5
MAQASHID AL-SYARI`AH A. Pendahuluan Hukum Islam adalah hasil dari proses metode ijtihad (fikih) dalam mengistinbath hukum yang bersumber dari Al-Qur`an dan hadis. Oleh karena itu, Allah menurunkan hukum kepada manusia untuk mengatur tatanan kehidupan social sekaligus menegakk an keadilan. Di samping itu juga, hukum diturunkan untuk kepentingan umat manusi a, tanpa adanya hukum maka manusia akan bertindak sebebas-bebasnya tanpa menghir aukan kebebasan orang lain. Tuhan mensyariatkan hukum-Nya bagi manusia tentunya bukan tanpa tujuan, melainka n demi kesejahteraan kemaslahatan umat itu sendiri. Perwujudan perintah Tuhan da pat dilihat lewat Al-Quran dan penjabarannya dapat tergambar dari hadis Nabi Muh ammad saw, manusia luar biasa yang mempunyai hak khusus untuk menerangkan kembal i maksud Tuhan dalam Al-Quran. Jadi syariat Allah kepada manusia pasti mempunyai suatu tujuan, atau yang selalu disebut dengan maqashid al-syariah atau disebut juga maqashid al-ahkam. Maqashi d syariah merupakan bagian dari falsafah tasyri` yaitu falsafah yang memancarkan hukum Islam dan atau menguatkan hukum Islam dan memelihara hukum Islam. B. Pembahasan 1. Definisi Maqashid Al-Syari`ah Dari kata dasar (maksud atau keinginan) Secara etimologi maqashid al-syari`ah terd iri dari dua kata yakni maqashid dan al-syari`ah. Maqashid bentuk jamak dari maq shid yang berarti tujuan atau kesengajaan . al-syari`ah diartikan sebagai : “Jalan menuju sumber air” Sedangkan syariah menurut terminology adalah jalan yang ditetapkan Tuhan agar ma nusia mewujudkan bahagia di dunia dan akhirat. Sedangkan menurut Manna al-Qathan yang dimaksud dengan syariah adalah segala ketentuan Allah yang disyariatkan ba gi hamba-hambanya baik yang menyangkut akidah, ibadah, akhlak, maupun muamalah. Jadi, dari defenisi di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan maqash id al-syari`ah adalah tujuan segala ketentuan Allah yang disyariatkan kepada uma t manusia. Istilah maqashid al-syari`ah dipopulerkan oleh Abu Ishaq Asy-Syatibi yang tertua ng dalam karyanya Muwaffaqat sebagaimana dalam ungkapannya adalah : “Sesungguhnya syariat itu diturunkan untuk merealisasikan maksud Allah dalam mew ujudkan kemashlahatan diniyah dan duniawiyah secara bersama-sama”. 2. Argumentasi Maqashid al-Syari`ah Para ulama fikih dan ushul fikih sepakat bahwa hukum diturunkan untuk kemaslahat an manusia di dunia maupun akhirat. Namun para ulama kalam dalam menanggapi masa lah menta`lilkan hukum dengan maslahah – walaupun mereka mangakui bahwa hukum Isla m mengandung maslahat – mempunyai tiga pendapat : Pendapat pertama :bahwa hukum syara` tidak boleh dita`lilkan dengan maslahah. Je lasnya mungkin Allah mensyariatkan hukum yang tidak mengandung maslahah. Demikia nlah pendapat golongan Asy`ariah dan Zahiriah, walaupun mereka mengakui segala h ukum syara` disyariatkan untuk kemaslahatan manusia itu. Pendapat kedua : maslahah itu dapat dijadikan illat sebagai hukum suatu tanda sa ja bagi hukum, bukan sebagai suatu penggerak yang menggerakkan Allah menetapkan suatu hukum itu. Demikianlah pendapat sebagian ulama Syafi`iyah dan Hambaliyah. Pendapat ketiga : segala hukum Allah dita`lilkan dengan masalah karena Allah tel ah berjanji sedemikian dan karena Allah Tuhan yang senantiasa mencurahkan Rahmat atas hambanya, menolak daripada mereka kesempitan dan kebinasaan. Pendapat keti ga ini adalah pendapat golongan Mu`tazilah, Maturidiah, sebagian ulama Hambaliah dan semua ulama Malikiah. Sesungguhnya perbedaan faham ini hanyalah pada teori saja, tapi dalam praktek se mua mereka sepakat menetapkan bahwasanya segala hukum syara` adalah wadah kemasl

