Upload
ira-ajah
View
92
Download
14
Embed Size (px)
Citation preview
Kelas C
MAKALAH
Keperawatan Anak
Asuhan Keperawatan TBC dan Asma pada Anak
Penyusun :
Fitri Alfisah
Mutiara Ayu Larasati 1106053205
Ira Rahmawati
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
20131
Kelas C
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Karena
rahmat-Nya, penulis telah menyelesaikan tugas mata kuliah Keperawatan Anak dengan
membahas konsep gangguan pola eleminasi fekal dalam bentuk makalah.
Dalam penyusunan makalah ini, tidak sedikit hambatan yang penulis hadapi.
Namun penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi ini tidak lain berkat
bantuan, dorongan, dan bimbingan orang tua, sehingga kendala-kendala yang penulis
hadapi dapat teratasi. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibu dosen bidang studi Keperawatan Anak yang telah memberikan tugas dan petunjuk
kepada penulis sehingga penulis termotivasi dan menyelesaikan tugas ini.
2. Orang tua yang telah turut membantu, membimbing, dan mengatasi berbagai kesulitan
sehingga tugas ini selesai.
Dalam Penulisan makalah ini, penulis merasa masih banyak kekurangan-
kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang
dimiliki penulis. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi
penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Dengan demikian, penulis berharap, semoga materi ini dapat bermanfaat dan
menjadi sumbangan pemikiran bagi pihak yang membutuhkan, khususnya bagi penulis
sehingga tujuan yang diharapkan dapat tercapai
Depok, 01 Maret 2013
Penyusun makalah
2
Kelas C
DAFTAR ISI
1) KATA PENGANTAR...............................................................................................................
2) DAFTAR ISI...........................................................................................................................
3) BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................
4) BAB II MATERI .....................................................................................................................
5) BAB III KESIMPULAN DAN SARAN.................................................................................
6) DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................
7) Lampiran
a) Asuhan Keperawatan TBC pada Anak
b) Asuhan Keperawatan Asma pada Anak
3
Kelas C
BAB II
ISI
A. ASMA
1. Deskripsi
Asma merupakan penyakit obstruksi jalan napas, yang reversibel dan kronis,
dengan karakteristik adanya mengi. Asma disebabkan oleh spasme saluran bronkial,
atau pembengakan mukosa bronkial, setelah terpaja berbagai stimulus. Asma adalah
gangguan inflamasi kronis pada jalan napas tempat anyak sel (sel mast, eosinofil, dan
limfosit T) memegang peranan. Pada anak yang rentan, inflamasi menyebabkan
episode mengi kambuhan, sesak napas, dadak sesak, dan batuk, terutama pada malam
atau pagi hari. Asma merupakan penyakit kronis yang paling umum terjadi pada
masa anak-anak. Sebagian besar anak mengalami gejala pertama kali pada usia 5
tahun.
2. Etiologi
Asma biasanya terjadi akibat trakea dan bronkus yang di hiperresponsif terhadap
iritans. Alergi memengaruhi keberadaan maupun tingkat keparahan asma, dan atopi
atau predisposisi genetik untuk perkembangan respons IgE-mediated terhadap alergen
udara yang umum merupaan fajtor predisposisi terkuat untuk berkembangnya asma.
Iritans umum antara lain :
a. Pajanan Alergen (pada orang yang tersensitisasi). Alergen umm antara lain
1) Debu
2) Jamur
3) Bulu binatang
b. Infeksi virus
c. Iritans, antara lain :
1) Polusi udara
2) Asap
3) Parfum
4) Sabun deterjen
d. Jenis makanan tertentu (terutama zat yang ditambahkan dalam makanan)
4
Kelas C
e. Perubahan cepat suhu ruangan
f. Olahraga
g. Stres psikologis
Meskipun alergen berperan penting untuk terjadinya asma, pada beberapa kasus
tidak ada proses alergi yang dapat dideteksi. Teori-teori lain seperti; defek dasar pada
reseptor adrenergik beta terhadap leukosit dan peningkatan aktivitas kolinergik telah
dimunculkan. Akan tetapi, sebagian besar ahli menyetujui bahwa asma melibatka
faktor-faktor biokimia, imunologik, infeksius, endokrin, dan psikologik.
3. Patofisiologi
Mekanisme yang menyebabkan inflamasi jalan napas cukup beragam, dan peran
setiap mekanisme tersebut bervariasi dari satu anak ke anak yang lain serta selama
perjalanan penyakit. Komponen penting asma lainnya adalah bronkospasme dan
obstruksi. Mekanisme yang meyebabkan obstruksi meliputi;
a. Inflamasi dan edema membran mukosa
b. Akumulasi sekresi yan berlebihan dari kelenjar mukosa
c. Spasme otot-otot halus bronkus dan brokiolus, yang menurunkan diameter
bronkiolus
Kontraksi bbronkus merupakan reaksi normal terhadap stimulus asing, namun ada
anak yang menderita asma biasanya sangat para hingga menyebabkan gangguan fungi
pernapasan. Otot halus berbentuk kumparan spiral di sekeliling jalan napas,
menyebabkan penyempitan dan pemendekan jalan napas, yang secara sigifikan
meningkatkan retensi jalan napas terhadap aliran udara. Secara normal, bronkus
berdilatasi dan memanjang pada saat inspirasi dan berkontraksi serta memedek
selama ekspirasi. Oleh karena itu, kesulitan bernapas lebih berat terjadi selama fase
ekspirasi.
5Gb. 3.1 Bronkospasme dan Normal Bronkus
Kelas C
Peningkatan tahanan dalam jalan napas menyebabkan ekspirasi yag dipaksakan
melewati umen sempit. Volume udara yang terjebak dalam paru meningkaat pada saat
jalan napas secara fungsional menutup di titik antara alveoli dan bronkus lobulus. Gas
yang terjebak ini mendorong individu untuk bernapas pada volume paru yang semaki
tinggi. Akibatnya, orang yang menderita asma harus berjuang untuk menginspirasi
jumlah udara yang cukup. Upaya keras untuk bernapas ini akan menyebabkan
keletihan, penurunan efektivitas pernapasan, dan peningkatan konsumsi oksigen.
Inspirasi yang terjadi ketika volume paruh lebih tinggi akan menginflamasi alveoli
secara berlebihan dan menurunkan efektivitas batuk. Jika obstruksi semakin parah,
terjadi penurunan ventilasi alveolus disertai retensi karbon dioksida, hipoksemia,
asidosis pernapasan, dan akhirnya, gagal napas.
4. Tanda dan Gejala Asma pada Anak
a. Dispnea yang bermakna
b. Batuk, terutama di malam hari
c. Pernapasan yang dangkal daan cepat
d. Mengi yang dapat terdengar pada auskultasi paru. Biasanya mengi terdengar
hanya saat ekspirasi, kecuali kondisi pasien parah.
6
Gb. 3.2 Patofisiologi Asma
Kelas C
e. Peningkatan usaha bernapas, ditandai denan retraksi dada, disertai perburukan
kondisi, napas cuping hidung
f. Kecemasan, yang berhubungan dengan ketidaknyamanan mendapat udara yang
cukup
g. Udara terperangap karena obstruksi aliran udara, terutama terlihat selama
ekspirasi pada pasien asma. Kondisi ini terlihat dengan memanjangnya waktu
ekspirasi
h. Di antara serangan asmatik, individu biasanya asimtomtik. Akan tetapi, dalam
pemeriksaan perubahan fungsi paru mungkin terlihat bahkan di antara serangan
pada pasien yang memiliki asma persisten.
B. TUBERCULOSIS
1. Deskripsi
Tuberkulosis paru-paru merupakan penyakit infeksi yang menyerang parenkim
paru-paru yang disebabkan oleh mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini dapat juga
menyebar ke tubuh lain seperti meningen, ginjal, tulang, dan nodus limfe.
