Upload
trantram
View
230
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
________________________________ *) Prof. Drs. H. Rustian Kamaluddin adalah Guru Besar Ekonomi pada Fakultas Ekonomi
Universitas Trisakti. Pokok-pokok pikiran dalam tulisan ini disampaikan pada Seminar Pengembangan Perkotaan dan Wilayah yang diselenggarakan Jurusan Ekonomi Pembangunan pada tanggal 1 November 2004
KEMISKINAN PERKOTAAN DI INDONESIA: PERKEMBANGAN, KARAKTERISTIK
DAN UPAYA PENANGGULANGAN
oleh
Rustian Kamaluddin *)
I. Pendahuluan : Penduduk Perkotaan
Dalam perkembangan dan tren-nya dalam proses pembangunan di negara
sedang berkembang pada umumnya ditemukan bahwa struktur ekonomi negara
berubah dari struktur yang didominasi sektor pertanian ke arah yang didominasi
sektor industri dan jasa, sebagaimana dikemukakan dalam analisis teori Lewis
maupun analisis perubahan struktural (Todaro, 2000). Dan kecenderungan ini
dibarengi dengan perubahan jumlah dan proporsi kependudukannya, yaitu
dimana jumlah dan persentase penduduk yang hidup dan bermata-pencaharian di
perkotaan cenderung semakin meningkat.
Sehubungan dengan itu, kecenderungan itu juga terjadi di Indonesia
dimana jumlah maupun proporsi penduduk perkotaannya telah cenderung
meningkat terus dari tahun ke tahun. Jika pada tahun 1961 jumlah penduduk
perkotaan baru sebesar 14,3 juta, selanjutnya meningkat terus, misalnya, menjadi
20,5 juta (1971); 32,8 juta (1980); 55,5 juta (1990); 85,8 juta (2000), dan
diperkirakan 97,9 juta pada tahun 2003. Demikian pula proporsi atau secara
persentase terhadap jumlah penduduk Indonesia keseluruhan-nya, persentase
penduduk perkotaan juga cenderung meningkat, yaitu jika pada tahun 1961
hanya sebesar 14,8%, maka pada tahun 1971 meningkat menjadi 17,2%; tahun
1980: 22,4%; tahun 1990: 30,9%; tahun 2000: 42,2% dan
2
diperkirakan/diproyeksikan tahun 2003: 46,3%. Secara terinci perkembangan ini
dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini.
Tabel 1
Jumlah dan Persentase Penduduk Perkotaan di Indonesia
1961-2010
Jumlah Penduduk (juta) Persentase PendudukTahun Perkotaan Total Indonesia
(Perkotaan+Pedesaan) Perkotaan
1961 1971 1980 1990 2000 2003 2004 2005 2006 2010
14,3 20,5 32,8 55,5 85,8
97,8 a) 102,1 a) 106,7 a) 111,4 a) 132,6 a)
97,0 119,4 146,9 179,3 203,5 211,4
214,0 b) 216,8 b) 219,4 b) 231,0 b)
14,8 17,2 22,4 30,9 42,2
46,3 c) 47,7 c) 49,2 c) 50,8 c) 57,4 c)
Sumber: Data tahun 1961-2000 dari BPS, Statistik Indonesia 2003 dan Penduduk Indonesia (Hasil Sensus Penduduk Tahun 2000 dan sebelumnya) a) Angka Perkotaan 2003-2010, proyeksi berdasarkan laju pertumbuhan
1990-2000 b) Angka Total Indonesia 2004-2010, proyeksi berdasarkan laju
pertumbuhan 1990-2000. c) Angka persentase perhitungan penulis.
Selanjutnya jika diproyeksikan berdasarkan laju pertumbuhan tahun
1990-2000, maka penduduk perkotaan akan mencapai jumlah sebanyak 102,1
juta (47,7%) pada tahun 2004, sebanyak 106,7 juta (49,2%) pada tahun 2005 dan
sebanyak 111,4 juta (50,85%) pada tahun 2006. Ini berarti bahwa pada tahun
2006 jumlah penduduk perkotaan akan kira-kira sama (bahkan sedikit melebihi)
dibandingkan dengan jumlah penduduk pedesaan. Dan pada tahun 2010 jumlah
3
penduduk perkotaan sudah akan jauh lebih besar, yaitu sebanyak 57,4% dari
jumlah penduduk Indonesia keseluruhannya.
Dengan jumlah dan persentase penduduk perkotaan yang semakin besar
dan semakin padat tersebut tentu akan menambah “beban hidup” perkotaan yang
semakin berat sehingga menimbulkan berbagai permasalahan yang semakin
kompleks di bidang-bidang sosial-ekonomi, sosial-budaya, politik-pemerintahan,
ketertiban dan keamanan, dan sebagainya. Diantara berbagai permasalahan
tersebut yang menonjol diantaranya adalah yang berhubungan dengan
kemiskinan perkotaan yang meliputi kondisi, karakteristik, kebijakan sarana-
prasarana lingkungan, dan aspek-aspek lainnya yang terkait. Dalam tulisan ini
hanya dikemukakan beberapa hal tertentu saja sebagaimana yang dikemukakan
dalam uraian berikut ini.
II. Perkembangan Dan Kondisi Keminkinan Di Perkotaan
Sebagai hasil dari berbagai upaya untuk menanggulangi kemiskinan di
Indonesia, khususnya di perkotaan, menjelang terjadinya krisis moneter dan
ekonomi tahun 1997, pada dasarnya telah cukup menunjukkan hasilnya dalam
mengurangi kemiskinan. Sungguhpun jumlah penduduk perkotaan yang selalu
cenderung bertambah dari tahun ke tahun, tapi jumlah penduduk miskin di
perkotaan tidak meningkat secara proporsional yang jika pada tahun 1976
sebanyak 10,5 juta, ternyata kemudian menurun menjadi 8,3 juta (1978); 9,5 juta
(1980) dan seterusnya tetap berada di bawah 10 juta, yaitu rata-rata 8,9 juta per
tahun hingga pada tahun 1996.
