Upload
citra-rahayu
View
518
Download
21
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I. Pendahuluan
Flavonoid adalah golongan fenol alam yang tersebar luas dalam
tumbuhan. Menurut perkiraan , kira-kira 2% dari seluruh karbon yang
difotosintesis oleh tumbuhan atau sekitar 1.000.000.000 ton per tahun diubah
menjadi flavonoid atau senyawa yang berkaitan dengannya. Diduga flavonoid
sudah ada di alam ini telah cukup lama, yang terdapat pada ganggang hijau lebih
1 milyar tahun silam. Tidak ada senyawa yang begitu menyolok seperti flavonoid
yang memberi keindahan dan kesemarakan pada bunga dan buah-buahan di
alam, misalnya flavin memberi warna kuning atau jingga, antosianin warna
merah, ungu atau biru dan secara biologis dia memainkan peranan penting
dalam proses penyerbukan pada tanaman oleh serangga. Pada mulanya para
ahli tertarik pada antosian, yang merupakan pigmen tumbuhan flavonoid.
Kemudian diketahui pula bahwa dalam buah-buahan, sayur-sayuran dan biji-
bijian mengandung berbagai jenis senyawa flavonoid. Disamping sebagai
pigmen tumbuhan, flavonoid diketahui pula berperan dalam pertumbuhan,
pertahanan diri dari serangan hama dan penyakit, tabir surya, dan sinyal kimia
untuk berkomunikasi dengan lingkungannya. Bagi manusia golongan senyawa
ini memberi manfaat yang cukup banyak seperti, antioksidan, antiinflamasi,
immunostimulan, antikanker, antivirus dan antimikroba.. Tanin yang termasuk
golongan senyawa ini telah lama digunakan sebagai penyamak kulit dan
pewarna kain. Berbagai komoditi penting seperti teh, coklat dan anggur, mutunya
sangat ditentukan oleh warna maupun rasa yang berasal dari flavonoid yang
terdapat didalamnya.
Istilah flavonid yang diberikan untuk senyawa-senyawa fenol ini berasal
dari kata flavon, yakni nama dari salah satu jenis flavonoid yang terbesar
jumlahnya dan juga lazim ditemukan .
Flavonoid terdapat dalam semua tumbuhan hijau sehingga pastilah
ditemukan pada setiaap telaah ekstrak tumbuhan. Oleh karena itu, para ilmuwan
perlu kiranya untuk mengetahui cara mengenal, mengisolasi, dan
mengidentifikasi bahan alam tersebut dalam berbagai bentuk.
I.1 Kerangka dasar
Flavonoid merupakan senyawa dengan kerangka dasar mempunyai 15
atom C, dua cincin benzen yang terikat pada suatu rantai propana sehingga
susunannya adalah C6 – C3 – C6. Susunan ini akan menghasilkan tiga jenis
struktur, yaitu : 1,3 – diaril propane atau flavonoid, 1,2 – diaril propane atau
isoflavonoid dan 1,1 – diaril propane atau neoflavonoid
Contoh :
1. Flavonoid
2. Isoflavonoid
3. Neoflavonoid
Kedua cincin aromatik (benzen) yang dihubungkan oleh satuan tiga
karbon dapat atau tidak dapat membentuk cincin ketiga. Untuk memudahkan
maka cincin pertama benzen diberi indeks A, cincin benzen kedua indeks B dan
cincin yang dapat terbentuk cincin C
Senyawa flavonoid terdiri atas beberapa jenis, bergantung dari tingkat
oksidasi dari rantai propane dari sitem 1,3 diaril propane. Dalam hal ini flavan
mempunyai tingkat oksidasi yang terendah sehingga senyawa ini dianggap
sebagai senyawa induk dalam tatanama senyawa-senyawa turunan flavon.
I.2 Asal usul Biogenetik
Spekulasi awal mengenai biosintesis flavonoid dijelaskan oleh Robinson
(1936) mengatakan bahwa kerangka C6 – C3 – C6. dari flavonoid berkaitan
dengan kerangka C6 – C3 dari fenilpropana yang mempunyai gugus fungsi
oksigen pada para, para dan meta atau dua meta dan satu para pada cincin
aromatik. Akan tetapi, senyawa-senyawa fenilpropana, seperti asam amino fenil-
alanin dan tirosin, bukannya dianggap sebagai senyawa yang menurunkan
flavonoid melainkan hanya sebagai senyawa yang bertalian belaka.
Pola biosintesis flavonoid pertama kali diusulkan oleh Birch, yang
menjelaskan bahwa tahap pertama biosintesis flavonoid suatu unit C6 – C3
berkombinasi dengan 3 unit C2 menghasilkan unit C6 – C3 – (C2+C2+C2).
Berdasarkan atas usul tersebut maka biosintesis dari flavonoid melalui 2 jalur
bisosintesis yaitu poliketida (asam asetat atau mevalonat) dalam membentuk
cincin A berkondensasi 3 molekul unit asetat, sedang cincin B dan tiga atom
karbon dari rantai propana berasal dari jalur fenilpropana (shikimat).
Selanjutnya, sebagai akibat dari berbagai perubahan yang disebabkan
oleh enzim, ketiga atom karbon dari rantai propana dapat menghasilkan berbagai
gugus fungsi, seperti ikatan rangkap, gugus hidroksil, gugus karbonil dan
sebagainya.
Pokok-pokok biosintesis flavonoid
Pembentukan flavonoid dimulai dengan memperpanjang unit
fenilpropanoid (C6 – C3) yang berasal dari turunan sinamat seperti asam p-
kumarat, kadang-kadang asam kafeat, asam ferulat atau asam sinapat.
Percobaan menunjukkan bahwa khalkon dan isomer flavanon yang sebanding
juga berperan sebagai senyawa antara dalam biosintesis berbagai jenis
flavanoid lainnya
Hubungan Biogenetik Berbagai jenis Flavonoid (Grisebach)
Biosintesis Antosianidin dan Katekin (Haslam)
I.3 Fungsi flavonoid pada tumbuhan
1. Fungsi penyerbukan. Flavonoid termasuk pigmen yang penting pada
tumbuhan. Warna jingga, merah, biru dan ungu pada bunga dan buah pada
umumnya disebabkan oleh flavonoid. Warna pada bunga adalah salah satu
faktor yang menarik lebah, kupu-kupu, burung dan hewan lainnya untuk
melakukan penyerbukan. Burung akan lebih menyukai warna merah, sedang
lebah lebih menyukai warna biru dan juga dapat melihat di daerah ultraviolet.
2. Fungsi pengatur tumbuh. Flavonoid secara tidak langsung berperan
sebagai zat pengatur tumbuh melalui sistem IAA (Indole Acetic Acid) – IAA
Oxidase. Secara in vitro, senyawa flavonoid kuersetin dapat menghambat enzim
IAA – Oxidae, yang berarti kuersetin secara tidak langsung dapat meningkatkan
pertumbuhan.
Senyawa flavonoid dapat pula berfungsi sebagai ”feeding deterrent”
maupun ”feeding stimulant”. Kandungan tanin yang tinggi pada buah muda
merupakan ”feeding deterrent” yang menyebabkan kera maupun manusia tidak
bernafsu untuk memakan buah sebelum masak. Sedang senyawa morin dan
isokuersetrin yang terdapat dalam daun murbei (Morus alba L), merupakan
”feeding stimulant” bagi ulat sutera (Bombyx mori).
