Upload
ikkirosiki
View
28
Download
8
Embed Size (px)
Citation preview
PENYERBUKAN SILANG KEBUDAYAANDALAM ARSITEKTUR PERKOTAAN PONTIANAK
SEBAGAI WUJUD WARISAN DAN PEWARISAN BUDAYA
ditulis oleh
ROOSSANDRA DIAN VIEJAYA ALQADRIE, ST., M.Sc.
KONGRES KEBUDAYAAN INDONESIA (KKI) 2013KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
REPUBLIK INDONESIAYOGYAKARTA
2013
PENYERBUKAN SILANG KEBUDAYAAN DALAM ARSITEKTUR PERKOTAANPONTIANAK SEBAGAI WUJUD WARISAN DAN PEWARISAN BUDAYA
Abstrak
Roossandra Dian Viejaya Alqadrie, ST., M.Sc.Email: [email protected]
Makalah ini berisi tentang Warisan dan Pewarisan Budaya dalam Arsitektur Perkotaan yang dimaknai
melalui proses penyerapan (absorption) dan pengaplikasian (application) nilai-nilai dari dinamika
budaya masyarakat. Karya arsitektur perkotaan bukan hanya merupakan warisan dari satu budaya
masa lalu tertentu, tetapi juga merupakan pewarisan dari dinamika budaya. Artinya, bagaimana suatu
karya arsitektur diperoleh melalui proses penyerbukan silang suatu budaya lokal terhadap peradaban
global yang mau tidak mau harus saling bersentuhan. Dengan demikian, proses penyerapan dan
pengaplikasian (inheritance) selama penyerbukan silang justru memperkuat nilai-nilai lokal yang
membawa kepada arah perbaikan hidup dan kematangan budaya itu sendiri untuk digenerasikan secara
terus menerus menjadi warisan anak bangsa.
Kota Pontianak didirikan pada tahun 1771, ketika peradaban Melayu di Asia Tenggara mengalami
kemunduran akibat ekspansi bangsa Eropa yang melemahkan hubungan antardinasti kesultanan
Melayu dan pusat perdagangan di pulau Sumatera Bagian Timur, Selatan dan Utara; Kalimantan
bagian Selatan, Timur dan Barat; serta Sulawesi bagian Selatan. Hal itu menjadi pendorong pendiri
kota ini, sekaligus pewaris budaya setempat untuk menghidupkan kembali peradaban Melayu baru di
bagian hilir KalBar atau pintu masuk daerah perhuluan yang sedang mengalami penetrasi Islam.
Pendiri kota Pontianak merancang konsep tiga ruang dan empat pilar alam berinti satu. Konsep ini
diwarisi melalui nilai-nilai budaya masyarakat setempat, Melayu dan Dayak, yang hidup secara selaras
seperti dua sisi mata uang. Nilai masyarakat heterogen dipandang penting bagi masyarakat Melayu
KalBar. Nilai keberagaman sumber alam hayati adalah nilai utama masyarakat Dayak. Kedua nilai
budaya ini telah mengalami penyerbukan dari kepercayaan nenek moyang kepada peradaban Hindu-
Budha, yang dikenal dengan ruang atas, tengah dan bawah. Pendiri kota Pontianak mengutamakan dua
kekuatan penting ini dalam sistem tata ruang kota, yaitu potensi masyarakat heterogen dan
keberagaman alam. Dua potensi ini diserap dan diaplikasikan dalam bentuk tiga ruang kota untuk
skala makro-messo-mikro, yaitu ruang Hilir-Tengah-Hulu yang mengatur harmonisasi keberagaman
alam-hayati, serta ruang Laot/Ayah-Darat/Anak-Rimba/Ibu yang mengatur keselarasan masyarakat
plural. Selanjutnya, konsep empat pilar alam berinti satu diserap dari konsep Madani (Islam) dan
diaplikasikan berupa ruang-ruang lapisan alam yang memayungi keharmonisan dan keselarasan antara
potensi alam dan masyarakat yang beragam dalam satu kesatuan ruang (pilar alam).
Kata Kunci: arsitektur perkotaan, pewarisan budaya, dinamika budaya, absorpsi-aplikasibudaya, tiga ruang-pilar alam
Daftar Isi
Absrak .................................................................................................................. 1
Daftar Isi ............................................................................................................... 2
Daftar Gambar ..................................................................................................... 3
A. Dinamika Tiga Kekuatan Pembentuk Embrio Kota Pontianak.............................. 4
1. Dinamika Kekuatan Hubungan Antar Dinasti ................................................. 4
2. Dinamika Kekuatan Kegiatan Perdagangan……………….............................. 6
3. Dunamika Kekuatan Peradaban Melayu.............................................................. 8
B. Dinamika Budaya dan Arsitektur Perkotaan Melayu ……........................................... 9
1. Dinamika Budaya Melayu ...................................................................................... 10
2. Arsitektur Perkotaan Melayu……........................................................................... 11
C. Warisan Budaya dan Potensi Lokal.................................................................... 12
1. Warisan Budaya dalam Dinamika Arsitektur Perkotaan………………........... 12
2. Potensi Lokal dalam Dinamika Melayu Kalimantan Barat....................................
3. Kaidah Ruang bagi Potensi Lokal ……………………………………………….
13
14
D.Hasil Penyerbukan Silang antar Keberagaman Budaya dalam Pembangunan Kota
Pontianak………………………….. ...........................................................................
E. Pewarisan Konsep Tiga Ruang dan Sistem Pilar Alam ……………………………...
17
26
1. Strategi Budaya dan Religi ................................................................................... 26
2. Strategi Manajemen Konflik Ruang dengan Prinsip Multikultural ...................... 28
3. Strategi Manajemen Sumber Daya Air ................................................................. 30
Catatan Kaki …………………………………………………………………………… 37
Daftar Pustaka ..................................................................................................... 39
Daftar Gambar
Gambar 1. Pola Tata Ruang Kota Kesultanan Melayu ................................................... 11
Gambar 2. Kaidah Ruang Semesta........................................................................ 15
Gambar 3. Kaidah Ruang Vertikal.............................................................................. 16
Gambar 4. Kaidah Ruang Horisontal.....................................................................
Gambar 5. Kaidah Tiga Ruang ……………………………………………………….
17
17
Gambar 6. Skema Proses Pembangunan Negeri Hijau di Tiga Cabang Sungai dan
Tiga Pulau/Telok ......................................................................................... 19
Gambar 7. Skema Jalur Pelayaran Hulu-Tengah-Hilir ………........................................ 21
Gambar 8. Skema Potensi Masyarakat Plural dari Kaidah Laot/Ayah-Darat/Anak-
Rimba/ibu .................................................................................................... 22
Gambar 9. Kaidah Keselarasan Peranan Potensi Alam yang Harmonis dan Potensi
Masyarakat yang Selaras ............................................................................. 24
Gambar 10. Konsep Sistem Pilar Alam (Konsep Tiga Ruang dan Empat Pilar Alam
Berinti Satu) ................................................................................................ 25
Gambar 11. Aplikasi Sistem Pilar Alam ..........................................................................
Gambar 12. Strategi Ekonomi dan Politik Maritim Ruang Makro-Messo………...........
Gambar 13. Strategi Ekonomi dan Politik Maritim Ruang Messo-Mikro………............
Gambar 14. Garis Imajiner Hilir-Tengah-Hulu ................................................................
Gambar 15.Garis Imajiner Ayah-Anak-Ibu/Laot-Darat-Rimba .......................................
Gambar 16. Strategi Manajemen Konflik Skala Makro ...................................................
Gambar 17. Strategi Manajemen Konflik Skala Messo ...................................................
Gambar 18. Strategi Manajemen Konflik Skala Mikro ....................................................
Gambar 19. Penanda Keberadaan Kawasan (Landmark of Area Existential) …………...
Gambar 20. Penghubung Pusat Kota Ruang Makro-Messo-Mikro ..................................
Gambar 21. Strategi Manajemen Sumber Air Pembentuk Citra Arsitektur Perkotaan
Kalimantan ...................................................................................................
Gambar 22. Strategi Pewarisan Sumber Daya Air Sebagai Arah Orientasi.......................
Gambar 23. Pengatur dan Pembatas Ruang ......................................................................
25
27
28
29
29
30
31
32
32
33
34
35
36
A. Dinamika Tiga Kekuatan Pembentuk Embrio Kota Pontianak
Kota Pontianak merupakan ibukota provinsi Kalimantan Barat dari negara Indonesia yang
dilintasi oleh garis khatulistiwa pada posisi geografis 0˚ 02’ 24” LU sampai 0˚ 05’ 37’’ LS dan 109˚
16’ 25” BT sampai 109˚ 23’ 04” BT (BPS, 2012). Provinsi ini berbatasan dengan pulau Sumatera
bagian Timur dan selat Karimata di bagian Barat, Negeri Serawak (Malaysia) dan Laut Cina Selatan di
bagian Utara, provinsi Kalimantan Selatan dan Laut Jawa di bagian Selatan, serta provinsi Kalimantan
Tengah dan Kalimantan Timur di bagian Timur. Posisinya yang strategis mendorong pendiri kota
Pontianak untuk mengembangkan pusat pemerintahan, perdagangan dan kebudayaan Melayu di
kawasan ini.
Berdasarkan latar belakang sejarah, Pontianak didirikan pada tanggal 23 Oktober 1771 oleh
Sultan Syarif Abdurrahman AL-Qadrie bergelar Pangeran Nur Alam bin Habieb Husein AL-Qadrie
bin Achmad Jamalullaili. Ia dapat dikatakan pula sebagai kerajaan termuda yang berdiri di dunia
(Alqadrie, 2013). Pada masa itu, pusat-pusat Kesultanan Melayu di Nusantara, khususnya di pulau
Sumatera bagian Timur, Kalimantan bagian Utara, Timur dan Selatan, serta Jawa bagian Tengah dan
Barat telah mengalami perpecahan antar dinasti dan kemerosotan hegemonitas yang disebabkan oleh
ekspansi Bangsa Eropa, Inggris dan Belanda.
Ketegangan dan kehimpitan yang dirasakan baik oleh masyarakat biasa maupun kaum ulama,
cerdik-pandai dan kerabat-kerabat Kesultanan dari berbagai wilayah Indo-Melayu (Asia Tenggara)
menggerakan semangat Pangeran Nur Alam untuk mempelopori dan memimpin mereka mencari
permukiman baru (Hasanuddin dkk., 2000). Dengan demikian, embrio kota Pontianak dihidupkan
sebagai kekuatan baru yang berperan sebagai penyaing dan pemblokade jalur-jalur perairan yang telah
jatuh ke tangan Imperialisme Barat dan menyatukan kembali disnati-dinasti Kesultanan Indo-Melayu
yang telah tercerai-berai di bawah hegemoni Qadriah.
Dari latar belakang di atas, kebangkitan marwah masyarakat Indo-Melayu dapat kembali tegak
apabila ada kemauan yang kuat dalam kesatuan visi dan misi bersama membangun tiga kekuatan yang
selama dinamika kehidupan peradaban dunia mengambil peranan yang sangat penting. Tiga kekuatan
ini merupakan faktor pendorong bagi semangat bersama pendahulu-pendahulu itu, yaitu kekuatan
yang diperoleh dengan upaya memperbaiki atau menyambung kembali hubungan silaturahim antar
dinasti, mengambil alih jalur perairan dan pusat perdagangan, dan membangun kembali peradaban
Indo-Melayu di kawasan Kalimantan bagian Barat.
1. Dinamika Kekuatan Hubungan Antar Dinasti
Tata letak cikal bakal kota Pontianak berada di benua hilir sungai Kapuas Besar yang
merupakan sungai terpanjang di Indonesia. Kota berorientasi pada tiga cabang sungai utama, yaitu
Kapuas Besar, Kapuas Kecil dan Landak, sehingga Pontianak dapat dikatakan sebagai kota tepaian air
(waterfront city). Sebagaimana karakter awal kota-kota Melayu yang tumbuh dan berkembang di
tepian air, Ia dikenal juga sebagai kota seribu parit yang bermuara ke parit terbesar atau Parit
Kampung.
Parit kampung dan kampung biasanya diberi nama berdasarkan nama tokoh masyarakat atau
negeri dimana tokoh masyarakat yang membuka kampung itu berasal, misal parit Kampung Yusuf
Saigon, parit Kampung Bugis, parit Kampung Tambelan, parit Kampung Sampit, parit Kampung
Mendawai, parit Kampung Tok Kaya Campa, parit Kampung Bangka, parit Kampung Siam, parit
Kampung Banjar, Kampung Siantan dan Kampung Serasan. Tokoh masyarakat ini adalah mereka
yang ikut bahu-membahu dalam proses pembangunan kota Pontianak. Mereka berasal dari masyarakat
Indo-Melayu yang sudah lama mengalami dinamika antar dinasti Kemelayuan. Dari kekuatan
dinamika ini, para pendiri peradaban mampu mendorong keutuhan proses penyerapan dan
pengaplikasian antar budaya selama Pontianak dibesarkan.
Embrio kota Pontianak memiliki tiga pintu gerbang pesisir kota yang merupakan muara sungai
Kapuas, yaitu: Kuale Jongkat, Kuale Kubu dan Kuale Kakap. Pendiri kota Pontianak berharap,
Pontianak berhasil sebagai penghubung pusat peradaban besar yang berada di pesisir Utara dan
Selatan pulau Kalimantan bagian Barat. Dua kawasan itu telah berabad-abad tahun berkembang
peradaban Melayu dalam bentuk kerajaan, seperti Matan, Tanjungpura, Sukadana, Mempawah dan
Sambas.
Selain itu, embrio kota ini menempatkan tiga pintu gerbang pedalaman, yaitu: Kuale Sanggau,
Kuale Landak dan Kuale Mandor yang merupakan muara sungai Kapuas dan Landak untuk menuju
pusat Kesultanan Melayu Sanggau, Sintang, Ngabang dan Tayan. Hal ini dilakukan oleh Sultan
Abdurrahman untuk mewujudkan wasiat ayahnya, agar Pontianak menjadi pintu gerbang kawasan
perhuluan Kalimantan bagian Barat, yaitu perhuluan dekat dan perhuluan jauh di sepanjang jalur
perairan ketiga sungai utama.
