Upload
arsy-mira-pertiwi
View
82
Download
9
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Hiperglikemia Manajemen
Citation preview
MANAJEMEN STRESS HIPERGLIKEMIA PADA PASIEN KRITIS
Erwin Kresnoadi
Bagian Anestesiologi dan Reanimasi FK Unram
====================================================================
ABSTRAK
Kondisi hiperglikemia menjadi hal yang harus dihindari pada pasien ICU. Hiperglikemia merupakan respons adaptasi untuk mengatasi perubahan metabolik yang terjadi pada pasien ICU. Stress hiperglikemia merupakan kondisi abnormal bersifat sementara yang disebabkan penyakit akut dan dapat menjadi penanda beratnya penyakit. Secara umum target kadar glukosa yang disarankan adalah antara 140 hingga 180 mg/dl.Kata kunci : hiperglikemia, pasien ICU, kadar glukosa.
ABSTRACTHyperglycemic conditions become things to avoid in ICU patients. Hyperglycemia is an
adaptive response to overcome the metabolic changes that occur in ICU patients. Stress hyperglycemia is a temporary condition caused by abnormal acute disease and may be a marker of disease severity. In general, the recommended glucose targets are between 140 to 180 mg / dl.Keywords: hyperglycemia, ICU patients, glucose levels.
PENDAHULUAN
Pengaruh tidak menguntungkan yang ditimbulkan oleh hiperglikemia pada pasien di ICU
kurang mendapat perhatian sebelumnya. Namun pandangan terhadap masalah tersebut mulai
mengalami perubahan setelah dilakukannya beberapa penelitian observasional yang memastikan
bahwa terdapat kaitan antara hiperglikemia dengan peningkatan kematian pada pasien sakit
kritis.1 Penurunan kematian yang laporkan dari penelitian leuven (2001) setelah terapi insulin
intensif mengakibatkan perubahan penting dalam praktik klinis, dimana kondisi hiperglikemia
menjadi hal yang harus dihindari pada pasien ICU. Penelitian ini adalah single-center prospektif
yang membandingkan antara pengontrolan glukosa darah secara ketat (target glukosa darah 80 –
110 mg/dl) menggunakan terapi insulin intensif (TII) dengan pengontrolan glukosa darah secara
konvensional (target glukosa 180 – 200 mg/dl) pada pasien-pasien ICU bedah. TII berkaitan
dengan penurunan angka kematian di ICU dari 8,0 menjadi 4,6 persen dan angka kematian di
rumah sakit dari 10,9 menjadi 7,2 persen. Pengaruh yang menguntungkan dari TII lebih besar
pada pasien dengan masa perawatan di ICU lebih dari lima hari. Penurunan morbiditas di ICU
1
juga turut diamati, meliputi penurunan insiden infeksi sistemik, renal insuffisiensi akut, anemia,
polineuropati, lama penggunaan ventilator mekanik dan lama perawatan di ICU.2
Akan tetapi, hasil dari beberapa penelitian yang dilakukan berikutnya ternyata
mendapatkan hasil yang berbeda. Van den Berghe dkk. melakukan penelitian yang serupa pada
pasien-pasien ICU non bedah. Metode dan obyektif yang diterapkan sama dengan penelitian
Leuven. Hasil yang didapatkan adalah bahwa tidak terdapat perbedaan mortalitas yang bermakna
diantara kelompok yang diteliti.3 Berikutnya terdapat tiga penelitian multicenter yang cukup
dikenal yaitu penelitian VISEP, GLUCONTROL dan NICE-SUGAR. Penelitian VISEP (Volume
substitution and Insulin therapy in severe sepsis) mencoba untuk menilai pengaruh pengontrolan
glukosa darah secara ketat pada pasien dengan syok sepsis dan sepsis berat. Dari penelitian
tersebut didapatkan hasil bahwa tidak terdapat perbedaan mortalitas pada hari perawatan ke 28
dan 90 antara kelompok terapi insulin intensif (masing-masing 24,7 dan 39,7 persen) dan pada
