32
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KAJIAN TEORI, DAN KERANGKA BERPIKIR A. Tinjauan Pustaka Penelitian mengenai pendekatan semiotik pada naskah dan nilai pendidikan karakter kurang diminati dalam penelitian-penelitian sebelumnya. Kebanyakan penelitian yang telah ada kurang spesifik dalam menganalisis maupun mengkaji nilai pendidikan karakter dan pendekatan semiotik. Sebagian besar penelitian hanya mengkaji mengenai nilai pendidikan maupun semiotiknya saja. Adapun penelitian mengenai nilai pendidikan karakter Jawa masih jarang ditemukan, karena sebagian besar penelitian yang ada hanya mengkaji mengenai nilai pendidikan karakter secara umum belum mengkhususkan pada suatu karakter. Penelitian mengenai nilai pendidikan karakter, sangat baik jika direlevansikan dengan pengajaran. Karena dengan merelevansikan nilai pendidikan karakter dalam pengajaran dan proses pembelajaran, dapat membantu proses pembentukan karakter siswa menjadi lebih baik. Namun penelitian yang menggabungkan ketiga aspek tersebut masih dirasa kurang. Penelitian yang dianggap masih relevan dengan penelitian ini adalah penelitian Wardoyo (2005), dalam penelitiannya yang berjudul Dover Beach: Semiotics In Theory And Practice menyatakan bahwa semiotik pada teori dan praktiknya dapat diaplikasikan pada sebuah puisi. Hal tersebut sangat bermanfaat dalam menginterpretasikan teks puisi. Dengan menggunakan teori semiotik, pembaca puisi akan mudah menemukan suasana yang dramatis, memahami

MAKNA SIMBOLIK DAN NILAI PENDIDIKAN KARAKTER JAWA

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: MAKNA SIMBOLIK DAN NILAI PENDIDIKAN KARAKTER JAWA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, KAJIAN TEORI, DAN

KERANGKA BERPIKIR

A. Tinjauan Pustaka

Penelitian mengenai pendekatan semiotik pada naskah dan nilai

pendidikan karakter kurang diminati dalam penelitian-penelitian sebelumnya.

Kebanyakan penelitian yang telah ada kurang spesifik dalam menganalisis

maupun mengkaji nilai pendidikan karakter dan pendekatan semiotik. Sebagian

besar penelitian hanya mengkaji mengenai nilai pendidikan maupun semiotiknya

saja. Adapun penelitian mengenai nilai pendidikan karakter Jawa masih jarang

ditemukan, karena sebagian besar penelitian yang ada hanya mengkaji mengenai

nilai pendidikan karakter secara umum belum mengkhususkan pada suatu

karakter. Penelitian mengenai nilai pendidikan karakter, sangat baik jika

direlevansikan dengan pengajaran. Karena dengan merelevansikan nilai

pendidikan karakter dalam pengajaran dan proses pembelajaran, dapat membantu

proses pembentukan karakter siswa menjadi lebih baik. Namun penelitian yang

menggabungkan ketiga aspek tersebut masih dirasa kurang.

Penelitian yang dianggap masih relevan dengan penelitian ini adalah

penelitian Wardoyo (2005), dalam penelitiannya yang berjudul Dover Beach:

Semiotics In Theory And Practice menyatakan bahwa semiotik pada teori dan

praktiknya dapat diaplikasikan pada sebuah puisi. Hal tersebut sangat bermanfaat

dalam menginterpretasikan teks puisi. Dengan menggunakan teori semiotik,

pembaca puisi akan mudah menemukan suasana yang dramatis, memahami

Page 2: MAKNA SIMBOLIK DAN NILAI PENDIDIKAN KARAKTER JAWA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

13

intertekstual dalam membaca puisi, serta memudahkan pemahaman interpretasi

dalam membaca puisi. Kesamaan dengan penelitian ini adalah sama-sama

membahas sebuah objek menggunakan pendekatan semiotik dengan kajian sebuah

puisi. Namun yang membedakan adalah objek kajiannya. Dalam penelitian

Wardoyo menggunakan puisi berbahasa Inggris dengan judul Dover Beach,

sedangkan dalam penelitian ini objek kajiannya berupa puisi Jawa lama yang

terdapat dalam Sêrat Safingi. Meskipun sama-sama menggunakan pendekatan

semiotik dalam penelitiannya, namun kajian yang diterapkan berbeda. Wardoyo

mengambil bahan kajian mengenai semiotik yang dikupas menjadi tiga bagian

yaitu decoding situasi dramatis, intertekstualitas, dan makna konotasi dalam puisi.

Sedangkan dalam penelitian ini, kajian tidak hanya sekedar menggunakan

pendekatan semiotik namun dikhususkan pada simbol. Pendekatan semiotik

digunakan untuk mencari makna dari simbol-simbol yang terdapat dalam objek

penelitian, namun juga dicari nilai pendidikan karakter Jawa dan kemudian dicari

relevansinya dengan pengajaran Bahasa Jawa.

Penelitian Veraksa (2013) yang berjudul Symbol as a Cognitive Tool

mengungkapkan mengenai pemaknaan simbol yang tidak dapat dipisahkan dari

realita. Berbagai macam aspek simbol dapat menunjukkan sesuatu yang spesifik.

Oleh karena itu simbol merupakan sebuah alat yang spesial untuk berbagai situasi.

Hasil penelitian tersebut adalah simbol dapat digunakan sebagai alat kognitif

untuk memaknai sebuah kondisi berdasarkan pengamatan manusia. Apapun yang

terjadi di dalam hidup manusia, tidak akan lepas dari simbol-simbol terutama

dilihat dari simbol yang berkaitan dengan bahasa.

Page 3: MAKNA SIMBOLIK DAN NILAI PENDIDIKAN KARAKTER JAWA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

14

Penelitian tersebut dan penelitian ini sama-sama menggunakan simbol

sebagai kajian penelitiannya. Simbol yang digunakan dalam kedua penelitian ini

yaitu simbol yang berkaitan dengan bahasa. Yang sedikit berbeda adalah simbol

yang berkaitan dengan bahasa dalam penelitian Veraksa berasal dari hasil

pengamatan, sedangkan dalam penelitian ini simbol yang berkaitan dengan bahasa

diperoleh dari Sêrat Safingi. Hal lain yang membedakan kedua peneletian ini

adalah sumber penelitian. Penelitian Veraksa menggunakan pengamatan manusia

sebagai sumber simbol, akan tetapi dalam penelitian ini simbol-simbol diperoleh

dari susunan kata-kata dalam Sêrat Safingi. Perbedaan lainnya adalah dalam

penelitian tersebut tidak disertakan nilai-nilai pendidikan karakter. Adapun

pengaplikasian penelitiannya, pada dasarnya sama-sama diaplikasikan untuk

kehidupan sehari-hari. Tetapi dalam penelitian ini, pengaplikasiannya lebih

spesifik yaitu untuk pengajaran Bahasa Jawa selain diterapkan secara langsung

dalam kehidupan sehari-hari.

Dwiningrum (2013) dalam penelitiannya Nation’s Character Education

Based on the Social Capital Theory, mengemukakan mengenai pendidikan

karakter nasional yang berdasar pada teori sosial kapital. Penelitian tersebut

menyatakan bahwa telah terjadi degradasi karakter nasional yang dapat

berdampak pada kehidupan sosial suatu Negara yang dapat membahayakan bagi

eksistensi suatu Negara di era globalisasi sekarang ini. Perlu adanya pendidikan

karakter untuk menyelamatkan dan membangun kembali kekuatan Negara untuk

menghadapi globalisasi. Pendidikan karakter tersebut dapat diperoleh melalui

keluarga, sekolah, maupun komunitas. Pengembangan nilai-nilai kearifan lokal

Page 4: MAKNA SIMBOLIK DAN NILAI PENDIDIKAN KARAKTER JAWA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

15

dapat digunakan pula sebagai modal dasar penguatan nilai-nilai karakter.

