Upload
aubreyxc
View
87
Download
16
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
Kejang demam merupakan kejang yang terjadi pada saat seorang bayi atau anak
mengalami demam tanpa infeksi sistem saraf pusat. Kejang demam biasanya terjadi pada
awal demam. Anak akan terlihat aneh untuk beberapa saat, kemudian kaku, kelojotan dan
memutar matanya. Anak tidak responsif untuk beberapa waktu, napas akan terganggu, dan
kulit akan tampak lebih gelap dari biasanya. Setelah kejang, anak akan segera normal
kembali. Kejang biasanya berakhir kurang dari 1 menit, tetapi walaupun jarang dapat terjadi
selama lebih dari 15 menit.
Insiden terjadinya kejang demam terutama pada golongan anak umur 6 bulan sampai
4 tahun. Hampir 3 % dari anak yang berumur di bawah 5 tahun pernah menderita kejang
demam. Kejang demam lebih sering didapatkan pada laki-laki daripada perempuan. Hal
tersebut disebabkan karena pada wanita didapatkan maturasi serebral yang lebih cepat
dibandingkan laki-laki. (ME. Sumijati, 2000;72-73)
Berdasarkan laporan dari daftar diagnosa dari Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.
Soetomo Surabaya didapatkan data adanya peningkatan insiden kejang demam. Pada tahun
1999 ditemukan pasien kejang demam sebanyak 83 orang dari 193 orang dan tidak
didapatkan angka kematian (0 %). Pada tahun 2000 ditemukan pasien kejang demam 132
orang dari 236 orang dan tidak didapatkan angka kematian (0 %). Dari data di atas
menunjukkan adanya peningkatan insiden kejadian sebesar 37%.
Bangkitan kejang berulang atau kejang yang lama akan mengakibatkan kerusakan
sel-sel otak kurang menyenangkan di kemudian hari, terutama adanya cacat baik secara fisik,
mental atau sosial yang mengganggu pertumbuhan dan perkembangan anak. (Iskandar
Wahidiyah, 1985 : 858) .
Kejang demam merupakan kedaruratan medis yang memerlukan pertolongan segera.
Diagnosa secara dini serta pengelolaan yang tepat sangat diperlukan untuk menghindari cacat
yang lebih parah, yang diakibatkan bangkitan kejang yang sering.
Anak merupakan makhluk yang unik, karena anak memilki karakteristik tersendiri
sesuai tahapan usia anak. Kejang demam pada anak diklasifikasikan berdasarkan usia anak.
1
Kejang demam yang biasa dialami anak ialah usia 6 bulan sampai 4 tahun. Jika kejang
dialami oleh anak usia lebih dari 6 tahun lebih dikategorikan sebagi kejang tanpa demam
(epilepsi ).
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu
rectal di atas 38°C) yang disebakan oleh proses ekstrakranium. Kejang demam merupakan
penyakit yang paling sering dijumpai di bidang neurologi khususnya anak. Kejang
merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orang tua, sehingga sebagai dokter kita wajib
mengatasi kejang dengan tepat dan cepat. Kejang demam terjadi pada 2%-4% dari populasi
anak yang berusia 6 bulan hingga 5 tahun. Kejang demam dibagi menjadi 2 yakni kejang
demam sederhana dan kejang demam kompleks. 80% dari kasus kejang demam merupakan
kejang demam sedehana sedangkan 20% kasus adalah kejang demam komplek. 8%
berlangsung lama yakni lebih dari 15 menit. 16% berulang dalam waktu 24 jam. Kejang
pertama terbanyak terjadi antara usia 17-23 bulan, dimana anak laki-laki lebih sering
mengalami kejang demam. Bila kejang demam sederhana yang pertama terjadi pada usia
kurang dari 12 bulan, maka resiko kejang demam kedua 50%. dan bila kejang demam
sederhana pertama terjadi pada usia 12 bulan/ lebih, maka resiko kejang demam kedua
menjadi 30%. Setelah kejang demam pertama, 2-4% anak akan berkembang menjadi epilepsi
dan ini 4 kali resikonya dibanding dengan populasi umum. Dari percobaan binatang yang
dilakukan Wegman dan Milichap disimpulkan bahwa suhu yang tinggi dapat menyebabkan
suatu bangkitan kejang. Terjadinya bangkitan kejang demam bergantung kepada umur,
tinggi, serta cepatnya suhu meningkat. Faktor hereditas juga memiliki peranan dimana
Lennox-Buchtal berpendapat bahwa kepekaan terhadap bangkitan kejang demam ditentukan
oleh sebuah gen dominan. Lennox berpendapat bahwa 41,2% anggota keluarga penderita
mempunyai riwayat kejang sedangkan pada anak normal hanya 3%. Penanganan kejang
demam sampai saat ini masih terjadi kontroversi terutama mengenai pengobatannya yaitu
perlu tidaknya penggunaan obat untuk profilaksis rumat. Dalam makalah ini akan
disampaikan bagaimana cara mendiagnosa pasien kejang demam dan bagaimana
mengklasifikasikannya menjadi kejang demam sederhana atau kejang demam komplek dan
bagaimana menangani penderita kejang demam terutama pada bayi dan anak-anak.
BAB II
2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI KEJANG DEMAM 1,2,3
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh
(suhu rectal diatas 38C ) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium.1 Kejang demam
merupakan kelainan neurologis yang paling sering dijumpai pada anak-anak, terutama pada
golongan umur 3 bulan sampai 5 tahun. Menurut Consensus statement on febrile seizures
(1980), kejang demam adalah kejadian pada bayi atau anak yang berhubungan dengan
demam tetapi tidak pernah terbukti adanya infeksi intrakranial atau penyebab tertentu. Anak
yang pernah kejang tanpa demam dan bayi berumur kurang dari 4 minggu tidak termasuk
dalam kejang demam. Kejang demam harus dibedakan dengan epilepsi,yaitu yang ditandai
denagn kejang berulang tanpa demam.1,2,3
Definisi ini menyingkirkan kejang yang disebabkan penyakit saraf seperti
meningitis, ensefatitis atau ensefalopati. Kejang pada keadaan ini mempunyai prognosis
berbeda dengan kejang demam karena keadaan yang mendasarinya mengenai sistem susunan
saraf pusat. Dahulu Livingston membagi kejang demam menjadi 2 golongan, yaitu kejang
demam sederhana (simple febrile convulsion) dan epilepsi yang diprovokasi oleh demam
(epilepsi triggered of by fever).2
Hampir 3% daripada anak yang berumur di bawah 5 tahun pernah menderitanya
(Millichap, 1968). Wegman (1939) dan Millichap (1959) dari percobaan binatang
berkesimpulan bahwa suhu yang tinggi dapat menyebabkan terjadinya bangkitan kejang. 1
Terjadinya bangkitan kejang demam bergantung kepada umur, tinggi serta cepatnya
suhu meningkat (Wegman, 1939; Prichard dan McGreal, 1958). Faktor hereditas juga
mempunyai peranan. Lennox-Buchthal (1971) berpendapat bahwa kepekaan terhadap
bangkitan kejang demam diturunkan oleh sebuah gen dominan dengan penetrasi yang tidak
sempurna. Lennox (1949) berpendapat bahwa 41,2% anggota keluarga penderita mempunyai
riwayat kejang sedangkan pada anak normal hanya 3%.1
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu
rektal lebih dari 380 C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. (Arif Mansjoer.
2000)
3
Kejang demam (febrile convulsion) ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan
suhu tubuh yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. (Taslim. 1989)
Kejang Demam (KD) adalah kejang yang terjadi pada suhu badan yang tinggi. Suhu
badan yang tinggi ini disebabkan oleh kelainan ekstrakranial. (Livingston, 1954)
Kejang demam adalah terbebasnya sekelompok neuron secara tiba-tiba yang mengakibatkan
suatu kerusakan kesadaran, gerak, sensasi atau memori yang bersifat sementara (Hudak and
Gallo,1996).
Kejang Demam Pada Anak
Adalah bangkitan kejang yang terjadi karena kenaikan suhu tubuh di atas 38 C, yang
disebabkan oleh suatu proses ekstrakranial.
Kejang Demam Sederhana
Adalah kejang yang terjadi pada umur antara 6 bulan s/d 4 tahun, lama kejang kurang dari 20
menit, kejang bersifat umum, frekwensi kejang kurang dari 4x/tahun, kejang timbul dalam 16
jam sesudah kenaikan suhu.
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rectal
di atas 38 °C) yang disebabkan oleh proses ekstrakranium. Nilai ambang kejang antara suhu
38,8°C-41,4°C. Biasanya terjadi pada a-nak be rusia 6 bulan sampai dengan 5 tahun. Anak
yang pernah mengalami kejang tanpa demam, kemudian ke-jang demam kembali tidak
termasuk dalam kejang demam. Kejang disertai demam pada bayi berusia kurang dari 1 bulan
tidak termasuk dalam kejang demam. Bila anak berusia kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5
tahun mengalami kejang didahului demam, perlu dipikirkan kemungkinan lain misalnya
infeksi SSP, atau epilepsi yang kebetu-lan terjadi bersama demam.