kelompok terapi konvensional (masing-masing 26 dan 35,4 persen).4 Penelitian GLUCONTROL
yang dilakukan terhadap 1.078 pasien di ICU bedah dan medis juga mendapatkan hasil yang
tidak berbeda.5 Penelitian berikutnya yaitu NICE-SUGAR yang dilakukan terhadap 6022 pasien
ICU melaporkan bahwa angka kematian pada hari ke 90 ditemukan lebih tinggi pada kelompok
kontrol glukosa darah secara ketat (target glukosa darah 81 – 108 mg/dl) dari pada kelompok
terapi konvensional (target glukosa darah < 180 mg/dl) (27,6 vs 24,9 persen, p=0.02).6
Berdasarkan meta analisis yang terdahulu, pengontrolan glukosa darah pada pasien ICU
bermanfaat dalam memperbaiki angka mortalitas dan morbiditas namun bukan berarti tanpa efek
yang merugikan berdasarkan meta analisis yang lebih baru.7
Semua penelitian tersebut sulit untuk diinterpretasi dan dibandingkan karena terdapat
perbedaan pada populasi pasien dan protokol yang diterapkan (target level kadar gula darah,
metode pengukuran dan asupan karbohidrat) juga karena kelemahan dalam metodologi:
penelitian single center, populasi terdiri dari pasien bedah dan/atau medis, penghentian penelitian
secara dini, kesulitan untuk mencapai target glukosa. Hingga saat ini belum dapat ditetapkan
batas kadar glukosa universal yang dapat menimbulkan toksisitas pada pasien di ICU.7
Tidak terdapat bukti bahwa pengontrolan glukosa darah secara ketat akan
menguntungkan pada situasi emergensi. Meskipun keadaan hiperglikemia pada saat pasien
datang ke rumah sakit menjadi penanda prognosis yang buruk pada penyakit kardiovaskuler dan
2
serebral akut, sejauh ini tidak terdapat penelitian yang menunjukkan keuntungan jangka pendek
dari pengontrolan glukosa darah secara ketat pada kondisi tersebut. Tidak adanya keuntungan
tersebut ditambah lagi dengan meningkatnya risiko hipoglikemia.7
Setelah dipublikasikannya hasil dari penelitian Leuven tentang terapi insulin intensif
(2001), beberapa organisasi profesional mengeluarkan guideline tentang target kadar glukosa di
ICU. Terdapat guideline yang menyarankan target kadar glukosa kurang dari 110 mg/dl dan ada
yang menyarankan kadar glukosa kurang dari 150 mg/dl. Selanjutnya setelah publikasi hasil
penelitian berikutnya, semua organisasi profesional meningkatkan batas untuk memulai terapi
yaitu pada kadar glukosa di atas 180 mg/dl. Secara umum, target kadar glukosa yang disarankan
adalah antara 140 hingga 180 mg/dl. Beberapa guideline yang pernah dikeluarkan oleh
organisasi profesional dapat dilihat pada tabel 1.
Table 1. Guideline dari Organisasi Profesi tentang Manajemen Glukosa Darah di ICU
Tahun Organisasi Populasi pasien
Batas
mulai
terapi
Target Kadar
glukosa
mg/dl
DefinisiHypog
likemia
Updated Sejak NICE-
SUGAR Trial, 2009
2010
SocieteFrancaised’Ane
sthesie-Renimation Pasien ICU 180 Tidakdinyatakan <40 ya
2009
American Association
of Clinical
Endocrinologists dan
ADA
Pasien ICU 180 140 -180 <70 Ya
2009 Surviving Sepsis
Campaign
Pasien ICU 180 150 Tdkdinyatakan Ya
2008 AHAPasien ICUdgn
SKA
180 90 -140 Tdkdinyatakan tidak
2007
European Society of
Cardiology and
European Association
for the Study of
Diabetes
Pasien ICU
dgnkelainanjan
tung
Tdk
dinyatakastrict
Tdk
dinyatakantidak
3
Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa variasi kadar glukosa darah akut adalah
faktor prediktif yang independen terhadap mortalitas.8 Makin besar variasi glukosa darah yang
timbul dan makin dekat rerata glukosa darah dengan level normal, maka akan makin tinggi
mortalitas (dampak tersebut kurang jelas terlihat jika rerata kadar gula darah tinggi >150 mg/dl).
