41
BAB IV EKSISTENSI ASAS PERSAMAAN DI HADAPAN HUKUM DALAM PROSES PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA (STUDI DI KEPOLISIAN RESOR KOTA BOGOR) Asas persamaan di hadapan hukum sesuai ketentuan dalam KUHAP, sudah seharusnya diterapkan dalam proses penyidikan, terutama pada penyidikan tingkat Polri. Untuk mengetahui eksistensi asas persamaan di hadapan hukum dalam proses penyidikan Polri harus dilihat dari berbagai faktor yang ada dalam Institusi Polri terkait dengan pelaksanaan penyidikan. Dalam Bab III telah dibahas mengenai faktor-faktor yang dapat mempengaruhi eksistensi asas persamaan di hadapan hukum. Faktor-faktor tersebut adalah faktor yuridis, faktor administratif, faktor fasilitatif, faktor sosiologis, dan faktor psikologis. Pada setiap faktor tersebut dapat mendukung maupun menghambat eksistensi asas persamaan di hadapan hukum. Setiap faktor memiliki kelemahan maupun kelebihan yang dapat memberikan

MEKANISME PENGAWASANrepository.umj.ac.id/jspui/bitstream/123456789/535/5/BAB... · Web viewBAB IV EKSISTENSI ASAS PERSAMAAN DI HADAPAN HUKUM DALAM PROSES PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: MEKANISME PENGAWASANrepository.umj.ac.id/jspui/bitstream/123456789/535/5/BAB... · Web viewBAB IV EKSISTENSI ASAS PERSAMAAN DI HADAPAN HUKUM DALAM PROSES PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK

BAB IV

EKSISTENSI ASAS PERSAMAAN DI HADAPAN HUKUM DALAM PROSES PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

(STUDI DI KEPOLISIAN RESOR KOTA BOGOR)

Asas persamaan di hadapan hukum sesuai ketentuan dalam KUHAP, sudah

seharusnya diterapkan dalam proses penyidikan, terutama pada penyidikan tingkat

Polri. Untuk mengetahui eksistensi asas persamaan di hadapan hukum dalam proses

penyidikan Polri harus dilihat dari berbagai faktor yang ada dalam Institusi Polri terkait

dengan pelaksanaan penyidikan.

Dalam Bab III telah dibahas mengenai faktor-faktor yang dapat mempengaruhi

eksistensi asas persamaan di hadapan hukum. Faktor-faktor tersebut adalah faktor

yuridis, faktor administratif, faktor fasilitatif, faktor sosiologis, dan faktor psikologis.

Pada setiap faktor tersebut dapat mendukung maupun menghambat eksistensi asas

persamaan di hadapan hukum. Setiap faktor memiliki kelemahan maupun kelebihan

yang dapat memberikan kontribusi pada eksistensi asas persamaan di hadapan hukum.

1. Faktor yuridis merupakan substansi yang menjadi pedoman bagi

terselenggaranya penyidikan demi tegaknya keadilan. Dengan demikian faktor

yuridis merupakan faktor pendukung sebagai dasar berpijak bagi para penegak

hukum maupun warga Negara yang berhadapan dengan hukum.

2. Faktor administratif yang meliputi kualitas dan kuantitas para penyidik Polri

serta birokrasi yang diterapkan dapat menjadi penghambat maupun pendukung.

Faktor administrasi sebagai penghambat yaitu apabila penempatan personel

Page 2: MEKANISME PENGAWASANrepository.umj.ac.id/jspui/bitstream/123456789/535/5/BAB... · Web viewBAB IV EKSISTENSI ASAS PERSAMAAN DI HADAPAN HUKUM DALAM PROSES PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK

sebagai penyidik tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan atau bahkan

tidak memiliki ilmu dan pengetahuan tentang penyidikan. Selain itu juga

birokrasi yang mengedepankan hierarkhi, mempengaruhi lambatnya

penyidikan. Penempatan penyidik Polri sebagian besar tidak konsisten dengan

latar belakang pendidikan, hal inilah yang menyebabkan para anggota harus

menyesuaikan dengan lingkungan dan pola kerja yang baru. Pergeseran ini bisa

saja terjadi karena kebutuhan organisasi ataupun jenjang kepangkatan sehingga

mengakibatkan para anggota tersebut harus menempati jabatan diluar penyidik

karena dalam lingkungan awal tidak ada posisi untuk jenjang kepangkatannya.

Dengan menempati posisi yang baru berarti adanya konsekuensi untuk segera

menyesuaikan diri karena pertimbangan setiap anggota Polri harus siap

ditempatkan dimana saja. Hal inilah yang dapat menjadi salah satu faktor tidak

maksimalnya pelaksaan tugas Polri sebagai penyidik, ditunjang dengan karakter

perorangan dari anggota yang mempengaruhi kinerja dari Institusi. Sedangkan

faktor administratif yang dapat menjadi penunjang adalah apabila personel Polri

yang bertugas sebagai penyidik mengedepankan dedikasi sebagai anggota Polri.

Ilmu sebagai penunjang pelaksanaan penyidikan dalam lingkungan Polri

muncul seiring dengan perkembangan tindak pidana yang ditangani, atau

dengan kata lain “learning by doing”. Hal tersebut ditunjang dengan minimnya

jumlah anggota yang dapat mengikuti program pendidikan pengembangan

untuk penyidik polri, mengingat jumlah penyidik polri tersebar dari Sabang

sampai Merauke, yang tersebar di setiap Polda, Polres dan Polsek. Namun

masih ada upaya untuk belajar ilmu hukum walaupun dengan biaya pribadi

dalam arti bahwa tidak didukung oleh Institusi Polri.

132

Page 3: MEKANISME PENGAWASANrepository.umj.ac.id/jspui/bitstream/123456789/535/5/BAB... · Web viewBAB IV EKSISTENSI ASAS PERSAMAAN DI HADAPAN HUKUM DALAM PROSES PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK

3. Faktor fasilitatif, sangat mendukung karena membantu mempercepat proses

identifikasi dalam penyidikan, sehingga penyidikan dapat di dukung oleh bukti-

bukti yang akurat. Namun menjadi penghambat karena fasilitas tersebut masih

terbatas di Mabes Polri, belum tersebar di seluruh Polda di Indonesia, sehingga

membutuhkan biaya tambahan bagi penyidik yang memerlukan fasilitas

tersebut sedangkan anggaran dalam penyidikan hanya dibedakan untuk kategori

kasus ringan, kasus sedang dan kasus berat. Benturan dengan anggaran inilah

yang menyebabkan para penyidik dituntut menyelesaikan perkara yang

ditanganinya sesuai ketentuan yang berlaku, namun tidak di dukung anggaran

tambahan. Untuk mendapatkan kekurangan anggaran tersebut yang memicu

terjadinya sikap yang tidak seharusnya bagi penyidik, yaitu dengan

mendahulukan korban yang memiliki kemampuan ekonomi atau yang memiliki

status sosial baik supaya dapat mendukung kedinasan. Hal ini juga

dilatarbelakangi oleh anggaran penyidikan baru bisa dicairkan setelah kasus

tersebut selesai dan dilimpahkan ke Kejaksaan dan dinyatakan P-21 oleh pihak

kejaksaan.