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan kejang demam adalah bangkitan kejang yang
terjadi karena peningkatan suhu tubuh yang sering di jumpai pada usia anak dibawah lima
tahun.
Kejang demam merupakan kelainan neurologis akut yang paling sering dijumpai pada
anak. Bangkitan kejang ini terjadi karena adanya kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas
38oC) yang disebabkan oleh proses ekstrakranium. Penyebab demam terbanyak adalah infeksi
saluran pernapasan bagian atas disusul infeksi saluran pencernaan. (Ngastiyah, 1997; 229).
4
2.2 KLASIFIKASI 1,2
Kejang demam memiliki 2 bentuk yakni kejang demam kejang demam sederhana dan kejang
demam komplek. 80% dari kasus kejang demam merupakan kejang demam sederhana
sedangkan 20% kasus adalah kejang demam komplek. Kejang demam sederhana (Simple
Febrile Seizure) menurut Livingstone memiliki beberapa kriteria, yakni:
1. Terjadi pada usia 6 bulan-4 tahun
2. Lama kejang singkat kurang dari 15 menit
3. Sifatnya kejang umum, tonik dan atau klonik
4. Umunya berhenti sendiri dan pasien segera sadar
5. Kejang timbul pada 16 jam pertama setelah timbulnya demam
6. Tanpa adanya gerakan fokal atau berulang dalam 24 jam
7. Tidak ada kelainan neurologi sebelum & setelah kejang
8. Frekuensi kejang kurang dari 4x dalam 1 tahun
9. Pemeriksaan EEG yang dibuat sedikitnya 1 minggu sesudah suhu normal tak menunjukkan
adanya kelainan
Kejang Demam Komplek (Complex Febrile Seizure) memiliki ciri-cirri gejala klinis sebagai
berikut:
1. Kejang berlangsung lama lebih dari 15 menit
2. Sifat kejang fokal atau parsial satu sisi atau kejang umum yang didahului oleh suatu kejang
parsial
3. Kejang berulang atau terjadi lebih dari 1 kali dalam 24 jam
Menurut Livingstone, kejang demam komplek digolongkan sebagai epilepsi yang diprovokasi
oleh demam. Kejang tipe ini mempunyai suatu dasar kelainan yang menyebabkan timbulnya
kejang, sedangkan demam hanya meru-pakan faktor pencetus saja. Kejang demam yang
berlangsung singkat pada umumnya tidak berbahaya dan tidak menimbulkan gejala sisa.
Tetapi pada kejang yang berlangsung lama, lebih dari 15 menit, biasanya disertai terjadinya
apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang pada
akhirnya terjadi hipok-semia, hiperkapnea, asidosis laktat disebabkan oleh metabolisme
anaerobik, hipotensi arterial, disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh yang
makin meningkat disebabkan oleh meningkatnya aktifitas otot dan selan-jutnya menyebabkan
metabolisme otak meningkat. Rangkaian peristiwa diatas adalah penyebab rusaknya neuron
otak selama berlangsung kejang yang lama. Faktor terpentiang adalah terjadinya gangguan
peredaran darah yang menyebabkan hipoksia sehingga meningkatkan permeabilitas kapiler
5
dan timbulnya edema otak yang mengakibatkan kerusakan sel neuron otak. Kerusakan pada
daerah mesial lobus temporalis setelah mendapat serangan ke-jang yang berlangsung lama,
dapat menjadi ”matang” sehingga dapat terjadi serangan epilepsi yang spontan. Jadi kejang
demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan antomis di otak hingga terjadi
epilepsi.
2.3 ETIOLOGI 2,3,4
Penyebab kejang demam hingga kini masih belum diketahui dengan pasti. Ada
beberapa faktor yang mungkin berperan dalam menyebabkan kejang demam,yaitu:2,3,4
1. Demamnya sendiri
2. Efek produk toksik daripada mikroorganisme (kuman dan virus) terhadap otak
3. Respon alergik atau keadaan imun yang abnormal oleh infeksi
4. Perubahan keseimbangan cairan atau elektrolit
5. Ensefalitis viral (radang otak akibat virus) yang ringan atau yang tidak diketahui atau
ensefalopati toksik sepintas
6. Gabungan semua faktor diatas
Demam yang disebabkan oleh imunisasi juga dapat memprovokasi kejang demam.
Anak yang mengalami kejang setelah imunisasi selalu terjadi waktu anak sedang demam.
Kejang setelah imunisasi terutama didapatkan setelah imunisasi pertusis (DPT) dan morbili
(campak).1
Dari penelitian yang telah dilakukan Prof.Dr.dr.S.M.Lumbantobing pada 297
penderita kejang demam, 66(22,2%) penderita tidak diketahui penyebabnya.2
Penyebab utama didasarkan atas bagian tubuh yang terlibat peradangan. Ada penderita yang
mengalami kelainan pada lebih dari satu bagian tubuhnya, misalnya tonsilo-faringitis dan
otrtis media akut. (lihat tabel ).
Penyebab demam pada 297 penderita KD1,2
Penyebab demam Jumlah penderita
Tonsilitis dan/atau faringitis 100
6
Otitis media akut (radang liang telinga tengah)Enteritis/gastroenteritis (radang saluran cerna)Enteritis/gastroenteritis disertai dehidrasiBronkitis (radang saiuran nafas)Bronkopeneumonia (radang paru dan saluran nafas)Morbili (campak)Varisela (cacar air)Dengue (demam berdarah)Tidak diketahui
91
22
441738
121166
Pernah dilaporkan bahwa infeksi tertentu lebih sering di-sertai KD daripada infeksi lainnya.
Sekitar 4,8% - 45% penderita gastroenteritis oteh kuman Shigella mengaiami KD dibanding
gastroenteritis oieh kuman penyebab lainnya di mana angka kejadian KD hanya sekitar 1%,
Lahat dkk, 1984 mengemukakan bahwa tingginya angka kejadian KD pada
shigellosis dan salmonellosis mungkin berkaitan dengan efek toksik akibat racun yang
dihasilkan kuman bersangkutan.
2.4 EPIDEMIOLOGI 1,3
Kejadian kejang demam diperkirakan 2 % - 4 % di Amerika Serikat, Amerika Selatan dan
Eropa Barat. Di Asia dilaporkan lebih tinggi. Kira – kira 20 % kasus merupakan kejang
demam kompleks. Umumnya kejang demam timbul pada tahun kedua kehidupan (17 – 23
bulan) kejang demam sedikit lebih sering pada laki – laki. Faktor Resiko
Faktor resiko kejang demam pertama yang penting adalah demam . Ada riwayat kejang
demam keluarga yang kuat pada saudara kandung dan orang tua, menunjukkan
kecenderungan genetik . Selain itu terdapat faktor perkembangan terlambat, problem pada
masa neonatus, anak dalam perawatan khusus, dan kadar natrium rendah . Setelah kejang
demam pertama, kira – kira 33 % anak akan mengalami satu kali rekurensi atau lebih, dan
kira 9 % anak akan mengalami tiga kali rekurensi atau lebih, resiko rekurensi meningkat
dengan usia dini, cepatnya anak mendapat kejang setelah demam timbul, temperatur yang
rendah saat kejang, riwayat keluarga kejang demam, dan riwayat keluarga epilepsi .
2.5 PATOFISIOLOGI1,5
7
Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel atau organ otak diperlukan suatu energi yang
didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak yang terpenting adalah
glukosa. Sifat proses itu adalah oksidasi dimana oksigen disediakan melalui fungsi paru-paru
dan diteruskan ke otak melalui sistem kardiovaskuler. Melalui proses oksidasi glukosa
dipecah menjadi CO2 dan air. Sel neuron dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari
permukaan dalam adalah lipoid dan permukaan luar adalah ionik. Dalam keadaan normal,
membran sel dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh
ion (Na+) dan elektrolit lainnya, kecuali ion Cl-. Akibatnya konsentrasi ion K+ dalam sel
neuron tinggi dan konsentrasi ion Na+ rendah, sedangkan di luar sel neuron terjadi
sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar sel, maka
terdapat perbedaan po-tensial yang disebut sebagai potensial membran dari sel neuron. Untuk
menjaga keseimbangan potensial membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K
ATP-ase yang terdapat di permukaan sel. Keseimbangan potensial membran ini dapat dirubah
oleh adanya perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraselular, rangsangan yang datangnya
mendadak misalnya mekanis, kimiawi, atau aliran listrik dari sekitarnya dan perubahan
pathofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan. Demam adalah
meningkatnya suhu tubuh diatas nilai normal (35,8°C - 37,2°C) dalam rentang waktu tertentu.