Dampak yang merugikan ini mungkin berkaitan dengan timbulnya disfungsi endotel dan
peningkatan stress oksidatif.7
Belum terdapat penelitian yang meneliti berbagai perbedaan metode dalam manajemen
hiperglikemia di ICU. Untuk mendapatkan hasil yang optimal (tercapainya target glukosa darah
dan meminimalisir variasi) dan untuk keamanan yang maksimal (mengurangi kejadian
hipoglikemia) merupakan alasan kuat yang mendasari penggunaan infus insulin dengan syringe
pump elektrik. Pada pasien ICU dengan edema atau variasi vasomotor, pemberian melalui infus
intravena mengurangi fluktuasi absorpsi insulin dan memungkinkan pengaturan pemberian
secara cepat dan efektif terhadap perubahan kadar glukosa darah. Hiperglikemia yang terjadi
akibat pemberian asupan glukosa (makanan) atau obat-obatan (glukokortikoid) dapat diatasi
dangan mengatur kecepatan pemberian insulin. Absorpsi insulin melalui subkutan tidak dapat
dipercaya dan mungkin tidak dapat diprediksi pada pasien dengan edema atau syok, akibatnya
glukosa darah menjadi lebih sulit untuk dikontrol. Pada penelitian perioperatif pasien dengan
diabetes, target glukosa darah hanya tercapai sekitar 40 persen setelah pemberian insulin
subkutan.7
Asupan Karbohidrat
Hiperglikemia dapat memiliki dampak yang menguntungkan atau merugikan tergantung
bagaimana mekanisme onsetnya, tingginya kadar glukosadan lamanya terjadi hiperglikemia.9
Stress hiperglikemia merupakan kondisi abnormal yang bersifat sementara yang disebabkan
penyakit akut dan dapat menjadi penanda beratnya penyakit.1 Hiperglikemia merupakan respons
adaptasi untuk mengatasi perubahan metabolik yang terjadi pada pasien ICU. Perputaran glukosa
yang lebih cepat dan resistensi insulin pada awalnya bertujuan untuk memberikan substrat energi
(glukosa) yang dibutuhkan oleh organ tubuh. Hipoksia dan fenomena proinflamasi (sitokin) akan
memperbesar hiperglikemia endogen dan begitu pula sebaliknya sehingga menimbulkan suatu
4
siklus yang merugikan. Hiperglikemia dapat lebih memburukdan berlangsung lama dengan
timbulnya hiperglikemia eksogen yang didapat melalui asupan glukosa secara enteral dan
parenteral atau melalui pemberian obat glukokortikoid. Glukosa yang pada mulanya bermanfaat
lambat laun menjadi berlebihan dan bersifat toksik dengan meningkatkan respons inflamasi dan
memicu timbulnya stress oksidatif.10 Perbedaan hasil yang didapatkan dari Penelitian Leuven dan
Nice-Sugar sebagian mungkin disebabkan adanya perbedaan jumlah karbohidrat yang diberikan.