Bahkan jika ditinjau menurut proporsinya secara persentase, penduduk
miskin itu telah cenderung menurun dari 38,8% (1976); menjadi 30,8% (1980);
23,1% (1984); 16,8% (1990) dan seterusnya hingga mencapai 9,7% pada tahun
1996 menurut standar perhitungan lama atau 13,6% menurut standar perhitungan
4
baru 1998. Untuk lebih rinci mengenai jumlah dan persentase penduduk miskin
perkotaan ini dapat dilihat pada Tabel 2 yang berikut ini.
Tabel 2 Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin
Perkotaan di Indonesia, 1976-2003 a)
Tahun Batas Miskin Rp/Kapita/Bulan
Jumlah Penduduk Miskin (juta jiwa)
Persentase (%) Penduduk Miskin
1976 1978 1980 1981 1984 1987 1990 1993 1996
1998 1999 2000 2001 2002 2003
4.522 4.969 6.831 9.777 13.731 17.381 26.614 27.905 38.246
[ 42.032 ] b) 96.959 92.409 91.632 100.011 130.499 138.803
10,5 8,3 9,5 9,3 9,3 9,7 9,4 8,7 7,2
[ 9,6 ] b) 17,2 15,7 13,3 8,6 13,3 12,3
38,8 30,8 29,0 28,1 23,1 20,1 16,8 13,4
9,7 [ 13,6 ] b)
21,9 19,5 14,6
9,8 14,5 13,6
Sumber : BPS, Statistik Indonesia 2003. a) Berdasarkan standar 1998 yang disesuaikan dengan pola konsumsi
tahun yang bersangkutan b) Hasil Susenas Februari (reguler)
Gambaran perkembangan jumlah dan persentase penduduk miskin
perkotaan yang cenderung menurun secara berkelanjutan sejak tahun 1976
senagaimana yang dikemukakan di atas telah berlangsung hingga tahun 1996.
Pada tahun 1997 terjadi krisis moneter dan ekonomi yang melanda negara-negara
Asia, khususnya Asia Tenggara terutama Indonesia. Dampak krisis moneter
sangatlah terasa di antara penduduk miskin dan semakin meluasnya kemiskinan.
5
PHK yang terjadi di mana-mana membuat ribuan pekerja formal dari golongan
masyarakat berpendapatan rendah dan menengah di kota-kota menjadi
penganggur atau pekerja di sektor informal, dan banyak pula diantaranya
kembali ke desa masing-masing. Dalam peristiwa meningkat-nya kemiskinan
secara nasional sejak Februari 1996 hingga Februari 1999, terlihat bahwa tingkat
kemiskinan di perkotaan yang semula kurang dari seperempatnya telah
meningkat menjadi sekitar sepertiganya dari jumlah kemiskinan di pedesaan
(World Bank, 2003).
Hal yang dikemukakan di atas dapat diuraikan lebih lanjut secara jelas
dengan menggunakan data-data Badan Pusat Statistik (BPS, 2004). Setelah
dikutip data dasarnya dan dihitung oleh penulis persentase penduduk miskin
perkotaan terhadap penduduk miskin total Indonesia, maka dapat dikemukakan
Tabel yang berikut ini.
6
Tabel 3 Jumlah Penduduk Miskin dan Persentasenya
Terhadap Penduduk Miskin Indonesia Keseluruhannya, Tahun 1976 – 2003 a)
Tahun
Jumlah Penduduk Miskin Perkotaan
(juta jiwa)
Jumlah Penduduk Miskin Indonesia
(juta jiwa)
Persentase Penduduk Miskin Perkotaan
Terhadap Total Indonesia
1976 1978 1980 1981 1984 1987 1990 1993 1996
1998 1999 2000 2001 2002 2003
10,5 8,3 9,5 9,3 9,3 9,7 9,4 8,7 7,2
[ 9,6 ] b)
17,2 15,7 12,3 8,6 13,5 12,2
54,2 47,2 42,3 40,6 35,0 30,0 27,2 25,9 22,5
[ 34,5 ] b)
49,5 48,4 38,7 37,9 38,4 37,3
19,27 17,58 22,48 22,91 26,57 32,33 34,56 33,59 32,00
[ 27,83 ] b) 34,75 32,44 31,78 22,69 34,63 32,71
Sumber: BPS, Statistik Indonesia 2003 a) Berdasarkan standar 1998 yang disesuaikan dengan pola konsumsi
tahun yang bersangkutan b) Hasil Sensus Februari (reguler)
Dari data pada Tabel 3 tersebut di atas tampak bahwa pada tahap-tahap
awal selama tiga dekade (1976-1996) upaya penanggulangan kemiskinan di
Indonesia ternyata bahwa penurunan angka kemiskinan secara nasional terjadi
dalam jumlah yang cukup besar, namun di perkotaan hampir tidak terjadi
penurunan jumlahnya. Ini berarti terjadinya tren penurunan yang cukup besar di
Indonesia hanya terdapat di pedesaan. Bahkan secara persentase terhadap total
7
kemiskinan di Indonesia, kemiskinan di perkotaan selama dua dekade cenderung
meningkat yaitu dari 19,27% (1967) hingga menjadi 32,33% (1987). Sejak tahun
1987 itu (kecuali tahun 2001) persentase penduduk miskin perkotaan terhadap
total penduduk miskin Indonesia ternyata hampir tidak mengalami perubahan
dari tahun ke tahun , yaitu tetap dalam kondisi dimana rata-rata setiap tahunnya
hampir sepertiganya (32,12%) berada di daerah perkotaan.
Selanjutnya oleh Bank Dunia dalam paparannya (World Bank, 2003)
dikemukakan bahwa antara tahun 1996-1999, dalam hal indeks kemiskinan
perkotaan di Indonesia dengan perhitungan per kapita, kesenjangan kemiskinan
dan parahnya kemiskinan, telah semakin meningkat sebesar dua kali lebih tinggi
dibandingkan dengan di pedesaan. Sehubungan dengan itu pemerintah
menanggapi kemiskinan ini, khususnya di perkotaan, dengan empat cara, yaitu:
(a) meningkatkan persediaan makanan, (b) menciptakan lapangan kerja, (c)
menyediakan akses untuk menampung kondisi kritis terhadap layanan sosial, dan
(d) meningkatkan akses ekonomi lokal melalui dana hibah regional dan
pengembangan sistem kredit.
