Upload
deny-farhan-arrasyid
View
200
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
MEMBANGUN KUALITAS KEISLAMAN
Mengapa kita perlu membangun dan membentuk kualitas keislaman?
Kualitas keislaman seringkali disebut pula dengan kualitas keimanan. Sedangkan
keimanan pada individu bisa naik dan nisa pula turun. Sebagai misal, ketika kita sedang
berada dalam lingkungan yang baik dan dalam keadaan mood yang baik, mungkin keimanan
kita berada dalam tingkat yang tinggi pula. Namun, bila sebaliknya, bila kita sedang dalam
mood yang jelek, mungkin tingkat keimanan kita sedang dalam tingkatan rendah. Seperti
halnya ibarat seorang pendaki yang berjalan ke puncak sebuah gunung. Dalam menggapai
angan itu, dia tentunya tidak selalu memperoleh kemulusan. Namun, kadang ia harus
melewati tebing, jurang, sungai, pohon yang tumbang, padang pasir, rawa, padang ilalang,
atau apapun yang bisa menghambat perjalanannya. Oleh karenanya, ia seharusnya telah
mempersiapkan segala sesuatunya sebelum berangkat baik itu persiapan mental, fisik,
peralatan, dan bekal tentunya. Demikian pula Islam, orang beragama memiliki motivasi yang
bermacam-macam. Ada yang karena memang keyakinan, karena untuk perlindungan bisnis,
karena terpaksa, karena untuk menikah, karena orang tua, dan karena beribu alasan lainnya.
Namun pada dasarnya hampir semua pemeluk agama memiliki keyakinan bahwa mereka
beragama karena ada keyakinan bahwa setelah mati mereka akan hidup di surga bagi yang di
dunianya berbuat baik.
Karena motivasi itulah maka Rasulullah memberikan nasihat pada umatnya untuk
selalu menjaga keimanan. Rasullullah mengatakan bahwa orang muslim yang baik adalah
orang yang hari esoknya lebih baik dari hari yang kemarin. Dari sini, penulis dapat
menyimpulkan bahwa Rasulullah memberi nasihat untuk selalu menjaga iman bahkan
meningkatkan keimanan secara terus menerus. Hal itu sesuai dengan ayat di atas tadi ( al
Baqarah: 208) bahwa dalam berislam kita harus menyeluruh. Menyeluruh di sini otomatis
memiliki korelasi dengan peningkatan keimanan. Logikanya tidak mungkin orang beragama
islam langsung mengetahui dan memahami 100% ajarannya. Dia perlu tahap-tahap untuk
mengetahui keseluruhannya. Dan dalam proses tersebut, tentunya perlu didukung dengan
peningkatan keimanan pula.
Bagaimana membangun dan membentuk kualitas keislaman?
Sekarang marilah kita lihat masa kini dimana kita bisa melihat banyak sekali orang yang
pemahamannya tentang Islam kurang. Sehingga otomatis kualitas keislamannya kurang pula.
Ada sebagian diantara kita yang melihat kualitas keislaman seseorang melalui tampilan
dhohir (luar)nya saja. Kalau orang memakai gamis dan peci atau sorban maka ia dikatakan
kyai atau orang yang kualitas Islamnya bagus. Padahal nabi mengatakan bahwa “iman itu di
hati” jadi yang mengetahui iman itu hanya dia dan Allah. Namun, rasulullah juga memberi
sedikit gambaran. Bahwa orang yang disipilin dalam ibadah dan orang yang memiliki akhlak
yang baik maka itu adalah sebagian dari cerminan iman dan Islam yang berkualitas.
Disamping itu masih banyak penyimpangan-penyimpangan yang menurut penulis
adalah penyimpangan yang telah besar. Yaitu, ajaran sekuler yang memisahkan agama
dengan kehidupan dunia. Dalam bahasa sederhananya penulis mengatakan bahwa agama itu
hanya di tempat ibadah dan hanya urusan individu dengan Tuhannya. Sedangkan dalam
pergaulan keseharian mereka meninggalkan ajaran agama itu sendiri. Hal ini menurut penulis
disebabkan rendahnya kualitas keislaman dan keimanan inividu itu sendiri.
Lalu bagaimana kita membangun dan membentuk kualitas keislaman kita?
Karena pada dasarnya kekurangan mereka adalah buruknya pondasi iman dan Islam
yang mereka miliki, maka hal yang pertama kali harus ditata adalah pondasinya terlebih
dahulu. Bangunan yang kuat adalah bangunan yang didirikan di atas pondasi yang kuat pula.
Iman adalah pondasinya. Mereka diharapkan tidak hanya mengetahui tentang rukun iman
yang 5 saja, tetapi lebih dari itu mereka harus ditanamkan perasaan untuk menjiwai apa
sebenarnya yang terkandung dalam rukun iman itu semuanya dan memahami cabang-
cabangnya. Sehingga kita mengharapkan dalam hati mereka tercermin karakter yang kuat
sesuai dengan Islam. Dalam realitasnya, kita bisa menanamkan tujuan itu dengan tarbiyah
seperti halnya yang dilakukan di perguruan tinggi-perguruan tinggi di Indonesia yang
melakukan kegiatan mentoring atau assistensi, menggerakkan gerakan dakwah yang kompak,
meningkatkan diskusi-diskusi global yang berkorelasi dengan agama.