Dari tiga pintu pesisir dan pedalaman, Pontianak tidak hanya berperan sebagai pusat
perdagangan dan pemerintahan, tetapi Pontianak juga berfungsi untuk melanjutkan hubungan
kekerabatan antar dinasti-dinasti Kemelayuan di perhuluan Kalimantan serta di pesisir Kalimantan dan
pesisir Sumatera bagian Timur. Hubungan diplomatik antar dinasti Kemelayuan ini sudah dijalin sejak
lama, jauh sebelum peradaban Islam bersentuhan dengan masyarakat Melayu. Sebagaimana halnya,
dinasti Kemelayuan pra-Islam menjalin hubungan diplomatik dengan dinasti Sriviejaya, Cina, Campa,
Siam, bahkan peradaban India dan Mesir. Peradaban-peradaban yang dibawa dari bangsa tersebut
berhasil mencorak dan memperkokoh kemelayuan, khususnya Melayu Kalimantan Barat.
Hubungan antar dinasti ini semakin diperkuat dengan sentuhan nilai-nilai Islam berupa
hubungan perkawinan dan pengangkatan saudara yang biasanya hanya berlaku dalam kehidupan
masyarakat umum, meningkat di kalangan antar dinasti-dinasti Kemelayuan yang ada. Sebagai contoh,
hubungan kekerabatan berlangsung antar dinasti Kesultanan Melayu Johor, Riau, Siak, Matan, Banjar,
Luwu, Mempawah, Brunei dan Matan (Rogayah, 1999). Hubungan diplomatik antar dinasti tersebut
diakhiri dengan hubungan perkawinan, sehingga mereka membentuk kekuatan bersama, bukan untuk
mempertahankan kekuasaan dinasti mereka sendiri, melainkan untuk memperluas peradaban Melayu
di pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Semenanjung Malaka (Indo-Melayu).
Dinamika yang terjadi dalam hubungan antar dinasti itu memberi kekuatan yang sangat
dahsyat bagi kebangkitan Melayu yang bercorak Islam di wilayah Indo-Melayu (Asi Tenggara).
Akibatnya tidak dapat dipungkiri lagi, hampir sebagian besar wilayah ini baik di sepanjang pesisir,
maupun padalamannya yang dialiri oleh sungai-sungai utama berdiri embrio perkotaan Melayu.
Menurut RDV Alqadrie (2010) bahwa embrio perkotaan Melayu yang bercorak Islam berkarakter kota
tepian air yang merupakan janin sehat di dalam ari-ari dari pesisir hingga ke hulu cabang-cabang
sungai. Budaya Melayu Pra-Islam yang bercitrakan air semakin dipertegas dengan nilai-nilai Islam.
Unsur air bukan hanya memberikan makna kesucian, juga mendukung ketersediaan aksesibilitas.
Masa itu kawasan-kawasan terpencil dan perhuluan hanya dapat dijangkau melalui transportasi air.
Melalui transportrasi air ini, nilai-nilai global berhasil merambah ke ujung pelosok Kalimantan
untuk saling menyerab dan mengaplikasikan hasil penyerbukan silang. Hasil penyerbukan silang
membawa ke arah yang lebih baik bagi masyarakat setempat. Kemudahan dalam proses pernyebukan
silang ini berlangsung dikarenakan budaya kehidupan mereka bersifat lebih dinamis, bahkan sebelum
terjadi persentuhan dengan nilai-nilai Islam. Praktek kehidupan mereka dan kerajaan-kerajaan yang
tegak berdiri diwarnai oleh nilai-nilai lokal yang selanjutnya membuka diri untuk fase penyerbukan
silang dengan nilai-nilai Hindu dan Budha. Setelah bersentuhan dengan nilai-nilai Islam, kerajaan-
kerajaan dan praktek kehidupan mereka bercorak Islami (Purba dkk., 2011).
Disinilah kekuatan hubungan antar dinasti sangat berperan, melalui legitimasi dari kerajaan,
proses penyerbukan silang antar budaya dapat berlangsung dengan baik. Penyerapan dan
pengaplikasian budaya lokal dan global di kalangan istana akan merambah ke dalam kehidupan
masyarakat. Kekuatan hubungan antar dinasti juga memperkuat eksistensi hasil penyerbukan antar
budaya itu menjadi peradaban baru yang utuh dan luas, sebanding lurus dengan kekuatan yang
dihasilkan dari hubungan antar dinasti tersebut.
Hal itu menjadi salah satu faktor pendorong, bagaimana pendiri kota Pontianak menggagas
kota bukan hanya sebagai pusat pemerintahan dan perdagangan. Namun Pontianak juga merupakan
tempat berdinamika berbagai hubungan dinasti bersatu-padu untuk melanjutkan peradaban Indo-
Melayu yang utuh. Dengan demikian, Ia menjelma sebagai rumah besar yang diperuntukkan bagi
kehidupan berbagai suku bangsa, dinasti dan peradaban, serta pembendung arus perpecahan di tubuh
antar dinasti di Nusantara yang telah lama menjalin hubungan diplomatik dan kekerabatan.
2. Dinamika Kekuatan Kegiatan Perdagangan
Alam Melayu membentang dari Madagaskar hingga ke Kepulauan Ester di Lautan Pasifik,
Kalimantan berada di tengah-tengahnya dimana kerajaan Hindu paling tua bertapak dan tempat
ditemukannya peninggalan peradaban paling tua berasal dari 35.000 tahun yang lalu (Purba dkk,
2011). Di saat peradaban manusia mulai mengenal kegiatan tukar-menukar barang, saat itu pula
kegiatan perdagangan berlangsung di pulau terbesar ketiga di dunia ini.
Kalimantan Barat (KalBar) sudah mengalami masa keemasan dari kegiatan perdagangan secara
global jauh sebelum peradaban Islam merambah kawasan ini. Sebagai contoh, pulau bagian barat ini
telah ditemukan manik-manik batu akik dari India dan gendang perunggu dari Dongson yang dibuat
sekitar abad ke-4M, serta patung Budha dari perak dan emas bertahun sekitar abad ke-8M (Collins,
2005).
Dinamika kegiatan perdagangan juga sudah merambah hingga kawasan perhuluan KalBar di
mulai dari masyarakat Melayu Purba yang masih mengenal kepercayaan lokal hingga mengalami
transformasi menjadi Melayu Kuno, terus berasimilasi dengan peradaban Hindu, Budha dan Islam.
Hal ini ditandai dengan penemuan benda-benda pra-sejarah di setiap jalur-jalur perdagangan.
Menurut Purba dkk. (2011) bahwa benda-benda pra-sejarah telah ditemukan antara lain Batu
Tulis berisi mantera Budha berusia 5-7M di Nanga Mahap, sebelum Sintang. Batu Sampai bertuliskan
aksara Pallawa dan Arab berasal dari abad ke-7M dapat diperoleh di Sanggau. Lingga dan Yoni
barasal dari Kerajaan Kutai ditemukan di Nanga Balang Kapuas Hulu. Pecahan keramik Cina berasal
dari abad ke-10M dan pecahan guci buatan Siam (Thailand) berasal dari abad ke-12M membuktikan
kegiatan perdagangan sudah berlangsung hingga ke perhuluan KalBar. Selanjutnya Arca peninggalan
mazhab Trantayana, suatu sinkretisme antara agama Budaha dan Hindu berasal dari abad ke-13M,
merambah hingga ke bagian pedalaman kawasan ini.
Penemuan yang paling menggemparkan adalah situs Negeri Baru di Ketapang yang pernah
berdiri negeri-negeri pra-sejarah sebagai pusat perdagangan yang gemilang di zamannya. Situs Negeri
Baru menyisakan benda pra-sejarah, seperti: candi, lukisan batu dan pecahan tembikar (kendi, periuk,
dandang, pasu dan kuali) yang sezaman dengan situs Trowulan dan Muara Jambi. Di lingkungan situs
ini pula, komplek pemakaman Islam berkembang pada tahun 1441 M yang dinamai Pemakaman
Keramat Tujuh (Purba dkk., 2011). Hasil temuan ini dapat dipahami bahwa jalur-jalur perdagangan
berperan penting dalam proses penyerbukan silang antar peradaban yang bermetamorfosis secara
alamiah, sehingga dinamika peradaban Melayu dari Melayu Purba-Kuno (kepercayaan lokal) kepada
peradaban global (Hindu-Budha-Islam) dapat mengalami transformasi secara berkesinambungan dan
damai -- selaras dan harmonis -- untuk membentuk satu kesatuan sistem kosmos yang sempurna.
Kota-kota tepian air yang berperan sebagai embrio kota di wilayah Indo-Melayu tumbuh dan
berkembang pada masa “Trade Boom”. Masa itu dapat dikatakan sebagai masa ketika terjadi konversi
massal masyarakat Indo-Melayu kepada Islam di saat Nusantara mengalami peningkatan dalam
kegiatan perdagangan Timur-Barat (Reid,1993). Selanjutnya, kota tersebut menjadi pusat-pusat
internasionalisasi perdagangan, kekayaan, kekuasaan dan kosmopolitanisme kebudayaan-peradaban.
Mereka berkembang menjadi pusat Kesultanan Melayu yang dilakukan oleh guru-guru agama dan
pengembara yang kebanyakan mereka adalah para pedagang atau para sufi (Azra,1999).
Kegiatan perdagangan merupakan indikator penting dalam daya dukung perkembangan suatu
kota dan peradabannya. Melalui kegiatan ini, interaksi antar budaya lokal dan global berlangsung,
sehingga proses penyerbukan silang dapat ditemukan di setiap bandar-bandar perdagangan. Daya tarik
dari kegiatan ini berhasil mengubah karakter kota dan masyarakat di wilayah Indo-Melayu. Mereka
bergerak lebih dinamis dan rentan terhadap perubahan.
Sejauhmana perubahan terjadi, sebesar itu pula daya gesek dan tekan mampu untuk
menormalisasikan gejolak-gejolak yang ditimbulkan selama proses absorpsi dan aplikasi dalam
penyerbukan silang antar budaya kepada hakekat yang lebih “bermakna”. Daya-daya inilah yang harus
dipahami, mereka merupakan potensi-potensi lokal yang lahir dari setiap tahapan dinamika budaya.
Hal ini mendasari sepak terjang pendiri kota Pontianak untuk mengembangkannya sebagai parameter
pembangunan yang lebih jauh daripada pembangunan fisik semata, melainkan Peradaban Madani.
Apabila kita melakukan tilas balik terhadap masa dimana ekspansi bangsa Eropa berhasil
menjamah hegomonitas Indo-Melayu. Sebagaimana daya serap mereka terhadap budaya lokal justru
menimbulkan berbagai konflik – vertikal dan horizontal, belum lagi persoalan degradasi potensi-
potensi lokal hingga ke akarnya. Maka dari itu, strategi pembangunan seperti apa yang sebaiknya
dilakukan oleh generasi saat ini dan akan datang untuk mewarisi potensi-potensi lokal yang sudah
secara regenerasi diserap dan diaplikasikan sebagai wujud keberlanjutan marwah bangsa.
3. Dinamika Kekuatan Peradaban Melayu
Dinamika kekuatan peradaban Melayu berkaitan erat dengan karakter terbuka terhadap dan
mudah menerima pengaruh dari luar. Artinya, kemampuan menyerap pengaruh atau ide baik dari luar
maupun dari dalam lingkungan kawasan geografis mereka sendiri dan dari kelompok etnis lain,
sehingga hasil penyerapan itu diaplikasikan menjadi identitas diri yang lebih positif. Dengan
demikian, Melayu memiliki kecenderungan untuk terus berproses dalam pencarian jati diri dan nilai-
nilai kehidupan yang dituangkan ke dalam unsur-unsur etnisitas dan religi dari esensi kehidupan yang
akan tetap bergerak maju ke arah yang lebih baik.
Ini menjadi kekuatan tersendiri, Melayu cenderung berpartisipasi aktif dalam pencorakan
beberapa fase peradaban di wilayah Indo-Melayu. Apakah itu berarti mereka memiliki kerentanan
terhadap perubahan dan mengalami “kepunahan” melalui proses dominasi suatu peradaban tertentu?
Tempaan-tempaan diri yang berkelanjutan, mulai dari peradaban Melayu Purba yang berpindah dari
satu tempat ke tempat lainnya, berakhir kepada Melayu kekinian yang hidup menetap dalam pola-pola
permukiman tepian air, justru merupakan jawaban kekuatan permanensi mereka yang terletak pada
bagaimana mereka meyerap dan mengaplikasikan pengaruh luar sebagai bagian proses kehidupan
yang dinamis dan harus dilalui. Penyerbukan silang yang berlangsung secara alamiah berhasil
menuntun proses metamorphosis Melayu secara berkelanjutan (sunatullah), tanpa adanya, friksi-friksi,
loncatan-loncatan, kekacauan-kekacauan dan ketidakstabilan yang diakibatkan oleh terputusnya
tahapan-tahapan perubahan. Pernyataan ini seiring sejalan dengan apa yang diuraikan dalam literatur
berjudul Sejarah Penyebaran dan Budaya Melayu di Kalimantan di bawah ini:
“Transformasi keyakinan masyarakat berbudaya Melayu dari nilai-nilai lokal dan Hindu-Budha ke Islam berlangsung secara halus, tanpa adanya “geger” budaya. Bahkan hingga saatini, tidak ada satu pun informasi tertulis maupun tradisi lisan yang masih dijaga dengan baikoleh masyarakat KalBar berhasil ditemukan untuk menegaskan “geger” budaya di dalamproses penyerbukan silang selama dinamika peradaban Melayu” (Purba dkk., 2011).
Peralihan sistem nilai dan metamorphosis peradaban tersebut diyakini sebagai wujud
konsekuensi keberhasilan penyerbukan silang antar budaya. Sebagaimana masyarakat lokal bisa
terbuka untuk menyerap budaya baru secara damai. Begitu juga sebaliknya, nilai-nilai global yang
datang secara damai berhasil diserap dan diaplikasikan untuk kemajuan dan perbaikan.
