Upload
rachmanita-ayu-lestari
View
312
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
Masalah Regulasi
1. Penyerobotan Tanah
Artikel 1: (Studi kasus tanah Bekas Tanah Kas Desa, Sidotopo)
Regulasi:
UU No. 5 tahun 1960/ UUPA
Pasal 2
(4) Hak menguasai dari Negara tersebut diatas pelaksanaannya dapat
dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat
hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan
kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.
Identifikasi masalah:
Bekas Tanah Kas Desa (BTKD) di kawasan Sidotopo Wetan seluas
21.500 m2 beralih fungsi menjadi lahan hunian permanen bagi
masyarakat di sana. Sehingga bangunan-bangunan yang berdiri di
atas tanah itu adalah bangunan liar (bangli).
Dinas Pengelolaan Tanah dan Bangunan (DPTB) memberikan
solusi bahwa akan mengeluarkan Izin Pemakaian Tanah (IPT)
dengan sistem sewa tanah (surat ijo) bagi warga penghuni BTKD.
Namun hal tersebut justru akan memunculkan permasalahan
negatif lainnya, seperti hilangnya aset tanah Pemkot lainnya, sebab
sudah terlalu lama Pemkot dan jajaran dinas terkait ‘memaafkan’
pendirian bangunan liar serta membiarkan kasus penyerobotan
tanah terjadi. Selain itu, sistem tanah surat ijo sesungguhnya tidak
ada dalam istilah regulasi tanah.
Seorang oknum bernama Bunaim diduga yang ‘memperdagangkan’
kaveling-kaveling tanah BTKD tersebut mengkaveling tanah
BTKD untuk dijual ke para warga padahal jelas tanah itu bukan
miliknya. Tindakan tersebut termasuk penyalahgunaan terhadap
pengakuan hak atas tanah yang sebenarnya merupakan tanah
BTKD.
Bangunan-bangunan liar yang berdiri di atas tanah BTKD
seharusnya dapat dibongkar jika Pemkot dan DPTB benar-benar
bersikap tegas. Sudah terlalu lama pemerintah membiarkan kasus
seperti ini terjadi, dan selama itu pula aset-aset tanah pemerintah
semakin banyak yang hilang oleh tindakan penyerobotan tanah
seperti ini. Pemkot dan DPTB semestinya dapat mencegah
terjadinya kasus-kasus penyerobotan tanah dan berdirinya
bangunan liar serta menindak tegas kasus penyerobotan tanah dan
bangunan liar di Kota Surabaya.
Artikel 2: (Studi kasus lahan Brandgang)
Regulasi:
Keppres no.55 tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum
Pasal 5
Pembangunan untuk kepentingan umum berdasarkan Keputusan
Presiden ini dibatasi untuk :
1. Kegiatan pembangunan yang dilakukan dan selanjutnya dimiliki
Pemerintah serta tidak digunakan untuk mencari keuntungan, dalam
bidang-bidang antara lain sebagai berikut :
a. Jalan umum, saluran pembuangan air;
b. Waduk, bendungan dan bangunan pengairan lainnya termasuk saluran
irigasi;
c. Rumah Sakit Umum dan Pusat-pusat Kesehatan Masyarakat;
d. Pelabuhan atau bandar udara atau terminal;
e. Peribadatan;
f. Pendidikan atau sekolahan;
g. Pasar Umum atau Pasar INPRES;
h. Fasilitas pemakaman umum;
i. Fasilitas Keselamatan Umum seperti antara lain tanggul
penanggulangan bahaya banjir, lahar dan lain-lain bencana;
j. Pos dan Telekomunikasi;
k. Sarana Olah Raga;
l. Stasiun penyiaran radio, televisi beserta sarana pendukungnya;
m. Kantor Pemerintah;
n. Fasilitas Angkatan Bersenjata Republik Indonesia;
Identifikasi Masalah:
Brandgang merupakan lorong yang sengaja dibuat pemerintah
Belanda saat mereka menguasai kota-kota besar di Indonesia.
Lorong yang biasanya memiliki lebar cukup untuk 1 mobil jenis
truk diesel ini sengaja dibuat sebagai fasilitas umum. Yang paling
banyak adalah untuk jalan mobil pemadam kebakaran saat si jago
merah mengamuk. Dalam perkembangan berikutnya, Brandgang
mengalami perluasan kriteria. Selain lorong untuk jalan mobil
pemadam kebakaran, Brandgang termasuk pula jalan inspeksi
drainase dan saluran pematusan itu sendiri.
