Memberi Kesempatan Jokowi Presiden, Memberi Kesempatan Reformasi Bergulir Kembali

Embed Size (px)

Citation preview

Memberi Kesempatan Jokowi Presiden = Memberi Kesempatan Reformasi Bergulir Kembali.docx

MEMBERI KESEMPATAN JOKOWI PRESIDEN = MEMBERI KESEMPATAN REFORMASI BERGULIR KEMBALI

Memberi kesempatan bagi Jokowi memimpin Pemerintahan RI mulai 2014 adalah memberi kesempatan Reformasi kembali berjalan. Gerbong Reformasi sempat dianggap tidak berjalan, dan karenanya sekarang ini adalah momentum Jokowi berperan sebagai masinisnya.

Berikut ini alasan-alasan:

Alasan pertama adalah bahwa, bangsa ini harus memiliki pemimpin yang tepat dan budaya yang tepat untuk keluar dari carut marut bangsa belakangan ini. Mungkin terlalu besar kalau budaya itu mencakup keseluruhan 240an juta manusia Indonesia. Budaya yang dimaksudkan dibatasi hanya pada budaya kerja Pemerintah.

Dengan mengambil contoh Pemda DKI dalam satu setengah tahun terakhir ini, perbedaan yang dapat dilihat dan dirasakan masyarakat adalah, perilaku pegawai kantor kelurahan yang kini menjadi lebih siap melayani. Dinas yang berhubungan dengan perbaikan jalan berlubang karena hujan, cepat bekerja di malam hari, sehingga paginya masyarakat melintas di jalan itu tanpa tersendat oleh petugas yang memperbaiki jalan.

Itu dua contoh perubahan perilaku yang langsung berkenaan dengan pelayanan masyarakat. Kabarnya, masih banyak yang harus dibenahi. Tentu saja mengubah budaya kerja seluruh Pegawai Pemda dari bersikap bossy kepada warga masyarakat menjadi berorientasi abdi negara bagi warga masyarakat, membutuhkan waktu lama. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa perubahan perilaku warga sebuah organisasi itu melalui 5 tahap: DipaksaTerpaksaBisaBiasaBudaya. Artinya, harus dimulai dulu dari pemaksaan, melalui sistem yang lama-lama itu, menjadi kebiasaan yang tak perlu dipaksa-paksa, sehingga akhirnya menjadi budaya.

Jokowi masuk ke Pemda DKI dengan membawa aura kepemimpinan yang baru. Dia juga membawa cara yang sebetulnya tidak baru bagi dunia manajemen, blusukan. Dalam manajemen itu dikenal sebagai genba genbutsu dalam bahasa Jepang atau hands-on management dalam bahasa Inggris. Terlalu panjang kalau dibahas di sini apa arti keduanya. Singkat kata, blusukan itu adalah metode untuk memastikan bahwa, apa yang diputuskan sebagai kebijakan atau keputusan di meja pimpinan, memang benar-benar sampai ke garis depan, frontline. Garis depan Gub DKI itu bisa berupa drainase, waduk, pasar, kaki lima, halte, kantor kelurahan, kantor pelayanan, dan seterusnya. Di garis depan itulah tempat terjadinya apa yang disebut the moment of truth, yaitu tempat bersentuhannya buah karya Pemda DKI dengan warga masyarakat.

Mungkin Anda bertanya, "masak drainase itu termasuk the moment of truth"? Tentu saja termasuk, karena warga yang tak bisa melintas di jalan yang tergenang air, berarti buah karya Pemda DKI gagal.

Muncul sebuah kritik kalau nanti jadi Presiden, bagaimana mau blusukan ke seluruh Indonesia? Habis dong waktunya cuma buat terbang terus. Tentu naif kalau kita mengasumsikan Jokowi akan blusukan seperti saat ia menjadi Gubernur. Blusukannya nanti mungkin kebanyakan akan dilakukan di Jakarta dan sesekali saja di luar Jakarta. Mungkin saja Jokowi tiba-tiba muncul di salah satu kantor Kementerian. Dia akan blusukan ke ruang kerja Eselon II atau Eselon III atau bahkan bisa juga ke Eselon IV. Di tingkat itulah sebuah policy Pemerintah Pusat akan terbukti dijalankan atau tidak. Itu salah satu cara blusukan seorang Presiden. Tentu sebelumnya dia akan beritahu sang Menteri terkait bahwa, dia akan tiba-tiba kunjungan on-the-spot pada jajarannya.

Itu adalah alasan yang pertama, alasan pemimpin yang tepat dan perubahan budaya kerja Pemerintah. Persisnya: Jokowi adalah pemimpin yang tepat untuk menghela perubahan budaya perilaku aparat Pemerintah, untuk berorientasi mendahulukan kepentingan masyarakat luas, bukannya segolongan orang saja. Apalagi kepentingan pribadi.

