168
OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK Oleh PHENI CHALID Adviser for Decentralization and Regional Autonomy, Partnership for Governance Reform Kemitraan Agustus 2005

MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

  • Upload
    buikhue

  • View
    249

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

i

OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

OTONOMI DAERAH

MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

Oleh

PHENI CHALID

Adviserfor Decentralization and Regional Autonomy,

Partnership for Governance Reform

KemitraanAgustus 2005

Page 2: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

ii

Perpustakaan Nasional RI: Katalog Dalam Terbitan

OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

Oleh

PHENI CHALID

ISBN : .....................

Setting Layout/DesainStaf Penebar Swadaya

Cetakan PertamaJakarta : Kemitraan, 2005

Hak Cipta dilindungi oleh Undang-undang. Tidak diperkenankan memperbanyak, mencetak,mengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit.

Page 3: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

iii

OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

Kata PengantarDaftar Gambar dan TabelDaftar Isi

BAB I. PENDAHULUAN

A. Dilema Desentralisasi 1B. Kendala-kendala Pelaksanaan Desentralisasi

dan Otonomi Daerah 6

BAB II. OTONOMI DAERAH DAN PERMASALAHANNYA

A. Beberapa Deskripsi Otonomi Daerah 15B. Pokok-pokok Pikiran Otonomi Daerah 21C. Reformasi Sistem 23D. Asumsi-asumsi Dasar Otonomi Daerah 28E. Pengembangan Wilayah Berdasarkan

Potensi Lokal 32F. Kebijakan Fiskal 39

BAB III. OTONOMI DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

A. Peran Negara Dalam Kerangka Welfare State 61B. Good Governance: Sistem Pemerintahan yang

Mengikutsertakan Rakyat 65C. Pemberdayaan Masyarakat dan Kearifan Lokal 70D. Back to Nature: Bentuk Partisipasi

Masyarakat Sipil 74E. Penggalian Potensi Sosial Budaya dan Alam:

Pemberdayaan dari Dalam 78F. Masyarakat Sipil dalam Sistem Pemerintahan

yang Manipulatif 83

DAFTAR ISI

Page 4: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

iv

G. Sistem Partisipatif dan Penguatan PeranMasyarakat Sipil 87

H. Politisasi Desa 89I. Pemberdayaan Masyarakat: Capacity from Within,

Pressure from Without 93

BAB IV. OTONOMI DAN KONFLIK 101

A. Konflik: Kerangka Teori 103B. Pemahaman Konflik Dalam Otonomi Daerah 110C. Bentuk-Bentuk Konflik Dalam Otonomi Derah 114D. Konflik Pemilihan Kepala Daerah Langsung 142

Kesimpulan 151Catatan 156Daftar Pustaka 159

Page 5: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

v

OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

Penerapan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesiadiyakini akan mampu mendekatkan pelayanan masyarakat,meningkatkan kesejahteraan rakyat dan memupuk demokrasi

lokal. Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika, terdiri dari ribuan pulau,ratusan kultur dan subkultur yang menyebar di seluruh nusantara.Berdasarkan pada variasi lokalitas yang sangat beragam itu makasangat tepat untuk menerapkan otonomi daerah. Hal ini akanmemberi peluang seluas luasnya bagi tiap daerah untuk berkembangsesuai potensi alam dan sumber daya manusia yang ada di masingmasing daerah dan kemudian akan menciptakan suasana kompetisiantar daerah dalam mewujudkan kesejahteraan bagi rakyatnya.

Suasana kompetisi dan persaingan antar daerah di masa laluhampir tidak dikenal karena semua kebijakan fiskal, adminsitratif danpolitis diatur dari pusat, Jakarta. Hampir tidak ada ruang bagi eksekutifdi daerah untuk menentukan kebijakan sendiri. Bupati atau walikotayang telah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) didaerah akan dapat ditolak oleh otoritas pusat jika tidak sesuai dengankepentingan politik elite penguasa di Jakarta. Jadi, eksekutif danlegislatif daerah pada masa itu hanya jari jari kekuasaan pusat yangberada di daerah. Harapan normatif yang dilekaktkan kepada DPRDsebagai wakil rakyat kandas dilumat sistim yang memang dirancanguntuk melestarikan status quo autoritarian di bawah rejim Orde Baru,anggota dan badan legislatif dikooptasi.

Perjuangan reformasi yang kemudian berhasil menumbangkanrejim Orde Baru tahun 1997 sangat membuka perluang untukmerombak tata pemerintahan yang sentralisitik. Satu diantara pilarnyareformasi adalah penerapan desentralisasi dan otonomi daerah.Meski pemerintah pusat telah menjalankan desentralisasi sebagaikonsekuensi reformasi politik, namun desentralisasi dan otonomidaerah lebih dilihat sebagai hadiah (kemurahan hati) pusat membagikekuasaan kepada daerah. Bukan sebaliknya, sebagai satukeharusan dan menjadi pilihan kebijakan paling tepat bagi Indone-

PENGANTAR

Page 6: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

vi

sia yang paling heterogen dari segi variasi wilayah dan keanekara-gaman kukltur lokal.

Kecurigaan terhadap adanya usaha usaha sengaja untuk kembalike sentralisasi telah mulai mencuat ketika pemerintah melakukanrevisi UU Otda No. 22/1999 dengan UU Otda No.32/2004, yang seringdikaitkan dengan bentuk ketidakrelaan pusat membiarkan daerahmengatur dirinya sendiri. Formula UU Pemda ini juga banyakmengandung kontroversi, terutama dalam hal mekanisme pemilihankepala daerah yang tertuang dalam PP 06/2005.

Penulis dalam buku ini mengemukakan tiga tema sentral yangberkaitan langsung dengan otonomi: pemahaman dasar tentangotonomi, partisipasi rakyat dalam otonomi, dan koflik konflik di masadesentralisasi. Kami nilai pemilihan ketiga tema ini akan banyakmembantu dalam upaya kita memetakan dan mendalami persoalanpersoalan otonomi yang semakin hari justru semakin komplek.

Apapun kelemahan yang terdapat dalam pelaksanaandesentralisasi dan otonomi daerah, maka perlu digarisbawahi bahwademokrasiti rakyat di daerah dan peningkatan kesejahteraanbukanlah sebuah proses instant seperti kita memesan makan cepatsaji. Demokrasi adalah proses yang panjang dan berkelanjutan. Dankita saat ini sedang melakukannya.

Secara khusus kami sampaikan terima kasih kepada saudaraPheni Chalid, Adviser for Decentralization and Regional Autonomy,di Kemitraan, yang masih sempat meluangkan waktu untuk menulisdi sela sela kesibukan rutin. Semoga buku ini bermanfaat.

Jakarta, Akhir Agustus 2005

HS DillonDirektur Eksekutif, Kemitraan

Page 7: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

1

OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

A. Dilema DesentralisasiPerjalanan sistem desentralisasi di Indonesia jika dirunut

sepanjang sejarah perjalanan bangsa ini cukup panjang dan berliku.Perubahan politik di tahun 1990-an menjadi arus balik perjalananbangsa Indonesia yang membawa beberapa dampak positif.Perubahan tersebut diantaranya mengubah tata hubungan antaraPemerintah Pusat dan Daerah ke arah yang lebih demokratis denganmemperbesar porsi desentralisasi. Dengan perubahan sistempemerintahan tersebut, otomatis berbagai pranata pendukung sistemyang selama ini bersifat sentralistik juga mengalami perubahan.

Sistem pemerintahan desentralisasi sebenarnya telah digagasoleh para pendiri negara ini dengan menempatkan satu pasal dalamUUD 1945 (pasal 18). Implementasi pasal tersebut selalu menimbul-kan persoalan sejak tahun-tahun awal kemerdekaan. Pergulatanmencari makna kebangsaan yang dipandang sebagai identitassekunder, selalu menghadapi persoalan identitas primer berupakuatnya solidaritas etnik, agama, adat dan bahasa serta tradisi lokal.Faktor-faktor ini pula yang menyebabkan timbulnya pemberontakankedaerahan selain faktor ketidakadilan dalam pembagiansumberdaya ekonomi antara Pusat dan Daerah (Maryanov,1958;Harvey, 1983). Sejak tahun 1945 itu pula, Pemerintah Pusat me-mandang pluralitas secara ambivalen. Di satu sisi mempromosikanBhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan resmi negara, di sisi lainmenerapkan kebijakan sentralisasi karena kebhinekaan dilihatsebagai ancaman disintegrasi.

Selama masa kepemimpinan Soekarno berlangsung 16 kalipergantian kabinet. Yang menarik dari proses tersebut adalah pro-

BAB IPENDAHULUAN

Page 8: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

2

gram-program kabinet yang menempatkan “desentralisasi”, “otonomidaerah” atau “memperbaiki hubungan Pusat-Daerah” sebagaiprioritas. Meskipun usaha tersebut mengalami kegagalan, tetapimenunjukkan betapa penting dan mendesak mewujudkan hubunganPusat-Daerah yang seimbang dan proporsional. Perpaduan antaratuntutan Daerah dan kehendak Pusat inilah yang terus menerusdicari. Oleh sebab itu sepanjang kepemimpinannya berlangsung 4kali perubahan undang-undang pemerintahan daerah. Di bawahundang-undang no. 1/1945 dilakukan pembentukan daerah-daerahotonom yang masih terbatas di Jawa. Jangkauan undang-undangini sangat terbatas, mengingat sebagai negara baru masih mencari-cari bentuk, termasuk susunan pemerintahan daerah yang pluralistiksebagai warisan penjajahan. Belanda menerapkan dua sistem yangberbeda, yaitu indirect rule untuk Jawa dan direct rule untuk luarJawa. Dampak kedua sistem ini cukup besar dalam susunanpemerintahan lokal. Jika di Jawa otoritas tradisional dalam batas-batas tertentu masih kuat, maka di luar jawa kesatuan sosial dalambentuk suku, wilayah, kepulauan saling memotong (cross cutting).Gejala ini di satu sisi menumbuhkan kuatnya identitas primer(primordialisme) di sisi lain berlangsung besaran (magnitude) olehproses ekonomi kapitalistik yang mengintegrasikan ekonomi luar jawasecara langsung dengan pasar internasional. Undang-undang No.22/1948 memberi ruang gerak daerah yang lebih luas dibandingsebelumnya. Guna menghidupkan pemerintahan lokal dan kesatuansosial, dibentuk daerah tingkat III yang satuannya dapat berupa desaatau satuan yang setingkat. Akibatnya kontrol Pusat terhadap Daerahberkurang tajam. Tidak mengherankan di bawah undang-undangtersebut berlangsung berbagai pemberontakan daerah (DI, TII,PERMESTA, RMS), selain pemberontakan PKI di Madiun.

Guna mencegah menguatnya daerahisme, provinsialisme danmemperkuat kontrol Pusat, dikeluarkan undang-undang No. 1/1957.Di bawah undang-undang baru ini kandungan keseimbangan antaraPusat dan Daerah lebih mengemuka. Meskipun bukan produk DPRhasil pemilu 1955 secara penuh, hubungan Pusat-Daerah lebihdemokratis. Tetapi kemacetan-kemacetan segera terjadi, yangpenyebab utamanya adalah pembagian hasil hutan, pertambangan

Page 9: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

3

OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

dan perkebunan yang lebih berpihak ke Pusat. Romantisme agamaturut mempengaruhi ketegangan Pusat-Daerah, sehingga undang-undang tersebut tidak dapat diimplementasikan secara optimal. Selainitu konflik ideologi partai dan politisasi massa untuk keperluan partai-partai, menguras energi dan tidak terdapat kesempatan untukmengoptimalkan undang-undang tersebut. Ketegangan antar partai,khususnya antara PKI dan kekuatan oponennya, melahirkan undang-undang No. 18/1965. Aturan ini tidak banyak mewarnai hubunganPusat-Daerah, sebab kekacauan segera terjadi.

Di bawah kepemimpinan Soeharto, sentralisasi setengah hatinyaSoekarno dikonkritkan. Soeharto tanpa ragu-ragu melihatkeanekaragaman budaya, geopolitik kepulauan dan kemajemukanideologi sebagai ancaman persatuan dan kesatuan bangsa. Integrasinasional dalam visi Soeharto harus dimulai dari integrasi wilayah(keutuhan wilayah) dan merasuk ke integrasi bangsa (Soeharto,1989). Dalam visi demikian, perbedaan ideologi tidak dapatditoleransi. Itulah sebabnya mengapa kepemimpinan Soeharto antipartai, anti kemajemukan ideologi dan menyatukan ideologi dalamasas tunggal. Kekhawatiran akan lahirnya daerahisme danprovinsialisme, dipertegas dengan membatasi masa jabatan kepaladaerah dan mekanisme pemilihan. Kepala Daerah tidak sepenuhnyadipilih oleh Dewan. Secara formal mekanismenya adalah perpaduanantara kehendak Daerah (mengusulkan tiga nama) dan kehendakPusat (menentukan/memilih satu dari tiga yang diusulkan Dewan).Tetapi secara substantif, Kepala Daerah adalah orang Pusat yangditempatkan di daerah. Selain didesain untuk mengendalikan Daerah,undang-undang No. 5/1974 tidak memberi ruang gerak yangmemadai bagi tokoh-tokoh Daerah untuk membangun kekuatandengan identitas Daerah. Pembunuhan massal yang berlangsungpertengahan tahun 1960-an, merupakan kendala struktural bagikekuatan masyarakat termasuk kekuatan-kekuatan di Daerah untukmelakukan tawar menawar dengan Pusat.

Menguatnya sentralisasi di awal kepemimpinan Soehartosesungguhnya memiliki argumen empirik yang kuat, seperti konflikideologi global, geopolitik Indonesia yang berbentuk kepulauan danpluralitas kultural. Latar belakang sebagai seorang militer yang

Page 10: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

4

sebelumnya terlibat secara aktif dalam memadamkanpemberontakan daerah dan sebagai orang Jawa yang tidakmenempuh pendidikan tinggi, tidak memiliki referensi lain selainkebudayaan jawa. Dalam konsep kebudayaan jawa, kekuasaan ituutuh dan konkrit (Anderson, 1985), sehingga menerapkandesentralisasi berarti mengurangi kekuasaan pemimpin Pusat.Pertimbangan empiris lainnya adalah kebutuhan akan kemajuanekonomi yang mendesak. Syarat untuk itu adalah stabilitas sosialpolitik yang dimaknai sebagai terwujudnya keamanan dan ketertibanmasyarakat. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut,dilakukan penataan struktur politik di awal tahun 1970-an. Dalamhubungan Pusat-Daerah, penataan tersebut mengkristal padapembentukan sistem pemerintahan daerah yang tanggap terhadapkomando Pusat (Mas’oed, 1989). Jenjang pemerintahan didesainbertingkat dengan kepemimpinan berlatar belakang militer untukmemastikan dipatuhinya perintah Jenderal berbintang empat kepadajenderal berbintang dua di provinsi dan kepada para kolonel dikabupaten atau kota. Serentak dengan itu, birokrasi digunakansebagai kekuatan utama perencana dan pelaksana. Pilihan itu untukmenjamin rantai komando dari Jakarta ke pelosok tanah air,mengingat hanya birokrasi kekuatan yang tersebar ke pelosok tanahair.

Tetapi, setelah pembangunan menunjukkan bukti-bukti konkritseperti meningkatnya usia harapan hidup dari 44 tahun (1965)menjadi 59 tahun (1995), meningkatnya angka partisipasi sekolahdasar yang mencapai 100 persen sejak tahun 1993, meningkatnyapendapatan perkapita masyarakat dari negara miskin (1965) kenegara berpendapatan menengah (1995) dan menurunnya angkakemiskinan dari 45 persen penduduk Indonesia (1965) menjadi 13,5persen (1995), ternyata format hubungan Pusat-Daerah tidakmengalami perubahan. Padahal dalam teori pembangunan,perubahan-perubahan yang mengarah ke semakin meningkatnyakesejahteraan masyarakat, diperlukan ruang yang lebih terbuka untukmemberi wadah partisipasi masyarakat (Huntington, 1968).Kegagalan membangun institusi yang mampu memberi tempatpartisipasi masyarakat, akan menghancurkan hasil-hasil

Page 11: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

5

OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

pembangunan yang telah dicapai. Ruang dan institusi yang dimaksudadalah partisipasi, transparansi, keadilan dan kompetisi. Singkatnya,demokratisasi.

Secara politik, desentralisasi merupakan langkah menujudemokratisasi. Dengan desentralisasi, pemerintah lebih dekat denganrakyat, sehingga kehadiran pemerintah lebih dirasakan oleh rakyatdan keterlibatan rakyat dalam perencanaan, pelaksanaan danpengawasan pembangunan dan pemerintahan semakin nyata.Secara sosial, desentralisasi akan mendorong masyarakat ke arahswakelola dengan memfungsikan pranata sosial yang merupakansocial capital dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yangmereka hadapi. Dengan pranata yang telah internalized, mekanismepenyelesaian mereka pandang lebih efektif, efisien dan adil.Sedangkan secara ekonomi, desentralisasi diyakini dapat mencegaheksploitasi Pusat terhadap daerah, menumbuhkan inovasimasyarakat dan mendorong motivasi masyarakat untuk lebihproduktif. Secara administratif akan mampu meningkatkankemampuan daerah dalam melakukan perencanaan,pengorganisasian, meningkatkan akuntabilitas atau pertanggungjawaban publik.

Baik Undang-Undang No. 22/1999 maupun amandemennya UUNo. 32/2004 tentang Perintahan Daerah menganut pemikiran sepertiitu. Bahwa peningkatan kualitas kehidupan masyarakat, kualitaspelayanan pemerintah dan optimalisasi peran serta masyarakatdalam pembangunan, merupakan trimatra yang mendasari lahirnyaUU No. 22/1999 dan amandemennya yaitu UU No. 32/2004.Gagasan pemerintah sebagai fasilitator dalam pembangunanmasyarakat, masih jauh dari harapan, jika memperhatikan kinerjabirokrasi selama beberapa tahun terakhir. Selain format ideal bagikeberadaan birokrasi di berbagai level pemerintahan belummenemukan bentuknya, tarik menarik antara pemerintah daerahpropinsi dengan kabupaten dan dengan Pusat, masih mewarnaipenyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Selain itukecenderungan semua level pemerintahan untuk menjalankan semuafungsi pelayanan juga masih dominan, sehingga kecenderunganmasyarakat sebagai obyek penerima pelayanan juga masih menonjol.

Page 12: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

6

Intervensi pemerintah di masa yang lalu telah menimbulkanmasalah rendahnya kapabilitas dan efektivitas pemerintah daerahdalam mendorong proses pembangunan dan demokrasi. Arahan danstatutory requirement yang terlalu besar dari Pemerintah Pusatmenyebabkan inisiatif dan prakarsa daerah cenderung mati, sehinggapemerintah daerah seringkali menjadikan pemenuhan peraturansebagai tujuan, dan bukan sebagai alat untuk meningkatkanpelayanan kepada masyarakat (Mardiasmo, 2002). Besarnya arahandari Pusat itu didasarkan atas pertimbangan menjamin stabilitasnasional dan kondisi sumberdaya manusia di daerah. Hal demikiandapat dipahami sebab konteks sosial dan politik dirumuskannya UUNo. 5/1974 adalah penegakan stabilitas nasional dan pemberantasankemiskinan serta keterbelakangan masyarakat. Tetapi dalam jangkapanjang, sentralisasi seperti itu telah menimbulkan rendahnyaakuntabilitas, memperlambat pembangunan infrastruktur sosial,rendahnya tingkat pengembalian proyek-proyek publik, sertamemperlambat pengembangan kelembagaan sosial ekonomi didaerah (Bastin dan Smoke, 1992). Apalagi sejak tahun 1990-anberlangsung new game di fora internasional di mana negara tidakakan mampu lagi sebagai pemain tunggal dalam menghadapi hypercompetitive. Pemerintah akan terlalu besar untuk menyelesaikanmasalah kecil dan terlalu kecil untuk dapat menyelesaikan masalahyang dihadapi oleh masyarakat.

B. Kendala-kendala Pelaksanaan Desentralisasi danOtonomi Daerah

Pada dasarnya, desentralisasi bertujuan membangun partisipasimasyarakat dan mengundang keterlibatan publik seluas-luasnyadalam proses perencanaan, implementasi dan evaluasipembangunan yang dijalankan. Untuk itu, desentralisasi memberikanruang yang lebih luas kepada daerah untuk secara demokratismengatur pemerintahannya sendiri sebagai manifestasi dari cita-citasistem desentralisasi. Tetapi, pelaksanaan sistem ini mendapatkantantangan yang cukup besar. Kendala-kendala tersebut diantaranyaadalah (1) mindset atau mentalitas aparat birokrasi yang belum

Page 13: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

7

OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

berubah; (2) hubungan antara institusi pusat dengan daerah; (3)sumber daya manusia yang terbatas; (4) pertarungan kepentinganyang berorientasi pada perebutan kekuasaan, penguasaan aset danadanya semacam gejala powershift syndrom yang menghinggapiaparat pemerintah; dan (5) keinginan pemerintah untuk menjadikandesa sebagai unit politik di samping unit sosial budaya dimana desamemiliki tatanan sosial budaya yang otonom.

Pada kenyataannya, mindset atau mentalitas menjadi kendalayang cukup besar bagi pelaksanaan tata pemerintahan yang baruini. Selama kurang lebih 5 tahun pelaksanaan otonomi daerah (2000-2005), timbul berbagai persoalan yang disebabkan karena pola pikirdan mentalitas yang belum berubah. Di masa lalu, sistem sentralistikmengebiri inisiatif lokal dan menempatkan pemerintah pusat sebagaipenguasa yang memiliki wewenang sangat besar atas berbagaibentuk kebijakan pembangunan. Keseragaman dan kepatuhandaerah terhadap pusat menjadi kata kunci sekaligus sebagai main-stream dan ideologi pembangunan yang dijalankan. Karenanya, padamasa itu kritik menjadi sesuatu yang tabu dan jika terlontar akansangat mudah untuk dijerat secara hukum sebagai tindakan subversiatau anti pemerintah.

Setidaknya, selama 32 tahun proses ini berlangsung secaraterus-menerus sehingga tidak mengherankan jika mentalitas birokrasipada akhirnya mengikuti pola tersebut. Terlebih lagi, konflik menjadisesuatu yang tabu dan keberagaman dipandang sebagai ancamandan sumber disintegrasi bangsa. Pada masa kepemimpinan Suharto,pola pemerintahan yang diterapkan dalam struktur kekuasaan dikenalsebagai pemerintahan yang harmoni tanpa gejolak denganmengembangkan ideologi Triple S yaitu Serasi, Selaras danSeimbang. Pada akhirnya terbentuklah subordinasi hubungan antarapemerintah pusat dan daerah dengan kekuasaan sepenuhnya beradadi pemerintah pusat.

Subordinasi yang berlangsung lama menjadi penyebabketergantungan daerah sangat tinggi. Maka, pada saat terjadiperubahan sistem yang sentralistik menjadi desentralisasi, daerahkurang memiliki kesiapan terutama dalam hal mengambil inisiatif

Page 14: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

8

dalam menentukan kebijakan. Tentu saja desentralisasi dan otonomidaerah mengandung berbagai konsekuensi, diantaranya adalahmentalitas dan kapasitas pemerintah daerah yang harus memadaisehingga dapat menjamin pelaksanaan desentralisasi secaramaksimal. Dengan kewenangan yang cukup besar berada di tanganpemerintah daerah, berarti pemerintah daerah memiliki keleluasaansekaligus tanggung jawab yang lebih besar daripada sistem yangberlangsung sebelumnya.

Hanya saja, kendala sumber daya manusia hingga saat ini masihmembayangi-bayangi kinerja aparat pemerintah daerah. Maka, tidakmengherankan jika pada saat ini, muncul persoalan-persoalan sepertibatas wilayah, ketidakharmonisan hubungan antar institusi pusat-daerah, berbagai konflik horizontal yang dipengaruhi oleh konfigurasietnis atau sentimen primordial dan berbagai kebijakan untukmeningkatkan pendapatan daerah yang cenderung memberatkanrakyat. Dalam situasi yang serba terkungkung selama lebih dari tigapuluh tahun, tiba-tiba daerah memiliki kewenangan yang sedemikianbesar. Implikasi dari pelimpahan wewenang tersebut di sebagiandaerah menimbulkan munculnya kembali chauvinisme kedaerahanseperti munculnya kekuatan-kekuatan kelompok aristokrasi dalampolitik lokal, kekuatan yang di masa Orde Baru ditekan.

Kepentingan yang berorientasi pada kekuasaan politis danpenguasaan aset daerah menjadi persoalan yang kerap mencuatdalam masa transisi pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah.Konflik kepentingan berupa penguasaan aset seringkali menjadikerikil dalam perjalanan proses desentralisasi. Gejala etno-sentrismemulai muncul pada saat meledaknya kerusuhan berlatar belakangetnis di beberapa wilayah seperti Sampit, Poso, Ambon dan dibeberapa daerah pemekaran. Bahkan pada saat dipilihnya kepaladaerah berdasarkan UU No. 22/1999 di tahun 2000, isu PAD (PutraAsli Daerah) merebak. Tuntutan dipilihnya gubernur, bupati sertawalikota Putra Asli Daerah bahkan masuk ke dalam tata tertib DPRD.Ini menunjukkan bahwa isu putra daerah merupakan isu yang palingsentisitf dan berpotensi mengganggu hubungan baik antarapendatang tetapi telah lama berdomisili di tempat tersebut dan

Page 15: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

9

OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

mengenal secara baik daerah tersebut. Orang-orang yang potensialdan berkualitas tetapi bukan putra daerah akan cenderung tersingkirdalam proses politik di daerah dan hanya akan mendapat peranpinggiran saja. Proses ini selanjutnya akan mengarah padapenurunan kualitas kepala daerah jika persyaratan utama menjadikepala daerah bertumpu pada kriteria putra asli daerah.

Keinginan memiliki kepala daerah dengan kriteria putra aslidaerah bukanlah keinginan yang buruk. Terlebih lagi jika keinginantersebut didasari harapan bahwa putra daerah akan lebih sensitifterhadap kebutuhan daerah dan mampu mengamodasi kepentinganberbagai lapisan masyarakat. Tetapi, akan sangat berbahaya jikaternyata isu tersebut sengaja dihembuskan sekedar sebagai caramelicinkan jalan untuk meraih kekuasaan semata. Hal ini dapat sajaterjadi mengingat sepanjang Orde Baru pemerintah pusatmenentukan seluruh kebijakan di daerah. Penunjukan kepala daeraholeh pemerintah pusat dan penempatan PNS yang berasal dari or-ang luar daerah terutama Jawa setidaknya membangkitkankecemburuan sosial di kalangan elit daerah. Terlebih lagi, aparatpemda kerap menguasai akses yang ada di daerah denganmenempatkan kerabat dalam jajaran birokrasi, menguasaiperekonomian daerah dengan memberikan fasilitas dan kemudahanmenjadi rekanan pemda kepada kroni-kroninya, serta melakukankorupsi dengan leluasa. Sakit hati dan kecemburuan kolektif seolahmendapatkan penyalurannya dalam masa desentralisasi dan otonomidaerah. Isu putra asli daerah menjadi isu sentral sejak undang-undang otonomi daerah dikeluarkan tahun 1999.

Pejabat pemerintah pusat di Jakarta pun memiliki kepentinganyang sangat besar terhadap kebijakan otonomi daerah. Selamapemerintahan Orde Baru pejabat pusat menikmati kekuasaan yangsangat besar dan hampir tanpa kontrol sama sekali karenadiuntungkan oleh situasi politik yang sangat sentralistik danotoritarian. Pandangannya terhadap daerah hampir sebagai objekyang dapat dibantu, dibina dan sekaligus diperas. Oleh karena itu,pejabat pusat biasanya diperlakukan dengan sangat istimewa danmendapatkan berbagai fasilitas dari daerah. Karenanya, hampir tidak

Page 16: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

10

mungkin terjadi pejabat pemerintah daerah mengkritisi kebijakanpusat terhadap daerah. Konsekuensinya akan terlalu besar, baik bagidaerah itu sendiri maupun pejabat yang bersangkutan.

Setelah desentralisasi sistem dilakukan, kebanyakan pejabat diJakarta berusaha melindungi semaksimal mungkin, agar kekuasaanyang dimiliki tidak dialihkan ke daerah, terutama yang berimplikasisecara finansial. Mereka pada umumnya berusaha mempertahankankewenangan yang ada. Departemen Kehutanan misalnya melakukanaksi mogok dalam perundingan dengan Menteri Negara OtonomiDaerah untuk merumuskan kewenangan kehutanan yang akandiserahkan kepada provinsi dan apa saja yang masih dilaksanakanoleh Kantor Departemen Kehutanan. Kepala Badan PertanahanNasional, yang dirangkap Menteri Dalam Negeri, bahkan berhasilmeyakinkan Presiden untuk mengeluarkan Keputusan Presiden No.10/2001 yang mementahkan kembali penyerahan kewenangandalam bidang Pertanahan kepada Kabupaten dan Kota denganberbagai alasan.

Selanjutnya, Departemen Dalam Negeri sebagai lembaga yangpaling memiliki wewenang dalam pelaksanaan desentralisasi danotonomi daerah. Padahal, kewenangan departemen ini juga termasukyang akan didesentralisasikan ke daerah. Besarnya kewenangan inidapat dilihat dari intervensi Depdagri dalam pilkada lewat PermendagriNo. 12/2005 yang dikeluarkan dalam pilkada yang baru berlangsung.Permendagri tersebut di tingkat daerah menimbulkan ambuiguitasdalam penggunaan dan pertangggungjawaban dana pilkada. Di satusisi, daerah telah menentukan anggaran yang disahkan dalam APBD,di sisi lain, peraturan tersebut tidak dapat diabaikan karena jika terdapatperbedaan satuan harga akan menimbulkan masalah dengan BPKdalam proses audit di kemudian hari.

Secara psikologis, perubahan sistem pemerintahan denganmemberikan porsi wewenang yang lebih besar kepada daerahmenyebabkan gejala yang dapat dikatakan sebagai ‘powershiftsyndrom’. Pemerintah pusat yang di masa sebelum diberlakukannyaotonomi daerah memiliki wewenang yang sangat besar, terutamadalam UU No. 22/1999 menjadi ‘powerless’ di hadapan pemerintah

Page 17: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

11

OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

daerah. Pergeseran kewenangan ini pun berpotensi menimbulkankonflik antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Pertama, konflik antaragubernur, bupati dan walikota dengan DPRD. Kedua, konflik antarapemerintah daerah dengan pemerintah pusat.

Di masa lalu, posisi lembaga legislasi hanya sebagai tukangstempel saja. Usaha sistematik tersebut menjadikan DPRD menjaditidak berfungsi sebagai lembaga legislatif. Hal itu dimulai denganUU No. 5/1974 yang menyatakan bahwa Pemerintah Daerah adalahKepala Daerah dan DPRD. Akibat dari pemahaman seperti ini, KepalaDaerah yang sekaligus Bupati/Walikota yang menjadi aparatPemerintah Pusat di Daerah dengan mudah menempatkan DPRDdalam posisi yang sangat lemah, karena Gubernur/Bupati/Walikotadapat melakukan apa saja atas nama pemerintah pusat tanpa harusmendapatkan persetujuan dari DPRD. Hal ini merupakan kenyataanyang sangat menonjol pada masa berlakunya UU No. 5/1974(Syaukani, Affan Gaffar dan Ryaas Rasyid, 2004).

Hal lain yang umum dilakukan dalam rangka melemahkankedudukan DPRD melalui mekanisme kontrol terhadap lembagatersebut. Pejabat daerah dan Ketua DPRD akan memberi peringatankepada anggota legislatif yang bersikap kritis terhadap KepalaDaerah. Mekanisme ini lazim disebut sebagai mekanisme setengahkamar. Jika hal tersebut dilakukan lagi, maka anggota tersebut akandipanggil oleh Pimpinan DPRD bersama Ketua Fraksi, dan jugamelibatkan Fraksi ABRI. Mekanisme yang lengkap untuk menjadikananggota DPRD populer dikenal sebagai mekanisme “satu kamar”.Jalan terakhir untuk menyingkirkan anggota DPRD yang kritis adalahdengan cara yang populer pada masa Orde Baru yaitu recalling.Saat ini, DPRD memiliki kewenangan yang lebih besar karena dalampemerintahan daerah untuk mengkritisi berbagai kebijakanpembangunan dan Rancangan APBD. Jadi, kemungkinan terjadinya‘balas dendam’ antar institusi ini bukan tidak mungkin dapat terjadi.Bahkan, tidak tertutup kemungkinan bahwa besarnya kewenanganDPRD baik provinsi maupun kabupaten/kota sebagai akibat dariperubahan DPRD dari yang semula merupakan bagian daripemerintah daerah menjadi lembaga legislatif daerah, digunakan oleh

Page 18: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

12

orang-orang tertentu untuk mengadakan tawar menawar dengankepala daerah untuk memperoleh uang (money politics).

Hirarki hubungan antara pemerintah pusat dengan daerahberpotensi menimbulkan konflik akibat pelimpahan wewenang kedaerah. UU No. 22/1999 memberikan kewenangan yang besarkepada pemerintah kabupaten/kota. Dengan wewenang yangsedemikian besar, timbul persepsi di kalangan pejabat pemerintahdaerah bahwa mereka tidak lagi terikat dan tunduk kepadapemerintah pusat tingkat provinsi. Karenanya, sering terjadi bupati/walikota tidak memenuhi undangan gubernur ke ibukota provinsidengan alasan kesibukan di daerah dan ketiadaan dana. Padahal,dalam UU No. 22/1999 sebelum amandemennya keluar yaitu UUNo. 32/2004, gubernur masih memiliki fungsi koordinasi. Bagigubernur, tentu kewenangan yang dimilikinya sangat jauh bergeserpada saat diberlakukannya UU No. 5/1974 dimana gubernur memilikikewenangan yang sangat besar. Apalagi, di masa pemberlakuankonsep “Gubernur Sebagai Penguasa Tunggal” diberlakukan olehMenteri Dalam Negeri Amir Machmud (Syaukani, Gaffar dan Rasyid,2004) di mana kewenangan gubernur sangatlah besar. Situasi inisudah tentu akan mempengaruhi psikologis gubernur. Yang patutdikhawatirkan, akankah poweshift syndrom akan mengundangkemelut yang akhirnya akan memicu konflik horizontal di masyarakat.Karena, pada umumnya konflik di tingkat elit akan diturunkan kelapisan masyarakat.

Kendala pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah seolahbelum selesai. Baru-baru ini kita dikejutkan dengan politisasi desadengan cara PNS-sasi Sekretaris Desa. Dapat dibayangkanbagaimana hubungan antara kepala desa dengan sekretaris desanantinya. Kepala Desa yang legitimate akan berhadapan denganSekretaris Desa yang PNS. Tentu saja legitimasi berada di tanganKepala Desa, sementara Sekdes yang berhubungan langsung secarastruktural dengan pemerintah yang ada diatasnya akan lebih memilikiotoritas terhadap kebijakan anggaran desa. Dengan posisi sepertiini Kepala Desa seolah-olah menjadi penguasa ‘boneka’ dengankewenangan berada di tangan Sekdes. Sekali lagi kenyataan ini

Page 19: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

13

OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

Skema Pelaksanaan Desentralisasi dan Otonomi Daerah

menunjukkan bahwa otonomi daerah dan pelimpahan kewenangankepada daerah dilakukan setengah hati. Tidak terlalu berlebihan jikaotonomi daerah saat ini berada dipersimpangan jalan. Jikadigambarkan, mungkin akan sesuai dengan skema berikut.

Pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah yang setengahhati dan berada dipersimpangan jalan tentu saja harus dikembalikanke koridor yang sesungguhnya. Untuk inilah, peran lembaga mediasiseperti Partnership for Governance Reform (PGR) dapat mem-fasilitasi NGO dan CSO yang dibutuhkan untuk membangunkapasitas masyarakat agar dapat berpartisipasi secara nyata dalampembangunan. Selain itu, Partnership di samping sebagai mitrapemerintah juga dapat sekaligus memberi tekanan agar agendadesentralisasi dan otonomi daerah tetap berjalan sesuai dengan yangdiamanatkan. Intervensi yang bertujuan memperkuat masyarakat sipildilakukan melalui program yang berkesinambungan dan terukur sertabukan berorientasi pada proyek yang bersifat jangka pendek. Untukitu, Partnerhip for Governance Reform in Indonesia menjalinkerjasama dengan berbagai pihak yang berkomitmen untuk

Page 20: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

14

memperkuat partisipasi untuk mewujudkan terbentuknya masyarakatyang mempromosikan pembaruan tata pemerintahan menuju Indo-nesia yang adil, demokratis dan sejahtera.

Page 21: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

15

OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

A. Beberapa Deskripsi Otonomi DaerahDesentralisasi dan otonomi daerah merupakan bentuk sistem

penyerahan urusan pemerintahan dan pelimpahan wewenangkepada daerah yang berada dibawahnya. Otonomi daerah adalahhak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur danmengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturanperundang-undangan yang berlaku. Pada tingkat yang terendah,otonomi berarti mengacu pada perwujudan free will yang melekatpada diri-diri manusia sebagai satu anugerah paling berharga dariTuhan (Piliang, 2003). Free will inilah yang mendorong manusia untukmengaktualisasikan diri dan menggali seluruh potensi terbaik dirinyasecara maksimal. Berawal dari individu-individu yang otonom tersebutkemudian membentuk komunitas dan menjadi bangsa yang unggul.

Otonomi individu menjadi modal dasar bagi terbentuknya otonomipada level yang lebih tinggi. Otonomi daerah adalah manifestasi darikeinginan untuk mengatur dan mengaktualisasikan seluruh potensidaerah secara maksimal yang bertujuan untuk meningkatkankesejahteraan masyarakat di daerah tersebut. Otonomi daerahdipandang penting karena otonomi merupakan kebutuhan hakikidimana daerah memiliki keinginan untuk mengatur rumah tangganyasendiri. Otonomi daerah memberikan peluang untuk bersaing secarasehat dan terbuka bagi seluruh lapisan masyarakat dan jugaantardaerah. Untuk itu, otonomi daerah perlu diperkuat denganperaturan yang jelas dan rambu-rambu yang disepakati bersamauntuk menjamin keteraturan sosial dan mencegah timbulnyakerawanan sosial yang tidak perlu.

BAB IIOTONOMI DAERAH DAN

PERMASALAHANNYA

Page 22: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

16

Ciri-ciri hakikat otonomi yang independen yaitu legal self suffi-ciency dan actual independence. Dalam kaitannya dengan politikatau pemerintahan, otonomi daerah berarti self government atau theconditition of living under one’s own laws (Sarundajang, 1999). Karenaitu, otonomi lebih menitikberatkan aspirasi daripada kondisi. Otonomidaerah menjamin setiap daerah memiliki peluang yang sama untukberkembang berdasarkan potensi yang ada. Potensi sumber dayaalam dan manusia menjadi akan dapat digali secara optimal jikamasing-masing daerah diberi keleluasaan dan jaminan untukmenentukan yang terbaik bagi dirinya.

Otonomi daerah sebagai satu bentuk desentralisasi kebijakanpemerintahan, pada hakikatnya ditujukan untuk mendekatkanpemerintah untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secarakeseluruhan. Dengan demikian, pelayanan yang diberikan cenderungakan lebih merata dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat yangada di daerah bersangkutan. Otonomi daerah berupaya untuk lebihmendekati tujuan-tujuan penyelenggaraan pemerintahan untukmewujudkan cita-cita masyarakat yang lebih adil dan makmur.Pemberian, pelimpahan, dan penyerahan sebagian tugas-tugaskepada pemerintah daerah.

Otonomi daerah memiliki pijakan kuat dalam kerangka negarafederal. Dalam kerangka ini, daerah memiliki hak dan dijaminpelaksanaannya untuk dapat mengelola dan memaksimalkanpembangunan didaerahnya dengan keunikannya masing-masing.Bagi daerah yang daya saingnya belum memadai untuk berkompetisi,maka pemerintah pusat berkewajiban memberikan dorongan dansuport agar daerah tersebut mampu berkembang sesuai dengankondisi geografis, sosial budaya dan ekonomi hingga mampubersaing pada tingkatan persyaratan minimum.

Desentralisasi muncul ke permukaan di tahun 1970-an sebagaikritik terhadap gagalnya perencanaan terpusat dan dominasiparadigma pertumbuhan dengan pemerataan (growth with equity).Tidak itu saja, desentralisasi juga sebagai manifestasi kesadaranbahwa pembangunan adalah suatu proses yang kompleks dan penuhketidakpastian yang tidak dapat dengan mudah direncanakan dari

Page 23: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

17

OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

pusat. Karena itu, dengan penuh keyakinan para pelopordesentralisasi mengajukan sederet panjang alasan dan argumententang pentingnya desentralisasi dalam perencanaan administrasidi negara Dunia Ketiga (Allen, 1990).

Sejarah sistem pemerintahan di Indonesia mencatat pasang surutsentralisasi dan desentralisasi sebagai sistem administrasipemerintahan, tidak dapat dilepaskan dari proses pertumbuhan suatunegara. Sejarah mencatat desentralisasi di Indonesia mengalamipasang surut seiring dengan perubahan konstelasi politik dalampemerintahan di Indonesia.

Pada masa kolonialisme terutama fase pendudukan Belanda danJepang, pemerintah kolonial menerapkan desentralisasi yangsentralistis, birokratis, dan feodalistis untuk kepentingan kolonial.Penjajah Belanda menyusun suatu hirarki Pangreh Praja Bumiputradan Pangreh Praja Eropa yang harus tunduk pada Gubernur Jenderal.Pemerintah kolonial Belanda menetapkan daerah untuk mengaturrumah tangganya sendiri sekaligus membagi daerah-daerah otonomyang dikuasai Belanda menjadi gewest (saat ini provinsi), regentschap(saat ini kabupaten) dan staatgemeente (saat ini kotamadya).Pemerintah pendudukan Jepang pada dasarnya melanjutkan polapemerintahan dengan mengganti Bahasa Belanda menjadi BahasaJepang (Syaukani, Gaffar, Rasyid, 2002).

Pada masa pemerintahan kolonial terdapat dua administrasipemerintahan yang ada di masyarakat yaitu administrasipemerintahan kolonial yang dipimpinan seorang Gubernur Jenderalyang merupakan wakil pemerintah Belanda dan administrasipemerintahan setempat yang berada di bawah pemerintah kerajaan(Syaukani, Gaffar, Rasyid, 2002). Warisan pemerintahan kolonialyang kemudian dipraktekkan dalam penyelenggaraan sistempemerintahan di Indonesia adalah sentralisasi kekuasaan pada pusatpemerintah, dan pola penyelenggaraan pemerintah daerahbertingkat.

Page 24: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

18

Hirarki Administrasi di Masa Kolonial

Sumber: Syaukani et. al., 2002 dikutip dalam Kuncoro, 2004.

Pemerintah Hindia Belanda menjelang meletusnya Peran DuniaII, pernah mengembangkan ide sistem administrasi yangdesentralistis atas dasar federasi. Ide desentralisasi dan federasiingin dihidupkan kembali setelah perang usai untuk melegitimasipemerintahannya di Indonesia dan menghancurkan kekuatan-kekuatan pendukung Republik. Dapat dipahami mengapa konsepdesentralisasi dan federasi menjadi tidak populer. Citra federasi dandesentralisasi tidak dapat dilepaskan dari politik de vide et imperadan kekuatan-kekuatan pro-NICA dan anti revolusi kemerdekaan.

Sejak pemerintahan Republik Indonesia, beberapa undang-undang tentang pemerintahan daerah telah ditetapkan dan berlakusilih berganti. Hal ini dimaksudkan untuk mencari bentuk dan susunanpemerintahan yang sesuai dengan situasi dan kondisi, yang lebihcocok dan memenuhi harapan, serta sesuai dengan tuntutanpembangunan. Penerapan sistem sentralisasi dan desentralisasisaling bergantian menikuti konfigurasi kekuasaan saat itu. Sampaidengan tahun 1959 berlaku de facto federalism, yaitu lemahnyakekuasaan pusat atas daerah seiring dengan turunnya efektivitas

Page 25: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

19

OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

kekuasaan pusat dan menjamurnya gerakan separatisme. Dekrit 5Juli 1959 menandai sentralisasi sepenuhnya di tangan pusat hinggatahun 1966 (Kuncoro, 2004).

Sentralisasi sistem pemerintahan di masa Demokrasi Terpimpindilatarbelakangi kondisi keamanan negara yang semakin terganggu.Partai politik yang dalam penilaian Soekarno sangat mengedepankankepentingan kelompok, hingga diputuskan untuk “mengubur” partaipolitik dan menggantinya dengan “Demokrasi Terpimpin”.Pelaksanaan Demokrasi Terpimpin mendapat tantangan yang sangatbesar dari luar Jawa, terutama Sulawesi dan Sumatera.

Konflik antara Jakarta dengan Daerah tidak dapat dihindarkanlagi. Daerah semakin kuat dengan tuntutannya, sementarapemerintah di Jakarta terpecah karena rapuhnya sistem kepartaiandan cara pandang dalam melihat hubungan dengan Jakarta. Konfliktidak dapat dihindari bahkan semakin parah, meskipun simbol “DwiTunggal” Soekarno-Hatta berusaha dimunculkan untuk meredamkonflik pusat-daerah. Tetapi, akhirnya pemerintahan Soekarnoberakhir dengan meletusnya G 30 S/PKI.

Pemerintahan Orde Baru adalah fase pemerintahan otoritarianyang mendorong munculnya pemerintahan yang sentralistik.Pemerintahan yang bersifat sentralistik membawa implikasi yangtidak menguntungkan bagi perkembangan atau pembangunandaerah secara keseluruhan. Sentralisasi sistem cenderungmenempatkan daerah pada posisi yang kurang menguntungkan.Berbagai lembaga yang bertujuan mengontrol aktivitas di hampirseluruh lapisan masyarakat dibentuk. Berlatar belakang mencegahkembalinya kekuatan komunisme, pemerintahan Soeharto dengandukungan penuh dari militer membantuk KOPKAMTIB, OPSUS,BAKIN dan lain-lain untuk melakukan pengawasan terhadap berbagaijenis kegiatan di masyarakat. Lembaga-lembaga tersebut bersifatrepresif. Setelah KOPKAMTIB melakukan pembasmian instrumenkekuasaan yang sangat efektif untuk menghadapi individu yangmemiliki pemikiran kritis terhadap pemerintahan Orde Baru(Syaukani, Gaffar, Rasyid, 2002).

