31
1 PENDIDIKAN TEOLOGI INKLUSIF; KONSEP DAN APLIKASI 1 Oleh: Dr. H. Zainuddin Syarif, M.Ag 2 Abstrak Pendidikan teologi inklusif adalah proses internalisasi kesadaran berteologi bagi setiap siswa di sekolah agar mengetahui akan sifat dasar suci (fitrah) yang sudah tertanam dalam hati setiap manusia. Karena dalam realitasnya, terdapat ribuan agama, budaya, bahasa di dunia. Maka agama- agama yang sudah diakui secara resmi saja kita melihat keragaman yang luar biasa, apalagi jika kita melihat cara setiap orang menjalankan agamanya. Pertama, pendekatan teologi pluralistik. Tugas utama dalam efektivitas belajar-mengajar adalah bagaimana menanamkan kesadaran akan arti perbedaan kepada peserta didik. Perbedaan bukan untuk melahirkan pertentangan dan konflik, malainkan sebagai jembatan yang mengantarkan pada sebuah kerangka kerja yang menguntungkan semua pihak. Secara ideal muatan materi teologi pluralistik bertujuan untuk menggugah dan menggelar kesadaran kultural dan kesempatan yang sama untuk belajar bagi semua individu (peserta didik) dan kelompok masyarakat, sekaligus memberikan dorongan akan “kesatuan” melalui keragaman dan perbedaan. Kedua, pendekatan spritual. Muatan materi memperhatikan perpaduan antara tubuh dan jiwa. Harus disadari bahwa hal-hal yang bersifat fisik akan sangat mempengaruhi psikis, seperti, persepsi, kognisi, kensepsi diri dan sebagainya. muatana materi meliputi aspek kemampuan yang di memiliki oleh Manusia yang hampir tak terbatas. Tubuh dan jiwa manusia dapat berkembang jauh melebihi dari apa yang kita bayangkan. Pendidikan harus berusaha mengoptimalkan seluruh potensi ini. Ketiga, pendekatan tauhid sosial. Adanya fenomena banyak agama merupakan fakta dan realitas yang dihadapi manusia modern. Manusia modern harus didorong menuju kesadaran saling tolong menolong antara sesama manusia memang sungguh-sungguh fitrah kehidupan manusia meskipun berbeda pandangan dalam keyakinan. Mendorong setiap orang untuk dapat menghargai dalam pilihan keyakinan dan berintraksi dengan saling tolong menolong antara sesama manusia adalah sangat penting dilakukan, terutama sekali di negara Indonesia yang pluralistik ini. 1 Dipresentasikan pada forum The Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) ke 15. Direktorat Pendidikan Tinggi Islam, Ditjen Pendidikan Islam, Departemen Agama RI di Hotel Sintesa Panensula Manado pada 3-6 September 2015 2 Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pamekasan. Pendiri sekaligus Pembina Studi Riset Pengembangan Madura (SRPM)

memberikan dorongan akan “kesatuan” melalui keragaman …stainpamekasan.ac.id/media/pdf/Makalah Aicis 2015 Zainuddin Syarif.… · Agustus 2012.4 Pengusiran atas Warga Ahmadiyah

  • Upload
    vuthuy

  • View
    222

  • Download
    1

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: memberikan dorongan akan “kesatuan” melalui keragaman …stainpamekasan.ac.id/media/pdf/Makalah Aicis 2015 Zainuddin Syarif.… · Agustus 2012.4 Pengusiran atas Warga Ahmadiyah

1

PENDIDIKAN TEOLOGI INKLUSIF; KONSEP DAN APLIKASI1

Oleh: Dr. H. Zainuddin Syarif, M.Ag2

Abstrak

Pendidikan teologi inklusif adalah proses internalisasi kesadaranberteologi bagi setiap siswa di sekolah agar mengetahui akan sifat dasarsuci (fitrah) yang sudah tertanam dalam hati setiap manusia. Karena dalamrealitasnya, terdapat ribuan agama, budaya, bahasa di dunia. Maka agama-agama yang sudah diakui secara resmi saja kita melihat keragaman yangluar biasa, apalagi jika kita melihat cara setiap orang menjalankanagamanya.

Pertama, pendekatan teologi pluralistik. Tugas utama dalam efektivitasbelajar-mengajar adalah bagaimana menanamkan kesadaran akan artiperbedaan kepada peserta didik. Perbedaan bukan untuk melahirkanpertentangan dan konflik, malainkan sebagai jembatan yang mengantarkanpada sebuah kerangka kerja yang menguntungkan semua pihak. Secaraideal muatan materi teologi pluralistik bertujuan untuk menggugah danmenggelar kesadaran kultural dan kesempatan yang sama untuk belajar bagisemua individu (peserta didik) dan kelompok masyarakat, sekaligusmemberikan dorongan akan “kesatuan” melalui keragaman dan perbedaan.

Kedua, pendekatan spritual. Muatan materi memperhatikan perpaduanantara tubuh dan jiwa. Harus disadari bahwa hal-hal yang bersifat fisik akansangat mempengaruhi psikis, seperti, persepsi, kognisi, kensepsi diri dansebagainya. muatana materi meliputi aspek kemampuan yang di memilikioleh Manusia yang hampir tak terbatas. Tubuh dan jiwa manusia dapatberkembang jauh melebihi dari apa yang kita bayangkan. Pendidikan harusberusaha mengoptimalkan seluruh potensi ini.