4. Faktor sosiologis, faktor ini dapat menjadi penghambat maupun penunjang

tergantung dari tanggapan sosial tentang proses penyidikan Polri. Menjadi

penghambat apabila telah terbentuk opini negatif dalam masyarakat mengenai

proses penyidikan Polri, baik itu tentang prosedur yang diterapkan maupun

perlakuan penyidik terhadap masyarakat yang berhadapan dengan hukum.

Namun apabila opini yang terbentuk sifatnya positif, maka menjadi penunjang.

Sebagai contoh Briptu Norman Kamaru. Pada awalnya Briptu Norman

terancam pemberhentian dengan tidak hormat, namun reaksi positif dari

masyarakat ditambah dengan hasil pemeriksaan Divisi Profesi Pengamanan

133

Page 4: MEKANISME PENGAWASANrepository.umj.ac.id/jspui/bitstream/123456789/535/5/BAB... · Web viewBAB IV EKSISTENSI ASAS PERSAMAAN DI HADAPAN HUKUM DALAM PROSES PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK

(Div. Propam) Mabes Polri yang menyatakan bahwa kegiatan tersebut

dilakukan Briptu Norman saat tidak menunaikan tugas, walaupun pada saat itu

Briptu Norman masih menggunakan pakaian dinas lengkap. Hal ini merupakan

wujud penerapan dari Grand Strategy Polri yang memasuki tahap kedua yaitu

partnership building (membangun kemitraan). Tahap ini merupakan kelanjutan

dari tahap pertama yaitu trust building (membangun kepercayaan). Sasarannya

adalah masyarakat. Dalam mengaplikasikan program kedua tersebut, Asisten

Sumber Daya Manusia (S SDM) Polri, membuat program melalui kesenian. Hal

tersebut bertujuan untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat serta

membangun kemitraan dengan masyarakat supaya dapat membantu tugas-tugas

Polri, mengingat tugas Polri selalu berhubungan dengan masyarakat.

5. Faktor psikologis, faktor psikologis yang dapat menghambat eksistensi asas

persamaan di hadapan hukum adalah apabila kondisi psikis seseorang sedang

tidak baik dapat mempengaruhi sikap dan tutur kata seseorang, dalam arti

bahwa kondisi psikis dapat memberikan pengaruh terhadap kondisi fisik. Oleh

karena itu dalam setiap pemeriksaan, pertanyaan awal yang diberikan penyidik

adalah menanyakan kondisi yang diperiksa. Namun tidak menutup

kemungkinan bahwa terperiksa, baik saksi/korban maupun tersangka,

memainkan peran dengan tujuan supaya mendapat keringanan atau fasilitas

tertentu dari penyidik, yang tentunya memperlambat proses penyidikan. Oleh

karena itu para penyidik perlu juga dibekali pengetahuan tentang psikologi

terutama dalam melakukan pemeriksaan pada saat penyidikan.

Dalam sistem hukum, terbagi menjadi tiga bagian, yaitu struktur, substansi, dan

kultur hukum. Ketiga hal tersebut walaupun diklasifikasikan tersendiri, namun

ketiganya saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya.

134

Page 5: MEKANISME PENGAWASANrepository.umj.ac.id/jspui/bitstream/123456789/535/5/BAB... · Web viewBAB IV EKSISTENSI ASAS PERSAMAAN DI HADAPAN HUKUM DALAM PROSES PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK

1. Struktur adalah kerangka hukum yang meliputi Polri, Jaksa, Hakim, Advokat

dan Lembaga Pemasyarakatan. Struktur tersebut dipengaruhi oleh kelima

faktor. Keberadaan kelima faktor tersebut saling berkaitan satu dengan lainnya

faktor yuridis merupakan pedoman bagi kelima kerangka hukum tersebut.

Tetapi keempat faktor lainnya justru lebih memberikan pengaruh kepada kelima

kerangka hukum tersebut dalam bertindak.

2. Substansi adalah aturan, norma dan perilaku manusia yang berada dalam sistem

tersebut. Dalam substansi, terfokus pada ketentuan-ketentuan yang telah ada,

dalam hal ini faktor yuridis mengendalikan sepenuhnya. Keempat faktor lainnya

hanya mendukung supaya faktor yuridis dapat terlaksana.

3. Kultur hukum adalah sikap manusia terhadap hukum (kepercayaan), nilai,

pemikiran serta harapannya. Kultur hukum juga berarti suasana pikiran sosial

dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari

atau disalahgunakan. Faktor sosiologis memegang peranan dalam

mengendalikan kultur hukum, diantara keempat faktor lainnya. Faktor ini dapat

memberikan pengaruh positif maupun negatif dalam eksistensi asas persamaan

di hadapan hukum. Pengaruh positif maupun negatif tersebut tergantung pada

sudut pandang kelompok sosial menyikapi penerapan hukum demi tercapainya

keadilan. Bahkan tidak menutup adanya intervensi dari kelompok-kelompok

yang merasa memiliki kekuasaan atau pengaruh dalam masyarakat. Penegakan

hukum di wilayah Polresta Bogor jika ditinjau dari segi struktur, substansi,

maupun kultur hukum masih saling mendukung. Dalam hal ini bahwa, subtansi

dalam ketentuan yuridis masih diterapkan. Namun situasi di wilayah Polresta

Bogor berbeda dengan situasi di salah satu Polres di Pulau Bali, yaitu Polres

Tabanan. Kuatnya ikatan dalam lingkungan masyarakat menyebabkan faktor

135

Page 6: MEKANISME PENGAWASANrepository.umj.ac.id/jspui/bitstream/123456789/535/5/BAB... · Web viewBAB IV EKSISTENSI ASAS PERSAMAAN DI HADAPAN HUKUM DALAM PROSES PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK

yuridis tidak bisa sepenuhnya diterapkan. Contohnya kegiatan adat sabung

ayam yang merupakan rangkaian kegiatan upacara keagamaan, namun aktifitas

tersebut disertai dengan adanya taruhan sehingga secara hukum termasuk dalam

tindak pidana perjudian. Pada saat Polres Tabanan melakukan operasi

penertiban perjudian, dengan ditangkapnya pelaku-pelaku perjudian terselubung

dalam kegiatan sabung ayam, mengakibatkan Markas Komando Polres Tabanan

didatangi masyarakat dari desa tempat para pelaku berdomisili. Bahkan Kepala

Polisi Daerah (Kapolda) Bali, pada waktu itu adalah Inspektur Jenderal Polisi

Made Mangku Pastika, yang merupakan putra asli Bali, saat memberantas

perjudian juustru mendapat tudingan dan tanggapan negatif dari masyarakat

Bali, dianggap tidak melindungi masyarakat Bali. Peristiwa itu terjadi pada saat

Kapolri masih dijabat oleh Jenderal Polisi Sutanto dengan program prioritas

memberantas perjudian di seluruh wilayah Indonesia. Penekanan tersebut

disampaikan dalam arahan Kapolri melalui telekonferen dengan para Kapolda

dan pejabat-pejabat utama jajaran Polda. Aplikasi dari perintah Kapolri tersebut

justru menempatkan Kapolda pada posisi yang dihujat oleh masyarakat. Namun

tindakan tegas Kapolda tersebut diimbangi dengan berbagai pendekatan

terhadap masyarakat. Pendekatan tersebut terutama dari segi hukum dan sosial.

