35
MANAJEMEN STROKE PASKA AKUT PENDAHULUAN Menurut WHO (World Health Organization) stroke didefinisikan sebagai suatu gangguan fungsional otak yang terjadi secara mendadak dengan tanda dan gejala klinis baik fokal maupun global yang berlangsung lebih dari 24 jam, atau dapat menimbulkan kematian, disebabkan oleh gangguan peredaran darah atau vaskularisasi otak. 1 Stroke adalah salah satu sindrom neurologi yang merupakan ancaman terbesar menimbulkan kematian dan kecacatan dalam kehidupan manusia. 2 Stroke merupakan penyebab utama kecacatan di seluruh dunia. Di Amerika Serikat, diperkirakan dari 4,4 juta pasien post stroke, 40% memiliki gangguan fungsional sedang dan 15-30% memiliki gangguan berat. 3 Di Indonesia data nasional stroke menunjukkan bahwa stroke merupakan penyakit dengan angka kematian tertinggi, yaitu sebesar 15,4%. Dari semua pasien yang terkena stroke iskemik pertama kalinya, sekitar 50% meninggal atau menjadi tergantung dalam kegiatan sehari-hari pada satu tahun pertama setelah serangan sehingga menimbulkan beban bagi perekonomian. 4 Pasien stroke memiliki risiko tinggi untuk terjadinya gangguan vaskuler lain, termasuk stroke ulang, infark miokard, dan kematian akibat sebab vaskuler. Risiko tersebut ditemukan paling besar pada minggu—minggu awal setelah serangan. Namun dengan penanganan paska stroke yang komprehensif, 80% dari kejadian berulang dapat dicegah. 5 1

Manajemen Stroke Pasca Akut

Embed Size (px)

DESCRIPTION

stroke, manajemen, rehabilitasi, faktor risiko

Citation preview

Page 1: Manajemen Stroke Pasca Akut

MANAJEMEN STROKE PASKA AKUT

PENDAHULUAN

Menurut WHO (World Health Organization) stroke didefinisikan sebagai suatu

gangguan fungsional otak yang terjadi secara mendadak dengan tanda dan gejala klinis baik

fokal maupun global yang berlangsung lebih dari 24 jam, atau dapat menimbulkan

kematian, disebabkan oleh gangguan peredaran darah atau vaskularisasi otak.1

Stroke adalah salah satu sindrom neurologi yang merupakan ancaman terbesar

menimbulkan kematian dan kecacatan dalam kehidupan manusia.2 Stroke merupakan

penyebab utama kecacatan di seluruh dunia. Di Amerika Serikat, diperkirakan dari 4,4 juta

pasien post stroke, 40% memiliki gangguan fungsional sedang dan 15-30% memiliki

gangguan berat.3

Di Indonesia data nasional stroke menunjukkan bahwa stroke merupakan penyakit

dengan angka kematian tertinggi, yaitu sebesar 15,4%. Dari semua pasien yang terkena

stroke iskemik pertama kalinya, sekitar 50% meninggal atau menjadi tergantung dalam

kegiatan sehari-hari pada satu tahun pertama setelah serangan sehingga menimbulkan

beban bagi perekonomian.4

Pasien stroke memiliki risiko tinggi untuk terjadinya gangguan vaskuler lain,

termasuk stroke ulang, infark miokard, dan kematian akibat sebab vaskuler. Risiko tersebut

ditemukan paling besar pada minggu—minggu awal setelah serangan. Namun dengan

penanganan paska stroke yang komprehensif, 80% dari kejadian berulang dapat dicegah.5

Manajemen pasien dengan stroke paska akut melibatkan beberapa aspek yang saling

terkait satu sama lain. Aspek-aspek yang terlibat antara lain rehabilitasi, manajemen

komplikasi paska stroke, dan manajemen faktor risiko untuk mencegah kejadian stroke

berikutnya. Tabel di bawah ini menunjukkan aspek-aspek penanganan stroke yang perlu

diperhatikan baik pada fase akut maupun paska akut untuk memperoleh keluaran yang

optimal.3

1

Page 2: Manajemen Stroke Pasca Akut

Sumber: Duncan PW, Horner RD, Reker DM, et al. Adherence to Postacute Rehabilitation Guidelines Is Associated With Functional Recovery in Stroke. Stroke. AHA Journal 2002;33:167-178

PENANGANAN TERINTEGRASI STROKE PASKA AKUT

Dampak gejala sisa akibat stroke sangat bervariasi dan kompleks, sehingga

penanganan stroke memerlukan penanganan yang integratif dan melibatkan tenaga

profesional dalam bentuk tim yang membahas secara berkesinambungan perkembangan

hasil dan secara dinamis menetapkan intervensi yang tepat dan sesuai. Tim ini setidaknya

terdiri atas dokter (spesialis saraf, spesialis penyakit dalam, rehabilitasi medik), perawat,

tenaga fisioterapis (terapi okupasi, terapi bicara dan bahasa), dan bila perlu didukung pula

oleh disiplin ilmu lain seperti ahli gizi, psikiater, atau tenaga kerja sosial.3

Secara umum stroke dibedakan dalam beberapa fase. Pembagian ini dalam

rehabilitasi medis dipakai sebagai acuan untuk menentukan tujuan (goal) dan jenis

intervensi rehabilitasi yang akan diberikan. Pada fase akut kondisi hemodinamik pasien

belum stabil, umumnya latihan yang diberikan tidak intensif. Pada fase sub akut kondisi

hemodinamik pasien umumnya sudah stabil dan diperbolehkan kembali ke rumah. Sebagian

kecil (sekitar 10%) pasien pulang dengan gejala sisa yang sangat ringan, dan sebagian kecil

2

Page 3: Manajemen Stroke Pasca Akut

lainnya (sekitar 10%) pasien pulang dengan gejala sisa yang sangat berat dan memerlukan

perawatan orang lain sepenuhnya. Namun sekitar 80% pasien pulang dengan gejala sisa

yang bervariasi. Mengembalikan kemandirian dalam melakukan aktivitas sehari-hari setelah

stroke merupakan fokus dan tujuan utama utama rehabilitasi stroke fase ini. Terapi latihan

dan remediasi yang diberikan merupakan paduan latihan sederhana dan latihan spesifik

menggunakan berbagai metode terapi dan melibatkan berbagai disiplin ilmu. Menentukan

jenis, metode pendekatan, waktu pemberian, frekuensi dan intensitas terapi yang tepat

harus disesuaikan dengan kondisi medis pasien.3

MANAJEMEN FAKTOR RISIKO

Manajemen faktor risiko yang agresif serta perubahan gaya hidup merupakan hal

yang esensial bagi seluruh pasien stroke, sebuah penelitian observasional pada pasien

dengan riwayat stroke ditemukan bahwa perubahan gaya hidup termasuk olahraga teratur

dan penghentian rokok secara signifikan berhubungan dengan menurunnya angka

kematian.6

Secara garis besar, faktor risiko stroke dibagi menjadi 2 golongan besar, yaitu faktor

risiko yang dapat dimodifikasi dan faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi. Faktor risiko

yang dapat dimodifikasi terdiri dari usia, ras, jenis kelamin, dan riwayat stroke sebelumnya.

