20
MODUL PRAKTIKUM GENETIKA IKAN MASKULINISASI IKAN NILA (Oreochromis niloticus) MELALUI PEMBERIAN 17α- METILTESTOSTERON DENGAN METODE DIPPING Disusun Oleh: Tim Asisten Genetika Ikan

Maskulinisasi Dipping.docx

Embed Size (px)

DESCRIPTION

genetika

Citation preview

Page 1: Maskulinisasi Dipping.docx

MODUL PRAKTIKUM

GENETIKA IKAN

MASKULINISASI IKAN NILA (Oreochromis niloticus) MELALUI PEMBERIAN 17α- METILTESTOSTERON

DENGAN METODE DIPPING

Disusun Oleh:

Tim Asisten Genetika Ikan

UNIVERSITAS PADJADJARANFAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

PROGRAM STUDI PERIKANANJATINANGOR

2013

Page 2: Maskulinisasi Dipping.docx

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ikan nila memiliki keunggulan, yaitu rnudah berkembangbiak,

perturnbuhan cepat, toleran terhadap kondisi lingkungan, berdaging tebal, disukai

masyarakat, dan mudah dibudidayakan (Shalaby et aL.,2007; Bombata dan

Somatun, 2008). Hal berbeda disamping keunggulan yang dimiliki ikan nila,

kemudahan ikan nila untuk berkembangbiak memungkinkan terjadi pemijahan

yang tidak terkontrol dan menyebabkan perturnbuhan menjadi lambat. Sebagai

mana yang diungkapkan oleh Mair et al. (1995) bahwa selisih biomassa ikan pada

waktu panen yang disebabkan oleh fenomena pemijahan yang tidak terkontrol

dapat maeneapai 30-50%.

Pernyataan Zairin (2003) perbaikan mutu ikan nila dalam kegiatan

budidaya dapat dilakukan dengan memproduksi ikan nila rnonoseks

(kelamin tunggal) jantan. Budidaya monoseks bertujuan untuk (1) memperoleh

perturnbuhan yang lebih cepat, (2) mengendalikan pemijahan liar, dan (3)

mendapatkan penampilan yang lebih baik. Pernyataan Supriyadi (2005) bahwa

pertumbuhan nila jantan lebih cepat dibandingkan nila betina. Sehingga menjadi

dasar bahwa dengan dilakukannya budidaya ikan nila monoseks jantan, ikan yang

dibudidayakan akan memiliki pertumbuhan yang lebih cepat dibandikan dengan

membudidayakan ikan nila betina.

Organisme monoseks dapat dihasilkan melalui metode manipulasi kelamin

(sex reversal), dengan pendekatan hormonal sebelum diferensiasi kelamin.

Hormon steroid yang diberikan, menyebabkan zigot dengan genotype XX akan

berkembang menjadi karakter jantan secara fenotipe atau sebaliknya zigot dengan

genotype XY akan berkembang menjadi karakter betina secara fenotipe (Wichins

dan Lee 2002). Produksi ikan monoseks jantan dapat dilakukan melalui

pemberian hormon 17α-methyltestosteron selama masa diferensiasi kelamin pada

ikan, mengingat penggunaan hormon sex reversal dengan menggunakan androgen

17a-methyltestosteron untuk memproduksi populasi jantan talah dilaksanakan

Page 3: Maskulinisasi Dipping.docx

lebih dari satu dekade (Mair et al. 1997). Hal tersebut menjadi dasar untuk

dilakukan pengkajian lebih lanjut mengenai pengaruh penggunaan

17α-methyltestosteron terhadap proses maskulinisasi ikan nila (Oreochromis

nilotikus) dalam menentukan persentasi nisbah kelamin jantan yang lebih besar.

1.2 Tujuan Praktikum

Praktikum ini bertujuan untuk mengetahui persentase nisbah kelamin

jantan ikan nila (Oreochromis niloticus) yang dihasilkan melalui proses

maskulinisasi menggunakan 17a-methyltestosteron dengan metode dipping

(perendaman).