3. Zat alelopati. Dalam berinteraksi dengan lingkungannya, tumbuhan
menggunakan sinyal berupa senyawa kimia.Pada tahun 1986, secara hampir
bersamaan, para ahli dari berbagai laboratorium di dunia melaporkan bahwa
simbiosis antara tumbuhan polong-polongan dengan bakteri marga Rhizobium
dipicu oleh sinyal kimia berupa senyawa flavonoid yang dikeluarkan oleh akar
tumbuhan. Sejak tahun 1982, ahli ekologi sudah mengetahui tumbuhan “Spotted
knapweeds” (Centaurea maculosa Lam.) mengeluarkan senyawa alelopati yang
dapat menghambat pertumbuhan tumbuhan lain di sekitarnya, baru tahun 2001
diketahui bahwa senyawa tersebut adalah (-) – katekin, suatu senyawa flavonoid
golongan flavan yang sekarang diteliti untuk dikembangkan menjadi herbisida
alam.
4. Tabir surya. Rusaknya ozon di lapisan stratosfir, terutama di daerah
dekat Kutub Selatan, menyebabkan tumbuhan mengalami cekaman sinar
ultraviolet B (UVB). Penelitian pada sejenis semanggi di Selandia Baru
memperlihatkan bahwa tumbuhan tersebut mempunyai toleransi yang tinggi
terhadap sinar UVB, adaptasi ini disebabkan dengan peningkatan kadar
flavonoid dari tumbuhan.
BAB II. Ekstraksi dan Isolasi
II.1 Ekstraksi
Aglikon flavonoid adalah polifenol dan karena itu mempunyai sifat kimia
senyawa fenol, yaitu bersifat agak asam sehingga dapat larut dalam basa. Harus
diingat, bila dibiarkan dalam larutan basa dengan oksigen banyak yang akan
terurai karena mengandung banyak oksigen yang tidak tersulih atau suatu gula.
Senyawa flavonoid merupakan senyawa polar, kepolaran ini akan
berbeda-beda terhadap berbagai pelarut sehingga harus diperhatikan dengan
menggunakan pelarut yang sesuai kepolaran flavonoid yang akan diekstraksi.
Umumnya flavonoid larut dalam pelarut-pelarut polar seperti etanol, metanol,
butanol, aseton, dimetil sulfoksida, dimetilformamida, air dan lain-lain. Dalam
bentuk glikosida karena adanya gula yang terikat pada flavonoid menyebabkan
mudah larut dalam air, dan dengan demikian campuran pelarut diatas dengan air
merupakan pelarut yang lebih baik untuk glikosidanya. Sebaliknya, aglikon yang
kurang polar seperti isoflavon, flavanon dan flavon serta flavonol yang
termodifikasi, cenderung lebih mudah larut dalam pelarut seperti eter dan
kloroform.
Bahan segar merupakan bahan awal yang ideal untuk menganalisis
flavonoid, walaupun bahan yang kering dan tersimpan lama mungkin masih
tetap memberikan hasil yang baik. Bila menggunakan bahan tumbuhan segar,
setelah cuplikan dipilih untuk dianalisis maka sisanya dianjurkan agar segara
secepatnya dikeringkan untuk mencegah kerja dari enzim.
Setelah menimbang sebagian bahan tumbuhan yang telah digiling,
ekstraksi paling baik dilakukan dalam dua tahap; pertama dengan pelarut
metanol-air (9 : 1) dan kedua dengan metanol-air (1 : 1). Ekstrak kemudian
dicampur dan diuapkan hingga volumenya menjadi sepertiga volume awal, atau
hampir semua metanol menguap. Ekstrak yang diperoleh dapat dibabaskan dari
senyawa yang kepolarannya rendah seperti lemak, terpena, klorofil, xantofil
dengan ekstraksi (dalam corong pisah) menggunakan pelarut heksan atau
kloroform. Ekstraksi harus dilakukan beberapa kali dan lapisan air mengandung
sebagian besar flavonoid, selanjutnya dikeringkan pada tekanan rendah
(rotapavor).
Pemilihan pelarut tidak hanya tergantung pada kandungan zat aktif yang
diselidiki, tetapi tergantung juga pada bagian mana substansi tersebut berada.
Bila flavonoid terdapat dalam vakuola sel, umumnya bersifat hidrofilik, maka
penyarian dilakukan dengan menggunakan air ataupun pelarut-pelarut alkoholik.
Jika flavonoidnya terdapat dalam kloroplas maka diperlukan pelarut-pelarut
nonpolar sebelum menyarian alkoholik.
Ekstraksi flavonoid seperti yang dijelaskan di atas tidak cocok untuk
antosianin atau flavonoid yang kepolarannya rendah. Untuk antosian, daun segar
atau bunga jangan dikeringkan tetapi segera digerus dengan NeOH yang
mengandung 1% HCl pekat. Ekstraksi segera terjadi yang ditandai dengan
adanya perubahan warna larutan, kromatografi atau analisis spektroskopi
ekstrak dapat segera dilakukan untu mencegah hidrolsisi glikosida. Untuk
simplisia yang mengandung flavonoid dengan kepolaran yang lebih rendah lagi
dapat langsung diisolasi dengan merendam heksana atau eter selama beberapa
menit, perlu diingat bahwa ekstrak yang diperoleh juga mengandung lemak dan
lilin.
II.2 Isolasi
Metode terbaik untuk mengisolasi atau memisahkan campuran flavonoid
antara lain dengan kromatografi kertas (KKt) dan kromatografi lapis tipis (KLT).
Jika menggunakan metode KKt, kertas yang disarankan adalah kertas Whatman
3MM (46 x 57 cm) atau yang setara. Kertas dibuat seperti gambar di bawah.
Ekstrak ditotolkan kira-kira 8 cm dari tepi lipatan pertama dan 3 cm dari lipatan
kedua dengan garis tengah 3 cm yang berpusat pada satu titik. Pengeringan
bercak dibantu dengan pengering rambut. Ekstrak yang ditotolkan dapat
digunakan secara umum yaitu dari sejumlah ekstrak yang diperoleh dari 50 –
100 mg bahan tumbuhan kering. Elusi pertama dapat digunakan pengembang
beralkohol, misalnya BAA (n-Butanol, Asam asetat, Air = BAW) 4:1:5 atau TBA
(t-BuOH:HOAc:H2O) 3:1:1. Kertas diangkat dan dikeringkan di lemari asam,
bagian kromatogram yang dilipat (a) digunting. Selanjutnya eluen kedua
menggunakan pengembang, biasanya berupa larutan dalam air seperti asam
asetat 15%. Untuk antosianin disarankan pengembang setara , biasanya BAA
atau Bu/HCl dan kedua HCl 1%.
Flavonoid tidak nampak pada kertas kromatogram, kecuali antosian (bercak
jingga sampai lembayung yang menjadi biru dengan uap ammonia), khalkon,
auron dan 6-hidroksi flavanol kuning). Karena alasan tersebut, untuk mendeteksi
bercak, kromatogram diperiksa dengan sinar UV (366 nm dan 254 nm) dan
dapat diperjelas dengan uap ammonia.
