Upload
phamdang
View
212
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
MAKNA KEPEMIMPINAN ISLAM PRESIDEN JOKOWI
MENUJU PILPRES 2019 DALAM ILUSTRASI SAMPUL
MAJALAH TEMPO
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh
Faradhita Aushafiana Manaf
NIM 11140510000078
JURUSAN JURNALISTIK
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H / 2019 M
MAKNA KEPEMIMPINAN ISLAM PRESIDEN JOKOWI
MENUJU PILPRES 2019 DALAM ILUSTRASI SAMPUL
MAJALAH TEMPO
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh
Faradhita Aushafiana Manaf
NIM 11140510000078
JURUSAN JURNALISTIK
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H / 2019 M
iv
ABSTRAK
Faradhita Aushafiana Manaf. Makna Kepemimpinan Islam Presiden Jokowi
Menuju Pilpres 2019 Dalam Ilustrasi Sampul Majalah Tempo
Setiap media memiliki kepentingan dan ideologi masing-masing. Hal ini
karena media ingin menciptakan realitas yang berasal dari realitas sosial dan juga
kultur yang ada di dalam masyarakat. Media menghasilkan produk-produk untuk
masyarakat sebagai cara untuk menyalurkan kepentingan media terhadap suatu
isu.
Hal tersebut seperti ditunjukan oleh Majalah Tempo yang menciptakan
kesadaran akan sebuah peristiwa yang memiliki keterkaitan satu sama lain melalui
ilustrasi sampul depan mengenai isu Pilpres 2019. Tampak bahwa Majalah Tempo
menerbitkan beberapa edisi terkait isu Pilpres 2019 di sepanjang tahun 2018.
Bahkan beberapa di antaranya juga menampilkan sosok Jokowi sebagai ilustrasi
sampul depan (cover) Majalah Tempo.
Melihat latar belakang di atas, tinjauan teoritis yang digunakan adalah
semiotika menurut Charles Sanders Peirce, yaitu dengan membedakan tanda atas
lambang (symbol), ikon (icon), dan indeks (index). Apabila ketiga elemen makna
itu berinteraksi dalam benak seseorang, maka muncullah makna tentang sesuatu
yang diwakili tanda tersebut. Ikon merupakan tanda yang dirancang untuk
merepresentasikan sumber acuan melalui simulasi atau persamaan (artinya,
sumber acuan dapat dilihat, didengar, dan seterusnya dalam ikon). Indeks
merupakan tanda yang dirancang untuk mengindikasikan sumber acuan atau
saling menghubungkan sumber acuan melalui kesepakatan atau persetujuan.
Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis
semiotik yang bersifat kualitatif model deskriptif. Data yang didapatkan adalah
ilustrasi sampul majalah Tempo edisi Agustus tahun 2018 yang menampilkan
sosok Presiden Jokowi terkait isu Pilpres 2019.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Majalah Tempo telah
menciptakan ideologi terhadap sosok kepemimpinan Jokowi terkait isu Pilpres
2019. Tampak ada kepentingan dibalik kesinambungan antara sampul depan
dengan laporan utama terkait isu Pilpres 2019 ini. Sebab, terlihat bahwa Tempo
sebenarnya ingin merespon adanya perubahan isu terhadap sosok kepemimpinan
Jokowi yang kini menjadi pro Islam melalui penandaan pada ilustrasi sampul
majalah edisi Agustus 2018.
Kata kunci: Konsep Kepemimpinan Dalam Islam, Semiotika, Majalah
Tempo
v
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh
Alhamdulillahirobbil’alamin, puji syukur peneliti panjatkan kepada Allah
SWT, karena atas berkat dan rahmat-Nya, peneliti diberikan kemudahan mulai
dari pembuatan proposal hingga penulisan skripsi ini. Shalawat serta salam
senantiasa tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang telah
memberi pencerahan kepada umatnya, dari zaman zahiliyah menuju zaman penuh
ilmu seperti yang kita rasakan sekarang.
Alhamdulillah, peneliti telah menyelesaikan skripsi yang berjudul Makna
Kepemimpinan Islam Presiden Jokowi Menuju Pilpres 2019 Dalam Ilustrasi
Sampul Majalah Tempo sebagai tugas akhir pendidikan Strata Satu (S1) di UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta. Peneliti menyadari bahwa, tanpa bantuan dan
bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan
skripsi ini, sangatlah sulit bagi peneliti untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh
karena itu, selain ucapan syukur yang dalam, saya juga mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada:
1. Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Dr. H. Arief
Subhan, M.A., Wakil Dekan I Bidang Akademik, Dr. Suparto, M.Ed
Ph.D., M.A., Wakil Dekan II Bidang Administrasi Umum, Dra. Hj.
Roudhonah, M.Ag., serta wakil Dekan III Bidang Kemahasiswaan, Dr.
Suhaimi, M.Si.
2. Ketua Konsentrasi Jurnalistik, Kholis Ridho, M.Si serta Sekretaris
Konsentrasi Jurnalistik, Dra. Hj. Musrifah Nurlaily, MA yang telah
banyak meluangkan waktunya untuk membantu menyelesaikan kuliah.
3. Dosen Pembimbing Skripsi, Dr. Rulli Nasrullah, M.Si yang telah
menyediakan waktu di tengah kesibukannya untuk membimbing
peneliti sehingga skripsi ini selesai dengan baik. Terima kasih atas
bimbingan, ilmu, dan pencerahan yang telah Bapak berikan selama
mengerjakan skripsi.
vi
4. Segenap Dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, yang
namanya tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Terima kasih atas
ilmu dan dedikasi yang diberikan kepada peneliti.
5. Segenap pimpinan dan karyawan Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah
dan Ilmu Komunikasi serta Perpustakaan Utama Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memudahkan penulis
untuk mendapatkan berbagai referensi dalam penyelesaian skripsi ini.
6. Yang paling spesial untuk kedua orang tua peneliti, Ibunda Anna
Febriana, S.Sos, dan Ayahanda Abdul Manaf, SE, serta saudara
kandung satu-satunya, kembaran penulis Faradhila Aushafiana Manaf
yang dengan penuh kasih sayang selalu memberikan dukungan, doa
dan menjadi tempat berkeluh kesah sehingga akhirnya skripsi ini
selesai.
7. Segenap sahabat terdekat peneliti, Kurus Bareng (Ulfah Armanida,
Irna Syahputri, Fika Fensa, Nabilla Putri Maharani dan Angel Ibrahim)
dan teman terdekat peneliti, Aditya Agung Firmansyah dan Hilman
Rais, terima kasih telah memberikan semangat, perhatian dan
dukungan penuh terhadap peneliti, semoga kalian sukses kedepannya,
Aamiin.
8. Lembaga Otonom Dakwah dan Komunikasi Televisi (LO DNKTV)
yang telah memberikan ilmu jurnalistik dan broadcasting, serta
keahlian di bidang jurnalistik dan broadcasting, terima kasih kepada
General Manager DNKTV Bapak Dedi Fahrudin, M. I. Kom yang
telah memberikan ilmu tentang kepemipinan dan keorganisasian
selama peneliti aktif di DNKTV.
9. Teman-teman seperjuangan, DNKTV 5.0 yang tidak dapat disebutkan
satu persatu. Terima kasih telah menyemangati satu sama lain dan
memberikan warna serta kenangan selama berorganisasi.
vii
10. Teman-teman, kakak-kakak, dan adik-adik satu organisasi DNKTV.
Terima kasih telah menjadi keluarga dan dan memberi pengalaman
serta kenangan selama berorganisasi.
11. Teman-teman Jurnalistik A dan B angkatan 2014, terima kasih atas
waktu yang telah kita habiskan bersama di masa perkuliahan.
12. Teman-teman KKN Aksara 2017 yang tidak dapat disebutkan satu
persatu. Terima kasih telah bekerjasama dan mengukir kenangan
bersama selama sebulan penuh di Desa Cibugel, Cisoka.
Terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu,
mendukung, mendoakan dan meluangkan waktu untuk berbagi informasi
daam menyusun skripsi ini, sehingga skripsi ini selesai dengan baik.
Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan dan budi baik mereka
dengan balasan yang setimpal.
Peneliti menyadari bahwa dalam skripsi masih banyak kekurangan.
Karena itu, kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat peneliti
harapkan sehingga skripsi ini menjadi jalan penerangan bagi peneliti dan
bermanaat bagi pembaca.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Jakarta, 4 Januari 2019
Faradhita Aushafiana Manaf
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ...................................................... i
LEMBAR PERNYATAAN .................................................................................. ii
PENGESAHAN UJIAN ....................................................................................... iii
ABSTRAK ............................................................................................................ iv
KATA PENGANTAR ........................................................................................... v
DAFTAR ISI ....................................................................................................... viii
DAFTAR TABEL ................................................................................................. x
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xi
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................................. 1
B. Batasan Masalah........................................................................................... 3
C. Rumusan Masalah ........................................................................................ 3
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................................... 4
E. Metodologi Penelitian .................................................................................. 4
F. Tinjauan Pustaka .......................................................................................... 8
G. Sistematika Penulisan .................................................................................. 8
BAB II KAJIAN PUSTAKA .............................................................................. 10
A. Ideologi Media ........................................................................................... 10
B. Pemaknaan Dalam Cover ........................................................................... 16
1. Majalah ................................................................................................... 16
2. Sampul Majalah ...................................................................................... 18
3. Ilustrasi ................................................................................................... 21
4. Semiotika ................................................................................................ 22
5. Semiotika Komunikasi Visual ................................................................ 25
6. Semiotika Charles Sanders Peirce .......................................................... 29
C. Komunikasi Politik .................................................................................... 36
D. Kepemimpinan Dalam Pandangan Islam ................................................... 39
ix
BAB III GAMBARAN UMUM TEMPO .......................................................... 46
BAB IV DATA DAN TEMUAN PENELITIAN .............................................. 49
BAB V PEMBAHASAN ..................................................................................... 56
BAB VI PENUTUP ............................................................................................. 65
A. Kesimpulan ................................................................................................ 65
B. Saran ........................................................................................................... 65
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 67
LAMPIRAN ......................................................................................................... 72
x
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Semiotika Peirce, Saussure dan Barthes ..................................... 25
Table 2.2 Tiga Trikotomi Model Semiotik Peirce ...................................... 35
Tabel 4.1 Tanda-tanda dalam ilustrasi berdasarkan Klasifikasi Symbol… 50
Tabel 4.2 Tanda-tanda dalam gambar berdasarkan Klasifikasi Icon .......... 52
Tabel 4.3 Tanda dalam gambar berdasarkan Klasifikasi Index ................... 53
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Hubungan Tanda, Objek dan Interpretant (Triangle of Meaning) 31
Gambar 2.2 Struktur Triadik .......................................................................... 32
Gambar 4 Sampul Majalah Tempo Edisi 6-12 Agustus 2018 ........................ 49
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Produk media massa yang dinikmati masyarakat dapat dikatakan
merupakan hasil dari produksi ideologi berdasarkan realitas sosial yang kemudian
menjadi realitas baru di masyarakat. Pengaruh kepentingan media menjadi salah
satu faktor munculnya ideologi media ini. Seperti pendapat Udi Rusadi yang
mengatakan bahwa secara teoritis dan filosofis, media bisa merepsentasikan
berbagai ideologi baik karena dimensi yang bersumber dari ketidaksadaran media
maupun ketidaksadaran sumber informasi media maupun karena dimensi bahasa.
Ideologi yang ada dalam media bisa merupakan proses reproduksi dari ideologi
yang ada dan bisa juga merupakan sebuah pertarungan ideologi kepentingan baik
politik, ekonomi maupun kultural. Dengan demikian, ideologi dalam media
mengandung arti bahwa dalam media dimuat berbagai macam ideologi di mana
media merupakan arena tempat berbagai ideologi dipresentasikan dan
didistribusikan, yang kemungkinan di antara ideologi saling berkonsentrasi atau
masing-masing berjuang untuk menjadi ideologi dominan.1
Ajang pemilihan umum, seperti Pilkada (Pemilihan Kepada Daerah), dan
terutama ajang Pilpres (Pemilihan Presiden) merupakan ajang yang ramai
dibicarakan oleh masyarakat, karena masyarakat merupakan fokus utama para
kandidat untuk diperebutkan hak pilihnya. Melihat bahwa Indonesia merupakan
Negara mayoritas muslim, untuk itu agama menjadi faktor utama dalam
menentukan calon pemimpin. Faktor itu yang kemudian membuat para kandidat
berlomba untuk menjadi pemimpin muslim yang layak dipilih. Berdasarkan pada
data Poltracking bulan Februari tahun 2018 dalam majalah Tempo edisi 4 Agustus
2018 bahwa faktor agama menduduki posisi pertama faktor yang paling
berpengaruh dalam memilih calon presiden dengan persentase sebesar 58,5%2
1 Dr. Udi Rusadi, M.S., Kajian Media Isu Ideologis dalam Perspektif, Teori dan Metode,
(Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2015), h.90 2 https://majalah.Tempo.co/read/155924/survei-membuktikan Diakses pada 27 Januari
pukul 21.04 WIB
2
Aspek keislaman calon presiden Joko Widodo jadi sorotan sepanjang
kontes Pilpres 2019. Terlebih Jokowi pernah mendapat beberapa isu negatif
kampanye hitam, yaitu anti-Islam dan anti-ulama. Isu ini makin santer akibat
kasus penistaan agama yang dilakukan oleh Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
Kasus penistaan agama ini menimbulkan aksi besar-besaran yang disebut aksi
212. Aksi ini juga dikatakan sebagai gerakan oposan Presiden.
Berangkat dari isu tersebut, sepertinya Jokowi kini mulai mendekati
kelompok yang dulu menjadi oposan Presiden atau disebut dengan „kelompok
kanan‟, hal ini terlihat dari penentuan calon wakil presiden, Jokowi menggaet
Ma‟ruf Amin yang merupakan Ketua Majelis Ulama Indonesia, kemudian Jokowi
juga tampak banyak mengunjungi pondok pesantren menjelang Pilpres 2019, lalu
Jokowi juga menetapkan tanggal peringatan hari Santri. Langkah-langkah yang
dilakukan oleh Jokowi tersebut kemudian digunakan Jokowi untuk menepis isu
negatif terhadap dirinya yang diisukan anti-agama dan anti-ulama.
Melihat langkah-langkah tersebut menimbulkan perspektif bahwa Jokowi
kini mengambil kebijakan dengan mementingkan faktor Islam. Terlebih dengan
keputusan Jokowi memilih Ma‟ruf Amin daripada calon wakil presiden yang
cakap untuk menjawab tantangan zaman. Peran wakil presiden memang kurang
signifikan. Namun, dalam situasi krisis, wakil presiden sebenarnya juga bisa
menjadi sekondan bagi seorang presiden untuk mengatasi persoalan Negara.
Meskipun begitu, Jokowi ternyata masuk sebagai tokoh Islam dunia yang
berpengaruh, ini dikutip dalam media online BBC News yaitu Presiden Joko
Widodo kembali masuk dalam 500 Muslim paling berpengaruh di dunia versi
Royal Islamic Strategic Studies Center yang bermarkas di Amman, Yordania.3
Pemberitaan Jokowi menjelang Pilpres 2019 terus diterbitkan di sepanjang
2018 hingga memasuki 2019. Berbagai media memberitakan isu serupa. Tak luput
media cetak seperti majalah Tempo turut menyajikan berita terkait Pilpres 2019.
Bahkan isu tersebut menjadi ilustrasi sampul depan majalah Tempo. Berdasarkan
pengamatan peneliti dari bulan Januari hingga Agustus, ilustrasi sosok Jokowi
terkait dengan Pilpres 2019 muncul dalam sampul majalah Tempo di beberapa
edisi, yaitu; edisi 14 Januari 2018, edisi 4 Maret 2018, edisi 22 April 2018, edisi
3 https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-43797796 Diakses pada 27 Januari pukul 23.01
WIB
3
29 April 2018, edisi 3 Juni 2018, dan edisi 4 Agustus 2018. Selain menjadi
ilustrasi sampul majalah, sosok Jokowi terkait isu Pilpres 2019 juga menjadi
Laporan Utama di tiap edisi yang diterbitkan tersebut.
Isu agama yang melekat dalam ajang Pilpres ini, mendorong peneliti untuk
membongkar lebih dalam terkait makna sosok Jokowi sebagai pemimpin muslim.
Dalam isu ini, peneliti menaruh kecurigaan pada majalah Tempo, bahwa majalah
Tempo ingin menggiring pembaca untuk mengarah pada perubahan sikap
kepemimpinan Jokowi di kampanye Pilpres 2019 menjadi agamais demi
memperoleh banyak suara dari hak pilih muslim. Sebab, kini manuver politik
mulai terasa pada beberapa kelompok muslim yang tadinya oposan menjadi
sejalan dengan pemerintahan Jokowi.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat dikatakan bahwa makna
citra kepemimpinan menjadi hal penting yang perlu diketahui oleh masyarakat
dalam ajang Pilpres, karena dapat mempengaruhi hak pilih masyarakat, terutama
dalam isu ini yaitu pemilih muslim, selain itu agar masyarakat juga tidak salah
tafsir dan tidak memperluas opini publik. Dalam penelitian ini, peneliti bermaksud
untuk mengetahui makna kepemimpinan Jokowi dengan mengacu pada konsep
pemimpin muslim. Untuk itu diperlukan pembahasan mendalam pada beberapa
edisi majalah Tempo, dan peneliti melakukan penelitian dengan judul: Makna
Kepemimpinan Islam Presiden Jokowi Menuju Pilpres 2019 Dalam Ilustrasi
Sampul Majalah Tempo.
B. Batasan Masalah
Agar penelitian ini lebih mendalam dan tidak meluas, maka peneliti hanya
membatasi penelitian pada ilustrasi sampul majalah Tempo edisi Agustus tahun
2018 yang menampilkan sosok Presiden Republik Indonesia Joko Widodo, yaitu
pada edisi 6 – 12 Agustus 2018. Selain itu, pemilihan edisi ini juga karena edisi
tersebut termasuk dalam edisi terbaru.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah yang tertulis di atas, maka perumusan
masalah ini adalah:
4
Bagaimana makna kepemimpinan presiden Jokowi pada ilustrasi sampul
majalah Tempo pada edisi 6 – 12 Agustus 2018 ?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian:
Mengetahui bagaimana makna kepemimpinan presiden Jokowi
pada ilustrasi sampul majalah Tempo pada edisi 6 – 12 Agustus 2018.
2. Manfaat Penelitian:
a. Manfaat Teoritis
1. Manfaat bagi Mahasiswa adalah menambah wawasan dan
pengetahuan lebih tentang media massa melalui majalah,
terutama untuk majalah Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi. Tentu dalam sebuah ilustrasi sampul majalah
mengandung makna tersendiri yang perlu diketahui.
2. Manfaat bagi Universitas adalah semoga penelitian ini dapat
berguna dalam bidang kajian ilmu komunikasi, khususnya
media massa jurnalistik.
3. Manfaat bagi masyarakat adalah memberi wawasan mengenai
suatu makna pada ilustrasi sampul media cetak, agar tidak
terjadi kesalahan tafsir dalam melihat sebuah ilustrasi sampul
majalah.
b. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi dalam
penelitian serupa.
E. Metodologi Penelitian
1. Paradigma Penelitian
Paradigma yang dilakukan dalam penelitian ini adalah paradigma
konstruktivis yang bersifat subjectivist. Paradigma ini memiliki posisi
dan pandangan tersendiri terhadap media dan teks berita yang dihasilkan.
Rancangan kontruktivis melihat pemberitaan media sebagai aktivitas
konstruksi sosial.4 Realitas sosial dipandang berdasarkan hasil
4 Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kualitatif, cetakan ke 3, (Jakarta: PT Raja
Grafindo), h.204
5
konstruksi, bukan dari sesuatu yang natural. Peneliti menggunakan
paradigma konstruktivis karena ingin menginterpretasikan hasil
konstruksi dari permasalahan dalam penelitian ini.
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif.