Ketiga, pendekatan tauhid sosial. Adanya fenomena banyak agamamerupakan fakta dan realitas yang dihadapi manusia modern. Manusiamodern harus didorong menuju kesadaran saling tolong menolong antarasesama manusia memang sungguh-sungguh fitrah kehidupan manusiameskipun berbeda pandangan dalam keyakinan. Mendorong setiap oranguntuk dapat menghargai dalam pilihan keyakinan dan berintraksi dengansaling tolong menolong antara sesama manusia adalah sangat pentingdilakukan, terutama sekali di negara Indonesia yang pluralistik ini.

1 Dipresentasikan pada forum The Annual International Conference on Islamic Studies(AICIS) ke 15. Direktorat Pendidikan Tinggi Islam, Ditjen Pendidikan Islam, DepartemenAgama RI di Hotel Sintesa Panensula Manado pada 3-6 September 2015

2 Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pamekasan. Pendiri sekaligusPembina Studi Riset Pengembangan Madura (SRPM)

Page 2: memberikan dorongan akan “kesatuan” melalui keragaman …stainpamekasan.ac.id/media/pdf/Makalah Aicis 2015 Zainuddin Syarif.… · Agustus 2012.4 Pengusiran atas Warga Ahmadiyah

2

A. Pendahuluan

Diakui atau tidak, adanya keanekaragaman tidak jarang menyebabkan

dampak negatif sehingga memunculkan adanya fanatisme pada kelompok

tertentu bahkan hingga menyebabkan kerusuhan di beberapa daerah. Sejarah

mencatat, mulai dari pembantaian terhadap pengikut Partai Komunis

Indonesia (PKI) tahun 1998, pembantaian etnis China di Jakarta tahun 1998,

perang antara umat Islam dan Kristen di Maluku Utara tahun 1999-2003,

perang etnis antara suku Dayak dan Madura tahun 2000.3 Bahkan akhir-akhir

ini, konflik-konflik serupa seringkali mewarnai dalam hiruk pikuk kehidupan

umat Indonesia, seperti kerusuhan Sunni-Syiah di Sampang Madura 28

Agustus 2012.4 Pengusiran atas Warga Ahmadiyah di Lombok, dan

munculnya Isu Radikalisme dan Fundamentalisme Agama.5 Yang sangat

terbaru adalah Tragedi pembakaran Masjid di Tolikara (17/7/2015), kejadian

3 H.A.R Tilaar, Multikulturalisme; Tantangan-Tantangan Global Masa Depan dalamTransformasi Pendidikan Nasional (Jakarta: Grasindo, 2004), hlm. 53

4 Bisa dikroscek; “Ini Kronologi Pengusiran Warga Syiah di Sampang” di webhttp://surabaya.okezone.com/read/2013/06/21/521/825293/redirect. Diakses pada Jam, 09.30 AM,tanggal; 10/07/2014.

5 Radikalisme merupakan gerakan bertradisikan pemahaman fundamental akaninterpretasi sosio-religius (mazhab) yang menjadikan islam sebagai agama dan ideology, sehinggayang dikembangkan di dalamnya tidak hanya dokrin teologis, akan tetapi doktrin-doktrinideologis. Pandangan Martin E Marty yang telah dimodifikasi oleh Azzumardi Azra, bahwabeberapa prinsip-prinsip fundamentalime Agama sebagai berikut. Pertama, oposisionalisme.Fundamentalisme dalam agama manapun mengambil perlawanan yang sering melakukankekerasan terhadap ancaman yang dipandang akan membahayakan eksistensi agama, baik yangbebentuk modernitas, sekularisasi maupun tata nilai baru. Kedua, penolakan terhadap pluralismedan relativisme. Bagi kaum radikalisme, pluralisme merupakan pemahaman yang sangat keliruterhadap teks-teks kitab suci. Kemudian, pemahaman dan sikap keagamaan yang tidak selarasdengan pandangan mereka merupakan bentuk dari relativisme keagamaan. Ketiga, penolakanterhadap perkembangan histories dan sosiologis. Kaum fundamentalis berpandangan bahwaperkembangan historis dan sosiologis telah membawa manusia semakin jauh doktrin literal kitabsuci. Keempat, penolakan terhadap hermeneutika. Gerakan kaum fundamentalisme menolak sikapkritis terhadap teks, karena al-Qur’ān harus dipahami secara literal sebagaimana bunyi danperintahnya. Azumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam, (Cet. I.Jakarta: Paramadina, 1999), hlm. 91

Page 3: memberikan dorongan akan “kesatuan” melalui keragaman …stainpamekasan.ac.id/media/pdf/Makalah Aicis 2015 Zainuddin Syarif.… · Agustus 2012.4 Pengusiran atas Warga Ahmadiyah