Untuk isolasi flavonoid skala besar dapat dilakukan dengan kromatografi
kolom. Pada dasarnya, cara ini meliputi penempatan campuran flavonoid
(berupa larutan) di atas kolom yang berisi serbuk penjerap (seperti selulosa,
silika, atau poliamida), dilanjutkan dengan elusi beruntun setiap komponen
memakai pelarut yang sesuai. Kolom hanya berupa tabung kaca yang dilengkapi
dengan keran pada salah satu ujungnya dengan ukuran garis tengah berbanding
panjang kolom 1:10 atau 1:30.
Mengemas kolom dilakukan dengan hati-hati agar dihasilkan kolom yang
homogen. Jika kolom tidak memiliki kaca masir, maka dapat diganakan kaca wol
atau kapas, sumbat ini direndam dengan pengelusi yang tingginya kira-kira 10
cm. Kemasan kolom dibuat bubur dengan pelarut yang sama, lalu dituang
dengan hati-hati ke dalam kolom tanpa terputus-putus agar tidak terbentuk
lapisan. Kemasan dibiarkan turun dan kelebihan pelarut dibiarkan turun. Jika
fase diam poliamida yang digunakan maka dianjurkan untuk mengembangkan
dulu satu jam.
Selanjutnya larutan cuplikan ditempat di atas kemasan sedemikian rupa
sehingga berupa satu pita, usahakan menggunakan pelarut sesedikit mungkin
untuk memperoleh hasil yang baik. Biarkan larutan cuplikan meresap ke dalam
kemasan dengan membuka sedikit keran dan setelah cuplikan terbuka, keran
ditutup dan ditambahkan perlahan-lahan cairan pengelusi dan dibiarkan kembali
meresap ke dalam kemasan.
Memilih kemasan kolom dapat disesuaikan dengan flavonoid yang akan
diisolasi sebagai berikut ;
1. Selulosa. Ideal untuk pemisahan antara glikosida atau glikosida
dengan aglikon dan aglikon yang kurang polar, selulosa mikrokristal (Merck,
Macherey & Nagel dan Whatman CF-11
2. Silika. Baik untuk aglikon yang kurang polar, misalnya isoflavon,
flavanon, metil flavon dan falavonol. Sebaiknya dicuci lebih dahulu dengan asam
klorida pekat untuk menghilangkan sesepora besi yang dapat membuat flavonoid
terikat kuat pada kemasan. Kiselgel 60, 70 – 230 mesh (merck).
Radas kromatografi kolom
3. Poliamida. Cocok untuk memisahkan flavonoid dan glikosida. Harus
dicuci terlebih dahulu dengan matanol dan air untuk menghilangkan poliamida
yang larut (dapat mengotori). Polyclar AT General Aniline and Film Corporation),
Polyponco 66D Polymer Corporation) dan Polyamida (Woelm).
4. Gel sephadex (deret G). Digunakan untuk memisahkan campuran,
terutama berdasarkan atas ukuran molekul (mengunakan pelarut air), molekul
besar akan terelusi lebih dahulu. Sangat berguna untuk memisahkan
poliglikosida yang berbeda bobot molekulnya. Bila pengelusinya adalah pelarut
organik, gel sephadex deret G berprilaku seperti selulosa, tetapi kapasitasnya
lebih besar. Gel harus dikembang terlebih dahulu selama 12 jam dengan eluen.
Jenis niaga G-10 (untuk bobot molekul 0 – 700) dan G-25 (untuk bobot molekul
100 – 1500)
5. Gel sephadex (LH-20). Dirancang untuk menggunakan pelarut organik,
dan dapat digunakan dua cara. Bahan ini menghasilkan eluen tanpa sisa, sangat
cocok untuk pemurnian akhir aglikon flavonoid dan glikosida yang telah diisolasi
dari kertas, selulosa, silika, atau poliamida. Umumnya pelarut yang cocok adalah
MeOH, walaupun pada awalnya diperluka air untuk melarutkan flavonoid, disini
gel perlu juga dicuci dengan MeOH.
II.3 Karakterisasi dan Identifikasi
Secara umum golongan senyawa biasanya dapat ditentukan dengan uji
warna, penentuan kelarutan, bilangan Rf dan ciri spectrum ultraviolet.
Jika tidak tercampur dengan pigmen lain, flavonoid dapat dideteksi
dengan uap ammonia dan akan memberikan warna spesifik untuk masin-masing
golongan. Falavon dan flavonol akan memberikan warna kuning sampai kuning
kemerahan. Antosianin berwarna merah biru sedang flavononol menimbulkan
warna orange atau coklat. Warna merah dan lembayung yang terjadi mendadak
dalam suasana asam disebabkan adanya khalkon atau auron.
Flavonoid menjadi kuning terang atau jingga dalam larutan basa dan
dapat dideteksi jika bagian tumbuhan tanwarna diuapi amonia.Timbulnya warna
ini karena adanya pembentukan garam dan terbentuknya struktur kuinoid pada
cincin B seperti berikut :
Pembentukan struktur kuinoid dari flavonoid dengan basa
Adanya gugus fenol pada flavonoid memberikan reaksi positif dengan
pereaksi untuk fenol, misalnya dengan besi (III) klorida dan pereaksi asam sulfat
akan memberi warna spesifik. Karena reaksi tidak spesifik, maka tidak dapat
digunakan membedakan masing-masing golongan dan harus diikuti oleh uji
warna lainnya.
Flavonoid yang memliki gugus hidroksil berkedudukan orto akan
memberikan warna kuning intensif jika bereaksi dengan asam borat dan larutan
natrium asetat, seperti rekasi berikut.
Kompleks flavonoid dengan asam borat dan natrium asetat
Selain pada kedudukan orto, gugus hidroksi dengan kedudukan lain
diduga juga dapat membentuk ikatan dengan campuran asam sitrat dan asam
borat, pada pemanasan dan dikenal dengan pereaksi sitroborat, Sampai saat ini
mekanisme reaksi yang terjadi antara flavonoid dengan pereaksi sitroborat
belum dapat diketahui secara pasti. Warna fluoresensi yang terbentuk adalah
fluoresensi kuning,kuning kehijauan dengan sinar UV 366 nm.
Pereaksi aluminium klorida dapat membentuk kompleks dengan flavonoid
menimbulkan warna kuning. Kompleks dari flavonoiv dengan gugus hidroksil
berkedudukan orto tidak stabil dengan asam dan akan terurai kembali. Akan
tetapi flavonoid dengan gugus hidroksil yang berkedudukan dekat gugus karbonil
akan stabil dengan penambahan asam.
Pembentukan kompleks antara flavonoid dengan aluminium klorida lewat
dua macam gugus yang berbeda yaitu gugus hidroksil yang berkedudukan orto
dan gugus hidroksil yang berkedudukan dekat dengan gugus karbonil, dapat
digunakan sebagai dasar penetapan adanya gugus hidroksil pada kedudukan
tertentu dalam molekul flavonoid.