Studi INTERSTROKE menyebutkan 10 faktor risiko yang dapat dimodifikasi yang berperan

dalam 90% kasus stroke, yaitu hipertensi, merokok, rasio lingkar pinggang dengan pinggul

yang tinggi, pola makan tinggi lemak, rendahnya aktivitas fisik, diabetes melitus, konsumsi

alkohol yang berlebihan, stress, penyakit jantung, serta rasio apolipoprotein

B/apolipoprotein A1 yang tinggi. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi merupakan sasaran

terapetik pada pasien stroke paska akut.7 Tiga hal yang esensial dalam pencegahan stroke

infark berulang adalah kontrol tekanan darah, penurunan kadar kolesterol dengan

menggunakan statin, dan penggunaan antiplatelet (kecuali pada pasien yang memiliki

indikasi penggunaan antikoagulan).5

Tabel di bawah ini menunjukkan berbagai faktor risiko stroke dan hubungannya

dengan jenis stroke.

3

Page 4: Manajemen Stroke Pasca Akut

Sumber: O’Donnell MJ, Xavier D, Liu L, et al. Risk factors for ischaemic and intracerebral haemorrhagic stroke in 22 countries (the INTERSTROKE study): a case-control study. Lancet 2010;376:112-23.

FARMAKOTERAPI PADA PENCEGAHAN SEKUNDER STROKE INFARK

Seperti telah disebutkan sebelumnya, stroke merupakan penyebab utama kecacatan

dan kematian di dunia.2 Tiap tahunnya, 795.000 orang di Amerika Serikat terserang stroke,

185.000 di antaranya merupakan serangan ulang. Sebuah penelitian menyebutkan bahwa

sekitar 20% pasien dengan TIA atau stroke sebelumnya memiliki kemungkinan untuk

mengalami serangan berulang dalam 1 tahun.8

Penggunaan antiplatelet merupakan hal yang fundamental dalam prevensi sekunder

terhadap kejadian stroke infark. Beberapa jenis antiagregasi platelet yang dapat menjadi

alternatif dalam pencegahan stroke dan telah disetujui oleh FDA adalah aspirin, klopidogrel,

dan kombinasi antara aspirin serta dipiridamol yang lepas berkala (extended release

dypiridamole/ERDP). Untuk mencapai efek yang maksimal, penggunaan antiplatelet

tersebut harus dimulai segera setelah serangan dan dilanjutkan seumur hidup.2

Efektivitas aspirin sebagai agen dalam pencegahan stroke berulang telah diketahui

sejak tahun 1970-an. Apirin merupakan penghambat enzim siklooksigenase ireversibel yang

bekerja dengan menghambat perubahan asam arakhidonat menjadi prostaglandin, proses

ini pada akhirnya menghambat pembentukan tromboksan A2 dan agregasi platelet. Pada

meta analisis dari 11 clinical trial yang membandingkan penggunaan aspirin dengan

plasebo, disebutkan bahwa aspirin menurunkan risiko relatif stroke dan kejadian vaskuler

4

Page 5: Manajemen Stroke Pasca Akut

lain sebesar 13%. Hasil ini dapat diperoleh pada penggunaan aspirin dengan dosis lebih dari

30 mg per hari. Namun, hasil tidak lebih baik pada penggunaan aspirin dosis tinggi, dan

penggunaan aspirin dengan dosis yang lebih rendah lebih sedikit menimbulkan efek

samping. Dosis aspirin yang direkomendasikan adalah 75-325 mg per hari.2

Klopidogrel merupakan derivat dari thienopyridine yang bekerja dengan

menghambat reseptor adenosin difosfat (ADP) yang mencegah melekatnya fibrinogen

terhadap platelet. Pada studie CAPRIE, klopidogrel memiliki efikasi dalam menurunkan risiko

relatif stroke lebih baik dibandingkan aspirin pada pasien dengan faktor risiko multipel,

terutama dengan keterlibatan gangguan jantung seperti infark miokard. Dosis klopidogrel

yang direkomendasikan adalah 75 mg per hari.2

Dipiridamol memiliki beberapa mekanisme dalam mencegah agregasi platelet.

Mekanisme kerja yang paling utama adalah dengan menghambat enzim platelet

phosphodiesterase, penghambatan ini menyebabkan peningkatan kadar cyclic adenosine

monophosphate (CAM) intraplatelet yang meningkatkan efek dari prostasiklin. Selain itu,

dipiridamol juga bekerja dengan melepaskan eicosanoid dari endotel yang menyebabkan

penghambatan metabolisme adenosine sehingga agregasi platelet dihambat. Penelitian

menunjukkan tidak ada perbedaan efikasi antara penggunaan dipiridamol 200 mg 2x/hari

dengan aspirin 75 mg 1x/hari. Namun penelitian ESPRIT yang membandingkan penggunaan

kombinasi aspirin dan extended release dypiridamole (aspirin 75 mg – ERDP 200 mg) dengan

monoterapi aspirin (75 mg) menunjukkan bahwa kombinasi keduanya lebih superior dengan

efek samping perdarahan yang tidak signifikan bedanya.2

Antikoagulan merupakan pilihan terapi pada pasien dengan atrial fibrilasi yang

memiliki risiko terhadap terjadinya stroke. Penggunaan warfarin mengurangi angka kejadian

stroke sebesar 2/3 dibandingkan dengan plasebo. Sebuah studi yang membandingkan

antara penggunaan warfarin dengan aspirin pada pasien dengan atrial fibrilasi non valvular

menunjukkan bahwa penggunaan warfarin mengurangi angka kejadian stroke sebesar 45%

dibandingkan aspirin, namun pada saat yang bersamaan warfarin juga meningkatkan risiko

terjadinya perdarahan mayor sebesar 70%.2 Sebagai salah satu alternatif pada pasien yang

tidak dapat mentoleransi antikoagulan, kombinasi 2 antipatelet, yaitu aspirin dan

klopidogrel dapat digunakan.9 Kombinasi ini terbukti lebih efektif dibandingkan monoterapi

aspirin dalam mencegah stroke pada pasien dengan atrial fibrilasi dengan efek samping

perdarahan tidak sebesar penggunaan antikoagulan oral.2

5

Page 6: Manajemen Stroke Pasca Akut

Berdasarkan beberapa penelitian mengenai penggunaan antiplatelet dan

antikoagulan pada stroke infark, dapat disimpulkan bahwa untuk kasus stroke infark

kardioemboli antikoagulan tetap merupakan pilihan utama, aspirin dapat diberikan pada

pasien dengan risiko stroke rendah (CHADS skor 0 atau 1), sedangkan pada pasien yang

tidak dapat menerima terapi antikoagulan direkomendasikan penggunaan kombinasi

antiplatelet (aspirin dan klopidogrel). Pada kasus stroke infark non-kardioemboli antiplatelet

seperti aspirin lebih direkomendasikan. Penggunaan kombinasi antara aspirin dan

dipiridamol lebih efektif dibandingkan aspirin saja. Pemilihan penggunaan antiplatelet