Penelitian yang dilakukan Dwiningrum dan penelitian ini sama-sama mengkaji

mengenai pendidikan karakter yang diharapkan dapat memperkuat karakter

bangsa Indonesia. Perbedaan utama yang terdapat dalam penelitian tersebut

adalah teori yang digunakan untuk mengupas mengenai pendidikan karakter.

Dalam penelitian tersebut teori yang digunakan adalah teori sosial kapital, adapun

dalam penelitian ini teori yang digunakan adalah teori semiotik. Perbedaan

lainnya adalah Dwiningrum lebih memfokuskan penelitiannya pada pendidikan

karakter nasional, adapun penelitian ini fokus pada nilai pendidikan karakter

Jawa. Cakupan penelitian ini lebih luas dibanding dengan penelitian yang

dilakukan oleh Dwiningrum. Dalam penelitian ini, setelah diperoleh nilai

pendidikan karakter dalam objek penelitian yaitu Sêrat Safingi kemudian akan

dicari relevansinya dengan pengajaran Bahasa Jawa. Sedangkan dalam penelitian

Dwiningrum, diteliti mengenai unsur-unsur modal sosial yang diperlukan dalam

pembentukan karakter sebuah bangsa kemudian dihubungkan dengan krisis

karakter nasional.

Kourdis & Zafiri (2010) dalam Semiotics and Translation in Support of

Mother Tongue Teaching mengemukakan mengenai semiotik dan penerjemahan

yang dapat mendukung dalam pengajaran bahasa ibu. Pendekatan yang digunakan

untuk mengajar Bahasa Yunani sebagai bahasa ibu yaitu dengan menggunakan

pendekatan semiotika dan terjemahan. Kedua pendekatan tersebut, kemudian

diterapkan sebagai metode dalam pembelajaran bahasa ibu di sekolah dasar.

Dengan menggunakan pendekatan semiotika akan mempermudah siswa dalam

Page 5: MAKNA SIMBOLIK DAN NILAI PENDIDIKAN KARAKTER JAWA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

16

mempelajari dan memahami materi yang diajarkan melalui simbol-simbol baik

warna maupun tampilan grafis berupa ilustrasi-ilustrasi. Adapun metode

terjemahan digunakan sebagai pembanding antara Bahasa Yunani lama dan

Bahasa Yunani modern, untuk lebih mempermudah terhadap pemahaman

linguistik. Kedua metode tersebut diterapkan secara bersama dalam pengajaran

bahasa ibu sebagai kontribusi guru agar proses pengajaran bahasa ibu memperoleh

hasil yang lebih baik.

Kedua penelitian ini sama-sama penggunakan pendekatan semiotik yang

digunakan untuk memaknai simbol-simbol yang terdapat dalam materi

pembelajaran bahasa ibu. Kemudian dari pemaknaan terhadap simbol-simbol

tersebut akan direlevansikan dengan pengajaran bahasa ibu. Perbedaan utama

dalam penelitian ini dengan penelitian Kourdis & Zafiri adalah objek penelitian

yang digunakan, meskipun sama-sama menggunakan bahasa ibu namun bahasa

ibu yang dimaksud sangat berbeda. Bahasa ibu dalam penelitian Kourdis & Zafiri

adalah Bahasa Yunani, sedangkan dalam penelitian ini yang dimaksud bahasa ibu

adalah Bahasa Jawa. Perbedaan lainnya terletak pada kajian penelitian yang

dilakukan. Kourdis & Zafiri hanya menggunakan pendekatan semiotik kemudian

direlevansikan dengan pengajaran bahasa ibu, sedangkan penelitian ini

merelevansikan pengajaran Bahasa Jawa dengan nilai pendidikan karakter Jawa

dalam Sêrat Safingi dengan menggunakan pendekatan semiotik.

Abushihab (2012) dalam Semiotic-based Approach as an Effective Tool

for Teaching Verbal and Non-verbal Aspects of Language mengemukakan

mengenai prinsip-prinsip dasar dan wawasannya tentang semiotika, serta

Page 6: MAKNA SIMBOLIK DAN NILAI PENDIDIKAN KARAKTER JAWA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

17

aplikasinya dalam pembelajaran bahasa asing. Kesadaran guru sebagai pembelajar

bahasa asing meningkat melalui pendekatan semiotik dan bagaimana

mengaplikasikan pendekatan tersebut dalam pembelajaran. Hasil dari penelitian

tersebut adalah semiotik memiliki kontribusi sangat besar jika digunakan secara

maksimal, dampaknya dapat membuat pembelajaran bahasa asing menjadi lebih

efisien. Hal ini dikarenakan melalui pembelajaran dengan menggunakan media

tanda dalam semiotik dapat memfasilitasi siswa untuk belajar bekerjasama dan

lebih mengenal budayanya, selain itu siswa juga akan lebih menikmati

pembelajaran.

Penelitian Abushihab dan penelitian ini memiliki persamaan yaitu sama-

sama menggunakan pendekatan semiotik yang diaplikasikan dalam pembelajaran

bahasa. Perbedaan antara penelitian tersebut dengan penelitian ini adalah pada

aplikasi penerapannya. Abushihab memfokuskan penelitiannya untuk

pembelajaran bahasa asing, sedangkan dalam penelitian ini penerapannya

ditujukan untuk pembelajaran bahasa daerah yaitu Bahasa Jawa. Selain hal

tersebut, penelitian Abushihab hanya terbatas pada pendekatan semiotik yang

dihubungkan dengan pembelajaran bahasa, sedangkan penelitian ini cakupannya

lebih luas yaitu mengenai pendekatan semiotik dalam Sêrat Safingi, kemudian

dicari nilai pendidikan karakter Jawa yang terdapat di dalamnya, untuk

selanjutnya direlevansikan dengan pengajaran Bahasa Jawa.

Wijayanti dan Nurwianti (2010) dalam “Kekuatan Karakter Dan

Kebahagiaan pada Suku Jawa” mengemukakan hasil penelitiannya, bahwa

kekuatan karakter pada suku Jawa di Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta, dan

Page 7: MAKNA SIMBOLIK DAN NILAI PENDIDIKAN KARAKTER JAWA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

18

Jabodetabek mempengaruhi kebahagiaan hidup mereka. Dalam hal ini karakter

Jawa yang sangat menonjol dan berperan terhadap kebahagian orang Jawa sendiri

adalah kegigihan, kreatifitas, perspektif, keadilan, vitalitas, keingintahuan, dan

pengampunan. Sedangkan kekuatan karakter yang menonjol dalam karakter Jawa

adalah berterima kasih, kebaikan, kependudukan, keadilan, dan integritas.

Persamaan anatara penelitian Wijayanti dan Nurwianti dengan penelitian ini

adalah sama-sama menggunakan karakter Jawa sebagai bahan penelitiannya.

Namun terdapat beberapa perbedaan yang menonjol antara penelitian tersebut

dengan penelitian ini yaitu pendekatan yang digunakan serta relevansi nilai

karakter tersebut dengan pengajaran Bahasa Jawa. Secara garis besar, penelitian

Wijayanti dan Nurwianti hanya membahas mengenai karakter Jawa dan

direlevansikan dengan kebahagiaan seseorang. Namun dalam penelitian ini akan

direlevansikan mengenai nilai pendidikan karakter Jawa dengan pembelajaran

Bahasa Jawa di sekolah-sekolah, dengan menggunakan pendekatan semiotik.

Hasim dan Adi (2012) dalam “Nilai-nilai Islam dalam Teks Tembang

Macapat Karya Ranggawarsita” mengemukakan bahwa berbagai unsur

kebudayaan diantaranya etika, pandangan hidup, bahasa, religi, adat istiadat

terdapat di dalam naskah Jawa lama. Salah seorang pujangga Jawa ternama yaitu

Raden Ngabei Ranggawarsita banyak menulis teks-teks tembang yang terdapat

nilai-nilai Islam di dalamnya, yaitu tawakal, istiqomah, amanah, sabar,

bertanggung jawab, dan sebagainya. Dikemukakan pula bahwa pembelajaran

sastra Jawa dapat digunakan sebagai media pembentukan karakter seseorang.

