Upload
fatchul-ulum
View
161
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
A. PENDAHULUAN
Bahasa Jawa Ludruk (BLJ) terutama dipakai di pentas atau di dalam siaran
sandiwara ludruk. Akan tetapi, harus diingat bahwa pemakaian ragam bahasa ini,
seperti terdengar di dalam dialog-dialog, juga ada di dalam masyarakat. Nama
BJL lebih tepat dipakai untuk bahasa yang digunakan di dalam sandiwara ludruk,
sedangkan di luar pentas atau siaran nama yang lebih tepat digunakan ialah bahasa
Jawa (BJ) dialek Surabaya. Penggunaan nama BJL dimaksudkan untuk lebih
mengeksplisitkannya karena yang disoroti ialah penggunaan BJ seperti yang
dipraktikkan oleh para pemain sandiwara ludruk di dalam dialog-dialognya.
Anggapan dasar kajian atau pembicaraan ini ialah bahwa BJL memiliki
keistimewaan-keistimewaan dalam bentuk dan lafal kata-kata tertentu yang
membedakannya dengan kenyataan yang ada pada BJ ragam baku (BJB) atau BJ
yang dipakai di Sala dan Yogya. Oleh karena itu, metode deskriptif komparatif
lebih tepat dipakai untuk membahas masalah ini.
Tentang bagaimana wujud BJB sebagai tolok ukur dalam perbandingan
nanti, digunakan ketentuan-ketentuan yang dipakai oleh peneliti-peneliti
sebelumnya seperti yang dilakukan oleh I. Suharno. Untuk mengecek apakah
suatu bentuk kata merupakan bentuk khas BJL, digunakan buku Baoesastra
Djawa (Kamus Bahasa Jawa) yang dihimpun oleh W.J.S. Poerwadarminta (1939)
sebagai pegangan. Apabila dibicarakan sebuah kata BJL, misalnya, maka untuk
mengetahui bagaimana kata itu di dalam kamus, di belakang kata itu disertakan
padanannya dengan memakai cara berikut (=BJB...). Sementara itu, untuk
mengetahui bagaimana wujud BJB dan BJ nonbaku (BJnB), diikuti pendapat I.
Suharno (1974: 250-251). Menurut Suharno, perbedaan antara keduanya terutama
pada penggunaan kosa katanya, yakni BJnB menggunakan kosa kata baik yang
tidak dikenal dalam BJB maupun yang hanya dikenal sebagai BJ kasar. Lebih
lanjut dikatakannya bahwa BJnB ditandai dengan adanya variasi fonologis, seperti
pergeseran /i/ menjadi /e/ dan /u/ menjadi /o/ sebagaimana yang terdapat di dalam
dialek-dialek di Jawa Timur.
Pembicaraan tentang BJL ini adalah cuplikan dari penelitian yang
dilakukan penulis berjudul Kajian Bentuk dan Lafal Kata Bahasa Jawa Ludruk
sebagai pelaksanaan tugas dalam rangka Penataran Linguistik Umum Angkatan II
tahap II (Februari-Oktober 1983), yang diselenggarakan oleh Pusat Pembinaan
dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan di Tugu,
Bogor. Penelitian setebal 93 halaman ini membahas masalah bentuk dan lafal kata
BJL. Mengingat luasnya materi yang dibahas, maka cuplikan ini hanya
mengemukakan bahasan awal mengenai penggunaan dan ciri-ciri umum BJL.
Diharapkan pada kesempatan lain akan dapat disajikan bahasan lanjutannya.
B. PENGGUNAAN BAHASA JAWA LUDRUK
Jika di Jakarta, di dalam pertunjukan lenong, orang dapat mengenal
bagaimana orang menggunakan bahasa Indonesia (BI) dialek Jakarta, demikian
juga di dalam pertunjukan ketoprak dan wayang orang di Sala dan Yogya dapat
dikenal pemakaian BJ dialek Sala Yogya, maka di dalam sandiwara ludruk pun
orang dapat dengan mudah mengenal bahasa yang dipakainya. Sesungguhnyalah
kesenian pentas yang menampilkan dialog-dialog di samping menunjukkan ciri
2
khas kebudayaan daerah, juga merupakan upaya untuk memperkenalkannya
kepada masyarakat di seluruh pelosok tanah air, dan lebih dari itu kegiatan ini
merupakan upaya untuk melestarikan bahasa dan kebudayaan daerah sebagai
sakaguru kebudayaan nasional.
