika
penutur B dalam pembicaraannya banyak mencampurkan serpihan-serpihan
bahasa Indonesia ke dalam bahasa Sunda ragam kasar, untuk lebih jelas
dapat dilihat dari ujaran berikut:
B : Ngalahirkeun,, pertama kan perutna kontraksi bae anakna hanyang kaluar, terus ngalahirkeun disesar dan seminggu kemudian setelah disesar teteh aing di kiret..
B : Uterusna teu kabawa, “lupa” ceuk dokterna kandungana teu dikaluarkeun”, apa gitu tempat apanya gitu engga kebawa.
Kata-kata yang bercetak tebal merupakan serpihan – serpihan bahasa
Indonesia yang dicampurkan ke dalam bahasa dominan atau bahasa yang
digunakannya yaitu bahasa sunda ragam kasar yang digunakan oleh penutur
B. Pencampuran serpihan kata bahasa sunda ragam kasar di dalam bahasa
Indonesia yang digunakan merupakan peristiwa campur kode. Maka dari
peristiwa di atas dapat disimpulkan bahwa penutur B mencampurkan bahasa
Indonesia ke dalam bahasa Sunda ragam kasar. Maka muncul lah ragam
bahasa Indonesia yang kesunda-sundaan.
2. Bentuk rekaman Interferensi
Dari hasil rekaman di atas jika kita lihat penutur A dalam
pembicaraannya terkadang menyelipkan ujaran suatu bahasa terhadap
bahasa lain yang mencakup pengucapan dalam tata bentuk kata bidang
(Morfologi).
Interferensi ini terjadi dalam pembentuka kata dengan menyerap afiks-
afiks bahasa lain. Dapat dilihat dari hasil rekaman di atas yaitu penutur A
menyelipkan kata-kata yang menyerap afiks-afiks lain yaitu dengan
menyebutkan kata (dibeliin, ngapa-ngapain, nyalahin, kebawa). Jika di lihat
pada tingkat morfologi Sufiks (-in) itu tidak ada, ini merupakan kekeliruan
yang terjadi sebagai akibat terbawanya kebiasaan-kebiasaan dalam ujaran
bahasa Ibu atau dialek ke dalam bahasa (dialek kedua) dan ini merupakan
peristiwa penyimpangan norma dari salah satu bahasa atau lebih.
Ramlan (2009:139) Jika Afiks ke- pada kata di atas, pada umumnya
melekat pada bentuk dasar yang termasuk golongan kata bilangan, namun
ada juga yang melekat pada bentuk dasar yang bukan kata bilangan, tetapi
jumlahnya sangat terbatas, contohnya kehendak, ketua, kekasih dan
ketahu. Pada kata kehendak, ketua dan kekasih, afiks ke- berfungsi
membentuk kata nominal, sedangkan pada kata ketahu afiks ke- berfungsi
membentuk pokok kata. Maka pada kata kebawa jika afiks ke- dirubah
menjadi afiks ter- akan berterima karena afiks ke- telah dijelaskan di atas
yaitu tergolong dalam kata bilangan sedangkan kata kebawa bukan
tergolong kata bilangan. Oleh karena itu untuk lebih tepat lagi jika kata
kebawa dirubah menjadi terbawa, karena afiks ter- termasuk golongan kata
kerja
Bentuk-bentuk tersebut dikatakan sebagai bentuk interferensi karena
bentuk-bentuk tersebut sebenarnya ada bentuk yang benar, yaitu (dibelikan,
disalakan, diam saja, terbawa) namun tidak digunakan sesuai konteksnya.
Maka berdasarkan data-data di atas jelas bahwa proses pembentukan kata
yang disebut interferensi pada tingkat Morfologi tersebut mempunyai bentuk
dasar berupa kosa kata bahasa Indonesia dengan afiks-afiks dari bahasa
daerah.
Dilihat dari segi kemurnian bahasa, interferensi pada tingkat apa pun
merupakan “penyakit”, sebab “merusak” bahasa. Jadi, perlu dihindarkan.
Orang-orang yang berpaham purisme di Indonesia tentu tidak dapat
menerima bentuk-bentuk kata seperti kebawa, nyalahin, dibeliin dan ngapa-
ngapain. Begitu juga penggunaan unsur bahasa lain dalam bahasa Indonesia
dianggap juga sebagai suatu kesalahan.