Semenjak terjadi konversi massal masyarakat Indo-Melayu terhadap peradaban Islam,
peradaban Melayu mulai mengalami penyerbukan silang dengan nilai-nilai Islam. Salah satunya
adalah nilai penyambung silaturahmi dari Islam dan nilai pengangkatan anak/sudara dari Melayu
KalBar. Kedua nilai ini mengandung esensi yang hampir sama, yaitu keselarasan hubungan horizontal
atau sosial kemasyarakatan (Hablunminannas).
Kesamaan nilai ini mempermudah proses penyerbukan silang kedua budaya untuk menegakkan
pondasi baru dari suatu peradaban. Strategi-strategi seperti ini dikembangkan oleh pendahulu kota
Pontianak untuk menggagas pembangunan peradaban baru di bagian Barat pulau Kalimantan, tanpa
harus melalui gesekan-gesekan atau dentuman-dentuman dengan masyarakat lokal. Disinilah
Pontianak diharapkan mampu menyediakan wadah bagai perkembangan peradaban Melayu baru, yang
utuh, hasil metamorphosis yang sunatullah (perubahan yang berproses).
Satu kondisi dengan menghidupkan kota ini, sisa-sisa peradaban Melayu di wilayah Indo-
Melayu dapat kembali bersinar di bumi khatulistiwa. Kondisi lain, transformasi peradaban Melayu
sedang mengalami proses mutasi Melayu Kuno Kalimantan menjadi dua kelompok etnis, yaitu (1) non
Melayu yang sekarang dikenal dengan sub-sub kelompok etnis Dayak dan (2) Melayu KalBar. Proses
mutasi ini didorong oleh faktor sosial politik dan ekonomi yang diberlakukan oleh kebijakan segregasi
imperialisme Belanda untuk memperkuat kedudukannya di Nusantara (Viejaya Alqadrie,2010).
Metode ini pula diberlakukan oleh imperialism Belanda untuk memutus hubungan silaturahmi antara
masyarakat Melayu Asli Sumatera Utara dengan saudaranya sub-sub kelompok masyarakat Batak.
B. Dinamika Budaya dan Arsitektur Perkotaan Melayu
Budaya berasal dari kata jamak Budhi yang bermakna akal budi atau segala upaya akal budi
manusia untuk mengelola dan mengubah alam (Koentjaraningrat, 2009). Budaya dalam pandangan
arsitektur lebih dipahami sebagai ekspresi cara hidup berdasarkan kriteria dan sumber (Zahnd,1999).
Perancangan arsitektur dan karya arsitektur berhubungan erat dengan budaya masyarakat setempat.
Hal ini dimaksudkan sebagai upaya masyarakat untuk mengekpresikan kemampuannya dalam
pengelolaan potensi-potensi lokal, sehingga mereka dapat meningkatkan mutu kehidupan.
1. Dinamika Budaya Melayu
Istilah dinamika lebih dikenal dalam ilmu fisika yang berkaitan dengan benda bergerak dan
energi yang menggerakan. Selanjutnya, istilah ini digunakan juga dalam bermacam bidang, seperti
bidang sosial budaya yang memandang manusia sebagai wujud yang dinamis (KBBI,1990). Dengan
demikian masyarakat mengalami perubahan di dalam tata kehidupannya yang didorong oleh sifat
dasaranya untuk melakukan pergerakan secara terus menerus. Sedangkan dinamika pembangunan
lebih mengarah kepada faktor yang mendorong perubahan, bagaimana gerak penuh gairah dan
semangat mampu melaksanakan pembangunan peradaban bangsa ke arah yang lebih baik.
Dalam pandangan arsitektur perkotaan, suatu karya arsitektur dan perkotaan bersifat dinamis
yang dilihat sebagai pergerakan abstrak (non-physical) dan konkrit (physical movement). Mereka
berkaitan erat dengan kehidupan alamiah masyarakat yang mendiaminya yang memiliki
kecenderungan untuk mengekspresikan kehidupan melalui perkembangannya (Zahnd,199). Bicara
mengenai perkembangan, tidak dapat dipisahkan dengan waktu dan perubahan. Selama rentang waktu
perubahan, pergerakan abstrak dan konkrit akan ditentukan oleh sistem nilai masyarakat yang
mendiami ataupun yang berkarya.
Dinamika budaya masyarakat berperan besar dalam proses penciptaan karya arsitektur dan
perkotaan. Setiap karya dari budaya tertentu tidak dapat berdiri sendiri. Ia dipengaruhi nilai-nilai
budaya lain yang merupakan hasil penyerbukan silang beberapa budaya. Hal ini tentu saja berlaku
bagi masyarakat Melayu dan arsitektur perkotaannya. Karena, masyarakat Melayu sudah dan masih
mengalami dinamika budaya yang berlangsung secara berkesinambungan dari masa Melayu Purba-
Kuno ke peradaban Hindu-Budha, serta Islam. Unsur-unsur penting yang tidak pernah lepas selama
masyarakat Melayu mengalami transformasi merupakan potensi penting yang dipahami sebagai sifat
dasar keberlanjutannya atau daya tahan keberlanjutannya. Potensi-potensi ini adalah solusi untuk
memecahkan permasalah dinamika arsitektur perkotaan. Potensi ini juga dipertahankan oleh
pendahulu kota Pontianak dalam proses pembangunan.
Dalam makalah ini, pembicaraaan dinamika budaya Melayu berkenaan dengan potensi-potensi
lokal yang selalu bertahan selama proses perubahan. Makalah ini tidak bermaksud menitikberatkan
dua dikotomi pengertian masyarakat Melayu Kalimantan Barat dalam kontek masa politik Pecah
Belah Belanda. Masa ketika transformasi Melayu KalBar mengarah kepada mutasi Melayu – Melayu
kontemporer (beragama Islam) dan Non-Melayu (Dayak).
Mutasi Melayu ini tidak bisa dipahami secara terpisah. Mereka adalah satu kesatuan
masyarakat asli KalBar yang hidup saling berdampingan seperti dua sisi mata uang untuk
membesarkan peradaban masyarakat Kalimantan Barat. Mereka berasal dari rumpun Melayuii yang
sama dan mengalami secara bersama pula masa-masa tempaan selama perubahaan peradaban global
dari peradaban lokal berubah menjadi Hindu, Budha dan Islam.
2. Arsitektur Perkotaan Melayu
Pada umumnya, cikal bakal kota Melayu berkembang di muara sungai, pantai dan tepian
sungai. Transportasi air mendominasi Arsitektur perkotaan Melayu, baik Melayu Kalimantan,
Sumatera, Philipina Selatan, Thailand Selatan maupun Semenanjung Malaka. Pandangan ini dapat
diterima, apabila dilihat dari masa konversi massal masyarakat Indo-Melayu kepada Islam di saat
Nusantara mengalami peningkatan dalam kegiatan niaga Timur-Barat.
Namun, pendapat lain juga perlu dipertimbangkan bahwa Melayu sudah ada jauh sebelum
Islam bersentuhan dengan dunia Kemelayuan. Hal ini didukung oleh peninggalan-peninggalan jejak-
jejak fisik (situs, prasasti, dan arca) dari warisan budaya Kerajaan Melayu, seperti Jambi, Sriviejaya,
Kutai, Brunei, Sambas, Tanjungpuri, Sintang, Sanggau, Sekadau dan Tayan.
Hampir sebagian besar peninggalan bersejarah tersebut memiliki kedekatan dengan sumber air
atau sungai. Dengan demikian, karakter dasar budaya Melayu, khususnya Kalimantan, sebelum atau
sesudah bersentuhan dengan Islam memiliki pola urban (kota dan perkampungan) tepian air.
Pola arsitektur perkotaan Melayu memiliki kesamaan elemen struktur dan ciri-cirinya.
Kemiripan ini dilihat dari tata letak yang berada kawasan tepian air, jalur pelayaran yang memiliki
prinsip hirarki dan terdiri dari elemen-elemen pembentuk fungsi ruang yang hampir sama (Alqadrie,
RDV, 2010).
Gambar 1. Pola Tata Ruang Kota Kesultanan MelayuSumber: Roossandra Dian Viejaya Alqadrie, 2010
Tata ruang arsitektur kota Melayu diklasifikasikan menjadi tiga tipe. Pertama, ruang
dikategorikan menjadi ruang sosial (pasar dan pelabuhan) dan ruang khusus (mesjid, istana dan
makam). Kedua, ruang meliputi ruang sosial (pasar dan pelabuhan) di jalur masuk (hilir), ruang
khusus (mesjid, istana dan makam) di jalur tengah, dan ruang ruang sosial (pasar dan pelabuhan) di
jalur keluar (hulu). Ketiga, ruang diklasifikasikan menjadi ruang sosial (pasar dan pelabuhan) di
bagian hilir, ruang khusus (mesjid dan istana) di bagian tengah dan ruang sosial (pasar dan pelabuhan)
di luar jalur tengah, serta ruang makam di perhuluan.
Tipe pertama dipersepsikan kota dibangun ketika Melayu diidentifikasikan secara total dengan
Islam yang berarti qaidah-qaidah Islam merupakan jati diri masyarakat Melayu. Kasus kedua dipahami
kota berkembang ketika peradaban Islam sedang merambah kehidupan masyarakat yang berbarengan
dengan proses akulturasi atau pembauran. Jenis ketiga diartikan kota dirancang melalui strategi
pewarisan dari hasil penyerbukan silang dinamika kebudayaan setempat.
C. Warisan Budaya dan Potensi Lokal
1. Warisan Budaya dalam Dinamika Arsitektur Perkotaan
Dalam sub tema ini, penulis mencoba mengangkat warisan budaya dan potensi lokal dari sudut
pandang dinamika arsitektur dan perkotaan. Warisan budaya dilihat sebagai potensi-potensi lokal yang
diwarisi secara berkelanjutan yang mana masyarakat yang mewarisinya terus mengalami interaksi
dengan budaya-budaya lain. Disini, potensi-potensi lokal dipandang memiliki tingkat permanensi dan
keberlanjutan yang baik terhadap tempaan-tempaan selama peradaban suatu bangsa mengalami
transformasi. Meskipun suatu budaya bermetamorfosa, potensi lokal akan menyertainya dalam proses
penyerbukan silang antar budaya. Dengan demikian, penyerbukan melahirkan kaidah-kaidah baru
untuk menerjemahkan hakikat potensi lokal itu bagi kelangsungan kehidupan.
Potensi lokal memainkan peranan yang sangat penting bagi kelangsungan hidup masyarakat
dan budayanya. Karena itu, mereka harus tetap dijaga dan dilestarikan sebagaimana peranannya
sebagai warisan budaya. Apabila potensi lokal ini diabaikan, maka kelangsungan hidup masyarakat
dan budayanya akan punah atau berakhir.
Budaya akan terus mengalami metamorfosa sepanjang hayatnya, karena hakekat budaya
adalalah mencari upaya, cara, strategi atau kaidah yang sempurna untuk mengelola alam semesta ini.
Strategi, cara atau kaidah yang tepat dalam mewarisi potensi-potensi lokal ini dipelajari, diserap dan
diaplikasikan oleh pendahulu-pendahulu kota Pontianak untuk membangun peradaban baru di pulau
Kalimantan bagian Barat.
2. Potensi Lokal dalam Dinamika Melayu Kalimantan Barat
Dua hal penting yang diyakini oleh masyarakat Kalimantan, khususnya Melayu KalBar,
berperan dalam mengatur kelangsungan hidup dan sistem nilai mereka. Mengabaikan atau
mengutamakan salah satunya mendorong ketidakseimbangan dalam kelangsungan kehidupannya.
Budaya mengharmonisasikan sumber alam-hayati dan menyelaraskan hubungan sosial
masyarakat merupakan kaidah-kaidah dalam mewarisi peradaban masyarakat Kalimantan.
Keberagaman potensi alam-hayati dan kemajemukan masyarakat diyakini oleh mereka dapat memberi
pengaruh negatif apabila kedua potensi lokal itu tidak dijaga dan dilestarikan.
Selama masa silam, masyarakat Melayu KalBar hidup secara komunal dan berdampingan
dengan alam. Kaidah ini diterapkan dalam sistem pengaturan tiga ruang pada pola vertikal – hubungan
dengan pencipta (alam atas) segaris lurus dengan hubungan dengan alam (alam bawah) – dan pola
horisontal – hubungan dengan masyarakat yang didapati di dalam masyarakat komunal rumah betang.
Masyarakat Melayu (Purba-Kuno), baik Malayu Tua, maupun Melayu Muda, yang masih
memegang kepercayaan nenek moyang memiliki kaidah-kaidah ketuhanan, meskipun mereka belum
bersentuhan dengan peradaban Hindu-Budha dan Islam. Kaidah tersebut dipahami secara abstrak
maupun konkrit. Sebagai contoh secara konkrit, ritual-ritual pemujaan dilakukan terhadap kekuatan
alam dalam bentuk batu, pohon, laut dan burung. Contoh abstrak, kepercayaan dipersembahkan
kepada roh-roh nenek moyang.
Kaidah abstrak dan konkrit ini merupakan salah satu upaya dari akal budi mereka untuk
berserah dan bersyukur atas kebesaran alam semesta yang meliputi potensi alam dan komunal.
Bagaimana mereka memahami begitu kuasanya alam untuk menyediakan kebutuhan hidup mereka,
sekaligus mengatur segala bentuk keganasan dan keliaran satwanya. Mereka memiliki tingkat
ketergantungan dan kepasrahan yang sangat tinggi terhadap alam semesta.
Begitu pula dengan cara hidup komunal, hidup bersama secara komunal merupakan strategi
atau upaya budi pekerti mereka untuk memahami bahasa alam. Tanpa kekuatan komunal, masyarakat
Melayu Purba dan Kuno tidak mampu menundukkan kekuatan alam bagi kelangsungan hidupnya.
Hasilnya, arwah-arwah nenek moyang adalah salah satu solusi pemecahan masalah mengenai
bagaimana cara menghargai kekuatan komunal.