Maqashid Al Syari Ah 01

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Maqashid Al Syari Ah 01

MAQASHID AL-SYARI`AHA. PendahuluanHukum Islam adalah hasil dari proses metode ijtihad (fikih) dalam mengistinbath hukum yang bersumber dari Al-Qur`an dan hadis. Oleh karena itu, Allah menurunkan hukum kepada manusia untuk mengatur tatanan kehidupan social sekaligus menegakkan keadilan. Di samping itu juga, hukum diturunkan untuk kepentingan umat manusia, tanpa adanya hukum maka manusia akan bertindak sebebas-bebasnya tanpa menghiraukan kebebasan orang lain.Tuhan mensyariatkan hukum-Nya bagi manusia tentunya bukan tanpa tujuan, melainkan demi kesejahteraan kemaslahatan umat itu sendiri. Perwujudan perintah Tuhan dapat dilihat lewat Al-Quran dan penjabarannya dapat tergambar dari hadis Nabi Muhammad saw, manusia luar biasa yang mempunyai hak khusus untuk menerangkan kembali maksud Tuhan dalam Al-Quran.Jadi syariat Allah kepada manusia pasti mempunyai suatu tujuan, atau yang selalu disebut dengan maqashid al-syariah atau disebut juga maqashid al-ahkam. Maqashid syariah merupakan bagian dari falsafah tasyri` yaitu falsafah yang memancarkan hukum Islam dan atau menguatkan hukum Islam dan memelihara hukum Islam.

B. Pembahasan1. Definisi Maqashid Al-Syari`ah Dari kata dasar ��� (maksud atau keinginan) Secara etimologi maqashid al-syari`ah terdiri dari dua kata yakni maqashid dan al-syari`ah. Maqashid bentuk jamak dari maqshid yang berarti tujuan atau kesengajaan . al-syari`ah diartikan sebagai :������� ���� ��� ����� “Jalan menuju sumber air”Sedangkan syariah menurut terminology adalah jalan yang ditetapkan Tuhan agar manusia mewujudkan bahagia di dunia dan akhirat. Sedangkan menurut Manna al-Qathan yang dimaksud dengan syariah adalah segala ketentuan Allah yang disyariatkan bagi hamba-hambanya baik yang menyangkut akidah, ibadah, akhlak, maupun muamalah. Jadi, dari defenisi di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan maqashid al-syari`ah adalah tujuan segala ketentuan Allah yang disyariatkan kepada umat manusia.Istilah maqashid al-syari`ah dipopulerkan oleh Abu Ishaq Asy-Syatibi yang tertuang dalam karyanya Muwaffaqat sebagaimana dalam ungkapannya adalah :��� ������� ���� ������ ������ ������ ���� ����� �� ����� ���������� “Sesungguhnya syariat itu diturunkan untuk merealisasikan maksud Allah dalam mewujudkan kemashlahatan diniyah dan duniawiyah secara bersama-sama”.2. Argumentasi Maqashid al-Syari`ah Para ulama fikih dan ushul fikih sepakat bahwa hukum diturunkan untuk kemaslahatan manusia di dunia maupun akhirat. Namun para ulama kalam dalam menanggapi masalah menta`lilkan hukum dengan maslahah – walaupun mereka mangakui bahwa hukum Islam mengandung maslahat – mempunyai tiga pendapat : Pendapat pertama :bahwa hukum syara` tidak boleh dita`lilkan dengan maslahah. Jelasnya mungkin Allah mensyariatkan hukum yang tidak mengandung maslahah. Demikianlah pendapat golongan Asy`ariah dan Zahiriah, walaupun mereka mengakui segala hukum syara` disyariatkan untuk kemaslahatan manusia itu.Pendapat kedua : maslahah itu dapat dijadikan illat sebagai hukum suatu tanda saja bagi hukum, bukan sebagai suatu penggerak yang menggerakkan Allah menetapkan suatu hukum itu. Demikianlah pendapat sebagian ulama Syafi`iyah dan Hambaliyah.Pendapat ketiga : segala hukum Allah dita`lilkan dengan masalah karena Allah telah berjanji sedemikian dan karena Allah Tuhan yang senantiasa mencurahkan Rahmat atas hambanya, menolak daripada mereka kesempitan dan kebinasaan. Pendapat ketiga ini adalah pendapat golongan Mu`tazilah, Maturidiah, sebagian ulama Hambaliah dan semua ulama Malikiah.Sesungguhnya perbedaan faham ini hanyalah pada teori saja, tapi dalam praktek semua mereka sepakat menetapkan bahwasanya segala hukum syara` adalah wadah kemasl