Beredarnya kaset-kaset sandiwara ludruk dan penyelenggaraan siaran
sandiwara ini baik melalui radio maupun televisi betul-betul mampu
mengungkapkan khasanah kesenian daerah Jawa Timur. Tak pelak lagi kegiatan
ini merupakan petunjuk baik bagi pelestarian BJL. Ludruk memang kesenian
rakyat. Maka dari itu, bahasa yang digunakan pun bahasa rakyat. Dapat dikatakan
bahwa apabila pemain-pemain ludruk bercakap-cakap di pentas, seperti itu
pulalah rakyat Jawa Timur, terutama rakyat Surabaya dan sekitarnya, bercakap-
cakap. Oleh karena itu, tepat sekali jika dikatakan bahwa BJL adalah pencerminan
BJ dialek Surabaya.
Jangan dikira bahwa penggunaan BJL ini hanya dilakukan oleh rakyat
jelata. Lapisan atas pun ternyata juga menggunakan ragam ini. Kepala daerah
apabila turun ke desa di dalam dialognya dengan rakyatnya menggunakan logat
ini. Kalaupum digunakan BI, logat Jawa Timuran ini pun masih tampak dalam
wujud pemakaian bahasa gado-gado.
1) Yakapa negara kita bisa maju nek rakyate gak gelem melok giat membangun?
‘Bagaimana negara bisa maju kalau rakyatnya tidak mau ikut bergiat
membangun?’
2) Nek rakyate mlarat, kate mangan rasane gak mentala nguntal sega
sakpulukan. ‘Kalau rakyatnya melarat, mau makan rasanya tidak sampai hati
menelan nasi sesuap’.
3) Sedolor-sedolor tani kabeh, wekasku mek loro, sepisan ojok congkrah ambek
sakpadha-padha, sing nomer loro nyambutgae sing tekun supaya asile
meningkat terus. ‘Saudara-saudara petani, pesan saya hanya dua, pertama
jangan bertengkar dengan sesama, kedua tekunlah bekerja supaya hasilnya
meningkat terus’.
Penggunaan kata-kata yakapa [yO?OpO], gak [ga?], melok [[mElO?], kate
[kate], sedolur-sedolur [sdolorsdolor], mek [mE?], ojok [OjO?], congkrah
[cONkrah], ambek [ambE?], sakpadha-padha [sa?pODOpODO], dan nyambutgae
[nambotgae] adalah kosa kata khas BJL, yang dipakai oleh pejabat di dalam
pidatonya. D samping itu, diseling juga bahasa pemimpin itu dengan pemakaian
kata-kata BI (‘giat’, ‘membangun’, ‘tekun’, dan ‘meningkat’). Di dalam BJ dialek
Sala Yogya kata-kata dengan bentuk dan lafal seperti itu tidak ada. Yang ada
ialah: kepriye [kpriye], ora [ora], melu [mElu], arep [arp], sedulur-sedulur
[sdulorsdulor], mung [moN], aja [OjO], congkrah [coNkrah], karo [karo],
sapadha-padha [sapODOpODO], dan nyambut gawe [nambotgawe].
Disinilah menariknya meneliti BJ dialek Surabaya ini. Di samping ada
beberapa kata yang berbeda sama sekali, ada juga lafal dan bentuk kata dengan
proses morfonologis tertentu yang berbeda dengan yang terdapat di dalam BJ
dialek Sala Yogya.
4
C. CIRI-CIRI UMUM BAHASA JAWA LUDRUK
Di atas sudah dikemukakan beberapa hal menarik dalam pemakaian BJL.