Perkembangan kemiskinan perkotaan yang diakibatkan oleh krisis
moneter sebagaimana yang dikemukakan di atas tampak dengan jelas berupa
terjadinya lonjakan kemiskinan yang sangat tinggi, dari sebanyak 7,2 juta (9,7%)
pada tahun 1996 meningkat menjadi 17,2 juta (21,9%) pada tahun 1998. Dan
dengan berbagai upaya dan tindakan sebagaimana yang dikemukakan di atas,
jumlah penduduk miskin itu pada tahun 1999 sudah agak sedikit menurun, yaitu
menjadi 15,7 juta atau 19,5% dari jumlah penduduk perkotaan keseluruhannya
(lihat Tabel 2 sebelumnya). Namun jumlah maupun persentase penduduk miskin
perkotaan ini masih lebih dari dua kali lipat dibandingkan dengan tahun 1996
sebelum terjadinya krisis moneter. Tahun-tahun selanjutnya, yaitu mulai tahun
2000 telah terjadi sedikit penurunan jumlah penduduk miskin perkotaan ini,
8
namun dari sudut jumlah tetap masih jauh lebih tinggi dari pada tahun 1976.
Hanya secara persentase terhadap jumlah penduduk perkotaan keseluruhannya,
posisinya sudah jauh lebih baik, dimana pada tahun 2003 persentase penduduk
miskin perkotaan (13,6) sudah dalam kondisi yang hampir sama dengan yang
dicapai pada tahun 1993 (13,4%), namun belum mencapai kondisi yang dicapai
pada tahun 1996 (9,7%), menurut metode perhitungan yang lama atau juga persis
sama dengan kondisi tahun 1996 (13,6) dengan menggunakan metode
perhitungan 1998.
III. Karakteristik Dan Fenomena Kemiskinan Perkotaan
Menurut Konferensi Dunia Untuk Pembangunan Sosial di Kopenhagen
1995 (Kementerian Koordinator Bidang Kesra, 2002) kemiskinan dalam arti luas
di negara-negara berkembang memiliki wujud yang multidimensi yang meliputi
sangat rendahnya tingkat pendapatan dan sumberdaya produktif yang menjamin
kehidupan berkesinambungan; kelaparan dan kekurangan gizi; keterbatasan dan
kurangnya akses kepada pendidikan dan layanan-layanan pokok lainnya; kondisi
tak wajar dan kematian akibat penyakit yang terus meningkat; kehidupan
bergelandang dan tempat tinggal yang jauh dari memadai; lingkungan yang tidak
aman; serta diskriminasi dan keterasingan sosial.
Wujud kemiskinan sebagaimana yang dikemukakan di atas tercermin
pada rumah tangga miskin yang terdapat di Indonesia, baik di perkotaan maupun
di pedesaan. Dalam hubungan ini Badan Pusat Statistik (BPS, 1992)
mengemukakan karakteristik rumahtangga miskin dapat dilihat dari jumlah
pekerja dan tempat tinggal, pemilikan dan penguasaan tanah (pertanian), tingkat
pendidikan dan jam kerja kepala rumah tangga, serta jenis dan status pekerjaan
rumah tangga. Dikemukakan pertama-tama bahwa rumah tangga miskin hanya
mempunyai satu orang pekerja yang menghasilkan pendapatan. Sebagian besar
9
kondisi tempat tinggal mereka belum memenuhi persyaratan kesehatan yang
memadai. Rumah tangga miskin hanya memiliki lahan (pertanian) yang sangat
kecil atau bahkan banyak diantaranya tidak memilikinya sama sekali. Tingkat
pendidikan kepala rumah tangganya sangat rendah. Jam kerja mereka rata-rata
per minggu relatif jauh lebih lama. Disamping itu jenis dan status pekerjaan
kepala rumah tangga di pedesaan sebagian besar adalah petani kecil atau buruh
tani dan di perkotaan berupa usaha atau kegiatan sendiri kecil-kecilan, terutama
sektor informal baik yang legal maupun yang ilegal. Sebagaimana yang
dikemukakan oleh Keith Hart (1973), sebagai ilustrasi, sektor informal yang
legal itu adalah berupa tukang kayu/batu, pedagang kecil eceran dan asongan,
tukang ojek/becak, tukang cukur, tukang sol/semir sepatu, dan sebagainya.
Sedangkan sektor informal yang ilegal adalah seperti pencopet, pencuri, penadah
barang curian, prostitusi, penyelundup, dan lain-lain.
Sehubungan dengan itu, dari data statistik yang dikemukakan Badan
Pusat Statistik (BPS, 1992) dapat disimpulkan antara lain bahwa rumah tangga
miskin di perkotaan yang kepala rumah tangganya berpendidikan SD dan Tidak
Tamat SD sebanyak 88,86% yang hampir sama saja dengan yang terdapat di
pedesaan yaitu sebanyak 96,12%. Selanjutnya mengenai rumah tangga miskin
menurut sumber penghasilan utama adalah di perkotaan sebanyak 23,71% pada
sektor pertanian dan 76,29% pada sektor industri, bangunan dan jasa. Sedangkan
di pedesaan rumah tangga miskin yang berpenghasilan utama pertanian sebanyak
81,97% dan pada sektor industri dan jasa sebanyak 18,03%.
Bank Dunia dalam suatu Dissemination Paper-nya (The World Bank,
2003) tetang “Kota-kota Dalam Transisi: Tinjauan Sektor Perkotaan Pada Era
Desentralisasi di Indonesia”, antara lain mengemukakan tentang kondisi
kemiskinan perkotaan di Indonesia. Hal ini dapat disimpulkan pertama-tama
bahwa hak masyarakat miskin perkotaan terhadap tanah, rumah, infrastruktur dan
10
pelayanan dasar, kesempatan kerja dan mendapatkan pinjaman, pemberdayaan
dan partisipasi, rasa aman dan keadilan sangatlah terbatas sekali dalam
kehidupan mereka sehari-hari.