Page 2: Maqashid Al Syari Ah 01

ahatan yang hakiki dan tidak ada suatu hukum yang tidak mengandung kemaslahatan.3. Maqashid al-Syari`ah (Tujuan Hukum)Tujuan hukum terbagi kepada dua, yaitu yang pertama Qasd Syara` yang bermakna tujuan Pencipta hukum, sedangkan yang kedua Qasd al-Mukallaf (kondisi mukallaf dalam memahami hukum yang terkait dengan maslahah baik tingkatannya, ciri-cirinya, relativitasnya, dan keabsolutannya). Tujuan Allah mensyariatkan hukum-Nya adalah untuk memelihara kemaslahatan manusia baik dunia maupun akhirat. Dalam rangka mewujudkan kemaslahatan itu –berdasarkan penelitian para ahli ushul fikih –ada 5 unsur pokok yang harus dipelihara dan diwujudkan, kelima pokok tersebut adalah1. Agama (hifzh al-din); 2. Jiwa (hifzh an-nafs); 3. Akal, (hifzh al-`aql); 4. Keturunan (hifzh an-nasb) dan ; 5. Harta. (hifzh al-mal); Guna kepentingan menetapkan hukum kelima unsur tersebut dibedakan menjadi 3 tingkat yaitu :1) Dharuriyah adalah segala sesuatu yang harus ada untuk tegaknya kehidupan manusia, dalam arti apabila dharuriah tidak terwujud, maka cederalah kehidupan manusia di dunia dan akhirat. 2) Hajiyah adalah kebutuhan sekunder, dimana bila tidak terwujudkan tidak sampai mengancam keselamatannya, namun akan mengalami kesulitan3) Tahsiniyah adalah tingkat kebutuhan tersier, yang apabila tidak terpenuhi tidak mengancam eksistensi dharuriyah dan tidak pula menimbulkan kesulitan. 1. Agama /hifzh al-dinMemelihara agama, berdasarkan kepentingannya, dapat dibedakan menjadi tiga peringkat :a) Memelihara agama dalam tingkat dharuriyah yaitu memelihara dan melaksanakan kewajiban keagamaan yang masuk dalam peringkat primer, seperti melaksanakan shalat lima waktu. Kalau shalat itu diabaikan, maka akan terancamlah eksistensi agama;b) Memelihara agama dalam peringkat hajiyah yaitu melaksanakan ketentuan agama, dengan maksud menghidari kesulitan, seperti shalat jama dan qasar bagi orang yang sedang bepergian. Kalau ketentuan ini tidak dilaksanakan maka tidak mengancam eksistensi agama, melainkan hanya kita mempersulit bagi orang yang melakukannya.c) Memelihara agama dalam tingkat tahsiniyah yaitu mengikuti petunjuk agama guna menjunjung martabat manusia, sekaligus melengkapi pelaksanaan kewajiban kepada Tuhan, misalnya membersihkan badan, pakaian dan tempat. 2. Jiwa /hifzh an-nafsMemihara jiwa berdasarkan tingkat kepentingannya dibedakan menjadi tiga peringkata) Memelihara jiwa dalam tingkat dharuriyah seperti memenuhi kebutuhan pokok berupa makanan untuk mempertahankan hidupb) Memelihara jiwa dalam tingkat hajiyat, seperti dibolehkannya berburu binatang untuk menikmati makanan yang lezat dan halal, kalau ini diabaikan maka tidak mengancam eksistensi kehidupan manusia, melainkan hanya mempersulit hidupnya.c) Memelihara jiwa dalam tingkat tahsiniyat seperti ditetapkan tata cara makan dan minum. 3. Akal /hifzh al-`aqlMemelihara akal dari segi kepentingannya dibedakan menjadi 3 tingkat :a) Memelihara akal dalam tingkat dharuriyah seperti diharamkan meminum minuman keras karena berakibat terancamnya eksistensi akal.b) Memelihara akal dalam tingkat hajiyat, seperti dianjurkan menuntut ilmu pengetahuan.c) Memelihara akal dalam tingkat tahsiniyat seperti menghindarkan diri dari menghayal dan mendengarkan sesuatu yang tidak berfaedah. 4. Keturunan /hifzh an-nasbMemelihara keturunan dari segi tingkat kebutuhannya dibedakan menjadi tiga :