Pendekatan hukum dilakukan dengan memberikan sosialisasi-sosialisasi

mengenai perundang-undangan yang berlaku. Begitu pula dengan pendekatan

sosial. Pendekatan ini dilakukan melalui kerjasama dengan berbagai pihak yang

berkompeten sehingga dapat memberikan wawasan kepada masyarakat

mengenai hukum yang berlaku dan dapat menjalin keakraban dengan

masyarakat supaya dapat menjalin kerjasama untuk mewujudkan keamanan dan

ketertiban di Bali. Di wilayah Polresta Bogor juga pernah terjadi hal yang sama

136

Page 7: MEKANISME PENGAWASANrepository.umj.ac.id/jspui/bitstream/123456789/535/5/BAB... · Web viewBAB IV EKSISTENSI ASAS PERSAMAAN DI HADAPAN HUKUM DALAM PROSES PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK

dengan versi yang berbeda. Perbedaan terletak pada pemahaman masyarakat

terhadap hukum. Masyarakat Kota Bogor dapat dikategorikan ke dalam

masyarakat kota besar, sehingga lebih memiliki pengetahuan dan pemahaman

terhadap hukum. Pemahaman terhadap hukum tersebut justru dimanfaatkan oleh

sekelompok orang-orang tertentu dengan mencari celah hukum sehingga sering

terjadi tindakan unjuk rasa, yang tidak jarang unjuk rasa tersebut berakhir

dengan tindakan anarkhis. Unjuk rasa yang terjadi, baik di Bali maupun di

Bogor, menuntut profesionalitas dari para penegak hukum, dalam hal ini adalah

Polri. Semakin tinggi pemahaman masyarakat terhadap hukum, maka para

anggota Polri, terutama penyidik, harus memiliki pemahaman yang lebih dari

masyarakat minimal sama. Di sisi lain pengaruh reformasi di Indonesia

terutama dalam bidang politik dapat memberikan dampak negatif yang besar.

Bukan hanya kuantitas penyidik yang belum terbekali ilmu penyidikan secara

keseluruhan dan posisi atau jabatan yang berpindah-pindah baik itu berubah bidang

tugas maupun wilayah tugas, juga latar belakang pendidikan pembentukan kepolisian

dapat mempengaruhi pribadi-pribadi insan Bhayangkara Polri. Pribadi-pribadi yang

memiliki pengendalian diri bagus akan segera menyesuaikan dengan program-progrram

pimpinan Polri menuju Polri yang Profesional, Proporsional, Bermoral, dan Modern.

Namun apabila budaya yang melekat pada diri pribadi anggota Polri adalah budaya

menyangkal (culture of denial), maka yang berlaku adalah kebiasaan sehingga muncul

arogan, tidak sabar bahkan dalam melakukan penyidikan mengupayakan supaya

tersangka segera mengaku untuk mempercepat proses penyidikan. Hal tersebut didasari

karena pelaksanaan penyidikan tidak didukung anggaran, kalaupun ada dukungan

anggaran dari pimpinan, anggaran tersebut diberikan setelah penanganan tindak pidana

tersebut selesai atau P-21. Begitu pula kondisinya akhir-akhir ini, anggaran untuk

137

Page 8: MEKANISME PENGAWASANrepository.umj.ac.id/jspui/bitstream/123456789/535/5/BAB... · Web viewBAB IV EKSISTENSI ASAS PERSAMAAN DI HADAPAN HUKUM DALAM PROSES PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK

penyidikan dibedakan antara perkara ringan, sedang dan berat, namun anggaran

tersebut baru bisa dicairkan setelah ada pertanggungjawaban dari perkara pidana yang

telah ditangani, sehingga para penyidik hanya menandatangani berkas untuk

mencairkan anggaran didukung laporan pelaksanaan penyidikan. Terbentuk image yang

kurang baik terhadap kinerja Polri selama ini, seiring dengan Reformasi di Indonesia,

sehingga menuntut Institusi Polri harus mengalami perubahan.

Perubahan dan penataan dalam Institusi Polri meliputi berbagai bidang, baik di

bidang pembinaan maupun operasional serta pembangunan kekuatan sejalan dengan

upaya Reformasi. Tugas tersebut dikaitkan dengan fungsi penegakan hukum, maka

dirasakan sangat kompleks. Namun dalam upaya penegakan hukum ada satu hal yang

menjadi sorotan publik supaya penegakan hukum tersebut dapat berjalan sesuai harapan

masyarakat, yaitu penerapan prinsip persamaan di hadapan hukum. Hal ini menuntut

polri untuk bersikap profesional dan proporsional dengan mengesampingkan segala hal

demi tercapainya keamanan dan ketertiban dalam masyarakat. Keamanan dalam negeri

merupakan syarat utama mendukung terwujudnya masyarakat madani yang adil,

makmur dan beradab berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945. Untuk melihat apakah hukum sudah berjalan atau

tidak, maka tidak hanya terpaku pada rumusan ketentuan perundang-undangan saja

namun harus melihat bagaimana aplikasi hukum dalam masyarakat, yang terpenting

adalah bagaimana hukum itu dapat diterapkan/ditegakkan dalam kenyataan, karena

“Hukum yang sebenarnya adalah hukum yang dijalankan, bukanlah apa yang tertulis

dengan indah dalam undang-undang, melainkan apa yang dilakukan oleh aparat

penyelenggara hukum”164, dalam hal ini adalah polisi. Polri sebagai salah satu

pelaksana hukum apakah sudah melaksanakan tugasnya sesuai asas praduga tak

164 Kadriah, “Asas Persamaan Kedudukan Dalam Hukum”, Artikel, 2009.

138

Page 9: MEKANISME PENGAWASANrepository.umj.ac.id/jspui/bitstream/123456789/535/5/BAB... · Web viewBAB IV EKSISTENSI ASAS PERSAMAAN DI HADAPAN HUKUM DALAM PROSES PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK

bersalah dan asas persamaan kedudukan dalam hukum, ataukah asas tersebut hanya

dijalankan sepotong-sepotong untuk orang-orang tertentu saja. Dalam berbagai kasus,

seperti kasus Marsinah atau perselingkuhan anggota DPR dengan seorang Artis yang

hingga saat ini kasus tersebut tidak terdengar lagi tindak lanjutnya, mengingat kasus-

kasus tersebut telah diketahui publik, apalagi terhadap kasus-kasus yang tidak diketahui

publik. Proses beracaranya sering dipengaruhi ketentuan lama, yaitu HIR, penegak

hukum telah melakukan upaya paksa yang berlebihan dengan sistem pemeriksaan

inkuisitor sehingga menyebabkan terjadinya kesalahan dalam menghukum orang dan

salah dalam menerapkan hukumnya. Pada kasus Marsinah, disinyalir ada unsur

rekayasa sedemikian rupa sehingga menyebabkan orang yang seharusnya tidak bersalah

harus di hukum. Dari segelintir kasus di atas terlihat sering dilakukannya upaya paksa

dan kekerasan terhadap tersangka atau pelaku sedemikian rupa sehingga melanggar

HAM tersangka. Berkaitan dengan pelanggaran HAM tersebut terlihat bahwa para

penegak hukum maupun masyarakat belum memahami arti dan makna penegakan asas-

asas dalam KUHAP terutama asas persamaan kedudukan dalam hukum.