(aspirin, klopidogrel, atau kombinasi aspirin dan dipiridamol) harus mempertimbangkan

harga, toleransi dan kepatuhan pasien, serta faktor komorbiditas lain.2

HIPERTENSI

Hipertensi merupakan faktor risiko stroke yang terpenting, baik pada stroke

perdarahan maupun stroke infark. Risiko terjadinya stroke meningkat seiring dengan

meningkatnya tekanan darah, terutama pada tekanan darah lebih dari sama dengan 160/95

mmHg. Framingham Heart Study menyebutkan risiko stroke meningkat sebesar 2 kali lipat

pada pasien hipertensi. Hipertensi sendiri, menurut JNC 7 adalah kondisi tekanan darah

sistolik lebih dari sama dengan 140 mmHg dan/atau diastolik lebih dari sama dengan 90

mmHg.10

Sumber: Chobanian AV, Bakris GL, Black HR, et al., and the National High Blood Pressure Education Program Coordinating Committee. Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure. Hypertension. 2003;42:1206-52

6

Page 7: Manajemen Stroke Pasca Akut

Data yang ada belum cukup untuk menyimpulkan target tekanan darah yang paling

optimal dalam pencegahan stroke, namun penurunan tekanan darah sebesar 10/5 mmHg

pun telah terbukti memiliki efek yang baik dalam pencegahan stroke.5 JNC 7 membuat suatu

rekomendasi target tekanan darah yang bersifat individual, tergantung dari ada tidaknya

komorbiditas atau penyakit penyerta lainnya. Tabel di bawah ini merupakan target tekanan

darah yang direkomendasikan oleh ESH (European Society for Hypertension).10

Sumber: Chobanian AV, Bakris GL, Black HR, et al., and the National High Blood Pressure Education Program Coordinating Committee. Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure. Hypertension. 2003;42:1206-52

Penatalaksanaan hipertensi pada pasien stroke terdiri dari farmakoterapi

menggunakan obat anti hipertensi dan modifikasi gaya hidup. Pemilihan antihipertensi pada

pasien stroke tergantung dari ada tidaknya komorbiditas lain. Studi PROGRESS yang meneliti

penggunaan antihipertensi pada pasien stroke tanpa komorbiditas lain menunjukkan bahwa

penggunaan ACE inhibitor yang dikombinasikan dengan dengan diuretik menurunkan risiko

stroke berulang sebesar 28% dengan rata-rata penurunan tekanan darah sebesar 9/4

mmHg.5

Rekomendasi JNC 7 mengenai pemberian anti hipertensi pada penderita stroke

adalah dengan menggunakan salah satu atau kombinasi dari diuretik, ACE inhibitor,

Angiotensin Receptor Blocker, Calsium Channel Blocker. Pada pasien dengan stroke yang

7

Page 8: Manajemen Stroke Pasca Akut

juga menderita penyakit jantung, beta blocker juga diberikan. Tabel di bawah ini

menunjukkan rekomendasi pemilihan antihipertensi berkaitan dengan komorbiditasnya.10

Sumber: Chobanian AV, Bakris GL, Black HR, et al., and the National High Blood Pressure Education Program Coordinating Committee. Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure. Hypertension. 2003;42:1206-52

Modifikasi gaya hidup direkomendasikan oleh JNC 7 selain terapi farmakologis. Gaya

hidup yang direkomendasikan adalah pengurangan berat badan, pengurangan asupan

natrium, DASH (Dietary Approach to Stop Hypertension), aktivitas fisik, dan konsumsi alkohol

moderat. Diet yang dimaksud pada DASH adalah diet kaya buah-buahan dan sayuran, serta

rendah lemak. Modifikasi gaya hidup dan efeknya terhadap penurunan tekanan darah

terangkum dalam tabel di bawah ini.10

8

Page 9: Manajemen Stroke Pasca Akut

Sumber: Chobanian AV, Bakris GL, Black HR, et al., and the National High Blood Pressure Education Program Coordinating Committee. Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure. Hypertension. 2003;42:1206-52

DISLIPIDEMIA

Dislipidemia berkontribusi pada peningkatan risiko terjadinya stroke, kadar LDL ( low

density lipoprotein) merupakan faktor risiko kejadian vaskuler yang penting, terutama

terjadinya atherosklerosis arteri karotis ekstrakranial. Penatalaksanaan dislipidemia adalah

menggunakan terapi farmakologis dan perubahan gaya hidup. Farmakoterapi yang serinng

digunakan adalah dengan menggunakan golongan statin (penghambat reduktase HMG-

CoA), asam nikotinat, dan golongan fibrat (Kelas I, tingkat evidensi A). Parameter yang

digunakan adalah kadar LDL sesuai rekomendasi NCEP – ATP III seperti ditunjukkan pada

tabel di bawah ini.11

9

Page 10: Manajemen Stroke Pasca Akut

Sumber: National Cholesterol Education Program (NCEP) Expert Panel on Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Cholesterol in Adults (Adult Treatment Panel III). Third Report of the National Cholesterol Education Program (NCEP) Expert Panel on Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Cholesterol in Adults (Adult Treatment Panel III) final report. Circulation. 2002

Terapi farmakologis pada hiperlipidemia yang paling penting adalah penggunaan

statin, yang bekerja dengan cara menghambat enzim reduktase HMG CoA sehingga sintesis

kolesterol di hati akan menurun. Statin dapat menurunkan kolesterol LDL, trigliserida, serta

meningkatkan kadar HDL. Statin terbukti efektif dalam pencegahan stroke baik primer

ataupun sekunder.5 Penggunaan simvastatin 40 mg per hari menurunkan risiko terjadinya

gangguan vaskuler sebesar 20% dan stroke sebesar 25% dibandingkan plasebo. Efek

samping yang harus diperhatikan adalah hepatotoksisitas dan miopati.12

Golongan fibrat juga dapat digunakan pada tatalaksana hiperlipidemi, namun obat

ini lebih ditujukan untuk menurunkan kadar trigliserida. Mekanisme kerja obat ini adalah

sebagai agonis peroxisome proliferator activated receptor alpha. Melalui enzim ini, fibrat

meningkatkan ekspresi gen protein transpor asam lemak bebas dan oksidasi asam lemak.