Van den Berghe et al. memberikan asupan karbohidrat yang tinggi (200 g/hari).2 Hal ini dapat
meningkatkan toksisitas glukosa. Toksisitas glukosa ini kemudian dikoreksi dengan pemberian
terapi insulin intensif. Berbeda dengan penelitian Nice-Sugar dimana pemberian karbohidrat
enteral dibatasi terutama pada dua hingga tiga hari pertama. Pemberian insulin yang terlalu dini
memang akan mengembalikan kadar glukosa darah menjadi normal tapi hal ini justru akan
memperburuk kondisi pasien karena mencegah timbulnya respons adaptasi.7
Belum terdapat bukti yang dapat menentukan apakah pemberian insulin intra vena harus
dihentikan atau dilanjutkan jika pasien memulai asupan makanan per oral. Berdasarkan data
fisiopatologi, pasien yang sudah bisa makan per oral diharapkan akan terjadi perbaikan regulasi
glukosa melalui sekresi insulin endogen yang sesuai. Semua penelitian menggunakan regimen
berikut: Pemberian bolus insulin preprandial secara intra vena atau subkutan dengan sekurang-
kurangnya satu kali pengukuran kadar gula darah tiap kali sebelum makan. Pemantauan kadar
gula darah sudah dihentikan saat pasien dipindahkan dari ICU. Beberapa penelitian
menganjurkan pengantian pemberian insulin secara intra vena menjadi subkutan sebelum pasien
meninggalkan ICU. Sebuah penelitian retrospektif pada pasien bedah syaraf menunjukkan bahwa
6 hingga 70 persen dari dosis insulin intra vena jika diberikan melalui subkutan akan
menghasilkan pengontrolan kadar glukosa yang memuaskan tanpa meningkatkan risiko
terjadinya hipoglikemia.7
Asupan energi harian yang direkomendasikan pada pasien ICU adalah sekitar 25
kkal/kg/hari. Diperlukan sekurang-kurangnya dua hingga tiga hari untuk mencapai target
tersebut. Jika asupan kalori lewat enteral masih rendah setelah tiga hari, maka diperlukan
tambahan melalui parenteral.12 Glukosa adalah substrat energi terpenting karena beberapa
jaringan memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap glukosa. Rerata konsumsi harian glukosa
oleh otak adalah 100-150 g. Sumber glukosa dapat berasal dari eksogen dan endogen. Glukosa
5
eksogen berasal dari asupan karbohidrat enteral atau parenteral. Glukosa endogen sebagian besar
berasal dari glukoneogenesis di hati dan otot, produksi harian glukosa endogen dapat mencapai
300 g/hari. Pasien ICU mengalami resistensi insulin sehingga pemberian glukosa eksogen yang
berlebihan akan meningkatkan risiko hiperglikemia, terlebih lagi kapasitas maksimal oksidasi
glukosa juga turun menjadi 2-5 mg/kg/menit. Dalam kondisi tersebut, pemberian infus glukosa
hanya akan menghambat proses glukoneogenesis secara parsial. Pengaruh pemberian karbohidrat
enteral terhadap metabolisme glukosa sukar untuk dinilai karena absorpsi digestif tidak dapat
diperkirakan secara akurat. Di sisi lain, pemberian glukosa eksogen yang terlalu sedikit akan
mempercepat penggunaan substrat yang bersumber dari glukoneogensis sehingga juga akan
mempercepat katabolisme protein otot. Kesimpulannya, pemberian asupan glukosa yang terlalu
banyak atau sebaliknya tidak sama sekali, dapat menimbulkan dampak yang membahayakan
pada pasien kritis.7
Adanya pengaruh asupan karbohidrat terhadap kadar glukosa pasien di ICU menunjukkan
bahwa jumlah asupan karbohidrat harus diperhitungkan dalam protokol pengontrolan glukosa.