Dengan demikian masih sangat diperlukan adanya perbaikan menuju

kesempurnaan. Kesempurnaan dalam hal ini adalah sesuai dengan ketentuan Undang-

undang dan harapan masyarakat dengan kebutuhan akan keamanan dan ketertiban

dalam kehidupan. Oleh karenanya beberapa faktor yang perlu menjadi perhatian bagi

Polri sebagai aparat penegak hukum adalah :

1. Faktor Sumber Daya Manusia

Sumber daya manusia, dalam hal ini adalah personel Polri yang menjadi

penyidik, perlu diadakan peningkatan kemampuan Penyidik Polri, baik itu

dengan pendidikan interen Polri khusus sebagai Penyidik, maupun pendidikan

139

Page 10: MEKANISME PENGAWASANrepository.umj.ac.id/jspui/bitstream/123456789/535/5/BAB... · Web viewBAB IV EKSISTENSI ASAS PERSAMAAN DI HADAPAN HUKUM DALAM PROSES PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK

formal non Polri di Universitas. Upaya peningkatan sumber daya manusia

dalam hal para Penyidik Polri ini mulai mengalami kemajuan, dengan cara

sebagai berikut :

a. Pada proses rekruitmen anggota Polri, persyaratan pendidikan mulai

diperhatikan. Dalam hal ini rekruitmen menjadi anggota Polri melalui 3

(tiga) jalur yaitu :

1) Perwira Polri Sumber Sarjana, sesuai namanya maka personel

lulusan ini telah memiliki bekal sejak awal dengan berbagai

disiplin ilmu sesuai dengan kebutuhan Polri, seperti : Ilmu

Kedokteran, Kedokteran Gigi, Psikologi, Ilmu Hukum, Ilmu

Ekonomi, Penerbangan, Kelautan, Komputer, Antropologi, dan

masih banyak lagi disesuaikan dengan kebutuhan Polri sehingga

setiap tahun kadangkala tidak sama;

2) Akademi Kepolisian, awalnya direkrut dari lulusan SMU dan

sederajat, 2 (dua) tahun lalu dicoba untuk merekrut dari jalur

SMU dan sederajat, Diploma serta Strata I, namun dengan

berbagai pertimbangan dari pimpinan Polri, maka persyaratan

untuk Strata dalam pendidikan Akademi Kepolisian dihapuskan.

Lama pendidikan 3 (tiga) tahun selanjutnya berhak menyandang

pangkat Perwira yaitu Inspektur Dua (Ipda).

3) Brigadir Polri yang direkrut dari SMU dan sederajat, Diploma,

serta Strata I. Untuk menjadi seorang Brigadir Polri harus

menempuh pendidikan selama 7 (tujuh) bulan.

140

Page 11: MEKANISME PENGAWASANrepository.umj.ac.id/jspui/bitstream/123456789/535/5/BAB... · Web viewBAB IV EKSISTENSI ASAS PERSAMAAN DI HADAPAN HUKUM DALAM PROSES PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK

b. Pendidikan Formal Non Polri menjadi pilihan kedua bagi para anggota

Polri. Hal ini dikatakan sebagai pilihan kedua karena Institusi tidak

membiayai pelaksanaan pendidikan tersebut. Institusi Polri hanya dapat

membiayai pada program-program pendidikan tertentu sesuai kebutuhan

organisasi. Tuntutan pekerjaan sebagai Penyidik, menyadarkan para

anggota Polri secara individu untuk membekali diri dengan mengikuti

studi Ilmu Hukum. Untuk lulusan Akademi Kepolisian yang diakui

memiliki status Diploma III dapat melanjutkan untuk memperoleh Strata

Satu Hukum, sedangkan Penyidik Pembantu dalam hal ini anggota Polri

yang berpangkat Brigadir, maka harus mengikuti perkuliahan Hukum

dari awal.

c. Pendidikan Formal Polri meliputi bermacam metode. Untuk para

brigadir yang akan beralih golongan menjadi perwira maka harus

mengikuti pendidikan lanjutan brigadir (Selabrig atau yang dahulu

dikenal dengan Sekolah Calon Perwira/Secapa). Dalam Selabrig

diberikan pengetahuan-pengetahuan tentang kepemimpinan dan

pengetahuan hukum untuk menunjang penyidik-penyidik Polri. Sekolah

lanjutannya adalah Sekolah Staf dan Pimpinan Pertama (Sespimma atau

dulunya dikenal dengan Sekolah lanjutan Perwira/Selapa) atau Sekolah

tinggi Ilmu Kepolisian (dulunya bernama Perguruan Tinggi Ilmu

Kepolisian/PTIK), yang kebanyakan diikuti oleh para alumni Akademi

Kepolisian yang diakui telah memiliki status Diploma III Kepolisian.

pendidikan tersebut masih berlanjut ke Sekolah Staf dan Pimpinan

Menengah (Sespimmen) dan berakhir pada Sekolah Staf dan Pimpinan

Tinggi (Sespimti yang dulunya dikenal dengan Sespati)

141

Page 12: MEKANISME PENGAWASANrepository.umj.ac.id/jspui/bitstream/123456789/535/5/BAB... · Web viewBAB IV EKSISTENSI ASAS PERSAMAAN DI HADAPAN HUKUM DALAM PROSES PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK

d. Pendidikan-pendidikan dalam Institusi Polri tidak dapat disamakan

dengan pelaksanaan pendidikan formal secara umum, karena pendidikan

berlangsung sesuai program yang berarti bahwa baik itu sumber daya

manusia memang benar-benar mampu atau tidak, apabila waktu program

pendidikan telah habis maka tetap akan lulus walaupun dengan standar

minimal. Apabila standar ditingkatkan, seperti yang pernah dilakukan

pada penerimaan Akademi Kepolisian tahun 2008, dengan menetapkan

kriteria Calon Taruna dan Taruni minimal Strata 1 dengan program yang

telah ditentukan dan tingkat akreditasi Universitas yang juga ditentukan,

maka kenyataan yang terjadi adalah rekruitmen hanya meliputi daerah

dengan tingkat akreditasi tinggi yang dapat diterima, sehingga tidak ada

kesamarataan. Hal tersebut menimbulkan protes bagi daerah dengan

tingkat akreditasi rendah, akhirnya ketentuan kembali semula yaitu

mengutamakan lulusan Sekolah Menengah Atas. Di satu sisi, ada

program rekruitmen Polri dari Sumber Sarjana. Polri dari Sumber

Sarjana lebih bisa dikedepankan untuk profesional karena disiplin ilmu

yang telah dimiliki, dengan syarat harus dihindari intervensi-intervensi

dari berbagai pihak dan berbagai kepentingan.

