323
MASYARAKAT MEMBANGUN HARMONI:

Masyarakat Membangun Harmoni Resolusi Konflik Dab Bina Damai Etnorelijius Di Indonesia-2013

Embed Size (px)

Citation preview

  • MASYARAKAT MEMBANGUN HARMONI:

  • Perpustakaan Nasional: katalog dalam terbitan (KDT) masyarakat membangun harmoni resolusi konflik dan bina damai etnorelijius di indonesia/Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi I, Cet. 1 Jakarta, Badan Litbang dan Diklat, Kementerian Agama RI lxv + 257 hlm; 14,8 x 21 cm

    ISBN : 978-979-797-358-2 Hak Cipta pada Penerbit Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apapun, termasuk dengan cara menggunakan mesin fotocopy, tanpa izin sah dari penerbit Cetakan Pertama, Nopember 2013 MASYARAKAT MEMBANGUN HARMONI RESOLUSI KONFLIK DAN BINA DAMAI

    ETNORELIJIUS DI INDONESIA

    Editor: Drs. H.M. Yusuf Asry, M.Si, APU

    Desain cover dan Lay out, oleh: Zabidi Penerbit: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI Jl. MH. Thamrin No. 6 Jakarta Telp./Fax. (021) 3920425, 3920421 www.puslitbang1.balitbangdiklat.co.id

  • iii

    KATA PENGANTAR KEPALA PUSLITBANG KEHIDUPAN

    KEAGAMAAN

    uji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karunia-Nya yang tiada terhingga, sehingga kami dapat

    merealisasikan Penerbitan Naskah Buku Kehidupan Keagamaan. Penerbitan buku tahun 2013 ini merupakan hasil penelitian Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI pada tahun 2012.

    Buku hasil penelitian yang diterbitkan sebanyak 8 (delapan) naskah. Buku-buku yang dimaksud sebagai berikut:

    1. Survei Nasional Kerukunan Umat Beragama di Indonesia.

    2. Efektivitas Pengawasan Fungsional bagi Peningkatan Kinerja Aparatur Kementerian Agama.

    3. Menelusuri Makna di Balik Fenomena Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat.

    4. Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal.

    5. Pandangan Pemuka Agama terhadap Kebijakan Pemerintah Bidang Keagamaan.

    6. Pandangan Pemuka Agama terhadap Ekslusifisme Agama di Berbagai Komunitas Agama.

  • iv

    7. Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia.

    8. Peran Pemerintah Daerah dan Kementerian Agama dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama.

    Kami berharap penerbitan naskah buku hasil penelitian yang lebih banyak menyampaikan data dan fakta ini dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan khazanah sosial keagamaan, serta sebagai bahan masukan bagi para pengambil kebijakan tentang pelbagai perkembangan dan dinamika sosial keagamaan. Disamping itu, diharapkan pula buku-buku ini dapat dijadikan sebagai acuan bagi berbagai pihak tentang informasi kehidupan keagamaan di Indonesia.

    Dengan selesainya kegiatan penerbitan naskah buku kehidupan keagamaan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada:

    1. Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI yang telah memberikan kepercayaan, arahan dan sambutan bagi terbitnya buku-buku ini.

    2. Para pakar yang telah sudi membaca dan memberikan prolog atas buku-buku yang diterbitkan.

    3. Para peneliti sebagai editor yang telah menyelaraskan laporan hasil penelitian menjadi buku, dan akhirnya dapat hadir di depan para pembaca yang budiman.

    4. Kepada semua fihak yang telah memberikan kontribusi bagi terlaksananya program penerbitan naskah buku kehidupan keagamaan ini.

    5. Tim Pelaksana Kegiatan, sebagai penyelenggara.

  • vApabila dalam penerbitan buku ini masih ada hal-hal yang perlu perbaikan, kekurangan dan kelemahannya baik dari sisi substansi maupun teknis, kami mohon maaf dan berharap masukan serta saran untuk penyempurnaan dan perbaikan buku-buku yang kami terbitkan selanjutnya dan semoga bermanfaat. Semoga bermanfaat.

    Jakarta, Oktober 2013 Kepala, Puslitbang Kehidupan Keagamaan Prof. Dr. H. Dedi Djubaidi, M.Ag. NIP. 19590320 198403 1 002

    7. Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia.

    8. Peran Pemerintah Daerah dan Kementerian Agama dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama.

    Kami berharap penerbitan naskah buku hasil penelitian yang lebih banyak menyampaikan data dan fakta ini dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan khazanah sosial keagamaan, serta sebagai bahan masukan bagi para pengambil kebijakan tentang pelbagai perkembangan dan dinamika sosial keagamaan. Disamping itu, diharapkan pula buku-buku ini dapat dijadikan sebagai acuan bagi berbagai pihak tentang informasi kehidupan keagamaan di Indonesia.

    Dengan selesainya kegiatan penerbitan naskah buku kehidupan keagamaan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada:

    1. Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI yang telah memberikan kepercayaan, arahan dan sambutan bagi terbitnya buku-buku ini.

    2. Para pakar yang telah sudi membaca dan memberikan prolog atas buku-buku yang diterbitkan.

    3. Para peneliti sebagai editor yang telah menyelaraskan laporan hasil penelitian menjadi buku, dan akhirnya dapat hadir di depan para pembaca yang budiman.

    4. Kepada semua fihak yang telah memberikan kontribusi bagi terlaksananya program penerbitan naskah buku kehidupan keagamaan ini.

    5. Tim Pelaksana Kegiatan, sebagai penyelenggara.

  • vi

    Sambutan Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI

  • vii

    Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia

    SAMBUTAN

    KEPALA BADAN LITBANG DAN DIKLAT KEMENTERIAN AGAMA

    embangunan bidang agama di Indonesia merupa-kan bagian integral dari pembangunan nasional. Dalam dekade terakhir ini telah berdiri forum-

    forum kerukunan, dan semakin berkembangnya kerjasama lintas agama. Kendati demikian, tugas untuk membangun kerjasama antarpemeluk agama dan antarinstitusi keagamaan dari berbagai komunitas agama di tanah air tidaklah mengenal kata final.

    Masih ditemukan persoalan-persoalan konflik yang bernuansa agama, meski dalam skala kecil. Hal ini merupakan tantangan bagi kita semua sebagai bangsa plural dan multikultur, yang acapkali dihadapkan pada pasang-surutnya ikatan primordial.

    Kemajemukan yang dimiliki bangsa Indonesia di satu sisi merupakan pendorong lahirnya saling pengertian dan kerjasama dalam bermasyarakat dan bernegara, tetapi di sisi lain rawan konflik, untuk itu, penumbuh-kembangan kesadaran dalam penguatan kedamaian perlu kajian dari berbagai aspek kehidupan.

    Melalui informasi yang dimuat dalam buku ini, diharapkan berbagai pihak dapat memperoleh pelajaran (lessons learned) dan mengetahui model-model kegiatan resolusi konflik dengan menggunakan pendekatan Participatory Action Research (PAR). Dengan diterbitkannya buku ini, selain menambah informasi tentang resolusi konflik

  • viii

    Sambutan Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI

    dan bina damai di Indonesia juga dapat menjadi referensi bagi pengambil kebijakan, serta dapat direplikasikan di daerah-daerah lain sesuai kondisi dan situasi yang ada.

    Saya menyambut baik atas diterbitkan buku berjudul, Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia ini. Tulisan ini merupakan salah satu karya para peneliti Puslitbang Kehidupan Keagamaan. Semoga bermanfaat adanya.

    Jakarta, Oktober 2013 Pgs. Kepala

    Badan Litbang dan Diklat Prof. Dr. H. Machasin, MA NIP. 19561013 198103 1 003

  • ix

    Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia

    PROLOG 1 Agama Sentra Nilai Budaya Hidup Damai

    Prof. Dr. Rusmin Tumanggor, MA

    (Guru Besar Antropologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

    etenangan, keamanan, keselamatan dan kemapanan dambaan hidup semua insan. Kehangatan, keterlindungan, keharmonisan, dan

    kedamaian idaman suatu dan lintas komunitas. Etnisitas simbol eksistensi jejaring keber-langsungan tipikal generasi ras dari wilayah kebangsaan. Ekosistem beresensi flora dan fauna, biota laut dan sungai serta siklus iklim sebagai landasan kebutuhan rutinitas menginspirasi lahirnya kebudayaan setiap etnis memaknai permasalahan, solusi, dan implementasi aktivitas menjawab tantangan yang terbentang. Di Indonesia menurut Tim Peneliti UI Yunus Meulalatoa Tahun 1995 terdapat sekitar 440 Suku Bangsa (ethnic group). Masing-masing memiliki kekayaan dimensi budaya idea, aktivitas sosial, artifak terhadap keberagamaan, ilmu pengetahuan, peralatan hidup, perekonomian, keorganisasian, bahasa dan komunikasi serta kesenian. Koentjaraningrat dan Parsudi Suparlan antropolog UI atas studi penelitian antropolog tentang peran budaya ketika menghadapi fenomena suka duka dan gagasan perubahan, melahirkan proposisi teoritis agama menjadi sentra nilai dan norma tertinggi budaya yang dikedepankan dalam putusan penerimaan dan penolakan langkah kehidupan.

    K

  • xProlog

    Agama yang eksis di masyarakat Indonesia secara juridis politis formal yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu. Proporsi populasi umat beragama tadi ada yang mayoritas dan ada yang moniritas. Menyebar di perkotaan, pedesaan dan komunitas adat terpencil di pulau, pegunungan, hutan dan alur sungai dari 14.000 gugus kepulauan. Keberagamaan dalam masing-masing agama itu sendiri terdapat variasi faham, aliran serta sekte yang begitu banyak. Jika variasi keragaman ini mampu dipimpin, diorganisasi serta dikoordinasi lewat wadah sebentuk forum yang tersistem dengan kebijakan negara, ini menjadi kekayaan budaya luar biasa Indonesia dan menjadi jendela cermin dunia tentang keberagamaan. Sebaliknya manakala jika letupan kasus-kasus kecil keberagamaan atau aspek lain yang dapat ditafsirkan dapat dikaitkan dengan pengabaian spiritual keberagamaan, tidak diatasi dengan serius akan menjadi ledakan perpecahan dahsyat yang akan melemahkan negara.

    Penafsiran atas teks dogma wahyu dalam kitab suci untuk penguatan keimanan atau akidah pada dimensi teologi dan peribadatan di dimensi ritual serta penegakan nilai moral, susila, budi pekerti, etika, tatakrama, sopan santun pada dimensi akhlak mulia, hingga upaya penagembangan jumlah penganut agama dari masing-masing agama pada dimensi dakwah dan misi, pemuka agama dan pengikutnya melahirkan berbagai karakter dan strategi dalam menjalankan budaya organisasi agama masing-masing.

    Fenomena konflik, kekerasan, dan kerusuhan benuansa agama, etnis, ekonomi dan pisah negara sering terjadi di Indonesia. Dalam manajemen penyelesaian selama ini

  • xi

    Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia

    pemerintah menempuh dua pendekatan. Pertama aparat keamanan melakukan tekanan (represif) terhadap pihak-pihak terlibat dengan melerai serta menangkap pimpinan dan provokator maupun mengadili yang dipandang bersalah. Kedua pihak birokrasi memberikan kemampuan terbaik intelektual akademis dan stretagi politis mereka menawarkan solusi. Dalam antropologi strategi ini dikonsepsikan sebagai etik. Namun pendekatan ini sering kurang berhasil karena ketika habis masa pertemuan kesepakatan, mereka kembali terpancing emosi harga diri dan dendam ketidakpuasan atas kebijakan yang ditempuh. Belakangan ada pendekatan yang mempercayakan bahwa mereka yang bertikai memiliki abilitas memahami masalah mereka dan mencari solusi bersama dengan sesama yang bertikai. Dengan kata lain mereka sendiri memahami penciptaan situasi agar kembali atau terus damai. Jadi pengembangan masyarakat mulai dari belakang yang Robert Chambers memproposisikan community development start from behind. Dari pendekatan inilah menginspirasi lahirnya Penelitian Tindakan Terlibat Partisipatory Action Research. Dalam antropologi strategi ini dikonsepsikan sebagai emik.

    Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah bekerja-sama dengan Balitbangsos Departemen Sosial RI pada tahun 2002-2004 mempraktekkan PAR mencairkan kebekuan komunikasi pasca konflik dan kerusuhan tahun 1999-2002 atau masa deeskalasi konflik antar komunitas muslim di Desa Soakonora dengan tetangganya komunitas Kristen di Desa Acango di Kecamata Jailolo Kabupaten Halmahera Barat Provinsi Maluku Utara dan juga antara komunitas muslim di Desa Tegal Rejo dengan komunitas Kristen di Desa Madale

    Agama yang eksis di masyarakat Indonesia secara juridis politis formal yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu. Proporsi populasi umat beragama tadi ada yang mayoritas dan ada yang moniritas. Menyebar di perkotaan, pedesaan dan komunitas adat terpencil di pulau, pegunungan, hutan dan alur sungai dari 14.000 gugus kepulauan. Keberagamaan dalam masing-masing agama itu sendiri terdapat variasi faham, aliran serta sekte yang begitu banyak. Jika variasi keragaman ini mampu dipimpin, diorganisasi serta dikoordinasi lewat wadah sebentuk forum yang tersistem dengan kebijakan negara, ini menjadi kekayaan budaya luar biasa Indonesia dan menjadi jendela cermin dunia tentang keberagamaan. Sebaliknya manakala jika letupan kasus-kasus kecil keberagamaan atau aspek lain yang dapat ditafsirkan dapat dikaitkan dengan pengabaian spiritual keberagamaan, tidak diatasi dengan serius akan menjadi ledakan perpecahan dahsyat yang akan melemahkan negara.

    Penafsiran atas teks dogma wahyu dalam kitab suci untuk penguatan keimanan atau akidah pada dimensi teologi dan peribadatan di dimensi ritual serta penegakan nilai moral, susila, budi pekerti, etika, tatakrama, sopan santun pada dimensi akhlak mulia, hingga upaya penagembangan jumlah penganut agama dari masing-masing agama pada dimensi dakwah dan misi, pemuka agama dan pengikutnya melahirkan berbagai karakter dan strategi dalam menjalankan budaya organisasi agama masing-masing.

    Fenomena konflik, kekerasan, dan kerusuhan benuansa agama, etnis, ekonomi dan pisah negara sering terjadi di Indonesia. Dalam manajemen penyelesaian selama ini

  • xii

    Prolog

    Kecamatan Kota Poso Kota Daerah Kabupaten Poso Provinsi Sulawesi Tengah. Peran peneliti hanya sebagai motivator, pembimbing dan stimulator agar masyarakat desa memilih dan mempercayakan tokoh-tokoh di desanya mewakili mereka duduk musyawarah dengan tokoh-tokoh yang mewakili masyarakat tetangganya untuk melakukan penyadaran secara terbuka dan jiwa tenang menghayati konflik dan kerusuhan yang telah berlalu dan unsur-unsur kehidupan lintas komunitas yang tersisa sebagai masalah yang mesti dicari jalan keluarnya. Berlanjut dengan menginventarisasi apa saja kebutuhan bersama dalam upaya solusi tersebut. Kemudian menentukan prioritas jangka pendek, menengah dan lanjutan. Kemudian menentukan beban tanggungjawab masing-masing komunitas serta merefleksi aspek apa saja yang tidak sanggup mereka atasi sehingga mereka pandang memerlukan bantuan pemerintah atau lembaga swadaya masyarakat (NGO).

    Kegiatan ini menghasilkan ruang komunikasi yang akrab dan integratif berwujud kesepahaman langkah-langkah menyelesaikan sisa masalah pasca konflik dan kerusuhan serta menyusun program membina kedamaian berkelanjutan. Akhirnya penelitian ini menemukan model teoritis Penelitian dengan bimbingan pengenalan kebutuhan masing-masing desa dan bersama serta bantuan peneliti sekapsitasnya bagi perwujudan program warganya bersama-sama akan mewujudkan kedamaian lintas masyarakat. Disebut juga dengan Teori Rembuk Pengetahuan Lintas Masyarakat atau The Cross Communities Sharing Ideas Theory. Kedamaian di desa-desa Soakonora dan Acango maupun Tegal Rejo dan Madale tidak pernah lagi tergerus hingga prolog ini

  • xiii

    Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia

    dituliskan. Karena budaya pengambil kebijakan senang dengan memulai sesuatu yang baru sehingga sangat disayangkan program penelitian berhasil seperti tadi tidak ditindaklanjuti dengan peluasan cluster setting komunitas menasional yang kemudian kita tidak sampai dan tidak pernah mengantarkan teori dari kasuistik dan tipikal ke jenjang madya theory apalagi ke tahap grand teory yang semakin jauh panggang dari api untuk sampai menemukan world theory atau universe theory.

    Suatu harapan baru muncul ketika salah seorang peneliti dari Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Ahmad Syafii Mufid disanggah berbagai narasumber dan di apresiasi oleh Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan, bahkan Kepala Badan Litbang dan Diklat waktu itu Prof. Dr. Atho Mudzhar pada tahun 2007 ingin untuk memprogramkan penelitian upaya resolusi konflik yang dikaitkan dengan kesukubangsaan, agama dan keberagamaan (etnoreligious) di berbagai wilayah di Indonesia dengan pendekatan PAR dengan metode FGD. Termasuk di Kota Pontianak, Semarang, Kota Mataram, Kota Kupang ternyata juga menemukan hasil gemilang yaitu proposisi teoritis pendekatan komprehensif-holistik yang mengedepankan keaktifan pranata semua pihak terlibat konflik melahirkan penyelesaian permanen nyata (manifest) dengan beban rendah dalam membentuk perdamaian (peace making).

    Selanjutnya pada tahun 2010 langkah Ahmad Syafii Mufid tadi diperkaya lagi dengan ide komparasi kritis oleh M. Yusuf Asry beserta Timnya untuk melakukan penelitian rahasia kedamaian di wilayah-wilayah yang banyak juga

    Kecamatan Kota Poso Kota Daerah Kabupaten Poso Provinsi Sulawesi Tengah. Peran peneliti hanya sebagai motivator, pembimbing dan stimulator agar masyarakat desa memilih dan mempercayakan tokoh-tokoh di desanya mewakili mereka duduk musyawarah dengan tokoh-tokoh yang mewakili masyarakat tetangganya untuk melakukan penyadaran secara terbuka dan jiwa tenang menghayati konflik dan kerusuhan yang telah berlalu dan unsur-unsur kehidupan lintas komunitas yang tersisa sebagai masalah yang mesti dicari jalan keluarnya. Berlanjut dengan menginventarisasi apa saja kebutuhan bersama dalam upaya solusi tersebut. Kemudian menentukan prioritas jangka pendek, menengah dan lanjutan. Kemudian menentukan beban tanggungjawab masing-masing komunitas serta merefleksi aspek apa saja yang tidak sanggup mereka atasi sehingga mereka pandang memerlukan bantuan pemerintah atau lembaga swadaya masyarakat (NGO).

    Kegiatan ini menghasilkan ruang komunikasi yang akrab dan integratif berwujud kesepahaman langkah-langkah menyelesaikan sisa masalah pasca konflik dan kerusuhan serta menyusun program membina kedamaian berkelanjutan. Akhirnya penelitian ini menemukan model teoritis Penelitian dengan bimbingan pengenalan kebutuhan masing-masing desa dan bersama serta bantuan peneliti sekapsitasnya bagi perwujudan program warganya bersama-sama akan mewujudkan kedamaian lintas masyarakat. Disebut juga dengan Teori Rembuk Pengetahuan Lintas Masyarakat atau The Cross Communities Sharing Ideas Theory. Kedamaian di desa-desa Soakonora dan Acango maupun Tegal Rejo dan Madale tidak pernah lagi tergerus hingga prolog ini

  • xiv

    Prolog

    masalah sosial kegamaannya akan tetapi tidak meledak ke dalam konflik dan kerusuhan namun tetap damai. Sehingga programnya bernama Bina Damai Etnoreligious. Khususnya di Kota Medan, Kabupaten Badung, Kota Manado, Kabupaten Bantul. Semarang, Kota Mataram, Kota Kupang ternyata juga menemukan hasil yang melegakan. Di samping pedekatan PAR dan Metode FGD juga ditambah wawancara, analisa sejumlah dokumen dan literatur yang relevan. Proposisi teoritis temuannya adalah dialog belajar realita berbedaan alur pikir, nilai dan norma serta aktualisasi agama dan keberagamaan lintas sosial kegamaan menghasilkan komitmen dan aktivitas bersama saling menjaga domain agree in agreement dengan agree in disagreemant dalam memelihara dan membangun perdamaian (peace building and keeping).

    Baik penelitian resolusi konflik maupun bina damai etnorelijius yang diselenggarakan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI yang sudah mengilustrasi kehadiran teori-teori induktif, walapun belum menyumbangkan secara berarti teori-teori deduktif, sangat saya sambut penerbitan buku yang berjudul Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius ini. Dengan membaca buku ini saya optimis sangat membuka wawasan bangsa Indonesia dan seluruh pranata sosial keagamaan di tanah air akan makna kebenaran dan langkah-langkah suci dari kata hati yang paling dalam semua unsur masyarakat yang serius dan tulus berpartisipasi dalam kegiatan penelitian yang mendasari data dan narasi pada tulisan ini. Selamat membaca dan atas dasar itu perluas serta perdalam penelitian

  • xv

    Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia

    lanjutannya sampai ketemu The Indonesian Peace Grand Theory (Teori Besar Kedamaian Indonesia) . Aamiiin.

    Jakarta, 21 Agustus 2013 Wassalam dan Hormat saya,

    Prof. Dr. Rusmin Tumanggor, MA

    masalah sosial kegamaannya akan tetapi tidak meledak ke dalam konflik dan kerusuhan namun tetap damai. Sehingga programnya bernama Bina Damai Etnoreligious. Khususnya di Kota Medan, Kabupaten Badung, Kota Manado, Kabupaten Bantul. Semarang, Kota Mataram, Kota Kupang ternyata juga menemukan hasil yang melegakan. Di samping pedekatan PAR dan Metode FGD juga ditambah wawancara, analisa sejumlah dokumen dan literatur yang relevan. Proposisi teoritis temuannya adalah dialog belajar realita berbedaan alur pikir, nilai dan norma serta aktualisasi agama dan keberagamaan lintas sosial kegamaan menghasilkan komitmen dan aktivitas bersama saling menjaga domain agree in agreement dengan agree in disagreemant dalam memelihara dan membangun perdamaian (peace building and keeping).

    Baik penelitian resolusi konflik maupun bina damai etnorelijius yang diselenggarakan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI yang sudah mengilustrasi kehadiran teori-teori induktif, walapun belum menyumbangkan secara berarti teori-teori deduktif, sangat saya sambut penerbitan buku yang berjudul Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius ini. Dengan membaca buku ini saya optimis sangat membuka wawasan bangsa Indonesia dan seluruh pranata sosial keagamaan di tanah air akan makna kebenaran dan langkah-langkah suci dari kata hati yang paling dalam semua unsur masyarakat yang serius dan tulus berpartisipasi dalam kegiatan penelitian yang mendasari data dan narasi pada tulisan ini. Selamat membaca dan atas dasar itu perluas serta perdalam penelitian

  • xvi

    Prolog

  • xvii

    Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia

    PROLOG 2 Agama Sumber Perdamaian

    Oleh: Dr. Darius Dubut, MM (Pegiat Dialog Antariman)

    erbagai peristiwa kekerasan komunal di Tanah Air, karena konflik yang tidak dikelola secara benar dan bertanggungjawab di masa lampau. Kondisi

    tersebut telah melahirkan kesadaran banyak pihak, baik itu lembaga pemerintah maupun organisasi non pemerintah untuk melakukan berbagai kegiatan resolusi konflik untuk membangun Indonesia yang damai, adil, dan demokratis.

    Salah satu lembaga yang banyak melakukan kegiatan studi resolusi konflik dan damai berbasis keagamaan adalah Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehidupan Keagamaan Kementerian Agama RI. Kegiatan ini dilakukan berdasarkan keprihatinan karena dari sekian banyak kekerasan yang terjadi dan telah menimbulkan banyak korban nyawa dan harta benda itu, adalah kekerasan yang bernuansa agama.