Efek samping yang sering timbul adalah miopati, keluhan saluran pencernaan, dan batu

kandung empedu.11

Terapi adjuvan lainnya adalah asam nikotinat (niasin) yang merupakan salah satu

vitamin B kompleks. Niasin menghambat sintesis lipoprotein, menurunkan produksi VLDL,

dan menghambat mobilisasi asam lemak bebas ke jaringan perifer. Pada dosis tinggi, niasin

dapat menurunkan trigliserida sebesar 20-50%, menurunkan LDL sebesar 5-25%, dan

10

Page 11: Manajemen Stroke Pasca Akut

meningkatkan kadar HDL sebesar 15-35%. Niasin sebaiknya dikombinasikan dengan

golongan statin. Dosis obat yang digunakan adalah 1,5 – 4,5 gram (dengan bentuk kristalin),

dibagi menjadi 2-3 dosis per hari. Efek samping niasin adalah hiperuremia, gouty arthritis,

hiperglikemia, hepatotoksik, dan keluhan saluran pencernaan.11

Tabel di bawah ini menunjukkan beberapa jenis terapi farmakologi yang dapat

menjadi pilihan terapi dislipidemia.11

Sumber: National Cholesterol Education Program (NCEP) Expert Panel on Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Cholesterol in Adults (Adult Treatment Panel III). Third Report of the National Cholesterol Education Program (NCEP) Expert Panel on Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Cholesterol in Adults (Adult Treatment Panel III) final report. Circulation. 2002

Guideline yang dikeluarkan oleh NEJM dalam upaya pencegahan sekunder stroke

menyebutkan bahwa terapi farmakologis pada dislipidemia perlu dimulai pada pasien

dengan kadar LDL lebih dari sama dengan 100 mg/dl (2,6 mmol/liter) dengan target

penurunan sebesar 50% atau minimal mencapai kadar 70 mg/dl (1,8 mmol/liter).5

Selain menggunakan terapi farmakologis, pasien dislipidemia juga perlu mengubah

pola hidup, salah satunya melalui diet rendah lemak dengan kalori total seimbang dengan

berat badan. Perlu diperhatikan pula bahwa sumber utama karbohidrat sebaiknya berasal

11

Page 12: Manajemen Stroke Pasca Akut

dari karbohidrat kompleks, sedangkan lemak harus dihindari jenis saturated fat/lemak

jenuh. Diet yang dianjurkan untuk menurunkan kadar kolesterol sesuai NCEP-ATP III

ditunjukkan pada tabel di bawah ini.11

Sumber: National Cholesterol Education Program (NCEP) Expert Panel on Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Cholesterol in Adults (Adult Treatment Panel III). Third Report of the National Cholesterol Education Program (NCEP) Expert Panel on Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Cholesterol in Adults (Adult Treatment Panel III) final report. Circulation. 2002

MEROKOK

Rokok, baik aktif maupun pasif, merupakan faktor risiko stroke terutama stroke

infark. Sebanyak 12-18% penderita stroke diketahui aktif merokok. Pada suatu studi

disebutkan bahwa terdapat peningkatan risiko stroke sebesar 2 kali lipat pada perokok.13

Mekanisme rokok dalam menimbulkan stroke melibatkan disfungsi endotel,

hiperkoagulabilitas, dan proses inflamasi sehingga mempercepat terbentuknya atheroma.

Risiko tersebut dapat menurun hingga akhirnya menjadi sama seperti non-perokok apabila

mereka berhenti merokok selama minimal 5 tahun.14

Kombinasi antara farmakoterapi dan terapi konseling perilaku berperan dalam

keberhasilan seseorang untuk berhenti merokok. Farmakoterapi yang telah disetujui FDA

meliputi 5 produk pengganti nikotin (permen karet, inhaler, lozenges, spray, dan patch)

serta 2 produk non-nikotin (bupoprion lepas lambat dan varenicline).14

DIABETES MELITUS

Diabetes melitus merupakan faktor risiko mayor terjadinya stroke. Pasien diabetes

berisiko 6 kali lebih besar terkena stroke dan 33% pasien stroke infark memiliki penyakit

diabetes diabetes melitus. Diabetes melitus juga berhubungan dengan meningkatnya

mortalitas pada penderita stroke. Pada penderita dengan riwayat stroke sebelumnya, maka

12

Page 13: Manajemen Stroke Pasca Akut

DM menjadi faktor risiko utama terjadinya stroke berulang.14 Oleh karena itu,

direkomendasikan untuk melakukan kontrol glukosa secara intensif untuk menghambat

komplikasi makrovaskuler. Target yang dicapai dalam terapi diabetes melitus adalah

menggunakan Hb A1C, di mana The American Diabetes Association menyebutkan bahwa Hb

A1C < 7% memiliki efek yang menguntungkan dalam prevensi stroke.15

Hal yang perlu diperhatikan adalah diabetes melitus seringkali juga disertai penyakit

lain seperti hipertensi. Kombinasi diabetes dan hipertensi pada pasien akan meningkatkan

risiko stroke sebesar 2 kali lipat, sehingga terapi diabetes melitus harus disertai dengan

kontrol tekanan darah intensif dengan target sistolik < 120 mmHg.14

Penatalaksanaan diabetes melitus adalah dengan menggunakan obat anti diabetes

yang juga disertai dengan perubahan gaya hidup. Obat yang dapat digunakan adalah dengan

menggunakan golongan biguanid, sulfonilurea, tiazolidindion, atau penghambat glukosidase

alfa, atau juga dengan menggunakan insulin intramuskular.14

SINDROMA METABOLIK

Sindroma metabolik adalah suatu keadaan yang terdiri atas obesitas sentral,

resistensi insulin, hipertrigliseridemia, HDL rendah, dan hipertensi. The National Cholesterol

Education Programme menyebutkan bahwa 3 dari 5 kriteria yang disebutkan di atas telah

cukup untuk membuat diagnosis sindroma metabolik. Tabel di bawah ini menunjukkan

kriteria sindroma metabolik secara terperinci.16

13

Page 14: Manajemen Stroke Pasca Akut

Sumber: Grundy SM, Cleeman JI, Daniels SR, Donato KA, Eckel RH, Franklin BA, Gordon DJ, Krauss RM, Savage PJ, Smith SC Jr, et al: Diagnosis and management of the metabolic syndrome: an American Heart Association/National Heart, Lung, and Blood Institute Scientific Statement. Circulation 2005

Individu dengan sindroma metabolik memiliki risiko lebih besar untuk terkena stroke

karena mereka berada dalam keadaan protrombotik dan proinflamasi. Manajemen

sindroma metabolik bertujuan untuk mengurangi risiko aterosklerosis melalui kontrol kadar

trigliserid, hipertensi dan tatalaksana diabetes melitus 16 seperti telah dibahas pada bagian

lain referat ini.