e. Latar belakang pendidikan yang menjadi bekal tiap-tiap personel Polri

harus diberdayakan semaksimal mungkin, dengan menempatkan

personel-personel pada jabatan atau posisi yang sesuai, dalam hal ini

prinsip “the right man in the right job” harus diutamakan. Prinsip

tersebut bukan berarti bahwa personel yang tidak memiliki latar

belakang pendidikan atau kemampuan dalam suatu bidang tertentu harus

disingkirkan dan tidak berdayaguna, tetapi dapat diberdayakan pada

142

Page 13: MEKANISME PENGAWASANrepository.umj.ac.id/jspui/bitstream/123456789/535/5/BAB... · Web viewBAB IV EKSISTENSI ASAS PERSAMAAN DI HADAPAN HUKUM DALAM PROSES PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK

bidang lain. Terutama pada bidang penyidikan, yang membutuhkan

personel-personel yang professional dalam bidang Hukum supaya dapat

melakukan penyidikan sesuai ketentuan perundang-undangan yang

berlaku.

f. Metode dalam Lembaga Pendidikan Polri juga mempengaruhi

karakteristik personel-personel Polri. Paradigma pendidikan militeristik

yang identik dengan kekerasan memberikan pengaruh yang besar

terhadap sikap dan perilaku anggota Polri dalam masa kedinasan. Hal

tersebut yang seringkali kurang dipahami oleh setiap anggota Polri.

Pendidikan Pembentukan dan Pendidikan Pengembangan akan selalu

berbeda, karena dalam Pendidikan Pembentukan adalah membentuk

insan Bhayangkara dari masyarakat sipil. Oleh karena itu antara teori

dan praktek seimbang, terutama praktek yang dilengkapi dengan

program pembinaan fisik guna menumbuhkan kedisiplinan dan fisik

yang prima karena akan mengemban tugas yang mulia sebagai

pengayom, pelindung dan pelayan masyarakat serta melaksanakan

penegakan hukum. Tuntutan tersebut harus dapat menekan ego pribadi

sebagai watak dasar dari manusia.

g. Watak dasar manusia sebagai individu yang memiliki kepribadian

sendiri-sendiri sehingga terjadi keanekaragaman karakter. Beragam

karakter ini mempengaruhi sikap kerja, termasuk sebagai penyidik.

Dalam melakukan penyidikan membutuhkan pengetahuan dan

keterampilan, karena apabila ketiga hal tersebut tidak dimiliki akan

terjadi ketidakseimbangan.

143

Page 14: MEKANISME PENGAWASANrepository.umj.ac.id/jspui/bitstream/123456789/535/5/BAB... · Web viewBAB IV EKSISTENSI ASAS PERSAMAAN DI HADAPAN HUKUM DALAM PROSES PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK

1) Pengetahuan, merupakan ilmu yang mutlak diperlukan sebagai

dasar hukum dalam setiap melakukan penyidikan, yaitu dengan

penguasaan perundang-undangan sebagai dasar dilakukannya

penyidikan dan pasal-pasal apa yang dapat diterapkan secara

tepat;

2) Keterampilan, merupakan hal yang erat kaitannya dengan

pengetahuan. Apabila beragam pengetahuan sudah diperoleh,

namun apabila personel tersebut tidak memiliki keterampilan

dalam melakukan penyidikan, maka proses penyidikan dapat

terhambat. Hal ini terjadi karena ada kelompok personel Polri

yang telah mengikuti berbagai pendidikan pengembangan dalam

bidang penyidikan, namun tidak pernah menjadi penyidik Polri

walaupun pernah menjadi staf dalam bidang penyidikan, namun

tidak pernah melakukan proses penyidikan, maka pada suatu saat

menjadi penyidik akan menemui hambatan. Apabila suatu

kegiatan dilakukan secara berulang-ulang maka akan menjadi

terbiasa, “ala bisa karena biasa”. Terampilnya personel tersebut

timbul dari pengalaman-pengalaman yang diperolehnya, baik itu

meliputi pengalaman pribadi dalam bermasyarakat maupun

pengalaman kedinasan dengan tetap mengedepankan logika.

Pengalaman kerja yang luas sebagai seorang anggota Polri akan

dapat mendukung terlaksananya penyidikan sesuai prosedur

yang telah ditetapkan dalam Institusi Polri, seperti tehnik dan

taktik dalam mengajukan pertanyaan-pertanyaan sehingga dapat

mengarahkan sesuai dengan tujuan pengungkapan kasus.

144

Page 15: MEKANISME PENGAWASANrepository.umj.ac.id/jspui/bitstream/123456789/535/5/BAB... · Web viewBAB IV EKSISTENSI ASAS PERSAMAAN DI HADAPAN HUKUM DALAM PROSES PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK

Satu hal yang patut di ingat, bahwa personel Polri telah menandatangani

pernyataan kesiapsiagaan untuk ditempatkan dimanapun sesuai

kebutuhan. Sehingga selalu ada perputaran penempatan bidang tugas.

Hal ini membawa pengaruh pada kelangsungan organisasi, karena

personel baru harus mempelajari situasi dan kondisi di tempat tugas

yang baru. Bahkan adanya fakta tentang personel Polri yang memiliki

kemampuan baik namun jenjang kepangkatannya terabaikan. Di lain

pihak, ada fakta bahwa personel dengan kemampuan terbatas justru

memiliki jenjang kepangkatan selalu lancar. Ketidakadilan ini dapat

mempengaruhi kinerja personel, terutama para penyidik. Slogan-slogan

yang muncul sebagai Polri yang humanis harus benar-benar diterapkan,

dengan standar kriteria humanisme.

2. Faktor Sarana dan Prasarana (fasilitas)

Sarana dan prasarana merupakan faktor penting yang mendukung terlaksananya

penyidikan. Fakta yang ditemui dibidang penyidikan khususnya pada Polresta

Bogor belum dapat mengakomodir kebutuhan para Penyidik untuk menunjang

proses penyidikan. Peralatan yang mendukung proses penyidikan, kondisinya

ada yang layak pakai bahkan ada yang tidak layak pakai. Akomodasi dan

transportasi yang digunakan oleh para Penyidik untuk mendatangi tempat

kejadian perkara ataupun mendatangkan para saksi, merupakan milik pribadi

dari para Penyidik. Oleh karena itu selayaknya sarana dan prasarana yang

menunjang proses penyidikan dipenuhi, sehingga para Penyidik dapat terfokus

dengan pelaksanaan penyidikan tanpa memikirkan sarana dan prasarana apa

yang dapat digunakan untuk penyidikan.

145

Page 16: MEKANISME PENGAWASANrepository.umj.ac.id/jspui/bitstream/123456789/535/5/BAB... · Web viewBAB IV EKSISTENSI ASAS PERSAMAAN DI HADAPAN HUKUM DALAM PROSES PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK

3. Faktor Anggaran

Anggaran merupakan faktor penggerak utama. Walaupun dalam Anggaran

Dasar dan Rumah Tangga Polri telah tercantum dalam Dipa setiap tahunnya,

disesuaikan dengan tingkat kasus yang ditangani, baik itu kasus ringan, kasus

sedang, maupun kasus berat dengan nominal yang berbeda, namun pada

pelaksanaannya anggaran tersebut tidak dapat diambil di awal proses

penyidikan. Dengan demikian anggaran yang dipergunakan berasal dari gaji

para penyidik. Gaji setiap anggota Polri hanya mencukupi untuk kesejahteraan

anggota Polri itu sendiri dan keluarganya, bukan untuk kepentingan institusi.