Lebih lanjut dikemukakan dalam laporan Bank Dunia tersebut tentang
kondisi berbagai aspek kemiskinan perkotaan di Indonesia, yang dapat
diringkaskan dan dimodifikasikan sebagaimana dikemukakan berikut ini.
1. Kepemilikan dan Akses Terhadap Tanah yang Sulit dan Sangat Terbatas
Penataan tanah perkotaan yang tidak jelas dan harga tanah yang
tinggi sangatlah menekan sehingga masyarakat miskin perkotaan menderita.
Apalagi sistem hak atas tanah yang kompleks dengan tujuh macam hak atas
tanah dari hak milik hingga hak guna sementara, serta biaya mendapatkan
sertifikat tanah yang relatif tinggi. Kesemuanya berakibat masyarakat miskin
pada umumnya tinggal di tempat yang ilegal atau pada lahan milik negara atau
lainnya.
Kebanyakan keluarga miskin yang memiliki tanah hanya mempunyai hak
tradisional atas tanah, tidak mempunyai hak yang resmi. Sehingga mudah bagi
pemerintah atau proyek-proyek besar untuk menggusur mereka tanpa
kompensasi yang wajar atau memadai. Ditambah lagi dengan derasnya arus
urbanisasi, ketiadaan pekerjaan dan tekanan penghidupan menimbulkan
terjadinya pemakaian tanah untuk membangun rumah spontan dan gubuk secara
liar, dan memunculkan daerah kumuh untuk kehidupan dari keluarga miskin.
Kesemuanya itu merupakan potret yang umum terjadi di daerah pekotaan,
terutama pada kota-kota besar.
2. Rumah Berfungsi Ganda serta Kepemilikannya Sangat Berisiko dan
Kebanyakannya Ilegal
11
Perumahan bagi masyarakat miskin, khususnya di perkotaan, bukan
hanya sebagai tempat berlindung tetapi juga merupakan aset, tempat
berusaha/bekerja dan sumber berpijak untuk memperoleh penghasilan yang
tercermin antara lain berupa bertumpuknya barang-barang bekas yang akan
dijual. Namun demikian terdapat keterbatasan mereka dalam melakukan pilihan
lokasi atas rumah atau tempat tinggalnya tersebut. Sehubungan dengan itu
mereka terpaksa memilih diantara beberapa alternatif lokasi yang terbatas
dimana terdapat hambatan akses untuk bekerja dan ketidakpastian dalam
kepemilikan ditambah dengan kondisi lingkungan bekerja yang tidak aman, yang
berisiko tinggi terhadap kesehatan, keselamatan dan keamanan mereka.
Seringkali terjadi bahwa kaum miskin itu membangun penampungan dan gubuk
di lahan kosong secara liar yang bukan di atas lahan miliknya. Dan terhadap
bangunan rumah/gubuk liar tersebut seringkali terjadi penertiban dan
penggusuran, sehingga berakibat keluarga miskin tersebut semakin menderita.
3. Tingkat Pendidikan Keluarga Sangat Rendah dan Ketergantungan
Hidup Keluarga yang Besar
Sungguhpun tingkat pendidikan mereka sangat rendah, namun rumah
tangga perkotaan rata-rata berpendidikan relatif lebih baik dibandingkan dengan
rumah tangga pedesaan, disamping itu terdapat perbedaan yang tajam dalam
tingkat pendidikan antara keluarga kaya dengan keluarga miskin perkotaan.
Tingkat partisipasi sekolah dan kemampuan membaca masyarakat miskin
lebih tinggi di perkotaan (tertinggi di Jakarta) dibandingkan dengan yang
terdapat di pedesaan, namun tingkatan ini tidak otomatis ditentukan berdasarkan
jenis dan kondisi hunian. Dan, warga buta huruf lebih banyak terjadi pada
masyarakat miskin di beberapa kota tertentu dibandingkan dengan di daerah
pedesaan.
12
4. Kondisi Lingkungan Buruk Yang Berisiko Penyakit dan Akses/Tingkat
Kesehatan Yang Sangat Rendah
Secara umum, masyarakat perkotaan memiliki akses yang relatif
lebih besar untuk mendapatkan fasilitas kesehatan. Namun tingkat kesehatan
mereka belum tentu lebih baik karena terdapatnya gizi yang buruk, tekanan
lingkungan sanitasi yang buruk, dan perilaku hidup yang tidak sehat. Dan bahkan
seringkali pelayanan dan tingkat kesehatan di wilayah miskin perkotaan tidak
lebih baik, dan terkadang lebih buruk daripada daerah pedesaan.
Dibandingkan dengan populasi keseluruhan secara umum dapat
dikatakan penghuni kawasan kumuh di perkotaan memiliki harapan hidup yang
lebih pendek, serta tingkat kematian ibu dan bayi yang lebih tinggi. Tambahan
pula disini terdapat berbagai masalah kesehatan seperti penyakit diare/disentri,
kekurangan gizi dan gangguan mental.
5. Status Pekerjaan Tidak Menentu dan Bekerja Seadanya Sebisa Mungkin
Serta Tingkat Pengangguran Yang Tinggi
Dari hasil survei dikemukakan bahwa status dan jenis pekerjaan
penduduk (miskin) tidaklah otomatis merupakan indikasi sesungguhnya dari
keadaan kemiskinan di perkotaan. Di sini status pekerjaan secara independen
tidak bisa serta merta dijadikan ukuran tingkat pendapatan yang rendah atau
ukuran kriteria kemiskinan. Dan ini lebih nyata tampak bahwa nereka yang
bekerja di sektor informal tertentu selama masa krisis moneter tahun 1997 dapat
bertahan dan bahkan lebih baik kondisinya daripada sektor formal, terutama pada
bidang manufaktur tertentu, yang bahkan banyak terjadi PHK terhadap para
pekerjanya.