FIBRILASI ATRIAL

Fibrilasi atrial meningkatkan risiko stroke sebesar 4-6 kali lipat pada seluruh kelompok

usia, setidaknya 15% dari seluruh kejadian stroke disebabkan oleh gangguan jantung

terutama fibrilasi atrial.5

Pada Framingham Heart Study ditemukan bahwa penderita fibrilasi atrial

rematik/valvular memiliki risiko stroke 17 kali lebih besar dibandingkan kontrol. Sementara

pada penderita fibrilasi atrial non valvular, risiko stroke meningkat 2-7 kali. Alat ukur yang

14

Page 15: Manajemen Stroke Pasca Akut

digunakan untuk prediksi stroke adalah skor CHADS2 seperti ditunjukkan pada tabel di

bawah ini.5

Sumber: Connolly SJ, Ezekowitz MD, Yusuf S, et al. Dabigatran versus warfarin in patients with atrial fibrillation. N Engl J Med 2010;363:1877.

Penatalaksanaan pada kasus fibrilasi atrial non valvular adalah dengan menggunakan

aspirin 75-325 mg per oral (pada pasien dengan risiko rendah atau CHADS skor 0-1) atau

warfarin dengan sasaran INR 2-3 (pada pasien dengan CHADS skor di atas 1). Penggunaan

warfarin dapat menurunkan risiko stroke sebesar 60% pada pasien dengan fibrilasi atrial.5

Salah satu permasalahan dalam penggunaan warfarin adalah risiko perdarahan

mayor yang tinggi dan memerlukan monitoring ketat serta kepatuhan pasien. Penggunaan

dabigatran, suatu agen antikoagulan yang bekerja sebagai inhibitor trombin dengan dosis

150 mg 2x per hari, memberikan hasil lebih baik dibandingkan warfarin dalam mencegah

emboli otak dan sistemik. Dabigatran juga memiliki risiko perdarahan intrakranial yang

secara signifikan lebih rendah dibandingkan dengan warfarin.17

Penelitian mengenai penggunaan antikoagulan penghambat faktor Xa seperti

rivaroxaban dan apixaban terbukti lebih baik dibandingkan warfarin dengan risiko

perdarahan yang lebih rendah. Sehingga penggunaannya disarankan pada pasien dengan

fibrilasi atrial, terutama bila pasien tidak dapat mentoleransi penggunaan warfarin.18

HIPERHOMOSISTEINEMIA

Hiperhomosisteinemia merupakan faktor risiko stroke minor, namun penelitian

menunjukkan keadaan ini merupakan faktor risiko independen stroke. Risiko vaskuler ini

terutama timbul pada kadar homosistein lebih dari sama dengan 15 mmol/L. Kadar

homosistein yang tinggi tidak hanya berkaitan dengan stroke, namun juga dengan penyakit

vaskuler lain seperti trombosis vena, aterogenesis, dan infark miokard. Tatalaksana

15

Page 16: Manajemen Stroke Pasca Akut

keadaan klinis ini adalah dengan menggunakan vitamin B6, B12, yang dikombinasikan

dengan asam folat.14

ALKOHOL

Dampak alkohol terhadap vaskuler secara statistik membentuk grafik “J” yang berarti

bahwa konsumsi alkohol dalam jumlah sedikit (1 gelas / 12 gram per hari) memiliki efek

yang baik, namun konsumsi dalam jumlah besar (lebih dari 3 gelas / 35 gram per hari) justru

meningkatkan risiko kejadian vaskuler.14

Konsumsi alkohol dalam jumlah rendah berhubungan dengan peningkatan HDL,

penurunan viskositas plasma, penurunan penanda inflamasi, penurunan agregasi platelet,

dan peningkatan sensitivitas insulin. Namun yang perlu diperhatikan adalah penelitian

tersebut tidak mempertimbangkan efek buruk lain dari konsumsi alkohol seperti gangguan

hepar. Sehingga, guideline AHA mengenai pencegahan stroke terbaru menyatakan bahwa

pada individu yang tidak mengkonsumsi alkohol, alkohol dalam jumlah apapun tidak

disarankan.15

ATEROSKLEROSIS AORTA

Penyakit aterosklerosis besar pada arteri karotis ekstrakranial berhubungan dengan

1 dari 5 kejadian stroke iskemik. Penelitian NASCET (North American Symptomatic Carotid

Endarterectomy Trial) menunjukkan 26% risiko stroke ipsilateral dalam 2 tahun pada pasien

dengan stenosis karotis lebih dari 70%. Kejadian ini meningkat seiring dengan peningkatan

derajat stenosis karotis. Tindakan yang dilakukan untuk mencegah terjadinya stroke pada

pasien large artery atherosclerosis (LAA) adalah dengan endarterektomi karotis.

Endarterektomi karotis dapat menurunkan risiko stroke sebesar 17% pada pasien dengan

derajat stenosis berat (70-99%) dan 6,5% pada pasien dengan derajat stenosis sedang (50-

69%).5

Alternatif lain pada pasien dengan stenosis berat adalah melalui prosedur stenting.

Namun prosedur ini sendiri masih tergolong baru dan kontroversial. Kelebihan dari stent

dibandingkan endarterektomi adalah prosedurnya yang tidak seinvasif endarterektomi,

waktu penyembuhan yang lebih cepat, serta risiko parese saraf otak yang lebih rendah.

Namun risiko periprosedural (kematian intraoperatif) dan kemungkinan stroke dalam 30

hari postprosedural secara signifikan lebih tinggi dibandingkan endarterektomi.20

16

Page 17: Manajemen Stroke Pasca Akut

Melalui beberapa penelitian yang membandingkan antara endarterektomi karotis

dan stenting arteri karotis dapat disimpulkan bahwa pada pasien LAA dengan usia di atas 70

tahun, endarterektomi karotis lebih superior dibandingkan stenting, sementara pada pasien

dengan usia kurang dari 70 tahun stenting merupakan alternatif yang dapat

dipertimbangkan mengingat prosedur yang dilakukan oleh interventionist berpengalaman

memiliki efikasi dan risiko yang sama dibandingkan dengan endarterektomi.21

IDENTIFIKASI DAN MANAJEMEN KOMPLIKASI STROKE

Komplikasi pada perawatan pasien stroke baik pada fase akut maupun paska akut

cukup tinggi, berkisar antara 48% hingga 96% bergantung dari kriteria komplikasi yang

digunakan. Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah infeksi saluran kemih,

trombosis, pneumonia, nyeri (terutama nyeri sendi), sepsis, dan risiko jatuh. Pencegahan

dan penanganan komplikasi penting pada pasien stroke karena berkaitan dengan mortalitas

dan kemampuan pasien untuk kembali pada kemampuan fungsional sebelumnya. 22

Tabel di bawah ini menunjukkan berbagai komplikasi pada pasien stroke berikut

dengan persentase kekerapannya, baik pada fase akut maupun paska akut.23

Disadur dari: Langhorne P, Stott DJ, Robertson L, et al. Medical Complications After Stroke: A Multicenter Study. Stroke. AHA Journal 2000;31:1223-1229

17

Page 18: Manajemen Stroke Pasca Akut

Penelitian yang sama juga mengungkapkan bahwa lebih dari 60% penderita stroke

meiliki lebih dari 1 komplikasi. Komplikasi tersebut lebih sering terjadi pada pasien berusia

tua, stroke yang berat, memiliki faktor premorbid, dan memiliki kadar albumin serum yang

rendah.22

Manajemen pasien stroke dengan menggunakan stroke care pathway pada review

yang dikeluarkan Cochrane terbukti menurunkan risiko komplikasi, termasuk infeksi dan

stroke ulang. Penilaian status gizi serta mobilisasi dan fisioterapi dini juga mencegah risiko

terjadinya infeksi baik saluran pernapasan maupun saluran kemih pada pasien stroke.