Selanjutnya, untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang bagaimana
wujud BJL, ada baiknya dikemukakan ciri-ciri umum yang membedakannya
dengan kenyataan yang terdapat di dalam BJB. Ciri-ciri itu ialah adanya:
1) pemakaian ragam ngoko dan ragam krama desa,
2) pemakaian kosa kata tertentu,
3) penambahan fonem /w/, /u/, atau /uw/,
4) penambahan fonem /a/, dan
5) pemakaian bentuk baur BJ-BI.
Sebelum dibicarakan secara rinci ciri-ciri itu, ada baiknya dikemukakan
pedoman pelafalan kata-kata BJL dengan menggunakan lambang-lambang bunyi
sebagai berikut. Lambang [O] untuk mengucapkan /o/ seperti terdapat pada kata
apa [OpO]. Lambang [o] untuk mengucapkan /u/ tertutup seperti yang ada pada
kata empun [mpon]. Lambang [N] untuk mengucapkan /ng/ seperti terdapat pada
nggih [Ngeh]. Lambang [n] dipergunakan untuk melafalkan /ny/ pada kata
nyambutgae [nambotgae]. Lambang [D] untuk /d/ lingual yang di dalam pedoman
ejaan BJ digunakan /dh/, misalnya yang terdapat pada kata padha [pODO].
Lambang [E] dipakai untuk bunyi /e/ pada kata melok [mElO?]. Lambang [e]
untuk mengucapkan bunyi /e/ dan bunyi /i/ tertutup seperti terdapat pada kata
mering [mereN]. Lambang [?] untuk bunyi /k/ misalnya yang ada pada kata melok
dan entek [ntE?]. Sementara itu, [e] pepet tidak memakai lambang pelafalan. Jadi,
pada kata empun dan entek seperti dikemukakan di atas /e/ tidak dilambangkan,
namun tetap diucapkan.
1. Pemakaian Ragam Ngoko dan Ragam Krama Desa
Pemakaian ragam ngoko dan ragam krama desa sebetulnya bukan
monopoli pemain-pemain sandiwara ludruk. Di daerah Jawa Tengah, seperti
yang terdapat di desa-desa Kabupaten Karanganyar, baik di dalam situasi
resmi maupun tidak penduduk menggunakan ragam ngoko. Kalaupun harus
memakai ragam krama, mereka memakai ragam krama desa. Perhatikan
contoh-contoh pemakaian ragam krama desa berikut ini.
a) Dhite empun entek nggo main. ‘Uangnya sudah habis untuk berjudi.’
b) La nggih niku, piyambake niku klamben men boten saged. ‘Begitulah,
memakai baju saja dia tidak dapat.’
c) Sing nglakoni empun porun, dospundi male. ‘Yang menjalani sudah mau,
bagaimana lagi.’
d) Engken nek ditrima karo, lak boten cocok. ‘Nanti kalau diterima keduanya,
tidak cocok ‘kan?’
Kalimat-kalimat a) dan b) adalah contoh penggunaan ragam krama
desa dalam BJ dialek Sala Yogya, sedangkan c) dan d) adalah kalimat-kalimat
ragam krama desa BJ dialek Surabaya. Pada kalimat a) dhite [Dite] ‘uangya’
berasal dari dhuwit [Duwet] + -e. Bentuk ragam krama-nya yang benar ialah
arta [artO] + -ipun [ipon] = artanipun [artanipon] ‘uangnya’. Bentuk empun
[mpon] ‘sudah’ yang benar ialah sampun [sampon]. Entek [ntE?] ‘habis’ yang
benar telas [tlas]. Nggo [Ngo] ‘dipakai untuk’ yang benar kangge [kaNge].
6
Pada b) bentuk nggih [Ngeh] ‘ya’ ragam krama-nya yang benar ialah
inggih [iNgeh]. Niku [niku] ‘itu’ yang benar menika/punika [mnikO].
Piyambake [piyamba?e] yang benar piyambakipun [piyamba?ipon]. Klamben
[klambEn] ‘memakai baju’ yang benar ngangge rasukan [NaNgrerasu?an].
Men [mn] ‘saja’ yang benar mawon [mawOn].