Ketika masyarakat Melayu mulai mengalami transformasi dari cara hidup berpindah menjadi
hidup menetap. Mereka mulai mengaplikasikan nilai-nilai yang diserap dari proses penyerbukan silang
antar budaya lama dan baru kedalam sistem kehidupan mereka. Bagaimana mereka mengatur hunian
dan cara hidupnya berdasarkan kekuatan alam (pola vertikal) dan komunal (pola horisontal) dalam
bentuk simbol-simbol fisik. Dua kekuatan ini dipahami berperan besar bagi kelangsungan hidup
mereka. Sebagai contoh, transformasi Melayu Purba menjadi Melayu Kuno memulai kehidupan
dengan cara menerapkan pola hunian vertikal dan hunian horisontal.
Selanjutnya pemahaman dan penghargaan terhadap alam dan tuhan mulai mengalami
perkembangan. Saat itu, alam bukan lagi merupakan sesuatu yang tidak bisa dipahami, dikelola dan
dilestarikan. Namun alam merupakan bagian kecil dari alam kosmos yang bisa diatur, dikelola dan
dilestarikan oleh kekuatan yang lebih besar dari kemampuan alam dan komunal, yaitu kekuatan yang
tak terjangkau oleh indera manusia atau yang hanya dapat diyakini oleh hati nurani yang paling dalam.
Dengan demikian, perlahan-lahan mereka mulai memperbaharuhi nilai-nilai lama dengan hasil
penyerbukan silang yang baru. Sebagai contoh, hasil transformasi Melayu Tua menjadi Melayu Muda
adalah upaya konkrit terhadap penghargaan dengan kekuatan tertinggi yang tidak dapat diungkapkan
dengan indera melalui pola hunian vertikal. Sedangkan, potensi komunal dan alam diupayakan secara
abstrak melalui pola permukiman dan perkotaan.
Dinamika selanjutnya adalah terjadi pengelolaan dan ragam potensi lokal antara Melayu Tua
dan Melayu Muda dari masing-masing hasil penyerbukan silangnya setelah arus pergerakan peradaban
Hindu-Budha. Melayu Tua memfokuskan diri di bagian dalam, bagaimana mereka memahami
kekuatan alam dengan upaya abstrak dan simbol-simbol fisik keagamaan. Sedangkan Melayu Muda
memposisikan diri di bagian luar, bagaimana mereka membendung kekuatan masyarakat heterogen
yang datang silih berganti secara abstrak dan simbol-simbol fisik keagamaan.
Bukan berarti keduanya meninggalkan potensi yang lainnya. Melayu Tua tetap mengupayakan
potensi komunal dalam wujud konkrit (pola hunian horizontal). Melayu Muda mengelola potensi alam
dalam wujud konkrit (pola permukiman dan perkotaan).
3. Kaidah Ruang bagi Potensi Lokal
Dalam pandangan Dinamika Budaya Kalimantan (dalam hal ini Melayu KalBar), masyarakat
mewarisi kaidah tiga ruang (Gambar 2), yaitu Ruang Besar (Makro) diartikan sebagai Alam Raya
Semesta, Ruang Sedang (Meso) dipahami sebagai Alam Bumi Pertiwi dan Ruang Kecil (Mikro)
dipetakan sebagai Alam Hunian dan Permukiman. Esensi hubungan vertikal (relijitas kekuatan
melebihi alam semesta), baik dipahami sebagai kepasrahan kepada kekuatan alam (Melayu Purba),
maupun bertransformasi menjadi kekuatan abstrak (Melayu Kuno), dan berlanjut keyakinan kepada
ajaran ketuhanan itu sendiri (hasil pernyebukan silang dengan peradaban Hindu-Budha-Islam), arti
ruang bagi budaya setempat meliputi tiga bagian, yaitu Alam Atas, Alam Tengah dan Alam Bawah
(Gambar 3).
Alam Atas dipersepsikan sebagai kehidupan baik, lembut dan murah (pemberi) yang didiami
oleh roh-roh leluhur kebaikan, dewa-dewa atau malaikat kebaikan. Simbol kebaikan ini diwujudkan
dalam bentuk Burung Enggang yang memiliki sifat dasar sebagai penyebar terbanyak dan terluas
bibit-bibit tanaman/pohon dibandingkan dengan jenis burung lainnya. Burung ini juga berkarakter
lembut dan berpenampilan indah. Hasil dinamika Melayu KalBar, Ruang Atas (Perhuluan) diwariskan
untuk keberlangsungan kehidupan keberagaman alam dan hayati.
Ruang Besar
Ruang Sedang
Gambar 2. Kaidah Ruang SemestaSumber Dokumentasi: Koleksi Pribadi, http://dhikarusmen.blogspot.com/2011/03/hubungan-manusia-dengan-budaya-
dalam.html dan http://www.samonyo.com/2013/02, Hasil Penelitian 2013
Ruang Kecil
Alam Tengah dipersepsikan sebagai kehidupan yang arif dan bijaksana yang didiami anak
manusia. Simbol kearifan ini diwujudkan dalam berbagai bentuk fisik dan non-fisik, seperti penataan
ruang yang harmonis dan selaras antara potensi alam dan masyarakat, antara dunia atas dan bawah,
dan antara energi positif dan negatif. Dengan demikian, masyarakat mengenal istilah Belah Ile’, Belah
Tengah dan Belah Ulu’ atau Benoa Laot, Benoa Darat dan Benoa Rimba serta hadap matahari idop
dan mati (orientasi bukaan pada bangunan tunggal).
Dari alam tengah ini melahirkan esensi hubungan horisontal yang merupakan bentuk konkrit
dari kepercayaan terhadap potensi masyarakat komunal. Bagaimana mereka memahami kekuatan
komunal sebagai kaidah dan upaya untuk memecahkan persoalan kehidupan dan merupakan bagian
yang tidak bisa dipisahkan dari dunia alam kosmos (ruang vertikal). Pengabaian kekuatan komunal
akan berdampak kepada penisbian alam dunia tengah.
Berbagai cara dilakukan oleh masyarakat Melayu untuk memecahkan rahasia alam tengah,
sekaligus bagian dari solusi untuk menata dan menjunjungnya dalam sistem nilai mereka. Sebagai
contoh, Melayu Purma menerjemahkan kekuatan komunal secara abstrak dalam pemujaan-pemujaan
roh-roh leluhur mereka. Selanjutnya seiring dengan perkembangan peradaban Melayu Purba, Melayu
Kuno mulai mengaktualkan keluhuran nilai-nilai komunal dalam tata cara ruang hunian yang terdiri
dari ruang Ile’, Tengah dan Ulu’.
Sejalan dengan interaksi Melayu Kuno kepada peradaban-peradaban global (Hindu-Budha-
Islam), kaidah-kaidah ruang horizontal mulai diserap dan diaplikasikan untuk menjawab tantangan
kehidupan alam semesta yang kapasitasnya lebih meningkat. Oleh sebab itu, penataan ruang tidak
hanya berada di dalam hunian (ruang Teras/Laot, ruang Induk/Darat dan ruang Anak/Rimba). Namun
kaidah ruang horisontal juga bergerak ke dalam lingkungan permukiman dan perkotaan.
Alam Atas
Alam Tengah
AlamBawah
Gambar 3. Kaidah Ruang VertikalSumber Dokumentasi: Koleksi Pribadi dan
http://dhikarusmen.blogspot.com/2011/03/hubungan-manusia-dengan-budaya-dalam.html, Hasil Penelitian, 2013
Alam Bawah dipersepsikan sebagai kehidupan buruk, keras dan serakah yang didiami oleh
dewa-dewa atau roh-roh jahat. Simbol keburukan ini diwujudkan dalam bentuk Ular Naga yang
diidentikkan dengan kehidupan keras di pesisir atau air. Hasil dinamika Melayu KalBar, Ruang Bawah
(Perhiliran) diwariskan untuk keberlangsungan kehidupan keberagaman masyarakat.
D. Hasil Penyerbukan Silang antar Keberagaman Budaya dalam Pembangunan Kota Pontianak
Dalam makalah ini, penyerbukan silang merupakan bagain dari kegiatan dinamika budaya.
Bagaimana budaya yang terus bergerak maju ke dapan, ke arah yang lebih baik, dapat berinteraksi
Ruang TerasRuang Induk Ruang Anak
Laot
Darat
Rimba
Gambar 4. Kaidah Ruang HorisontalSumber: Roossandra Dian Viejaya Alqadrie, 2013
Belah Ili’ BelahTengahBelah Ulo’
Kepala
Badan
Kaki
Hubungan dengan PENCIPTA
Hubungan dengan Masyarakat
Hubungan dengan ALAMHilir
TengahHulu
TerbitTerbenam
Gambar 5. Kaidah Tiga RuangSumber: Hasil Penelitian, 2013
dengan budaya atau peradaban lain. Selama interaksi antar budaya berlangsung, Melayu Kalbar mulai
bersentuhan dengan kaidah-kaidah dari budaya lain untuk berhadapan dengan realita kehidupan.
Sebagaimana sifat dasarnya, budaya tua di KalBar ini membuka diri dan bergerak secara
dinamis menyambut peradaban-peradaban global yang menghampirinya. Kaidah-kaidah baru yang
datang silih berganti diserap (proses absorpsi) sebagai upaya penyesuaian diri dengan nilai-nilai lokal,
sehingga upaya mewarisi dan mengelola potensi-potensi lokal dapat berlangsung lebih bijaksana.
Proses penyerapan berlanjut ke tahap pengaplikasian nilai-nilai persilangan antar budaya lokal
dan peradaban global. Tahap penyerapan dan pengaplikasian ini merupakan proses penyerbukan silang
antar keberagaman budaya yang digunakan untuk mendirikan kota Pontianak. Dengan demikian
proses itu menciptakan peradaban Melayu Baru KalBar yang memiliki daya permanensi untuk
kelangsungan potensi dirinya – kemajemukan potensi masyarakat dan keberagaman potensi alam.
Dua kaidah ini diserap oleh masyarakat Pontianak di masa awal pembangunan kota. Pendiri kota
Pontianak meyakini bahwa dua hal itu berpotensi besar terhadap kemajuan masyarakat dan peradaban
baru di Kalimantan Barat yang sesuai dengan cita-cita sang ayah dan dirinya.
Keberhasilan menata secara bijaksana potensi lokal itu diyakini sebagai solusi untuk mengatasi
berbagai konflik vertikal dan horisontal. Hasil penyerbukan silang ini diaplikasikan oleh masyarakat
tua Pontianak yang berhasil melakukan persilangan berbagai budaya -- Banjar, Bugis, Cina, Melayu
Kontemporer, Melayu Asli KalBar (Islam dan Non-Islam/Dayak) dan Arab -- dalam proses
pembangunan Pontianak. Kemudian nilai-nilai baru itu diwarisi secara turun-temurun yang dapat
dipelajari di dalam syair hadrah, hikayat, petuah dan dongeng. Penulis merangkumnya menjadi konsep
tiga Ruang Hilir-Tengah-Hulu yang mencitrakan Keharmonisan Keberagaman Potensi Alam
(Hablunminallah) yang dimiliki masyarakat berbudaya Kalimantan.
Keberagaman potensi lokal disimbolkan dengan tiga kuale atau tiga telo’ di jalur pesisir/hilir,
jalur tengah dan jalur perhuluan. Negeri Pontianak yang berada di tengah antara kawasan Hilir dan
Hulu dinamai Anak Alam atau Negeri Hijau. Penamaan ini merupakan ungkapan penghargaan
terhadap potensi alam.
“Kota Pontianak disebut juga Negeri Hijau, karena ia berada di tengah hutan tropis dan kaya sinar matahari.Penamaan itu diperkenalkan oleh guru Habib Husein kepadanya, agar ia dapat mengamanahkan ilmu/pendidikandi tempat tersebut. Negeri Hijau di Tiga Cabang Sungai merupakan pesan yang diamanahkan oleh Habib Huseinkapada puteranya, agar dapat berkembang suatu negeri. Negeri Hijau di Tiga Cabang Sungai dan TigaPulau/Telok merupakan Kota Pontianak yang ditemukan oleh Syarif Abdurrahman melalui tahapan pelayarandengan menyelusuri lautan dan sungai.” (Ringkasan Hikayat Negeri Hijau)
Proses kelahiran kota Pontianak dilakukan secara bertahap dirunut menurut bulan-bulan
penciptaan manusia. Tahapan Kelahiran kota ini merupakan hasil penyerbukan Islam antara kaidah-
kaidah Melayu Asli KalBar dengan proses penciptaan manusia dari kaidah Islam (Al-Quran).
Selanjutnya, hasil penyerbukan ini diaplikasikan dalam bentuk tata ruang kota Pontianak dimana
setiap tahapan proses kelahiran dibangun elemen-elemen pembentuk ruang kota, baik fisik maupun
non fisik yang dirangkum dalam bentuk gambar berikut:
Proses pengaplikasian kaidah-kaidah dari hasil penyerbuakan silang, bukan hanya berbentuk
elemen-elemen pembentuk kota, juga berupa kaidah-kaidah bagi proses perancangan kota. Kaidah-
kaidah ini sangat berguna untuk dijadikan pertimbangan dalam perancangan kota Melayu lainnya di
wilayah Indo-Melayu. Kaidah perancangan kota Pontianak meliputi tujuh tahapan pencarian
kebenaran hati yang diserap dari nilai-nilai masyarakat heterogen kota Pontianak, yaitu:
1. Tahap mencari dan merindukan wujud cita-citanya. Mereka meraih tahap ini melalui hasil diskusi, bekalpengalaman di masa lalu dan penyelusuran pesisir dan sungai dari satu tempat ke tempat lain yang penuhrintangan.
2. Tahap keteguhan hati, esensinya pengetahuan dan keimanan. Mereka sempat berhenti di beberapa tempat yangdiperkirakan baik untuk di bangun suatu permukiman, akhirnya di pulau Batu Layang keyakinan dansemangat mereka bertambah besar. Di sekitar daerah Batu Layang itu, pengetahuan abadi – pengetahuan akal,spiritual, emosional -- dicerahkan dan dikerahkan untuk memahami potensi alam/daerah pencarian, sepertipulau Batu Layang yang berada di tengah sungai sebagai ungkapan perjalanan hidup (tujuan tetapi bukantujuan sesungguhnya); arus putar yang menyebar di dasar sungai, pertemuan arus dari berbagai tempat, batu-batuan di dasar sungai dan batuan besar yang terdapat di daratan; gangguan ‘hantu-hantu’; serta gariskhatulistiwa, lokasi dimana syarif Abdurrahman membidikkan anak panahnya untuk menentukan tempatberdirinya mesjid.