2. Etiologi
Mycrobacterium Tuberculosis merupakan jenis kuman berbentuk batang
berukuran pajang 1-4mm dengan tebal 0,3-0,6mm. Sebagian besar komponen
M.Tuberculosis adalahh berupa lemak/lipid sehigga kuman mampu tahan terhadap
asam serta sangat tahan terhadap zat kimia dan faktor fisik. Mikroorganisme ini adala
bersifat aerob yakni menyukai daerah yang banyak oksigen. Oleh karea itu,
M.tuberculosis senang tiggal di apeks paru-paru yag kandungan oksigennya tinggi.
daerah tersebut menjadi tempat yang kondusif untuk penyakit tuberculosis.
3. Patofisiologi
a. Patofisiologi Primer
Tuberculosis primer adalah infeksi bakteri TB dari penderita yang belum
mempunyai reaksi spesifik terhadap bakteri TB. Bila bakteri TB terhirup dari
udara melalui saluran pernapasan dan mencapai alveoli atau bagian terminal
7
Kelas C
saluran pernapasan, maka bakteri akan ditangkap dan dihancurkn oleh makrofag
yang berada di alveoli. Jika pada proses ini, bakteri ditangkap oleh makrofag
yang lemah maka bakteri akan berkembang biak dalam tubuh makrofag yang
lemah itu dan menghancurkan makrofag. Dari proses ini, dihasilkan bahan
kemotaksik yang menarik monosit (makrofag) dari aliran darah membentuk
tuberkel. Sebelum menghancurkan bakteri, makrofag harus diaktifkan terlebih
dahulu oleh limfokin yang dihasilkan limfosit T.Tidak semua makroag pada
granula TB mempunyai fungsi sama. Ada makrofag yang berfungsi sebagai
pembunuh, pencerna bakteri, dan perangsang bakteri. Beberapa makrofag
menghasilkan protalase, elastase, kolagenase, sertacolony stimulating factor untuk
merangsang produksi monosit dan granulit pada sumsung tulang belakang.
Bakteri TB menyebar melalui saluran pernapasan ke kelenjar gatah bening
regional (hilus) membentuk epiteloid granula. Granula mengalami nekrosis
sentral sebagai akibat timbulnya hipersensitivitas seluler terhadap bakteri TB. Hal
ini terjadi sekitar 2-4 minggu dan akan terlihat tuberculin. Hipersensitivitas
seluler terlihat sebagai akumilasi lokal dari limfosit dan makrofag. Bakteri TB
berada di alveoli akan membentuk fokus lokal, sedangkan fokus iniasial bersama-
sama dengan limf adenopati bertempat di hilus dan disebut juga TB primer. Fokus
primer paru biasanya bersifat unilateral dengan subpleura terletak di atas atau di
bawah fisura interlobaris, atau di bagian basal dari lobus inferior. Bakteri
menyebar lebih lanjut melalui saluran limfe atau aliran darah dan akan tersangkut
pada bagian organ. TB primer merupakan infeksi yang bersifat sistematis
(Arif:2007).
b. Patogisiologi Sekunder
Setelah terjadi resolusi dari infeksi primer, sejumlah kecil bakteri TB
masih hidup dalam keadaan dorman di jaringan parut. Sebanyak 90% diantaranya
tidak mengalami kekambuhan. Reaktivasi penyakit TB (TB pasca
primer/sekunder) terjadi bila daya tahan tubuh menurun, alkoholisme, keganasan,
silikosis, diabetes melitus, dan AIDS.
Berbeda dengan TB primer, pada TB sekunder kelenjar limfe regionaldan
organ lainnya jarang terkena, lesi lebih terbatas dan terlokalisasi. Reaksi
8
Kelas C
imunologis terjadi dengan adanya pembentukkan granuloma, mirip dengan yang
terjadi dengan TB primer. Tetapi nekrosis jaringan lebih menyolok dan
menghasilkan lesi kaseosa (perkijauan) yang luas dan disebut tuberkuloma.
Protease yang dikeluarkan oleh markofag aktif akan menyebabkan pelunakan
bahan kaseosa. Secara umum dapat dikatakan bahwa terbentuknya kavitas dan
manifestasi lainnya dari TB sekunder adalah akibat dari reaksi nekrotik yang
dikenal sebagai hipersensitivitas seluler (delayed hipersensitivity).
TB paru pasca-primer juga dapat disebabkan oleh infeksi lanjutan dari
sumber eksogen, terutama pada usia tua dengan riwayat semasa muda pernah
terinfeksi bakteri TB. Biasanya, hal ini terjadi pada daerah apikal atau segmen
posterior lobus superior (fokus simon), 10-20mm dari pleur, dan segmen apikal
lobus inferior. Hal ini mungkin disebabkan oleh kadar oksigen yang tinggi di
daerah ini sehingga menguntungkan untuk pertumbuhan bakteri TB.
Lesi sekunder berkaitan dengan kerusakan paru. Kerusakan paru
diakibatkan oleh produksi sitokin (tumor necroting factor) yang berlebihan.
Kavitas yang terjadi diliputi oleh jaringan fibrotik yang tebal dan berisi pembuluh
darah pulmonal. Kavitas yang kronis diliputi oleh jaringan fibrotik yang tebal.
Masalah lainnya pada kavitas yang kronis adalah kolonisasi jamur seperti
aspergillus yang menumbuhkan mycetoma (Isa, 2001).
4. Tanda dan Gejala TB pada Anak
a. Demam lama atau berulang, tapi tidak terlalu tinggi
b. Tidak ada nafsu makan (anoreksia)
c. Berat badan tidak naik-naik
d. Malnutrisi atau gangguan gizi
e. Multi L (lemah, letih, lesu, lelah, lemas letoy, loyo, lambat)
f. Batuk lama atau berulang, tetapi tidak berdahak (tapi seringkali ini merupakan
gejala asma)
g. Diare berulang
Gejala TB di atas merupakan gejala khas yang biasa terjadi pada penderita
TB. Namun tidak bisa dijadikan patokan, sebab gejala yang sama kadang
mengindikasikan penyakit lain.
9
Kelas C
Diagnosis TB pada anak tidak bisa dilakukan dengan uji dahak (sputum
test), karena memang jarang pasien TB anak mengalami batuk berdahak. Selain
itu, foto rontgen pada anak juga tidak bisa memberikan diagnosa yang tepat.
Maka diperlukan uji Tuberkulin atau uji Mantoux.
10
Kelas C
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tuberculosis dan Asma merupakan kedua penyakit yang mempengaruhi jalan napas
seseorang, baik pada anak maupun dewasa. Tuberculosis disebabkan oleh
Mycobacterium Tuberculosis yang mempunyai sifat aerob yaitu senang dengan
lingkungan yang banyak mengandung oksigen seperti halnya pada parenkim paru atau
apeks paru. Apabila penyebaran akteri ini sudah mencapai tulang dan otak maka akan
membahayakan sistem tubuh lainnya atau disebut dengan TB milier. Sedangkan, Asma
adalah penyakit yang diakibatkan oleh suatu alergen yang akan menimbulkan reaksi
inflamasi dengan penyempitan saluran pernapasan. Asma yang berkepanjangan dapat
menyebabkan penurunan ventilasi alveolus disertai retensi karbon dioksida, hipoksia,
asidosis pernapasan, dan akhirnya menyebabkan gagal napas.
B. Saran
Sebagai seorang perawat profesional tentunya dapat mengenali setiap tanda dan
gejala yang mungkin muncul dan penderita Tuberculois dan Asma terlebih khusus pada
anak. Dengan mengetahui tanda dan gejala tersebut dapat mendukung pemberian asuhan
keperawatan yang tepat dan rasional dengan tujuan memulihkan kondisi anak menjadi
kondisi yang semula/normal.
11
Kelas C
Daftar Pustaka
Anonim. http://paru-paru.com/gejala-tbc-pada-anak/ (Diperoleh pada 23 Februari 2013 pkl.
22.15)
Corwin, Elizabeth J. (2009). Patofisiologi. Jakarta : EGC
Doenges, Marylin E., Mary Frances Moorhouse, dan Alice C. Geissler.(1999).