Demam merupakan salah satu keluhan dan gejala yang paling sering terjadi pada anak
dengan penyebab berupa infeksi dan non infeksi. Paling sering penyebabnya adalah infeksi,
dalam hal ini adalah infeksi saluran nafas disusul dengan infeksi saluran cerna pada anak-
anak. Pada keadaan demam, kenaikan suhu 10°C akan mengakibatkan kenaikan metabolisme
basal 10%-15% dan kebutuhan O2 akan meningkat 20%. Pada anak usia 3 thn, sirkulasi otak
mencapai 65% dari seluruh tubuh, dibandingkan pada orang dewasa yang hanya 15%. Jadi
pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel
neuron dan dalam waktu singkat terjadi difusi dari ion K+ maupun ion Na+ melalui membran
tersebut, dengan akibat akan terjadi lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian
besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke sel-sel tetangganya melalui
bantuan neurotransmiter dan terjadilah kejang. Tiap anak memiliki ambang kejang berbeda.
Tergantung dari ambang kejang yang dimilikinya, seorang anak menderita kejang pada
kenaikan suhu tertentu. Pada anak yang memiliki ambang kejang rendah, kejang dapat terjadi
pada suhu 38°C dan pada anak yang memiliki batas ambang kejang yang tinggi, kejang baru
terjadi pada suhu 40°C atau lebih. Berdasarkan hal ini dapat disimpulkan bahwa kejang
demam lebih sering tejadi pada ambang kejang yang rendah sehingga dalam penanggulangan
perlu diperhatikan pada suhu berapa penderita kejang.
8
Meskipun mekanisme pasti terjadinya kejang tidak diketahui, beberapa faktor fisiologis
dianggap bertanggung jawab atas berkembangnya suatu kejang 1.
Untuk mempertahankan hidup sel atau organ otak, diperlukan suatu energi yang
didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk memetabolisme otak yang terpenting adalah
glukosa. Sifat proses itu adalah oksidasi dimana oksigen disediakan dengan perantaraan
fungsi paru-paru dan diteruskan ke otak melalui sistem kardiovaskuler. Jadi sumber energi
otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah menjadi CO2 dan air.
Sel dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari permukaan dalam adalah lipid
dan permukaan luar adalah ionik. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui
dengan mudah oleh ion kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium (Na+) dan
elektrolit lainnya, kecuali ion klorida (Cl-). Akibatnya kosentrasi K+ dalam sel neuron tinggi
dan konsentrasi Na+ menjadi rendah sedangkan di luar sel neuron terjadi keadaan sebaliknya.
Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar sel, maka terdapat perbedaan
potensial yang disebut potensial membran dari sel neuron. Untuk menjaga keseimbangan
petensial membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K-ATPase yang terdapat
pada permukaan sel.
Keseimbangan petensial membran ini dapat diubah oleh adanya:
1. Perubahan konsentrasi ion diruang ekstraseluler.
2. Rangsangan yang datangnya mendadak, misalnya mekanis, kimiawi atau aliran listrik
dari sekitarnya.
3. Perubahan dari patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan.
Pada keadaan demam, kenaikan 1oC akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal
10-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat sampai 20%. Jadi pada kenaikan suhu tubuh
tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel neuron, dan dalam waktu
yang singkat dapat terjadi difusi ion kalium listrik. Lepas muatan listrik ini demikian
besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran tetangganya dengan
bantuan bahan yang disebut neurotransmitter dan terjadilah kejang. Tiap anak mempunyai
ambang kejang yang berbeda dan tergantung dari tinggi rendahnya ambang kejang seorang
anak menderita kejang pada kenaikan suhu tubuh tertentu. Pada anak dengan ambang kejang
yang rendah, kejang sudah dapat terjadi pada suhu 38oC, sedangkan pada anak dengan
ambang kejang yang tinggi, kejang baru dapat terjadi pada suhu 40oC atau lebih 4.
Pada kejang yang berlangsung lama biasanya disertai terjadinya apnea, meningkatnya
kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet sedangkan otot pernafasan tidak
9
efisien sehingga tidak sempat bernafas yang akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnea,
hipoglikemia, laktat asidosis disebabkan metabolisme anaerob, hipotensi artenal disertai
denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh yang semakin meningkat oleh karena
meningkatnya aktivitas otot dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otot meningkat.
Faktor terpenting adalah gangguan peredaran darah mengakibatkan hipoksia sehingga
meninggikan permeabilitas kapiler dan timbul oedem otak yang mengakibatkan kerusakan sel
neuron.
Dari kenyataan ini dapat disimpulkan bahwa berulangnya kejang demam lebih sering
terjadi pada ambang kejang yang rendah sehingga di dalam penanggulangannya perlu
diperhatikan pada tingkat suhu berapa penderita menjadi kejang.
Pada anak dengan ambang kejang yang rendah kenaikan suhu sampai 38 C sudah terjadi
kejang, namun pada anak dengan ambang kejang yang tinggi, kejang baru terjadi pada suhu
diatas 40 C.
Terulangnya kejang demam lebih sering terjadi pada anak dengan ambang kejang rendah.
Kejang demam yang berlangsung singkat umumnya tidak berbahaya dan tidak meninggalkan
gejala sisa. Tetapi kejang demam yang berlangsung lama (>15 menit) biasanya disertai
dengan apneu, meningkatnya kebutuhan oksigen dan enrgi ontuk kontraksi otot skelet yang
mengakibatkan hipoksemia, hiperkapnea, dan asidosis laktat.
Hipotensi arterial disertai dengan aritmia jantung dan kenaikan suhu tubuh disebabkan
meningkatnya aktivitas berakibat meningkatnya metabolisme otak.
Rangkaian kejadian di atas adalah factor penyebab terjadinya kerusakan neuron otak pada
kejang yang lama.
Factor yang terpenting adalah gangguan peredaran darah yang mengakibatkan hipoksia
sehingga berakibat meningkatnya permeabilitas vascular dan udem otak serta kerusakan sel
neuron.
Kerusakan anatomi dan fisiologi yang bersifat menetap bisa terjadi di daerah medial lobus
temporalis setelah ada serangan kejang yang berlangsung lama. Hal ini diduga kuat sebagai
faktor yang bertanggung jawab terhadap terjadinya epilepsi.
10
11
Cemas
PATHWAY ANAK KEJANG DEMAM
Infeksi bakteri rangsang mekanik dan biokimia.
Virus dan parasit gangguan keseimbangan cairan&elektrolit
Reaksi inflamasi perubahan konsentrasi ion
di ruang ekstraseluler
Proses demam
Ketidakseimbangan kelainan neurologis
Hipertermia potensial membran perinatal/prenatal
ATP ASE
Resiko kejang berulang
difusi Na+ dan K+
Pengobatan perawatan
Kondisi, prognosis, lanjut kejang resiko cedera
Dan diit
Kurang informasi, kondisi kurang dari lebih dari 15 menit
Prognosis/pengobatan 15 menit
Dan perawatan perubahan suplay
Tidak menimbulkanDarah ke otak
Kurang pengetahuan/ gejala sisa
Inefektif
Penatalaksanaan kejang resiko kerusakan sel
Cemas Neuron otak
Perfusi jaringan cerebral tidak efektif
12
2.6 MANIFESTASI KLINIK 2,3,4,5
Terjadinya kejang pada kejang demam terkait dengan kenaikan suhu yang cepat
dan biasanya berkembang bila suhu tubuh mencapai 39C atau lebih (rectal). Umumnya
kejang berlangsung singkat, berupa serangan tonik klonik. Bentuk kejang yang lain dapat
juga terjadi seperti mata terbalik keatas dengan disertai kekakuan atau kelemahan,gerakan
sentakan berulang tanpa didahului kekakuan, atau hanya sentakan atau kekakuan fokal.2,3,4,5
Sebagian besar kejang berlangsung kurang dari 6 menit dan kurang dari 8% yang
berlangsung lebih dari 15 menit. Sering kali kejang berhenti sendiri setelah mendapat
pertolongan pertama. Setelah kejang berhenti anak tampak capek, mengantuk, tertidur pulas,
dan tidak memberikan reaksi apapun untuk sejenak atau disebut periode mengantuk singkat
pasca kejang, tetapi setelah beberapa detik atau menit, anak terbangun dan sadar kembali
tanpa defisit neurologis. 2
Kejang demam yang berlangsung lebih lama dari 15 menit sering bersifat fokal
atau unilateral dan kadang-kadang diikuti oleh parese Tood (lumpuh sementara pasca
serangan kejang) yang berlangsung beberapa jam sampai beberapa hari. Kejang unilateral
yang lama dapat diikuti oleh hemiparesis yang menetap. Bangkitan kejang yang berlangsung
lama biasanya lebih sering terjadi pada kejang demam yang pertama.2
Terjadinya bangkitan kejang demam pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan dengan
kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat, yang disebabkan oleh infeksi di luar sistem saraf
pusat, misalnya karena Tonsillitis, Bronchitis atau Otitis Media Akut.