KOMKAMTIB digunakan oleh Soeharto untuk menghadapi kaumkomunis. Lembaga ini melakukan kategorisasi terhadap anggota PKI

Page 26: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

20

ke dalam kelompok A,B dan C. Kategorisasi tersebut dilakukantergantung pada tingkat keterlibatan dalam aktivitas PKI.

OPSUS digunakan untuk kepentingan yang bersifat spesifik.Soeharto menggunakan lembaga ini dalam rangka pemulihanhubungan antara Malaysia. Pemerintah juga menggunakan OPSUSuntuk memenangkan jajak pendapat di Irian Jaya agar tetapmendukung untuk bergabung dalam negara Kesatuan Republik In-donesia. Selain itu Soeharto juga menggunakannya untukmenjinakkan berbagai kekuatan politik dalam negeri yangmenentangnya. Lembaga ini tidak berumur panjang seiringmemudarnya pengaruh Ali Murtopo. Tetapi, lembaga ini sangat efektifdalam upaya menyingkirkan orang-orang Soekarno dan kalanganIslam modernis.

BAKIN juga merupakan instrumen kekuasaan Orde Baru danmenjadi kekuatan yang menakutkan. Lembaga ini beroperasi melaluipenyusupan ke setiap elemen masyarakat, mulai dari aktivismahasiswa atau tokoh aktivis tokoh partai organisasi kemasyarakatanyang tinggi. BAKIN sangat efektif memonitor dan melakukanidentifikasi terhadap individu dan organisasi yang tidak sejalandengan pemerintah.

Sentralisasi pemerintahan yang dilakukan di masa Orde Barubertujuan untuk menekan gejolak sebagai prasyarat kondisi darikebijakan penerapan pembangunan ekonomi. Pembangunanekonomi membutuhkan kondisi politik yang stabil dan terkendali.Karenanya, pemerintahan yang sentralistis menjadi pilihan Orde Baruuntuk dapat memantau dan mengawasi daerah dari potensi yangdinilai mengganggu pembangunan.

Sentralisasi pemerintahan selama tiga puluh tahun dapatmeredam gejolak dan konflik yang disebabkan tersumbatnya saluranaspirasi. Pemandulan lembaga negara dan pengebirian partai politiksecara sistematik dilakukan, dan depolitisasi masyarakat dilakukanyang ditandainya dengan diberlakukannya kebijakan massamengambang (floating mass). Akses hanya dapat dijangkau olehorang-orang lingkaran dalam pemerintahan, sehingga praktek kolusi,korupsi dan nepotisme tumbuh subur, sementara daerah dieksploitasidengan sewenang-wenang oleh pemerintah pusat. Akhir dari

Page 27: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

21

OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

pemerintah Orde Baru adalah diturunkannya Soeharto melalui peoplepower, sebagai akumulasi dari ketidakpuasan rakyat. Darikeseluruhan kejadian tersebut dapat dilihat bahwa perlakuan adilterhadap daerah dan pendelegasian wewenang adalah kebutuhanyang mendesak. Otonomi daerah merupakan jawaban atas tuntutantersebut, karena tidak mungkin pemerintah pusat mampu menanganiseluruh persoalan yang ada di daerah.

B. Pokok-pokok Pikiran Otonomi DaerahOtonomi daerah adalah wacana yang hangat dibicarakan dan

diperdebatkan karena menyangkut bagaimana upaya negara untukmenyejahterakan rakyat. Di Indonesia, wacana otonomi daerahmenguat di tahun 1990-an. Dalam kurun waktu cukup lama, Indone-sia telah melaksanakan pemerintahan yang terpusat denganparadigma pembangunan sebagai landasan nilai yang menjadi acuankebijakan pemerintah. Sistem sentralistik yang mengakar kuat danmendarah daging membuat isu desentralisasi atau otonomi daerahmenjadi ‘barang asing’ yang bahkan definisinya pun tidak mudahuntuk dipahami. Meskipun keluarnya Undang-undang No. 22 tahun1999 tentang pemerintahan daerah dan Undang-undang No. 25 tahun1999 tentang perimbangan hubungan keuangan pusat-daerah sudahcukup meredam tuntutan aspirasi daerah.

Pengertian otonomi daerah menurut UU No. 32 Tahun 2004sebagai amandemen UU No. 22 Tahun 1999 adalah hak, wewenang,dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiriurusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuaidengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan desentralisasiadalah penyerahan wewenang pemerintah oleh Pemerintah kepaladaerah otonomi untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahandalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Gagasan otonomi daerah merupakan konsep yang masih kabur.Para penggagas otonomi daerah tidak menjelaskan secara jernihkonsep yang ditawarkannya, bahkan sekedar mendefinisikan konsep-konsep tersebut. Misalnya, sampai sejauh mana atau sampai sebatasmana otonomi yang seluas-luasnya itu; apakah yang dimaksuddengan federalisme dalam kerangka negara kesatuan adalah konsep

Page 28: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

22

yang dicampuradukkan atau penerapan konsep-konsep negarabagian untuk beberapa provinsi saja; apakah kekhususan dariotonomi khusus; apakah otonomi penuh berarti pemerintahan sendiridalam artian pemerintah daerah memiliki hak dan kekuasaan penuhdalam menentukan arah dan tindakannya sendiri. Semuanya serbatidak jelas dan memicu diskusi yang lebih bersifat debat kusir (Pilianget.al., 2003).

Bagaimana pun juga, otonomi merupakan kebutuhan, karenatidak mungkin seluruh persoalan yang ada di satu negara di tanganioleh pemerintah pusat. Terlebih lagi, Indonesia adalah negarakepulauan yang terdiri dari wilayah yang dipisahkan oleh perairan.Masing-masing wilayah memiliki ciri khas berdasarkan letakgeografis, kondisi alam dan sosiokulturalnya. Persoalan yang timbuldari keberagaman wilayah dan sosiokultural masyarakat pun tentunyaakan sangat kompleks. Dari kenyataan ini saja dapat dinilai betapaotonomi daerah dan desentralisasi sistem pemerintah perlu dilakukanagar persoalan dan aneka kompleksitas yang muncul tidakmemberikan implikasi negatif terhadap integrasi.

Otonomi daerah merupakan sistem yang memungkinkan daerahuntuk memiliki kemampuan mengoptimalisasi potensi terbaik yangdimilikinya dan mendorong daerah untuk berkembang sesuai dengankarakteristik ekonomi, geografis, dan sosial budayanya.Perkembangan daerah yang sesuai dengan karakteristiknya ini akanmengurangi kesenjangan antardaerah yang selama ini terakumulasi,dan pada akhirnya dapat mencegah disintegrasi bangsa. Ada duapendekatan yang didasarkan pada dua proposisi. Pertama, padadasarnya segala persoalan sepatutnya diserahkan kepada daerahuntuk mengidentifikasikan, merumuskan, dan memecahkanpersoalan, kecuali untuk persoalan-persoalan yang tidak mungkindiselesaikan oleh daerah itu sendiri dalam perspektif keutuhannegara-bangsa. Kedua, seluruh persoalan pada dasarnya harusdiserahkan kepada pemerintah pusat kecuali untuk persoalan-persoalan tertentu yang telah dapat ditangani oleh daerah. Yangpertama disebut sebagai pendekatan federalistik, sedangkan yangkedua sebagai pendekatan unitaristik.

Pada dasarnya, otonomi daerah bertujuan untuk membangun

Page 29: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

23

OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

partisipasi yang seluas-luasnya agar potensi yang ada dapatberkembang secara optimal. Hanya saja, otonomi harus dibarengidengan perbaikan-perbaikan yang mendasar, terutama pada sumberdaya manusianya. Masyarakat dari berbagai level pada umumnyatelah terbiasa pada sistem yang serba pasif dan hanya menunggukeputusan dari pemerintah pusat saja. Kebiasaan-kebiasaan yangdibangun sistem sentralistik yang telah mendarah-daging dalammasyarakat inilah yang merupakan tantangan terbesar dalampelaksanaan otonomi daerah.

C. Reformasi SistemOtonomi Daerah merupakan isu yang mengemuka di tahun 1990-

an dan pada akhirnya terealisasi pada tahun 1999 dengan terbitnyaUU No. 22 Tahun 1999. Peralihan sistem yang semula sentralistikmenjadi desentralistik idealnya dibarengi pula dengan perubahanpola pikir. Hal ini penting dilakukan karena sistem tersebut masing-masing memiliki filosofi dan logikanya sendiri. Indonesia telahberproses cukup panjang dalam hal upaya menata hubungan antarapemerintah pusat dan daerah. Tahap pertama masa sebelumkemerdekaan, dalam kurun waktu 1903-1922 pemerintah kolonialmengakui Pemerintahan Daerah dalam sistem Perintahan HindiaBelanda. Tahap kedua dalam kurun waktu 1922-1942 Desentralisasiversi kolonial. Setelah Indonesia memperoleh kemerdekaan, dalamperiode 1945-1959 adalah upaya mencari bentuk desentralisasimenuju demokrasi. Selanjutnya, periode 1959-1974 desentralisasiyang dipaksakan. Pada masa Orde Baru, yaitu masa berlakunyaUU No. 5 Tahun 1974 tentang Otonomi Terbatas, yangpelaksanaannya adalah sistem sentralisasi. Baru pada era reformasipada saat diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999, desentralisasidilaksanakan dengan memisahkan secara tegas antara institusipemerintahan daerah dengan institusi DPRD (Sarundajang, 1999).

Otonomi daerah berpijak pada prinsip-prinsip federalisme.Federalisme dapat dipahami sebagai mekanisme berbagi kekuasaansecara konstitusional di mana kombinasi dari berpemerintahansendiri dan berbagi kekuasaan dijamin dalam konstitusi tersebut.Dalam sistem federalistik, unit-unit politik memiliki otonomi secara

Page 30: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

24

utuh, baik yang menyangkut wewenang eksekutif, legislatif danbahkan yudikatif. Dalam sistem ini diakui pula mekanisme berbagikekuasaan antara pemerintah pusat dan daerah. Stuktur pemerintahfederal tidaklah bertingkat, karena hakikat otonomi antara NegaraBagian dengan Pemerintah Daerah pada dasarnya sama. Perbedaansecara mencolok antara pemerintahan yang federalistik denganpemerintahan yang unitaristik adalah menyangkut kedaulatan. Dalamfederalisme, kedaulatan diperoleh dari unit-unit politik yang terpisah-pisah dan kemudian sepakat membentuk sebuah pemerintahanbersama. Sementara itu, di dalam pemerintahan yang unitaristikkedaulatan langsung bersumber dari seluruh penduduk negaratersebut (Syaukani, Gaffar dan Rasyid, 2003 : 23).

Undang-undang No. 22/1999 menyerahkan fungsi, personil, danaset dari pemerintah pusat kepada pemerintah provinsi, kabupaten,dan kota. Hal ini berarti bahwa tambahan kekuasaan dan tanggungjawab diserahkan kepada pemerintah kabupaten dan kota, danmembentuk sistem yang jauh lebih terdesentralisasi dibandingkandengan sistem dekonsentrasi dan koadministratif.1 Sistemdekonsentrasi adalah delegasi kewenangan dari pemerintah pusatkepada gubernur sebuah provinsi dan atau pejabat pemerintah pusatdi provinsi. Sedangkan koadministrasi adalah sistem yang memberiwewenang pada pemerintahan yang strukturnya berada di atas,mengarahkan bawahannya untuk mengambil alih tugas dan fungsipemerintah di tingkat yang lebih atas. Pemerintah yang berada padastruktur yang lebih tinggi menentukan tujuan, menyediakan biaya,infrastruktur, dan sumber daya manusia untuk melaksanakan tugas.Pemerintah di tingkat yang lebih bawah berkewajiban untuk melaporkepada atasannya mengenai pelaksanaan tugas atau fungsi yangdiberikan.

Di semua sektor administratif pemerintah, undang-undang telahmemindahkan fungsi pemerintah pusat kepada pemerintah daerah,dengan pengecualian dalam hal pertahanan dan keamanan,kebijakan luar negeri, masalah moneter dan fiskal, hukum dan urusanagama. Propinsi memiliki status ganda sebagai daerah yang otonomdan sebagai perwakilan pemerintah pusat di daerah. Sebagai daerahyang otonom, propinsi memiliki kewenangan mengatur urusan-urusan

Page 31: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

25

OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

tertentu di mana administrasi dan kewenangan hubungan antarkabupaten dan kota tidak (belum tentu) diterapkan di kabupaten dankota. Sebagai perwakilan pemerintah pusat, pemerintah provinsimelaksanakan tugas administratif tertentu yang didelegasikan olehpresiden kepada gubernur. Kekuasaan kabupaten dan kota meliputiseluruh sektor kewenangan administratif selain kewenangan yangtelah dijalankan oleh pemerintah pusat dan provinsi, termasukpekerjaan publik, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian,transportasi, industri dan perdagangan, investasi, lingkungan hidup,pertanahan, koperasi, dan tenaga kerja.

Wilayah Indonesia dibagi menjadi provinsi, kabupaten, dan kotaotonom. Secara teknis, kabupaten dan kota mempunyai level yangsama dalam pemerintahan. Pembagian tersebut berdasarkan atasapakah administrasi pemerintah berlokasi di wilayah pedesaan atauperkotaan. Di dalam kabupaten dan kota terdapat kecamatan yangmerupakan unit pemerintahan administratif yang lebih kecil. Setiapkecamatan dibagi menjadi desa. Desa di wilayah pedesaan disebutdesa, sedangkan di wilayah perkotaan disebut kelurahan. Karenaberagamnya daerah otonom di Indonesia, dibutuhkan adanya sistemyang mengatur agar ketimpangan daerah tidak semakin lebar, dandaerah yang kaya membantu daerah yang miskin. Dalam sistem ini,penyerahan wewenang (desentralisasi) berbarengan denganpelimpahan wewenang (dekonsentrasi) dan tugas perbantuan.

Perbedaan substansial antara tingkat desentralisasi kepadaDaerah Provinsi dengan tingkat desentralisasi kepada DaerahKabupaten dan Kota jelas terlihat. UU No. 22/1999 ini memperpendekjangkauan asas dekonsentrasi yang dibatasi hanya sampaipemerintahan Propinsi. Perubahan yang dilakukan UU ini terhadapUU No. 5/1974 ditandai dengan (Pratikno, 1999):

n Istilah tingkatan daerah otonom (Dati I dan Dati II) dihapuskan.Istilah Dati I dan Dati II yang dalam UU terdahulu digunakanuntuk menggambarkan pemerintahan daerah otonom (asasdesentralisasi), sekarang ini sudah tidak dipergunakan lagi.Istilah yang dipilih adalahistilah yang lebih netral, yaituPropinsi, Kabupaten dan Kota, untuk menghindari citra bahwatingkatan lebih tinggi (Dati I) secara hierarkis lebih berkuasa

Page 32: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

26

daripada tingkatan lebih rendah (Dati II) . hal ini untukmenegaskan bahwa semua daerah otonom merupakanbadan hukum yang terpisah dan sejajar. Daerah OtonomProvinsi tidak mempunyai hubungan komando denganDaerah Otonom Kabupaten maupun Kota.

n Istilah pemerintah daerah dalam UU No. 22/1999 digunakanuntuk merujuk pada Badan Eksekutif Daerah yang terdiri dariKepala Daerah dan perangkat Daerah Otonom. Hal iniberbeda dengan UU No. 5/1774 yang menggunakan istilahpemerintah daerah yang meliputi pula DPRD, danmenempatkan DPRD sebagai mitra eksekutif. Perubahanpengertian yang dilakukan UU No. 22/1999 ini membawaimplikasi pada keterpisahan secara tegas antara badaneksekutif dan legislatif, dan penempatan fungsi kontrol DPRDterhadap eksekutif daerah.

n Pemerintahan di tingkat provinsi hampir tidak berubah.Gubernur tetap menjadi wakil pusat dan sekaligus KepalaDaerah, dan Kanwil (instrumen Menteri) tetap ada.

n Namun, pemerintahan Kabupaten dan Kota telah terbebasdari intervensi pusat yang dulu dilakukan melalui perangkapanjabatan Kepala Daerah Otonom dan Kepala Wilayah Admin-istratif (wakil pusat). Bupati dan Walikota adalah KepalaDaerah Otonom saja. Sementara itu jabatan Kepala Wilayahpada Kabupaten dan Kota (dulu Kotamadya) sudah tidakdikenal lagi. Konsekuensinya, Kandep (bawahan Kanwil) tidakdikenal lagi, dan instansi teknis yang ada hanyalah Dinas-dinas Daerah Otonom. Bahkan, UU ini juga menempatkanpemerintahan kecamatan sebagai kepanjangan tanganpemerintahan daerah otonom Kabupaten/Kota (desen-tralisasi), dan bukan aparat Pusat/Provinsi (dekonsentrasi).

Satu tujuan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yaituuntuk menjadikan pemerintah lebih dekat dengan rakyatnya,sehingga pelayanan pemerintah dapat dilakukan dengan lebih efisiendan efektif. Hal ini berdasarkan asumsi bahwa pemerintah kabupatendan kota memiliki pemahaman yang lebih baik mengenai kebutuhandan aspirasi masyarakat mereka daripada pemerintah pusat.

Page 33: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

27

OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

Walaupun hal ini sangat potensial bagi kabupaten dan kota untuklebih responsif terhadap aspirasi masyarakat, namun sebelum haltersebut dapat terlaksana, partai politik dan kelompok masyarakatsipil yang ada didaerah perlu diperkuat untuk menjamin bahwa prosespemerintah yang bersih dapat terlaksana.

Dalam sistem sentralisasi, kewenangan sepenuhnya berada ditangan pemerintah pusat. Pejabat-pejabat daerah hanyamelaksanakan kehendak pemerintah pusat. Di masa lalu, daerahmenjadi sumber eksploitasi pusat. Akhirnya, timbul berbagai gejolakdi tingkat lokal yang berimplikasi terhadap stabilitas politik secaranasional. Kenyataan membuktikan bahwa banyak negara mengalamigangguan politik karena adanya kecenderungan daerah tidakdiperlakukan secara adil. Perlakuan tidak adil terhadap daerahmemicu konflik vertikal seperti kasus Aceh dan kasus-kasus separatislainnya. Gejolak di daerah mengindikasikan adanya tuntutan atasperlakukan yang tidak adil dan tersumbatnya saluran aspirasi. Sistemyang sentralistik cenderung memusatkan seluruh urusan daerah dipusat. Konsekuensinya, penyelesaian masalah menjadi terhambat.Seiring dengan berjalanan waktu, persoalan semakin bertambah,sementara persoalan terdahulu belum terselesaikan. Akibatnya, pusatmenjadi terlalu kecil dan terlampau jauh untuk dapat menyelesaikanseluruh persoalan yang ada di daerah.

Jalan yang terbaik untuk meminimalisasi persoalan yangbertumpuk di pusat adalah reformasi sistem. Dengan diberlakukannyaUU No. 22/1999 dan amandemennya UU No. 32/2004 Indonesiamemasuki tahapan baru kepemerintahan. Desentralisasi dan otonomidiharapkan menjadi solusi yang tepat untuk berbagai persoalan yangada di daerah. Asumsi dasar desentralisasi yaitu mendekatkanpelayanan dengan rakyat. Dengan sistem desentralisasi, pelayananpublik menjadi mudah direalisasikan mengingat adanya kedekatanantara penyedia layanan dan pengguna layanan. Terlebih lagimengingat bentuk negara Indonesia sebagai negara kepulauan yangsulit dijangkau dan setiap wilayah memiliki karakteristik yang sangatberbeda.

Pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah selama kuranglebih lima tahun mengalami berbagai tantangan yang seringkali

Page 34: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

28

berasal dari birokrasi. Di masa sentralisasi, aparat birokrasimemposisikan diri sebagai pamongpraja. Mentalitas pamongprajaberakar pada kultur feodal. Pamongpraja atau birokrat bumiputeradi masa kolonialisme adalah pejabat yang tunduk kepada GubernurJenderal sebagai representatif pemerintah kolonial, sehingga merekajustru memiliki posisi berada di atas rakyat dari negara yang dijajahkarena fungsinya sebagai kepanjangan tangan pemerintah kolonial.Sebaliknya, yang terjadi dengan sistem desentralisasi, di manabirokrasi justru berfungsi sebagai pelayan dari kepentingan rakyat.Pelayanan tersebut berupa pemenuhan hak publik dalam haladministrasi, hak ekonomi, politik, sosial, jaminan rasa aman dankepastian hukum.

Fungsi ideal birokrat pada saat ini belum dapat dilaksanakan diIndonesia, meskipun sistem desentralisasi telah dilaksanakan. Periodeyang tengah dialami oleh Indonesia pasca dikeluarkannya UU No. 22/1999 yaitu periode transisi atau masa peralihan sistem. Artinya, secaraformal sistem telah berubah dari sentralistik menjadi desentralisasi.Tetapi, mentalitas dari aparat pemerintah baik pusat maupun daerahmasih belum mengalami perubahan yang mendasar. Hal ini terjadikarena perubahan sistem tidak dibarengi penguatan kualitas sumberdaya manusia yang menunjang sistem pemerintahan yang baru.Pelayanan publik yang diharapkan, yaitu birokrasi yang sepenuhnyamendedikasikan diri untuk untuk memenuhi kebutuhan rakyat –sebagaipengguna jasa- adalah pelayanan publik yang ideal. Untukmerealisasikan bentuk pelayanan publik yang sesuai dengan asasdesentralisasi diperlukan perubahan paradigma secara radikal dariaparat birokrasi.

D. Asumsi-asumsi Dasar Otonomi DaerahTumbuhnya perhatian terhadap desentralisasi merupakan reaksi

atas gagalnya pembangunan sebagai ideologi dan acuan dasar olehpemerintah Orde Baru yang sentralistik. Kerapuhan ekonomi yangterutama dirasakan akibatnya oleh sebagian besar rakyat Indonesiapada saat krisis ekonomi yang dimulai sejak tahun 1997. Strategipembangunan yang memusatkan pada pembangunan fisik dankemajuan sektor ekonomi modern di perkotaan menyebabkan

Page 35: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

29

OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

Skema Perubahan Model Sistem Pemerintahan

Sumber: Pheni Chalid (2004)

ketimpangan di berbagai bidang. Ketimpangan tersebut dapat terlihatdari terpusatnya pembangunan di perkotaan, sedangkan pedesaanyang menjadi basis pertanian menjadi daerah miskin. Fenomenakonglomerasi yang menjadi simbol kebangkitan semu perekonomianIndonesia semakin menonjolkan pemihakan pemerintah terhadappengusaha besar, dan mengabaikan rakyat banyak. Kritik pada masaitu ditabukan, kebenaran hanya datang dari pemerintah pusat.Sedangkan, kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah pusathanya berpihak kepada kelompok yang dapat melanggengkankekuasaan rezim yang berkuasa pada saat itu. Maka, dibuatkankebijakan yang seragam dan mengabaikan perbedaan karakteristik

Page 36: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

30

di tiap daerah. Berdasarkan situasi inilah, maka wacana desentralisasimencuat sejak tahun 1970-an dan menguat di tahun 1990-an.

Pada masa Orde Baru, peraturan mengenai penyelenggaraanPemerintah Daerah diatur dalam Undang-undang No. 5 tahun 1974yang mengatur Pokok-pokok Pemerintah Daerah. Undang-undangNo. 5/1974 ini telah meletakkan dasar-dasar sistem hubungan pusat-daerah yang dirangkum dalam tiga prinsip. Pertama, desentralisasiyang mengandung arti penyerahan urusan pemerintahan daripemerintah pusat atau daerah tingkat atasnya kepada daerah. Kedua,dekonsentrasi yang berarti pelimpahan wewenang dari pemerintahatau kepala wilayah atau kepala instansi vertikal diatasnya kepadapejabat-pejabat di daerah. Ketiga, tugas perbantuan (medebewind)yang berarti pengkoordinasian prinsip desentralisasi dandekonsentrasi oleh kepala daerah, yang memiliki fungsi desentralisasidan dekonsentrasi oleh kepala daerah; fungsi ganda sebagaipenguasa tunggal di daerah dan wakil pemerintah pusat di daerah.Akibat prinsip ini, dikenal adanya daerah otonom dan wilayahadministrasi (Kuncoro, 2004).

Undang-undang No. 5/1974 meskipun merupakan suatu komitmenpolitik, namun dalam praktek yang terjadi adalah sentralisasi ataukontrol dari pusat yang dominan dalam perencanaan maupunimplementasi pembangunan Indonesia. Fenomena yang palingmenonjol dari hubungan antara sistem Pemda dengan pembangunanadalah ketergantungan Pemda yang tinggi terhadap pemerintah pusat.Ketergantungan ini sangat jelas terlihat terutama dalam aspekkeuangan. Pemda kehilangan keleluasaan bertindak (local discretion)untuk mengambil keputusan-keputusan penting dan campur tanganpemerintah pusat sangat tinggi dalam pelaksanaannya.

Desentralisasi tidak hanya dikaitkan dengan gagalnya peren-canaan secara terpusat dan kesadaran bahwa pembangunanmerupakan suatu proses yang kompleks yang tidak dapatdirencanakan dan dikendalikan dengan mudah dari pusat.2 Adaberbagai pengertian desentralisasi. Leemans (1970), misalnya,membedakan dua macam desentralisasi: representative local gov-ernment dan field administration. Maddick (1983) mendefinisikandesentralisasi sebagai proses dekonsentrasi dan devolusi. Devolusi

Page 37: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

31

OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

adalah pelaksanaan kekuasaan untuk melaksanakan fungsi-fungsitertentu kepada pemerintah daerah; sedangkan dekonsentrasimerupakan pendelegasian wewenang atas fungsi-fungsi tertentukepada staf pemerintah pusat yang tinggal di luar kantor pusat. Daridua pengertian ini, terlihat bahwa pemerintah daerah pada umumnyadianggap sebagai manifestasi struktural dari desentralisasi (politicaldecentralization). Sementara itu, administrasi lapangan (field admin-istration) atau desentralisasi administratif adalah kata lain daridekonsentrasi.

Asumsi dasar desentralisasi adalah membangun sistempemerintahan yang berdasarkan pada kemauan politik (political will)untuk menyerahkan pengelolaan daerah kepada pemerintah lokalatau daerah yang lebih memahami persoalan-persoalan, kebutuhandan karakter masyarakat yang berada di daerah tersebut. Upayamendekatkan fungsi pelayanan kepada masyarakat yang dengandemikian menghasilkan kebijakan-kebijakan pro-rakyat merupakantujuan dari sistem desentralisasi. Selain itu, pelaksanaandesentralisasi juga merupakan prasyarat yang dibutuhkan untukmenyiapkan daerah-daerah agar dapat berkompetisi di pasar glo-bal. Pelaksanaan desentralisasi dalam praktek mengalami berbagaikendala diantaranya ketergantungan daerah terhadap pusat yangterutama terjadi pada masa pemerintahan Orde Baru. Pola-pola lamaseperti petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis)menjadi kendala bagi pelaksanaan otonomi daerah yang lebihmenekankan pada partisipasi dari bawah (bottom up).

Desentralisasi sistem berarti pengakuan terhadap keberagamandan pluralitas masyarakat. Langkah yang perlu ditempuh olehpemerintah dalam merealisasikan sistem desentralisasi ini yaitupengembangan wilayah. Pengembangan wilayah di Indonesia bukanmerupakan usaha-usaha yang terbatas pada pemerataanpembangunan antara daerah dan wilayah dalam satu daerah. Namun,lebih dari itu ia merupakan suatu usaha pula untuk menciptakan danmelembagakan suatu budaya pembangunan baru di kalanganinstansi, aparat perencanaan, pelaksana pembangunan serta dikalangan masyarakat di daerah. Dengan demikian, secara konseptualpembangunan wilayah merupakan perpaduan dari dua usaha

Page 38: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

32

pembangunan, yaitu perbaikan kehidupan perekonomian terutamarakyat miskin di suatu wilayah dengan usaha-usaha pembangunanyang bertujuan untuk mengubah budaya pembangunan di kalanganinstansi, aparat pemerintah daerah dan masyarakat (Soetrisno, 1997).

Daerah otonom memiliki wewenang untuk mengatur kepentinganmasyarakat setempat menurut prakarsa sendiri sesuai berdasarkanaspirasi masyarakat sesuai dengan perundang-undangan. Otonomidaerah dilaksanakan dengan asumsi dasar memberikan hak kepadadaerah untuk mengatur daerah dalam wujud otonomi yang luas,nyata, dan bertanggung jawab. Berbeda dengan pelaksanaanotonomi daerah di masa lalu yang menekankan prinsip otonomi yangbertanggung jawab yang lebih bertitik tolak dari pelaksanaankewajiban daripada hak. Kewenangan otonomi luas adalahkeleluasaan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yangmencakup kewenangan semua bidang pemerintahan kecualikewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan,peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan dibidanglain yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Di samping itu,keleluasaan otonomi mencakup pula kewenangan yang utuh danbulat dalam penyelenggaraan perencanaan, pelaksanaan,pengawasan, pengendalian dan evaluasi (Sarundajang, 1999).

Otonomi secara nyata berarti keleluasaan daerah untukmenyelenggarakan kewenangan pemerintahan di bidang tertentuyang keberadaannya dapat dibuktikan secara nyata. Bidang tersebutjuga dibutuhkan serta tumbuh, hidup dan berkembang di daerah.Sedangkan otonomi yang bertanggung jawab berarti perwujudanpertanggungjawaban atas konsekuensi pemberian hak danwewenang kepada daerah berupa peningkatan di bidang pelayanandan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, kehidupandemokrasi yang semakin berkembang, keadilan dan pemerataan,serta hubungan pusat-daerah yang serasi.

E. Pengembangan Wilayah Berdasarkan Potensi LokalPengembangan wilayah pada hakikatnya adalah pengembangan

di daerah yang bersifat menyeluruh. Artinya, pembangunan tidak hanyamenyentuh aspek pengembangan fisik, tetapi yang lebih prinsip adalah

Page 39: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

33

OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

upaya memaksimalkan potensi sumber daya manusia agar dapatmengelola sumber daya absolut yang dimiliki daerahnya secara bijak.

Pengembangan wilayah pada masa desentralisasi cenderungdiartikan sebagai pemekaran wilayah yang pada dasarnya memilikimuatan politis yang kental. Pemekaran wilayah lebih pada upayamengakomodasi elit-elit di daerah agar desentralisasi tidak terjebakpada disintegrasi.

Hingga saat ini, asumsi pengembangan wilayah masih berkutatpada paradigma lama; pembangunan fisik sebagai indikator utamakeberhasilan pembangunan. Sementara itu, kemiskinan kerap kalimenjadi wajah dominan masyarakat Indonesia. Pembangunanmanusia hingga saat ini belum menjadi indikator yang utama dalammengukur keberhasilan pembangunan.

Amartya Sen menyebutkan, kebebasan adalah inti pembangunandan karena itu masyarakat harus dibebaskan dari sumber ketidak-bebasan itu3. Sumber ketidakbebasan itu adalah kemiskinan (yangdapat menyebabkan orang tidak mendapat kesempatan memperolehgizi yang baik) dan tirani, rendahnya peluang ekonomi (antara lainpeluang bagi perempuan untuk mendapat kerja di luar rumah) danpemiskinan sosial sistematis, pengabaian fasilitas publik (misalnyapendidikan dan pelayanan kesehatan) dan intoleransi atau represioleh negara. Dengan demikian, pembangunan manusia sebenarnyabukan sesuatu yang abstrak dan tidak mungkin ditunda-tunda.

Sekalipun terdapat kemajuan dalam hal pembangunan manusiadi Indonesia, namun perkembangan tersebut berjalan sangat lamban.Ada beragam faktor yang menunjukkan hal itu. UNDP, misalnya,setiap tahun memaparkan Indeks Pembangunan Manusia (HumanDevelopment Index/HDI) dari 177 negara di dunia. Dari jumlahtersebut, kondisi terakhir Indonesia berada di posisi ke 111. Posisidemikian menempatkan Indonesia satu tingkat di atas Vietnam,namun masih jauh di bawah beberapa negara negara tetanggasemacam Singapura, Malaysia, Filipina, maupun Thailand.4

Kondisi sumber daya manusia yang berkualitas merupakanprasyarat utama dalam melakukan perbaikan dan pembangunan dibanyak sektor. Terlebih lagi pada masa pelaksanaan Otonomi

Page 40: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

34

Daerah, di mana partisipasi dan kompetensi masyarakat sangatdibutuhkan dalam merancang, menentukan kebijakan danmelaksanakan pembangunan yang menyentuh kepentingan rakyatbanyak.

Persoalan kemiskinan dan ketertinggalan bukan merupakansatu-satunya masalah yang dihadapi dalam upaya pelaksanaanpengembangan wilayah. Partisipasi masyarakat dalam hal ini menjadipenting karena perubahan sistem yang sangat mendasar, yaitu darisentralistik ke desentralisasi. Tetapi, permasalahannya adalahpartisipasi merupakan hal baru dan asing bagi masyarakat, terutamabagi unit masyarakat terkecil di tingkat desa. Hampir tidak dapatdibayangkan bagaimana masyarakat desa berpartisipasi dalampembangunan seperti misalnya merencanakan pembangunanberdasarkan kebutuhan-kebutuhan masyarakat setempat.Jangankan untuk duduk satu meja dengan aparat pemerintah danberbagai kalangan dari strata yang beragam, urun rembug(musyawarah) di tingkat Rukun Tetangga (RT) saja masyarakat awamcenderung untuk menyerahkan ‘yang terbaik’ kepada ketua RT atautokoh masyarakat lainnya.5

Menilik dari kenyataan tersebut, maka dapat dinyatakan bahwapartisipasi merupakan sesuatu yang mewah bagi masyarakat. Terlebihlagi, hubungan antara pemerintah dengan rakyat memiliki kesenjanganyang sangat jauh. Kesenjangan tersebut merupakan penghalangterbesar bagi masyarakat untuk menyampaikan aspirasinya. Selainkesenjangan hubungan antara pemerintah dengan rakyat, terdapatasumsi dasar masyarakat terhadap pemerintah yang juga belumberubah; pemerintah harus menyediakan kebutuhan rakyat, tanpa perluadanya tuntutan dari bawah. Pola hubungan dan asumsi yang terlanjurmelekat dalam benak masyarakat seperti inilah yang menjadi tantangansekaligus hambatan dalam membangun sistem pemerintahan yangpartisipatoris. Pembangunan yang bersifat bottom-up nyaris menjadiwacana yang sulit direalisasikan jika masyarakat masih berpikir denganpola yang sentralistis. Kalaupun masyarakat terlibat pada perencanaanpembangunan, biasanya yang dilakukan adalah pengajuan daftarkeinginan. Hal ini menyebabkan pembangunan yang diharapkan bot-tom up dari tingkat perencanaan hingga pelaksanaan menjadi bias.

Page 41: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

35

OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

Keinginan merupakan tuntutan yang muatan subjektifitasnya lebihtinggi daripada nilai objektifitasnya, karena keinginan seringkali jauhberada di atas kebutuhan objektif. Karenanya, pemerintah biasanyamengalami ‘kebanjiran daftar keinginan’ yang sangat sulit untukdiakomodasi dan direalisasikan.

Sebagai negara-bangsa yang memiliki tingkat kemajemukanyang sangat tinggi, kondisi sosial-ekonomi dan kultural masyarakatIndonesia otomatis menjadi sangat beragam pula. Selain itu, Indo-nesia juga mewarisi permasalahan yang rumit.6 Permasalahanpertama, menyangkut masalah jumlah penduduk miskin yang sangatbesar. Terbesar dari jumlah ini terpusat di pulau Jawa. Kedua,perkembangan yang berbeda antara daerah, khususnya antara Jawadan luar Jawa. Ketiga, kemampuan yang rendah dari aparat birokrasinasional Indonesia untuk merencanakan dan melaksanakanpembangunan.

Ketiga permasalahan itu, khususnya permasalahan perbedaanperkembangan antara Jawa dan luar Jawa, karena tidak dapatdipecahkan oleh pemerintah pusat telah menyebabkan masalahtersebut menjadi sebab dari timbulnya gerakan-gerakan separatisdi Indonesia pada tahun 1950-an. Semua gerakan separatis inimenuntut pemerintah untuk lebih melaksanakan pemerataanpembangunan antara Jawa dan luar Jawa. Ketika tuntutan tersebuttidak mendapat tanggapan yang serius dari pemerintah pusat, dibeberapa daerah di Indonesia mulailah muncul gerakan-gerakanseparatis. Gerakan-gerakan tersebut sangat menonjolkan sifat-sifatkedaerahan.

Ketika pengembangan wilayah dilaksanakan oleh pemerintah,terbukalah permasalahan baru, yaitu bahwa hampir di setiap daerah,Jawa maupun luar Jawa terdapat perbedaan antarwilayah yangmenonjol dalam perkembangannya. Di dalam satu provinsi, bahkandalam satu kabupaten, dapat ditemukan wilayah yang terbelakangberdampingan dengan wilayah maju. Pada saat pelaksanaanpembangunan, pemerintah dihadapkan pada persoalan lain yaituaparat pelaksana pembangunan. Ada tiga permasalahan pokok yangdihadapi oleh pemerintah dalam hal ini. Pertama, rendahnyakemampuan teknis para pelaksana pembangunan dalam me-

Page 42: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

36

rencanakan dan melaksanakan program pembangunan wilayah.Kedua, wawasan sektoral yang masih kuat berakar dalam instansipemerintah yang melaksanakan pembangunan. Ketiga, sikappatronase yang masih kental dalam diri para aparat pemerintah dalamhubungan mereka dengan rakyat.

Pada umumnya perencanaan program kerja pemerintah daerahmasih bersifat top down dan sektoral. Terlebih lagi, program kerjalebih dilekatkan pada pendekatan proyek, sehingga kesinambunganprogram tidak dapat dijaga dan manfaatnya belum tentu sesuaidengan kebutuhan masyarakat. Orientasi proyek dalam merancangpogram pembangunan seringkali terjebak pada upaya bagaimanaanggaran dapat direalisasikan dan dana dapat dicairkan.

Pola pembangunan yang bersifat top down pada akhirnyamematikan kreativitas daerah dan menimbulkan ketergantunganterhadap pusat. Hampir sulit ditemui daerah yang berhasil melakukaninovasi-inovasi yang menyentuh kepentingan rakyat dan berhasilmeningkatkan kesejahteraan masyarakat. Untuk mengubah situasiini, pemerintah daerah perlu membangun visi dan misi pembangunanagar sesuai dengan arah pembangunan daerah masing-masingdengan mempertimbangkan ciri-ciri khas daerah.

Mentalitas birokrasi untuk menunjang pembangunan harusdiubah sehingga pemerintah mampu mengoptimalkan pe-ngembangan wilayah yang menjadi kewenangan pemerintah daerah.Kendala yang disebabkan oleh mentalitas birokrasi diantaranyaterjadinya hubungan kolusi antara birokrasi sebagai penyediapelayanan publik dengan pengguna jasa yang menyebabkandiskriminasi dalam pelayanan. Diskriminasi pelayanan publik diantaradipengaruhi oleh beberapa faktor. Laporan penelitian tentang“Reformasi Tata Pemerintahan dan Otonomi Daerah” oleh Pusat StudiKependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada me-ngungkapkan realitas bahwa birokrasi belum mampu memberikanpelayanan publik yang adil dan non partisan kepada semua lapisanmasyarakat7. Hal ini terlihat dari bagaimana hubungan pertemanan,afiliasi politik, etnis dan latar belakang agama merupakan variabelyang masih mempengaruhi tingkat kualitas pelayanan publik yangdiberikan birokrasi kepada masyarakat. (lihat diagram 1).

Page 43: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

37

OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

Sumber: Data Governance and Decentralizatin Survey 2002,Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada.

Diagram 1. Pertimbangan Pelayanan menurut Aparat Birokrasi

Pengembangan wilayah (otonomi) juga memunculkan ke-khawatiran dari stakeholders, terutama dari kalangan LSM, tentangpeningkatan perilaku KKN diberbagai instansi pemerintahan, baiksecara kuantitas dan kualitas. (lihat diagram 2).

Diagram 2. KKN Di Berbagai Instansi (Menurut LSM)

Sumber: Data Governance and Decentralizatin Survey 2002, PusatStudi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada.

Page 44: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

38

Pengembangan wilayah, lebih dari itu, menuntut pula usahapenciptaan dan pelembagaan suatu budaya pembangunan baru dikalangan instansi, aparat perencanaan, pelaksana pembangunanserta di kalangan masyarakat di daerah. Dengan demikian, secarakonseptual pengembangan wilayah merupakan perpaduan dari duausaha pembangunan, yaitu perbaikan kehidupan perekonomianrakyat miskin di suatu wilayah dengan usaha-usaha pembangunanyang bertujuan untuk mengubah budaya pembangunan di kalanganinstansi, aparat pemerintah daerah, serta kalangan masyarakat.

Pengembangan wilayah di Indonesia selain mempertimbangkanberbagai potensi yang ada di setiap wilayah. Perbedaan laju pem-bangunan antardaerah menyebabkan terjadinya kesenjangankemakmuran dan kemajuan antardaerah, terutama antara Jawadengan luar Jawa, antara Kawasan Barat Indonesia (KBI) denganKawasan Timur Indonesia (KTI). Satu di antara kebijakan yang diambilpemerintah untuk mempersempit ketimpangan regional yaituditetapkannya kebijakan pembangunan daerah melalui konsepkawasan andalan, yang dilakukan berdasarkan potensi yang dimilikidaerah. Dengan kebijakan tersebut, diharapkan akan terjadikeseimbangan tingkat pertumbuhan dan pendapatan per kapitaantarwilayah, sehingga dapat menutup atau paling tidak mem-persempit kesenjangan perkembangan ekonomi.

Kriteria kawasan dipilih berdasarkan kawasan yang memilikipotensi ekonomi yang lebih cepat tumbuh dibandingkan daerahlainnya dalam suatu provinsi, memiliki sektor unggulan dan memilikiketerkaitan ekonomi dengan daerah sekitar (hinterland). Kriteria inilahyang digunakan untuk menentukan pertumbuhan kawasan andalan.Pertumbuhan kawasan andalan diharapkan dapat memberikan imbaspositif bagi pertumbuhan ekonomi daerah sekitar (hinterland), melaluipemberdayaan sektor/subsektor unggulan sebagai penggerakperekonomian daerah yang keterkaitan ekonomi antardaerah.Penekanan pada pertumbuhan ekonomi sebagai arah kebijakanpenetapan kawasan andalan dengan mempertimbangkanpertumbuhan ekonomi sebagai indikator kunci dalam pembangunan(Kuncoro, 2004).

Page 45: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

39

OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

Penentuan lokasi pengembangan kawasan andalan mengacupada Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), ditetapkandengan Peraturan Pemerintah 47/1997 (dalam tahap revisi) sebagaiaturan mengenai Kawasan Pengembangan Strategis. RTRWN dalamhal ini telah memilih 108 daerah prioritas di seluruh Indonesia (52diantaranya berlokasi di bagian timur). Daerah tersebut dibentuksebagai pusat pertumbuhan. 14 daerah dipilih sebagai KawasanPengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) berdasarkan daerahprioritas dan dianggap sebagai model pembangunan ekonomi re-gional utama untuk pusat pertumbuhan di Indonesia bagian timur.

F. Kebijakan Fiskal1. Kebijakan Fiskal Sebelum Otonomi DaerahKeuangan daerah berdasarkan UU No. 5 tahun 1974 tentang

Pokok-pokok Pemerintahan Daerah ditentukan bahwa wewenangpengelolaan pemerintahan daerah dilakukan berdasarkan tiga asas,yaitu dekonsentrasi, pembantuan (medebewind) dan desentralisasi(Piliang, 2003). Asas dekonsentrasi adalah wewenang pengelolaanpembangunan daerah yang dimiliki oleh pemerintah pusat, tetapitelah dilimpahkan kepada pemerintah daerah. Sedangkandesentralisasi pada dasarnya adalah wewenang pemerintah daerahdalam pengelolaan pembangunan di daerahnya sendiri. Sedangkanasas perbantuan adalah pemerintah daerah daerah membantumelakukan tugas-tugas yang dimiliki pemerintah pusat di daerah,tetapi pembiayaannya ditanggung oleh pemerintah daerah.

Dalam pelaksanaan tugas-tugas tersebut, berdasarkan pasal 55UU No. 5 tahun 1974, pemerintah daerah dibekali dengan beberapasumber pendapatan, yaitu:

a. Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang terdiri dari hasil pajakdaerah, retribusi daerah, hasil perusahaan daerah (BUMD),dan lain-lain hasil usaha daerah yang sah.

b. Pendapatan yang berasal dari pusat, yang terdiri darisumbangan dan sumbangan-sumbangan lain yang diaturdengan pengaturan perundang-undangan.

c. Lain-lain pendapatan daerah yang sah.

Page 46: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

40

Di masa lalu, bantuan yang diberikan pemerintah pusat kepadapemerintah daerah terbagi dalam dua kelompok. Pertama, subsidi/perimbangan keuangan daerah otonom. Subsidi Daerah Otonom(SDO) merupakan satu kebijakan pemerintah yang dimaksudkanuntuk mengamankan pengeluaran rutin daerah. Distribusi subsiditersebut kepada daerah dilakukan berdasarkan kebijakan MenteriDalam Negeri yang diperhitungkan dari data pegawai daerah dimasing-masing daerah. SDO terdiri dari belanja pegawai, belanjanon pegawai yang diarahkan dan belanja non pegawai yangdiarahkan dan ditetapkan. Belanja non-pegawai yang ditetapkanterdiri dari dua kategori, yaitu, pertama subsidi/bantuan dan ganjaran.Kedua, bantuan yang dialokasikan untuk keperluan investasi didaerah. Di Indonesia, jenis investasi yang kedua ini dijalankan dibawah instruksi yang diberikan oleh presiden. Oleh karena itu seringdisebut dengan Bantuan Inpres (Instruksi Presiden).