Muscari, Mary E. (2005). Panduan Belajar : Keperawatan Pediatrik. Jakarta : EGC
Muttaqin, Arif.(2008). Asuhan Keperawatan dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta:
Salemba Medika
Pasien dengan Gangguan Siste Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika
Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC
Somantri, Irman.(2007). Keperawatan Medikal Bedah Asuhan Keperawatan Pada
Wong/Donna L.Wong. et all. (2009). Buku Aar Keperawatan Pediatrik. Jakarta : EGC
Speer, Morgan, Kathleen. (2008). Rencana asuhan keperawatan pediatrik dengan clinical
pathaway. Edisi ke-3. Jakarta: EGC.
Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FK UI. (1985). Buku kuliah: ilmu kesehatan anak. Jakarta:
Percetakan Infomedika Jakarta.
Suriadi, Yulliani, Rita. (2006). Asuhan keperawatan pada anak. Edisi ke-2. Jakarta: PT.
Percetakan Penebar Swadaya
Wilkinson, J.M., & Ahern, N.R. (2011). Buku saku diagnosis keperawatan. Jakarta: EGC.
Wong, D.L. (1999). Nursing care of infants and children. Ed.6.St. Louis: Mosby.
Wong, D.L. (1999). Nursing care of infants and children. Ed.7.St. Louis: Mosby.
Anonim. Asma. Diakses dari http://repository.usu.ac.id
Anonim. Spirometri. Diakses dari http://prodia.co.id/pemeriksaan-penunjang/spirometri
12
Kelas C
Corwin, Elizabeth. (2009). Buku saku patofisiologi. Ed 3 . Jakarta: EGC
Hull, David. (2008). Essential pediatrics. Edisi 6. Jakarta : EGC
Indrajana. (2011). Peak Flow Meter . diakses dari
http://www.klinikasmaalergi.com/articles/peak_flow_meter.html
Muscari, Mary E. (2005). Panduan belajar : keperawatan pediatric. Jakarta : EGC
Oman, Kathleen S. (2008). Panduan belajar keperawatan emergensi. Jakarta : EGC
Soemantri, Irman. (2007). Keperawatan medical bedah. Asuhan keperawatan pada pasien
dengan gangguan sistem pernapasan. Jakarta: Salemba Merdeka
Supartini, Yupi. (2004). Konsep dasar keperawatan anak . Jakarta : EGC
Wong, Dona L. (2009). Buku ajar keperawatan pediatric wong ed 6. Jakarta : EGC
13
Kelas C
Lampiran 1
Asuhan Keperawatan Anak dengan Tuberkulosis
A. Pengkajian
1. Pengkajian:
a. Identitas data umum (selain identitas klien, juga identitas orang tua; asal kota dan
daerah, jumlah keluarga).
b. Keluhan utama (penyebab klien (anak) sampai dibawa ke rumah sakit).
c. Riwayat masa lampau
1) Penyakit yang pernah diderita (tanyakan, apakah klien pernah sakit batuk yang
lama dan benjolan bisul pada leher serta tempat kelenjar yang lainnya dan
sudah diberi pengobatan antibiotik tidak sembuh-sembuh? Tanyakan, apakah
pernah berobat tapi tidak sembuh? Apakah pernah berobat tapi tidak teratur?
2) Pernah dirawat dirumah sakit?
3) Obat-obat yang digunakan atau riwayat pengobatan?
4) Riwayat kontak dengan penderita TBC?
5) Alergi?
6) Daya tahan yang menurun?
7) Imunisasi atau vaksinasi : BCG?
d. Riwayat penyakit sekarang (tanda dan gejala klinis TB serta terdapat benjolan
atau bisul pada tempat-tempat kelenjar seperti: leher, inguinal, axilla dan sub
mandibula).
e. Riwayat keluarga (adakah yang menderita TB atau Penyakit Infeksi lainnya,
Biasanya keluarga ada yang mempunyai penyakit yang sama).
f. Riwayat kesehatan lingkungan dan sosial ekonomi
1) Lingkungan tempat tinggal (lingkungan kurang sehat (polusi, limbah),
pemukiman yang padat, ventilasi rumah yang kurang, jumlah anggota
keluarga yang banyak), pola sosialisasi anak.
2) Kondisi rumah.
3) Merasa dikucilkan.
4) Aspek psikososial (tidak dapat berkomunikasi dengan bebas, menarik diri).
14
Kelas C
5) Biasanya pada keluarga yang kurang mampu.
6) Masalah berhubungan dengan kondisi ekonomi, untuk sembuh perlu waktu
yang lama dan biaya yang banyak.
7) Tidak bersemangat dan putus harapan.
g. Riwayat psikososial spiritual (yang mengasuh, hubungan dengan anggota keluarga,
hubungan dengan teman sebayanya, pembawaan secara umum, pelaksanaan
spiritual)
h. Pola fungsi kesehatan.
2. Pemeriksaan fisik
Permulaan tuberkulosis sukar diketahui karena gejalanya tidak jelas dan tidak
khas, tetapi jika terdapat panas yang naik turun dan lama (kurang lebih 2-3 minggu)
dengan atau tanpa batuk, sesak napas, dan pilek, sianosis anoreksia, penurunan berat
badan dan anak lesu, nafsu makan anak berkurang, harus dipikirkan kemungkinan
tuberkulosis. Oleh karena itu, untuk mengetahui apakah anak terkena tuberkulosis
atau tidak, perawat perlu melakukan pengkajian fisik. Pengkajian fisik terhadap anak
yang diketahui atau kemungkinan memiliki masalah tuberkulosis meliputi
penampilan umum. Kaji tampilan umum anak, kenali apakah anak memiliki
gambaran klinis berupa panas, batuk, anoreksia. Periksa berat badan anak, apakah
berat badannya menurun atau tidak. Selain itu, amati gambaran klinis lainnya yang
terkena, misalnya paru, selaput otak, hepar, tulang dan sendi, ginjal, dan lain-lain.
3. Pemeriksaan diagnostik:
a. Uji tuberkulin
Pemeriksaan ini merupakan alat diagnosis yang penting dalam menegakkan
diagnosis tuberkulosis. Uji tuberkulin lebih penting lagi artinya pada anak kecil
bila diketahui adanya konversi dari negatif (recent tuberculin converter). Pada
anak di bawah 5 tahun dengan uji tuberkulin positif, proses tuberkulosis biasanya
masih aktif meskipun tidak menunjukkan kelainan klinis dan radiologis, demikian
pula halnya jika terdapat konversi uji tuberkulin. Uji tuberkulin dilakukan
berdasarkan timbulnya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein karena adanya
infeksi.
15
Kelas C
Ada beberapa cara melakukan uji tuberkulin, yaitu cara Moro dengan salep,
dengan goresan disebut patch test, cara von Pirquet, cara Mantoux dengan
penyuntikan intrakutan dan multiple puncture method dengan 4-6 jarum
berdasarkan cara Heaf dan Tine. Dari cara-cara tersebut, cara yang paling dapat
dipertanggungjawabkan adalah cara mantoux karena jumlah tuberkulin yang
dimasukkan dapat diketahui banyaknya. Reaksi lokal yang terdapat pada uji
mantoux terdiri atas:
1) Eritema karena vasodilatasi primer.
2) Edema karena reaksi antara antigen yang disuntikkan dengan antibodi.
3) Indurasi yang dibentuk oleh sel mononukleus.
Pembacaan uji tuberkulin dilakukan 48-72 jam setelah penyuntikkan dan
diukur diameter melintang dari indurasi yang terjadi. Tuberkulin yang biasa
dipakai ialah Old Tuberculin (OT) dan Purified Protein Derivative tuberculin
(PPD).
b. Pemeriksaan radiologis
Pada anak dengan uji tuberkulin positif dilakukan pemeriksaan radiologis.
Secara rutin dilakukan foto rontgen paru dan atas indikasi juga dibuat foto rontgen
ialah tubuh lain seperti foto tulang punggung pada spondilitis. Gambaran
radiologis paru yang biasanya dijumpai pada tuberkulosis paru ialah:
1) Kompleks primer dengan atau tanpa perkapuran.
