50
Manajemen Nyeri Perioperatif Srinivas Pyati and Tong J. Gan. Department Of Anasthesiology, duke University Medical Center, Durham, North Carolina, USA Abstrak. Tidak tertanganinya nyeri post operasi telah diakui menghambat penyembuhan dan pemulangan pasien dari Rumah Sakit. Meskipun diakui pentingnya control yang efektif terhadap nyeri, lebih dari 70 % pasien tetap mengeluhkan nyeri sedang hingga berat selama post operasi. Mekanisme pendekatan terhadap manajemen nyeri bersumber pada pemahaman mengenai mekanisme sentral dan perifer yang terlibat dalam transmisi nociceptive, hal itu memberikan pilihan baru bagi klinisi untuk pengelolaan nyeri secara efektif. Didalam artikel ini kami meninjau alasan untuk mengadakan pendekatan multi modal dengan kombinasi analgesik dari kelas yang berbeda dan pemberian analgesik yang berbeda. Pilihan farmakologi umumnya menggunakan analgesik seperti opioid, NSAID, parasetamol, tramadol dan analgesik non opioid lainnya, dan kombinasi diantaranya. Analgesik ini telah diperkenalkan untuk meringankan nyeri yang efektif dan kombinasi diantaranya menunjukkan pengurangan konsumsi dari opioid.

Manajemen Nyeri Preoperatif

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Nyeri, Manajemen Nyeri preoperatif, jurnal manajemen nyeri preoperatif, Anestesi Nyeri preoperatif, Anestesi Nyeri preoperasi, nyeri preoperasi

Citation preview

Manajemen Nyeri Preoperatif

Manajemen Nyeri Perioperatif

Srinivas Pyati and Tong J. Gan.

Department Of Anasthesiology, duke University Medical Center, Durham, North Carolina, USA

Abstrak.

Tidak tertanganinya nyeri post operasi telah diakui menghambat penyembuhan dan pemulangan pasien dari Rumah Sakit. Meskipun diakui pentingnya control yang efektif terhadap nyeri, lebih dari 70 % pasien tetap mengeluhkan nyeri sedang hingga berat selama post operasi.

Mekanisme pendekatan terhadap manajemen nyeri bersumber pada pemahaman mengenai mekanisme sentral dan perifer yang terlibat dalam transmisi nociceptive, hal itu memberikan pilihan baru bagi klinisi untuk pengelolaan nyeri secara efektif. Didalam artikel ini kami meninjau alasan untuk mengadakan pendekatan multi modal dengan kombinasi analgesik dari kelas yang berbeda dan pemberian analgesik yang berbeda. Pilihan farmakologi umumnya menggunakan analgesik seperti opioid, NSAID, parasetamol, tramadol dan analgesik non opioid lainnya, dan kombinasi diantaranya. Analgesik ini telah diperkenalkan untuk meringankan nyeri yang efektif dan kombinasi diantaranya menunjukkan pengurangan konsumsi dari opioid.

Dasar dari penggunaan tambahan analgesik non opioid adalah untuk mengurangi penggunaan opioid dan meringankan efek opioid yang merugikan. Kami meninjau bukti dari efek pengurangan opioid terhadap ketamin, clonidin, gabapentine dan analgesik lainnya dalan manajemen nyeri perioperatif. Banyak data yang tersedia untuk mensupport penambahan dari terapi adjuvan tehnik anastesi rutin dimana untuk mengurangi kebutuhan opioid dan meningkatkan kualitas analgesia dari efek sinergisnya. Lokal anastesi secara infiltrat, epidural dan tehnik regional lainnya juga dapat digunakan untuk meningkatkan analgesia perioperatif setelah prosedur operasi. Penggunaan tehnik perineural secara continue menawarkan analgesik jangka panjang dengan infus lokal anastesi memberikan pelayanan pada pasien yang harus keluar dari rumah sakit.

Penggunaan pilihan nonfarmakologi seperti akupuntur, relaksasi, terapi musik, hipnotis, perangsangan saraf transkutaneus sebagai terapi adjuvant untuk analgesia tergabung untuk mencapai efektifitas dan keberhasilan manajemen nyeri perioperatif.

Keparahan dan frekuensi nyeri post operatif tergantung pada tingkat operasi. Perbaikan dari pemahaman mekanisme nyeri dan pengenalan pelayanan nyeri akut, dalam terapi nyeri post operatif telah diakui sebagai isu yang penting. (1)

Literature mengindikasikan lebih dari 75 % pasien post operasi mengalami nyeri dan 80 % dari pasien mengalami nyeri berat sesekali waktu selama tinggal di Rumah Sakit. Surve terbaru juga menunjukkan peningkatan 70 % pasien yang masih mengalami nyeri sedang atau berat selama periode perioperasi. Penyedia pelayanan profesional tidak mempercayai bahwa pasien merasakan nyeri, dan telah diketahui kekurangan pengetahuan serta informasi yang salah dari manajemen nyeri antara perawat.

Kontrol yang buruk dapat meningkatkan katabolisme, menaikkan kerja kardiorespirasi, imunosupresi dan gangguan koagulasi. Nyeri, mual dan muntah post operasi memperpanjang masa penyembuhan dan masa pemulangan. Peningkatan nyeri post operasi dapat membuat pasien tidak nyaman, dapat merusak kualitas penyembuhan dan menaikkan biaya pelayanan kesehatan. Beberapa penelitian klinik mendukung gagasan bahwa pendekatan bersumber penggunaan tehnik multimodal untuk manajemen nyeri post operasi lebih efektif untuk mencapai analgesia yang optimal.

Di dalam artikel ini, kami memberikan tinjauan strategi untuk manajemen dalam variasi analgesi dan tehnik analgesi. Untuk mempersiapkan artikel ini kami melakukan pencarian MEDLINE (1980-2006) dan Cochrane Library (1980-2006) untuk mengidentifikasikan laporan penerbit mengenai percobaan control secara acak dan sistematik. Pencarian menggunakan istilah post operasi, nyeri, analgesic, analgesia, mekanisme, opioid, NSAID, COX-2 inhibitor, tramadol, paracetamol, adjuvant, regional, epidural, intra-articular, infiltration, complementary, akupuntur, TENS, music, hipnosis, dan relaksasi.

1. Mekanistik pendekatan terhadap manajemen nyeri.

1.1. Mekanisme Nyeri

Pendekatan rasional untuk pengobatan nyeri harus mampu mengidentifikasikan konstribusi mekanisme dan spesifikasi target pengobatan (gambar 1). Meskipun kemajuan terbaru dalam pemahaman patofisiologi nociceptive, luasnya variasi dalam manajemen nyeri post operasi masih diteliti. Ini mungkin bagian kombinasi bawaan individu dan faktor operasi yang berkonstribusi dalam pembentukan nyeri. Nociceptive dan perangsangan inflamasi menghasilkan efek yang berbeda, termasuk transduksi nociceptive, sensitasi nervus perifer dan sentral. Lebih jarang mekanisme tunggal yang berkontribusi terhadap nyeri ; lebih sering, kombinasi mekanisme yang terlibat.

Bagian ini memfokuskan pada mediator umum yang terlibat dalam transmisi dan tambahan rangsangan yang berbahaya. Banyak sinyal nociceptive yang berasal dari aktivasi nociceptor polimodal. Nociceptor ini memiliki sedikit aktivitas spontan dibawah kondisi normal tetapi menunjukkan aktifitas peningkatan, dengan peningkatan respon ini menunjukkan stimulasi yang berbahaya, jaringan rusak. Tinjauan mekanisme nyeri akut tercakup dalam artikel ini.