3

anarkis berbasis provokasi semacam ini mengundang keprihatinan semua

pihak. Karena provokasi dalam fanatisme agama hanya mencederai

silaturahmi antar umat beragama, yakni ketegangan antara Islam dengan

kristen. 6

Adanya serentetan bukti kerusuhan-kerusuhan yang berbau SARA di

Indonesia, menunjukkan bahwa secara kolektif kita sebenarnya tidak mau

belajar tentang bagaimana hidup secara bersama secara rukun. Bahkan dapat

dikatakan, agen-agen sosialisasi utama seperti keluarga dan lembaga

pendidikan, tampaknya tidak berhasil menanamkan sikap toleransi-inklusif

dan tidak mampu mengajarkan untuk hidup bersama dalam masyarakat

plural. Di sinilah letak pentingnya sebuah ikhtiar menanamkan berfikir

inklusif melalui pendidikan agama. Konflik sosial dalam masyarakat

merupakan proses interaksi yang natural, karena masyarakat tidak selamanya

bebas konflik. Hanya saja, persoalannya menjadi lain ketika konflik sosial

yang berkembang dalam masyarakat tidak lagi menjadi sesuatu yang positif,

tetapi berubah menjadi destruktif bahkan anarkkritis seperti yang seringkali

terjadi. Berbagai macam respon dari seluruh elemen masyarakat pun menjadi

tak terbendung, hingga muncullah key word sebagai bagian dari respon

tersebut, dalam bentuk wacana yang sering disebut dengan istilah

“Inklusifisme”.7

6 http://nasional.tempo.co/read/news/2015/07/21/078685306/ini-kesaksian-jemaah-salat-id-korban-rusuh-di-tolikara. diakses pada tanggal 30 Juli 2015.

7 Banyak definisi berkenaan dengannya. Hal itu multikulturalisme berhubungan dengankebudayaan, dan kemungkinan konsepnya dibatasi dengan muatan nilai atau memiliki kepentingantertentu Lihat, Zakki Mubarak, dkk. Buku Ajar II, Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian

Page 4: memberikan dorongan akan “kesatuan” melalui keragaman …stainpamekasan.ac.id/media/pdf/Makalah Aicis 2015 Zainuddin Syarif.… · Agustus 2012.4 Pengusiran atas Warga Ahmadiyah

4

Kemajemukan menjadi potensi unik tatkala mereka bisa hidup rukun,

berdampingan dengan damai, aman dan tenteram. Sebaliknya, masalah yang

ditimbulkan juga sangat besar, apalagi jika di antara mereka sedang bertikai,

baku hantam dan saling bunuh. Indonesia bahkan sempat dicap sebagai negeri

yang rentan terhadap konflik antaragama.8 Sehingga Ian G. Barbour,

sebagaimana dikutip oleh Amin Abdullah menerangkan beberapa hal terkait

dengan persoalan konflik sangat erat dengan karakteristik berikut ini:

Pertama, kecenderungan untuk mengutamakan loyalitas kepada kelompok

sendiri yang sangat kuat. Kedua, adanya keterlibatan pribadi (involvement)

dan penghayatan yang begitu kental dan pekat kepada ajaran-ajaran teologi

yang diyakini kebenarannya. Ketiga, mengungkapkan perasaan dan pemikiran

dengan menggunakan bahasa aktor dan bukannya bahasa seorang pengamat.9

Kemutlakan religuisitas manusia mengalami penurunan status menjadi

relatif partikular, ketika ia dikonseptualisasikan dan diungkapkan lewat

bahasa manusia dan diinstitusionalisasikan secara berbeda-beda. Perbedaan

dalam ekspresi rasa keberagamaan tersebut terjadi karena perbedaan bahasa,

budaya, kemampuan bersosial, dan strategi pencapaiannya.10 Paling tidak

ketiga karakteristik di atas dalam diri seseorang atau kelompok tertentu

terintegrasi (MPKT) cetakan kedua. Manusia, Akhlak, Budi Pekerti dan Masyarakat,. Depok: FEUI, 2008.

8 Aloys Budi Purnomo Pr, Membangun Teologi Inklusif-Pluralistik (Jakarta: Kompas,2013), hlm. 23

9 M. Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas, (Yogyakarta: PustakaPelajar, 1999), hlm. 14

10Amin Abdullah, Mencari Model Pendidikan Agama Perdamaian Era Multikultural-Multirelijius, Jurnal On Line UIN Sunan Kalijaga, www.uin.suka.com, diakses jam 18 PM, pada16/08/2014.

Page 5: memberikan dorongan akan “kesatuan” melalui keragaman …stainpamekasan.ac.id/media/pdf/Makalah Aicis 2015 Zainuddin Syarif.… · Agustus 2012.4 Pengusiran atas Warga Ahmadiyah

5

memberi andil yang cukup besar bagi terciptanya ‘enclave-enclave’

komunitas teologi yang cenderung bersifat eksklusif, emosional dan kaku.

Salah satu bagian penting dari konsekuensi tata kehidupan global yang

ditandai kemajemukan etnis, budaya, dan agama tersebut, adalah membangun

dan menumbuhkan kembali teologi pluralistik dalam masyarakat.11 Maka

pendidikan sebenarnya masih dianggap sebagai instrumen penting, sebab

pendidikan sampai sekarang masih diyakini mempunyai peran besar dalam

membentuk karakter individu-individu bagi yang dididiknya, dan mampu

menjadi guiding light bagi generasi muda penerus bangsa.