Lazimnya identifikasi flavonoid diawali dengan reaksi warna
menggunakan pereaksi-pereaksi, seperti natrium hidroksida, asam sulfat, besi
(III) klorida, logam magnesium dan asam klorida. Kelarutan dari flavonoid
menjadi dasar dalam ekstraksi dan pemisahan secara kromatografi, sifat-sifatnya
dengan pereaksi-pereaksi tertentu menjadi dasar analisis spektrofotometri UV-
tampak.
Reaksi Warna flavonoid
GolonganFlavonoid
Warna
Larutan natriumHidroksida
Asam sulfat pekat
Magnesium/ asam klorida
Natrium amalgam asam
Khalkon
Dihidrokhalkon
Auron
Flavanon
Flavon
Flavanol
Flavanonol
Jingga sampai merah
Tak berwarna
Merah/violet
Kuning / jingga, dipanas merah
Kuning
Kuning / jingga
Kuning berubah
Jingga sampai merah
Tak berwarna / kuning
Merah/violet
Jingga
Kuning / jingga berpendar
Kuning / jingga berpendar
Kuning / merah
Tak berwarna
Tak berwarna
Tak berwarna
Merah / violet atau biru
Kuning / merah
Merah / violet
Merah / violet
Kuning pucat
Tak berwarna
Kuning pucat
Merah
Merah
Kuning / merah
Kuning /coklat
Leukoantosianin
Antosianin / Antosianidin
Isoflavon
Isoflavanon
coklat
Kuning
Biru / violet
Kuning
Kuning
Merah / violet
Kuning / jingga
Kuning
Kuning
Violet
Merah lalu memucat
Kuning
Tak berwarna
Violet
Kuning / jingga
Merah muda / violet
Merah
II.4 Hidrolisis
Senyawa flavonoid terdapat pada semua bagian tumbuhan tinggi, seperti
bunga, daun, ranting, buah, kayu, kulit, kayu dan akar. Akan tetapi, senyawa
flavanoid tertentu biasanya terkonsentrasi pada suatu jaringan tertentu, misalnya
antosianidin adalah zat warna dari bunga, buah dan daun.
Sebagian besar flavonoid alam ditemukan dalam bentuk glikosida, oleh
karena itu ada baiknya diketahui bahwa secara umum, suatu glikosida adalah
kombinasi antara suatu gula dan suatu alkohol yang saling berikatan melalui
ikatan glikosida. Ikatan glikosida pada prinsipnya terbentuk apabila gugus
hidoksil dari alkohol beradisi ke gugus karbonil dari gula, sama seperti adisi
alkohol ke aldehida yang dikatalis oleh adanya asam menghasilkan asetal.
Pada hidrolisis, glikosida terurai kembali atas komponen-komponennya
menghasilkan gula dan alkohol yang sebanding, alkohol yang dihasilkan disebut
aglikon. Biasanya, sisa gula dari glikosida flavonoid alam adalah glukosa,
rhamnosa, galaktosa dan gentiobiosa, sehingga glikosida tersebut masing-
masing disebut glukosida, rhamnosida, galaktosida dan gentiobiosida.
Flavonoid dapat ditemukan sebagai mono, di atau tri-glikosida, dimana
satu, dua atau tiga gugus hidroksil dalam molekul flavonoid terikat oleh gula.
Poliglikosida larut dalam air dan hanya sedikit larut dalam pelarut-pelarut organik
seperti eter, benzen, kloroform dan aseton.
Untuk membedakan aglikon dan gula yang terikat sebagai glikosida, perlu
dilakukan hidrolisis dapat dengan asam, enzim atau basa.
1. Hidrolisis dengan asam. Biasanya digunakan dengan asam klorida,
gugus gula yang terikat pada aglikon biasanya berupa ikatan O-glikosida atau
C-glikosida. Ikatan C-glikosida, sangat tahan terhadap pengaruh asam, sehingga
dapat dibedakan antara C-glikosida dengan O-glikosida dengan melihat waktu
atau lama hidrolsisinya.
Selain kecepatan hidrolisis dengan asam dari glikosida, juga dipengaruhi
oleh posisi ikatan gula pada inti flavonoid. Gula yang berikatan pada posisi 3 dari
flavonoid akan lebih mudah dihidrolisis dibanding pada posisi 7, sedang paling
mudah dihidrolisis adalah pada posisi 5. Flavonol 3-rhamnosifuranosida kurang
stabil sehingga hidrolsis lebih cepat dibanding flavonol 3-rhamnopiranosida yang
relatif lebih stabil.
Cara baku menghidrolisis O-glikosida: Larutan glikosida flavonoid (1mg)
dihidrolisis dengan 5 ml HCl 2N : MeOH (1:1) dalam labu alas bulat 25 ml,
kemudian drefluks selama 60 menit. Uapkan dengan rotavapour, sisanya
kemudian dilarutkan dengan MeOH : H2O (1:1) sesedikit mungkin. Selanjutnya
dikromatografi kertas atau KLT-selulosa, 15% asam asetat, hasil :
- jika telah terjadi hidrolsisi, Rf akan menjadi lebih kecil, flavonoid tersebut
adalah suatu O-glikosida, kemungkinan kecil juga sebagai bisulfat atau
C-glikosida yang ter-O-glikosida.
- Jika tidak terjadi hidrolisis, glikosida tersebut kemungkinan adalah C-
glikosida atau suatu glukoronida
- Jika terjadi hidrolisis sebagian, glikosida tersebut mungkin glukuronida
2. Hidrolsis dengan enzim. Hidrolisis dengan enzim, berguna untuk
menentukan sifat ikatan antara gula dan flavonoid (yaitu α atau β). cara ini
hanya memutuskan monosakarida khas dari flavonoid O-glikosida. Selanjutnya
dianalisis dengan KLT, atau KGC untuk mengetahui hasil hidrolosis,
- β-glukosidase (emulsin), menghidrolsisi β-D-gluksodia dan xilosida,
tetapi tidak menghidrolsisi antosianidin glikosida.
- β-galaktosidase, menghidrolsisi β-D-galaktosida
- β-glikuronidase, menghidrolsisi β-D-glukuronidase
- Pektinase, menghidrolsis α-D-poligalakturonida dan α-L-rhamnosida
- Antosianase, menghidrolsisi sebagian besar antosianidin glikosida
- Rhamnodiastase, memutuskan sebagian besar oligosakarida secara
utuh dari glikisda, terdapat dalam Rhamnus frangula
- Takadiastase, menghidrolsisi naringenin 7-O-neohesperidosida.
3. Hidrolsis dengan basa. Jarang digunakan untuk menghidrolisis
gliksodia flavonoid, tetapi digunakan untuk memutuskan gula secara selektif dari
gugus hidroksil pada posisi 7 atau 4’ serta 3-hidroksil. Keselektifan ini kebalikan
dari hidrolisis dengan asam. Hidrolsis dengan basa akan melepaskan disakarida
dari 7 – hidroksil asal ikatan antara glukosida bukan (1----2). Rutinosida akan
terhidrolisis, tetapi 7-O-apiol (1----2) gluksida dan 7-O-neohesperidosida tidak
terhidrolsis. Dijaga agar tidak ada kontak dengan udara, sebab banyak flavonoid
akan terurai dalam suasana basa jika terdapat oksigen. Kebanyakan 7 – dan 4’ –
O – gliksida dapat dipecah dalam waktu 30 enit, beberapa glikosida lain
memerlukan waktu dua jam. Pemutusan gula yang terikat pada posisi 4’ secara
selektif tanpa mengganggu gula yang terikat pada posisi 7.