Pada c) bentuk sing [seN] ‘yang’ ragam krama-nya yang benar
ingkang [eNkaN]. Nglakoni [NlakOni] ‘menjalani’ yang benar nglampahi
[Nlampai]. Empun [mpon] ‘sudah’ yang benar sampun [sampon]. Porun
[poron] ‘mau’ yang benar purun [puron]. Dospundi [dOspundi] yang benar
kados pundi [kadOspundi]. Male [male] ‘lagi’ yang benar malih [maleh].
Pada d) bentuk engkin [Nken] ‘nanti’ ragam krama-nya yang benar
mangke [maNke]. Nek [nE?] ‘kalau’ yang benar menawi [mnawi]. Ditrima
[ditrimO] ‘diterima’ yang benar dipun tampi [dipontampi]. Karo [karo]
‘keduanya’ yang benar kalih-kalihipun [kalehkalehipon]. Lak [la?] ‘kan’ yang
benar rak [ra?].
Pemakaian ragam ngoko di dalam BJL dan sedikitnya digunakan
ragam krama, lebih-lebih krama inggil ‘BJ ragam halus sekali’, menunjukkan
bahwa BJL hanya menggunakan dua ragam. Di dalam BJB digunakan tiga
ragam, yakni ragam-ragam: ngoko, krama, dan krama inggil. Dengan
demikian, BJL menggunakan tingkat tutur terbatas.
2. Pemakaian Kosa Kata Tertentu
Di atas telah ditunjukkan beberapa kata BJ dialek Surabaya yang
rupanya tidak terdapat di dalam BJ dialek Sala Yogya. Berkut ini
dikemukakan beberapa kata lainnya yang merupakan kosa kata BJL dan
pemakaiannya di dalam kalimat. Kata-kata yang sudah dikenal dipakai juga
untuk memperjelas maknanya.
1) mene [mne] ‘besok pagi’ (= BJB sesuk):
Mene aku gak mlebu, Ta. ‘Besuk pagi saya tidak masuk, Ta.’
Di samping itu, ada bentuk mene-mene [mnemne] ‘kelak’ (= BJB suk-suk):
Mene-mene nek kon sida rabi, takkeki kado. ‘Kelak kalau kau jadi kawin,
saya beri kado.’
2) gak [ga?] ‘tidak’ (= BJB ora):
Gak kliru tah kon iku, Li? ‘Apa kamu tidak keliru, Li?’
3) babah [babah] ‘biar’ (= BJB ben, kareben):
Babah, aku gak ngorus. ‘Biar, saya tidak mengurus(nya).’
4) arek [arE?] ‘anak’ (= BJB bocah):
Prasamu aku iki arek cilik tah? ‘Kaukira aku ini anak kecil, ya?’
5) ketok [kEtO?] ‘kelihatan’ (= BJB katon):
Kon kok wis suwe gak ketok, nang endi? ‘Sudah lama kamu tidak
kelihatan, ke mana?’
6) katene [katene] ‘akan (= BJB arep):
Gak katene aku mara nang omahe. ‘Saya tidak akan datang ke rumahnya.’
7) kocluk [koclok] ‘sinting’ (= BJB edan):
Kon sing kocluk, gak waras-waras. ‘Kamu yang sinting, tak pernah
sembuh.’
8
8) pena [pnO] ‘kamu, Saudara’ (= BJB kowe, sampeyan):
Pena mekerna aku tah? ‘Kamu memikirkan aku?’
Kadang-kadang bervariasi dengan awake pena [awa?epnO]:
Ngono-ngono iku lak awake pena dhewe tah sing nggarahi? ’Hal-hal
seperti itu ‘kan Saudara sendiri yang menyebabkannya?’
9) se [se] ‘zero/tak ada padanannya’ (= BJB ta):
Apaka se, Sri awakmu kok kuru? ‘Mengapa, Sri badanmu jadi kurus?’
10) Cak, cacak [ca?caca?] ‘kak, kakak’ (= BJB mas, kangmas):
Aku sakaken mbek pena, Cak. ‘Saya kasihan padamu, Kak.’