Hasil yang diperoleh yaitu nilai-nilai Islami yang berhubungan dengan pendidikan

Page 8: MAKNA SIMBOLIK DAN NILAI PENDIDIKAN KARAKTER JAWA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

19

moral dan budi pekerti dalam hubungannya dengan diri sendiri yaitu cerdas, kerja

keras, bijaksana, sederhana, percaya diri, sabar, jujur, mawas diri, dan tidak putus

asa. Adapun nilai-nilai Islami dalam hubungannya dengan orang lain diantaranya

adil, empati, tenggang rasa, bertanggung jawab, dan aja dumèh.

Penelitian Hasim dan Adi tersebut memiliki persamaan dengan penelitian

ini yaitu sama-sama mengambil objek penelitian berupa tembang-tembang dalam

naskah Jawa lama karya R. Ng. Ranggawarsita. Namun yang membedakan adalah

dari tembang-tembang dalam naskah tersebut oleh Hasim dan Adi dicari nilai

Islami yang berhubungan dengan pendidikan moral dan budi pekerti. Sedangkan

dalam penelitian ini berdasarkan tembang-tembang dalam Sêrat Safingi dicari

nilai pendidikan karakter Jawa yang terkandung didalamnya, untuk kemudian

direlevansikan dengan pengajaran Bahasa Jawa.

B. Kajian Teori

1. Tembang Macapat

Padmosoekotjo (1956:21) mengungkapkan bahwa tembang merupakan

sesuatu hal yang cara membacanya harus dilagukan. Tembang macapat

merupakan bentuk karya sastra yang secara konvensi memiliki bentuk dan lagu

dengan aturan dan tata cara tertentu, serta lazim disebut lagu macapat. Lagu

macapat digunakan untuk membaca karya sastra yang berbentuk macapat, oleh

kerena itu sering disebut juga sebagai lagu waosan (Suparno, 2013:1). Macapat

disebut pula puisi bertembang karena ditembangkan atau dilagukan berdasar

Page 9: MAKNA SIMBOLIK DAN NILAI PENDIDIKAN KARAKTER JAWA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

20

pada susunan titilaras atau notasi yang sesuai dengan pola metrumnya

(Prabowo, 2007:163)

Sejarah macapat dimulai pada zaman Majapahit akhir, dimana pengaruh

budaya Hindu semakin berkurang dan mulai munculnya pengaruh Islam. Hal

ini dibuktikan dengan munculnya tembang-tembang macapat yang diciptakan

oleh Walisanga. Misalnya tembang dhandhanggula yang diciptakan oleh

Sunan Kalijaga, asmarandana dan pocung diciptakan oleh Sunan Giri, dan

tembang pangkur yang diciptakan oleh Sunan Drajat (Sutardjo, 2006:16).

Tembang macapat juga disebut sebagai tembang cilik, yang terdiri dari

11 (sebelas) tembang yaitu mijil, maskumambang, sinom, durma,

asmarandana, kinanthi, dhandhanggula, gambuh, pangkur, megatruh, dan

pocung (Padmosoekatja, 1956:31). Soetardjo (2006:17) menjelaskan bahwa

tembang-tembang macapat tersebut secara filosofis memiliki makna perjalanan

hidup manusia dimulai sejak lahir sampai meninggal.

Mijil merupakan simbol kelahiran seorang anak yang sifatnya prihatin

karena menyambut kelahiran seorang anak dan terdapat perasaan senang

karena putra yang diidamkan telah lahir. Tembang kedua adalah maskumbang

yang merupakan simbol dari masa kanak-kanak.yang hanya diisi dengan

bermain-main dan bersenang-senang. Adapun watak tembang tersebut adalah

prihatin dan sedih, hal ini dikarenakan pada masa tersebut orangtua dipenuhi

dengan perasaan khawatir dan was-was (Sutardjo, 2011:34).

Sinom merupakan simbol dimana seseorang sedang melalui masa

pertumbuhan alami dalam lingkungan kekeluargaan dan dalam proses

Page 10: MAKNA SIMBOLIK DAN NILAI PENDIDIKAN KARAKTER JAWA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

21

menginjak masa remaja atau masa muda (enom) (Rama, 2007:39). Watak

tembang sinom cenderung digambarkan canthas „terlihat gagah‟ dan ethes

„lincah‟. Oleh karena itu sangat cocok digunakan untuk memberikan petuah

maupun sebagai penutup sebuah karangan. Tembang berikutnya adalah

asmarandana, yang merupakan gambaran dimana seorang remaja mulai

mengenal asmara. Oleh karena itu pada masa tersebut seseorang cenderung

merasakan berbagai situasi perasaan, sehingga watak tembang tersebut adalah

prihatin, sedih, dan kasmaran (Mardimin, 1991:154)

Tembang kinanthi merupakan gambaran dari masa pada saat hidup

berumah tangga yang bersifat senang, kasih sayang dan bersatu. Berikutnya

adalah dhandhanggula yang merupakan gambaran kehidupan awal berumah

tangga yang memiliki sifat manis seperti gula atau menyenangkan. Tembang

kedelapan adalah durma sebagai gambaran dari masa dimana seseorang

memasuki masa tuanya, sehingga tembang ini memiliki sifat pemberani dan

memiliki semangat tinggi (Sutardjo, 2011:39).

Gambuh merupakan gambaran dimana seseorang telah memasuki masa

yang semakin matang baik lahir maupun batin. Hal ini disesuaikan dengan

semakin matangnya usia seseorang. Watak tembang ini adalah persaudaraan

dan sangat cocok digunakan untuk memberi petuah atau nasehat (Mardimin,

1991:155). Tembang kesembilan adalah pangkur yang merupakan gambaran

dari perjalanan hidup manusia yang mulai memasuki masa lanjut usia dan

sudah mulai mengesampingkan urusan duniawi dan lebih mempersiapkan diri

untuk menghadap Tuhan (Sutardjo, 2011:36). Tembang tersebut memiliki

Page 11: MAKNA SIMBOLIK DAN NILAI PENDIDIKAN KARAKTER JAWA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

22

watak penuh semangat dan memiliki greget sehingga cocok pula untuk

memberikan petuah (Mardimin, 1991:155).

Tembang kesepuluh yaitu megatruh yang berkeyakinan bahwa hidup ini

kuat karena Allah dan bahagia karena keyakinan inna lillahi wa inna ilaihi

roji’un „semua makhluk akan kembali kepada Allah‟ (Rama, 2007:41).

Tembang tersebut digambarkan sebagai masa dimana terpisahnya antara roh

dengan jasad. Adapun watak tembang tersebut adalah sedih, prihatin, dan

kecewa. Tembang yang terakhir adalah pocung yang merupakan gambaran

akhir dari perjalanan hidup manusia di dunia yaitu setelah meninggal akan

dipocong atau dipakaikan kain kafan. Watak tembang ini cenderung

sembarangan atau seenaknya sendiri. Karena dalam kondisi seperti itu,

manusia sudah tidak ingat apa-apa dan tidak dapat berbuat apa-apa lagi

(Sutardjo, 2006:18-19). Kesebelas tembang macapat tersebut mengandung

petuah supaya manusia menyadari sepenuhnya bahwa kehidupan ini hanyalah

bersifat semantara. Oleh karena itu perlu mempersiapkan diri sejak dini untuk

menuju kehidupan berikutnya.

Tembang-tembang macapat tersebut lazimnya ditulis dalam satu pupuh

atau bait dan nama tembang di tuliskan langsung di atas cakêpan atau liriknya.