Pendekatan kualitatif adalah penelitian yang memusatkan pemikiran pada
prinsip-prinsip umum yang mendasari dalam dalam perwujudan sebuah
makna dari gejala-gejala sosial di dalam masyarakat. Objek analisis
dalam pendekatan kualitatif adalah makna dari gejala-gejala sosial dan
budaya dengan menggunakan kebudayaan dari masyarakat yang
bersangkutan untuk memperoleh gambaran mengenai kategori tertentu.5
Bogdan dan Taylor mendefinisikan metode kualitatif sebagai
prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata
atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Pendekatan
kualitatif memusatkan pada perhatian pada gejala-gejala sosial yang ada
dalam masyarakat.6
3. Metode Penelitian
Menurut Sumbo, Peirce mengatakan, tanda dalam hubungan
dengan acuannya dibedakan menjadi tanda yang dikenal dengan ikon,
indeks, dan simbol.7
Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah semiotika yang
bersifat kualitatif deskriptif sesuai dengan pendekatan kualitatif. Peneliti
mengunakan metode semiotik dari Charles Sanders Peirce yang
menganggap semiotika berangkat dari tiga elemen utama yang disebut
Triangle of Meaning, yaitu sign, object dan interpretant. Tanda
(representamen) ialah sesuatu yang dapat mewakili sesuatu yang lain
dalam batasan-batasan tertentu dan mengacu pada sesuatu yang disebut
objek. Objek (Object) ialah sesuatu yang menjadi acuan, dapat mewakili
dan menggantikan sesuatu yang lain. Interpretasi (interpretant) ialah
pemahaman makna yang muncul dalam diri penerima tanda.8
5 Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi, (Jakarta: Kencana, 2009) , h.23
6 Bogdan dan Biklen, Qualitative and Research for Education, an Introduction to Theory
and Methods (Boston: Allyn and Bacon. Inc, 1982), h.11 7 Sumbo Tinarbuko, Semiotika Komunikasi Visual, (Yogyakarta: Jalasutra, 2009), h.16-17
8 Sumbo Tinarbuko, Semiotika Komunikasi Visual, (Yogyakarta: Jalasutra, 2008), h.12
6
Menurut Charles Sanders Peirce, semiotika adalah tidak lain
daripada nama lain bagi logika, yakni doktrin formal tentang tanda-tanda.
Berada dalam teks itu sendiri. Sebuah tanda mempunyai dua aspek yang
ditangkap oleh indra manusia yang disebut dengan signifier, bidang
penanda atau bentuk, dikatakan lebih lanjut bahwa penanda terletak pada
tingkatan ungkapan (level of expression) dan mempunyai wujud atau
merupakan bagian fisik seperti bunyi, huruf, kata, gambar, warna, objek,
dan sebagainya. Sedangkan aspek kedua disebut signified, bidang
petanda atau konsep atau makna, petanda terletak pada level of content
(tingkatan isi atau gagasan) dari apa yang diungkapkan melalui tingkatan
ungkapan. Hubungan antara kedua unsur melahirkan makna.9 Makna
yang diproduksi akan memberikan kontribusi di tiap unsur yang ada di
dalamnya.
4. Subjek dan Objek Penelitian
Subjek dari penelitian ini adalah majalah Tempo sebagai pemuat
ilustrasi, sementara itu objek dari penelitian ini adalah ilustrasi dari
sampul majalah Tempo edisi April tahun 2018 yang menyajikan sosok
Presiden Republik Indonesia Joko Widodo terkait pemberitaan menuju
Pilpres 2019. Berdasarkan pengamatan peneliti, pada bulan Agustus ada
satu edisi di majalah Tempo yang menyajikan sosok Presiden Jokowi.
Judul pada ilustrasi sampul majalah Tempo yang akan diteliti, yaitu “Joko
Royo-royo. Dipersepsikan Tak Disokong Pemilih Muslim, Jokowi
Intensif Mendekati Ulama, Sebagian Tokoh Umat Lalu Berbalik Arah
(Edisi 6-12 Agustus 2018)”
5. Waktu Penelitian
Penelitian dimulai dari bulan Juli hingga Desember 2018 dengan
mengamati produk majalah Tempo edisi Januari hingga Agustus 2018.
6. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data-data yang diperlukan dalam penulisan ini,
maka penulis menggunakan teknik-teknik pengumpulan data sebagai
berikut:
9 Sumbo Tinarbuko, Semiotika Komunikasi Visual, (Yogyakarta: Jalasutra, 2008), h.11-13
7
a. Dokumentasi
Dokumen adalah representasi dari arsip. Dokumen adalah
rekaman peristiwa yang lebih dekat dengan percakapan.10
Dokumentasi juga bisa berupa data tertulis yang mengandung
keterangan dan penjelasan serta pemikiran tentang fenomena yang
masih aktual.11
Dalam penelitian ini, peneliti mengumpukan data
yang berhubungan dengan penelitian berupa ilustrasi Presiden
Jokowi terkait Pilpres 2019 pada sampul majalah Tempo edisi
Agustus tahun 2018.
b. Studi Kepustakaan (Library Research)
Menurut Sarwono studi kepustakaan adalah mempelajari
berbagai buku referensi serta hasil penelitian sebelumnya yang
sejenis yang berguna untuk mendapatkan landasan teori mengenai
masalah yang akan diteliti. Peranan studi kepustakaan sebelum
penelitian sangat penting sebab dengan melakukan kegiatan ini
hubungan antara masalah, penelitian-penelitian yang relevan dan
teori akan menjadi lebih jelas. Selain itu penelitian akan lebih
ditunjang, baik oleh teori-teori yang sudah ada maupun oleh bukti
nyata, yaitu hasil-hasil penelitian, kesimpulan dan saran.12
7. Teknik Analisis Data
Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah
semiotika Charles Sanders Peirce, dimana studi semiotika mengambil
fokus penulisan pada seputar tanda, objek dan interpretasi.
8. Pedoman Penulisan
Pedoman dalam penulisan ini mengacu pada Keputusan Rektor
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Nomor 507 Tahun 2017.
10
Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2004), h.97 11
Kunto, Prosedur Penulisan Suatu Pendekatan Praktek, h.77 12
http://www.transiskom.com/2016/03/pengertian-studi-kepustakaan.html yang diakses
pada 2 Januari 2018 pukul 00.08
8
F. Tinjauan Pustaka
Sebelumnya terdapat penulisan yang berhubungan dengan semiotika
ilustrasi pada majalah dan menjadi insipirasi bagi penulis, yaitu:
1. Jurnal Online dengan judul “Citra Perempuan dalam Sampul Majalah
Popular pada No.301 Edisi November 2013” Vol 2-No.1, Februari 2015
oleh Yohanna Amanda, Mahasiswa Bidang Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
UNRI.
2. Skripsi dengan judul “Analisis Semiotika Kepemimpinan Presiden
Jokowi Pada Ilustrasi Sampul Majalah Gatra Tahun 2015” oleh Ahmad
Faathir, Mahasiswa bidang Jurnalistik Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
G. Sistematika Penulisan
BAB I: PENDAHULUAN
Berisi Latar Belakang, yaitu penjabaran masalah yang
dibahas dalam penelitian ini, batasan dan rumusan masalah,
tujuan dan manfaat penelitian, manfaat penelitian, landasan
teori, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II: KAJIAN PUSTAKA
Penulis menjelaskan serta menjabarkan isi penelitian yang
didapatkan dari studi kepustakaan dan teori yang digunakan
dalam penelitian ini, yaitu tinjauan umum tentang ideologi
media, majalah, sampul majalah, ilustrasi, semiotika,
semiotika komunikasi visual, semiotika Charles Sanders
Peirce, kepemimpinan dalam pandangan Islam, dan
komunikasi politik.
BAB III: GAMBARAN UMUM LATAR PENELITIAN
Membahas profil Majalah Tempo yang saat ini merupakan
salah satu majalah berita di Indonesia. Sejarah berdirinya
Majalah Tempo, visi misi, dan susunan redaksional Majalah
Tempo.
9
BAB IV: DATA DAN TEMUAN PENELITIAN
Berupa hasil temuan dan data penelitian yang terkandung
pada ilustrasi sampul Majalah Tempo edisi 6 – 12 Agustus
2018.
BAB V: PEMBAHASAN
Bagian ini berisi analisis dan interpretasi sampul majalah
Tempo yang mengaitkan latar belakang, teori, dan
sebagainya.
BAB VI: PENUTUP
Pada bab terakhir skripsi ini berisi simpulan dan saran.
10
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Ideologi Media
Menurut Rulli Narullah, ideologi bisa diartikan sebagai sebuah ide dari
upaya-upaya pemaknaan terhadap realitas yang ada di sekitar khalayak.
Bagaimana makna itu beroperasi atas realitas dipengaruhi oleh sistem
kepercayaan kultural, sistem sosial, maupun aspek-aspek lainnya yang secara
utuh membentuk sudut pandang di dalam individu dan masyarakat. Di media,
ideologi sangat terlihat dari operasional media yang tidak terlepas dari
pengaruh internal maupun eksternal media1Raymond William
mengemukakan ada tiga definisi utama yang biasa digunakan, yaitu ideologi
sebagai sistem kepercayaan dari suatu kelompok atau kelas, ideologi sebagai
ilusi atau kesadaran palsu dan ideologi sebagai proses produksi makna.
Penjelasan definsi tersebut yaitu:2
a. Ideologi sebagai Sistem Kepercayaan
Pengertian pertama berasal dari para pakar psikologi yang
memandang ideologi sebagai pengorganisasian sikap sehingga menjadi
suatu bentuk atau pola yang koheren. Artinya, beberapa sikap mengenai
suatu objek yang satu sama lain terkait dan menjadi suatu kepercayaan
bersama, menjadi ideologi. Oleh karena itu, terbentuknya ideologi
ditentukan oleh kelompok atau masyarakat dan bukan hal yang spesifik
ditentukan individu tertentu.
b. Ideologi sebagai Ilusi atau Kesadaran Palsu
Ideologi dalam pengertian kedua yaitu sistem keyakinan yang
hanya menjadi sebuah ilusi, atau kesadaran palsu. Dalam pengertian ini
ideologi diciptakan oleh kelas yang berkuasa untuk melanggengkan
dominasinya terhadap kelompok kerja atau kelompok subordinat lainnya.
Caranya dengan melakukan pengendalian berbagai alat utama bagi para
1 Dr. Rulli Nasrullah,M.Si., Khalayak Media, Identitas, Ideologi, dan Perilaku pada Era
Digital, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2018), h.61 2 Dr. Udi Rusadi, M.S., Kajian Media Isu Ideologis dalam Perspektif, Teori dan Metode,
(Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2015), h.52-53
11
pekerja yang tampak seperti alami dan seperti tampak suatu yang benar.
Dalam konteks ini, pihak yang berkuasa melakukan propaganda dan
memberikan “iming-iming” atau kebaikan, namun tidak pernah terwujud
sebagai kesadaran palsu.
c. Ideologi sebagai Proses Produksi Makna
Ideologi dalam konsep ketiga digunakan untuk menggambarkan
proses produksi makna. Dalam konteks ini sebagaimana pemikiran
Roland Barthes ideologi merupakan penanda yang memiliki makna
konotatif yang disebutnya retorika ideologi yang menjadi sumber
pemaknaan tataran kedua. Tataran pertama (first order signification)
ialah tahap pembentukan makna denotatif yang tahapannya melalui
interaksi antara penanda (signifier) dan petanda (signified). Tataran
kedua (second order) merupakan tahapan pembentukan makna konotatif
dan mitos merupakan ideologi yang kegunaannya bisa diwujudkan.
Sama seperti pendapat Raymond William, pada definisi kedua yaitu
ideologi sebagai ilusi atau kesadaran palsu, Lukacs juga memiliki pandangan
yang sama terhadap pengertian ideologi sebagai kesadaran palsu, hal ini
didasari bahwa sesuatu itu benar jika sama dengan realitasnya. Apa yang ada
dalam realitas menjadi kebenaran bagi pikiran. Asumsi ini berimplikasi, jika
kenyataan merupakan rujukan kesadaran maka kesadaran adalah suatu yang
pasif dan tergantung pada realitas. Menurut Lukacs, kesadaran manusia
bersifat aktif, praktis dan dinamis membentuk suatu pemahaman. Antara
pemikiran dengan realitas tidak mutlak saling menentukan. Oleh karena itu,
ideologi juga bisa positif, karena pikiran bersifat dinamis.3
Sedangkan Thompson mencatat ada tiga arus utama teori yang
membahas ideologi. Pertama, ideologi sebagai sistem kepercayaan (ideology
as beliefe system). Mengutip pemikiran Martin Seliger, ideologi merupakan
aksi berorientasi pada satu set keyakinan yang mengorganisasi semua sistem.
Ideologi tidak hanya tentang keyakinan maupun penolakan (rejection), tetapi
juga sebagai nilai-nilai yang diejawantahkan, panduan, atau semacam
3 Bagus Takwin, Akar-akar Ideologi, Pengantar Kajian Konsep Ideologi dari Plato Hingga
Bordieu, (Yogyakarta: Jalasutra, 2003)
12
pernyataan yang jelas dari norma moral kesadaran individu yang memberikan
legitimasi terhadap setiap aksi.
Kedua, ideologi sebagai rancangan rasional (ideology as rational
project). Teori ini meminjam pemikiran Alvin Gouldner yang memandang
ideologi bukan hanya sebagai objek potensial dalam ilmu sosial, melainkan
juga sebuah batasan yang berasal dari kelahiran simultan ideologi dan praktik
sosial baru atau masa-masa pencerahan sebagai respons akan kelahiran era
baru; dan sikap/sudut pandang yang mulai menggerus tradisi lama.
Kemunculan ideologi dalam konsepsi ini bisa dihubungkan dengan revolusi
dalam komunikasi, revolusi industri, dan bangkitnya kapitalisme.
Ketiga, ideologi sebagai relasi sosial (ideology as social relations)
dengan menggunakan pemikiran Paul Hirst bahwa ideologi bukan hanya
sebuah bentuk baku yang mucul dari relasi sosial. Pemikiran Hirst lebih pada
kritik terhadap pemikiran sosiolog Louis Althusser. Menurut Thompson,
ideologi merupakan hal yang heterogen dan kompleks yang tidak sekadar
dimunculkan menjadi dua aspek, seperti kapitalisme dan antikapitalisme.
Individu sebagai sebuah subjek kemudian tidak sekadar dilihat dalam level
fisik, tetapi ada entitas nonindividu lainnya, seperti lingkungan sekitar, pasar
modal, dan sekolah yang membuat relasi sosial menjadi nyata dari sekadar
pemikiran bahwa relasi tersebut sekadar imajinasi (imaginary relation).
Meski kritik Hirst lebih banyak pada aspek politik dan praktik hubungan
masyarakat-pemerintah, ideologi ditempatkan jauh dari sekadar dua sisi yang
saling berlawanan.4
McQuail berpendapat bahwa media merupakan sebuah institusi yang
lahir dalam kehidupan masyarakat secara sosiologis dan posisinya
dipengaruhi oleh perspektif mengenai masyarakat itu sendiri. Menurut teori
normatif, media memiliki hak dan tanggung jawab agar bisa memberikan
manfaat kepada individu dan masyarakat.5
4 Dr. Rulli Nasrullah,M.Si., Khalayak Media, Identitas, Ideologi, dan Perilaku pada Era
Digital, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2018), h.66-67 5 Denis McQuail, McQuail’s Mass Communications Theory. 6
th Edition, (Amsterdam: Sage
Publications, 2010)
13
Jika merujuk pada Udi Rusadi, dalam media dimuat berbagai sajian
fakta atau opini ata juga ilusi dalam beragam bentuk bisa berbentuk berita,
iklan, drama, film, musik, atau talk show. Sumber dan pelaku atau aktor
dalam sajian tersebut bisa orang media atau orang-orang dari luar media.
Prosesnya bisa melalui aktivitas pencarian oleh media maupun melalui
aktivitas aktif dari sumber terhadap media. Apa yang disajikan media
mungkin sebuah realitas atau mungkin juga merupakan sebuah rangkaian
fiksi. Proses memediakan bahan baku isi media merupakan proses
representasi dari presentasi awal apakah sebuah realitas atau sebuah gagasan
atau fiksi. Dengan demikian, media telah menjadi arena untuk
merepresentasikan berbagai realitas atau gagasan atau fiksi.6
Sedangkan menurut Hall, untuk menjelaskan proses kerja sistem
representasi makna bisa dilakukan melalui tiga pendekatan, yaitu reflektif,
kesengajaan (intention), dan konstruksionis atau konstruktivisme. Berikut
penjelasan ketiga pendekatan tersebut:7
a. Pendekatan Reflektif
Fungsi bahasa ditempatkan sebagai cermin yang merefleksikan
realitas yang ada di depan cermin, jadi makna mengenai orang, benda
atau sebuah aktivitas sudah eksis di dunia melekat pada orang, benda
atau aktivitas tertentu. Cermin hanya merefleksikan realitas objek-objek
tadi sehingga orang yang melihat realitas melalui cermin tersebut menilai
sama dengan objek yang direfleksikannya.
b. Pendekatan Kesengajaan (intention)
Pendekatan yang memandang bahwa penulis atau pengarang atau
pihak yang memproduksi pesan dengan sengaja memberikan makna
tertentu. Dengan demikian, makna yang diterima atau dibaca adalah sama
dengan apa yang dimaksud oleh pembuatnya. Namun demikian, dalam
kenyataannya makna ungkapan melalui bahasa tidak bisa sepenuhnya
6 Dr. Udi Rusadi, M.S., Kajian Media Isu Ideologis dalam Perspektif, Teori dan Metode,
(Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2015), h.86 7 Stuart Hall, The Work of Representation in Stuart Hall (ed.) Representation: Cultural
Representations and Signifying Practices, (London: Sage Productions, 1997)
14
dimonopoli atau harus selalu sesuai dengan makna pembuatnya sebagai
makna personal.
c. Pendekatan Konstruksionis atau Konstruktivisme
Sebagaimana pemahaman secara teoritis perspektif teori
konstruktivis, bahwa makna dalam bahasa tergantung pada konteks sosial
di dalam praktik bahasa itu sendiri. Setiap realitas yang tampil di
samping dunia materialnya ada dimensi simbolik, dan makna tidak
semata tergantung pada objek materialnya, tetapi juga tergantung fungsi
simboliknya, dan fungsi simbolik tersebut sangat tergantung pada
konteks sosial dan kulturnya.
Stuart Hall juga menambahkan bahwa terdapat dua fokus dalam kajian
media aspek ideologi dari paradigma kritikal, yaitu; (1) Produksi dan
transformasi diskursus ideologis yang diarahkan oleh teori-teori yang
berkaitan dengan aspek simbolik dan karakteristik bahasa dari diskursus
ideologis. Artinya, berusaha mengelaborasi ideologi yang ditemukan dalam
bahasa sebagai wahana artikulasi yang benar dan mutlak; (2) Konseptualisasi
ideologi dalam pembentukan lembaga sosial (social formation).
Udi Rusadi mengatakan bahwa secara teoritis dan filosofis, media bisa
merepsentasikan berbagai ideologi baik karena dimensi yang bersumber dari
ketidaksadaran media maupun ketidaksadaran sumber informasi media
maupun karena dimensi bahasa. Ideologi yang ada dalam media bisa
merupakan proses reproduksi dari ideologi yang ada dan bisa juga merupakan
sebuah pertarungan ideologi kepentingan baik politik, ekonomi maupun
kultural. Dengan demikian, ideologi dalam media mengandung arti bahwa
dalam media dimuat berbagai macam ideologi di mana media merupakan
arena tempat berbagai ideologi dipresentasikan dan didistribusikan, yang
kemungkinan di antara ideologi saling berkonsentrasi atau masing-masing
berjuang untuk menjadi ideologi dominan.8
Eriyanto berpendapat bahwa media berperan mendefinisikan bagaimana
realitas seharusnya dipahami, bagaimana realitas dijelaskan dengan cara
tertentu kepada khalayak. Pendefinisian tersebut bukan hanya pada peristiwa
8 Dr. Udi Rusadi, M.S., Kajian Media Isu Ideologis dalam Perspektif, Teori dan Metode,
(Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2015), h.90
15
melainkan juga aktor-aktor sosial. Dalam mendefinisikan realitas, fungsi
media dalam ideologi adalah sebagai mekanisme integrasi sosial. Media di
sini berfungsi menjaga nilai-nilai kelompok dan mengontrol bagaimana nilai-
nilai kelompok itu dijalankan. Untuk mengintegrasikan masyarakat dalam tata
nilai yang sama pandangan atau nilai harus didefinisikan sehingga
keberadaannya diterima dan diyakini kebenarannya. Dalam hal ini media
dapat mendefinisikan nilai dan perilaku yang sesuai dengan nilai kelompok
dan perilaku atau nilai apa yang dipandang menyimpang. Perbuatan, sikap
atau nilai yang menyimpang tersebut bukan sesuatu yang alamiah (nature),
yang terjadi dengan sendirinya dan diterima begitu saja. Semua nilai dan
pandangan tersebut bukan sesuatu yang terbentuk begitu saja, melainkan
dikonstruksi. Lewat konstruksi tersebut media secara aktif mendefinisikan
peristiwa dan realitas sehinga membentuk kenyataan apa yang layak, apa
yang baik, yang sesuai dan apa yang dipandang menyimpang.9
Terkait realitas, Rulli Nasrullah berperndapat bahwa dalam
mengkonstruksi realitas, pada kenyataannya media tidak sekadar
merepresentasikan realitas, tetapi sekaligus juga memproduksinya. Peristiwa
yang disampaikan kepada publik melalui media pada dasarnya merupakan
representasi yang dibentuk oleh (kepentingan) media yang dalam banyak
kasus media tidak menampilkan kenyataan apa adanya dari realitas suatu
peristiwa yang sesungguhnya terjadi di lapangan.10
Sedangkan Michel Foucault mengatakan bahwa istilah representasi
menunjuk pada bagaimana seseorang, kelompok, atau gagasan tertentu
ditampilkan dalam pembicaraan. Dalam konteks media massa, pembicaraan
adalah berita yang hadir dalam bentuk bahasa. Bahasa mempunyai
kemampuan untuk menghadirkan pemikiran melalui beberapa tahap yang
tersentral dalam proses representasi11
9 Umi Halwatis, Konstruksi Publikasi Nilai-Nilai Ideologi Dalam Pers (Media Massa),
Jurnal Online Dosen Bidang Ilmu Dakwah dan Komunikasi Islam STAIN Purwokerto, Vol. 2 No.