C. PEMBAHASAN
Penutur A dan B, yang berbahasa Ibu sama, bercakap-cakap dalam bahasa Sunda ragam
kasar, namun sesekali penutur A dan B melakukan campur kode yaitu ketika penutur B memulai
pembicaraan dengan lawan bicaranya (penutur B) menggunakan bahasa Indonesia, namun
ketika ditanggapi oleh penutur B menggunakan bahasa sunda ragam kasar, setelah pembicaraan
berlanjut sesekali penutur A mencampurkan bahasa Indonesia ke dalam bahasa Sunda ragam
kasar. Namun, berbeda dengan penutur B peristiwa campur kode ketika penutur B mengutip
pembicaraan orang lain, penutur B sesekali mencampurkan bahasa Indonesia ke dalam bahasa
Sunda ragam kasar yang di pakainya. Dari penjelasan di atas penutur A dan B mengalami
peristiwa campur kode karena dilatar belakangi oleh situasi dan kondisi yang terjadi
dilingkungannya ketika bertutur.
Berbeda halnya dengan peristiwa Interferensi, berdasarkan hasil rekaman di atas terdapat
peristiwa Interferensi yang dilakukan oleh penutur A. Peristiwa Interferensi ini dalam bidang
Morfologi, antara lain terdapat pembentukan kata dengan afiks. Chaer (2004:123) Afiks-afiks
suatu bahasa digunakan untuk membentuk kata dalam bahasa lain. Masalah ini terjadi dalam
bahasa Indonesia ada sufiks-in, maka penutur A bertutur menggunakannya dalam pembentukan
kata bahasa Indonesia yaitu pada kata kebawa, beliin, nyalahin . Dalam tingkatan Morfologi
Sufiks –in yang dipakai penutur B itu tidak ada. Bentuk-bentuk tersebut merupakan
penyimpangan dari sistematik morfologi bahasa Indonesia. Sebab untuk proses pembentukan
kata dalam bahasa Indonesia ada Sufiks –kan. seharusnya dibelikan, sufiks MeN- menjadi
menyalahkan, dan Prefiks ter- menjadi terbawa.
BAB V
PENUTUP
Kebebasan penggunaan bahasa yang dilakukan oleh penutur dan
lawan tutur di atas semata-mata dilakukan dengan faktor ketidak sengajaan.
Pencampuran bahasa atau interfernsi dilakukan karena dilatar belakangi
oleh situasi dan penutur yang sama-sama berasal dari daerah (sunda),
penutur A yang mencampurkan bahasa Indonesia ke bahasa sunda di latar
belakangi oleh keterbiasaannya dia menuturkannya dengan orang,
kemudian sama halnya dengan penutur B yang mencampurkan bahasa
sunda ke bahasa Indonesia dilatar belakangi oleh adanya kutipan-kutipan
orang yang dia bicarakan, sehingga penutur B mencampurkan bahasa
Indonesia ketika mengutip pembicaraan sesorang. Berdasarkan rumusan
masalah di atas maka dapat disimpulkan bahwa, kode yang digunakan di
lingkungan kostn ketika berbicara tergantung situasi dan siapa lawan.
Seperti halnya pada rekaman di atas, terkadang penutur A dan B
menyelipkan atau mencapurkan serpihan-serpihan B1 dan B2 ke dalam
bahasa dominan. Berbeda halnya dengan Interferensi, karena terbiasa
bertutur dengan bersufiks (-in) maka jika bertutur dengan lawan tuturnya
yang lain akan terulangi kembali. Oleh karena itu disebabkan oleh
lingkungan sekitar dan tempat tinggalnya yang mengakibatkan terjadinya
Interferensi (penyimpangan) bahasa.
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul dan Leoni Agustina. 2010. Sosiolinguistik Perkenalan Awal.
Jakarta: Rineka Cipta
Moloeng, Lexy J. 2005. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosdakarya
Aslinda dan Syafyahya. 2010. Pengantar Sosiolinguistik. Bandung: Rafika Aditama.
Ramlan. 2009. Morfologi Suatu Tinjauan Deskriptif. Yogyakarta: C.V. Karyono