Akan tetapi tembang macapat yang ditulis lebih dari satu pupuh seperti yang

tertulis dalam naskah Jawa, penulisan nama tembang tidak ditulis secara jelas

namun dengan menggunakan sasmita. Sasmita tembang menurut Prabowo

(2007:268) adalah kata maupun gabungan kata yang digunakan sebagai

pralambang atau penanda nama tembang. Sasmita tembang di awal pupuh

Page 12: MAKNA SIMBOLIK DAN NILAI PENDIDIKAN KARAKTER JAWA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

23

berfungsi sebagai penunjuk nama tembang dalam pupuh tersebut. Adapun

sasmita tembang yang terletak pada akhir pupuh, menunjukkan nama tembang

pada pupuh berikutnya. Kata-kata yang digunakan sebagai sasmita tembang

macapat dalam Padmosokotjo (1956:58) diantaranya adalah mijil (wijil, mêtu,

sulastri); maskumambang (kumambang, kentir, timbul); sinom (srinata, anom,

taruna); durma (mundur dan galak); asmarandana (asmara, kingkin, brangti);

kinanthi (kanthi dan gandheng); dhandhanggula (sarkara, manis, guladrawa);

gambuh (embuh, jumbuh, kambuh); pangkur (wuri, wuntat, tutwuri);

megatruh (pegat, duduk, truh) dan pocung (kluwak dan ancung).

Ciri-ciri tembang macapat menurut Prabowo (2007:164) yaitu setiap bait

atau pupuh memiliki jumlah tertentu dan setiap larik atau gatra berakhir

dengan guru lagu (asonansi) tertentu. Padmosoekotjo (1958:35) menjelaskan

mengenai penulisan pada dalam tembang yang terdiri dari beberapa gatra

(baris). Awal pupuh ditandai dengan adanya purwapada (§bC §), sedangkan

pupuh yang terletak di tengah-tengah menggunakan tanda yang disebut dengan

madyapada (§!F` §), dan pada akhir pupuh digunakan wasanapada

(§I§).

Sebuah tembang macapat memiliki guru gatra, guru lagu, dan guru

wilangan sebagai pedoman. Guru gatra adalah jumlah baris atau gatra dalam

setiap tembang. Setiap tembang memiliki jumlah gatra yang sudah baku,

misalnya tembang maskumambang ber-guru gatra 5, kinanthi ber-guru gatra

6, durma ber-guru gatra 7, dan sebagainya (Soetardjo, 2011:23). Guru lagu

menurut Prabowo (2007:110) merupakan pola selang-seling vokal akhir setiap

Page 13: MAKNA SIMBOLIK DAN NILAI PENDIDIKAN KARAKTER JAWA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

24

larik pada suku kata tembang macapat atau dengan kata lain persajakan akhir.

Guru lagu sering pula disebut dengan dhong-dhing, misalnya guru lagu pada

tembang asmarandana yaitu i, a, e, a, a, u, a. Guru wilangan adalah jumlah

wanda atau suku kata pada setiap gatra tembang. Misalnya guru wilangan

pada tembang dhandhanggula yaitu 10, 10, 8, 7, 9, 7, 6, 8, 12, 7

(Padmosoekotjo, 1958:23).

Masing-masing tembang memiliki perbedaan jumlah guru gatra, lagu,

dan guru wilangan sebagai ciri khas yang membedakan antara tembang yang

satu dengan lainnya. Hal ini dikarenakan tidak ada tembang yang memiliki

guru gatra, lagu, dan guru wilangan yang sama. Perbedaan di dalam tembang

macapat tersebut oleh Suparno disajikan dalam tabel berikut (2013:2-3).

Tabel 1. Guru gatra, guru lagu, dan guru wilangan dalam tembang macapat

No. Nama Tembang

Gatra ke-

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

1. Mijil 10i 6o 10e 10i 6i 6u

2. Maskumambang 12i 6a 8i 8a

3. Sinom 8a 8i 8a 8i 7i 8u 7a 8i 12a

4. Durma 12a 7i 6a 7a 8i 5a 7i

5. Asmarandana 8i 8a 8e 8a 7a 8u 8a

6. Kinanthi 8u 8i 8a 8i 8a 8i

7. Dhandhanggula 10i 10a 8e 7u 9i 7a 6u 8a 12i 7a

8. Gambuh 7u 10u 12i 8u 8o

9. Pangkur 8a 11i 8u 7a 12u 8a 8i

10. Megatruh 12u 8i 8u 8i 8o

11. Pocung 12u 6a 8i 12a

Page 14: MAKNA SIMBOLIK DAN NILAI PENDIDIKAN KARAKTER JAWA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

25

2. Pendekatan Semiotik

Cobley dan Janz dalam Ratna (2004:97) mengemukakan bahwa semiotik

secara definitif berasal dari bahasa Yunani seme yang berarti penafsir tanda.

Dapat pula berasal dari kata semeion yang berarti tanda. Secara luas semiotika

diartikan sebagai studi mengenai produksi dan interpretasi tanda, bagaimana

cara kerjanya, dan manfaatnya terhadap kehidupan manusia.

Halliday dalam Ratna (2004:98) mengemukakan bahwa semiotik

merupakan kajian umum, dimana bahasa dan sastra hanya satu bidang di

dalamnya. Namun, melalui bahasa dan sastra kajian semiotika dapat dilakukan

secara mendalam. Konsep utama dalam semiotik adalah hubungan antara

petanda dan penanda. Kedua hal tersebut bersifat arbitrer. Berdasarkan

pengertian-pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa semiotik merupakan

suatu kajian ilmu yang objeknya berupa tanda atau simbol.

Analisis karya sastra secara semiotis dapat dilakukan dengan dua tahapan

menurut Wellek dan Warren (2014), yaitu analisis intrinsik (analisis

mikrostruktur) dan analisis ekstrinsik (analisis makrostruktur). Tanda dalam

penelitian sastra salah satunya adalah bahasa. Bahasa tersebut merupakan salah

satu sistem tanda yang sangat kompleks.

Puisi maupun narasi dapat dianalisis secara semiotis dengan menentukan

fungsi, pesan, dan efeknya terhadap masyarakat luas. Dalam sastra, tanda tidak

hanya terbatas pada teks tertulis saja. Menurut Ratna (2004:112), hubungan

antara penulis, karya sastra, dan pembaca juga merupakan suatu pemahaman

mengenai tanda. Sistem tanda yang merupakan kajian nonverbal dalam naskah

Page 15: MAKNA SIMBOLIK DAN NILAI PENDIDIKAN KARAKTER JAWA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

26

diantaranya adalah kulit buku, susunan warna, tebal buku, dan tipografi tulisan.

Dalam penafsiran secara semiotis, maka tanda-tanda tersebut dihubungkan

dengan ground, denotatum, dan interpretant.

Simbolisme dalam peninggalan sejarah jawa banyak terdapat dalam

naskah maupun kitab-kitab hasil karya para pujangga baik dalam bentuk prosa

maupun berbentuk syair atau tembang (Herusatoto, 2008:189). Simbol menurut

prespektif Saussurean dalam Berger (2010:27) adalah jenis tanda dimana

hubungan antara penanda dan petanda seolah-olah bersifat arbitrer. Maksudnya

adalah sebuah simbol tidak dapat digantikan dengan simbol yang lain.

Salah satu jenis tanda yang dikemukakan oleh Berger (2010:79) adalah

tanda-tanda imajiner, yaitu tanda yang tidak berada di dunia nyata namun dapat

kita bayangkan. Dalam hal ini tanda dibagi menjadi beberapa bagian

diantaranya (1) penggambaran secara verbal yang menggunakan kata-kata

sebagai penjelas gambaran dalam angan-angan seseorang, (2) impian yang

merupakan bentuk-bentuk khayal yang muncul pada saat tidur, (3) halusinasi

yang merupakan kemampuan sistem saraf seseorang untuk memahami objek-

objek tidak nyata, dan (4) bayangan yang merupakan cara memahami sesuatu

dan bersifat supranatural (2010:79-82).