Cara: Larutan glikosida (10 – 30 mg) dalam 10 ml KOH 0,5% direfluks di
atas tangas air selama 30 menit dalam lingkungan N2. Netralkan dengan HCl 2N
dan selanjutnya dikromatografi kertas dengan eluen HOAc 15% untuk
mengisolasi flavonoidnya.
BAB III. Spektroskopi Ultraviolet Flavonoid
III.1 Spektroskopi Ultraviolet flavonoid. Flavonoid mempunyai sistem aromatik
terkonyugasi, oleh karena itu mempunyai pita serapan di daerah ultraviolet dan
ultraviolet nampak (UV-UV Vis). Spektra dari flavon dan flavonol memperlihatkan
dua puncak utama pada daerah 240 – 400 nm. Dua puncak utama ini biasanya
memperlihatkan pita I (300 – 380 nm) dan pita II (240 – 280 nm). Pita I
menunjukkan absorbsi yang sesuai untuk cincin B sinamoil, sedang pita II
berhubungan absobsi cincin benzoil.
Kerangka senyawa flavonoid dengan cincin benzoil dan sinamoil
Isoflavon, falavanon dan dihidroflavonol memberikan spektra ultraviolet
yang mirip satu sama lain, oleh karena masing-masing senyawa ini tidak
mempunyai sistem konyugasi sinamoil dengan cincin B. Larutan isoflavon dalam
metanol memberikan spektra ultraviolet dengan puncak II pada daerah 250 nm –
270 nm dan puncak I pada daerah 300 nm – 330 nm. Sedang flavanon dan
dihidroflavanon keduanya memberikan puncak II pada daerah 270 nm – 290 nm
dan puncak I pada daerah 320 nm – 330 nm.
Peran gugus hidroksil pada cincin A pada flavon dan flavonol
menghasilkan menghasilkan pergeseran batokromik yang nyata pada pita II dan
sedikit pada pita I. Metilasi dan glikosilasi juga berefek pada absorpsi pada
flavon dan flavonol. Jika gugus 3, 5, dan 4’ – OH pada flavon dan flavonol
termetilasi dan terglikosilasi terjadi pergeseran hipsokromik terutama pita I.
Pergeseran yang terjadi terbesar 12 – 17 nm, bisa mencapai 22 – 25 nm pada
flavon yang tidak mempunyai gugus 5 – OH.
Pita II merupakan serapan dari cincin A bagian benzoil, dan pita I
merupakan serapan dari cincin B bagian sinamoil. Intesitas dari masing-masing
serapan tergantung pada panjangnya sistem konyugasi serta adanya subtitusi
terutama pada kedudukan atom C3 dan C5. Sebagai contoh senyawa flavon
yang mempunyai sistem sinamoil mengandung sistem konyugasi lebih panjang
daripada sistem benzoil, intensitas puncak I lebih kecil dari intensitas puncak II.
Flavon, flavonol yang tersubtitusi oksigen hanya pada cincin A, dalam metanol
cenderung memberikan spektra yang nyata pada pita II dan lemah pada pita I,
tetapi jika cincin B yang tersubtitusi oksigen, pita I akan kelihatan lebih nyata.
Penambahan pereaksi geser atau pereaksi diagnostik, adanya
hidroksilasi, glikolasi, metilasi dan asetilasi dapat mengubah karakter resapan
dari senyawa flavonoid. Dengan melihat perubahan-perubahan ini maka dapat
digunakan untuk memperkirakan struktur flavonoid.
1. Efek hidroksilasi. Penambahan gugus hidroksil pada cincin A pada
flavon atau flavonol menghasilkan pergeseran batokromik yang nyata pada pita
resapan I atau pita resapan II pada spektra flavonoid. Apabila gugus hidroksil
tidak ada pada flavon atau flavonol, panjang gelombang maksimal muncul pada
panjang gelombang yang lebih pendek dibanding jika ada gugus 5 – OH ,
sedang subtitusi gugus hidroksil pada posisi 3, 5 dan 4 mempunyai sedikit efek
atau tidak sama sekali pada spektra UV. Pita absorpsi I isoflavon mempunyai
intensitas yang lemah, sedangkan pita II intensitas kuat. Pita absirbsi II dari
isoflavon biasanya antara 245 – 270 nm dan relatif tidak mempunyai efek pada
cincin B dengan adanya hidroksilasi.
2. Efek natrium metoksida. Natrium metoksida merupakan basa kuat
yang dapat mengiionisasi semua gugus dalam flavonoid. Degradasi atau
pengurangan kekuatan spektra setelah waktu tertentu merupakan petunjuk yang
baik akan adanya gugus yang peka terhadap basa. Spektra isoflavon yang
mempunyai gugus hidroksi pada cincin A akan memperlihatkan pergeseran
batokromik baik pada pita I maupun pita II. Puncak pada spektra UV senyawa 3’
– 4’ dihidroksi isoflavon akan mengalami penurunan intensitas beberapa menit
setelah penambahan natrium metoksida. Adanya perbedaan kecepatan
dekomposisi 4’ monohidroksi isoflavon dapat digunakan untuk menentukan
bahwa dekomposisi yang berjalan cepat menunjukkan adanya 3’ – 4’ dihidroksi
isoflavon. Penambahan natrium metoksida pada flavon dan flavonol dalam
metanol umumnya menghasilkan pergeseran batokromik untuk semua pita
serapan. Walaupnun demikian pergeseran batokromik yang besar pada serapa
pita I sekitar 40 – 65 nm tanpa penurunan intensitas, menunjukkan adanya
gugus 4’ – OH bebas. Dan flavonol yang tidak mempunyai gugus 4’ – OH bebas
juga memberikan pergeseran pada pita serapan I, dengan penurunan intensitas.
Dalam hal ini pergeseran batokromik disebabkan adanya gugus 3 – OH bebas.
Jika suatu flavonol mempunyai 3 dan 4’ – OH bebas, maka spektra dengan
natrium metoksida akan mengalami dekomposisi. Pengganti natrium metoksida
yang baik ialah laruan NaOH 2M dalam air.
3. Efek natrium asetat. Natrium asetat merupakan basa lemah dan
hanya akan mengionisasi gugus yang sifat keasamannya tinggi, khususnya
untuk mendeteksi adanya gugus 7 – OH bebas. Natrium asetat hanya dapat
mengionisasi isoflavon khusus pada gugus 7 – OH. Gugus 3’ atau 4’ – OH pada
flavonol. Oleh sebab itu interpretasi terhadap pergeseran spektra isoflavon untuk
penambahan natrium asetat menjadi sederhana. Adanya 7 – OH isoflavon
menyebabkan pergeseran batokromik 6 – 20 nm pada pita II setelah
penambahan natrium asetat. Adanya natrium asetat dan asam borat akan
membentuk kompleks dengan gugus orto hidroksil paa cincin B menunjukkan
pergeseran batokromik pada pita serapan I sebesar 12 – 30 nm. Gugus orto
hidroksil pada cincin A juga dapat dideteksi dengan efek natrium asetat dan
asam borat. Adanya pergesaran batokromik sebesar 5 – 10 nm pada pita II
menunjukkan adanya gugus orto hidroksi pada posisi C6 dan C7 atau C7 dan C8.