Alex R. Rodger mengatakan sebagaimana dikutip oleh Sumartana,

bahwa pendidikan agama merupakan bagian integral dari pendidikan pada

umumnya dan berfungsi untuk membantu perkembangan pengertian yang

dibutuhkan bagi orang-orang yang berbeda iman, sekaligus juga untuk

memperkuat ortodoksi keimanan bagi mereka.12 Dalam konteks inilah,

pendidikan Teologi Inklusif sebagai media penyadaran umat perlu

membangun teologi inklusif demi harmonisasi SARA. Peran dan fungsi

pendidikan Teologi Inklusif adalah untuk meningkatkan keberagamaan

peserta didik dengan keyakinan agama sendiri, dan memberikan

11 H.A.R Tilaar, Multikulturalisme; Tantangan-Tantangan Global Masa Depan dalamTransformasi Pendidikan Nasional, ... hlm. 22

12 Sumartana at al, Pluralisme, Konflik, dan Pendidikan Agama di Indonesia,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 61

Page 6: memberikan dorongan akan “kesatuan” melalui keragaman …stainpamekasan.ac.id/media/pdf/Makalah Aicis 2015 Zainuddin Syarif.… · Agustus 2012.4 Pengusiran atas Warga Ahmadiyah

6

kemungkinan keterbukaan untuk mempelajari dan mempermasalahkan agama

lain guna untuk menumbuhkan sikap toleransi. 13

B. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan studi pustaka (library research). Artinya

penelitian ini mengacu pada data-data atau bahan-bahan tertulis yag berkaitan

dengan topik pembahasan yang sedang diangkat, tentu penelitian ini

menggunakan gagasan berbentuk tulisan sebagai sumber penekanan kepada

interpretasi dan analisis makna konsep pemikiran yang berupa ungkapan-

ungkapan baik secara empiris maupun secara ide-ide rasional.14 Sumber data

dalam penelitian ini bersentuhan langsung dengan gagasan Teologi Inklusif.

Selain itu, penyusun mengacu buku-buku karya orang lain yang membahas

tentang wacana pendidikan berbasiskan keterbukaan untuk mempermudah

pemahaman.

Penelitian ini menggunakan dokumentasi untuk menambah bukti atau

verifikasi nama data dan menambah rincian spesifik guna mendukung

informasi dan sumber-sumber lainnya serta membuat inferensi dari

dokumen-dokumen tertentu. Dokumen dimaksud adalah dokumen yang

berkaitan dengan masalah yang diteliti seperti (a) surat, pengumumam

resmi, (b) brosur dan booklet, (c) dokumen administratif, (d) kliping-kliping

dan artikel di media massa. Analisis data atas studi pustaka dalam

13 John Sealy, Religious Education Philosophical Perspective, (London: George Allen &Unwin, 1985), hlm. 43-44

14 Sutrisno Hadi, Metodologi Reseach (Yogyakarta: Andi Offset, 1990), hlm. 9

Page 7: memberikan dorongan akan “kesatuan” melalui keragaman …stainpamekasan.ac.id/media/pdf/Makalah Aicis 2015 Zainuddin Syarif.… · Agustus 2012.4 Pengusiran atas Warga Ahmadiyah

7

penelitian ini menggunakan teknik analisis wacana (Discourse analisys)15

dan teknik pendekatan analisis hermeneutik.16

Ada 3 elemen penting dalam pendekatan heremeuetika adalah: konteks

pemikiran, makna autentik (dari sesuatu yang sedang dikaji), dan relevansi

(dari makna asli dengan konteks masa lalu/aslinya kearah makna sesuai

dengan konteks saat ini dan kontemporer).17 Metode pengumpulan data yang

penulis gunakan dokumentasi gagasan. Proses pengumpulan data dari metode

dokumentasi, sebetulnya tidak begitu sulit. Tetapi seringkali data dokumen

yang sudah dikoleksi sebelumnya tercecer di suatu tempat dan bahkan ada

yang hilang. Untuk mengganti data yang hilang, penulis terpaksa berburu data

kembali. Data-data juga penulis kumpulkan dari buku-buku gagasan tentang

pendidikan teologi inklusif.

Analisis data ini bersifat non statistik dengan menggunakan pola pikir

deduktif. Deduktif adalah pola pikir yang bersumber dari fakta-fakta bersifat

15 Diantara karakteristik analisis wacana adalah pertama, wacana dipahami sebagaisebuah tindakan (action). Dengan pemahaman semacam ini mengasosiasikan wacana sebagaibentuk interaksi, dan bukan ditempatkan seperti dalam ruang tertutup dan internal. Kedua,mempertimbangkan konteks dari wacana seperti latar, situasi, peristiwa dan kondisi. Wacanadipandang diproduksi, dimengerti dan dianalisis pada suatu konteks tertentu. Ketiga,menempatkan wacana dalam konteks sosial tertentu, berarti wacana diproduksi dalam kontekstertentu dan tidak dapat dimengerti tanpa menyertakan konteks yang menyertainya. Salah satuaspek penting untuk bisa mengerti teks adalah menempatkan wacana itu dalam konteks historistertentu. Bahasan elaboratif periksa Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media.(Yogyakarta: LKiS, 2001), hlm. 8-11

16Paul Ricour, Hermeneutika Ilmu Sosial, Diterj. Muhammad Syukri, (Yogyakarta: KreasiWacana, 2006), hlm. 57

17Akh. Minhaji, Strategies For Social Reseach; The Methodological Imagination InIslamic Studies (Bahan Kuliah untuk Metodologi Penelitian dalam Bidang Studi Islam)(Yogyakarta: Sukapress, 2009), hlm. 94

Page 8: memberikan dorongan akan “kesatuan” melalui keragaman …stainpamekasan.ac.id/media/pdf/Makalah Aicis 2015 Zainuddin Syarif.… · Agustus 2012.4 Pengusiran atas Warga Ahmadiyah