Kemampuan manusia dalam menciptakan simbol merupakan bukti

bahwa manusia telah memiliki peradaban dan kebudayaan yang tinggi bahkan

maju. Hal ini dikarenakan manusia mampu menciptakan simbol sederhana

seperti isyarat bahkan sampai simbol yang telah dimodifikasi seperti sinyal

gelombang televisi maupun radio (Sobur, 2004:43).

Page 16: MAKNA SIMBOLIK DAN NILAI PENDIDIKAN KARAKTER JAWA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

27

Langer dalam Herusatoto menjelaskan mengenai simbol yang dibedakan

mejadi dua menurut pembedaan formal dan menurut cara pemakaiannya.

Secara formal simbol dibedakan menjadi dua macam yaitu simbolisme

presentasional yang merupakan simbol dan cara penangkapannya tidak

memerlukan pemikiran matang, melainkan spontan menyampaikan apa yang

dikandungnya. Biasanya dapat ditemukan dalam alam, lukisan, tarian, dan

sebagainya. Sedangkan simbol yang kedua adalah simbolisme diskursif yang

berupa simbol dengan cara penangkapannya menggunakan pemikiran yang

matang, tidak serta merta mengungkapkan apa yang dikandungnya, melainkan

secara beraturan dan bertahap. Media yang merupakan simbolisme diskursif

adalah bahasa (2008:63). Menurut cara pemakaiannya, simbol dibedakan

menjadi bahasa, ritus, mitos dan musik. Keempat hal tersebut digunakan untuk

mengungkap arti dalam bidang lain, seperti mimpi, tingkah laku, dan angan-

angan (2008:64).

Simbol menurut Herusatoto (2008:52) dapat berupa benda atau bentuk-

bentuk, misalnya rumus-rumus maupun lambang. Namun simbol juga dapat

berupa keadaan misalnya pepatah, candra sengkala, ataupun kisah dan

dongeng.

Puisi merupakan salah satu perwujudan dari tanda. Berger menyatakan

bahwa tanda yang terpenting dalam karya sastra adalah visualisasi (2010:121).

Hal ini juga dapat diaplikasikan dalam puisi Jawa klasik yang terdapat dalam

sebuah naskah Jawa. Simbolisme dibagi menjadi beberapa jenis menurut

Herusatoto (2008:139) yaitu 1) simbolisme dalam alat-alat yang dipakai dalam

Page 17: MAKNA SIMBOLIK DAN NILAI PENDIDIKAN KARAKTER JAWA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

28

kehidupan sehari-hari orang Jawa; 2) simbolisme yang dipakai dalam

penggunaan warna; 3) simbolisme dalam bahasa sastra yang dipakai orang

Jawa misalnya penggunaan sengkalan, pepatah, perumpamaan, dan sebagainya.

Klap dalam Berger (2010:125) menyatakan bahwa identitas sebuah tanda

bukan merupakan suatu fungsi pemilikan materi setiap orang, tetapi identitas

dihubungkan dengan wujud simbolis dan cara seseorang dirasakan oleh

lainnya. Oleh karena itu, perlu ketelitian dan kebenaran seseorang dalam

menafsirkan tanda-tanda yang berupa identitas. Oleh sebab itu, simbolisme

digunakan sebagai alat untuk menguraikan dan menggambarkan sesuatu

sebagai media budaya oleh orang Jawa (Herusatoto, 2008:153).

Berdasarkan beberapa teori di atas, peneliti mengacu pada teori semiotik

Berger dan teori simbol menurut Herusatoto. Hal tersebut dikarenakan pada

teori Berger, semiotik merupakan ilmu yang mempelajari tentang tanda dimana

simbol termasuk dalam bahan kajiannya. Sedangkan dalam teori Herusatoto

simbol diterangkan lebih detail khususnya simbol-simbol dalam budaya Jawa.

Kedua teori tersebut mengungkap mengenai simbol yang akan dikaji lebih

lanjut dalam penelitian ini.

3. Sêrat Safingi

Sêrat Safingi merupakan naskah pertama dalam bendel Sêrat Iman

Kanapi sebelum naskah Sêrat Raden Hermaya. Dalam katalog naskah Girardet

dijelaskan bahwa Sêrat Iman Kanapi diawali dengan cerita kerajaan Supiyah di

bawah pemerintahan Dewi Hamarah dan diakhiri dengan cerita Pangeran dari

Ngesam (1983:46). Naskah tersebut merupakan koleksi Perpustakaan Sasana

Page 18: MAKNA SIMBOLIK DAN NILAI PENDIDIKAN KARAKTER JAWA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

29

Pustaka Keraton Surakarta dengan nomor penyimpanan KS 539.0 126Ka SMP

156/7 dan KS 539.1 126Ka SMP 156/7 (Florida, 1996:299). Namun setelah

diteliti lebih lanjut pada penelitian sebelumnya, hanya ditemukan satu buah

naskah dengan nomer penyimpanan 126Ka dalam katalog lokal perpustakaan

Sasana Pustaka Keraton Surakarta.

Naskah Sêrat Safingi berbentuk tembang macapat, yang terdiri dari 42

pupuh sebanyak 269 halaman. Naskah ini memiliki keunikan dalam penulisan

halaman yaitu pada halaman pertama ditulis dengan menggunakan huruf Arab

dan Jawa dalam satu halaman. Mulai pada halaman 2 sampai 61 ditulis secara

recto-verso (bolak-balik) dengan menggunakan angka Arab (2, 3, 4, 5,…, 61)

dan Jawa (;2;,;3;,;4;,;5;,…,;61;). Sedangkan halaman 62 sampai 135

ditulis secara recto dengan menggunakan angka Arab, dan halaman verso tidak

diberi halaman.

Pada halaman akhir naskah Sêrat Safingi dinyatakan hilang. Hal ini

dibuktikan pada bait terakhir kalimat dalam satu gatra belum tuntas, namun

sudah berganti teks lain. Selain itu pada halaman berikutnya terdapat sobekan

di ujung bawah kanan dan kiri kertas, sehingga dapat disimpulkan bahwa

bagian akhir naskah tersebut benar-benar hilang.

Naskah Sêrat Safingi merupakan naskah anonym, karena tidak ditemukan

nama pengarang atau penyalinnya. Hanya nama pemilik naskah saja yang

disebutkan di dalam cover luar dan dalam Sêrat Safingi yaitu Bandara Radèn

Ayu Adipati Sêdhah Mirah (Anonim, 1801:cover dalam). Naskah Sêrat Safingi

Page 19: MAKNA SIMBOLIK DAN NILAI PENDIDIKAN KARAKTER JAWA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

30

merupakan naskah salinan, dimana terdapat kata manurun sungging atau

menyalin pada pupuh pertama. Namun setelah dilakukan penelitian, tidak

ditemukan naskah babon atau naskah aslinya. Selain keterangan tersebut,

terdapat pula keterangan mengenai kolofon dari naskah ini yaitu Kêmis Wagè,

28 Muharam 1728 tahun Jawa dengan sêngkalan èsthi nêmbah swarèng rat,

atau Kamis Wage, 11 Juni 1801 setelah dikonversikan dalam tahun Masehi

(Anonim, 1801:1).

Secara garis besar, Sêrat Safingi berisi tentang cerita petualangan Raja

Safingi (Imam Safi‟i) dan anak lelakinya yang bernama Raden Khanafi dan

Raden Maliki. Mereka adalah rakyat biasa yang soleh dan taat beragama,

namun kemudian diangkat menjadi Raja Supiyah. Sedangkan Raden Maliki

kemudian diangkat menjadi Raja Karsinah. Dalam kehidupan pernikahan,

Raden Safingi menikah dengan dua orang istri yaitu Dewi Amarah dan Ni

Retna Kumalawati. Dari kedua istrinya tersebut masing-masing memiliki satu

orang putra. Naskah tersebut juga menggambarkan peperang antara Islam yang

melawan kekafiran dan selalu dimenangkan oleh Islam.