Membahas mengenai anggaran tidak terlepas dari isu korupsi yang merebak.

Namun anggaran tetap harus diberikan sepenuhnya sesuai pendistribusian

anggaran Satuan Kerja masing-masing, dalam hal ini adalah Satuan Kerja

Fungsi Reserse Kriminal, dengan segera begitu ada laporan, baik dari

masyarakat maupun ditemukan oleh anggota Polri, tentang suatu tindak pidana.

Hal akhir yang harus dipenuhi adalah laporan penggunaan anggaran dari Satuan

Kerja yang menggunakan alokasi anggaran tersebut, sebagai

pertanggungjawaban penggunaan anggaran.

Dengan dipenuhinya faktor-faktor tersebut diatas, diharapkan dapat

menyempurnakan kinerja Polri sesuai harapan dan kenyataan. Sebelum melangkah

pada faktor-faktor yang muncul akibat pengaruh dari luar institusi Polri, maka faktor

interen Polri memerlukan pembenahan secara optimal sebagai konsekuensi dari

pelaksanaan Reformasi Birokrasi dalam Institusi Polri.

Faktor eksteren Polri berarti menyangkut hubungan kerja antara Institusi Polri

dengan Institusi di luar Polri baik itu dalam Negeri maupun Luar Negeri. Apabila

146

Page 17: MEKANISME PENGAWASANrepository.umj.ac.id/jspui/bitstream/123456789/535/5/BAB... · Web viewBAB IV EKSISTENSI ASAS PERSAMAAN DI HADAPAN HUKUM DALAM PROSES PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK

faktor interen kurang baik, secara logika dapat dipastikan bahwa faktor eksteren dapat

terganggu. Hal ini disebabkan karena baiknya kinerja Institusi Polri harus didukung

oleh kinerja dari para Personel Polri secara komprehensif, bukan hanya karena kinerja

satu atau beberapa personel Polri belaka. Fenomena tersebut dapat ditemukan

diberbagai pemberitaan di media massa, sebagai akibat seorang personel Polri yang

bertindak atas nama pribadi karena sifat tindakan tersebut negatif, maka merusak citra

Institusi Polri. Pemberitaan juga tidak seharusnya langsung menghakimi bahwa

tindakan tersebut mencerminkan kinerja Polri, karena masih banyak personel Polri

yang baik jika dibandingkan dengan yang tidak baik. Ibarat pepatah melayu

mengatakan bahwa “Karena Nila Setitik Rusak Susu Sebelanga”. Sebagai contoh

pernyataan Susno Duadji, ketika menjabat sebagai Kabareskrim Polri, mengungkapkan

tentang “Cicak melawan Buaya”. Statemen seperti itu tidak boleh langsung disikapi

sebagai pernyataan sebagai seorang anggota Polri atau pribadi, sebelum ada konfirmasi

untuk kejelasan. Status yang melekat dalam personel Polri, tidak sepenuhnya sebagai

personel Polri. Pada jam dan saat bertugas, maka status Polri melekat pada individu

tersebut, namun diluar jam tugas, maka yang melekat adalah pribadi. Untuk itulah perlu

adanya kejelasan supaya tidak menimbulkan persepsi yang berbeda. Walaupun

pernyataan tersebut pada akhirnya dipertanggungjawabkan oleh seorang Susno Duadji,

namun opini publik sudah terbentuk bahwa Polri yang mengeluarkan pernyataan

tersebut. Pernyataan-penyataan tersebut dilatarbelakangi oleh adanya diskresi dalam

Polri. Pendapat Roscoe Pound, sebagaimana dikutip oleh R. Abdussalam mengartikan

“diskresi kepolisian adalah suatu tindakan pihak yang berwenang berdasarkan hukum

untuk bertindak pasti atas dasar situasi dan kondisi, menurut pertimbangan dan

keputusan nuraninya sendiri“165. Jadi diskresi merupakan kewenangan Polri untuk

mengambil keputusan atau memilih berbagai tindakan dalam menyelesaikan masalah 165 R. Abdussalam, Op.cit, hlm. 25-26.

147

Page 18: MEKANISME PENGAWASANrepository.umj.ac.id/jspui/bitstream/123456789/535/5/BAB... · Web viewBAB IV EKSISTENSI ASAS PERSAMAAN DI HADAPAN HUKUM DALAM PROSES PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK

pelanggaran hukum atau perkara pidana yang ditanganinya. Sekalipun diskresi polri

bukan merupakan tindakan yang menyimpang, namun dalam praktek penyelenggaraan

tugas-tugas polri, masih banyak anggota Polri yang ragu untuk menggunakan

wewenangnya terutama dalam penanganan perkara. Diskresi dipergunakan dengan

pertimbangan demi kepentingan umum. Namun seringkali disalahgunakan oleh

anggota-anggota yang kurang bertanggung jawab untuk mendapatkan keuntungan

pribadi dengan pihak tertentu atau beberapa pihak, bahkan tidak menutup kemungkinan

ada pihak yang dirugikan.

Berbagai faktor baik itu faktor interen maupun eksteren Polri yang dapat

menjadi penunjang maupun penghambat dalam pelaksanaan proses penyidikan Polri

harus mendapatkan perhatian personel Polri supaya segera mengalami perubahan.

Perubahan tidak hanya bersifat Up to down tetapi justru mengutamakan Botton Up, hal

ini dikarenakan unsur pelayanan langsung diterapkan oleh para personel Polri yang

berada di posisi terdepan, yaitu Polisi Sektor (Polsek), Polisi Resor (Polres) dan Polisi

Daerah (Polda). Oleh karena itu segala kekurangan perlu segera diperoleh solusi untuk

mengatasinya, mengingat tugas pokok Polri adalah melindungi, mengayomi, dan

melayani masyarakat serta penegakan hukum, sehingga dapat meminimalisir adanya

kritik/komplain dari masyarakat.

Dalam pandangan ahli hukum semestinya “concept of law” ini dijadikan

sebagai suatu konsep yang dapat diidentifikasi, di mana titik beratnya pada prosedur

dan pengaturan pembentukan serta penegakan hukum. Di dalam concept rule of law

sendiri dikenal kewenangan diskresi yang pada hakekatnya tidak konsisten dengan ide

rule of law. Oleh karena itu, kewenangan diskresi seharusnya dapat diuji dan dipandu

oleh prinsip-prinsip hukum secara umum.

148

Page 19: MEKANISME PENGAWASANrepository.umj.ac.id/jspui/bitstream/123456789/535/5/BAB... · Web viewBAB IV EKSISTENSI ASAS PERSAMAAN DI HADAPAN HUKUM DALAM PROSES PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK

Perbedaan pokok antara rechtstaat dengan rule of law ditemukan pada unsur

peradilan administrasi. Di dalam unsur rule of law telah ditemukan adanya unsur

peradilan administrasi, sebab di negara-negara Anglo Saxon penekanan terhadap

prinsip persamaan dihadapan hukum (equality before the law) lebih ditonjolkan,

sehingga dipandang tidak perlu menyediakan sebuah peradilan khusus untuk pejabat

administrasi negara. Prinsip equality before the law menghendaki agar prinsip

persamaan antara rakyat dengan pejabat administrasi negara, harus juga tercermin

dalam lapangan peradilan. Pejabat administrasi atau pemerintah atau rakyat harus

sama-sama tunduk kepada hukum dan bersamaan kedudukannya di hadapan hukum.