Secara teori, Untuk mencapai pengontrolan glukosa yang optimal maka banyaknya asupan
karbohidrat harus disesuaikan dengan memperhatikan variasi kadar glukosa (hiper atau
hipoglikemia).7
Algoritma dan Protokol pengontrolan Glukosa
Hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Van den Berghe dkk. menimbulkan
peningkatan penggunaan terapi insulin kontinyu untuk mengontrol glukosa darah. Untuk
memastikan efektivitas dan keamanan, pemberian terapi insulin harus diatur dalam suatu
algoritma atau protokol tertentu. Saat ini terdapat banyak variasi dari algoritma/protokol
pengontrolan glukosa dara yang dipublikasikan karena kriteria yang digunakan sangat beragam:
target glukosa, kecepatan pemberian insulin, interval pemantauan, manajemen dilakukan oleh
dokter atau perawat dan lain-lain. Pada penelitian yang dilakukan oleh Van den berghe dkk.
protocol diimplementasikan oleh staff perawat yang sudah terlatih khusus.2 Sedangkan pada
penelitian NICE SUGAR digunakan protokol berbasis komputer yang dilengkapi beberapa
batasan untuk mengatur kecepatan pemberan insulin dan interval pemantauan.6 Pada semua
6
kasus, pembuatan sebuah protokol harus disesuaikan dengan kondisi lokal (sumber daya manusia
dan teknologi) dan dapat diterima oleh tim yang akan mengimplementasikan protokol tersebut.7
Saat ini belum terdapat penelitian prospektif yang membandingkan pengaruh protokol
pengontrolan glukosa darah terhadap angka morbiditas dan mortalitas. Upaya untuk mengukur
performa suatu protokol juga tidak mudah karena beragamnya variabel yang digunakan. Hingga
saat ini belum terdapat bukti yang menganjurkan satu protokol dibandingkan yang lain.7
Metode pemberian insulin intravena secara kontinyu memberikan hasil yang lebih efektif,
aman dan mudah untuk dilakukan dari pada pemberian secara subkutan.1 Metode pemberian
tersebut sudah diterapkan di semua ICU dan terkadang disuplementasi dengan pemberian insulin
bolus intravena. Metode tersebut memberikan keuntungan karena membatasi banyaknya variasi
pada kadar glukosa di mana hal tersebut sama pentingnya dengan nilai rerata hiperglikemia.13
Sebagai tambahan, meskipun hubungan sebab akibat antara hipoglikemia dan peningkatan
mortalitas belum dapat dibuktikan, alangkah bijaksana untuk merekomendasikan penggunaan
metode pengontrolan glukosa darah yang menghindari sejauh mungkin munculnya kejadian
hipoglikemia.7
Sebuah penelitian terhadap seratus pasien ICU memperlihatkan bahwa kejadian
hipoglikemia berat berkurang secara bermakna jika insulin diberikan melalui jalur infus yang
spesifik daripada yang non-spesifik (4 persen vs 22 persen).8 Begitu juga dengan pemberian
katekolamin kontinyu, ini akan menghindari pemberian yang bervariasi yang disebabkan injeksi
obat lainnya.
Algoritma pengontrolan yang bersifat statik akan menentukan kecepatan pemberian
insulin berdasarkan pengukuran nilai glukosa tunggal (yang terakhir). Sedangkan algoritma
pengontrolan yang bersifat dinamis akan mempertimbangkan berbagai faktor seperti kecepatan
pemberian insulin yang diberikan saat itu, interval pemantauan, asupan glukosa dan lain-lain.