    Agama seakan-akan menjadi tertuduh, dalam artian bahwa agama adalah sumber kekerasan, minimal membenarkan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh para penganutnya terhadap penganut agama lain, atau oleh kelompok keagamaan arus utama terhadap kelompok aliran bukan arus utama. Tuduhan ini pada satu sisi ada benarnya ketika teks-teks keagamaan ditafsir dan dipergunakan untuk menjadi alat pembenaran bagi tindakan kekerasan terhadap orang lain. Sebaliknya ia juga bisa ditolak mengingat bahwa sesungguhnya ada banyak teks-teks keagamaan yang justru

    B

  • xviii

    Prolog

    mendorong penggunaan jalan damai atau nir kekerasan untuk mengelola perbedaan.

    Pertanyaan yang selalu muncul ketika melihat terjadinya kekerasan bernuansa agama atau yang membawa-bawa simbol agama adalah apakah memang benar agama itu mengajarkan kekerasan terhadap orang lain yang agama dan keyakinannya berbeda? Atau apakah agama itu sejatinya berwajah damai? Ataukah agama itu memang berwajah ganda: damai dan kekerasan. Pertanyaan ini menjadi penting untuk memperoleh jawaban ketika meyakini bahwa sesungguhnya praktik-praktik perdamaian atau nir kekerasan dapat digali dari teks-teks kitab suci.

    Konflik sosial adalah sesuatu yang inheren dalam masyarakat. Hal ini disebabkan hakikat masyarakat yang heterogen, menyebabkan selalu ada dalam kondisi yang bertentangan, pertikaian, dan perubahan yang melibatkan berbagai kekuatan dalam masyarakat untuk memperebutkan sumber daya yang ada. Konflik pada dirinya memperlihatkan dua wajah: kekerasan dan perdamaian. Konflik yang tidak dikelola secara benar akan melahirkan prasangka, diskriminasi, sampai pada bentuk kekerasan fisik dan kematian. Sebaliknya, konflik yang dikelola dengan benar justru akan melahirkan perdamaian, di mana berbagai perbedaan yang ada diatasi dengan cara-cara nir kekerasan.

    Kekerasan dan perdamaian adalah dua sisi dari wajah konflik. Kekerasan adalah sikap, tindakan, perkataan, berbagai struktur atau sistem yang menyebabkan kerusakan secara fisik, mental, sosial atau lingkungan, sampai pada kematian. Pertanyaan pokok terkait dengan kekerasan adalah apa yang mendorong seseorang atau kelompok masyarakat melakukan kekerasan? Apakah kekerasan inheren dalam diri manusia?

  • xix

    Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia

    Rudolph Otto (Otto, 1923) mengatakan bahwa agama lahir sebagai respon ilahi manusia dalam perjumpaan dengan Tuhan. Respon itu melahirkan tiga hal, yaitu mithos, ritus, dan ethos.

    Mithos adalah rekaman pengalaman perjumpaan itu, baik yang tersimpan dalam ingatan maupun yang kemudian ditulis dalam bentuk teks. Inilah yang kemudian disebut dengan Kitab Suci bagi agama tertentu. Kitab suci inilah yang menjadi sumber rujukan dan acuan umat untuk menata hubungan dengan Tuhan dalam bentuk ritus, dan juga sumber untuk menata sikap dan laku dalam hubungan dengan sesama manusia dan bahkan seluruh makhluk ciptaan. Itulah sebabnya dalam setiap agama terdapat tiga aspek itu, yaitu kitab suci, ritus atau persembahyangan, dan ethos atau tata laku.

    Untuk menemukan makna dari teks-teks kitab suci, dalam rangka menemukan nilai sebagai dasar bagi tata laku, maka teks-teks itu harus dibaca dan ditafsirkan, karena sesungguhnya teks-teks itu baru punya arti atau makna kalau ia dimaknai. Nah, di sinilah persoalannya muncul, karena teks-teks itu dimaknai atau ditafsir oleh manusia yang sesungguhnya tidak bebas nilai.

    Siapapun yang membaca dan kemudian memaknai teks-teks kitab suci pastilah mempergunakan kerangka acuan tertentu. Kerangka acuan yang dipergunakan itulah yang menentukan hasil pemaknaan dan yang kemudian nampak dalam sikap dan laku para penafsir dan pengikut mereka. Kalau begitu sesungguhnya wajah agama itu ditampilkan melalui wajah para pemeluknya.

    Seseorang atau kelompok masyarakat melakukan kekerasan? Apakah kekerasan inheren dalam diri manusia?

    mendorong penggunaan jalan damai atau nir kekerasan untuk mengelola perbedaan.

    Pertanyaan yang selalu muncul ketika melihat terjadinya kekerasan bernuansa agama atau yang membawa-bawa simbol agama adalah apakah memang benar agama itu mengajarkan kekerasan terhadap orang lain yang agama dan keyakinannya berbeda? Atau apakah agama itu sejatinya berwajah damai? Ataukah agama itu memang berwajah ganda: damai dan kekerasan. Pertanyaan ini menjadi penting untuk memperoleh jawaban ketika meyakini bahwa sesungguhnya praktik-praktik perdamaian atau nir kekerasan dapat digali dari teks-teks kitab suci.

    Konflik sosial adalah sesuatu yang inheren dalam masyarakat. Hal ini disebabkan hakikat masyarakat yang heterogen, menyebabkan selalu ada dalam kondisi yang bertentangan, pertikaian, dan perubahan yang melibatkan berbagai kekuatan dalam masyarakat untuk memperebutkan sumber daya yang ada. Konflik pada dirinya memperlihatkan dua wajah: kekerasan dan perdamaian. Konflik yang tidak dikelola secara benar akan melahirkan prasangka, diskriminasi, sampai pada bentuk kekerasan fisik dan kematian. Sebaliknya, konflik yang dikelola dengan benar justru akan melahirkan perdamaian, di mana berbagai perbedaan yang ada diatasi dengan cara-cara nir kekerasan.

    Kekerasan dan perdamaian adalah dua sisi dari wajah konflik. Kekerasan adalah sikap, tindakan, perkataan, berbagai struktur atau sistem yang menyebabkan kerusakan secara fisik, mental, sosial atau lingkungan, sampai pada kematian. Pertanyaan pokok terkait dengan kekerasan adalah apa yang mendorong seseorang atau kelompok masyarakat melakukan kekerasan? Apakah kekerasan inheren dalam diri manusia?

  • xx

    Prolog

    Terhadap hal ini ada pendapat yang penting diperhatikan untuk melihat apakah kekerasan merupakan faktor yang inherent dalam diri manusia. Erich Fromm (1973: 42-44) mengemukakan bahwa kekerasan tidak perlu dicari pada insting manusia, tetapi pada kondisi khas eksistensinya sebagai manusia. Kekerasan sebenarnya tidaklah melekat sebagai watak buruk dalam diri manusia, melainkan bersumber dari situasi ketika seseorang mengalami hambatan untuk bertumbuh secara baik. Hambatan ini kemudian membalikkan pertumbuhan positif ke tindakan yang destruktif. Dalam keadaan seperti itu rasionalitas manusia tidak berfungsi secara semestinya. Jadi tindakan kekerasan sebenarnya adalah irrasional, yaitu ketika orang kehilangan akal sehat dalam menghadapi hambatan untuk bereksistensi.

    Fromm menyebutkan adanya dua sumber kekerasan dalam diri seseorang, yaitu kekerasan defensive untuk mempertahankan diri dan kekerasan destructive yang bertujuan untuk menyengsarakan atau bahkan membunuh orang lain. Kekerasan defensive berpotensi kebaikan dan kekerasan destructive berpotensi kejahatan. Potensi kebaikan menjadi dasar untuk memperjuangkan kehidupan, dan potensi kejahatan membuat seseorang berpihak pada kematian. Meski pun demikian, Fromm menegaskan bahwa kekerasan destruktif itu tidaklah bersifat naluriah, melainkan karena kondisi lingkungan menghambat, sehingga melahirkan tindakan yang irrasional, dan merupakan pengingkaran terhadap eksistensi manusia sebagai makhluk rasional.

    Pendapat serupa dikemukakan oleh Thomas Hobbes seorang filsuf Inggris yang mengatakan, bahwa manusia adalah serigala bagi manusia lainnya atau homo homini lupus. Tetapi Hobbes tidak memaksudkan bahwa kekerasan itu adalah secara instrinsik ada dalam diri manusia atau menjadi

  • xxi

    Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia

    insting naluriah manusia. Kekerasan baru muncul ketika kepentingan pribadi harus dimenangkan. Inilah yang menyebabkan kekerasan menjadi pilihan (Susan, 2010: 115). Jauh sebelum itu, Charles Darwin mempergunakan istilah survival of the fittest untuk menyebutkan watak manusia yang suka mempergunakan kekerasan untuk menghadapi persaingan dan memperjuangkan kepentingan. Sepakat dengan Fromm dan Hobbes di atas, Emile Durkheim menyebutkan bahwa kekerasan adalah bentuk irasionalitas manusia (Susan, 2010: 117). Jadi sebenarnya hendak dikatakan bahwa cara kekerasan akan ditempuh oleh manusia ketika ia tidak bisa atau pun tidak mampu lagi mempergunakan akal sehatnya.

    Agar peran agama dalam upaya membangun budaya damai nir kekerasan dapat ditampilkan lebih utuh, Louis Kriesberg (Abu Nimer, 2010: xii xviii) menyarankan untuk melakukan tiga hal, yaitu mekanisme internal umat beragama, mekanisme antarumat beragama, dan mekanisme eksternal. Mekanisme internal dilakukan dengan dua cara.

    Pertama adalah melakukan reinterpretasi terhadap teks kitab suci dalam semangat perdamaian, yang mengedepankan HAM, toleransi, rekonsiliasi, kebebasan beragama, dan menghormati orang yang berbeda agama dan keyakinan.1 Sebab itu menyelidiki agama dalam konteks sosial-budayanya atau kontekstualisasi ajaran agama sangat penting untuk memahami hubungan timbal balik yang tersembunyi antara agama dan perdamaian. Upaya ini adalah untuk membaca teks dalam konteks keindonesiaan yang majemuk, yang

    1Salah satu buku yang merupakan hasil reinterpretasi dalam semangat

    perdamaian dan nir kekerasan adalah karya Dr. Djohan Effendi, Pesan-Pesan Al-Quran, Mencoba Mengerti Intisari Kitab Suci, Jakarta: Serambi, 2012.

    Terhadap hal ini ada pendapat yang penting diperhatikan untuk melihat apakah kekerasan merupakan faktor yang inherent dalam diri manusia. Erich Fromm (1973: 42-44) mengemukakan bahwa kekerasan tidak perlu dicari pada insting manusia, tetapi pada kondisi khas eksistensinya sebagai manusia. Kekerasan sebenarnya tidaklah melekat sebagai watak buruk dalam diri manusia, melainkan bersumber dari situasi ketika seseorang mengalami hambatan untuk bertumbuh secara baik. Hambatan ini kemudian membalikkan pertumbuhan positif ke tindakan yang destruktif. Dalam keadaan seperti itu rasionalitas manusia tidak berfungsi secara semestinya. Jadi tindakan kekerasan sebenarnya adalah irrasional, yaitu ketika orang kehilangan akal sehat dalam menghadapi hambatan untuk bereksistensi.

    Fromm menyebutkan adanya dua sumber kekerasan dalam diri seseorang, yaitu kekerasan defensive untuk mempertahankan diri dan kekerasan destructive yang bertujuan untuk menyengsarakan atau bahkan membunuh orang lain. Kekerasan defensive berpotensi kebaikan dan kekerasan destructive berpotensi kejahatan. Potensi kebaikan menjadi dasar untuk memperjuangkan kehidupan, dan potensi kejahatan membuat seseorang berpihak pada kematian. Meski pun demikian, Fromm menegaskan bahwa kekerasan destruktif itu tidaklah bersifat naluriah, melainkan karena kondisi lingkungan menghambat, sehingga melahirkan tindakan yang irrasional, dan merupakan pengingkaran terhadap eksistensi manusia sebagai makhluk rasional.

    Pendapat serupa dikemukakan oleh Thomas Hobbes seorang filsuf Inggris yang mengatakan, bahwa manusia adalah serigala bagi manusia lainnya atau homo homini lupus. Tetapi Hobbes tidak memaksudkan bahwa kekerasan itu adalah secara instrinsik ada dalam diri manusia atau menjadi

  • xxii

    Prolog

    lingkungannya rusak karena dijarah orang-orang yang tidak bertanggungjawab, yang rakyatnya masih banyak yang miskin, yang penegakan hukumnya masih lemah, dan seterusnya. Hanya dengan demikian agama dapat berperan secara optimal untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia.