Berbeda dengan negara Eropa Kontinental yang memasukkan unsur peradilan

administrasi sebagai salah satu unsur rechtsstaat. Dimasukkannya unsur peradilan

administrasi ke dalam unsur rechtsstaat, maksudnya untuk memberikan perlindungan

hukum bagi warga masyarakat terhadap sikap tindakan pemerintah yang melanggar hak

asasi dalam lapangan administrasi negara. Kecuali itu kehadiran peradilan administrasi

akan memberikan perlindungan hukum yang sama kepada administrasi negara yang

bertindak benar dan sesuai dengan hukum. Dalam negara hukum harus diberikan

perlindungan hukum yang sama kepada warga dan pejabat administrasi negara.

Dari latar belakang dan dari sistem hukum yang menopang perbedaan antara

konsep ”rechtstaat” dengan konsep ”the rule of law” meskipun dalam perkembangan

dewasa ini tidak dipermasalahkan lagi perbedaan antara keduanya. Karena pada

dasarnya kedua konsep itu mengarahkan dirinya pada satu sasaran yang utama yaitu

pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Meskipun dengan

sasaran yang sama tetapi keduanya tetap berjalan dengan sistem hukum sendiri.

149

Page 20: MEKANISME PENGAWASANrepository.umj.ac.id/jspui/bitstream/123456789/535/5/BAB... · Web viewBAB IV EKSISTENSI ASAS PERSAMAAN DI HADAPAN HUKUM DALAM PROSES PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK

Konsep “rechtstaat” lahir dari suatu perjuangan menentang absolutisme

sehingga sifatnya revolusioner, sebaliknya konsep ”the rule of law” berkembang secara

evolusioner. Hal ini nampak dari isi atau kriteria rechtsstaat dan kriteria the rule of law.

Konsep rechtsstaat bertumpu atas sistem hukum kontinental yang disebut “civil law”

atau “Modern Roman Law” sedangkan konsep the rule of law bertumpu atas sistem

hukum yang disebut “common law”. Karakteristik “civil law” adalah “administratif”

sedangkan karakteristik “common law” adalah “judicial”.

Perbedaan karakteristik yang demikian disebabkan karena latar belakang

daripada kekuasaan raja. Pada zaman Romawi kekuasaan yang menonjol dan raja ialah

pembuat peraturan melalui dekrit. Kekuasaan itu kemudian didelegasikan kepada

pejabat-pejabat administratif sehingga pejabat administratif yang membuat pengarahan-

pengarahan tertulis bagi hakim tentang bagaimana memutus suatu sengketa. Begitu

besarnya peranan Administrasi Negara sehingga tidaklah mengherankan kalau dalam

sistem kontinental mula pertama muncul cabang hukum baru yang disebut “droit

administratif” yaitu hubungan antara administrasi negara dengan rakyat.

Perumusan tentang konsep negara hukum juga pernah dilakukan oleh

International Commission of Jurist, yakni organisasi ahli hukum internasional pada

tahun 1965 di Bangkok. Organisasi ini merumuskan tentang pengertian dan syarat bagi

suatu negara hukum/pemerintah yang demokratis yang diperkenalkan ulang oleh

Dahlan Thaib, yakni: 1) Adanya proteksi konstitusional, 2) Pengadilan yang bebas dan

tidak memihak, 3) Pemilihan umum yang bebas, 4) Kebebasan untuk menyatakan

pendapat, 5) Kebebasan berserikat/berorganisasi dan oposisi, 6) Pendidikan

kewarganegaraan

150

Page 21: MEKANISME PENGAWASANrepository.umj.ac.id/jspui/bitstream/123456789/535/5/BAB... · Web viewBAB IV EKSISTENSI ASAS PERSAMAAN DI HADAPAN HUKUM DALAM PROSES PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK

Teori fiktie memang bersifat fiktie (fiksi) atau khayalan saja, demikian yang

disampaikan Jimly Asshiddiqie dalam buku “Konstitusi dan Konstitusionalisme

Indonesia”. Hal ini dikarenakan teori tersebut tidak mencerminkan realitas yang

sebenarnya. Menurut Jimly, untuk lingkungan negara-negara maju dan kecil seperti

Belanda dengan tingkat kesejahteraan dan pengetahuan masyarakatnya yang merata,

tentu tidak ada persoalan dengan teori fiktie itu. Dalam masyarakat homogen seperti itu

informasi hukum yang tersedia dalam masyarakat bersifat simetris. Akan tetapi di

negara yang demikian besar wilayahnya dan banyak pula jumlah penduduknya, serta

miskin dan terbelakang kondisi kesejahteraan dan pendidikannya (seperti Indonesia),

sudah tentu sistem informasi hukum yang tersedia dalam masyarakat tidak bersifat

simetris. Dengan kata lain, adagium tersebut tidaklah adil bagi kebanyakan warga

negara Indonesia yang kurang mendapat informasi.

J.C.T Simorangkir dalam buku “Hukum dan Konstitusi Indonesia”,

menarasikan “rasa kurang adil tersebut” dengan sangat baik. Kalau seorang anggota

DPR yang bersama Pemerintah membentuk undang-undang, lalu ia sendiri melanggar

undang-undang, maka penghukuman itu tidaklah terlalu mengganggu rasa keadilan,

karena seolah-olah hanya menunaikan ketentuan Undang-undang secara formalitas.

Akan tetapi bila ada seorang petani yang bertempat tinggal jauh di pelosok tanah air,

tidak punya radio, tidak mendapat kesempatan untuk menonton televisi, tidak

berlangganan koran, sebab masih buta huruf, lalu tanpa disadarinya ia melanggar

undang-undang yang tidak pernah ia dengar/baca/tahu kemudian ia di tuntut dan di

hukum, maka kondisi ini terasa tidak adil. Bagi sesosok petani yang awam akan

pengetahuan hukum, dipanggil menjadi saksi, merupakan kondisi yang menakutkan di

dukung dengan biaya transportasi yang harus membebaninya. Walau begitu, menurut

Simorangkir, adagium yang menyatakan setiap orang dianggap tahu hukum harus tetap

151

Page 22: MEKANISME PENGAWASANrepository.umj.ac.id/jspui/bitstream/123456789/535/5/BAB... · Web viewBAB IV EKSISTENSI ASAS PERSAMAAN DI HADAPAN HUKUM DALAM PROSES PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK

dipertahankan. Jika adagium itu tidak ada, maka kita akan menghadapi suatu situasi

hukum yang justru tidak dikehendaki. Sebagai ilustrasi, kita bayangkan bila ada

seorang tersangka yang mengaku di depan hakim bahwa dirinya tidak mengetahui

hukum dan dirinya kemudian dibebaskan, maka setiap tersangka manapun bisa

menggunakan alasan tersebut. Karenanya dibutuhkan kompensasi terhadap rasa tidak

adil akibat penerapan teori fiktie. Salah satunya menurut Simorangkir adalah sistem

“hukuman maksimal” dalam hukum pidana kita. Sistem tersebut memberikan

keleluasaan pada hakim untuk menjatuhkan hukuman yang maksimal atau menjatuhkan

hukuman yang paling ringan sampai pada pembebasan. Sehingga seseorang yang

dengan sadar serta tahu, bila melanggar suatu peraturan dapatlah dihukum lebih berat

daripada seseorang yang melanggarnya tanpa mengetahui serta menyadari apa yang

dilanggarnya.