13
Dalam kaitan dengan status dan jenis pekerjaan tersebut pada
berbagai sektor lapangan kerja dilaporkan bahwa pengangguran di daerah
perkotaan relatif lebih tinggi dibandingkan dengan di daerah pedesaan. Dan
tingkat pengangguran-nya cenderung meningkat untuk kaum miskin (dan non
miskin) dengan peningkatan yang berhubungan dengan kondisi dan fasilitas
pemukiman buruk yang tidak menguntungkan.
6. Sangat Terbatasnya Akses ke Fasilitas Dasar Perkotaan
Kaum miskin perkotaan sangat kurang tercukupi kebutuhannya atas
pelayanan kebutuhan dasar mereka seperti air bersih, sanitasi, saluran air dan
jalan akses. Kondisi ini terjadi antara lain karena kurangnya bantuan dan
penanganan pemerintah, baik berupa pemeliharaan maupun investasi baru atas
infrastruktur lingkungan yang diperlukan masyarakat setempat.
Menurut hasil survai ternyata relatif lebih banyak rumah tangga di
perkotaan yang tidak memiliki akses air bersih dibandingkan rumah tangga di
pedesaan. Banyak di antara kaum miskin perkotaan yang terpaksa membeli air
bersih, dan bahkan mereka tergantung pada fasilitas air minum “swasta” yang
lebih mahal. Demikian pula dalam hal fasilitas toilet, kondisinya serba kurang
dan menyedihkan, meskipun tidak banyak bedanya antara di perkotaan dan di
pedesaan.
Dalam hal pembuangan sampah, kebanyakan masyarakat miskin dan
pemukiman miskin menggunakan lahan terbuka, lubang-lubang atau saluran air.
Ini menyebabkan risiko kontaminasi terhadap air permukaan dan air tanah di
daerah perkotaan yang penduduknya padat. Selain menimbulkan polusi terhadap
lingkungan hidup, hal ini juga merusak keindahan kota dan menimbulkan bahaya
banjir yang selalu melanda pemukiman mereka sewaktu musim penghujan.
14
IV. Upaya Penanggulangan Kemiskinan
Sesungguhnya tidak banyak bedanya upaya penanggulangan kemiskinan di
perkotaan dibandingkan dengan di pedesaan. Namun karena cakupan, kondisi
dan tingkatnya yang agak berbeda satu sama lain, maka focus, sasaran dan
penekanan upaya penanggulangan kemiskinan tersebut dapat berbeda antara
untuk daerah perkotaan dan daerah pedesaan.
Pada awal-awal proses pembangunan bahkan hingga lima tahun Pelita
Kelima dimana penduduk miskin lebih terkonsentrasi di daerah pedesaan yang
hidup dari pertanian, maka program pembagunan pemerintah dalam upaya
penanggulangan kemiskinan di Indonesia lebih berorientasi dan terfokus kearah
pedesaan tersebut. Hal ini dilakukan dengan berbagai program dalam upaya
penanggulangan kemiskinan tersebut yang secara garis besar dapat disimpulkan
menurut kelompok yang dibedakan dalam empat hal (BPS, 1992), yaitu:
Pertama, Program Peningkatan Produksi Pertanian. Program ini dilakukan
antara lain dengan intensifikasi pemanfaatan lahan, penyaluran pupuk dan obat-
obatan, kebijakan penetapan harga gabah, dan sebagainya. Kedua, Program
Pembangunan Prasarana dan Sarana Fisik. Program ini meliputi
pembangunan jalan penghubung antar desa dan jalan lingkungan desa/kampung,
sistem pembuangan sampah dan air kotor, sistem drainase, distribusi listrik,
instalasi air bersih, hidran umum, sarana MCK, dan sebagainya. Ketiga,
Program Pengembangan SDM bagi Penduduk Miskin. Program ini antara
lain berupa kesempatan memperoleh pendidikan dasar (melalui program Inpres
SD) dan akses pada pelayanan kesehatan (melalui Puskesmas). Dalam program
pendidikan bagi kelompok miskin ini juga didukung dengan pengangkatan dan
penataran guru, pengadaan buku sekolah, dan lain-lain. Dan sejalan dengan itu
juga diselenggarakan pelatihan ketrampilan terhadap tenaga kerja. Sedangkan
pengadaan kemudahan akses pelayanan kesehatan terutama ditujukan pada upaya
15
pencegahan penyakit, pemeliharaan kesehatan, dan pelayanan pengobatan,
terutama bagi masyarakat miskin. Keempat, Berbagai Program Lainnya.
Berbagai program lainnya dalam upaya penanggulangan kemiskinan ini antara
lain program transmigrasi, program padat karya dan program pengembangan
kawasan terpadu. Program kawasan terpadu ini kemudian diintegrasikan ke
dalam program IDT (Inpres Desa Tertinggal).
Oleh Kementrian Koordinasi Kesra dalam Dokumen Interim Strategi
Penanggulangan Kemiskinan (2002) semua upaya pemerintah melalui program-
program yang dikemukakan diatas disebutnya sebagai kebijakan dan program
untuk menanggulangi kemiskinan melalui penyediaan kebutuhan dasar , yang
meliputi: (a) pangan, (b) pelayanan kesehatan dan pendidikan, (c) perluasan
kesempatan kerja, (d) bantuan sarana dan prasarana pertanian, (e) bantuan kredit
usaha bagi masyarakat miskin, dan (f) bantuan prasarana pemukiman kumuh di
perkotaan.
Selanjutnya dapat dikemukakan bahwa upaya pemerintah dalam
penanggulangan kemiskinan tersebut telah lebih diintensifkan sejak tahun 1994
melalui program Inpres Desa Tertinggal (IDT), Pembangunan Prasarana
Pendukung Desa Tertinggal (P3DT), Program Pengembagan Kecamatan (PPK),
Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) dan pada saat krisis
ekonomi telah diluncurkan pula program Jaring Pengaman Sosial (JPS).