Page 3: Maqashid Al Syari Ah 01

a) Memelihara keturunan dalam tingkat dharuriyah seperti disyariatkan nikah dan dilarang berzina.b) Memelihara keturunan dalam tingkat hajiyat, seperti ditetapkannya ketentuan menyebutkan mahar pada waktu akad nikah.c) Memelihara keturunan dalam tingkat tahsiniyat seperti disyaratkannya khitbah dan walimah dalam perkawinan. 5. Harta./ hifzh al-malMemelihara harta dapat dibedakan menjadi 3 tingkat :a) Memelihara harta dalam tingkat dharuriyah seperti syariat tentang tata cara pemilikan harta dan larangan mengambil harta orang dengan cara yang tidak sah.b) Memelihara harta dalam tingkat hajiyat, seperti syariat tentang jual beli tentang jual beli salam.c) Memelihara harta dalam tingkat tahsiniyat seperti ketentuan menghindarkan diri dari pengecohan atau penipuan

4. Cakupan Maqasid Al Syariah Kemashlahatan yang menjadi tujuan syariat ini dibatasi dalam lima hal, agama, jiwa/nafs, akal, keturunan dan harta. Setiap hal yang mengandung penjagaaan atas lima hal ini disebut maslahah dan setiap hal yang membuat hilangnya lima hal ini disebut mafsadah. Adapun setiap hal yang menjadi perantara terjaganya lima hal ini, dibagi menjadi tiga tingkatan kebutuhan yaitu al dlorruriyat, al hajiyat dan al tahsinat. Kebutuhan dhoruriyat Definisinya adalah tingkat kebutuhan yang harus ada atau disebut juga kebutuhan primer. Apabila tingkat kebutuhan ini tidak terpenuhi maka keselamatan ummat manusia akan terancam, baik di dunia maupun di akhirat. Menurut Al Syatibi ada lima hal yang termasuk dalam kategori ini yaitu memelihara agama, jiwa, kehormatan, keturunan dan harta. Untuk memelihara lima hal pokok inilah syariat Islam diturunkan. Dalam setiap ayat hukum apabila diteliti akan ditemukan alasan pembentukannya yang tidak lain adalah untuk memelihara lima hal pokok di atas. Seperti kewajiban qisas: ���� �� ������ ���� ����� ������� ����� �����"Dan dalam qisas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu hai orang-orang yang bertakwa" Dari ayat ini dapat diketahui bahwa disyariatkannya qisas karena dengan itu ancaman terhadap kehidupan manusia dapat dihilangkan.Kebutuhan al hajiyatAl Syatibi mendefinisikan sebagai kebutuhan sekunder. Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi keselamatan manusia tidak sampai terancam. Namun ia akan mengalami kesulitan. Syariat Islam menghilangkan segala kesulitan tersebut. Adanya hukum rukhshah (keringanan) seperti dijelaskan Abdul Wahhab Khallaf. Merupakan contoh kepedulian syariat Islam terhadap kebutuhan ini. Contoh pembolehan tidak berpuasa bagi musafir, hukuman diyat (denda) bagi seorang yang membunuh secara tidak sengaja, penangguhan hukuman potong tangan atas seseorang yang mencuri karena terdesak untuk menyelamatkan jiwanya dari kelaparan.Kebutuhan al tahsinat Definisinya adalah kebutuhan yang tidak mengancam eksistensi salah satu dari lima hal pokok tadi dan tidak pula menimbulkan kesulitan apabila tidak terpenuhi. Tingkat kebutuhan ini berupa kebutuhan pelengkap, seperti dikemukakan Al Syatibi seperti hal yang merupakan kepatutan menurut adat-istiadat menghindari hal yang tidak enak dipandang mata dan berhias dengan keindahan yang sesuai dengan tuntutan norma dan akhlak, dalam berbagai bidang kehidupan seperti ibadah muamalah, dan uqubah. Allah SWT telah mensyariatkan hal yang berhubungan dengan kebutuhan tahsinat. Contoh anjuran berhias ketika hendak ke masjid, anjuran memperbanyak ibadah sunnah, larangan penyiksaan mayat dalam peperangan/ muslah. Al Syatibi juga membagi mashlahah dalam tiga hal: 1. Mashlahah muktabar, yaitu kemashlahatan yang berhubungan dengan penjagaan pada lima hal sebagaimana diungkap di atas. Usaha pemeliharaan kemashlahatan yang lima ini adalah pemeliharaaan yang dhoruri (yang paling utama). Itulah sebab