Hal lain yang tak kalah pentingnya adalah pembudayaan, pemasyarakatan, dan

pendidikan hukum (law socialization and law education). Sebagai contoh, tidak

cukuplah para administrator hukum memasyarakatkan hukum/peraturan perundang-

undangan dengan hanya menempatkannya dalam Lembaran Negara Republik

Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah, atau Berita Daerah

secara formal (publication of law). Seharusnya semua pihak merasa terikat akan

tanggung jawab yang lebih luas untuk menyebarluaskan dan memasyarakatkan aturan-

aturan ke seluruh lapisan masyarakat (promulgation of law). Mengikuti perkembangan

Zaman, saat ini perlu diterapkan pengelolaan informasi hukum (law information

management) berbasis teknologi informasi. Salah satunya adalah dengan

menggunakan website , sehingga setiap orang, kapanpun, di manapun, dapat

menemukan berbagai informasi hukum dengan segera dan murah. Sehingga setiap

orang benar-benar tahu hukum.

152

Page 23: MEKANISME PENGAWASANrepository.umj.ac.id/jspui/bitstream/123456789/535/5/BAB... · Web viewBAB IV EKSISTENSI ASAS PERSAMAAN DI HADAPAN HUKUM DALAM PROSES PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK

Prinsip kesamaan di muka hukum (the equality before the law), prinsip ini

memberi jaminan bahwa di muka hukum prinsip ini juga banyak mendapatkan

tantangan di lapangan, karena pelaksanaannya belum bisa sepenuhnya berjalan dengan

ideal. “Keluhan para yustisiabel (pencari keadilan) tentang diskriminasi perlakuan

dengan pelaku kejahatan yang satu terhadap yang lain masih sering tidak sama (antara

penjahat kelas teri dengan kelas berdasi atau pejabat relatif berbeda).”166

Polri yang mandiri, secara sederhana, adalah Polri yang dapat berdiri sendiri

dan bertindak sendiri, tidak bergantung pada institusi ABRI. Kemandirian Polri tidak

mungkin mandiri dalam arti mandiri dari institusi pemerintah atau mandiri dari

kekuasaan Eksekutif. Polri tidak mungkin terpisah dari kekuasaan eksekutif seperti

badan peradilan, DPR, Badan Pemeriksa Keuangan atau Bank Indonesia. Kemandirian

yang dimaksud di sini lebih mengacu pada aspek formal, yaitu ketentuan-ketentuan

yang mengatur serta mendasari status mandiri yang dimaksud.

Kemandirian suatu institusi sering dicampur-aduk secara kurang tepat dengan

kata independensi, dan oleh karenanya kemandirian banyak disamakan dengan

independensi. “Suatu institusi yang mandiri dengan sendirinya independen.”

Pernyataan tersebut mungkin benar, namun mungkin lebih banyak tidak benarnya,

karena independensi lebih berkaitan dengan aspek kewenangan, tugas serta fungsi suatu

organisasi. Independensi menyangkut pelaksanaan kerja dalam upaya mengemban misi

untuk mencapai tujuan organisasi. Dengan demikian, independensi suatu organisasi

sesungguhnya lebih ditentukan oleh para pelaku dalam organisasi itu sendiri.

Independensi diciptakan, dilakukan, dibina serta dikembangkan dan kemudian

166 Ilham Bisri, Sistem Hukum Indonesia, Prinsip-prinsip dan Implementasi Hukum di Indonesia, (Jakarta: PT. Rajagrafido Persada, 2005), hal 48.

153

Page 24: MEKANISME PENGAWASANrepository.umj.ac.id/jspui/bitstream/123456789/535/5/BAB... · Web viewBAB IV EKSISTENSI ASAS PERSAMAAN DI HADAPAN HUKUM DALAM PROSES PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK

dihasilkan oleh mereka sendiri. Hal ini agak lain dengan kemandirian yang lebih

banyak ditentukan oleh unsur luar atau eksternal.

Suatu institusi yang mandiri belum tentu independen, karena dalam pelaksanaan

tugas, wewenang serta fungsi mereka, kebanyakan pelakunya cenderung tidak mau

independen. Mereka lebih sering dipengaruhi, di dikte serta menjadi alat pihak-pihak

luar institusi tersebut. Independensi ditangani melalui suatu proses, program dan

konsepsi yang terarah serta konsisten.

Kemandirian lebih mudah diperoleh karena berasal dari pemberian eksternal,

sedangkan independensi lebih sulit diperoleh karena amat tergantung dari political will

serta proses internal action. Namun kemandirian merupakan faktor yang teramat

penting dalam proses untuk menciptakan suatu independensi, karena melalui

kemandirian itu, campur tangan struktural-institusional jelas secara formal perundang-

undangan sama sekali tidak dimungkinkan.

Berdasarkan uraian diatas, maka mudah bagi Polri untuk merealisasikan

menjadi institusi yang mandiri, karena cukup dengan merubah Undang-Undang

Kepolisian dari Undang-Undang Nomor 13 tahun 1961 menjadi Undang-Undang

Nomor 28 Tahun 1997, hingga pembaharuan terakhir menjadi Undang-Undang Nomor

2 Tahun 2002. Tetapi problematika atau kendala yang dihadapi oleh organisasi Polri

serta masyarakat tidak secara otomatis dapat terselesaikan. Kemandirian Polri

merupakan titik penting untuk membangun institusi Polri yang independen, bebas dari

pengaruh-pengaruh yang mengeliminir misi yang diembannya. Setelah lembaga

Kepolisian mandiri, maka institusi itu sendirilah yang mengembangkan serta memberi

isi kemandiriannya sehingga tercermin dalam pelaksanaan tugas, wewenang serta

fungsinya dalam mengembangkan misi untuk mencapai tugas organisasi. Asas

154

Page 25: MEKANISME PENGAWASANrepository.umj.ac.id/jspui/bitstream/123456789/535/5/BAB... · Web viewBAB IV EKSISTENSI ASAS PERSAMAAN DI HADAPAN HUKUM DALAM PROSES PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK

Persamaan di Hadapan Hukum merupakan salah satu aspek penting menuju

independensi, sehingga perlu mendapat perhatian utama dengan melakukan perubahan

terhadap budaya dalam membentuk karakter kerja dalam lingkungan Kepolisian

menuju pada profesional, proporsional dan modern. Dengan demikian tercapai

keinginan masyarakat terhadap Institusi Polri yaitu terbentuk karakteristik Polisi yang

dapat memberikan : “Pelayanan gratis, Kesantunan dan sikap melindungi, Memiliki

sifat tidak korup, dan profesionalisme”167,

167 Antonius Sujata, Op.cit, hal.213.

155