1.1.1. Respon mekanisme perifer

Respon inflamasi terhadap cedera jaringan menghasilakan aktivasi dari sensitasi perifer dan sentral terhadap jalur nociceptive (gambar 2). Perangsangan yang berbahaya menyebabkan pengeluaran selektif peptide dan non peptide dijaringan perifer, yang peka pada saraf perifer. Sumber dari substansia tersebut bervariasi terdiri dari : cedera sel, nociceptor, peningkatan permeabilitas kapiler dan aktifasi enzim sekitarnya. Zat ini juga dikeluarkan dalam medula spinalis. Sebagai contoh zat P dibentuk di sel body neural dalam ganglion dorsalis dan ditransfer menuju terminal perier dan sentral yang akan disimpan di vesikel. Hal tersebut dapat menyebabkan vasodilatasi edema dan keluarnya histamin. Zat P muncul untuk menimbulkan potensiasi untuk menghasilkan kedua potensiasi eksitatori dan inhibitor didalam media spinalis. Hal ini memperlambat dan memperlama efek perangsangan yang berbahaya, mengikat neurokinin reseptor NK1 dan mengakibatkan ion kalsium masuk kedalam sel saraf. Zat P juga merangsang produksi nitric oxide, vasodilatasi dari endotel yang merupakan mekanisme komplek dari nyeri eksaserbasi. Temuan ini menunjukkan peran potensial dari zat P selektif antagonis dengan afinitas tinggi terhadap NK1 reseptor untuk mencegah pemanjangan dari transmisi nociceptive. Namun saat ini penelitian tidak menemukan signifikan dan konsistensi analgesik untuk NK1 reseptor pada manusia. Serotonin -- yang dilepaskan dari sel yang bukan saraf seperti platelet, sel mast dan traktus digestivus -- adalah salah satu komponenen mediator inflamasi yang terdapat dalam ruangan ekstra seluler dari jaringan yang cedera. Peran serotonin didalam nociception sangat kompleks. Hal ini diakibatkan perangsangan afferent nociceptive melalui aktivasi reseptor membran (5-HT1-3) yang peka terhadap nociceptor, khususnya bradikinin. Peran antagonis pada reseptor serotonin perifer (5 HT2A dan 5 HT3) mungkin memberikan pengurangan nyeri yang bersumber dari inflamasi jaringan.

1.1.2. Mekanisme sentral

Beberapa tahun ini, pengembangan besar telah dibuat untuk dapat memahami peran medulla spinalis dalam transmisi nocicptive. Sensitisasi perifer dapat meningkatkan respon nyeri saraf nociceptive di CNS. Salah satu strategi untuk mengurangi nyeri yang berasal dari mekanisme tersebut untuk mengurangi rangsanga pada saraf sentral. Ada juga sejumlah peptida yang terlibat didalam nociceptive pada tingkat tulang belakang. Sebagai contoh cholecistokinin (CCK) ditemukan dalam saraf spinal dimana diyakini memiliki peran nociceptive dan secara selektif mengurangi aksi analgesik morfin. Hal ini menunjukkan bahwa CCK antagonis meningkatkan analgesia opioid dan sementara mengurangi toleransi opioid.

Penelitian invitro menunjukkan kedua A-beta dan C fibre meningkatkan aktifitas aspartat dan glutamate, sehingga menghasilkan amplifikasi dan perpanjangan sinyal nociceptive yang mengarah pada nyeri kronik. Kerja asam amino dimediasi melalui jalur NMDA dan non NMDA. Ketamin (dalam dosis subanastesi 0,15-0,5 mg/kgbb) dan dextrometorpan secara klinis efektif sebagai antagonis reseptor NMDA.

Ada juga bukti dari penelitian terhadap hewan yang menunjukkan kenaikan nociceptive dan penurunan jalur noradrenergic memainkan peranan penting dalam modulasi nyeri ditingkat medulla spinalis. Reseptor target spinal untuk system ini adalah -2 adrenoreseptor. Agonis reseptor ini, adalah clonidin, produksi anti nociception dan potensial aksi dari morfin.

Mekanisme nyeri bergantung pada reseptor yang berbeda, pendekatan multimodal untuk mencapai pengurangan nyeri pada periode perioperasi dirasa jauh lebih baik.

2. Alasan penggunaan analgesia multimodal

Regimen analgesic postoperasi yang ideal memberikan pengurangan rasa sakit yang efektif, mengurangi efek samping opioid dan respon stres bedah, serta meningkatkan hasil klinis misalnya morbiditas, mortalitas, dan durasi tinggal di rumah sakit. Konsep analgesia multimodal diperkenalkan demi mencapai tujuan dimana dengan menggabungkan berbagai tehnik analgesik dan kelas yang berbeda dari obat-obatan diharapkan meningkatkan hasil akhir postoperasi. Namun, terdapat data yang bertentangan dan tidak selalu menunjukkan bahwa analgesia multimodal telah mengakibatkan perbaikan dan pengurangan efek samping opioid. Kegagalan untuk meningkatkan hasil klinis mungkin disebabkan karena kombinasi yang tidak cocok dan dosis analgesiknya. Selain penambahan analgesic yang adekuat, morbiditas paska operasi dan lamanya tinggal di rumah sakit ada beberapa faktor-faktor lain yang berperan dalam kegagalan tersebut seperti nutrisi awal, mobilisasi, dan program rehabilitasinya. Kurangnya efek dari analgesia multimodal mungkin disebabkan waktu pemberian analgesiknya yang tidak pas. Meskipun ada cukup banyak bukti efek pemberian analgesia secara rutin, meredam rasa sakit postoperasi seefektif meredam nyeri selama periode intraoperatif. Efektivitas analgesik tiap individu dapat ditingkatkan dengan menggabungkan analgesia yang memiliki jalur kerja berbeda, sehingga efek aditif atau sinergisnya tercapai. Sebagai contoh, sinergi antara -adrenergik dan opioid, dimana ditunjukkan dengan penemuan clonidine yang dapat mempotensiasikan efek morfin. Demikian pula, kombinasi parasetamol (asetaminofen) dan NSAID memberikan efek analgesik aditif ringan hingga sedang pada nyeri akut. Penambahan cyclo-oxygenase-2 (COX-2) inhibitor atau NSAID dapat mengurangi kebutuhan akan opioid sebesar 20-30%, sehingga dapat mengurangi efek samping yang ditimbulkan opiod. Sebagai contoh, dalam sebuah penelitian baru-baru ini menggunakan sejumlah pasien yang menjalani total hysterectomy, sebagian sampel dengan pemberian parecoxib 40mg IV saat induksi anaestesia mengalami penurunan yang signifikan (26 %) dalam konsumsi morpin untuk 24 jam postop, dan derajat nyeri lebih rendah dirasakan daripada penggunaan placebo. Selain itu, ketamine, sebagai NMDA reseptor antagonis, mempunyai peran mengurangi rasa sakit dan menunrunkan penambahan analgetik ketika ditambahkan saat anastesi epidural multimodal. Penambahan ketamine pada pasien analgesia epidural kendali (PCEA) dengan morfin, bupivacaine dan adrenalin (ephinefrine) menunjukkan peningkatan efek analgesik, skor rata-rata visual untuk nyeri di kelompok ketamine yang ditunjukkan selama gerakan dan batuk yang lebih rendah dari pada kelompok kontrol. Total kumulatif analgesik konsumsi dalam kelompok ketamine juga lebih rendah sebesar 30% dari kelompok kontrol 24 jam setelah operasi. Dalam penelitian lain, menunjukkan bahwa kombinasi dari intraoperative ketamine dan analgesia epidural dapat memberikan manfaat jangka panjang dalam mengurangi insiden nyeri kronis.

Demikian pula, Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation (TENS) diberikan dalam frekuensi optimal (85 Hz) di daerah luka dapat mengurangi konsumsi analgesik untuk rasa nyeri pasca-operasi. Dalam metal-analysis, Bjordal et al. melaporkan bahwa hasil dari TENS menurunkan rata-rata konsumsi analgesik 26% dibandingkan dengan plasebo.

Selain pengurangan konsumsi analgesik dan derajat nyeri yang lebih ringan, penggunaan analgesia multimodal dapat memberikan manfaat jangka panjang dalam hasil akhir pasien. Bukti juga menunjukkan bahwa tidak berkurangnya nyeri pascaoperasi dapat mengakibatkan peningkatan morbiditas yang signifikan dimana mengarah pada peningkatan biaya kesehatan. Anastesi epidural yang menggunakan anastesi lokal dan opioids ini banyak dilakukan sebagai komponen penting dari sebuah pendekatan multimodal untuk mengendalikan rasa nyeri pasca operasi dan mempercepat pemulihan. Efek sinergis kombinasi anestesi lokal dan suatu opioid seperti morfin menjadi analgesia yang baik dengan efek samping yang minimal dibandingkan dengan anastesi lokal atau opioid sendiri. Penambahan anastesi local dan opioids, seperti penambahan ketamine dan clonidine selama anastesi epidural; terdapat laporan yang saling bertentangan dalam peningkatan nilai dari hasil analgesia epidural. Dalam sebuah studi pasien yang menjalani operasi aorta abdominalis menerima analgesia epidural pada thoraks, insiden thrombotic, infeksi dan kardiovaskular komplikasi selama di rumah sakit secara signifikan berkurang. Selain itu, kombinasi epidural analgesia dan NSAID yang digunakan sebagai awal sebelum operasi menunjukkan waktu pemulihan yang lebih singkat. Sebaliknya, pada pasien berisiko tinggi yang menerima perioperative epidural analgesia untuk operasi abdominalis, Peyton et al. menunjukkan tidak ada perbedaan dalam lamanya perawatan intensif di rumah sakit, meskipun temuan-temuan dari studi ini menimbulkan pertanyaan tentang desain dan kesimpulannya. Pada beberapa pasien, efek samping dari berbagai analgesik dapat mempengaruhi kualitas pemulihan. Teknik perineural secara continuous memberikan manfaat berupa efek analgesia yang panjang, mengurangi kebutuhan opioid dan mengurangi efek samping. Evaluasi prospektif terhadap lebih dari 1300 pasien yang mengalami total artroplasty pinggul dimana diberikan blok saraf perifer secara terus menerus memberikan hasil yang memuaskan, lebih sedikit terjadi efek samping dan pengurangan konsumsi opioid dibandingkan dengan kelompok yang menerima analgesia intravena (PCA) dengan morfin maupun PCEA.