2) Pembesaran kelenjar paratrakeal.
3) Penyebaran milier.
4) Penyebaran bronkogen.
5) Atelektasis.
6) Pleuritis dengan efusi.
Pemeriksaan radiologis paru saja tidak dapat digunakan untuk membuat diagnosis
tuberkulosis, tetapi harus disertai data klinis lainnya.
c. Pemeriksaan bakteriologis
16
Kelas C
Penemuan basil tuberkulosis memastikan diagnosis tuberkulosis, tetapi tidak
ditemukannya basil tuberkulosis bukan berarti tidak menderita tuberkulosis.
Bahan-bahan yang digunakan untuk pemeriksaan bakteriologis:
1) Bilasan lambung.
2) Sekret bronkus.
3) Sputum anak besar.
4) Cairan pleura.
5) Likour serebrospinalis.
6) Cairan asites.
7) Bahan-bahan lainnya.
d. Pemeriksaan patologi anatomi
Pemeriksaan patologi anatomi tidak dilakukan secara rutin. Biasanya
diperiksa kelenjar getah bening, hepar, pleura, peritoneum, kulit, dan lain-lain.
Pada pemeriksaan biasanya ditemukan tuberkel dan basil tahan asam.
e. Uji BCG
Di Indonesia, BCG diberikan secara langsung tanpa didahului uji tuberkulin
(BCG langsung). Jika pada anak yang mendapat BCG langsung mendapat reaksi
lokal yang besar dalam waktu kurang dari 7 hari setelah penyuntikkan, maka
harus dicurigai adanya tuberkulosis dan diperiksa lebih lanjut ke arah
tuberkulosis. Pada anak dengan tuberkulosis, BCG akan menimbulkan reaksi
lokal yang lebih cepat dan besar.
B. Dignosis, Perencanaan, Implementasi
NO Diagnosa
Keperawatan
Perencanaan
Tujuan Intervensi
1. Bersihan jalan
napas tidak
efektif b.d
penumpukan
sekret
a. Anak akan batuk
efektif.
b. Mengeluarkan
sekret secara aktif.
c. Mempunyai jalan
napas yang paten.
Mandiri:
a. Mengkaji fungsi respirasi.
b. Mengatur posisi tidur semi fowler. Bantu
anak untuk berlatih batuk efektif dan
latihan napas dalam.
c. Beri penekanan kepada orang tua bahwa
17
Kelas C
d. Pada pemeriksaan
auskultasi,
memiliki suara
napas yang jernih.
e. Suara napas
normal (vesikular).
f. Frekuensi napas
anak (permenit):
1) Usia 5-14: <15
atau >25
2) Usia 1-4: <20
atau >30
3) Bayi : <25 atau
>60
g. Tidak dispnea
batuk sangat penting bagi anak-anak,
dan bahwa batuk tidak selalu harus
diredakan dengan obat.
d. Seimbangan kebutuhan terhadap
pembersihan jalan napas dengan
kebutuhan untuk menghindari keletihan
akibat batuk.
e. Membersihkan sekret dari dalam mulut
dan trakea, suction jika memungkinkan.
f. Biarkan anak memegang stetoskop dan
mendengarkan bunyi napasnya sendiri.
Kolaborasi:
a. Memberikan O2 udara inspirasi yang
lembab
b. Memberikan pengobatan atas indikasi :
agen mukolitik, bronkodilator,
kortikosteroid
c. Memberikan agen anti infeksi, misal :
Obat primer (INH, etambutol,
rifampisin, purazinamide,
streptomycin, dan monitor pemeriksaan
laboratorium (sputum).
2. Ketidakseimban
gan nutrisi b.d
ketidakmampuan
mencerna
makanan
a. Perasaan mual
hilang/berkurang.
b. Anak mengatakan
nafsu makannya
meningkat.
c. Berat badan anak
tidak mengalami
Mandiri:
a. Mendokumentasikan status nutrisi
anak.
b. Sesuaikan cara berkomunikasi
dengan tahap perkembangan anak.
c. Timbang berat badan, ukur lingkar
lengan atas dan tebal lipatan kulit
18
Kelas C
penurunan drastis
dan lebih cenderung
stabil.
d. Anak terlihat dapat
menghabiskan porsi
makan yang
disediakan.
e. Hasil analisis
laboratorium
menyatakan protein
darah/albumin darah
dalam rentang
normal.
setiap pagi.
d. Ajarkan orang tua dan anak tentang
pentingnya memilih kudapan yang
sehat
e. Apabila memungkinkan, dan jika
diperlukan, batasi asupan susu anak
sehingga anak berselera untuk
mengkonsumsi makanan lain
f. Ajarkan orang tua mengenai nutrisi
yang diperlukan pada masing-
masing tahap perkembangan.
g. Dorong untuk mengatur waktu
makan menjadi momen sosial yang
menyenangkan bagi anggota
keluarga.
h. Berikan makanan dalam porsi
sedikit, tetapi sering, dengan
makanan yang bervariasi
i. Laksanakan pemberian roborans
sesuai program terapi.
j. Tunjukkan cara pemberian makanan
per sonde, beri kesempatan keluarga
untuk melakukannya sendiri.
k. Jelaskan kepada keluarga tentang
penyebab malnutrisi, kebutuhan
nutrisi pemulihan, susunan menu
dan pengolahan makanan sehat
seimbang.
Kolaborasi:
19
Kelas C
a. Mengajukan kepada ahli gizi untuk
menentukan komposisi diet.
b. Memonitor pemeriksaan
laboratorium.
c. Memberikan vitamin sesuai indikasi.
d. Konsultasikan dengan ahli terapi
okupasi.
3. Defisit
pengetahuan
tentang proses
infeksi.
Keluarga akan
mengekspresikan
pemahamannya tentang
proses penyakit dan
pengobatan.
a. Ajarkan orang tua dan anak tentang
penularan dan pengobatan TB.
b. Ajarkan orang tua dan anak tentang
bagaimana pengobatan, berapa lama
terapi pengobatan harus dijalani,
dan apa yang terjadi bila anak tidak
menjalani tuntas pengobatannya.
4. Risiko
penyebaran
infeksi b.d daya
tahan tubuh
menurun,
malnutrisi,
proses inflamasi,
kurangnya
pengetahuan
untuk mencegah
paparan dari
kuman patogen.
a. Anak dapat
memperlihatkan
perilaku sehat
(menutup mulut
ketika batuk atau
bersin).
b. Tidak muncul tanda-
tanda infeksi
lanjutan.
c. Tidak ada anggota
keluarga/ orang
terdekat yang
tertular penyakit
seperti penderita.
d. Faktor resiko akan
hilang.
Mandiri:
a. Mengkaji patologi penyakit dan
potensial penyebaran infeksi melalui
airbome droplet selama batuk,
bersin, meludah, berbicara, dll.
b. Mengidentifikasi risiko penularan
kepada orang lain, seperti anggota
keluarga dan teman dekat.
c. Bersihkan lingkungan dengan benar
setelah dipergunakan masing-masing
anak.
d. Terapkan kewaspadaan universal.
e. Memonitor suhu sesuai indikasi.
f. Ajarkan orang tua jadwal imunisasi
yang dianjurkan
g. Pantau seberapa sering penggunaan
20
Kelas C
antibiotik pada bayi dan anak-anak.
h. Anjurkan anak menampung
dahaknya jika batuk.
i. Gunakan masker setiap melakukan
tindakan.
5. Penatalaksanaan
program
terapeutik tidak
efektif b.d pola
perawatan
keluarga.
a. Anak akan
mematuhi rencana
untuk mencapai
program terapeutik.
b. Mengidentifikasi
kendala yang
menghambat
kepatuhan terhadap
program terapeutik
c. Mengidentifikasi
dan melaporkan
gejala perubahan
status penyakit.
d. Menggunakan
peralatan dan alat
terapeutik dengan
benar.