Ajaran mengenai Islam yang terdapat dalam Sêrat Safingi adalah

mengenai nafsu dalam diri manusia yaitu amarah, sufiyah, aluamah, dan

mutmainah. Nafsu-nafsu tersebut dijadikan sebagai nama tokoh maupun nama

tempat. Nafsu yang dijadikan sebagai nama tokoh dalam naskah ini adalah

Dewi Amarah, Maharaja Luamah, dan Dewi Mutmainah. Adapun nafsu

sufiyah digunakan sebagai nama tempat kerajaan yang menjadi seting utama

dalam Sêrat Safingi yaitu kerajaan Supiyah.

Page 20: MAKNA SIMBOLIK DAN NILAI PENDIDIKAN KARAKTER JAWA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

31

4. Pengajaran Bahasa Jawa

Pengajaran menurut Dewantara (1977:20) adalah pendidikan dengan cara

memberi ilmu atau pengetahuan, serta memberi kecakapan terhadap anak-anak,

yang keduanya dapat bermanfaat untuk kehidupan anak-anak baik lahir

maupun batin. Dalam pengajaran, seorang pengajar harus memberikan seluruh

ilmu pengetahuan baik yang bersifat umum maupun khusus. Tentunya ilmu

pengetahuan yang diberikan haruslah yang berguna bagi siswa dalam

kehidupannya (1977:164).

Bahasa merupakan alat komunikasi yang paling mendasar digunakan

oleh manusia. Bahasa yang digunakan sehari-hari pada dasarnya merupakan

bahasa yang dipakai dalam keluarga maupun lingkungan sekitar. Bahasa yang

digunakan oleh anak biasanya merupakan bahasa ibu. Dalam masyarakat Jawa,

bahasa ibu yang dimaksud adalah Bahasa Jawa. Menurut Perda Provinsi Jawa

Tengah no. 9 tahun 2012, Bahasa Jawa berfungsi sebagai sarana komunikasi

dalam keluarga dan masyarakat serta pembentuk kepribadian dan peneguh

jatidiri pada suatu masyarakat di daerah. Melihat kondisi saat ini, banyak

keluarga Jawa yang sudah tidak menggunakan bahasa ibu sebagai alat

komunikasi, namun menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-

hari. Hal ini dikarenakan lingkungan sekitarnya yang kurang mendukung

dengan menggunakan bahasa tersebut sebagai bahasa pergaulan. Tidak ada

salahnya menggunakan bahasa nasional sebagai bahasa sehari-hari, namun

perlu suatu keseimbangan dengan tetap menggunakan Bahasa Jawa sebagai

Page 21: MAKNA SIMBOLIK DAN NILAI PENDIDIKAN KARAKTER JAWA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

32

bahasa pergaulan. Jika kondisi seperti itu berlangsung terus menerus, maka

lambat laun kondisi Bahasa Jawa akan semakin memprihatinkan.

Pengajaran bahasa daerah banyak mengajarkan nilai-nilai luhur budaya

lokal suatu daerah. Dalam hal ini pengajaran bahasa yang dimaksud adalah

Bahasa Jawa. Pada Peraturan Daerah Pemerintah Provinsi Jawa Tengah nomor

4 tahun 2012, pasal 47 ayat 4 menyatakan bahwa mata pelajaran muatan lokal

adalah Bahasa Sastra dan Budaya Jawa yang diajarkan pada semua jenjang

pendidikan dan satuan pendidikan secara berdiri sendiri dengan alokasi waktu

2 (dua) jam per minggu, dievaluasi setiap semester, dan akhir jenjang

pendidikan dengan mencantumkan di rapor dan ijazah. Dalam pengajaran

bahasa perlu diperhatikan dan disampaikan keempat aspek keterampilan

berbahasa yaitu mendengarkan, berbicara, mambaca, dan menulis (Andayani,

2010:1). Oleh karena itu perlu adanya pengajaran Bahasa Jawa sebagai salah

satu upaya untuk tetap menjaga dan memelihara kelestarian bahasa dan sastra

Jawa (Perda nomor 9 tahun 2012 tentang bahasa, sastra, dan aksara Jawa; bab

I, pasal 1, ayat 8).

Proses pengajaran pada dasarnya dilakukan oleh guru dengan

menyampaikan sebuah materi terhadap siswa. Tugas guru menurut Endraswara

diantaranya adalah menyampaikan ilmu pengetahuan, menyampaikan

maklumat, menyampaikan amanat, memberi kemahiran, dan memupuk nilai-

nilai luhur (2002: 70). Seorang guru juga perlu melakukan pendekatan kepada

muridnya agar para siswa dapat mengembangkan keterampilan dan

Page 22: MAKNA SIMBOLIK DAN NILAI PENDIDIKAN KARAKTER JAWA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

33

kepribadiannya masing-masing. Hal ini dapat dilakukan selama proses

pembelajaran sedang berlangsung.

Nurhayati dalam Wibowo (2013:39) menyatakan bahwa implementasi

proses pengajaran sastra yang dapat membangun karakter siswa dibagi menjadi

beberapa cara, salah satunya yaitu dengan mengarahkan siswa untuk membaca

karya sastra kemudian mencari nilai-nilai positif dalam karya sastra untuk

kemudian diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Pada dasarnya, pelajaran bahasa sangat penting. Hal ini dikarenakan

bahasa dapat digunakan sebagai alat untuk mengekspresikan diri. Sehingga

dalam pengajaran Bahasa Jawa peran guru sangat diperlukan dalam

penyusunan materi yang matang dengan pemilihan metode yang tepat, serta

pembentukan suasana belajar yang menyenangkan. Sehingga pengajaran

bahasa memiliki kesan yang mendalam bagi siswa bukan hanya sebagai

pelajaran yang membosankan dan tidak penting (Dewantara, 1977:506).

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pengajaran

Bahasa Jawa merupakan proses mengajarkan ilmu pengetahuan mengenai

Bahasa Jawa yang dapat bermanfaat bagi kehidupan sehari-hari siswa. Baik

digunakan sebagai pembentukan karakter maupun penguatan identitas siswa.

Selain itu, dengan pengajaran Bahasa Jawa akan menambah kecintaan siswa

terhadap kebudayaan Jawa.

Page 23: MAKNA SIMBOLIK DAN NILAI PENDIDIKAN KARAKTER JAWA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

34

5. Nillai-nilai Pendidikan Karakter Jawa

a. Pendidikan Karakter

Pendidikan menurut Perda no. 4 tahun 2012 adalah usaha sadar dan

terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar

peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki

kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,

akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,

Bangsa dan Negara (bab 1, pasal 1, ayat 9). Menurut Dewantara (1977:20)

pendidikan adalah tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak.

Pendidikan menjadi tuntunan bagi segala kekuatan kodrat yang ada pada

anak-anak, agar sebagai manusia dan anggota masyarakat dapat

memperoleh keselamatan dan mencapai kebahagiaan. Sehingga dapat

disimpulkan bahwa pendidikan merupakan upaya untuk mengajarkan

tuntunan hidup melalui proses pembelajaran terhadap peserta didik, agar

dapat mengembangkan potensi dirinya sebagai langkah untuk

mempersiapkan diri terjun didalam masyarakat.

Karakter berasal dari bahasa Yunani yaitu kharakter yang berarti

memahat atau mengukir. Sedangkan dalam bahasa Latin, karakter berarti

membedakan tanda (Narwanti, 2011:1). Karakter pada dasarnya merupakan

ciri khas yang melekat pada diri seseorang yang membedakan antara orang

satu dengan lainnya. Karakter pada pribadi manusia dapat dibentuk sedini

mungkin. Dengan menanamkan nilai-nilai tertentu, dapat pula digunakan

Page 24: MAKNA SIMBOLIK DAN NILAI PENDIDIKAN KARAKTER JAWA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

35

sebagai penentu karakter seseorang selain dari karakter bawaan yang berasal

dari faktor keturunan.