Fakta yang ada menunjukkan bahwa pengontrolan yang bersifat dinamis lebih baik daripada
statis. Pendekatan yang digunakan harus memperhitungkan asupan glukosa eksogen karena dapat
mempengaruhi level glukosa. Idealnya asupan nutrisi yang diberikan harus diperhitungkan
dengan tujuan mencapai glukosa darah yang stabil.7
Dalam suatu algoritma, variabel yang rutin digunakan adalah nilai kadar glukosa. Namun
beberapa variabel lain seperti kecepatan pemberian insulin sebelumnya dan interval monitoring
7
mutlak harus diperhatikan. Output yang umum dari semua algorima adalah kecepatan pemberian
insulin. Beberapa output lainnya adalah rekomendasi untuk pemberian bolus insulin, asupan
makanan, interval monitoring, koreksi hipoglikemia dan lain – lain.7
Suatu protokol pengontrolan glukosa yang efektif, tidak hanya mempertimbangkan
target glukosa tapi juga waktu yang diperlukan oleh staf ICU untuk mengadopsi protokol
tersebut, risiko hipoglikemia dan cara pengukuran glukosa yang fleksibel dan terpercaya.7 Sejak
diterapkannya pengontrolan kadar glukosa di ICU tentunya menimbulkan peningkatan beban
kerja bagi staf. Agar suatu protokol dapat berjalan efektif dan aman maka protokol tersebut harus
disesuaikan dengan sumber daya yang tersedia. Staf yang melaksanakan protokol harus
mendapat pelatihan terlebih dahulu. Dan yang tak kalah penting adalah adanya kerja sama yang
baik antara dokter dan perawat di ICU.7
Pemantauan Glukosa
Kadar glukosa dapat diukur dengan menggunakan sampel darah dari beberapa sumber
(misal: intra arteri, kateter vena atau alat fingerstick). Harus dipastikan bahwa sampel tidak
terkontaminasi oleh cairan intravena. Alat glukometer bedside dapat memberikan hasil yang
tidak akurat (menyimpang > 20 persen), terutama jika digunakan untuk mengukur sampel dari
pasien yang memiliki level glukosa yang rendah atau untuk menilai sampel darah kapiler dari
pasien dengan edema, hipoperfusi atau anemia. Analisis plasma di laboratorium adalah cara
terbaik untuk mengukur kadar glukosa darah, tetapi cara ini terlalu lambat jika digunakan di
ICU. Sebagian besar ICU menggunakan alat analisis gas darah yang cukup akurat. Jika cara
pemeriksaan tersebut dapat dilakukan dengan cepat maka ini memberikan solusi yang paling
tepat untuk pengukuran glukosa darah di ICU.14
Kejadian hipoglikemia masih sering terjadi walaupun pemantauan kadar gukosa sudah
sering dilakukan oleh tim yang berpengalaman. Oleh karena itu perlu dipertimbangkan teknologi
lain seperti sensor glukosa subkutan yang memberikan pembacaan glukosa tiap lima menit. Akan
tetapi karena sensor yang digunakan terdapat di dalam cairan interstitial maka dapat terjadi
perbedaan dengan level glukosa di darah. Pada kasus hipoglikemia, hasil pengukuran yang
diperoleh dapat menjadi lebih rendah. Sensor glukosa intravaskular secara kontinu akan
8
memberikan pemantauan secara real-time, tetapi penggunaan teknologi ini kurang bermanfaat
jika target glukosa yang ingin dicapai tidak lebih rendah dari 80 – 110 mg/dl.14
Hipoglikemia: Diagnosis dan Bahayanya
Definisi hipoglikemia dan derajat berat ringannya telah ditetapkan dengan tegas pada
pasien yang menderita diabetes. Namun hingga saat ini belum terdapat batasan yang jelas untuk
hipoglikemia pada pasien kritis. Pada pasien diabetes, definisi hipoglikemia ditetapkan hanya
berdasarkan ambang biologis tanpa memperhatikan gejala neurologis yang timbul. Sebagian
besar penelitian yang dilakukan di ICU tidak didesain untuk menilai hipoglikemia dan batasan
hipoglikemia yang digunakan hanya berdasarkan level kadar glukosa darah tanpa memperhatikan