Faktor kedua adalah tiang dari bangunan harus kuat. Dalam hal ini tiang agama
adalah sholat. Sedangkan sholat adalah bagian dari rukun Islam. Maka proses kedua adalah
menegakkan tiang-tiang agama atau rukun Islam. Seorang muslim hendaknya tidak hanya
menganggap rukun-rukun Islam sebagai rutinitas belaka. Hal ini sangat mungkin terjadi pada
diri individu seorang muslim. Kita menganggap bahwa syahadat, sholat, puasa, zakat, dan
haji adalah sesuatu yang wajib dalam rutinitas ritual ibadah biasa, sehingga dalam
pelaksanaannya bentuk kegiatan ibadah tersebut sangatlah miskin akan nilai spiritual dan
makna. Seharusnya kita mulai menyadari hal ini. Kita harus memaknai syahadat adalah
sebuah ikrar janji kepada Allah dan Muhammad untuk selalu tunduk dalam aturan Islam.
Sholat adalah sarana muhasabah, harapan, dan sarana komunikasi dengan Allah. Dan pada
intinya kita harus menanamkan kepada diri kita bahwa ritual ibadah itu bukan sekedar ritual,
melainkan lebih dari itu terdapat makna yang besar di balik semua hal tersebut.
Apabila hal-hal yang mendasar di atas sudah tertanam, maka hal ketiga yang harus
dibangun adalah membuat atap pelindung untuk menyempurnakan fungsi bangunan itu.
Dalam hal ini sangatlah penting kiranya kita menambah makna hidup secara umum dengan
memunculkan nilai-nilai Islami dalam pergaulan umum. Secara umum, orang menganggap
kualitas seseorang itu dari akhlak, intelektual, dan kebaikannya. Jadi, sesuai dengan prinsip
Islam yang rahmatan lil alamin, seorang muslim harus mampu mentransformasikan sunnah
Rasul dan ajaran Islam dalam pergaualan umum. Nilai-nilai Islam atau ajaran Islam yang
dimaksud di sini antara lain sikap-sikap kedisiplinan dalam segala hal, kesopanan, kerajinan,
kesungguhan, dan nilai–nilai Islami lainnya. Dan penulis menganggap bahwa sifat yang
paling penting adalah sifat seorang mujahidin dan muhlisin. Mujahidin di sini dirtikan
sebagai seorang yang selalu bekerja keras dan bersungguh-sungguh dalam segala aspek
kegiatan. Sedangkan muhlisin adalah sifat seseorang yang dalam setiap kegiatan sehari-
harinya didasarkan selalu karena Allah. Sehingga dari dua sifat ini saja, seumpanya kita
mengambil contoh seorang anggota dewan legislative, kita bisa melihat betapa hebatnya
seseorang itu. Bila dua sifat itu diterapkan maka seorang anggota legislatif akan selalu hadir
dalam setiap sidang, memperhatikan suara rakyat keseluruhan, membela hak rakyat, menolak
nepotisme, tidak korupsi, dan mengurangi tidurnya di malam hari karena ia memiliki jiwa
mujahid sebagaimana dicontohkan Rasul SAW dan para Khulafaur Rasyidin. Bahkan ia
justru akan selalu berdoa, sholat, dan puasa untuk mengharapkan petunjuk Allah SWT.
Hal-hal tersebut sebetulnya dapat kita lihat sejarahnya dalam kisah para Nabi,
sahabat, dan tabi’in. Ada juga teladan itu terletak pada ilmuwan-ilmuwan muslim yang
berpengaruh dalam pengetahuan modern di dunia. Sebut saja Ibnu Syina, Ibnu Khaldun,
Ibnu Rusyd, dan Ibnu Bathutah yang tidak hanya seorang ahli ilmu tapi juga paham akan
keislaman. *(Dialog Jumat, H. U. Repubika, edisi 3 September 2004)
4 Langkah Untuk Meningkatkan Kualitas Keislaman Seorang muslim
Kebanyakan kaum muslimin masih beranggapan kewajibannya untuk agama ini
hanyalah beramal dan beribadah (sholat, puasa dan sejenisnya). Dan itu mereka anggap sudah
cukup membuat mereka selamat menuju akhirat.
Padahal ada 4 hal yang harus dilakukan setiap muslim untuk meningkatkan kualitas
keislamannya, dimana dengannya ia selamat menuju akhirat. Tanpa menjaga 4 kewajibannya
ini maka mereka akan termasuk orang-orang yang merugi dan gagal di dunia dan akhirat.
Berikut ini kami kutip penjelasan mengenai 4 langkah yang menjadi kewajiban setiap
muslim agar kualitas iman dan keislamannya bisa terjaga kokoh dan meningkat dari hari ke
hari. Tulisan ini kami sarikan berdasarkan salah satu tulisan Abu Umamah Abdurrohim bin
Abdul Qohhar Al Atsary sesuai keterangan sumber pustaka pada catatan kaki.
Agama Islam akan bermanfaat bagi setiap muslim setelah ia menjalankan tugas yang
telah diwajibkan oleh Alloh Subhanahu wa ta’ala.