Page 4: Maskulinisasi Dipping.docx

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Biologi Ikan Nila

Secara umum berbagai jenis spesies ikan nila hidup dan berkembang biak

di air tawar. Berdasarkan klasifikasi konsumsi makanannya, ikan nila termasuk

jenis hewan omnivora atau hewan pemakan segalanya. Dari mulai jenis tumbuhan

hingga sejenisnya pun bisa dimakan. Akan tetapi hal ini terjadi hanya ketika saat

larva ikan nila merasa kekurangan pakan disekitarnya, sehingga untuk

mempertahankan hidupnya mereka bersifat kanibal. Selain itu, nila pun memiliki

toleransi terhadap perubahan salinitas (kadar garam), dan tahan terhadap

perubahan lingkungan (Syarippudin 2008).

Menurut Sumantadinata (1981), ikan nila dapat diklasifikasikan sebagai

berikut :

Filum : Chordata

Sub Filum : Vertebrata

Kelas : Osteichthyes

Sub Kelas : Acanthoptherigii

Ordo : Perchomophi

Sub Ordo : Percoidea

Famili : Cihclidae

Genus : Oreochromis

Spesies : Oreochromis niloticus

Menurut Sucipto (2007), memaparkan bahwa komoditas ikan nila

memiliki sifat biologi seperti; a) memiliki resistensi yang relatif tinggi terhadap

kualitas air dan penyakit, b) memilliki toleransi yang luas terhadap kondisi

lingkungan c) memiliki kemampuan yang efisien dalam membentuk protein

kualitas tinggi dari bahan organik, limbah domestik dan pertanian, d) memiliki

kemampuan tumbuh yang baik, dan e) mudah tumbuh dalam sistem budidaya

intensif.

Page 5: Maskulinisasi Dipping.docx

Ikan nila merupakan ikan yang dapat beradaptasi dalam perbedaan

salinitas yang cukup besar, sehingga ikan ini dapat beradaptasi di air tawar dan air

payau. Dari segi bentuknya, ikan nila memiliki bentuk tubuh yang pipih yaitu

lebar tubuhnya lebih kecil daripada panjang tubuh. Berdasarkan jenis siripnya,

ikan nila memiliki sirip punggung (dorsal fin), sirip ekor (caudal fin), sirip anal

(anal fin), sirip perut (vebtral fin), dan sirip dada (pectoral fin). Sedangkan

kelengkapan sirip Linea lateralis adalah lengkap tidak terputus. Maksudnya garis

yang dibentuk oleh pori-pori ikan nila pada siripnya ada dan tidak terputus

(Affandi dkk 1992).

2.2 Alih kelaminPada ikan perubahan sifat kelamin individual dimungkinkan terjadi, baik

secara alamiah maupun rekayasa. Populasi ikan monosex dapat diperoleh dengan

teknik pengalihan jenis kelamin (sex reversal) yang dapat dilakukan dengan

berbagai cara yaitu maskulinisasi (Fitzpatrick et al. 1999; Arsenia et al.

2005), feminisasi (Hopkins et al. 1979), ginogenesis dan androgenesis

(Shelton et al. 2002). Zairin (2002) menyebutkan bahwa secara harfiah alih

kelamin dapat diartikan sebagai suatu teknologi yang membalikkan arah

perkembangan kelamin menjadi berlawanan. Dengan penerapan teknologi ini,

ikan yang seharusnya berkelamin jantan diarahkan perkembangan gonadnya

menjadi betina atau sebaliknya. Aplikasi alih kelamin dapat merubah fenotipe

ikan namun genotipenya tidak dapat berubah.