Pada artikel di atas, disebutkan bahwa banyak bangunan liar yang
berdiri di atas brandgang di Jl. Bogowonto, Kecamatan
Wonokromo, serta brandgang di sekitar Kecamatan Tegalsari.
Terdapat 200 bangunan liar di Kecamatan Tegalsari, sedangkan
63 bangunan liar di Jl. Bogowonto yang akan segera dibongkar
oleh satpol PP. Selain pada wilayah Wonokromo dan Tegalsari
ternyata terdapat 1.500 bangunan liar yang berdiri di atas
brandgang di 31 kecamatan di Surabaya.
Kurangnya pengawasan terhadap brandgang sehingga banyak
bangunan liar yang tumbuh, ini terbukti dengan adanya penghuni
yang memiliki KTP Surabaya yang telah 50 tahun tinggal di lahan
brandgang. Selain bangunan liar juga terdapat beberapa bangunan
mewah berdiri di atas brandgang yang dipakai untuk tempat usaha
juga akan dibongkar oleh satpol PP, seperti Toko Mirota, SPBU
Biliton, serta Rumah Makan Nur Pacific.
Sebagai lokasi yang memang dibangun dan disediakan oleh
pemerintah, Brandgang adalah aset negara yang dimanfaatkan
untuk kepentingan publik. Sayangnya, mayoritas Brandgang di
Surabaya kini tak lagi menjalankan fungsi asalnya. Banyak lorong
untuk kendaraan pemadam kebakaran “ditumbuhi“ bangunan.
Sebagian merupakan pemukiman warga ekonomi lemah, namun
lebih banyak lagi yang diambil alih bangunan besar. Brandgang
saluran banyak yang sudah didek beton, menjadi lahan parkir, dan
fungsi baru lainnya.
2. Pembongkaran Bangunan Cagar Budaya
Artikel 1: (Studi kasus Eks Penjara Kalisosok)
Regulasi :
Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Cagar Budaya
Pasal 81 (1)
Setiap orang dilarang mengubah fungsi ruang Situs Cagar Budaya
dan/atau Kawasan Cagar Budaya peringkat nasional, peringkat provinsi,
atau peringkat kabupaten/kota, baik seluruh maupun bagian-bagiannya,
kecuali dengan izin Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai
dengan tingkatannya
Pasal 110
Setiap orang yang tanpa izin Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota
mengubah fungsi ruang Situs Cagar Budaya dan/atau Kawasan Cagar
Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 (1) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling sedikit Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
1.000.000.000,00 (satu miliyar rupiah)
Perda Kota Surabaya Nomor 5 Tahun 2005 Tentang Pelestarian
bangunan dan/atau Lingkungan Cagar Budaya Pasal 14
menyebutkan:
Konservasi bangunan cagar budaya Golongan A (Preservasi) dilaksanakan
dengan ketentuan sebagai berikut :
a) bangunan dilarang dibongkar dan/atau diubah
b) apabila kondisi fisik bangunan buruk, roboh, terbakar atau tidak layak
berdiri, dapat dilakukan pembongkaran untuk dibangun kembali
seperti semula sesuai dengan aslinya
c) pemeliharaan dan perawatan bangunan harus menggunakan bahan
yang sama/sejenis atau memiliki karakter yang sama dengan
mempertahankan detail ornamen aslinya ;
d) dalam upaya revitalisasi dimungkinkan adanya penyesuaian
perubahan fungsi sesuai rencana kota yang berlaku tanpa mengubah
bentuk aslinya ; dan
e) di dalam persil atau lahan bangunan cagar budaya dimungkinkan
adanya bangunan tambahan yang menjadi satu kesatuan yang utuh
dengan bangunan utama.
Identifikasi masalah:
Sudah lama Penjara Kalisosok menjadi bangunan tua tak terurus
sejak ditinggalkan Departemen Kehakiman sekitar tahun 2010 lalu.
Pascaeksodus napi ke Lapas Porong, Kalisosok berpindah tangan
ke swasta. Kini, salah satu bagiannya menjadi tempat kos. Dalam
artikel di atas disebutkan bahwa eks penjara Kalisosok tersebut
akan dibongkar oleh pemiliknya, PT Fairco Jaya Dwipa.
Padahal Berdasarkan Perda No.5 Tahun 2005 tentang Pelestarian
Bangunan dan/atau Lingkungan Cagar Budaya dan SK Walikota
Surabaya bernomor 188.45/251/402.1.04/ 1996, eks Penjara
Kalisosok tergolong benda cagar budaya yang artinya tidak boleh
diubah atau dibongkar.