3. Pilihan Farmakologi dan Teknik Analgesik

3.1 Opioid

Opioid analgesik efektif untuk nyeri sedang hingga berat, meskipun kegunaanya dibatasi oleh efek sampingnya. Reseptor opioid berada pada perifer dan CNS. Kombinasi opioid dengan atau tanpa NSAID secara teknik anastesi lokal infiltrasi atau blok intra-articular berguna untuk mengontrol rasa nyeri pasien setelah menjalani pembedahan. Dalam kebanyakan studi, anastesi lokal secara infiltrat dengan sistemik opioid atau NSAID menunjukkan efek analgesia yang baik, pemulihan lebih baik dan memperpendek waktu perawatan dibandingkan dengan placebo. Survei prospektif selama 7 tahun pada hampir 6000 pasien mengungkapkan tingginya tingkat kepuasan pasien dan menurunnya insiden efek samping selama pemberian opioid analgesia secara neuraxial pada operasi besar. Baru-baru ini, telah dirilis formulasi morfin (morfin dengan lyposomal carier; DepoDurrM; Endo farmasi Inc, Chadds Ford, PA, USA) yang tersedia untuk penggunaan epidural dosis tunggal. Beberapa studi di berbagai prosedur bedah seperti penggantian lutut, operasi abdomen dan sectio cesarea memberikan manfaat pada formulasi ini sebagai alternatif dari opioid analgesia secara intravena. Penundaan penggunaan morfin telah dilaporkan untuk diberikan sebagai analgesia 48 jam pascaoperasi untuk operasi abdominen bagian bawah. Pasien dengan penggunaan 10, 20 dan 25mg fentanyl melalui sistem PCA intravena lebih sedikit daripada pasien yang menerima epidural morpin standar. Efek samping yang paling sering dilaporkan adalah mual, pruritus, demam, muntah dan hipotensi. Kelompok yang menerima morfin 25mg, terjadi penurunan dari frekuensi napas dan timbul sedasi hingga 12 jam pascaoperasi daripada kelompok yang menerima dosis rendah. Depresi pernapasan merupakan efek samping yang paling serius dari morfin. Penulis merekomendasikan dosis optimal untuk mengurangi efek samping tersebut dengan memberikan 15mg morfin, dan pengurangan dosis pada pasien yang lebih tua.

3.2 Paracetamol (Acetaminophen)

Parasetamol adalah analgesik yang efektif untuk nyeri ringan hingga sedang, dengan efek samping yang tidak berbahaya. Penggunaanya sebagai terapi tambahan untuk opioid analgesia, dan dapat mengurangi kebutuhan opioid 20-30% ketika dikombinasikan dengan rejimen parasetamol secara oral ataupun rektal. Banyak laporan penggunaan1g propacetamol dapat menunrunkan kebutuhan morfin pascaoperasi selama 6 jam. Laporan meta-analisis penggunaan analgesik kombinasi parasetamol dan tramadol sangat efektif pada sakit gigi dan nyeri postsurgical; namun, lebih banyak pasien mengalami efek samping seperti pusing, mual dan muntah-muntah dengan kombinasi ini daripada dengan agennya sendiri-sendiri. Propacetamol, adalah prodrug parasetamol, dapat sebagai alternatif untuk NSAID dalam periode perioperative bedah minor.

3.3 NSAIDs

NSAID telah menjadi dasar dalam pengobatan rasa sakit akut pada awal periode pasca operasi karena efeknya seperti opioid. Kombinasi ibuprofen dan oxycodone efektif sebagai analgesia dalam periode pasca-operasi. Kombinasi parasetamol dan ibuprofen juga telah dilaporkan mengurangi kebutuhan analgesia preoperasi hingga 34% pada anak-anak yang akan menjalani Tonsilektomi.

3.3.1 Cyclo-Oxygenase-2 Inhibitors

Ada ketertarikan dalam penggunaan COX-2 inhibitor untuk nyeri pasca-operasi. Karena efek sampingnya minimal, COX-2 inhibitors merupakan alternatif yang lebih aman daripada NSAID konvensional. Nonselective NSAID dikaitkan dengan efek samping yang terkait dengan penghambatan COX-1, yang meliputi ulserasi pencernaan, disfungsi ginjal dan perdarahan perioperative. Pada dosis biasa, COX-2 inhibitor selektif menghambat COX-2. Selain itu, kerjanya seperti opioid dan oleh karena itu merupakan komponen penting dari terapi multimodal untuk pengobatan nyeri pasca-operasi.

Parecoxib (prodrug valdecoxib) memiliki analgesik potensial yang mirip dengan ketorolac dan dalam penelitian baik dalam mengatasi nyeri gigi postoperasi dan model-model lainnya. Dosis tunggal parecoxib 40 mg memberikan penurunan rasa nyeri yang secara signifikan lebih baik dibandingkan dengan plasebo atau morfin 4 mg dan sebanding dengan ketorolac 30 mg setelah operasi ginekologi. Keuntungan utama dari parecoxib adalah dapat diberikan intraoperative dan segera setelah postoperatively sebelum pengobatan oral. Gan et al. telah membuktikan bahwa oral preoperative parecoxib diikuti oleh pasca operasi valdecoxib mengurangi kebutuhan opioid setelah laparoscopic cholecystectomy dibandingkan dengan plasebo. Di samping itu incidences penurunan gejala dari opioid banyak dilaporkan dengan penggunaan kelompok parecoxib / valdecoxib.

Dalam studi lain, pasien yang menjalani operasi penggantian lutut yang secara acak diberikan COX-2 inhibitor lainnya yaitu rofecoxib atau plasebo selama periode perioperatively melalui PCEA. Hasil laporan menunjukkan kelompok rofecoxib mengalami penurunan dari rasa nyeri secara signifikan dan efek samping yang lebih sedikit dibandingkan dengan kelompok plasebo. Mereka juga mengalami pemulihan lebih cepat berdasarkan mobilitas dan tingkat nyerinya.

Baru-baru ini, banyak perhatian difokuskan pada rasio tertinggi risiko-manfaat dari COX-2 inhibitor. Selektif COX-2 inhibitor menyebabkan vasodilatasi dan penurunan produksi anti aggregatory prostacyclin (epoprostenol) yang dapat mengakibatkan peningkatan aktifitas prothrombotic. COX-2 inhibitor tersebut dapat mempengaruhi keseimbangan antara prothrombotic dan antithrombotic eikosanoid, mengakibatkan peningkatan risiko infark miokard. Namun, teori ini dianggap terlalu sederhana dan mekanisme yang mendasari mungkin lebih kompleks lagi. Sebagai akibat dari peningkatan risiko kardiovaskular, rofecoxib dan valdecoxib telah ditarik dari pasaran. Celecoxib tersedia untuk penggunaan klinis di seluruh dunia, sementara parecoxib ini hanya tersedia di luar Amerika Serikat.

NSAID dan COX-2 inhibitor juga dikenal untuk mengurangi pelepasan perifer nociceptor dengan mengurangi konsentrasi metabolit asam arakidonat. NSAID merangsang aksi analgesia perifer dan sentral yang bervariasi tergantung pada jenis NSAID digunakan dan ada atau tidak adanya proses inflamasi. Romsing et al. menemukan bukti untuk efek analgesik perifer secara infiltrasi lokal dengan NSAID. Lima penelitian dibandingkan dengan infiltrasi intrawound tenoxicam (7,5 atau 10 mg) atau ketorolac (30 atau 60 mg) dengan sistemik serupa (intravena atau intramuskular) pada pasien yang menjalani inguinal hernia perbaikan atau mastektomi. Dua dari lima cobaan menunjukkan pengurangan nyeri secara signifikan dalam 2jam sampai 24jam setelah luka infiltrasi didalam luka dengan NSAID. Konsumsi 24 jam tambahan analgesik secara signifikan berkurang sekitar 60% pada kelompok dengan penyuntikkan infiltrasi pada luka. Harus ditekankan bahwa manfaat diamati mungkin karena efek sistemik NSAID diberikan lokal.3.4 Tramadol

Tramadol adalah analgesik sintetis, analgetik yang bersifat sentral dengan aktifitas perangasangan opioid reseptor yang minimal. Tramadol juga menghambat reuptake serotonin dan noradrenalin (norepinefrin). Metabolit tramadol, O-desmethyl tramadol, adalah analgesik lebih kuat daripada tramadol. Tidak seperti opioid, tramadol mengurangi efek depresi pernapasan dan memiliki resiko yang lebih rendah disfungsi usus pada dosis biasa.