Teknik pengalihan jenis kelamin yang seringkali diantaranya teknik

maskulinisasi untuk menghasilkan populasi ikan jantan (all male) dan feminisasi

untuk menghasilkan populasi ikan betina (all female). Proses pembentukan jenis

kelamin jantan maupun pada betina dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu

endogenous hormon, eksogenous hormon dan faktor lingkungan (Massenreng

2007). Lebih lanjut Carman et al. (1998) menyebutkan bahwa secara buatan,

teknik alih kelamin dimungkinkan terjadi dikarenakan pada awal perkembangan

embrio atau larva belum terjadi diferensiasi kelamin. Metode alih kelamin terdiri

Page 6: Maskulinisasi Dipping.docx

dari metode untuk memperoleh populasi monosex yaitu melalui terapi hormon

(secara langsung) atupun rekayasa kromosom (cara tidak langsung).

2.3 Diferensiasi Kelamin

Fase diferensiasi seks pada ikan meliputi seluruh aktivitas yang

berhubungan dengan keberadaan gonad, perpindahan awal sel nutfah, kemunculan

bagian tepi gonad dan diferensiasi gonad menjadi testis atau ovari (Piferrer 2001).

Phelps dan Popma (2000) menyebutkan bahwa pada ikan, diferensiasi seks gonad

merupakan proses yang kompleks tidak seperti pada kebanyakan hewan

vertebrata lainnya. Selain faktor genetik dan kromosom seks, terdapat faktor lain

yang mempengaruhi hasil dari proses akhir perkembangan gonad dan seks

fenotipe yang diperoleh yaitu faktor lingkungan. Mekanisme determinasi seks

dikontrol oleh gen spesifik yang hanya mengendalikan "initial decision" dari

fenotipe gonad, akan tetapi intruksi khusus yang berhubungan langsung dengan

proses diferensiasi seks gonad ini dapat ditolak disebabkan oleh berbagai faktor

internal dan eksternal (Hayes, 1998).

Masa diferensiasi seks ikan sangat beragam tergantung pada spesiesnya.

Pada ikan-ikan golongan Ochlids dan Cyprinodontids, fase diferensiasi seks

berlangsung antara 10-30 hari setelah penetasan (Pandian dan Sheela 1995).

Informasi lain dalam Varadaraj dan Pandian (1987) menyebutkan bahwa untuk

Oreochromis mossambicus 11-19 hari, untuk Oreochromis aureus 18-32 hari,

untuk Oreochromis niloticus 25-59 hari, dan dalam penelitian berlanjut, selama 11

hari dari hari ke-10 setelah penetasan merupakan periode kritis untuk

Oreochromis mossambicus. Sedangkan masa diferensiasi kelamin pada ikan mas,

Cyprinus carpio, L. terjadi antara hari ke- 9-98 setelah penetasan. Keragaman

masa diferensiasi ini sangat bergantung pada kondisi periode labil masing-masing

spesies ikan, karena efektifitas perlakuan hormon steroid, sangat ditentukan oleh

kondisi labil dari masing-masing spesies ikan (Piferrer 2001). Selain itu menurut

Pandian dan Sheela (1995) pada beberapa spesies ikan, masa diferensiasi seks

dapat dimulai dari periode embrio, larva, juvenil dan bahkan ikan dewasa.

Page 7: Maskulinisasi Dipping.docx

2.4 Hormon 17a-metiltestosteron

Hormon merupakan bahan kimia yang disekresikan ke dalam cairan tubuh

oleh satu sel atau sekelompok sel dan dapat mempengaruhi fisiologi sel-sel tubuh

lainnya. Sebagian besar hormon disekresikan oleh kelenjar endokrin

danselanjutnya diangkut oleh darah ke seluruh tubuh. Murray et al. (2003)

menyebutkan bahwa hormon mempunyai peranan yang sangat penting dalam

pengaturan fisiologi dan umumnya bekerja sebagai aktivator spesifik atau

inhibitor dari enzim.