Keempat tugas dan kewajiban telah Alloh subhanahu wata’ala sebutkan dalam
firmanNya (artinya) :
“Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam keadaan merugi (celaka),
kecuali orang-orang yang beriman, beramal shalih, saling menasehati dalam kebenaran, dan
saling menasehati dalam kesabaran.” (QS, Al ‘Ashr: 1-3)
Imam As-Syafi’i berkata: “Seandainya semua manusia memikirkan apa yang ada di
dalam surat ini (surat Al ‘Ashr), sesungguhnya surat ini mencukupi mereka”. Penjelasannya
adalah bahwa martabat itu ada empat, dengan menyempurnakan keempatnya, maka
seseorang mendapatkan puncak kesempurnaannya. (seperti ditulis Imam Ibnul Qoyyim di
dalam Miftah Darus Sa’adah 1/56)(sebagai tambahan penerbit)
Kewajiban setiap muslim terhadap agamanya itu ada 4 yaitu :
1. Mempelajari Islam (Berilmu)
Allah Subhanahu wa ta’ala mewajibkan setiap muslim untuk mempelajari agamanya secara
terus-menerus, hingga akhir hayat, sebagaimana telah disabdakan Rasulullah Shalallahu
alaihi wassalam (artinya) :
“Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim”
(HR. Ibnu Majah, Abu Ya’la, Thabrani, dan Al Albany telah menshohihkannya)
Adapun diantara sebab-sebab diwajibkannya belajar agama adalah :
Kita tidak dapat menjalankan agama dengan baik dan benar kalau tidak belajar
(memahami) terlebih dahulu dengan baik apa yang akan kita amalkan. Orang yang
tidak mau atau bermalas-malasan belajar agama tidak akan mendapatkan kebaikan.
Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam bersabda (artinya) :
“Barangsiapa yang dikehendaki oleh Alloh kebaikan baginya, maka Alloh akan
mengkaruniakan kepahaman agama baginya” (HR Al Bukhori).
Al Imam Al Bukhori menafsirkan hadits ini dengan mengatakan : “Orang yang
tidak mau belajar kaidah-kaidah Islam, terhalang baginya kebaikan”
Ibadah atau amal shalih yang dicintai dan diridhoi Alloh Subhanahu wa ta’ala adalah
jika amalan itu sesuai dengan (cara dan tujuan yang dijelaskan di) Al Qur’an dan As-
Sunnah. Maka kita wajib mempelajari Al Qur’an dan As-Sunnah karena keduanya
menerangkan segala sesuatu yang dicintai dan diridhoi Alloh subhanahu wata’ala
untuk kita amalkan. Didalamnya juga diterangkan hal-hal yang dibenci dan dimurkai
oleh-Nya yang harus kita jauhi dan tinggalkan.
Rosululloh shalallahu alaihi wassalam menyampaikan pesan untuk seluruh
umat Islam, melalui sabdanya (artinya) :
“Aku tinggalkan bagi kalian dua perkara, yang kalian tidak akan tersesat selama
berpegang teguh dengan keduanya, yaitu kitabulloh dan sunnahku. Keduanya tidak
akan berpisah sampai kalian (bertemu) kembali denganku di telaga Al Haudh” (Al
Hadits, diantaranya ada dalam riwayat Hakim (I/172), dan Daruquthni(hadits no.
149), HR Imam Malik 1395 bersumber dari Umar bin Khaththab Radhiyallahu
dihasankan oleh Al-Albani di dalam kitabnya Manzilatus Sunnah fil Islam 1/18]
Alloh subhanahu wata’ala telah melarang untuk mengerjakan sesuatu yang tidak
diketahui ilmunya. Alloh subhanahu wata’ala berfirman (artinya) :
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan
tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan
diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. Al-Isra: 36)
Jadi orang Islam yang tidak mau belajar agama, dia tidak akan mengerti mana
jalan yang lurus (baik) dan mana jalan yang menyesatkan, mana yang benar dan mana
yang salah. Mereka tidak akan mengerti mana perbuatan yang dicintai Alloh dan
mana yang dibenci dan dimurkai-Nya.
Orang yang tidak mau belajar agama telah berdosa karena tidak taat kepada
Alloh subhanahu wata’ala.
Adapun ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap muslim ada tiga yaitu
mempelajari tentang Alloh subhanahu wata’ala, mempelajari tentang Nabi-Nya
shalallahu alaihi wassalam, dan mempelajari tentang agama Alloh subhanahu
wata’ala.
2. Mengamalkan Ajaran Islam
Kewajiban setiap muslim setelah mempelajari ilmu agama adalah mengamalkan
ilmunya. Orang yang belajar agama tapi tidak mengamalkannya, tidak ada gunanya dan tetap
berada dalam kesesatan dan murkan Alloh subhanahu wata’ala.
Orang yang mengerti dengan baik ajaran Islam namun tidak mengamalkannya, sangat
menyerupai orang Yahudi yang tahu kebenaran Islam tapi menyangkalnya, kemudian
dilaknat Alloh subhanahu wata’ala. Adapun orang yang mengamalkan agama tetapi tidak
diadasari ilmu yang benar, maka mereka menyerupai orang Nasrani (Kristen) yang beribadah
dengan cara yang salah, dan telah dilaknat Alloh subhanahu wata’ala.
Orang Islam wajib mempelajari agamanya dengan sebaik-baiknya, kemudian
mengamalkannya dengan cara menjalankan perintah dan menjauhi apa yang dilarangNya dan
dimurkaiNya. Mempelajari dan mengamalkan Islam merupakan jalan yang ditempuh oleh
orang-orang yang telah diberi petunjuk dan diberi nikmat oleh Alloh subhanahu wata’ala
yaitu para Nabi, shiddiqun, syuhada dan orang-orang yang sholih.
3. Mendakwahkan ajaran Islam
Kewajiban selanjutnya adalah menyampaikan dan mengajak kaum muslimin untuk
mempelajari Islam dengan baik kemudian mengamalkannya, juga mengajak orang-orang
yang diluar Islam agar memeluk agama Islam yang jelas telah diridhoi Alloh Subhanahu
wata’ala, yang akan menyelamatkan manusia di dunia dan akhirat.