1 Januari-Juni 2014, h.173 10
Dr. Rulli Nasrullah,M.Si., Khalayak Media, Identitas, Ideologi, dan Perilaku pada Era
Digital, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2018), h.77 11
Michel Foucault, Order of Thing, Arkeologi Ilmu-Ilmu Kemanusiaan, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2007), h.89
16
Menurut Ahmad Muttaqin, ideologi media massa yang takluk di bawah
cengkeraman kapitalisme membentuk sikap dan perilaku pekerja pers yang
memposisikan informasi semata-mata sebagai komoditas. Informasi tanpa
bobot komoditas dinilai jauh dari rasa ingin tahu (sense of curiosity). Padahal,
pemenuhan keingintahuan manusia itu pada umumnya sangat bergantung
kepada kemauan baik pengelola lembaga media massa dalam menyajikan
informasi. Ideologi kapitalistik yang saat ini menjadi kekuatan dominan
dalam industri media secara masif menjadi inti dari proses mobilisasi massa
ke arah konstruksi sosial yang berorentasi pada materialisme. Berita sebagai
produk utama media massa mengemas ideologi kapitalistik dalam bingkai
jurnalistik sehingga terkesan alamiah. Peristiswa atau realitas apapun yang
terliput media massa akan hadir kepada publik bukan dalam wujud apa
adanya tetapi telah terkonstruksi dalam wujud baru yang ideologis dan sarat
kepentingan kapital kelompok dominan.12
Bagi Eriyanto, media dapat menjadi sarana di mana suatu kelompok
mengukuhkan posisinya dan merendahkan kelompok lain. Ini bukanlah
berarti media adalah kekuatan jahat yang secara sengaja merendahkan
masyarakat bawah. Proses bagaimana wacana mengenai bagaimana gambaran
masyarakat kelas bawah bisa buruk di media, berlangsung dalam proses yang
komplek. Proses marjinalisasi wacana itu berangsung secara wajar, apa
adanya, dan dihayati bersama. Khalayak tidak merasa dibodohi atau
dimanipulasi oleh media.13
B. Pemaknaan Dalam Cover
1. Majalah
Majalah yaitu media komunikasi yang menyajikan informasi (fakta
dan peristiwa) secara lebih mendalam dan memiliki nilai aktualitas yang
lebih lama. Majalah dapat diterbitkan secara mingguan, dwi mingguan,
bulanan, bahkan dwi/triwulanan. Majalah terdiri atas: majalah umum
(untuk semua golongan masyarakat) dan majalah khusus (untuk bidang
12
Ahmad Muttaqin, Ideologi dan Keberpihakkan Media Massa, Jurnal Online Dosen
Bidang Ilmu Dakwah dan Komunikasi STAIN Purwokerto, Vol. 5 No. 2 Juli-Desember 2011 13
Acan Mahdi, Berita Sebagai Representasi Ideologi Media (Sebuah Telaah Kritis), Jurnal
Online Mahasiswa Bidang Ilmu Dakwah IAIN Pontianak, Vol. 9 No. 2 2015, h.211-212
17
profesi/golongan/kalangan tertentu). Majalah dapat menjalani fungsi
memberi informasi, menghibur, atau mendidik. Halaman muka (cover)
dan foto dalam majalah diupayakan sebagai daya tarik.14
Menurut editor dari Project for Exellence in Journalism tahun
2004, bahwa Majalah sering menjadi pertanda dari perubahan. Ketika
perubahan besar sosial, ekonomi, atau teknologi mulai membentuk
kembali budaya, majalah sering menjadi media pertama yang bergerak,
dan struktur industri merupakan salah satu alasan. Tidak seperti surat
kabar, majalah merupakan yang paling tidak terikat pada wilayah
geografis tertentu, tetapi bukan berpusat pada kepentingan atau ceruk.15
Berdasarkan ENCYCLOPEDIA BRITANNICA: BRITANNICA.com
tahun 2000, terdapat sejumlah kategori majalah, yaitu; Majalah Umum,
Majalah-Majalah Berkualitas, Majalah Penerbangan (In-flight
Magazines), Majalah Berita, Majalah Kota, Majalah Religius, Majalah
Pria, Majalah Wanita, Shelter Magazine, Majalah Pertanian, Majalah
Olahraga, Jurnal Perdagangan, Majalah Perusahaan, Majalah Fraternal –
Organisasi Persaudaraan, Majalah Opini, Publikasi Alternatif dan
Majalah Khusus Lainnya.16
Majalah berita sendiri merupakan satu bentuk publikasi yang
mengombinasikan unsur aktualitas peristiwa mingguan dengan peliputan
mendalam (in-depth coverage) dan penulisan feature-mingguan personal,
majalah ini hendak menjangkau pembaca mingguan yang ingin mendapat
kedalaman pemberitaan dengan tingkat profesionalitas tertentu. Isi
majalah ininya kebanyakan ditulis dengan menggunakan pendekatan
feature. Majalah semacam ini tidak memberi banyak peluang bagi para
penulis cepat.
Fokus utama majalah berita adalah pada feature atau berita-feature
yang tidak terlalu menekankan ketepatan waktu–sudut pandang kapan–
tetapi lebih menekankan pada elemen berita lainnya seperti konsekuensi,
14
Syarifudin Yunus, Jurnalistik Terapan, (Ghalia Indonesia:2010). h.29-30 15
Apriadi Tamburaka, Literasi Media Cerdas Bermedia Khalayak Media Massa, (Jakarta:
PT Rajagrafindo Persada, 2013), h.52 16
Septiawan Santana K, Jurnalisme KonTemporer, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2005). h.94
18
kedekatan, human interest dan sudut pandang mengapa dan bagaimana
dari sudut peristiwa. Berita umumnya tampil dalam format feature. Akan
tetapi, jenis berita juga perlu dipertimbangkan dalam featurisasi ini. Isi
majalah berita sama dengan isi koran dan juga memuat feature-berita,
ringkasan berita, editorial, opini, laporan investigasi mendalam, sport,
dan berbagai informasi human interest lainnya. Gambar, seperti foto,
ilustrasi, kartun dan infografis juga dipakai.17
2. Sampul Majalah
Menurut Junaedhi, cover adalah lembaran kertas paling luar bagian
depan belakang atau sering disebut kulit buku pada media cetak.
Biasanya lebih tebal daripada kertas isi, dibuat berwarna warni, dan
dirancang sedemikian rupa dengan maksud untuk menarik perhatian
pembaca. Karena orang tidak membaca seluruh dari isinya pada saat
membeli, maka peranan cover sering dianggap menampilkan citra dan
karakter perusahaan bersangkutan.18
Sedangkan menurut Ardianto dkk, cover adalah ibarat pakaian dan
aksesorisnya pada manusia. Cover majalah biasanya menggunakan kertas
yang bagus dengan gambar dan warna yang menarik. Menarik tidaknya
cover suatu majalah sangat tergantung pada tipe majalahnya, serta
konsistensi atau keajegan majalah tersebut dalam menampilkan ciri
khasnya.19
Jika merujuk pada John Morrish, sampul majalah adalah alat
penjualan yang paling menonjol dan berguna. Banyak publikasi yang
sangat baik yang rusak oleh ketidakmampuan jelas editor mereka untuk
sampai pada gaya sampul yang sesuai. Di sisi lain, sampul yang baik saja
tidak akan, dalam jangka panjang, menyimpan majalah tidak memadai.
Menemukan gaya sampul yang sesuai dan bertahan dengan itu dibuat
17
Tom E. Rolnicki, et, al., Pengantar Dasar Jurnalistik (Scholastic Journalism), (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2008), h.305 18
Yohanna Amanda, Citra Perempuan dalam Sampul Majalah Popular pada No.310 Edisi
November 2013, Jurnal Online Mahasiswa Bidang Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UNRI, Vol. 1 No.
2 Februari 2015, h.3-4 19
Retno Dyah Kusumastuti dan Marselin Diana, Analisis Semiotika Pada Cover Majalah
Tempo Edisi Tanggal 23 Februari-1 Maret 2015, Jurnal Online Mahasiswa Bidang Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik UPN, Vol. 10 No. 2 2016, h.349
19
tidak mudah oleh fakta yang tidak diragukan lagi bahwa sampul anda
adalah sesuatu yang setiap orang akan berpendapat, dari orang yang
datang untuk memperbaiki mesin fotokopi kepada direktur pengelola
anda. Sebagian besar pendapat ini sayangnya tidak ada hubungannya
dengan kenyataan. Survei ditemukan, sebagai contoh, pembaca lebih
memilih yang menarik, sampul yang menarik perhatian ke sampul yang
tidak menarik dan mereka tidak peduli dengan relevansi dari gambar ke
subjek. Mereka ingin mengetahui apa yang ada di majalah, penggunaan
garis sampul untuk tujuan ini. Tapi sebagian besar orang membeli
majalah biasa tidak memperdulikan sampulnya: secara spontan membeli
majalah yang tidak dikenal itu juga karena mereka akan pergi berlibur
atau, sedang berada dalam kasus judul spesialis, mereka menginginkan
itu sebagai referensi.20
Menurut Tom E. Rolnicki, salah satu ciri khas dari majalah berita
adalah desain sampulnya atau halaman 1 (satu). Berbeda dengan koran
siswa, yang biasanya menampilkan tiga atau lebih berita di halaman 1
(satu), majalah berita menampilkan satu berita utama atau satu fokus
utama. Ukuran publikasi, yang biasanya berukuran tabloid atau 8,5 x 11
inci, menyebabkan fokus harus seperti itu, sebab jika dimuati tiga atau
empat berita, maka halaman itu akan tampak penuh dan padat.
Sampulnya mungkin berupa foto atau gambar lainnya. Sampul sering
juga dilengkapi dengan teaser headline tentang berita lain yang ada di
dalam publikasi. Sering kali berita sampul (cover story) diletakkan di
halaman tengan atau dalam beberapa halaman liputan khusus yang tidak
berada di halaman awal. Pengenalan dan pengembangan berita sampul
dan fokus berita sebagai feature berita adalah dua ciri terpenting yang
membedakan majalah berita dari media berita lainnya.21
Ellen McCracken menjelaskan tentang fungsi dari sampul majalah
yaitu untuk membantu apa yang dibangun majalah tersebut dengan
melekatkan definisi awal melalui judul majalah, berita utama, dan foto
20
John Morrish, Magazine Editing, (New York: Routledge, 1996), h.166 21
Tom E. Rolnicki, et, al., Pengantar Dasar Jurnalistik (Scholastic Journalism), (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2008), h.301
20
atau ilustrasi. Kalimat, penekanan, warna, gambar visual, gambaran
tersembunyi dari karya yang dinikmati sampai pada posisi pada isi
sebuah majalah. Pembaca tidak hanya melihat sebuah isi majalah dari
sampulnya, tapi model interpretasi yang diberikan adalah bagian dari
simbol yang ada pada sampul yang mempunyai pengaruh yang kuat.
Sampul adalah hal yang paling penting dalam beriklan di dunia majalah,
dan lalu melalui perannya sebagai identitas daya, sistem semiotik, dan
kerangka. Hubungan saling memengaruhi dari fotografi, kata verbal, dan
teks yang berwarna dalam tiap sampul majalah menciptakan nilai yang
dimuat dalam pengertian kebudayaan tetapi bermaksud untu menarik
pengiklan dan meningkatkan penjualan. Sampul majalah menjalankan
peran sebagai pengenal aliran, sistem tanda, dan kerangka untuk meraih
hasil. Setiap peran yang dimainkan sangat dekat dengan hubungannya
dengan struktur komersial dari industri majalah dan akan menjadi
berbeda dengan tujuan majalah lain yaitu melakukan perubahan.22
Merujuk pada John Morrish, bahwa apa yang biasanya dikatakan
dalam penelitian adalah pembaca lebih memilih sampul yang kompeten
dari yang tidak kompeten. Sampul yang kompeten tidak akan terlihat
ramai. Itu akan terlihat cerah dan tidak suram. Itu akan memiliki angka
yang benar pada garis sampul, dan semua itu akan masuk akal.
Singkatnya, itu akan terlihat “benar”. Itu akan melekatkan kualitas
tertentu. Tapi kadang kualitas yang dicapai sebagian besar tidak relevan.
Sampul harus memiliki rasa percaya diri dan kekuatan dan harus
membenarkan semua keputusan estetika yang telah masuk ke dalam
penciptaannya. Tapi untuk sarana yang digunakan untuk mencapai efek
itu, hampir seperti itu, seperti kata William Goldman yang terkenal
tentang industri film, „tidak ada yang tahu apa-apa‟, tentu, setiap usaha
keras untuk mengikuti formula adalah salah arah.23
22
Athifa Rahmah, Perbandingan Makna Korupsi Pada Ilustrasi Sampul Antara Majalah
Gatra dan Tempo Tahun 2013, Skripsi Mahasiswa bidang Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
Konsentrasi Jurnalistik UIN Jakarta September 2014, h.14 23
John Morrish, Magazine Editing, (New York: Routledge, 1996), h.167
21
3. Ilustrasi
Menurut Adi Kusrianto, Ilustrasi secara harfiah berarti gambar
yang dipergunakan untuk mengilhami pembuat film untuk merealisir
sesuatu. Dalam desain grafis, ilustrasi merupakan subjek tersendiri yang
memiliki alur sejarah serta perkembangan yang spesifik atas jenis
kegiatan seni itu.24
Masih menurut Adi Kusrianto, definisi dari ilustrasi adalah seni
gambar yang dimanfaatkan untuk memberi penjelasan atas suatu maksud
atau tujuan secara visual. Dalam perkembangannya, ilustrasi secara lebih
lanjut ternyata tidak hanya berguna sebagai sarana pendukung cerita,
tetapi dapat juga menghiasi ruang kosong. Misalnya dalam majalah,
koran, tabloid, dan lain-lain. Ilustrasi bisa berbentuk macam-macam,
seperti karya seni sketsa, lukis, grafis, karikatural, dan akhir-akhir ini
bahkan banyak dipakai image bitmap hingga karya foto.25
Menurut Tom E. Rolnicki, ilustrasi tidak hanya bisa dibuat oleh
staf. Staf bisa mencari seniman luar yang memiliki kemampuan beragam
untuk menambah presentasi visual. Mengizinkan illustrator membaca
berita atau teks akan bisa membuat mereka menciptakan ilustrasi yang
lebih relevan dengan isi berita. Bersama dengan presentasi headline yang
kuat, ilustrasi ini dapat menyegarkan dan menyenangkan. Menggunakan
berbagai macam bentuk ilustrasi juga akan memberi kejutan kepada
pembaca dan membuat isi lebih segar dan menarik. Ada banyak macam
ilustrasi dari kartun sampai karya artistik yang dapat dikordinasikan
dengan efektif dengan isi berita.26
Sedangkan menurut John Morrish, ilustrasi saat ini agak
ketinggalan zaman di majalah, yang memalukan karena dapat
memberikan sambutan perubahan kecepatan dan suasana hati.
Masalahnya adalah ilustrasi itu tidak netral: betapapun sulit atau agresif
seniman itu membuatnya, ilustrasi selalu memiliki udara yang lebih
24
Adi Kusrianto, Pengantar Desain Komunikasi Visual, (Yogyakarta: Penerbit Andi,
2009), h.110 25
Adi Kusrianto, Pengantar Desain Komunikasi Visual, (Yogyakarta: Penerbit Andi,
2009), h.140 26
Tom E. Rolnicki, et, al., Pengantar Dasar Jurnalistik (Scholastic Journalism), (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2008), h.340
22
„subjektif‟ daripada foto. Mereka memberi sepotong label sebagai fitur,
sebagai sesuatu yang didorong lebih oleh opinion dan analisis daripada
dengan reportase kaku. Mereka menciptakan efek jarak, membuat hal-hal
tampak tidak nyata. Tetapi mereka memiliki kegunaannya. Salah satu
jenis ilustrasi yang masih cukup banyak digunakan adalah karikatur,
yang merupakan cara yang baik untuk membuat „karakter‟ dari orang
yang diwawancara atau subjek profil yang mungkin agak hambar. Di sini
efeknya bisa bermacam-macam, mulai dari menyanjung hingga
mengherankan dan menghina, jadi seniman anda harus dipilih dengan
hati-hati.27
Adi Kusrianto berpendapat bahwa buku cerita dan majalah adalah
media yang membutuhkan ilustrasi.28
Ilustrasi tersebut akan
memudahkan pembaca untuk berilustrasi tentang tokoh atau cerita yang
ditulis dalam buku atau majalah. Adi juga menyebutkan beberapa fungsi
dari ilustrasi, yaitu:29
a. Memberikan gambaran tokoh atau karakter dalam cerita.
b. Menampilkan beberapa contoh item yang diterangkan dalam suatu
buku pelajaran (text book).
c. Memvisualisasi langkah-demi langkah pada sebuah instruksi dalam
panduan teknik.
d. Atau sekedar membuat pembaca tersenyum atau tertawa.
4. Semiotika
Semiotik adalah ilmu tentang tanda-tanda. Studi tentang tanda dan
segala yang berhubungan dengannya, cara berfungsinya hubungannya
dengan tanda-tanda lain, pengirimannya dan penerimaannya oleh mereka
yang menggunakannya.30
27
John Morrish, Magazine Editing, (New York: Routledge, 1996), h.160-161 28
Adi Kusrianto, Pengantar Desain Komunikasi Visual, (Yogyakarta: Penerbit Andi,
2009), h.111
29
Adi Kusrianto, Pengantar Desain Komunikasi Visual, (Yogyakarta: Penerbit Andi,
2009), h.151-152 30
Rachmat Krisyantono, Teknis Praktis Riset Komunikasi; Disertai Contoh Praktis Riset
Media, Public Relations, Advertising, Komunikasi Organisasi, Komunikasi Pemasaran, (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2006), h.263
23
Semiotik sebagai ilmu berfungsi untuk mengungkapkan secara
keseluruhan tanda dalam kehidupan manusia, baik tanda verbal maupun
nonverbal. Sebagai pengetahuan praktis, pemahaman terhadap kebenaran
tanda-tanda, khususnya yang dialami dalam kehidupan sehari-hari
berfungsi untuk meningkatkan kualitas kehidupan melalui efektivitas dan
efisiensi energi yang harus dikeluarkan.31
Semiotika berasal dari bahasa Yunani semeion yang berarti tanda.
Maka semiotika berarti ilmu yang mempelajari tentang tanda. Menurut
Piliang, semiotika adalah cabang ilmu yang mempelajari struktur, jenis,
tipologi, serta relasi-relasi tanda dalam penggunaannya di dalam
masyarakat.32
Menurut Preminger, ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial
atau masyarakat dan kebudayaannya itu merupakan tanda-tanda.