8

umum ditarik ke khusus.18 Sedangkan metode yang penyusun gunakan untuk

menganalisis adalah interpretatif, berupa analisis wacana teologi inklusif baru

kemudian menelaah secara kontrastif-implikatif terhadap pendidikan Islam

untuk mendapatlan hasil penelitian komprehensif dan konklusif . 19

C. Konsep Pendidikan Teologi Inklusif

Dalam studi agama terdapat dua aspek yang harus dibedakan, yaitu apa

yang disebut dengan general pattern dan particular pattern. General pattern

adalah sesuatu yang pasti ada pada setiap agama, di luar kemampuan

pemeluknya, seperti: kepercayaan, ritual, teks suci, leadership, history serta

konstitusi, dan morality, inilah yang disebut dengan fundamental structure dari

agama. Seorang peneliti harus bersifat obyektif dalam mengkaji hal tersebut.

Ketika general pattern tersebut dirinci maka lahirlah apa yang dinamakan

particular pattern. Setiap agama memiliki particular pattern yang berbeda,

misalnya dalam hal kepercayaan Islam mempunyai konsep tauhid sedangkan

Kristen berpegang konsep pada trinitas, dalam hal ibadah Islam mempunyai

sholat sedangkan Kristen mempunyai kebaktian.20

Pendidikan sebagai media pengembangan dan pembinaan aspek internal

(rohaniah/spritual) dan eksternal (jasmaniah) manusia, tidak bisa berlangsung

secara instan dan terima jadi. Tetapi membutuhkan suatu proses panjang yang

berkesinambungan, terarah, dan bertujuan untuk mengarahkan anak didik

18 Amirul Hadi, Metologi Penelitian Pendidikan (Bandung: CV Pustaka setia, 2005), hlm.41

19 Mardalis, Metode Penelitian: Suatu pendekatan Proposal l (Jakarta, Bumi Aksara,1995), hlm. 20

20 Lihat; M. Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 1999)

Page 9: memberikan dorongan akan “kesatuan” melalui keragaman …stainpamekasan.ac.id/media/pdf/Makalah Aicis 2015 Zainuddin Syarif.… · Agustus 2012.4 Pengusiran atas Warga Ahmadiyah

9

(manusia) pada satu titik optimal atas segenap jenis kemampuannya yang amat

beragam. Pendidikan teologi inklusif--secara epistemologi-- berangkat dari

asumsi dasar pluralitas agama yang tidak lain merupakan sunnatullah dengan

memperkenalkan bahwa perbedaan agama manusia yang dipercayainya

merupakan kenyataan ontologis yang tak terbantahkan.21

Maka pendidikan teologi inklusif harus sesuai dengan landasan filosofis

yang dibangun di atas pondasi yang kuat, baik sisi epistemologi, konsep

manusia dengan merujuk tauhid.22 Pendidikan teologi inlkusif mengedepankan

penyadaran dialog yang santun bagi murid menjadi sebuah prasyarat

terbangunnya berteologi inklusif yang merupakan tantangan yang harus

diimplementasikan dalam setiap kehidupan umat beragama. Karena menolak

pluralitas justru akan sangat membahayakan terciptanya kedamaian yang

diidamkan semua pihak.23 Pendidikan teologi inklusif harus mampu

memberikan internalisasi nilai-nilai spiritual yang mampu memberikan

pencerahan spiritual, yaitu pencerahan yang mengantarkan pada keakraban,

cinta, keberanian, nilai eskatis dan kemabukan dalam diri sang Khaliq

(Allah).24

Atas dasar itu, dapat kita ditemukan sebuah pemahaman pendidikan

teologi inklusif adalah proses internalisasi kesadaran berteologi bagi setiap

21 Jalaluddin Rakhmat, Islam dan Pluralisme: akhlak Quran Menyikapi Perbedaan,(Bandung: Serambil Ilmu Semesta, 2006), hlm 34

22 Jalaluddin Rakhmat, Islam alternatif: Ceramah-Ceramah di Kampus, (Bandung:Penerbit Mizan, Cet IX, 1995), hlm. 34

23 Ibid24 ibid

Page 10: memberikan dorongan akan “kesatuan” melalui keragaman …stainpamekasan.ac.id/media/pdf/Makalah Aicis 2015 Zainuddin Syarif.… · Agustus 2012.4 Pengusiran atas Warga Ahmadiyah

10

siswa di sekolah agar mengetahui akan sifat dasar suci (fitrah) yang sudah

tertanam dalam hati setiap manusia.25 Seperti memberikan sebuah pemahaman

konkret bahwa fitrah manusia adalah keberagamaan.26 Di mana, fitrah yang

dimiliki setiap diri manusia terpancar sebagai potensi dan benih kreativitas

yang mampu melahirkan semangat dan gerak peradaban dan kebudayaan.27

Meminjam istilah Kontowijoyo, teologi adalah pembentuk struktur paling

dalam (deep structure) yang menjadi kekuatan fondasi aspek permukaan Islam,

seperti puasa, sholat, haji, moral/etika, dan segenap perilaku manusia sehari-

hari. Aspek permukaan Islam ini tidak akan bermakna, jika tidak ditopang oleh

kekuatan teologi.28

Hal itu menunjukkan, pandangan tentang kemutlakan Tuhan sekaligus

merelatifkan segala sesuatu selainnya-Nya, termasuk dalam hal pemahaman

manusia tentang tauhid. Dengan demikian, tauhid sekalipun ketika masuk

dalam konteks pemahaman dan nalar manusia harus dipahami dalam kerangka

proses pencarian keesaan terus menerus tanpa henti, never ending, sesuai

dengan rentang zaman yang melingkupi. Karena itu, apa pun yang merupakan

hasil kreasi dan penalaran manusia, memungkinkan adanya pembacaan ulang

dan tidak kebal kritik dan perubahan.