Alloh subhanahu wata’ala telah menerangkan kewajiban berdakwah ini dalam
firmanNya (artinya) :
“Serulah manusia ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan peringatan yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik” (QS An Nahl : 125)
4. Bersabar dalam menjalankan kewajiban beragama
Bersabar artinya menahan hawa nafsu untuk taat dan tidak bermaksiat kepada Alloh
subhanahu wata’ala serta tidak mencela dan membenci takdir Alloh subhanahu wata’ala.
Sabar itu ada 3 macam :
1. Bersabar ketika menjalankan ketaatan kepada Alloh subhanahu wata’ala
2. Bersabar ketika menjauhi larangan dan maksiat
3. Bersabar ketika menerima ujian dan cobaan dari Alloh subhanahu wata’ala
MENJELASKAN KEPRIBADIAN ISLAM
1. KEPRIBADIAN DALAM WACANA ISLAM
Dalam Islam, istilah kepribadian (personality) dalam studi keislaman lebih dikenal
dengan term al-syakhshiyah. Syakhshiyah berasal dari kata syakhsh yang berarti “pribadi”.
Kata itu kemudian diberi ya nisbah sehingga menjadi kata benda buatan (mashdar shina’iy)
syakhshiyah yang berarti “kepribadian”.
Dalam literatur keislaman, terutama pada khazanah klasik abad pertengahan, kata
syakhshiyah(sebagai padanan dari kepribadian) kurang begitu dikenal. Terdapat beberapa
alasan mengapa term itu tidak dikenal: (1) dalam Alquran maupun al-Sunnah tidak
ditemukan term syakhshiyah, kecuali dalam beberapa hadis disebutkan term syakhs yang
berarti pribadi, bukan kepribadian;(2) dalam khazanah Islam klasik, para filusuf maupun sufi
lebih akrab menggunakan istilah akhlak. Penggunaan istilah ini karena ditopang oleh ayat
Alquran dan Hadis Rasul;(3) term syakhshiyah hakikatnya tidak dapat mewakili nilai-nilai
fundamental Islam untuk mengungkap suatu fenomena atau prilaku batihan manusia. Artinya,
term syakhshiyah yang lazim dipakai dalam Psikologi Kepribadian Barat aksentuasinya lebih
pada deskripsi karakter, sifat, atau perilaku unik individu, sementara term akhlak lebih
menekankan pada aspek penilaiannya terhadap baik-buruk suatu tingkah laku. Syakhshiyah
merupakan akhlak yang didevaluasi (tidak dinilai baik-buruknya), sementara akhlak
merupakan syakhshiyah yang dievaluasi.
Dalam literatur keislaman modern, term syakhshiyah telah banyak digunakan untuk
menggambarkan dan menilai kepribadian individu. Sebutan syakhshiyah al-muslim memiliki
arti kepribadian orang Islam. Pergeseran makna ini menunjukkan bahwa term syakhshiyah
telah menjadi kesepakatan umum untuk dijadikan sebagai padanan dari personality. Yusuf
Murad menyebut dua istilah yang terkait dengan kepribadian. Pertama, istilah al-syakhshiyah
al-iniyah atau al-syakhshiyah al-zatiyah untuk mendeskripsikan kepribadian yang tampak
dari perspektif diri sendiri; Kedua, istilah al-syakhshiyah al-maudhu’iyah atau al-
syakhshiyah al-khalq untuk mendeskripsikan kepribadian yang tampak dari perspektif orang
lain, sebab kepribadian individu menjadi objek penggambaran.
Term lain yang tidak kalah populernya adalah term akhlak. Secara etimologis, akhlak
berarti character, disposition dan moral constitution. Al-Gazali berpendapat bahwa manusia
memiliki citra lahiriah yang disebut dengan khalq, dan citra bathiniyah yang disebut dengan
khulq. Khalq merupakan citra fisik manusia, sedang khulq merupakan citra psikis manusia.
Berdasarkan kategori ini, khulq secara etimologi memiliki arti gambaran atau kondisi
kejiwaan seseorang tanpa melibatkan unsur lahirnya.
Al-Gazali lebih lanjut menjelaskan bahwa khulq adalah “suatu kondisi dalam jiwa yang
suci, dan dari kondisi itu tumbuh suatu aktivitas yang mudah dan gampang tanpa
memerlukan pemikiran dan pertimbangan terlebih dahulu”. Sedangkan Ibnu Miskawaih
mendefinisikan khulq dengan “suatu kondisi jiwa yang menyebabkan suatu aktivitas dengan
tanpa dipikirkan atau dipertimbangkan terlebih dahulu. Al-Jurjawiy mengemukakan bahwa
akhlak itu hanya mencakup kondisi batiniah, bukan kondisi lahiriah. Misalnya, orang yang
memiliki akhlak pelit bisa juga ia banyak mengeluarkan uangnya untuk kepentingan riya’,
boros, dan sombong. Sebaliknya, orang yang memiliki akhlak dermawan bisa jadi ia
menahan mengeluarkan uangnya demi kebaikan dan kemaslahatan.
Apabila maksud jiwa dalam definisi akhlak di atas mencakup psikofisik, term khulq
dapat dijadikan sebagai padanan term personality. Namun, apabila maksud jiwa sebatas pada
kondisi batin term khulq tidak dapat dijadikan padanan personality, sebab personality
mencakup kepribadian lahir dan batin. Oleh karena ambiguitas makna ini maka diperlukan
definisi lain yang dapat mengcoper hakikat khulq sesungguhnya.
Manshur Ali Rajab memberi batasan khulq dengan al-tab’u dan al-sajiyah.Tab’u
(karakter) adalah citra batin manusia yang menetap. Citra ini terdapat pada konstitusi
manusia yang diciptakan oleh Allah sejak lahir. Sedangkan sajiyah adalah kebiasaan manusia
yang berasal dari hasil integrasi antara karakter manusiawi dengan aktivitas-aktivitas yang
diusahakan. Kebiasaan ini ada yang teraktualisasi menjadi suatu tingkah laku lahiriah dan ada
juga yang masih terpendam.