Moore dan McQuay, dalam meta-analisisnya, membandingkan dosis tunggal oral tramadol dengan kombinasi standar analgesik (aspirin/kodein dan parasetamol/propoxyphene) pada nyeri postsurgical dan nyeri gigi. Tramadol 100 mg dan 150 mg menunjukkan nilai nomor-diperlukan-untuk-memperlakukan 4,8 dan 2.4, masing-masing, dibandingkan dengan 3.6-4.0 dengan kombinasi analgesik. Frekuensi efek samping yang lebih tinggi sejalan dengan peningkatan dosis tramadol.

Meta-analisis dari kombinasi parasetamol dan tramadol memiliki efek analgesia yang kuat tanpa penambahan toksisitas. Paling umum efek samping yang dicatat adalah diziness, sakit kepala, mual dan muntah. Studi lain mencatat bahwa kombinasi dari tramadol dengan parasetamol meningkat tolerability dari tramadol.3.5 Ketamine

Ada ketertarikan terhadap peran ketamine meningkatkan analgesia pasca-operasi. Beberapa studi menunjukkan penggunaan dosis ketamine subanaesthetic untuk berbagai prosedur bedah untuk mengurangi nyeri dan mengurangi konsumsi analgesik. Perangsangan neurotransmiter central pada NMDA reseptor telah diidentifikasi ikut terlibat dalam menyebabkan hyperalgesia dan allodynia. Ketamine bertindak sebagai antagonis pada reseptor NMDA.

Ada banyak bukti (tabel II) menunjukkan bahwa ketamine memiliki efek mengurangi kebutuhan opioid dan dapat memberikan keuntungan pada pasien yang tinggi konsumsi opioid pascaoperasi. Pada dosis rendah, ketamine dapat memberikan efek analgesia pada nyeri yang resisten terhadap opiod. Drip infus ketamine telah digunakan selama periode perioperatively. Adam et al. mengevaluasi ketamine intravena dengan bolus awal (0,5 mg/kg) diikuti oleh infus kontinu 3 microg/kg/min intraoperatively dengan kombinasi blok saraf femoralis secara continous pada pasien yang menjalani operasi artroplasti lutut. Dalam pendekatan multimodal ini, ketamine diperlukan untuk mengurangi kebutuhana akan morfin daripada pasien yang menerima hanya femoralis saraf blok dan dilakukan mobilisasi lutut.

Tinjauan luas yang melibatkan uji epidural ketamine yang ditambahkan ke berbagai regimen berbasis opioid mendapatkan hasil perbaikan analgesia dengan tidak ada peningkatan terkait efek samping ketamine. Ketamine dalam rejimen multimodal PCEA dapat mengurangi kebutuhan analgesik setelah operasi besar. Wong et al. menunjukkan bahwa penambahan ketamine pada epidural morfin menaikkan efek analgesik dari morfin pada pasien yang menjalani penggantian lutut. Demikian pula, Chia et al. menunjukkan bahwa penambahan dari dosis kecil ketamine 0.4 mg/mL pada multimodal rejimen (morfin, bupivacaine dan adrenalin) melalui PCEA membuat pengurangan nyeri lebih baik saat istrirahat, selama batuk maupun bergerak, dan mengurangi konsumsi analgetik dibandingkan dengan PCEA sendirian. Baru-baru ini, transdermal ketamine telah digunakan sebagai adjuvan untuk epidural analgesia). Pasien yang dirawat dengan ketamine patch setelah operasi ginekologi kecil menunjukkan perpanjangan waktu analgesia. Pada dasarnya, ketamine memiliki peran dalam manajemen rasa sakit akut tetapi penggunaannya sebagai analgesik dibatasi oleh efek sampingnya; namun, dosis rendah ketamine tidak menimbulkan efek samping ini.3.6 Clonidine

2-adrenoceptor agonists, seperti clonidine dan dexmedetomidine, memiliki anti-aktifitas nociceptive melalui jalur perifer, supraspinal dan terutama mekanisme spinal cord termasuk aktifitas postsynaptic 2-adreoceptors dari turunan jalur noradrenergic. Potensi epidural clonidine memiliki beberapa keuntungan daripada epidurally secara lokal dan opioids anaesthetics karena tidak memiliki beberapa efek samping obat ini seperti contoh blok motorik, urinari retension, depresi pernapasan dan pruritus. Selain itu, clonidine dapat sinergis ketika digunakan sebagai adjuvan untuk anestesi lokal atau opioid, yang mengakibatkan pengurangan kebutuhan analgesik pascaoperasi analgesik. Paech et al. menunjukkan bahwa epidural analgesia pasca operasi (dengan bupivacaine dan duragesic) dapat ditingkatkan secara signifikan dengan penambahan clonidine. Mereka melaporkan pengurangan kebutuhan opioid dan pengurangan nyeri saat batuk.

Efek samping clonidine terkait dengan dosis yang diberikan. Saat diuji kepada relawan sehat dengan dosis 700g epidurally, Eisenach et al. menemukan bahwa clonidine secara signifikan mengurangi rasa sakit yang disebabkan oleh suhu dingin, menurun kadar plasma noradrenalin dan menyebabkan perubahan hemodinamik, tetapi mengakibatkan sedation yang berlangsung hingga 6 jam. Dexmedetomidine juga telah digunakan untuk sedation di perawatan intensif dan sebagai tambahan analgesik selama periode intraoperative. Obat tersebut juga menunjukkan untuk efek hemat opioid dengan efek samping yang minimal.

3.7 Analgesia Epidural

Analgesia Epidural menyediakan meredakan nyeri secara unggul dan hal ini akan melemahkan respons stres untuk operasi dan sakit, khususnya ketika digunakan dalam bentuk infus kontinu selama dan setelah operasi. Namun, pendapat klinis masih dibagi mengenai manfaat analgesia epidural meskipun beberapa studi menunjukkan keuntungan seperti lebih besar kepuasan pasien kurang pascaoperasi morbiditas dan hasil klinis yang lebih baik. Hasil dari beberapa kajian lebih baru, meta-analisis dan ulasan diringkas dalam tabel III. Meta-analisis baru-baru ini menegaskan nilai epidural analgesia dalam mengurangi komplikasi jantung, paru-paru, thromboembolic dan ginjal, Selain menyediakan unggul pasca-operasi analgesia. Penggunaan gabungan epidural anestesi lokal dan adjuvants tidak hanya menyediakan intraoperative analgesia tetapi juga dapat mengontrol pascaoperasi sakit secara efektif setelah operasi besar ekstremitas dada, perut dan lebih rendah. Menggunakan adjuvants di ruang epidural mengurangi dosis total anastesi lokal. Pada anak-anak, beberapa adjuvants telah digunakan dalam caudal blok, termasuk ketamine dan clonidine, untuk perpanjangan dari analgesia setelah operasi Pediatri umum. Studi yang dilakukan pada pasien yang menjalani operasi intra-abdominal besar menunjukkan lebih baik nyeri dan mengurangi pascaoperasi analgesik consump-tion dengan epidural analgesia. Untuk penggantian pinggul dan lutut, epidural anestesi dengan sedation selama operasi diikuti oleh pascaoperasi infus epidural kombinasi anestesi lokal dan opioid telah digunakan. Lee et al.' menunjukkan keuntungan yang jelas dari kombinasi epidural bupivacaine dan diamorphine untuk analgesia setelah operasi ginekologi besar. Kombinasi disediakan nyeri unggul dengan lebih sedikit efek samping. Namun, ada masalah yang terkait dengan teknik yang terus-menerus, epidural seperti tekanan darah rendah motor blokade dan ketidakcocokan dengan an-ticoagulation. Di samping itu kegagalan rate dengan analgesia epidural adalah sekitar 30 %.