25 Alwi Shihab, Islam Inklusif menuju Sikap Terbuka dalam Beragama (Bandung: Mizan,cet. IV,1998), hlm. 279

26 Khoiron Rosyadi, Pendidikan Profetik, (Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2004), hlm. 3927 Hujair AH. Sanaky, Konsep Manusia Berkualitas Menurut al-Qur’ān dan Upaya

Pendidikan, (makalah tidak diterbikan), hlm. 328 Kontowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, Epistemologi, Metodologi, dam Etika (Teraju:

Yogyakarta, 2005 ), hlm. 36

Page 11: memberikan dorongan akan “kesatuan” melalui keragaman …stainpamekasan.ac.id/media/pdf/Makalah Aicis 2015 Zainuddin Syarif.… · Agustus 2012.4 Pengusiran atas Warga Ahmadiyah

11

Pendidikan teologi inklusif berpandangan bahwa sebenarnya ada hal

yang mungkin mempersatukan kita semua, yaitu akhlak. 29 Dalam bidang

akhlak, semua orang bisa setujua, apa pun mazhabnya. Pendidikan yang

berbasis teologi inklusif selalu berusaha dengan memelihara dan berupaya

menumbuhkan pemahaman yang inklusif pada peserta didik.30 Dengan suatu

orientasi untuk memberikan penyadaran terhadap para peserta didiknya akan

pentingnya saling menghargai, menghormati dan bekerja sama dengan agama-

agama lain. Sejatinya gagasan pendidikan teologi inklusif harus mampu

diimplementasikan di lembaga pendidikan yang didirikan, yaitu mulai dari

SMP hingga SMA. Sehingga ada muatan yang mengajarkan keterbukaan untuk

menghargai perbedaan di antara berbagai madzhab. Sehingga, pendidikan

berbasis teologi inklusif dapat dijadikan sarana bagi peserta didik untuk

menggali dan menemukan nilai-nilai keagamaan pada agamanya masing-

masing sekaligus mengenal tradisi agama orang lain.

Untuk menumbuhkan kesadaran berteologi inklusif adalah harus diawali

di lingkungan sekolah untuk memperkuat kecerdasan sosial, yang bukan hanya

semata-mata dengan memberikan tantangan. Karena lingkungan itu

memberikan peluang untuk belajar dengan banyak begerak. Secara

keseluruhan, lingkungan lebih menentukan daripada keturunan. hal ini

dibenarkan, karena gen dan pengaruh orangtua ikut membentuk kepekaan

tauhid sosial, tetapi gen tidak menentukan nasib. Proses pendidikan dan

29 Jalaluddin Rakhmat, Islam alternatif: Ceramah-Ceramah di Kampus, (Bandung:Penerbit Mizan, Cet IX, 1995, hlm. 234

30 Ibid

Page 12: memberikan dorongan akan “kesatuan” melalui keragaman …stainpamekasan.ac.id/media/pdf/Makalah Aicis 2015 Zainuddin Syarif.… · Agustus 2012.4 Pengusiran atas Warga Ahmadiyah

12

tantangan berfungsi tidaknya pikiran kita untuk bersikap inlkusif. Secara ilmu

biologis, dimensi tubuh manusia memiliki kemampuan yang hampir tidak ada

batasnya.31 Di sinilah dimensi spiritual (mistikal) mampu memberikan

pengetahuan baik substansi maupun proses untuk bersikap inklusif. Allah akan

memberikan ilmu kepada hamba-hamba yang hatinya sepenuhnya diberikan

untuk Tuhan. Dia memetik hadist nabi:

"Didunia ini ada sekelompok hamba Allah yang menjadi lemari-

lemari penyimpan kebijaksanaan Tuhan. Mereka adalah orang-orang yang

mengikhlaskan hati setujul-tulusnya untuk Allah." Menurutnya, merekalah

yang memperoleh pengetahuan tidak melalui otak-atik otak, tetapi melalui

pembersihan hati. Ke sanalah kita semua berharap untuk menujur”.32

Dengan demikian, paling tidak model pendidikan teologi inklusif

memiliki dua tujuan. Pertama, agar pendidikan tidak terisolasi, terbelenggu

secara terpisah dari lembaga pendidikan atau institusi pendidikan sebagai

teritorial yang sempit, akan tetapi diharapkan merupakan suatu model

pendidikan yang terbuka, berada dalam lautan kehidupan masyarakat dan alam

sekitarnya. Kedua, peserta didik memiliki keseimbangan antara rohani dan

jasmani.33

Peran teologi inklusif dalam pendidikan menumbuhkan rasa

“persaudaraan” antara sesama siswa, saling terbuka. Dengan mengedepankan

31 Ibid, 3832 Jalaluddin Rakhmat, Meraih Cinta Ilahi, (Depok: Pustaka IlMaN, 2008), hlm. 11933 Djohar, Ms. Pendidikan Strategik Alternatif untuk Pendidikan Masa Depan,