3. Tahap Cinta, hati merupakan cermin cahaya cinta Ilahi yang bersinar indah, diwujudkan dalam bentuk MesjidJami yang berada di antara dua sumber mata air/sungai. Suatu kota harus memiliki cahaya cinta yangmendiami hati, sehingga kehidupan/aktivitas di mesjid mencakup berbagai aspek kemaslahatan umat.
4. Pencari Sejati harus menjadi satu dengan eksistensi diri dan alam. Kampung-kampung dibangun menurutpotensi alam dan potensi diri masyarakat.
5. Tahap kesatuan, kota akan menjadi cemerlang seperti matahari yang berada pada sistem tata surya apabilapartikel-partikel tubuh (eleman-eleman kota) yang tumbuh saling mendukung satu sama lain (struktur ruangkota).
Gambar 6. Skema Proses Pembangunan Negeri Hijaudi Tiga Cabang Sungai dan Tiga Pulau/Telok
Sumber: Alqadrie RDV, 2010
6. Tahap ekstasi, kampung-kampung yang sudah dibentuk oleh Pencari Sejati mengalami perkembangan dengansendirinya menjadi permukiman yang cenderung berlapis-lapis (empat pilat alam) membentuk pertahanan,keselarasan dan kekeluargaan yang kokoh.
7. Tahap fana dan kefakiran, apabila keseluruhan tahap telah terpenuhi maka Kekuatan Sang Maha TakTerhingga akan menampakkan rahmatNya kepada engkau dalam kedamaian rumahmu yang fana dan fakir --Negeri Qadariah atau anak alam, berwujud Istana Qadriah.(RDV Alqadrie,2010)
Kaidah penghargaan terhadap potensi alam di ketiga ruang diaplikasikan oleh Sultan Syarif
abdurrahman dalam mengatur pola ruang bagi masyarakatnya. Pengelolaan potensi alam di perhuluan
dilakukan oleh kelompok etnis yang memahami kondisi perhuluan, seperti masyarakat Dayak. Potensi
alam di pesisir dikelola oleh masyarakat maritim, seperti Bugis. Sedangkan, Potensi alam di darat atau
tengah sebagai daerah perkebunan dan perdagangan dikelola oleh masyarakat Melayu dan Cina.
“……Hikayat Kote Pontianak, bemule dari kiseh Habib Husein. Bagailah mane seorang anak, behati tundok padepetue ayahande Husein. Pabile negeri yang elok rupe dan sejahtere berade alam rimpah ruah, tige kuale hile’ dantige kuale ulu’……. Jami lah di antarenye…….. di atas empat kubah keci’nye, mate mengawas tiap penjurukuale……. Di bawah Istane Qadriah, lantainye besuson-suson, telinge poen menangkap, sayop-sayop getar-getarsuare, gelombang air sungai petande dimanelah kapal musoh berade, dari tige penjuru Kuale Jongkat, KualeKubu dan Kuale Kakap, nak nyerang negeri, kite semue besodare, seiye, sekate, besiaege diri …….” (LantunanSyair dari Yunus Mohan – Kamp. Tambelan dan Abdullah – Kamp. Arab, 2002).
Kota didirikan di posisi tengah yang disimbolkan dengan kehadiran Mesjid Jami. Enam tiang
utama mesjid melambangkan perwakilan dari enam kelompok etnis yang hidup di kota ini dan
menggambarkan tiga jalur pesisir dan tiga jalur ruang perhuluan yang menandakan kekuatan
hegemonis. Kaidah ini diserap dan diaplukasikan dari hasil penyerbukan silang antara budaya Melayu
Asli KalBar dan Kaidah Islam.
Mesjid Jami’ memiliki dua jenis kubah, kubah kecil dan kubah besar. Empat kubah kecil
dirancang membentuk empat penjuru dan kubah besar berada di antara kubah kecil. Hal ini
melambangkan lapisan empat pilar alam berinti satu yang merupakan hasil penyerbukan silang antara
kaidah Islam dan Melayu Asli KalBar yang telah mengalami transformasi dengan peradaban Hindu-
Budha.
Selanjutnya kubah-kubah itu berperan sebagai penghubung tiga kuale pesisir dan tiga kuale
perhuluan yang membentuk garis imajiner Hulu-Tengah-Hilir dan garis imaginer Laot/Ayah-
Darat/Anak-Rimba/Ibu. Kedua garis imajiner ini berpusat kepada mesjid Jami’ yang berperan sebagai
titik pusat lingkaran empat pilar alam. Perkampungan berperan sebagai titik-titik koordinat pembentuk
lapisan empat pilar alam berinti satu.
Sedangkan elemen-elemen pembentuk ruang kota, seperti pemerintahan (Istana Qadriah-pintu
kote), pasar darat-terapung, pelabuhan, pemakaman dan tempat pemberlakuan hukum Qisash disusun
mengikuti keseimbangan garis imajiner. Kaidah penyusunan elemen tersebut dihasilkan dari proses
penyerbukan silang antara kaidah Islam, Melayu Kuno KalBar, Bugis dan Melayu yang telah
bersentuhan peradaban Budha (Sriviejaya) dan Cina, serta disesuaikan dengan kondisi lapangan.
Keunikan penyusunan ini dapat dilihat dari perletakan makam yang berada di pintu masuk
jalur pelayaran kota yang merupakan kaidah masyarakat Melayu Kuno KalBar. Posisi makam
menggunakan prinsip transformasi keruangan dalam ilmu perspektif ruang, sehingga makam terkesan
berada di pesisir (menyambut kedatangan tamu). Namun kaidah makam juga menyerap budaya Bugis
dan Cina yang diposisikan di bagian atas atau hulu.
1)Kuala Jongkat/Tanjung Dzohor, 2)Kuala Kakap/Tanjung Saleh, 3)Kuala Kubu/Tanjung Padang TikarA)Mandor/Kuala Mandor, B)Sanggau/Pulau Labi(Benteng Jambu Basrah, C)Kuala Landaka)Pulau Batu Layang/Makam Batu Layang, b) Pulau Hanyut, c) Pulau Arang Limbong/Telok Pak Kedai
Potensi lokal kedua adalah masyarakat Kalimantan yang bersifat komunal. Pola hidup mereka
dilakukan secara bersama-sama, baik dalam satu komunitas yang sama maupun komunitas lain yang
berbeda, sehingga masyarakat Kalimantan Barat, khususnya Pontianak dikenal sebagai masyarakat
plural.
Karakter heterogen ini dipahami oleh pendiri kota dan masyarakat tua Pontianak. Dengan
demikian, mereka mengaplikasikan keberagaman ini secara selaras dan serasi. Konsep plural dan
multukultural diterapkan dalam sistem kehidupan masyarakat kota Pontianak, seperti tata kelola
ruang-ruang hidup bersama.
Setiap kampung atau lingkungan permukiman didiami paling sedikit tiga kelompok etnis,
meskipun kampung didirikan oleh seorang kelompok etnis tertentu yang bertugas memimpin seluruh
warga kampung. Pemimpin kampung ini diberinamai Kepala Parit. Setiap kelompok etnis di dalam
suatu kampung diwakilkan seorang tokoh kelompok etnis yang mendiami Umah Besa’.
Gambar 7. Skema Jalur PelayaranHulu-Tengah-Hilir
Sumber: Hasil Wawancara, Survei dan Peta Ekonos 2003 (Arcview GIS)
Peta KunciKOTA PONTIANAK
U
Pendiri kota Pontianak menghindari ruang-ruang segregasi. Ruang-ruang dibangun tanpa sekat-
sekat. Bahkan, eksistensi kediriannya sebagai anak alam, anak bagi masyarakatnya, anak bagi ibu-
ayah kandungnya dan mertuanya yang berbeda latar belakang memberikan pandangan hidup baginya
untuk mengaplikasikan kaidah kebersamaan hidup dalam konsep hubungan kemasyarakatan secara
horisontal. Konsep Islam dan Budaya Lokal diserap dan diaplikasikan secara bijaksana yang
disesuaikan dengan kondisi di lapangan.
Kaidah anak alam atau anak bagi masyarakat komunal diaplikasikan ke dalam pola tata ruang
kota Pontianak. Tata ruang ini melambangkan potensi masyarakat heterogen. Hasil penyerbkan silang
antar budaya ini dirangkum sebagai berikut (Gambar 8):
1) Ketika roh pemberian menuju alam, roh adalah bayangan yang mengikuti wujud manusia (anak), begituhebatnya cengkraman alam yang lemah sekaligus kuat – halangan bebatuan dan arus putar di dasarSungai Kapuas Besar, sekitar Batu Layang – sehingga roh pemberian memerlukan kepastian dari Tuhanuntuk mengatasi cengraman alam – Tuhan pemberi roh Manusia, ketidakabadian adalah sifat manusiayang dihadirkan dalam wujud Makam Batu Layangiii. Posisi makam berada di depan pintu gerbang KotaPontianak pada jalur pelayaran – di masa awal perkembangannya, kota ini merupakan penghubung antarkota/kesultanan di Nusantara.
2) Ketika kita menjadi manusia (anak alam) yang telah berhasil melalui rintangan di sekitar Pulau BatuLayang, kita melanjutkan perjalanan dengan melalui garis khatulistiwa (1) – penyatuan diri sertakeseimbangan antara wujud/tubuh dan bayangan (ayah) adalah sama. Setelah melewati garis khatulistiwa,kita menuju Cahaya Tuhan (mesjid) untuk mengharapkan kesucian diri dan keselarasan kehendak kitaterhadap kehendak Allah yang sunatullah (0) agar kita dapat menjadi wakil sekaligus abdi Tuhan di alam.Saat itu bayangan memimpin diri/tubuh -- artinya sebelum mencapai tahta (Istana Qadriah) dan sebelummemimpin alam, manusia harus mengembalikan niatnya kepada Allah bahwa sebagai abdi dan wakilTuhan di muka bumi, ia memimpin adalah bukan disebabkan oleh ambisi pribadi melainkan untuk Allah(‘rahmatanlil’alamin’), dan bukan sebatas ia adalah anak dari ayah atau ibunya. Ketika manusiamenduduki tahta (∞), Ia memiliki kemampuan untuk mengenal Tuhan, mengenal potensi diri serta
Gambar 8. Skema Potensi Masyarakat Plural dariKaidah Laot/Ayah-Darat/Anak-Rimba/ibu
Sumber: Hasil Wawancara, Studi Hikayat dan Studi Lapangan, 2002
memiliki kemampuan dan kesadaran untuk merendahkan diri di hadapanNya (‘Hablunminallah’) dansesama (‘Hablunminannas’)iv.
3) Ketika dia duduk di atas tahta sebagai abdi Tuhan sekaligus wakil Tuhan di muka bumi, entitas-entitasyang dihadapinya adalah Ayah di Mempawah melalui garis imajiner; untuk mengembalikan ingatan pada wasiat ayahnya, negeri
hijau adalah tempat untuk mengajarkan dan meluaskan “kalimat baik” (Kalimat Allah) yangdiumpamakan dengan pohon yang baik, dimana bila ditarik garis imajiner akan bertemu pada sebuahPohon Arah yang tumbuh rindang dan berumur ratusan tahun di dekat Makam Habib Huseinv.
Makam dan Pulau Batu Layang; mereka merupakan kemenduaan yang mengingatkan kita padakehidupan awal (pintu gerbang kota) dan kehidupan akhir (makam), dunia fana-abadi,penderitaan/Neraka (rintangan di dasar sungai) dan keindahan/Surga (Pulau Batu Layang di tengahpermukaan sungai), serta alam imateri dan alam materi.vi
Garis Khatulistiwa dan Titik Kulminasi; mereka merupakan sumber cahaya ilahi (sumberpengetahuan) yang diberikan oleh Ilahi kepada akal yang bersemayam di dalam hati – akal merupakansarana pengetahuan yang berisi kalimat-kalimat baik yang telah dibawa dan disampaikan oleh ayahnyabagi kehidupan dunia dan akhiratvii. Pada kondisi 0°, kekuatan akal-jiwa membaur dalamkeseimbangan diri.
Sungai Durhaka (Pemberlakuan Hukum Qisas), pelabuhan dan perdagangan; dari garis imajinerpandangan (Gambar 3) dapat ditemukan posisi Sungai Durhaka-Pelabuhan-Perdagangan di sisi kiri,sedangkan makam Batu Layang berada di sisi kanan. Hal tersebut mengingatkan tanggungjawabkehidupan dunia sama pentingnya dengan persiapan menuju kehidupan akhirat dan kedamaian dunia(surga dunia) dapat diciptakan apabila keadilan dunia dan Asma Allah ditegakkan di setiap sendi-sendikehidupan.
Mesjid Jami dan Garis kiblat; Keduanya merupakan tempat dimana Cahaya Ilahi bersemayam di hatidan diibaratkan dengan surga. Mesjid Jami yang diapit oleh pertigaan sungai, dilingkupi olehkampung-kampung yang dialiri paritviii serta bergaris imajiner terhadap pelabuhan-pasar dan pabrik-pengadilan Hukum Qisas di Sungai Durhaka. Hal ini mengingatkan diri kita untuk menciptakan surgadunia yang rahmatanlil’alamin.Garis Kiblat menghubungkan posisi tahta di Istana Qadriah-Mesjid Jami dan Ka’bah; fenomena inimengingatkan kepatuhan diri pada satu kekuatan Ilahi dan gerakan Tawaf yang universal. Sebaliknya,Garis Kiblat atau Pesisir-Perhuluan dalam eksistensi Ayah-Ibu mengingatkan posisi pertemuan Adam-Hawa di Jabal Rahmah dan mengingatkan juga kepada manusia bahwa substansi penciptaan manusiaberasal dari tanah-air (perhuluan-pesisir).