    Kedua, dalam konteks mekanisme internal itu adalah melakukan dialog internal mengingat bahwa setiap agama memiliki berbagai denominasi dan mazhab. Dialog internal itu bukan untuk menyamakan yang memang berbeda, atau mendominasi pihak lain, melainkan untuk memahami, menerima dan hormat terhadap perbedaan. Sebab sebenarnya perbedaan-perbedaan denominasi, mazhab, atau aliran dalam intern agama adalah hasil dari pembacaan terhadap teks yang terdapat dalam kitab suci yang satu dan sama itu. Dengan demikian maka klaim kebenaran mutlak menjadi sesuatu yang absurd, sebab yang paling tahu dan paling benar dalam memahami teks-teks kitab suci itu hanyalah Tuhan, karena Tuhanlah yang empunya teks itu. Sebab itu hanya Tuhanlah yang berhak menghakimi benar atau salah pembacaan teks itu. Justru ketika ada yang mengklaim bahwa interpretasinyalah yang paling benar dan mengatakan bahwa yang lain keliru atau sesat pada saat itulah agama menjadi berhala.

    Ketiga adalah adalah optimalisasi peran para pemimpin agama agar dapat mengembangkan kepemimpinan yang positif untuk mengimbangi kepemimpinan yang negatif.

    Mekanisme Antar Umat Beragama, adalah upaya untuk mengembangkan sikap dan gaya hidup kebertetanggaan yang ditunjukkan dalam hubungan dan pergaulan sosial sehari-hari seperti saling mengunjungi baik pada hari-hari biasa, hari-hari

  • xxiii

    Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia

    besar keagamaan, tetangga yang mengalami musibah atau kedukaan, kehadiran dalam kegiatan-kegiatan sosial setempat, dan membangun hubungan serta pergaulan antar anak-anak yang berbeda iman. Kemudian yang juga penting adalah penyelenggaraan dialog, konsultasi, dan workshop antariman yang melibatkan berbagai kategori seperti para pemimpin agama, perempuan, pemuda dan remaja antar umat beriman. Melalui berbagai kegiatan antariman itu secara perlahan prasangka akan terkikis dan hubungan pertemanan yang akrab, saling menghargai dan menghormati perbedaan satu sama lain dapat terwujud. Jalinan pertemanan dan persahabatan yang tulus antar umat beragama itu pada gilirannya akan mengubah pembacaan terhadap teks kitab sucinya.

    Kehadiran agama adalah untuk melaksanakan mandat dan amanat Tuhan, yaitu memelihara kehidupan dan kemanusiaan. Karena itu kehidupan dan kemanusiaan inilah yang menjadi titik temu agama-agama untuk membangun dan mengembangkan hubungan dan kerjasama antar umat beragama untuk kebaikan semua umat manusia. Jadi kalau ada orang yang menghina atau menista manusia maka sebenarnya ia telah menista dan menghina Tuhan yang mencipta manusia itu. Sikap seperti ini sesungguhnya tidak boleh ada dalam kamus kehiduan keagamaan.

    Salah satu isu yang paling menggangu hubungan antar umat beragama adalah proselitisme, yaitu upaya yang dilakukan secara sistemik untuk memurtadkan orang yang sudah beragama dengan cara pindah ke agamanya. Proselitisme adalah tindakan yang menista kemanusiaan, sebab proselitisme bertolak dari pemahaman dan bahwa hanya agama dan keyakinannyalah yang paling benar dan yang lain adalah keliru atau sesat, sebab itu perlu

    lingkungannya rusak karena dijarah orang-orang yang tidak bertanggungjawab, yang rakyatnya masih banyak yang miskin, yang penegakan hukumnya masih lemah, dan seterusnya. Hanya dengan demikian agama dapat berperan secara optimal untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia.

    Kedua, dalam konteks mekanisme internal itu adalah melakukan dialog internal mengingat bahwa setiap agama memiliki berbagai denominasi dan mazhab. Dialog internal itu bukan untuk menyamakan yang memang berbeda, atau mendominasi pihak lain, melainkan untuk memahami, menerima dan hormat terhadap perbedaan. Sebab sebenarnya perbedaan-perbedaan denominasi, mazhab, atau aliran dalam intern agama adalah hasil dari pembacaan terhadap teks yang terdapat dalam kitab suci yang satu dan sama itu. Dengan demikian maka klaim kebenaran mutlak menjadi sesuatu yang absurd, sebab yang paling tahu dan paling benar dalam memahami teks-teks kitab suci itu hanyalah Tuhan, karena Tuhanlah yang empunya teks itu. Sebab itu hanya Tuhanlah yang berhak menghakimi benar atau salah pembacaan teks itu. Justru ketika ada yang mengklaim bahwa interpretasinyalah yang paling benar dan mengatakan bahwa yang lain keliru atau sesat pada saat itulah agama menjadi berhala.

    Ketiga adalah adalah optimalisasi peran para pemimpin agama agar dapat mengembangkan kepemimpinan yang positif untuk mengimbangi kepemimpinan yang negatif.

    Mekanisme Antar Umat Beragama, adalah upaya untuk mengembangkan sikap dan gaya hidup kebertetanggaan yang ditunjukkan dalam hubungan dan pergaulan sosial sehari-hari seperti saling mengunjungi baik pada hari-hari biasa, hari-hari

  • xxiv

    Prolog

    diselamatkan dengan cara berpindah agama. Penghormatan dan pengakuan bahwa Tuhan adalah Yang Maha Kuasa harus dinyatakan dalam pengakuan dan penghormatan bahwa dengan kemahakuasaan dan kebesaran-Nya itulah Ia bebas untuk menjumpai siapa saja di muka bumi ini, yang kemudian melahirkan berbagai agama. Sebab itu meng-hormati Tuhan harus juga ditandai dengan menghormati setiap orang dengan agama yang diyakininya. Orang belum lagi menghormati Tuhan kalau belum menghormati sesamanya dengan agama dan keyakinan yang dianutnya.

    Mekanisme pada level sistemik, yaitu adanya perlakuan yang adil terhadap komunitas agama-agama yang ada baik oleh negara mau pun oleh kelompok mayoritas. Dalam hal ini kelompok keagamaan yang dominan atau mayoritas dapat mempengaruhi kebijakan publik secara positif bagi berkembangnya sikap yang terbuka dan menghormati perbedaan, termasuk terhadap kehadiran kelompok minoritas. Hubungan yang positif dan saling menghormati antar umat beragama pada gilirannya akan melahirkan sikap yang positif dari kelompok mayoritas untuk membela kelompok minoritas. Dalam kaitan dengan hubungan mayoritas dan minoritas ini maka adanya undang-undang yang menata relasi yang konstruktif dan positif antara mayoritas dan minoritas menjadi perlu dipikirkan.

    Sesungguhnya setiap agama dapat berperan dalam mengembangkan kekerasan atau pun perdamaian melalui para penganutnya. Sebab itu adalah tugas dan tanggungjawab para penganutnya untuk melakukan reinterpretasi dan memilih teks-teks keagamaan yang mendukung terwujudnya perdamaian atau masyarakat nir kekerasan. Inilah tugas dan tanggungjawab utama para pemimpin umat masing-masing. Kehidupan yang damai dan nir kekerasan hanya dapat

  • xxv

    Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia

    terwujud kalau semua orang saling mengenal, saling menghormati, saling menghargai, dan saling mempercayai. Sebab itu nilai-nilai yang dapat menumbuhkan sikap yang saling mengerti, saling mempercayai, dan komitmen timbal balik itu perlu senantiasa diperbaharui. Ini memang bukan tugas yang mudah tapi juga bukan hal yang tidak mungkin, sebab ini adalah panggilan iman dari semua orang yang beragama dengan benar.

    Kekerasan dan perdamaian adalah dua sisi dari wajah konflik. Kekerasan adalah sikap, tindakan, perkataan, berbagai struktur atau sistem yang menyebabkan kerusakan secara fisik, mental, sosial atau lingkungan, sampai pada kematian. Pertanyaan pokok terkait dengan kekerasan adalah apa yang mendorong

    Johan Galtung (Susan, 2010) membagi kekerasan atas tiga tipe, yaitu kekerasan struktural, kekerasan kultural, dan kekerasan langsung. Kekerasan struktural adalah kekerasan yang muncul karena adanya undang-undang, peraturan, dan ketentuan yang diproduksi oleh negara dan yang tidak adil bagi semua. Kekerasan struktural terkait dengan ketidakadilan struktural, yaitu ketidakadilan sosial yang muncul karena adanya undang-undang, peraturan, dan ketentuan-ketentuan yang tidak adil. Contohnya dapat dilihat antara lain pada berbagai produk perundang-undangan yang bernuansa keagamaan di berbagai daerah di Indonesia yang bersifat memaksa dan diskriminatif seperti kasus Aceh sebelum rekonsiliasi, atau kasus Papua yang masih berlangsung sampai hari ini.

    Kekerasan kultural muncul dari aspek-aspek dalam suatu kebudayaan yang dikonstruksi oleh masyarakat untuk menjustifikasi dan melegitimasi kekerasan yang dilakukan. Kekerasan kultural muncul dari aspek-aspek agama, ideologi,

    diselamatkan dengan cara berpindah agama. Penghormatan dan pengakuan bahwa Tuhan adalah Yang Maha Kuasa harus dinyatakan dalam pengakuan dan penghormatan bahwa dengan kemahakuasaan dan kebesaran-Nya itulah Ia bebas untuk menjumpai siapa saja di muka bumi ini, yang kemudian melahirkan berbagai agama. Sebab itu meng-hormati Tuhan harus juga ditandai dengan menghormati setiap orang dengan agama yang diyakininya. Orang belum lagi menghormati Tuhan kalau belum menghormati sesamanya dengan agama dan keyakinan yang dianutnya.

    Mekanisme pada level sistemik, yaitu adanya perlakuan yang adil terhadap komunitas agama-agama yang ada baik oleh negara mau pun oleh kelompok mayoritas. Dalam hal ini kelompok keagamaan yang dominan atau mayoritas dapat mempengaruhi kebijakan publik secara positif bagi berkembangnya sikap yang terbuka dan menghormati perbedaan, termasuk terhadap kehadiran kelompok minoritas. Hubungan yang positif dan saling menghormati antar umat beragama pada gilirannya akan melahirkan sikap yang positif dari kelompok mayoritas untuk membela kelompok minoritas. Dalam kaitan dengan hubungan mayoritas dan minoritas ini maka adanya undang-undang yang menata relasi yang konstruktif dan positif antara mayoritas dan minoritas menjadi perlu dipikirkan.

    Sesungguhnya setiap agama dapat berperan dalam mengembangkan kekerasan atau pun perdamaian melalui para penganutnya. Sebab itu adalah tugas dan tanggungjawab para penganutnya untuk melakukan reinterpretasi dan memilih teks-teks keagamaan yang mendukung terwujudnya perdamaian atau masyarakat nir kekerasan. Inilah tugas dan tanggungjawab utama para pemimpin umat masing-masing. Kehidupan yang damai dan nir kekerasan hanya dapat

  • xxvi

    Prolog

    seni, bahasa, ilmu pengetahuan, dll yang dikonstruksikan. Dalam kasus kekerasan suku Dayak dengan suku Madura di Sampit tahun 1999, orang-orang Dayak melakukan ritus pemanggilan roh para leluhur untuk melegitimasi dan menjustifikasi balas dendam mereka. Kekerasan serupa nampak dalam kasus yang dialami oleh pengikut aliran Ahmadiyah, Syiah, dan warga minoritas lainnya. Bentuk lain dari kekerasan kultural adalah stereotyping, prasangka, dan diskriminasi. Setereotipe adalah penyamarataan setiap individu atau kelompok ke dalam kategori-kategori yang mengakibatkan kelompok tersebut memiliki sifat atau watak tertentu yang umumnya negatif. Misalnya etnik A serakah, suka berpura-pura, etnik B biasanya suka berbicara berbelit-belit, dstnya. Prasangka adalah sikap yang diarahkan kepada warga atau kelompok tertentu dan difokuskan pada ciri-ciri negatif kelompok tersebut berdasarkan perasaan atau pengalaman yang dangkal terhadap seseorang atau kelompok itu (Liliweri, 2005: 199).