(Yogyakarta: LESFI, 2003), hlm. 120-121

Page 13: memberikan dorongan akan “kesatuan” melalui keragaman …stainpamekasan.ac.id/media/pdf/Makalah Aicis 2015 Zainuddin Syarif.… · Agustus 2012.4 Pengusiran atas Warga Ahmadiyah

13

pelajaran aqidah, bukan sekedar menuntut pada setiap peserta didik untuk

menghapal sejumlah materi yang berkaitan denganya, seperti iman kepada

Allah swt, nabi Muhamad saw, dll. Tetapi sekaligus, menekankan arti

pentingya penghayatan keimanan tadi dalam kehidupan sehari-hari. Intinya,

aqidah harus berbuntut dengan amal perbuatan yang baik atau akhlak al-

Karimah pada peserta didik.

D. Pola Pendekatan Pendidika Teologi Inklusif

Ada tiga pendekatan demensi aspek pendidikan teologi inklusif di

antaranya:

1. Pendekatan Teologi pluralistik

Dalam Islam, teologi sebagai risalah profetik memerlukan pembacaan

yang produktif-kreatif (al-qira’ah al-muntijah) agar tetap sesuai dengan

perkembangan dan perubahan zaman. Maka teologi pluralistik secara

substantif mengandung seruan kepada semua umat manusia menuju satu

cita-cita bersama dan kesatuan manusia tanpa membeda-bedakan ras, warna

kulit, etnik, kebudayaan, dan agama. Sebagai realisasi prinsip teologi, maka

tidak ada seorang pun, kelompok, atau bangsa mana pun yang dapat

membanggakan diri dan merasa diistemewakan Tuhan. Katakanlah: “Hai

Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang

tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah

kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak

(pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain

Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka:

Page 14: memberikan dorongan akan “kesatuan” melalui keragaman …stainpamekasan.ac.id/media/pdf/Makalah Aicis 2015 Zainuddin Syarif.… · Agustus 2012.4 Pengusiran atas Warga Ahmadiyah

14

“Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada

Allah)”.34

Ayat di atas merupakan landasan merajut keragaman budaya dalam

kesatuan dan kebersamaan untuk dapat berjumpa secara dialogis-inklusif.

Perjumpaan secara dialogis-inklusif bukan semata-mata percakapan searah,

tetapi mencerminkan percakapan dua arah pikiran dan hati serta

mengawinkan keduanya untuk mengusung persoalan-persoalan bersama

dengan komitmen agar masing-masing dapat belajar dari yang lain, sehingga

menuai hasil perubahan perkembangan. Ini berarti tauhid mampu menjadi

semangat proses efektivitas belajar-mengajar dalam situasi keragaman

budaya, yang dapat terselenggara secara terbuka, jujur, dan simpatik, serta

membawa kesalingsepahaman (mutual understanding).35

Dalam konteks pendidikan, kalimatun sawa’ di samping dapat dijadikan

landasan dan pengakuan pluralisme kehidupan dan multikultural, ia juga

adalah bentuk manifesto gerakan yang mendorong kemajemukan (plurality)

dan keragaman (diversity) sebagai prinsip inti kehidupan dan meneguhkan

pandangan bahwa semua kelompok multikultural diperlakukan setara

(equality) dan sama bermartabatnya (dignity). Kalimatun sawa’ boleh jadi

merupakan ajakan bertauhid secara inklusif, agar umat beragama dan

34 Katakanlah: Wahai semua penganut agama (dan kebudayaan) bergegaslah menujudialog dan perjumpaan multikultural (kalimatun sawa’) antara kami dan kamu” (QS. Ali Imran 3:64)

35 Lihat Q.S. al-Hujurat 49: 13,” “Hai manusia, sesungguhnya Kami jadikan kalian darijenis laki-laki dan perempuan, dan menjadikan kalian berkelompok-kelompok dan berbangsa-bangsa, agar kalian saling memahami dan saling mengharhagai. Sesungguhnya orang yangpaling bermartabat di sisi Allah adalah mereka yang paling dapat memahami dan menghargaiperbedaan di antara kamu.”

Page 15: memberikan dorongan akan “kesatuan” melalui keragaman …stainpamekasan.ac.id/media/pdf/Makalah Aicis 2015 Zainuddin Syarif.… · Agustus 2012.4 Pengusiran atas Warga Ahmadiyah

15

segenap budaya yang mengitarinya dapat berpindah dari pemusatan

terhadap “diri” kepada “Yang Suci” untuk mengeliminasi perbedaan-

perbedaan yang ada dan menumbuhkan koeksistensi.36

Di antara materi teologi pluralistik memuat tentang at-tawassuth yaitu

sikap tengah-tengah, tidak ekstrim kiri ataupun ekstrim kanan. At-

tasammuh, yaitu toleransi terhadap segala perbedaan. At-tawazun, yaitu

seimbang dalam segala hal. Sehingga, siswa diarahkan dan diajak

berdiskusi, berdialog dan berfikir tentang realitas sosial, hingga mampu

memiliki sence of belonging akan masalah sosial yang muncul. Secara ideal

muatan materi teologi pluralistik bertujuan untuk menggugah dan

menggelar kesadaran kultural dan kesempatan yang sama untuk belajar bagi

semua individu (peserta didik) dan kelompok masyarakat, sekaligus

memberikan dorongan akan “kesatuan” melalui keragaman dan perbedaan.