Bantuan Inpres terbagi dalam dua bentuk, yaitu bantuan khusus(spesific grant) dan bantuan umum (block grant). Bantuan khususdialokasikan berdasarkan tujuan khusus yang ditentukan olehpemerintah pusat, seperti bantuan penunjang jalan dan jembatankabupaten, bantuan pembangunan sekolah dasar, bantuanpembangunan sarana kesehatan, dan reboisasi. Oleh karenanya,pemerintah daerah tidak memiliki kewenangan untuk mengubahpenggunaan bantuan ini untuk tujuan lain. Bantuan tersebut terdiridari bantuan pembangunan Daerah Tingkat I, Daerah Tingkat II danDesa.

Berdasarkan pengalaman yang ada selama ini, proporsi trans-fer bantuan yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintahdaerah didominasi bentuk bentuan yan bersifat khusus. Hal itu terbuktimisalnya dari studi yang dilakukan oleh Mahi (2001). Transfer danadari pemerintah pusat yang tergolong bantuan umum diperkirakanhanya sebesar 20% dari keseluruhan transfer, sementarakebanyakan dari transfer tersebut digolongkan sebagai bantuankhusus.

Di samping SDO dan Bantuan Inpres, terdapat juga bantuanyang berasal dari alokasi Daftar Isian Proyek (DIP) yang merupakanpengeluaran investasi langsung oleh pemerintah pusat. Di antara

Page 47: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

41

OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

berbagai jenis bantuan tersebut, DIP merupakan sumber pendanaanterbesar, diikuti oleh SDO dan Inpres. Dengan demikian, secaraumum kondisi penerimaan pemerintah daerah pada umumnyadidominasi oleh penerimaan yang berasal dari subsidi dan bantuanyang diperoleh dari pemerintah pusat. Penerimaan Pandapatan AsliDaerah (PAD) dan bagi hasil pajak dan bukan pajak meningkat danpenerimaan subsidi/bantuan menurun, sementara pinjaman daerahtidak menunjukkan perubahan yang berarti. Hal tersebutmenunjukkan pula bahwa tingkat ketergantungan propinsi-propinsiterhadap sumbangan/bantuan masih cukup besar.

Dalam penggunaan berbagai sumber penerimaan yang diperolehpemerintah daerah itu, pelaksanaan asas dekonsentrasi oleh daerahpada umumnya dibiayai dari bantuan-bantuan inpres. Sedangkanpelaksanaan asas desentralisasi umumnya dibiayai melalui PAD.Dalam UU No. 5 tahun 1974 sebenarnya hanya disebutkan bahwapengelolaan dana dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip tersebuttanpa menyebutkan berapa besar persentase alokasi untuk masing-masing asas. Tetapi, dalam kenyataannya alokasi dana APBD untkmelaksanakan asas dekonsentrasi mencapai rata-rata 70% darijumlah keseluruhan alokasi pembangunan setiap tahun. Sedangkanalokasi dana untuk melaksanakan asas perbantuan dandesentralisasi hanya berkisar 30%.

2. Kebijakan Fiskal Masa Otonomi DaerahPrinsip dasar yang sering dipergunakan dalam menentukan

besarnya keuangan yang dibutuhkan oleh suatu daerah otonomadalah prinsip di mana fungsi-fungsi (urusan-urusan) ditentukanterlebih dahulu, baru kemudian ditetapkan besarnya kebutuhankeuangan bagi pelaksana urusan bersangkutan (money followsfunction). Hal ini sebenarnya tidak sepenuhnya berlaku, karena dinegara-negara Dunia Ketiga, pelaksanaan kebijakan distribusikeuangan dilakukan dengan mendahulukan pembagian keuangandan barulah diikuti oleh pembagian fungsi. Konsep money followsfunction tidak mudah untuk diaplikasikan terbukti dengan belumtuntasnya rumusan pembagian kewenangan antar pemerintah daerahdi Indonesia. Dalam lingkup UU No. 22 tahun 1999 inti otonomi daerah

Page 48: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

42

meliputi dua hal. Pertama, pemberian kewenangan, dan bukansekedar pendistribusian otoritas seperti pada UU No. 5 tahun 1974.Kedua, sekaligus pemberian tanggung jawab. Daerah jugabertanggung jawab membina dan melayani masyarakat.

Satu aspek yang perlu dicatat dalam desentralisasi yangdilakukan di Indonesia adalah kecepatan dan besaran dari perubahanyang dilakukan. Dalam UU No. 22/1999, seluruh fungsi pelayananpublik – kecuali pertahanan, hubungan luar negeri, kebijakan moneterdan perdagangan, serta sistem hukum - akan didesentralisasikanpada tingkat kabupaten. Propinsi sebagai tingkat pemerintahan yanglebih tinggi tidak diberikan tanggung jawab yang besar, kecualimelakukan kebijakan yang lebih bersifat koordinasi dari kebijakanpemerintah di tingkat kabupaten.

Untuk mendukung tanggung jawab yang dilimpahkan,pemerintah daerah memerlukan sumber fiskal. UU No. 25/1999menyatakan bahwa untuk tujuan tersebut pemerintah daerah harusmemiliki kekuatan untuk menarik pungutan dan pajak, dan pemerintahpusat harus mentransfer sebagian pendapatan dan atau membagisebagian pendapatan pajaknya dengan pemerintah daerah. Strukturpajak, setelah diterapkannya UU No. 25/1999, beserta basis pajaknyauntuk pemerintah pusat, propinsi, dan kabupaten/kota dirangkumdalam tabel 1.

Sumber pajak utama pemerintah propinsi berasal dari pajakkendaraan bermotor dan pajak balik nama kendaraan bermotor, yangdapat dipandang sebagai variasi pajak kekayaan dan properti. Jenispajak daerah yang dapat diusahakan oleh pemerintah kabupatendan kota terbatas pada tujuh jenis pajak hotel dan restoran, pajakiklan, pajak atas bahan bangunan, pajak penggunaan air, pajakhiburan, pajak IMB, dan retribusi lain-lain. Pemerintah daerah tidakakan diperkenankan untuk meningkatkan pendapatan daerah lewatpajak selain pajak yang disebutkan di atas.

Jenis-jenis pendanaan untuk membiayai pembangunan danaktivitas rutin. Jenis-jenis pendanaan tersebut yaitu:

Page 49: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

43

OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

Tabel. 1Struktur Pajak Setelah UU No. 25/1999

Sumber: UU No. 25/1999; Brodjonegoro & Asanuma (2000: 6-8); Widjaja (2002),dikutip dalam Mudradjad Kuncoro (2004).

Dana PerimbanganDana perimbangan adalah dana yang bersumber dari

penerimaan APBN, yang dialokasikan kepada Daerah untukmembiayai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaandesentralisasi. Menurut UU No. 25/1999 pasal 6, Dana PerimbanganTerdiri dari:

a. Bagian Daerah (Dana Bagi Hasil) dari PBB, BPHTB, PPhorang pribadi dan SDA (Sumber Daya Alam).

b. Dana Alokasi Umum (DAU)

c. Dana Alokasi Khusus (DAK)

Dana Bagi HasilUntuk mengatasi kurangnya sumber pajak tersebut, UU No. 25/

1999 menyediakan dana bagi hasil yang dibagi berdasarkanpersentase tertentu bagi pemerintah pusat maupun pemerintahdaerah. Pendapatan pemerintah pusat dari ekploitasi sumber dayaalam, sperti minyak dan gas, pertambangan, dan kehutanan dibagi

Page 50: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

44

dalam proporsi yang bervariasi antara pemerintah pusat, povinsi,kota dan kabupaten.

Penerimaan negera yang dibagihasilkan terdiri dari:

a. Penerimaan Pajak

1) Pajak Bumi dan Bangunan

2) Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).

3) PPh Orang Pribadi

b. Penerimaan Bukan Pajak (SDA)

1) Sektor Kehutanan

2) Sektor Pertambangan Umum

3) Sektor Minyak Bumi dan Gas Alam

4) Sektor Perikanan

Dana Alokasi UmumHal penting dari pengaturan keuangan menurut UU No. 25/1999

adalah provisi berupa transfer antardaerah dari pusat ke kabupatendan kota, yang disebut dengan Dana Alokasi Umum (DAU) dan DanaAlokasi Khusus (DAK). Diperkenalkannya DAU dan DAK berartimenghapus Subsidi Daerah Otonom dan Dana Inpres yangdiperkenalkan era Soeharto.

DAU merupakan block grant yang diberikan kepada semuakabupaten dan kota untuk tujuan mengisi kesenjangan antarakapasitas yang kebutuhan fiskalnya, dan didistribusikan dengan for-mula berdasarkan prinsip-prinsip tertentu yang secara umummengindikasikan bahwa daerah miskin dan terbelakang harusmenerima lebih banyak daripada daerah kaya.dengan kata lain,tujuan penting alokasi DAU adalah kerangka pemerataankemampuan penyediaan pelayanan publik antar pemda di Indone-sia. Undang-undang No. 25/1999 pasal 7 menggariskan bahwapemerintah pusat berkewajiban menyangkut paling sedikit 25% dariPenerimaan Dalam Negerinya dari bentuk DAU.

Page 51: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

45

OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

Secara definisi, Dana Alokasi Umum dapat diartikan sebagaiberikut (Sidik, 2003):

a. satu komponen dari Dana Perimbangan pada APBN, yangpengalokasiannya didasarkan atas konsep KesenjanganFiskal atau Celah Fiskal (Fiscal Gap), yaitu selisih antaraKebutuhan Fiskal dengan Kapasitas Fiskal.

b. instrumen untuk mengatasi horizontal imbalance, yangdialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuankeuangan antardaerah di mana penggunaannya ditetapkansepenuhnya oleh daerah.

c. Equalization grant, yaitu berfungsi untuk menetralisasiketimpangan kemampuan keuangan dengan adanya PAD,Bagi Hasil Pajak dan Bagi Hasil SDA yang diperoleh daerah.

Dana Alokasi KhususDAK ditujukan untuk daerah khusus yang terpilih untuk tujuan

khusus. Karena itu, alokasi yang didistribusikan oleh pemerintahpusat sepenuhnya merupakan wewenang pusat untuk tujuan nasionalkhusus. Kebutuhan khusus dalam DAK meliputi:

a. Kebutuhan prasarana dan sarana fisik di daerah terpencilyang tidak mempunyai akses yang memadai ke daerah lain;

b. Kebutuhan prasarana dan sarana fisik didaerah yangmenampung transmigrasi;

c. Kebutuhan prasaran dan sarana fisik yang terletak di daerahpesisir/kepulauan dan tidak mempunyai prasarana dansarana yang memadai;

d. Kebutuhan prasaran dan sarana fisik di daerah gunamengatasi dampak kerusakan lingkungan.

UU No. 25/1999 pasal 8 menggariskan bahwa kebutuhan khususyang dapat dibiayai dengan DAK antara lain kebutuhan yang tidakdapat diperkirakan secara umum dengan menggunakan rumus Dau,dan atau kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritasnasional. Sebesar 40% penerimaan negara yang berasal dari DanaReboisasi disediakan kepada daerah sebagai DAK. DAK diberikan

Page 52: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

46

kepada daerah tertentu berdasarkan usulan daerah denganmenydiakan dana pendamping 10% yang berasal dana penerimaanumum APBD (kecuali untuk DAK Reboisasi).

Persyaratan untuk memperoleh DAK sebagai berikut:

a. Daerah perlu membuktikan bahwa daerah kurang mampumembiayai seluruh pengeluaran usulan kegiatan tersebutdari PAD, Bagi Hasil Pajak dan SDA, DAU, Pinjaman Daerah,dan lain-lain penerimaan yang sah.

b. Daerah menyediakan dana pendamping sekurng-kurangnya10% dari kegiatan yang diajukan (dikecualikan untuk DAKdari Dana Reboisasi).

c. Kegiatan tersebut memenuhi kriteria teknis sektor/kegiatanyang ditetapkan oleh Menteri Teknis/Instansi terkait.

Kegiatan DAK berdasarkan PP 104/2000 meliputi:

a. DAK digunakan untuk membiayai investasi pengadaan danatau peningkatan dan atau perbaikan prasarana dan saranafisik dengan umur ekonomis panjang;

b. Dalam keadaan tertentu, DAK dapat membantu membiayaipengoperasian dan pemerliharaan prasarana dan saranatertentu untuk periode terbatas, tidak melebihi 3 (tiga) tahun.

Pinjaman DaerahPemerintah daerah diberikan kewenangan berdasarkan UU No.

22/1999 untuk mencari pinjaman baik domestik maupun dari luarnegeri, dari institusi keuangan multilateral dan agen pemberi bantuandan pemerintah pusat seperti juga dari institusi keuangan swasta.Walaupun demikian, terdapat pembatasan tertentu yang dirancangdengan tujuan untuk menjamin manajemen keuangan yang berhati-hati pada pemerintah daerah. Utang jangka panjang terbatas untukpembangunan infrastruktur yang dapat menghasilkan pendapatan,sedangkan utang jangka pendek hanya dapat digunakan untukoperasi keuangan untuk penyesuaian aliran kas musiman. Utangjangka panjang tidak boleh melebihi 75% pendapatan umum, rasiobunga dari utang jangka panjang tidka boleh lebih dari 2,5 kali, dan

Page 53: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

47

OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

utang jangka pendek tidak boleh melebihi 1/6 total anggaran belanja.Pinjaman internasional harus melalui pemerintah pusat. Ketentuanpenting dalam peraturan pemerintah adalah kewenangan MenteriKeuangan untuk mengawasi pinjaman daerah untuk tujuan kebiakanekonomi makro.

Berdasarkan UU No. 25/1999, terutama pasal 11-14, pemerintahdaerah diperbolehkan untuk mengajukan pinjaman dengan syarat:

a. Semua pinjaman daerah harus mendapatkan pengesahandari DPRD dan pemerintah pusat;

b. Pinjaman jangka pendek hanya untuk kebutuhan alirankeuangan dan harus segera dibayar penuh pada tahunanggaran yang sama. Sementara itu, pinjaman jangkapanjang digunakan untuk membiayai infrastruktur daerah danselayaknya merupakan proyek yang menghasilkan pen-dapatan bagi daerah harus dalam rangka kepentingan sosial.Selanjutnya, pemerintah daerah menunjukkan kapasitasnyadalam membayar kembali pinjaman tersebut. Namundemikian, mengacu pada formula dalam PP 107/2000, tidaksemua daerah harus demikian karena adanya perbedaanyang besar antara daerah yang mempunyai kemampuanfinansial yang kuat dan daerah yang tidak mempunyaikemampuan finansial;

c. Tidak boleh melakukan pinjaman daerah yang melampauibatas jumlah pinjaman yang ditetapkan.

Isu lain berkenaan dengan pinjaman pemeintah daerah adalah(Simanjuntak, 2003):

a. Sebagian besar pemberi pinjaman eksternal segan untukmengadakan persetujuan pinjaman dengan pemerintah lokal;mereka lebih menyukai onlending mechanism (two step loan).

b. Kerangka kerja tentang pengaturan dan sistem yang adatidak terlalu mendukung pengembangan risiko mekanismepinjaman daerah.

c. Pemerintah daerah belum berpengalaman dalam melakukanhedging untuk mengendalikan risiko perubahan kurs luarnegeri.

Page 54: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

48

d. Pinjaman yang lalu lebih terakumulasi dan terkonsentrasipada sektor air minum/PDAM (contoh yang cukup signifikanadalah pinjaman sekitar Rp 4 miliar).

Dalam konteks otonomi daerah, begitu juga dengan ketahananfiskal, mekanisme pinjaman daerah harus dikembangkan. Hal inidapat dilihat dari sisi permintaan dan sisi penawaran. Dilihat dari sisipermintaan, ada beberapa indikasi bahwa permintaan untuk pinjamanpemerintah daerah memang ada. Pada kenyataannya, hal tersebutdapat dikategorikan menjadi tiga, yaitu; pemeintah daerah yangmemapunyai kemampuan finansial yang kuat, pemerintah daerahmempunyai kemampuan finansial moderat, dan pemerintah daerahyang memiliki kemampuan finansial lemah.

3. Persoalan dalam Pelaksanaan Kebijakan FiskalReformasi kebijakan fiskal yang dimaksudkan untuk

mengerahkan segala potensi peran-peran institusi daerah untukmengelola anggaran. Untuk mengelola anggaran diperlukan sumberdaya manusia yang memiliki kapabilitas tertentu dan akuntabilitaspublik. Tuntutan pengelolaan anggaran dan perencanaanpembangunan yang lebih transparan merupakan isu sentral yangmengemuka untuk pemulihan ekonomi melalui pinjaman luar negeri.Prinsip-prinsip budged transparency menurut IMF dalam pengelolaanpemerintahan dan anggaran yang harus dipenuhi untuk mewujudkanakuntabilitas publik adalah;8

a. Adanya kejelasan pembagian peran dan tanggung jawabantara pemerintah (dalam bentuk kebijakan da regulasi) disektor masyarakat yang jelas, terbuka dan tidak diskriminatif.Termasuk didalamnya adalah kejelasan alokasi dantanggung jawab baik antar tingkatan pemerintah maupunantar sektor/bidang/unit organisasi dalam pemerintahan yangsederajad. Dalam hal penggunaan dana extra budget, harusada keterkaitan erat antara aktivitas yang dibiayai olehanggaran dan tetap mengindahkan prioritas kebutuhan.

b. Adanya kejelasan dasar dan kerangka hukum sertaadministrasi atas pengelolaan anggaran. Pengelolaananggaran harus dilandasi kaidah-kaidah administrasi yang

Page 55: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

49

OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

menyeluruh, didukung oleh sistem akuntansi yang baik,sistem dan prosedur pelaporan, pemeriksaan danpertanggungjawaban yang lengkap. Segala bentuk pungutanpemerintah (atau oleh instansi/petugas pemerintah) harusdilandasi peraturan perundang-undangan yang semestinya,mudah diakses dan diketahui masyarakat (terutama olehwajib bayar).

c. Tersedianya informasi yang benar dan relevan bagimasyarakat dalam hal pengelolaan anggaran danpelaksanaan pembangunan meliputi rincian penerimaan,pengeluaran, posisi hutang dan kaitan dengan kiprahperusahaan milik pemerintah. Informasi tentang aktivitas-aktivitas yang didanai oleh dana extra budget juga harustersedia secara jelas. Publikasi tentang informasi-informasiini harus dilakukan secara periodik.

d. Adanya komitmen terhadap penyajian informasi yangkomprehensif, realistik dan periodik kepada masyarakatsecara berkala dan kontinyu, termasuk identifikasi adanyapenyimpangan dari rencana yang telah ditetapkan (internalaudit yang berjalan efektif).

e. Adanya keterbukaan dalam pelaporan anggaran mulai tahappersiapan, penyusunan, pelaksanaan sampai pelaporantermasuk yang melatarbelakangi keputusan dalampengelolaan anggaran serta kesinambungannya (sustain-able fiscal policy). Sistem anggaran yang dianut harusdispesifikasi dengan jelas bagi publik yang berminatmengetahui, termasuk kejelasan tentang parameter kuncidan asumsi yang melandasi anggaran serta identifikasi atasperkiraan dan kemungkinan dalam bidang ekonomi danpolitik yang mempengaruhi anggaran.

f. Format yang rinci atas susunan anggaran dan penyajiannyasehingga memudahkan dilakukan analisis dan kritisi ataskebijakan anggaran oleh pihak luar dalam rangka akun-tabilitas publik. Susunan anggaran harus menampilkaninformasi penerimaan dan pengeluaran yang meliputiklasifikasi jenis, tujuan, fungsi (unit organisasi) dan pem-

Page 56: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

50

biayaan berikut sumber pembiayaannya (untuk dana bud-get maupun extra budget).

g. Spesifikasi atas prosedur pelaksanaan dan pemantauanpengeluaran yang telah disetujui yang didukung dengandibangunnya sistem akuntansi yang komprehensif danterintegrasi. Dalam hal ini termasuk kejelasan mengenaiprosedur pengadaan barang dan pengeluaran lainnya.Pelaksanaan anggaran juga harus diaudit secara internaldengan prosedur audit yang terbuka untuk dikaji ulang.

Integritas tinggi atas laporan-laporan fiskal yang diajukan, semata-mata untuk kepentingan umum dan lepas dari maksud buruk apapun.Badan yang melakukan audit atas pengelolaan anggaran harusdisetujui oleh legislatif, badan statistik resmi dan bersifat independen.

Persoalan yang muncul dalam pelaksanaan desentralisasi fiskaldiantaranya adalah:

a. Equalisasi FiskalDalam pelaksanaan desentralisasi fiskal seharusnya

ditujukan untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat banyak,terutama untuk pembangunan yang akan meningkatkankesejahteraan masyarakat. Tetapi, fakta menunjukkan bahwakomitmen dan kemampuan daerah dalam pengurangankemiskinan sangatlah lemah. Hampir 75% pemerintah daerahdi Indonesia menghabiskan lebih dari 60% anggarannya untukpengeluaran rutin (seperti gaji, perawatan kantor, operasionaldan sebagainya).9 Tidak banyak sumber daya yang dimilikidaerah untuk menciptakan program yang berkaitan denganpengurangan kemiskinan melalui pengeluaran pembangunan.

Secara konseptual, otonomi daerah bertumpu pada pe-musatan pembangunan dan pengelolaan di daerah. Oleh karenaitu, asumsi yang dibangun adalah daerah akan mengalamipeningkatan baik secara pengelolaan maupun secara finansial.Tetapi, pada pelaksanaannya, dana masih terkonsentrasi diprovinsi yang mewakili pemerintah pusat, sehingga untukmerealisasikan pembangunan yang berbasis di kota maupunkabupaten masih belum terlaksana secara optimal. Padahal,

Page 57: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

51

OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

seharusnya dana berada di daerah untuk dikelola olehpemerintah daerah setempat, dan tidak di provinsi yang padadasarnya hanya memiliki fungsi koordinasi.

Persoalan lain yang berkaitan dengan pelaksanaandesentralisasi fiskal adalah kenyataan bahwa daerah-daerahtidak memiliki kemampuan finansial yang sama. Ada daerah yangmemiliki kemampuan finansial yang tinggi, moderat dan rendah.Daerah-daerah yang memiliki kemampuan finansial yang tinggiseharusnya tidak lagi mendapatkan dana yang sama dari pusat.Karena penerimaan pusat berasal dari sumber-sumber daerahdan sumber-sumber lain seperti pajak dan hutang luar negeri,maka daerah yang memiliki kemampuan finansial besar memilikikewajiban untuk membagi sumber dayanya kepada daerah yangkemampuan finasialnya rendah. Tetapi sharing tersebut masihdipertanyakan efektivitasnya. Pertanyaan yang paling mendasaradalah apakah daerah kaya mau mensubsidi daerah yang tidakmampu, sebab masing-masing daerah memiliki tendensi untukdaerahnya dan bahkan bersaing dalam hal pengumpulan PAD(Pendapatan Asli Daerah).

b. Manajemen Keuangan di DaerahAset-aset milik pusat yang berada di daerah kerap kali me-

nimbulkan permasalahan dalam hal pengelolaannya. Perusahaan-perusahaan negara seperti BUMN atau BUMD milik pemerintahpusat dan provinsi. Otonomi kemudian diartikan denganpeningkatan PAD dengan cara mengerahkan, menggalakkan danintensifikasi sumber-sumber peneriman daerah. Akhirnya,perusahaan-perusahaan milik pemerintah pusat yang beradadidaerah menjadi sumber konflik, karena pemerintah daerahmerasa berhak atas pendapatan yang diperoleh perusahaan miliknegara tersebut, sedangkan pemerintah pusat cenderungmempertahankan perusahaan negara dan fasilitas negara karenamembiayai operasional perusahaan.

Perusahaan-perusahaan yang produktif cenderung untukdiperebutkan antara daerah dengan pemerintah pusat. Tetapi,fasilitas umum seperti misalnya jalan cenderung diabaikanpemeliharaannya. Karenya tidak aneh, jika pada saat inifasilitas

Page 58: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

52

jalan terutama jalan provinsi banyak mengalami kerusakan.Pemerintah pusat menilai bahwa daerah yang menikmati fasilitasharus menanggung sebagian biaya pemeliharaan, sedangkandaerah menilai bahwa pemeliharaan jalan tersebut menjaditanggung jawab pemerintah pusat sepenuhnya karena proyekpembangunannya pun tidak melibatkan pemerintah daerah.

Jenis-jenis pemasukan menjadi persoalan tersendiri karenapendapatan dari pajak seperti Pajak Bumi dan Bangunan (PBB),pajak kendaraan bermotor masih menjadi sumber pajak utamapemerintah provinsi, padahal objek pajak berada dalam wilayahkota atau kabupaten. Padahal, sumber pajak tersebut merupakansumber pajak terbesar. Pemerintah pusat, seharusnyamengalihkan sebagian pendapatnya kepada daerah sebagaidaerah objek pajak. Karena itu, pemerintah kota dan kabupatencenderung untuk menggali pendapatan lain selain pajak dengancara menggalakkan penarikan retribusi.

Perluasan jenis retribusi tersebut dimungkinkan karenakabupaten/kota diberikan keleluasaan untuk menambah denganjenis pajak baru dengan rambu-rambu dan kriteria yang harusdiikuti.10 Peraturan ini memicu munculnya jenis-jenis retribusiyang pada prakteknya memberatkan masyarakat danmenyebabkan kenaikan pada harga-harga kebutuhan pokok.Misalnya, retribusi yang dipungut dari proses pengangkutan hasilbumi ke pasar biasanya melalui retribusi yang berlapis-lapis, danini menyebabkan makin mahalnya harga hasil bumi dipasaran.Dari praktek pemungutan pajak ini pertanyaan yang munculadalah siapakah yang mengelola pajak, retribusi, parkir,transportasi dan angkutan.

c. Budgetting Behavior (Perilaku Budgeting)Budgeting di masa lalu didominasi oleh asumsi dinas-dinas

bahwa pendanaan telah diplot oleh pemerintah pusat untukmasing-masing daerah, sehingga pemerintah daerah tidak perlumengajukan usulan pembangunan kepada pemerintah pusat.Dalam prakteknya, pola seperti ini memunculkan berbagai kasusproyek fiktif, atau proyek-proyek yang tujuannya hanyalah untukmenghabiskan anggaran. Yang menjadi pertimbangan para

Page 59: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

53

OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

birokrat pada waktu itu tidak terlepas dari upaya bagaimanamenyerap anggaran yang dialokasikan pemerintah pusat kepadapemerintah daerah sebesar-besarnya.

Pola-pola pendanaan yang sentralistik seperti ini embodieddengan cara berpikir para birokrat di daerah yang mempengaruhisistem, mekanisme dan prosedur pembangunan. Kebiasaan-kebiasaan seperti serba menunggu perintah, tidak dapatberinisiatif dalam arti selalu terpaku pada Petunjuk Pelaksanaan(Juklak) dan Petunjuk Teknis (Petunjuk Teknis) masih menjadiarus utama (mainstream) cara berpikir para pejabat daerah.Akhirnya, persoalan utama yang mengemuka sekali lagi adalahsiapa yang diuntungkan dan kepada siapa program pem-bangunan ditujukan. Untuk memaksimalkan potensi daerah,diperlukan upaya-upaya penggalian kembali kreativitas lokal agarpengelolaan keuangan daerah dapat dipergunakan sepenuhnyauntuk kesejahteraan masyarakat.

Pemahaman yang salah terhadap otonomi daerah jugamenjadi hal yang mempengaruhi arah dari desentralisasi fiskaldi tingkat pengambilan kebijakan, yang dalam jangka waktupanjang akan berakibat buruk pada tata pemerintahan yangberpihak pada rakyat. Desentralisasi fiskal cenderung diartikansebagai kesempatan untuk menggali sumber dana sebesar-besarnya dari rakyat melalui jalur-jalur legal, seperti pajak danretribusi, serta mengeksploitasi sumber daya alam (SDA) untukkepentingan daerah, daripada memperjuangkan kepentinganpenduduk asli dalam pemerintahan atau pembangunan yangsebenarnya merupakan spirit dari pelaksanaan otonomi daerah

4. Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah: Money FollowsFunction VS Function Follows Money

Pelaksanaan desentralisasi fiskal di tahap awal implementasiotonomi daerah menunjukkan kelemahan dalam beberapa hal,terutama yang terkait dengan beberapa peraturan yang belumdapat dijalankan secara optimal. Kebutuhan terhadapdesentralisasi bagi Indonesia menjadi sesuatu yang tidak dapatditunda-tunda. Selama hampir separuh abad pemerintah tidak

Page 60: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

54

pernah secara serius mengimplementasikan secara seriusmengenai peraturan tentang perimbangan keuangan Pusat-Daerah. Satu tujuan desentralisasi fiskal adalah perbaikanefisiensi ekonomi, perbaikan akuntabilitas, peningkatan mobilisasidana dan keadilan.11

Undang-undang No. 25/1999 tentang PerimbanganKeuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah merupakan UUkedua yang mengatur perimbangan keuangan pusat-daerahsetelah UU No. 32/1956 mengenai Perimbangan Keuangan AntarNegara dengan Daerah-Daerah. Besarnya keuangan yangdiperoleh daerah berdasarkan UU No.32/1956 ini berdasarkanindikator yang meliputi: (1) luas daerah; (2) jumlah penduduk;(3) potensi perekonomian; (4) tingkat kecerdasan masyarakat;(5) tingkat kemahalan; (6) panjang jalan yang harus diurusdaerah; (7) panjang saluran pengairan yang diurus daerah, dan;(8) apakah suatu daerah berupa kepulauan atau tidak. Dalamprakteknya, undang-undang ini tidak dapat dilaksanakansepenuhnya oleh pemerintah. Kegagalan tersebut disebabkankarena di samping negara ketika itu mengalami defisit anggaran,juga disebabkan ketidakmampuan administrasi daerah danketerbatasan jumlah serta kualitas aparatur pemerintah lokal.

Selama pemerintahan Orde Baru, meskipun UU No. 32/1956secara legalitas masih berlaku, tetapi tidak pernah dilakukan revisiatau dicabut sama sekali. Pemerintah Soeharto ketika itumenggunakan UU No. 5/1974 tentang Pokok-pokok Peme-rintahan di Daerah yang beberapa pasal didalamnya mengaturmasalah-masalah yang berkaitan dengan keuangan daerah.Paling tidak terdapat sekitar 10 pasal dari UU No. 5/1974 yangmengatur masalah-masalah keuangan daerah, diantaranya yaitu:(1) pasal 55 tentang sumber-sumber pendapatan daerah; (2)pasal 56 tentang pajak daerah diatur oleh UU; (3) pasal 57 tentangperimbangan keuangan pusat-daerah yang diatur UU; (4)ketentuan pajak dan retribusi daerah diatur dengan UU; (5) pasal59 tentang perusahaan daerah, yang juga diatur dengan UU;(6) pasal 60 tentang perda sebagai sumber pendapatan daerah;(7) pasal 61 tentang hutang piutang daerah; (8) pasal 62 tentang

Page 61: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

55

OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

pertanggungjawaban keuangan kepala daerah; (9) pasal 63tentang pengaturan barang milik daerah; dan (10) pasal 64tentang pengaturan APBN/APBD.

Meskipun dalam UU No. 5/1974 (pasal 57) sudah diamanat-kan akan dikeluarkannya UU yang mengatur perimbangankeuangan pusat-daerah, namun selama hampir tiga puluh tahunSoeharto berkuasa UU perimbangan tersbut tidak pernahmenjadi kenyataan. Keuangan daerah berdasarkan UU No. 5/1974 tergantung kepada: (1) pendapatan asli daerah (PAD) yangterdiri dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaandaerah, dan hasil daerah yang sah lainnya; (2) pendapatan danbantuan yang berasal dari pemberian pemerintah melaluiberbagai inpres (instruksi presiden) dan bantuan pembangunan.Dapat dikatakan bahwa daerah ketika itu sangat bergantung padasubsidi dan berbagai bentuk inpres (Inpres Desa, InpresKabupaten, Inpres Sekolah Dasar, Inpres Kesehatan, InpresProvinsi, Inpres Pasar, Inpres Penghijauan dan Inpres Jalan).12

Sistem pengaturan pengelolaan keuangan daerah modelinpres merupakan bentuk pengaturan keuangan daerah yangsangat sentralistis. Ketergantungan daerah terhadap pusat tidakhanya dalam hal pendapatan keuangan daerah, tetapi jugatermasuk perencanaan, jumlah alokasi dana, administrasikeuangan dan “petunjuk” lainnya yang lebih menguntungkankepentingan pusat. Dampak ketergantungan keuangan daerahpada pusat adalah matinya desentralisasi keuangan daerah dansekaligus juga semakin tidak berdayanya masyarakat lokal untukmewujudkan otonomi daerah sebagai upaya untuk mengaturrumah tangganya sendiri.

Sejak awal kemerdekaan, Indonesia telah mengalamipersoalan perimbangan keuangan pusat-daerah. Ketidakadilanyang dilakukan pemerintah pusat menimbulkan ketegangan didaerah sebagai protes terhadap kebijakan keuangan yang dinilaimerugikan daerah. Meskipun ketegangan tidak hanya disebab-kan oleh masalah perimbangan keuangan keuangan semata,tetapi juga adanya eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran dan eksploitasi daerah secara politis untuk mem-

Page 62: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

56

pertahankan kekuasaan para pejabat di pusat, tetapi inti dariketegangan tersebut bersumber dari ketidakadilan dalam halperimbangan keuangan.

Kekecewaan daerah terhadap pusat mencapai titik kulminasipada saat tumbangnya kekuasaan Soeharto di tahun 1998.Daerah-daerah kaya sumber daya alam menuntut pemerintahpusat untuk mulai memikirkan bagi hasil yang menguntungkandaerah. Selama ini, daerah penghasil tambang relatif tidak dapatmenikmati hasil kekayaan alam yang dimiliki. Beberapa daerahseperti Aceh dan Papua bahkan secara terang-teranganmenuntut kemerdekaan. Persoalan serius lain yang terkaitdengan mekanisme keuangan yang sentralistis adalah ke-tergantungan daerah terhadap pusat yang sangat tinggi. Jikadaerah-daerah kaya sumber daya alam menuntut porsi yangbesar dalam pembagian pendapatan, sebaliknya daerah-daerahyang minim sumber daya alam mengalami kegalauan jikadiharuskan mencari pendapatan sendiri.

Persoalan lain yang menyangkut kebijakan fiskal di masalalu adalah mandulnya kreativitas daerah untuk mengelolasumber keuangan. Hal ini disebabkan daerah selalu mendapat-kan alokasi dana dari pusat tanpa perencanaan yang dimulaidari kebutuhan daerah. Hubungan keuangan antara pusat daerahmenjadi hubungan yang sangat hirarkis dan dependen, dimanadaerah menjadi subordinat dalam hubungan tersebut. Sementaraitu, daerah dituntut untuk mengerahkan segala inisiatif dankreativitas untuk membangun wilayahnya dan mengelola ke-uangan secara lebih mandiri.

Tujuan otonomi daerah adalah kebijakan untuk mempercepatpertumbuhan ekonomi dan pembangunan daerah, mengurangikesenjangan antardaerah, dan meningkatkan kualitas pelayananpublik agar lebih efisien dan sesuai dengan kebutuhan, potensidan karakteristik di daerah masing-masing. Peningkatan kualitasini diberikan melalui peningkatan hak dan tanggung jawabpemerintah daerah untuk mengelola daerahnya sendiri.

Satu dari beberapa faktor pendorong program desentralisasiadalah pengalaman kebijakan pembangunan pemerintah Orde

Page 63: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

57

OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

Baru yang sentralistik. Pembangunan tidak didasarkan padakondisi lokal, yang mengakibatkan kesenjangan antara daerah-daerah kaya dengan daerah-daerah miskin, antara Jawa-LuarJawa dan Kawasan Barat Indonesia dengan Kawasan Timur In-donesia. Kesenjangan antardaerah ini cukup tinggi ditinjau dariberbagai indikator seperti pendapatan per kapita antardaerah,konsumsi per kapita antardaerah, dan jumlah penduduk yanghidup di bawah garis kemiskinan.

Pada kenyataannya, hanya daerah-daerah kaya sumberdaya alamnya, sumber daya manusia, infrastuktur yang baik dantingkat industrialisasi yang sudah matang saja yang dapatmempercepat pembangunan daerah. Sementara, bagi daerahyang miskin sumber daya alam, kurang sumber daya manusia,dan miskin infrastrukturnya, kemungkinan akan mengalamikesulitan mempercepat pembangunan di daerahnya. Mencermatikesenjangan yang terjadi antardaerah, maka yang perludilakukan adalah melakukan upaya mengurangi kesenjangandan disparitas pendapatan antardaerah. Untuk itu, harusdiupayakan bagaimana melaksanakan desentralisasi fiskal dalammengatasi masalah kesenjangan pendapatan antardaerah.

Ketergantungan fiskal daerah terhadap pusat diantaranyadisebabkan oleh rendahnya PAD. Setidaknya ada lima penyebabrendahnya PAD yang pada gilirannya menyebabkan tingginyaketergantungan terhadap subsidi dari pusat (Kuncoro, 2004).Pertama, kurang berperannya perusahaan daerah sebagaisumber pendapatan daerah. Meskipun laba yang diperoleh dariBUMD relatif tinggi sekitar 24,5 persen, namun sumbanganterhadap pendapatan daerah relatif kecil. Rata-rata rasio pem-bagian laba BUMD terhadap total pendapatan APBD hanyasebesar 2,14 persen per tahun.

Kedua, tingginya derajat sentralisasi dalam bidang perpajakan.Semua pajak utama, yang paling produktif adalah buoyant baikpajak langsung dan tidak langsung, ditarik oleh pusat. Pajakpenghasilan badan maupun perorangan (termasuk migas), PajakPertambahan Nilai, bea cukai, PBB, royalti/IHH/IHPH (atas minyak,pertambangan, kehutanan) semua dikelola administrasi dan

Page 64: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

58

ditentukan tarifnya oleh pusat. Dua yang terakhir memang telahmerupakan sharing revenues (penerimaan bagi hasil), namunkontribusinya dalam penerimaan daerah relatif masih kecil atausekitar 6,8 persen dari APBD. Alasan sentralisasi perpajakan seringdikemukan sebagai upaya mengurangi disparitas antardaerah,efisiensi administrasi dan keseragaman perpajakan.

Penyebab ketiga yaitu, kendati pajak daerah cukup beragam,ternyata hanya sedikit yang dapat diandalkan sebagai sumberpenerimaan. Pajak daerah yang ada saat itu berjumlah 50 jenispajak, tetapi yang dianggap bersifat ekonomis bila dilakukanpemungutannya hanya terdiri dari 12 jenis pajak saja.

Penyebab keempat lebih bersifat politis. Timbul kekhawatiranjika daerah memiliki sumber keuangan yang besar akanmendorong terjadinya gerakan separatis. Kasus Yugoslavia danUni Soviet seringkali sebagai acuan kuatnya daerah untukmendorong disintegrasi. Dan kenyataannya, kedua negaratersebut mengalami disintegrasi yang sangat parah. Karena itu,ketergantungan fiskal daerah terhadap pusat dipertahankanuntuk dapat mengendalikan daerah.

Penyebab kelima dari ketergantungan fiskal daerah terhadappust adalah kelemahan dalam pemberian subsidi dari pemerintahkepada daerah. Selama ini pusat memberikan subsidi dalambentuk blok (block grants) dan spesifik (specific grants). Subsidiblok adalah bentuk subsidi dimana daerah memiliki keleluasaandalam penggunaan dana. Sedangkan penggunaan dana subsidispesifik sudah ditentukan oleh pemerintah pusat dan daerah tidkamemiliki keleluasaan dalam penggunaan dana tersebut. Apabiladilihat dari sisi jumlah bantuan yang diterima, daerah lebih banyakmenerima bantuan yang berupa subsidi spesifik. Tidak berlebihanjika dalam hal ini dapat dikatakan bahwa pemerintah pusatmemberikan wewenang yang sangat kecil kepada daerah untukmerencanakan pembangunannya.

Minimnya kewenangan daerah dalam hal pengelolaananggaran membuat daerah kesulitan dalam mengambil inisiatifuntuk merencanakan pembangunan. Terlebih lagi, daerah hampirtidak dapat melepaskan diri dari petunjuk pelaksanaan pem-

Page 65: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

59

OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

bangunan yang biasanya disebut sebagai juklak dan juknis.Pembangunan fisik di daerah relatif tinggi, tetapi ketergantunganfiskal daerah tetap besar. Artinya, hingga saat ini pembangunanekonomi tetap menjadi mainstream pemerintah pusat agarketergantungan fiskal daerah tetap tinggi dan dengan demikiandaerah tetap dapat dikendalikan.

Kesulitan dalam mengimplementasikan perimbangan fiskalpusat-daerah adalah kemauan politik dari pemerintah pusat danmentalitas pemerintah daerah. Di satu sisi, pusat masih setengahhati untuk membiarkan daerah menggunakan dana-dana sesuaidengan fungsinya (local discretion). Pengaturan masalahkeuangan daerah masih bersifat ‘setengah hati’ karena kebijakanfiskal lebih ditekankan pada pembagian proporsi, bukan padapemberian kewenangan yang luas dalam bidang keuangandaerah. Padahal, dengan dengan kewenangan tersebut uangdapat dicari semaksimal mungkin dengan memperhatikanpotensi daerah.

Persoalan pemberian kewenangan yang setengah hatiterhadap daerah bukanlah satu-satunya persoalan yang krusial.Permasalahan yang berkaitan dengan desentralisasi fiskal yaitupemerintah daerah yang hampir tidak memiliki inisiatifperencanaan, implementasi dan pengawasan pembangunan.Daerah pun kurang memahami mekanisme partisipasi danketerlibatan masyarakat secara nyata dalam pembangunan.Padahal, dalam otonomi, daerahlah yang harus proaktif dalammengupayakan dan penggunaan dana pembangunan. Dominasitransfer dari pusat menyebabkan pemerintah daerah baik secarateknis dan psikologis mengalami ketergantungan yang besarterhadap pusat. Daerah-daerah hanya diberi uang dengan bentukproyek berikut teknis pelaksanaannya. Proses yang berlangsungselama lebih dari tiga puluh tahun turut membentuk mentalitaspara pejabat di daerah. Di masa Orde Baru daerah-daerahterbiasa dengan kebijakan anggaran dengan filosofi “functionfollows money” dimana daerah hanya diberi anggaranpembangunan yang perencanaannya dilakukan di pusat. Filosofiini harus diubah menjadi “money follows function” dimana

Page 66: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

60

daerah diberi kewenangan yang luas dalam bidang politik, sosialdan ekonomi untuk memperoleh dana pembangunan (Gaffar,1998). Untuk mengimplementasikan kebijakan fiskal yangdesentralistis, mentalitas aparatur daerah dalam pengelolaandana harus mengalami perubahan yang mendasar.

Catatan:

1 Mudrajad Kuncoro, Otonomi Daerah dan Pembangunan Daerah; Reformasi, Perencanaan, Strategi, danPeluang, Jakarta: Erlangga, 2004, hal. 20.

2 Allen, dikutip dalam Mudrajad Kuncoro.3 Harian Kompas, 6 November 2004.4 Harian Kompas, 6 November 2004.5 Begitu pasifnya masyarakat pada tingkat desa, sehingga dalam banyak kasus seperti pada pelaksanaan

program JPS, mereka seringkali mengalami kebingungan manakala dianjurkan oleh Lurah untukmengajukan usul mengenai apa yang dibutuhkan masyarakat dan jenis program pembangunan yangterbaik bagi mereka. Pada umumnya masyarakat menyerahkan keputusan kepada tokoh-tokoh masyarakatyang biasanya terdiri dari pensiunan karena senioritas dalam hal usia, pegawai negeri, tokoh agama,anggota militer, dan kelompok masyarakat kaya, yang sering mendermakan sebagian hartanya.

6 Loekman Soetrisno, Demokratisasi Ekonomi dan Pertumbuhan Politik, Yogyakarta: Penerbit Kanisius,1997, hal. 195.

7 Laporan Eksekutif Penelitian “ Reformasi Tata Peperintahan dan Otonomi Daerah”, Pusat Studikepentudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada bekerjasama dengan Kemitraaan Bagi PembaruanTata Pemerintahan di Indonesia, 2002, hal. 25

8 Brahmantio Isdijoso, et. al., Prospek Penerapan Budget Tranparency dalam Pelaksanaan otonomi Daerahdan Desentralisasi Fiskal Di Daerah Kota dan Kabupaten di Indonesia, Jakarta: Center for Economic andSocial Studies, 2001, hal. 4-7.

9 Mudrajad Kuncoro, Otonomi dan Pembangunan Daerah; Reformasi, Perencanaan, Strategi dan Peluang,Jakarta: Penerbit Erlangga, 2004, hal. 173.

10 Mudrajad Kuncoro, op. cit., hal. 28.11 Richard M. Bird, seperti dikutip oleh Alfitra Salamm dalam Desentralisasi dan Otonomi Daerah; Desentralisasi,

Demokratisasi dan Akuntabilitas Pemerintahan Daerah, Jakarta: LIPI Press, 2005, hal. 278.12 Anwar Shah, seperti dikutip dalam Alfitra Salamm, ibid., hal. 279.

Page 67: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

61

OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

A. Peran Negara Dalam Kerangka Welfare State

Negara merupakan institusi yang agung karena dalam lembagainilah seluruh kepentingan dan hak-hak rakyat diselenggarakan.Negara memiliki kewenangan dan otoritas untuk melaksanakantugasnya. Hanya saja, peran negara merefleksikan andil negaraterhadap kelompok masyarakat yang pada saat itu berkuasa. Karenaitu, dapat dipertanyakan apakah sebenarnya orientasi negara?Apakah negara sebenarnya mencerminkan dan memperjuangkangolongan pemilik modal? Ataukah negara dijadikan sebagai arenakegiatan ekonomi dan karena itu peranan negara menjadi dominanterhadap rakyatnya? Karena itulah ada yang ingin mempertahankanperanan negara sebagai regulator sekaligus aktor dalam kegiatanekonomi.