Menurut Muhammad ‘Imad Al-Din Ismail, terminologi akhlak dan syakhshiyah dalam
literatur klasik digunakan secara bergantian, karena memiliki makna satu. Namun dalam
literatur modern, keduanya dibedakan karena memiliki konotasi makna. Akhlak merupakan
usaha untuk mengevaluasi kepribadian, atau evaluasi sifat-sifat umum yang terdapat pada
perilaku pribadi dari sudut baik-buruk, kuat-lemah dan mulia-rendah. Sementara syakhshiyah
tidak terkait dengan diterima atau tidaknya suatu tingkah laku, sebab di dalamnya tidak ada
unsur-unsur evaluasi.
2. STUKTUR KEPRIBADIAN DALAM ISLAM
Struktur adalah “komposisi pengaturan bagian-bagian komponen, dan susunan suatu
kompleks keseluruhan”. James P.Chaplin mendefinisikan stuktur dengan “satu organisasi
permanen, pola atau kumpulan unsur-unsur yang bersifat relatif stabil, menetap dan abadi”.
Para psikolog menggunakan istilah ini untuk menunjukkan pada proses-proses yang memiliki
stabilitas. Struktur kepribadian memiliki arti “integrasi dari sifat-sifat dan sistem-sistem yang
menyusun kepribadian”. Atau lebih tepatnya “aspek-aspek kepribadian yang bersifat relatif
stabil, menetap, dan abadi serta merupakan unsur-unsur pokok pembentukan tingkah laku
individu.”
Pada pengertian tersebut menunjukkan tiga elemen pokok, yaitu pertama, struktur
kepribadian adalah suatu komponen yang mesti ada dalam setiap pribadi, yang menentukan
konsep “kepribadian” sebenarnya; kedua, eksistensi struktur dalam kepribadian manusia
memiliki ciri relatif stabil, menetap dan abadi. Maksud dari ciri ini adalah bahwa secara
proses psikologis aspek-aspek yang terdapat pada kepribadian itu memiliki natur menetap
sesuai dengan irama dan pola perkembangannya. Secara potensial masing-masing aspek
kepribadian ini menetap dan tidak ada perubahan, tapi secara aktual aspek-aspek ini berubah
sesuai dengan lingkungan yang mempengaruhinya. Pola seperti ini merupakan ketantuan
yang ditetapkan oleh Tuhan; ketiga, kepribadian seseorang merupakan wujud konkret dan
aktualisasi dari proses integrasi sistem-sistem atau aspek-aspek struktur. Proses stuktur yang
bersifat psikologis (batiniah) terekspresi dalam pola-pola tingkah laku, seperti berpikir,
bertindak, berperasaan, dan sebagainya.
Dalam Islam, penentuan struktur kepribadian tidak dapat terlepas dari pembahasan
substansi manusia, sebab dengan pembahasan substansi tersebut dapat diketahui hakikat dan
dinamika prosesnya. Substansi manusia terdiri atas jasad dan ruh. Masing-masing aspek yang
berbeda naturnya ini pada prinsipnya saling membutuhkan. Jasad tanpa ruh merupakan
substansi yang mati, sedang ruh tanpa jasad tidak dapat teraktualisasi. Karena saling
membutuhkan, diperlukan sinergi antara keduanya, yang dalam terminologi Psikologi Islam
disebut dengan nafs.
1. Substansi Jasmani
Jasad (jisim) adalah substansi manusia yang terdiri atas struktur organisme fisik manusia
lebih sempurna dibanding dengan organisme fisik makhluk-makhluk lain. Setaip makhluk
biotik-lahiriah memiliki unsur material yang sama, yakni terbuat dari unsur tanah, api, udara,
dan air. Keempat unsur di atas merupakan materi yang abiotik (mati). Ia akan hidup jika
diberi energi kehidupan yang bersifat fisik (thaqah al-jismiyah). Energi kehidupan ini
lazimnya disebut dengan nyawa, karena nyawa manusia hidup. Ibnu Miskawih dan Abu Al-
Hasan Al-Asy’ary menyebut energi tersebut dengan al-hayah (daya hidup), sedang Al-Gazali
menyebutnya dengan al-ruh jasmaniyah (ruh material). Dengan daya ini, jasad manusia dapat
bernapas, merasakan sakit,panas-dingin, pahit-manis, haus-lapar, seks dan sebagainya. Al-
hayat berbeda dengan al-ruh, sebab ia ada sejak adanya sel kelamin, sedang al-ruh menyatu
dalam tubuh manusia setelah embrio berusia empat bulan dalam kandungan. Ruh bersifat
substansi (jauhar) yang hanya dimiliki manusia, sedang nyawa merupakan sesuatu yang baru
(‘aradh) yang juga dimiliki oleh hewan.
2. Substansi Ruhani
Ruh merupakan substansi psikis manusia yang menjadi esensi kehidupannya. Sebagian
ahli menyebut ruh sebagai badan halus (jisim lathif), ada yang substansi sederhana (jauhar
basith), dan ada juga substansi ruhani (jauhar ruhani). Ruh yang menjadi pembeda antara
esensi manusia dengan esensi makhluk lain. Ruh berbeda dengan spirit dalam terminologi
psikologi, sebab term ruh memiliki arti jauhar (subtance) sedang spirit lebih bersifat ‘aradh
(accident).