Menurut Sumantadinata dan Carman (1995) pemberian hormon dalam alih

kelamin, secara sederhana bertujuan untuk mempengaruhi keseimbangan hormon

dalam darah yang pada saat difensiasi kelamin sangat menentukan individu

tertentu akan berstatus jantan atau betina dengan cara memasukkannya dari luar

tubuh individu. Menurut Hunter serta Donaldson (1983), hormon steroid seksual

yang berguna untuk proses pengubahan kelamin antara lain androgen yang terdiri

atas testosteron dan metiltestosteron yang memiliki pengaruh maskulinitas, dan

estrogen seperti estron serta estradiol yang berpengaruh terhadap feminitas.

2.5 Metode Aplikasi Hormon Pada Maskulinisasi

Aplikasi pemberian hormon pada ikan dapat dilakukan dengan cara

penyuntikan berkala, perendaman atau secara oral dengan media melalui pakan.

Keberhasilan penggunaan hormon steroid bergantung kepada beberapa faktor

diantaranya jenis dan umur ikan, dosis hormon yang digunakan, lama waktu

pemberian dan cara pemberian hormon (Hunter dan Donaldson 1983).

Mirza dan Shelton (1988) menyebutkan bahwa pada umumnya, cara yang

terbaik dan mudah dalam metode pemberian hormon adalah melalui bantuan

media berupa makanan, namun cara ini terbatas hanya pada ikan yang

telahmampu memakan pakan buatan. Meskipun demikian metode pemberian

hormon juga dapat dilakukan melalui pakan alami seperti artemia, moina dan

Iain-lain (Arfah 1997). Lebih lanjut Carman et al. (1998) menyebutkan bahwa

cara oral dan perendaman merupakan metode dalam aplikasi penggunaan

hormon. Pada metode perendaman, agar efektif perlu diperhatikan konsentrasi

Page 8: Maskulinisasi Dipping.docx

hormon dan lama waktu perendaman. Konsentrasi hormon yang diberikan tidak

boleh berlebihan karena dapat menimbulkan tekanan dalam pembentukan gonad,

efek paradoxial, pertumbuhan rendah dan tingkat kematian yang tinggi (Wichins

dan Lee 2002). Sedangkan lama waktu perendaman akan lebih singkat jika dosis

atau konsentrasi hormon yang digunakan juga sangat tinggi (Hunter dan

Donaldson 1983).

Yamazaki (1983) menyatakan bahwa agar hormon steroid berpengaruh

lebih efektif, maka waktu penggunaannya harus dilakukan ketika gonad belum

berdiferensiasi. Hal ini terjadi karena sensitivitas hormon sangat tinggi terjadi

saat sebelum diferensiasi kelamin secara fisiologis dan secara histologis. Untuk

itu, perlakuan hormon akan memberikan efek pengarahan jenis kelamin tertinggi

jika diberikan tepat sebelum tahap diferensiasi kelamin secara fisiologis. Menurut

(Massenreng 2007) perlakuan masa alih kelamin yang diterapkan pada stadia

awal, yaitu stadia larva dengan metode perendaman, diharapkan akan terjadi

adanya penyerapan hormon melalui insang atau terjadi difusi, sehingga dapat

menghambat proses pembentukan estrogen melalui enzim aromatase dengan

menggunakan aromatase inhibitor (imidazole) dengan harapan diperoleh ikan

dengan jenis kelamin jantan saja.

Hormon androgen bekerja secara umpan balik dalam mengendalikan

pelepasan gonadotropin pituitary dan berperan penting dalam diferensiasi serta

pembentukan kelamin jantan dan sifat kelamin sekundernya. Androgen masuk ke

dalam sel sitoplasma, selanjutnya diikat oleh reseptor khusus. Reseptor ditemukan

dalam sitosol yang keberadaannya dipengaruhi oleh androgen. Steroid reseptor

komplek (ligan) ini kemudian menuju nukleus dan berikatan dengan akseptor

pada genom. Hal tersebut memungkinkan transkripsi spesies baru mRNA

yang memberikan kode untuk sintesis protein tertentu di dalam

sitoplasma. RNA bertambah secara nyata terutama dalam fraksi mikrosom, hal

ini akan merangsang terjadinya spermatogenesis.