4. Efek aluminium klorida. Pereaksi ini dapat membentuk kompleks
tahan asam antara gugus hidroksi dan keton yang bertetangga dan membentuk
kompleks tidak tahan asam dengan gugus orto – hidroksi, perekasi ini dapat
digunakan untuk mendetekasi kedua gugus tersebut. Adanya gugus 3’, 4’ –
dihidroksil pada isoflavon atau flavanon dan dihidroflavonol tidak dapat dideteksi
dengan AlCl3 karena cincin B mempunyai sedikit atau tidak ada konyugasi
dengan kromofor utama. Jika isoflavon, flavanon (dan mungkin dihidroflavonol)
mengandung gugus-gugus orto – hidroksil pada posisi 6, 7 atau 7, 8 maka
spektra AlCl3 menunjuikkan pergeseran batokromik (biasanya pada pita I
maupun pita II) dengan membandingkan terhadap spektra AlCl3 / HCl. Pita
serapa II spektra UV dari semua 5 – OH isoflavon dapat dideteksi dengan
penambahan AlCl3 atau HCl, kecuali 2 – karboksil 5, 7 – dihidroksil isoflavon.
Adanya gugus tersebut ditandai dengan pergeseran batokromik pada pita II 10 –
14 nm (relatif terhadap spektra metanol). Spektra isoflavon yang tidak
mempunyai gugus 5 – OH bebas tidak berefek setelah penamabahan AlCl3 /
HCl. Pada flavon dan flavonol, adanya gugus orto – hidroksil pada cincin B dapat
diketahui jika penambahan asam terhadap spektra AlCl3 menghasilkan
pergeseran hipsokromik sebesar 30 – 40 nm pada pita I (atau pita Ia jika terdiri
dari dua puncak). Dengan adanya pergeseran batokromik pada pita Ia (dalam
AlCl3 / HCl) dibandingkan dengan pita I (dalam metanol) sebesar 35 – 55 nm,
menunjukkan adanya 5 – OH flavon atau flavonol 3 – OH tersubtitusi.
Pereaksi Geser NaOMe
Pereaksi Geser NaOAc Pereaksi Geser AlCl3 / HCl
7 – HIDROKSIFLAVONData kromatografiUV------------ Fluoresensi kuning pucatUV/NH3------ Fluoresensi kuning terangRf 0,89 (TBA), 0,29 (HOAc)Data spectra UV (λmaks nm)MeOH -------------- 252,268,307NaOMe ------------ 266,307,359
AlCl3 ---------------- 249,307AlCl3 / HCl -------- 251,307,358NaOAc ------------- 275,359NaOAc / H3BO4 -- 255 sh,270 sh,309
3’, 4’ - DIHIDROKSIFLAVONData kromatografiUV------------ Fluoresensi biru terangUV/NH3------ Fluoresensi kuning-hijauRf 0,77 (TBA), 0,18 (HOAc)Data spectra UV (λmaks nm)MeOH -------------- 242,308sh,340
NaOMe ------------ 249sh,278sh,302,404AlCl3 ---------------- 248sh,273sh,304,378,468shAlCl3 / HCl -------- 242,312sh,342NaOAc ------------- 305,348,400NaOAc / H3BO4 – 306,365
KRISINData kromatografiUV------------ Ungu gelapUV/NH3------ Ungu gelap Rf 0,90 (TBA), 0,16 (HOAc)Data spectra UV (λmaks nm)MeOH -------------- 247sh,268,313NaOMe ------------ 288,263sh,277,361AlCl3 ---------------- 252,279,330,380AlCl3 / HCl -------- 251,280,326,381NaOAc ------------- 275,359NaOAc / H3BO4 – 269,315
3’,4’,7-TRIHIDROKSIFLAVON 7-0-RHAMNOGLUKOSIDAKRISINData kromatografiUV------------ Fluoresensi biru terangUV/NH3------ Fluoresensi kuning-hijau Rf 0,26 (TBA), 0,38 (HOAc)Data spectra UV (λmaks nm)MeOH -------------- 247sh,255sh,305,341NaOMe ------------ 293, 405AlCl3 ---------------- 244sh,258sh,306,380AlCl3 / HCl -------- 247sh,257sh,306,341NaOAc ------------- 275sh,299,350,401NaOAc / H3BO4 – 257sh,365
BAIKALEINData kromatografiUV------------ Ungu gelapUV/NH3------ Ungu gelapRf 0,78 (TBA), 0,19 (HOAc)Data spectra UV (λmaks nm)MeOH -------------- 247sh,274,323NaOMe ------------ 257,366,410sh(dec)AlCl3 ---------------- 247,272,284sh,375AlCl3 / HCl -------- 255sh,282,292sh,346NaOAc ------------- 257,360,405sh(dec)NaOAc / H3BO4 – 262sh,277,333
LUTEOLINData kromatografiUV------------ Ungu gelapUV/NH3------ KuningRf 0,77 (TBA), 0,08 (HOAc)Data spectra UV (λmaks nm)MeOH -------------- 242sh,253,267,291sh,349NaOMe ------------ 266sh,329sh,401AlCl3 ---------------- 274,300sh,328,426AlCl3 / HCl -------- 266sh,275,294,sh,355,385NaOAc ------------- 269,326sh,384NaOAc / H3BO4 – 259,301sh,370,430sh
KRISOERIOLData kromatografiUV------------ Ungu gelapUV/NH3------ Kuning-HIJAURf 0,80 (TBA), 0,05 (HOAc)Data spectra UV (λmaks nm)MeOH -------------- 241,249SH,269,347NaOMe ------------ 254,275SH,329SH,405AlCl3 ---------------- 262,274,296,366sh,390AlCl3 / HCl -------- 259,276,294,353,386NaOAc ------------- 271,321,396NaOAc / H3BO4 – 268,349
Penafsiran spektrum UV dengan penambahan NaOMe
(Karkham, 1988)
Jenis flavonoid Pergeseran yang tampak
Pita I Pita II
Petunjuk penafsiran
Flavon
Flavonol
Kekuatan menurun terus (artinya
penguraian)
3,4’-OH,O –diOH pada cincin A;
pada cincin B 3-OH yang
berdampingan
Mantap + 45 sampai 65 nm
Kekuatan menurun
4’-OH
Mantap + 45 sampai 65 nm
Kekuatan menurun
3–OH. Tak ada 4’–OH bebas
Pita baru (bandingkan dengan MeOH),
320 – 325 nm
7–OH
Isoflavon Tak ada pergeseran Tak ada OH pada cincin A
Flavanon
Dihidroflavonol
Kekuatan menurun dengan
berjalannya waktu
O–diOH pada cincin A