Mandiri:
a. Identifikasi terapi yang penting.
b. Beri informasi tentang sumber
komunitas yang spesifik terhadap
tujuan kesehatan anak.
c. Bantu pasien mengidentifikasi
kendala situasional yang
menghambat kepatuhan terhadap
program terapeutik.
d. Beri informasi tentang penyakit,
komplikasi dan program terapi,
Kolaborasi
a. Kolaborasi dengan penyedia layanan
kesehatan lain bagaimana
memodifikasi program terapeutik
tanpa membahayakan kesehatan
anak.
1. Beberapa hal penting dalam penatalaksanaan TB anak adalah:
a. Obat TB diberikan dalam paduan obat, tidak boleh diberikan dalam monoterapi.
b. Pemberian gizi yang kuat.
c. Mencari penyakit penyerta dan jika ada ditatalaksana secara simultan.
Tatalaksana medikamentosa TB anak terdiri dari terapi (pengobatan) dan
profilaksis (pencegahan). Terapi TB diberikan pada anak yang sakit TB, sedangkan
21
Kelas C
profilaksis TB diberikan pada anak yang kontak TB (profilaksis primer atau anak
yang terinfeksi TB tanpa sakit TB (profilaksis sekunder).
2. Paduan Obat Terapi TB Anak:
Prinsip dasar terapi TB adalah minimal 3 macam obat dan diberikan dalam waktu
relatif lama (6-12 bulan). Pengobatan TB dibagi dalam 2 fase, yaitu fase intensif (2
bulan pertama) dan sisanya sebagai fase lanjutan (4 bulan kecuali padaTB berat).
Pemberian paduan obat ini ditujukan untuk mencegah terjadinya resistensi obat dan
untuk membunuh kuman intraseluler dan ekstraseluler, sedangkan pemberian obat
jangka panjang selain untuk membunuh kuman juga untuk mengurangi kemungkinan
terjadinya kekambuhan. OAT diberikan setiap hari dengan paduan obat, yaitu
rifampisin, isoniazid dan pirazinamid. Pada fase intensif diberikan rifampisin,
isoniazid dan pirazinamid, sedangkan pada fase lanjutan diberikan rifampisin dan
isoniazid. Untuk kasus TB tertentu yaitu : TB milier, efusi pleura TB, perikarditis TB,
TB endobronkial, meningitis TB, dan peritonitis TB diberikan kortikosteroid
(prednison) dengan dosis 1-2 mg/kg kgBB/hari, dibagi 3 dosis. Lama pemberian
kortikosteroid adalah 2-4 minggu dengan dosis penuh dilanjutkan taffering off dalam
jangka waktu yang sama. Tujuan pemberian steroid adalah untuk mengurangi proses
inflamasi dan mencegah terjadinya perlekatan jaringan.
Nama obat Dosis harian
(mg/kgBB/hari)
Dosis maksimal (mg/hari) Efek samping
Isoniazid 5-15 300 Hepatitis, neuritis
perifer,
hipersenstivitas.
Rifampisin 10-20 600 Gastrointestinal,
reaksi kulit,
hepatitis,
trombositopenia,
peningkatan enzim
hati, cairan tubuh
22
Kelas C
berwarna oranye
kemerahan.
Pirazinamid 15-30 2000 Toksisitas hepar,
artralgia,
gastroinstestinal.
Etambutol 15-20 1250 Neuritis optik,
ketajaman mata
berkurang, buta
warna merah hijau,
hipersensivitas,
gastrointestinal
Streptomisin 15-40 1000 Ototoksik,
nefrotoksis.
C. Evaluasi
Tahap evaluasi dalam proses keperawatan menyangkut pengumpulan data
subjektif dan objektif yang akan menunjukkan apakah tujuan pelayanan keperawatan
sudah dicapai atau belum. Bila perlu langkah evaluasi ini merupakan langkah awal dari
identifikasi dan analisa masalah selanjutnya.
Lampiran 2
Rencana Asuhan Keperawatan Anak Penderita Asma
23
Kelas C
A. Pengkajian :
Pengkajian adalah suatu proses kontinu yang dilakukan dalam fase pemecahan
masalah dan menjadi dasar dalam pengambilan keputusan (Wong, 2009). Pengkajian
menggunakan banyak keterampilan keperawatan dan terdiri atas pengumpulan,
klasifikasi, dan analisis data dari berbagai sumber. Untuk memberikan pengkajian yang
akurat dan komprehensif, perawat harus mempertimbangkan informasi mengenai latar
belakang biofisik, psikologis, sosiokultural, dan spiritual. Pengkajian mencakup data
yang dikumpulkan melalui wawancara pengumpulan riwayat kesehatan, pemeriksaan
fisik dan tes diagnostik serta review catatan sebelumnya. Wawancara memberikan data
yang perawat dapatkan dari pasien dan orang terdekat lainnya melalui percakapan dan
pengamatan.
Sering kali anak sulit untuk diajak bekerja sama oleh perawat karena takut
menghadapi petugas kesehatan. Perawat perlu menggunakan pendekatan yang tepat
melalui komunikasi yang dijalankannya pada anak sesuai dengan tahapan usia anak. Satu
hal yang perlu diingat bahwa dalam keperawatan anak, klien anda bukan hanya anak saja
tetapi juga orang tuanya. Oleh karena itu perawat perlu memperhatikan cara
berkomunikasi yang efektif dengan orang tua. Berikut caranya (supartini,2004):
1. Berbicara terlebih dahulu pada orang tua, tunjukan bahwa kita ingin membina
hubungan baik dengannya. Dengan demikian, anak akan melihat bahwa kita berbuat
baik kepada orangtuanya, kemudian perhatian kira alihkan pada anak dengan tujuan
semula yaitu pengkajian.
2. Mulai kontak dengan anak dengan menceritakan sesuatu yang lucu. Dengan demikian
diharapkan anak tertarik dengan pembicaraan perawat dan mau bekerjasama.
3. Gunakan mainan sebagai pihak ketiga dalam bentuk lain sebagai titik masuk
berbicara pada anak
4. Apabila memungkinkan, ajukan pilihan pada anak tentang tempat pemeriksaan yang
diinginkan, sambil duduk/di tempat tidur atau dipangku orangtuanya
5. Pemeriksaan yang menimbulkan trauma dilakukan terakhir.
6. Hindarkan pemeriksaan dengan menggunakan alat yang menimbulkan rasa takut
misalnya thermometer atau stetoskop yang terasa dingin
24
Kelas C
Pasien yang mengalami serangan asma, pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan
(Depkes, 2009):
a. Inspeksi (memeriksa dengan melihat dan mengingat) : pasien terlihat gelisah,
sesak, sianosis
b. Palpasi (pemeriksaan dengan perabaan, menggunakan rasa propioseptif ujung jari
dan tangan): biasanya tidak ada kelainan yang nyata
c. Perkusi (pemeriksaan dengan cara mengetuk permukaan badan dengan cara
perantara jari tangan, untuk mengetahui keadaan organ-organ didalam tubuh):
biasanya tidak ada kelainan yang nyata
d. Auskultasi (pemeriksaan mendengarkan suara dalam tubuh menggunakan alat
stetoskop): ekspirasi memanjang, wheezing.
Pemeriksaan penunjang (Depkes, 2009)
a. Pemeriksaan fungsi, merupakan pemeriksaan penunjang yang diperlukaan untuk
diagnosis Asma faal paru dengan alat spirometer.