4) Ketika turun dari tahta untuk mengarahkan langkah ke dan dari Mesjid; Menuju ke mesjid adalah untuk keperluan shalat, pertemuan dengan rakyat/musyawarah, menerima
tamu, dan sebagainya. Kita merupakan bagian dari anak alam yang memimpin alam sekaliguswakil/abdi Tuhan sehingga bayangan mengikuti diri kita yang telah mengalami penyatuan (1) dankesucian (0) untuk menghasilkan insan/anak alam-pemimpin negara-pemimpin agama yang ‘taqarrub’kepada Kekuatan Sang Maha Tak Terhinggaix.
Melewati mesjid (pendopol mesjid) adalah untuk melakukan kunjungan di berbagai negeri. Dari mesjidberlayar ke arah garis khatulistiwa, bayangan mengikuti tubuh dari belakang, tujuan pelayaranseorang abdi Tuhan semata-mata ditujukan untuk kemaslahatan umat dan alam. Setelah melalui gariskhatulistiwa, bayangan dan tubuh adalah satu, sebagai wakil Tuhan bagi alam/pemimpin alam, iamemiliki kemampuan dan potensi untuk mewakili negerinya menghadapi berbagai persoalan dantugas-tugas negara.
5) Ketika turun dari tahta untuk menghadap Sang Kholiq (wafat)Sebagai anak alam yang memimpin alam, tubuh disemayamkan di mesjid, diri menjadi suci yang berartibayangan kebaikan semasa hidup selalu menyertai di belakang kita dan senantiasa dikenang masyarakatmeskipun jasad dan tubuh telah terpisah. Jasad melewati garis khatulistiwa, artinya wujud dan rohterpisah dan bayangan roh memimpin di depan tubuh untuk melewati Batu layang – memakamkan jasaddan roh melewati rintangan/neraka apabila semasa hidupnya banyak berbuat kerusakanx. Selanjutnya rohakan kembali ke asal-Nya yang melewati samudera lepas -- Kuala Jongkat/pesisir.
6) Ketika turun dari tahta untuk merangkul alam (ibu); ini dilakukan melalui garis imajiner menghadap kepedalaman jauh dan dekat yang merupakan permukiman bagi saudara ibu. Anak alam yang ‘taqarrub’kepada Kekuatan Sang Maha Tak Terhingga ketika ia merangkul alam maka dirinya adalah wujud imam–kepala keluarga bagi alam yang merupakan eksistensi dari sifat ayah; dan dirinya adalah bagian darialam yang penuh kasih dari sifat ibu. Bayangan adalah dirinya sendiri yang merupakan cerminan dua sifatyaitu belas kasih dan pelindung alam. Bayangan akan memimpin dirinya sendiri (berada tepat di hadapantubuh), bayangan senantiasa dijadikan sebagai cerminan dari segala tindakannya terhadap alam dankeselamatan alam (rahmatanlil’alamin), karena yang dihadapinya adalah rakyat/saudara (alam) makabayangan ayah-ibu memimpin wujud dirinya (bukan bayangan dirinya).(RDV Alqadrie, 2010)
Peranan potensi masyarakat plural yang selaras dimaknai melalui hubungan baik antara ayah,
ibu dan anak. Ayah bermakna kekuatan disimbolkan dengan Laot. Ibu yang berasal dari daerah
pedalaman berkarakter lembut disimbolkan dengan rimba. Sedangkan anak melambangkan kota
Pontianak yang berada di antara kawasan pesisir dan pedalaman. Dari makna kata, Ponti-anak
(pontian) berarti buayan anak. Dengan demikian, Pontianak merupakan tempat tinggal atau hunian
bagi anak keturunan dari ayah dan ibu yang berlatar belakang berbeda dan hidup secara damai atau
seras (Hablunminannas)
Penyerapan dan pengaplikasian kaidah potensi keberagaman alam dan kemajemukan
masyarakat (plural) belum sepenuhnya mencapai sasaran, apabila kedua potensi itu tidak berkembang
secara seimbang atau beriringan. Dalam kaidah Islam, suatu masyarakat atau peradaban dapat meraih
kemuliaan tertinggi, apabila kedua potensi ini bergerak secara harmonis dan selaras.
Untuk mencapai makna keharmonisan dan keselarasan antara potensi alam, pembangunan kota
dan masyarakat harus berfokus kepada keduanya, tanpa pengabaian dan pendominasian salah satunya.
Kaidah ini yang belum sepenuhnya diperhatikan oleh budaya setempat dan dinamika budaya lokal.
Dengan konsep Islam, keseimbangan antara kaidah Hamblunminallah dan Hablunminannas di
dalam kehidupan suatu kota mendorong pencapaian tertinggi peranan manusia di muka bumi.
Kehadiran anak manusia merupakan pemberi rahmat bagi seluruh alam dan isinya
(Rahmatanlil’alamin).
Pandangan terakhir ini dirancang oleh pendiri kota Pontianak dalam pembangunan fisik dan
non-fisik di kota Pontianak. Dengan harapan, kaidah lokal yang luhur dan budaya Islam dapat
diabsorpsi selama proses perubahan pandangan hidup masyarakat ke arah yang terbaik.
Gambar 9. Kaidah Keselarasan PerananPotensi Alam yang Harmonis dan Potensi Masyarakat yang Selaras
Sumber: Hasil Wawancara, Survei dan Peta Ekonos 2003 (Arcview GIS)
Peta KunciKOTA PONTIANAK
U
Akhirnya, sistem pilar alam mampu memayungi penerapan keseimbangan antara kaidah potensi
alam yang harmonis dan potensi masyarakat yang selaras. Pengaplikasian konsep ruang empat pilar
alam berinti satu merupakan wujud kota Madani, meliputi pembangunan seluruh aspek kehidupan.
Gambar 10. Konsep Sistem Pilar Alam(Konsep Tiga Ruang dan Empat Pilar Alam Berinti Satu)Sumber: Hasil Wawancara, Survei dan Peta Ekonos 2003 (Arcview GIS)
Peta Kunci
KOTAPONTIANAK
U
Gambar 11. Aplikasi Sistem Pilar AlamSumber: Alqadrie, RDV, 2010
E. Pewarisan Konsep Tiga Ruang dan Sistem Pilar Alam
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990:1008), pewarisan bararti proses, perbuatan, cara
mewarisi atau mewariskan. Pewarisan Konsep Tiga Ruang dan Sistem Pilar Alam merupakan strategi
mewarisi potensi-potensi lokal yang memiliki peranan penting dalam kelangsungan hidup masyarakat
KalBar, khususnya dinamika masyarakat Melayu KalBar terhadap peradaban global. Dengan
demikian, mereka berhasil – memiliki daya tahan -- melalui tahapan-tahapan metamorphosis atau
perubahan ke arah yang lebih baik -- proses penyerbukan silang -- dalam mengekpresikan diri --
kaidah-kaidah budayanya -- untuk menghasilkan formula/konsep dan strategi mengelola dan mewarisi
potensi budayanya yang senantiasa hadir di setiap masa perkembangannya.
Beberapa strategi pewarisan diaplikasikan oleh pendiri kota Pontianak pada masa awal
pembangunan kota. Strategi pewarisan juga dapat dipahami sebagai upaya penggalian identitas kota
dan karakter Kalimantan Barat yang menggunakan konsep tiga ruang dan empat pilar alam berinti
satu.
1. Strategi Ekonomi dan Politik Maritim
Strategi ekonomi dan politik diserap, diaplikasikan dan diwarisi untuk menciptakan karakter
kota Pontianak sebagai bagian dari Kaliamantan yang memahami potensi dirinya. Potensi
keberagaman alam dan heterogenitas masyarakat dapat mendorong kekuatan hegemonis bagi
Pontianak dalam pemberdayaan ekonomi berkelanjutan. Selain itu, pewarisan ini merupakan
penyerapan kaidah-kaidah yang dihasilkan selama proses penyerbukan silang antar budaya setempat
maupun peradaban global di masa awal kehidupan Melayu KalBar hingga kehidupan Melayu
mengalami dinamika kekuatan kegiatan perdagangan.
Dengan menyerap dan mengaplikasikan keberagaman alam dan heterogenitas, kekuatan
ekonomi dan politik maritim dapat diwujudkan sebagai upaya pewarisan kaidah-kaidah yang
menghargai keberagaman alam dan kemajemukan masyarakat. Strategi ekonomi dan politik maritime
bukan tujuan utama bagi kemakmuran masyarakat Melayu KalBar, khususnya Pontianak. Namun
suatu dampak positif dihasilkan berdasarkan kemampuan bermetamorfosa secara bijaksana
(sunatullah) selama tiga dinamika kekuatan pembentuk kehidupan – peradaban, hubungan silaturahmi
dan perekonomian/perdagangan -- diwarisi secara berimbang dan bersama-sama (lihat Gambar 12).
Laut Jawa
Sumaterabagian Timur
Laut CinaSelatan
Sela
tKa
rimat
a
Keterangan:Jalur PerdaganganBenua Afrika danAsia Selatan
Jalur PerdaganganAsia Timur dan AsiaTenggara
Daerah KolonialInggris
Daerah KolonialBelanda
Titik Transito
Pusat KesultananMelayu
Kalimantanbagian Barat
Kuala Pesisir & Perhuluan Titik Aktivitas Beribadah (Mesjid Jami)Perkampungan/Titik Transito Pusat Pemerintahan (Istana Qadriah)Titik Aktivitas Berlabuh Jalur Sungai UtamaTitik Ativitas Beniaga Jalur Anak Sungai
Gambar 12. Strategi Ekonomi dan Politik Maritim Ruang Makro-MessoSumber: Hasil Wawancara, Survei dan Peta Ekonos 2003 (Arcview GIS)
2. Strategi Budaya-Religi
Garis imaginer Hilir-Tengah-Hulu dan Laot-Darat-Rimba merupakan strategi dan pewarisan
kaidah dinamika budaya Melayu KalBar dalam wujud arsitektur perkotaan. Strategi budaya religi
diabsorpsi dan diaplikasikan melalui proses penyerbukan silang antar kaidah setempat, pandangan dari
masyarakat pendatang (seperti: Bugis, Cina, Banjar dan Melayu Kontemporer) dan kaidah Islam.
Strategi budaya religi diformulakan sebagai proses memahami, mengaplikasikan dan mewarisi
esensi dari potensi keberagaman alam-hayati dan heterogenitas masyarakat dalam pembangunan kota
Pontianak. Selain itu, strategi ini merupakan indikator yang dihasilkan dalam cita-cita pembangunan
peradaban berkelanjutan yang dihasilkan dari tiga kekuatan penting pembentuk kehidupan masyarakat
berbudaya.
Gambar 13. Strategi Ekonomi dan Politik Maritim Ruang Messo-MikroSumber: Hasil Wawancara, Survei dan Peta Ekonos 2003 (Arcview GIS)
Gambar 14. Garis Imaginer Hilir-Tengah-HuluSumber: Hasil Wawancara, Survei, Studi Pustaka dan Peta Ekonos 2003 (Arcview GIS)
Peta KunciKOTA PONTIANAK
U
Gambar 15. Garis Imajiner Ayah-Anak-Ibu/Laot-Darat-RimbaSumber: Hasil Wawancara, Survei, Studi Pustaka dan Peta Ekonos 2003 (Arcview GIS)
Peta Kunci
KOTA PONTIANAK
U
LAOT
RIMBA
DARAT
3. Strategi Manajemen Konflik dalam Ruang dengan Prinsip Multikultural
Pemahaman multikultural diciptakan dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat Pontianak oleh
pendiri kota. Dengan cara, kaidah masyarakat komunal dan plural diserap dan diaplikasikan menjadi
strategi pewarisan dalam pembangunan. Strategi ini meliputi kemampuan melanjutkan warisan bangsa
yang berbenika-tunggal-ika, yaitu beragam dalam kesatuan tata kehidupan yang selaras dan serasi
dimana nilai-nilai lokal – karakter masyarakat Melayu KalBar yang selalu terbuka menerima
pendatang dan budaya luar dalam budaya pengangkatan saudara atau anak – dituangkan dalam sistem
pembangunan bangsa dan tata kelola ruang kota-potensi keberagaman alamnya.
Hasilnya, kota Pontianak mampu menempatkan masyarakat plural dalam ruang-ruang bersama
untuk mengelola potensi-potensi dirinya terhadap potensi alam dan keruangan, tanpa adanya konflik,
baik horisontal apalagi vertikal. Selama masa kepemimpinan disnati Qadariah, konflik pertikaian antar
kelompok etnis dan pihak pemegang ekonomi dapat dihindarkan di wilayah kota Pontianak, melalui
strategi manajemen konflik ini, begitu juga dengan permasalahan dekadensi alam. Pontianak
berkembang menjadi barometer perkembangan peradaban Kalimantan Barat di masa itu.
Strategi manajemen konflik skala makro, ruang kota diatur berdasarkan konsep empat pilar
alam berinti satu. Bagaimana ruang Hulu diperuntukkan bagi masyarakat berpotensi untuk mengelola
kawasan perhuluan dan perkebunan tanaman perhutanan. Ruang hilir dikelola oleh masyarakat yang
berpotensi mengelola kawasan pesisir dan perkebunan perhiliran. Kawasan tengah dihidupkan oleh
potensi masyarakat perdagangan, perindustrian dan perkebunan modern. Potensi alam berperan
penting dalam pengelolaan ruang makro, sehingga pewarisan potensi alam sebanding lurus dengan
keberhasilan pengelolaan masyarakat plural dalam kontek keselarasan dan keharmonisan.
Gambar 16. Strategi Manajemen Konflik Skala MakroSumber: Hasil Wawancara, Survei dan Peta Ekonos 2003 (Arcview GIS)
Peta KunciKOTA PONTIANAK
U
Strategi manajemen konflik skala messo, pengelolaan ruang-ruang empat pilar alam berinti
satu diatur berasarkan prinsip multikultural. Masyarakat beragam budaya dan asal kedaerahan diberi
kepercayaan untuk mengelolah ruang lingkaran alam, sehingga mereka memiliki tanggungjawab
penuh mewarisi kaidah local masyarakat komunal dalam kontek hubungan horizontal yang baik atau
selaras. Kaidah hubungan silaturahmi dan pengangkatan saudara/anak menjadi landasan utama bagi
masyarakat yang ingin hidup di kota ini. Seorang pemimpin masyarakat diberi keluasan untuk
mengekspresikan dan melestarikan nilai local ini yang ada berupa hasil sentuhan-sentuhan budaya asal
mereka dalam proses penyerbukan silang dan kerangka Hablunminannas.