Scerenko dalam Samani (2012:42) mendefinisikan karakter sebagai

ciri-ciri yang membentuk dan membedakan ciri pribadi, ciri etis, dan

kompleksitas mental dari seseorang, suatu kelompok, atau bangsa. Listyarti

(2012:3-4) membagi karakter seseorang secara teoritis menjadi tiga aspek

yaitu mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai kebaikan (loving

the good), dan melakukan kebaikan (doing the good).

Spranger dalam Dewantara (1977:26) membagi karakter menjadi 6

(enam) jenis berdasar hasrat seseorang, yaitu kekuasaan (machtsmensch),

agama (religieus mench), keindahan (kunstmensch), kegunaan (nutsmensch),

pengetahuan (wetenschaps), dan mengabdi (sociale mensch). Berdasarkan

penjabaran di atas, secara garis besar dapat disimpulkan bahwa karakter

adalah sifat bawaan seorang manusia yang sudah dibawa sejak lahir dan

merupakan sesuatu yang melekat dalam diri seseorang.

Pendidikan karakter merupakan suatu sistem penanaman nilai-nilai

karakter kepada seseorang yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran

atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut

terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun

kebangsaan. Pada dasarnya pendidikan karakter juga mencakup pembiasaan

mengenai perilaku dan kebiasaan yang baik. Dengan menanamkan hal

tersebut di sekolah, siswa dapat memahami serta merasakan dan mau

membiasakan diri untuk bersikap dan berperilaku baik.

Page 25: MAKNA SIMBOLIK DAN NILAI PENDIDIKAN KARAKTER JAWA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

36

Tujuan pendidikan karakter disebutkan dalam Pasal 40 ayat 1, Perda

no. 4 Pemerintah Provinsi Jawa Tengah tahun 2012 yaitu membentuk

bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran,

bergotong royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis, berorientasi ilmu

pengetahuan dan teknologi yang dijiwai oleh Pancasila, iman dan takwa

kepada Tuhan Yang Maha Esa. Adapun tujuan pendidikan karakter menurut

Suparlan (2012:103) adalah meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil

pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan

karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang

sesuai standar kompetensi lulusan.

Pencetus pendidikan karakter yaitu Jerman FW Foerster pada tahun

1869-1966. Beliau lebih menekankan pada proses pembentukan pribadi dari

dimensi etis-spiritual. Di beberapa negara seperti Amerika Serikat, Jepang,

Korea, dan Cina pendidikan karakter dimulai sejak pendidikan dasar.

Negara-negara tersebut beranggapan bahwa penanaman pendidikan karakter

sejak sekolah dasar menimbulkan efek positif bagi perkembangan anak ke

depan.

Indonesia saat ini juga telah melakukan suatu gerakan yang disebut

Gerakan Nasional Pendidikan Karakter (GNPK). Presiden Susilo Bambang

Yudoyono dalam Narwanti (2011:16) mengemukakan bahwa terdapat lima

hal dasar yang menjadi tujuan dari GNPK tersebut, yaitu (1) manusia

Indonesia harus bermoral, berakhlak, dan berperilaku baik; (2) bangsa

Indonesia menjadi bangsa yang cerdas dan rasional; (3) bangsa Indonesia

Page 26: MAKNA SIMBOLIK DAN NILAI PENDIDIKAN KARAKTER JAWA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

37

menjadi bangsa yang inovatif dan mengejar kemajuan serta bekerja keras

mengubah keadaan; (4) harus bisa memperkuat semangat; dan (5) manusia

Indonesia harus menjadi patriot sejati yang mencintai bangsa dan negara

serta tanah airnya.

Pendidikan karakter memiliki berbagai fungsi diantaranya adalah (a)

mengembangkan potensi dasar supaya memiliki hati, pikiran, dan perilaku

yang baik; (b) memperkuat dan membangun perilaku bangsa yang

multikultur; (c) meningkatkan peradaban bangsa yang kompetitif dalam

pergaulan dunia.

Konsep nilai-nilai pembentukan karakter sangat beragam. Nilai

pembentuk karakter yang cukup lengkap dikemukakan oleh Pusat

Kurikulum mengenai Pengembangan dan Pendidikan Budaya dan Karakter

Bangsa. Pilar nilai karakter menurut Pusat Kurikulum, Balitbang Diknas

dalam Suparlan (2012:66-67), dirumuskan sebanyak delapan belas item nilai

yang harus dikembangkan untuk membentuk karakter anak didik di

Indonesia. Nilai-nilai tersebut adalah (1) religius, (2) jujur, (3) toleransi, (4)

disiplin, (5) kerja keras, (6) kreatif, (7) mandiri, (8) demokratis, (9) rasa

ingin tahu, (10) semangat kebangsaan, (11) cinta tanah air, (12) menghargai

prestasi, (13) bersahabat atau kominikatif, (14) cinta damai, (15) gemar

membaca, (16) peduli lingkungan, (17) peduli sosial, dan (18) tanggung

jawab.

Ki Hajar Dewantara mengungkapkan pemikirannya mengenai konsep

pendidikan karakter. Ajaran Ki Hajar Dewantara yang merupakan

Page 27: MAKNA SIMBOLIK DAN NILAI PENDIDIKAN KARAKTER JAWA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

38

positioning karakter dalam pendidikan nasional (Samani dan Hariyanto,

2012:34) adalah (a) Lawan Sastra Ngesti Mulya, yang artinya dengan ilmu

manusia akan mencapai keberhasilan hidup, (b) Suci Tata Ngesti Tunggal,

artinya adalah untuk mencapai cita-cita yang mulia diperlukan kesucian

batin, kejernihan pikiran, dan kedisiplinan nasional.

Ki Hajar Dewantara menyampaikan pula tiga macam fatwa yang satu

yaitu (a) Tetep-Mantep-Antep yang maknanya adalah dalam melakukan

suatu pekerjaan hendaknya harus diiringi dengan ketetapan hati, tekun

bekerja, kemantapan hati, dan kebulatan tekat. Karena dengan ketetapan

pikiran dan kekuatan batin akan menentukan kualitas seseorang; (b)

Ngandel, Kendel, Bandel, Kandel, maksudnya adalah untuk menggapai cita-

cita harus percaya pada diri sendiri, berani menghadapi segala hal yang

merintang, teguh pendirian, kuat secara lahir-batin, serta tawakal; dan (c)

Neng-Ning-Nung-Nang, maknanya adalah kita harus memiliki sikap

meneng, wening, hanung, dan menang. Kesucian pikiran dan hati yang

diperoleh dengan ketenangan hati, akan mendatangkan kebahagiaan.

Apabila telah dicapai ketiga hal tersebut, maka kesuksesan atau kemenangan

akan kita peroleh (Dewantara, 1977:14).

Lickona (2012:82) menjabarkan mengenai karakter yang tepat bagi

pendidikan nilai yaitu karakter yang baik terdiri dari mengetahui hal yang

baik, menginginkan hal yang baik, dan melakukan hal yang baik. Pada

dasarnya karakter yang tepat diterapkan adalah yang dapat membuat

seseorang memiliki sikap dan menjadi pribadi yang lebih baik. Adapun ciri-

Page 28: MAKNA SIMBOLIK DAN NILAI PENDIDIKAN KARAKTER JAWA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

39

Komponen Karakter yang Baik

ciri karakter digambarkan oleh Lickona dalam komponen karakter yang baik

sebagai berikut (2012:84).