    Sedangkan diskriminasi adalah perlakuan tidak adil yang disebabkan kategori-kategori pembeda yanag dibangun atas dasar prasangka dan stereotipe terhadap orang atau kelompok tertentu yang menghalangi anggota kelompok tersebut untuk mendapatkan hak yang sama dalam memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya. Kekerasan kultural bisa melahirkan kekerasan langsung, seperti kasus Dayak vs Madura, Ahmadiyah, Syiah di Sampang, dll. Stereotyping dan prasangka biasanya lahir karena adanya tanggapan terhadap berbagai perilaku negatif yang diperlihatkan oleh segelintir warga etnik. Meskipun perilaku negatif itu sesungguhnya bukanlah sifat atau karakter dasar etni tersebut.

    Kekerasan struktural adalah bentuk kekerasan yang diciptakan oleh negara melalui sistem dan struktur yang

  • xxvii

    Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia

    dibangun dan yang membatasi hak-hak warga negara untuk memenuhi kebutuhan dasarnya secara bebas dan adil. Struktur sosial itu kemudian mendiskriminasi warga negara atas dasar ras, etnik, atau agama. Kekerasan struktural ini bisa kita lihat dalam berbagai produk kebijakan negara yang nampak dalam berbagai undang-undang atau pun hukum, berbagai kebijakan pemerintah daerah menyangkut pengelolaan sumber daya alam yang merampas tanah rakyat di banyak tempat di Tanah Air. Di berbagai daerah di Kalimantan Tengah dijumpai banyak warga masyarakat yang mengalami penurunan derajat kesejahteraan, kesehatan, dan pendidikan karena akses mereka kepada sumber daya alam dibatasi. Contoh dari kekerasan struktural juga bisa dilihat dalam kasus Papua sampai hari ini.

    Kekerasan langsung adalah bentuk kekerasan yang dilakukan secara langsung, seperti pemukulan atau pembunuhan terhadap orang atau kelompok tertentu, atau penembakan oleh aparat negara terhadap para demonstran. Contoh kekerasan langsung bisa dilihat pada kasus penembakan warga masyarakat di Mesuji tahun 2012, Lombok, dll. Kekerasan langsung juga bisa dilihat dalam kasus kekerasan antara Dayak dan Madura, Ambon, Poso dll. Kekerasan langsung secara kolektif oleh masyarakat biasanya memperoleh legitimasi dan justifikasi dari kekerasan kultural atau pun kekerasan strutural.

    Wajah lain dari konflik adalah perdamaian. Damai adalah suatu keadaan atau kondisi masyarakat yang ditandai oleh tidakadanya kekerasan dalam bentuk apa pun (intimidasi, prasangka, diskriminasi, dan kekerasan fisik), hadirnya dialog sebagai gaya hidup yang melahirkan sikap yang saling menghormati dan memahami terhadap perbedaan yang ada, terwujudnya hubungan dan kerjasama yang kreatif

    seni, bahasa, ilmu pengetahuan, dll yang dikonstruksikan. Dalam kasus kekerasan suku Dayak dengan suku Madura di Sampit tahun 1999, orang-orang Dayak melakukan ritus pemanggilan roh para leluhur untuk melegitimasi dan menjustifikasi balas dendam mereka. Kekerasan serupa nampak dalam kasus yang dialami oleh pengikut aliran Ahmadiyah, Syiah, dan warga minoritas lainnya. Bentuk lain dari kekerasan kultural adalah stereotyping, prasangka, dan diskriminasi. Setereotipe adalah penyamarataan setiap individu atau kelompok ke dalam kategori-kategori yang mengakibatkan kelompok tersebut memiliki sifat atau watak tertentu yang umumnya negatif. Misalnya etnik A serakah, suka berpura-pura, etnik B biasanya suka berbicara berbelit-belit, dstnya. Prasangka adalah sikap yang diarahkan kepada warga atau kelompok tertentu dan difokuskan pada ciri-ciri negatif kelompok tersebut berdasarkan perasaan atau pengalaman yang dangkal terhadap seseorang atau kelompok itu (Liliweri, 2005: 199).

    Sedangkan diskriminasi adalah perlakuan tidak adil yang disebabkan kategori-kategori pembeda yanag dibangun atas dasar prasangka dan stereotipe terhadap orang atau kelompok tertentu yang menghalangi anggota kelompok tersebut untuk mendapatkan hak yang sama dalam memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya. Kekerasan kultural bisa melahirkan kekerasan langsung, seperti kasus Dayak vs Madura, Ahmadiyah, Syiah di Sampang, dll. Stereotyping dan prasangka biasanya lahir karena adanya tanggapan terhadap berbagai perilaku negatif yang diperlihatkan oleh segelintir warga etnik. Meskipun perilaku negatif itu sesungguhnya bukanlah sifat atau karakter dasar etni tersebut.

    Kekerasan struktural adalah bentuk kekerasan yang diciptakan oleh negara melalui sistem dan struktur yang

  • xxviii

    Prolog

    dan dinamis antara berbagai kelompok dalam masyarakat, serta terbangunnya konsensus untuk kebaikan semua dan bersama.

    Damai bukanlah suatu keadaan atau situasi yang statis, hening, dan senyap tanpa dinamika. Justru masyakat yang dinamis adalah masyarakat yang senantiasa menjadikan dialog sebagai metode dalam menjawab berbagai persoalan dalam masyarakat. Sebab itu damai atau perdamaian bukanlah sesuatu yang dapat muncul dari langit, melainkan harus diperjuangkan oleh masyarakat secara bersama-sama dan terus menerus.

    Sejalan dengan konsep mengenai tiga tipe kekerasan di atas, Galtung (Susan, 2010: 130 133) membagi perdamaian atas dua tipe, yaitu perdamaian positif dan perdamaian negatif. Perdamaian positif adalah suatu kondisi di mana terpenuhinya rasa aman, adanya keadilan sosial, politik, ekonomi, dan budaya, serta terhapusnya diskriminasi ras, etnik, dan agama dari struktur sosial yang ada. Jadi, perdamaian positif tidak hanya berhenti sampai pada upaya mereduksi kekerasan langsung, melainkan sampai pada terhapusnya kekerasan struktural, dan kekerasan kultural yang dapat melahirkan dan mendorong terjadinya kekerasan langsung.

    Perdamaian negatif lebih ditujukan pada upaya mencegah munculnya kekerasan langsung, seperti perang pada kasus Aceh, dan berbagai kekerasan etnik seperti di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat, serta di Ambon dan Poso. Nir kekerasan di sini berarti mencegah munculnya kekerasan fisik. Dari perspektif ini, perdamaian hadir ketika tidak adanya perang atau kekerasan fisik secara langsung yang terorganisir. Salah satu upaya untuk mewujudkan perdamaian negatif

  • xxix

    Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia

    adalah melalui perlucutan senjata dari pihak-pihak yang berperang oleh pihak keamanan.

    Konsep perdamaian negatif ini nampak dalam berbagai bentuk seperti diplomasi, negosiasi, dan resolusi konflik, bahkan sampai pada hadirnya polisi dan militer. Salah satu upaya untuk mewujudkan perdamaian negatif adalah melalui pengelolaan atau manajemen konflik, yang berupaya untuk mengubah perilaku negatif mereka yang terlibat konflik mejadi perilaku positif atau nir kekerasan. Sampai hari ini upaya pengelolaan konflik di Papua belum menghasilkan kemajuan yang berarti karena pendekatan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat adalah lebih pada pendekatan keamanan.

    Perdamaian negatif tidaklah bisa dipisahkan dari perdamaian positif, sebab perdamaian positif haruslah dimulai dari perdamaian negatif. Perpaduan antara perdamaian negatif dan positif inilah yang kemudian akan melahirkan perdamaian yang menyeluruh. Jika konflik dipahami sebagai bagian yang inheren dalam masyarakat, maka berbagai upaya untuk mengelola potensi positif dari konflik harus terus menerus diupayakan. Dengan demikian jika konflik dipandang sebagai sumber perubahan, maka upaya untuk mengelola perbedaan haruslah dilakukan secara terus menerus, dan perdamaian bukanlah sesuatu yang statis.

    Perdamaian diwujudkan dalam keseluruhan relasi antarmanusia, antar komunitas, antarmasyarakat, dan bangsa., bahkan dengan keseluruhan makhluk. Itu sebabnya Dewan Gereja se Dunia pada tahun 1990 menyepakati tema relasi antarmanusia dan lingkungan sebagai Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan sebagai upaya yang menyeluruh dan utuh untuk mewujudkan perdamaian di

    dan dinamis antara berbagai kelompok dalam masyarakat, serta terbangunnya konsensus untuk kebaikan semua dan bersama.

    Damai bukanlah suatu keadaan atau situasi yang statis, hening, dan senyap tanpa dinamika. Justru masyakat yang dinamis adalah masyarakat yang senantiasa menjadikan dialog sebagai metode dalam menjawab berbagai persoalan dalam masyarakat. Sebab itu damai atau perdamaian bukanlah sesuatu yang dapat muncul dari langit, melainkan harus diperjuangkan oleh masyarakat secara bersama-sama dan terus menerus.

    Sejalan dengan konsep mengenai tiga tipe kekerasan di atas, Galtung (Susan, 2010: 130 133) membagi perdamaian atas dua tipe, yaitu perdamaian positif dan perdamaian negatif. Perdamaian positif adalah suatu kondisi di mana terpenuhinya rasa aman, adanya keadilan sosial, politik, ekonomi, dan budaya, serta terhapusnya diskriminasi ras, etnik, dan agama dari struktur sosial yang ada. Jadi, perdamaian positif tidak hanya berhenti sampai pada upaya mereduksi kekerasan langsung, melainkan sampai pada terhapusnya kekerasan struktural, dan kekerasan kultural yang dapat melahirkan dan mendorong terjadinya kekerasan langsung.

    Perdamaian negatif lebih ditujukan pada upaya mencegah munculnya kekerasan langsung, seperti perang pada kasus Aceh, dan berbagai kekerasan etnik seperti di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat, serta di Ambon dan Poso. Nir kekerasan di sini berarti mencegah munculnya kekerasan fisik. Dari perspektif ini, perdamaian hadir ketika tidak adanya perang atau kekerasan fisik secara langsung yang terorganisir. Salah satu upaya untuk mewujudkan perdamaian negatif

  • xxx

    Prolog

    muka bumi ini. Perdamaian menyeluruh ini mestilah menjadi spirit dari keutuhan relasi antarmanusia, lingkungan hidup yang bersumber dari pembaharuan relasi dengan Tuhan.

    Berbagai upaya untuk membangun masyarakat yang damai atau nir kekerasan melalui kegiatan resolusi konflik dan bina damai yang dilakukan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehidupan Keagamaan Kementerian Agama RI yang ada di hadapan pembaca tentu akan sangat menolong untuk memahami peta konflik di kota-kota tempat kegiatan.

  • xxxi

    Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia

    PRAKATA EDITOR

    uku ini berawal dari kajian tentang Penyadaran dan Pendampingan dalam Penguatan Kedamaian merupakan salah karya hasil kajian Puslitbang

    Kehidupam Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI. Sebagai hasil kajian muatan tulisan ini mengetengahkan sejumlah program dan kegiatan oleh, dari dan untuk masyarakat, yang rumusannya disusun oleh Tim Penulis dan telah diseminarkan. Kemudian diberi judul, Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnoreljius di Indonesia.

    Dalam tulisan ini dikemukakan, bahwa masyarakat Indonesia dikenal heterogen, baik dari segi etnis, budaya maupun agama tetapi sejak masa lalu dikenal memiliki reputasi yang mengagumkan dalam memelihara kedamaian yang berbasis toleransi. Dikemukakan antara lain, bahwa masuk dan tersebarnya agama-agama di kepulauan nusantara ini adalah karena berhasil dalam adaptasi dengan budaya lokal telah membuat akulturasi itu berjalan damai, dan relatif sepi dari nuansa kekerasan antaruamt beragama.