Sebagaimana terlihat pada Tabel 2 tersebut dimuka ternyata bahwa
berbagai upaya pemerintah yang dikemukakan di atas pada dasarnya sudah dapat
menurunkan jumlah penduduk miskinsecara nasional, termasuk di perkotaan,
terutama hingga tahun 1996. Namun penurunan angka kemiskinan itu ternyata
masih sangat rentan terhadap perkembangan ekonomi makro, dimana yang
terjadi bahkan peningkatan kemiskinan kembali pada tahun 1998 dan tahun 1999
akibat krisis moneter dan ekonomi tersebut. Dan sungguhpun tahun-tahun
16
berikutnya angkanya agak menurun kembali tapi masih tetap cukup tinggi dan
berfluktuasi, baik dalam jumlah maupun dalam persentasenya terhadap total. Hal
ini mengisyaratkan bahwa upaya penanggulangan kemiskinan, baik di perkotaan
maupun di pedesaan perlu tetap mendapat perhatian dan penanganan yang
sungguh-sungguh, baik dengan kebijakan dan program lama yang membuktikan
keberhasilannya maupun dengan tambahan upaya dan kebijakan baru yang perlu
dikaji dan ditetapkan yang akan dapat mencapai tujuan dan hasil sebagaimana
yang diharapkan.
Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, dikemukakan oleh Bank
Dunia dalam makalahnya (2003) bahwa sesungguhnya tanggapan keluarga pada
masyarakat miskin terhadap masalah dan krisis multidimensi yang terjadi di
lingkungan mereka tergantung pada aset-tenaga kerja, sumber daya manusia dan
sumber daya sosial yang mereka dapat gunakan. Karena itu upaya, tindakan dan
kebijakan pemerintah secara umum, khususnya untuk daerah perkotaan, perlu
mencakup terutama antara lain yang terkait dengan hal-hal yang diringkaskan
dan dimodifikasikan sebagaimana dikemukakan berikut ini.
(1) Kelanjutan kebijakan dan upaya yang cukup berhasil dalam
pengentasan kemiskinan.
Dalam hal ini masyarakat miskin harus mempunyai akses yang sama dan
hak yang adil atas aset serta hasil produksi mereka. Kebijakan mengenai tenaga
kerja, kapital (finansial, simpanan), tanah dan sumber daya alam harus dapat
akses kepada mereka dan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat miskin
tersebut.
(2) Desentralisasi untuk memperbaiki kepemerintahan yang pro-miskin
17
Desentralisasi menjanjikan perubahan hubungan antara masyarakat miskin
dan pemerintah serta membuat pemerintah lebih mudah diakses. Dalam
hubungan ini hal-hal yang penting dalam agenda pemerintah daerah dalam upaya
pengentasan kemiskinan adalah dengan pertukara danperputaran informasi yang
bebas akan terjadi peningkatan pengertian dan kesadaran masyarakat miskin,
tersalurnya suara dan aspirasi masyarakat miskin dalam pengambilan kebijakan
serta tercipta dan berkembangnya transparansi dan akuntabilitas dalam
pengambilan keputusan dan pelaksanaan program-programnya.
(3) Investasi dan pengeluaran Pemerintah yang terfokus kepada
pengentasan kemiskinan
Pengalokasian pengeluaran pemerintah yang mempertahankan
perimbangan fiskal dan dalam rangka pelaksanaan desentralisasi selain diarahkan
kepada sasaran yang menguntungkan masyarakat miskin, juga harus menjadi
elemen kunci dalam kebijakan ekonomi yang sehat, baik pada tingkat nasional
maupun lokal.
Sejalan dengan itu perlu ditemukan dan dikembangkan pengukuran dan
penilaian kemiskinan yang lebih tepat serta peningkatan kapasitas daerah untuk
penanggulangan kemiskinan, desentralisasi fiskal yang pro-miskin melalui
alokasi DAU dan DAK yang sehat, pemberian subsidi dan kredit secara efektif
dan efisien, dan sebagainya.
(4) Pembuatan jaring pengaman untuk golongan termiskin
Meskipun upaya penanggulangan kemiskinan di daerah perkotaan
dilaksanakan dan disukseskan melalui dan oleh individual, keluarga dan
masyarakat miskin sendiri, namun tetap ada kelompok orang miskin yang
memerlukan perhatian/bantuan khusus, seperti mereka yang sangat miskin, yang
18
terisolasi secara fisik dan sosial yaitu yatim piatu, cacat fisik-mental, kena
musibah banjir-kebakaran, dan sebagainya. Kepada orang-orang miskin yang
demikian itu perlu diberikan bantuan darurat dalam mengatasi kesusahan dan
penderitaannya.
(5) Kemudahan akses terhadap tanah dan perumahan yang terjangkau
Reformasi pertanahan perlu dilakukan meliputi proses registrasi, sistem
informasi tanah, perencanaan dan pengelolaan tata guna lahan perkotaan dan
mekanisme penyediaan lahan. Dan tentu saja reformasi ini perlu
mempertimbangkan dan mengikutsertakan pemilik dan masyarakat, khususnya
masyarakat miskin, di perkotaan.
(6) Penyediaan infrastruktur untuk peningkatan mobilitas, akses dan
lingkungan
Tingkat aksesibilitas dan kualitas infrastruktur yang terjangkau untuk
masyarakat miskin masih serba kurang dan terbelakang. Untuk mengatasinya
perlu perhatian dan dukungan yang lebih besar dari pemerintah, pusat dan
daerah, dengan berbagai upaya dan programnya.
Upaya tersebut antara lain dengan penguatan kapasitas daerah/lokal
dan ketersediaan finansial, penarikan iyuran kepada pengguna pelayanan,
pemberian subsidi silang, membangun kerja sama LSM atau organisasi
masyarakat. Disamping itu juga mengurangi kecenderungan anti- miskin dalam
pengambilan kebijakan infrastruktur kota, serta penyediaan fasilitas pelayanan
masyarakat umum dalam penyediaan air, sanitasi, drainase, dan sebagainya.