11) mara-mara [mOrOmOrO] ‘tiba-tiba’ (= BJB ruh-ruh, weruh-weruh):
Gak salah gak apa kok mara-mara aku gak direken. ‘Tidak salah tidak apa
tiba-tiba saja saya tidak dihiraukannya.’
12) barek [bare?] ‘dengan’ (= BJB karo):
Kon wis gak cinta barek aku tah, Cik? ‘Kau sudah tidak cinta lagi padaku,
Cik?’
13) cek [cE?] ‘biar’ (= BJB ben, cikben):
Kandhakna terus terang, cek genah! ‘Beri tahu terus terang, biar jelas!’
Sering bervariasi dengan cekne [cE?ne] atau cekna [cE?nO]:
Ngerti aku kon meneng terus, aku cekne ndang mole? ‘Saya tahu mengapa
kau diam terus, biar aku cepat pulang ‘kan?’
Cekna talah, wong aku sik kangen mbek kon kok. ‘Biar sajalah, ‘kan aku
masih rindu padamu.’
14) pole [pole] ‘malahan’ (= BJB malah):
Nek kon gak nyepura aku, lak pole rusak awakku. ‘Kalau kau tidak mau
memaafkan aku, ‘kan malahan jadi rusak ragaku.’
Sering pula bentuk ini bervariasi dengan polean [poleyan]:
Rencanaku lak berantakan kabeh polean. ‘Rencana saya ‘kan malahan
berantakan semua.’
15) mari [mari] ‘selesai’ (= BJB rampung]:
Yakapa, Mas, garapamu wis mari? ‘Bagaimana, Mas, pekerjaanmu sudah
selesai?’
16) apaka [OpO?O] ‘mengapa’ (= BJB ngapa):
Kon i lo apaka, Dhik, kok sentimen mbek aku saiki. ‘Mengapa. Dik, kau
sekarang sentimen padaku?’
17) terose [trOse] ‘katanya’ (= BJB sanjangipun):
Terose empun mantep kale kula, kok sakniki kale wong liya? ‘Katanya
sudah mantap dengan saya, mengapa sekarang dengan orang lain?’
Sering pula bentuk ini bervariasi dengan turene [turene]:
Turene boten ajenge rabi-rabi nek boten kale Mas Di. ‘Katanya tidak akan
kawin kalau tidak dengan Mas Di.’
18) telek [tElE?] ‘mencari’ (= BJB golek):
Kon adoh-adoh nang Jakarta iku telek apa? ‘Kamu jauh-jauh ke Jakarta
mencari apa?’
10
19) mboksangkakna [mbO?saNka?nO] ‘kaukira’ (= BJB kokira [kO?kirO]):
Mboksangkakna aku kate njromusna kon tah, Dhik? Gak katene. ‘Kaukira
aku akan menjerumuskan kamu, Dik? Tidak akan.’
20) mbojuk [mbojo?] ‘mendustai’ (= BJB ngapusi):
Kon kate mbojuk aku, ya? ‘Kamu akan mendustai saya, ya?’
21) dolin [dolen] ‘bermain, bermain judi’ (= BJB dolan):
Arek wedok kok dijarna dolin nganti bengi, gak apik, Bu! ‘Anak
perempuan dibiarkan bermain sampai malam, tidak baik, Bu!’
Kon sik cilik, laapan ajar-ajar dolin barang? ‘Kamu masih kecil,
mengapa belajar bermain judi segala?’
22) blaen [blaEn] ‘celaka’ (= BJB blai):
Blaen, Kir, bojone Bowo digawa uwong. ‘Celaka, Kir, istri Bowo dibawa
orang.’
23) maeng [maN] ‘tadi’ (= BJB mau):
Maeng mula kon lak wis takkandhani tah. ‘Dari tadi kau ‘kan sudah saya
beri tahu.’
24) kon [kOn] ‘kamu’ (= BJB kowe):
Kon jok lali mbek aku ya, Dhik! ‘Kau jangan lupa padaku ya, Dik!’