3.8 Luka Infiltrasi dengan lokal anastesi

Infiltrasi luka bedah dengan lokal anestesi umum dilakukan untuk mencapai luka analgesia. Metode ini telah terbukti menjadi efektif dalam memberikan analgesia dalam persidangan di mana pasien mengalami perbaikan inguinal hernia, meskipun ada kurangnya bukti untuk efek klinis berguna untuk prosedur perut lain (lihat Diperiksa oleh Moiniche et aU). Dosis anastesi local yang tidak memadai dapat menjelaskan hasil buruk dalam beberapa uji coba. Luka infiltrasi tidak memberikan efek bermanfaat pada fungsi paru setelah operasi. Peran adjuvants untuk anestesi lokal tidak jelas. Sebagai contoh, luka infiltrasi dengan bupivacaine dan ketamine tidak ditampilkan untuk mengurangi rasa sakit skor atau kebutuhan untuk penyelamatan analgesia, tapi durasi analgesia telah dilaporkan berkepanjangan dengan penambahan ketamine penggunaan rutin adjuvants luka infiltrasi saat ini tidak dianjurkan.

3.9 Analgesik intra artikular

Ada konflik laporan tentang efektivitas analgesik intra-articular. Intra-articular NSAID ketika digunakan sendirian tidak mungkin untuk mengerahkan efek analgesik klinis berguna, tetapi NSAID dalam kombinasi dengan anestesi lokal dapat memberikan berkepanjangan analgesia banyak ahli bedah ortopedi penggunaan intra-articular lokal anestesi setelah operasi arthroscopic. Dalam review sistematis, Moiniche et al mengamati bahwa penggunaan intraartikular lokal anestesi tampaknya untuk menyediakan nyeri moderat pendek. Meskipun nyeri di awal periode pascaoperasi secara statistik signifikan, bukti itu tidak luar biasa untuk anestesi lokal intra-articular karena sebagian besar penelitian tidak menunjukkan peningkatan nyeri di luar periode pascaoperasi segera. Tindakan anti-nociceptive perifer opioid telah melaporkan, dan dengan demikian opioid muncul untuk menjadi efektif dalam mengontrol rasa sakit ketika diberikan intraarticularly. Stein menunjukkan bahwa morfin diberikan efeknya pada reseptor opioid perifer ketika disuntikkan intra-articularly; Namun, efek sistemik tidak dapat dikesampingkan. Gupta et al. dalam meta-analisis, dievaluasi 27 studi di mana intra-articular morfin langsung dibandingkan dengan plasebo. Dalam 13 studi, intra-articular morfin memiliki efek menguntungkan ringan (berarti pengurangan rasa sakit intensitas, 12-17 mm pada skor analog visual). Beberapa studi melaporkan pengurangan analgesik persyaratan dalam kelompok morfin. Kemanjuran morfin tergantung pada dosis yang digunakan. Dosis yang lebih tinggi (5 mg) disuntikkan intra-articularly mungkin untuk memberikan analgesia selama 24 jam pertama setelah operasi, sedangkan dosis efektif. Romsing et al. dalam review sistemik disorot empat studi yang dibandingkan intra-articular ketorolac 60 mg atau tenoxicam 20 mg dengan sistemik administrasi (intravena). Dalam dua ini ketorolac laporan intra-articular bupivacaine ditambahkan pada kedua kelompok. Semua empat studi menunjukkan secara signifikan lebih rendah sakit skor setelah intra-articular administrasi dibandingkan dengan administrasi sistemik NSAID. Dalam kelompok-kelompok intra-articular, waktu untuk pertama analgesik permintaan secara signifikan meningkat pascaoperasi. Data juga menunjukkan bahwa menggunakan kombinasi analgesik intra-articularly memiliki efek menguntungkan. Pasien yang menerima intra-articular ketorolac selain morfin menunjukkan secara signifikan lebih rendah sakit skor dibandingkan dengan pasien yang menerima obat baik sendirian postoperatively. Demikian, kombinasi dari clonidine dan neostigminells juga telah terbukti untuk menunjukkan efek analgesik perifer ketika digunakan intra-articularly setelah Artroskopi lutut. Pada dosis 150g intra-articularly, clonidine diberikan analgesia sebanding dengan morfin tetapi kombinasi keduanya tidak memberikan analgesia berkepanjangan.3.10 Blok Saraf Perifer

Blok saraf yang tepat, tergantung pada situs operasi, berguna dalam memberikan jangka pendek nyeri post-operatively. Langsung visualisasi saraf jaringan dengan teknologi USG dan utilitas merangsang kateter telah membuat penempatan pendiaman kateter lebih aman dan akurat. Infus kontinu anestesi lokal melalui kateter perifer saraf menjadi semakin populer di rumah sakit dan ambulatori pengaturan untuk mencapai analgesia berkepanjangan. Sebagai contoh, terus-menerus femoralis saraf blok telah terbukti mengurangi durasi di rumah sakit dan frekuensi komplikasi serius setelah Artroskopi lutut total demikian pula, beberapa studi telah menunjukkan manfaat perifer saraf blok (PNBs), termasuk mengurangi durasi tinggal dan biaya, menurun insiden postoperasi mual dan muntah, dan menurunkan harga rumah sakit yang tak terduga penerimaan setelah rawat jalan post operasi.

Baru-baru ini meta-analisis yang melibatkan lebih dari 600 pasien, PNBs memberikan analgesia pascaoperasi unggul bila dibandingkan dengan administrasi lisan dan sistemik opioid sendirian. Pasien yang menerima perineural blok dengan anastesi lokal juga menunjukkan pengurangan yang signifikan dalam konsumsi opioid, lebih sedikit terkait opioid efek dan kepuasan pasien yang lebih baik. Enam studi yang dievaluasi clonidine, lima ditemukan perbaikan di analgesia. Bukti bahwa penambahan peripherally dikelola opioid selama meningkatkan kualitas intraoperative daerah anestesi atau pasca-operasi analgesia tidak telah didirikan, dengan hasil yang beragam dari cobaan yang berbeda. Lima cobaan mengukur efektivitas pascaoperasi melaporkan perbedaan yang signifikan dalam mendukung opioid Namun, penulis tidak mempertimbangkan temuan-temuan yang cukup penting untuk menganjurkan penggunaan rutin opioid dalam pengaturan akut.

3.11 Pencegahan Rasa sakit

Dengan pemahaman yang lebih besar dari rasa sakit akut mekanisme, diketahui bahwa jaringan cedera memulai perifer dan pusat saraf sensitisation, mengakibatkan pengekalan 'sakit negara'. Pre-emptive analgesia adalah analgesia yang diberikan sebelum inisiasi nociceptive stimulus. Beberapa studi klinis menghipotesiskan administrasi analgesik itu sebelum operasi atau daerah blokade akan mencegah atau mengakibatkan kurang painby pasca-operasi yang melindungi sistem saraf dari sensitisation. Namun, efektivitas pre-emptive analgesia dalam praktek klinis rutin diperdebatkan. Untuk analgesia pre-emptive menjadi klinis penting durasi analgesia diperoleh harus lagi dan dengan sedikit peningkatan dalam efek, dan intervensi preventif harus memiliki efek sakit pasca-operasi akut atau mencegah perkembangan sakit kronis. Review literatur baru-baru ini menemukan bahwa sekitar 40% dari studi menunjukkan efek menguntungkan (pengurangan rasa sakit dan analgesik konsumsi) dari pre-incision analgesia (pre-emptive) dibandingkan dengan analgesik administrasi setelah bedah sayatan (preventif) oleh karena itu, bersama dengan faktor-faktor lain (obat, dosis dan durasi) tampaknya bahwa waktu analgesik inisiasi dalam kaitannya dengan bedah sayatan mempengaruhi pascaoperasi analgesik persyaratan ketika aktivitas analgesik agen telah memudar. Waktu administrasi agen mungkin preincision, selama operasi atau dalam periode pasca-operasi. antagonis.' NSAID epidural analgesia dan lokal dibius infiltrations semua yang telah digunakan di analgesia pre-emptive, dengan hasil variabel.4. Novel Analgesic Therapy