Uji fungsi faal paru merupakan metode diagnostic yang objektif dan dapat
diulang untuk mengevaluasi keberadaan dan derajat penyakit paru. Spirometri
adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk mengukur secara obyektif
kapasitas/fungsi paru (ventilasi) pada pasien dengan indikasi medis. Alat yang
digunakan disebut spirometer. Tujuannya mengukur volume paru secara statis dan
dinamik dan menilai perubahan atau gangguan pada faal paru. Prinsip spirometri
adalah mengukur kecepatan perubahan volume udara di paru-paru selama
pernafasan yang dipaksakan atau disebut forced volume capacity (FVC). Prosedur
yang paling umum digunakan adalah subyek menarik nafas secara maksimal dan
menghembuskannya secepat dan selengkap mungkin Nilai FVC dibandingkan
terhadap nilai normal dan nilai prediksi berdasarkan usia, tinggi badan dan jenis
kelamin. Spirometri umumnya dapat dilakukan secara reliable pada anak berusia 5
atau 6 tahun dan mencakup penggunaan spirometer mekanis tradisinal dan seder
hana yang sering dilakukan.
b. Pemeriksaan arus puncak ekspirasi dengan alat peak flow rate meter
25
Kelas C
Keadaan penyakit asma juga dapat diukur dengan alat lain yang disebut peak
expiratory flow rate (PEFR). Alat PEFR ini akan mencatat seberapa besar paru
anda dapat mengeluarkan volume udara dari paru keluar melalui saluran napas
yang menyempit. Volume ini diukur dengan meniup alat PEFR sekuat-kuatnya dan
hasilnya dapat dibaca pada skala yang ada pada alat bersangkutan. Makin besar
nilainya, makin baik keadaan penyakit asma anda oleh karena udara dapat dengan
mudah dialirkan ke luar melalui saluran napas tanpa hambatan. Hasilnya dicatat
pada sehelai kertas yang bergambar grafik (disebut sebagai "pelangi asma")
dimana pada grafik tersebut di bagi 3 kelompok pencatatan :
1) Jika hasil baik, pencatatan berada di daerah "hijau"
2) Jika hasil kurang baik sehingga diperlukan obat tambahan, pencatatan berada
di daerah "kuning"
3) Daerah "merah" jika hasil tidak baik, sehingga perlu pengobatan yang lebih
serius
Setiap anak perlu membuat nilai terbaik individu dalam waktu 2-3 minggu
yaitu saat PEFR selama sedikitnya 2x sehari, lalu nilai tersebut dapat dibandingkan
dengan nilai PEFRnya.
c. Uji alergi (tusuk kulit/ skin prick test) untuk menilai ada tidaknya alergi.
Beberapa jenis pemeriksaan penunjang diagnosis penyakit alergi dan
imunologi dapat dilakukan walaupun tidak harus dipenuhi seluruhnya. Tiap jenis
pemeriksaan mempunyai sensitivitas dan spesifitas yang berbeda. Prinsip
pemeriksaan uji kulit terhadap alergen ialah adanya reaksi wheal and flare pada
kulit untuk membuktikan adanya IgE spesifik terhadap alergen yang diuji (reaksi
tipe I). Imunoglobulin G4 (IgG4) juga dapat menunjukkan reaksi seperti ini, akan
tetapi masa sensitisasinya lebih pendek hanya beberapa hari, sedangkan IgE
mempunyai masa sensitisasi lebih lama yaitu sampai beberapa minggu. Reaksi
maksimal terjadi setelah 15-20 menit, dan dapat diikuti reaksi lambat setelah 4-8
jam. Uji kulit berguna untuk mengidentifikasi allergen spesifik dan hasil yang
diperoleh dengan teknik pungsi akan lebih baik daripada yang diambil dengan uji
intrakutan. Uji provokatif, pajanan langsung membrane mukosan dengan antigen
yang dicurigai dalam peningkatan konsentrasi, membantu mengidentifikasi
26
Kelas C
allergen yang terinhalasi. Uji radioallergosorben (RAST) membantu
mengidentifikasi antigen terhadap berbagai makanan dan sering digunakan untuk
menentukan terapi yang tepat.
d. Foto thoraks, pemeriksaan ini dilakukan untuk menyingkirkan penyakit selain
asma.
Pemeriksaan X-Ray (Rontgen dada atau thorax photo). Foto thorax atau sering
disebut chest x-ray (CXR) adalah suatu proyeksi radiografi dari thorax untuk
mendiagnosis kondisi-kondisi yang mempengaruhi thorax, isi dan struktur-struktur
di dekatnya. Foto thorax menggunakan radiasi terionisasi dalam bentuk x-ray.
Dosis radiasi yang digunakan pada orang dewasa untuk membentuk radiografi
adalah sekitar 0.06 mSv. Foto thorax digunakan untuk mendiagnosis banyak
kondisi yang melibatkan dinding thorax, tulang thorax dan struktur yang berada di
dalam kavitas thorax termasuk paru-paru, jantung dan saluran-saluran yang besar.
Dengan cara ini dapat dideteksi ketebalan atau densitas yang dihasilkan oleh
cairan,tumor dan benda asing, dan patologi lain. Pemeriksaan ini hanya
menunjukan adanya kelainan paru, luas, lokalisasi dan macamnya tidak dapat
mengetahui etiologinya.
B. Diagnosis dan Intervensinya (wong,2009) :
1. Diagnosis Keperawatan : Risiko asfiksia yang berhubungan dengan interaksi antara
individu dan allergen.
a. Tujuan : 1). Pasien tidak mengalami episode asmatik.
2). Pasien mencapai kesehatan yang optimal
b. KH : 1). Pada pasien tidak mengalami episode asmatik :
a) Keluarga melakukan usaha untuk menghilangkan atau
menghindari allergen atau kejadian yang mencetuskan
asma
b) Anak dan keluarga mampu mendeteksi tanda-tanda
episode yang mengancam secara dini dan
mengimplementasikan tindakan-tindakan yang tepat
c) Anak dan keluarga mampu memberikan obat dan
menggunakan inhealer serta peralatan lainnya
27
Kelas C
2). Pada pasien yang mencapai kesehatan optimal :
a) Anak dan orang tua melakukan praktik kesehatan
dengan baik
b) Anak tidak menunjukan tanda-tanda infeksi
c. Intervensi :
1) Tidak mengalami episode asmatik
a) Ajarkan kepada anak dan keluarga cara menghindari kondisi atau keadaan
yang mencetus episode asma
b) Bantu orangtua dalam menyingkirkan allergen atau factor lain atau stimulus
yang mencetuskan eksaserbasi
(1) Perencanaan makan untuk menghilangkan makanan pencetus allergen
(2) Menyingkirkan hewan peliharaan dirumah
(3) Modifikasi lingkungan rumah bebas allergen, terutama tidak boleh ada
rokok dalam rumah
c) Hindari suhu lingkungan yang ekstrem
Jika anak terpajan udara dingin, anjurkan bernapas melalui hidung (bukan
mulut) dan gunakan masker atau syal atau saputangan atau menangkupkan
tangan di hidung dan mulut untuk membuat reservoir udara hangat saat
bernapas.
d) Bantu orangtua untuk memperoleh dan atau memasang alat pengatur
lingkungan (humidifier, AC, filter udara elektronik)
e) Ajarkan anak dan keluarga mengetahui tanda dan gejala awal sehingga
episode yang perlu mengancam dapat dikendalikan sebelum bertambah berat
f) Ajarkan anak dan keluarga penggunaan bronkodilator dan anti-inflamasi yang
benar (misalnya kortekosteroid, natrium kromolin) efek merugikan dan
bahaya penggunaan obat jika terlalu banyak atau terlalu sedikit.
g) Jelaskan pada anak cara kerja peralatan
h) Ajarkan anak tentang penggunaan inhaler, nebulizer dan PEFM yang benar.
i) Ajarkan anak dan keluarga tentang pengobatan proflaktik jika sesuai(mis.