(7) Kesempatan untuk pemberdayaan ekonomi melalui akses terhadap
kredit dan permodalan
19
Kebijakan ekonomi makro yang berhasil memang secara tidak langsung
dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, termasuk keluarga miskin,
sehingga perlu tetap dipertahankan dan dikembangkan.
Namun demikian hal itu tidaklah cukup untuk menanggulangi kemiskinan,
hendaknya perlu pula memfasilitasi masyarakat miskin dengan menguatkan
institusi mikro ekonomi daripada hanya pada pengembangan sektoral,
mengurangi biaya dan meningkatkan efisiensi dalam usaha masyarakat,
memperbaiki akses terhadap permodalan dan informasi, dan sebagainya.
(8) Peningkatan sumber daya manusia melalui pendidikan dan kesehatan
yang lebih baik
Rendahnya kualitas sumber daya manusia yang berakibat rendahnya
produktivitas, produksi dan pendapatan masyarakat, khususnya rumah-tangga
miskin, perlu diatasi pertama-tama melalui pendidikan luar sekolah, pelatihan-
pelatihan tenaga kerja, dan sebagainya. Dan dalam rangka peningkatan SDM itu,
perlu pula adanya program dan penanganan di bidang kesehatan yang terjangkau
oleh masyarakat miskin.
Sehubungan dengan hal tersebut, dalam penentuan program dan kebijakan
intervensi yang efektif perlu mengikutsertakan aspirasi, kebutuhan dan kapasitas
lokal. Dalam penentuan target dan sasaran dalam pelaksanaannya agar lebih
banyak diserahkan kepada LSM dan organisasi masyarakat setempat.
Dapat ditambahkan bahwa sungguhpun kebanyakan upaya dan
kebijakan penanggulangan kemiskinan yang dikemukakan diatas sudah dan
diharapkan akan dilaksanakan dan dikembangkan pada masa-masa mendatang,
namun banyak pula diantaranya yang berjalan sendiri-sendiri serta kurang
keterkaitan dan keterpaduan satu sama lainnya. Oleh karena itu, sebagaimana
yang dikemukkan oleh Tim Koordinasi Menko Kesra (2002), bahwa dalam
20
rangka pendekatan mengurangi beban biaya bagi penduduk miskin serta
meningkatkan pendapatan atau daya beli mereka, kebijakan dan upaya untuk itu
perlu dilakukan secara menyeluruh dan terpadu.
Sehubungan dengan itu, perlu diambil kebijakan pembangunan yang
berpihak pada penanggulangan kemiskinan, yang antara lain meliputi: (a)
optimalisasi pemanfaatan APBN dan APBD, (b) penajaman program-program,
(c) pengarahan dana pinjaman dan hibah, (d) sinkronisasi kegiatan perencanaan,
pelaksanaan dan pemantauan serta (e) pelibatan LSM dan perguruan tinggi dan
lain-lain dalam pemantauan. Kesemuanya itu dilakukan dengan
memperhitungkan dan mempertimbangkan pencapaian tujuan dan sasaran
penanggulangan kemiskinan. Sehingga dengan demikian pada dasarnya upaya
penanggulangan kemiskinan itu haruslah bersifat menyeluruh, terpadu dan
berkelanjutan.
V KESIMPULAN
Sebagaimana halnya dengan negara-negara berkembang lainnya yang
bertumbuh, negara Indonesia mengalami proses urbanisasi antara peningkatan
jumlah dan persentase penduduk perkotaan yang selalu meningkat dari tahun ke
tahun. Kecenderungan peningkatan penduduk ini telah sampai pada tingkat
dimana penduduk perkotaan sudah mencapai 42,2% (SP 2000), 46,3% (proyeksi
2003) dan 50,8% (proyeksi 2006). Dengan demikian sejak tahun 2006 jumlah
penduduk perkotaan akan melebihi jumlah penduduk pedesaan. Dan ini akan
cenderung meningkat terus pada tahun-tahun mendatang.
Jumlah dan persentase penduduk perkotaan yang semakin
meningkat dan berkepadatan semakin tinggi akan berakibat semakin beratnya
“beban” kehidupan perkotaan dan semakin meningkat dan meluasnya berbagai
21
permasalahan yang muncul, terjadi dan berkembang di daerah perkotaan, yang
salah satu diantaranya masalah kemiskinan perkotaan, dengan segala latar
belakang dan aspeknya. Sungguhpun telah dilakukan berbagai upaya dan
kebijakan untuk menanggulangi kemiskinan, namun jumlah penduduk miskin
perkotaan tetap saja tinggi. Memang telah terjadi penurunannya selama empat
tahun terakhir sesudah krisis moneter, namun jumlahnya tetap saja tinggi, bahkan
masih jauh lebih tinggi dari pada tahun 1976 sejak upaya penanggulangan
kemiskinan tersebut telah mulai digalakkan. Secara persentase terhadap total
penduduk miskin Indonesia, ternyata bahwa yang sebelum tahun 1981 penduduk
miskin perkotaan selalu kurang dari 25%, maka sejak tahun 1987 (kecuali tahun
2001) selalu lebih besar dari pada 30% dari total penduduk miskin. Artinya pada
umumnya sejak tahun tersebut jumah penduduk miskin rata-rata sepertiganya
terdapat di daerah perkotaan.
Wujud karakteristik kemiskinan dan rumah tangga miskin pertama-tama
tercermin pada keluarganya yang bekerja hanya seorang pekerja yang
berpendapatan minim, tempat tinggalnya sangat sederhana dan jauh dari
persyaratan kesehatan yang memadai bahkan banyak diantaranya hanya berupa
gubuk dan bangunan liar, tingkat pendidikan kepala keluarganya sangat rendah,
mereka hampir tidak memiliki aset dan fasilitas kehidupan maupun akses untuk
mendapatkannya, untuk memenuhi kebutuhan hidup minimalnya mereka
terpaksa bekerja keras apa saja yang memakan waktu yang jauh lebih lama, di
pedesaan umumnya mereka bekerja sebagai petani kecil dan buruh tani,
sedangkan di perkotaan kebanyakannya bekerja pada sektor-sektor informal dan
pekerjaan-pekerjaan lepas yang tidak menentu dan tidak stabil.