Menurut Donough (1999) dalam Hariani (1997) menyebutkan bahwa

hormon steroid akan mempengaruhi sel target seperti gonad dan saluran otak.

Hal ini diduga karena pada saat fertilisasi sudah terbentuk sel kromosom yang

Page 9: Maskulinisasi Dipping.docx

apabila diberi hormon testosteron dari luar, maka hormon ini akan merangsang

hormon endogen mensintesis steroid untuk pertumbuhan dan perkembangan

gonad secara fungsional.

Page 10: Maskulinisasi Dipping.docx

BAB III

METODE PRAKTIKUM

3.1 Alat Dan Bahan Praktikum

3.1.1 Alat Praktikum

a. Perendaman Larva Ikan Nila Dengan Methiltestosteron

- Akuarium ukuran 20 x 20 x 20 cm3, sebagai wadah perendaman

embrio ikan nila pada methiltestosteron

- Timbangan analitik dengan ketelitian 0,01 untuk menimbang berat

hormon dalam menentukan dosis hormon sebagai perlakuan

- Botol vial sebagai wadah melarutkan methiltestosteron dengan

alkohol

- pipet tetes digunakan untuk mengambil alkohol untuk melarutkan

methiltestosteron

- Instalasi aerasi (blower, selang aerasi, kran aerasi, dan batu aerasi)

untuk memasok oksigen ke dalam air pada setiap akuarium.

b. Pemeliharaan Larva Ikan Nila (Objek Penelitian)

- Akuarium ukuran 20 x 20 x 20 cm3 dan 45 x 60 x 60 cm3 sebagai

tempat pemeliharan

- Instalasi aerasi (blower, selang aerasi, kran aerasi, dan batu aerasi)

untuk memasok oksigen ke dalam air pada setiap akuarium.

- Alat siphon untuk memebersihkan kontoran sisa pakan pada

akuarium penelitian

- Skop net untuk memindahkan ikan

c. Identifikasi Gonad Ikan Nila

- Alat bedah unruk membedah ikan nila setelah berumur 2 bulan

untuk mengidentifikasi nisbah kelamin ikan nila

- Alat pengamatan (mikroskop binokuler dengan pembesaran 40X,

cover glass, dan objec glass) untuk mengidentifikasi gonad ikan

nila dalam menentukan jenis kelaminnya

Page 11: Maskulinisasi Dipping.docx

d. Perekapan Data

- Alat Tulis untuk mencatat semua data yang diperoleh selama

peraktikum

3.1.2 Bahan Praktikum

a. Perendaman Embrio Ikan Nila Dengan Methiltestosteron

- Larva ikan nila berumur 2-3 hari sebagai ikan uji

- Alkohol untuk melarutkan methiltestosteron

- Metilen blue digunakan untuk mencegah terjadinya serangan

jamur pada telur terpertilisasi yang sedang diinkubasi dengan

dosis 2 ppm.

b. Pemeliharaan Larva Ikan Nila (Objek Penelitian)

- Makanan berupa cacing sutera Tubifex sp., dan pakan buatan.

c. Identifikasi Gonad Ikan Nila

- Larutan asetokarmin dibuat dengan melarutkan 0,6 g bubuk

karmin ke dalam 100 ml asam asetat 45%. Larutan digunakan

sebagai zat pewarna, agar gonad ikan nila yang diidentifikasi di

bawah mikroskop terlihat lebih jelas.