(penurunan lambat: O –diOH
pada cincin B isoflavon)
Bergeser dari k.280 nm ke
k.325 nm, kekuatan naik
tetapi ke 330-340 nm
Falvanon dan dihidroflavonol
dengan 5, 7–OH
7–OH, tanpa 5-OH bebas
Khakon +80 sampai 95 nm 4’–OH (auron)
Auron (kekuatan naik)
+ 60 sampai 70 nm
(kekuatan naik)
Pergeseran lebih kecil
6–OH tanpa oksigenasi pada 4’
(auron)
6–OH dengan oksigenasi pada
4’ (auron)
+ 60 sampai 100 nm
(kekuatan naik)
(tanpa kenaikan kekuatan)
+ 40 sampai 50 nm
4 – OH (khalkon)
2–OH atau 4’–OH dan tapa
4–OH
4’–OH (2’–OH atau 4–OR juga
ada)
Antosianidin
Antosianin
Semuanya terurai kecuali 3-
deoksiantosianidin
Nihil
Penafsiran spektrum UV dengan penambahan NaOAc
(Karkham, 1988)
Jenis flavonoid Pergeseran yang tampak
Pita I Pita II
Petunjuk penafsiran
Flavon
Flavonol
Isoflavonol
+ 5 sampai 20 nm (berku-
rang bila ada oksigenasi
pada 6 atau 8)
7-OH
Kekuatan berkurang dengan bertambahnya
waktu
Gugus yang peka terhadap
basa, mis. 6,7 atau 7,8 atau 3,4’-
diOH
Mantap + 45 sampai 65 nm
Kekuatan menurun
3–OH. Tak ada 4’–OH bebas
Pita baru (bandingkan dengan MeOH),
320 – 325 nm
7–OH
Flavanon
Dihidroflavonol
+35 nm
+60nm
7-OH (dengan 5-OH)
7-OH (dengan tanpa 5-OH)
Kekuatan berkurang dengan bertanbahnya
waktu
Gugus yang peka terhadap
basa, mis.67 atau 7,8-diOH
Khakon
Auron
Pergeseran batokromik atau bahu pada
panjang gelombang yang lebih panjang
4’ dan / atau 4-OH (khalkon)
4’ dan / atau 6-OH (auron)
Penafsiran spektrum UV dengan NaOAc / H3 BO3 (Karkham, 1988)
Jenis flavonoid Pergeseran yang tampak
Pita I Pita II
Petunjuk penafsiran
Flavon
Flavonol
Auron
Khalkon
+12 21mpai 36 nm
(nisbi terhadap spektrum MeOH)
Pergeseran lebih kecil
O-diOH pada cincin B
O-diOH pada cincin A (6,7 atau
7,8)
Isoflavon
Flavanon
Dihidroflavonol
+10 sampai 15 nm (nisbi
terhadap spektrum MeOH)
O-diOH pada cincin A (6,7 atau
7,8)
Penafsiran spektrum UV dengan penambahan AlCl3 dan AlCl3 /HCl(Markham, 1988)
Jenis flavonoid Pergeseran yang tampak
Pita I Pita II
Petunjuk penafsiran
Flavon dan
Flavonol
(AlCl3 / HCl)
(AlCl3)
+35 sampai 55 nm
+17 sampai 20 nm
Tak berubah
5-OH
5-OH denganm gugus oksigenasi
pada 6
Mungkin 5-OH dengan gugus
prenil pada 6
+50 sampai 60 nm Mungkin 3-OH (dengan atau
tanpa 5-OH)
Pergeseran AlCl3 / HCl
Tambah 30 sampai 40 nm
O-diOH pada cincin B
Pergeseran AlCl3 / HCl
Tambah 20 sampai 25 nm
O-diOH pada cincin A (tambahan
Pada pergeseran O-diOH pada
cincin B)
Isoflavon,
Flavanon, dan
Dihidroflavonol
(AlCl3 / HCl)
+10 sampai 14 nm
+ 20 sampai 26 nm
5-OH (isoflavon)
5-OH (flavon, dihidroflavonol
(AlCl3) Pergeseran AlCl3 / HCl,
tambah 11 sampai 30 nm
O-diOH pada cincin A (6,7 dan
7,8)
Pergeseran AlCl3 / HCl,
tambah 30 sampai 38 nm
(peka terhadap NaOAc)
Dihidroflavonol tanpa 5-OH
(tambahan pada sembarang
pergeseran O-diOH)
Auron
Khalkon
(AlCl3 / HCl)
+48 sampai 64 nm
+ 40 nm
2’-OH (khalkon)
2’-OH (khalkon) dengan
oksigenasi pada 3’
(AlCl3) +60 sampai 70 nm
Pergeseran AlCl3 / HCl
Tambah 40 sampai 70 nm
4-OH (auron)
O-diOH pada cincin B
Penambahan lebih kecil Mungkin O-diOH pada cincin A
Antosianidin
Antosianin
(AlCl3)
+25 sampai 35 nm
(pada pH 2-4)
O-diOH
Pergeseran lebih besar Banyak O-diOH atau O-diOH (3-
deoksi antosianidin)
III.2 Penetapan kadar flavonoid
Prinsip kerja: Flavonoid ditetapkan kadarnya sebagai aglikon dengan
terlebih dahulu dilakukan hidrolsisi dan selanjutnya dilakukan pengukuran
spektrometri dengan pereaksi geser AlCl3 dengan penambahan
heksametilentetramina pada panjang gelombang maksimum.
Cara kerja : Sejumlah ekstrak yang setara dengan 200 mg simplisia
dimasukkan ke dalam labu alas bulat. Tambahkan 1.0 ml larutan 0,5% b/v
heksametilentetramina, 20.0 ml aseton dan 2.0 ml larutan 25% HCl dalam air.
Refluks selama 30 menit. Campuran hasil hidrolisis disaring menggunakan
kapas ke dalam labu tentukur 100 ml, ditambah 20 ml aseton, didihkan sebentar,
lakukan dua kali dan filtrat dikumpulkan, cukupkan volumenya hingga 100.0 ml,
kocok hingga rata. 20 ml filtrat dimasukkan dalam corong pisah dan ditambahkan
20 H2O, selanjutnya diekstraksi aglikon pertama dengan 15 ml etil asetat.
Kemudian dua kali dengan 10 ml etil asetat, lapisan etil asetat dikumpulkan ke
dalam labu tentukur 50.0 ml, cukupkan volume hingga 50.0 ml. Lakukan
pengukukuran spektrometri.
Spektrometri : Sebanyak 10 ml larutan fraksi etil asetat ke dalam labu
tentukur 25.0 ml, tambah 1 ml larutan 2 g AlCl3 dalam 100 ml larutan asam
asetat glasial 5% dalam metanol. Tambahkan secukupnya larutan asam asetat
glasial 5% v/v dalam metanol hingga 25.0 ml. Hasil reaksi siap diukur pada
panjang gelombang maksimum. Perhitungan kadar menggunakan bahan standar
glikosida flavonoid (hipetoksida, rutin, hesperidin), gunakan kurva baku dan nilai
kadar dihitung sebagai bahan standar tersebut.