    Namun seiring dengan pengaruh global, perubahan sosial dan penerapan sistem pemerintahan sentralistik kepada otonomi daerah serta kehidupan yang dekokratis di era reformasi ini ternyata agama yang hadir sebagai tempat persemaian kedamaian (rahmatan lil alamin), telah terdistorsi oleh sejumlah pertarungan kepentingan. Akibatnya muncul konflik pada sejumlah daerah, sekalipun dalam wilayah yang lebih besar masyarakatnya tetap dan mampu memelihara kedamaian.

    muka bumi ini. Perdamaian menyeluruh ini mestilah menjadi spirit dari keutuhan relasi antarmanusia, lingkungan hidup yang bersumber dari pembaharuan relasi dengan Tuhan.

    Berbagai upaya untuk membangun masyarakat yang damai atau nir kekerasan melalui kegiatan resolusi konflik dan bina damai yang dilakukan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehidupan Keagamaan Kementerian Agama RI yang ada di hadapan pembaca tentu akan sangat menolong untuk memahami peta konflik di kota-kota tempat kegiatan.

  • xxxii

    Prakata Editor

    Kekuatan tulisan dalam buku ini ialah mampu meng-unkapkan resolusi konflik dan bina yang berasal dari, oleh dan untuk masyarakat dengan diperoleh melalui pendekatan Participatory Action Researh (PAR) yang dilakukan oleh Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama. Suatu pendekatan penelitian yang mem-berikan ruang seluas-luas kepada masyarakat untuk men-diagnose, mengindentifikasi, merumuskan dan menyelesaikan sendiri konflik yang telah dialami, dan merumuskan jalan keluarnya. Dalam kajian ini, peran peneliti hanya sebatas fasilitator.

    Kajian ini dilaksanakan oleh Tim Peneliti Puslitbang Kehidupan Kagamaan bekerjasama dengan Yayasan Indonesian Institute for Civil Soceity (INCIS). Di samping itu kajian juga melibatkan berbagai pihak narasumber, seperti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan sejumlah Perguruan Tinggi di Jakarta dan di daerah.

    Kajian resolusi konflik dilakukan pada tahun 2009 dan 2010, dan 2012, yang dimuat dalam buku ini dari rekaman kegiatan resolusi konflik dari empat lokasi daerah yang pernah terjadi konflik, yaitu: Kota Pontianak Kalimantan Barat, Kota Mataram Nusa Tenggara Barat, Kota Semarang Jawa Tengah, dan Kota Kupang Nusa Tenggara Timur. Demikian juga kajian bina damai dilakukan pada tahun 2012 di empat daerah damai, yaitu: Kabupaten Badung Bali, Kota Manado Sulawesi Utara, Kabupaten Bantul Yogyakarta, dan Kota Medan Sumatera Utara.

    Sebagai kajian diakui adanya keterbatasan, di sana-sini masih dirasakan kekurangdalaman informasi. Karena sebagai besar dari kader perdamaian hasil pelatihan melalui FGD dan PAR telah tersebar yang sulit ditemui di lapangan. Sayangnya tulisan ini belum memuat secara konprehensif karena adanya

  • xxxiii

    Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia

    rekaman dinamika kegiatan PAR yang variatif. Misalnya mengungkap faktor konflik sosial bernuansa keagamaan secara rinci seperti konteks pendukung, akar, sumbu dan faktor pemicu konflik dari tiap lokasi. Secara umum telah tergambarkan sesuai informasi yang diperoleh di lapangan dalam waktu terbatas.

    Dalam proses pengeditan ini juga kontribusi Anas Saidi yang banyak berperanserta sejak awal program ini. Dan dengan tulisan prolog dari Darius Dubut turut mempekuat tulisan ini.

    Jakarta, Oktober 2013

    Editor:

    M. Yusuf Asry

  • xxxiv

    Prakata Editor

  • xxxv

    Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia

    RINGKASAN ISI BUKU:

    MASYARAKAT MEMBANGUN HARMONI: RESOLUSI KONFLIK DAN BINA DAMAI ETNORELIJIUS

    DI INDONESIA

    Oleh Tim Peneliti Puslitbang Kehidupan Keagamaan

    1. Pendahuluan

    Penduduk Indonesia sangat heterogen dalam etnis, bahasa, adat-istiadat, budaya dan agama. Kondisi tersebut mendorong dinamika saling berinteraksi, dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sebaliknya dengan pilihan kehidupan demokrasi dan reformasi dalam kehidupan berpotensi terjadi konflik, apalagi jika lemah kendali pengelolaaannya secara baik.

    Sebagaimana dialami bangsa ini tindakan anarkhis, kekerasan dan konflik dalam masyarakat terjadi secara mencolok menjelang akhir pemerintahan Orde Baru (1996-1998) dan memasuki awal Orde Reformasi (1998-2000-an). Di antaranya disebutkan di sini seperti kasus Situbondo (10 Oktober 1996), Tasikmalaya (26 Desember 1996), Pekalongan (24-26 Maret 1997), Temanggung (6 April 1997), Banjarnegara (9 April 1997), Sanggauledo (Januari dan Februari 1997), serta pada awal reformasi digulirkan seperti kejadian di Ketapang, Kupang, Ambon (1999), Maluku Utara, Poso, Sambas (1999) dan Sampit Palangkaraya (7 Maret 1999). Selanjutnya secara sopradis diikuti kasus lain, seperti penistataan agama di

  • xxxvi

    Ringkasan Buku

    Temanggung, Jawa Tengah (8 Februari 2011), kasus Ahmadiyah Cikeusik Pandeglang, Banten (2011) dan kasus Sunni-Syiah di Sampang, Jawa Timur (2011, 2012). Kasus terakhir hingga saat ini belum terselesaikan. Konflik etnik dan konflik sosial bernuansa agama tersebut selain menimbulkan korban harta benda dan jiwa yang sia-sia, juga merusak harmoni kehidupan masyarakat dan antarumat beragama.

    Atas dasar tersebut, perlu kajian tentang konflik dan damai, dengan tema Kajian Penyadaran dan Pendampingan Melalui Penguatan Kedamaian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama telah melakukan kajian mulai tahun 2009 hingga 2012 dengan pendekatan riset aksi partisipatori (participatory action research/PAR) dan focus group discussion (FGD).

    Masalah pokok kajian ialah bagaimana pelaksanaan resolusi konflik (peace making) dan bina damai (peace building) dalam penguatan kedamaian pada masyarakat yang heterogen dari segi etnis dan agama (etnorelijius)? Pertanyaan kajian secara khusus tentang kajian resolusi konflik, yaitu: 1) Bagaimana dinamika kegiatan resolusi konflik etnorelijius melalui pendekatan PAR di daerah sasaran? 2) Apa Lesson learned yang dapat diambil dari kegiatan resolusi konflik tersebut? Pertanyaan kajian tentang bina damai: 1) Bagaimana dinamika kegiatan bina damai entnorelijius melalui pendekatan PAR di daerah sasaran? 2) Apa Lesson learned yang dapat diambil dari kegiatan bina damai tersebut?

    Kajian ini bertujuan untuk menjawab keempat pertanyaan di atas. Hasilnya tentu akan berguna untuk

  • xxxvii

    Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia

    pengambilan kebijakan bagi pemerintah terutama dilingkungan Kementerian Agama dan pihak terkait. Bagi masyarakat tentu berguna sebagai acuan penyelesaian konflik dan pemeliharaan kedamaian. Dari kedua kajian tersebut berbagai pihak dapat mengambil pelajaran (lesson learned) dalam penguatan kedamaian.

    Dari segi teoritis dalam tulisan ini digunakan teori sosiologi konflik yang digabung dan dimanfaatkan untuk melakukan analisis dan intervensi konflik. Kegiatan ini bersifat multidisipliner seperti yang dipelopori oleh Johan Galtung (1969: 167-191). Galtung melakukan pendekatan dari segitiga konflik. Bahwa konflik berakar pada kepentingan yang berbeda-beda baik dari individu, kelompok, atau pun organisasi yang dipicu oleh persepsi atau tanggapan anggota etnik tertentu terhadap isu-isu tertentu yang berkaitan dengan etnik lain. Salah satu sumbangan Galtung terhadap analisis konflik multidisipliner berkembang dalam konteks konflik komunal, konflik primordial, dan konflik instrumental.

    Lokus kajian dipilih secara purposif dengan mempertimbangkan faktor kawasan, heteregenitas etnis dan agama, dan pernah terjadi konflik sosial bernuansa agama. Kajian ini meliputi tiga kawasan Indonesia, yaitu kawasan barat, tengah dan timur. Heterogenitas pemeluk agama dilihat komposisi besar dan kecilnya jumlah pemeluk agama di suatu daerah. Dalam kegiatan ini mengambil lokasi 16 daerah dengan waktu selama 4 tahun, mulai 2009 hingga 2012.

    Keduabelas daerah konflik yang dilakukan kajian meliputi: pada tahun 2009 sebanyak 6 lokasi, yaitu: Kota Bekasi Jawa Barat, Kota Semarang Jawa Tengah, Kota

    Temanggung, Jawa Tengah (8 Februari 2011), kasus Ahmadiyah Cikeusik Pandeglang, Banten (2011) dan kasus Sunni-Syiah di Sampang, Jawa Timur (2011, 2012). Kasus terakhir hingga saat ini belum terselesaikan. Konflik etnik dan konflik sosial bernuansa agama tersebut selain menimbulkan korban harta benda dan jiwa yang sia-sia, juga merusak harmoni kehidupan masyarakat dan antarumat beragama.

    Atas dasar tersebut, perlu kajian tentang konflik dan damai, dengan tema Kajian Penyadaran dan Pendampingan Melalui Penguatan Kedamaian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama telah melakukan kajian mulai tahun 2009 hingga 2012 dengan pendekatan riset aksi partisipatori (participatory action research/PAR) dan focus group discussion (FGD).

    Masalah pokok kajian ialah bagaimana pelaksanaan resolusi konflik (peace making) dan bina damai (peace building) dalam penguatan kedamaian pada masyarakat yang heterogen dari segi etnis dan agama (etnorelijius)? Pertanyaan kajian secara khusus tentang kajian resolusi konflik, yaitu: 1) Bagaimana dinamika kegiatan resolusi konflik etnorelijius melalui pendekatan PAR di daerah sasaran? 2) Apa Lesson learned yang dapat diambil dari kegiatan resolusi konflik tersebut? Pertanyaan kajian tentang bina damai: 1) Bagaimana dinamika kegiatan bina damai entnorelijius melalui pendekatan PAR di daerah sasaran? 2) Apa Lesson learned yang dapat diambil dari kegiatan bina damai tersebut?

    Kajian ini bertujuan untuk menjawab keempat pertanyaan di atas. Hasilnya tentu akan berguna untuk

  • xxxviii

    Ringkasan Buku

    Makassar Sulawesi Selatan, Kota Palu Sulawesi Tengah, Kota Mataram Nusa Tenggara Barat, dan Kota Ternate Maluku Utara. Selamjutnya pada tahun 2010 juga pada 6 lokasi, yaitu: Kota Banda Aceh Provinsi Aceh, Kota Pontianak Kalimantan Barat, Kota Banjarmasin Provinsi Kalimantan Selatan, Kota Palangkaraya Provinsi Kalimantan Tengah, Kota Samarinada Provinsi Kalimantan Timur, dan Kota Kupang Provinsi Nusa Tenggara Timur.

    Namun dalam buku ini hanya dimuat 4 daerah konflik, dengan pertimbangan kekhasannya. Konflik di Pontianak terkait dengan etnis dan primordialitas, di Semarang terkait migrasi pendatang dan penguasaan sumber daya, di Mataram terkait etnik mayoritas dengan minoritas, dan di Kupang terkait dengan etnis pendatang dan asli.

    Adapun 4 daerah damai yang dipilih, juga karena memiliki kekhasan yaitu: di Kabupaten Badung terkait ekonomi (pariwisata) dan awig-awig, di Kota Medan terkait keterbukaan dan nilai kerukunan, di Kota Manado yang dikenal kuat kearifan lokalnya -institusi kerukunan dan nilai-, dan Kabupaten Bantul terkait dengan nilai budaya keraton dan karisma Sultan.

    Dalam kajian ini digunakan teknik pendekatan participatory action research (PAR) dan focus group discussion (FGD). Rencana program merupakan lanjutan proses need assessment. Dalam rencana ini dicantumkan tentang apa yang akan dilakukan, siapa yang akan melakukan, dan kapan waktu dilakukan. Pelaksanaan kegiatan diatur dalam penjadwalan termasuk pembagian kelompok dan tugas-tugasnya. Sesuai

  • xxxix

    Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia

    prinsip PAR, pelaksanaan kegiatan ini diorganisir dan dipimpin oleh masyarakat.