PT Fairco Jaya Dwipa sudah memiliki penjara Kalisosok sejak
lebih dari 10 tahun yang lalu. Pada saat PT tersebut mengambil alih
Kalisosok belum ada keputusan penetapan Kalisosok sebagai cagar
budaya.
Berdasarkan catatan Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Jatim,
proses ruilslag Penjara Kalisosok mulai dilakukan sejak 1994.
Proses tersebut dilakukan bertahap hingga tahun 2000.
Pengawasan bagian dalam bekas kompleks penjara pada masa
penjajahan Belanda itu memang sulit untuk dipantau. Sebab selama
ini pemerintah hanya bisa mengawasi bagian luar, lantaran
bangunan ini sudah milik swasta, setelah mengalami beberapa
ruislag.
Bangunan eks Penjara yang pernah ditempati Proklamator
Soekarno itu masuk bangunan cagar budaya dalam kategori kelas
A. Di mana dalam kategori tersebut, semua bangunan yang
menjadi bagiannya tidak boleh berubah dan dilindungi oleh
undang-undang dan peraturan daerah.
Sesuai dengan peraturan yang ada bahwasanya Penjara kali sosok
merupakan penjara denag kategori A dan tidak boleh dibongkar,
namun karena kurangnya pengawasan dari pihak yang berwajib
menyebabkan penjara kali Sosok di bongkar oleh PT Fairco Jaya
Dwipa. Dan ini merupakan pelanggaran sesuai dengan Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar
Budaya pasal 81 (1) dan pasal 110. Sehingga pelanggar bisa
ditindak dengan tegas.
Artikel 2: (Studi kasus Stasiun Semut)
Surabaya – SURYA - Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya mengusut kasus pembongkaran Stasiun Semut Surabaya yang merupakan cagar budaya dan kasusnya sempat terkatung-katung sejak 2003. Kepala Dinas Budaya dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Surabaya, Wiwiek Widayati, di Surabaya, Kamis, mengatakan usulan tersebut merupakan rekomendasi dari Komisi C DPRD Surabaya yang meminta tim cagar budaya dan disbudpar untuk mengusut tuntas pembongkaran cagar budaya di Stasiun Semut itu.
“Kami siap merespons apa yang telah direkomendasikan oleh Komisi C itu,” katanya. Dalam kasus itu, katanya, PT Senopati dan PT KAI telah melakukan pembongkaran bangunan cagar budaya itu tanpa ada pemberitahuan kepada Tim Cagar Budaya Surabaya.
Selain itu, Wiwiek berencana mempertanyakan kembali laporan Disbudpar Surabaya dan Tim Cagar Budaya Surabaya di Polwiltabes Surabaya terkait pembongkaran cagar budaya. Sejak laporan itu diserahkan pada Mei 2009 hingga sekarang belum ada tindak lanjut. “Kami akan mendorong kembali dan meminta polwil untuk membuka berkas kasus ini lagi,” katanya.
Wiwiek juga menyatakan kalau wali kota sendiri juga telah berkali-kali meminta kepada PT Senopati dan PT KAI untuk mengembalikan bangunan cagar budaya sebagaimana mestinya. Namun sayangnnya, permintaan pemkot ternyata tidak digubris, padahal sudah jelas bangunan di Stasiun Semut tersebut adalah cagar budaya.
“Wali kota sudah berkali-kali mendorong kami untuk bertindak karena pembongkaran ini tidak pernah meminta izin kepada kami,” katanya. Wiwiek juga mengatakan, kalau persoalan ini sebenarnya sudah cukup lama menjadi persoalan pemkot, namun setiap dilakukan mediasi selalu terjadi jalan buntu dan pemkot tidak pernah berputus asa.
Sementara itu, anggota Komisi C DPRD Surabaya Sudirjo meminta Pemkot Surabaya untuk lebih tegas lagi dalam menyelesaikan persoalan ini, karena cagar budaya di Surabaya harus dilindungi dan itu sudah tercantum dalam undang-undang yang ada.”Kami minta bulan Februari mendatang, persoalan ini bisa segera dituntaskan,” kata Sudirjo.
Senada dengan itu, Ketua Komisi C DPRD Surabaya Sachiroel Alim Anwar mengatakan pihaknya dalam waktu dekat ini akan melakukan pemanggilan terhadap pihak-pihak terkait dalam persoalan itu.“Kami akan memanggil PT Senopati, PT KAI dan Polwiltabes Surabaya. Kita akan usut tuntas persoalan ini,” ujarnya.