Aplikasi konsep peruangan ini, berupa keberagaman kampung telah mengisi ruang empat pilar
alam (lihat Gambar 17). Managemen yang baik dapat diserap bagi masyarakat luas dalam dinamika
pembangunan peradabannya adalah dengan strategi aplikasi lapisan inti. Lapisan inti ini merupakan
wujud kota madani saat itu dimana ruang lapisan inti mewujudkan konsep multikultural. Satu ruang
ini didiami oleh berbagai kelompok etnis lokal dan global, sedikitnya empat kelompok masyarakat.
Dengan demikian, lapisan ini berdiri kampung berdasarkan potensi masyarakat dan alam,
seperti kampung Bugis, kampung Banjar, kampung Arab, kampung Mesjid dan kampung Dalam. Di
setiap kampung tersebut, kaidah masyarakat komunal direalisasikan dengan cara menghidupkan
kelompok masyarakat beragam dalam satu entitas keruangan kampung, seperti masyarakat Tionghoa,
Bugis, Melayu kontemporer, Melayu asli KalBar, keturunan Arab, India/Pakistan dan Banjar.
Selanjutnya pada masa kesultanan Ke-6, Sultan Syarif Muhammad Alqadrie menerima arus
kedatangan masyarakat Madura, Jawa dan Sunda yang ingin bekerja di perkebunan, persawahan, serta
sebagai tukang sampan, pengurus kuda di lingkungan Istana Qadriah, mesjid Jami’ dan ternak.
Gambar 17. Strategi Manajemen Konflik Skala MessoSumber: Hasil Wawancara, Survei dan Peta Ekonos 2003 (Arcview GIS)
Peta KunciKOTA PONTIANAK
U
Strategi Manajemen Konflik Skala Mikro diaplikasian dengan menyerap strategi skala mikro.
Lapisan inti yang meliputi ruang multicultural dijadikan maket atau model untuk mengkonkritkan
kaidah lokal masyarakat homogeny pada ruang-ruang messo dan mikro, sehingga sistem empat pilar
alam berinti satu dapat dipenuhi sebagai peradaban Madani.
4. Strategi Manajemen Sumber Daya AirKaidah potensi alam (sungai) diserap dan diaplikasikan untuk kebutuhan masyarakat secara
bijaksana, seperti untuk jalur transportasi, penanda kawasan, pertahan dan keamaanan atau elemen
pembatas ruang, serta orientasi kota. Pewarisan strategi manajemen sumber daya air dalam kondisi
real, justru memberikan gambaran identitas kota sebagai kota air.
Gambar 18. Strategi Manajemen Konflik Skala MikroSumber: Hasil Wawancara, Survei dan Peta Ekonos 2003 (Arcview GIS)
Peta KunciKOTA PONTIANAK
U
Gambar 19. Penanda Keberadaan Kawasan (Landmark of Area Existential)Sumber: Hasil Wawancara, Survei dan Peta Ekonos 2003 (Arcview GIS)
Peta KunciKOTA PONTIANAK
U
Ruang kota diatur berdasarkan fungsi dan kegunaan aliran sungai, konsekuensi logis sistem ini
bukan hanya secara konkrit juga secara abstrak, yaitu bagaimana hirarki sungai/parit dibangun
menurut sistem nilai-nilai lokal yang disesuaikan dengan perkembangan zaman dan kebutuhan hidup
masyarakat. Kesalahan terbesar terjadi apabila potensi masyarakat dan alam tidak dikembangkan
secara berbarengan, menjadi satu sistem kosmik yang utuh dan menyeluruh, selaras dan harmonis.
Peniadaan salah satunya atau penomorduaan salah satunya akan mengarahkan pembangunan yang
tidak berimbang. Bisa diterka, kehancuran sistem tata ruang memberikan dampak kerusakan ekologi
dan moral masyarakat yang tidak peka terhadap lingkungannya dan alam. Akhirnya, kegagalan satu
aspek pembangunan – potensi local -- dan skala pembangunan (makro-meso-mikro) akan berimbas
kepada semua komponen kekuatan dinamika bangsa, yaitu ekonomi, hubungan bilateral dan
peradaban bangsa itu sendiri.
Suatu citra positif yang dibangun tidak akan memberikan dampak kekuatan dinamika budaya
masyarakat di mata bangsa lain, apabila citra positif itu tidak dibangun berdasarkan kaidah-kaidah
lokal yang memiliki daya pemanensi tinggi terhadap perubahan. Peradaban lokal yang berhasil
mencapai kemapanan diri apabila mereka berhasil menyerap berbagai kaidah lokal dan global
berdasarkan potensi-potensi yang ada pada dirinya dan mengaplikasikan hasil penyerbukan silang itu
Gambar 20. Penghubung Pusat Kota Ruang Makro-Messo-MikroSumber: Hasil Wawancara, Survei dan Peta Ekonos 2003 (Arcview GIS)
ke dalam bentuk nyata. Maka dari itu, pembangunan berkelanjutan dapat diraih melalui strategi
pewarisan potensi diri – potensi alam dan masyarakat.
Pembangunan berkelanjutan dapat bergerak secara dinamis tanpa henti untuk membangun
kekuatan perekonomian, hubungan bilateral dan peradaban bangsa melalui arah orientasi
pembangunan. Arah orientasi pembangunan suatu bangsa atau kelompok masyarakat tentu didasarkan
pada potensi-potensi lokal yang dimilikinya. Apakah suatu konsep pembangunan dan kaidah-kaidah
luar bisa begitu saja diterima dan sesuai dengan keadaan daerah tertentu? Kaidah luar dan strategi
global memberikan kebaikan bagi wilayah lain selama nilai tersebut berhasil diserap melalui proses
penyerbukan silang dengan kaidah lokal, tanpa harus meninggalkan potensi apa yang sudah dimiliki
daerah itu, dan memaksakan suatu “kebenaran” dari daerah lain (lihat Gambar 22).
Keteraturan dalam penataan sistem ruang harus jelas dengan memberdayakan masyarakat
plural dan keberagaman potensi alam. Pembangunan fisik meliputi pembangunan masyarakat dan
alam bagaimana strategi pembangunan berhasil menciptakan keselarasan dan keharmonisan antara
masyarakat plural, keberagaman alam dan kedua potensi local itu dalam satu kesatuan sistem tata
ruang kota secara makro-messo-mikro serta sistem kosmik secara keseluruhan yang alamiah (lihat
Gambar 23).
Gambar 21. Strategi Manajemen Sumber Air Pembentuk Citra Arsitektur Perkotaan KalimantanSumber: Hasil Wawancara, Survei dan Peta Ekonos 2003 (Arcview GIS)
UPeta KunciKOTA PONTIANAK
Artinya penyerbukan silang antar budaya bukan untuk meniadakan satu dikarenakan
keunggulan yang lain, namun suatu proses mewarisi (strategi pewarisan) potensi diri dalam
pembenahan cara atau sistem baru yang memberikan arah kebaikan pembangunan masyarakat dan
lingkungannya. Haruskah pemaksaan cara baru menghancurkan ketahanan potensi lama yang berhasil
menghadapi berbagai perubahan secara bijaksana dan arif dari zaman ke zaman?
Gambar 22. Strategi Pewarisan Sumber Daya Air Sebagai Arah OrientasiSumber: Hasil Penemuan, 2003
Gambar cGambar b
Gambar d
Gambar e
Keterangan:
U
U
U
U
Hakikatnya adalah pembangunan untuk memberikan kebaikan hidup bagi masyarakat dan
lingkungan alam yang meliputinya, bukan untuk menghancurkan dan mengeksploitasi salah satunya
bagi kepentingan di luar masyarakat dan alam itu sendiri, di luar sistem kosmik itu sendiri, yang terus
bergerak menuju kebaikan, bermetamorphosa secara alamiah. Kegagalan dan pemaksaan dalam proses
penyerbukan silang akan berakhir kepada kehancuran dan akan tetap kembali kepada perubahan yang
alamiah (sunatullah). Tentu saja, hal itu memerlukan waktu yang sangat lama untuk kembali
memulihkan kekacauan yang terjadi dari kesalahan strategi pewarisan di dalam sistem kosmik yang
terus berputar, bergerak, menyebar dan berfokus kepada nilai-nilai kebaikan.
Lalu haruskah kita tetap melanjutkan strategi pewarisan yang memberikan dampak ketidak-
seimbangan dalam sistem pergerakan dunia kosmik ini? Jawabnya tentu saja tidak. Mari kita berbuat
bersama-sama untuk peradaban Indo-Melayu yang baru ini, dengan saling bergandengan tangan dan
menyatukan langkah, seperti yang telah dilakukan pendahulu-pendahulu kita untuk kebaikan dan
kesempurnaan proses berdinamika masyarakat berbudaya Indo-Melayu, peradaban dunia baru.
Aamiin Aamiin Aamiin Ya Rahman Ya Rahiim.
Pulau BatuLayang
Publik
Semi Publik
UPeta KunciKOTA PONTIANAK
Laut CinaSelatan
danSelat
Karimata
U
Peta KunciKOTA PONTIANAK
Semi Publik
Privat
Semi Privat
ZONA TENGAH
MESJID JAMI
PERANAN PARIT KONGSI
ZONA HILIR
PARIT ANTARE
Perkampungandalam SatuZona
Gambar 23. Pengatur dan Pembatas RuangSumber: Hasil Wawancara, Survei dan Peta Ekonos 2003 (Arcview GIS)
PublikEksterior
Catatan Kakii Kitab Hikayat Al-Habib Husein Alqadri (tanpa nama pengarang ) disalin kembali oleh Alwi bin Ahmad bin Ismail AL-Qadrie padatahun 1354 H atau 1935 M yang bertuliskan huruf Arab-Melayu atau Jawi merupakan Manuskrib Sejarah Islam di Kalbar, terutamatentang kedatangan dan perkembangan Islam di Pontianak. Kitab ini juga membahas tentang Sultan pendiri kota Pontianak, hukum fikihserta amalan tasawuf dan kegiatan politik dan ketentaraan penduduk setempat.
Habib Husein AL-Qadrie bin Ahmad Jamalullail adalah seorang ulama besar keturunan Syaid dan penyiar agama Islam, berasal dari kotakecil bernama Trim, Hadramaut, sekarang dikenal dengan Yaman Selatan.Menurut catatan Alwi bin Ahmad bin Ismail AL-Qadrie (Haji Yahaya,1999:221), Habib Husein -- ayah dari pendiri kota Pontianak danKesultanan Qadriah Pontianak -- adalah penganut mazhab Syafii , termasuk ulama tasawuf.
Husein mendapatkan pendidikan dari gurunya, Sayyid Muhammad Hamid di Kulandi Al Mukalla, tidak hanya pendidikan ilmu agamaIslam, tetapi juga ilmu pengetahuan umum serta wawasan luar negeri yang cukup mendalam. Menurut Syarif Ibrahim Alqadrie, 2005,hal. 601. Ia juga belajar ilmu pelayaran dan perdagangan dan bergabung dengan usaha pelayaran dagang di sekitar Teluk Persia sampaike Kalkuta di Pantai Barat Afrika. Kegiatan pelayaran yang dilakukan Habib Husein ini bukan saja untuk berdagang yang dapatdigunakan untuk biaya perantauannya, tetapi lebih pada motivasi untuk menyebarkan agama Islam (uchuwa Islamiyah) menjadi mubaligdan mufti.
Syarif Abdurrahman AL-Qadrie adalah pendiri kota Pontianak beribukan wanita Dayak dari Kesultanan Melayu Matan/Tanjungpura(sekarang Kabupaten Ketapang, Pesisir Utara Kalbar), sebelum dinobatkan sebagai Sultan Pontianak, memiliki armada perang dandagang Tiang Sambung yang dimusuhi oleh Belanda, Prancis , Inggris dan Junjung Cina sehingga dijuluki “Bajak Laut”.
ii Salah satu teori tentang migrasi manusia Nusantara mangatakan bahwa orang-orang Dayak termasuk kelompok Proto Melayu atauMelayu Tua, sedangkan orang-orang Melayu termasuk dalam kelompok Deutro Melayu atau Melayu Muda. Kelompok Proto Melayuberimigrasi dari wilayah Yunan di Cina Selatan ke wilayah Asia Tenggara pada tahun 2500 sampai 1500 SM, sedangkan Deutro Melayuberimigrasi pada tahun 1500 sampai 300 SM. Manusia Proto Melayu masih hidup pada zaman batu, sedangkan manusia Deutro Melayusudah hidup dalam budaya perunggu dan besi; peralatan mereka terbuat dari logam. Kedua kelompok besar Melayu ini dikemudianwaktu bertemu, berinteraksi, berakulturasi membangun kebudayaan dan peradaban baru bagi masing-masing kelompok suku bangsanya(lihat Purba, dkk,2011:3)
iiiBetapapun tingginya Akal (pengetahuan), ia memerlukan pertolongan Tuhan, sehingga Manusia (tubuh) menghadap ke Cahaya Ilahidan Bayangan (akal) dibelakang tubuh (tidak memimpin) mengharapkan pencerahan untuk bersahabat dengan alam.