Waktu yang tepat untuk mobilisasi pada pasien stroke masih menjadi perdebatan, namun

sejauh ini mobilisasi pada beberapa hari awal setelah serangan dilaporkan dapat ditoleransi

dan tidak berbahaya.22 Tirah baring yang terlalu lama justru dapat menimbulkan berbagai

komplikasi, seperti ditunjukkan pada tabel di bawah ini.25

Sumber: Wirawan, RP. Rehabilitasi Stroke pada Pelayanan Kesehatan Primer. Majalah Kedokteran Indonesia 2009; 59: 61-71

18

Page 19: Manajemen Stroke Pasca Akut

INFEKSI

Infeksi yang paling sering menyertai penderita paska stroke adalah pneumonia

aspirasi dan infeksi saluran kemih. Keadaan ini meningkatkan morbiditas dan mortalitas

penderita stroke karena berpotensi berkomplikasi lebih lanjut menjadi suatu sepsis.22

Infeksi saluran pernapasan merupakan komplikasi yang umum ditemukan pada

pasien stroke, bahkan infeksi ini disebutkan mengenai 1/3 pasien. Infeksi saluran

pernapasan sendiri meningkatkan mortalitas sebesar 3 kali lipat dan meningkatkan lama

waktu perawatan pasien stroke. Infeksi saluran pernapasan yang sering ditemui ialah

pneumonia. Pneumonia aspirasi paling sering terjadi pada penderita yang mengalami

disfagia sehingga memerlukan penggunaan selang nasogastrik. Faktor risiko lain untuk

terjadinya pneumonia aspirasi adalah stroke hemisferik luas, stroke batang otak, penderita

dengan gangguan kesadaran, dan penderita kejang. Manifestasi klinis penderita pneumonia

antara lain, febris, dispnea dengan abnormalitas paru, infiltrat pada foto thoraks, dan hasil

kultur kuman positif. Tindakan pencegahan yang dapat dilakukan oleh keluarga adalah

dengan elevasi kepala sedikit dari bidang horizontal dan membersihkan sisa makanan atau

minuman yang berada di dalam mulut penderita. Penatalaksanaan medis yang dapat

dilakukan adalah dengan mobilisasi dini, fisioterapi dada, rehabilitasi fungsi menelan, dan

menghindari pemakaian selang nasogastrik jangka panjang. Pemberian antibiotik hanya

dilakukan bila ditemukan bukti infeksi secara klinis dan laboratorium. Antibiotik yang dapat

digunakan adalah golongan makrolid (eritromisin, klaritromisin, azitromisin), fluorokuinolon,

dan sefalosporin.26

Infeksi saluran kemih terjadi pada sekitar 15,8% penderita stroke. Pemakaian folley

kateter merupakan faktor risiko utama kejadian ini. Faktor risiko lainnya antara lain

disabilitas paska stroke, usia tua, dan status imunitas rendah. Manifestasi klinis yang timbul

antara lain febris, meningkatnya frekuensi urinasi, urgensi, disuri, dan nokturi. Infeksi

saluran kemih menyebabkan keluaran yang lebih buruk pada pasien stroke karena inflamasi

sistemik serta febris sebagai salah satu gejalanya menyebabkan peningkatan kerusakan

jaringan otak dan daerah penumbra, selain itu inflamasi sistemik juga mengaktivasi

trombosis sehingga meningkatkan risiko stroke ulang. Pencegahan infeksi saluran kemih

dapat dilakukan dengan mencukupi intake atau asupan cairan, menghindari penggunaan

folley kateter untuk jangka waktu lama, mengganti kateter secara berkala, penggunaan

19

Page 20: Manajemen Stroke Pasca Akut

kateter intermiten, serta pengasaman urin dengan memberikan vitamin C. Penatalaksanaan

spesifik terhadap infeksi saluran kemih adalah dengan menggunakan antibiotik spektrum

luas seperti golongan fluorokuinolon, kotrimoksazol, atau sefalosporin.27

NYERI

Nyeri yang timbul paska stroke umumnya bersumber dari muskuloskeletal dan

dicetuskan oleh immobilisasi atau gerakan anggota gerak yang berkurang paska stroke.

Nyeri yang paling sering terjadi ialah nyeri pada bahu yang mengalami parese, keluhan ini

terjadi pada lebih dari 60% pasien dalam selang waktu 6 bulan sejak fase akut. Nyeri bahu

ini menimbulkan morbiditas yang bermakna dan apabila telah terjadi akan sulit untuk

diobati. Penatalaksanaan nyeri paska stroke umumnya terdiri dari latihan gerak baik aktif

maupun pasif sesuai dengan rentang gerakan (ROM/Range of Motion), stimulasi elektrik,

dan injeksi toksin botulinum pada kasus yang berat.25

Nyeri sentral paska stroke (sindrom nyeri talamik) merupakan komplikasi nyeri yang

lebih jarang timbul. Pasien umumnya mengeluhkan nyeri seperti tersetrum listrik, parestesi

yang disertai hiperalgesia dan alodinia. Secara umum, keadaan ini lebih sulit diobati.

Modalitas terapi yang dapat digunakan adalah dengan pemberian antidepresan anti trisiklik

seperti amitriptilin atau obat anti epilepsi seperti pregabalin atau gabapentin.25

TROMBOEMBOLI

Komplikasi tromboemboli terbagi dalam dua keadaan trombosis vena dalam dan

emboli paru. Kedua keadaan iini umumnya dicetuskan oleh imobilisasi, baik selama

perawatan stroke fase akut maupun paska akut. Umumnya, manifestasi klinis dari trombosis

vena dalam adalah edema pada tungkai, disertai eritema dan nyeri lokal. Wells et al pada

tahun 1995 mengemukakan kriteria klinis untuk memprediksi kemungkinan terjadinya

trombosis vena dalam (disebut juga well’s criteria). Pada emboli paru, manifestasi klinis

berlangsung cepat, terdiri dari dispnea dan diikuti kematian akibat gagal napas.