SKEMA PENETAPAN KADAR FLAVONOID TOTAL
+ 1.0 ml lar 0,5% b/v heksametilentetramin + 20.0 ml aseton + 2.0 ml lar HCl 25% - Refluks selama 30’ - Saring menggunakan kapas Ad kan dengan
+ 20 ml aseton - Didihkan sebentar - Perlakuan 2x
- Masuk ke dalam corong pisah + 20 ml H2O kocok dengan - 15 ml etil asetat - 2 x 10 ml etil asetat
Dalam labu ukur 50 ml Adkan dengan etil asetat
Sampel ekstrak Setara dengan 200 mg
simplisia
Labu ukur 100 ml Ampas
Ampas Filtrat
20 ml
Filtrat campurLapisan air
- Pipet 10 ml, masuk dalam labu ukur 25 ml - + 1 ml AlCl3 2% dalam asam asetat galsial 5% v/v - ad volume dengan asam asetat glacial 5% v/v dalam metanol - Diamkan 30’
- Ukur panjang gelombang maksimum - Buat kurva baku untuk memperoleh persamaan garis linier dan bandingkan dengan sampel
Contoh :
1. Pembuatan larutan baku
Rutin ditimbang secara saksama sebanyak 0,0113 g, dimasukkan ke
dalam labutentukur 10 ml dan diencerkan dengan etanol 96% hingga tanda
digunakan sebagai larutan stok. Selanjutnya dibuat berbagai konsentrasi dengan
0,2 ml AlCl3 dan asam asetat glasial masing-masing;
a. 2 ml larutan stok rutin (0,113% b/v) diencerkan dalam labutentukur 10
ml dengan 0,2 ml AlCl3 dan asam asetat glasial hingga tanda
(0,0226%)
b. 1 ml larutan rutin 0,0226 % b/v) diencerkan dalam labutentukur 5ml
dengan 0,2 ml AlCl3 dan asam asetat glasial hingga tanda (0,00452%)
c. 3 ml larutan rutin 0,0226 % b/v) diencerkan dalam labutentukur 5ml
dengan 0,2 ml AlCl3 dan asam asetat glasial hingga tanda (0,00678%)
50 ml larutan etil asetat
Y = b + aX
d. 2 ml larutan rutin 0,0226 % b/v) diencerkan dalam labutentukur 5ml
dengan 0,2 ml AlCl3 dan asam asetat glasial hingga tanda (0,00904%)
e. 3 ml larutan rutin 0,0226 % b/v) diencerkan dalam labutentukur 5ml
dengan 0,2 ml AlCl3 dan asam asetat glasial hingga tanda (0,01356%)
Ukur absorban spektrokooi UV.
2. Penetapan kadar flavonoid total
Sebanyak 50 mg ekstrak daun paliasa, dimasukkan ke dalam labu alas
bukat. Tambahkan heksamin 126,5 mg, 20 ml aseton dan 2.0 ml HCl,
kemudian direfluks selama 30 menit, dinginkan. Selanjutnya disaring
dengan kapas ke dalam labutentukur 100 ml, ampas dicuci dua kali,
setiap kali dengan 20 ml aseton dan didihkan sebentar. Filtratnya
dimasukkan ke dalam labutentukur yang berisi filtrat pertama, cukupkan
volumenya dengan aseton. Pipet 20 ml larutan dan masukka ke dalam
corong pisah dan ditambah dengan 20 ml air serta 15 ml etilasetat,
dikocok beberapa saat. Lapisan etil asetat (lapisan atas) ditampung ke
dalam labutentukur 50 ml, lapisan bawah dikocok kembali sebanyak dua
kali masing-masing dengan 10 ml etil asetat. Lapisan etil asetat
dipisahkan dimasukkan ke dalam labutentukur yang telash berisi lapisan
utama, cukupkan volumenya hingga tanda dengan etil asetat. Pipet
dengan pipet volume sebanya 4 ml, masukkan dalam labutentukur 5 ml,
tambahkan 0,2 ml AlCl3 dan asam asetat glasial hingga tanda, ukur
absorban.
Perhitungan
Persamaan garis regresi linier dari kurva baku
Y = 227,54 X + 0,0976
Y – 0,0976X = 227,54
Jika absorban 0,330 nm, maka kadar flavonoid :
0,330 – 0,0976X = = 0,001021359 % 227,54
Kadar flavonoid total dalam 4 ml = 5 / 4 x 0,001021359 %
= 0,001276699 %
= 0,01276699 mg/ml
Berat flavonoid total dalam 50 ml larutan etil asetat :
= 50 ml x 0,01276699 mg/ml
= 0,6383495 mg ~ 20 ml filtrat aseton
Berat flavonoid total dari ekstrak yang dihidrolisis
= 100 / 20 x 0,6383495 mg
= 3,1917474 mg
Jadi kadar flavonoid dalam ekstrak daun paliasa :
= 3,1917474 mg / 101 mg x 100 %
= 3,16 %
Spektrogram UV rutin dalam metanol
Spektrogram UV rutin + pereaksi Aluminium klorida dalam metanol
Spektrogram UV rutin + pereaksi aluminium klorida,Asam klorida dalam metanol
Kurva baku rutin dan absorbansi ekstrak daun paliasa
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1986, Merck Index, Eighth Edition, Merck & CO,Inc,Rahway, M.J.,U.S.A
Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan. 1986, Sediaan Galenik. Departemen Kesehatan R.I. Jakarta
Direktorat Pengawasan Obat Tradisonal, 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat, Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, Departemen Kesehatan RI., Cetakan Pertama, Jakarta
Gandjar,I.G., 1991, Kimia Analisis Instrumental , Fakultas Farmasi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 18 – 19
Harborne, J.B. 1987. Metode Fitokimia, Penentuan Cara Modern Menganalisis Tumbuhan. Terbitan Kedua. Penerbit ITB, Bandung, 4-15, 47-89, 69-100
Harborne, J.B., Mabry, T.J., 1975, The Flavonoids, Chapman and Hall, London.
Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Jilid I – IV. Terjemahan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Yayasan Sarana Warna Jaya, Jakarta.
Ikan, R,. 1976. Natural Products. A Laboratory Guide. Second Printing. Academic Press, Jerusalem.
Mabry, T.J., et.al., 1970, The Systematic Identification of Flavonoid, Springer Verlag, New York-Heidelberg Berlin, 3 -35, 165 – 171
Markham, K.R., 1988, Cara Mengidentifikasi Flavonoid, diterjemahkan oleh
Kosasih Padmawinata, Penerbit ITB, Bandung, 1 – 65
Pramono, S., 1989, Pemisahan Flavonoid, Fakultas Pasca Sarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1 – 19
Robinson, T., 1995, Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi, diterjemahkan oleh Sarjono Kisman dab Slamet Ibrahim, Cetakan II, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 345 – 347
Samuelsson, G. 1999. Drug of Natural Origin. A Textbook of Pharmacognosy, 4th resived edition. Sweden, 46-47
Sastrohamidjojo, H., 1991, Spektroskopi, Edisi kedua, Penerbit Liberty,
Yogyakarta, 1 – 11, 13 – 25
Untoro, P., 1990, Pemeriksaan Kandungan Flavonoid Eriobotrya japonic, Disertasi, ITB, Bandung, 15
World Heath Organization, 1998, Quality Control Methods for Medicinal Plant Materials, Geneva