Semiotik mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi
yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti.33
Menurut John Fiske, semiotika memiliki tiga wilayah kajian, yaitu:34
a. Tanda itu Sendiri
Wilayah ini meliputi kajian mengenai berbagai jenis tanda
yang berbeda, cara-cara berbeda dari tanda-tanda di dalam
menghasilkan makna, dan cara tanda-tanda tersebut berhubungan
dengan orang yang menggunakannya. Tanda adalah konstruksi
manusia dan hanya bisa dipahami di dalam kerangka
penggunaan/konteks orang-orang yang menempatkan tanda-tanda
tersebut.
31
Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2004), h.105 32
Yasraf Amir Piliang, Semiotika dan Hypersemiotika: Kode , Gaya, dan Matinya Makna,
(Bandung: Matahri Pustaka, 2012), h.47 33
Pradopo, Rachmat Djoko, Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), h.119 34
John Fiske, Pengantar Ilmu Komunikasi, Penerj. Hapsari Dwiningtyas, (Jakarta: PT
Rajagrafindo Persada, 2014), h.66-67
24
b. Kode-kode atau Sistem dimana Tanda-tanda di Organisasi
Kajian ini melingkupi bagaimana beragam kode telah
dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat atau budaya,
atau untuk mengeksploitasi saluran-saluran komunikasi yang
tersedia bagi pengiriman kode-kode tersebut.
c. Budaya Tempat Dimana Kode-kode dan Tanda-tanda
Beroperasi
Hal ini pada gilirannya tergantung pada penggunaan dari kode-
kode dan tanda-tanda untuk eksistensi dan membentuknya sendiri.
Tujuan analisis Semiotik yaitu upaya untuk menemukan makna
tanda termasuk hal-hal yang tersembunyi di balik sebuah tanda (teks,
iklan, berita). Karena sistem tanda sifatnya amat konstektual dan
bergantung pada pengguna tanda tersebut. Pemikiran pengguna tanda
merupakan hasil pengaruh dari berbagai konstruksi sosial di mana
pengguna tanda tersebut berada.35
Dapat dikatakan bahwa semiotik berguna untuk mengetahui apa
makna dibalik tanda-tanda yang tercipta dalam kehidupan manusia.
Menjelaskan bagaimana penafsiran arti dari tiap tanda yang muncul
dalam aktivitas manusia. Akankah faktor sosial dapat mempengaruhi arti
dari tanda-tanda tersebut.
Pemahaman semiotika sebagai ilmu dijelaskan ke dalam beberapa
teori oleh tokoh-tokoh terkenal, tiga di antaranya yaitu; Charles Sanders
Perice, Ferdinand de Saussure dan Roland Barthes. Ketiga tokoh tersebut
memiliki karakter yang berbeda dalam pembahasan semiotika sebagai
ilmu. Perbedaan pemahaman dari ketiga tokoh tersebut dijelaskan
melalui tabel 2.1:
35
Rachmat Krisyantono, Teknis Praktis Riset Komunikasi; Disertai Contoh Praktis Riset
Media, Public Relations, Advertising, Komunikasi Organisasi, Komunikasi Pemasaran. (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2006), h.264
25
Tabel 2.1
Tabel semiotika Peirce, Saussure, dan Barthes
C.S Peirce F. De Saussure Roland Barthes
Sign (Tanda)
Object (Objek)
Interpretant (Interpretan)
Signifier (Penanda)
Signified (Pertanda)
Konotasi (Makna kultural)
Denotasi (Makna
sesungguhnya)
Mitos (Makna baru)
Kulturalis (Budaya) Linguistik (bahasa) Linguistik (bahasa)
5. Semiotika Komunikasi Visual
Semiotika visual (visual semiotics) pada dasarnya merupakan salah
sebuah bidang studi semiotika yang secara khusus menaruh minat pada
penyelidikan terhadap segala jenis makna yang disampaikan melalui
sarana indra lihatan (visual sense).36
Menurut Sumbo, Desain komunikasi visual adalah ilmu yang
mempelajari konsep komunikasi dan ungkapan daya kreatif, yang
diaplikasikan dalam berbagai media komunikasi visual dengan mengolah
elemen desain grafis yang terdiri atas gambar (ilustrasi), huruf dan
tipografi, warna, komposisi, dan layout. Semua itu dilakukan guna
menyampaikan pesan secara visual, audio, dan/atau audio visual kepada
target sasaran.37
Sedangkan menurut Adi Kusrianto, Komunikasi visual adalah
komunikasi menggunakan bahasa visual, di mana unsur dasar bahasa
visual (yang menjadi kekuatan utama dalam penyampaian pesan) adalah
segala sesuatu yang dapat dilihat dan dapat dipakai untuk menyampaikan
arti, makna, atau pesan. Berikut istilah-istilah yang berhubungan dengan
visual:38
36
Kris Budiman, Semiotika Visual; Konsep, Isu, dan Problem Ikonisitas, (Yogyakarta:
Jalasutra, 2011), h.9 37
Sumbo Tinarbuko, Semiotika Komunikasi Visual, (Yogyakarta: Jalasutra, 2009), h.23 38
Adi Kusrianto, Pengantar Desain Komunikasi Visual, (Yogyakarta: Penerbit Andi,
2009), h.10
26
a. Visual Language, yakni ilmu yang mempelajari bahasa visual.
Visualisasi, yakni kegiatan menerjemahkan atau mewujudkan
informasi dalam bentuk visual.
b. Visualiser, yaitu orang yang pekerjaannya menangani masalah
visual atau mewujudkan suatu ide ke dalam bentuk visual dalam
suatu proyek desain.
c. Visual Effect membuat efek-efek tipuan seolah-olah terjadi suatu
keadaan atau kejadian yang sulit dilakukan manusia. Misalnya,
munculnya seekor dinosaurus atau monster lain yang luar biasa
besarnya, efek seolah-olah manusia sedang mendarat di sebuah
planet asing, dan sebagainya.
d. Visual Information adalah informasi melalui penglihatan,
misalnya lambaian tangan, senyuman, baju baru, mobil baru, dll.
e. Visual Litteracy, yaitu kumpulan atau daftar karya visual.
Warna juga berpengaruh dalam desain komunikasi visual. Berikut
merupakan makna warna dalam desain:39
a. Warna Merah
Makna dari warna merah sering dihubungkan dengan energi,
perang, kekuatan, tekad yang kuat, hasrat, dan cinta. Selain itu warna
merah mempunyai unsur emosional yang kuat. Warna ini tidak
hanya memiliki makna positif, namun juga bisa bermakna negatif
yaitu diindikasikan sebagai bahaya (tanda tegangan tinggi, rambu
lalu lintas, dll). Warna ini juga sangat mudah dilihat, itulah kenapa
warna ini sering digunakan sebagai tanda-tanda rambu lalu lintas,
tanda-tanda larangan, dan peralatan pemadaman api juga banyak
yang berwarna merah.
39
Achmad Basuki, Makna Warna dalam Desain, Presentasi Online Mahasiswa Politeknik
Elektronika Negeri Surabaya
27
b. Warna Coklat
Makna dari warna coklat yaitu melambangkan stabilitas dan
sering dihubungkan dengan hal-hal berbau kejantanan atau maskulin.
Sedangkan warna coklat kemerah-merahan sering dihubungkan
dengan musim panen dan gugur.
c. Warna Kuning
Makna Kuning sendiri adalah warna dari matahari terbit.
Sering dihubungkan dengan keceriaan, kebahagiaan, orang pandai,
dan energi. Warna kuning menghasilkan efek hangat,
membangkitkan kegembiraan, merangsang aktivitas mental, dan
membangkitkan energi. Warna ini juga sering dihubungkan dengan
nada peringatan. Dalam ilmu kelambangan, kuning diindikasikan
dengan kehormatan dan kesetiaan. Di sebagian kasus, kuning juga
sering dihubungkan dengan perasaan kecut hati/pengecut. Sedangkan
warna kuning kecokelatan melambangkan kebusukan, kerusakan,
penyakit dan rasa cemburu.
d. Warna Biru
Biru sendiri adalah warna langit dan lautan. Sering
dihubungkan dengan kedalaman dan stabilitas. Warna biru
melambangkan kepercayaan, kesetiaan, kebijaksanaan, kepercayaan
diri, kecerdasan, kepercayaan, kebenaran, dan surga. Warna ini juga
sering dihubungkan dengan kedamaian dan ketenangan. Dalam ilmu
kelambangan, warna biru digunakan untuk melambangkan kesalehan
dan ketulusan hati. Ketika biru dipadukan dengan warna hangat
seperti kuning dan merah, warna biru dapat melambangkan pengaruh
yang besar, dan rasa semangat. Sebagai contoh, biru-kuning-merah
adalah paduan warna yang pas untuk melambangkan „superhero‟.
e. Warna Hijau
Hijau sendiri adalah warna alam. Warna hijau melambangkan
pertumbuhan, harmoni, kesegaran, dan kesuburan. Hijau secara
emosional dapat berarti keamanan. Dalam ilmu kelambangan, hijau
28
melambangkan pertumbuhan dan harapan. Sedangkan warna hijau
tua sering dihubungkan dengan uang, finansial, bank, ambisi,
ketamakan, dan kecemburuan.
f. Warna Hitam
Hitam sendiri adalah warna misterius yang dihubungkan
dengan ketakutan dan ketidaktahuan. Warna hitam melambangkan
kekuatan, elegan, formalitas/acara resmi, kejahatan, dan misteri.
Warna ini biasanya punya makna konotasi negatif. Tapi warna ini
merupakan kekuatan dan kekuasaan; juga sering dipakai untuk
menyampaikan kesan formal, elegan, dan bergensi (sepatu kulit
hitam, dasi hitam, Mercedes hitam, kacamata hitam). Dalam ilmu
kelambangan, warna hitam melambangkan dukacita.
g. Warna Putih
Warna putih sering dihubungkan dengan terang, kebaikan,
kemurnian, kesucian, dan keperawanan. Warna ini disarankan
sebagai warna „kesempurnaan‟. Warna putih berarti aman, murni,
dan bersih. Sebagai lawan dari warna hitam, putih biasanya
mempunyai makna konotasi yang positif. Warna putih dapat
melambangkan keberhasilan. Dalam ilmu kelambangan, putih
melambangkan kepercayaan dan kemurnian. Warna putih sangat
cocok dengan organisasi kemanusiaan. Malaikat juga biasanya
diimajinasikan memakai pakaian berwarna putih.
Menurut Umar Hadi, bahwa sebagai bahasa, desain komunikasi visual
adalah ungkapan ide dan pesan dari perancang kepada masyarakat yang dituju
melalui simbol-simbol berwujud gambar, warna dan tulisan. Ia akan
komunikatif apabila bahasa yang digunakannya itu mudah dimengerti oleh
khalayak sasarannya. Ia juga akan berkesan apabila dalam penyajiannya
tersebut terdapat suatu keunikan sehingga ia tampil secara istimewa, mudah
dibedakan dengan lainnya.40
40
Sumbo Tinarbuko, Semiotika Komunikasi Visual, (Yogyakarta: Jalasutra, 2009), h.32
29
6. Semiotika Charles Sanders Peirce
Menurut Berger, Peirce menyebut ilmu yang dibangunnya
semiotika (semiotics), baginya yang ahli filsafat dan logika, penalaran
manusia senantiasa dilakukan lewat tanda. Artinya, manusia hanya dapat
bernalar lewat tanda. Dalam pikirannya, logika sama dengan semiotika
dan semiotika dapat diterapkan pada segala macam tanda.41
Kajian semiotik menurut Peirce yaitu penekanan pada logika dan
filosofi dari tanda-tanda yang ada di masyarakat. Yang dimaksud “tanda”
ini sangat luas, Peirce membedakan tanda atas lambang (symbol), ikon
(icon), dan indeks (index). Dapat dijelaskan sebagai berikut:42
a. Lambang
Suatu tanda di mana hubungan antara tanda dan acuannya
merupakan hubungan yang sudah terbentuk secara konvensional.
Lambang ini adalah tanda yang dibentuk karena adanya konsensus
dari para pengguna tanda. Warna merah bagi masyarakat Indonesia
adalah lambang berani, mungkin di Amerika bukan.
b. Ikon
Suatu tanda di mana hubungan antara tanda dan acuannya
berupa hubungan berupa kemiripan. Jadi, ikon adalah bentuk tanda
yang dalam berbagai bentuk menyerupai objek dari tanda tersebut.
Patung kuda adalah ikon dari seekor kuda.
c. Indeks
Suatu tanda di mana hubungan antara tanda dan acuannya
timbul karena ada kedekatan eksistensi. Jadi indeks adalah suatu
tanda yang mempunyai hubungan langsung (kausalitas) dengan
objeknya. Asap merupakan indeks dari adanya api.
Menurut Sumbo, Peirce mengatakan, tanda dalam hubungan
dengan acuannya dibedakan menjadi tanda yang dikenal dengan ikon,
indeks, dan simbol. Berikut penjelasan masing-masing tanda tersebut;43
41
Sumbo Tinarbuko, Semiotika Komunikasi Visual, (Yogyakarta: Jalasutra, 2009), h.11 42
Rachmat Krisyantono, Teknis Praktis Riset Komunikasi; Disertai Contoh Praktis Riset
Media, Public Relations, Advertising, Komunikasi Organisasi, Komunikasi Pemasaran, (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2006), h.264 43
Sumbo Tinarbuko, Semiotika Komunikasi Visual, (Yogyakarta: Jalasutra, 2009), h.16-17
30
a. Ikon
Tanda yang mirip dengan objek yang diwakilinya. Dapat pula
dikatakan, ikon adalah tanda yang memiliki ciri-ciri yang sama
dengan apa yang dimaksudkan. Misalnya, foto Sri Sultan
Hamengkubuwono X sebagai Raja Keraton Ngayogyakarta
Hadiningrat adalah ikon Sultan. Peta Yogyakarta adalah ikon dari
wilayah Yogyakarta yang digambarkan dalam peta tersebut. Cap
jempol Sultan adalah ikon dari ibu jari Sultan.
b. Indeks
Merupakan tanda yang memiliki hubungan sebab-akibat
dengan apa yang diwakilinya atau disebut juga tanda sebagai bukti.
Contohnya: asap dan api, asap menunjukkan adanya api. Jejak
telapak kaki di tanah merupakan tanda indeks orang yang melewati
tempat itu. Tanda tangan (signature) adalah indeks dari keberadaan
seseorang yang menorehkan tanda tangan itu.
c. Simbol
Merupakan tanda berdasarkan konvensi, peraturan, atau
perjanjian yang disepakati bersama. Simbol baru dapat dipahami jika
seseorang sudah mengerti arti yang telah disepakati sebelumnya.
Contohnya: Garuda Pancasila bagi bangsa Indonesia adalah burung
yang memiliki perlambangan yang kaya makna. Namun bagi orang
yang memiliki latar budaya berbeda, seperti orang Eskimo, misalnya,
Garuda Pancasila hanya dipandang sebagai burung elang biasa.
Menurut Peirce, tanda (representamen) ialah sesuatu yang dapat
mewakili sesuatu yang lain dalam batas-batas tertentu.44
Tanda akan selalu
mengacu ke sesuatu yang lain, oleh Peirce disebut objek (denotatum).
Mengacu berarti mewakili atau menggantikan. Tanda baru dapat berfungsi
bila diinterpretasikan dalam benak penerima tanda melalui interpretant. Jadi
interpretant ialah pemahaman makna yang muncul dalam diri penerima
tanda. Artinya tanda baru dapat berfungsi sebagai tanda bila dapat ditangkap
44
Umberto Eco, A Theory of Semiotics, (Bloomington: Indiana University Press, 1979),
h.15
31
dan pemahaman terjadi berkat Gorund, yaitu pengetahuan tentang sistem
tanda dalam suatu masyarakat. Hubungan ketiga unsur yang dikemukakan
Peirce terkenal dengan nama segi tiga semiotik.45
Menurut Sobur, Peirce berpendapat bahwa tanda “is something which
stands to somebody for something in some respect or capacity”. Sesuatu yang
digunakan agar tanda bisa berfungsi, oleh Peirce disebut ground.
Konsekuensinya, tanda (sign atau representamen) selalu terdapat dalam
hubungan triadik, yakni ground, object, dan interpretant. Atas dasar
hubungan ini, Peirce mengadakan klasifikasi tanda. Tanda yang dikaitkan
dengan ground dibaginya menjadi qualisign, sinsign, dan legisign.46
Teori segitiga atau triangle of meaning mengupas persoalan
bagaimanaa makna muncul dari sebuah tanda ketika tanda itu digunakan
orang pada waktu berkomunikasi. Hubungan antara tanda, objek, dan
interpretant digambarkan Peirce pada Gambar 2.147
Gambar 2.1
Hubungan Tanda, Objek dan Interpretant (Triangle of Meaning)
Sign
Interpretant Object
Menurut Kris Budiman, relasi di antara representamen, objek, dan
interpretant ini membentuk sebuah struktur triadik, seperti pada Gambar 2.2
45
Sumbo Tinarbuko, Semiotika Komunikasi Visual, (Yogyakarta: Jalasutra, 2009), h.12 46
Alex Sobur, Analisis Teks Media, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004), h.41 47
Rachmat Kriyangtono, Teknis Praktis, Riset Komunikasi: Disertai Contoh Praktis, Riset
Media, Public Relations, Advertising, Komunikasi Organisasi, Komunikasi Pemasaran, (Jakarta:
Kencana, 2008), h.265-266
32
Gambar 2.2
Struktur Triadik
Interpretant
Representamen Objek
Proses tiga-tingkat (three-fold process) di antara representamen,
objek, dan interpretant yang dikenal sebagai proses semiosis ini niscaya
menjadi objek kajian yang sesungguhnya dari setiap studi semiotika. Jika
interpretant, seperti dikatakan sebelumnya, tiada lain adalah tanda yang pada
gilirannya dapat berposisi sebagai representamen, di dalam struktur triadik
ini. Dengan kata lain, proses semiosis adalah sebuah rangkaian yang tidak
berujung pangkal, tanpa awal dan akhir: sebuah semiosis yang tanpa batas
(unlimited semiosis).48
Kris Budiman berpendapat, titik sentral dari semiotika Peirce adalah
sebuah trikotomi dasariah mengenai relasi “menggantikan” (stands for) di
antara tanda dengan objeknya melalui interpretant, sebagaimana
dikemukakan sendiri oleh Peirce di dalam sebuah rumusannya yang terkenal,
representamen adalah sesuatu yang bersifat indrawi (perceptible) atau
material yang berfungsi sebagai tanda.49
Trikotomi pertama, berdasarkan representamen; Qualisign, Sinsign,
dan Legisign. Qualisign adalah suatu kualitas yang merupakan tanda,
walaupun pada dasarnya ia belum dapat menjadi tanda sebelum mewujud
(embodied). Hawa panas yang kita rasakan pada tubuh di siang hari bolong di
dalam suatu ruangan, misalnya, adalah qualisign sejauh ia hanya “terasa”,
tidak/belum direpresentasikan dengan apa pun. Sinsign adalah suatu hal yang
ada (exist) secara aktual yang berupa tanda tunggal (diindikasikan lewat
48
Kris Budiman, Semiotika Visual; Konsep, Isu, dan Problem Ikonisitas, (Yogyakarta:
Jalasutra, 2011), h.74-76 49
Kris Budiman, Semiotika Visual; Konsep, Isu, dan Problem Ikonisitas, (Yogyakarta:
Jalasutra, 2011), h.74
33
awalan sin-). Ia hanya dapat menjadi tanda melalui kualitas-kualitasnya
sehingga, dengan demikian, melibatkan sebuah atau beberapa qualisign.
Hawa panas yang kita rasakan tadi, apabila kemudian diungkapkan dengan
sepatah kata, panas, maka kata tersebut adalah sinsign. Sambil mengucapkan
kata itu, tangan kita mungkin secara spontan mengipas-ngipas. Gerakan
tangan mengipas-ngipas ini pun adalah sinsign yang merepresentasikan hawa
panas yang kita rasakan itu. Legisign adalah suatu hukum (law), seperangkat
kaidah atau prinsip yang merupakan tanda; setiap tanda konvensional
kebahasaan adalah legisign. Ungkapkan suatu hari yang panas adalah
legisign karena hanya dapat tersusun berkat adanya tata bahasa, khususnya
kaidah struktur frasa, di dalam bahasa Indonesia yang mengharuskan kata
benda (nomina) diletakkan mendahului kata sifat (adjektif) (N + Adj);
sementara di dalam bahasa Inggris, misalnya menjadi a hot day karena
adanya kaidah yang sebaliknya, yakni adjektif mendahului nomina (Adj +
N).50
Trikotomi kedua, berdasarkan objeknya; Ikon, Indeks, dan Simbol.