Mencegah bronkospasme akibat latihan fisik dengan menggunakan obat
sebelum latihan)
28
Kelas C
j) Jelaskan pada anak dan keluarga kemungkinan manfaat terapi hiposensitisasi
jika allergen dapat dapat ditentukan dan tidak dapat dihindari (contoh, serbuk
sari jamur) atau dikendalikan dengan baik oleh obat. *jika diresepkan
2) Mencapai kesehatan optimal
a) Anjurkan unutk melakukan hal-hal yang sehat demi mendukung pertahanan
alami tubuh
(1) Diet seimbang dan bergizi
(2) Istirahat yang cukup
(3) Hygiene yang baik
(4) Latihan fisik yang sesuai
b) Cegah infeksi pernapasan karena dapat memicu serangan atau memperburuk
keadaan asma
(1) Hindari pajanan terhadap infeksi
(2) Rawat peralatan dengan cermat untuk menghindari pertumbuhan bakteri
atau jamur
(3) Lakukan cuci tangan dengan baik
2. Diagnosis Keperawatan : bersihan jalan napas tidak efektif yang berhubungan
dengan respon alergenik dan inflamasi pasa percabangan bronkus
a. Tujuan : pasien akan menunjukan perbaikan kapasitas ventilasi
b. KH:
1) Anak bernapas dengan mudah dan tanpa dispnea
2) Anak menunjukan perbaikan kapasitas ventilasi
3) Anak terlibat dalam aktivitas yang sesuai dengan kemampuan dan minat
c. Intervensi :
1) Instruksikan atau awasi latihan bernapas dari pengendalian pernapasan untuk
meningkatkan pernapasan diafragmatik yang benar ekspansi dada dan
perbaikan mobilitas dinding dada
2) Gunakan teknik main untuk latihan bernapas pada anak-anak yang masih kecil
(missal meniup pluit) untuk memperpanjang waktu ekspirasi dan
meningkatkan tekanan ekspirasi
3) Ajarkan penggunaan obat yang benar
29
Kelas C
4) Ajarkan penggunaan PEFM nebulizer dan inhaler dosis terukur yang benar
jika diindikasikan
5) Anjurkan keluarga untuk melakukan perkusi dan postural drainase dan
menganjurkan batuk jika diindikasikan
6) Anjurkan latihan fisik
a) Anjurkan latihan fisik yang memerlukan ledakan energi singkat (missal
baseball, lari cepat) karena dapat ditoleransi dengan lebih baik daripada
latihan fisik yang memerlukan ketahanan (missal sepakbola)
b) Anjurkan berenang karena anak dapat menghirup udara tersaturasi
dengan lembab dan berekshalasi dibawah air akan memperpanjang
ekspirasi dan meningkatkan tekanan akhir ekspirasi
c) Batasi aktivitas fisik hanya jika kondisi anak mengharuskan
7) Anjurkan postur tubuh yang baik untuk ekspirasi paru maksimal
8) Bantu anak dan keluarga dalam memilih aktivitas-aktivitas yang sesuai
dengan kemampuan dan minat anak
3. Diagnosis Keperawatan : Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan
ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen
a. Tujuan : pasien memperoleh istirahat yang optimal
b. KH :
1) Anak terlibat dalam aktiviatas yang sesuai
2) Anak tampak beristirahat
c. Intervensi :
3) Anjurkan aktivitas-aktiviats yang sesuai dengan kondisi dan kemampuan anak
4) Berikan banyak kesempatan untuk beristirahat dan aktivitas yang tenang untuk
menghemat suplai oksigen
4. Diagnosis Keperawatan : perubahan proses keluarga yang berhubungan dengan
memiliki anak berpenyakit kronis
a. Tujuan : Pasien atau keluarga menunjukan adaptasi yang positif terhadap keadaan
b. KH : keluarga melakukan koping terhadap gejala dan dampak penyakit dan
memberikan lingkungan yang normal bagi anak
c. Intervensi :
30
Kelas C
1) Bantu perkembangan hubungan keluarga yang positif
2) Beri penguatan terhadap mekanisme koping anak dan keluarga yang positif
3) Gunakan setiap kesempatan untuk meningkatkan pemahaman orang tua dan
anak mengenai penyakit dan terapinya karena pengetahuan yang adekuat
berhubungan dengan dilakukannya intervensi preventif dan kedaruratan
4) Beri penguatan kebutuhan untuk berespon terhadap tanda-tanda awal dari
episode asma yang mengancam, menggunakan obat yang diperlukan sesuai
kebutuhan untuk mengurangi potensi eksaserbasi berat
5) Lakukan intervensi yang sesuai jika terdapat tanda-tanda maladaptasi
6) Waspada terhadap tanda-tanda penolakan orangtua atau orangtua yang
overprotektif
7) Waspada terhadap tanda-tanda depresi anak dan buat rujukan yang tepat untuk
memperoleh dukungan psikologiik karena anak yang depresi terutama remaja
kemungkinan tidak akan mematuhi terapi sebagai cara bunuh diri pasif
8) Ajarkan anak dan keluarga cara memberikan pengobatan pernapasan untuk
menghilangkan kebingungan yang berkaitan dengan pengobatan atau
inhaler/nebulizer
9) Anjurkan keluarga untuk menghubungi petugas sekolah untuk membuat
rencana asuhan keperawatan yang konsisten di sekolah
10) Rujuk keluarga ke kelompok pendukung dan lembaga komunitas yang sesuai
Status Asmatikus (kebutuhan khusus)
1. Diagnosis keperawatan : Risiko asfiksia yang berhubungan dengan bronkospasme,
sekresi mucus, edema
a. Tujuan :
1) Pasien tidak mengalami bronkospasme
2) Pasien memperlihatkan fungsi pernapasan
3) Pasien berhasil mengeluarkan secret bronkus
b. KH :
1) Pada pasien Pasien tidak mengalami bronkospasme
31
Kelas C
a) Anak bernapas lebih mudah
b) Anak tidak mengalami asfiksia
2) Pada pasien memperlihatkan fungsi pernapasan
a) Pernapasan anak tidak sulit dan dalam batas normal
b) Anak beristirahat dan tidur dengan nyaman
c) Anak tidak mengalami penurunan saturasi oksigen
3) Pada pasien berhasil mengeluarkan secret bronkus
a) Sekresi dikeluarkan secara adekuat dan mudah
b) Anak batuk secara efektif
c) Anak tidak mengaspirasi secret, makanan, atau cairan
c. Intervensi
1) tidak mengalami bronkospasme
a) pasang infuse IV untuk pemberian obat dan hidrasi (*berikan
bronkodilator aerosol dan kortikosteroid oral maupun IV dengan atau
tanpa epineprin sesuai resep untuk mengurangi bronkospasme)
b) pantau dengan ketat TTV sebelum selama dan serelah pemberian untuk
memperoleh manfaat maksimal dan efek samping minimal
c) wawancara orangtua untuk menentukan apakah obat telah diberikan
sebelum anak masuk kerumah sakit untuk menghindari overdosis
d) sediakan peralatan dan obat gawat darurat untuk mencegah keterlambatan
pertolongan.
2) memperlihatkan fungsi pernapasan
a) Beri oksigen lembab dengan tenda oksigen masker wajah atau kanula
untuk mempertahankan oksigen yang mencukupi
b) Pantau dengan ketat saturasi oksigen dan gas darah melalui oksimetri nadi
untuk mencegah asfiksia
c) Pantau dengan ketat presentasi oksigen yang diberikan karena kadar yang
tinggi dan menekan pernapasan
d) Beri posisi untuk ekspansi paru yang maksimal
(1) Posisi fowler tinggi
32
Kelas C
(2) Berikan overbed table dengan bantal diarasnya untuk bersandaar jika
hal tersebut lebih nyaman bagi anak
e) Implementasikan berbagai tindakan untuk mengurangi ketakutan/ansietas
untuk menurunkan upaya pernapasan dan konsumsi oksigen
f) Anjurkan teknik relaksasi untuk mengurangi ansietas dan meningkatkan
ekspansi paru
g) Beri sedative dan obat penenang jika diresepka dengan kecermatan yang
tinggi dan jika agitasi tidak disebabkan oleh anoksia, karena obat-obat ini
daoar mendepresi pernapasan dan menyamarkan tanda-tanda anoksia
h) Jadwalkan aktivitas untuk memungkinkan istirahat tidur dan pengeluaran
energi yang minimal
3) Mengeluarkan secret bronkus
a) Beri hidrasi yang adekuat baik oral atau IV, untuk mengencerkan secret
agar lebih mudah dikeluarkan
b) Pertahankan status puasa, jika perlu, untuk mencegah aspirasi cairan dan
makanan
c) Beri udara ruangan yang lembab agar membrane mukosa tidak kering
d) Anjurkan anak untuk batuk efektif dengan sediakan tisu, jelaskan perluya
mengeluarkan secret
e) Lakukan suction, lakukan teknik yang benar jika diperlukan
f) Jangan melakukan fisioterapi dada selama episode akut, karena hanya
akan membuat gelisah anak yang sudah cemas dan dispnea serta
memperburuk gejala
g) Beri posisi, jika perlu untuk mencegah aspirasi secret (agak telungkup,
miring)
2. Diagnosis keperawatan : Risiko kekurangan volume cairan yang berhubungan
dengan kesulitan minum, kehilangan cairan yang tidak terlihat melalui hiperventilasi,
diaforesis
a. Tujuan : pasien menunjukan hidrasi yang adekuat
b. KH : anak memperlihatkan hidrasi yang adekuat
c. Intervensi :
33
Kelas C
1) Pertahankan infus IV pada kecepatan yang tepat, karena terapi cairan akan
meningkatkan pengenceran secret (jalur IV biasanya merupakan dua pertiga
atau tiga perempat dari terapi rumatan,kecuali jika terjadi dehidrasi, untuk
meminimalkan risiko edema pulmonal akibat tekanan inspirasi yang terlalu
tinggi )
2) Anjurkan cairan oral
a) Tawarkan cairan jika gawat napas akut sudah berkurang untuk
menurunkan risiko aspirasi
b) Hindari cairan yang dingin, karena dapat mencetuskan refleks
bronkospasme
c) Beri cairan dan makanan dalam porsi sedikit tetapi sering untuk
menghindari distensi abdomen yang dapat mempengaruhi ekskursi
diafragmatik.