Serangan kejang biasanya terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu demam, berlangsung
singkat, dengan sifat bangkitan kejang berbentuk tonik, klonik, tonik-klonik, fokal atau
akinetik.
Umumnya kejang berhenti sendiri. Begitu kejang berhenti untuk sesaat anak tidak
memberikan reaksi apapun, tetapi setelah beberapa detik atau menit anak akan terbangun dan
sadar kembali tanpa ada kelainan neurologi.
Living Stone membagi kriteria kejang menjadi 2, yaitu:
1.Kejang Demam Sederhana / KDS
2.Epilepsi yang Diprovokasi oleh Demam
Epilepsi yang diprovokasi oleh demam ditegakkan apabila kejang tidak memenuhi salah satu
13
atau lebih kriteria KDS. Kejang pada Epilepsi adalah merupakan dasar kelainan, sedang
demam adalah faktor pencetus terjadinya serangan.
Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan dengan kenaikan
suhu badan yang tinggi dan cepat yang disebabkan oleh proses infeksi di luar susunan saraf
pusat. Serangan kejang biasanya terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu demam, berlangsung
singkat dan dengan sifat bangkitan dapat berbentuk tonik-klonik, tonik, klonik, fokal atau
akinetik. Umumnya kejang berhenti sendiri. Begitu kejang berhenti anak tidak memberi
reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah beberapa detik atau menit anak akan terbangun
dan sadar kembali tanpa ada-nya kelainan saraf.
2.7 DEFERENSIAL DIAGNOSA2,3,4,5
Menghadapi seorang anak yang menderita demam dengan kejang, harus dipertimbangkan
apakah penyebabnya dari luar atau dari dalam susunan saraf pusat. Kelainan di dalam otak
biasanya karena infeksi, seperti: Meningitis, Encephalitis, atau Abses otak.
Sesudahnya baru difikirkan kemungkinan KDS atau Epilepsi yang diprovokasi oleh demam.
2.8 PENEGAKAN DIAGNOSIS10
Penegakan diagnosa kejang demam dapat diperoleh melalui beberapa langkah yakni
anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang terdiri dari laboratorium dan
pencitraan jika diperlukan.
ANAMNESA
Dalam anamnesa khususnya pada penyakit anak dapat digali data-data yang berhubungan
dengan kejang demam meliputi:
a. Identitas
Identitas meliputi nama, umur, jenis kelamin, nama orang tua, alamat, umur penndidikan dan
pekerjaan orang tua, agama dan suku bangsa. Sebagaimana disebutkan sebelumnya,
epidemiologi kejang demam lebih banyak terjadi pada anak laki-laki pada usia 6 bulan
sampai dengan 5 tahun.
b. Riwayat Penyakit
Pada riwayat penyakit perlu ditanyakan keluhan utama dan riwayat perjalanan penyakit.
Keluhan utama adalah keluhan atau gejala yang menyebabkan pasien dibawa berobat. Pada
riwayat perjalanan penyakit disusun cerita yang kronologis, terinci dan jelas mengenai
14
keadaan kesehatan pasien sejak sebelum ada keluhan sampai anak dibawa berobat. Bila
pasien mendapat pengobatan sebelumnya, perlu ditanyakan kapan berobat, kepada siapa, obat
yang sudah diberikan, hasil dari pengobatan tersebut dan riwayat adanya reaksi alergi
terhadap obat. Pada kasus kejang demam, perlu digali informasi mengenai demam dan kejang
itu sendiri. Pada setiap keluhan demam perlu ditanyakan berapa lama demam berlangsung;
karakteristik demam apakah timbul mendadak, remitten, intermitten, kontinou, apakah
terutama saat malam hari, dsb. Hal lain yang menyertai demam juga perlu ditanyakan
misalnya menggigil, kejang, kesadaran menurun, merancau, mengigau, mencret, muntah, se-
sak nafas, adanya manifestasi perdarahan, dsb. Demam didapatkan pada penyakit infeksi dan
non infeksi. Dari anamnesa diharapkan kita bisa mengarahkan kecurigaan terhadap penyebab
demam itu sendiri. Pada anam-nesa kejang perlu digali informasi mengenai kapan kejang
terjadi; apakah didahului adanya demam, berapa jarak antara demam dengan onset kejang;
apakah kejang ini baru pertama kalinya atau sudah pernah sebelum-nya (bila sudah pernah
berapa kali (frekuensi per tahun), saat anak umur berapa mulai muncul kejang perta-ma);
apakah terjadi kejang ulangan dalam 24 jam, berapa lama waktu sekali kejang. Tipe kejang
harus ditanyakan secara teliti apakah kejang bersifat klonik, tonik, umum, atau fokal.
Ditanyakan pula lamanya serangan kejang, interval antara dua serangan, kesadaran pada saat
kejang dan setelah kejang. Gejala lain yang menyer-tai juga penting termasuk panas, muntah,
adanya kelumpuhan, penurunan kesadaran dan apakah ada kemunduran kepandaian anak.
Pada kejang demam juga perlu dibedakan apakah termasuk kejang demam sederhana atau
kejang suatu epilepsi yang dibangkitkan serangannya oleh demam (berdasarkan kriteria
Livingstone).
c. Riwayat Kehamilan Ibu
Perlu ditanyakan kesehatan ibu selama hamil, ada atau tidaknya penyakit, serta upaya apa
yang dilakukan un-tuk mengatasi penyakit. Riwayat mengkonsumsi obat-obatan tertentu,
merokok, minuman keras, konsumsi makanan ibu selama hamil.
d. Riwayat Persalinan
Perlu ditanyakan kapan tanggal lahir pasien, tempat kelahiran, siapa yang menolong, cara
persalinan, keadaan bayi setelah lahir, berat badan dan panjang badan bayi saat lahir dan hari-
hari pertama setelah lahir. Perlu juga di-tanyakan masa kehamilan apakah cukup bulan atau
kurang bulan atau lewat bulan. Dengan mengetahui infor-masi yang lengkap tentang keadaan
ibu saat hamil dan riwayat persalinan anak dapat disimpulkan beberapa hal penting termasuk
terdapatnya asfiksia, trauma lahir, infeksi intrapartum,dsb yang mungkin berhubungan
dengan riwayat penyakit sekarang, misalnya kejang demam.
15
e. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan
Perlu digali bagaimana status pertumbuhan anak yang dapat ditelaah dari kurva berat badan
terhadap umur dan panjang badan terhadap umur. Data ini dapat diperoleh dari KMS atau
kartu pemeriksaan kesehatan lainnya. Status perkembangan pasien perlu ditelaah secara rinci
untuk mengetahui ada tidaknya penyimpangan. Pada anak balita perlu ditanyakan
perkembangan motorik kasar, motorik halus, sosial-personal dan bahasa.
f. Riwayat Imunisasi
Apakah penderita mendapat imunisasi secara lengkap, rutin, sesuai jadwal yang diberikan.
Perlu juga ditanyakan adanya kejadian ikutan pasca imunisasi.
g. Riwayat Makanan
Makanan dinilai dari segi kualitas dan kuantitasnya.
h. Riwayat Penyakit Yang Pernah Diderita
Pada kejang demam perlu ditanyakan apakah sebelumnya pernah mengalami kejang dengan
atau tanpa demam, apakah pernah mengalami penyakit saraf sebelumnya.
i. Riwayat Keluarga
Biasanya didapatkan riwayat kejang demam pada keluarga lainnya (ayah, ibu, atau saudara
kandung), oleh sebab itu perlu ditanyakan riwayat familial penderita.
PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dibagi menjadi 2 yakni pemeriksaan umum dan pemeriksaan sistematis.
Penilaian keadaan umum pasien antara lain meliputi kesan keadaan sakit pasien (tampak sakit
ringan, sedang, atau berat); tanda-tanda vital pasien (kesadaran pasien, nadi, tekanan darah,
pernafasan dan suhu tubuh); status gizi pasien; serta data antropo-metrik (panjang badan,
berat badan, lingkar kepala, lingkar dada). Selanjutnya dilanjutkan dengan pemeriksaan
sistematik organ dari ujung rambut sampai ujung kuku untuk mengarahkan ke suatu
diagnosis. Pada pemeriksaan kasus kejang demam perlu diperiksa faktor faktor yang
berkaitan dengan terjadinya kejang dan demam itu sendiri. Demam merupakan salah satu
keluhan dan gejala yang paling sering terjadi pada anak dengan penyebab bisa infek-si
maupun non infeksi, namun paling sering disebabkan oleh infeksi. Pada pemeriksaan fisik,
pasien diukur suhunya baik aksila maupun rektal. Perlu dicari adanya sumber terjadinya
demam, apakah ada kecurigaan yang meng-arah pada infeksi baik virus, bakteri maupun
jamur; ada tidaknya fokus infeksi; atau adanya proses non infeksi seperti misalnya kelainan
darah yang biasanya ditandai dengan dengan pucat, panas, atau perdarahan. Pemeriksaaan
16
kejang sendiri lebih diarahkan untuk membedakan apakah kejang disebabkan oleh proses
ekstra atau intrakranial. Jika kita mendapatkan pasien dalam keadaan kejang, perlu diamati
teliti apakah kejang bersifat klonik, tonik, umum, atau fokal. Amati pula kesadaran pasien
pada saat dan setelah kejang. Perlu diperiksa keadaan pupil; adanya tanda-tanda lateralisasi;
rangsangan meningeal (kaku kuduk, Kernig sign, Brudzinski I, II); adanya paresis, paralisa;
adanya spastisitas; pemeriksaan reflek patologis dan fisiologis.