Orientasi ini menjadi sumber berkembangnya peranan negarayang dominan. Seringkali, karena pembangunan ekonomi yangmembutuhkan kondisi yang stabil, negara cenderung untuk menekangejolak yang bersumber dari bawah.

Negara merupakan lembaga yang bertujuan menjaminpelaksanaan hak-hak bagi warganya. Kesejahteraan merupakan satuide terbentuknya negara. Struktur lembaga-lembaga negara, sepertieksekutif, legislatif dan yudikatif dibentuk, selain sebagai bentukdistribusi kekuasaan negara (trias politica) untuk menghindariotoriterianisme pemerintahan, juga dalam rangka mewujudkankesejahteraan yang abstrak menjadi konkrit, nyata, dapat dirasakanlangsung oleh rakyat. Pemerintah sebagai representasi keberadaannegara bertujuan dan bertugas meningkatkan kesejahteraan bagi

BAB IIIOTONOMI DAN PEMBERDAYAAN

MASYARAKAT

Page 68: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

62

para oknum atau masyarakat dalam arti yang seluas-luasnya. Petanidiberikan kesempatan untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dari hasil pertaniannya, pedagang diberi kesempatanmengangkut barang dari satu tempat ke tempat lain, kepada parausahawan diberikan peluang untuk mengembangkanperusahaannya, kepada para buruh dan tenaga kerja pada umumnyadijamin untuk mendapatkan upah yang layak, dan kepada pendudukpada umumnya dijamin tidak kekurangan sandang dan pangan, daripengangguran, dan hal-hal lain seperti epidemi penyakit(Prodjodikoro, 1981).

Dalam konsep modern, kesejahteraan yang dimaksuddirumuskan dalam konsep “freedom from fear and want”, dalam arti,masyarakat terbebas dari ketakutan dan bebas melaksanakankeinginannya. Dengan demikian parameter kesejahateraan dapatdiukur dengan tingkat kemampuan rakyat memenuhi danmengembangkan kebutuhan ekonominya.

Konsep pembangunan yang dijalankan pemerintah substansinyabertujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat sebagaimana yangdiamanatkan oleh Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Padamasa pemerintahan Orde Baru, pembangunan diimplementasikandibawah payung konsep trilogi pembangunan, yaitu stabilitas,pertumbuhan dan pemerataan. Berdasarkan konsep trilogi,pembangunan, titik tekan pembangunan diarahkan untuk menjaminberjalannya pengembangan pertumbuhan ekonomi. Hal ini didasaripada keyakinan bahwa pembangunan demokrasi di suatu negaraselaras dengan kemampuan ekonomi yang dimiliki masyarakat, dansegala macam bentuk yang berpotensi menjadi restriksi ataupenghalang bagi pembangunan ekonomi adalah hal yang harusdihindari. Dengan demikian, berdasarkan pemikiran tersebut stabilitaspolitik adalah qonditio sine quanon. Oleh karena itu, pemerintahanOrde Baru berupaya mengarahkan sumber daya yang ada kepadapenciptaan prakondisi bagi pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.

Dalam prosesnya, pembangunan menimbulkan permasalahanyang terkait dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat itusendiri. Terdapat konflik yang mengikuti laju pembangunan dan

Page 69: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

63

OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

disparitas sosial, di mana terdapat kelompok kecil masyarakat yangmenikmati hasil pembangunan secara berlimpah, namun di sisi lainbanyak kelompok masyarakat yang tidak dapat menikmati pembagiankue pembangunan. Hal itu terjadi, paling tidak dapat dijelaskan daritiga aspek. Pertama, pendekatan pembangunan yang bersifat top-down dan hirarkis. Kedua, kendala-kendala struktural. Ketiga,kebijakan pembangunan yang bersifat transisi, yang menyebabkansebagian masyarakat tidak atau sulit menikmati kesejahteraan.

Kesejahteraan, suatu kewajiban yang menjadi tanggung jawabnegara terhadap warganya seringkali terlupakan. Dalam konteksnegara-negara yang dibangun atas dasar negara kebajikan (wel-fare state), pemerintah memegang amanat untuk melaksanakantanggung jawab tersebut. Rakyat mewakilkan dirinya melalui lembagalegislatif untuk mengaspirasikan kepentingannya lewat proses politikdan menjadi sumber legitimasi bagi pelaksanaan kewajiban negara.Dalam hal ini, pemerintah memiliki tanggung jawab besar, sementaralegislatif memiliki fungsi kontrol terhadap pemerintah. Peran strategislegislatif sebagai katalisator dan mediator partisipasi rakyat seringkalitidak berjalan efektif. Fungsi kontrol terhadap berbagai kebijakanpemerintah seringkali lemah karena legislatif kerap terkooptasi olehpemerintah. Lemahnya fungsi kontrol legislatif berkaitan dengansistem yang dibangun, yaitu mekanisme pemilihan anggota legislatifmelalui partai politik. Kepentingan partai tidak terlepas dari usahaperebutan kekuasaan yang berarti didalamnya sarat dengan berbagaiakomodasi kepentingan. Seringkali, dalam proses memperolehkekuasaan, anggota legislatif mengalami kendala bahwa di sampingterdapat kepentingan rakyat, juga didominasi oleh kepentingan partai.Maka, dari sini dapat terlihat, bahwa saluran aspirasi rakyat tersumbatoleh karena mekanisme yang ada.

Lembaga yudikatif yang berfungsi sebagai alat negara sebagaipenegak hukum pun kerap kali mengalami kooptasi oleh negara.Fungsi-fungsi strategis lembaga ini diangkat oleh pemerintah.Mekanisme ini menghambat upaya-upaya penegakan hukum karenaproses penunjukkan anggota-anggota penegak hukum akan merasa‘berhutang budi’ atas pengangkatan mereka. Mekanisme inimelemahkan peran lembaga yudikatif sebagai penegak keadilan.

Page 70: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

64

Karena itulah, berbagai kasus hukum seringkali menguap begitu sajatatkala berhadapan dengan aparat pemerintahan. Sekali lagi, dalamhal kepastian hukum, hanya masyarakat kecil dengan kasus kecilyang akan terjerat oleh hukum, sementara berbagai kasus berat,seperti pelanggaran hak asasi manusia dan berbagai tindak pidanakorupsi merupakan kasus yang ‘tak tersentuh hukum’. Sekali lagi,pengabaian atas hak-hak warga dilakukan oleh negara, dan perannegara dalam melindungi rakyatnya menjadi bias.

Orientasi negara tercermin dari peran yang dimainkan olehnegara. Negara-negara yang berorientasi pada kesejahteraanrakyatnya akan tercermin dalam kebijakan-kebijakannya. Begitu pulakita dapat melihat kasus-kasus monopoli yang terjadi. Tampaknya,monopoli merupakan ciri esensial dari bagaimana negara mempunyaiandil yang tidak kecil terhadap bertumbuh suburnya praktek monopoli.Monopoli yang terjadi di suatu negara tidak dapat dipandang sebagaisuatu gejala yang timbul dari kekuatan peran ekonomi swasta.Monopoli timbul lebih karena didorong oleh kebijakan suatu negara.

Indonesia, dan berbagai negara Dunia Ketiga memiliki perananyang paling menonjol dalam hal mendorong laju perekonomian tidakterlepas dari faktor-faktor eksternal dan pengaruh internasional.Kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah dalam menyokongpertumbuhan ekonomi seringkali harus mengorbankan kepentinganrakyat banyak. Demi pembangunan seringkali pemerintah tidakmengindahkan hak rakyat. Berbagai fakta menunjukkan bahwa peranpemerintah dalam hal memberikan perlindungan dan hak warganyasangat minim. Pengukuran Human Poverty Index (Indeks KemiskinanManusia-HPI) yang didasarkan pada kondisi pendidikan, standarhidup layak, dan kondisi kesehatan penduduk di 95 kategori negara-negara berkembang, menunjukkan bahwa Indonesia mendudukiperingkat ke-35, setingkat di atas Sri Lanka dan jauh di bawahSingapura, Thailand dan Filipina.14 Kenyataan ini cukup membuktikanbahwa negara dalam hal ini kurang berperan dalam hal pembangunanmanusia, dan lebih menekankan pada pembangunan fisik yangkerapkali mengorbankan kesejahteraan manusia. Untuk itulah, fungsikontrol yang paling efektif harus datang dari berbagai kelompokmasyarakat yang secara independen memperjuangkan hak-haknya.

Page 71: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

65

OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

Lembaga-lembaga sipil yang independen yaitu pers, kelompokprofesional, kelompok swasta yang lembaga-lembaga nonpemerintah (NGO).

Berbagai gerakan kelompok yang tergabung dalam gerakanmasyarakat madani atau civil society merupakan katalisator rakyatsecara luas dalam meperjuangkan hak-haknya. Kelompok-kelompokini kerap memperjuangkan isu hak asasi manusia, kritik terhadapkebijakan pemerintah yang tidak pro-rakyat, dan melakukan berbagaiperlawanan terhadap represi negara terhadap masyarakat sipil. Padaprinsipnya, berbagai gerakan masyarakat sipil bertujuan untukmemberdayakan dan mengoptimalkan kemampuan dan daya kritismasyarakat secara umum agar masyarakat dapat berpartisipasi danmengkritisi berbagai kebijakan pemerintah agar menyentuhkepentingan masyarakat banyak.

B. Good Governance: Sistem Pemerintahan yangMengikutsertakan Rakyat

Isu good governance mulai memasuki dinamika politik danmenjadi perdebatan di kalangan akademisi tatkala pembangunandirasakan sangat manipulatif dan tidak berpihak pada kepentinganrakyat banyak. Pembangunan sangat bersifat elitis dan hanyamenguntungkan kelompok-kelompok dan orang-orang yang beradadi lingkaran pemerintahan. Pada akhirnya, rakyat lebih sering ter-pinggirkan dan menjadi korban pembangunan.

Proses pembangunan pada prinsipnya membutuhkan pe-ngawasan agar implementasinya sesuai dengan perencanaan sertatujuan dari pembangunan itu sendiri. Demokrasi, transparansi,akuntabilitas dan partisipasi merupakan prinsip yang harus diterapkandalam pemerintahan untuk menjamin pelaksanaan pembangunanyang adil dan menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Persoalanyang mengemuka di sini adalah warga yang partisipatif adalah wargayang terinformasi, peduli terhadap persoalan publik, dan memilikiempati terhadap sesama, serta memahami hak dan kewajibannyasebagai warga negara. Sementara itu, pemerintah diharapkan efektifdalam menggunakan sumber daya publik, menjalankan fungsi

Page 72: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

66

pelayanan, mampu menjamin pelaksanaan kepastian hukum danmemberi keamanan bagi warganya untuk melaksanakan hak-haknya.Pembangunan yang partisipatif dan melibatkan masyarakat secaraluas masih menjadi wacana. Kenyataan menunjukkan bahwa diNegara Dunia Ketiga kesadaran masyarakat masih sangat rendahakibat kurangnya akses informasi yang seringkali disebabkan olehkemiskinan. Sementara itu, pemerintah tidak menjalankan fungsinyasebagai penyelenggara mandat dari rakyat. Bahkan sebaliknya,pemerintah seringkali melakukan manipulasi demi kelompoknya. Dimasa depan, peran dan fungsi pemerintah harus sejalan denganmeningkatnya peran masyarakat warga dalam menentukan arahpembangunan. Perubahan di sisi pemerintah dan warga disebutperubahan dalam aspek governance.

Governance di sini diartikan sebagai mekanisme, praktek, dantata cara pemerintah dan warga mengatur sumber daya sertamemecahkan masalah-masalah publik. Dalam konsep governance,pemerintah hanya menjadi satu dari beberapa faktor dan tidak selalumenjadi faktor paling menentukan. Implikasinya, peran pemerintahsebagai pembangun maupun penyedia jasa pelayanan daninfrastruktur akan bergeser menjadi badan pendorong terciptanyalingkungan yang mampu memfasilitasi pihak lain di komunitas dansektor swasta untuk ikut aktif melakukan upaya tersebut. Governancemenuntut redefinisi peran negara, dan itu berarti adanya redefinisipula peran warga. Ada tuntutan yang lebih besar pada warga, antaralain untuk memonitor akuntabilitas pemerintah itu sendiri.

Secara terminologis, governance dimengerti sebagaikepemerintahan sehingga masih banyak yang beranggapan bahwagovernance adalah sinonim government. Interpretasi dari praktek-praktek governance selama ini memang lebih banyak mengacu padaperilaku dan kapasitas pemerintah, sehingga good governanceseolah-olah otomatis akan tercapai apabila ada good government.Berdasarkan sejarah, ketika istilah governance pertama kali diadopsioleh para praktisi di lembaga pembangunan internasional, konotasigovernance yang dipergunakan memang sangat sempit dan bersifatteknokratis di seputar kinerja pemerintah yang efektif; utamanya yangterkait dengan dengan manajemen publik dan korupsi. Oleh sebab

Page 73: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

67

OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

itu, banyak kegiatan atau program bantuan yang masuk dalamkategori governance tidak lebih dari bantuan teknis yang diarahkanuntuk meningkatkan kapasitas pemerintah dalam menjalankankebijakan publik dan mendorong adanya pemerintahan yang bersih(menghilangkan korupsi).

Sejatinya, konsep governance harus dipahami sebagai suatuproses, bukan struktur atau institusi. Governance juga menunjukkaninklusivitas. Kalau government dilihat sebagai “mereka” maka gov-ernance adalah “kita”. Menurut Leach & Percy (2001) Governmentmengandung pengertian seolah hanya politisi dan pemerintahlahyang mengatur, melakukan sesuatu, memberikan pelayanan,sementara sisa dari ‘kita’ adalah penerima yang pasif. Governancemeleburkan perbedaan antara “pemerintah” dan yang “diperintah”karena kita semua adalah bagian dari proses governance (Sumarto,2004). Ciri-ciri good governance adalah pemerintahan yangdidalamnya memasukkan unsur partisipasi masyarakat sipil yangsangat luas.

Good governance atau tata pemerintahan yang baik menurutdokumen Kebijakan UNDP adalah penggunaan wewenang ekonomi,politik dan administrasi guna mengelola urusan-urusan negara padasemua tingkat. Tata pemerintahan mencakup seluruh mekanisme,proses, dan lembaga-lembaga di mana warga dan kelompok-kelompok masyarakat mengutarakan kepentingan mereka,menggunakan hak hukum, memenuhi kewajiban dan menjembataniperbedaan-perbedaan di antara mereka.

Tata pemerintahan yang baik dapat diukur dari tercapainya suatupengaturan yang dapat diterima sektor publik, sektor swasta danmasyarakat sipil. Pengaturan sektor publik menyangkut ke-seimbangan kekuasaan antara eksekutif (presiden), legislatif (DPR)dan yudikatif (peradilan), serta pembagian kekuasaan antara pusatdan daerah. Sektor swasta mengelola kesepakatan bersamaberbagai kebijakan dan pengaturan hubungan antara perusahaanbesar-kecil, dalam negeri-luar negeri, MNC, koperasi dan sebagainya.Sementara masyarakat mengatur pola hubungan dan kesepakatanuntuk mengatur berbagai kelompok yang ada dalam masyarakat.

Page 74: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

68

Pada intinya, tata pemerintahan yang baik diatur atas dasar dialoguntuk mempersempit kesenjangan yang terjadi, dan menghindarigejolak yang timbul akibat prasangka atau penilaian atas dasarstereotipe.

Gambar 2. Skema Alur Partisipasi dan Peran Masyarakat Sipil

Sumber dan diolah dari: Harry Smith (1990)

Tata pemerintahan yang baik banyak mendapat tantangan dalamproses implementasinya. Idealnya, ketiga elemen negara yaitupemerintah, swasta dan masyarakat sipil berada pada posisi sejajardan berusaha melakukan kesepakatan-kesepakatan untuk mencapaikondisi terbaik dalam masyarakat. Tetapi, pada kenyataannya seringterjadi antara negara dan pasar yang diwakili oleh politisi danpengusaha melakukan kolusi dalam menentukan kebijakan yangcenderung berpihak kepada elit politik dan kapitalis, denganmengabaikan kepentingan rakyat. Untuk itulah, masyarakat sipildiharapkan dapat melakukan fungsi kontrol terhadap praktektersebut.

Page 75: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

69

OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

Praktek politik Indonesia sejak periode Demokrasi Terpimpinditandai dengan peran negara mulai ditingkatkan, dengan jalanmelumpuhkan partai politik dan mengurangi kekuasaan dan peranparlemen sebagai lembaga politik yang mewakili dan menyalurkanaspirasi masyarakat. Di masa Demokrasi Pancasila, kecenderunganitu dipertajam dengan mereduksi peran partai (termasuk Golkar)hanya sebagai pendukung dan pengabsah penguasa. Sementaraitu, kemandirian DPR diminimalkan dan kekuasaannya ditekan lewatpenghindaran voting, sebagai mekanisme kekuasaan anggota,komposisi yang didominasi pemerintah, prosedur yang menekankeleluasaan penggunaan haknya, dan meminimalkan kekuasaananggota dan fraksi untuk membuat keputusan dengan jalanmengaktifkan peran wakil pemerintah di dalam komisi dan panitiaDPR. Selain dari itu, lewat pelemahan masyarakat secara politisterjadi pula lewat kebijakan politis massa mengambang, yang didalampraktek politiknya bukan saja mematikan daya bargain Ormas kepadaOrpol, akan tetapi sekaligus memberikan peluang bagi pemerintahuntuk mengkooptasi Ormas (Sanit, 1998).

Otonomi daerah memberikan peluang yang lebih besar bagimasyarakat sipil untuk lebih berperan dalam menentukan kebijakanpublik. Tetapi, peran masyarakat sipil di Indonesia tidak dapatdilepaskan dari kemauan politik untuk memberikan ruang aspirasimasyarakat secara lebih luas. Dalam mendelegasikan kewenangan,pemerintah terkesan setengah hati dan masih belum rela untukmelepaskan previlege yang selama ini dinikmati. Beberapa kasusmenunjukkan hal tersebut, seperti kembalinya fungsi pengawasandan pembinaan dalam UU No. 32/2004 merefleksikan dominasi pusatterhadap daerah yang dapat mematikan inisiatif lokal. Implikasi dariundang-undang yang cenderung antidesentralisasi tersebutdikhawatirkan akan mereduksi kekuatan daerah yang mulai menguat,dan bersamaan dengan itu akan meredupkan kembali peranmasyarakat sipil. Tidak cukup sampai di situ, desa sebagai entitassosial budaya pun pada akhirnya menjadi entitas politik dimanalembaga-lembaga desa lebih dijadikan sebagai ‘corong’ pemerintahdaripada ‘corong’ yang menyuarakan kepentingan masyarakat desa.Akhirnya tata pemerintahan yang baik sangat bergantung pada

Page 76: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

70

upaya-upaya penguatan peran masyarakat sipil yang dilakukan olehlembaga-lembaga yang berkomitmen untuk memberdayakanmasyarakat sipil dengan lebih maksimal.

C. Pemberdayaan Masyarakat dan Kearifan LokalPemberdayaan masyarakat merupakan prasyarat utama dalam

mengimplementasikan desentralisasi dan otonomi daerah dimanapembangunan mulai tahap perencanaan hingga pengawasanmelibatkan partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakatmendorong proses demokratisasi berjalan dengan lancar denganprinsip dasar partisipasi, kontrol, transparansi dan akuntabilitas.Pemberdayaan masyarakat dalam deskripsi Arbi Sanit dimaksudkansebagai upaya untuk mentransformasikan segenap potensi per-tumbuhan masyarakat menjadi kekuatan nyata masyarakat, untukmelindungi dan memperjuangkan nilai-nilai dan kepentingan di dalamarena segenap aspek kehidupan. Sebagai basis dari kehidupanmasyarakat, maka penguatan ekonomi rakyat, di samping pe-matangan budaya dan pemantapan agama, adalah langkahmendasar untuk memberdayakan masyarakat. Pengembanganekonomi dan nilai itu berguna bagi kemandirian serta penguatanposisi bargain masyarakat untuk berhadapan dengan kekuatannegara (Sanit, 1998).

Secara fungsional, pemberdayaan masyarakat dimaksudkanpula sebagai upaya melegitimasi dan memperkokoh segala bentukgerakan masyarakat yang ada, mulai dari gerakan kesejahteraanmandiri masyarakat dengan ujung tombak LSM; berlanjut kepadagerakan protes masyarakat terhadap dominasi dan intervensibirokrasi negara, kesewenangan dunia industri, dan serba men-cakupnya globalisasi; dan sampai kepada gerakan moral yangbemaksud memberikan baju moral kepada kekuatan (force) telanjangyang menjadi andalan hubungan sosial dalam tiga dekade terakhir(Sanit, 1998). Demikian juga dengan berbagai gerakan mahasiswayang relatif konsisten dalam mengangkat isu-isu sentral dalam politikdan kerakyatan; militerisme, pelanggaran hak-hak sipil, dan dominasikekuasaan oleh elit.

Page 77: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

71

OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

Kearifan lokal merupakan suatu tatanan nilai dan menjadipedoman hidup yang dimiliki masing-masing kelompok masyarakat.Nilai-nilai tersebut memiliki karakteristik tersendiri, meskipun terdapatbeberapa kesamaan pola dalam keragaman tatanan antara kelompokmasyarakat yang satu dengan kelompok masyarakat lainnya. Di In-donesia pranata sosial seperti ini pernah dinilai menghalangipembangunan di masa rezim Orde Baru, karena keberagamancenderung menonjolkan berbedaan yang berpotensi menyulut konflik.Padahal, masyarakat selama berabad-abad berproses dengan nilai-nilai lokal yang menjadi pedoman hidup. Pengelolaan tanah, sistemirigasi, pengolahan hutan, pengolahan limbah, sistem gotong-royong,teknologi dan sebagainya.

Berbagai kasus pengingkaran negara terhadap nilai-nilai lokaldilegitimasi oleh ideologisasi Bhineka Tunggal Ika yang secarasederhana diartikan sebagai Berbeda-beda Tetapi Tetap Satu. Jar-gon tersebut bermakna lebih mendalam bagi kehidupan sosial-politikrakyat Indonesia secara keseluruhan. Hanya ada satu kultur dominanyang hidup dalam masyarakat, kultur yang lain diposisikan sebagaisub-kultur saja. Kultur dominan diambil dari nilai-nilai harmoni dalambudaya Jawa yang dikenal dengan Triple-S (Selaras, Serasi,Seimbang). Maka dari itulah, proses ideologisasi tersebut mereduksiberbagai kearifan lokal dengan pola penyeragaman khas Orde Baru.Segala bentuk nilai kultural dikerangkai oleh kultur yang kerap disebutsebagai ‘budaya nasional’.

Kearifan lokal secara sistematis disubrodinasikan pada ‘budayadominan’ atas dasar harmonisasi yang dipaksakan dari atas, dimanahal tersebut dapat dilihat dalam proses perubahan secara radikalpola pertanian yang dilaksanakan diawal pemerintahan rezim OrdeBaru yang dikenal dengan Revolusi Hijau di tahun 1960-an, sebagaiupaya swasembada beras. Revolusi Hijau merupakan sebuah sistempenyeragaman pola pertanian dengan ketentuan-ketentuan yangdiambil pada tingkat Pemerintah Pusat. Ketentuan tersebutmenyangkut masa tanam, jenis pupuk yang digunakan, penggunaanbibit, hingga pola penjualan yang dikoordinasikan oleh Bulog. Padasaat itu, tidak ada petani yang mampu menolak kebijakan politikpertanian nasional.

Page 78: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

72

Stigmatisasi ‘komunis’ di masa Orde Baru merupakan strategiyang dijalankan secara efektif untuk meredam penolakan-penolakanatas kooptasi ‘budaya dominan’ dari atas terhadap budaya/intitusilokal. Meski sebenarnya, pemberlakuan kebijakan Revolusi Hijaupada akhirnya lebih menguntungkan petani kaya, karena berbagaikebutuhan produksi pertanian diserahkan kepada sistem yangkapitalistik, sedangkan harga penjualan hasil sawah atau berasditentukan oleh negara. Terlebih lagi, sistem distribusi yangmengakomodir panen dalam jumlah melimpah seringkali tidak dapatdijalankan secara konsisten sehingga seringkali harga gabah ditingkat petani mengalami kemerosotan. Dalam situasi seperti inipetani kayalah yang mampu mengamankan panen, karena memilikisendiri atau setidaknya mampu menyewa teknologi yangmemungkinkan menyimpan hasil panen dalam jangka waktu cukuplama dari panen raya. Sedangkan petani miskin, lebih memilihmenjual hasil dengan harga murah, daripada tidak dapat menjualhasil panennya saat itu karena kebutuhan pemenuhan rumah tanggayang kian mendesak.

Petani sebelum masa diberlakukan Revolusi Hijau cenderunglebih baik, meskipun hidup petani di Asia Tenggara rata-rata beradapada tingkat subsisten. Tetapi, sistem penyeragaman pola pertanianlewat kebijakan Revolusi Hijau justru memporak-porandakan suatukearifan lokal yang di masa-masa sebelumnya menyelamatkan petanidari defisit besar-besaran, yaitu lumbung desa. Lumbung desa adalahsistem simpan pinjam khas pedesaan di mana petani dapat me-nyimpan hasil pertanian di kala musim panen raya, dan menggunakansimpanan tersebut pada musim paceklik dan masa tanam. Petanipun menanam jenis komoditi yang beragam, sehingga hampir tidakditemui panen yang melimpah di satu jenis komoditi sehinggamenyebabkan kemerosotan harga.

Kasus Revolusi Hijau ini menjadi pelajaran berharga bagaimanasatu kebijakan dapat menyebabkan ekses yang sangat besar bagikehidupan rakyat secara keseluruhan. Pada saat ini petani tidak lagimemiliki pilihan lain, selain meneruskan pola tanam yang telah ada,di samping tidak dapat melepaskan diri dari ketergantungan terhadapproduk penunjang pertanian yang diproduksi oleh pabrik. Ekses dari

Page 79: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

73

OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

semua ini adalah besarnya arus urbanisasi ke kota-kota besar karenapara buruh tani dan petani gurem dihadapkan pada kenyataan bahwahasil pertanian jauh dari mencukupi, sehingga mereka mencaripekerjaan ke kota. Tenaga kerja ini merupakan tenaga kerja yangtidak terampil dan berpendidikan rendah, sehingga migrasi yangdilakukan seringkali tanpa pertimbangan yang matang atau disebutjuga dengan urbanisasi prematur. Prinsip ‘safety first’ –lah yangmendorong mereka melakukan migrasi.

Kasus-kasus seperti ini banyak terjadi di Indonesia, di manakearifan lokal tidak diakomodasi oleh negara bahkan lembaga inicenderung untuk dihancurkan mengingat pemerintah pada masaOrde Baru lebih menekankan pada kesamaan (baca: keseragaman).Padahal, kearifan lokal menyediakan kekayaan yang tidak ternilai.Satu contoh, teknologi peragian terhadap komoditas kedelaimemberikan sumbangan gizi yang tidak terhingga besarnya. Hasilfermentasi kedelai yang lazim dikenal sebagai tempe, tahu dan oncommerupakan makanan kaya gizi dengan harga murah. Teknologipengeringan, pengasapan, pengasinan dan pemanisan merupakanteknologi pengawetan makanan yang dikenal dalam berbagai sukusecara turun-temurun, masih dipraktekkan hingga hari ini. Juga,sistem tebang-pilih yang dilakukan berbagai suku di nusantara untukmengendalikan ekosistem hutan dan pemberlakuan masa bera (masanon-aktif ladang dengan cara ditinggalkan selama minimal tujuh tahunagar lahan tersebut dapat subur kembali), ternyata dirusak oleh sistemHPH Hak Pengelolaan Hutan (HPH) yang mengeksploitasi hutantanpa dibarengi dengan konservasi hutan yang telah ditebangi.

Kearifan lokal atau local wisdom secara praktek merupakanupaya masyarakat untuk melestarikan sumber daya agar dapat terusdigunakan untuk menghidupi mereka dan menjaga keseimbanganlingkungan. Hanya saja, proses pembangunan yang bersifat top-down, telah mengecilkan peran dan fungsi nilai-nilai lokal melaluipenerapan berbagai peraturan yang bersumber dari pusat dan lebihmendahulukan kepentingan ‘nasional’, tanpa memperhatikankepentingan rakyat di tingkat bawah yang sebenarnya merupakanstakeholder utama dari kebijakan yang ada. Ekses jangka panjangyang sangat terasa dari marjinalisasi peran dan fungsi kearifan lokal

Page 80: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

74

dalam proses pembangunan adalah menurunnya daya kreatifitasmasyarakat dan jiwa kewirausahaan, karena masyarakat telahterbiasa pada pola “petunjuk dari atas’ atau top-down. Implikasimendasar dari situasi seperti ini adalah terciptanya mentalitas sub-ordinat, sehingga menjadi kendala budaya terhadap implementasiberbagai progam pemberdayaan masyarakat, karena masyarakatsendiri tidak lagi terbiasa dengan program-program yang bottom-up, yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat setempat.

D. Back to Nature: Bentuk Partisipasi Masyarakat SipilGerakan-gerakan massa yang sangat populer dalam upaya

membangun kesadaran masyarakat adalah Gerakan PelestarianLingkungan Hidup. Gerakan pelestarian disadari sebagai upayamelestarikan kehidupan manusia itu sendiri. Perusakan lingkunganyang kerap dilakukan seringkali berekses negatif terhadap hidupmanusia. Penggundulan hutan merupakan kasus perusakanlingkungan yang banyak terjadi di Indonesia dan menyebabkankerugian yang sangat besar seperti, kekeringan di musim kemarau,banjir serta tanah longsor di musim penghujan yang menelan korban,harta dan nyawa. Kasus lain yang dapat dijadikan contoh sebagaibentuk perusakan lingkungan adalah penggunaan produk penunjangpertanian yang artifisial dan transgenik. Dalam berbagai penelitian,terungkap fakta bahwa penggunaan produk penunjang pertanianyang artifisial dan transgenik dapat menyebabkan penyakit, yangdisebabkan oleh penggunaan kandungan bahan kimia dalam jumlahbesar dan massal.

Gerakan pelestarian lingkungan hidup biasanya dilakukan olehsekelompok masyarakat yang memiliki kepedulian terhadap isu-isupembangunan dan berbagai kebijakan pemerintah yang berpotensimerusak kelestarian alam sehingga merugikan masyarakat luas.Eskalasi gerakan pelestarian lingkungan hidup ini semakin besarskalanya tatkala berbagai perusahaan multinasional (Multi NationalCorporation/MNC’s) melakukan investasi besar-besaran di negaraDunia Ketiga dengan cara membangun pabrik yang kerapkalimengabaikan dampak negatifnya terhadap lingkungan.

Page 81: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

75

OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

Gerakan pro-lingkungan secara global dimotori oleh sebuahlembaga nirlaba seperti Greenpeace yang banyak mensponsori aksi-aksi penyelamatan lingkungan dan konservasi alam. Di tahun 1990-an, kelompok-kelompok semacam ini menghimbau masyarakat untukmeminimalkan penggunaan plastik yang menyebabkan polusi tanahkarena plastik merupakan bahan yang tidak dapat diurai sehinggamengganggu produktivitas tanah dan menghambat peresapan air.Aksi-aksi pro-lingkungan juga menyikapi berbagai aktivitas MNC’syang menginvestasikan modalnya di negara Dunia Ketiga danmengubah komoditas petani untuk menanam komoditas yangdibutuhkan MNC’s. Akhirnya, petani menjadi tergantung terhadapperusahaan dan meninggalkan tradisi keberagaman pola tanamkomoditi pertanian.

Kasus-kasus seperti itu banyak terdapat di negara-negara DuniaKetiga sebagai sasaran investasi para pengusaha fast food yangmelakukan ekspansi besar-besaran. Restoran-restoran tersebutmensyaratkan keseragaman rasa dan model penyajian bagi parapemegang lisensi. Untuk menjamin kesamaan kualitas, maka rata-rata bahan yang dipasok setidaknya harus disesuaikan dengankriteria pemilik lisensi. Untuk menjamin pasokan, maka dibangunlahpabrik-pabrik yang memproduksi bahan baku restoran cepat saji.

Persoalannya bukan hanya pada buruknya kondisi kerja pabrik-pabrik pemasok. Tetapi juga rendahnya upah buruh yang terjadi dinegara-negara miskin tempat investor menanamkan investasinya.Sebagai perbandingan, buruh pemetik strawberi di California, AmerikaSerikat mendapatkan upah sebesar US$ 5,5 per jam. Sedangkan untukpekerjaan yang sama, buruh di desa-desa di Mexico dan Guatemalahanya dibayar sekitar US$ 5 per minggu. Belum lagi kerusakanlingkungan yang disebabkan pembukaan hutan untuk mendirikanpabrik-pabrik tersebut di negara-negara Dunia Ketiga. Kondisi ini tidakdisadari oleh para buruh dan petani yang terlibat dalam sistem kapitalisglobal ini, tetapi beberapa kelompok masyarakat menyadari bahwaada yang harus dilakukan untuk menyelamatkan lingkungan. 15

Di negara-negara maju, fungsi kontrol masyarakat terhadappembangunan yang memiliki dampak terhadap lingkungan sangat

Page 82: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

76

kuat. Dalam publikasi Orgaization for Economic Cooperation andDevelopment (OECD) tentang “Public Participation and Environmen-tal Matters” dikemukakan tentang peran serta masyarakat sebagaiberikut:

Public participation can be seen as an essential means forincreasing environmental “as well as political awareness, for clari-fying the choice to be made, and for seeking social concensuson the balance to be sought between economic developmentand environmental concern. (Partisipasi masyarakat dapatdipandang sebagai sumbangan yang sangat esensial untukmeningkatkan kualitas lingkungan “sama pentingnya denganperingatan politis, untuk mengklarifikasikan keputusan yang akandiambil, dan untuk mencari konsensus sosial untukkeseimbangan antara pembangunan ekonomi dan kepentinganlingkungan) (Hagul, 1992).

Keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan pelestariankemampuan lingkungan merupakan prinsip yang sangat penting,maka hal tersebut dimasukkan dalam Undang-undang tentangLingkungan Hidup dengan istilah “pembangunan berwawasanlingkungan” sebagai “upaya sadar dan berencana dalammenggunakan dan mengelola sumber daya secara bijaksana dalampembangunan yang berkesinambungan untuk meningkatkan mutuhidup. Menurut Lothar Gundling, dasar-dasar bagi adanya peran sertatersebut adalah:

1) memberi informasi kepada pemerintah;

2) meningkatkan kesediaan masyarakat untuk menerimakeputusan;

3) membantu perlindungan hukum;

4) mendemokratisasikan pengambilan keputusan.

Di negara-negara maju yang telah memiliki critical mass ataumasyarakat yang kritis, berbagai bentuk peran serta telahdikembangkan. Di Belanda misalnya dikenal lembaga ‘inspraak’ yangmerupakan satu alat dalam melaksanakan fungsi-fungsi demokrasi.Inspraak merupakan teknik sosial, bukan tujuan dan tidak merupakan

Page 83: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

77

OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

substitusi dari keputusan-keputusan Dewan Perwakilan Rakyat.Inspraak tersebut mempunyai tiga unsur, yaitu:

1) dilaksanakan secara terorganisasi

2) diskusi dilakukan dengan lembaga eksekutif dan perencanadi mana terdapat hak berbicara (spreekrecht) dan kewajibanmendengarkan (luisterplicht);

3) hasil dari inspraak sampai batas yang wajar dapat mem-pengaruhi keputusan akhir dari pemerintah.

Inspraak dilakukan pada fase formulasi gagasan, perencanaandan penetapan suatu proyek. Di Kanada telah dikembangkan com-munity hearings, yang bersifat informal, di mana penduduk secarabebas dan terbuka dapat mengemukakan pendapat dan ke-risauannya. Di dalam community hearings ini tidak terdapatpendekatan ‘cross examination’ sebagaimana lazim digunakan dalampublic inquiries yang bersifat formal. Adanya suatu kombinasi antarakedua bentuk hearings (formal dan informal) merupakan sesuatuyang menguntungkan, karena dengan demikian diperoleh jumlahdan keanekaragaman informasi serta pendapat yang cukup luas.

Bentuk kontrol sosial yang sama dibentuk di Jerman dan dikenaldengan “planningcells” atau “citizen panels” yang merupakankelompok-kelompok yang bersifat temporer guna membicarakanbersama berbagai kegiatan dan dibentuk untuk kurun waktu 3 harisampai dengan 3 minggu. Teknik lain juga dikembangkan di AmerikaSerikat adalah apa yang disebut sebagai Citizen Review Boards. Didalam badan ini wewenang pengambilan keputusan didelegasikankepada wakil-wakil warga masyarakat yang dipilih atau diangkatdalam badan tersebut. Wewenang yang diberikan untuk meninjauberbagai alternatif rencana dan untuk memutuskan rencana manayang akan dilaksanakan. Bentuk pembangunan apa yang cocokuntuk masyarakat dalam rangka penyaluran peran tersebut,merupakan sesuatu yang perlu dipelajari dengan mempertimbangkanpola budaya, adat-istiadat, aspirasi, yang ada dalam masyarakat.Peran serta masyarakat nantinya akan diatur dalam peraturantersendiri.

Page 84: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

78

Bentuk partisipasi masyarakat sadar lingkungan ini dimiliki olehnegara-negara maju yang tingkat pendidikan penduduknya relatiftinggi. Masyarakat negara-negara Dunia Ketiga pada umumnyabelum memiliki daya kritis untuk mengklarifikasi bentuk pembangunanyang dibutuhkan dan model pembangunan yang sesuai dengan kulturmereka. Untuk itu, yang diperlukan adalah upaya membangunkesadaran agar masyarakat mampu mengoptimalkan kemampuan-nya untuk dapat mengembangkan diri, dan mengkritisi kebijakan yangdibuat pemerintah.

E. Penggalian Potensi Sosial Budaya dan Alam:Pemberdayaan dari Dalam

Berbicara mengenai masyarakat negara Dunia Ketiga, kaitannyadengan Indonesia dalam memperaktekan pembangunan berbasiswilayah di era otonomi daerah ini, maka akan segera terlihat ke-nyataan yang melingkupi masyarakat di negara tersebut; kemiskinandan keterbelakangan. Berbagai pendekatan banyak dilakukan untukmemetakan dan menganalisis asal mula hingga dampak kemiskinanbagi masa depan bangsa. Implikasi yang paling memprihatinkanadalah dampak terhadap manusianya sendiri dalam berkreasimemanfaatkan sumber daya yang ada. Betapa labil dan suramnyamasa depan orang-orang yang terjerat dalam kemiskinan.

Dalam banyak kasus, masyarakat pada umumnya telah memilikisistem pertahanan bagi kelangsungan hidup mereka. Pangan rakyatyang di masa sebelum diberlakukannya Revolusi Hijau danpenyeragaman pola tanam pertanian mengalami keberagaman.Bahan pangan pokok masyarakat tidak hanya beras, tetapi jugajagung, sagu dan umbi-umbian. Masyarakat Papua misalnya, telahmengenal ubi dan mengonsumsinya sejak jaman nenek moyang danmemahami jenis-jenis dan kegunaan umbi tersebut.

Ubi jalar merupakan komoditi yang tidak membutuhkanperawatan khusus dan sangat cocok untuk ditanam di daerah Papua.Pengetahuan masyarakat termasuk tinggi. Bagi anak-anak atau bayibiasanya diberikan jenis walelum karena teksturnya halus, tidakberserat dan mengandung betakaroten tinggi. Jenis halalekue dan

Page 85: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

79

OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

aragulek dikonsumsi oleh orang dewasa, dan untuk makanan ternak(babi) biasanya diberikan jenis musan, yang tidak bercita rasa dankulitnya tampak pecah-pecah.16 Di sini kearifan budaya lokal papuatidak begitu saja dapat digantikan oleh beras. Makanan-makanantradisional ini memiliki legenda, adat dan budaya.

Selain ubi jalar, sagu pun menjadi pangan khas masyarakatpapua. Di suku Asmat sagu dapat menjadi media perdamaian bagikelompok-kelompok yang bertikai. Pada umumnya, pertikaiandiselesaikan saat memanen sagu. Sagu memiliki keunggulan tidakhanya sebagai bahan pokok. Sagu juga berguna bagi bahan industrimodern seperti pembuatan kayu lapis, sohun, kerupuk, kue kering,jeli dan lain-lain. Di Jepang, pati sagu setelah dicampur dengan bahantertentu digunakan untuk bahan baku plastik daur ulang, lampukomputer, dan layar flat monitor TV. Sayangnya, di Indonesia tanamanpangan ini belum dioptimalkan penggunaan dan pengolahannya.Sebenarnya pernah ada perusahaan yang menginvestasikanmodalnya untuk mengelola sagu papua di tahun 1988. Namun,perusahaan tersebut bangkrut karena nilai jual tidak setara denganbiaya produksi. Sementara, untuk mengekspor sagu waktu itu harusmelalui izin yang berbelit-belit dan merugikan perusahaan itu sendiri.

Pola makan beras yang disosialisasikan pemerintah padakenyataannya telah merusak sejumlah ketahanan pangan nasional.Masyarakat Madura dan NTT yang mengonsumsi jagung,masyarakat Papua dan Maluku yang mengonsumsi sagu dan umbi-umbian telah beralih ke beras. Pola makan beras yang dicanangkansebagai ketahanan pangan nasional yang disosialisasikan pemerintahtelah menghilangkan pola makan makanan lokal. Hal ini terjadi karenaberangkat dari pemahaman yang keliru bahwa beras adalah makananorang modern. Mengonsumsi beras akan meningkatkan status sosial.Makanan lokal lain seperti ubi, sagu, pisang dan jagung adalahmakanan orang tertinggal.

Dalam kasus Papua, pandangan seperti ini ditunjang denganperilaku sejumlah pejabat dan orang asli Papua. Sebelum menjadipejabat atau orang terkenal, mereka mengonsumsi umbi-umbian dansagu, setelah menjadi pegawai negeri dan pejabat, pola hidup mereka

Page 86: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

80

berubah. Mereka lebih senang makan di restoran dan di warung-warungmakan dibandingkan menikmati makanan-makanan khas Papua.

Pada saat ini, hampir sebagian besar masyarakat Indonesiamenggantungkan kebutuhan pokoknya pada beras. Meskipun hargaberas semakin hari semakin tinggi, namun hampir tidak lagi ditemuikelompok masyarakat yang mengganti misalnya umbi, sagu ataujagung dalam makanan pokok sehari-hari. Kebiasaan ini berpengaruhterhadap kebijakan pangan yang lebih besar lagi, yaitu ke-tergantungan Indonesia pada impor beras untuk memenuhikebutuhan pangan nasional.

Sebenarnya, masih banyak lagi kearifan-kearifan budaya yanglayak digali untuk menangani kemiskinan yang membelenggumasyarakat. Keberagaman pangan hanyalah satu dari sekian banyakkearifan lokal yang patut dikembangkan.

Kemiskinan dan keterbelakangan merupakan sesuatu yangkompleks, tetapi untuk memahaminya dapat disederhanakan, denganmemperhatikan beberapa masalah pokoknya yaitu :

1) pendapatan yang rendah;2) adanya kesenjangan yang dalam antara yang kaya dengan

yang miskin, di mana masyarakat miskin adalah mayoritas;3) partisipasi masyarakat yang minim dalam usaha-usaha

pembangunan yang dilakukan pemerintah.4) keadaan yang demikian memiliki sebab yang kompleks,

namun jika disederhanakan akan tampak sebab-sebabpokok yaitu

5) kurangnya pengembangan sumberdaya alam;6) kurangnya pengembangan sumberdaya manusia;7) kurangnya lapangan kerja;8) adanya struktur masyarakat yang menghambat.

Sekarang permasalahannya, bagaimana upaya mengangkattaraf kehidupan masyarakat dan merealisasikan potensi yang ada.Perlu dipertimbangkan bagaimana strateginya, pendekatannya danterutama bagaimana pendidikan yang dapat memberikan sumbanganpositif terhadap upaya pemberdayaan masyarakat.

Page 87: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

81

OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

Pemahaman mengenai proses motivasi dan dinamika hidup yangmemungkinkan kaum miskin mempertahankan hidupnya merupakanhal penting untuk membangun masyarakat. Masyarakat sangattergantung pada fluktuasi pendapatan dan harga-harga bahan pokok.Kemampuan bertahan inilah yang merupakan modal masyarakat untukdapat dikembangkan dengan menggali potensi-potensi yang ada.

Tiap-tiap masyarakat hidup dalam lingkungan sosial budaya danalam yang berbeda. Masing-masing memiliki karakteristik yangdibangun berdasarkan social setting di mana masyarakat tersebutberada. Masyarakat pertanian tentu berbeda dengan masyarakatpesisir, demikian juga masyarakat perkotaan tentu tidak dapatdisamakan dengan masyarakat perdesaan. Membangun masyarakattentu tidak dapat dilepaskan dari social setting tersebut, artinya polapembangunan yang diterapkan terhadap masyarakat kota tidak dapatdisamakan dengan pembangunan yang diaplikasikan di desa.Kebutuhan dan sosiokultural kedua kelompok masyarakat tersebutsudah sangat berbeda. Satu hal yang pasti, tiap-tiap masyarakatmemiliki ‘basic needs’. Kebutuhan mendasar dari masyarakat inilahyang harus digali untuk dapat memberdayakan potensi-potensi yangada.

Pengalaman-pengalaman menunjukkan bahwa pelayanan-pelayanan dasar hanya dapat dimanfaatkan kalau hal itu terintegrasidengan apa yang disebut sebagai “Self Organization” dan “Self Man-agement” dari masyarakat yang bersangkutan. Makna dari keduakonsep tersebut adalah pengembangan potensi kepercayaan dankemampuan masyarakat itu sendiri untuk mengorganisasi diri sertamembangun sesuai dengan tujuan yang mereka kehendaki.17 Usahapengembangan tersebut harus berbasis pada pengembangankemampuan manajemen diri dan kelompok atau yang dikenal denganCommunity Base Management. Pemberdayaan ini memiliki artibahwa pembangunan dilakukan dari dalam (development from within)sebagai suatu proses yang bertujuan untuk meningkatkankemampuan masyarakat dan menguasai lingkungan sosial yangdisertai dengan meningkatnya taraf hidup mereka sebagai akibatdari penguasaan tersebut.