Berhubung karena pada awal-awalnya kebanyakan penduduk miskin
di Indonesia hidup di daerah pedesaan, maka upaya penanggulangan kemiskinan
itu semula lebih terfokus ke pedesaan dan pertanian. Hal ini diwujudkan mula-
22
mula berupa program peningkatan produksi pertanian, program pembangunan
parsarana dan sarana fisik yang menyentuh kemiskinan, program pengembangan
SDM bagi penduduk miskin, dan berbagai program lainnya seperti program
transmigrasi, program padat karya, dan sebagainya.
Kemudian sejak tahun 1994 upaya pengentasan kemiskinan tersebut lebih
diintensifkan melalui program Inpres Desa Tertinggal, program Pembangunan
Prasarana Desa Tertinggal, program Pengembangan Kecamatan, program
Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan dan program Jaring Pengaman Sosial.
Upaya dan kebijakan pemerintah dalam penanggulangan
kemiskinan, khususnya di perkotaan, yang menyangkut tenaga kerja, akses pada
permodalan tanah dan sumber daya, akses atas pendidikan dasar dan pelayanan
kesehatan, dan lain-lain bagi masyarakat miskin perlu dilanjutkan, dibina dan
dikembangkan. Sehubungan dengan itu untuk mengatasi kemiskinan di pekotaan,
antara lain pertama-tama perlu pelaksanaan desentralisasi untuk memperbaiki
kepemerintahan yang pro- miskin, investasi dan pengeluaran pemerintah (pusat
dan daerah) tertentu yang terfokus pada pengentasan kemiskinan serta
penyediaan infrastruktur untuk peningkatan mobilitas, aksesibilitas dan
lingkungan bagi masyarakat. Selanjutnya perlu keberlanjutan jaringan pengaman
sosial bagi masyarakat khususnya yang termiskin, serta akses terhadap
penyediaan tanah dan perumahan bagi golongan miskin. Sejalan dengan itu
dalam rangka peningkatan produktivitas, produksi dan pendapatan mereka perlu
kelanjutan dan pengembangan pemberdayaan ekonomi mereka melalui akses
terhadap kredit dan permodalan serta peningkatan sumber daya manusia melalui
pendidikan, pelatihan dan kesehatan yang lebih baik dan terjangkau oleh
keluarga miskin tersebut.
Sehubungan dengan itu, segala upaya, kebijakan dan tindakan yang
dilakukan pemerintah untuk penanggulangan kemiskinan, khususnya di
23
perkotaan tersebut, haruslah bersifat menyeluruh, terpadu dan berkelanjutan.
Penanggulangan kemiskinan itu pertama-tama harus meliputi seluruh masyarakat
miskin atas semua kelompok sasaran, semua sektor dan bidang kehidupan serta
pada seluruh wilayah tanah air. Bersifat terintegrasi berarti bahwa kebijakan dan
penanganannya pada setiap bidang dan sektor perekonomian tidaklah berdiri atau
berjalan sendiri-sendiri. Akan tetapi dilaksanakan dan dijalankan secara terpadu
antar depertemen/instansi terkait satu sama lainnya sehingga dapat dicapai hasil
yang optimal. Sedangkan dalam sifat berkelanjutan berarti upaya pengentasan
kemiskinan itu dilakukan terus menerus, baik terhadap kemiskinan yang masih
ada maupun terhadap masyarakat tertentu yang berpotensi miskin, seperti mereka
yang berada sedikit di atas garis kemiskinan. Sehingga kemiskinan tersebut dapat
diatasi secara mantap, merata dan berkesinambungan untuk masa-masa
mendatang.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dan Departemen Dalam Negeri, Pedoman Program Inpres Desa Tertinggal, Jakarta, 1993.
Badan Pusat Statistik, Penduduk Indonesia: Hasil Sensus Penduduk 2000 (Seri: RBL 1.1), Jakarta 2000, dan tahun-tahun sebelumnya.
Badan Pusat Statistik, Profil Penduduk Indonesia Tahun 2000 (atau SP sebelumnya), Jakarta, 2002.
Badan Pusat Statistik, Data dan Informasi Kemiskinan Tahun 2003, Jakarta, 2003.
Badan Pusat Statistik, Statistik Indonesia 2003, Jakarta 2004.
Biro Pusat Statistik, Kemiskinan dan Pemerataan Pendapatan di Indonesia 1976-1990, Jakarta, 1992.
24
Gilbert, Alan dan Josef Gugler, Urbanisasi dan Kemiskinan di Dunia Ketiga (terjemahan), PT Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta, 1996.
Hart, Keith, “Informal Income Opportunities and Urban Employment in Ghana” dalam Ian Livingston (ed), Development Economies and Policy: Readings, George Allen & Unwin Ltd, London, 1981.
Hentschel, Yesco and Radha Seshagiri, “The City Poverty Assessment: An Introduction” dalam Mila Freire & Richard Stren (eds), The Challenge of Urban Development, WBI Development Studies, Washington DC, 2001.
Kementerian Koordinasi Bidang Kesejahteraan Rakyat (Tim Koordinasi Penyiapan Penyusunan Perumusan Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan), Dokumen Interim Strategi Penanggulangan Kemiskinan, Jakarta, 2002.
Remi, Subyatie Soemitro dan Priyono Tjiptoherijanto, Kemiskinan dan Kemerataan di Indonesia, Penerbit Reneka Cipta, Jakarta, 2002.
Todaro, Michael P., Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga (Terjemahan) Jilid I, Penerbit Erlangga, Jakarta, 2000.
World Bank (Urban Sector Development Unit, Infrastructure Development, East Asia and Pacific Region), Kota-kota Dalam Transisi: Tinjauan Sektor Perkotaan Pada Era Desentralisasi di Indonesia (terjemahan), Dissemination Paper No 7, June 30, 2003.
World Bank, World Development Report 2004: Making Service Work for Poor People, IBRD/ The World Bank, Washington DC, 2004.