Ruh adalah substansi yang memiliki natur tersendiri. Menurut Ibnu Sina, ruh adalah
kesempurnaan awal jisim alami manusia yang tinggi yang memiliki kehidupan dengan daya.
Sedang bagi A-Farabi, ruh berasal dari alam perintah (amar) yang mempunyai sifat berbeda
dengan jasad. Hal itu dikarenakan ia dari Allah, kendatipun ia tidak sama dengan zat-Nya.
Sedang menurut Al-Gazali, ruh ini merupakan latifah (sesuatu yang halus) yang bersifat
ruhani. Ia dapat berpikir, mengingat, mengetahui dan sebagainya. Ia juga sebagai penggerak
bagi keberadaan jasad manusia. Sifatnya gaib. Sedangkan Ibnu Rusyd memandang ruh
sebagai citra kesempurnaan awal bagi jasad alami yang organik. Kesempurnaan awal ini
karena ruh dapat dibedakan dengan kesempurnaan yang lain yang merupakan pelengkap
dirinya, seperti yang terdapat pada berbagai perbuatan. Sedangkan disebut organik karena ruh
menunjukkan jasad yang terdiri dari organ-organ.
Fitrah ruh multidimensi yang tidak dibatasi ruang dan waktu. Ruh dapat keluar masuk
ke dalam tubuh manusia. Ruh hidup sebelum tubuh manusia ada (QS Al-A’raf (7):172, Al-
Ahzab(33):72). Kematian tubuh bukan berarti kematian ruh. Ruh masuk pada tubuh manusia
ketika tubuh tersebut siap menerimanya. Menurut hadis nabi, bahwa kesiapan itu ketika
manusia berusia empat bulan dalam kandungan. Pada saat inilah ruh berubah nama menjadi
al-nafs (gabungan antara ruh dan jasad).
Di alam arwah (sebelum bersatunya ruh dengan jasad), sebagaimana QS Al-
A’raf(7):172, Allah swt, telah mengadakan perjanjian primordial dengan ruh,yang mana
perjanjian itu merupakan natur aslinya.
Pembahasan tentang ruh dibagi menjadi dua bagian: pertama, ruh yang berhubungan
dengan zatnya sendiri; dan kedua, ruh yang berhubungan dengan badan jasmani. Ruh yang
pertama disebut dengan al-munazzalah, sedang yang kedua disebut dengan al-garizah, atau
disebut dengan nafsaniah. Ruh al-munazzalah berkaitan dengan esensi asli ruh yang
diturunkan atau diberikan secara langsung dari Allah swt. kepada manusia. Ruh ini esensinya
tidak berubah, sebab jika berubah berarti berubah pula eksistensi manusia.
3. Substansi Nafsani
Nafs dalam khazanah Islam memiliki banyak pengertian. Nafs dapat berarti jiwa, nyawa,
ruh, konasi yang berdaya syahwat dan gadhab, kepribadian,dan substansi psikofisik manusia.
Maksud nafs dalam bahasan ini adalah dalam pengertian yang terakhir. Pada substansi nafs
ini, komponen jasad dan ruh bergabung. Nafs adalah potensi jasad-ruhani (psikofisik)
manusia yang secara inhern telah ada sejak manusia siap menerimanya. Potensi ini terikat
dengan hukum yang bersifat jasadi-ruhani. Semua potensi yang terdapat pada nafs bersifat
potensial, tetapi dapat aktual jika manusia mengupayakan.
Substansi nafs memiliki potensi garizah. Jika potensi garizah ini dikaitkan dengan
substansi jasad dan ruh, dapat dibagi menjadi tiga bagian;(1) al-qalb yang berhubungan
dengan rasa atau emosi;(2) al-aql yang berhubungan dengan cipta atau kognisi; dan (3) daya
al-nafs yang berhubungan dengan karsa atau konasi. Ketiga potensi tersebut merupakan
subsistem nafs manusia yang dapat membentuk kepribadian.
a. Qalbu
Qalbu merupakan materi organik yang memiliki sistem kognisi yang berdaya emosi. Al-
Gazali secara tegas melihat qalbu dari dua aspek, yaitu qalbu jasmani dan qalbu ruhani.
Qalbu jasmani adalah daging sanubari yang berbentuk seperti jantung pisang yang terletak di
dalam dada sebelah kiri. Qalbu ini lazimnya disebut jantung (heart). Sedangkan qalbu ruhani
adalah sesuatu yang bersifat halus (lathif), rabbani, dan ruhani yang berhubungan dengan
qalbu jasmani. Bagian ini merupakan esensi manusia. Al-Gazali berpendapat bahwa qalbu ini
memiliki insting yang disebut dengan al-nur al-ilahiy(cahaya ketuhanan) dan al-bashirah al-
batinah (mata batin) yang memancarkan keimanan dan keyakinan.
b. Akal
Secara etimologi, akal memiliki arti al-imsak (menahan), al-ribath (ikatan), al-hajr
(menahan), al-nahy (melarang), dan man’u (mencegah). Berdasarkan makna bahasa ini maka
yang disebut orang yang berakal (al-‘aqil) adalah orang yang mampu menahan dan mengikat
hawa nafsunya. Jika hawa nafsunya terikat jiwa rasionalitasnya mampu bereksistensi.