Page 88: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

82

Penekanan dalam pemberdayaan masyarakat meliputi beberapahal, pertama, adanya kemampuan menyeluruh dari masyarakatdalam mempengaruhi lingkungan mereka, dan hal ini dapat dicapaijika proses pengembangan masyarakat merupakan prosespengembangan kemandirian mereka. Kedua, peningkatanpendapatan sebagai akibat peningkatan kemampuan menguasailingkungan tidak terbatas pada kelompok masyarakat tertentu sajaatau kelompok masyarakat yang kuat, melainkan harus merata ditiap penduduk. Kedua faktor tersebut mengarah pada upayamenghindarkan penduduk perdesaan dari hambatan-hambatan dariluar yang mengurangi potensi mereka serta membatasi keikutsertaanmasyarakat dalam proses pengambilan keputusan setempat. Upayapemberdayaan ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas hidupmasyarakat secara individual dan keluarga. Dalam rangka inipendekatan yang paling efektif melalui kelompok, bukan secara in-dividual. Hal ini untuk menghindarkan individu yang berpotensibesaruntuk berkembang akan maju sendiri dan meninggalkananggota masyarakat lain.

Pemberdayaan masyarakat karenanya terkait secara eratdengan tiga hal pokok, yaitu kearifan lokal (local wisdom), institusidan individu. Ketiga komponen ini harus saling mendukung danmelengkapi. Apabila satu dari ketiganya timpang, makapemberdayaan sulit berhasil. Tujuan dari pemberdayaan masyarakatyaitu membangun individu yang mandiri dan kelompok yang solid,serasi dengan pendekatan dan penguatan kelompok, dan tidakterlepas dari social setting masyarakat yang akan diberdayakan.Untuk itulah nilai-nilai lokal menjadi pedoman dalam mengembangkankemampuan dan memaksimalkan potensi masyarakat. Berdasarkanhubungan ketiga komponen tersebut, maka skema pemberdayaanmasyarakat dapat diilustrasikan sebagai berikut.

Pemberdayaan masyarakat juga terkait dengan negara sebagaisistem yang lebih luas yang berfungsi menjamin kesejahteraanrakyatnya. Selain itu, struktur masyarakat Indonesia yang paternalistikmenempatkan tokoh masyarakat dalam posisi yang penting. Untukitu, keterlibatan tokoh masyarakat menjadi faktor yang cukupmenentukan dalam proses pemberdayaan.

Page 89: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

83

OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

Paradigma pemberdayaan masyarakat hingga saat ini masihdidominasi persepsi bahwa upaya peningkatan taraf hidupmasyarakat dilakukan dengan cara memberikan sejumlah danasebagai modal. Padahal, pendekatan tersebut tidak selalu tepat,karena masyarakat belum tentu membutuhkan dana. Ada yangmemiliki sumber daya alam yang melimpah, tetapi tidak mengetahuibagaimana mengelolanya. Ada pula masyarakat yang memilikikemampuan mengolah sumber daya alam yang mereka miliki, tetapitidak dapat mengakses pasar, jadi permasalahan memberdayakanmasyarakat tidak dapat disamakan, harus dilihat kasus per kasusdan wilayah per wilayah.

F. Masyarakat Sipil dalam Sistem Pemerintahan yang ManipulatifMasyarakat sipil (civil society) merupakan isu yang mengemuka

pada saat lembaga negara tidak berdaya mengelola aset dankepentingan publik dan banyak melakukan praktek manipulasi.Konsep masyarakat sipil satu diantaranya didasarkan pada analisisGramsci tentang kepentingan konfliktual dalam keberbedaan antaranegara dan masyarakat sipil. Masyarakat sipil berbeda dengannegara atau masyarakat politik, kewajiban negara ialah menjaminwarganya dalam mendapatkan hak-haknya. Sedangkan masyarakatsipil menjalankan fungsi kontrol atas peran negara tersebut.

Gambar 3. Skema Pemberdayaan Masyarakat

Page 90: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

84

Segala sesuatu yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara,secara ideal harus dikontrol oleh masyarakat sipil. Masyarakat iniadalah pemberi mandat kepada mereka yang duduk dalam lembaganegara untuk menyelenggarakan negara yang bertujuan membangunmasyarakat yang berkeadilan dan menjamin masyarakatmendapatkan hak-haknya. Pemerintah dalam sistem negara mod-ern secara ideal berfungsi sebagai penyeimbang berbagai kekuatanyang ada dalam negara dan mengatur rakyatnya agar masing-masingdapat menjalankan kehidupannya dengan layak sebagai warganegara, atau dengan kata lain menjalankan peran sebagai “pelayanrakyat” karena rakyatlah pemberi mandat dan yang membayar untukbelanja aparat melalui pembayaran pajak.

Kenyataan yang terjadi seringkali sebaliknya. Pemerintah kerapmelakukan manipulasi sistem sehingga orientasi pembangunanbukan lagi berpijak pada asas keadilan dan pemerataan. Orientasipemerintahan lebih diarahkan pada kepentingan elit yang berkuasa,tidak lebih. Karenanya, upaya yang harus ditempuh adalah mem-perkuat peran masyarakat sipil dan revitalisasi sistem pemerintahanagar lebih mengikutsertakan rakyat dalam berbagai prosespengambilankeputusan.

Secara umum, pola pendekatan dari atas-ke bawah merupakantradisi yang dijalankan pemerintahan Orde Baru dalam rangkamendorong gerak roda pembangunan. Di satu sisi pola pendekatandari atas ke bawah memberikan keuntungan bagi pengambilkebijakan, memudahkan bagi pemerintah mengoordinasi,mengontrol, dan mengevaluasi tingkat keberhasilan pembangunanyang diterapkan. Sisi negatifnya adalah pola pendekatan pem-bangunan dari atas ke bawah menghendaki keseragaman(homogenitas) dan tidak menempatkan kemajemukan (pluralitas)merupakan fakta yang mesti diperhatikan, serta menempatkanmasyarakat menjadi obyek daripada subyek. Akibatnya masyarakatmenjadi pasif daripada partisipan aktif. Selajutnya, pola tersebut jugaberpengaruh terhadap pendekatan pembangunan pemberdayaanmasyarakat.

Page 91: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

85

OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

Pola pendekatan atas ke bawah menyebabkan ketidak-sinambungan antara keinginan pemerintah di sisi atas denganaspirasi masyarakat di sisi bawah. Pemerintah memiliki otoritas dansumber daya untuk memaksa dan sebaliknya masyarakat tidakmemiliki sarana dan fasilitas seperti yang dimiliki pemerintah untukmenyampaikan dan memaksakan keinginan terhadap pemerintah.Akibat hubungan yang tidak imbang ini, masyarakat menjadi pesertapasif dari pembangunan.

Lembaga legislatif yang berfungsi mengontrol pemerintah,mempunyai peran strategis sebagai mediator dan katalisatorpartisipasi masyarakat terhadap pemerintah. Legislatif menjadipenyambung suara rakyat dari bawah untuk disampaikan kepadapemerintah dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakanpembangunan. Efektifitas lembaga legislatif menyuarakan aspirasikepada pemerintah seringkali terhambat dikarenakan kooptasi baikyang bersumber dari lembaga eksekutif maupun partai politik.Mekanisme pemilihan anggota legislatif yang harus melalui partaipolitik, menjadi kendala tersendiri bagi anggota legislatif untuk secaraaktif menangkap dan menyuarakan aspirasi masyarakat. Anggotalegislatif dibatasi oleh kebijakan partai politik. Hal ini tentunyamenyebabkan dilema bagi anggota legislatif yang secara langsungmemperjuangkan aspirasi rakyat.

Indonesia merupakan negara dengan kekayaan alam yangmelimpah, tetapi pada kenyataannya Indonesia merupakan satu diantara negara berpenduduk miskin, lebih dari 30% dari totalpenduduk. Kemiskinan membuat masyarakat teralienasi dari prosespolitik, sehingga kelompok masyarakat ini sangat rentan terhadaphegemoni kekuasaan. Menurut Gramsci, hegemoni merupakandominasi baru dimana paksaan bukan lagi sebagai alat untukmelakukan kontrol sosial yang memadai; karena dengan hegemonimemungkinkan kelas buruh atau kelas yang tersubordinat lainnyadibuat memihak dan tunduk kepada sistem yang ada (Fakih, 1996).

Bagi Gramsci, hegemoni merupakan bentuk kontrol dankekuasaan yang sangat penting. Dengan demikian kekuasaanhegemonik lebih merupakan kekuasaan melalui “persetujuan”, yang

Page 92: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

86

mencakup beberapa jenis penerimaan intelektual atau emosionalatas tatanan sosial politik yang ada. Dalam hegemoni tidak ada lagipaksaan kekuasaan yang dalam hal ini dilakukan oleh negara yangpada umumnya sangat memihak kapitalis. Sebenarnya, konsephegemoni adalah bentuk kekuasaan dominan yang digunakan untukmembentuk kesadaran kelompok subordinat. Bagaimana hegemonibekerja dan bagaimana ideologi hegemonik dimasukkan ke dalamkesadaran masyarakat, merupakan hal yang sangat rumit. Hanyaada kelompok masyarakat yang dapat memahami dan dapat menolakhegemoni, yaitu kelompok masyarakat yang dinamakan masyarakatsipil (civil society).

Gerakan sosial yang digunakan oleh masyarakat sipil menurutGramsci dikategorikan sebagai gerakan masyarakat yangterorganisasi. Masyarakat sipil berbeda dengan negara ataumasyarakat politik. Masyarakat sipil adalah lingkup privat dari individu.Masyarakat sipil terdiri dari berbagai bentuk organisasi voluntir danmerupakan dunia politik utama, di mana semuanya berada dalamaktivitas ideologis dan intelektual yang dinamis maupun konstruksihegemoni. Selain itu, masyarakat sipil bagi Gramsci adalah konteksdi mana seseorang menjadi sadar, dan di mana seseorang pertamakali ikut serta dalam aksi politik. Dengan demikian, masyarakat sipiladalah suatu agregasi atau percampuran kepentingan, di manakepentingan sempit ditransformasikan menjadi pandangan yang lebihuniversal sebagai bentuk ideologi dan dipakai atau diubah, serta dimana aliansi dibentuk. Dalam konteks ini, bagi Gramsci masyarakatsipil adalah suatu dunia di mana rakyat membuat perubahan danmenciptakan sejarah.

Dengan konsep masyarakat sipil Gramsci, maka termasukdidalamnya adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atauOrganisasi Non-Pemerintah, kelompok-kelompok profesi dan pers.Kelompok-kelompok ini menyuarakan kepentingan rakyat yangtermanipulasi oleh sistem. Metode gerakan yang dilakukanbermacam-macam, LSM misalnya melakukan advokasi dan katalisasiisu dengan memberikan pendidikan alternatif bagi masyarakat yangdidampingi seperti masyarakat miskin kota, petani dan berbagai

Page 93: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

87

OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

kelompok masyarakat yang terpinggirkan dan termarjinalisasi dalampembangunan.

Pers melakukan tranformasi sosial melalui penyebaran informasikepada masyarakat melalui media massa. Kekuatan pers yangdisebut sebagai fourth estate atau kekuatan keempat setelaheksekutif, legislatif dan yudikatif melakukan tugasnya untukmembongkar berbagai kenyataan agar tidak dimanipulasi olehsistem. Kelompok profesional juga menyuarakan kepentingan rakyatdan bukan tunduk pada kepentingan hegemonik tertentu, tetapimengembangkan konsepsi dunia dan sistem hubungan manusia,ekonomi dan spiritual yang kompleks yang membentuk kehidupansosial global yang lebih beradab.

Gramsci menempatkan upaya memunculkan kesadaran kritissebagai unsur sentral dari konsep pendidikan dan strategi untukmencapai transformasi sosial dan perubahan. Dengan kata lain,upaya memunculkan kesadaran dianggap merupakan bagian pentingdari seluruh proses trasformasi sosial. Maka, penciptaan gerakankontra-hegemoni merupakan prakondisi bagi transformasi sosial. Dankelompok yang paling mungkin karena terlepas dari kooptasihegemoni dalam melakukan perlawanan terhadap sistem adalahmasyarakat sipil. Masyarakat sipil merupakan komponen penting bagikontrol terhadap kekuasaan agar pemerintahan dapat menjalankanfungsi dan tugasnya, yakni mensejahterakan rakyat.

G. Sistem Partisipatif dan Penguatan Peran Masyarakat SipilPartisipasi merupakan proses anggota masyarakat sebagai

individu maupun kelompok sosial dan organisasi, mengambil peranserta ikut mempengaruhi proses perencanaan, pelaksanaan danpemantauan kebijakan-kebijakan yang langsung mempengaruhikehidupan mereka (Sumarto, 2004).

Sistem partisipatif merupakan arah baru pembangunan yangberisi strategi memadukan pertumbuhan dengan pemerataan. Arahbaru pembangunan diwujudkan dalam bentuk (1) upaya pemihakandiwujudkan dalam pemihakan kepada yang lemah dan pem-berdayaan masyarakat; (2) pemantapan otonomi dan desentralisasi;

Page 94: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

88

dan (3) modernisasi melalui penajaman arah perubahan struktursosial ekonomi masyarakat.

Penguatan kelembagaan tersebut dilakukan melalui pem-bangunan yang partisipatif untuk mengembangkan kapasitasmasyarakat dan kemampuan aparat dalam menjalankan fungsilembaga pemerintahan yang berorientasi pada kepentingan rakyat(good governance). Prinsip pembangunan yang partisipatif yang kiniditerapkan sebagai manajemen pembangunan nasional pada tingkatimplementatif telah mengembangkan suatu model pembangunanyang berbasis pada rakyat. Mekanisme ini mencakup perencanaanpembangunan, yaitu melalui mekanisme perencanaan alir bawah(bottom-up) yang kemudian dimanifestasikan dalam kebijakan ditingkat pemerintah daerah (Sumodiningrat, 1999).

Kebijakan pembangunan partisipatif ini bertujuan untuk me-nentukan arah dan bentuk pembangunan yang benar-benarmenyentuh kepentingan dan kebutuhan rakyat. Untuk itu dibutuhkankapasitas masyarakat yang memadai agar dapat memahamikepentingannya. Pembangunan partisipatif ini dapat terealisasiapabila baik pemerintah maupun masyarakat dapat memberikankontribusi terhadap pembangunan yang berdimensi kerakyatan.

Untuk merealisasikan partisipasi masyarakat dalam pembangunandiperlukan pemberdayaan masyarakat. Kebijakan ini penting untukdiambil mengingat selama lebih dari 30 tahun, masyarakat tidak terlibatsecara aktif dalam pembangunan. Masyarakat telah terbiasa denganperan pemerintah yang dominan dalam pembangunan sehinggamasyarakat pada saat ini mengalami kegagapan apabila harusmenentukan apa yang menjadi kepentingan mereka.

Kebijakan pemberdayaan dapat dipilah dalam tiga kelompok.Pertama, kebijakan yang secara tidak langsung mengarah padasasaran, tetapi memberikan dasar tercapainya suasana yangmendukung kegiatan sosial ekonomi rakyat. Kedua, kebijakan yangsecara langsung mengarah pada peningkatan kegiatan ekonomiproduktif kelompok sasaran tertentu. Ketiga, kebijakan khusus yangmenjangkau masyarakat miskin melalui upaya khusus.

Pembangunan partisipatif merupakan kebutuhan untuk

Page 95: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

89

OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

menjawab berbagai kompleksitas dan tuntutan masyarakat.Pemberdayaan bertujuan untuk memaksimalkan, menjadikansesuatu yang masih bersifat potensial menjadi nyata. Pemberdayaanterhadap masyarakat dapat dicapai dengan mengupayakanmasyarakat memiliki kemampuan untuk memaksimalkan potensipolitik, sosial, ekonomi dan kultural yang ada pada mereka menjadiriil ekonomi secara mandiri, sehingga mereka dapat memenuhikebutuhan hidup secara ekonomi dan sosial.

Program pertumbuhan ekonomi yang dijalankan di masa OrdeBru lebih dari 30 tahun disadari tidak dapat menyelesaikanpermasalahan ekonomi yang dihadapi masyarakat. Untuk itudiperlukan strategi yang memadukan antara pertumbuhan danpemerataan, yang didasarkan pada tiga arah: a) pemihakan danpemberdayaan masyarakat, b) pemantapan ekonomi danpendelegasian wewenang dan pengelolaan pembangunan di daerahdan peranserta masyarakat, c) modernisasi melalui penajaman danpemantapan arah perubahan struktur sosial ekonomi dan budayayang bersumber pada peran lokal.

Pembangunan ekonomi kerakyatan berbasis pada keikutsertaanatau keterlibatan seluruh komponen masyarakat dalampembangunan masa depan yang bersumber pada pemberdayaanmasyarakat. Untuk itulah peningkatan kapasitas masyarakat berartimengupayakan penguatan peran masyarakat sipil. Penguatan peranmasyarakat sipil merupakan keharusan karena pembangunanmanusia dalam pembangunan di Indonesia terutama sejak rezimOrde Baru tidak pernah menjadi indikator keberhasilanpembangunan. Padahal, pembangunan merupakan upayamemanifestasikan kemampuan manusia dalam menentukan yangterbaik bagi dirinya. Pembangunan lebih menyangkut pengembangandaya kreasi dan kepercayaan diri, serta kesungguhan partisipasimasyarakat.

H. Politisasi DesaHingar bingar otonomi daerah dan pelimpahan wewenang di

tingkat lokal hampir tidak mempengaruhi desa. Hingga saat ini desayang merupakan ‘benteng pertahanan terakhir’ masyarakat sipil

Page 96: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

90

masih menjadi sasaran kooptasi. Padahal, desa adalah entitas yangotonom yang dapat mengatur urusannya sendiri. Keberadaan desasebagai entitas sosial dan budaya, telah lebih dahulu ada sebelumnegara Indonesia terbentuk. Ikatan-ikatan di dalam komunitas terjalinmelalui mekanisme kekerabatan yang longgar. Pola-pola pertukaransosial yang resiprokal, seperti upacara adat, komunitas seni budaya,pekerjaan yang dilakukan bersama-sama (gotong-royong), memilikifungsi sebagai media komunikasi di antara anggota masyarakat desa.Komunikas yang intensif yang terbatas hanya dengan sesamaanggota masyarakat di dalam desa, membuat mereka menjadieksklusif dengan dunia luar. Selain itu pola produksi yang subsistendapat dipenuhi dan di antara mereka menempatkan kerjasamakomunitas sebagai hal yang utama dalam bersosialisasi. Dengankata lain, kehidupan desa sangatlah otonom dan memiliki tatanansosial budaya tersendiri. Interaksi in-group telah meniadakan atausetidaknya menekan rasa ketergantungan terhadap komunitas diluar desa. Ketiadaan rasa ketergantungan dengan komunitas luarmenyebabkan rendahnya rasa apresiasi terhadap komunitas desalain sehingga cenderung memandang penduduk luar desa secarastereotip.

Teknologi dan pola produksi berpengaruh terhadap interaksi desayang eksklusif. Sistem pengairan desa bersifat kolektif dimanapenduduk mengambil air dari sumber yang terpusat di suatu tempatuntuk kebutuhan sehari-hari. Di sumber air tersebutlah pendudukdesa saling berinteraksi. Mulai dari pembicaraan ringan seperti gosipdan pergunjingan, sampai masalah prinsip seperti perencanaan awalmusim tanam dan sebagainya. Tidak hanya sumber air, tetapi jugapola tanam dan proses pengolahan hasil tanam yang hampir secarakeseluruhan bersifat kolektif. Penduduk desa juga menikmatikesenian lokal yang tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapilebih dari itu, kesenian mengandung filosofi hubungan dan perekatyang memiliki daya magis bagi masyarakat desa.

Kolektifitas desa yang begitu kuat mulai goyah tatkala teknologimulai ditemukan. Air yang di masa sebelumnya diperoleh di sumberair yang terpusat atau pancuran saat ini dapat diambil sendiri di rumahmasing-masing dengan menggunakan pompa air. Menumbuk padi

Page 97: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

91

OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

dapat dilakukan dengan menggunakan mesin penggiling padiotomatis atau huller. Hiburan dapat diperoleh melalui radio atautelevisi. Eksklusifitas interaksi desa mendapat tekanan yang sangatbesar pada saat penduduk desa mulai melakukan migrasi denganalasan ekonomi. Saat itu kontak dengan pihak luar desa menjadilebih berpengaruh daripada hubungan di dalam desa. Bersamaandengan terbukanya hubungan masyarakat desa dengan komunitasdi luar desa, maka ekslusifitas desa pun semakin rendah.

Perkembangan desa selanjutnya lebih ditentukan oleh komunitasdi luar desa, yaitu negara. Dilihat dari sudut pandang kekuasaan, desadipahami sebagai suatu daerah kesatuan hukum dimana bertempattinggal suatu masyarakat, yang berkuasa (memiliki wewenang)mengadakan pemerintahan sendiri (Kartohadirejo, 1884; Wiradi, 1988).Pengertian ini sangat menekankan adanya otonomi untuk membanguntata kehidupan desa bagi kepentingan penduduk. Dalam pengertianini terdapat kesan yang kuat, bahwa kepentingan dan kebutuhanmasyarakat desa, hanya dapat diketahui dan disediakan olehmasyarakat desa, bukan oleh pihak luar (Suhartono dkk, 2000). Tetapi,pada kenyataannya pemerintah di masa Orde Baru meletakkan desabukan sebagai wilayah yang otonom yang tercantum dalam UU No.5/1979 yang menyatakan bahwa desa adalah:

“…suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagaikesatuan masyarakat termasuk didalamnya kesatuan masyarakathukum yang memiliki organisasi pemerintahan terendah langsungdi bawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganyasendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia…”.

Pada bagian lain, kebijakan pemerintahan desa menyebutkan:

“…bahwa sesuai dengan sifat negara kesatuan Republik Indo-nesia, maka kedudukan pemerintah Desa sejauh mungkindiseragamkan, dengan mengindahkan keragaman keadaan Desadan ketentuan adat istiadat yang masih berlaku untuk memperkuatpemerintahan desa agar mampu menggerakkan masyarakat dalampartisipasinya dalam pembangunan dan menyelenggarakanadministrasi desa yang makin meluas dan efektif…”.

Page 98: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

92

Desa dalam UU No. 5/1979 merupakan bentuk intervensi yangsangat besar dari pemerintah pusat. Dengan konsepsi desa tersebut,secara otomatis desa menjadi dua entitas yang saling bertolakbelakang. Di satu sisi desa sebagai entitas sosial budaya yang otonom,di sisi lain desa sekaligus sebagai entitas politik yang sangatterkooptasi. Yang lebih parah dari itu, pemerintah pusat dengansemena-mena mendesain desa dengan format desa yang berada diJawa, yang menghancurkan bentuk-bentuk desa yang sangat beragamseperti nagari di Sumatera Barat, dan sistem marga.

Kooptasi negara tidak hanya terbatas pada konsepsi desa yangsarat dengan uniformitas. Meskipun terdapat unsur lain dalampemerintahan desa seperti Lembaga Musyawarah Desa (LMD), akantetapi keberadaan lembaga ini menjadi formalitas belaka. Ketua LMDsangat bergantung pada figur Kepala Desa, maka biasanya KepalaDesa secara otomatis menjadi Ketua LMD dan Sekdes karenajabatannya, merangkap sebagai Sekretaris LMD. Rangkap jabatantersebut sangat lazim dilakukan dengan alasan keterbatasan sumberdaya manusia serta demi efektifitas dan efisiensi. Tidak perlu merekrutbanyak orang, yang penting program untuk desa diperbesar.Meskipun LKMD mengalami perubahan dalam hal keberagamamanelemen masyarakat yang masuk ke dalam struktur kepengurusan,tetapi perannya tetap lebih menyuarakan kepentingan pemerintahyang berada pada struktur diatasnya.

Bentuk baru lembaga perwakilan desa di masa desentralisasiadalah hadirnya BPD. BPD atau Badan Perwakilan Desa atau yangdisebut dengan nama lain berfungsi mengayomi adat istiadat,membuat peraturan desa, menampung dan menyalurkan aspirasimasyarakat, serta melakukan pengawasan terhadap penyeleng-garaan Pemerintahan Desa. Berdasarkan Permendagri No. 64/1999,disebutkan bahwa BPD sebagai Badan Perwakilan melaksanakandemokrasi berdasarkan Pancasila. BPD berkedudukan sejajar danmenjadi mitra Pemerintah Desa. BPD diprediksikan akan bernasibsama dengan lembaga-lembaga sebelumnya; elitis dan menjadicorong kepentingan pemerintah. Fungsi BPD yang lebih me-nyuarakan kepentingan pemerintah karena dari segi keanggotaanlembaga ini diisi oleh orang-orang yang berpredikat ‘pemuka

Page 99: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

93

OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

masyarakat’. Pemuka masyarakat, terlebih yang berasal dari desadengan tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap subsidipemerintah akan lebih berpihak pada pemberi subsidi daripadapemberi mandat. Terlebih lagi, masyarakat desa yang apatis karenaketidaktahuan akan menyetujui hampir setiap kebijakan dankesepakatan yang dikeluarkan, padahal belum tentu menguntungkanmasyarakat.

Satu hal yang ironis pada pelaksanaan otonomi daerah adalahkebijakan pemerintahan Megawati yang hendak mempegawai-negeri-sipilkan sekretaris desa (sekdes). Kebijakan ini tentunya akanmenimbulkan implikasi yang luas terhadap keberdayaan institusipemerintahan desa. Pertama, apabila pada masa Orde Baru, desasebagai entitas politik berada diluar struktur birokrasi, maka dengankebijakan pemerintah Megawati tersebut, struktur birokrasi pusat telahmasuk hingga ke tingkat desa. Dari aspek ini desentralisasi menjadikontraproduktif dan sistem pemerintahan menjadi lebih sentralistis.Kedua, akan terjadi konflik kewenangan antara sekretaris desa dankepala desa. Sekretaris desa merupakan representasi yang berfungsimelaksanakan instruksi dari atas, sementara kepala desa adalahaparat yang dipilih oleh langsung rakyat. Sekretaris desa sekalipuntidak dipilih oleh rakyat namun ia memiliki otoritas dalam menentukankebijakan dalam penggunaan anggaran desa yang diperbantukandari pemerintah. Tentunya hal ini akan memotong dan melemahkankewenangan kepala desa dalam mengelola pemerintahan desa.Dampaknya adalah kepala desa, pada akhirnya, hanya menjadi‘boneka’ legitimasi terhadap kebijakan-kebijakan yang dihasilkanpemerintah di atasnya. Desentralisasi idealnya menempatkan desalebih sebagai entitas sosial dan budaya daripada politik. Namun padakenyataannya, desentralisasi diterjemahkan oleh pusat denganmenempatkan desa sebagai entitas politik yang akan dapatdioperasikan sebagai instrumen kekuasaan.

I. Pemberdayaan Masyarakat: Capacity from Within,Pressure from Without

Dengan situasi yang sangat kompleks dan tingkat kooptasinegara yang tinggi, pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah

Page 100: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

94

mengalami berbagai tantangan yang besar. Political will yang kuatuntuk mengubah situasi ini sangat tergantung pada masyarakat danpemerintah selaku pembuat kebijakan. Mengandalkan pemerintahuntuk melakukan perubahan tentu hampir tidak mungkin dapatdilakukan karena pemerintahlah yang berkepentingan agar situasitetap berada pada kondisi status quo. Tetapi mengandalkan rakyatsekalipun kita harus mengingat segala keterbatasan yang ada padasebagian besar masyarakat Indonesia. Pada prinsipnya diperlukansinergi antara berbagai stakeholders, diantaranya peran lembagadonor, NGO dan CSO yang melakukan peran mediasi, katalisasi,fasilitasi dan advokasi, di samping masyarakat dan pemerintah. Bagimasyarakat perlu dorongan yang kuat berupa intervensi program-program penguatan dan pemberdayaan agar masyarakat dapatberpartisipasi secara maksimal dalam melakukan kontrol terhadapkebijakan pemerintah. Pemerintah sebagai regulator yang seringkalidengan sengaja membuat kebijakan politik yang cenderung berpihakpada beberapa kelompok saja harus dikontrol oleh berbagai lapisanmasyarakat. NGO, CSO dan lembaga donor dapat melakukan perantersebut melalui tekanan kepada pemerintah agar produk kebijakanyang dihasilkan menyentuh kepentingan rakyat.

Kondisi objektif masyarakat secara keseluruhan masih dapatdikatakan belum banyak mengalami perubahan, kecuali di beberapadaerah tertentu. Keterbatasan yang dialami masyarakat padaprinsipnya tidak terlepas dari daya jangkau terhadap akses ekonomi,pendidikan dan kesehatan. Ketiga aspek ini menjadi substansialsekaligus penentu dalam membangun masyarakat. Masyarakat yangterisolasi dari informasi akan tetap berada dalam keterbelakanganyang menghalangi perkembangan di masa mendatang. Demikianpula dengan masyarakat yang tidak mendapatkan akses kesehatanbiasanya adalah masyarakat yang rentan terhadap sedikit sajagoncangan ekonomi. Kelompok masyarakat marjinal ini menjaditanggung jawab pemerintah dan berhak atas penanganan khususagar mencapai kondisi tertentu sebagai persyaratan minimal untukdapat berkompetisi secara sehat. Tetapi kenyataannya, kelompokmasyarakat ini makin terpinggirkan dan tidak mendapatkan perhatianyang layak dari pemerintah.

Page 101: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

95

OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

Kasus busung lapar menghentak kesadaran kita bahwa begituparah pengabaian yang terjadi atas masyarakat yang seharusnyamendapat perhatian. Ironisnya lagi, Indonesia bukan tidak pernahmelakukan intervensi terhadap pemberantasan kemiskinan. Berbagaiprogram penanggulangan kemiskinan telah banyak dilaksanakantetapi pada kenyataannya tidak banyak membawa perubahan yangberarti. Padahal, dana yang dikeluarkan untuk program tersebutsangat besar jumlahnya. Hal ini terjadi karena penanggulangankemiskinan hanya diperlakukan sebagai proyek. Pola orientasi proyekini menyebabkan tingginya mis-use dan mistargetting program.

Program-program pemberdayaan masyarakat yang dilakukanpemerintah sehubungan dengan penanggulangan dampak krisisekonomi dimaksudkan untuk menggalang partisipasi masyarakatmulai dari tingkat desa hingga pemerintah pusat. Hanya saja di masaitu, baik pemerintah dan masyarakat belum terbiasa untuk mengelolaprogram dari tingkat perencanaan hingga monitoring secara bottom-up. Pemerintah mengalami kebingungan manakala masyarakatdiminta untuk terlibat, karena biasanya pemerintah daerah melakukanberbagai program dengan petunjuk dari pusat yang lazim disebutjuklak (petunjuk pelaksanaan) dan juknis (petunjuk teknis).

Gambar 4. Skema Peran NGO, CSO dan Donor dalamPemberdayaan Masyarakat

Sumber: Pheni Chalid, 2005

Page 102: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

96

Demikian pula dengan masyarakat, masyarakat yang tidakpernah terlibat dalam pembangunan selama ini merasa gagap tatkalaketerlibatannya menjadi syarat utama dalam pelaksanaan program.Karena itu, berbagai program JPS seperti misalnya ProgramPemberdayaan Masyarakat (PPM) cendrung difokuskan padapembangunan fisik, pengerasan jalan, pembangunan MCK,pembuatan bronjong tebing, perbaikan saluran pembuangan dansebagainya. Dan ironisnya, kualitas pembangunan tersebut seringkalitidak sesuai dengan bestek. Demikian pula dengan keterlibatanmasyarakat, partisipasi seringkali diartikan dengan mengambil tenagakerja dari masyarakat. Penyerapan tenaga kerja dari masyarakatseringkali tidak sesuai dengan kebutuhan, sehingga kualitas kerjamenjadi kurang memadai.

Kendala lain yang dialami dalam program pemberdayaan adalahpersepsi yang mengakar bahwa pemerintah memiliki kewenangandalam pelaksanaan pembangunan dan rakyat diposisikan sebagaipihak yang tidak mengerti dan diharapkan menerima begitu sajapembangunan yang dilaksanakan. Sementara itu, masyarakat padaumumnya berpendapat bahwa pemerintahlah yang harus mengurussegala kebutuhan masyarakat dengan cara melakukan pem-bangunan. Maka, partisipasi merupakan hal yang tidak lazim bagimasyarakat, bahkan dianggap merepotkan. Dengan kata lain,masyarakat menganggap, bahwa jika pemerintah akan melakukanpembangunan, sebaiknya pembangunan tersebut dilakukan tanpamerepotkan masyarakat. Persepsi seperti inilah yang seringkalimenjadi kendala terbesar dalam menumbuhkan partisipasi.

Hal yang sama juga dialami oleh LSM yang melakukan upaya-upaya pemberdayaan masyarakat dengan metode pendampingan.Upaya membangunan partisipasi dan kemandirian sangat banyakdilakukan oleh LSM. Berbagai pendekatan dilakukan. Istilah-istilahCommunity Base Economic Development atau PemberdayaanKomunitas Berbasis Pengembangan Ekonomi merupakan programyang paling banyak dilakukan karena dilandasi oleh pemahamanbahwa kemampuan ekonomi merupakan determinasi utama dalammengeluarkan masyarakat dari kemiskinan.

Page 103: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

97

OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

Pendekatan ini kemudian menjadi kurang menampakkan hasilkarena cara pandang yang digunakan kurang memperhituingkanaspek lain dalam membangun berusaha. Tidak semua masyarakatyang kekurangan secara ekonomi disebabkan karena ketiadaanmodal, tetapi lebih karena kekurang mampuan dalam manajemendan ketiadaan semangat enterpreneurship. Selain itu, masyarakatdampingan cenderung bergantung kepada LSM yang memfasilitasidan mendampingi mereka. Ketergantungan tersebut muncul karenatidak jarang LSM pendamping memberikan modal berupa modal kerjaseperti dana bergulir yang diperoleh dari Organisasi atau LSMInternasional.

Modal kerja seringkali tidak efektif karena tidak adanya rasamemiliki karena modal tersebut bukan modal kerja yang dikumpulkandengan susah payah. Karena modal tersebut diperoleh dari lembagayang menurut pendapat masyarakat diperuntukkan untuk membagikanuangnya kepada mereka. Maka, penggunaannya seringkali tidak efektifdan belum tentu dipergunakan untuk modal usahanya.

Karenanya, pada saat muncul kesadaran bahwa memaksimal-kan potensi lebih ditentukan oleh kelompok, maka munculpendekatan baru yaitu Community Base Organization (CBO) ataupengembangan komunitas berbasis organisasi. Artinya, pengaturanorganisasi yang baik, dan kesadaran terhadap pentingnya distribusikerja dalam komunitas menjadikan masyarakat dapat bekerjasamadalam hal perencanaan program. Karena itu, asumsi bahwa masya-rakat yang tidak berdaya belum tentu disebabkan oleh ketiadaanmodal mulai mendominasi kesadaran organisasi masyarakat sipil.Seringkali, kultur dunia usaha dan etos kerja serta kesadaran untukkeluar dari kemiskinanlah yang tidak dimiliki masyarakat sehinggaterdapat kelompok masyarakat yang tidak mampu keluar daribelenggu kemiskinan. Sebaliknya, mereka yang memiliki semangatusaha justru dapat memutus mata rantai kemiskinan, bahkan tanpabantuan dari siapapun.

Kendala yang dialami dalam melaksanakan program pember-dayaan masyarakat yang dilakukan oleh organisasi masyarakat sipilseringkali disebabkan oleh keterbatasan dalam kontinuitas sumber

Page 104: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

98

daya manusia. Menjadi aktivis di LSM menurut penilaian masyarakat,khususnya kalangan terdidik, tidak menjanjikan masa depan yangjelas dan mobilitas vertikal yang pasti. Karena itu, aktivitas di LSMmasih dipandang sebagai tugas kemanusiaan. Selain itu, LSM kerapmenjadi alternatif kalangan berpendidikan tinggi yang belummendapatkan pekerjaan, sehingga menjadi aktivis LSM pun tidakjarang dilakukan dengan setengah hati. Jika ada funding ataulembaga donor yang mendanai, maka ada program yang dijalankanoleh LSM tersebut. Tetapi, jika tidak ada donor, otomatis programpun terhenti karena aktivis LSM akan cenderung mencari LSM yangmemiliki program, atau setidaknya menunggu jika ada lembaga do-nor baru yang membiayai kegiatan. Inilah kendala terbesar yangdialami oleh LSM yaitu ketergantungan terhadap dana dari lembagadonor. Kendala lain yang dihadapi oleh LSM adalah jangka waktuprogram sehingga program pemberdayaan seringkali ditentukanberdasarkan jangka waktu pelaksanaan, daripada keberhasilan suatumasyarakat dalam menyerap program (Saragih, 1995).

Pemberdayaan dan partisipasi masyarakat dalam pembangunanmenjadi faktor penting terutama dalam mengarahkan pembangunanyang berkeadilan dan menyentuh kepentingan rakyat banyak. Tetapi,partisipasi masyarakat dalam pembangunan hingga saat ini masihbelum menunjukkan kemajuan yang memadai untuk merancang danmerencanakan pembangunan, melaksanakan dan memonitor hasil-hasil pembangunan. Untuk itu, gerakan masyarakat sipil masih harusterus melakukan revitalisasi gerakan. Dengan kata lain, masyarakatsipil hendaklah menjadi pelindung yang kuat terhadap dominasinegara atau penyeimbang kehendak negara agar tujuan-tujuanpembangunan dapat terus diarahkan pada upaya penghapusankemiskinan, mencapai keadilan yang seluas-luasnya dan upayapenyelamatan lingkungan dalam proses pembangunan.

Pemerintahan yang terlanjur kooptatif dan sarat dengankepentingan politik tertentu dan di sisi lain didapati masyarakat yangapatis dan tidak partisipatif membutuhkan perlakuan yang berbeda.Pemberdayaan dan peningkatan kapasitas menjadi agenda yangmendesak untuk dilakukan mengingat keterlibatan masyarakat

Page 105: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

99

OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

daerah dalam pembangunan sangat penting. Persoalan masyarakatlokal menjadi pertimbangan utama dalam menetukan kebijakankebijakan di daerah. Dengan cara ini demokrasi lokal dan kesejah-teraan masyarakat di daerah yang menjadi cita-cita desentralisasidan otonomi daerah akan dapat diwujudkan.

Sementara itu, pemerintah harus didorong oleh organisasi nonbirokrasi dari luar untuk menghasilkan regulasi-regulasi yang pro-rakyat. Peran strategis inilah yang seharusnya diambil oleh lembagadonor, NGO, CSO dan lembaga mediasi dalam implementasidesentralisasi dan otonomi daerah. Pemberdayaan masyarakatmerupakan isu nasional untuk mewujudkan tata pemerintahan yangbaik. Selayaknya intervensi bagi pemberdayaan masyarakat menjadiprioritas bagi lembaga mediasi yang melakukan kerjasama denganNGO dan CSO. Penguatan peran masyarakat sipil akan menjadipenentu apakah otonomi daerah akan mengalami kemajuan, stag-nan, atau malah mundur. Dengan kata lain harus ada institusi mediasiyang membangkitkan potensi dari dalam dan melakukan tekanandari luar sistim, Capacity from Within, Pressure from Without.

Page 106: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

100

Catatan:

14 Harian Kompas, 6 November 2004.15 Kecelakaan kerja sangat sering terjadi di industri pemasok fast food karena penggunaan pisau yang

sangat tajam. Setiap tahun, diperkirakan satu dari tiga pekerja pengepakan daging dari sekitar 43.000pekerja laki-laki dan perempuan cedera di tempat kerja, dan menderita sakit akibat pekerjaan di pabrik.Ratusan kasus kecelakaan kerja dan sakit yang disebabkan kondisi kerja tidak sepenuhnya terakomodasi.Eric Schlosser, Fast Food Nation; What The All-American Meal Is Doing to the World,(London: Allen LaneThe Penguin, Press, 2001), hal. 172.

16 Harian Kompas, 24 November 2004.17 Peter Hagul, op.cit., hal. 10.

Page 107: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

101

OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

Setiap perubahan tentu akan membawa pergeseran atau apayang disebut dengan transisi. Sebuah perubahan adakalanyaberdampak positif membawa kemajuan dalam masyarakat

atau sebaliknya sebuah perubahan berdampak negatif, menarikmasyarakat ke dalam kondisi yang lebih buruk. Penerapan otonomidaerah yang mendesentralisasi kewenangan kekuasaan, telahmembawa perubahan yang besar dalam sistem sosial-politik di tingkatlokal. Otonomi dinilai sebagai jalan keluar bagi ketidakadilanpembangunan yang dialami daerah akibat sistem pemerintahan yangsentralistis yang hampir selalu mengutamakan kepentingan elite dipusat dalam pengambilan kebijakan.

Apapun perubahan yang dilakukan akan selalu bersifat bersifattentatif yang melahirkan berbagai kemungkinan perubahan. Otonomidaerah mulai dilaksanakan pada saat kentalnya semangat sentralistikdikalangan birokrat Orde Baru dan hampir di semua instansi mengacupada kekuasaan pusat. Maka tidaklah heran, jika pelaksanaanotonomi daerah mengundang banyak pertanyaan skeptis. Apakahdesentralisasi yang merupakan bagian dari proses demokratisasi ditingkat lokal akan berjalan produktif bagi kesejahteraan masyarakatdalam masa transisi ini? Sejauhmana transisi dapat dianggap telahselesai? Hal ini berarti bahwa apakah demokrasi di tingkat lokal telahterkonsolidasi dengan baik di masa otonomi daerah? Apakah otonomiakan dapat menjadi problem solving bagi permalahan sosial, politikdan ekonomi di daerah atau sebaliknya, akan mengundang konfliklebih tajam dalam masyarakat?

Demokrasi bertujuan menciptakan tertib sosial dan politik dalammasyarakat. Demokrasi membuka peluang adanya perbedaanpendapat untuk mencapai sebuah konsensus. Pengelolaanperbedaan menjadi sebuah konsensus tergantung kepada

BAB IVOTONOMI DAN KONFLIK

Page 108: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

102

kematangan masyarakat mengapresiasi perbedaan pendapat. Dalammasyarakat yang memiliki kultur homogen perbedaan akan mudahdikelola dan dicarikan pemecahannya, sehingga tecipta sebuahkonsensus. Adapun dalam masyarakat yang memiliki kulturheterogen, sebuah konsensus akan relatif sulit untuk dicapai, karenaberbagai macam latar belakang kultur, sosial dan politik mewarnaikepentingan-kepentingan yang muncul ke permukaan. Karena itu,apabila otonomi daerah dilihat sebagai proses demokratisasi, makaia seharusnya dapat dijadikan sebagai wahana bagi pengelolaankonflik yang ada, seperti konflik vertikal antara pusat dan daerah,antara rakyat dengan negara, atau konflik horisontal antar kelompokdalam masyarakat.

Menarik untuk dikemukakan disini tulisan Ivan A Hadar dalamartikelnya, ‘Demokratisasi Lewat Konflik(?)’, Kompas 20 Agustus2001. Ia menulis bahwa konflik merupakan indikator penting untukmengenali keniscayaan guna melakukan perombakan hubunganantar individu dan komunitas serta perubahan permanen kebutuhanpara aktornya. Dalam konteks ini konflik bekerja sebagai prosesintegratif bagi pembentukan masyarakat. Yang menyebabkan konflikberkembang destruktif bukanlah bersumber dari konflik itu sendiri,tetapi bentuk pengejawantahannya, dan seringkali carapenyelesaiannya. Ketika konflik semata-mata ditujukan untuk‘kemenangan’ (demi pembenaran dan mempertahankan kekuasaan),maka segala cara dihalalkan untuk mencapai tujuan.

Konflik akan selalu muncul dan akan selalu dapat ditemukandalam semua level kehidupan masyarakat. Dalam interaksi, semuapihak bersinggungan dan sering malahirkan konflik. Belajar darikonflik yang kemudian disadari menghasilkan kerugian para pihakakan memunculkan inisiatif meminimalisir kerugian itu. Caranyaadalah mengupayakan damai untuk kembali hidup bersama. Dalamkonteks demikian, konflik didefinisikan bukan dari aspek para pelakukonflik, tetapi merupakan sesuatu yang given dalam interaksi sosial.Malahan konflik menjadi motor pergaulan yang selalu melahirkandinamika dalam masyarakat.

Bab ini akan membahas konflik konflik yang terjadi dalam otonomidaerah; Konflik potensial dan teraktualisasi. Sebelum memasuki

Page 109: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

103

OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

pembahasan mengenai bentuk-bentuk konflik dalam otonomi, akandibahas secara singkat mengenai kerangka teori konflik sertapemahaman konflik dalam otonomi daerah. Masalah konflik dalamotonomi daerah yang dikemukakan dalam tulisan ini banyak merujukkepada setting sosial pada saat diberlakukannya UU 22/1999.Meskipun juga disadari bahwa UU 32/2004 juga telah melahirkananeka konflik, terutama yang berkaitan dengan pemilihan,pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah.

A. Konflik: Kerangka TeoriKemunculan konflik tidak dapat dinafikan dan tidak dapat dihindari

dalam kehidupan sosial, apalagi kehidupan politik yang memangselalu bertaburan konflik. Konflik sangat potensial untuk men-dinamisasi setiap bentuk interaksi. Ia merupakan kenyataan sosialdi berbagai tingkatan struktur, hingga pada tingkatan yang sangatmikro yaitu antar pribadi.