Sering pula bervariasi dengan koen [kOn]:
Koen lak wis ngerti nek aku tetep trisna barek koen. ‘Kau ‘kan sudah tahu
bahwa aku tetap cinta padamu.’
Apa yang dikemukakan di atas boleh jadi belum mencakup semuanya.
Namun, dari ke-24 kata itu kiranya sudah dapat diperoleh gambaran yang jelas
tentang adanya perbedaan kosa kata antara kedua dialek itu. Ke-24 kata itu
merupakan contoh lebih lanjut perbedaan semantik seperti yang dimaksud
oleh Ayatrohaedi. Jadi, ke-24 kata itu merupakan kata-kata ciptaan baru yang
terjadinya karena perubahan fonologi, pergeseran bentuk, dan bahkan benar-
benar merupakan penampilan bentuk baru.
Di antara ke-24 kata itu dapat pula dilihat adanya kata-kata yang
bentuknya serupa atau hampir sama dengan bentuk-bentuk yang terdapat di
dalam dialek atau bahkan bahasa lain. Kata mari, misalnya, di dalam BJ dialek
Sala Yogya berarti ‘sembuh’, sedangkan di dalam BJ dialek Surabaya berarti
‘selesai’. Sementara itu, kata mbojuk, yang di dalam BJ dialek Surabaya
berarti ‘mendustai’ di dalam BI “membujuk” berarti ‘merayu’. Kata arek di
dalam BJ dialek Surabaya berarti ‘anak’, tetapi di dalam bahasa Madura (BM)
berarti ‘sabit’ (= BJB arit). Kata-kata mari, mbojuk, dan arek, yang terdapat di
dalam dialek atau bahasa lain dengan pengertian yang berbeda, rupanya
merupakan kata-kata kognatif atau seasal (= cognate). Pengertiannya yang
berbeda disebabkan oleh pemakaiannya yang berbeda di tempat-tempat lain.
Tentang kata mene ‘besok pagi’ rupanya kata ini dipinjam langsung
dari bahasa Jawa Kuna (BJK), walaupun pengertiannya berbeda. Di dalam
BJK kata itu berarti ‘sekarang’, pada waktu ini, atau ‘segera’ (Wojowasito,
1970: 225). Sementara itu, di dalam bahasa Bali terdapat kata mani dengan
pengertian yang sama dengan mene (Kusuma, 1956: 30). Jika kemudian di
12
dalam BJ dialek Sala Yogya kata mene itu berubah menjadi sesuk, boleh jadi
peristiwanya sama dengan ilir dalam BJ dialek Surabaya (dalam BJK irir)
menjadi tepas dalam BJ dialek Sala Yogya, yang keduanya sama artinya
dengan ‘kipas’.
3. Penambahan Fonem /w/, /u/, atau /uw/
Untuk menyangatkan maksud di dalam BJL terdapat kecenderungan
menambahkan fonem /w/, /u/, atau /uw/ pada kata sifat. Contoh:
gedhe [gDe] ‘besar’
cilik [cili?] ‘kecil’
ireng [irN] ‘hitam’
elek [ElE?] ‘jelek’
menjadi
menjadi
menjadi
Menjadi
gwedhe [gwDe], guedhe [guDe],
guwedhe [guwDe], atau
guwedhuwe [guwDuwe] ‘besar
sekali’
cwilik [cwili?], cuilik [cuili?],
cuwilik [cuwili?], atau cuwiluik
[cuwilui?] ‘kecil sekali’
wireng [wirN], uireng [uirN],
uwireng [uwirN], atau uwirueng
[uwirN] ‘hitam sekali’
welek [wElE?], uelek [uElE?],
uwelek [uwElE?], atau uweluwek
[uwEluwE?] ‘jelek sekali’
Keadaannya di dalam BJB berbeda. Upaya menyangatkan maksud
biasanya dilakukan dengan menambahkan kata banget [baNt] ‘amat, sangat,
sekali’ sesudah kata sifat. Di dalam pemakaian sehari-hari terdapat
kecenderungan untuk mengubah fonem, misalnya /e/ menjadi /i/, pada
peristiwa gedhe menjadi gedhi ‘besar sekali’, atau fonem /a/ menjadi /i/, pada
peristiwa abang [abaN] ‘merah’ menjadi abing [abiN] ‘merah sekali’, atau /a/
[O] menjadi /u/, pada peristiwa lara [lOrO] menjadi laru [lOru] ‘sakit sekali’.