Page 4: Maqashid Al Syari Ah 01

nya diharuskannya berjihad kepada yang kuat fisiknya untuk melawan serangan musuh yang bermaksud menghancurkan agama dan tanah air. Ditetapkannya hukuman qisas untuk menjamin keselamatan jiwa, dan lain-lain. 2. Mashlahat mulgha, yaitu sesuatu yang sepintas lalu terlihat mashlahat, tetapi ada mashlahat yang lebih besar sehingga mashlahat yang kecil itu boleh diabaikan. Sebagai contoh, pada suatu ketika Abdurrahman ibn Hakam, gubernur Andalusia, meminta fatwa kepada Imam al Laitsi tentang kafarat karena telah membatalkan puasa Ramadhan dengan mencampuri istrinya di siang hari. Al laitsi memfatwakan bahwa kafaratnya harus berpuasa dua bulan berturut-turut. Pengambilan keputusan ini diambil dengan argumen bahwa memerdekakan budak atau memberi makan 60 oarang miskin terlalu ringan bagi seorang gubernur, maka dikawatirkan sang gubernur meremehkannya. Kemashlahatan yang lebih besar dalam kasus ini adalah kemashlahatan agama. 3. Mashlahat mursalah, yaitu kemashlahatan yang tidak terkait dengan dalil yang memperbolehkan atau melarangnya, contoh untuk mengatasi merajalelanya pemalsuan hak milik atas barang-barang berharga atau pemalsuan isteri agar dapat bebas kumpul kebo maka atas pertimbangan mashlahah mursalah boleh diadakan ketentuan kewajiban mencatat dan keharusan mempunyai keterangan yang sah setiap terjadi akad jual beli, nikah, hibah dan lain sebagainya.Batasan MaslahahAl Syatibi memberikan gambaran tentang karakter mashlahah: • Tujuan legislasi (tashri') adalah untuk menegakkan mashlahah di dunia ini dan di akhirat. • Syari' menghendaki masalih harus mutlakAlasan bagi kedua pertimbangan di atas ialah bahwa syariah telah dilembagakan harus abadi, universal (kull), dan umum (amm) dalam hubungannya dengan segala macam kewajiban (takalif), subjek hukum (mukallafin) dan kondisi-kondisi (ahwal).Ketiga karakter di atas menuntut mashlahah harus mutlak dan universal. Kemutlakan berarti bahwa mashlahah tidak boleh subjektif dan relatif. Kenisbian biasanya didasarkan pada sikap menyamakan suatu masalah dengan salah satu dari kondisi kesenangan pribadi, keuntungan pribadi, pemenuhan keinginan nafsu dan kepentingan individu. Semua pertimbangan di atas memberikan konsep mashlahah akan makna relatif dan subjektif, yang bukan merupakan pertimbangan syari' dalam mashlahah, meski mungkin dipertimbangkan dalam budaya adat.Unsur universal dalam karakter di atas, tidak dipengaruhi oleh takhalluf (memperkecil) unsur-unsur partikulernya. Misalnya hukuman diberlakukan berdasarkan ketentuan universal bahwa biasanya hukuman ini mencegah orang dari melakukan kejahatan dengan mengabaikan orang-orang tertentu yang walaupun dihukum, tidak dapat menahan diri dari melakukan suatu kejahatan. Keberadaan orang-orang tertentu ini tidak mempengaruhi validitas ketentuan umum tentang hukuman.Kemashlahatan asasi bagi al Buthi, sebenarnya hanyalah satu yaitu terciptanya penghambaan seorang mukallaf kepada Allah dan ma'rifat billah. Al Buthi mendasarkan pada dalil: ����� ���� ���� ���� ����� ������ ��� ��� ����� �� ������......."Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi …". Al Buthi menandaskan bahwa mayoritas ahli tafsir bersepakat bahwa pernyataan la tansa nashibaka min al dunya, bermakna bagian dunia yang berfaedah bagi akhiratnya.Dalam memberikan batasan mashlahah, al Buthi memaparkan dua hal yang keluar dari kriteria mashlahah: • Segala hal yang keluar dari substansi mashlahah dengan tujuan penjagaan lima hal contoh melepaskan ketentuan diri dari ketentuan ibadah, menginginkan kenikmatan berzina, melampaui batas penjagaan diri tanpa ketentuan yang dibenarkan syara' dan lain-lain. • Segala sesuatu yang tidak bertentangan dengan substansi mashlahah tetapi menjadi berubah karena tujuan yang tidak baik berdasar hadits: "innamal a'malu binniyat".Kehujjahan Maqasid Al Syariah (mashlahah)Mashlahah dalam bingkai pengertian yang membatasinya bukanlah dalil yang berdiri