Dikenal beberapa pendekatan teoritis untuk menjelaskan konfliksebagai kenyataan sosial. Diantaranya pendekatan ketimpangandalam dunia ekonomi yang menjelaskan bahwa munculnya konflikdikarenakan ketidakseimbangan antara permintaan dan ketersediaanyang menciptakan kelangkaan. Sementara disisi lain, individu bersifatindividualis, mementingkan diri sendiri untuk mendapatkan surplusyang ada. Adanya kesamaan antara individu membuka peluangterjadinya perebutan pada satu komoditi dan sebaliknya jugamembuka kerjasama di antara para pelaku.

Damai dengan yang lain menjadi hal yang esensial dalammencapai kepentingan dan keuntungan individu. Dalam konteks ini,sosiolog Gerhard Lenski (1966) mengemukakan teorinya bahwaindividu akan bekerjasama dengan sesamanya untuk mendapatkankeuntungan jangka panjang, manakala kondisi memungkan. Namun,apabila kondisi tidak memungkinkan, maka akan muncul konflik. Selainitu, menurut teori kelangkaan yang merupakan deviasi dari pemikiranMichael Harner (1970), Morton Fried (1967) dan Lesser Blumberg(1978), bahwa tekanan penduduk dan kelangkaan lahan untukproduksi akan menyebabkan konflik, karena tekanan pendudukmenyebabkan perbedaan ekses terhadap sumber daya ekonomi.

Page 110: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

104

Dari paparan teoritis di atas terlihat bahwa faktor ekonomi menjadifokus analisis yang dipakai untuk menjelaskan kemunculan konfliksebagai realitas sosial. Hal ini sejalan dengan perspektif teoritis yangdikembangkan oleh Marx yang didasarkan atas sistem kepemilikandan kelas untuk menjelaskan adanya perbedaan struktur sosial atas-bawah yang menyebabkan pertentangan dalam masyarakat. Atasdasar itu, maka Marx kemudian membuat dikotomi antara kelasborjuis dan kelas proletar.

Perbedaan akses terhadap sumber daya ekonomi, sebandinglurus dengan penguasaan terhadap sumber daya politik. Penguasaansumberdaya ekonomi oleh kelompok kecil telah menciptakan strukturkekuasaan yang oleh Marx disebut sebagai struktur kekuasaankapitalis1, yang bekerja secara sistematis untuk melayani kepentingankelas status quo. Dengan perspektif ini, maka kita dapat mem-pertanyakan fungsi negara sebagai entitas pengelola kekuasaanpolitik. Para ahli teori kritis menilai bahwa negara tidak lain sebagaialat dominasi kelas kapitalis yang berfungsi menciptakan danmemanipulasi simbol-simbol politik sehingga menjadi sistem budayadan pandangan hidup pada umumnya. Dengan demikian negaramewakili dan melestarikan kepentingan pemilik modal daripadamembela kepentingan rakyat kelas bawah.

Konflik sebagai kenyataan sosial dapat dikelompokkan ke dalamkategori sifat, motif dan bentuk. Berdasarkan sifatnya, konflik bersifatlaten dan manifes. Berdasarkan motifnya, konflik terbagi ke dalamdua kategori rasional dan emosional. Berdasarkan bentuknya, konflikdibedakan menjadi vertikal dan horisontal. Berikut ini ilustrasi ringkasterhadap aneka konflik itu.

Konflik selalu melibatkan dua pihak yang berlawanan, baik antarpribadi atau antar kelompok atau antar entitas sosial yang lebih luas.Adakalanya, di satu waktu konflik melibatkan dua pihak yang memilikiposisi berimbang, dan di lain waktu pihak-pihak yang berkonflikberada dalam posisi yang tidak berimbang. Konflik menjadi latenketika pertentangan dan ketegangan diantara pelaku konflik samardan tidak jelas, namun telah ada dalam diri pelaku konflik, sepertipenialian negatif terhadap pihak lain.

Penilaian negatif terbentuk adakalanya dikonstruksi melalui

Page 111: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

105

OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

proses budaya, sehingga menciptakan penilaian stereotip. Sepertipeniliaian stereotip satu etnis tehadap etnis lain. Selain itu, ketikapihak yang merasa tertindas tidak dapat mengungkapkan protes danperlawanan, karena berada pada posisi tawar yang rendah, baiksecara kultural maupun struktural, maka konflik berlangsung secaralaten. Konflik laten terjadi secara tidak nyata, namun ia tidakterselesaikan, sehingga seolah menjadi bom waktu yang tinggalmenunggu waktu untuk meledak.

Konflik yang terjadi dalam bentuk manifes dapat terjadi secaraspontan. Sebagai contoh tawuran antara pendukung klub sepakbolayang berbeda, terjadi secara spontan dan akan selesai dalam jangkawaktu saat itu pula. Namun tidak semua konflik manifes terjadi secaraspontan. Konflik berkembang menjadi manifes, sebelumnya didahuluioleh penilaian stereotip dan adanya ketidakseimbangan dalammasyarakat, seperti perlakuan tidak adil, ketimpangan sosial, politikdan ekonomi.

Konflik yang dipicu oleh adanya ketidakseimbangan secarasosial, politik dan ekonomi mengandung perhitungan-perhitunganyang rasional, untung-rugi, menuntut adanya keadilan distributif. Olehkarena itu langkah-langkah penyelesaian yang dilakukan melaluiperhitungan-perhitungan rasional. Contoh sederhana sebagai ilustrasikonflik yang rasional adalah pertentangan mengenai perebutan lahanusaha. Maka hal tersebut dapat diselesaikan melalui langkah-langkahkompromi antara dua pihak yang bertikai dengan membagi lahanusaha menurut proporsi yang disepakati. Namun akan menjadipersoalan yang krusial, apabila diwarnai oleh kontruksi budaya yangmengakibatkan satu pihak merasa lebih baik dan pihak lain lebihburuk. Agama atau etnis merupakan faktor pemicu konflik dalamkategori budaya yang melibatkan ikatan-ikatan sentimental antaranggota masyarakat.

Berdasarkan perspektif utilitirianisme, individu selalu memper-timbangkan aspek kepentingan pribadinya dalam berhubungandengan sesamanya, oleh karena itu ia disebut rasional. Disadari atautidak disadari, dirinya selalu akan mempertimbangkan kemungkinankerjasama apabila mendatangkan keuntungan. Jadi, dapat dikatakanbahwa kepentingan adalah unsur penting dalam kehidupan sosial.

Page 112: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

106

Masalahnya, dalam kehidupan sosial selalu melibatkan kepentinganyang tidak tunggal. Ada berbagai macam kepentingan yangmemunculkan berbagai macam dorongan keinginan. Dapat sama,dapat juga berbeda. Ibarat mata uang, interaksi sosial antara individuatau kelompok, di satu sisi akan melahirkan kesepakatan yangbersifat fungsional. Di sisi lain, Interaksi sosial akan menciptakanketidaksepakatan dan konflik. Satu kelompok akan membelasekaligus mempertahankan kepentingan kelompoknya. Kondisi inipada akhirnya menciptakan konfik yang merupakan bagian daristruktur sosial (konflik struktural).

Seperti organisme, sistem sosial tidak selalu bekerja fungsional,seperti yang dikenal dalam perspektif Parson. Sistem sosial tidakselalu terintegrasi satu sama lainnya, sebaliknya akan mengalamikontradiksi-kontradiksi karena adanya perbedaan kepentingan.Adanya kerjasama dalam masyarakat tidak lantas menggambarkansebuah sistem sosial yang terintegrasi. Kontradiksi atau benturanyang terjadi dalam kehidupan sosial berdampak pada perubahansistem sosial, masing-masing pihak, individu atau kelompok, akanberupaya mencari jalan keluar dari konflik. Pada prinsipnya, dalamdiri masyarakat sesungguhnya telah memiliki potensi ataukemampuan untuk mengelola konflik menjadi suatu hal yang positifdan fungsional.

Dinamika kelompok adakalanya menghadapi ketidakseimbangandistribusi sumber daya. Ketidakseimbangan sumberdaya terjadiakibat dominasi politik satu kelompok yang kuat menutup jalan bagikelompok lain untuk mendapatkan akses terhadap sumberdaya yangmenjadi kepentingan bersama. Ketidakseimbangan tersebut dalamproses selanjutnya akan memicu munculnya konflik vertikal.Tumbuhnya kesadaran terhadap kepentingan akan mendorong sikapmempertanyakan sebab ketidakadilan dan mulai mengorganisir diriuntuk melakukan perlawanan tehadap keberadaan kelompokdominan, sebagai bentuk protes dan memuntuk pemenuhan hakkolektif. Apabila bobot dan esklasi konflik atas-bawah ini semakinbesar, maka hal tersebut akan dapat membawa perubahan strukturyang ada.

Dalam hidup bermasyarakat, konflik vertikal kerapkali dipakai

Page 113: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

107

OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

untuk menjelaskan konflik yang terjadi dalam interaksi antara negaradan rakyat. Negara sebagai entitas politik yang memiliki otoritas dankewenangan memaksa, tampil secara antagonis berhadap-hadapandengan rakyat yang berada dalam hegemoni politik negara. Konflikdalam kategori ini terjadi secara tidak berimbang dan kerapkali rakyatsebagai pihak yang dikalahkan atau disalahkan. Karena negaramemiliki semua sumberdaya dan perangkat yang memaksa rakyatmengakui kepentingan negara.

Terdapat tiga model penjelasan yang dapat dipakai untukmenganalisis kehadiran konflik dalam kehidupan masyarakat, pertamapenjelasan budaya, kedua, penjelasan ekonomi, ketiga penjelasanpolitik (Stewart, 2005).

Perspektif budaya menjelaskan bahwa konflik dalam masyarakatdiakibatkan oleh adanya perbedaan budaya dan suku. Dalam sejarah,konflik cenderung seringkali terjadi karena persoalan perbedaanbudaya yang melahirkan penilaian stereotip. Masing-masingkelompok budaya melihat sebagai anggota atau bagian dari budayayang sama dan melakukan pertarungan untuk mendapatkan otonomibudaya. Terdapat perdebatan tentang pendekatan primordialterhadap realitas konflik. Sebagian antropolog ada yang menerimadan sebagian menolak. Argumentasi kalangan yang menolakberalasan bahwa terdapat masalah serius bila hanya menekankanpenjelasan konflik dari aspek budaya semata. Pendekatan budayatidak memasukkan faktor-faktor penting dari aspek sosial danekonomi.

Dalam pandangan instrumentalis, pemakaian simbol budayamerupakan sarana yang efektif untuk menjalin ikatan untukmenyatukan kepentingan dan bertindak secara bersama-sama.Selain itu untuk tujuan politik, baik untuk melakukan mobilisasi massaatau memecah belah massa, mekanisme penggunaan simbolpriomordialisme telah terbukti cukup berhasil. Seperti biasa dilakukanpemerintahah kolonial Belanda. Dalam kerangka kontrol politik,mereka biasa melakukan politik pecah belah dengan menekankanpembedaan indentitas kesukuan.

Penjelasan konflik dari sisi ekonomi, Frances Stewart (2005)mengemukakan empat hipotesis. Hioptesis tersebut oleh Stewart

Page 114: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

108

dipakai untuk menganalisa sebab-sebab peperangan antar negara.Keempat hipotesis tersebut adalah, i) motivasi kelompok dankesenjangan horisontal; ii) motivasi perorangan; iii) Kontrak sosialyang gagal; iv) hipotesis perang hijau. Keempat hipotesis tersebutjuga dipakai oleh Stewart untuk menjelaskan dari sisi politik.

Banyak studi ekonomi dan politik untuk mempelajari akarmasalah konflik memperlihatkan bahwa motivasi kelompok dankesenjangan horisontal menyebabkan pertikaian antarkelompok.Satu sama lain ingin menunjukkan identintas budaya yang dimilikidan dimensi kesenjangan horisontal selalu melibatkan masalahsosial, politik dan ekonomi. Apabila hal tersebut tercampur dengankepentingan ekonomi dan politik, maka akan menyebabkan eskalasikonflik yang lebih besar disertai dengan tindak kekerasan. Dalamkonteks ini Cohen (1974) memberikan argumentasinya bahwa:

“….bukan karena ini saja mereka bertarung (baca: adat istiadat),Jika orang memang bertarung, di pihak lain, menurut garis suku,hampir selalu bahwa pertarungan itu untuk memperebutkan halyang mendasar, menyangkut distribusi kekuasaan danpenggunaan kekuasaan, apakah kekuasaan ekonomi,kekuasaan politik atau kedua-duanya.”

Konflik di satu sisi memang menimbulkan dampak destruktif. Disisi lain konflik juga dapat memberikan keuntungan bagi individuatau kelompok tertentu. Dalam konteks ini motivasi peroranganberperan cukup penting dalam menciptakan konflik. Konflik sengajadipakai untuk menaikkan posisi tawar yang dapat mendatangkankeuntungan ekonomi atau politik atau kedua-duanya. Istilah aktorintelektual, merujuk kepada konteks ini. Seperti konflik antar sukuyang dimotivasi menaikkan seseorang ke tampuk kekuasaan dalamstruktur pemerintahan. Terlepas pendekatan motivasi pribadi atauperorangan kurang dapat memberikan penjelasan yang memuaskantentang konflik, namun tidak bisa dinafikan motivasi peroranganberperan penting dalam konflik.

Konflik berarti pula sebagai bentuk kontrak sosial yang gagal,baik antara suku yang berbeda, atau antara rakyat dengan negara.Hipotesis Stewart tentang kontrak sosial bertolak dari pandanganbahwa stabilitas sosial secara implisit berangkat dari premis bahwa

Page 115: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

109

OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

terdapat kontrak sosial antara rakyat dengan pemerintah. Kontraksosial tersebut dapat dilihat penerimaan wewenang pemerintah olehrakyat sepanjang kewenangan tersebut dipakai untuk memberikanlayanan menciptakan kondisi ekonomi yang kondusif. Tekananpenduduk, seperti telah dikemukakan di atas, menyebabkankelangkaan sumberdaya dan kerusakan lingkungan, dan berdampakmenciptakan kemiskinan sebagi bentuk kesenjangan ekonomi danpolitik dalam masyarakat. Pendekatan hipotesis perang hijaumenjelaskan bahwa kekayaan dan kemiskinan mendorong oranguntuk bertikai untuk memperoleh kendali terhadap pemanfaatanlingkungan.

Bertolak dari empat hipotesis di atas, kemudian Stewartmemformulasikan resolusi konflik melalui mekanisme politik yanginklusif dan sistem sosial dan ekonomi yang inklusif. Politik inklusifbertujuan mengurangi dominasi politik satu kelompok dan men-distribusikannya kepada kelompok lain, dengan demikian membukapeluang partisipasi politik yang luas dari berbagai kelompok ataukalangan yang berbeda. Model politik inklusif telah diterapkan padapemerintahan di Afrika Selatan dalam kepemimpinan Mandela danChlili setelah kekuasaan Pinochet berakhir. Kemudian, bagaimanadengan Indonesia? apakah pasca kejatuhan Soeharto, naiknyasejumlah tokoh hingga Soesilo Bambang Yudhoyono yang dipilihsecara langsung merupakan manifestasi dari model politik inklusif?Demikian pula dengan implementasi desentralisasi dan otonomidaerah apakah merupakan bentuk politik inklusif, yang dapatmengurangi kesenjangan vertikal dan horisontal?

Model kedua resolusi konflik adalah implementasi sistem sosialdan ekonomi inklusif. Sama halnya dengan politik inklusif, model inibertujuan mengurang kesenjangan horisontal. Kebijakan sosial danekonomi inklusif mencakup sektor pemerintah dan sektor swasta.Dalam sektor pemerintahan, kebijakan yang dikeluarkan diarahkanuntuk mendistribusikan manfaat antarkelompok secara berimbangdalam hal bantuan dan pemberian layanan umum, seperti men-dapatkan kesempatan pendidikan yang sama, layanan kesehatan,air dan sanitasi lingkungan, perumahan dan subsidi konsumen.Dalam sektor swasta, diferensiasi pendapatan dan kesempatan kerja

Page 116: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

110

berpotensi menjadi sumber konflik. Selain itu dalam sektor ini,intervensi kekuasaan politik, meski tidak kentara, langsung atau tidaklangsung turut menciptakan diferensiasi kelompok.

Kebijakan untuk menghilangkan sumber kesenjangan dalamsektor swasta mencakup: (i) perubahan struktur kepemilikan tanah(land reform) yang dioperasionalisasikan sebagai pemecahan konfliksecara damai, dan (ii) mewujudkan kesempatan berimbang untukmemperoleh kekayaan dan lapangan kerja di bidang industri. Dalamhal ini perusahaan di sektor swasta memiliki kewajiban membukakesempatan kerja dan bank harus memberikan pinjaman yangmerata kepada semua kelompok di berbagai tingkatan. Untukmenghilangkan kesenjangan horisontal, pemerintah dapat melakukanresdistribusi kekayaan dengan cara membeli property danmembagikannya kepada kelompok-kelompok yang kurangberuntung. Dalam konteks ini, tampaknya Stewart dipengaruhi olehkonsep negara kesejahteraan (welfare state).

B. Pemahamam Konflik dalam Otonomi DaerahOtonomi daerah lahir atau kembali diterapkan kembali ke dalam

sistem kekuasaan di Indonesia adalah sebagai bentuk jalan keluaruntuk mendistribusikan rasa keadilan kepada daerah yang selamamasa Orde Baru diabaikan. Pada masa Orde Baru, otonomi daerahditetapkan melalui UU No. 57 Tahun 1974 yang menitikberatkan padadaerah tingkat II. Hanya saja, terlihat bahwa bentuk otonomi yangdijalankan lebih merupakan ‘sarana’ untuk memudahkan kontrol pusatterhadap daerah. Pemerintahan di tingkat daerah hanya merupakanrepresentasi pusat yang bersifat administratif, pelaksana kebijakanpusat dan tidak memiliki ruang untuk mengatur ‘diri sendiri’. Dalamhal hubungan antara negara dengan rakyat, birokrasi praktis menjadikendaraan yang efektif untuk melakukan managing people, mengaturseluruh kegiatan kehidupan bermasyarakat dan bernegara(Ndara,1986).

Melalui birokrasi masyarakat diatur dalam berbagai bentuk aturanyang kerap kali tidak sesuai dengan kebutuhan obyektif, lebihmerupakan kepentingan pusat. Masyarakat tidak diberikan ruangberpartisipasi mengatur apa yang mereka butuhkan dalam ber-

Page 117: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

111

OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

masyarakat dan bernegara. Masyarakat benar-benar diposisikansebagai obyek daripada sebagai subyek. Birokrasi telah kehilanganrasionalitasnya, yang mengharuskannya bersikap obyektif, netral,dan politik (Ndara, 1986).

Usaha Orde Baru melakukan birokratisasi dan politik korperatif,tidak lepas dari strategi pembangunan yang berorientasi padapertumbuhan ekonomi sehingga membutuhkan stabilitas politiksebagai prasyarat pencapaian target pertumbuhan ekonomi. Karenaitu, depolitisasi melalui perangkat birokrasi merupakan cara yangefektif untuk menciptakan iklim politik yang stabil. Korperatismenegara sendiri sebenarnya memiliki arti ideal sebagai upaya negaramembuat segmentasi masyarakat secara vertikal, mengungkungindividu dan kelompok dalam kerangka struktur yang ditetapkansecara legal yang mendapatkan legitimasi dan diintegrasikan olehsuatu pusat birokrasi yang tunggal (Kasiepo, 1987).

Proses birokratisasi dan politik korperatif dilaksanakan untukmemperlancar kebijakan-kebijakan yang telah dirumuskan olehteknokrat di tingkat pusat, sehingga dapat mengeliminasikemungkinan adanya resistensi dari dalam masyarakat. Pemerintahtidak ragu untuk menyingkirkan pihak-pihak yang tidak mendukungkebijakan pembangunan, dan pada waktu yang sama juga akanmerangkul pihak-pihak yang mendukung kebijakannya. Untukmendukung srategi politik represif dalam menangani resistensi darimasyarakat, pemerintah juga menggunakan instrumen militer. Haltersebut dapat dilihat dari pembentukan pos-pos militer hingga kedistrik terendah. Dengan demikian pemerintah dengan mudahmemantau dan cepat dapat menangkap gejala-gejala resistensi daridalam masyarakat.

Usaha pemerintah untuk menciptakan stabilisasi politik, jugadilakukan melalui strategi ideologis, dengan cara menanamkanpemahaman betapa pentingnya harmoni dalam masyarakat. Strategiideologi ‘harmoni’ dirumuskan oleh pemerintah ke dalam apa yangdisebut dengan tri “S”; Selaras, Seimbang dan Serasi. Ideologisasiharmoni oleh Orde Baru ini seolah mendapatkan pembenaran daridoktrin agama maupun budaya bahwa keharmonisan hidup dalambermasyarakat merupakan cita-cita luhur yang selalu ditekankan.

Page 118: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

112

Dalam ajaran Tuhan, manusia dituntut untuk patuh pada perintahNya,diwajibkan hidup selaras, serasi dan seimbang dengan manusialainnya serta dengan alam sekitarnya. Dalam kehidupanketatanegaraan di Indonesia, kehidupan sosial yang rukun, damai,aman, bahagia, sentosa mendapat legitimasi dari ideologi negara,Pancasila. Ideologi harmoni dipolitisasi oleh Orde Baru untukmelanggengkan kekuasaan. Akselerasi penerimaan ideologi harmonidalam masyarakat, dilakukan melalui berbagai strategi, mulai darimenutup pintu adanya perbedaan pendapat, hingga dengan caraindoktrinasi yang dilakukan secara sistematis melalui pola PenataranPendidikan Moral Pancasila (P4).

Pola kekuasaan yang sentralistis dan kebijakan yang bersifattop down, mengakibatkan ketidakseimbangan secara sosial, politikdan ekonomi di tengah masyarakat. Birokrasi menjadi mesin politikpenguasa. Para pejabat birokrasi berperilaku asal bapak senang(ABS), pasif, menunggu instruksi atasan dan mengabaikankepentingan umum. Masyarakatpun menjadi tidak dapat mandirimengelola dan menyelesaikan konflik yang mereka hadapi, sertamemberikan loyalitas yang tidak rasional kepada struktur kekuasaan.Tumbuhnya organisasi swadaya masyarakat (LSM) yangmenyuarakan kepentingan dan aspirasi rakyat disikapi olehpemerintah secara represif, dinilai berpotensi dapat mengganggupembangunan. Contoh kasus tragedi Waduk Nipah dan WadukKedungombo, yang kedua-duanya terjadi pada pertengahan tahun1990-an, memperlihatkan bagaimana pemerintah memperlakukanmasyarakat bukan bagian dari pembangunan dan disikapi secararepresif.

Reformasi politik yang diawali oleh gerakan mahasiswa danpergantian pucuk pimpinan nasional, dari Soeharto kepada Habibietelah membuka kembali pintu bagi daerah untuk mengatur dirinyasecara otonom. Pemerintahan Habibie saat tu telah menerbitkanUndang-undang No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerahdan Undang-undang No 25 tahun 1999 tentang PerimbanganAnggaran Keuangan antara Pusat dan Daerah. Penerbitan keduaUndang-undang tersebut merupakan wujud dari komitmenpemerintah untuk mengembalikan hak otonomi daerah untuk

Page 119: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

113

OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

mengatur wilayahnya secara mandiri yang selama Orde Barudikendalikan oleh pusat dan dituding sebagai penyebab ketidak-seimbangan distribusi pembagian kue pembangunan oleh pusatkepada daerah. Daerah hanya menjadi perahan pusat.

Penerimaan daerah yang diberikan oleh pusat tidak sebandingdengan yang diberikan daerah kepada pusat. Hanya saja daerahtidak dapat berbuat banyak, akibat tekanan melalui politisasi birokrasiyang sistematis. Beberapa gerakan separatis di daerah pada intinyamerupakan bentuk ketidak puasan ‘daerah’ terhadap ketidakadilanpembangunan yang berorientasi pusat, seperti GAM di Aceh danOPM di Papua – dahulu Irian Jaya. Gerakan perlawanan sekelompokmasyarakat, hal tersebut dilakukan karena pemerintahan danbirokrasi di daerah tidak berdaya menghadapi pusat dan berperanlebih sebagai representasi pusat dari masyarakat.

Pemberian otonomi yang sangat besar kepada daerah, disatusisi merupakan langkah maju bagi proses demokratisasi di tingkatlokal yang menghormati realitas kemajemukan dalam masyarakat.Model ini sejalan dengan konsep demokrasi lokal yang memberikanhak otonomi kepada sekolompok masyarakat yang mendiami wilayahtertentu, sesuai dengan karateristik dan aspirasi lokal (Piliang, Et.Al., 2001).

Selain itu pemberlakukan otonomi juga telah membawaperubahan pola hubungan antarlembaga pemerintahan, tidak lagibersifat hirarkis. Hubungan antarlembaga pemerintahan berjalanseimbang dan berubah menjadi hubungan antarorganisasi, karenapemerintahan daerah terpisah secara institusi dari pemerintahanpusat. Namun di sisi lain, UU No. 22/1999 juga mengandungpemahaman yang kontradiktif mengenai hubungan antara lembaga,seperti hubungan yang dilematis antara provinsi dengan kabupaten,karena UU tersebut disusun tidak berdasarkan asas desentralisasipenuh dan menerapkan asas dekosentrasi juga tugas pembantuan,serta masih menganut integrated perfectoral system. Dengandemikian UU No22/1999 masih belum secara jelas mengaturhubungan berbagai tingkatan pemerintahan. Hal inilah yangmengundang multitafsir yang dipahami menurut referensikepentingan dan preferensi masing-masing daerah. Revisi yang

Page 120: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

114

dilakukan oleh pemerintah terhadap UU 22/1999 dengan menerbitkanUU 32/2004, juga tidak lantas menyelesaikan masalah, karenadianggap menarik kembali otonomi daerah ke pusat.

C. Bentuk-Bentuk Konflik Dalam Otonomi DaerahImplementasi otonomi dalam prosesnya telah membawa

implikasi yang luas dalam bentuk pergeseran tatanan sosial, politikdan ekonomi yang berpotensi memunculkan konflik kewenanganantar lembaga dalam menjalankan fungsi pemerintahan. Hal tersebuttidak bisa dilepaskan dari bangunan sentralistik selama Orde Baruyang belum sepenuhnya dapat dihilangkan. Disamping itu, institusiyang terkait dengan fungsi pemerintahan di tingkat lokal; eksekutifdan legislatif belum memiliki pengalaman yang cukup untukmenjalankan pemerintahan sesuai dengan kebutuhan dan aspirasimasyarakat.

1. Pusat – Provinsi – KabupatenBerdasarkan aturan yang ada, pelaksanaan otonomi daerah

dititiktekankan pada daerah tingkat II, kabupaten/kota. Apabila kitamerujuk kepada Undang-undang Otonomi Daerah (UU 22/1999)sebelum adanya revisi oleh Undang-undang yang sekarang ada,maka tampak bahwa pelaksanan otonomi di tingkat kabupaten/kotadiberlakukan atas asas desentralisasi, sementara pelaksanaanotonomi di tingkat provinsi diberlakukan berdasarkan asasdesentralisasi dikombinasikan dengan asas dekonsentrasi. Jadikabupaten/kota merupakan daerah otonom, sementara provinsi tidaksepenuhnya otonom, ia berstatus sebagai daerah otonom dan daerahadministratif. Karena itu, kabupaten memiliki kewenangan penuhuntuk mengatur wilayahnya sesuai kewenangan yang dilimpahkandari pusat seperti yang diatur dalam undang-undang.

Titik tekan otonomi daerah pada daerah di tingkat II bukan ditingkat I berkonsekuensi mengurangi otoritas provinsi terhadapkabupaten. Kabupaten tidak lagi menjadi sub-struktur atau bagiandari provinsi. Hubungan antara keduanya tidak lagi bersifat hirarkis,tapi lebih kepada hubungan kemitraan antar organisasi. Gubernurtidak lagi dapat memberikan instruksi kepada bupati/walikota, karena

Page 121: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

115

OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

bupat/wali kota tidak lagi berhubungan dengan Gubernur menurutgaris instruksional. Hubungan antara gubernur dan bupati/wali Kotabersifat koordinatif.

Realitas perubahan hubungan hirarkis kepada hubungankemitraan antara pemerintahan daerah provinsi dan kabupaten,mengandung kerawanan yang memungkinkan konflik antarpemerintah daerah. Di satu sisi provinsi belum siap melepaskanotoritas kepada kabupaten/kota yang sebelumnya dimiliki. Di sisi lain,muncul arogansi dari kabupaten/kota yang merasa memilikikewenangan penuh untuk mengatur dirinya sendiri karena adanya‘jaminan’ undang-undang. Contoh kasus, banyak bupati yang merasatidak perlu lagi memenuhi panggilan gubernur untuk melakukan rapatkonsultasi. Seperti di NTT, sebagaimana dilontarkan oleh Asisten I/Tata Praja Setda NTT, terkait rapat koordinasi tingkat provinsi yangseharusnya dihadiri para bupati se-NTT. Sejumlah bupati beberapakali hanya mengirim sekretaris kabupatennya bahkan pejabat dibawahnya. Hal ini terjadi karena kabupaten tidak lagi merasa provinsisebagai daerah induknya yang memiliki wewenang instruksional.

Untuk mengembalikan otoritas pemerintahan daerah di tingkatprovinsi terhadap pemerintahan kabupaten, para Gubernur yangtergabung dalam APPSI, berdasarkan hasil Raker APPSI diSemarang merekomendasikan agar pemerintah melaksanakanamanat TAP MPR No. IV Tahun 2000 dan Surat Komisi II DPR NomorPW.00/067/KOM.II/2001 yaitu mengusulkan UU 22/1999disempurnakan2 atau dengan kata lain agar pemerintah pusatmerevisi UU 22/1999 dengan mengembalikan otoritas provinsiterhadap kabupaten.

Apa yang diaspirasikan oleh APPSI sejalan dengan keinginanpusat yang belum sepenuhnya dapat mendesentralisasikanotoritasnya kepada daerah; membiarkan daerah mengatur rumahtangganya sendiri dan masih menginginkan daerah sebagai bawahandari pusat. Pemerintahan Megawati segera mengambil ancang-ancang melakukan revisi UU 22/1999 dan UU 25/1999 yang dinilaiterlalu bias federalisme dan kurang sesuai dengan konsep negarakesatuan (NKRI). Hasil dari revisi Undang-undang tersebut, UU 32/2004 memperlihatkan bagaimana pusat tampaknya berusaha

Page 122: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

116

membatasi ruang otonomi daerah di tingkat kabupaten sebagaidaerah yang benar-benar otonom.

Otonomi kemudian didefinisikan sebagai sebagai desentralisasiadministrasi bukan sebagai desentralisasi politik. Tugas pembantuanprovinsi kepada kabupaten yang sebelumnya ditiadakan, dalam UU32 tugas pembantuan dicantumkan kembali dalam pasal 1 ayat 9bahwa “tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintahkepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepadakabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kotakepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.

2. DPRD – Pemerintah Daerah

Satu diantara bentuk konflik antarlembaga yang terjadi dalamera otonomi daerah adalah konflik antara eksekutif dan legislatif.UU 22/1999 telah mengembalikan fungsi, peran dan kewenanganDPRD sesungguhnya sebagai lembaga yang sejajar denganeksekutif, bertugas mengawasi dan mengontrol kebijakan-kebijakanpemerintah. Dalam UU 22/1999, DPRD diberikan wewenang yangsangat besar dalam mengangkat dan memberhentikan kepala daerah.DPRD dapat menolak atau menerima laporan pertanggungjawabankepala daerah. Kewenangan-kewenangan tersebut tidak pernahsecara riil dipunyai DPRD selama rejim Orde Baru.

Keberadaan DPRD hanya bersifat formalitas dengan kewenanganpolitik yang artifisial. Dalam arti keberadaan DPRD hanya untukmenunjukkan bahwa demokrasi berjalan di negeri ini, sebagai alatuntuk melgitimasi berbagai kebijakan yang dijalankan pemerintah,meski hal tersebut kerapkali bertentangan dengan kepentingan umumdan nota bene adalah titipan dari pusat. Keadaan yang samasebenarnya dialami oleh lembaga legislatif di tingkat pusat. DPR hanyamenjadi alat legitimasi terhadap produksi kebijakan eksekutif. Legislatifmenyeramkan dari tampilan luar, namun tidak memiliki kekuatanapapun. Mekanisme recall terhadap anggota DPRD oleh partai politik,semakin tidak memungkinkan bagi anggota DPRD untuk bersuarakritis terhadap pemerintah. Apalagi parpol telah terkooptasi oleh OrdeBaru, maka dengan mudah pemerintah saat itu menekan parpol untukmembungkam anggota legislatif yang mewakilinya.

Page 123: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

117

OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

Dalam UU No 5/1974, DPRD dimasukkan sebagai bagian daripemerntahan lokal, bukan sebagai lembaga legislatif terpisah daripemerintahan. Hal ini merupakan suatu ironi yang bertentangandengan logika demokrasi yang menghendaki adanya pembagiankekuasaan. Apabila pembagian kekuasaan atas eksekutif, legislatifdan yudikatif berdasarkan asas trias politica berlaku di tingkat pusat,maka hal yang sama seharusnya juga berlaku di daerah. KemandulanDPRD dapat dilihat dari ketidakberdayaannya terhadap dominasipusat yang biasa memaksakan kandidat pesanannya dalampemilihan kepala daerah. DPRD memang memiliki kewenanganuntuk memilih kepala daerah, gubernur atau bupati, namun tetapsaja pada tahap finalti, penentuan akhir tetap berada pada tanganpemerintah pusat cq. Menteri Dalam Negeri. Kuatnya campur tanganpusat, telah mendistorsi proses demokrasi di dalam ‘gedung’ DPRDmelalui berbagai bentuk rekayasa politik, sehingga meski prosespemilihan kepala daerah belum selesai atau bahkan belumdilaksanakan sama sekali, hasil akhir pemilihan telah dapat diperkira-kan sebelumnya.

Mandulnya peran DPRD, telah bergerser ke arah yang lebihberdaya setelah reformasi politik tahun 1998 dan denganditerbitkannya UU 22/1999. Selain memiliki fungsi budgeting danlegislasi, DPRD bertugas mengawasi pemerintah. Hanya saja tidakterdapat kejelasan tentang aturan dalam UU yang menyuratkanmasalah pengawasan terhadap kinerja DPRD. Dapat saja DPRDmenjadi tidak terkontrol. Berkolusi dengan pemerintah denganmembuat aturan yang tidak produktif, cenderung mencarikeuntungan, dan merugikan rakyat. Seperti kasus politik uang yangberlangsung dalam laporan pertanggungjawaban kepala daerah ataukeputusan DPRD yang membagi-bagikan mobil mewah denganalasan sebagai sarana dinas.

Apabila merujuk pada pasal 22, UU 22/1999 ayat (c) dan (d) secaraeksplisit menjelaskan bahwa DPRD, baik provinsi maupun kabupaten,berkewajiban “membina demokrasi dalam penyelenggaraanPemerintah Daerah” dan berkewajiban “meningkatkan kesejahteraanrakyat di daerah berdasarkan demokrasi ekonomi”, maka perilaku elitpolitik yang terhimpun dalam lembaga DPRD tampak jelas belum

Page 124: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

118

mencerminkan isi undang-undang dan semangat otonomi daerah danmenerapkan politik aji mumpung. Sehingga apa yang terjadi adalahsebuah konspirasi untuk mengeksploitasi sumberdaya ekonomi yangdidapat dengan cara yang legal untuk memenuhi kepentingan pribadi.Dengan demikian otonomi sama saja dengan memindahkan perilakukorupsi dari pusat ke daerah.

3. Konflik AnggaranDalam konteks konflik anggaran, tulisan ini mencoba melihat

dari aspek mekanisme perencanaan anggaran yang membukapeluang konflik antara keinginan rakyat dan kepentingan elit lokal.

Desentralisasi telah merubah paradigma perencanaanpembangunan dari top-down ke bottom-up. Kelebihan modelperencanaan top down, mekanisme perencanaan pembangunanpada satu sisi dapat dijalankan secara efesien dan efektif,memerlukan waktu proses yang cukup singkat. Sedangkankelemahannya adalah tidak bersifat representatif, tidak melibatkanbanyak pihak, sehingga yang tampak adalah kepentingan pembuatkebijakan dari pada kepentingan dari pihak (stakeholders) yang akanmenerima dampak langsung dari pelaksanaan kebijakan. Kelemahanperencanaan dengan model bottom up menuntut keterlibatan banyakpihak (stakeholders), sehingga membuat proses perencanaan tidakefesien dan memakan proses waktu yang cukup lama, namundemikian out-put yang dihasilkan akan relatif representatif.

Dalam perencanaan anggaran belanja daeran (APBD),pemerintah daerah dalam merumuskan anggaran harus menjaringaspirasi masyarakat untuk dijadikan rancangan kegiatan umum(RKU). Dari RKU yang merupakan hasil penjaringan aspirasi darimasyarakat kemudian dapat ditentukan skala prioritas (SP) darikegiatan yang akan dilanjutkan dalam proses senjutnya, yaitu padatingkat perencanaan rancangan anggaran satuan kegiatan (RASK),untuk direncanakan bobot anggaran sesuai dengan bobot kegiatanyang ada. Setelah itu dilanjutkan dalam proses selanjutnya yaituPSAK. Setelah melalui mekanisme PSAK, anggaran belanja daerah(APBD) dapat disusun dan ditetapkan. Mekanisme berlapis iniberangkat dari paradigma ‘money follows function’ (uang

Page 125: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

119

OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

berdasarkan fungsi). Sehingga APBD benar-benar mencerminkankepentingan obyektif rakyat.

Penetapan APBD yang bersifat partisipatif, sesuai dengan tujuandesentralisasi yang hendak mendekatkan rakyat dengan pemerintahdan menciptakan pemerintah yang ramah dengan rakyat (goodgovernance). Kedekatan rakyat dengan pemerintah dan pemerintahyang ramah dengan rakyat salah satunya dapat dilihat dari apakahkomponen anggaran sesuai dengan kebutuhan obyektif. Di per-mukaan, anggaran yang bersifat partisipatif merupakan bagian dariproses demokratisasi yang selama ini diperjuangkan. Namun, apabiladikritisi bagaimana proses partisipasi tersebut berjalan, maka munculpertanyaan apabila proses penyusunan anggaran melibatkan banyakpihak (stakeholders), maka apakah anggaran yang tersusun benar-benar dapat dikatakan telah menjawab kepentingan obyektif rakyat?Dalam proses penyusunan tentunya akan ada proses tawar-menawar, maka seberapa besar posisi tawar rakyat dalam prosespenyusunan mulai dari tahap RKU?

Sebagai ilustrasi dapat diberikan contoh, semisal, pemerintahdaerah A ingin menyusun APBD untuk tahun anggaran tahun 2002.Maka langkah pertama yang dilakukan adalah menjaring aspirasirakyat untuk dirumuskan menjadi RKU di tingkat desa, sebagai unitterkecil dari wilayah kerja kecamatan. Kemudian aparat desamengundang rakyat, BPD, LSM, pemuka adat, dan tokoh partai politikdalam musyawarah pembangunan desa (Musbangdes) sebagai fo-rum bagi masyarakat mengajukan program pembangunan. Dalamforum tersebut, maka akan bertemu dua pihak yaitu masyarakat danelit lokal (tokok parpol dan pemerintah desa). Masyarakat memilikidaftar keinginan yang ingin dimasukkan ke dalam RKU sementaradi sisi lain elit juga memiliki daftar kepentingan. Di sinilah proseskonflik telah mulai terjadi. Dalam bentuk benturan antara keinginanmasyarakat dan kepentingan elit. Pada tingkat yang lebih tinggi,ketika RAPBD akan ditetapkan menjadi APBD melalui rakorbangyang melibatkan eksekutif, dimana perhitungan biaya yang akandialokasikan, maka peran masyarakat akan lebih kecil. Peran elityang diwakili oleh anggota DPRD dan eksekutif lebih dominan padatingkat ini. Disinilah akan terbuka peluang yang besar antara elit

Page 126: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

120

politik dan pemerintah untuk mengadakan kontrak-kontrak politikyang bias kekuasaan dan menyimpang dari tujuan anggaran itusendiri. Partisipasi masyarakat pada akhirnya, hanya merupakanbentuk manipulasi elit lokal dan eksekutif (pemerintah daerah) untukmelegitimasi penetapan anggaran yang bias kekuasaan. Dengandemikian, paradigma ‘money follows function’ berubah arah menjadi‘function follow money’.

4. Konflik Sumber Pendapatan dan Pengelolaan Aset DaerahSelama Orde Baru, daerah tidak diberikan peran mandiri untuk

memenuhi anggaran belanja dari sumber-sumber pendapatanpotensial yang ada di wilayahnya. Sistem pemerintahan yangsentralistis, telah menyebabkan eksploitasi pusat terhadap sumber-sumber pendapatan potensial yang ada di daerah. Sumber-sumberpendapatan yang diijinkan pusat untuk dikelola daerah hanyalahbersumber dari sumber-sumber pendapatan non-potensial dalambentuk retribusi, seperti retribusi lahan parkir atau kebersihan. Halini tentunya menciptakan ketergantungan pemerintah daerah kepadapusat. Katergantungan daerah yang kuat terhadap pusat memilikiimplikasi politis yang besar berupa melemahnya posisi tawarpemerintah daerah terhadap pusat. Pemerintah daerah menjadi tidakkritis atas alokasi anggaran yang didistribusikan dari pusat. Pusat,ketika melihat terdapat gejala resistensi daerah yang mengkritisisumber pendapatan yang didominasi pusat, akan diatasi dengan cararekayasa politik, yaitu memutasi kepala daerah atau bahkan mem-berhentikannya melalui perangkat-perangkat politik yang me-mungkinkan untuk didikte.

Otonomi daerah telah memberikan kepada daerah, provinsi dankabupaten/kota, kewengan untuk memenuhi pendapatannya secaramandiri dari sumber-sumber potensial di wilayahnya. BerdasarkanUU 25/1999, bahwa sumber penerimaan daerah (pasal 3) dalammelaksnakan desentralisasi bersumber dari: (1) hasil pajak Daerah;(2) hasil retribusi Daerah; (3) hasil perusahaan milik Daerah danpengelolaan kekayaan Daerah lainnya yang sah dan; (4) lain-lainhasil pendapatan Daerah yang sah. Sumber pendapatan asli Daerahseperti yang diatur dalam pasal 4 tidak berbeda dengan sumberpenerimaan daerah.

Page 127: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

121

OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

Isi UU 25 tidak membedakan sumber penerimaan dan pendapatandaerah antara provinsi dan kabupaten/kota, kecuali adanyapengkhususan anggaran dekosentrasi yang bersumber dari APBNyang diperuntukkan bagi provinsi, sebagaimana yang diatur dalampasal 1 ayat 17. Sumber lain bagi penerimaan daerah adalah danaperimbangan yang bersumber dari APBN yang disebut dengan danaalokasi umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAK) (pasal 6 ayat1).3

a) Pajak dan RetribusiPendulum sentralisasi pengelolaan sumber pendapatan dan

penerimaan keuangan pemerintahan telah berubah arah. Setelahsebelumnya pemerintah pusat mengisap surplus ekonomi dari daerahdengan sah dan diakui oleh undang-undang, maka pasca kejatuhanrejim Orde Baru hal tersebut berbalik. Proporsi pendapatan danpenerimaan keuangan antara pusat dan daerah dibagi berdasarkanasas desentralisasi, di mana daerah mendapatkan lebih besar dari-pada pusat.

Hanya saja yang menjadi pertanyaan adalah apakah imple-mentasi perimbangan keuangan antara pusat dan daerah berjalansebagaimana yang diidealkan? Bagaimana pula dengan pembagianproporsi anggaran antara provinsi dengan kabupaten? Bagaimanapula sumber pendapatan bagi daerah yang miskin potensi ekonomi?Daerah memang dijinkan melakukan pungutan pajak daerah.Persoalannya apabila di satu daerah memiliki kemampuansumberdaya ekonomi yang rendah, maka dari mana daerah akanmenarik pajak? Peningkatan pajak haruslah didukung denganseberapa besar pertumbuhan ekonomi yang ada di satu daerah. Disinilah letak krusial yang berpotensi memicu konflik antar pemerintahdaerah provinsi dan kabupaten/kota yang memiliki potensi ekonomiyang rendah. Akan terjadi perebutan sumber pendapatan yangberasal dari dana perimbangan. Hal tersebut tampak jelas dalamkasus di NTT, di mana pemerintah provinsi merasa dilangkahi, karenapemanfaatan dana APBN 2001 senilai Rp 5,6 milyar untuk pe-ngembangan ekonomi masyarakat pesisir di NTT langsung diterimaoleh kabupaten tanpa ‘pemberitahuan’ ke provinsi. Dana tersebutlangsung disalurkan ke tujuh kabupaten di NTT. Setiap kabupaten

Page 128: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

122

mendapatkan Rp 800 juta.4 Sebenarnya, tidak ada aturan yangmengharuskan dana tersebut disalurkan melalui provinsi. Keberatanprovinsi NTT, apabila dianalisis lebih mendasar, sebenarnyadimotivasi oleh ketiadaan provinsi NTT memiliki potensi ekonomi yangdapat menjadi sumber pendapatan asli daerah.