Alasan kedua adalah, saat ini adalah saatnya diperlukan pemimpin yang mampu mengeksekusi. Masyarakat seringkali mencampur-adukkan antara kemampuan orasi dan kemampuan eksekusi. Jeffrey Pfeffer dan Robert Sutton dalam buku mereka, Knowing-Doing Gap, bahkan memperluas lagi. Mereka mengatakan, orang seringkali keliru dengan mencampur-adukkan antara strategi yang hebat dalam kata-kata dan eksekusi yang berhasil dijalankan. Itulah sebabnya, mengapa Sutiyoso terlihat lebih hebat daripada Jokowi di mata seorang Anggota DPRD yang mengatakan pada Oktober 2013: hanya Kampung Deret yang murni berasal dari ide pemikiran Gubernur [Jokowi]. Selebihnya, Jokowi hanya melanjutkan ide pemimpin sebelumnya Pembebasan waduk, SK-nya dari zaman Sutiyoso. Yang desain Jakarta ke depan itu Sutiyoso, seperti busway, monorel, waterway, semua ada di bukunya Sutiyoso.

Padahal, justru terlihat bahwa, upaya membuat proyek TransJakarta (busway) terus dilakukan sampai-sampai Wagubnya, Basuki TP, marah-marah, karena bawahannya dianggap mengada-ada saat menolak sumbangan bis berbahan bakar solar. Monorel sempat digerakkan Jokowi, meski kembali tersendat karena faktor di luar kuasanya. Proyek MRT yang tak bisa digerakkan oleh Sutiyoso dalam masa jabatannya yang 10 tahun, oleh Jokowi bisa digerakkan kurang dari satu tahun masa jabatannya. Bukankah Jokowi pemimpin yang bisa menggerakkan mesin birokrasi? Untuk saat ini, rakyat Indonesia memerlukan pemimpin yang bisa menggerakkan mesin birokrasi itu untuk kemaslahatan rakyat.

Alasan ketiga adalah potensi yang ada pada diri seorang Jokowi. Sebagian orang menjadikan masih singkatnya Jokowi menjabat Gubernur DKI saat dicapreskan sebagai alasan belum cukup memadai sebagai barometer kemampuannya menjadi Presiden. Ir Soekarno belum pernah jadi Walikota atau Gubernur saat menjadi Presiden. Mayor Jendral Soeharto belum pernah menjadi Walikota atau Gubernur saat menjadi Presiden. Dr Ing BJ Habibie belum pernah jadi Walikota dan Gubernur saat menjadi Presiden. Cukup ajukan saja sebuah hasil survei sebagai argumentasi potensi.

Dari sebuah survei yang dilakukan oleh Pol-Tracking Institute, disebutkan Jusuf Kalla adalah kandidat capres yang mendapatkan nilai tertinggi yaitu 7,70 dari para 330 responden, yang kesemuanya adalah profesor. Disusul oleh Jokowi dengan skor yang selisih 0,04 saja di bawahnya. Baru Mahfud MD dengan selisih 0,11 dibawah Jokowi. Tokoh keempat adalah Wiranto dengan selisih angka 0,46 dibawah Mahfud MD.

Dengan memperhatikan ada tujuh aspek yang dinilai, dan dengan skor yang praktis sama dengan Jusuf Kalla (7,70 dan 7,66), dapat dikatakan, tidak perlu diragukan lagi potensi Jokowi memimpin Pemerintahan RI mulai 2014. Ketujuh aspek itu adalah: 1. Integritas, 2. Visi dan gagasan, 3. Leadership dan keberanian pengambilan keputusan, 4. Kompetensi dan kapabilitas, 5. Pengalaman dan prestasi kepemimpinan, 6. Kemampuan memimpin pemerintahan dan negara, 7. Kemampuan memimpin koalisi partai politik di pemerintahan.

Alasan keempat adalah, keberatan-keberatan masyarakat yang semestinya tidak perlu ada. Termasuk di sini adalah kritik-kritik sebagian masyarakat. Keberatan-keberatan itu adalah:

Jokowi berkhianat, karena setelah terpilih sebagai Gubernur Jokowi justru akan meninggalkan tugasnya di tengah jalan. Ada janji-janji yang, kata salah seorang calon penggugat, belum direalisasi atau bahkan belum dimulai direalisasi sama sekali hingga saat ini. Janji-janji itu antara lain: membenahi birokrasi agar pemerintahan berjalan bersih, transparan dan profesional, janji membangun Mal PKL, ruang publik dan revitalisasi pasar tradisional sehingga tidak mengganggu pengguna jalan, janji membangun kebudayaan warga kota berbasis komunitas, janji merevitalisasi dan melengkapi fasilitas kawasan Old Batavia. Belum lagi dua permasalahan paling serius di DKI Jakarta yaitu banjir dan macet.