***
Regulasi :
Perda Kota Surabaya Nomor 5 Tahun 2005 Tentang Pelestarian
bangunan dan/atau Lingkungan Cagar Budaya Pasal 15
Konservasi bangunan cagar budaya Golongan B (Restorasi/rehabilitasi
atau rekonstruksi) dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut :
a. bangunan dilarang dibongkar kecuali apabila kondisi fisik bangunan
buruk, roboh, terbakar atau tidak layak tegak, sehingga dapat dilakukan
pembongkaran ;
b. dalam hal bangunan cagar budaya sudah tidak utuh lagi maka apabila
dilakukan pembangunan harus sesuai dengan bentuk aslinya dan tidak
boleh membongkar bagian bangunan yang masih ada ;
c. pemeliharaan dan perawatan bangunan cagar budaya harus dilakukan
tanpa mengubah tampang bangunan, warna dan detail serta ornamen
bangunan ;
d. dalam upaya restorasi/rehabilitasi atau rekonstruksi dimungkinkan
adanya perubahan tata ruang bagian dalam, sepanjang tidak mengubah
struktur utama bangunan; dan
e. di dalam persil atau lahan bangunan cagar budaya dimungkinkan
adanya bangunan tambahan yang menjadi satu kesatuan yang utuh dengan
bangunan utama.
Identifikasi masalah:
Eks Stasiun Semut (Stasiun Surabaya Kota) telah berhenti
beroperasi sejak tahun 2000-an. Sejak saat itu, bangunan yang
tergolong bangunan cagar budaya ini kondisinya amat
memprihatinkan; tidak terawat hingga ditumbuhi bangunan-
bangunan liar.
Beberapa bagian bangunan stasiun tersebut telah dibongkar oleh
PT KAI dan PT Senopati, namun pembongkaran tersebut terjadi
tanpa pemberitahuan dan ijin kepada Tim Cagar Budaya Surabaya.
Rencananya, pada Agustus 2010 silam, kedua perusahaan tersebut
akan melakukan restorasi atau perbaikan terhadap Stasiun Semut,
namun hingga sekarang tindakan itu belum terlaksana.
Jika ditinjau dari regulasinya, bangunan cagar budaya tidak boleh
dibongkar, dikurangi, dirusak, dan dirubah bentuk aslinya. Harus
dilindungi dan dipertahankan keberadaannya karena merupakan
aset daerah di masa lampau dan masa kini. Sehingga kasus yang
terjadi pada eks Stasiun Semut ini merupakan kasus
pembongkaran bangunan cagar budaya dan sudah seharusnya
menjadi perhatian serius oleh pemerintah Kota Surabaya dan
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata.
3. Pembongkaran Bangunan di Sepanjang Daerah Sempadan dan Bantaran Sungai
Artikel 1: (Studi kasus kawasan stren Kali Jagir)
Surabaya - Sebagian besar bangunan di Stren Kali Jagir Wonokromo
sudah dibongkar, namun ada beberapa bangunan rumah permanen masih
berdiri. Sisa bangunan ini sengaja dibiarkan dan tidak dibongkar, karena
pemilik bangunan berjanji akan membongkarnya sendiri.
Rata-rata bangunan di Jagir Sidosermo tersebut digunakan sebagai tempat
usaha. "Kemarin kita sudah meminta agar tidak dibongkar, karena akan
kita bongkar sendiri," kata salah satu pemilik usaha las, M Halil kepada
detiksurabaya.com di lokasi, Selasa (5/5/2009).
Hal senada juga dikatakan pemilik usaha besi pondasi bekas, Ahmad. Dia
mengaku saat penggusuran kemarin, dirinya sama sekal tidak siap
sehingga ribuan kubik besi cor belum bisa dikeluarkan.
Dari pantauan detiksurabaya.com, para pemilik bangunan tersebut tampak
sibuk membongkar genting, pondasi besi serta membongkar tembok.
Sementara pasca penggusuran, ribuan warga masih bertahan di sepanjang
Jalan Jagir Wonokromo. Meski Jalan Raya Jagir dari dua arah sudah
dibuka, namun sisa bangunan milik warga di pinggir jalan menjadikan arus
merambat.