4.1 Gabapentin

Gabapentin, yang terutama memiliki sifat anticonvulsant, digunakan dalam perawatan sakit neuropathic. Meskipun kesamaan yang seluruhnya untuk GABA, gabapentin tidak mengikat reseptor GABA. Memiliki afinitas yang tinggi terhadap subunit 9.2-6 saluran kalsium voltage-dependent, mengakibatkan postsynaptic penghambatan masuknya kalsium dan ada dengan mengurangi presynaptic excitatory neurotransmiter melepaskan.) Itu telah beeNMDAn menyarankan bahwa gabapentin berguna dalam mengurangi sensitisation saraf pusat yang terjadi sakit pasca-operasi, dan sakit postsurgical telah dianggap sebagai pain.uas neuropathic sementara) banyak penelitian telah menunjukkan efektivitas dari gabapentin, dan lain GABA analog pregabalin, sebagai analgesik non opioid adjuvants di sakit pasca-operasi manajemen. tabel IV menyimpulkan beberapa dari studi ini. Dalam sebuah studi randomised menggunakan single-dose gabapentin (1200mg) versus plasebo, Dirks et al. menemukan bahwa ada pengurangan substansial morfin konsumsi setelah mastektomi dalam kelompok gabapentin (morfin total konsumsi, 29 mg dalam kelompok plasebo versus 15 mg dalam kelompok gabapentin). Selain itu, sakit skor yang lebih rendah dalam kelompok perawatan dalam periode pasca-operasi awal. Dierking et al. juga menunjukkan penurunan konsumsi morfin (oleh 32%) ketika gabapentin (3000mg) diberikan sebelum dan selama 24 jam pertama setelah histerektomi perut. Meta-analisis baru-baru ini menegaskan bahwa gabapentin dalam dosis & lt; 1200mg memiliki analgesik dan hemat opioid efek dalam manajemen rasa sakit pasca-operasi akut ketika digunakan bersamaan dengan opioid; Namun, itu terkait dengan peningkatan risiko sedation tetapi dikurangi terkait opioid efek seperti muntah. Dalam pendekatan multi-modal, Gilron et aL melaporkan bahwa kombinasi dari gabapentin dan rofecoxib lebih unggul baik agen sendiri setelah histerektomi perut. Dengan semua patients menerima suntikan PCA, kombinasi gabapentin rofecoxib (1800/50 mg) menunjukkan penurunan yang signifikan dalam konsumsi morfin, dari 130 mg dalam kelompok plasebo menjadi 57 mg dalam kelompok kombinasi. Berdasarkan bukti-bukti saat ini tampaknya gabapentin yang mengurangi persyaratan tambahan pasca-operasi analgesic. Rasio optimal dosis tanpa efek samping perlu diidentifikasi ketika gabapentin digunakan sendiri atau dalam kombinasi.

4.2 Corticosteroids

Kortikosteron telah digunakan sebagai agen anti-inflamasi dan anti-immunological untuk manifestasi dari banyak gangguan autoimun. Kortikosteron bertindak dengan menekan produksi asam arachidonic melalui inhibisi diinduksi lipocortin fosfolipase, yang pada akhirnya menghambat produksi prostaglandin kedua dan leukotrienesl kortikosteron juga mencegah produksi sitokin, yang memainkan peran dalam mekanisme peradangan sakit. Pada tingkat tulang belakang, Kortikosteron mengerahkan anti-nociceptive efek., meskipun bukti untuk tindakan analgesik Kortikosteron, tidak ada penggunaan klinis yang luas agen ini untuk manajemen sakit pasca-operasi. Ini mungkin karena efek kortikosteron ketika diberikan dalam dosis berulang lebih lama pascaoperasi; Namun, kebanyakan studi telah melaporkan efek analgesik mereka setelah dosis tunggal. Beberapa penyelidikan klinis telah dievaluasi efek sistemik kortikosteron pada rasa sakit setelah prosedur bedah, menunjukkan efektif nyeri dan pemulihan awal. Dalam double blind, placebo-dikontrol, satu-dosis, acak studi, Romundstad et al. dibandingkan intravena ketorolac dengan intravena methylprednisolone 125 mg pada pasien dengan moderat untuk sakit parah satu hari setelah bedah ortopedi. Mereka menunjukkan bahwa intensitas rasa sakit dalam golongan kortikosteroid signif icantly lebih rendah sampai 6 jam pascaoperasi dibandingkan dengan plasebo, dan mirip dengan ketorolac. Opioid konsumsi dalam 72 jam pertama secara signifikan lebih rendah dalam kelompok methylprednisolone daripada dalam kelompok-kelompok ketorolac dan plasebo. Tidak ada efek samping yang serius dilaporkan. Glukokortikoid dapat dipertahankan efek analgesik setelah operasi: Namun, kelemahan dari ulang kortikosteroid administrasi dan efek yang merugikan pada pasien pascaoperasi kebutuhan penyelidikan lebih lanjut dalam persidangan cukup powered.4.3 Opioid Receptor Antagonists

Naloxone dan nalbuphine (parsial opioid reseptor agonist) digunakan untuk merawat neuropathic cat In vitro penelitian telah menunjukkan bahwa persiapan berkelanjutan nalbuphine memiliki antinociceptive tindakan untuk 55 jam 12011 bukti dari hewan juga menggambarkan bahwa opioid antagonis meningkatkan potensi morfin dan meredam opioid toler dalam satu kajian, naloxone dosis rendah infusi dalam periode pasca-operasi setelah operasi ginekologi ditunjukkan untuk mengurangi terkait efek opioid dan syarat opioid. Namun, ada bukti-bukti yang dapat disimpulkan dari beberapa uji klinis lain pada efektivitas opioid antagonis untuk meredam rasa sakit pasca-operasi dan mengurangi opioid persyaratan. Dalam sebuah acak, studi klinis doubleblinded, Cepeda et al. dibandingkan kombinasi naloxone-morfin dengan morfin sendirian dalam PCA. Ada tidak ada perbedaan dalam persyaratan opioid dan rasa sakit antara kelompok. Kelompok kombinasi mengalami sedikit mual dan pruritus dari grup hanya morfin; Namun, naloxone tidak mampu mengurangi muntah, sedation dan retensi kencing dilihat dalam morfin satu-satunya kelompok.

4.4 Magnesium Sulfate

Baru-baru ini, peran magnesium sulfat sebagai NMDA reseptor antagonis dan ajuvan untuk terapi analgesik telah menyelidiki. Intravena magnesium sulfat 50 mg/kg preoperatively diikuti oleh sebuah infusi pascaoperasi pada pasien yang menjalani kolesistektomi terbuka telah dilaporkan untuk menghasilkan ketidaknyamanan kurang daripada pengobatan Salin.

Walaupun tidak ada pengaruh pada persyaratan opioid. Dalam studi lain, pasien acak untuk 20% intravena magnesium sulfat sebelum operasi menunjukkan pengurangan dalam pascaoperasi PCA morfin persyaratan dalam 48 jam pertama dibandingkan dengan pasien yang menerima saline. Bertentangan dengan temuan-temuan di atas, di review sistematis memeriksa kemanjuran NMDA antagonis, McCartney et al. melaporkan bahwa tak satu pun dari empat studi meneliti magnesium untuk mengurangi rasa sakit pasca-operasi dan persyaratan analgesik menunjukkan bukti untuk pencegahan analgesia; Sebaliknya, ketamine dan dextromethorphan yang efektif dalam hal ini.

4.5 Tempelan Lidocaine (Lignocaine)

Lidokain (ligoocaine) memberikan efek analgesia dengan cara memblok saluran saraf natrium secara lokal dan dengan demikian memperkecil sensitisasi dari nosiseptor di perifer. Transdermal lidokain (5%) telah digunakan untuk mengobati rasa sakit yang berhubungan dengan neuralgia post-herpetic. Ketika lidokain diterapkan sebagai agen topikal, konsentrasi serumnya menjadi tidak signifikan. Mungkin ada peran potensial dari lidokain topikal pada nyeri akut pascaoperasi tapi ini memerlukan penyelidikan lebih lanjut.

4.6 Patient-Controlled Transdermal Fentanyl

Patient-Controlled Transdermal Fenatnyl menawarkan sistem pengiriman opioid non-invasif untuk manajemen nyeri akut. Menggunakan teknologi iontophoresis, duragesic 40g dihantarkan sesuai kebutuhan. Percobaan pada multisenter melaporkan bahwa pasien dengan kontrol transdermal fentanyl lebih unggul daripada plasebo dalam mengendalikan rasa sakit sedang hingga berat lebih dari 24 jam setelah operasi besar.

5. Pilihan Non farmakologi

Terapi non farmakologi harus dipertimbangkan sebagai terapi untuk melengkapi terapi farmakologis untuk manjemen nyeri pasca-operasi. Ini dapat memiliki manfaat tambahan dalam mengurangi dosis total analgesik yang diperlukan dan oleh karena itu meminimalkan efek samping analgesik.