Ikon adalah tanda yang didasarkan atas “keserupaan” atau “kemiripan”
(resemblance) di antara representamen dan objeknya, entah objek tersebut
betul-betul eksis atau tidak. Akan tetapi, sesungguhnya ikon tidak semata-
mata mencakup citra-citra “realistis” seperti pada lukisan atau foto apa saja,
melainkan juga ekspresi-ekspresi semacam grafik-grafik, skema-skema, peta
geografis, persamaan matematis, bahkan metafora. Indeks adalah tanda yang
memiliki kaitan fisik, eksistensial, atau kausal di antara representamen dan
objeknya sehingga seolah-olah akan kehilangan kaakter yang menjadikannya
tanda jika objeknya dipindahkan atau dihilangkan. Simbol adalah tanda yang
representamennya merujuk kepada objek tertentu tanpa motivasi
(unmotivated); simbol terbentuk melalui konvensi-konvensi atau kaidah-
kaidah, tanpa adanya kaitan langsung di antara representamen dan objeknya,
yang oleh Ferdinand de Saussure dikatakan sebagai “sifat tanda yang arbiter”
(the “arbitrary character of the sign”).51
50
Kris Budiman, Semiotika Visual; Konsep, Isu, dan Problem Ikonisitas, (Yogyakarta:
Jalasutra, 2011), h.78-79 51
Kris Budiman, Semiotika Visual; Konsep, Isu, dan Problem Ikonisitas, (Yogyakarta:
Jalasutra, 2011), h.77-78
34
Trikotomi ketiga, berdasarkan interpretannya; Rema (Rheme), Disen
(Dicisign), dan Argumen (Argument). Rema adalah suatu tanda kemungkinan
kualiatif (a sign of qualitative possibility), yakni tanda apa pun yang tidak
betul dan tidak pula salah. Sebuah huruf atau fonem yang berdiri sendiri
adalah rema, bahkan nyaris semua kata tunggal dari kelas kata apa pun, entah
kata kerja, kata benda, kata sifat, dan sebagainya adlah rema pula, kecuali
kata ya dan tidak atau benar dan salah. Tanda Disen atau dicisign adalah
tanda eksistensi aktual, suatu tanda faktual (a sign of fact), yang biasanya
berupa sebuah proposisi. Sebagai proposisi, disen adalah tanda yang bersifat
informasional seperti pada pernyataan Tom adalah seeokor kucing. Akan
tetapi, berbeda dengan rema, sebuah disen adalah betul atau salah, namun
tidak secara langsung memberi alasan mengapa begitu. Argumen adalah
tanda “hukum” (law) atau kaidah, suatu tanda nalar (a sign of reson), yang
didasari oleh leading principle yang menyatakan bahwa peralihan dari
premis-premis tertentu kepada kesimpulan tertentu adalah cenderung benar.
Apabila tanda disen Cuma menegaskan eksistensi sebuah objek, maka
argument mampu membuktikan kebenarannya. Contoh yang paling jelas dari
sebuah argument bisa dibaca pada silogisme:52
Semua kucing bermusuhan dengan tikus.
Tom adalah seekor kucing.
Maka, Tom kucing bermusuhan dengan Jerry tikus.
Piliang berpendapat bahwa model triadik Peirce memperlihatkan tiga
elemen utama pembentuk tanda, yaitu representamen (sesuatu yang
merepresentasikan sesuatu yang lain), objek (sesuatu yang direpresentasikan)
dan interpretant (interpretasi seseorang tentang tanda. Model triadik ini
diuraikan elemen-elemennya secara lebih detail pada Tabel 2.253
52
Kris Budiman, Semiotika Visual; Konsep, Isu, dan Problem Ikonisitas, (Yogyakarta:
Jalasutra, 2011), h.81 53
Angga Satria Perkasa, Representasi Calon Gubernur DKI Jakarta Pada Ilustrasi Sampul
Majalah Tempo Tahun 2016-2017, skripsi S1 Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN
Jakarta, 2017, h.51
35
Peirce mengembangkan seluruh klasifikasinya itu berdasarkan tiga
kategori universal berikut.54
a. Kepertamaan (firstness)
Mode berada (mode of being) sebagaimana adanya, positif, dan
tidak mengacu kepada sesuatu yang lain. Ia adalah kategori dari perasaan
yang tak-terefleksikan (unreflected feeling), semata-mata potensial, bebas
dan langsung; kualitas yang terbedakan (undifferentiated quality) dan
tak-tergantung.
b. Keduaan (secondness)
Mencakup relasi pertama dengan yang kedua. Ia merupakan
kategori perbandingan (comparison), faktisitas (facticity), tindakan,
realitas, dan pengalaman dalam ruang dan waktu.
c. Ketigaan (thirdness)
Menghantar yang kedua ke dalam hubungannya dengan yang
ketiga. Ia adalah kategori mediasi, kebiasaan (habit), ingatan, kontinuitas,
sintesis, komunikasi (semiosis), representasi, dan tanda-tanda.
Tabel 2.2
Tiga Trikotomi Model Semiotik Peirce
Trikotomi Representamen Objek Interpretan
Kategori
Firstness Qualisigin Ikon Rheme
Otonom atau berdiri
sendiri
˗ Proper sign ˗ Kopi ˗ Class name
˗ Tanda
potensial ˗ Tiruan ˗ Proper name
˗ Kepertamaan ˗ Keserupaan ˗ Masih
Terisolasi Dari
Konteks
˗ Apa adanya ˗ Kesamaan
˗ Kualitas
54 Kris Budiman, Semiotika Visual; Konsep, Isu, dan Problem Ikonisitas, (Yogyakarta:
Jalasutra, 2011), h.76-77
36
Secondness Sinsign Indeks Dicent
Dihubungkan dengan
realitas
˗ Token ˗ Penunjukan Tanda eksistensi
aktual ˗ Pengalaman ˗ Kausal
˗ Perilaku
˗ Perbandingan
Thirdness
Legisign Simbol Argument
Dihubungkan dengan
aturan, konvensi,
atau kode
˗ Tipe ˗ Konvensi Gabungan dan
dua premis ˗ Memori ˗ Kesepakatan
˗ Sintesis
˗ Mediasi
˗ Komunikasi
C. Komunikasi Politik
Menurut Hafied Cangara, komunikasi politik dapat diartikan sebagai
suatu proses komunikasi yang memiliki implikasi atau konsekuensi terhadap
aktivitas politik. Komunikasi memiliki pesan yang bermuatan politik,
sehingga untuk membedakan antara satu disiplin dengan disiplin lainnya
dalam studi ilmu komunikasi, terletak pada sifat atau isi pesannya.55
Sedangkan menurut Meadow dalam Nimmo tahun 2004 yang dikutip
dalam Hafied tahun 2016 membuat definisi bahwa “political communication
refers to any exchange of symbols or messages that to a significant extent
have been shaped by or have consequences for political system.” Di sini
Meadow memberikan tekanan bahwa simbol-simbol atau pesan yang
disampaikan itu secara signifikan dibentuk atau memiliki konsekuensi
terhadap sistem politik.56
Doris Gaber dalam tulisannya Political Language tahun 1981 yang
dikutip dalam Hafied tahun 2016 mengingatkan bahwa komunikasi politik
tidak hanya retorika, tetapi juga mencakup simbol-simbol bahasa, seperti
bahasa tubuh serta tindakan-tindakan politik, misalnya boikot, protes, dan
55
Hafied Cangara, Komunikasi Politik, Konsep, Teori, dan Strategi, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2016), h.30 56
Hafied Cangara, Komunikasi Politik, Konsep, Teori, dan Strategi, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2016), h.29
37
unjuk rasa. Dengan demikian, pengertian komunikasi politik dapat
dirumuskan sebagai suatu proses pengoperan lambang-lambang atau simbol-
simbol komunikasi yang berisi pesan-pesan politik dari seseorang atau
kelompok kepada orang lain dengan tujuan untuk membuka wawasan atau
cara berpikir, serta mempengaruhi sikap dan tingkah laku khalayak yang
menjadi target politik.57
Sasaran atau target politik daripada komunikasi politik menurut Hafied
adalah anggota masyarakat yang diharapkan dapat memberi dukungan dalam
bentuk pemberian suara (vote) kepada partai atau kandidat dalam pemilihan
umum. Sedangkan komunikator politik diperankan oleh partai politik, bahkan
lembaga pemerintahan legislatif dan eksekutif.58
1. Kampanye (Campaign)
Kampanye menurut Kotler dan Roberto dalam Hafied Cangara
tahun 2016 adalah “Campaign is an organized effort conducted by one
group (the change agent) which intends to persuade others (the target
adopters), to accept, modify, or abandon certain ideas, attitudes,
practices and behavior”. Kampanye ialah sebuah upaya yang
diorganisasi oleh satu kelompok (agen perubahan) yang ditujukan untuk
memersuasi target sasaran agar bisa menerima, memodifikasi atau
membuang ide, sikap dan perilaku tertentu.59
Sedangkan menurut Richard A. Joslyn dalam Swanson tahun 1990
yang dikutip dalam Hafied tahun 2016, kampanye politik tidak ada
bedanya dengan sebuah adegan drama yang dipentaskan oleh para aktor-
aktor politik.60
Sama seperti pendapat Richard, kampanye sebagai adegan drama
juga dibahas oleh Deddy Mulyana dalam bukunya, yaitu pada
pembahasan kampanye politik sebagai teater, Deddy Mulyana
57
Hafied Cangara, Komunikasi Politik, Konsep, Teori, dan Strategi, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2016), h.30 58
Hafied Cangara, Komunikasi Politik, Konsep, Teori, dan Strategi, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2016), h.31-32 59
Hafied Cangara, Komunikasi Politik, Konsep, Teori, dan Strategi, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2016), h.245 60
Hafied Cangara, Komunikasi Politik, Konsep, Teori, dan Strategi, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2016), h.246
38
mengambil satu paradigma dramaturgis Erving Goffman, dimana
menurut teori ini, manusia belajar memainkan berbagai peran dan
mengasumsikan identitas yang relevan dengan peran-peran ini,
menunjukkan kepada satu sama lainnya siapa dan apa mereka, serta
mendefinisikan situasi-situasi yang mereka masuki, dan perilaku-perilaku
pun berlangsung dalam konteks identitas sosial, makna dan definisi
situasi tersebut.61
Peran tersebut yang kemudian Deddy Mulyana bahas lebih spesifik
dengan sebutan pengelolaan citra-diri, yaitu di dalam dunia politik,
terutama yang melibatkan elite politik, pengelolaan kesan ini lebih
dominan. Pada zaman Orde Baru, misalnya, sebagian pejabat sipil dan
militer mengenakan peci dan sorban (menjadi kyai dadakan) ketika
melakukan kunjungan silaturahmi ke pesantren-pesantren, menjelang
pemilu, untuk memperoleh dukungan politik (bagi Golkar).62
Menurut Nimmo dalam bukunya yang diterjemahkan oleh Tjun
Surjaman, terdapat tuga tujuan kampanye berdasarkan konteks
antarpartai, yaitu; Pertama, ada upaya untuk membangkitkan kesetiaan
alami pengikut suatu partai dan agar mereka memilih sesuai dengan
kesetiaan itu; kedua, ada kegiatan untuk menjajaki warga Negara yang
tidak terikat pada partai dan, menurut istilah Kenneth Burke untuk
menciptakan pengidentifikasi di antara golongan independen; ketiga, ada
kampanye yang ditujukan pada oposisi, bukan dirancang untuk
mengalihkan kepercayaan dan nilai anggota partai, melainkan untuk
meyakinkan rakyat bahwa keadaan akan lebih baik jika dalam kampanye
ini mereka memilih kandidat dari partai lain.63
2. Kampanye Hitam – Kampanye Negatif
Menurut Hafied, kampanye hitam adalah kampanye yang
dilakukan oleh suatu pihak untuk menyerang lawannya dengan meniup
61
Deddy Mulyana, Komunikasi Politik Politik Komunikasi, Membedah Visi dan Gaya
Komunikasi Praktisi Politik, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2013), h.71 62
Deddy Mulyana, Komunikasi Politik Politik Komunikasi, Membedah Visi dan Gaya
Komunikasi Praktisi Politik, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2013), h.72 63
Dan Nimmo, Komunikasi Politik, Komunikator, Pesan, dan Media, diterjemahkan oleh
Tjun Surjaman, (Bandung: Remadja Karya, 1989), h.219
39
isu bohong, informasi yang sengaja diedarkan lebih banyak bohongnya
daripada benarnya. Kampanye hitam menurut Hukum Kekebalan
Momentum, “Black Campaign adalah suatu model atau perilaku atau
cara berkampanye yang dilakukan dengan menghina, memfitnah,
mengadu domba, menghasut atau menyebarkan berita bohong yang
dilakukan oleh seorang calon atau sekelompok orang atau partai politik
atau pendukung seorang calon terhadap lawan atau calon lainnya”.
Dalam hubungannya dengan pemilu presiden dan wakil presiden hampir
semua calon presiden diterpa isu kampanye hitam.64
D. Kepemimpinan Dalam Pandangan Islam
1. Teori Kepemimpinan
Menurut Kartono, teori Kepemimpinan adalah penggeneralisasian
satu seri perilaku pemimpin beserta konsep-konsep kepemimpinannya
dengan menampilkan latar belakang historis kemunculan pemimpin dan
kepemimpinan, sebab-musabab penampilannya di tengah khalayak
ramai, tipe dan gayanya, persyaratan kepemimpinan dan untuk menjadi
pemimpin, sifat-sifat utama pemimpin, tugas- tugas pokok, dan etika
profesi kepemimpinan.65
Pemimpin adalah seorang pribadi yang memiliki superioritas
tertentu, sehingga dia memiliki kewibawaan dan kekuasaan untuk
menggerakkan orang lain melakukan usaha bersama guna mencapai satu
sasaran tertentu. Jadi, pemimpin itu harus memiliki satu atau beberapa
kelebihan, sehingga dia mendapat pengakuan dan respek dari para
pengikutnya, serta dipatuhi segala perintahnya.66
Sedangkan menurut Thohlah Hasan pemimpin adalah orang yang
mempunyai wewenang dan hak untuk mempengaruhi orang lain,
sehingga orang lain tersebut bertingkah laku sebagaimana yang
64
Hafied Cangara, Komunikasi Politik, Konsep, Teori, dan Strategi, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2016), h.318 65
Kartini Kartono, Pemimpin dan Kepemimpinan, Apakah Pemimpin Abnormal Itu?,
(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001), h.44 66
Kartini Kartono, Pemimpin dan Kepemimpinan, Apakah Pemimpin Abnormal Itu?,
(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001), h.44
40
dikehendaki oleh pemimpin tersebut melalui kepemimpinannya.
Sedangkan pengertian kepemimpinan dapat dibedakan antara
kepemimpinan sebagai “status” dan kepemimpinan sebagai “proses
sosial”. Kepemimpinan sebagai status, merupakan suatu kompleks dari
hak-hak dan kewajiban-kewajiban, yang dapat dimiliki oleh seseorang
atau suatu badan. Dan kepemimpinan sebagai proses sosial, mencakup
segala tindakan yang dilakukan seseorang atau suatu badan, yang dapat
menggerakan tindakan warga masyarakat atau pengikutnya.67
2. Teori Kepemimpinan dalam Islam
Kepemimpinan Islam adalah pemegang prinsip-prinsip yang
bersumber dari sejumlah konsep yang apabila dianggap remeh atau
dilupakan maka akan sia-sia atau hilang. Sebaliknya, apabila dipegang
dan dijadikan acuan maka akan membawa kebaikan dan berarti da‟wah
telah ditegakkan berdasarkan pada kemurnian aqidah dan akhlaq yang
mulia.68
Istilah yang sering dihubungkan dengan konsep negara dan
pemerintahan adalah khilafah dan imamah. Dua istilah yang terkait erat
dengan persoalan kepemimpinan, pertama, imamah yang kemudian
popular di kalangan syi‟ah, dan kedua, khilafat yang terkenal di kalangan
sunni. Walaupun demikian, kedua konsep yang menjadi ciri khas masing-
masing sunni dan syi‟ah mengandung prinsip yang berbeda. Khilafat
dalam perspektif sunni didasarkan pada dua rukun utama, yaitu
konsensus (ijma) dan pemberian legitimasi (bai‟ah). Sedangkan imamah
dalam persepektif syi‟ah menekankan dua rukun lain, yaitu: kekuasaan
imam (wilayah) dan kesucian imam (ismah).69
Istilah Imamah dalam bahasa Arab dan kepemimpinan dan bahasa
Indonesia merupakan kata yang erat kaitannya dengan persoalan politik
pemerintahan. Dalam bahasa Arab kata Imamah yang berasal dari kata
67
Muhammad Tholhah Hasan, Islam & Masalah Sumber Daya Manusia, (Jakarta:
Lantabora Press, 2005), h.247 68
Musthafa Muhammad Thahhan, Model kepemimpinan dalam amal islami, (Jakarta:
Robbani Press, 1985), h.21 69
Ahmad Faathir, Analisis Semiotika Kepemimpinan Presiden Jokowi Pada Ilustrasi
Sampul Majalah Gatra Tahun 2015, Skripsi Mahasiswa bidang Jurnalistik Fakultas Ilmu Dakwah
dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, h.32
41
imam berarti “pemimpin”, dan “pemuka” atau orang menjadi pimpinan.
Sejak awal istilah imam digunakan guna menyebut seseorang yang
memimpin (amma) shalat berjamaan di antara para partisan (ma;maum).
Pada saat itu, tidak sedikit pun pola pemikiran kaum muslimin tentang
keterkaitan istilah imam dengan kepemimpinan negara. Namun dalam
perjalanan historisnya, ketika khulafaurrasyidin memegang tampuk
kepemimpinan, mereka tidak hanya berperan sebagai tokoh agama, ahli
hukum dan imam shalat, tetapi juga kepala negara yang bertugas
mengatur dan mengurus persoalan-persoalan pemerintahan, maka sejak
itu pula gelar imam tidak lagi khusus bagi para imam shalat, tetapi juga
kata imam sering dikonotasikan sebagai pemimpin kenegaraan atau
presiden. Dari kenyataan historis tersebut, istilah imam kemudian sering
diidentikkan dengan khalifah, sultham amir, kepala negara, dan presiden.
Oleh karenanya, imam adalah seorang yang diikuti oleh suatu kaum.
Kata imam lebih banyak digunakan untuk orang yang membawa kepada
kebaikan, seperti pemimpin shalat, pemimpin agama.70
Hidayat Nur Wahid mengutip lima terminologi tentang
kepemimpinan berdasarkan Al-Qur‟an dan as-Sunnah sebagai rujukan
pertama dan utama umat Islam telah menampilkan, yaitu:71
a. Al-Imam
(perhatikan QS. 25: 74), bentuk jamaknya adalah al-aimmah
sebagaimana disebutkan dalam hadits Shahih Bukhari dan Muslim.
Imam artinya pemimpin yang berada di depan (amam). Istilah ini
juga sangat populer dipergunakan selain untuk kepemimpinan politik
dan intelektual, ia juga populer dipakai untuk kepemimpinan dalam
shalat berjama‟ah. Ungkapan ini dalam bahasa Arab tampil dengan
bentuk isim fa‟il (subjek). Tetapi dalam bahasa Arab ungkapan ini
juga berarti objek (makmum). Oleh karenanya mengomentari ayat
25:74 itu, Imam Ibnul Qayyim menyampaikan dengan ungkapan,
70
Ahmad Faathir, Analisis Semiotika Kepemimpinan Presiden Jokowi Pada Ilustrasi
Sampul Majalah Gatra Tahun 2015, Skripsi Mahasiswa bidang Jurnalistik Fakultas Ilmu Dakwah
dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, h.34 71
Hidayat Nur Wahid, Mengelola Masa Transisi menuju masyarakat madani, (Ciputat:
Fikri, 2004), h.165-166
42
“Ya Allah jadikanlah kami makmum bagi orang-orang yang
bertakwa.” Karena seorang pemimpin berada dalam posisi imam,
maka dari itu haruslah bersiap berada di depan atau di belakang
bersama orang-orang bertakwa, dan bahkan ia harus siap untuk
menjadi imam maupun makmum dalam shalat dengan segala hikmah
yang terkandung dalamnya.
b. Al-Khalifah
bermakna pemimpin yang mewakili, menggantikan, dan siap
diganti oleh pelanjutnya (QS. 2:30). Karenanya para Khulafa‟ ar-
Rasyidun selain menggantikan Rasulullah s.a.w sebagai pemimpin,
mereka juga menlanjutkan risalah beliau, bahkan siap dan rela bila
kepemimpinannya dilanjutkan oleh pemimpin-pemimpin berikutnya.