Jawabannya adalah:

Tentang berkhianat, apakah Jokowi betul berkhianat, jika sebagian rakyat Jakarta rela melepas Jokowi mengurus bangsa dan sebagian rakyat di luar Jakarta juga mendukung pencapresannya?! Sewaktu Alex Nurdin maju bersaing utk menjadi Gubernur DKI, padahal dia masih menjabat sebagai Gubernur Sumsel tidak ada yang menyebut berkhianat?

Tentang janji, calon penggugat itu tidak menyadari bahwa, untuk mengerjakan itu semua dibutuhkan waktu. Apakah lima tahun (sesuai satu kali masa jabatan) itu cukup? Jika cukup, mengapa Gubernur sebelumnya yang menjabat lima tahun seperti tidak melakukan apa-apa? Jika gubernur-gubernur sebelumnya melakukan pekerjaan mereka, maka tidak akan sebanyak itu daftar masalah yang harus ditangani Jokowi.

Jokowi tidak punya misi-visi.

Jawabannya adalah:

Misi dan visi tidak harus ditulis dan diucapkan di depan umum, kecuali pada tempatnya. Pada tempatnya itu misalny,a forum debat atau forum terbatas atau forum diskusi. Selain itu, misi/visi tidak harus ditulis panjang lebar, dengan kata-kata atau jargon yang aduhai. Misi/visi terkadang bisa dibaca indikasinya. Contoh: Jakarta Kartu Pintar dan Kartu Sehat adalah contoh tindakan yang berasal dari adanya misi/visi. Tak terlihat misi/visinya tapi terasakan manfaat langsungnya oleh masyarakat.

Jokowi ambisius yang berpura-pura tidak ambisius. Sampai ada sindiran di kalangan masyarakat: yang ambisi tuh bu Mega atau bapak sendiri?!

Jawabannya adalah:

Ada orang-orang yang tidak menyadari bahwa, saat Jokowi mengatakan tidak mikir saat ditanya wartawan pendapatnya tentang wacana pencapresan, itu sebenarnya justru etis. Tidak mikir itu adalah cara dia untuk menyatakan no comment. Itulah cara Jawa yang halus. Hanya saja orang menafsirkan berbeda sesuai dengan sisi kebutuhannya masing-masing.

Jokowi capres boneka.

Jawabannya adalah:

Inilah saatnya kita memberi kepercayaan pada seseorang yang terbukti berintegritas dan mumpuni (capable) memimpin. Seorang pemimpin yang memiliki kelengkapan karakteristik kepemimpinan, tidak akan membiarkan dirinya menjadi yes-man, meskipun kepada orang besar pemimpin partai yang telah berjasa mengantarkannya ke kursi paling penting di negara ini (jika kelak dia terpilih sebagai Presiden). Apakah Ketua Umum partai yang mencapreskannya itu sebegitu bodohnya, tidak belajar dari pengalaman menjadi Presiden, sehingga dia akan mengatur-atur [Presiden] Joko Widodo? Saatnya kita menaruh trust, kepercayaan, pada sang Ketua Umum partai tersebut bahwa, Megawati tidak akan mengatur-atur Jokowi, yang nantinya kelak disebut resmi Presiden Joko Widodo, jika terpilih.

Kekhawatiran bahwa Wagub DKI yang nonMuslim akan menduduki kursi Gubernur DKI dan memimpin umat Islam DKI kalau Jokowi tetap maju sebagai Capres dan jika terpilih.

Jawabannya adalah:

Republik Indonesia bukanlah negara agama. Jakarta bukanlah Aceh. Dengan dua hal ini, sebenarnya secara legal formal, Basuki Tjahaya Purnama sah dan etis menjadi Gubernur DKI.

Sekarang tentang makna kata Reformasi. Kita tidak perlu memiliki definisi kata Reformasi di sini, apalagi dengan jargon-jargon indah yang membuat perasaan wah hanya beberapa menit. Cukuplah kita katakan, Reformasi berkenaan dengan upaya orang-orang di badan legislatif, badan eksekutif dan badan yudikatif membawa bangsa ini keluar dari carut marut politik, carut marut sosial, carut marut ekonomi, dan dari carut marut di aspek kehidupan lainnya, untuk lima-sepuluh tahun ke depan. Program pemberantasan korupsi adalah satu saja dari sekian banyak upaya, untuk membawa bangsa ini keluar dari beragam carut marutnya. Terlalu banyak program untuk disebutkan di sini.

Kita sudah terlalu banyak bicara dan lupa berbuat. Kini saatnya memberi kesempatan pada Jokowi untuk memimpin bangsa ini untuk bertindak nyata.

Sumber : Facebook

Bagi penulis bila membaca tulisan ini mohon email kami untuk kami tambahkan bahwa ini tulisan anda.

Salam

#JKW4P 6