    Analisis pada tiap tahapan kegiatan dilakukan secara bersama-sama oleh masyarakat yang didampingi oleh fasilitator dari peneliti. Akhir dari kegiatan analisis masyarakat menemukan berbagai alternatif solusi atas persoalan-persoalan yang telah teridentifikasi.

    Semua kegiatan dipantau atau dimonitor secara berlanjut untuk melihat kesesuaian antara pelaksanaan dengan rencana yang telah disusun. Jika suatu tahapan kegiatan selesai, dilakukan evaluasi. Selanjutnya dilakukan refleksi guna mengambil pelajaran (lessons learned) dari kegiatan yang dilakukan. Semua proses dilakukan oleh masyarakat/kelompok sasaran, peneliti sebagai pendamping dan fasilitator.

    Pelaksana kajian ini ialah Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama bekerjasama dengan Yayasan Indonesian for Civil Society (INCIS). Sejumlah stakeholder terkait ikut berperan serta dalam kegiatan ini, seperti: Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Provinsi dan kabupaten/kota, Kementerian Agama provinsi dan kabupaten/kota, kalangan perguruan tinggi di masing-masing lokasi kajian.

    Secara umum pelaksanaan kegiatan dapat diskemakan sebagai berikut:

    Makassar Sulawesi Selatan, Kota Palu Sulawesi Tengah, Kota Mataram Nusa Tenggara Barat, dan Kota Ternate Maluku Utara. Selamjutnya pada tahun 2010 juga pada 6 lokasi, yaitu: Kota Banda Aceh Provinsi Aceh, Kota Pontianak Kalimantan Barat, Kota Banjarmasin Provinsi Kalimantan Selatan, Kota Palangkaraya Provinsi Kalimantan Tengah, Kota Samarinada Provinsi Kalimantan Timur, dan Kota Kupang Provinsi Nusa Tenggara Timur.

    Namun dalam buku ini hanya dimuat 4 daerah konflik, dengan pertimbangan kekhasannya. Konflik di Pontianak terkait dengan etnis dan primordialitas, di Semarang terkait migrasi pendatang dan penguasaan sumber daya, di Mataram terkait etnik mayoritas dengan minoritas, dan di Kupang terkait dengan etnis pendatang dan asli.

    Adapun 4 daerah damai yang dipilih, juga karena memiliki kekhasan yaitu: di Kabupaten Badung terkait ekonomi (pariwisata) dan awig-awig, di Kota Medan terkait keterbukaan dan nilai kerukunan, di Kota Manado yang dikenal kuat kearifan lokalnya -institusi kerukunan dan nilai-, dan Kabupaten Bantul terkait dengan nilai budaya keraton dan karisma Sultan.

    Dalam kajian ini digunakan teknik pendekatan participatory action research (PAR) dan focus group discussion (FGD). Rencana program merupakan lanjutan proses need assessment. Dalam rencana ini dicantumkan tentang apa yang akan dilakukan, siapa yang akan melakukan, dan kapan waktu dilakukan. Pelaksanaan kegiatan diatur dalam penjadwalan termasuk pembagian kelompok dan tugas-tugasnya. Sesuai

  • xl

    Ringkasan Buku

    Resolusi Konflik di Kota Pontianak

    Kota Pontianak adalah ibukota Provinsi Kalimantan Barat yang didirikan oleh Syarif Abdurrahman Alkadrie pada hari Rabu tanggal 23 Oktober 1771, dan beliau dinobatkan menjadi Sultan Kerajaan Pontianak pertama (1771-1808). Sejak tahun 1959 dikembangkan menjadi Kotapraja, dan pada tahun 1965 menjadi Kota Pontianak. Secara administratif terdiri atas 6 kecamatan, 29 kelurahan, 634 RW dan 2.372 RT.

    Luas Kota Pontianak 107,82 Km2 dihuni penduduk multietnik, terbesar adalah etnis Melayu dan Dayak, disusul etnis Tionghoa, dan etnis Madura. Heterogenitas etnis dan agama penduduk Kota Pontianak khususnya, dan di Provinsi Kalimantan Barat umumnya rawan konflik.

    Penduduk dari segi agama dalam buku Kota Pontianak dalam Angka 2011 (95-96, 159-160) tercatat 128.441 jiwa. Pemeluk agama tersebar di

    PENYELESAIAN BUKU DAN LAPORAN

    DESAIN OPERASIONAL DAN PERSIAPAN

    SOSIALISASI PROGRAM DAN

    ASSESMENT SEMINAR

    ANALISIS DAN INTEGRASI LAPORAN

    PENDAMPINGAN: MONITORING DAN

    REFLEKSI

    FGD PELOPOR KEDAMAIN

    SOSIAL

  • xli

    Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia

    6 kecamatan, dengan konsentarasi dominan yang berbeda. Islam banyak di Pontianak Selatan dan Barat, Kristen di Pontianak Kota dan Selatan, Timur, Barat dan Utara, Hindu di Pontianak Utara dan Selatan, sedangkan Buddha di Pontianak Selatan dan Tenggara. Tiap komunitas agama memiliki rumah ibadat tersendiri, sebagai sentra kegiatannya.

    Konflik etnis terjadi kerusuhan komunal antara Dayak-Melayu dan Melayu-Madura. Pada umumnya diawali masalah individual berkembang menjadi konflik komunal seperti antara Dayak dengan Melayu, dan antara Madura-Melayu (Yacobus Kumis, 2011: 9).

    Menurut Moh. Haitami Salim Ketua Furom Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Provinsi Kalimantan Barat bahwa di wilayah in telah terjadi 11 kali konflik horizontal yang melibatkan kelompok etnis (2012:46), bahkan dalam makalah Yacobus Kumis, Ketua Dewan Adat Dayak tercatat lebih banyak yaitu: 13 kali konflik (2012:3). Dari pengalaman pristiwa konflik nampak nilai sosial budaya dan agama tentang kerukunan dan kedamaian tidak mampu membentengi masyarakat dari konflik individu dan/atau konflik komunal, karena faktor nonagama.

    Konflik bernuansa agama di Kalimantan Barat disebabkan banyak faktor. Di antaranya ialah kepentingan ekonomi dan politik, masalah sosial-budaya, pengendapan identitas politik, dan segregasi etnorelijius atas penegelompokan etnis atau agama.

    Resolusi Konflik di Kota Pontianak

    Kota Pontianak adalah ibukota Provinsi Kalimantan Barat yang didirikan oleh Syarif Abdurrahman Alkadrie pada hari Rabu tanggal 23 Oktober 1771, dan beliau dinobatkan menjadi Sultan Kerajaan Pontianak pertama (1771-1808). Sejak tahun 1959 dikembangkan menjadi Kotapraja, dan pada tahun 1965 menjadi Kota Pontianak. Secara administratif terdiri atas 6 kecamatan, 29 kelurahan, 634 RW dan 2.372 RT.

    Luas Kota Pontianak 107,82 Km2 dihuni penduduk multietnik, terbesar adalah etnis Melayu dan Dayak, disusul etnis Tionghoa, dan etnis Madura. Heterogenitas etnis dan agama penduduk Kota Pontianak khususnya, dan di Provinsi Kalimantan Barat umumnya rawan konflik.

    Penduduk dari segi agama dalam buku Kota Pontianak dalam Angka 2011 (95-96, 159-160) tercatat 128.441 jiwa. Pemeluk agama tersebar di

    PENYELESAIAN BUKU DAN LAPORAN

    DESAIN OPERASIONAL DAN PERSIAPAN

    SOSIALISASI PROGRAM DAN

    ASSESMENT SEMINAR

    ANALISIS DAN INTEGRASI LAPORAN

    PENDAMPINGAN: MONITORING DAN

    REFLEKSI

    FGD PELOPOR KEDAMAIN

    SOSIAL

  • xlii

    Ringkasan Buku

    Kedamaian sosial yang terbangun pasca konflik lebih pada proses pengendapan masalah. Karena itu jika terdapat pemicu akan muncul konflik baru, karena penyelesainnya dinilai belum tuntas.

    Dinamika kegiatan resolusi konflik oleh kader muda perdamaian terutama Forum Kerukunan Pemuda Lintas Agama (Forkupelia) terlihat belum optimal. Berbagai upaya resolusi konflik yang dilakukan, antara lain: pertandingan olah raga antar pemuda penganut lintas agama, kerja bakti bersama membersihkan rumah-rumah ibadat, dan dialog kerukunan.

    Di luar kegiatan forum tersebut terdapat keariafan lokal yang mendukung kerukunan. Dayak Samih di Kecamatan Sebangki, Kabupaten Landak berhasil membangun kearifal lokal. Sekalipun aksi kekerasan sering terjadi sesama warga antara Dayak vesus Madura seperti pristiwa tahun 1997 dan 1999 dan 2000, tetapi bagi masyarakat Sebangki yang penduduknya dari Dayak Suku Samih menolak terlibat dalam aksi kekerasan dengan embel-embel etnik dan agama.

    Ketika suku Dayak lain mengirim mangkok merah (simbol ajakan berperang) kepada masyarakat di Kecamatan Samih, mereka respon dengan mengembalikan mangkok merah tersebut dengan mangkok putih yang berarti penolakan ikut konflik. Ini merupakan sebuah kearifan lokal untuk kedamaian.

    Jadi, dapat diambil pelajaran bahwa konflik dapat di atasi dengan kesepakatan bersama warga dibawah koordinasi pemerintah setempat sehingga menjadi kearifan lokal yang dilaksanakan secara konsekwen.

  • xliii

    Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia

    Resolusi Konflik di Kota Semarang

    Kota Semarang ibukota Provinsi Jawa Tengah memiliki luas wilayah 373,7 km2. Secara administratif kota ini terbagi atas 16 wilayah kecamatan dan 177 kelurahan.

    Semarang merupakan kota yang majemuk dari segi etnis dan agama. Menurut Survei Nasional BPS 2010 terdapat sejumlah etnis, yakni: Jawa (93,2%), Cina (4,3%), Sunda (0,7%), Batak (0,25%), Madura (0,15%), Melayu (0,13%), Minang (0,09%), Betawi (0,07%), dan Lainnya (1,03%). Dari segi agama sesuai data BPS 2010, adalah: Islam (83,3%), Kristen (7,14%), Katolik (7,48%), Hindu (0,69%), Buddha (1,21%), dan lainnya termasuk Khonghucu (0,15%). Rumah ibadat tersedia masjid 1.126 buah, mushola 1.933 buah, gereja/kapel 287 buah, dan pura/kuil/wihara 38 buah.

    Dinamika kegiatan resolusi konflik oleh alumni Focus Gruop Dicussion (FGD) tahun 2010 ada dua. Pertama, pelatihan Pemuda Karang Taruna Merdeka di Kelurahan Karangroto. Pelatihan ini untuk meningkatkan ketrampilan jurnalistik, manajemen Karang Taruna dan kesadaran akan perdamaian. Kedua ialah perlombaan membaca dan hapalan surat-surat pendek serta adzan.

    Kedua kegiatan tersebut merupakan model upaya resolusi konflik keagamaan. Jika yang pertama fokus pada pertemuan dan memperoleh kesepakatan antarpemuda berbagai agama, sedangkan model kedua ialah kerjasama untuk membangun saling kesepahaman.

    Jadi, pelajaran yang dapat diambil dari kegiatan resolusi konflik tersebut, yaitu konflik dapat diatasi dengan dialog

    Kedamaian sosial yang terbangun pasca konflik lebih pada proses pengendapan masalah. Karena itu jika terdapat pemicu akan muncul konflik baru, karena penyelesainnya dinilai belum tuntas.

    Dinamika kegiatan resolusi konflik oleh kader muda perdamaian terutama Forum Kerukunan Pemuda Lintas Agama (Forkupelia) terlihat belum optimal. Berbagai upaya resolusi konflik yang dilakukan, antara lain: pertandingan olah raga antar pemuda penganut lintas agama, kerja bakti bersama membersihkan rumah-rumah ibadat, dan dialog kerukunan.