4. Penambahan Fonem /a/
Ciri lainnya yang menonjol di dalam BJL ialah kecenderungan untuk
menambahkan fonem /a/ di belakang kata-kata tertentu dengan maksud untuk
menegaskan pertanyaan semata-mata, misalnya:
a) ngono [Nono] ‘begitu’ + /a/ menjadi ngonoa
[Nonowa]:
Ngonoa karepmu? ‘Begitu maksudmu?’
b) rika [rikO] ‘Saudara’ + /a/ menjadi rikaa [rikOwa]:
Rikaa sing nanggung? ’Apa Saudara yang menanggung?’
c) ae [ae] ‘saja’ + /a/ menjadi aea [aeya]:
Kon mele ketan aea? ‘Kamu memilih beras pulut saja?’
d) kene [kene] ‘sini’ + /a/ menjadi kenea [keneya]:
Ndhek kenea digarap dhisik? ‘Apa di sini dikerjakan dulu?’
e) ngono [Nono] ‘begitu’ + /a/ menjadi ngonoa
[Nonowa]:
bapakmu [bapa?mu] ‘ayahmu’ + /a/ menjadi bapakmua [bapa?muwa]:
14
Nek ana apa-apane, bapakmua sing tanggung jawab? ‘Kalau ada apa-
apanya, apa ayahmu yang bertanggung jawab?’
f) rokok [rOkO?] ‘rokok’ + /a/ menjadi rokoka [rOkO?
a]:
Kon kok ngantuk ae, rokoka? ‘Kamu kelihatan mengantuk, mau rokok?’
g) sepolo [spolo] ‘sepuluh’ + /a/ menjadi sepoloa
[spolowa]:
Sepoloa sing pena gawa? ‘Sepuluhkah yang Saudara bawa?’
h) pote [pote] ‘putih’ menjadi potea [poteya]:
Kon njaluk sing potea? ‘Kamu minta yang putih?’
i) gelut [gelot] ‘berkelahi’ + /a/ menjadi geluta
[gelota]:
Kon kok menthelengi aku terus, wani geluta? ‘Kamu memandangi aku
terus-menerus, berani berkelahi, ya?’
Harus diingat bahwa penambahan /a/ di sini berbeda dengan
penambahan /a/ [O], misalnya pada kata lungguh [luNgoh] ‘duduk’ + /a/ [O]
menjadi lungguha [luNguO] ‘duduklah’ sebab pada peristiwa ini /a/ [O]
merupakan akhiran perintah, sedangkan /a/ pada contoh-contoh yang
disebutkan di atas merupakan akhiran tanya (= akhiran -kah dalam BI). Di
dalam BJB yang ada hanya penambahan fonem /a/ [O], yang di dalam BI
dipadankan akhiran -lah.
5. Pemakaian Bentuk Baur BJ-BI
Penutur-penutur BJL cenderung pula untuk memasukkan kata-kata BI
di dalam dialog-dialognya. Di sana-sini rupanya ada upaya untuk membaurkan
16
bentuk kata BJ dengan bentuk kata BI sehingga sering terjadi pemakaian
bentuk-bentuk baur sebagai berikut:
a) perhatekna (berasal dari kata BI ‘perhatikan’):
Mulane tah perhatekna (= BJB gatekna) omongane Kadir. ‘Oleh karena
itu, perhatikan omongan Kadir.’
b) ngatasi (berasal dari kata BI ‘mengatasi’):
Kon gak sanggup ngatasi (= BJB nanggulangi) nakale anak-anakmu?