Bagan 1. Komponen Karakter yang Baik

Berdasarkan beberapa teori mengenai karkter dan pendidikan karakter

di atas, peneliti lebih memilih konsep pendidikan karakter menurut Ki Hajar

Dewantara sebagai acuan dalam penelitian ini. Hal ini dikarenakan konsep

pendidikan karakter Ki Hajar Dewantara mengacu pada konsep kebudayaan

Jawa, dimana akan lebih relevan dengan penelitian ini.

b. Karakter Jawa

Berdasarkan uraian pada bagian sebelumnya, dapat disimpulkan

bahwa pendidikan karakter Jawa merupakan penanaman pendidikan

karakter kepada seseorang yang berlandaskan kebudayaan Jawa. Aspek nilai

pendidikan karakter Jawa telah diungkapkan oleh Dewantara pada dasarnya

merupakan sebuah ajaran bahwa karakter seseorang terbentuk karena

pribadi orang tersebut. Oleh karena itu diperlukan kemantapan hati,

kerendahan hati, percaya pada kuasa Tuhan, terus menuntut ilmu, serta

Pengetahuan Moral

1. Kesadaran moral

2. Pengetahuan nilai

moral

3. Penentuan

perspektif

4. Pemikiran moral

5. Pengambilan

keputusan

6. Pengetahuan

pribadi

Perasaan Moral

1. Hati nurani

2. Harga diri

3. Empati

4. Mencintai hal

yang baik

5. Kendali diri

6. Kerendahan hati

Tindakan Moral

1. Kompetensi

2. Keinginan

3. Kebiasaan

Page 29: MAKNA SIMBOLIK DAN NILAI PENDIDIKAN KARAKTER JAWA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

40

ketenangan batin untuk mencapai sebuah kesuksesan dan kemuliaan lahir

maupun batin (1977:14).

Masyarakat Jawa pada masa lalu dikenal lebih banyak

bermatapencaharian sebagai petani. Karakter yang menonjol pada petani

Jawa adalah menerima keadaan yang dijalaninya sebagai nasib.

Ketidakpunyaan dan kerasnya hidup membentuk para petani memiliki sifat

yang sabar, tabah, dan pasrah (Koentjaraningrat, 1984:436).

Sikap lain yang tampak dalam diri manusia Jawa adalah prinsip yang

digunakan dalam bergaul yaitu sangat memperhatikan empan papan, lambe

ati, dan duga prayoga. Hal-hal tersebut yang kemudian membentuk

terjadinya unggah-ungguh basa dan beragam tuturan yang berkembang

dalam kehidupan sehari-hari (Djatun, 2011:14).

Cerminan karakter manusia Jawa juga tergambar melalui sifat air.

Karakter tersebut diantaranya bersih dan jernih yang melambangkan

kebersihan hati, kejernihan pikiran, serta kejujuran. Aliran air yang tidak

selalu lurus menggambarkan bahwa manusia Jawa memiliki karakter yang

luwes, kreatif, mudah beradaptasi, dan tidak mudah putus asa. Air juga

memiliki sifat selalu mengalir dari atas ke bawah. Hal tersebut

melambangkan sifat manusia yang memiliki sopan santun serta kerendahan

hati (Widodo, 2011:188). Kerendahan hati dan sopan santun juga nampak

pada tutur kata serta cara berbicara orang Jawa. Sifat tersebut dipersepsi

masyarakat sebagai sifat khas masyarakat Jawa, karena masyarakat Jawa

Page 30: MAKNA SIMBOLIK DAN NILAI PENDIDIKAN KARAKTER JAWA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

41

beranggapan bahwa sifat rendah hati merupakan sifat manusia yang luhur

(Djatun, 2011:16).

Sikap hidup manusia Jawa yang juga sangat jelas terwujud adalah etis,

estetis, spiritualis, taat pada adat-istiadat warisan leluhur, serta selalu

mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan pribadinya

(Herusatoto, 2008:130).

Perda Provinsi Jawa Tengah no. 9 tahun 2012, bab IV, pasal 7, poin c

menjelaskan bahwa fungsi bahasa, sastra, dan aksara Jawa salah satunya

adalah sebagai sarana pembentuk kepribadian dan peneguh jati diri suatu

masyarakat di daerah. Bahasa Jawa yang penuh dengan lambang

tersembunyi dalam kiasan, harus dibahas dan dikupas secara mendalam

sehingga dapat menangkap makna sebenarnya yang tersembunyi

(Herusatoto, 2008:137). Hal tersebut akan semakin memperkuat dan

mempertegas karakter Jawa seorang manusia Jawa melalui media naskah.

C. Kerangka Berpikir

Naskah Jawa carik merupakan salah satu produk kebudayaan Jawa.

Dalam berbagai jenis naskah yang ada, terdapat salah satu naskah yang diambil

untuk menjadi objek kajian penelitian yaitu Sêrat Safingi. Pengajaran Bahasa

Jawa juga merupakan salah satu bagian dari kebudayaan Jawa. Dengan

mengajarkan Bahasa Jawa, sama halnya dengan ikut melestarikan dan

menghidupkan kebudayaan Jawa yang adi luhung.

Page 31: MAKNA SIMBOLIK DAN NILAI PENDIDIKAN KARAKTER JAWA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

42

Sêrat Safingi yang pada penelitian sebelumnya telah melalui proses

deskripsi naskah dan kritik teks, pada penelitian ini langsung dilakukan

pengkajian dengan menggunakan pendekatan semiotik. Dengan pendekatan

tersebut, kemudian dicari simbol-simbol atau tanda-tanda beserta maknanya yang

terdapat di dalam naskah.

Langkah awal penelitian yaitu menerapkan pendekatan semiotik untuk

mencari simbol-simbol yang sesuai dengan teori Herusatoto untuk dapat

dilakukan pengkajian lebih lanjut. Kemudian naskah dipilah berdasarkan bait-bait

dalam pupuh atau episode maupun bagian-bagiannya untuk dipilih dan

diidentifikasi nilai pendidikan karakter Jawa yang terkandung di dalam Sêrat

Safingi. Selanjutnya pupuh-pupuh tersebut dianalisis secara mendalam untuk

mencari nilai pendidikan karakter Jawa sesuai dengan karakter Jawa yang tersurat

dalam Sêrat Safingi, untuk kemudian dibahas dengan menggunakan konsep dasar

pendidikan karakter menurut Ki Hajar Dewantara. Setelah ditemukan nilai-nilai

pendidikan karakter di dalam Sêrat Safingi, langkah selanjutnya adalah mencari

relevansi mengenai nilai pendidikan karakter Jawa dalam naskah dengan

pengajaran Bahasa Jawa baik pada tingkat SMP, maupun SMA. Ketiga hal

tersebut kemudian dihubungkan dengan pengajaran Bahasa Jawa. Dalam

pengajaran Bahasa Jawa yang menjadi acuan utama guru berasal dari standar

kompetensi yang terdapat di dalam silabus pembelajaran. Selain hal tersebut

pengajaran Bahasa Jawa juga mengacu pada fungsi dan tujuan pembelajaran

Bahasa Jawa khususnya pada kompetensi inti sikap religius dan sikap sosial.

Untuk selanjutnya, pengajaran Bahasa Jawa dihubungkan kembali dengan

Page 32: MAKNA SIMBOLIK DAN NILAI PENDIDIKAN KARAKTER JAWA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

43

kebudayaan Jawa, dimana pengajaran Bahasa Jawa termasuk di dalamnya dan

menjadi bagian yang penting sebagai salah satu upaya pelestarian budaya Jawa.

Upaya tersebut dapat dilakukan dengan mengajarkan dan memperkenalkan

kebudayaan Jawa kepada genarasi muda dalam hal ini adalah siswa.

Gambaran singkat untuk memperjelas konsep pemikiran tersebut, maka

dibuat bagan kerangka berpikir dalam penelitian ini sebagai berikut.

Pendekatan Semiotik

Bagan 2. Kerangka Berpikir

Kebudayaan

Jawa

Sêrat Safingi Nilai Pendidikan Karakter Jawa

Relevansi

Simbol

Pengajaran

Bahasa Jawa

Fungsi dan

Tujuan

Pembelajaran

Bahasa Jawa