Dalam terminologi ini, seorang pemimpin haruslah dalam posisi
tidak melanggengkan kekuasaannya, melainkan ia selalu beraktifitas
bijak termasuk mempersiapkan keberlanjutan kepemimpinan
berikutnya.
c. Al-Malik
Artinya raja. Hanya saja Al-Qur‟an sekaligus mengaitkan
status ini dengan hakikat kerajaan yang sepenuhnya adalah milik
Allah saja. Sementara kekuasaan kerajaan yang diberikan kepada
manusia hanyalah bersifat nisbi yang semestinya digunakan untuk
merelisir kemaslahatan kehidupan. Di antara kemaslahatan tersebut
adalah memunculkan kesentausaan bagi sang Raja dan bagi
rakyatnya dengan sepenuhnya melaksanakan ketentuan-ketentuan
Allah SWT. Karenanya Allah menegaskan bahwa Dia-lah Raja dari
para raja. Oleh karenanya para raja di dunia itu haruslah
menselaraskan diri dengan hakikat kekuasaan yang mereka miliki
dan tidak melampauinya agar tidak muncul kehinaan dan kezaliman
bagi kemanusiaan.
d. Al-Amir
Artinya seorang pemimpin yang dapat memerintah. Ia pun
berarti ism maf‟ul (objek) sehingga bermakna pemimpin yang dapat
43
dikoreksi oleh rakyatnya atau diperintah untuk memperbaiki diri
oleh rakyatnya. Seorang pemimpin dalam terminologi ini adalah
seorang pemberani dan berwibawa, sehingga ia dapat efektif
memerintah melalui perintahnya yang ditaati rakyat , ketika perintah
itu benar. Ia dapat berlapang dada untuk menerima perintah dari
rakyat melalui koreksi mereka. Dengan cara ini, kehidupan
kepemimpinan di suatu negeri akan membawa manfaat yang besar
bagi kehidupan bangsa dan efektifnya penyelenggaraan negara.
e. Ar-Ra‟i
Artinya adalah pemimpin yang senantiasa memberikan
perhatian kepada ra‟iyah (rakyat) (HR.Bukhari Muslim). Dalam
hadits Rasulullah s.a.w sering mengingatkan bahwa peran
kepemimpinan yang selalu peduli kepada rakyatnya itu ada di
seluruh level kepemimpinan. Beliau pun mengaitkan secara langsung
korelasi positif timbal balik antara ra‟i dan ra‟iyyah-nya. Keakraban
semacam ini lah yang bila dilakukan seorang pemimpin tentu akan
menciptakan iklim kepemimpinan yang penuh empati, keperdulian
dan kedekatan dengan rakyat.
Veitzal Rivai menyebutkan sekurangnya ada enam ciri
kepemimpinan dalam Islam, yaitu:72
a. Setia kepada Allah
Pemimpin dan orang yang dipimpin terikat dengan kesetiaan
kepada Allah, artinya bahwa kepemimpinan yang dijalankan itu
adalah merupakan perwujudan dari pada kesetiaan seseorang kepada
Allah SWT, bukan karena ambisi ingin menjadi pemimpin, jadi
semua prilaku kepemimpinannya itu adalah tunduk terhadap semua
aturan hukum atau aturan syariat yang ditetapkan oleh Allah SWT.
b. Tujuan Islam secara menyeluruh
Pemimpin harus mampu melihat bahwa tujuan organisasi
bukan saja berdasarkan kepentingan kelompok, apalagi kepentingan
orang perorang, akan tetapi disampingkan untuk kepentingan
72
Mulkanasir, Kepemimpinan Dakwah, (Ciputat: Dakwah Press, 2015), h.99-103
44
45
menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma‟ruf dan mencegah dari
perbuatan mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.73
e. Bermusyawarah dan tidak sombong
Merupakan prinsip dasar kepemimpinan Islam adalah
terlaksananya musyawarah sebagai sarana untuk menyelesaikan
masalah dalam kepemipinan. Dengan prinsip dasar ini akan
memunculkan sikap adil dan memberikan kebebasan berfikir kepada
semua pihak dalam lingkup kepemipinannya. Oleh karena itu
pemimpin Islam bukanlah kepemipinan tirani yang mengabaikan
proses koordinasi. Namun bermusyawarah dengan pihak terkait yang
dilaksanakan secara terbuka dan obyektif dengan menjunjung tinggi
rasa saling menghormati merupakan prinsip yang harus
dipertahankan. Dengan melaksanakan prinsip musyawarah ini akan
menghasilkan keputusan yang lebih adil seadil-adilnya, karena
melalui prinsip ini akan mampu menciptakan kebebasan berfikir,
menciptakan keterbukaan dan kebesaran hati untuk saling menerima
adanya pertukaran gagasan yang sehat dan bebas, walaupun,
kemungkinan munculnya saling kritik dan saling menasihati satu
sama lain sedemikian rupa. Akibat menggunakan prinsip inilah maka
para pengikut atau para bawahan merasa senang mendiskusikan
persoalan yang menjadi kepentingan dan tujuan bersama.
f. Disiplin, konsisten, dan konsekuen
Disiplin, konsisten, dan konsekuen merupakan ciri
kepemimpinan dalam Islam. Sikap dan sifat ini tentunya akan
diwujudkan dalm semua tindakan atau perbuatan dalam
melaksanakan kepemiminannya, ia akan selalu memegang janji,
ucapan dan perbuatannya, karena ia yakin benar bahwa Allah SWT
melihat semua apa yang diucapkan yaitu, yang ia tidak mampu
melanggarnya.
73
Al-Qur‟an dan Terjemahannya , Surat Al-Hajj (22):41
46
BAB III
GAMBARAN UMUM TEMPO
Pada tahun 1982, untuk pertama kalinya Tempo dibredel. Tempo dianggap
terlalu tajam mengkritik rezim Orde Baru dan kendaraan politiknya, Golkar. Saat
itu tengah dilangsungkan kampanye dan prosesi Pemilihan Umum. Tapi akhirnya
Tempo diperbolehkan terbit kembali setelah menandatangani semacam "janji" di
atas kertas segel dengan Ali Moertopo, Menteri Penerangan saat itu ( zaman
Soeharto ada Departemen Penerangan yang fungsinya, antara lain mengontrol
pers).1
Makin sempurna mekanisme internal keredaksian Tempo, makin
mengental semangat jurnalisme investigasinya. Maka makin tajam pula daya
kritik Tempo terhadap pemerintahan Soeharto yang sudah sedemikian melumut.
Puncaknya, pada 21 Juni 1994. Untuk kedua kalinya Tempo dibredel oleh
pemerintah, melalui Menteri Penerangan Harmoko. Tempo dinilai terlalu keras
mengkritik Habibie dan Soeharto ihwal pembelian kapal kapal bekas dari Jerman
Timur.2
Selepas Soeharto lengser pada Mei 1998, mereka yang pernah bekerja di
Tempo dan tercerai berai akibat bredel- berembuk ulang. Mereka bicara ihwal
perlu-tidaknya majalah Tempo terbit kembali. Hasilnya, Tempo harus terbit
kembali. Maka, sejak 12 Oktober 1998, majalah Tempo hadir kembali.3
Menurut Geonawan (Pemimpin Redaksi saat itu) karena kata ini mudah
diucapkan, terutama oleh para pengecer. Cocok pula dengan sifat sebuah media
berkala yang jarak terbitnya longgar yakni mingguan. Mungkin juga karena dekat
dengan nama majalah berita terbitan Amerika Serikat, Time, sekaligus sambil
berolok-olok yang sudah terkenal. Edisi perdana majalah Tempo terbit pada 6
Maret 1971.4
1 Tempo Media Group, “Sejarah Tempo”, artikel ini diakes pada 8 Oktober pukul 00.26
WIB dari https://korporat.Tempo.co/tentang/sejarah 2 Tempo Media Group, “Sejarah Tempo”, artikel ini diakes pada 8 Oktober pukul 00.26
WIB dari https://korporat.Tempo.co/tentang/sejarah 3 Tempo Media Group, “Sejarah Tempo”, artikel ini diakes pada 8 Oktober pukul 00.26
WIB dari https://korporat.Tempo.co/tentang/sejarah 4 Ahamad Algifari, Analisis Semiotika Terhadap Foto Habitus Habib Karya Dwianto
Wibowo Pada Majalah Tempo Edisi 13-19 September 2010, skripsi S1 Fakultas Ilmu Dakwah dan
Ilmu Komunikasi UIN Jakarta, 2017, h.50
47
Untuk meningkatkan skala dan kemampuan penetrasi ke bisnis dunia
media, maka pada tahun 2001, PT. Arsa Raya Perdana go public dan mengubah
namanya menjadi PT Tempo Inti Media Tbk. (Perseroan) sebagai penerbit majalah
Tempo yang baru. Dana dari hasil go public dipakai untuk menerbitkan Koran
Tempo yang berkompetisi di media harian.5
Saat ini, produk-produk Tempo terus muncul dan memperkaya industri
informasi korporat dari berbagai bidang, yaitu penerbitan ( majalah Tempo, Koran
Tempo, Koran Tempo Makassar, Tempo English, Travelounge, Komunika, dan
Aha! Aku Tahu), Digital (Tempo.co, Data dan Riset (Pusat Data dan Analisa
Tempo), Percetakan (Temprint), Penyiaran (Tempo TV dan Tempo Channel),
Industri Kreatif (Matair Rumah Kreatif), Event Organizer (Impressario dan
Tempo Komunitas), Perdagangan (Temprint Inti Niaga), dan Building
Management (Temprint Graha Delapan).6
Dalam sebuah media yang besar, tentu terdapat visi dan misi yang akan
meningkatkan kinerja dan profesionalisme lembaga tersebut. Visi majalah Tempo
sendiri adalah menjadi acuan dalam usaha meningkatkan kebebasan publik untuk
berpikir dan berpendapat serta membangun peradaban yang menghargai
kecerdasan dan perbedaan. Sedangkan misi majalah Tempo adalah menghasilkan
produk multimedia yang independen dan bebas dari segala tekanan dengan
menampung dan menyalurkan secara adil suara yang berbeda-beda, menghasilkan
produk multimedia bermutu tinggi dan berpegang pada kode etik, menjadi tempat
kerja yang sehat dan menyejahterakan serta mencerminkan keragaman Indonesia,
memiliki proses kerja yang menghargai dan memberi nilai tambah kepada semua
pemangku kepentingan, menjadi lahan kegiatan yang memperkaya khazanah
artistik, intelektual, dan dunia bisnis melalui pengingkatan ide-ide baru, bahasa,
dan tampilan visual yang baik, menjadi pemimpin pasar dalam bisnis multemedia
dan pendukungnya.7
5 Tempo Media Group, “Sejarah Tempo”, artikel ini diakes pada 8 Oktober pukul 00.26
WIB dari https://korporat.Tempo.co/tentang/sejarah 6 Tempo Media Group, “Sejarah Tempo”, artikel ini diakes pada 8 Oktober pukul 00.26
WIB dari https://korporat.Tempo.co/tentang/sejarah 7 Tempo Media Group, “Sejarah Tempo”, artikel ini diakes pada 8 Oktober pukul 00.29
WIB dari https://korporat.Tempo.co/tentang/visi
48
Visi dan misi yang telah diterapkan oleh seluruh awak media dalam
keredaksian majalah Tempo, lantas tidak membebaskan Tempo dari isu miring
yang membuat kepercayaan Tempo di kalangan masyarakat sedikit goyah. Seperti
isu tiga tahun lalu yang mengabarkan bahwa Tempo dilaporkan atas berita bohong
dan fitnah terhadap salah satu organisasi masyarakat. Arif (Pemimpin Redaksi
kala itu) pun angkat bicara bahwa Tempo selalu melaksanakan kerja jurnalistik
yang profesional, data selalu dicek dan diverifikasi berulang-ulang, serta sudah
sesuai dengan kode etik pers yang tercantum dalam Undang-Undang Pers. Semua
yang diamanatkan telah dipenuhi oleh Tempo.8
Dalam pengamatan peneliti, majalah Tempo merupakan majalah berita
yang cepat dalam memberitakan suatu isu. Bahkan bisa dibilang media-media
online tidak sedikit berkiblat dari isu yang dimunculkan oleh situs Tempo.
Terutama dalam perkembangan isu politik nasional, tak tanggung-tanggung dalam
situs online, Tempo memberitakan isu tersebut dalam beberapa sudut pandang di
dalam satu hari penerbitan. Tempo juga selalu cover both side dalam penyajian
narasumber, sehingga berita yang dimuat dalam Tempo tidak berat sebelah atau
berpihak ke satu sisi saja. Tak heran hingga kini Tempo menjadi situs berita yang
bisa dibilang banyak dikunjungi dalam dunia cyber.
Untuk mengetahui susunan redaksi majalah Tempo, dapat dilihat pada
lampiran.9
8Artikel ini diakses pada 6 November 2018 pukul 22.27 WIB dari
https://nasional.kompas.com/read/2015/07/11/16344751/Dituding.Buat.Berita.Bohong.Ini.Koment
ar.Pemred.Tempo.. 9 Tempo Media Group, “Kelompok Tempo Media”, artikel ini diakes pada 7 Oktober pukul
23.53 WIB dari https://www.Tempo.co/about
50
dua orang pria memakai atasan putih polos. Pria pertama adalah Presiden Joko
Widodo (Jokowi) yang sedang melilitkan serban putih di kepalanya dan pria
kedua merupakan ilustrasi pria hitam beserban dan bergamis putih yang sedang
membawa megafon. Di bagian tengah bawah sampul terdapat judul besar “JOKO
ROYO-ROYO”, kemudian ditambah pada bagian bawah judul yaitu
“dipersepsikan tak disokong pemilih muslim, Jokowi intensif mendekati ulama,
sebagian tokoh umat lalu berbalik arah”.
Terkait isu Pilpres 2019, pada edisi ini selain menyajikan ilustrasi pada
sampul majalah yang sepertinya tampak menampilkan sosok Jokowi, Tempo juga
memuat empat judul Laporan Utama yang membahas isu tersebut. Tentu dalam
sebuah media cetak majalah, laporan utama menjadi bagian yang penting
layaknya headline pada media cetak surat kabar.
Pada penelitian ini, peneliti menemukan penandaan yang mengacu pada
kajian semiotik menurut Peirce yaitu penekanan pada logika dan filosofi dari
tanda-tanda yang ada di masyarakat. Yang dimaksud “tanda” ini sangat luas,
Peirce membedakan tanda atas lambang (symbol), ikon (icon), dan indeks (index),
maka peneliti akan mengklasifikasi penandaan pada ilustrasi berdasarkan
perbedaan yang disebutkan oleh Perice tersebut:
Tabel 4.1
Tanda-tanda dalam ilustrasi berdasarkan Klasifikasi Symbol
Klasifikasi Tanda Kode Keterangan
Symbol
Pria pertama (kiri) A Sosok Presiden Joko Widodo (Jokowi)
Pria hitam (kanan) B
Warna hitam merupakan warna
misterius yang dihubungkan dengan
ketidaktahuan.
Pria hitam beserban dan bergamis
merupakan simbol ketokohan muslim
yang identitasnya disamarkan.
Serban putih C
Warna putih memiliki makna
kesucian. Di Indonesia warna putih
identik dengan Islam.
51
Menurut KBBI, serban adalah kain
ikat kepala yang lebar (yang dipakai
oleh orang Arab, haji, dan
sebagainya), sedangkan di Indonesia
serban identik dengan atribut yang
dikenakan oleh tokoh Islam seperti
ulama.
Gamis putih D
Warna putih memiliki makna
kesucian. Di Indonesia warna putih
identik dengan Islam.
Menurut KBBI, gamis adalah baju
yang panjangnya semata kaki atau
lebih menyerupai kemeja dengan
potongan longgar. Di Indonesia, gamis
identik dengan atribut yang biasa
dikenakan oleh tokoh Islam seperti
ulama.
Megafon E
Menurut KBBI, megafon adalah alat
berbentuk corong untuk mengeraskan
suara dan mengatur arah suara itu.
Di Indonesia, dalam konsteks politik,
megafon identik dengan adanya aksi
massa, dimana aksi massa adalah
tempat menyampaikan aspirasi agar
didengar oleh masyarakat luas.
Dari tabel 4.1 di atas, simbol warna hitam pada ilustrasi merujuk pada
identitas tokoh pria yang disamarkan. Simbol warna putih pada tanda serban dan
gamis di Indonesia diidentikan dengan Islam, karena berdasarkan hadits Nabi
yang berbunyi, ”Ath-thahuuru syatrul iimaan…” (HR. Ahmad, Muslim, dan
Tirmidzi) ”Bersuci [thaharah] itu setengah daripada iman…”. Selain itu, warna
putih juga identik dengan pakaian agamis, seperti pendapat desainer Restu
52
Anggraini yang mengatakan bahwa baju Lebaran warna putih selalu ramai dipakai
saat Lebaran. Bahkan menurutnya baju Lebaran warna putih menjadi item fashion
yang wajib dimiliki di Hari Raya.95
Contoh lain, yaitu pada saat melaksanakan
ibadah Haji, seluruh umat muslim diwajibkan berihram, yang mana kain ihram itu
berwarna putih. Serban dan gamis sebagai simbol ketokohan muslim, berdasarkan
sejarah penyebaran agama Islam di Indonesia, delapan dari sembilan wali yang
dikenal dengan sebutan Walisongo identik mengenakan serban, yaitu Sunan
Gresik, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan
Gunungjati, Sunan Muria dan Sunan Drajat. Kemudian berdasarkan beberapa
ulama di Indonesia seperti Habib Rizieq Shihab, Habib Umar bin Hafidz Yaman,
dan Ustadz Tengku Zulkarnain juga identik mengenakan serban.
Tabel 4.2
Tanda-tanda dalam ilustrasi berdasarkan Klasifikasi Icon
Klasifikasi Tanda Kode Keterangan
Icon
Pria pertama (kiri) A Menunjukkan sosok pemimpin atau
sosok yang memiliki kepemimpinan
Pria kedua (kanan) B
Menunjukkan sosok pria yang
memiliki kesetaraan dengan sosok pria
disampingnya.
Serban putih C Menunjukkan benda yang disebut
serban.
Gamis putih D Menunjukkan benda berupa pakaian
yang disebut gamis.
Megafon E Menunjukkan benda yang berupa alat
pengeras suara.
Judul Sampul
“Joko Royo-royo” F
Di Indonesia, kata “joko” merujuk
pada nama orang.
Kata “ijo royo-royo” merujuk pada
warna hijau. Dalam sampul majalah
ini, warna hijau menjadi warna latar
95
https://wolipop.detik.com/hijab-update/d-3529053/baju-lebaran-warna-putih-masih-tren-
atau-sudah-kuno-ini-kata-desainer Diakses pada 25 Februari pukul 21.30 WIB
53
belakang sampul yang diasumsikan
mengarah pada teks judul sampul
“Joko Royo-royo”, yang mana “ijo”
seringkali disematkan pada “ijo royo-
royo”.
Dari tabel 4.2 di atas, penjelasan warna hijau pada latar belakang sampul
sebenarnya ingin menegaskan pada pemaknaan “Joko Royo-royo”, karena kata
“Joko” dipadukan dengan idiom “Ijo Royo-royo”, sehingga menjadi “Joko Royo-
royo”. Kata “Joko” merujuk pada sosok seorang Presiden Jokowi di Indonesia.
Pemenggalan nama panggilan “Joko” yang sebenarnya tidak familiar untuk
masyarakat Indonesia dibandingkan dengan pemenggalan nama panggilan
“Jokowi”, karena tampaknya Tempo memilih kata “Joko” sebagai sebuah fungsi
estetika dalam sastra dengan menggunakan rima yang sama berakhiran –o pada
judul sampul.