2.9 PEMERIKSAAN PENUNJANG2,10
Pemeriksaan penunjang terdiri dari:
a. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan rutin tidak dianjurkan, kecuali untuk mengevaluasi sumber infeksi/ mencari
penyebab (darah tepi, elektrolit dan gula darah).
b. Pemeriksaan Radiologi
Foto X-ray kepala dan neuropencitraan CT scan atau MRI tidak rutin dan hanya dikerjakan
atas indikasi.
c. Pemeriksaan Cairan SerebroSpinal (CSS)
Tindakan pungsi lumbal untuk pemeriksaan CSS dilakukan untuk menegakkan atau
menyingkirkan kemungkinan meningitis. Pada bayi kecil, klinis meningitis tidak jelas, maka
tindakan pungsi lumbal dikerjakan dengan ketentuan sebagai berikut:
- bayi < 12 bulan : diharuskan
- bayi antara 12-18 bulan : dianjurkan
- bayi >18 bulan : tidak rutin, kecuali bila ada tanda-tanda meningitis
Bila yakin bukan meningitis secara klinis tidak perlu lumbal pungsi.
d. Pemeriksaan ElektroEnsefaloGrafi (EEG)
Pemeriksaan EEG tidak dapat memprediksi berulangnya kejang atau memperkirakan
kemungkinan kejadian epilepsi pada pasien kejang demam, oleh sebab itu tidak
direkomendasikan, kecuali pada kejang demam yang tidak khas (misalnya pada kejang
demam komplikata pada anak usia >6 tahun atau kejang demam fokal).
2.10 KOMPLIKASI
17
Pada kejang yang berlangsung lama biasanya disertai terjadinya apnea, meningkatnya
kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet sedangkan otot pernafasan tidak
efisien sehingga tidak sempat bernafas yang akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnea,
hipoglikemia, laktat asidosis disebabkan metabolisme anaerob, hipotensi artenal disertai
denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh yang semakin meningkat oleh karena
meningkatnya aktivitas otot dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otot meningkat.
Faktor terpenting adalah gangguan peredaran darah mengakibatkan hipoksia sehingga
meninggikan permeabilitas kapiler dan timbul oedem otak yang mengakibatkan kerusakan sel
neuron. Terulangnya kejang demam lebih sering terjadi pada anak dengan ambang kejang
rendah. Kejang demam yang berlangsung singkat umumnya tidak berbahaya dan tidak
meninggalkan gejala sisa. Tetapi kejang demam yang berlangsung lama (>15 menit) biasanya
disertai dengan apneu, meningkatnya kebutuhan oksigen dan enrgi ontuk kontraksi otot skelet
yang mengakibatkan hipoksemia, hiperkapnea, dan asidosis laktat.
Hipotensi arterial disertai dengan aritmia jantung dan kenaikan suhu tubuh disebabkan
meningkatnya aktivitas berakibat meningkatnya metabolisme otak.
Rangkaian kejadian di atas adalah factor penyebab terjadinya kerusakan neuron otak pada
kejang yang lama.
2.11 PENATALAKSANAAN KEJANG 8,10,13
Menurut dr. Dwi P. Widodo, neurolog anak RSUPN Cipto Mangunkusumo
Jakarta, dalam seminar "Kejang Demam pada Anak" beberapa waktu lalu, tindakan awal
yang mesti dilakukan adalah menempatkan anak pada posisi miring dan hangat. Setelah air
menguap, demam akan turun. Tidak perlu memasukkan apa pun di antara gigi. Jangan
memasukkan sendok atau jari ke dalam mulut anak untuk mencegah lidahnya tergigit. Hal ini
tidak ada gunanya, justru berbahaya karena gigi dapat patah atau jari luka. Miringkan posisi
anak sehingga ia tidak tersedak air liurnya. Jangan mencoba menahan gerakan anak.
Turunkan demam dengan membuka baju dan menyeka anak dengan air sedikit.1
Ada 3 hal yang perlu dikerjakan pada penatalaksanaan kejang demam
yaitu:2,3,4,5,6,9,10
18
1. Pengobatan fase akut
2. Mencari dan mengobati penyebab
3. Pengobatan profilaksis terhadap berulangnya kejang demam
Pengobatan fase akut
Pada waktu kejang pasien dimiringkan untuk mencegah aspirasi ludah atau
muntahan dan diusahakan jalan nafas harus bebas agar oksigenisasi terjamin. Perhatikan
keadaan vital seperti kesadaran, tekanan darah, suhu, pernafasan, dan fungsi jantung. Suhu
tubuh yang tinggi diturunkan dengan kompres air hangat dan pemberian antipiretik.
Kejang demam terjadi akibat adanya demam, maka tujuan utama pengobatan
adalah mencegah terjadinya peningkatan demam oleh karena itu pemberian obat – obatan
antipiretik sanagt diperlukan. Obat – obat yang dapat digunakan sebagai antipiretik adalah
asetaminofen 10 - 15 mg/kgBB/hari setiap 4 – 6 jam atau ibuprofen 5 – 10 mg/kgBB/hari
setiap 4 – 6 jam.
Diazepam adalah obat yang paling cepat menghentikan kejang. Efek terapeutik
diazepam sangat cepat, yaitu antara 30 detik sampai 5 menit dan efek toksik yang serius
hampir tidak dijumpai apa bila diberikan secara perlahan dan dosis tidak melebihi 50 mg
persuntikan. Diazepam dapat diberikan secara intravena dan intrarectal. Dosis diazepam
intravena 0,3-0,5 mg/kgBB/kali dengan kecepatan 1-2 mg/menit dengan dosis maksimal 20
mg. Bila kejang berhenti sebelum diazepam habis, hentikan penyuntikan, tunggu sebentar dan
bila tidak timbul kejang lagi jarum dicabut.
Pemberian diazepam secara intravena pada anak yang kejang seringkali
menyulitkan, cara pemberian yang mudah, sederhana dan efektif melalui rektum telah
dibuktikan keampuhannya (Knudsen, 1979; Ismael dkk., 1981; Kaspari dkk., 1981).
Pemberian dilakukan pada anak/bayi dalam posisi miring/ menungging dan dengan rektiol
yang ujungnya diolesi vaselin, dimasukkaniah pipa saluran keluar rektiol ke rektum sedalam
3 - 5 cm. Kemudian rektiol dipijat hingga kosong betul dan selanjutnya untuk beberapa menit
lubang dubur ditutup dengan cara merapatkan kedua muskulus gluteus. Dosis diazepam
intrarectal yg dapat digunakan adalah 5 mg (BB<10 kg) atau 10 mg (BB>10 kg). Bila kejang
tidak berhenti dapat diulang selang 5 menit kemudian, bila tidak berhenti juga berikan
fenitoin dengan dosis awal 10-20 mg/kgBB secara intravena perlahan-lahan 1
mg/kgBB/menit. Setelah pemberian fenitoin, harus dilakukan pembilasan dengan NaCl
fisiologis karena fenitoin bersifat basa dan menyebabkan iritasi vena.
19
Bila kejang berhenti dengan diazepam, lanjutkan dengan fenobarbital yang
langsung diberikan setelah kejang berhenti. Dosis awal untuk bayi 1 bulan – 1 tahun 50 mg
dan 1 tahun keatas 75 mg secara intramuscular. Lalu 4 jam kemudian diberikan fenobarbital
dosis rumatan. Untuk 2 hari pertama diberikan dosis 8-10 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2
dosis, untuk hari-hari berikutnya dengan dosis 4-5 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis. Selama
keadaan belum membaik, obat diberikan secara suntikan dan setelah membaik peroral. Harus
diperhatikan bahwa dosis total tidak boleh melebihi 200 mg/hari karena efek sampingnya
adalah hipotensi, penurunan kesadaran, dan depresi pernafasan.