3.2 Prosedur Praktikum

a. Persiapan alat praktikum

- Akuarium percobaan dicuci bersih

- Pastikan instalasi aerasi berfungsi dengan baik

b. Perendaman Larva Ikan Nila Dengan Hormon MT

- Akuarium diisi air sebanyak 3 liter

- Lakukan penimbangan hormon MT sesuai perlakuan

- Larutkan hormon MT yang sudah ditimbang dengan alkohol 60%

sebanyak 1 ml pada botol vial

- Masukan Hormon MT yang sudah dilarutkan dengan alkohol ke

akuarium percobaan, kemudian diamkan selama 30 menit

Page 12: Maskulinisasi Dipping.docx

- Masukan ikan uji, yaitu larva ikan nila sebanyak 50 ekor pada

akuarium berisi air yang mengandung hormon MT, lakukan

perendaman larva selama 8 jam.

- Perendaman selesai, ikan uji dipindahkan pada akuarium steril yaitu

akuarium yang berisi air tanpa kandungan hormon MT.

c. Pemeliharaan Larva Ikan Nila

- Larva ikan nila diberi pakan setiap hari sebanyak 30% dari bobot

tubuh ikan, dengan waktu pemeliharaan sekitar 2 bulan

- Lakukan pemeliharaan kualitas air pada akuarium percobaan,

lakukan penyiphonan akuarium minimal per minggu.

3.3 Rancangan Percobaan

Percobaan dilakukan secara eksperimental menggunakan Rancangan

Perlakuan A=Kelompok 1 : perendaman MT (0 µg/L)

Perlakuan B=Kelompok 2 : perendaman MT (200 µg/L)

Perlakuan C=Kelompok 3 : perendaman MT (400 µg/L)

Perlakuan D=Kelompok 4 : perendaman MT (600 µg/L)

Perlakuan E=Kelompok 5 : perendaman MT (800 µg/L)

3.4 Parameter Percobaan

Parameter yang diamati terdiri dari parameter utama dan parameter

penunjang. Parameter utama meliputi persentase kelamin jantan, persentase ikan

betina, dan persentasi kelamin ikan yang tidak berdiferensiasi (tidak berkembang).

Parameter penunjang meliputi tingkat kelangsungan hidup (SR). Pengamatan jenis

kelamin dilakukan ketika ikan sudah memiliki ciri-ciri primer yaitu setelah ikan

berumur 2 bulan dengan cara mengidentifikasi nisbah kelamin melalui

pengamatan gonad ikan nilem menggunakan mikroskop, dan pengamatan tingkat

kelangsungan hidup (SR) dilakukan diakhir penelitian. Data hasil pengamatan

dinyatakan dalam persen dengan rumus perhitungan sebagai berikut:

Page 13: Maskulinisasi Dipping.docx

3.4.1 Persentase Jenis Kelamin

Zairin (2002) menyebutkan bahwa untuk mengetahui presentase jenis kelamin ikan dapat menggunakan rumus sebagai berikut:

1. Jantan

Jumlah ikan jantan (sampel)

Persen(%)ikan jantan = x 100%

total ikan sampel

2. Betina

Jumlah ikan betina (sampel)Persen(%)ikan berina = x 100% total ikan sampel

3. Interseks (Tidak berkembang)

Jumlah ikan TB

Persen(%)ikan interseks = x l00%

total ikan sampel

3.4.2 Kelangsungan Hidup Ikan

Effendie (1979) menyebutkan bahwa untuk mengetahui tingkat

kelangsungan hidup ikan dapat menggunakan rumus sebagai berikut:

Nt

SR (%) = — x 100%

No

Keterangan:

SR : Kelangsungan hidup/ survival rate ikan selama percobaan

Nt : Jumlah ikan pada akhir percobaan (ekor)

No : Jumlah ikan pada awal percobaan (ekor)

3.5 Analisis Data

Data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel dan gambar dan

dianalisis secara deskriptif, yaitu dengan membandingkan hasil percobaan

Page 14: Maskulinisasi Dipping.docx

dengan literature yang berkaitan dengan penggunaan metiltestosteron pada

proses maskulinisasi.