Penatalaksanaan yang direkomendasikan adalah dengan pemberian aspirin, mobilisasi dini,

serta penggunaan stoking kompresi bertahap, terutama bagi pasien dengan kelemahan

tungkai yang prominen.23

20

Page 21: Manajemen Stroke Pasca Akut

DEPRESI PASKA STROKE

Penelitian Langhorne menyatakan bahwa depresi paska stroke terjadi pada 16%

penderita stroke fase akut dan 54% penderita stroke setelah 30 bulan dari fase akut. Pada

suatu studi observasional multicenter DESTRO, disebutkan faktor risiko depresi paska stroke

adalah jenis kelamin wanita, riwayat depresi sebelumnya, dan disabilitas berat (dinilai

dengan menggunakan skala Rankin, dengan kriteria berat adalah Rankin lebih dari 3).

Penelitian lain menemukan faktor risiko depresi paska stroke adalah gangguan psikiatrik

sebelumnya, isolasi sosial, gangguan fungsional, hidup sendirian, dan adanya disfasia.23

Penatalaksanaan depresi paska stroke umumnya dibagi menjadi 2 besar, yaitu terapi

farmakologis dan nonfarmakologis. Terapi farmakologis terdiri dari antidepresan trisiklik,

SSRI, SNRI, preparata GABA, atau psikostimulan. Sedangkan terapi non farmakologis

meliputi terapi cahaya, latihan fisik, terapi wicara, terapi perilaku kognitif, dan terapi dengan

menggunakan musik.23

REHABILITASI STROKE PASKA AKUT

Rehabilitasi secara signifikan dapat meningkatkan independensi pada pasien paska

stroke. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa grup yang memperoleh rehabillitasi secara

intensif paska serangan akut (latihan 4 kali seminggu) dibandingkan dengan grup yang

melakukan rehabilitasi 3 kali seminggu atau tidak sama sekali. Perbaikan fungsional ini

ditemukan maksimal pada bulan ketiga, namun latihan terus-menerus tetap diperlukan

karena hal tersebut terbukti dapat mempertahankan keluaran fungsional yang telah dicapai

sebelumnya. Rehabilitasi pada pasien stroke harus dimulai segera setelah fase akut

terlewati.28

Proses pemulihan setelah stroke dibedakan atas pemulihan neurologis (fungsi saraf

otak) dan pemulihan fungsional (kemampuan melakukan aktivitas fungsional). Pemulihan

neurologis terjadi awal setelah stroke. Mekanisme yang mendasari adalah pulihnya fungsi

sel otak pada area penumbra yang berada di sekitar area infark yang sesungguhnya serta

terbukanya kembali sirkuit saraf yang sebelumnya tertutup atau tidak digunakan lagi.

Kemampuan fungsional pulih sejalan dengan pemulihan neurologis yang terjadi. Setelah lesi

otak menetap, pemulihan fungsional masih dapat terus terjadi sampai batas-batas tertentu

terutama dalam 3-6 bulan pertama setelah stroke. Hal tersebut menjadi fokus utama

21

Page 22: Manajemen Stroke Pasca Akut

rehabilitasi medis, yaitu untuk mengembalikan kemandirian pasien mencapai kemampuan

fungsional yang optimal.25

SPASTISITAS

Spastisitas disebabkan peningkatan tonus otot abnormal akibat lesi pada jaras

motorik. Keadaan ini menimbulkan disabilitas yang jelas dan dapat mencetuskan kontraktur.

Keadaan ini mencapai puncaknya pada 3 bulan setelah onset.25

Tujuan penatalaksanaan spastisitas adalah untuk menghindari kontraktur,

menghindari deformitas anggota gerak, mengurangi nyeri, serta meningkatkan fungsi tubuh

dan aktivitas harian. Penatalaksanaan kasus spastisitas adalah dengan rehabilitas gerakan

pasif maupun aktif sesuai ROM, latihan aktivitas harian seperti memakai baju, mandi,

pemakaian ortosis, dan medikamentosa. Obat-obatan yang dapat digunakan adalah

baklofen, diazepam, ataupun tizanidin.29

DISFAGIA

Insidensi disfagia akibat stroke berkisar antara 30-65%. Sekitar 30% akan pulih

dalam 2 minggu, sisanya akan pulih dalam bulan-bulan berikutnya. Disfagia merupakan

gejala klinis penting karena menempatkan pasien pada risiko aspirasi dan pneumonia, selain

dehidrasi dan malnutrisi. Manifestasi klinis penderita dengan disfagia adalah kesulitan

dalam makan, batuk ataupun tersedak saat makan atau minum, suara sengau (disfonia), dan

kemampuan menelan melambat. Pemeriksaan fisik umumnya ditemukan adanya disfagia

dengan melakukan tes menelan (pasien dengan minum 20-30cc air). Pemeriksaan

penunjang yang menjadi gold standard adalah dengan menggunakan video fluoroskopi

(VFSS / video fluorosgraphic swallow study atau FEES / fiberoptic endoscopic evaluation of

swallowing).25

Penatalaksanaan yang dilakukan adalah dengan terapi menelan dan modifikasi diet.

Penggunaan selang nasogastrik sebaiknya hanya dilakukan untuk pasien dengan kasus

disfagia berat. Pada pasien dengan kemungkinan penggunaan selang nasogastrik jangka

panjang, sebaiknya dipertimbangkan pemberian nutrisi melalui jalur lain seperti melalui

gastrostomi.25

22

Page 23: Manajemen Stroke Pasca Akut

PERANAN KELUARGA DALAM PENANGANAN STROKE PASKA AKUT

Stroke menimbulkan disabilitas bagi penderitanya dan pemulihan kondisi

memerlukan waktu yang panjang, oleh karena itu edukasi bagi pasien dan keluarga dan

memastikan keterlibatan keluarga selama masa pemulihan pasien stroke adalah hal yang

penting dilakukan. Pasien stroke akan menghadapi keterbatasan dalam melakukan aktivitas

sehari-hari. Aktivitas yang dinilai adalah kemampuan dasar dalam melakukan aktivitas

perawatan diri sendiri yaitu makan-minum, mandi, berpakaian, berhias, menggunakan

toilet, kontrol buang air kecil dan besar, berpindah tempat (transfer), mobilitas-jalan, dan

naik tangga. Keluarga perlu dilibatkan pada saat penilaian fungsi tersebut, karena berkaitan

dengan penyediaan fasilitas penunjang di rumah nantinya.25

Keluarga seringkali memanjakan pasien dengan membantu secara berlebihan dan

menjadikan pasien terbaring pasif. Akan tetapi tirah baring lama menyebabkan pasien

bertambah lemah, lebih cepat lelah karena stamina makin rendah, gerak semakin

bertambah berat karena semua anggota gerak menjadi kaku dan timbul komplikasi-

komplikasi lain. Keluarga dan pasien harus disadarkan bahwa tirah baring berkelanjutan

akan lebih banyak membawa dampak buruk dari pada baik. Selain itu pemulihan fungsional

mempunyai “periode emas” yang terbatas waktunya. Stimulasi yang diberikan pada 3 bulan

pertama akan lebih memberikan hasil dibandingkan fase kronis, dan tentu tidak boleh disia-

siakan. Pasien harus diberikan motivasi untuk selalu aktif melakukan aktivitas sesuai dengan

kemampuan yang ada serta serta diberikan sedikit demi sedikit peran dan tanggung jawab.