    Di luar kegiatan forum tersebut terdapat keariafan lokal yang mendukung kerukunan. Dayak Samih di Kecamatan Sebangki, Kabupaten Landak berhasil membangun kearifal lokal. Sekalipun aksi kekerasan sering terjadi sesama warga antara Dayak vesus Madura seperti pristiwa tahun 1997 dan 1999 dan 2000, tetapi bagi masyarakat Sebangki yang penduduknya dari Dayak Suku Samih menolak terlibat dalam aksi kekerasan dengan embel-embel etnik dan agama.

    Ketika suku Dayak lain mengirim mangkok merah (simbol ajakan berperang) kepada masyarakat di Kecamatan Samih, mereka respon dengan mengembalikan mangkok merah tersebut dengan mangkok putih yang berarti penolakan ikut konflik. Ini merupakan sebuah kearifan lokal untuk kedamaian.

    Jadi, dapat diambil pelajaran bahwa konflik dapat di atasi dengan kesepakatan bersama warga dibawah koordinasi pemerintah setempat sehingga menjadi kearifan lokal yang dilaksanakan secara konsekwen.

  • xliv

    Ringkasan Buku

    antarumat beragama mencari kesepakatan perdamaian, dan membangun saling kepahaman dalam kegiatan sosial.

    Resolusi Konflik di Kota Mataram

    Kota Mataram ibukota Provinsi Nusa Tenggara Barat. Dari segi administrasi pemerintahan, terbagi menjadi 6 kecamatan, yakni Kecamatan Ampenan, Sekarbela, Mataram, Selaparang, Cakranegara dan Kecamatan Sandubaya (BPS. Kota Mataram, 2011:3-15).

    Penduduk Kota Mataram pada tahun 2010 mencapai 402.843 jiwa, terdiri atas 199.332 laki-laki dan 203.511 perempuan. Mataram merupakan daerah terbuka sehingga dapat dipahami jika penduduk kota ini terdiri atas berbagai etnis/suku. Menurut penuturan beberapa tokoh masyarakat maupun kalangan pejabat Pemda Kota Mataram, suku Sasak sebagai suku asal Pulau Lombok merupakan penduduk mayoritas. Menyusul suku Jawa, suku Bali, dan selebihnya adalah suku-suku lain.

    Dalam kehidupan keagamaan, mayoritas penduduk beragama Islam, yakni 352.021 jiwa (80,15 %). Umat Hindu menempati posisi terbesar kedua, 65.700 jiwa (14,96 %), Kristen menempati 7.805 jiwa (1,78 %), Buddha 7.653 jiwa (1,74 %), Katolik 4.875 jiwa (1,11 %) dan Khonghucu 1.145 jiwa (0,26 %) (Data Kantor Wilayah Kemenag Prov. NTB, 2012).

    Konflik sosial terjadi lebih disebabkan oleh perbedaan pola kehidupan antara penduduk asli dengan pendatang beserta identitas etnis dan agamanya, lemahnya penegakan hukum, serta lamban dalam penyelesaian kasus-kasus

  • xlv

    Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia

    keagamaan dan konflik sosial. Faktor potensial memicu konflik, antara lain: dinamika politik-lokal, ego budaya (stereotyping terhadap wong liyan), kontestasi interpretasi agama (antara tekstual vs kontekstual), persoalan hubungan keluarga, serta adanya kesenjangan ekonomi dan sosial. Tragedi konflik terjadi selama ini mencapai 171 kali.

    Dinamika kegiatan resolusi konflik oleh kader perdamaian terutama dalam hal: pengembangan dan revitalisasi budaya/kearifan lokal (local wisdoms), penguatan peran forum-forum kerukunan seperti FKUB dan Petamas, sosialisasi budaya toleransi, dan pengembangan wawasan multikultural, serta kebijakan pemerintah daerah setempat yang mendukung kerukunan.

    Jadi, pelajaran yang dapat diambil dari kegiatan resolusi konflik tersebut, bahwa nilai-nilai kerifan lokal, pengembangan wawasan multikultural yang terus disosialisasikan dapat mengatasi konflik dalam masyarakat secara bertahap, dan dalam hal ini dapat diberi peran besar pada FKUB.

    Resolusi Konflik di Kota Kupang

    Kota Kupang adalah ibukota Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Penduduknya beragam dari segi etnis dan agama.

    Masyarakat Kupang tampak masih kuat dalam kekerabatan, baik lewat perkawinan maupun lewat keturunan darah. Kekerabatan telah menjadi semacam kekuatan budaya (culture force) yang berhasil menjalin relasi antarindividu. Kekerabatan yang dimaksudkan di sini adalah ikatan

    antarumat beragama mencari kesepakatan perdamaian, dan membangun saling kepahaman dalam kegiatan sosial.

    Resolusi Konflik di Kota Mataram

    Kota Mataram ibukota Provinsi Nusa Tenggara Barat. Dari segi administrasi pemerintahan, terbagi menjadi 6 kecamatan, yakni Kecamatan Ampenan, Sekarbela, Mataram, Selaparang, Cakranegara dan Kecamatan Sandubaya (BPS. Kota Mataram, 2011:3-15).

    Penduduk Kota Mataram pada tahun 2010 mencapai 402.843 jiwa, terdiri atas 199.332 laki-laki dan 203.511 perempuan. Mataram merupakan daerah terbuka sehingga dapat dipahami jika penduduk kota ini terdiri atas berbagai etnis/suku. Menurut penuturan beberapa tokoh masyarakat maupun kalangan pejabat Pemda Kota Mataram, suku Sasak sebagai suku asal Pulau Lombok merupakan penduduk mayoritas. Menyusul suku Jawa, suku Bali, dan selebihnya adalah suku-suku lain.

    Dalam kehidupan keagamaan, mayoritas penduduk beragama Islam, yakni 352.021 jiwa (80,15 %). Umat Hindu menempati posisi terbesar kedua, 65.700 jiwa (14,96 %), Kristen menempati 7.805 jiwa (1,78 %), Buddha 7.653 jiwa (1,74 %), Katolik 4.875 jiwa (1,11 %) dan Khonghucu 1.145 jiwa (0,26 %) (Data Kantor Wilayah Kemenag Prov. NTB, 2012).

    Konflik sosial terjadi lebih disebabkan oleh perbedaan pola kehidupan antara penduduk asli dengan pendatang beserta identitas etnis dan agamanya, lemahnya penegakan hukum, serta lamban dalam penyelesaian kasus-kasus

  • xlvi

    Ringkasan Buku

    keanggotaan seseorang individu ke dalam suatu keluarga (dalam arti sempit dan luas) yang terbina secara vertikal dan horizontal, baik lewat perkawinan maupun lewat keturunan darah.

    Namun sejak tahun 1999 hingga 2008 terdapat 210 insiden konflik, yang terdiri dari 120 insiden kekerasan dan 90 insiden tanpa kekerasan, baik bersifat horizontal maupun vertikal, dilakukan oleh individu atau kelompok, bersifat laten, dan terbuka. Gejolak sosial terjadi dan puncaknya tanggal 30 November dan 1 Desember 1998.

    Kota Kupang adalah kota dengan heterogenitas yang tinggi, namun punya akar sejarah toleransi yang kuat. Hubungan kekerabatan lintas agama yang telah terjadi pada dasarnya tidak memungkinkan konflik atas nama agama muncul di Kupang. Konflik agama potensial terjadi jika berkelit kelindan dengan isu etnisitas dan ketimpangan sosial. Masih terdapat konflik-konflik kecil yang diakibatkan oleh kenakalan remaja, namun potensial menjadi konflik antar kelompok (suku, agama) jika disulut dan tidak segera dilokalisir. Penyebab konflik yang menonjol illah ketimpangan ekonomi pendatang dengan penduduk asli.

    Dinamika kegiatan resolusi konflik diperankan oleh tokoh-tokoh agama, formal maupun informal, menjadi salah satu tiang penopang terpeliharanya kondisi damai. Gerakan lintas agama yang diinisiasi oleh KOMPAK menjadi model tersendiri dalam proses pencairan kebekuan antarkelompok muda lintas agama.

    Banyak kegiatan lain yang dilakukan masyarakat seperti: safrai kerukunan pemerintah, peranserta pemuka agama dalam acara adat, jalan sehat tokoh lintas agama, bakti

  • xlvii

    Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia

    sosial, dan revitalisasi kesepakatan yang mendukung kerukunan.

    Jadi, dalam masyarakat rentan konflik dengan pemicu yang sepele saja dapat mengakibatkan konflik terbuka, seperti kasus mabuk-mabukan oleh kelompok pemuda. Namun dengan pendekatan kunjungan silaturrahim kepada tokoh agama, masyarakat dan pemuda kasus konflik dapat dimanimalisasikan, dapat terpelihara hubungan yang lebih harmonis. Di samping itu muncul kesadaran bahwa konflik mendatangkan kesengsaraan bagi semua.

    Bina Damai Etnorelijius

    Bina Damai di Kabupaten Badung

    Badung1 adalah salah satu kabupaten di Provinsi Bali2 (BPS, 2010:1 dan BPS, 2009:4-5). Salah satu kecamatan di Kabupaten bandung yang dijadikan pusat kajian bina damai ini ialah di Kute Selatan.

    Secara demografis, penduduk Kuta Selatan pada tahun 2009 tercatat 70.967 jiwa, terdiri dari 36.153 laki-laki (50,94%) dan 34.814 perempuan (49.06%), 16.985 kepala keluarga, dengan kepadatan penduduk 702 jiwa/km (BPS, 2010:8 dan 22).

    Kerukunan umat beragama di daerah ini menjadi perhatian utama pemerintah. Kantor

    1Kabupaten Badung terdiri atas enam kecamatan: Kuta Selatan, Kuta,

    Kuta Utara, Mengwi, Abiansemal, dan Petang. 2Provinsi Bali terbagi pada sembilan kabupaten/kota, yaitu: Jembrana,

    Buleleng, Tabanan, Badung, Kota Denpasar, Gianyar, Bangli, Klungkung, dan Karangasem.

    keanggotaan seseorang individu ke dalam suatu keluarga (dalam arti sempit dan luas) yang terbina secara vertikal dan horizontal, baik lewat perkawinan maupun lewat keturunan darah.

    Namun sejak tahun 1999 hingga 2008 terdapat 210 insiden konflik, yang terdiri dari 120 insiden kekerasan dan 90 insiden tanpa kekerasan, baik bersifat horizontal maupun vertikal, dilakukan oleh individu atau kelompok, bersifat laten, dan terbuka. Gejolak sosial terjadi dan puncaknya tanggal 30 November dan 1 Desember 1998.

    Kota Kupang adalah kota dengan heterogenitas yang tinggi, namun punya akar sejarah toleransi yang kuat. Hubungan kekerabatan lintas agama yang telah terjadi pada dasarnya tidak memungkinkan konflik atas nama agama muncul di Kupang. Konflik agama potensial terjadi jika berkelit kelindan dengan isu etnisitas dan ketimpangan sosial. Masih terdapat konflik-konflik kecil yang diakibatkan oleh kenakalan remaja, namun potensial menjadi konflik antar kelompok (suku, agama) jika disulut dan tidak segera dilokalisir. Penyebab konflik yang menonjol illah ketimpangan ekonomi pendatang dengan penduduk asli.

    Dinamika kegiatan resolusi konflik diperankan oleh tokoh-tokoh agama, formal maupun informal, menjadi salah satu tiang penopang terpeliharanya kondisi damai. Gerakan lintas agama yang diinisiasi oleh KOMPAK menjadi model tersendiri dalam proses pencairan kebekuan antarkelompok muda lintas agama.

    Banyak kegiatan lain yang dilakukan masyarakat seperti: safrai kerukunan pemerintah, peranserta pemuka agama dalam acara adat, jalan sehat tokoh lintas agama, bakti

  • xlviii

    Ringkasan Buku

    Wilayah Kementerian Agama Provinsi Bali, misalnya, pada tahun 2010 menyelenggarakan pembinaan kerukunan umat beragama di daerah rawan konflik dengan pendekatan budaya lokal, seperti di Kota Denpasar, Kabupaten Badung dan Gianyar. Upaya ini bertujuan antara lain untuk melestarikan adat istiadat dan kearifan lokal yang mendukung kerukunan umat beragama (IGAK Suthayasa, 2011:2).

    Sumber sekaligus potensi kedamain pada masyarakat heterogen di Kabupaten Badung Bali ialah faktor ketergantungan ekono