5.1 TENS (transcutaneus electrical nervous stimulation)TENS (transcutaneus electrical nervous stimulation) telah digunakan secara luas pada nyeri kronis. Bukti dari efkiasinya pada nyeri akut pasca-operasi belum dapat disimpulkan, terutama karena tidak bagusnya konduksi, pada uji terkontrol secara acak. Banyak studi yang diterbitkan memiliki kekurangan metodologis. Blinding itu sulit dalam percobaan yang terkait dengan TENS karena pasien dengan mudah melihat adanya atau tidak adanya paraesthesia; oleh karena itu, randomisasi yang tidak adekuat mungkin membesar-besarkan efikasinya hingga 40%. Tinjauan sistematis oleh Carroll et al. menunjukkan TENS tidak lebih baik daripada plasebo dalam perawatan nyeri akut pasca-operasi. Berbagai prosedur dari hernia sampai thoracotomy telah dipelajari dan sepuluh unit TENS yang berbeda telah digunakan dengan kontrol yang berbeda dan durasi pengobatan yang berbeda. Empat belas percobaam membandingkan TENS dengan TENS palsu. Tidak menemukan perbedaan antara dua perawatan itu. Namun, ketika TENS dibandingkan dengan opioid, salah satu percobaan melaporkan bahwa terdapat kebutuhan petidin injeksi yang kurang secara signifikan dan skor nyeri yang lebih baik pada hari pertama pasca-operasi pada pasien yang mendapat perawatan TENS. Review sistematis sebelum-sebelumnya pada TENS dan nyeri post-operasi menunjukkan ketidak konsistenan dalam efektivitas dari TENS. Semua percobaan yang dilakukan pada nyeri post-operasi dengan menggunakan TENS sebagai ajuvan untuk obat, sangat mungkin bahwa efek TENS disembunyikan oleh efek analgesik obat.

5.2 Tehnik Relaksasi

Relaksasi telah menjadi semakin populer sebagai ajuvan untuk terapi analgesik konvensional. Telah diusulkan bahwa ia bekerja dengan menghancurkan siklus nyeri-tegang-nyeri. Seers dan Carrol melakukan review sistematis untuk menyelidiki efektivitas teknik relaksasi ketika digunakan sendirian dalam manajemen rasa sakit akut. Tiga dari tujuh studi yang dinilai menunjukkan secara signifikan nyeri yang berkurang atau nyeri tertekan dengan relaksasi. Kebanyakan studi memiliki desain yang buruk dengan kurangnya kontrol yang adekuat, dan berbagai teknik relaksasi digunakan. Meta-analisis ini diusulkan untuk kebutuhan untuk percobaan yang lebih baik untuk mendapatkan kemanjuran teknik relaksasi untuk nyeri akut pasca-operasi sebelum diterima secara luas sebagai intervensi analgesik rutin.

5.3 Terapi Musik

Terapi dengan musik selama dan setelah operasi telah digunakan sebagai pengobatan yang cuma-cuma untuk metode lain pada manajemen nyeri. Beberapa studi mengklaim manfaat dari terapi musik dalam mengurangi skor nyeri dan kecemasan. Nilsson et al. dalam penelitian trial kontrol meneliti 151 pasien yang menjalani operasi inguinal hernia dan pembedahan varises di bawah anestesi umum. Pasien yang mendengar musik pada saat operasi atau pascaoperasi dilaporkan memiliki intensitas rasa sakit yang lebih rendah pada awal periode pasca-operasi daripada kelompok kontrol yang terkena 'white noise'. Hal ini menarik untuk dicatat bahwa pada kelompok yang mendengarkan musik pasca-operasi memerlukan morfin lebih sedikit selama 1 jam dibandingkan dengan kelompok kontrol di ruang pemulihan. Skor nyeri di rumah pada hari operasi dan hingga 48 jam setelah itu yaitu rendah dan tidak ada perbedaan yang signifikan antara ketiga kelompok. Studi ini menunjukkan bahwa terapi musik memiliki manfaat jangka pendek dalam mengurangi nyeri dan kecemasan, mengurangi persepsi rasa sakit melalui jalur kognitif. Jenis dan durasi dari musik yang diperlukan yang masih belum jelas. Namun, review sistematis baru-baru ini menunjukkan terdapat penurunan kecil dari nyeri dan konsumsi opioid setelah terapi musik.

5.4 Akupuntur

Akupunktur, bentuk pengobatan tradisional Cina, telah menjadi topik menarik dalam mengelola nyeri pasca-operasi. Beberapa studi tentang akupunktur telah menunjukkan efek analgesik dan pengurangan dari insiden mual dan muntah. Keberhasilan akupunktur sebagai ajuvan pada anestesia seimbang tergantung pada beberapa faktor, termasuk keterampilan akupunktur, metode rangsangan dan durasi dari terapi akupuntur. Mekanisme akupuntur menimbulkan efek analgesik masih belum jelas. Teori Gerbang kontrol dan sekresi opioid endogen seperti endorfin, encephalins dan dynorphins dapat berkontribusi dalam menyebabkan analgesia pada akupuntur. Kotani et al menguji efek akupunktur pada nyeri pasca-operasi dalam studi terkontrol dan doubleblind, yang melibatkan pasien yang menjalani operasi abdomen. Para peneliti memasukkan jarum intradermal pada saat preoperasi pada acupoints 2,5 cm bilateral pada tulang tulang belakang (meridian kandung kemih). Semua pasien tersebut telah memakai epidural kateter yang dimasukkan untuk operasi abdominalis. Nyeri itu sembuh secara signifikan pada kelompok dengan pengobatan daripada kelompok kontrol sampai hari kedua pasca-operasi. Kelompok dengan pengobatan membutuhkan sedikit morfin, hingga 50%. Sebaliknya, Sim et al. telah menunjukkan bahwa manajemen preoperasi dengan analgesia electro-akupunktur-induksi tidak mengurangi kebutuhan morfin 24 jam setelah operasi ginekologi abdominalis bagian bawah. Ini mungkin karena durasi yang pendek dari tindakan electro-akupunktur ketika digunakan selama periode preoperasi.5.5 Hypnosis

Banyak penelitian telah menunjukkan efektivitas hipnosis untuk mengurangi nyeri di laboratorium dan laporan kasus juga telah mengindikasikan adanya pengurangan pada nyeri secara klinis. Ada bukti yang menunjukkan bahwa hipnosis mungkin dapat mengubah persepsi nyeri, setidaknya untuk beberapa derajat, melalui inhibisi pada level spinal. Pada nyeri akut, ada sejumlah besar bukti berupa cerita-cerita dan beberapa studi terkontrol untuk mendukung efikasi dan penggunaan hipnosis. Montgomery et al melakukan penelitian meta-analisis untuk memperkirakan efektivitas hipnosis dalam mengendalikan tanda-tanda dan gejala setelah operasi. Metaanalysis ini mendapatkan bahwa rata-rata 89% pasien bedah relatif bermanfaat untuk mengontrol pasien. Mereka juga mengamati bahwa pasien yang diobati memiliki kepuasan yang lebih daripada kontrol.

. Bukti menunjukkan bahwa hipnosis adalah alat yang berguna untuk memodulasi nyeri dan untuk mempengaruhi persepsi pasien untuk mengubah harapan mereka tentang nyeri. Namun, tidak semua pasien menunjukkan respon yang serupa pada sugesti dengan hipnosis. 6. Kesimpulan

Managemen nyeri akut paskaoperasi masih menimbulkan tantangan besar bagi penyedia layanan kesehatan. Kemajuan dalam pemahaman tentang mekanisme nyeri, termasuk reseptor yang terlibat dalam transmisi nyeri, menyebabkan peningkatan perhatian khusus pada managemen nyeri pasca-operasi. Namun, terdapat data yang menunjukkan nyeri akut luput dari perhatian. Banyak data yang menunjukkan pasien yang menjalani terapi multimodal mengalami komplikasi pascaoperasi yang minimal dan berkurangnya masa perwatan di rumah sakit, hal ini menunjukkan bahwa kombinasi dari modalitas akan memberikan peningkatan dalam penyembuhan nyeri pasca-operasi dan hasil klinis yang jauh lebih baik. Teknik analgesik yang digunakan berbeda tiap individu pasien dan jenis prosedur pembedahannya. Untuk operasi kecil, kombinasi NSAID, parasetamol dan anastesi lokal infiltrasi mungkin cukup untuk memberikan analgesia. Untuk pasien yang sakit parah, kombinasi dari parasetamol, NSAID, sistemik opioid atau epidural analgesia continuos dengan local anastesi dan kombinasi opioid harus dipertimbangkan. PNBs cenderung lebih efektif untuk operasi ekstremitas. Bukti menunjukkan bahwa nyeri akut dapat memicu perubahan saraf jangka panjang yang mengarah ke keadaan nyeri kronis. Obat-obatan seperti ketamine dan gabapentin yang diberikan dalam periode perioperative dapat mengurangi nyeri kronis. Kombinasi analgesik dilengkapi dengan terapi nonpharmacological akan terus memainkan peran penting dalam pengelolaan komprehensif nyeri akut pasca-operasi.Acknowledgements

Dr Gan has received research support and honoraria from Merck. Ortho-McNeil and Pfizer. Dr Pyati has no conflicts of interest that are directly relevant to the contents of this review. No sources of funding were used to assist in the preparation of this review.