Dengan demikian pasien akan merasa dirinya masih berharga dan berguna yang pada

akhirnya dapat menghindarkan terjadinya depresi paska stroke.25

KESIMPULAN

Keberhasilan manajemen stroke paska akut merupakan manajemen multidisipliner yang

juga melibatkan keluarga. Pengendalian faktor risiko dengan tujuan prevensi sekunder,

identifikasi dan tatalaksana komplikasi stroke dan rehabilitasi memegang peranan penting

dalam memperbaiki morbiditas dan mortalitas penderita stroke paska akut.

23

Page 24: Manajemen Stroke Pasca Akut

DAFTAR PUSTAKA

1. Hatano, S. Experience From A Multicentre Stroke Register: A Preliminary Report In Bulletin Of The World Health Organization. 1976. 54, 541 -553.

2. Yip S, Benavente O. Antiplatelet Agents for Stroke Prevention. Neurotherapeutics 2011; 8:475–4873. Duncan PW, Horner RD, Reker DM, et al. Adherence to Postacute Rehabilitation Guidelines Is Associated

With Functional Recovery in Stroke. Stroke. AHA Journal 2002;33:167-1784. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan,

Republik Indonesia. 20075. Davis SM, Donnan GA, et al. Secondary Prevention after Ischemic Stroke or Transient Ischemic Attack. N

Engl J Med 2012;366:1914-22.6. Towfighi A, Markovic D, Ovbiagele B. Impact of a healthy lifestyle on all-cause and cardiovascular

mortality after stroke in the USA. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2012;83:146-51. 7. O’Donnell MJ, Xavier D, Liu L, et al. Risk factors for ischaemic and intracerebral haemorrhagic stroke in 22

countries (the INTERSTROKE study): a case-control study. Lancet 2010;376:112-23. 8. Roger VL, Go AS, Lloyd-Jones DM, et al. Heart disease and stroke statistics—2011 update: a report from

the American Heart Association. Circulation 2011;123:e18–e209.9. Wang Y, Johnston SC. Rationale and design of a randomized, double-blind trial comparing the effects of a

3-month clopidogrel aspirin regimen versus aspirin alone for the treatment of high-risk patients with acute nondisabling cerebrovascular event. Am Heart J 2010;160:380–386.

10. Chobanian AV, Bakris GL, Black HR, et al., and the National High Blood Pressure Education Program Coordinating Committee. Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure. Hypertension. 2003;42:1206-52

11. National Cholesterol Education Program (NCEP) Expert Panel on Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Cholesterol in Adults (Adult Treatment Panel III). Third Report of the National Cholesterol Education Program (NCEP) Expert Panel on Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Cholesterol in Adults (Adult Treatment Panel III) final report. Circulation. 2002

12. Collins R, Armitage J, Parish S, Sleight P, Peto R. Effects of cholesterol lowering with simvastatin on stroke and other major vascular events in 20 536 people with cerebrovascular disease or other high-risk conditions. Lancet 2004;363:757-67.

13. Shah RS, Cole JW. Smoking and stroke: the more you smoke the more you stroke. Expert Rev Cardiovasc Ther 2010;8:917–932.

14. Aoki J, Uchino K. Treatment of Risk Factors to Prevent Stroke. Neurotherapeutics 2011; 8:463–474 15. Duckworth W, Abraira C, Moritz T, et al. Glucose control and vascular complications in veterans with type

2 diabetes. N Engl J Med 2009;360:129–139.16. Grundy SM, Cleeman JI, Daniels SR, Donato KA, Eckel RH, Franklin BA, Gordon DJ, Krauss RM, Savage PJ,

Smith SC Jr, et al: Diagnosis and management of the metabolic syndrome: an American Heart Association/National Heart, Lung, and Blood Institute Scientific Statement. Circulation 2005

17. Connolly SJ, Ezekowitz MD, Yusuf S, et al. Dabigatran versus warfarin in patients with atrial fibrillation. N Engl J Med 2010;363:1877.

18. Patel MR, Mahaffey KW, Garg J, et al. Rivaroxaban versus warfarin in nonvalvular atrial fibrillation. N Engl J Med 2011; 365:883-91.

19. Furie KL, Kasner SE, Adams RJ, et al. Guidelines for the prevention of stroke in patients with stroke or transient ischemic attack: a guideline for healthcare professionals from the American Heart Association/American Stroke Association. Stroke 2011;42:227-76.

20. Brott TG, Hobson RW II, Howard G, et al. Stenting versus endarterectomy for treatment of carotid-artery stenosis. N Engl J Med 2010;363:11-23

24

Page 25: Manajemen Stroke Pasca Akut

21. Bonati LH, Dobson J, Algra A, et al. Short-term outcome after stenting versus endarterectomy for symptomatic carotid stenosis: a preplanned meta-analysis of individual patient data. Lancet 2010;376: 1062-73.

22. Roth EJ, Lovell L, Harvey RL, Heinemann AW, et al. Incidence of and Risk Factors for Medical Complications During Stroke Rehabilitation. Stroke.AHA Journal 2001;32:523-529

23. Langhorne P, Stott DJ, Robertson L, et al. Medical Complications After Stroke: A Multicenter Study. Stroke. AHA Journal 2000;31:1223-1229

24. Ingeman A, Andersen G, Hundborg HH, et al. Processes of Care and Medical Complications in Patients With Stroke. Stroke. AHA Journal 2011;42:167-172

25. Wirawan, RP. Rehabilitasi Stroke pada Pelayanan Kesehatan Primer. Majalah Kedokteran Indonesia 2009; 59: 61-71

26. Sellars C, Bowie L, Bagg J, et al. Risk Factors for Chest Infection in Acute Stroke: A Prospective Cohort Study. Stroke. AHA Journal 2007;38:2284-2291

27. Stott DJ, Falconer A, Miller H, et al. Urinary Tract Infection After Stroke. Q J Med 2009; 102:243–24928. Kalra L, Yu G, Wilson K, Roots P. Medical complications during stroke rehabilitation. Stroke AHA Journal

1995;26:990 –994. 29. Sommerfeld DK, Svensson AK, et al. Spasticity After Stroke: Its Occurence and Association With Motor

Impairments and Activity Limitations. Stroke. AHA Journal 2004;35:134-139

25