Konflik pengelolaan sumber pendapatan daerah juga terjadikarena kekurangpahaman daerah atas pembagian kepemilikan asetdaerah antara provinsi dan kabupaten/kota. Kabupaten menganggapbahwa aset provinsi dapat masuk dalam daftar sumber pendapatankabupaten, karena letaknya secara geografis masih terletak ataumelalui wilayah kabupaten. Laporan penelitian LIPI tentangimplementasi otonomi daerah di Sidoarjo, memperlihatkan realitastersebut. Sidoarjo merupakan daerah tingkat II wilayah provinsiSurabaya yang tidak memiliki sumber daya alam (SDA). Untuk itupemerintah Kabupaten Sidoarjo berupaya menginvetarisasi peluang-peluang yang dapat meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD).Salah satu peluang yang coba dibidik adalah kawasan BandaraJuanda yang secara geografis berada di wilayah Kabupaten Sidoarjo,namun sebenarnya merupakan aset Provinsi. Selain itu PemerintahDaerah Sidoarjo juga menuntut adanya pembagian dari pajak danretribusi pajak kendaraan bermotor (PKB) dan bea balik namakendaraan bermotor (BBNKB) yang ditarik oleh provinsi.5

Konflik pengelolaan aset yang menjadi sumber pendapatan aslidaerah tidak hanya terjadi antara daerah, tapi juga antara pusat dandaerah, karena kekurangpahaman dan ketidakjelasan pembagianaset. Seperti yang terjadi antara pemerintah DKI Jakarta denganPemerintah dalam hal pengelolaan bandara internasional Soekarno-Hatta, jalan tol, dan kawasan pelabuhan Tanjung Priok, kawasanKemayoran dan Senayan. Pengelolaan kelima aset tersebutberdasarkan UU 25/1999 seharusnya berada dalam kewenanganpemerintah daerah DKI, namun demikian dalam praktiknyapemerintah pusat masih enggan menyerahkan pengelolaan kelimaaset tersebut ke tangan pemerintah daerah DKI Jakarta6. Kasuslain tentang konflik pajak dan retribusi adalah pemanfaatan airpermukaan sungai Cisadane oleh perusahaan baja Krakatau Steelyang melintas di wilayah Kota Administratif Cilegon. Apakah menjadi

Page 129: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

123

OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

kewenangan provinsi Banten atau Kota Administratif Cilegon?

Distribusi kewenangan antara provinsi dan kabupaten dalampengelolaan aset daerah yang menjadi sumber peningkatanpendapatan asli daerah sebenarnya telah jelas diatur dalam Undang-undang No 34/2000 pengganti Undang-undang No 18/1997, bahwaberdasarkan penerimaan yang diperoleh oleh kabupaten adalahpajak-pajak yang ditarik dari hotel, restoran, tempat hiburan, reklame,penerangan jalan, penggalian bahan galian dan pajak parkir.Sedangkan pajak yang menjadi kewenangan provinsi adalah pajakkendaraan bermotor (PKB) dan kendaraan di atas air, bea balik namakendaraan bermotor (BBNKB) dan pajak pengambilan air danpemanfaatan air di bawah tanah dan air permukaan. Aturan tersebutsecara tersurat terlihat jelas membagi komponen-komponen pajakyang menjadi sumber PAD berdasarkan kewenangan antara provinsidan kabupaten, terkesan tidak akan menimbulkan permasalahan.Karena telah jelas mana hak provinsi dan mana yang bukan hakprovinsi. Pada tingkat implementasi peraturan tersebut memunculkankonflik kewenangan, karena beberapa sebab; pertama, bagaimanadengan daerah yang minim dengan potensi PAD sebagaimanadijelaskan dalam UU 34/2000, seperti kasus Sidoarjo. Kedua, apakahpengambilan dan pemanfaatan air di wilayah kabupaten, menjadikewenangan provinsi atau kabupaten? Ketiga, Apakah pemungutanpajak kendaraan air yang melintas diperairan yang berada di wilayahkabupaten menjadi kewenangan provinsi atau kabupaten? Lalusejauh manakah batas wilayah perairan provinsi dan kabupaten?

b) Pengelolaan LautPersoalan lain yang rawan memicu konflik antar daerah adalah

kewenangan dalam pengelolaan laut. Indonesia merupakan negaramaritim yang sebagian besar daerahnya terdiri dari pulau-pulau yangdikelilingi dikelilingi oleh laut. Wilayah laut Indonesia adalah 3,7 jutakm2 dengan panjang pantai 81.000 km2. Jumlah pulau yang sebagianpulai kecil adalah sebanyak 17.508. Selain itu Indonesia memilikiakses ke zona ekonomi eksklusif sebesar 2,7 km2. Laut indonesiamenyimpan potensi biologis yang terdiri 7000 spesies ikan 4000spesies terumbu karang. Dengan tingkat suhu air yang cukup stabil,laut Indonesia merupakan tempat yang nyaman bagi ikan-ikan yang

Page 130: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

124

migran untuk bertelur. Deskripisi ini memberikan pemahaman bahwaIndonesia memiliki potensi ekonomi yang cukup besar yangbersumber dari laut yang ada di wilayahnya, baik yang dipermukaanlaut atau dalam laut.

Berdasarkan UU 22/1999 pasal 3 bahwa propinsi terdiri dariwilayah darat dan laut sejauh dua belas mil laut yang diukur darigaris pantai ke arah laut lepas dan atau ke arah perairan kepulauan.Selanjutnya menurut pasal 10 ayat 2 bahwa Kewenangan Daerah diwilayah laut, sebagaimana dimaksud dalam pasal 3, meliputi : (a)eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan lautsebatas wilayah laut tersebut; (b) pengaturan kepentingan adminis-tratif; (c) pengaturan tata ruang;(d) penegakan hukum terhadapperaturan yang dikeluarkan oleh Daerah atau yang dilimpahkankewenangannya oleh Pemerintah; dan (e) bantuan penegakankeamanan dan kedaulatan negara. Dalam ayat 3 dijelaskan pulatentang kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota di wilayahlaut, sebagaimana dimaksud pada ayat (2), adalah sejauh sepertigadari batas laut Daerah Provinsi. Sekilas UU tersebut telah jelasmengatur kewenangan dan batas wilayah laut antara daerah provinsidan kabupaten/kota. Namun disinilah letak permasalahan krusial yangdapat memicu konflik.

Sebagai ilustrasi dapat diberikan gambaran dalam hal eksploitasihasil laut, seperti ikan. Apabila ikan di wilayah A bermigrasi ke wilayahB untuk bertelur atau mengikuti pola arus air dalam laut, makasiapakah yang berhak menangkap ikan tersebut, nelayan di wilayahA atau B, karena pola hidup selalu berpindah-pindah dan tidakmenetap? Setelah ditangkap dimanakah ikan-ikan tersebut harusdilelang/perjualbelikan, di wilayah A atau B? Lalu apakah nelayan diwilayah A yang melakukan penangkapan di wilayah B, karena harusmengikuti tempat-tempat di mana ikan berkumpul, harus dikenakanretribusi, sebab telah memasuki kawasan laut di wilayah B? Adalahsangat lucu, apabila untuk mengatur distribusi penangkapan ikansebagai salah satu hasil laut, pemerintah daerah mengeluarkanperaturan daerah (Perda) yang mengatur batas penangkapan ikan.Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana kemudianmengindentifikasi jenis ikan yang dimiliki wilayah A dan B? tentunya

Page 131: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

125

OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

tidak mungkin apabila ikan-ikan tersebut diberikan “KTP” sebagaitanda yang memperbolehkannya ditangkap. Tumpang tindiihkewenangan pengelolaan laut disebabkan karena model pembagiankewenangan berdasarkan kekuasaan teritorial. Atas dasar itu, BagirManan (Bisnis Indoneisa, 22/5/2000) menyetujui bahwa pemberianhak pengelolaan laut tidak disertai dengan pemberikan kekuasaanatas teritorialnya.

Konflik pengelolaan laut tidak hanya terjadi antara pemerintah,tapi juga terjadi antara rakyat dengan negara yang berorientasikepada kepentingan pemilik modal sehingga meminggirkankepentingan rakyat kecil dan berakhir dengan kekalahan kepentinganrakyat dalam posisi tawar yang lemah, seperti yang terjadi antaranelayan tradisional di Labuhan Batu dengan kapal trawl yangmendapatkan dukungan dari aparat. Perlawanan nelayan tradisionaldi Labuhan Batu terhadap kapal trawl dan aparat yang melindungiterus berlangsung. Masyarakat tampaknya terus melakukanperlawanan meski beberapa kali telah terjadi korban. Sebaliknyakapal-kapal trawl terus beroperasi menguras kekayaan laut SumateraUtara. Dalam proses hukum, nelayan tradisional lebih lemah posisinyadari pada pengusaha kapal. Menurut masyarakat di Labuhan Batu,negara telah gagal menjalankan fungsinya dalam melindungimasyarakat kecil. Sebagai Buktinya adalah penahanan terhadap 13nelayan di Lembaga Pemasyarakatan Labuhan Batu karena tuduhansabotase terhadap kapal trawl. Di pihak lain, tidak ada satu orangpun pengusaha-pengusaha pukat trawl yang telah dilarang olehpemerintah dan telah merusak ekosistem laut diproses berdasarkanhukum. Padahal pukat trawl seringkali ditemukan di Labuhan Batu.

c) Hutan dan PerkebunanSalah satu sumber daya alam unggulan yang dimiliki beberapa

daerah adalah hutan yang berada di wilayahnya. Hutan tidak hanyamemiliki fungsi ekologis, tetapi memiliki pula fungsi sosial danekonomi. Hutan memberikan banyak kekayaan keragaman flora danfauna yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat, sehinggamemberikan keuntungan ekonomis. Hubungan tersebut, bahkandiakui melalui mekanisme budaya. Oleh karena itu keberadaan hutandipahami oleh masyarakat yang bermukim di sekitar kawasan hutan

Page 132: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

126

sebagai kawasan yang menjadi bagian dari identitas mereka.Pengelolaan dan pemanfaatan hasil hutan telah dilakukan olehmasyarakat dengan cara-cara yang tradisional, yang didasari atasasas keseimbangan antara alam dan kebutuhan konsumsimasyarakat sehingga tetap menjaga kelestarian alam. Ajaran lokalseperti “Kaharingan” merupakan panduan bagi masyarakat dayakdi pedalaman Kalimantan Tengah dalam pemanfaatan denganmemperhatikan kepentingan ekologis itu sendiri. Kayu gaharu, rotan,damar merupakan di antara jenis komoditi hasil hutan yangdimanfaatkan.

Proses industrialisasi, telah menggeser pola tradisionalpemanfaatan hasil hutan. Kapitalisasi pengelolaan hutan yangmendapatkan dukungan dari negara, memiliki implikasi yang luas baiksecara ekologi hutan itu sendiri, maupun secara sosial, budaya danekonomi. Secara ekologis, kapitalisasi jelas akan membawa dampakkerusakan lingkungan jangka pendek dan jangka panjang, apabiladikelola dengan tidak memperhatikan aspek pelestarian hutan itusendiri sebagai sumber kehidupan dan ekonomi. Dari aspek sosialdan budaya, kapitalisasi pengelolaan dan pemanfaatan hasil hutan,menyebabkan masyarakat asli yang selama ini menggantungkansepenuhnya kehidupan mereka terhadap keberadaan hutan, sepertimasyarakat dayak di Kalimantan Tengah, masyarakat Kubu diSumatera, dan mengundang migrasi penduduk dari luar daerah yangsemakin meminggirkan penduduk asli. Dari aspek ekonomi, kapitalisasihutan lebih memberikan keuntungan kepada pemegang modal danelit kekuasaan dari pada menguntungkan masyarakat luas.

Dukungan negara terhadap kapitalisasi hutan dapat dilihat daridikeluarkannya undang, U No. 5/1960 tentang Undang-undang PokokAgraria. Dengan UU tersebut pemerintah memberpihak hakpemanfaatan hutan (HPH), hak gunan usaha (HGU) kepada parapengusaha untuk mengeksploitasi hutan. Arus modal baik dari dalamnegeri (PMDN) maupun dari luar negeri (PMA) sangat deras mengalirke hutan-hutan di Indonesia setelah dikeluarkannya UU PMA Tahun1967 dan UU PMDN Tahun 1968 dilengkapi dengan PP No 64/1957tentang desentralisasi tentang kehutanan di masing-masing daerahtingkat I, dan Perda yang mengatur kapitalisasi hutan. Seiring dengan

Page 133: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

127

OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

besarnya datang pihak luar yang menanamkan modalnya di hutan,maka PP No 64/1957 digantikan dengan PP No 21/1970 yangmengatur pelaksanaan HPH dan Hak Pemungutan Hasil Hutan(HPHH) di tangan Pemerintah Pusat. Dengan demikian, otomatisdaerah tidak lagi berwenang menangani pelakasanaan HPH danHPHH sebagaiman diatur dalam PP No 64/1957. Pengelolaan hutanyang sentarlistis kemudian didukung melalui proses birokratisasi,Deparatemen Kehutanan yang memiliki struktur birokrasi di daerah,serta dibentuknya Perhutani sebagai BUMN. Kewenangan daerahatas pengelolaan semakin melemah, tatkala pemerintah pusatmengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) pada tahun 1981 yangmengklasifikasi lahan sebagai kawasan hutan dan bukan hutan.Seluruh lahan hutan menurut Keppres tersebut berada dibawahkepemilikan negara yang pemakaiannya harus berdasarkan ijinnegara (pemerintah), melalui Departemen Kehutanan. Dengandemikian kewenang daerah dan masyarakat daerah semakintermarjinalisasi. Proses yang sangat sentralistis, apabila diikutilaporan keuangan daerah yang bersumber dari hutan, maka akantampak ketimpangan ekonomi antara pusat dan daerah.

Penetapan UU 22/1999 telah kembali memberikan hak daerahuntuk mengelola dan memanfaatkan hasil hutan. Idealnyadesentraliasi akan dapat meningkatkan ekonomi daerah denganmenjadikan hutan sebagai satu diantara sumber pendapatan aslidaerah. Pada praktiknya, desentralisasi telah mengembalikankewenangan dalam pengelolaan hutan, di sisi lain desentralisasikewenangan itu sendiri menjadi penghambat pengelolaan hutan bagikepentingan masyarakat di daerah dan dalam kasus tertentumembuka peluang perusakan hutan yang lebih parah. Untukmeningkatkan peningkatan pendapatan daerah, masing-masingpemerintah daerah membuka peluang yang besar bagi HPH untukmengeksploitasi hutan tanpa disertai AMDAL yang jelas.Desentralisasi menyebabkan kewenangan yang tumpang tindihantara pusat, provinsi dan daerah. Melalui UU 22/1999, pemerintahdaerah memang diberikan kewenangan untuk memanfaatkan SDAyang ada diwilayahnya, termasuk hutan. Masalahnya kewenangantersebut tidak disertai dengan kesiapan SDM dan infrastruktur.Semisal, apakah kantor dinas Departemen Kehutanan akan tetap

Page 134: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

128

berada dibawah struktur Departemen Kehutanan atau diintegrasikanmenjadi bagian dari pemerintah daerah. Apabila kantor dinas tersebutdihapus dan diintegrasikan ke dalam struktur pemerintah daerah,maka siapa yang akan mengisinnya, apakah tetap menggunakanSDM yang telah ada atau digantikan dengan SDM yang ditentukanoleh pemerintah daerah. Dari hal kelembagaan saja, tampaknyamasalah desentralisasi kehutanan telah dimulai dengan adanyakonflik antarlembaga. Bukti aktual konflik antarlembaga dalam halpengelolaan hutan dapat dilihat dari tindakan pemerintah pusat yangmencabut ijin pemungutan dan pemanfaatan hasil hutan (IPPHH)oleh pemda. Konflik antarlembaga dalam hal pengelolaan hutan jugaterjadi antara HPH BUMN dengan HPH BUMD. Inhutani merupakanperusahaan yang diberikan hak kontrak swasta sebagai mitra kerjapemerintah sekligus mendapatkan konsesi sebagai BUMN. Denganadanya desentralisasi, apakah hak kontrak yang disepakati denganpemerintah pusat apakah bersifat tetap atau dapat dibatalkan?Apakah peran inhutani dapat digantikan dengan BUMD? Apabila tidakdapat dibatalkan, siapakah yang berhak memberikan perpanjangankontrak? Ketidakjelasan mengenai aturan tersebut, menyebabkanpemerintah daerah dapat menganulir ijin HPH dan HGU sepihakdengan alasan otonomi daerah. Dalam konteks, dapat pahamimengapa Bupati Kabupaten Jember, Syamsul Hadi Siswoyo, yangmenganulir HGU PTPN XII atas lahan garapan yang sebelumnyatelah disepekati oleh pejabat terdahulu, Winarno, yang statusnyasebagai Pelaksana Tugas Bupati. Landasan hukum yang dipakaiBupati Jember adalah UU 22/1999.7

Desentralisasi pengelolaan hutan termasuk perkebunan, selaindiwarnai oleh konflik antarlembaga, juga diwarnai oleh konflik antaraperusahaan dengan penduduk lokal. Melemahnya kekuasaanpemerintah pusat, sejak 1998, dimanfaatkan oleh sebagaimasyarakat menuntut dan mengambil alih lahan-lahan hutan danperkebunan yang dikelola oleh perusahaan swasta atau pemerintahsecara ilegal. Seperti yang terjadi di dua dua kabupaten Wonosobodan Muaraenim. Di Dieng, Kabupaten Wonosobo, terjadi penjaranhutan yang dibawah pengelolaan Perhutani, oleh para petani untukdigunakan sebagai lahan perkebunan. Aksi penjarahan tersebutdipicu oleh dua faktor, pertama, jatuhnya rezim Soeharto, kedua,

Page 135: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

129

OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

Perda N0 22/2001 yang mengatur pengelolaan hutan berbasikanmasyarakat. Di Kabubaten Muaraenim, penduduk di lima desa dikecamatan Rambang Kutai, menuntut pengembalian lahan olehPTPN VII. Lahan mereka sebelumnya diambil-alih oleh perusahaantanpa ganti rugi yang jelas. Luas lahan yang diperebutkan adalah1953 hektar denga perincian, 964 hektar berada di Desa SumberMulya, 450 hektar berada di Desa pagardewa, 312 hektar berada diDesa Karangagung, dan 218 hektar berada di desa Rambang Baru.8

Kasus sengketa lahan antara masyarakat dengan perusahaan.Seperti yang terjadi di Dieng Kabupaten Wonosobo dan KabupatenMuaraenim memberikan gambaran faktual proses konflik antaraperusahaan dengan masyarakat, juga melibatkan pemerintah daerahmelalui aturan Perda yang dikeluarkan. Pengelolaan lahan, baik hutanatau bukan hutan, merupakan masalah krusial. Lahan selain dinilaidari sudut kepemilikan juga dinilai dari sudut budaya, atau apa yangdikenal dengan tanah adat atau tanah ulayat. Konstruksi budaya ataskepemilikan tanah juga disandarkan atas adanya ikatan primordialatau etnisitas. Klasifikasi yang sangat menyederhanakan masalahdan menafikan hak adat atas tanah dalam jangka panjangmenyebabkan vertikal dan horisontal. Inilah yang kemudian merebakpada masa pasca kejatuhan Soeharto dan pada masa implementasiotonomi daerah. Contoh kasus adalah pengambil-alihan lahanperkembunan di sekitar wilayah Deli Serdang oleh penduduk aslidengan alasan tanah ulayat bagi bangsa Melayu.

d) Pertambangan dan MigasSelain hutan, SDA yang bernilai ekonomi tinggi (comparative

advantage) adalah hasil tambang dan Migas. Hasil tambang danmigas merupakan komponen terbesar bagi pendapatan negara.Sama halnya dengan hutan, pengelolaan tambang memiliki nilaistrategis yang dikuasai oleh pusat. Akibat sistem pengelolaan SDAuntuk tujuan ekonomis yang tepusat, mengakibatkan tidak optimalnyakeikutsertaan pemerintah dan masyarakat daerah. Implementasiotonomi daerah, telah membuka peluang pengelolaan tambang lebihoptimal. Dalam UU 25/1999, disebutkan bahwa dana perimbanganyang diterima oleh daerah dari pertambangan umum selain migasadalah 80% untuk daerah dan 20% persen untuk pusat. Sedangkan

Page 136: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

130

Komoditi Pangkor Cikotok Jumlah

Emas 13.352.677.913 955.832.457 14.308.510.370

Perak 1.315.882.441 72.176.564 1.388.059.005

Total 14.668.560 1.028.009 15.696.569.375

Sumber: Dokumen PT ANTAM tidak dipublikasikan sebagaimana termuat dalam laporanpenelitian LIPI9

Tabel 1.

Pembayaran royalti PT Antam tahun 2001

dari pertambangan minyak pemerintah berhak menerima dana bagihasil setelah dikurangi biaya komponen pajak sebesar 15% dan darigas setelah dikurangi biaya komponen pajak sebesar 30%. Padapraktiknya pembagian dana bagi hasil tersebut tidak berjalansebagaimana mestinya. Hal tersebut dapat dipahami, mengingatpertambangan baik umum dan migas merupakan komponenpemasukan bagi devisa negara setelah hutan. Apabila merujukkepada contoh kasus pembayaran royalti PT Aneka Tambang Tbk.tahun 2001 atas usaha eksploitasi emas dan perak di kawasanpertambangan di Cikotok dan Pengkor yang berlokasi di Jawa Baratdan Banten, terlihat fakta adanya kepentingan yang kuat dari pusatuntuk menghambat pembagian dana Bagi Hasil Bukan Pajak SDAdari pertambangan umum sesuai dengan UU 25/1999 dan PP No79/1992.

Selain itu, karena laporan pembayaran royalti kepada negaraoleh PT ANTAM dimasukkan dalam laporan yang tidak dipublikasikan,maka tidak dapat diketahui perincian pembayaran royalti. Disinilahletak adanya peluang rekayasa pusat untuk menghambat penerimaandaerah. Selain itu, apabila dikumulasikan hasil penerimaan daripertambangan umum secara keseluruhan, dengan memasukkanpenerimaan dari sumber selain dari PT ANTAM, penerimaan daerahseharusnya lebih besar dari total seperti yang tertera dalam tabel1.

Pengelolaan SDA yang sebelumnya sentralistis, lebih berpihakkepada kepentingan pemilik modal dan mengabaikan kepentingankesejahteraan rakyat, pengelolaan tambang menyebabkan konflikantara perusahaan yang menerima konsesi eksplorasi dengan

Page 137: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

131

OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

masyarakat lokal. Keuntungan ekonomis yang diterima oleh masya-rakat sangat tidak seimbang, apabila tidak dikatakan nihil sama sekali,daripada dampak kerusakan lingkungan yang ditimbulkan. Konflikyang terjadi antara masyarakat Rantau Pandan, Muaro Bungodengan PT NTC (Nusantara Technical Corporation) memperlihatkanhubungan yang antagonistik. PT NTC adalah Perusahaan Thailandyang bergerak dalam bidang pertambangan batubara. Perusahaanini telah melakukan eksplorasi selama kurang lebih 11 tahun diKabupaten Bungo. Selama ini, perusahaan ini berkoordinasi denganpemerintah pusat dan kurang memperhatikan aspirasi masyarakat,bahkan diduga tidak pernah memberikan kontribusi nyata kepadamasyarakat daerah. Masyarakat meminta, perusahaan melibatkanmasyarakat lokal melalui pengembangan masyarakat (communitydevelopment) sebelum memperpanjang perijinannya. Selain itu, PTNTC juga diminta menggunakan tenaga kerja lokal. Diharapkanperusahaan ini dapat memberikan kontribusi Rp 1,6 milyar rupiahper tahun kepada daerah (PAD).

5. Konflik Pemekaran WilayahSalah satu kecenderungan yang terjadi selama pelaksanaan

otonomi daerah adalah adanya pemekaran wilayah di beberapadaerah provinsi dan kabupaten. Undang-undang No 22 Tahun 1999telah mengatur bahwa pemekaran lebih dari satu wilayah memangdimungkinkan untuk dilakukan dengan pertimbangan kemampuanekonomi, potensi daerah, jumlah penduduk, sosial politik, sosialbudaya, luas daerah, dan pertimbangan-perimbangan lain yangmemungkinkan otonomi dapat dilaksanakan.10 Adanya peluang untukmembentuk daerah otonomi baru, disambut dengan baik oleh daerah-daerah untuk memekarkan dirinya dari daerah induk. Setidaknyadalam catatan Departemen Dalam Negeri (Depdagri) bahwa di tahun2002 setelah DPR mengesahkan RUU tentang pemekaran wilayahterdapat 22 kabupaten di sepuluh provinsi yang akan dimekarkan(lihat tabel 2).

Setiap pemekaran akan membawa implikasi-implikasi yang luassebagai bentuk konsekuensi logis, seperti perubahan strukturpemerintahan, anggaran belanja pemerintah, batas dan namawilayah, pembagian sumber penerimaan dan pendapatan daerah

Page 138: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

132

yang sebelumnya menginduk kepada daerah asal. Perubahan-perubahan tersebut, meski secara de jure telah diatur berdasarkanundang-undang, dalam praktiknya tidak semudah membalikkantangan. Lepasnya daerah baru dari daerah lama, berarti pula adanyagradasi otoritas, pengurangan anggaran belanja, penurunanpenerimaan dan pendapatan, di samping satu hal yang sudah pastiadalah berkurangnya luas wilayah. Hal ini apabila tidak diperhatikansecara seksama dalam proses pembentukan daerah otonom baru

Provinsi Kabupaten yang akan

dimekarkan

Nangroe Aceh Darussalam (NAD) 1. Kabupaten Aceh Jaya,

2. Kabupaten Nagan Jaya,

3. Kabupaten Gayo Lues,

4. Kabupaten Aceh Barat, dan5. Kabupaten Aceh Timiang.

Sumatera Selatan 1. Kabupaten Musibanyuasin

Sumatera Barat 1. Kota Pariaman

Kalimantan Tengah 1. Kabupaten Katingan,

2. Kabupaten Seruyan,

3. Kabupaten Sukamara,

4. Kabupaten Barito Timur,

5. Kabupaten Lamandau,

6. Kabupaten Gunung Mas,

7. Pulau Pisau dan

8. Murung Jaya.

Kalimantan Timur 1. Kabupaten Penajam

Nusa Tenggara Barat 1. Kota Bima

Nusa Tenggara Timur 1. Kabupataen Rote Ndao

Sulawesi Tengah 1. Kabupaten Parigi Mautong

Sulawesi Selatan 1. Kabupaten Mamasa

Sulawesi Utara 1. Kabupaten Talaud

Sumber: Depdagri sebagaiman dimuat dalam Kompas 25 Februari 2002

Tabel 2. Pemekaran Wilayah tahun 2002

Page 139: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

133

OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

berpotensi akan memicu konflik lintas daerah, sehingga menjadikendala pelaksanaan otonomi daerah. Konflik lintas daerah yangmelibatkan institusi pemerintahan, dapat berjalan dalam bingkai yangrasional, sehingga akan relatif dapat dicarikan resolusinya. Konflikakan meluas dan eskalatif, apabila hal tersebut berlangsung berlarut-larut. Akan muncul peluang bagi aktor-aktor yang sengaja me-manfaatkan konflik lintas daerah tersebut untuk kepentinganpolitiknya. Konflikpun akan berjalan secara absurd tatkala telahmenyentuh wilayah tradisional dan primordialisme kedaerahan.Konflik tidak lagi terjadi antar institusi pemerintahan yang bersifatvertikal, namun telah turun menjadi konflik horisontal yangmemobilisasi masa dari kedua daerah yang bertikai.

a) Rekayasa Politik

Logika kekuasaan selalu menghendaki adanya ketergantunganatas pihak yang dikuasai. Hubungan antara pemerintahan daerah,baik dengan pemerintahan yang berada diatasnya atau sejajar, tidakbisa dilepaskan dari logika kekuasaan. Dalam kerangka ini, makapemekaran wilayah sudah barang tentu merupakan kerugian politikbagi wilayah induk. Tidak mengherankan apabila akan ada rekayasapolitik yang bertujuan menghambat proses pemekaran ataupembentukan daerah baru, meski hal ini mungkin tidak akan diakuidan sulit untuk dibuktikan. Satu diantara modus yang mungkin dapatdilakukan adalah dengan cara melimpahkan sejumlah pegawai kewilayah pemekaran tanpa disertai dengan penyerahan manajerialfinansial, sehingga menghambat pelaksanaan fungsi pemerintahanuntuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Konflik antarapemerintah daerah Kabupaten Malang dengan pemerintah daerahKota Administratif Batu yang memekarkan diri dari wilayah induknya,kabupaten Malang, dapat dijadikan gambaran mengenai hubungankekuasaan yang menghendaki ketergantungan tersebut.

Pemekaran wilayah Kota Administratif Batu lepas dari KabupatenMalang sebagai daerah induk tidak diikuti oleh langkah-langkahsubstantif yang menjadikannya otonom, sehingga menyebabkan KotaAdministratif tetap tergantung kepada Kabupaten Malang. Pegawainegeri sipil (PNS) yang sebelumnya berada di bawah PemerintahKabupaten Malang sebanyak 1.275 PNS secara resmi dilimpahkan

Page 140: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

134

kepada Kota Batu pada 2002. Pelimpahan PNS tersebut tidakdibarengi dengan penyerahan manajerial finansial. Akibatnya gaji1.275 tersebut masih ditandatangani atas nama PemerintahKabupaten Malang. Hal tersebut menimbulkan masalah lantarandalam dana alokasi umum (DAU) Kota Batu 2002 hanya dialokasikanuntuk 108 PNS, sesuai dengan informasi Direktur JenderalPerimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (PKPD) Depkeu. Saatdilakukan pertemuan di Depkeu pada 11 Oktober 2001, menurutPejabat Pelaksana Tugas Harian Sekretaris Daerah KabupatenMalang PNS Pemerintah Kota Batu hanya 108 orang. Dengandemikian 1.275 PNS masih tercatat sebagai PNS di bawahPemerintah Kabupaten Malang. Berdasarkan hal itu, maka DAU KotaAdministratif Batu ditetapkan sebesar Rp 28,81 dengan acuan jumlahPNS 108 orang. Pada 31 Desember 2001, Pemerintah KabupatenMalang melimpahkan 1.275 PNS ke Kota Batu tanpa penjelasan soalsiapa yang menggajinya. Menurut Direktorat Sub. DAU Depkeubahwa belanja pegawai Pemerintah Kabupaten Malang berjumlahRp 34,17 milyar. Sedangkan jumlah belanja PNS Pemerintah KotaBatu sebesar 1,5 miliar untuk 108 PNS.11

Modus lain yang dilakukan daerah induk untuk meghambatproses pemekaran wilayah adalah dengan memangkas strukturbirokrasi di wilayah pemekaran dengan cara menarik pegawai ataupejabat yang ada ke daerah induk. Apa yang terjadi di KabupatenJember memberikan penjelasan hal yang demikian itu. Akibatmasalah otonomi daerah di Kabupaten Jember terjadi konflik antaraPemerintah Kota Administratif Jember, sebagai daerah otonom barudan Pemerintah Kabupaten Jember. Konflik bermula dariketidakpuasan Pemerintah Kota Administratif yang berpendapatanasli daerah (PAD) 1,4 miliar per tahun, atas kegagalan kenaikan sta-tus menjadi daerah otonom (kota). Konflik berlanjut dalam bentukpengamputasian kewenangan Kota Administratif Jember oleh BupatiJember. Banyak lembaga kedinasan yang ditarik kembali menjadibagian pemerintah kabupaten. Akibatnya, pelayanan umum bagikeperluan penduduk Kota Jember terbengkalai. Konflik tersebutberlanjut dalam bentuk gugatan di tingkat pengadilan PTUN diSurabaya dengan tergugat Menteri Dalam Negeri dan Bupati Jember.Selain itu faktor lain yang memicu konflik adalah keberadaan sisa

Page 141: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

135

OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

anggaran Rp 350 juta yang menjadi hak Kota Jember tidak dicairkan.Alasan yang menjadi argumentasi dan justifikasi tindakan BupatiKabupaten Jember bahwa pertama, posisi pemerintahan kabupatenberada di atas kota administratif, maka surat keputusan (SK) walikota admisnistratif dapat dikalahkan dengan SK bupati. Bupati Jembermengeluarkan SK No44/2001 yang intinya menarik instansi vital kebawah Pemerintah Kabupaten Jember atas nama rasionalisasi yangdisesuaikan kebutuhan. Dalam SK tersebut, juga dinyatakan telahterjadi pencabutan wewenang terhadap Wali Kota AdministratifJember yang dilakukan Bupati. Kedua, Dalam UU No 22/1999 tidakdisebutkan adanya kota administratif. Maka tidak alasan konstitusiyang dapat mendukung pembentukan Kota Administratif Jember.Alasan Bupati Jember seolah makin kuat setelah Menteri DalamNegeri dan DPR tidak merekomendasikan kenaikan status kota ad-ministratif menjadi kota.12

Pemekaran wilayah, adakalanya lebih mencerminkan kepentinganpolitik pusat daripada kepentingan rakyat di daerah. Tujuan pusatmelakukan pemekaran wilayah, tampaknya didorong oleh keinginanuntuk melemahkan resistensi daerah dan memudahkan kontrol.Pemekaran wilayah di Papua, dapat dijadikan contoh sebagai bentukmasih adanya kooptasi pusat terhadap daerah. Di sisi lain masyarakatPapua sebenarnya menghendaki pemberlakukan otonomi khusus atasmereka. Kiranya perlu dipahami bahwa dibalik otonomi daerahmerupakan momentum bagi masyarakat daerah mengaktualisasikanjatidiri lokal mereka sebagai satu kesatuan komunitas. Dalam konteksini, maka penolakan masyarakat Papua terhadap pusat yang inginmemekarkan wilayah mereka merupakan sebagai reaksi atas langkahpemecah-belahan indentias komunal, karena orang Papua adalah satu.Tidak ada orang Papua Barat atau orang Papua yang lain.

Pemekaran Provinsi Papua merupakan permasalahan yangcukup kompleks pada masa otonomi daerah. Keinginan pemerintahpusat yang tidak bisa ditawar lagi untuk memekarkan Provinsi Papuadilatarbelakangi oleh prejudice bahwa tuntutan otonomi khusushanyalah sebagai instrumen politik bagi masyarakat Papuamemisahkan diri dari NKRI. Yang menjadi pertanyaan adalahsejauhmana prejudice tersebut dapat dibenarkan? Tuntutan

Page 142: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

136

pemisahan oleh suatu wilayah dari wilayah induk tidak serta mertamuncul tanpa adanya pemicu atau preseden yang mendorongkeinginan tersebut. Ketidakadilan distribusi pembangunan selamaini menjadi faktor yang dapat dipakai untuk memahami tuntutandaerah memerdekakan diri. Apakah tuntutan tersebut rasional atautidak, hal tersebut adalah masalah lain.

Untuk tujuan tertentu, konflik merupakan momentum yang tepatbagi satu pihak untuk mencapai tujuan politik atau ekonomi. Konflikpemekaran wilayah yang menjadi aktual dan menguat sejak tahun1999, tidak lepas dari permainan elit politik lokal yang hendak berkuasa.Konflik hanya merupakan instrumen untuk menaikkan posisi tawar-menawar dan lobi elit politik lokal kepada pusat kekuasan di Jakarta.Dengan demikian pemekaran wilayah daerah, erat terkait dengankepentingan elit politik di pusat kekuasaan. Dalam pemekaran Papuamenjadi tiga provinsi berdasarkan UU No 45/1999 yang percepatdengan dikeluarkannya PP No 1/2001 memperlihatkan keterkaitanmutualis yang kental antara kepentingan elit politik di pusat dan daerah.Laporan penelitian yang diterbitkan oleh LIPI pada tahun 2003 tentangkonflik dalam pemekaran wilayah di Papua menyebutkan adanya relasidan lobi elit politik lokal Papua yang berdomisili di Jawa terhadapsejumlah elit politik pusat di satu partai politik untuk mempercepatpemekaran wilayah Irian Jaya Barat. Selain memiliki kedekatan dengansejumlah elit di satu partai politik, diketahui elit lokal tersebut jugamemiliki hubungan baik dengan pejabat di lembaga intelejen negara.Tujuan dari lobi mempercepat pembentukan provinsi Irian Jaya Barat,adalah untuk memuluskan jalan bagi seorang Purnawirawan Perwiratinggi Marinir menjadi Gubernur Provinsi Irian Jaya Barat (Irjabar).Kompensai yang dapat oleh sebagian elit politik lokal yang aktif dipartai politik atas lobi yang mereka lakukan adalah penempatan merekasebagai anggota DPRD.

b) Batas wilayahPembentukan daerah baru secara otomatis menyebabkan

perubahan tata ruang batas wilayah. Persoalan penentuan luas dantapal batas daerah serta keberatan dari daerah induk untukmenyerahkan beberapa wilayah yang ada kepada daerah baru

Page 143: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

137

OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

merupakan persoalan pelik yang dapat berpotensi memicu konflikantar daerah. Aspek sosiologis dan budaya dalam pembentukandaerah memiliki peran penting yang dapat meminimalisasi adanyaresistensi dari pihak berseberangan. Karena pada prinsipnyakeberadaan sebuah wilayah tidak bisa dilepaskan dari komunitasyang menempatinya dengan konstruksi sosial dan budaya yang telahdijalani dalam rentang waktu yang lama. Wilayah menyediakansumberdaya yang dibutuhkan oleh komunitas dalam kehidupansehari-hari. Oleh karena itu pembentukan daerah baru, selainberkurangnya otoritas politik, juga berarti hilangnya sumberdaya lokaldan infrastruktur yang menjadi daya dukung terhadap kehidupansehari-hari. Seperti kasus pemekaran Kota Bukittinggi yang ditolakKabupaten Agama. Sikap penolakan Kabupaten Agam terhadappemekaran Kota Bukittinggi, didasarkan atas dua faktor, pertama,dari ‘masyarakat ‘ yang menolak menyerahkan sedikitnya 34 desauntuk perluasan Kota Bukittinggi. Berdasarkan keputusan KerapatanAdat Nagari (KAN), desa-desa tersebut memilih kembali kepada polahidup bernagari. Hal ini berarti tidak mengenal adanya perbedaanwilayah berdasarkan batas politik antara Kota Bukittinggi danKabupaten Agam. Sikap ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengansikap masyarakat Papua yang menolak pemekaran Provinsi Papua.Kedua, keberadaan PDAM yang berada di Kota Bukittinggi. Denganpemisahan tersebut, tentunya akan merugikan Kabupaten Agamadengan kehilangan PDAM yang menjadi sumber pendapatan daerah.

Kasus lain tentang konflik batas wilayah, adalah konflik tapalbatas yang terjadi antara Kabupaten Muaro Bungo dan KabupatenTebo di Provinsi Jambi. Konflik ini dikenal dengan “tragedi 9 Sep-tember 2002”. Kabupaten Tebo merupakan hasil pemekaran dariKabupaten Induk Bungo Tebo (Bute) yang disahkan sejak tahun 1999,berdasarkan UU No. 54/1999. Hingga saat ini masalah tapal batastersebut masih menjadi polemik yang belum terselesaikan terutamasoal pengaturan tapal batas di sepanjang 2 (dua) daerah tersebutyaitu di Desa Bebeko dan Ala Ilir. Isu ini dianggap penting karenamelibatkan masyarakat yang menelan banyak korban baik morilmaupun materil. Ada kesan yang kuat bahwa proses pemekaran inisecara sosiologis belum tuntas.

Page 144: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

138

Hal penting lainnya yang perlu diperhatikan sebagai ekses daripemekaran wilayah adalah perebutan pengelolaan SDA. Konflikpengelolaan SDA terjadi karena pemekaran wilayah tidakmemperhatikan aspek tata-ruang sesuai dengan keterbatasansumberdaya secara obyektif. Pemekaran wilayah pada umumnyadisambut Secara euforia, sehingga kurang memperhatikan tata-ruangdan aspek pendukung lain. Permasalahan biasanya pula baru munculkemudian tatkala daerah baru mengalami kesulitan pendanaan untukmembiayai pembangunan di wilayahnya.

6. Konflik Primordialisme Daerah

a) ‘Putra Daerah’: Sentimen DaerahSatu hal yang mencuat setelah reformasi politik dan lebih khusus

setelah dilaksanakannya otonomi daerah, yaitu menguatnya egokedaerahan. Hal ini terjadi disebabkan oleh sistem sentralisasi telahmembuka pintu bagi pemerintahan pusat mengkooptasi sumberdayapolitik lokal. Sumberdaya politik lokal diperlakukan oleh pusat lebihsebagai instrumen kekuasaan pusat mengontrol daerah. Selain ituinfrastruktur politik yang ada ditingkat lokal, juga lebih mencerminkankepentingan elit di pusat. Aspirasi daerah yang menghendakipemberdayaan lokal demi kesejahteraan di wilayahnya tidak pernahterakomodasi secara baik ditingkat pusat. Karena itu tidakmengherankan apabila terjadi perubahan konstelasi politik ditingkatpusat dan mengalami transisi poilitik, maka direspons oleh sebagianelit didaerah daerah dengan menuntut pemisahan dari wilayah NKRI.Contoh kasus adalah tuntutan Riau merdeka yang diproklamirkanoleh Tabrani Rab, salah seorang tokoh Riau yang berpengaruh. Meskituntutan tersebut terlihat tidak mendapatkan respons yang kuat darimasyarakat Riau sendiri dan tidak memunculkan konflik ‘kekerasan’antara daerah dengan pusat, seperti yang terjadi di Aceh, tapi haltersebut telah cukup memperlihatkan geliat politik lokal yang berbasisyang pada sentimen kedaerahan antara Jawa dengan non Jawa.

Otonomi daerah telah membuka peluang partisipasi politik lokalyang luas dalam mendorong proses pembangunan. Pengalaman danpemahaman masyarakat di daerah yang kurang dalam mengelolasumberdaya pembangunan, ditambah dengan kepentingan elit politik

Page 145: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

139

OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

untuk masuk dalam lingkaran kekuasaan di daerah yang sebelumnyatidak pernah mendapatkan kesempatan, telah memunculkanirasionalitas politik, yang kontraproduktif dengan tujuan otonomi itusendiri. Irasionalitas politik yang dimaksud adalah penciptaan politikidentitas yang berbasis pada ego kedaerahan atau sentimen etnis.Isu “putra daerah” yang mengemuka dalam setiap momen pemilihankepala daerah atau pemilihan anggota DPRD merupakan satu contohirasionalitas politik di masa otonomi.

Isu kedaerahan atau politik identitas muncul dalam proses politiklokal, disatu sisi dapat dipahami sebagai bagian dari dinamika politik,dimana secara sosiologis penggunaan sentimen primordialismeadalah suatu hal yang lazim terjadi. Tidak hanya pada proses politiklokal. Pada proses politik nasional, penggunaan simbol-simbolprimordialisme, seperti simbol agama, juga terjadi dan tidak bisadihilangkan sama sekali. Dalam perspektif modernisme, boleh sajahal-hal yang berkaitan dengan sentimen primordialisme dinilaisebagai hal yang tradisional, irasional, untuk itu perlu disekularisasi,karena pembangunan pada prinsipnya adalah proses yang rasional.Tapi dalam realitasnya tidak bisa dihilangkan sama sekali. Memangtidak jujur mengatakan bahwa ketidakberhasilan Orde Barumenjalankan program modernisasi pembangunan politik adalahsebagai bukti kegagalan konsep modernisme. Modernisasipembangunan politik Orde Baru dialkukan sebagai jalan bagi targetpertumbuhan ekonomi, dan menjadi ironi, ketika implementasimodernisasi pembangunan politik tidak disertai dengan liberalisasipolitik yang mengakomodasi dan mengapresiasi kemajemukan danpartisipasi politik yang luas dari masyarakat. Modernisasipembangunan politik ala Orde Baru dilakukan dilakukan secararepresif, menghendaki keseragaman, menutup adanya perbedaan,terlebih memberi kesempatan bagi partisipasi politik lokal. Dalampemikiran Orde Baru liberalisasi, pluralisme, dan multikulturalismehanya akan menjadi ancaman bagi proses pembangunan yangberorientasi pada pertumbuhan ekonomi karena belajar dari masalalu (Orde Lama)

Dalam konteks otonomi, sentimen kedaerahan secara obyektifdapat berpotensi menjadi kendala yang mengagalkan otonomi,

Page 146: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

140

apabila dikelola secara tidak produktif. Elit politik lokal, sengajamenggunakan isu “putra daerah” agar dapat menduduki tampukkekuasaan. Dengan mengangkat isu ‘putra daerah’ dalam prosespolitik lokal, elit lokal dapat menyentuh kesadaran ‘ke-aku-an’masyarakat daerah bahwa sudah sepantasnya pemerintahan didaerah dipimpin oleh orang asli daerah itu sendiri. Pertimbanganrasional, seperti kemampuan manajerial dan kepemimpinan adalahpersoalan yang tidak terlalu penting dalam konteks ini. Selain itu,dengan menggunakan isu tersebut, elit politik lokal dapat denganmudah, efesien dan efektif memobilisasi masa untuk mendukungnya.

Menguatnya sentimen kedaerahan, tentunya akan bertabrakandengan keberadaan pendatang di satu wilayah. Sebagai suatukomunitas dan warga negara, para pendatang, seperti juga pendudukpribumi, mereka memiliki hak dan kepentingan yang sama terhadapproses pembangunan di daerah di mana mereka tinggal. Hal inilahyang kemudian dicemaskan akan memicu konflik horisontal. Atasnama otonomi daerah, dapat menjadi alasan bagi elit politik di daerahuntuk melakukan semacam pembersihan terhadap pejabat-pejabatpemerintahan atau tokoh politik dari luar daerah dan menyulitkanbagi penduduk yang bukan asli daerah terpilih menjadi kepala daerah.Dengan demikian, prinsip meritokrasi dalam sistem pemerintahanakan dilanggar untuk kepentingan menempatkan ‘putra daerah’dalam kepemimpinan pemerintahan di daerah. Sebagai contohfaktual, bahwa proses pembersihan pemerintahan daerah dari bukanpenduduk asli telah mulai berjalan adalah apa yang terjadi dikabupaten Lembata yang menolak calon pegawai negeri sipil (CPNS)dari luar daerah, serta sikap keberatan kabupaten Ende untukmenerima kehadiran pejabat dari daerah lain.13

b) Konflik Penduduk Asli dan Pendatang: Perebutan LahanKonflik antara penduduk asli dan penduduk pendatang apabila

ditelusuri lebih jauh akan bermuara pada ketimpangan sosialekonomi. Sentimen priomordial, seperti etnis hanyalah merupakanmedia konflik bukan sebagai sumber konflik itu sendiri. Prosesintegrasi antara penduduk asli dengan penduduk pendatang awalnyaterkendala pola sosialisasi yang ekslusif. Ketimpangan secara sosialdan ekonomi pada akhirnya membuat proses integrasi semakin sulit,

Page 147: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

141

OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

sehingga berpotensi memicu konflik horisontal. Konflik horisontalantar penduduk asli dan pendatang tersebut kerapkali disertai olehtindakan kekerasan yang menelan korban jiwa dan materi. Konflikantara penduduk Dayak dan Melayu dengan penduduk Madura diKabupaten Sambas, Kalimantan Barat, pada tahun 2001 yang lalu,merupakan contoh kasus bagaimana sentimen primordial menjadimedia konflik, di mana sumber konflik berasal dari ketimpangansosial-ekonomi.