gejala klinis yang berkaitan dengan kondisi tersebut.15,7
Definisi hipoglikemia berat yang digunakan pada pasien diabetes tidak dapat diterapkan
lansung pada pasien ICU yang tidak dapat menunjukkan tanda klinis karena adanya gangguan
kesadaran tanpa atau dengan penggunaan sedasi. Gejala klinis dari aspek kardiovaskuler juga
sering luput dari perhatian. Minimnya gejala klinis yang spesifik dan kesulitan untuk mendeteksi
dengan cepat adanya perburukan kondisi pasien meningkatkan risiko timbulnya hipoglikemia
berat.15 Sebagian besar kasus hipoglikemia yang dilaporkan dalam penelitian di ICU berlangsung
dalam periode yang singkat (< 2 jam) dan menggunakan batasan hipoglikemia secara eksklusif
berdasar nilaibiologis tanpa disertai laporan berat-ringannya gejala klinis yang timbul.7
Terdapat banyak penelitian yang membuktikanbahwa hipoglikemia berkaitan dengan
adanya peningkatan mortalitas yang bermakna.2 Sebaliknya, beberapa penelitian lain
menunjukkan bahwa hiperglikemia bukan merupakan faktor prediktif independen terhadap
mortalitas. Beberapa faktor yang menjadi predisposisi timbulnya hipoglikemia pada pasien kritis
adalah hemofiltrasi kontinyu,diabetes,ventilasi mekanik,sepsis,pemberian insulin dan obat-obat
inotropik serta lesi pada otak. Pada kondisi tersebut, strategi pengontrolan glukosa darah yang
diterapkan adalah dengan menetapkan target glukosa pada level yang lebih tinggi.7 Sebagian
besar penelitian di ICU menggunakan sekurang-kurangnya satu kejadian hipoglikemia berat
sebagai patokan untuk melaporkan kejadians hipoglikemia. Kejadian hipoglikemia (5-25 persen
menurut penelitian) selalu lebih tinggi secara bermakna pada pasien di ICU. Penelitian terbaru
melaporkan adanya peningkatan risiko hipoglikemia berat tiga sampai enam kali lipat.16
9
Belum terdapat penelitian yang melaporkan konsekwensi klinis akibat hipoglikemia berat
dalam jangka panjang dan upaya untuk mengoreksi kondisi tersebut pada pasien kritis. Dalam
penelitian eksperimental, kematian neuron pasca hipoglikemia tidak secara langsung disebabkan
oleh defisit energi tetapi lebih disebabkan munculnya reaksi cascade yang dipicu oleh
hipoglikemia, terutama akibat influks dari glutamat dan zinc yang mengaktifkan reseptor post-
sinaptik glutamat. Reaksi tersebut akan menimbulkan sejumlah modifikasi seluler (sebagai
contoh: produksi senyawa oksigen reaktif (ROS), modifikasi DNA dan gangguan permeabilitas
membran) yang disebabkan apoptosis neuronal. Suh dkk memperlihatkan bahwa kematian
neuron sulit terjadi saat hipoglikemia tetapi dapat jelas terlihat saat timbul reperfusi glukosa.
Kematian neuron berbanding lurus dengan rebound hiperglikemia yang dipicu oleh reperfusi
glukosa eksogen dan dipicu pula oleh NADPH oksidase yang berperan terhadap produksi ROS.
Hal ini mengingatkan pada mekanisme kematian selular saat periode reperfusi setelah iskemia.
Meskipun masih sedikit bukti klinis yang mendukung data eksperimen tersebut, kondisi
hipoglikemia jelas memerlukan penanganan yang lebih cermat (pemberian cairan glukosa dalam
jumlah yang lebih moderat dan pemantauan secara ketat) untuk mencegah timbulnya rebound
hiperglikemia secara berlebihan.7,17
Kejadian timbulnya hipoglikemia yang lebih tinggi pada metode pengontrolan glukosa
secara ketat berhubungan dengan tidak adanya tanda peringatan yang jelas secara klinis sehingga
memerlukan pengulangan pemeriksaan glukosa darah. Lama interval pemeriksaan glukosa darah
ulang disesuaikan dengan kondisi yang ditemukan: Tiap 30 menit (pada kasus hipoglikemia atau
hiperglikemia berat) hingga tiap 4 jam tergantung hasil analisis dan stabilitas glukosa darah.