Mencari dan mengobati penyebab
Pemeriksaaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan
meningitis, terutama pada pasien kejang demam yang pertama. Walaupun demikian
kebanyakan dokter melakukan pungsi lumbal hanya pada kasus yang dicurigai sebagai
meningitis, misalnya bila ada gejala meningitis atau bila kejang demam berlangsung lama.2
Pengobatan profilaksis terhadap berulangnya kejang demam
Pengobatan ini dibagi atas 2 bagian, yaitu:2
1. Profilaksis intermiten
Untuk mencegah terulangnya kejang kembali dikemudian hari, penderita yang menderita
kejang demam sederhana diberikan diazepam secara oral untuk profilaksis intermiten dengan
dosis 0,3-0,5 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis saat pasien demam. Diazepam dapat juga
diberikan secara intrarectal tiap 8 jam sebanyak 5 mg (BB<10 kg) dan 10 mg (BB>10kg)
setiap pasien menunjukan suhu lebih dari 38,5C.
Profilaksis intermiten ini sebaiknya diberikan sampai kemungkinan anak untuk menderita
kejang demam sedarhana sangat kecil, yaitu sampai sekitar umur 4 tahun.
2. Profilaksis jangka panjang
Profilaksis jangka panjang berguna untuk menjamin terdapatnya dosis terapeutik yang stabil
dan cukup didalam darah penderita untuk mencegah terulangnya kejang demam berat
yang dapat menyebabkan kerusakan otak tetapi tidak dapat mencegah terjadinya epilepsi
dikemudian hari. Profilaksis terus-menerus setiap hari dengan fenobarbital 4-5 mg/ kgBB/hari
dibagi dalam 2 dosis. Obat lain yang dapat digunakan adalah asam valproat dengan dosis 15-40
mg/kgBB/hari. Antikonvulsan profilaksis terus menerus diberikan selama 1-2 tahun setelah
kejang terakhir dan dihentikan bertahap selama 1-2 bulan.
Profilaksis terus-menerus dapat dipertimbangkan bila ada 2 kriteria (termasuk poin 1 atau 2) yaitu:2
20
1. Sebelum kejang demam yang pertama sudah ada kelainan neurologis atau perkembangan
(misalnya serebral palsi atau mikrosefal, retardasi mental).
2. Kejang demam lebih lama dari 15 menit, fokal, atau diikuti kelainan neurologis sementara
atau menetap.
3. Ada riwayat kejang tanpa demam pada orang tua atau saudara kandung.
4. Bila kejang demam terjadi pada bayi berumur kurang dari 12 bulan atau terjadi kejang
multipel dalam satu episode demam.
Bila hanya memenuhi satu kriteria saja dan ingin memberikan pengobatan jangka
panjang, maka berikan profilaksis intermiten yaitu pada waktu anak demam dengan diazepam oral
alau rektal tiap 8 jam di samping antipiretik
Dalam penanganan kejang demam, orang tua harus mengupayakan diri setenang mungkin
dalam mengobservasi anak. Beberapa hal yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut :8,9,10
Anak harus dibaringkan di tempat yang datar dengan posisi menyamping, bukan
terlentang, untuk menghindari bahaya tersedak.
Jangan meletakkan benda apapun dalam mulut si anak seperti sendok atau penggaris,
karena justru benda tersebut dapat menyumbat jalan napas.
Jangan memegangi anak untuk melawan kejang.
Sebagian besar kejang berlangsung singkat dan tidak memerlukan penanganan
khusus.
Jika kejang terus berlanjut selama 10 menit, anak harus segera dibawa ke fasilitas
kesehatan terdekat. Sumber lain menganjurkan anak untuk dibawa ke fasilitas
kesehatan jika kejang masih berlanjut setelah 5 menit. Ada pula sumber yang
menyatakan bahwa penanganan lebih baik dilakukan secepat mungkin tanpa
menyatakan batasan menit.
Setelah kejang berakhir (jika < 10 menit), anak perlu dibawa menemui dokter untuk
meneliti sumber demam, terutama jika ada kekakuan leher, muntah-muntah yang
berat, atau anak terus tampak lemas.
Jika anak dibawa ke fasilitas kesehatan, penanganan yang akan dilakukan selain poin-poin di
atas adalah sebagai berikut :8,9,10
Memastikan jalan napas anak tidak tersumbat
Pemberian oksigen melalui face mask
21
Pemberian diazepam 0,5 mg/kg berat badan per rektal (melalui anus) atau jika telah
terpasang selang infus 0,2 mg/kg per infus
Pengawasan tanda-tanda depresi pernapasan
Sebagian sumber menganjurkan pemeriksaan kadar gula darah untuk meneliti
kemungkinan hipoglikemia. Namun sumber lain hanya menganjurkan pemeriksaan ini
pada anak yang mengalami kejang cukup lama atau keadaan pasca kejang
(mengantuk, lemas) yang berkelanjutan.
Imunisasi dan kejang demam 8
Walaupun imunisasi dapat menimbulkan demam, namun imunisasi jarang diikuti kejang
demam. Suatu penelitian yang dilakukan memperlihatkan risiko kejang demam pada
beberapa jenis imunisasi sebagai berikut:
· DTP : 6-9 per 100.000 imunisasi. Risiko ini tinggi pada hari imunisasi, dan menurun
setelahnya.
· MMR : 25-34 per 100.000 imunisasi. Risiko meningkat pada hari 8-14 setelah imunisasi.
Kejang demam pasca imunisasi tidak memiliki kecenderungan berulang yang lebih besar
daripada kejang demam pada umumnya. Dan kejang demam pasca imunisasi kemungkinan
besar tidak akan berulang pada imunisasi berikutnya. Jadi kejang demam bukan merupakan
kontra indikasi imunisasi.
2.12 PENANGGULANGAN 8,10
Dalam penanggulangan KDS ada 4 faktor yang harus dikerjakan, yaitu :
A.Memberantas kejang secepat mungkin.
B.Pengobatan penunjang.
C.Memberikan obat maintenance.
D.Mencari dan mengobati faktor penyebab/causatif.
A. Memberantas kejang secepat mungkin
1.Apabila penderita datang dalam keadaan kejang, segera diberikan Diazepam injeksi
intravena secara perlahan dengan dosis tidak melebihi 50 mg persuntikan.
Dosis sebaiknya diberikan berdasarkan berat badan :
BB < 10 kg : 0,5-0,75 mg/kgBB
BB 10-20 kg : 0,5 kg/BB
22
BB > 20 kg : 0,3 kg/BB
Dosis rata-rata biasanya adalah 0,3 kg/BB per pemberian.
Setelah suntikan pertama, ditunggu 15 menit, bila masih terdapat kejang diulangi suntikan
intravena kedua dengan dosis yang sama. Apabila 15 menit setelah suntikan kedua masih
terdapat kejang, diberikan suntikan ketiga dengan dosis yang sama tetapi dengan cara
intramuskular.
Bila kejang tetap tidak berhenti setelah ditunggu 15 menit, maka diberikan Fenobarbital atau
Paraldehid secara intravena.
Perlu diperhatikan efek samping dari Diazepam, yaitu : mengantuk, hipotensi dan menekan
pusat pernafasan.
Efek samping hipotensi dan penekanan pusat pernafasan terutama terjadi, apabila anak
sebelumnya sudah mendapat Fenobarbital.
2.Pemberian Diazepam secara intravena pada anak yang kejang sering kali menyulitkan. Cara
yang mudah dan sederhana yaitu melalui rectum dengan dosis :
BB < 10 Kg : 5 mg
BB > 10 Kg : 10 mg
Bila kejang tidak berhenti dengan dosis pertama dapat diberikan lagi setelah ditunggu 15
menit dengan dosis yang sama. Dan bila kejang tetap tidak berhenti setelah ditunggu 15
menit maka diberikan Diazepam intravena dengan dosis 0,3 mg/Kg BB.
3.Apabila Diazepam tidak tersedia, dapat diberikan Fenobarbital secara intramuskular dengan
dosis awal :
Neonatus : 30 mg/kali
1 s/d 12 bulan : 50 mg/kali
> 12 bulan : 75 mg/kali.
Bila kejang tidak berhenti setelah ditunggu 15 menit, suntikan Fenobarbital dapat diulang
dengan dosis :
Neonatus : 15 mg/kali
1 s/d 12 bulan : 30 mg/kali
> 12 bulan : 50 mg/kali.
Pemberian Fenobarbital akan memberikan hasil lebih baik bila diberikan dengan cara
intravena dengan dosis 5 mg/Kg BB, dan kecepatan 30 mg/menit.
23
4.Difenil hidantoin deberikan untuk menanggulangi status konvulsi tanpa mengganggu
kesadaran dan menekan pusat pernafasan, tetapi mengganggu frekwensi dan ritme jantung.
Dosis yang dianjurkan adalah : 18 mg/KgBB dalam infus, dengan kecepatan 50 mg/menit.
5.Bila kejang tidak bisa dihentikan dengan obat-obatan di atas maka sebaiknya penderita
dirawat di ruang ICU untuk diberi anestesi umum dengan theophental.
B.Pengobatan penunjang
Penderita sebaiknya dibebaskan dari semua pakaian, posisi kepala miring yaitu untuk
menghindari aspirasi. Jika diperlukan dapat dipasang intubasi bahkan trachectomi.