d) Gunakan teknik bermain yang sesuai usia anak untuk meningkatkan
asupan cairan
3) Ukur asupan dan haluaran cairan
4) Atasi dehidrasi secara perlahan, karena dehidrasi berlebih dapat meningkatkan
akumulasi cairan pulmonal interstisial, yang akan menyebabkan peningkatan
obstruksi jalan napas
3. Diagnosis keperawatan : perubahan proses keluarga yang berhubungan dengan
kedaruratan hospitalisasi anak
a. Tujuan : ansietas pasien / keluarga berkurang
b. KH :
1) Keluarga mengungkapkan kekhawatirannya dan meluangkan waktu
bersama anak
2) Keluarga tudak menunjukan tanda-tanda distress
c. Intervensi :
1) Tetap informasikan orangtua mengenai kondisi anak
2) Dorong pengungkapan perasaan, terutama yang berkaitan dengan keparahan
kondisi dan prognosis
34
Kelas C
3) Biarkan orang tua untuk tetap bersama anak sesering mungkin dengan
mendorong konsep keperawatan yang berpusat pada keluarga
4) Tunjukan bukti-bukti adanya kemajuan untuk mendorong perilaku koping
yang positif
5) Jika memungkinkan, jadwalkan pengobatan dan asuhan sesuai dengan
rutinitas anak
6) Kurangi stimulus sesorik dengan mempertahankan lingkungan yang tenang
dan rileks
C. Evaluasi
1. Tanyakan keluarga mengenai upaya membasmi atau menghindari allergen
2. Amati anak untuk adanya tanda-tanda gejala pernapasan
3. Kaji kesehatan umum anak
4. Amati anak dan tanyakan keluarga mengenai infeksi atau komplikasi lainnya
5. Tanyakan anak tentang aktivitas sehari-hari
6. Tentukan tingkat pemahaman keluarga dan anak terhadap kondisi anak dan tentang
terapi yang harus dilakukan.
D. Terapi Obat
Tujuan terapi farmakologik adalah mencegah dan mengendalikan gejala asma,
mengurangi frekuensi dan keparahan eksaserbasi gejala asma dan menghilangkan
obstruksi aliran udara. Pengobatan digolongkan menjadi dua : Pengobatan jangka
panjang (pencegah, mempertahankan pengendalian inflamasi) dan pengobatan asma
segera (penyelamatan medis, mengatasi gejala dan eksaserbasi). Banyak pengobatan
asma diberikan melalui inhalasi dengan nebulizer atau disebut inhaler dosis terukur
(MDI, metered dose inhaler). Bayi dan anak yang masih kecil sulit menggunakan MDI
atau inhaler lain maka dapat menggunakan nebulizer.
Kortikosteroid merupakan obat anti inflamasi yang digunakan untuk mengatasi
obstruksi jalan napas yang reversible dan mengendalikan gejala serta mengurangi
hiperaktivitas bronkus pada asma kronis. Kortikosteroid dapat diberikan secara
parenteral, oral dan aerosol. Obat oral dimetabolisme secara lambat sampai 3jam setelah
pemberian dan aktivitas puncaknya terjadi 6-12 jam. Steroid oral dapat diberikan untuk
35
Kelas C
periode singkat untuk memperoleh kendali cepat terhadap asma persisten yang tidak
terkontrol dengan baik. Penggunaan jangka panjang dapat menyebabkan risiko
osteoporosis, hipertensi.
Pertimbangan pediatrik : penggunaan steroid oral setiap hari, mungkin penting
untuk mengendalikan kondisi asma yang berat, atau mungkin diprogramkan sebagai
perawatan selama 5-7 hari untuk mengembalikan fungsi normal lebih cepat selama
eksaserbasi pada pasien yang mengidap asma ringan atau berat. Penggunaan kronis
steroid oral untuk terapi jangka panjang pada asma anak-anak dikaitkan dengan reduksi
potensi pertumbuhan dan penipisan tulang. (Corwin,2009)
Natrium kromolin adalah jenis obat nonsteroid untuk asma. Obat ini
menstabilakan membrane sel mast, menghambat aktivasi dan pelepasan mediator dari
eosinofil dan sel-sel epithelia dan menghambat penyempitan jalan napas akut. Efek
sampingnya minimal berupa batuk, dan dapat diberikan melalui nebulise atau MDI.
Natrium nedokromil adalah obat lain yang digunakan untuk terapi rumatan pada asma.
Obat ini bersifat antialergik dan antiinflamasi sera memiliki efek samping minimal.
Agonis adrenergic-β (terutama albuterol, metaproterenol, dan tetrabutalin)
digunakan untuk pengobatan eksaserbasi akut dan pencegahan bronkospasme. Diberikan
melalui inhalasi atau oral atau parenteral. Inhalasi lebih cepat kerjanya dan mengurangi
efek samping. Efek sampingnya iritabilitas, tremor, gelisah dan insomnia. Obat ini tidak
boleh digunakan lebih dari 3-4 kali sehari pada gejala akut. Salmeterol (serevent)
merupakan bronkodilator kerja lama yang digunakan dua kali sehari. Obat ini
ditambahkan pada terapi anti inflamasi dan digunakan untuk pencegahan gejala asma
jangka panjang.
Metilsantin terutama teofilin, telah digunakan selama bertahun-tahun untuk
mengurangi gejala dan mencegah serangan asma. Teofilin merupakan agen baris ketiga
dan tidak dipergunakan untuk mengobati eksaserbasi asma. Diberikan melalui IV,
Intramuskular, oral. Berefek bronkodilator dan stimulant pernapasan sentral serta
meningkatkan kontraktilitas otot pernapasan.
Modifier leukotrien . leukotrien adalah mediator inflamasi yang menyebabkan
peningkatan hiperesponsivitas jalan napas. Modifier leukotrien menyekat efek inflamasi
36
Kelas C
dan bronkospasme. Diberikan secara oral bersama agonis-β dalam pengendalian jangka
panjang.
Perawat perlu mengetahui bahwa dalam keperawatan anak yang menjadi kliennya bukan
hanya anaknya yang sakit tetapi orangtuanya juga. Dalam melakukan rencana asuhan
keperawatan perlu sekali melibatkan peran orang tua, karena merekalah orang terdekat anak.
Perbedaan yang terlihat dari rencana asuhan keperawatan pada anak adalah pentingnya peran
orang tua dalam setiap tindakan. Oleh karena itu perawat harus melibatkan orang tua dalam
proses keperawatan anak karena sesuai prinsip yaitu family-centered.
37
Kelas C
38