Akal merupakan organ tubuh yang terletak di kepala (lazimnya disebut dengan otak (al-
dimagh) yang memiliki cahaya (al-nur) nurani dan dipersiapkan dan mampu memperoleh
pengetahuan (al-ma’rifah) dan kognisi (al-mudrikat). Akal juga diartikan sebagai enegi yang
mampu memperoleh, menyimpan dan mengeluarkan pengetahuan. Akal mampu
mengantarkan manusia pada substansi humanistik (zat insaniyah). Atau potensi fitriah yang
memiliki daya-daya pembeda antara hal-hal yang baik dan yang buruk, yang berguna dan
yang membahayakan. Pengertian di atas dapat dipahami bahwa akal merupakan daya berpikir
manusia untuk memperoleh pengetahuan yang bersifat rasional dan dapat menentukan
eksistensi manusia.
c. Nafsu
Nafsu adalah daya nafsani yang memilliki dua kekuatan, yaitu kekuatan al-ghadhabiyah
dan al-syahwaniyah. Al-ghadhab adalah suatu daya yang berpotensi untuk menghindari diri
dari segala yang membahayakan. Ghadhab dalam terminologi psikoanalisa disebut dengan
defence (pertahanan, pembelaan dan penjagaan), yaitu tingkah laku yang berusaha membela
atau melindungi ego terhadap kesalahan, kecemasan, dan rasa malu; perbuatan untuk
melindungi diri sendiri dan memanfaatkan dan merasionalisasikan perbuatannya sendiri. Al-
syahwat adalah suatu daya yang berpotensi untuk menginduksi diri dari segala yang
menyenangkan. Syahwat dalam terminologi psikologi disebut dengan appetite, yaitu suatu
hasrat (keinginan, birahi, hawa nafsu), motif atau impuls berdasarkan perubahan fisiologi.
Prinsip kerja nafsu mengikuti prinsip kenikmatan (pleasure principle) dan berusaha
mengumbar impuls-impuls primitifnya. Apabila impuls-impuls ini tidak terpenuhi maka
terjadi ketegangan diri. Prinsip kerja nafsu ini memiliki kesamaan dengan prinsip kerja jiwa
binatang, baik binatang buas (al-subu’iyah), maupun binatang jinak (al-bahimiyah). Binatang
buas memiliki impuls agresif (menyerang), sedangkan binatang jinak memiliki impuls
seksual. Oleh karena prinsip inilah maka nafsu disebut juga fithrah hayawaniyah.
Nafsu dalam terminologi psikologi lebih dikenal dengan sebuah konasi (daya karsa).
Konasi (kemauan) adalah bereaksi, berbuat, berusaha, berkemauan, dan berkehendak. Aspek
konasi kepribadian ditandai dengan tingkah laku yang bertujuan dan impuls untuk berbuat.
Nafsu menunjukkan struktur di bawah-sadar dari kepribdian manusia. Apabila manusia
mengumbar dominasi nafsunya maka kepribadiannya tidak akan mampu bereksistensi, baik
di dunia apalagi di akhirat. Manusia model ini memiliki kedudukan sama dengan binatang
bahkan lebih hina (Q.S Al-A’raf [7]:179).
Melalui pemetaan di atas, struktur kejiwaan manusia (nafsani) bersumber dari peran-
peran ruh dan jasad, dengan berbagai naturnya. Tingkatan kepribadian manusia sangat
tergantung kepada substansi mana yang lebih dominan menguasai dirinya.
3. DINAMIKA KEPRIBADIAN ISLAM
Berdasarkan struktur di atas, kepribadian dalam Psikologi Islam adalah “integrasi sistem
kalbu, akal,dan nafsu manusia yang menimbulkan tingkah laku”. Meskipun defenisi ini amat
sederhana, namun memiliki konsep yang mendalam.
Substansi nafsani manusia memiliki tiga daya, yaitu; (1) kalbu (fitrah ilahiyah) sebagai
aspek supra-kesadaran manusia yang memiliki daya emosi (rasa); (2) akal (fitrah insaniyah)
sebagai aspek kesadaran manusia yang memiliki daya kognisi (cipta); dan (3) nafsu ( fitrah
hayawaniyah) sebagai aspek pra atau bawah-kesadaran manusia yang memiliki daya konasi
(karsa). Ketiga komponen nafsani ini berintegrasi untuk mewujudkan suatu tingkah laku.
Kalbu memiliki kecenderungan natur ruh, nafs (daya syahwat dan gadhab) memiliki
kecenderungan pada natur jasad, sedang akal memiliki kecenderungan antara ruh dan jasad.
Dari sudut tingkatannya, kepribadian itu merupakan integrasi dari aspek-aspek supra-
kesadaran (fitrah ketuhanan), kesadaran (fitrah kemanusiaan), dan pra atau bawah-kesadaran
(fitrah kebinatangan). Sedang dari sudut fungsinya, kepribadian merupakan integrasi dari
daya-daya emosi, kognisi, dan konasi, yang terwujud dalam tingkah laku luar (berjalan,
berbicara, dan sebagainya) maupun tingkah laku dalam (pikiran, perasaan, dan sebagainya).
1. Kepribadian Ammarah (nafs al-ammarah)
Kepribadian ammarah adalah kepribadian yang cenderung pada tabiat jasad dan
mengejar pada prinsip-prinsip kenikmatan. Ia menarik kalbu manusia untuk melakukan
perbuatan-perbuatan yang rendah sesuai dengan naluri primitifnya, sehingga ia merupakan
tempat dan sumber kejelekan dan tingkah laku yang tercela.
Firman Allah swt:ان النفس ألمارة بالسوء اال ما رحم ربى“Sesungguhnya nafsu itu selalu menyerukan pada perbuatan buruk, kecuali nafsu yang
diberi rahmat oleh Tuhanku (QS. Yusuf:53)”
Kepribadian ammarah adalah kepribadian di bawah sadar manusia. Barangsiapa yang
berkepribadian ini maka sesungguhnya ia tidak lagi memiliki identitas manusia, sebab sifat-
sifat humanitasnya telah hilang. Kepribadian model ini rela menurunkan derajat asli manusia.