Penghisapan lendir dilakukan secara teratur, juga diberikan oksigenasi yang memadai.
Cairan intravena diberikan dengan monitor kelainan metabolik dan elektrolit.
Bila ada kenaikan tekanan intrakranial jangan diberikan Natrium dengan kadar yang tinggi.
Bila suhu masih tinggi diberikan kompres es atau alkohol.
Obat untuk hibernasi adalah Klorpromazin 2-4 mg/KgBB/hari, dibagi dalam 3 dosis, atau
Prometasin 4-6mg/Kg BB/hari dibagi dalam 3 dosis.
Untuk mencegah udem otak diberikan kortikosteroid, misal: Kortison 20-30 mg/Kg BB
dibagi dalam 3 dosis, atau Dexamethason 1 ampul setiap jam.
Awasi secara ketat fungsi vital seperti: kesadaran, suhu, tekanan darah, pernafasan dan fungsi
jantung.
C.Memberikan obat maintenance
Setelah kejang dapat diatasi, tindakan selanjutnya adalah dengan pengobatan maintenance
yaitu pemberian antiepileptik dengan daya kerja lama, seperti Fenobarbital atau Difenyl
hidantoin.
Dosis Fenobarbital:
dosis awal (hari 1 dan 2) : 8-10 mg/kgBB/hari terbagi dalam 2 dosis
hari berikutnya : 4-5 mg/kgBB/hari terbagi dalam 2 dosis.
Selama keadaan belum memungkinkan, antikonvulsi dapat diberikan secara suntikan.
Pengobatan maintenance merupakan upaya profilaksis, yang terbagi dalam :
1.Profilaksis Maintenance
Tujuannya adalah untuk mencegah berulangnya kejang dikemudian hari.
24
Bila demam, kepada penderita diberikan formula antikonvulsi dan antipiretik.
Pada awalnya pemberian antikonvulsan dan antipiretik dianggap kurang tepat, karena
biasanya kejang pada KDS muncul dalam 16 pertama setelah anak demam, tetapi kenyataan
membuktikan bahwa pemberian Fenobarbital dapat mencegah kejang.
Pemberian profilaksis maintenance sebaiknya sampai anak berumur 4 tahun, di mana
kemungkinan anak menderita KDS sangat kecil.
2.Profilaksis Jangka Panjang
Profilaksis jangka panjang ditujukan untuk menjamin terdapatnya dosis terapeutik di dalam
darah stabil dan cukup, guna mencegah berulangnya kejang di kemudian hari.
Diberikan pada keadaan :
a.Epilepsi yang diprofokasi demam
b.Semua KDS dengan ciri sbb:
terdapat gangguan perkembangan syaraf seperti: cerebral palsy, retardasi perkembangan dan
mikrosefali
bila kejang berlangsung lebih dari 15 menit, bersifat fokal atau terdapat kelainan syaraf yang
bersifat sementara atau menetap
bila terdapat riwayat kejang tanpa demam yang bersifat genetik pada orang tua atau saudara
kandung
pada kasus tertentu yang dianggap perlu, yaitu bila kadang-kadang terdapat kejang berulang
atau kejang demam pada bayi di bawah 12 bulan.
Obat yang diberikan berupa :
a.Fenobarbital
Dosis 4-5 mg/kgBB/hari.
Efek samping pemakaian jangka panjang : hiperaktif, perubahan siklus tidur, gangguan
kognitif, dan gangguan fungsi luhur.
b.Asam Valproat (Epilim, Depkene)
Dapat menurunkan resiko terulangnya kejang dengan memuaskan bahkan lebih baik
dibanding dengan Fenobarbital.
Dosis : 20-30 mg/kgBB/hari dalam 3 dosis.
Efek samping : mual, hepatotoxis dan pancreatitis.
c.Fenitoin (Dilantin)
Diberikan kepada anak yang sebelumnya sudah menunjukkan hiperaktif.
25
Antikonvulsan pada profilaksis jangka panjang ini diberikan sekurang-kurangnya selama 3
tahun. Penghentian pengobatan harus dilakukan dengan cara tapering off, dalam waktu 3-6
bulan guna menghindari rebound fenomena.
D.Mencari dan mengobati faktor penyebab/causatif.
Penyebab dari kejang demam baik KDS maupun Epilepsi yang diprovokasi demam biasanya
adalah infeksi pada traktus respiratorius bagian atas dan otitis media akut.
Pemberian antibiotik yang tepat dan adequat akan sangat berguna untuk menurunkan demam,
yang pada gilirannya akan menurunkan resiko terjadinya kejang.
Secara akademis, anak yang datang dengan kejang demam pertama kali sebaiknya dikerjakan
pemeriksaan punksi lumbal. Hal ini perlu untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi di otak
maupun meningitis.
Selanjutnya apabila menghadapi anak dengan kejang yang berlangsung lama diperlukan
pemeriksaan :
Punksi lumbal, darah lengkap, glukosa, elektrolit: K,Mg,Ca,Na Nitrogen darah dan fungsi
hati.Pemeriksaan foto kranium, EEG, Brain Scan, Computerized Tomografi, Pneumo
Encephalografi, dan Arteriografi.
2.13 PROGNOSIS 2,3,4,5,6
Dengan penangulangan yang tepat dan cepat, prognosis kejang demam baik dan tidak perlu
menyebabkan kematian. Dari penelitian yang ada, frekuensi terulangnya kejang berkisar
antara 25% - 50%, yang umumnya terjadi pada 6 bulan pertama. Apabila melihat pada umur,
jenis kelamin, dan riwayat keluarga, Lennox-Buchthal (1973) mendapatkan:
Pada anak berumur kurang dari 13 tahun, terulangnya kejang pada wanita 50% dan
pria 33%.
Pada anak berumur antara 14 bulan dan 3 tahun dengan riwayat keluarga
adanya kejang, terulangnya kejang adalah 50%, sedang pada tanpa riwayat kejang 25%.
Angka kejadian epilepsi berbeda-beda, tergantung dari cara penelitian, misalnya
Lumbantobing (1975) pada penelitiannya mendapatkan 6%, sedangkan Living-ston (1954)
mendapatkan dari golongan kejang demam sederhana hanya 2,9% yang menjadi epilepsi dan
dari golongan epilepsi yang diprovokasi oleh demam temyata 97% yang menjadi epilepsi.2
Risiko yang akan dihadapi oleh seorang anak sesudah menderita kejang demam tergantung
dari faktor:2
26
1. Riwayat penyakit kejang tanpa demam dalam keluarga.
2. Kelainan dalam perkembangan atau kelainan saraf sebelum anak menderita kejang
demam.
3. Kejang yang berlangsung lama atau kejang fokal.
Bila terdapat paling sedikit 2 dari 3 faktor tersebut di atas, maka dikemudian hari akan
mengalami serangan kejang tanpa demam sekitar 13%, dibanding bila hanya terdapat 1 atau
tidak sama sekali faktor tersebut di atas, serangan kejang tanpa demam hanya 2% - 3% saja
("Consensus Statement on Febrile Seizures, 1981") Pada penelitian yang dilakukan oleh The
National Collaboratlve Perinatal Project di Amerika Serikat , dalam hal mana 1.706 anak
pasca kejang demam diikuti perkembangannya sampai usia 7 tahun, tidak didapatkan
kematian sebagai akibat kejang demam. Anak dengan kejang demam ini lalu
dibandingkan dengan saudara kandungnya yang normal, terhadap tes iQ dengan
menggunakan WISC. Angka rata-rata untuk iQ total ialah 93 pada anak yang pernah
mendapat kejang demam. Skor ini tidak berbeda bermakna dari saudara kandungnya
(kontrol). Anak yang .sebelum terjadinya kejang demam sudah abnormal atau dicurigai
menunjukkan gejala yang abnormal, rnempunyai skor yang lebih rendah daripada saudara
kandungnya. Hasil yang diperoleh the National Collaborative Perinatal Project ini hampir
serupa dengan yang didapatkan di Inggris oleh The National Child Development-Study*
Didapatkan bahwa anak yang pernah mengaiami KD kinerjanya tidak berbeda dengan
populasi umum waktu di tes pada usia 7 dan 11 tahun.2,3,4,5,6
Pada penelitian Ellenberg dan Nelson mendapatkan tidak ada perbedaan IQ waktu
diperiksa pada usia 7 tahun antara anak dengan KD dan kembarannya yang tanpa kejang
demam.4
1.Kematian
Dengan penanganan kejang yang cepat dan tepat, prognosa biasanya baik, tidak sampai
terjadi kematian.
Dalam penelitian ditemukan angka kematian KDS 0,46 % s/d 0,74 %.
2.Terulangnya Kejang
Kemungkinan terjadinya ulangan kejang kurang lebih 25 s/d 50 % pada 6 bulan pertama dari
serangan pertama.