Namun belum terdapat penelitian yang dapat dijadikan patokan untuk merekomendasikan berapa
lama interval pemeriksaan ulang glukosa harus dilakukan.7 Nilai glukosa darah dapat bervariasi
sesuai dengan tempat pengambilan sampel. Nilai yang diperoleh dari sampel yang berasal dari
kapiler lebih tinggi dibanding sampel yang berasal dari arteri. Perbedaan yang timbul dapat
mencapai 30 persen. Pada kondisi hipoglikemia, pemeriksaan glukosa menggunakan sampel
yang berasal dari darah arteri atau vena sebaiknya dilakukan di laboratorium atau menggunakan
alat analisa gas darah. Beberapa penelitian melaporkan kejadian hipoglikemia berat yang tidak
terdeteksi dengan pemeriksaan darah kapiler.7
10
RINGKASAN
Tidak terdapat bukti bahwa pengontrolan glukosa darah secara ketat akan
menguntungkan pada situasi emergensi. Hingga saat ini belum dapat ditetapkan batas kadar
glukosa universal yang dapat menimbulkan toksisitas pada pasien di ICU. Secara umum, target
kadar glukosa yang disarankan adalah antara 140 hingga 180 mg/dl.
DAFTAR PUSTAKA
1. Umpierre GE, et al: Hyperglycemia an independent marker of in-hospital mortality in patients with undiagnosed diabetes. J cli EndocrinoMetab 2002, 87:978-82.
2. Van den Berghe G,et al. Intensive insulin therapy in the critically ill patients. N engl J Med 2001, 345:1359-67.
3. Van den Berghe G,et al. Intensive insulin therapy in the medical ICU. N engl J Med 2006,354 :449-61.
4. Brunkhorst FM, et al. for the German Competence Network Sepsis (SepNet): Intensive Insulin Therapy and Pentastarch Resuscitation in Severe Sepsis? N engl J Med 2008,358 :125-39.
5. Preiser JC, et al. A prospective randomised multi-centre controlled trial on tight glucose control by intensive insulin therapy in adult intensive care units: the Glucontrol study.Intensive Care Med 2009,351 :1738-48.
6. NICE-SUGAR Study Investigators, Intensive versus conventional glucose control in critically ill patients. N engl J Med 2009,360 :1283-97.
7. Ichai C,Preiser JC,International recommendations for glucose control in adult non diabetic critically ill patients.Crit care 2010;14:R166.
8. Lacherade JC,Jacqueminet S,Preiser JC: An overview of hypoglycemia in the critically ill. J Diabetes SciTechnol 2009,3 :1242-9.
9. Fahy BG,Sheelhy AM,Coursin DE: Glucose control in the intensive care unit.Crit Care Med 2009, 37 :1769-76.
10. Wellen KE,Hotamisliglil GS: Inflammation, stress and diabetes. J Clin Invest 2005,115:1111-9.
11. Brunkhorst FM, et al. for the German Competence Network Sepsis (SepNet): Intensive Insulin Therapy and Pentastarch Resuscitation in Severe Sepsis? N engl J Med 2008,358:125-39.
12. Singer P,et al. ESPEN Guidelines on Parenteral Nutrition: intensive care. ClinNutr 2009,28 :387-400.
13. Krinsley JS: Glycemic variability a strong independent predictor of mortality in critically ill patients. CritCare Med 2008, 36 :3008-13.
11
14. Kavanagh BP, McCowen KC. Glycemic control in the ICU. N Engl J Med 2010;363:2540-6
15. Dungan KM, Braithwaite SS, Preiser JC. Stress hyperglycaemia. Lancet 2009; 373:1798-807.
16. Griesdale DEG,et al. Intensive insulin therapy and mortality among critically ill patients: a meta-analysis including NICE-SUGAR study data. CMAJ 2009, 180 :821-27.
17. Suh SW,et al. Hypoglycemic neuronal death is triggered by glucose reperfusion and activation of neuronal NADPH oxidase. J Clin Invest 2007, 117 :910-18.
12