Manusia yang berkepribadian ammarah tidak saja dapat merusak dirinya sendiri, tetapi juga
merusak diri orang lain. Keberadaannya ditentukan oleh dua daya, yaitu (1) daya syahwat
yang selalu menginginkan birahi, kesukaan diri, ingin tahu dan campur tangan urusan orang
lain, dan sebagainya; (2) daya gadhab yang selalu menginginkan tamak, serakah, mencekal,
berkelahi, ingin menguasai yang lain, keras kepala, sombong, angkuh, dan sebagainya. Jadi
orentasi kepribadian ammarah adalah mengikuti sifat-sifat binatang.
2. Kepribadian lawwamah (nafs al-lawwamah)
Kepribadian lawwamah adalah kepribadian yang telah memperoleh cahaya kalbu, lalu ia
bangkit untuk memperbaiki kebimbangannya antara dua hal. Dalam upayanya itu kadang-
kadang tumbuh perbuatan yang buruk yang disebabkan oleh watak zulmaniyah (gelap)-nya
namun kemudian ia di diingatkan oleh nur ilahi, sehingga ia mencela perbuatannya dan
selanjutnya ia bertaubat dan beristigfar. Hal itu dapat dipahami bahwa kepribadian
lawwamah berada dalam kebimbangan antara kepribadian ammarah dan kepribadian
muthmainnah Firman Allah swt:
وال اقسم بالنفس اللوامة
“Dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali ( QS.al-Qiyamah:2)
Kepribadian lawwamah merupakan kepribadian yang didominasi oleh komponen akal.
Sebagai komponen yang bernatur insaniah, akal mengikuti prinsip kerja rasionalistik dan
realistik yang membawa manusia pada tingkat kesadaran. Apabila sistem kendalinya
berfungsi maka ia mampu mencapai puncaknya seperti berpaham rasionalisme. Rasionalisme
banyak dikembangkan oleh kaum humanis yang mengorentasikan pola pikirnya pada
kekuatan serba manusia, sehingga sifatnya antroposentris.
Oleh karena kedudukan yang tidak stabil ini maka Ibnu Qayyim al-Jauziyah membagi
kepribadian lawwamah menjadi dua bagian, yaitu: (1) Kepribadian lawwamah malumah,
yaitu kepribadian lawwamah yang bodoh dan zalim; (2) Kepribadian lawwamah ghayr
malumah, yaitu kepribadian yang mencela atas perbuatannya yang buruk dan berusaha untuk
memperbaikinya.
3. Kepribadian Muthmainnah (nafs al-Muthmainnah)
Kepribadian muthmainnah adalah kepribadian yang telah diberi kesempurnaan nur
kalbu, sehingga dapat meninggalkan sifat-sifat tercela dan tumbuh sifat-sifat yang baik.
Kepribadian ini selalu berorentasi ke komponen kalbu untuk mendapatkan kesucian dan
menghilangkan segala kotoran, sehingga dirinya menjadi tenang. Begitu tenangnya
kepribadian ini sehingga ia dipanggil oleh Allah swt:
ياأيتهاالنفس المطمئنة-ارجعى الى ربك راضية مرضية Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya
(QS.al-Fajr: 27-28)
Kepribadian mutmainnah bersumber dari kalbu manusia. Sebab hanya kalbu yang
mampu merasakan tuma’ninah (QS.Al-Ra’d:28), sebagai komponen yang bernatur ilahiah,
kalbu selalu cenderung pada ketenangan dalam beribadah, mencintai, bertaubat, bertawakkal,
dan mencari ridha Allah swt. Orientasi kepribadian ini adalah teosentris (QS.al-Nazi’at: 40-
41).
Kepribadian mutmainnah merupakan kepribadian atas-sadar atau supra-kesadaran
manusia. Dikatakan demikian sebab kepribadian ini merasa tenang dalam menerima
keyakinan fitriah. Keyakinan fitriah adalah keyakinan yang dihujamkan pada ruh manusia
(fitrah al-munazzalah) di alam arwah dan kemudian dilegitimasi oleh wahyu ilahi.
Penerimaan ini tidak bimbang apalagi ragu-ragu seperti yang dialami oleh kepribadian
lawwamah, tetapi penuh keyakinan. Oleh sebab itu ia terbiasa menggunakan metode zawq
(cita-rasa) dan ‘ain albashirah (mata batin) dalam menerima sesuatu sehingga ia mersa yakin
dan tenang. Al-Gazali menyatakan bahwa daya kalbu (yang mendominasi kepribadian
mutmainnah) mampu mencapai pengetahuan (ma’rifah) melalui daya cita-rasa (zawq) dan
kasyf (terbukanya tabir misteri yang menghalangi penglihatan batin manusia)
Kepribadian mutmainnah berbentuk enam kompotensi keimanan,lima kompotensi
keislaman, dan multi kompotensi keihsanan. Aktualisasi bentuk-bentuk ini dimotivasi oleh
energi psikis yang disebut dengan amanah yang dihujamkan Allah swt. Di alam arwah (ruh
al-Munazzalah). Realisasi amanah selain berfungsi memenuhi kebutuhan juga melaksanakan
kewajiban jiwa. Dikatakan kebutuhan sebab jika tidak direalisasikan maka mengakibatkan
kecemasan, kegelisahan, dan ketegangan, dan dikatakan kewajiban sebab pelaksanaannya
telah diatur sedemikian rupa oleh Tuhan.