Tabel 4.3
Tanda-tanda dalam ilustrasi berdasarkan Klasifikasi Index
Klasifikasi Tanda Kode Keterangan
Index
Pria pertama
beserban dan
berbaju putih
sambil melilitkan
serban ke kepala
(kiri)
A, C
Menunjukkan sosok kepemimpinan
Jokowi yang tampaknya memiliki sisi
religius dengan mengenakan atasan
berwarna putih dan serban di kepala.
Pria hitam
beserban dan
bergamis putih
sambil membawa
megafon (kanan)
B, D, E
Menunjukkan sosok yang memiliki
sisi kesolehan seseorang dalam agama.
Ilustrasi pria hitam yang membawa
megafon ini juga merujuk pada
kelompok Islam yang pernah
melakukan aksi.
Judul Sampul F Melalui keterkaitan makna dengan
54
“Joko Royo-royo” istilah “ijo royo-royo”, dalam konteks
politik, maka “ijo royo-royo”
mengarah pada suatu kekuatan politik
yang bersifat merujuk pada kekuatan
Islam.
Dari tabel 4.3 di atas, Index pria pertama merujuk pada sosok
kepemimpinan Jokowi yang tampak religius. Dalam hal ini, Tempo tampak ingin
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan dalam sosok kepemimpinan Jokowi yang
sekarang dengan yang dulu. Terlebih dulu sempat beredar di masyarakat
mengenai isu kepemimpinan Jokowi yang disebut anti-Islam. Melalui ilustrasi ini,
dapat diasumsikan bahwa isu tersebut tidak benar dan kini Jokowi menunjukkan
bahwa Jokowi merupakan pemimpin yang religius. Indeks pria hitam dengan
atribut muslim dengan megafon tersebut tidak merujuk pada satu tokoh atau orang
tertentu, tapi melalui penggambaran fisik indeks tersebut merujuk pada sosok
yang disamarkan. Icon megafon yang ada dalam indeks tersebut menegaskan
bahwa tokoh yang disamarkan ini merupakan sosok dalam kelompok Islam yang
pernah melakukan aksi. Aksi yang dilakukan oleh umat Islam terbesar yang
pernah terjadi adalah Aksi 212. Aksi 212 adalah aksi yang tidak sedikit
melibatkan masyarakat muslim hingga ulama-ulama yang menyalurkan aspirasi
mereka secara besar-besaran terkait penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok.
Indeks kata “Joko Royo-royo” pada sampul, berasal dari kata “royo-royo” yang
biasa disematkan mengikuti kata “ijo royo-royo” yang berarti tumbuh subur dan
berkembang dengan daunnya hijau segar penuh keteduhan. Namun, apabila dilihat
dalam konteks politik, setelah Pemilu 1992 politik di Indonesia diisi dengan
kekuatan Islam. Seperti halnya banyak anggota ICMI (Ikatan Cendikiawan
Muslim Indonesia) yang menjadi menteri dalam kabinet saat itu. Di kalangan
militer pun, muncul sayap petinggi yang menampakkan kedekatan pada Islam,
seperti Jenderal Hartono, Jenderal Feisal Tanjung, Syarwan Hamid, dan Prabowo
Subianto. Hartono memiliki kedekatan khusus dengan putri pertama Soeharto, Siti
Hardianti Rukmana (Tutut), dalam kiprah politik saat itu. Tutut yang mulanya
asyik membangun kerajaan bisnis, kemudian mengenakan simbol Islam, yakni
55
kerudung, dalam berpolitik. Gerakan Islamisasi yang dilakukan Soeharto tersebut
kemudian dikenal dengan istilah “ijo royo-royo”. Maka istilah “ijo royo-royo”
selalu merujuk pada kekuatan politik Islam, sehingga merujuk pada kelompok
dengan identitas keagamaan, dalam hal ini adalah kelompok Islam.96
96
https://www.jitunews.com/read/59361/berpeci-dan-gunakan-gelar-haji-jadi-trigger-barat-
jatuhkan-soeharto Diakses pada 27 Februari pukul 19.59 WIB
56
BAB V
PEMBAHASAN
Melalui ketiga klasifikasi tanda-tanda pada bab sebelumnya, yaitu Symbol,
Icon, dan Index, tampak Tempo ingin mencoba mengkonstruksi sebuah makna
melalui tanda-tanda yang terdapat pada ilustrasi sampul majalah edisi ini. Tempo
ingin memunculkan sebuah makna tentang sosok pemimpin yang religius atau
dalam pemimpin yang pro Islam. Untuk itu, Tempo menggunakan strategi
pengemasan tanda dengan cara menggunakan ikon-ikon, simbol-simbol dan
indeks yang merujuk pada komunitas muslim, seperti serban, gamis, megafon,
latar warna hijau pada sampul dan teks pada judul. Makna yang dimunculkan oleh
Tempo paling kuat ditunjukkan oleh teks “JOKO ROYO-ROYO” yang terdapat
pada judul, karena teks tersebut diletakkan di tengah halaman dengan ukuran yang
cukup besar, serta menggunakan tinta berwarna hitam yang kontras dengan warna
ikon-ikon di belakangnya yang berwarna putih. Sehingga pembaca dapat dengan
mudah tertuju pada teks tersebut.
Konstruksi makna dalam sebuah media massa, tidak hanya ingin menarik
perhatian pembaca atau konsumen, tapi juga ingin menciptakan sebuah ideologi,
sehingga media tampak ingin menggiring opini pembaca ke dalam sebuah opini
tertentu terkait suatu isu yang diangkat dalam sebuah produk yang dihasilkan oleh
media.
Seperti yang dikatakan oleh Udi Rusadi bahwa ideologi yang ada dalam
media bisa merupakan proses reproduksi dari ideologi yang ada dan bisa juga
merupakan sebuah pertarungan ideologi kepentingan baik politik, ekonomi
maupun kultural. Melalui ilustrasi yang disajikan oleh Tempo, muncul asumsi
bahwa Tempo ingin menampilkan kepentingan politik pada satu partai tertentu,
karena hanya terlihat satu kandidat yang ditampilkan dalam ilustrasi ini.
Merujuk pada penjelasan klasifikasi Index pada tabel 4.3, teks “JOKO
ROYO-ROYO” sebagai indeks tampak menggantikan istilah “ijo royo-royo” yang
bermakna tumbuh subur dan berkembang. Tempo menggunakan fungsi estetika
penulisan rima, sehingga kata “Joko” berdiri sebagai pengganti kata “Ijo”. Tempo
57
tampak ingin menunjukkan bahwa Jokowi ingin melakukan gerakan
“penghijauan” dalam politik, “penghijauan” yang dimaksud adalah adanya strategi
politik yang tidak jauh berbeda dengan masa akhir orde baru, dimana kala itu
muncul istilah “ijo royo-royo” karena politik di Indonesia diisi dengan kekuatan
Islam.
Fakta yang terjadi saat ini, tampak Jokowi mulai melibatkan tokoh-tokoh
Islam yang tidak sedikit, agar pemerintahan Jokowi kelak dapat mewakili
masyarakat muslim. Tentu strategi ini cukup menjanjikan karena Indonesia berisi
mayoritas masyarakat muslim. Selain Indonesia berisi mayoritas masyarakat
muslim, faktor agama juga memang menjadi faktor yang paling berpengaruh.
Berdasarkan pada data Poltracking bulan Februari tahun 2018 dalam laporan
utama majalah Tempo edisi 4 Agustus 2018 dicantumkan bahwa faktor agama
menduduki posisi pertama faktor yang paling berpengaruh dalam memilih calon
presiden dengan persentase sebesar 58,5%1. Tak dapat dipungkiri jika Jokowi
akan mengisi kepemerintahannya dengan tokoh-tokoh muslim, karena faktor
agama masih menjadi peringkat teratas bagi masyarakat Indonesia. Ini yang
nantinya diharapkan oleh Jokowi dan timnya agar mendapat banyak hak pilih dari
masyarakat muslim untuk beralih memilih Jokowi.
Selain makna dari teks judul tersebut, usaha Jokowi untuk menjadi
pemimpin yang pro terhadap umat juga terlihat dari konstruksi tanda yang
dilakukan oleh Tempo dalam klasifikasi icon, merujuk penjelasan klasifikasi Icon
pada tabel 4.2, tanda pria hitam beserban dan bergamis menggambarkan simbol
ketokohan muslim yang identitasnya disamarkan. Kemudian tanda serban dan
gamis putih juga menunjukkan sisi kesolehan dan tingkat keagamaan seseorang,
ditambah makna warna putih yaitu suci, dan tanda megafon yang menunjukkan
adanya aksi massa. Melalui keterangan yang merujuk penjelasan klasifikasi Icon
pada tabel 4.2, muncul keterkaitan keterangan dalam tanda-tanda yang merujuk
penjelasan klasifikasi Index pada tabel 4.3 yaitu klasifikasi indeks, maka
penggambaran sosok pria hitam beserban dan bergamis putih yang sedang
memegang megafon memiliki makna bahwa tokoh yang disamarkan ini
merupakan sosok dalam kelompok Islam yang pernah melakukan aksi.
1 https://majalah.Tempo.co/read/155924/survei-membuktikan Diakses pada 27 Januari
pukul 21.04 WIB
58
Hal tersebut diperkuat oleh keterangan serban dan gamis yang merujuk
penjelasan klasifikasi Symbol pada tabel 4.1, yaitu pemakaian serban dan gamis di
Indonesia merupakan simbol ketokohan muslim, dan identik dengan atribut yang
dikenakan oleh ulama, seperti kutipan Ketum PKB Muhaimin Iskandar (Cak
Imin) dalam detik.com yang mengatakan bahwa di Nahdlatul Ulama, mereka yang
mengenakan serban sudah masuk kategori senior.2 Dapat dikatakan bahwa serban
merupakan atribut yang cukup memiliki nilai tertentu di kalangan masyarakat,
bahkan level kyai pun dikatakan sungkan untuk mengenakan atribut tersebut.
Pemakaian serban justru lebih indentik dengan atribut yang dikenakan oleh ulama.
Selain itu, dapat dilihat pula bahwa pemakaian serban memang bukan
menjadi budaya muslim Indonesia seperti halnya budaya muslim Arab. Hal ini
terjadi kemungkinan karena pemakaian serban sendiri merupakan suatu hal yang
sunnah. Seperti kutipan dalam muslim.or.id yang menyebutkan bahwa para ulama
berbeda pendapat mengenai hukum pemakaian serban, apakah mubah saja
ataukah sunnah. sebagian ulama menyatakan hukumnya sunnah, dalam rangka
meneladani Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam.3 Maka tampak bahwa pemakaian
serban bukan merupakan suatu hal yang wajib, hal itu yang kemudian membuat
tidak semua muslim di Indonesia memakai serban, melainkan hanya beberapa saja
dan biasanya para ulama yang memakai serban tersebut. Berdasarkan penjelasan
tersebut, tampaknya Tempo dengan tegas ingin mengatakan bahwa sosok pria
hitam yang disamarkan identitas biologisnya itu merupakan perwujudan dari
sosok tokoh Islam.
Lalu keterangan tanda megafon yang merujuk penjelasan klasifikasi
Symbol pada tabel 4.1, megafon menunjukkan adanya aksi massa. Terkait aksi
massa yang menunjukkan adanya kekuatan Islam adalah Aksi 212. Aksi 212
adalah aksi yang tidak sedikit melibatkan masyarakat muslim hingga ulama-ulama
yang menyalurkan aspirasi mereka secara besar-besaran terkait penistaan agama
yang dilakukan oleh Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Seperti yang dikutip dalam
Tribunnews.com, bahwa Aksi 212 merupakan aksi damai umat Islam atau Aksi
2 https://news.detik.com/berita/4127979/cak-imin-bandingkan-tradisi-berserban-di-nu-
dengan-fpi Diakses paa 28 Januari pukul 17.00 WIB 3 https://muslim.or.id/21115-memakai-sorban-disunnahkan.html Diakses pada 28 Januari
pukul 17.39 WIB
59
Bela umat Islam yang kemudian melahirkan istilah Reuni Akbar 212 (2
Desember).4 Berdasarkan ilustrasi sosok pria hitam muslim yang membawa
megafon tersebut, tampak Tempo ingin menggambarkan bahwa sosok pria yang
disamarkan tersebut merupakan tokoh muslim atau bahkan ulama yang tergabung
ke dalam Aksi 212.
Jokowi dinilai tidak pro dengan Aksi 212 dan dalam pemberitaan di
beberapa media pasca Aksi 212, banyak yang berasumsi bahwa Jokowi tidak pro
dengan kelompok 212 yang identik dengan muslim. Untuk itu, peneliti melihat
bahwa cara Tempo mengkonstruksi dengan menyandingkan Jokowi dengan tokoh
Islam yang tampak merupakan demonstran 212 itu untuk melihat bahwa Jokowi
dan kelompok 212 itu tidak beseberangan.
Penggambaran Tempo dengan menyandingkan Jokowi bersama dengan
tokoh Islam yang tampak merupakan demonstran 212 itu karena banyak yang
mengatakan bahwa Jokowi merupakan pemimpin yang anti-ulama. Hal itu
bermula akibat rasa kecewa para demonstran terhadap Jokowi yang tidak hadir
dalam demonstrasi pada 4 November 2016. Kemudian berlanjut dengan Aksi Bela
Islam Jilid 2 yang digelar pada 2 Desember 2017 atau disebut Aksi 212. Pada aksi
tersebut banyak sekali ulama yang hadir, namun kedatangan ulama-ulama dan
demonstran lainnya itu justru ditolak oleh pihak istana, maka semakin
memperkuat kampanye hitam terhadap Jokowi bahwa Jokowi merupakan
pemimpin yang anti-ulama. Kampanye hitam menurut Hafied adalah kampanye
yang dilakukan oleh suatu pihak untuk menyerang lawannya dengan meniup isu
bohong, informasi yang sengaja diedarkan lebih banyak bohongnya daripada
benarnya. Kampanye hitam terhadap Jokowi yang muncul dan berkembang di
masyarakat, di antaranya, yaitu; isu berbau agama seperti anti-Islam, anti-ulama,
hingga isu berbau komunis seperti Jokowi diisukan sebagai salah satu pejuang
PKI. Faktor lain yang yang menyebabkan kampanye hitam tersebut santer akibat
muncul isu yang mengatakan bahwa Aksi 212 malah diisukan menjadi upaya
makar oleh beberapa pihak dalam pemerintahan Jokowi, seperti pendapat Ustaz
Felix Siauw dalam SindoNews.com, bahwa ketika umat Islam menuntut keadilan
melalui Aksi Bela Islam karena Alquran dinista, kepolisian dan aparat berwenang
4 http://www.tribunnews.com/nasional/2018/12/04/enam-perbedaan-aksi-212-di-era-
gubernur-ahok-dan-anies-baswedan Diakses pada 31 Januari pukul 16.39 WIB
60
lainnya malah menuding upaya makar. Felix juga menambahkan bahwa akan
wajar apabila orang merasa jika penguasa merupakan sosok yang anti-Islam.5
Dengan demikian, tampak bahwa ketika Tempo mengkonstruksi penandaan dalam
ilustrasi Jokowi seakan-akan berpakaian seperti ulama, sebenarnya Tempo ingin
mengklarifikasi bahwa Jokowi tidak memiliki hubungan yang baik dengan ulama.
Selain untuk mengklarifikasi bahwa terdapat ketidakharmonisan di antara
Jokowi dan sosok demonstrasn 212 tersebut, Tempo juga inign menunjukkan
bahwa Jokowi kini tampak memberi batasan bahwa Jokowi bukan lagi sosok yang
disandingkan dengan Ahok, yang mana berdasarkan pembahasan sebelumnya,
Ahok memicu citra negatif terhadap Jokowi hingga memunculkan stigma bahwa
Jokowi anti-Islam. Untuk itu, Jokowi digambarkan sedang mengenakan kemeja
putih, bukan kemeja kotak-kotak, seperti apa yang diketahui pada masa Pilgub
2012, Jokowi bersama timnya memiliki ciri khas dengan kemeja kotak-kotak
berwarna biru, merah, dan putih. Namun, pada ilustrasi tersebut Tempo tidak
menyimbolkan Jokowi dengan kemeja tersebut, melainkan dengan kemeja putih.
Penggambaran Tempo terhadap sosok Jokowi yang tampak religius itu,
diperkuat dengan realitas yang menandakan bahwa Jokowi merupakan pemimpin
yang pro umat, ditandai dengan usaha-usaha Jokowi terkait umat Islam, kemudian
peneliti mengkategorikan usaha-usaha Jokowi ke dalam terminologi dan ciri
pemimpin dalam Islam, yaitu:
Jokowi kini mendekati kelompok muslim untuk menghapus istilah kata
“musuh” dengan ulama-ulama. Realitas yang ada yaitu Jokowi menggaet Ma‟ruf
Amin sebagai wakillnya dan kini Jokowi lebih sering mengunjungi pesantren-
pesantren. Seperti kutipan Zainul pada salah satu laporan utama majalah Tempo
edisi 4 Agustus 2018 dengan judul Pindah Haluan Kawan Sejalan, bahwa
Jokowi sempat berpesan agar Zainul membantunya mendekati ulama anti-
pemerintah. Zainul juga menambahkan bahwa Zainul siap untuk menjembatani
Jokowi dengan kelompok yang berseberangan dengan pemerintah. Melalui
laporan utama yang dimuat oleh Tempo pada edisi ini, terdapat kesinambungan
antara makna ilsutrasi sampul dengan isi laporan utama, tampak Tempo ingin
mengatakan bahwa Jokowi kini memang tengah mendekati kelompok muslim
5 https://nasional.sindonews.com/read/1203662/12/ustaz-felix-siauw-ungkap-indikasi-
pemerintahan-jokowi-anti-islam-1494296485 Diakses pada 28 Januari pukul 16.33 WIB
61
khususnya para ulama yang dulu oposan terhadap dirinya dan kepemerintahannya,
seperti halnya Zainul Majdi yang merupakan salah satu pendukung gerakan 2
Desember 2016 atau yang lebih dikenal dengan sebagai aksi 212 dan juga ketua
tim pemenangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa di Nusa Tenggara Barat, kini
Zainul justru berbalik arah mendukung Jokowi. Usaha Jokowi untuk mendekati
kelompok muslim mencerminkan ciri pemimpin Islam yang disebutkan oleh
Veitzal Rivai, yaitu Tujuan Islam secara menyeluruh, yang mana pemimpin harus
mampu melihat bahwa tujuan organisasi bukan saja berdasarkan kepentingan
kelompok, apalagi kepentingan orang perorang, akan tetapi disampingkan untuk
kepentingan kelompok, orang perorangan juga dalam rangka memenuhi
kepentingan dalam lingkup yang lebih luas yaitu kepentingan Islam secara
keseluruhan. Untuk memenuhi kepentingan Islam secara keseluruhan di
Indonesia, maka Jokowi merasa harus menjalin ikatan yang baik dengan
kelompok muslim. Laporan utama dalam majalah Tempo di edisi yang diteliti ini
menunjukkan bahwa Tempo ingin menegaskan bahwa realitas yang ada adalah
benar bahwa Jokowi sedang berupaya untuk menciptakan frekuensi yang sama
dengan tokoh-tokoh ulama. Untuk itu, Tempo menyandingkan Jokowi dengan
sosok pria yang tampak merupakan demonstrasn 212 tersebut.
Selanjutnya, berdasarkan realitas yang ada Jokowi juga membuat
keputusan untuk menetapkan Perpres Hari Santri, dan mendukung ekonomi umat
Islam, dengan didirikannya 40 bank wakaf mikro di basis-masis massa Muslim
Indonesia. Usaha-usaha tersebut mencerminkan salah satu terminologi
kepemimpinan berdasarkan Al Qur‟an dan As Sunnah, yaitu Ar-Ra‟i, yang artinya
pemimpin yang senantiasa memberikan perhatian kepada ra‟iyah (rakyat)
(HR.Bukhari Muslim).