iv Penyatuan diri serta keseimbangan antara wujud/tubuh dan bayangan (ayah) adalah sama, artinya ayah (Habib Husein) sebagai gurudan penyampai pengetahuan/kalimat Tuhan/Prinsip Tauhid kepada anak Abdurrahman AL-Qadri) dan para pengikutnya/masyarakatMempawah, Matan dan Pontianak telah memberikan inspirasi, penuntun, bekal pengetahuan (akal), dan nasehat untuk menemukanpermukiman baru serta menggunakan pengetahuan itu sebagai bekal untuk menjadi anak alam/abdi Tuhan di alam atau memimpin alam(rahmatan lil’alamin).Lihat Sachiko Murata, 2000 “The Tao of Islam”, Penerbit Mizan, Bandung, hlm.282, ia menggunakan konsep ayah sebagai rohpemberian, akal dan langit; sedangkan ibu adalah bumi, jiwa, alam atau ibu bagi kemungkinan-kemungkinan jasmani dan rohani (dalamhal ini anak yang berkembang dan hidup di alam). Akal adalah cahaya dan tempatnya ada dalam hati, bukan di otak. Ia adalah prasyaratuntuk ditegur oleh Tuhan, namun eksistensinya bukan berarti bahwa Tuhan dengan sendirinya akan menegur seseorang. Karena itu akalidentik dengan sarana pengetahuan, bukan sumber pengetahuan. Akal memberikan manfaat dan keuntungan sebab hati dapat hidupkarenanya. [Al-Qur’an itu ialah pengajaran-pengajaran dari Tuhan dan bacaan yang berinti penerangan, agar dengan itu dapatdiingatkan orang-orang yang hidup. (QS. 36:69-70)].Lihat juga Ary Ginanjar Agustian, 2003, ESQ 165, Penerbit Mizan, hlm.129-148, ia percaya bahwa apabila kita menuhankan Allah YangSatu (Tauhid) dan kemudian meletakkan diri kita sebagai hamba dengan men’zero’kan diri di hadapanNya atau mensucikan hati, makakita akan menuju dan taqarrub kepada Kekuasaan Sang Maha Tak Terhingga.
v Benarlah dikatakan orang, kalau berlaku sudah hukum Allah maka teman setia adalah makam dan pohon di sekitarnya (pepatahmasyarakat Melayu Pontianak, Mempawah dan Ketapang).
vi Terletak tidak seberapa jauh dari Kuala Jongkat -- pintu gerbang Kota Pontianak dari Jalur Pelayaran.Alam gaib dan nyata -- Mitos dan realita -- menggambarkan pengetahuan yang terlihat dan tidak terlihat serta kemampuanmenerjemahkan pengetahuan itu berdasarkan peradaban zaman, misalnya terdapat batu yang besar di sekitar daerah ini dalam manadiketahui, Kota Pontianak-Kalimantan Barat bukan merupakan daerah pegunungan dan berbatuan.[Dia-lah yang menurunkan Al-kitab (Al-Quran) kepada kamu. Di antara isinya ada ayat-ayat yang muhkamaat (pengetahuan yangboleh dipelajari umat manusia), itulah pokok-pokok isi Al-Quran dan yang lain ayat-ayat mutasyaabihaat (pengetahuan sebagai hakprerogatif Allah seperti neraka dan surga, hal gaib, pahala, ampunan, dan sebagainya). Adapun orang-orang yang dalam hatinyacondong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihat untuk menimbulkan fitnah dan untukmencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunyaberkata,”Kami beriman kepada ayat-ayat mutasyaabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengmbil pelajarandaripadanya melainkan orang-orang berakal.]Masyarakat Melayu Pontianak, Mempawah dan Ketapang mengenal empat hal dalam pengetahuan Mutasyaabihaat yaitu 1) REZEKI, 2)MAUT, 3) DIMANA MAYAT DITEMUKAN dan DIMAKAMKAN, serta 4) JODOH
vii Allah meneguhkan iman (pengetahuan-akal di dasar kalbu) bagi orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu (kalimatyang baik) dalam kehidupan di dunia dan di akhirat (QS. Ibrahim, 27). Titik Kulminasi yang terjadi dua kali setahun (23 Maret dan 23September) merupakan salah-satu sumber pengetahuan yang diterjemahkan oleh alam bagi manusia yang hidup dan berakal. Garis
Khatulistiwa merupakan keberadaan diri yang menyatu dari dua wujud (bayangan dan fisik: ayah-ibu, ibu-ayah). [Pada saat itu (dua kalisetahun) tepat di kawasan tuga Khatullistiwa itu, orang yang berdiri atau tongkat yang didirikan pada sekitar pukul 12.00 siang tidaktampak bayangannya].
viii Kampung-kampung yang melingkupi mesjid dan dialiri oleh parit-parit yang menghubungkan antar kampung dan mesjid,mengungkapkan keterpautan dan silaturahmi yang kokoh antar masyarakat dan kampung. “Ucapan penghormatan mereka dalam surgaitu ialah ’salam’....” (QS.Ibrahim, 23).
ix Lihat Ary Ginanjar Agustian, Op. Cit, 2004, hlm.130-131.
x QS. Ibrahim, 28-30 menyatakan. [“Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang telah menukar nikmat Allah dengan kekufuran danmenjatuhkan kaumnya ke lembah kebinasaan?Yaitu neraka Jahanam, mereka masuk kedalamnya dan itulah seburuk-buruknya tempatkediaman. Orang-orang kufur itu telah menjadi sekutu-sekutu bagi Allah supaya mereka menyesatkan manusia dari jalanNya.Katakanlah,”Bersenang-senanglah kamu, karena sesungguhnya tempat kembalimu ialah neraka.”]
Daftar Pustaka
Adisakti, Laretna,T. 1997. ”A Study on The Conservation Planning of Yogyakarta Historic-TouristCity Based on Urban Space Heritage Conception”. Kyoto: Kyoto University.
Agustiah, dkk. 2000. Transliterasi dan Suntingan Teks: Hikayat Kamaruzzaman. DepartemenPendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan.
-------------------. Kitab Hikayat Al-Habib Husein Alqari (tanpa nama pengarang) disalin oleh Alwi binAhmad bin Ismail Alqadri, pada tahun 1935H atau 1354M.
------------------ Kitab Hikayat Pangeran Matan (berhuruf Jawi) tanpa tahun dan nama pengarang.------------------ Kitab Hikayat Negeri Hijau (berhuruf Jawi) tanpa tahun dan nama pengarang.Alqadrie, Roossandra, Dian, Viejaya. 2001. Perkembangan Rumah Melayu Pontianak: Setting Ruang,
Tipologi Atap dan Bahan Bangunan. Tugas Venakuler. Program Studi Teknik Arsitektur.Pascasarjana UGM.
Alqadrie, Roossandra, Dian, Viejaya. 2001. Sejarah Perkembangan Arsitektur Kota Pontianak. TugasArsitektur Sejarah Kota. Program Studi Teknik Arsitektur. Pascasarjana UGM.
Alqadrie, Roossandra, Dian, Viejaya. 2002. Identifikasi Elemen-elemen Lingkungan PermukimanLama di Tanjung Sungai Kapuas: Sebagai Upaya Penetapan Preservasi-Konservasi. TugasPreservasi-Konservasi, Program Studi Teknik Arsitektur. Pascasarjana UGM.
Alqadrie, Roossandra, Dian, Viejaya. 2003. Keragaman Rumah Tinggal Tradisioanal-VenakulerMasyarakat Pontianak di Belah Darat. UNTAN.
Alqadrie, Roosandra, Dian, Viejaya. 2003. Keragaman Hunian Masyarakat Belah Laut di TepianSungai Kapuas. UNTAN.
Alqadrie, Roossandra, Dian, Viejaya. 2010. Morfologi Kota Pontianak. Yogyakarta: M.Sc. Tesis,UGM.
Alqadrie, Roosandra, Dian, Viejaya, 2013. Arsitektur Perkotaan: Absorpsi dan Aplikasi Budaya Lokaldalam Rekayasa Citra Kalimanantan.Dialog Kalimantan/Borneo dilaksanakan atas kerjasamaGAPENA, Jabatan Kebuadayaan dan Kesenian Bahasa dan Pustaka, dan Universitas SabahKampus Antarbangsa Labuan. Malaysia.
Alqadrie, Syarif,I. 1987.“Cultural Differences and Social Life Among Three Ethnic Groups in WestKalimantan, Indonesia”. Lexington, KY: M.Sc. Thesis, University of Kentucky.
Alqadrie, Syarif,I. 1990. “Ethnicity and Social Change in Dayaknese Society of West Kalimantan,Indonesia”. Ph.D. Dissertation, Lexington, Kentucky: University of Kentucky Micro Film.
Alqadrie, Syarif,I. 1990. Penataan Sungai Kapuas, Parit, Jalan, Bangunan dan Taman di KotamadyaPontianak. Pontianak: Makalah disampaikan pada Seminar Tata Ruang Kotamadya PontianakMenjelang Tahun 2000-an, Diselenggarkan atas kerjasama Hr. Akcaya dengan Pemda Tk. IProp. Kalbar, tanggal 4 Desember.
Alqadrie, Syarif,I. 1991. Arsitektur Berwawasan Lingkungan Dan Identitas: Penemuan Kembaliarsitektur Khas Kalbar. Pontianak: Ikatan Arsitektur Indonesia dan Pemerintah DaerahTingkat I Kalimantan Barat.
Azra, Azyumardi. 1999. Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah Wacana dan Kekuasaan. Bandung:Penerbit PT.Remaja Rosdakarya.
Badan Pusat Statistik. 2012. Pontianak Dalam Angka. Kantor Statistik Kota Pontianak, Kalbar:Pontianak.
Breen, Ann and Rigby, Dick. 1994.”Waterfront Cities Reclaim Their Edge”. McGraw-Hill Inc.Breen, Ann and Rigby, Dick. 1996. ”The New Waterfront: A Worldwide Urban Succes Story”’.
McGraw-Hill Inc.Bruinessen, Martin, Van. 1998. Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia: Survei Historis, Geografis dan
Sosiologis. Penerbit Mizan, Bandung.Collins, James, T. 1998. “Malay, World Language: A Short History: The History of Malay
Monograph Series”. Kuala Lumpur:Percetakan Dewan Bahasa dan Pustaka.
Denpaiboon, Chaweewan. 2001. Transformation by Modernization of The Waterfront Settlements inThe Context of Their Coexistence with The Aquatic Environment: A Case Study of Raft Housesand Pilar Houses in Thailand. Dissertation: Kyoto University.
Hamid, Rogayah.A. 1980. Hikayat Upu Daeng Menambon. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa danPustaka Kementerian Malaysia.
Haryadi, dkk. 2001. Transkrip Terjemahan: Sang Kucing Berkasut. Dinas Kebudayaan dan PariwisataMuseum Negeri Propinsi kalimantan Barat.
Hasanuddin, dkk. 2000, Pontianak 1771-1900:Suatu Tinjauan Sejarah Sosial Ekonomi, Pontianak:Romeo Grafika.
Hulten, Herman, Josef, Van. 1992. Catatan Seorang Misionaris: Hidupku Di antara Suku Dayak.Jakarta: Grasindo.
Kelompok Kerja Inventaris Arsip Konvensional. 1999. Inventaris Arsip Kalimantan Barat: “BorneoWesterafdeeling”. Arsip Nasional Republik Indonesia, Jakarta.
King, Victor, T. 1993. “The Peoples of Borneo”. Oxford: Blackwell Publishers.Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Reneka Cipta. Jakarta.Lynch. 1960.”The Image of City”. Cambridge: MassLontaan,J.L.1975. Sejarah, Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat. Pontianak: Penerbit
Pemda Tk II Kalbar.Mahayudin, Yahaya, Haji. 1999. Islam di Pontianak Berdasarkan Kitab Hikayat Al-Habib Husain Al-
Qadr”. International Seminar on Brunei Malay Sultanate in Nusantara Proceedings, YayasanSultan Haji Hasanal Bolkiah, vol.1, Nov.
Mirza dkk. 1997/1998. Pameran Temporer II: Pontianak Dalam Nuansa “Tempo Doeloe”. MuseumNegeri Propinsi Kalbar, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat JenderalKebudayaan.
Mirza, dkk. 1999. Terjemahan: Hikayat Indera Bangsawan. Dinas Kebudayaan dan PariwisataMuseum Negeri Propinsi kalimantan Barat.
Mirza, dkk. 2003. Transliterasi: Syair Sultan Syarkan. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata MuseumNegeri Propinsi kalimantan Barat.
Nurcahayani, Lisyawati dkk. 1995/1996. Pendataan Peninggalan Sejarah Keraton QadariahPontainak. Pontianak: Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya KalimantanBarat, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan-Direktorat Jenderal Kebudayaan-DirektoratSejarah dan Nilai Tradisional.
Rahman, Ja’Achmad dan Muhadi. 2000. Syarif Abdurrahman Alqadri: Perspektif Sejarah BerdirinyaKota Pontianak. Pemerintah Kota Pontianak.
Rapoport, Amos. 1969. “House Form and Culture”. New York: Prentice Hall inc, Engelwood Cliffs.Rapoport, Amos. 1982. ”The Meaning of The Built Environment”. Beverly Hill: Sage Publication.Rapoport, Amos. 1990. “History and Precedent in Environment Design”. New York-London: Plenum
Press.Romanos, Michael C. 2000. “Spatial Transmormations: Turning Points In The Evolution of Cities”.
University Of Cincinnati, School of Planning.Rossi, Aldo.1982. ”The Architecture of The City”. MIT Press, Massachusetts and London, England:
Cambridge.Salingaros, Nikos, A. 2001. “Principles of Urban Structure”. Salingaros Home PageShahab, Alwi. 2001. Robin Hood Betawi: Kisah Betawi Tempo Dulu. Jakarta: Republika.Shihab, Alwi. 2001. Islam Sufiistik : Islam Pertama dan Pengaruhnya hingga kini di Indonesia.
Bandung: Mizan.Shirvani, Hamid. 1985. “The Urban Design Process”. New York: Van Nostrand Reinhold Company.Tingwei, Zhang. 1987. ”The Water Town Regional in Southeast China”. in Open House International.Trancik, 1986,”Finding Lost Space. New York: Van Nostrand Reinhold.Usman, Syafaruddin. 1997. Untaian Kisah Perjuangan Rakyat Kalimantan Barat: Zaman Pendudukan
Jepang Hingga Mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia. Pontianak: PenerbitKomite Nasional Pemuda Indonesia Propinsi Kalimantan Barat.
Usman, Syafaruddin. 2000. Sejarah Pemerintahan Kesultanan dan Kota Pontianak. Pontianak:Penerbit Romeo Grafika.
Yusriadi dan Hermansyah. 2003. Orang Embau: Potret Masyarakat Pedalaman Kalimantan.Pontainak: STAIN Pontianak Press.
Zahnd, Markus. 1999. Perancangan Kota Secara Terpadu: Teori Perancangan Kota danPenerapannya. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.