Page 5: Maqashid Al Syari Ah 01

sendiri atas dalil-dalil syara' sebagaimana Al Qur'an, Al Hadits, Ijma' dan Qiyas. Dengan demikian tidaklah mungkin menentukan hukum parsial (juz'i/far'i) dengan berdasar kemashlahatan saja. Sesungguhnya mashlahah adalah makna yang universal yang mencakup keseluruhan bagian-bagian hukum far'i yang diambil dari dalil-dalil atau dasar syariah.Kesendirian mashlahah sebagai dalil hukum, tidak dapat dilakukan karena akal tidak mungkin menangkap makna mashlahah dalam masalah-masalah juz'i. Hal ini disebabkan dua hal: • Kalau akal mampu menangkap Maqasid Al Syariah secara parsial dalam tiap-tiap ketentuan hukum, maka akal adalah penentu/hakim sebelum datangnya syara'. Hal ini mungkin menurut mayoritas ulama. • Kalau anggapan bahwa akal mampu menangkap Maqasid Al Syariah secara parsial dalam tiap-tiap ketentuan hukum itu dianggap sah-sah saja maka batallah keberadaan atsar /efek dari kebanyakan dalil-dalil rinci bagi hukum, karena kesamaran substansi mashlahah bagi mayoritas akal manusia.Bagi Abdul Wahhab Khallaf, Maqasid Al Syariah adalah suatu alat bantu untuk memahami redaksi Al Qur'an dan Al Hadits, menyelesaikan dalil-dalil yang bertentangan dan menetapkan hukum terhadap kasus yang tidak tertampung dalam Al Qur'an dan Al Hadits. Dari apa yang disampaikan Abdul Wahhab Khallaf ini, menunjukkan Maqasid Al Syariah tidaklah mandiri sebagai dalil hukum tetapi merupakan dasar bagi penetapan hukum melalui beberapa metode pengambilan hukum. Namun begitu, sebagaimana disinggung dalam pendahuluan hampir keseluruhan metode yang dipertentangkan/tidak disepakati oleh ulama, adalah karena faktor pengaruh teologi.

Daftar PustakaAsafari Jaya Bakri, Konsep Maqashid al-Syari`ah Menurut Asy-Syatibi, cetakan pertama ( Jakarta : Raja GraPindo Persada, 1996), hal. 60. beliau mengutip dari kitab Lisan al-Arab karya Ibnu Manzur al-Afriqy.Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, (Bandung : Pusat Penerbitan LPPM UI, 1995), Hal.10Asafari Jaya Bakri, Konsep… hal. 64T.M. Hasby Ash-Shiddiqy, Falsafah Hukum Islam, (Yogyakarta : Bulan Bintang, 1974), hal. 181-183Faisar Ananda Arfa, Filsafat Hukum Islam, cetakan pertama, (Bandung : Cita Pustaka, 2007), hal. 103T.M. Hasby Ash-Shiddiqy, Falsafah … hal. 187Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997), hal. 128 Satria Effendi M. Zein, Ushul Fiqih, cetakan pertama (Jakarta : Prenada Media, 2005), hal. 237Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al Syaukani: Relevansinya bagi Pembaruan Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Logos, 1999.Muhammad Khalid Mas'ud, Filsafat Hukum Islam dan Perubahan Sosial, terjemahan oleh Yudian W. Asmin, Surabaya: Al Ikhlas, 1995.