References

I. Do]in St. Cash JN. BIand JM. Effectiveness of acute postoperative pain managemeat I. Evidence from published data. Br J Anaesth 2002 Sop: 89 (3):409-23

2. Warfield CAMD, Kahn CHMD. Acute pair management programs in U.S. hospitals and experiences and attitudes among US. adults. Anesthesiology 1995 Nov: 83 (5): 1090-4

3. Apfelhaum JL. Ch- C. Mehta SS. et al. Postoperative pain experience: results from a national survey suggest postoperative pain co,liares to be and ermanaged. Anesth Aaalg 2003: 97 (2): 53440

4. Ferrel1 B. Virani R. Grant M, et al. Analysis of pain contentln sing textbooks. l Pain Symptom Manage 2000 Mar: 19 (3): '_I8 `_8

5. Salantera S. Laur1 S. Salmi TT. Nurses knowledge about pharacological ,ad non-pharmacological pain m ment in AM-. I Pain Symptom Manage 1999 Om I8 (4):289-99 6. Page GG. The in,nun,-suppressive effects of pain. Ad, Exp Mod Biol 2003: 521: 117-25

7. Rosenfeld BA, Faraday N. Campbell D. et al. Hemostatic effects of stress hormone infusion. Anesthesiology 1994: 81 (5): 111126

8. Joshi GP. Ogunnaike BO. Consequences of Inadequate postoperativepain relief and chronic persistent postoperative pain. Anesthesiol Clin North America 2005: 23 (1): 21-36

9. Michaloliakou C. Chung F. Sharma S. Preoperative nmltimodal analgesia facilitates re very after ambulatory Iaparosoplc cholecystedomy. Anesth Anal, 1996: 82 J): 4451

10. Wu C. Richman 1. Postoperative pain and recovery profile. Cm'r Opin Anesthesiol 2004: 17: 455-60

11. Strassels SA. Ch- C. Can' DB. Postoperative analgesia: recoaad patient satisfaction in an urban teaching hospital. Anesth Aaalg 2002; 94 (q: 130-7

12. KehletH. Werner M. Perkins F. Balanced analgesia: whatls it and what are its advantages in postoperative pain? Dmgs 1999: 58 (8): 793-7

13. Hyllested M, Jones S. Pederse, JL, et al. Comparative effect of paracetamol. NSAID, or their comhinahon in postoperative pin; management a qualitative review. Br J Anaesth 2002:88 2):19-214

14. Burn rr rdran A. Kro1n JS. Tam- KJ, et al. Effects of perloperative administration of a selective eye] oorygena,e 2 inhibitor on pain managemevI and re overy of function after knee replacement a randomized controlled Trial. LAMA 2003: 290 (18): 2411-8

15. Woolf Ch Benneht GI. Doherty M. et al. Towards a mechanism

based classification of pain? Pain 1998: 77 (3): 227-9

16. Sorkin LS. Wallace MS. Acute pain mechanisms. Surg Clin

North Am 1999: 79 (2): 213-29

17. Brimijoin S. La ndherg JM, Brodar E. et al. Axonal transport of substance P in the ragas and -he nerves of the gnlnea pig. Brain Res 1980: 191 2): 44357

I8 DeVane CL. Sabrtance P: a new era. a new role. Pharmacotherapy 2001 Sep:21 (9):1001-9

19 Meller ST. Gebhart GF. Nitric oxide (NO) and no iceptiveprocessing in the spinal cord. Pain 1993: 52 2): 12736

20. Yamamoto T. Sakashita Y. The role of the spinal opiold r,e,p for like) receptor. the NK-I receptor, and cyclooxygenase-2 in alntaining postoperative pain in the at. Anesth Analg 1999: 89 (5): 1203-8

ro21. Dlonne RA, Mar MB. Gordon SM. et al. The substance P eceptor antagonist CP-99. 994 r,dae,s dear, postoperative pair. Clan Pharmacol The, 1998 No,: 64 (5): 562-8

22. Gonzalez MI. Field MJ. Hollomar EF Evaluation of PD 154075. a Cal rlkiviv NKI receprar antagonist, at a ,at model of postoperative pain. ErrJ Pharmacol 1998 Mar5:344 2-3): 115-20

23, Gold,tein DJ. We,,, O. Todd LE, et al. Stady of the analgesic effect of lanepitant in patients with ostewrthritl, pain. Clin Pharmacol Ther 2000 Apr: 67 (4): 419-26

24. ME R. NKI (substance P) receptor antagonists: why are they not analgesic in humans? Treads Pharmacol Sci 2000 July: 21 (7): 2244-6

25. DrayAPeripheralmediatorrofpain :thopharmacologyofpai,. Handbook EN, Pharmacol. 1997: 130: 21-42

26. Lang E, Novak P, Reeh P. Chemosensltivity of five afferents from rat on in vitro. 1 Neorophys 1990: 63: 887-901

27. Stanfa LC, Dick-s- AH. Xu X-1. et al. Ch010cystokinin and morphine analgesia: variations oa a themes Trends Pharmacol Sci 1994: 15: 656

28. BaberNS,DourishCT,Hill DR.TheroleofCCKcaemlein.and CCK antagonists in nociception. Pain 1989: 39 (3): 307-28

29. Headley PM, Grill- S. Excitatory anono acids ,ad synaptic transmission: the evidence for a physiological function. Trends Pharmacol Sci 1990 11 (5): 205-11

30 Kangrga I. Randic M. WE- of endoganoms aspartate and glntamate from the rat spinal dorsal horn in vitro by activation of low-and high- breshold primary afferent fibers: modolation by "'a pioids. Brain Res 1991:553 (2): 347-52

31. Dlckeuson AH. Spinal cord pharmacology of pain. Br J An-fl, 1995: 75 (2): 193-200

32. Rogawski MA. Therapemtic potential of excitatory amino acid antagonists: channel block- and 23benzodlazeplnes. Trends Pharmacol Sci 1993: 14 (9): 325-31

33 De Kock M, Lavand'homme P. Waterloos H. 'Balanced analge

in the perioperative period: is there a place for ketamine? Pain 2001:92 (3): 373-80

34. Moncovduit L. Bourgeois L. Bernard 1F. et al. Vent-dial thalamic nem'ons comrey nociceptive signals from the We body sarface to the dorsolateral neocortex. J Nearosci 1999: 19 (20): 906372

35. Yoshinmra M. Fume H. Mechanisms for the anti-nociceptive actions of the descending noradrenergic and serotonergic systems in the spinal cord. J Pharmacol Sci 2006: 101 (2): 107-17

30. Jones SL. Descending noradrenergic influences on pain. Prog Bmiv Re, 1991:88: 381-94

37. Li P. Zhao M. Cholinergic, noradrenergic. and serotonergic inhibition of fast synaptic tansis,ion in spinal lamb,' dorsal horn of rat. Brain Res Ball 2001:54: 639-47

38. Segal IS, Jarvis DJ. Dan,,,,, SR. et al. Clinical efficacy of m'alh'ansdennal clonidine combinations during the periopemtive period. Anesthesiology 1991:74 2): 2205

39. Kehlet H. Dahl JB. The value of 'nmltimodal' or 'balanced .nalgesla' in postoperative pain treatment Anesth Analg 1993; 77: 1048-56

40. Kehlet HH. Holte K. Effect of po,ropemtive analgesia on surgical ortcome. Br J Anaesth 2001; 87 (1): 62-72

41. Kehlet H. Effect of posopemtive pain heaanent on oareome

rent star., and far.re rhategles. Langenbeck, Arch Srrg 2004:389: 244-9

42. Werner MU. Soholm L. Rotho11-Nielsen P. et al. Does an neate pain service improve postoperative outcome? Anesth Analg Nov 2002: 95 (5): 1361-72

43. Spaulding TC, Fielding S. Venafro JJ. et al. Antlnociceptive activity of clonidine and it, potentiation of morphine analgo

m. Em' J Pharmacol 1979: 58 (1): 1325

44. All car RD. A rationale for combining acetaminophen and NS AID, for mild-to-moderate pain. Clin Exper Rheumatol

2004: 22 (1): 1 10 7

45. Ng A. Smith G. Davidson AC. Analgesic effects of parecoxib following total abdominal hysterectomy. Br J Anaesth 2003; 90 (6): 7469

46. Manzo S. Takao K. Takehlko K. et al. Determining the plasma

-nntion of ketamine that enhances epidural bopivacaine and morphine induced analgesia. Anesth Anal, 2005: 101 (3): 777-84

47. Chra YY, Lin K. LIu YC. et al. Adding ketamine in a nmL timodal patient