Usaha-usaha yang dilakukan Jokowi dan mencirikan kepemimpinan dalam
Islam tersebut dilakukan untuk menepis semua kampanye hitam terhadap dirinya,
seperti pendapat Jokowi pada saat diwawancarai oleh Detik.com, Jokowi
mengatakan bahwa Jokowi masih berumur empat tahun, sehingga tidak mungkin
menjadi aktivis PKI. Jokowi juga menepis bahwa dirinya bermusuhan dengan
62
ulama, karena tiap minggu Jokowi berkunjung ke pondok pesantren.6 Yang mana
berdasarkan sejarah Indonesia, PKI merupakan partai yang bermusuhan dengan
umat Islam. Oleh karena itu dalam konteks ini, pilihan gambar ilustrasi yang
digunakan oleh Tempo justru ingin menunjukkan bahwa Jokowi terlepas dari isu-
isu dalam kampanye hitam.
Menjelang Pilpres 2019 seperti ini, tentu semua kandidat ingin terlihat
baik di mata masyarakat. Mengacu pada pendapat Goffman dalam buku Deddy
Mulyana mengenai Kampanye Politik sebagai Teater, yaitu ketika manusia
berinteraksi dengan sesamanya, ia ingin “mengelola” kesan yang ia harapkan
tumbuh pada orang lain terhadapnya. Untuk itu, setiap orang melakukan
“pertunjukan” bagi orang lain. Kehidupan diibaratkan teater, interaksi sosial di
atas pangung yang menampilkan peran-peran yang dimainkan para aktor.
Seringkali sang aktor melakukan pengelolaan kesan (impression management) itu
tanpa sadar, namun adakalanya di mata orang lain, atau demi kepentingan
finansial atau politik tertentu. Ada satu penjelasan terkait pengelolaan diri tersebut
yang disebut dengan pengelolaan citra-diri, berdasarkan pendapat Deddy Mulyana
dalam buku Komunikasi Politik Politik Komunikasi, yaitu dalam dunia politik,
terutama yang melibatkan elite politik, pengelolaan kesan ini lebih dominan. Pada
zaman Orde Baru, misalnya, sebagian pejabat sipil dan militer mengenakan peci
dan serban (menjadi kyai dadakan) ketika melakukan kunjungan silaturahmi ke
pesantren-pesantren, menjelang pemilu, untuk memperoleh dukungan politik (bagi
Golkar). Untuk itu, cara Tempo menggambarkan sosok Jokowi dalam ilsutrasi
sebenarnya ingin membalikan wacana sebelumnya, bahwa kini Jokowi merupakan
sosok pemimpin yang memiliki citra positif dan Tempo juga ingin mengatakan
bahwa menjelang Pilpres 2019 Jokowi sedang menjalankan peran sebagai
pemimpin yang pro umat (Islam). Tampak tujuan Jokowi tak hanya ingin
memberikan kesan yang sesuai dengan keinginan kelompok muslim, namun
Jokowi juga ingin meraih dukungan besar dari kelompok muslim.
Analisis yang digunakan pada penelitian ini yaitu analisis semiotika visual,
karena berdasarkan pendapat Sumbo tentang semiotika visual yaitu ilmu yang
mempelajari konsep komunikasi dan ungkapan daya kreatif, yang diaplikasikan
6 https://news.detik.com/berita-jawa-tengah/d-4265652/jokowi-waspadai-4-isu-ini-jelang-
pilpres-2019 Diakses pada 28 Januari pukul 16.59 WIB
63
dalam berbagai media komunikasi visual dengan mengolah elemen desain grafis
yang terdiri atas gambar (ilustrasi), huruf dan tipografi, warna, komposisi, dan
layout yang berguna untuk menyampaikan pesan kepada konsumen. Dalam
sampul majalah ini terdapat ilustrasi, dimana Tempo membuat ilustrasi
sedemikian rupa yang berisikan tanda dan makna yang nantinya dapat menjadi
sebuah pesan.
Di dalam ilustrasi sampul majalah Tempo juga berisikan unsur tipografi
dengan warna yang dikonstruk sedemikian rupa pada bagian judul, sehingga
Tempo mengharapkan pembaca dapat fokus tertuju pada judul yang disajikan oleh
Tempo di tiap edisi. Sama seperti edisi yang diteliti kali ini, Tempo tampak
menjadikan judul menjadi fokus utama dalam ilustrasi yang disajikan.
Berdasarkan pemamparan unsur-unsur yang terdapat pada kajian semiotika
visual, maka menjadi sesuai apabila semiotika visual digunakan untuk
menganalisis penelitian ini. Untuk itu dalam penelitian ini diuraikan makna yang
terdapat dalam sampul tersebut melalui pembagian suatu tanda yang terdapat pada
gambar ke dalam klasifikasi berdasarkan kajian semiotik menurut Peirce yaitu
penekanan pada logika dan filosofi dari tanda-tanda yang ada di masyarakat. Yang
dimaksud “tanda” ini sangat luas, Peirce membedakan tanda atas lambang
(symbol), ikon (icon), dan indeks (index).
Merujuk pada pendapat dari Ellen McCracken yang menjelaskan bahwa
fungsi dari sampul majalah yaitu untuk membantu apa yang dibangun majalah
tersebut dengan melekatkan definisi awal melalui judul majalah, berita utama, dan
foto atau ilustrasi. Maka melalui ilustrasi pada edisi ini, Tempo ingin menjalankan
fungsi sampul majalah dengan baik. Tampak dari kesinambungan antara ilustrasi,
berita utama dan judul pada sampul yang memiliki benang merah antara satu
dengan yang lain. Benang merah ini lah yang kemudian dapat ditarik untuk
menyimpulkan sebuah makna besar dari ilsutrasi ini. Maka makna yang ingin
disampaikan oleh Tempo melalui ilustrasi majalah pada edisi 6 – 12 Agustus 2018
adalah sosok Jokowi merupakan sosok pemimpin yang pro umat, terlihat dari
peran yang dimainkan oleh Jokowi sebagai sosok pemimpin yang pro umat
(Islam) melalui kesinambungan antara tanda-tanda yang muncul pada ilustrasi
dengan realitas yang ada di masyarakat. Maka Tempo sebenarnya ingin merespon
64
adanya perubahan isu terhadap sosok kepemimpinan Jokowi yang dulu diisukan
sebagai pemimpin anti-Islam dan kini menjadi pemimpin yang pro umat (Islam).
Berdasarkan pendapat Foucault yang memandang bahwa ada keterkaitan
makna yang diungkapkan dari sebuah teks dengan kekuasaan dan pengetahuan,
dalam konteks ini, melalui bahasa (teks dan gambar) yang dipakai oleh Tempo,
Tempo sebagai media mencoba untuk mendominasi cara berpikir pembaca
terhadap makna sosok kepemimpinan Jokowi yang ingin dibentuk oleh Tempo.
Sehingga dapat dikatakan, kekuatan makna berada pada visual yang terdapat pada
tanda-tanda yang ditampilkan, dan ideologi media mempunyai peran besar untuk
menggiring opini publik.
65
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan analisis peneliti pada ilustrasi sampul majalah Tempo edisi
6 – 12 Agustus 2018 dengan dengan menggunakan analisis semiotika Charles
Sanders Peirce. Peneliti mengklasifikasi tanda atas lambang (symbol), ikon
(icon), dan indeks (index). Peneliti menemukan benang merah dari ketiga
klasifikasi tersebut, dimana keterangan dari tiap tanda dari klasifikasi satu dan
yang lainnya memiliki kesinambungan dan menghasilkan makna. Selain itu,
peneliti juga mendapati bahwa Tempo telah menciptakan ideologi terhadap
sosok Jokowi terkait isu Pilpres 2019, terlihat dari adanya kesinambungan
antara ilustrasi sampul depan majalah dengan laporan utama yang ada di
dalam majalah tersebut.
Maka makna yang ingin disampaikan oleh Tempo melalui ilustrasi
majalah pada edisi 6 – 12 Agustus 2018 adalah sosok Jokowi merupakan
sosok pemimpin yang pro umat, terlihat dari peran yang dimainkan oleh
Jokowi sebagai sosok pemimpin yang pro umat (Islam) melalui
kesinambungan antara tanda-tanda yang muncul pada ilustrasi dengan realitas
yang ada di masyarakat. Maka Tempo sebenarnya ingin merespon adanya
perubahan isu terhadap sosok kepemimpinan Jokowi yang dulu diisukan
sebagai pemimpin anti-Islam dan kini menjadi pemimpin yang pro umat
(Islam).
B. Saran
1. Untuk media massa pada umumnya dan Majalah Tempo khususnya,
sebagai media massa dimana yang mempunyai fungsi menyalurkan
informasi dan sebagai kontrol sosial, diharapkan dapat mempertahankan
atau lebih memberikan inovasi serta relevansi dalam membuat ilustrasi-
ilustrasi yang melibatkan seorang sosok maupun tokoh menjadi sebuah
sampul majalah, sehingga dapat memberikan kesinambungan antara
sampul majalah dan isi berita, sehingga tidak dapat memicu multitafsir
terhadap para khalayak pembaca.
66
2. Khalayak juga diharapkan dapat menjadi pembaca yang cerdas dan kritis
dalam melihat sebuah ilustrasi pada produk yang dihasilkan oleh media.
Sebab, tidak sedikit media yang memiliki kepentingan, sehingga media
menciptakan ideologi yang berasal dari realitas sosial dan kultur.
67
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Amir Piliang, Yasraf. Semiotika dan Hypersemiotika: Kode , Gaya, dan Matinya
Makna. Bandung: Matahri Pustaka, 2012.
Bachtiar, Wardi. Metodologi Penulisan Ilmu Dakwah. Jakarta: Logos, 1997.
Bogdan dan Biklen, Qualitative and Research for Education, an Introduction to
Theory and Methods. Boston: Allyn and Bacon. Inc, 1982.
Budiman, Kris. Semiotika Visual; Konsep, Isu, dan Problem Ikonisitas.
Yogyakarta: Jalasutra, 2011.
Bungin, Burhan. Metodologi Penelitian Kualitatif, cetakan ke 3. Jakarta: PT Raja
Grafindo.
Bungin, Burhan. Sosiologi Komunikasi. Jakarta: Kencana, 2009.
Cangara, Hafied. Komunikasi Politik, Konsep, Teori, dan Strategi. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2016.
De Angelis, Barbara. Self Confidence: Percaya Diri Sumber Kesuksesan dan
Kemandirian. Jakarta: Gramedia Pustaka, 1997.
Djoko, Rachmat dan Pradopo. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan
Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995.Fiske, John. Pengantar
Ilmu Komunikasi, Penerj. Hapsari Dwiningtyas. Jakarta: PT Rajagrafindo
Persada, 2014.
Eco, Umberto. A Theory of Semiotics. Bloomington: Indiana University Press,
1979.
Fiske, John. Pengantar Ilmu Komunikasi, Penerj. Hapsari Dwiningtyas, (Jakarta:
PT. Rajagrafindo Persada, 2014.
Foucault, Michel. Order of Thing, Arkeologi Ilmu-Ilmu Kemanusiaan.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.
Hall, Stuart. The Work of Representation in Stuart Hall (ed.) Representation:
Cultural Representations and Signifying Practices. London: Sage
Productions, 1997.
Kartono, Kartini. Pemimpin dan Kepemimpinan, Apakah Pemimpin Abnormal
Itu?. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001.
68
Krisyangtono, Rachmat. Teknis Praktis Riset Komunikasi; Disertai Contoh
Praktis Riset Media, Public Relations, Advertising, Komunikasi
Organisasi, Komunikasi Pemasaran, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2006.
Kunto, Prosedur Penulisan Suatu Pendekatan Praktek.
Kusrianto, Adi. Pengantar Desain Komunikasi Visual. Yogyakarta: Penerbit
Andi, 2009.
Kutha Ratna, Nyoman. Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2004.
McQuail, Denis. McQuail’s Mass Communications Theory. 6th Edition.
Amsterdam: Sage Publications, 2010.
Morrish, John. Magazine Editing. New York: Routledge, 1996.
Muhammad Thahhan, Musthafa. Model kepemimpinan dalam amal islami.
Jakarta: Robbani Press, 1985.
Mulkanasir. Kepemimpinan Dakwah. Ciputat: Dakwah Press, 2015.
Mulyana, Deddy. Komunikasi Politik Politik Komunikasi, Membedah Visi dan
Gaya Komunikasi Praktisi Politik. Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2013.
Nasrullah, Rulli. Khalayak Media, Identitas, Ideologi, dan Perilaku pada Era
Digital. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2018.
Nimmo, Dan. Komunikasi Politik, Komunikator, Pesan, dan Media,
diterjemahkan oleh Tjun Surjaman. Bandung: Remadja Karya, 1989.
Nur Wahid, Hidayat. Mengelola Masa Transisi menuju masyarakat madani.
Ciputat: Fikri, 2004.
Parwito, Penelitian Komunikasi Kualitatif.
Rolnicki, Tom E., et, al., Pengantar Dasar Jurnalistik (Scholastic Journalism).
Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008.
Rusadi, M.S., Udi. Kajian Media Isu Ideologis dalam Perspektif, Teori dan
Metode. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2015.
Santana K, Septiawan. Jurnalisme KonTemporer. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2005.
Sobur, Alex. Semiotika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006.
69
Sugiono, Metode Penelitian Kualitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta,
2008.
Suryawati, Indah. Jurnalistik Suatu Pengantar Teori dan Praktik. Bogor: Ghalia
Indonesia, 2011.
Syamsul M. Romli, Asep. Jurnalistik Praktis. Bandung: PT. Rosdakarya, 2004.
Tamburaka, Apriadi. Literasi Media Cerdas Bermedia Khalayak Media Massa.
Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2013.
Takwin, Bagus. Akar-akar Ideologi, Pengantar Kajian Konsep Ideologi dari
Plato Hingga Bordieu. Yogyakarta: Jalasutra, 2003.
Tholhah Hasan, Muhammad. Islam & Masalah Sumber Daya Manusia. Jakarta:
Lantabora Press, 2005.
Tinarbuko, Sumbo. Semiotika Komunikasi Visual. Yogyakarta: Jalasutra, 2008.
Wardhani, Diah. Media Relation, Sarana Pembangunan Reputasi Organisasi.
Jakarta: Graham Ilmu, 2008.
Yunus, Syarifudin. Jurnalistik Terapan. Ghalia Indonesia, 2010.
Jurnal
Acan Mahdi, Berita Sebagai Representasi Ideologi Media (Sebuah Telaah Kritis),
Jurnal Online Mahasiswa Bidang Ilmu Dakwah IAIN Pontianak, Vol. 9
No. 2 2015.
Ahmad Muttaqin, Ideologi dan Keberpihakkan Media Massa, Jurnal Online
Dosen Bidang Ilmu Dakwah dan Komunikasi STAIN Purwokerto, Vol. 5
No. 2 Juli-Desember 2011.
Retno Dyah Kusumastuti dan Marselin Diana, Analisis Semiotika Pada Cover
Majalah Tempo Edisi Tanggal 23 Februari-1 Maret 2015, Jurnal Online
Mahasiswa Bidang Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UPN, Vol. 10 No. 2 2016.
Umi Halwati, Konstruksi Publikasi Nilai-Nilai Ideologi Dalam Pers (Media
Massa), Jurnal Online Dosen Bidang Ilmu Dakwah dan Komunikasi Islam
STAIN Purwokerto, Vol. 2 No. 1 Januari-Juni 2014.
Yohanna Amanda, Citra Perempuan dalam Sampul Majalah Popular pada
No.310 Edisi November 2013, Jurnal Online Mahasiswa Bidang Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik UNRI, Vol. 1 No. 2 Februari 2015.
70
Skripsi
Angga Satria Perkasa, Representasi Calon Gubernur DKI Jakarta Pada Ilustrasi
Sampul Majalah Tempo Tahun 2016-2017, skripsi S1 Fakultas Ilmu
Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Jakarta, 2017.
Athifa Rahmah, Perbandingan Makna Korupsi Pada Ilustrasi Sampul Antara
Majalah Gatra dan Tempo Tahun 2013, Skripsi Mahasiswa bidang Ilmu
Dakwah dan Ilmu Komunikasi Konsentrasi Jurnalistik UIN Jakarta
September 2014.
Ahamad Algifari, Analisis Semiotika Terhadapt Foto Habitus Habib Karya
Dwianto Wibowo Pada Majalah Tempo Edisi 13-19 September 2010,
skripsi S1 Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Jakarta,
2017.
Artikel
Artikel diakses pada 2 Januari 2018 pukul 00.08 WIB dari
http://www.transiskom.com/2016/03/pengertian-studi-kepustakaan.html
Tempo Media Group, “Kelompok Tempo Media”, artikel ini diakes pada 7
Oktober pukul 23.53 WIB dari https://www.Tempo.co/about\
Tempo Media Group, “Sejarah Tempo”, artikel ini diakes pada 8 Oktober pukul
00.26 WIB dari https://korporat.Tempo.co/tentang/sejarah
Artikel ini diakses pada 6 November 2018 pukul 22.27 WIB dari
https://nasional.kompas.com/read/2015/07/11/16344751/Dituding.Buat.Be
rita.Bohong.Ini.Komentar.Pemred.Tempo..
Artikel ini diakses pada 27 Januari 2018 pukul 21.04 WIB dari
https://majalah.Tempo.co/read/155924/survei-membuktikan
Artikel ini diakses pada 27 Januari 2018 pukul 23.01 WIB dari
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-43797796
Artikel ini diakses pada 28 Januari 2018 pukul 16.33 WIB dari
https://nasional.sindonews.com/read/1203662/12/ustaz-felix-siauw-
ungkap-indikasi-pemerintahan-jokowi-anti-islam-1494296485
71
Artikel ini diakses pada 28 Januari 2018 pukul 16.35 WIB dari
https://nasional.sindonews.com/read/1203646/13/ustaz-felix-sayangkan-
aksi-bela-islam-dibalas-pembubaran-hti-1494293651
Artikel ini diakses pada 28 Januari 2018 pukul 16.59 WIB dari
https://news.detik.com/berita-jawa-tengah/d-4265652/jokowi-waspadai-4-
isu-ini-jelang-pilpres-2019
Artikel ini diakses pada 28 Januari 2018 pukul 17.00 WIB dari
https://news.detik.com/berita/4127979/cak-imin-bandingkan-tradisi-
berserban-di-nu-dengan-fpi
Artikel ini diakses pada 28 Januari 2018 pukul 17.39 WIB dari
https://muslim.or.id/21115-memakai-sorban-disunnahkan.html
Artikel ini diakses pada 29 Januari 2018 pukul 12.54 WIB dari
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20161205091436-20-
177377/menghitung-jumlah-peserta-aksi212-di-jantung-jakarta
Artikel ini diakses pada 25 Februari pukul 21.30 WIB dari
https://wolipop.detik.com/hijab-update/d-3529053/baju-lebaran-warna-
putih-masih-tren-atau-sudah-kuno-ini-kata-desainer
Lain-lain
Achmad Basuki, Makna Warna dalam Desain, Presentasi Online Mahasiswa
Politeknik Elektronika Negeri Surabaya
Al-Qur‟an dan Terjemahannya , Surat Al-Hajj (22):41
72
LAMPIRAN
Susunan Redaksional Majalah Tempo
1. Pemimpin Redaksi Arif Zulkifli
2. Redaktur Eksekutif Setri Yarsa
3. Nasional Dan Hukum:
- Redaktur Pelaksana Bagja Hidayat
- Redaktur Utama Anton Aprianto
- Redaktur Abdul Manan, Anton Septian, Rusman
Paraqbueq
- Staf Redaksi I Wayang Agus Purnomo, Syailendra
Persada, Linda Novi Trianita
4. Ekonomi Dan Media:
- Redaktur Pelaksana Yangdhri Arvian
- Staf Redaksi Khairul Anam, Praga Utama
5. Investigasi
- Redaktur Mustafa Silalahi, Stefanus Teguh Edi
Pramono
- Staf Redaksi Erwan Hermawan, Istman Muhtarom
6. Internasional
- Redaktur Pelaksana Kurniawan
- Redaktur Mahardika Satria Hadi
73
7. Seni & Intermezo
- Redaktur Pelaksana Seno Joko Suyono
- Redaktur Utama Nurdin Kalim
- Staf Redaksi Moyang Kasih Dewi Merdeka, Prihandoko
8. Sains, Sport & Kolom
- Redaktur Pelaksana Yos Rizal Suriaji
- Redaktur Utama Firman Atmakusuma
- Redaktur Irfan Budiman
- Staf Redaksi Gabriel Wahyu Titiyoga, Nur Haryangto,
Indra Wijaya
9. Gaya Hidup
- Redaktur Pelaksana Sapto Yunus
- Redaktur Reza Maulana
- Staf Redaksi Raymundus Rikang Rw, Nur Alfiyah