3.Epilepsi
Angka kejadian Epilepsi ditemukan 2,9 % dari KDS dan 97 % dari Epilepsi yang diprovokasi
27
oleh demam.
Resiko menjadi Epilepsi yang akan dihadapi oleh seorang anak sesudah menderita KDS
tergantung kepada faktor :
a.riwayat penyakit kejang tanpa demam dalam keluarga
b.kelainan dalam perkembangan atau kelainan sebelum anak menderita KDS
c.kejang berlangsung lama atau kejang fokal.
Bila terdapat paling sedikit 2 dari 3 faktor di atas, maka kemungkinan mengalami serangan
kejang tanpa demam adalah 13 %, dibanding bila hanya didapat satu atau tidak sama sekali
faktor di atas.
4.Hemiparesis
Biasanya terjadi pada penderita yang mengalami kejang lama (berlangsung lebih dari
setengah jam) baik kejang yang bersifat umum maupun kejang fokal.
Kejang fokal yang terjadi sesuai dengan kelumpuhannya. Mula-mula kelumpuhan bersifat
flacid, sesudah 2 minggu timbul keadaan spastisitas.
Diperkirakan + 0,2 % KDS mengalami hemiparese sesudah kejang lama.
5.Retardasi Mental
Ditemuan dari 431 penderita dengan KDS tidak mengalami kelainan IQ, sedang kejang
demam pada anak yang sebelumnya mengalami gangguan perkembangan atau kelainan
neurologik ditemukan IQ yang lebih rendah.
Apabila kejang demam diikuti dengan terulangnya kejang tanpa demam, kemungkinan
menjadi retardasi mental adalah 5x lebih besar.
Apabila tidak diterapi dengan baik, kejang demam dapat berkembang menjadi:
1. Kejang demam berulang
Kejang demam akan terjadi kembali pada sebagian kasus. Faktor resiko terjadinya kejang
demam berulang adalah:
- Riwayat kejang demam dalam keluarga
- Usia kurang dari 15 bulan
- Temperatur yang rendah saat kejang
- Cepatnya kejang saat demam
Bila seluruh faktor di atas ada, kemungkinan berulang 80% sedangkan bila tidak terdapat
faktor tersebut hanya 10%-15% kemungkinan berulang. Kemungkinan berulang adalah pada
tahun pertama.
28
2. Epilepsi
Faktor resiko lain adalah terjadinya epilepsi di kemudian hari. Faktor resiko menjadi epilepsi
adalah:
- Kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang demam pertama
- Kejang demam kompleks
- Riwayat epilepsi pada orang tua atau saudara kandung
Masing-masing faktor resiko meningkatkan kemungkinan kejadian epilepsi sampai 4-6%.
Kombinasi dari faktor resiko tersebut meningkatkan kemungkinan epilepsi 10-49%.
Kemungkinan menjadi epilepsi tidak dapat dicegah dengan pemberian obat rumat pada
kejang demam.
3. Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan.
Kematian karena kejang demam tidak pernah dilaporkan.7,10,13
2.14 PEMBERIAN OBAT RUMAT10,13
Pengobatan rumatan hanya diberikan bila kejang demam menunjukkan ciri sebagai berikut
(salah satu):
- Kejang >15 menit
- Adanya kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang misalnya hemiparesis,
cerebral palsy, retardasi mental dan hidrosephalus.
- Kejang fokal
- Pengobatan rumat dipertimbangkan apabila;
o Kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam
o Kejang demam terjadi pada bayi kurang 12 bulan
o Kejang demam ≥ 4 kali per tahun
Sebagian besar peneliti setuju bahwa kejang selama 15 menit merupakan indikasi pengobatan
rumat. Kelainan neurologis tidak nyata misalnya keterlambatan perkembangan ringan bukan
merupakan indikasi. Kejang fokal atau fokal menjadi umum menunjukkan bahwa anak
mempunyai fokus organik. Terapi rumat kejang demam dibedakan menjadi pencegahan
berkala (intermitten) dan pencegahan kontinu. Pencegahan berkala diperuntukkan bagi kejang
demam sederhana, diberikan pada saat anak menderita penyakit yang disertai demam, berupa
DzP 0,3 mg/KgBB/ dosis per oral dan antipiretika. Pencegahan kontinu diperuntukkan bagi
kejang demam komplek, berupa asam valproat 15-40 mg/KgBB/hari per oral dibagi menjadi
29
2-3 dosis. Pengobatan rumat kejang demam diberikan sampai 1 th bebas kejang, kemudian
dihentikan secara bertahap selama 1-2 bln.
2.15 EDUKASI PADA ORANG TUA 10
Kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orang tua. Pada saat kejang
sebagian besar orang tua beranggapan bahwa anaknya telah meninggal. Kecemasan ini harus
dikurangi dengan cara:
1. Meyakinkan bahwa kejang demam umumnya ”benign”
2. Memberikan cara penanganan kejang
3. Memberikan informasi kemungkinan kejang kembali
4. Terapi memang efektif mencegah rekurensi tetapi memiliki efek samping
5. Tidak ada bukti bahwa terapi akan mengurangi kejadian epilepsi
Beberapa hal yang harus dikerjakan orang tua di rumah bila anak kembali kejang:
1. Tetap tenang dan tidak panik
2. Kendorkan pakaian yang ketat terutama di sekitar leher
3. Bila tidak sadar, posisikan anak telentang dengan kepala miring. Bersihkan muntahan atau
lendir di mulut atau hidung. Walaupun kemungkinan lidah tergigit jangan memasukkan
sesuatu ke dalam mulut
4. Ukur suhu, observasi dan catat lama dan bentuk kejang
5. Tetap bersama pasien selama kejang
6. Berikan DzP rektal selama kejang. dan jangan diberikan jika kejang telah berhenti
7. Bawa ke dokter atau rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau lebih.
BAB III
KESIMPULAN
30
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rectal
di atas 38 °C) yang disebabkan oleh proses ekstrakranium. Nilai ambang kejang antara suhu
38,8-41,4°C. Biasanya terjadi pada anak beru sia 6 bulan sampai dengan 5 tahun. Kejang
demam memiliki 2 bentuk yakni kejang demam kejang demam sederhana dan kejang demam
komplek dengan criteria masing-masing menurut Livingstone. 80% dari kasus kejang demam
merupakan kejang demam sederhana sedangkan 20% kasus adalah kejang demam komplek.
Penegakan diagnosa kejang demam berdasarkan pada anamnesa dan pemeriksaan fisik,
pemeriksaan penunjang tidak rutin dilakukan kecuali atas indikasi. Beberapa kasus kejang
demam memerlukan terapi rumat atas indikasi tertentu, benar dan memadai pada orang tua
mengenai kejang dan apa yang bisa dilakukan di rumah jika menjumpai anak kejang sebelum
dibawa ke rumah sakit.
DAFTAR PUSTAKA
31
1. Tumbelaka,Alan R,Trihono, Partini P.,Kurniati,Nia,Putro Widodo,Dwi. Penanganan Demam
Pada Anak Secara Profesional: Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak
XLVII.Cetakan pertama,FKUI-RSCM.Jakara,2005
2. Lumbantobing,S.M:Kejang Demam.Balai Penerbit FKUI,Jakarta,2007
3. Asril Aminulah, Prof Bambang Madiyono. Hot Topik In Pediateric II : Kejang Pada Anak.
Cetakan ke2. Balai Penerbit FKUI. Jakarta 2002.
4. Behrman, Richard E., Robert M. Kliegman., Hal B. Jenson. Nelson Ilmu Kesehatan Anak :
Kejang Demam. 18 edition. EGC, Jakarta 2007.
5. Fleisher, Gary R, M.D., Stephen Ludwig, M.G. Text Book Of Pediatric Emergency
Medicine : Seizures. Williams & Wilkins Baltimore. London
6. Mansjoer, Arif., Suprohaita, Wahyu Ika Wardhani, Wiwiek Setyowulan. Kapita Selekta
Kedokteran : kejang Demam. Edisi ke3 Jilid 2. Media Aesculapius Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta 2000.
7. Kejang Demam,Guideline. 2007.http://www.sehatgroup.web.id/artikel/1089.asp?
FNM=1089 9 .
8. Acute Management of Infants and Children with Seizures. December 2004.
http://www.health.nsw.gov.au/fcsd/rmc/cib/circulars/2004/cir2004-66.pdf
9. Prodigy Guidance - Febrile convulsion. April
2005. http://www.prodigy.nhs.uk/guidance.asp?gt=Febrile%20convulsion
10. http://referensiartikelkedokteran.blogspot.com/2011/04/kejang-demam.html
11. Ngastiyah, 1997, Perawatan Anak Sakit, EGC, Jakarta
12. Ilmu Kesehatan Anak, Jilid 2, hal 847. Cetakan ke 9. 2000 bagian Ilmu Kesehatan Anak
FKUI
13. http://www.dokterz.co.cc/2010/07/kejang-demam-febrile-seizure.html
32