‘Kamu tidak sanggup mengatasi kenakalan anak-anakmu?’
c) artine (berasal dari BI ‘artinya’):
Iku artine (= BJB tegese) kon gak norut ambek wong tuwa. ‘Itu artinya kau
tidak patuh pada orang tua.’
d) nyurahna (berasal dari kata BI ‘mencurahkan’):
Rakyat desa kudu melok nyurahna tenaga (= BJB nyambut gawe) kanggo
mbangun desane. ‘Rakyat desa harus ikut mencurahkan tenaga untuk
membangun desanya.’
e) ngomumna (berasal dari kata BI ‘mengumumkan’):
Pemerentah wis ngomumna (= BJB mbiwarakake) undhake rega-rega.
‘Pemerintah sudah mengumumkan naiknya harga-harga.’
Contoh-contoh itu, yang masih dapat diperbanyak lagi, menunjukkan
bahwa pembauran BJ-BI di dalam BJ dialek Surabaya sudah merupakan hal
yang wajar. Dapatlah dikatakan bahwa pemakaian bahasa demikian
merupakan pemakaian bahasa gado-gado. Bagi pemekaran atau
penyebarluasan pemakaian BI keadaan ini sangat menguntungkan karena
rakyat dengan segera akan lebih mengenal kosa kata BI. Akan tetapi, bagi
pengembangan dan pelestarian dialek ini keadaan itu jelas merugikan.
18
Keadaan ini menimbulkan dugaan bahwa dialek ini kekurangan kosa kata
untuk mengungkapkan gagasan dalam zaman kemajuan sekarang ini. Suatu
hal yang perlu dilakukan penelitian lebih lanjut. Yang terang bentuk-bentuk
baur BJ-BI seperti perhatekna dan nyurahna sudah memasyarakat. Bentuk-
bentuk demikian merupakan ciptaan-ciptaan baru sebagai salah satu ciri khas
yang membedakannya dengan dialek-dialek lainnya.
Demikianlah beberapa ciri umum yang ada pada BJL, yang berbeda
sekali dengan yang terdapat di dalam BJB. Akan tetapi, perlu diingat bahwa
sekalipun berbeda dengan dialek lain, secara umum pemakai dialek lain
mampu memahami dialek ini. Buktinya di daerah-daerah pemakaian dialek
lain, seperti yang terlihat di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta,
orang dapat menikmati pertunjukan atau siaran sandiwara ludruk. Ini
membuktikan betapa tepatnya pendapat Meillet yang menyatakan bahwa ciri
utama dialek ialah “perbedaan dalam kesatuan, dan kesatuan dalam
perbedaan” (Ayatrohaedi, 1979: 2).
D. SIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1) Penutur-penutur BJL kebanyakan menggunakan ragam ngoko. Kalaupun
digunakan ragam krama, mereka memakai ragam krama desa.
2) Terdapat pemakaian kosa kata tertentu seperti: yakapa, mene, dan arek yang
membedakannya dengan pemakaian kosa kata di dalam BJ dialek Sala Yogya.
3) Untuk menyangatkan maksud, di dalam BJL dilakukan penambahan fonem
/w/, /u/, atau /uw/ pada kata sifat.
4) Untuk menegaskan pertanyaan, di dalam BJL ada kecenderungan untuk
menambahkan fonem /a/ di belakang kata-kata tertentu seperti rika menjadi
rikaa dan bapakmu menjadi bapakmua.
5) Di dalam BJL terdapat pemakaian bentuk baur BJ-BI seperti perhatekna dan
nyurahna.
20
DAFTAR PUSTAKA
Ayatrohaedi. 1979. Dialektologi Sebuah Pengantar. Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Kusuma, I Gusti Ananda. 1956. Kamus Bali-Indonesia. Denpasar Bali: Penerbit
Pustaka Balimas.
Poerwadarminta, W.J.S. 1939. Baoesastra Djawa. Groningen, Batavia: J.B.
Wolters Uitgivers Maatschappij N.V.
Suharno, Ignatius. 1974. Grammatical and Communicative Aspects of Javanese
(disertasi). Georgetown University Graduate School.
Wojowasito, Suwojo. 1970. Kamus Bahasa Jawa Kuno (Bahasa Kawi)-Bahasa
Indonesia. Malang: Lembaga Penerbitan FPBS IKIP Malang.