Konflik antara penduduk asli dan pendatang, seperti dalam kasusSambas, hanyalah api dalam sekam yang sejak lama sudah siapmembakar. Apabila ditarik lebih jauh ke belakang. Maka konflikhorisontal tersebut tidak bisa dilepaskan dari kebijakan pemerintahuntuk mengatasi ketimpangan demografis, antara pulau yangmengalami tekanan penduduk jumlah penduduk dengan pula yangmengalam tekanan jumlah penduduk yang rendah, denganmelaksanakan strategi transmigrasi, yaitu pengiriman penduduk daripulau berpenduduk padat, seperti Jawa ke pulau-pulau berpenduduksedikit, seperti Kalimantan untuk melakukan budidaya pertaniansecara intensif. Di sisi lain penduduk asli telah terbiasa melakukanbudidaya tanam secara ekstensif (Levang, 2003). Dari sinilah bibitkonflik mulai tercipta. Terdapat dua cara pandang yang berbedadalam budidaya tanam. Lahan tidur bagi penduduk pendatang adalahpemborosan sementara bagi penduduk asli, seperti Dayak, lahanadalah jaminan sumber pendapatan sehari-hari. Orang Dayak telahbiasa memanfaatkan hutan sebagai ‘kebun’ yang menghasilkan,sementara bagi penduduk pendatang ia dipandang sebagai hutanyang belum terjamah.

Pemanfaatan lahan oleh penduduk asli, biasanya dilakukanberdasarkan hukum adat yang didefinisikan secara berbeda-bedasesuai dengan setting sosial dan konstruksi budaya yang diakui.Seperti masyarakat Dayak Ngaju, mendefinisikan pemilikan lahandengan menetapkan bahwa perambah hutan pertama kali akanmemiliki hak penuh untuk memiliki dan mengelola lahan. Dapatmeminjamkan lahan, mewariskan bahkan menjualnya. Dengankebijakan transmigrasi yang mulai digalakkan oleh Pemerintah, makaproses peminggiran kepemilikan lahan berdasarkan hukum adat

Page 148: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

142

masing-masing mulai berlangsung. Sesuai dengan klasusul basictransmigration act tahun 1972 bahwa tanah yang diperuntukkan bagikepentingan transmigrasi harus bebas dari berbagai tuntutan(Levang, 2003). Proses tawar menawar untuk pembebasa seringkalidiwarnai oleh intimidasi dan kekerasan yang memaksa pendudukasli melepaskan lahannya untuk dijadikan lahan budidaya olehtransmigran. Dalam jangka waktu panjang, mengingat keterikatanpenduduk asli dengan tanah leluhur, maka pembebasa lahan untukkepentingan transmigrasi, di kemudian hari menimbulkan konflik.Konflik horisontal di Sambas, dapat dipahami dalam konteks ini yangberakar pada kepemilikan lahan oleh penduduk pendatang melaluiproses transmigrasi. Kondisi yang sama, juga terjadi hampir disemuadaerah yang menjadi kawasan poyeks transmigrasi. Tentunya haltersebut menyimpan potensi konflik antara penduduk asli danpenduduk pendatang. Tentunya hal tersebut akan menjadi kendalayang cukup besar bagi otonomi daerah.

D. Konflik Pemilihan Kepala Daerah LangsungKemajuan yang dialami rakyat Indonesia dalam sistem

pemerintahan dalam otonomi daerah adalah pelaksanaan pemilihankepala daerah (Pilkada) yang dipilih secara langsung oleh rakyat.Kepala daerah tidak lagi dipilih di dalam gedung DPR yang notabene diisi oleh perwakilan dari partai politik pemenang pemilu. Kepaladaerah juga tidak lagi dapat ditentukan oleh pusat. Untuk pertamakalinya rakyat daerah dapat memilih dan menentukan secara otonomsipa yang berhak dan dianggap mampu memimpin dan mengaturmereka. Melalui Pilkada langsung, partisipasi rakyat daerah dalamsistem politik menjadi lebih berdaya dan memiliki posisi tawar.

Pilkada hanyalah proses, sebuah perhelatan demokrasi. Suksesatau tidaknya perhelatan demokrasi tergantungan dengan kesiapansumberdaya manusia, supra dan infrastruktur yang mendukungnya.Terdapat catatan bahwa pelaksanaan Pilkada selama ini telahmengakibatkan konflik baik antar elit politik hingga melibatkanmasyarakat pendukung. Konflik pilkada bergeser dari konflik dalamgendung DPRD menjadi konflik di luar gedung. Konflik antar elit politikdalam hal pilkada dapat dilihat dari beberapa kasus di mana kandidat

Page 149: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

143

OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

yang dicalonkan oleh partai politik tidak sejalan dengan aspirasianggota DPRD yang nota bene adalah perpanjangan partai di gedunglegislatif. Atau kandidat pilkada yang terpilih oleh DPRD tidak disetujuioleh Gubernur atau pemerintah pusat melalui Menteri Dalam Negeri.

Konflik antara anggota DPRD dengan partai politik atau DPRDdengan Gubernur atau pemerintah pusat dalam hal pilkada, tidaklagi terjadi. Dalam Undang-undang Pemerintah Daerah No. 32/2004,pasal 56 (1), telah diatur bahwa pemerintah daerah dipilih secarademokratis berdasarkan asas langsung, bebas, umum, jujur dan adil.Dengan demikian telah menutup pintu bagi kooptasi atas yangmerekayasa pemilihan kepala daerah secara struktural. Hal initentunya merupakan langkah yang progresif dalam prosesdemokratisasi di tingkat lokal. Namun demikian, pelaksanaan pilkadalangsung tetap saja menyisakan banyak kekawatiran. Pilkadalangsung sepenuhnya merupakan hak dan kewajiban daerah, makayang menjadi pertanyaan awal mengarah pada kesiapan daerahdalam menyelenggarakan pilkada. Karena dari sini prosesdemokratisasi akan dapat berlangsung baik atau sebaliknya.

Secara nasional, bangsa Indonesia telah memiliki pengalamanmenyelenggarakan pemilihan umum dan terakhir telah berhasilmemilih secara langsung presiden. Pengalaman yang panjang dalammelakukan pemilu menjadi modal penting yang memuluskan prosespilpres langsung 2004 yang lalu. Konflik horisontal yang pernah terjadidalam pemilu 1999 menurun dan menjadi indikator bahwa rasionalitaspemilih telah terbentuk. Apakah keberhasilan yang sama akandidapati pula dalam pelaksanaan pilkada langsung? Eskalasi konflikyang rendah dalam pilpres langsung 2004 lalu, dapat dipahami,karena masyarakat tidak memiliki kepentingan yang langsung dalamproses politik nasional, demikian pula dengan elit di tingkat lokal.Berbeda dengan pelaksanaan pilkada langsung, maka hal tersebutakan bersentuhan secara langsung dengan kepentingan masyarakatdan elit lokal. Kebijakan pemerintah yang terpilih akan bepengaruhterhadap kehidupan sosial, ekonomi dan politik mereka. Karena itupemanasan suhu politikpun akan meningkat. Dengan demikianpotensi konflik dalam pilkada akan lebih besar daripada potensi konflikdalam pilpres.

Page 150: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

144

Identifikasi kendala dan potensi konflik dalam pilkada dapatditelusuri dari beberapa aspek:

Pertama, Aspek waktu. Pelaksanaan pilkada langsung yangserentak dilaksanakan mulai dilakukan 27 Juni 2005 di seluruh daerahbanyak mengundang kekhawatiran menjadi kisruh karena waktupersiapan yang sangat singkat. Sejak UU 32/2004 tentangPemerintahan Daerah disahkan, maka pemerintah mencanangkanpelaksanaan pilkada langsung di daerah-daerah yang gubernur danbupatinya telah masih jabatannya. Namun demikian tenggang waktuyang tersedia relatif kurang mencukupi untuk daerah melakukanpersiapan-persiapan tahapan penyelenggaraan pilkada, sepertipencatatan daftar pemilih, verifikasi calon pilkada, pencetakan suratsuara, pembentukan aparat pilkada di tingkat bawah, KPPS dan PPS,pembentukan panwasda, serta waktu penyelesaian sengketaterhadap hasil pilkada. Terkesan pelaksanaan pilkada dilakukansecara tergesa-gesa, sehingga persiapan tahapan-tahapan pilkadamenjadi kurang optimal. Apabila persiapan pemilu ditingkat nasionaldilakukan satu tahun sebelum hari H, maka tentunya tidak jauhberbeda dengan pilkada.

Menurut skenario limitasi waktu yang diatur dalam undang-undang, maka waktu persiapan pilkada membutuhkan 150 sampaidengan 180 hari kerja. Dengan perincian, 7 hari untuk pendaftaran,7 hari untuk verifikasi, 7 hari perbaikan hasil verifikasi, 3 haripengajuan keberatan, 14 hari masa kampanye, 3 hari masa tenang,14 hari penyelesaian sengketa. Dengan melihat kendala lapangan,apakah daerah akan dapat melaksanakan pilkada sesuai denganpembagian waktu yang telah ditetapkan? Tampaknya tidak. Mepetnyawaktu pelaksanaan pilkada juga menyebabkan partai politik tidakdapat dengan cepat menyelesaikan konflik internal dalam tubuh partaisehingga tidak dapat mendaftarkan kandidatnya sesuai denganjadwal. Hal ini berimbas kepada permintaan oleh partai politik untukmenunda pelaksanaan pilkada. Bahkan untuk memperkuat haltersebut melibatkan pimpinan politik di tingkat pusat yang jugapejabat negara. Seperti dalam kasus permintaan penundaan Pilkadadi Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu, oleh Partai Golkar me-lakukan pergantian kandidat. Karena waktu yang singkat me-

Page 151: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

145

OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

nyebabkan Partai Gollkar mendaftar kandidatnya. Agar hal tersebutdapat dipenuhi, ketua umum Golkar yang juga Wakil Presiden,melayangkan surat kepada Menteri Dalam Negeri, yang intinyameminta penundaan pelaksanaan pilkada. Di sini terlihat jelas,adanya konflik kepentingan antara pejabat negara di satu pihak danpengurus partai politik yang melakukan intervensi terhadappelaksanaan pilkada di daerah. Pertanyaannya apakah Mendagridapat menolak surat yang berasal dari Ketua Umum Golkar yangjuga merupakan atasannya, yaitu Wakil Presiden?

Kedua, hal yang sangat penting mempengaruhi semua bentukperhelatan, terlebih perhelatan politik yang menentukan arahkebijakan pemerintahan di masa depan adalah seberapa besar danayang tersedia. Dari aspek yang satu ini, muncul kekawatiran bahwadaerah yang memiliki kemampuan keuangan yang rendah akanmengalami kesulitan melaksanakan pilkada. Ketika prosesi pilkadamasih berlangsung di dalam gedung DPRD dan hanya melibatkanelit politik, maka bagi daerah yang memiliki kemampuan keuanganrendah tidak mengalami kesulitan, namun karena prosesi pilkadatelah dipindahkan ke luar gedung DPRD dan melibatkan partisipasirakyat, maka otomatis berkonskwesi membutuhkan biaya yang besar.Dari mana pemerintah daerah mendapatkan biaya tesebut?

Pemerintah pusat telah merencanakan alokasi dana untukmembiayai pilkada di seluruh daerah sebesar Rp 1,5 triliun lebih,dengan perincian + Rp. 926 miliar dialokasikan dari pos APBN danselebihnya sebesar + Rp. 627 miliar dialokasikan dari pos ABPDyang dibebankan secara proporsional kepada masing-masing daerahsesuai dengan kemampuan keuangan daerah.14 Besaran alokasidana berdasarkan skenario pemerintah tersebut memasukkanberbagai kegiatan yang menjadi rangkaian pilkada, mulai darisosialisasi, penyelenggaraan, monitoring dan evaluasi, sertaadministrasi kependudukan, kecuali biaya yudisial. Skenario atauformulasi anggaran pilkada dari Departemen Dalam Negeri(Depdagri), telah disusun berdasarkan pembagian ABPN dan APBDyang ditentukan dari selisih kapasitas fiskal dan kebutuhan fiskal,dimana jika kapasitas fiskal di daerah berada neraca negatif makaalokasi dana APBN menjadi lebih besar. Ken dala daerah menerima

Page 152: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

146

model pembagian skenario atau formulasi anggaran pilkada sepertiitu adalah pertama, terdapat daerah pemekaran yang belummenyusun APBD serta tidak memiliki kemampuan keuangan untukmembiayai pilkada; kedua, belum adanya aturan pemberian danatalangan ke KPUD yang membutuhkan dana karena kemampuankeuangan daerah yang negatif. Dalam kasus KPUD Kota Depok yangterpaksa berhutang karena belum cairnya dana dari APBD15; ketiga,ketidakjelasan proporsi APBN dan APBD untuk setiap daerah;keempat, belum jelasnya definisi daerah, selain itu terdapat daerahyang memerlukan perlakuan khusus.

Ketiga, selain waktu yang relatif singkat bagi daerah memper-siapkan penyelenggaran pilkada dan dana yang belum jelas, makapersiapan instrumen pendukung pilkada menjadi kendala yangmempengaruhi keberhasilan dan kualitas pelaksanaan pilkada.Instrumen pilkada yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalahsejauhmana daerah telah mempersiapkan aparat pilkada di berbagaitingkatan wilayah, seperti KPPS, PPK dan PPS. Selain itu beberapadaerah juga masih belum membentuk Panitia Pengawas Daerah(Panwasda) sebagai prasyarat Pilkada. Belum dibentuknyaPanwasda karena beberapa alasan, pertama, di beberapa daerahpemekaran KPUD masih belum terbentuk; kedua, DPRD lebihmemprioritaskan proses pencalonan kepala daerah dan kurangmenggap penting keberadaan panwas; ketiga, kekurang siapanKPUD menyusun tahapan pilkada karena baru terbentuk dan masihbelum ada rancangan anggaran dalam APBD; keempat, terdapatindikasi bahwa pilkada disetting untuk calon bupati tertentu; dankeenam, alasan yang ironis mengapa panwas belum dibentuk karenaDPRD belum siap dan belum memahami mekanisme pemilihan yangada dalam UU 32/2004.16 Instrumen lain yang menjadi kendalapilkada adalah pemutakhiran data pemilih (DP4). Kebijakanmenggunakan dinas kependudukan untuk melakukan pendaftaranulang pemilih, juga mengandung kelemahan bahwa pendaftaranpemilih sebenarnya merupakan tugas dan wewenang KPUD sebagaibadan yang diakui oleh undang-undang sebagai pelaksana pilkada,sementara dinas kependudukan tidak memiliki fungsi sebagaimanayang dimiliki KPUD dan merupakan bagian dari struktur birokrasi

Page 153: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

147

OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

pemerintahan. Selain itu juga terdapat ketidaksesuaian data pemilihyang dimiliki KPUD dan Dinas. Data pemilih yang dimiliki KPUDberdasarkan data pemilih pada pemilu 2004, yang didaftarberdasarkan kriteria umur yang telah berhak mengikuti pemilu.Sementara daftar pemilih pada Dinas Kependudukan didasari atascatatan kependudukan berdasarkan lokasi tempat tinggal. Karenaitu ada kemungkinan bahwa daftar pemilih yang berada di DinasKependudukan, tidak terdaftar di KPUD karena telah berpindahtempat untuk satu dan lain hal.

Keempat, Aspek lain yang juga berpotensi menghambat pilkadadan rawan konflik adalah hubungan institusi antara KPUD denganDPRD, KPUD dengan Partai Politik, KPUD dengan Panwas danKPUD dengan massa pendukung kandidat.

Undang-undang 32/2004 telah menetapkan bahwa KPUDmerupakan lembaga pelaksana pilkada. Secara hirarkis, KPUDmerupakan lembaga independen, bukan bagian dari strukturpemerintahan. Sebelum adanya keputusan Mahkamah Konstitusi(MK) tentang pertanggungjawaban KPUD, KPUD berkewajibanmempertanggungjawabkan kepada DPRD dan melaporkanpenyelenggaraan pilkada kepada wakil kepala daerah dan DPRD.Keharusan pertanggungjawaban dan pelaporan pelaksanaan KPUDberangkat dari logika penganggaran piaya pilkada dari APBD. Dengankeharusan seperti itu, maka hal tersebut berari KPUD tidak lagiindependen dan berpeluang terjadinya kolusi politik antara KPUD,DPRD dan pemerintah daerah. Kekhawatiran terjadinya kolusi politikantara KPUD dan DPRD, apabila mekanisme pertanggungjawabandan pelaporan tesebut tetap dilakukan adalah suatu hal yang logis,karena DPRD terdiri dari anggota-anggota yang menjadi perwakilanpartai politik.

Kerawanan dalam hal hubungan KPUD dan partai politik, telahmulai terjadi pada saat KPUD melakukan verifikasi kandidat yangdiusulkan oleh partai politik, sebagai bagian dari proses administra-tif yang menjadi landasan bagi KPUD menentukan kelayakankandidat tersebut sebagai peserta pilkada. Dalam hal ini KPUD harusmelakukan dan melaporkan hasil verifikasi secara transparan,

Page 154: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

148

sehingga tidak menimbulkan rasa curiga dari partai politik pendukungkandidat yang tidak diloloskan. Di sisi lain partai politik, juga harusmenjalankan prinsip-prinsip demokrasi dengan tidak melakukantindakan-tindakan pemaksaan dan kekerasan untuk mendesakkandidat yang diusulkan dapat mengikuti pilkada. Sikap partai yangtidak dapat menerima keputusan KPUD dan hasil pilkada, diperparahdengan melakukan mobilisasi massa pendukung kandidat yang tidaklolos atau kalah dalam pilkada. Sehingga konflik antar KPUD danpartai politik kemudian bergeser menjadi konflik antar KPUD vis avis massa pendukung kandidat. Tahap suara, bisa menjadi tahapanyang rawan terjadinya konflik antar KPUD dan massa pendukung,karena kecurigaan adanya manipulasi suara. Keadaan tersebut dapatdiminimalisasikan tergantung terhadap tingkat rasionalitas politikmasyarakat di daerah. Dalam masyarakat yang memiliki rasionalitaspolitik yang tinggi eskalasi konflik akibat pemilihan kepala daerahsangat mungkin tidak terjadi atau rendah. Masyarakat telah dapatmenempatkan

Keberadaan Panwas merupakan bagian dari pilkada. Konflikantara KPUD dan Panwas dalam pilkada telah mulai tampak dalamhal pemberian sanksi terhadap bentuk pelanggaran kampanye. Selainitu sejak awal, dalam pembentukan Panwas pilkada telahmengandung kerawanan akan konflik kepentingan di dalamnyakarena komposisi anggota di dalamnya terdiri dari unsur kepolisian,kejaksaan, perguruan tinggi, pers dan tokoh masyarakat. Meskipuntidak melibatkan unsur pemerintah daerah, namun logika awam telahdapat menangkap aroma intervensi pemerintah terhadap pilkada daripenempatan unsur kepolisian dan kejaksaan. Konflik antara Panwasdengan KPUD dipicu oleh pertama, keberpihakan KPUD terhadapkandidat tertentu sehingga netralitas KPUD terdistorsi; kedua, sikapKPUD yang tidak menindaklanjuti pelanggaran pilkada temuanPanwas; dan ketiga, dana peruntukan bagi Panwas tidak segeradicairkan oleh KPUD.

Kelima, aturan bahwa calon kepala daerah diusulkan oleh partaipolitik, telah menutup peluang bagi partsipasi dari calon non-parti-san yang tidak berafiliasi kepada satu partai politik manapun. Calon

Page 155: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

149

OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

dari luar partai politik yang memenuhi persyaratan untuk mengikutipilkada, mau tidak mau, harus melewati jalur partai politik. Padamekanisme ini, tentunya akan terjadi proses tawar menawar antarakandidat non-partai dengan partai politik yang diminta men-dukungnya. Sudah menjadi rahasia umum tawar menawar tersebutseringkali dalam bentuk konsesi pemberian sejumlah uang sesuaidengan permintaan parpol yang dilamar atau dengan konsesi lain,dalam bentuk jabatan dalam struktur pemerintahan. Praktik lain yangdilakukan terkait dengan pencalonan adalah dimana partai politikyang tidak memiliki calon akan mendekati calon dari luar partai disertaidengan konsesi-konsesi sesuai dengan keinginan partai politik.Praktik seperti ini berpotensi memicu konflik internal partai. Tawarmenawar antara kandidat dengan parpol, pada saat terplih nantitentunya akan menghambat pelaksanaan good governance. Kepaladaerah terpilih cenderung menjadi boneka partai politik, karenaadanya konsesi politik dan ekonomi pada saat pencalonan, sehinggamengungkung kepala daerah dalam loyalitas kepada partai politikdan menjauhkan dari loyalitas kepada masyarakat konstituen. Dalamperspektif politik-ekonomi, loyalitas seperti inilah yang disebut sebagailoyalitas mulitipolar. Dalam struktur loyalitas multipolar iniberkonsekuensi pada tumbuhkembangnya pemerintah bayangan danekonomi informal.

Konflik internal partai tekait dengan pencalonan kepala daerahdapat terjadi disebabkan oleh intervensi pimpinan pusat partaiterhadap pengurus partai di daerah yang menghendaki untukmendukung calon kepala daerah dari pusat, meski bertolakbelakangdengan aspirasi pengurus partai di tingkat lokal. Dalam tradisi danstruktur politik yang berlaku sampai sekarang roda partai politik masihdijalankan melalui mekanisme sentralistis. Pengurus partai politik didaerah hanya menjadi kepanjangan tangan dari kebijakan partai dipusat. Tidak jarang penolakan pengurus partai di daerah akanberakibat pemecatan dari keanggotaan partai oleh pimpinan pusat.Dualisme dukungan partai terhadap dua calon kepala daerahmencerminkan konflik internal tersebut. Efek dari itu adalahmunculnya konflik baru antara partai dengahn KPUD, karena hanya

Page 156: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

150

Catatan:

1 Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, PT Gramedia, Jakarta, 1986, hal. 1682 Suara Pembaruan, 11 April 20023 Bandingkan antara UU 25/1999 dan UU 33/2000. Apabila dalam pasal UU 25/1999 dana perimbangan

tidak diatur secara jelas sebagai sumber penerimaan atau pendapatan daerah, dan ditempatkan sebagaipasal tersendiri. Maka dalam UU 33/200, pasal 5, dana perimbangan dimasukkan sebagai salah satukomponen sumber pendapatan daerah, komponen lainnya yaitu pendapatan asli daerah (PAD) danpendapatan lain-lainnya yang sah.

4 Suara Pembaruan, 11 April 20025 Tri Ratnawati (ed.), Otonomi Daerah dalam Perspektif Lokal, Kasus Jawa Timur, Sumatera Barat dan

Nusa Tenggara Timur, Puslitbang Politik dan Kewilayahan LIPI, Jakarta, 2000.6 Media Indonesia, 3 Januari 20017 Kompas, 16 Januari 20018 Kompas, 22 Maret 20029 Laporan Penelitian, Potensi Konflik di Daerah Pertambangan, Kasus Pangkor dan Cikotok, LIPI, Jakarta,

2003, hal. 53-5510 Dalam UU 33/2004, terdapat penambahan klausul bawah pemekaran dari satu daerah menjadi dua

daerah dapat dilakukan setelah mencapai batas minimal usia penyelenggaraan pemerintahan. Selain itudalam UU sebelumnya pemekaran wilayah hanya disebutkan dapat dilakukan dengan pertimbanganyang sangat longgar, maka dalam UU 32/2004 syarat tersebut lebih diperjelas dengan menyebutkansyarat administratif, teknis dan fisik kewilayahan.

11 Kompas, 16 Februari 200212 Kompas, 18 Februari 200213 Kompas, 19 Januari 200114 Kompas. 01 Maret 200315 Koran Tempo, 01 Maret 200316 lihat laporan Perludem seperti yang dimuat dalam Kompas 19 Maret 2005

menerima satu dari dua calon yang diajukan dari partai yang sama.Dalam posisi ini, independensi KPUD tengah diuji. Apakah KPUDdapat bersikap netral dan tidak memanfaatkan kekisruhan internalpartai untuk kepentingan politik dan ekonomi tertentu.

Page 157: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

151

OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

Implementasi desentralisasi dan otonomi daerah diwarnai dengantarik menarik kepentingan pusat-daerah. Di satu sisi, pusatmenyadari bahwa otonomi merupakan persoalan mendesak yang

perlu segera direalisasikan. Di sisi lain, para pejabat pemerintah pusatberusaha melindungi aset-aset yang strategis sehingga otonomidaerah belum sepenuhnya dapat diimplementasikan. Tarik menarikkepentingan yang berimplikasi pada masalah finansial terlihat daripenguasaan pajak-pajak yang memiliki nilai strategis dan pengelolaanhasil sumber daya alam oleh pusat, sementara daerah hanyamendapat bagi hasilnya dalam jumlah yang kecil, bukan kewenanganpengelolaan seperti yang diasumsikan otonomi daerah.

Persoalan lain yang membayang-bayangi implementasidesentralisasi dan otonomi daerah adalah kekhawatiran aparaturpusat bahwa otonomi akan mengancam keutuhan negara kesatuan.Kekhawatiran tersebut berpangkal dari perlakuan pemerintahterhadap keanekaragaman etnik di bawah Orde Baru. Uniformitaskebijakan berdasarkan konsepsi etnik Jawa dibuat begitu saja olehorang Jakarta seperti UU No.5/1979 tentang Pemerintahan Desa,yang mengakibatkan rusaknya nilai dan pranata sosial masyarakatdi luar etnik Jawa. Penghargaan hanya diberikan terhadap upacara-upacara adat, tetapi tidak menyentuh soal politik dan otonomi (Liddle,dikutip dalam Djohan, 2002). Apresiasi budaya lokal selama OrdeBaru hanya secara simbolik, seperti terhadap makanan daerah,pakaian daerah, rumah adat, lagu daerah dan senjata tradisional.Sedangkan putra daerah yang lahir, sekolah, bekerja dan hidup didaerah asalnya kurang dipercayai (Surbakti, dikutip dalam Djohan,2002). Kekecewaan daerah terhadap kebijakan pusat di masa laluyang cenderung antikeberagaman mencapai titik kulminasi di masa

KesimpulanDesentralisasi dan Otonomi Daerah:

Di Persimpangan Jalan?

Page 158: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

152

otonomi daerah. Tidak mengherankan, jika pada tahap awalpelaksanaan sistem baru ini berbagai konflik berlatar etnik mulaisering terjadi saat keran keterbukaan mulai terjadi di daerah.

Konflik dan berbagai gesekan di daerah merupakan manifestasidari konflik yang selama ini terpendam. Hubungan pusat-daerah yanglebih diwarnai dengan ketegangan di masa lalu menemukansalurannya di masa otonomi daerah. Berdasarkan UU No. 22/1999yang memberikan kewenangan yang besar kepada daerah. Haltersebut memicu sentimen etnik di daerah dengan tuntutan PutraAsli Daerah harus mengisi pos-pos strategis di pemerintahan lokaldan tentu saja pengangkatan PNS pun harus diisi oleh putra daerah.Tuntutan formasi pemerintahan lokal berdasarkan konfigurasi etnikdipandang oleh pusat sebagai ancaman bagi keutuhan negarakesatuan. Padahal, konflik tersebut telah terpendam sejak lama akibatsentralisasi sistem dimana kreatifitas daerah dimatikan secarasistematis dan perlakuan tidak adil terhadap daerah denganmengeksploitasi seluruh sumber daya alam yang ada tanpamenghiraukan pembangunan di daerah bersangkutan.

Untuk mengurangi sentimen etnik dan menguatnya daerah, pusatmengeluarkan kebijakan dengan mengamandemen UU No. 2/1999dengan UU No. 32/2004 yang secara bertahap hendak mematikankreatifitas daerah. Melalui fungsi “pengawasan” dan “pembinaan”dapat menolak dan menganulir kebijakan politik lokal jikabertentangan dengan kebijakan di tingkat pusat. Suatu peraturandaerah yang telah disahkan oleh DPRD tidak akan dapat disahkansebelum melalui mekanisme “konsultasi”. Kenyataan tersebut akanmembayang-bayangi kepala daerah yang baru terpilih dalam pilkadayang baru dilaksanakan di tahun 2005 ini. Kepala daerah terpilihakan menghadapi situasi dimana kepala daerah memiliki legitimasiyang besar karena dipilih melalui pemilihan langsung di satu sisi. Disisi lain, pemerintah daerah akan berhadapan dengan pemerintahpusat yang memiliki kewenangan yang besar dan mampu menganulirsetiap kebijakan daerah yang dinilai tidak sejalan dengan kebijakanpemerintah pusat. UU No.32/2004 jelas berusaha memasang kembaliberangus dan menarik kewenangan yang diberikan UU No. 22/1999.Legitimasi jelas dimiliki oleh pemerintah daerah karena proses

Page 159: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

153

OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

pemilihan langsung, tetapi otoritas untuk menyetujui kebijakan politikdi tingkat lokal tetap berada di tangan pusat. Mekanisme ini akanmenyulitkan kerja pemerintah daerah, apalagi jika tuntutanmasyarakat ternyata bertentangan dengan kebijakan pemerintahpusat.

Desentralisasi dan otonomi daerah yang memiliki cita-citamemberikan kewenangan yang lebih besar kepada daerah agar dapatmelaksanakan pembangunan sesuai dengan kebutuhan masyarakatdi tingkat lokal, saat ini berada di persimpangan jalan. AmandemenUU No. 22/1999 dalam beberapa hal menyangkut kewenangan danotoritas pemerintah pusat cenderung antidesentralisasi. Untuk itu,pelaksanaan otonomi daerah perlu mendapatkan dorongan yanglebih besar dari berbagai elemen masyarakat agar demokratisasi,transparansi dan akuntabiltas dapat berjalan sebagaimana yangdicita-citakan.

Tingkat keberhasilan desentralisasi dan otonomi daerahtergantung dari partisipasi masyarakat di daerah, sebab tujuan daridesentralisasi dan otonomi daerah agar masyarakat lokal mampumengatur potensi wilayahnya sesuai dengan kemampuan lokal yangdimiliki. Kemandirian dalam mengatur sumberdaya lokal atau kearifanlokal (local wisdom) yang mereka miliki diharapkan akan me-numbuhkembangkan kreativitas masyarakat daerah dalam menggalipotensi-potensi yang tersedia, sehingga mampu meningkatkankesejahteraan rakyat. Dalam jangka waktu yang lama, kearifan lokalmasyarakat dipinggirkan secara sistematis dan tersubordinasi dibawah budaya dominan. Politik keseragaman budaya dan penafianmulitikulturalisme secara intensif telah menghilangkan kreativitasmasyarakat lokal memanfaatkan potensi lokal untuk meningkatkankemampuan kehidupan sosial, politik dan ekonomi. Untukmenumbuhkembangkan kembali daya masyarakat memanfaatkansumberdaya dan budaya lokal yang ada, maka masyarakat perludiadvokasi, sehingga mampu memanfaatkan kembali potensi lokalmereka. Bukti dari betapa kuatnya kooptasi budaya dominan yangdiciptakan pemerintah pusat terhadap potensi dan kearifan lokaladalah hilangnya fungsi desa sebagai unit sosial-budaya yang telahada semenjak negara ini belum didirikan dan mengalihfungsikan desa

Page 160: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

154

sebagai entitas politik, unit terkecil dari struktur pemerintahan pusatdi bawah kecamatan.

Program-program advokasi dijalankan secara menyeluruh.Mencakupi semua program yang memberdayakan masyarakat darisegi sosial, politik dan ekonomi. Masyarakat diarahkan mampu untuk:pertama, memperjuangkan hak-hak sipil dan melakukan kontrolterhadap negara dalam hal ini pemerintah daerah, agar berbagikebijakan yang dihasilkan mencerminkan keberpihakan kepadakepentingan umum yang luas dari pada kepentingan pemerintah.disamping itu tujuan advokasi juga menumbuhsadarkan masyarakatterhadap kewajiban sebagai warga negara. Kedua, menggali potensidaerah yang bernilai ekonomis, sehingga memiliki daya saing yangmemungkinkan mereka masuk dalam sistem pasar bebas.Pemberdayaan masyarakat lokal tidak mungkin dilakukan olehpemerintah. Pemerintah selama ini telah telah merasakan manfaatdari ketidakberdayaan masyarakat. Perilaku kekuasaan sentralistisyang cenderung belum berubah, menjadi kendala yang berarti dalammemformulasikan program pemberdayaan masyarakat. Dalamkonteks ini peran NGO dan CSO dalam pemberdayaan danpenguatan sipil sangat dibutuhkan, berfungsi sebagai mediator,fasilitator dan katalisator program-program pemberdayaan. Selainitu, dukungan kemitraan lembaga internasional juga berperan sangatpenting yang berfungsi mensupport pelaksanaan program-programpemberdayaan.

Program pemberdayaan diformulasikan atas pradigma capacityfrom within dan pressure from without. Dengan demikian programadvokasi tidak dijalankan secara top-down dengan anggapan bahwamasyarakat tidak berdaya dan tidak memeiliki kesadaran sosial, politikdan ekonomi sama sekali, sebagaimana yang diamini banyak NGOselama ini. Program diformulasikan berdasarkan asumsi bahwamasyarakat telah memiliki kesadaran sosial, politik dan ekonomi yangdiaktualisasikan dalam budaya dan kearifan lokal yang ada. Namunkarena kooptasi pemerintah pusat, kearifan lokal tesebuttersubordinasi secara struktural oleh budaya dominan kekuasaanyang menyebabkannya terpendam dalam alam bawah sadar

Page 161: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

155

OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

masyarakat. Tugas NGO dan CSO adalah memetakan danmengenalkan kembali kearifan lokal kepada masyarakat untuk tujuandemokratisasi sosial, politik dan ekonomi dan penguatan masyarakatsipil sehigga tercipta pemerintahan yang ramah dengan masyarakat.Selain itu NGO dan CSO perlu memiliki kesamaan visi dan misi dalammelakukan advokasi, dengan lebih mengedepankan orientasi pro-gram daripada orientasi proyek.

Pilkada, momentum penting bagi demokratisasi sistem politik ditingkat lokal yang bertujuan merakyatkan negara dan sebagai awaljalan keluar bagi ketidakadilan pusat terhadap daerah, tampaknyamasih menghadapi banyak kendala dan potensi konflik. Keenggananpemerintah pusat membiarkan pemerintah daerah otonom mewarnaipelaksanaan pilkada. Kendala pelaksanaan pilkada telah mulaiterlihat dari aturan dalam UU 32/2004 yang mengandung banyakketidakjelasan dan kewenangan yang tumpang tindih. Sehinggamasyarakat perlu meminta Mahkamah Konstitusi untuk meninjaukembali UU tersebut. Dominasi partai politik dalam pilkada tampaknyamasih terasa kuat, dengan adanya aturan yang mengharuskanpencalonan kepala daerah melalui jalur partai politik. Aturan tersebutjelas menutup masyarakat secara independen menentukan calonkepala daerah yang diinginkan.

Selain konflik vertikal, konflik horisontal ikut mewarnaipelaksanaan pilkada. Konflik horisontal terjadi akibat rasionalitaspolitik dalam masyarakat masih relatif rendah dan mudah dimobilisasi.Prosesi politik masih dilihat dalam kacamata feodalisme-paternalisme, dengan memberikan loyalitas tanpa reserve kepadacalon kepala daerah yang didukung.

Kontrak-kontrak politik tertentu antara calon kepala dengan elitlokal membayangi pelaksanaan pilkada yang demokratis. Dalamjangka panjang hal ini dapat menjadi kendala serius bagi upaya-upaya mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berpihak kepadarakyat. Kepala Daerah berpotensi terjebak dalam konsesi politik yangakan mejauhkannya dari kepentingan masyarakat umum. Apabilahal ini terjadi maka pemerintahan akan menjadi instrumen yang efektifuntuk tujuan ekonomi bagi sekelompok kecil masyarakat (elit). Hal

Page 162: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

156

ini sama saja dengan memindahkan pemerintahan yang buruk daripusat ke daerah, melalui mekanisme yang demokratis dan memilikilegitimasi politik yang kuat dari rakyat.

A. Beberapa Catatan tentang Pelaksanaan Otonomi Daerah

Tulisan ini ingin memberikan beberapa catatan tentangimplementasi dan arah otonomi daerah di masa depan bahwa:

1. Pelaksanaan otonomi daerah masih kental diwarnai olehkewenangan yang tumpang tindih antar intitusi pemerintahandan aturan yang berlaku, baik antara aturan yang lebih tinggiatau aturan yang lebih rendah. Ketimpangan ini jelas berpotensimemunculkan konflik.

2. Anggaran merupakan komponen penting dalam menjalankanroda pemerintahan. Dalam otonomi daerah, paradigma anggarantelah bergeser ke arah apa yang disebut dengan anggaranpartisipatif. Dalam praktiknya, keinginan masyarakat akan selalubertabrakan dengan kepentingan elit, sehingga dalam penetapananggaran belanja daerah, lebih cenderung mencerminkankepentingan elit daripada keinginan masyarakat.

3. Sumber pendapatan dan pengelolaan aset daerah menjadi salahsatu sumber konflik dalam otonomi daerah. Pemahaman yanglebih berorientasi ke dalam dari pada mengedepankan sikapkoordinatif dan sinergis antar daerah dalam mengelola sumberpendapatan dan aset di daerah terutama yang berada di per-batasan, menyebabkan konflik yang kontra produktif.

4. Otonomi daerah diwarnai oleh kepentingan elit lokal yangmencoba memanfaatkan otonomi daerah sebagai momentumuntuk mencapai kepentingan politiknya, dengan cara me-mobilisasi massa dan mengembangkan sentimen kedaerahan,seperti “putra daerah” dalam pemilihan kepala daerah.

5. Menguatnya politik identitas diri selama pelaksanaan otonomidaerah yang mendorong satu daerah berusaha melepaskan diridari induknya yang sebelumnya menyatu.

Page 163: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

157

OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

6. Otonomi daerah dibayang-bayangi oleh potensi konflik horisontalyang bernuansa etnis.

7. Otonomi daerah masih menjadi isu pergeseran kekuasaan dikalangan elit daripada isu untuk melayani masyarakat secaralebih efektif. Langkah-langkah desentralisasi belumlah dirasakanlangsung manfaatnya oleh masyarakat.

8. Pemilihan Kepala Daerah Langsung yang diharapkan menjadipintu masuk bagi demokratisasi politik, sosial dan ekonomi ditingkat lokal, mengandung banyak peluang bagi proses pe-minggiran kepentingan rakyat dan menguntungkan kepentinganelit lokal.

Page 164: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

158

Page 165: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

159

OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

Elisabeth, Adriana , dkk, 2004, Pemetaan Peran dan KepentinganPara Aktor dalam Konflik di Papua, Jakarta, Lembaga IlmuPengetahuan Indonesia (LIPI) Sub Program Otonomi Daerah,Konflik dan Daya Saing.

Fortuna Anwar, Dewi, dkk (ed.) 2005, Konflik Kekerasan Internal,Tinjauan Sejarah Ekonomi- Politik, dan Kebijakan di AsiaPasifik. Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, LIPI, LASEMA-CNRS dan KITLV.

Johnson, Doyle Paul, 1986, Teori Sosiologi Klasik dan Modern,Jakarta, 1986, Jakarta, PT Gramedia

Haba, John, dkk, 2003, Konflik di Kawasan Ilegak Logging diKalimantan Tengah, Jakarta, LIPI.

Kasiepo, Manuel, 1987, Dari Perpolitikan Birokratik ke KorporatismeNegara: Birokrasi dan Politik di Indonesia Era Orde Baru, JurnalIlmu Politik 2, Jakarta Gramedia bekerjasama dengan AsosiasiIlmu Politik Indonesia (AIPI).

Ndara, Talizuduhu, 1986, Birokrasi dan Pembangunan, Dominasi atauAlat Demokratisasi: Suatu Telaah Pendahuluan, Jurnal IlmuPolitik 1, Jakarta, Gramedia bekerjasama dengan Asosiasi IlmuPolitik Indonesia (AIPI)

Piliang, Indra J, dkk (ed.), 2003, Otonomi Daerah, Evaluasi danProyeksi, Jakarta, Yayasan Harkat Bangsa bekerjasamadengan Partnership Governance Reform in Indonesia.

Ratnawati, Tri (ed.), 2000, Otonomi Daerah dalam Perspektif Lokal,Kasus Jawa Timur, Sumatera Barat dan Nusa Tenggara Timur,Jakarta, Puslitbang Politik dan Kewilayahan LIPI.

Zulkarnaen, Iskandar, dkk, 2003, Potensi Konflik di DaerahPertambangan, Kasus Pongkor dan Cilandak, Jakarta, LIPI.

DAFTAR PUSTAKA

Page 166: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

160

Clark, John.1995. NGO dan Pembangunan Demokrasi. Yogyakarta:Tiara Wacana

Fakih, Mansour. 1996. Masyarakat Sipil untuk Transformasi Sosial.Pergolakan Ideologi LSM Indonesia. Yogyakarta: PustakaPelajar.

Hagul, Peter, ed. 1992. Pembangunan Desa dan Lembaga SwadayaMasyaraka., Jakarta: Rajawali Press.

INFID. 1993. Pembangunan Manusia di Indonesia: Memandang dariSisi Lain. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan InternationalNGO Forum on Indonesia Development (INFID).

Osborne, David dan Ted Gaebler. 2003. Mewirausahakan Birokrasi.Reinventing Government; Mentransformasikan SemangatWirausaha ke Dalam Sektor Publik. Jakarta: Penerbit PPM.

Rahardjo, Dawam. 1987. Perekonomian Indonesia. Pertumbuhandan Krisis. Jakarta: LP3ES.

Sanit, Arbi. Reformasi Politik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.

Saragih, Sebastian. 1995. Membedah Perut LSM. Jakarta: PuspaSwara.

S.H Sarundajang. 1999. Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah.Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Schlosser, Eric. 2001. Fast Food Nation; What The All-American MealIs Doing to the World. London: Allen Lane The Penguin, Press.

Sumarto, Hetifah Sj. 2004. Inovasi, Partisipasi dan Good Governance.20 Prakarsa Inovatif dan Partisipatif di Indonesia. Jakarta:Yayasan Obor Indonesia.

Sumodiningrat, Gunawan. 1999. Pemberdayaan Masyarakat danJPS. Jakarta: Gramedia.

Syaukani HR. 1999. Pemberdayaan Masyarakat. Tantangan, Peluangdan Harapan Kutai Masa Depan. Kutai: Lembaga IlmuPengetahuan Kutai, Kalimantan Timur.

Zulkarnain, Happy Bone. 1997. Dinamika Demokrasi dan Partisipasidari Perspektif Regional Pemberdayaan Masyarakat Lokal

Page 167: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

161

OTONOMI DAERAHMASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah Tingkat II dalam JurnalAnalisis CSIS Tahun XXVI, No. 1, Januari-Februari 1997.

Huntington, Samuel P dan Joan Nelson. 1992. Partisipasi Politik diNegara Berkembang. Jakarta: Rineka Cipta.

Isdijoso, Brahmantio, et. al. 2001. Prospek Penerapan BudgetTranparency dalam Pelaksanaan otonomi Daerah danDesentralisasi Fiskal Di Daerah Kota dan Kabupaten di Indo-nesia. Jakarta: Center for Economic and Social Studies.

Jeff Haynes, Demokrasi dan Masyarakat Sipil di Dunia Ketiga. 2000.Gerakan Politik Baru Kaum Terpinggir. Jakarta: Yayasan OborIndonesia.

Kuncoro, Mudrajad. 2004.Otonomi dan Pembangunan Daerah;Reformasi, Perencanaan, Strategi, dan Peluang, Jakarta:Erlangga

Pilliang, Indra J. et. al. 2003. Otonomi Daerah; Evaluasi dan Proyeksi.Jakarta: Yayasan Harkat Bangsa Bekerjasama dengan Part-nership for Governance Reform in Indonesi.

Prodjodikoro, Wirjono. 1981. Asas-asas Ilmu Negara dan Politik.Bandung: PT Eresco.

S.H. Sarundajang. 1999. Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah.Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Soetrisno, Loekman. 1997. Demokratisasi Ekonomi danPertumbuhan Politik. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Syaukani HR, Affan Gaffar, Ryaas Rasyid. 2004. Otonomi DaerahDalam Negara Kesatuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Haris, Syamsuddin, ed. 2005. Desentralisasi dan Otonomi Daerah.Desentralisasi, Demokratisasi dan Akuntabilitas PemerintahanDaerah. Jakarta: LIPI, Partnership for Governance Reform inIndonesia, AIPI.

Pambudi, Himawan S. et.al. 2003. Politik Pemberdayaan. JalanMewujudkan Otonomi Desa. Yogyakarta: Lappera PustakaUtama.

Page 168: MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK - … filemengcopy,dan lain sebagainya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit. iii OTONOMI DAERAH MASALAH, PEMBERDAYAAN, DAN KONFLIK

162

Dwipayana, Ari, et.al. 2004. Promosi Otonomi Desa. Yogyakarta: IREPress.

Hasil Penelitian/Jurnal/Makalah/Harian

Ringkasan Eksekutif Penelitian, Reformasi Tata Pemerintahan danOtonomi Daerah, Pusat Studi Kependudukan dan KebijakanUniversitas Gadjah Mada dan Kemitraan Bagi Pembaruan TataPemerintahan di Indonesia, 2002

Kompas, 6 November 2004.Kompas, 24 November 2004.Kompas, 16 Februari 2002Kompas, 18 Februari 2002Kompas, 19 Januari 2001Kompas. 01 Maret 2003Koran Tempo, 01 Maret 2003