***
Regulasi:
Peraturan Menteri PU No. 63 tahun 1993
Pasal 11 (1)
Pemanfaatan lahan di daerah sempadan dapat dilakukan oleh masyarakat
untuk kegiatan-kegiatan tertentu sebagai berikut :
a) Untuk budidaya pertanian dengan jenis tanaman yang diijinkan.
b) Untuk kegiatan niaga, penggalian dan penimbunan.
c) Untuk pemasangan papan reklame, papan penyuluhan dan peringatan,
serta rambu-rambu pekerjaan.
d) Untuk pemasangan rentangan kabel listrik, kabel telepon dan pipa air
minum
e) Untuk pemancangan tiang atau pondasi prasarana jalan/jembatan baik
umum maupun kereta api.
f) Untuk penyelenggaraan kegiatan-kegiatan yang bersifat social dan
masyarakat yang tidak menimbulkan dampak merugikan bagi
kelestarian dan keamananfungsi serta fisik sungai.
g) Untuk pembangunan prasarana lalu intas air dan bangunan
pengambilan dan pembuangan air.
Pasal 12
Pada daerah sempadan dilarang :
a) Membuang sampah, limbah padat dan atau cair.
b) Mendirikan bangunan permanen untuk hunian dan tempat usaha
Pasal 19
(1) Masyarakat wajib mentaati ketentuan-ketentuan pemanfaatan
daerah sempadan, daerah manfaat sungai, daerah penguasaan sungai,
bekas sungai yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang.
(2) Masyarakat wajib ikut serta secara aktif dalam usaha pelestarian
dan pangamanan baik fungsi maupun fisik sungai.
Identifikasi masalah:
Pembongkaran bangunan-bangunan liar yang berdiri di sepanjang
sempadan Kali Wonokromo yang melewati Jagir, yakni Kali Jagir.
Bangunan liar tersebut telah ada sejak belasan tahun yang lalu dan
dibiarkan saja oleh Pemkot.
Karakteristik sungai/Kali Jagir adalah sungai tak bertanggul
dengan kedalaman kurang dari 3 meter. Oleh karena itu, kawasan
sempadan sungai/Kali Jagir adalah sekitar 10 meter dari pinggir
sungai.
Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.
63/PRT/1993, daerah sempadan sungai adalah kawasan sepanjang
kiri kanan sungai termasuk sungai buatan, yang mempunyai
manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi sungai.
Oleh karena itu, pendirian bangunan di atas daerah sempadan
sungai merupakan suatu bentuk pelanggaran terhadap peraturan
tersebut, sehingga tindakan Pemkot untuk membongkar bangunan-
bangunan tersebut merupakan langkah yang tepat dalam penegakan
hukum dan peraturan.
Kurangnya pengawasan menjadi masalah utama dalam hal ini.
Sebab peraturan yang jelas tidak didukung dengan sitem
pengawasan yang ketat, terlihat dengan adanya bangunan liar yang
berdiri hingga puluhan tahun lamanya.
Kesimpulan
Bebagai permasalahan berupa pelanggaran regulasi di Surabaya memperlihatkan
lemahnya peraturan yang telah dibuat. Dari permasalahan yang ada yaitu, bangunan liar
yang berdiri pada lahan-lahan yang bukan seharusnya seperti tanah aset milik pemkot,
brandgang hingga sempadan sungai. Selain itu pelanggaran pada situs cagar budaya yang
pengawasannya kurang hingga terjadinya pembongkaran.
Hal ini sangat bertentangan dengan peraturan yang telah ada dan segala sesuatunya
telah jelas disebutkan didalamnya, mulai dari pelarangan hingga sanksi yang didapat.
Permasalahan ini timbul karena pengawasan yang sangat kurang dari pemerintah kota
serta adanya “permainan” oleh oknum-oknum tertentu. Kenapa demikian, karena ternyata
terlihat bahwa para pelanggar ini dapat bertahan hingga puluhan tahun lamanya. Setelah
puluhan tahun lamanya barulah pemerintah kota baru menyadari bahwa aset kota telah
salah digunakan dari fungsi-fungsinya dan menyebabkan banyak korban-korban dari
permasalahan ini terutama kaum marjinal yang biasanya para pelaku penyalah gunaan
lahan.
Selain pengawasan yang kurang dari pemerintah kota beserta jajarannya juga
kurangnya informasi tentang regulasi yang ada kepada masyarakat. Sehingga selain
pemerintah kota yang punya kewajiban untuk melakukan pengawasan, masyarakat umum
lainnya juga dapat ikut mengawal regulasi yang ada.