Dorongan “kesatuan” ini bisa merujuk pada konsep tauhid sebagai ranah

profetik37 yang dapat memberikan spirit bagi tumbuh kembangnya

kesadaran multikulturalme. “Kesatuan” secara ontologis bermuara pada

konsep tauhid, di mana seluruh kebudayaan, peradaban, sejarah, dan

keragaman merupakan cermin dan pancaran tauhid itu sendiri. Pada konteks

36 Lihat; Muhammad Zaini, Membumikan Tauhid; Konsep dan Implementasi PendidikanMultikultural (yogyakarta: Pustaka Ilmu Yogyakarta, 2011)

37 Konsep tauhid sebagai ranah profetik kenabian Muhammad Saw., adalah cerminkarakteristik kepribadian Nabi yang selalu melakukan refleksi dan perenungan-perenungan tentangalam, lingkungan, masyarakat sekitarnya, dan Tuhan. Di samping itu, Nabi juga memilikisemangat belajar tinggi dan budi pekerti terpuji dan mulia, serta suka mencari hikmah-hikmah,sehingga beliau menjadi sosok yang fungsional sebagai pendidik yang berhasil. Lihat, AzyumardiAzra, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta: Logos WacanaIlmu, 1999), hlm. 55

Page 16: memberikan dorongan akan “kesatuan” melalui keragaman …stainpamekasan.ac.id/media/pdf/Makalah Aicis 2015 Zainuddin Syarif.… · Agustus 2012.4 Pengusiran atas Warga Ahmadiyah

16

ini dapat dikatakan, tujuan materi ini adalah untuk menanamkan sikap

simpati, respek, apresiasi, dan empati terhadap penganut agama dan budaya

yang berbeda, berdasarkan inklusivitas pemahaman teologis.

Sejatinya, implikasi dari tujuan di atas, muatan materi pendidikan Agama

mestilah mencakup topik-topik seperti: toleransi, perbedaan ethno-kultural

dan agama, bahaya diskriminasi, penyelesaian konflik dan mediasi, HAM,

demokrasi, kemanusiaan universal dan subjeksubjek lain yang relevan.

Salah satu ciri paradigma inklusif dalam uraian topik-topik materi agama

yang umum adalah pemaparan yang dilakukan secara terbuka dan dialogis.

Artinya, dalam setiap tema dipaparkan semua perspektif yang terkait dengan

pemahaman tema tersebut. Ambil contoh, ketika menjelaskan tentang

wahyu dan al Qur’an, maka kita tidak hanya menampilkan pandangan yang

mengatakan bahwa ia adalah kalam Allah yang diturunkan lafzhan wa

ma’nan, dengan memberikan pandangan lain yang mungkin berbeda secara

diametral dengan pandangan sebelumnya. Semua pandangan disampaikan

lengkap dengan argumennya masing-masing dan penjelasan tentang konteks

yang mendasari munculnya pandangan seperti itu, tanpa harus menghakimi

atau memihak salah satu pandangan tersebut.38

Diakui atau tidak, perbedaan faham (khilafiyah) seringkali memicu

perpecahan (ketegangan) sosial di ranah hubungan interumat beragama,

seperti sesame umat Islam. Hal ini diakibatkan oleh mata pelajaran agama

(Aqidah dan Fiqih) seringkali hanya terpaku pada satu pendapat atau faham

38 Syamsul Ma’arif, Islam dan Pendidikan Pluralisme, makalah disampaikan pada annualConference Kajian Islam di Lembang 26-30 Nopember 2006, hlm. 15

Page 17: memberikan dorongan akan “kesatuan” melalui keragaman …stainpamekasan.ac.id/media/pdf/Makalah Aicis 2015 Zainuddin Syarif.… · Agustus 2012.4 Pengusiran atas Warga Ahmadiyah

17

(madzhab). Sejauh pengamatan penulis, tidak jarang siswa dicekoki dengan

pendapat dari faham madzhab yang dianut oleh sang guru mata

pelajarannya, baik faham imam Syafi’I, Maliki, Hambali dan Hanafi. Dan

bahkan mengabaikan aspek perbedaan (khilafiyah) atau pengenalan akan

perbedaan madzhab, sehingga mazhab lain yang tidak sesuai dengan

paradigma berfikir guru yang bersangkutan tidak pernah disampaikan

kepada siswa.

Sejatinya, perbedaan faham bukanlah untuk melahirkan pertentangan

yang melahirkan konflik, malainkan sebagai jembatan yang mengantarkan

pada sebuah kerangka kerja yang menguntungkan semua pihak. Di sinilah

tugas utama lembaga pendidikan agama, terutama Islam dalam efektivitas

belajar-mengajar adalah bagaimana menanamkan kesadaran akan arti

perbedaan faham (madzhab) kepada peserta didik. Modelnya adalah

pendidikan lintas faham.

Pendekatan teologi pluralistik adalah pekerjaan yang sangat menantang

dan tidak mudah dan menjadi bagian agenda terpenting untuk para guru

(pendidik) dalam upaya membangun pendidikan lintas fahan dalam teologi

agar tercipta sikap-sikap inklusif menjadi sangat penting bagi kehidupan

negeri ini. Karena, kesadaran akan kemajemukan faham dalam agama

sendiri mesti didukung dengan sebuah teologi yang terbuka di tengah

keragaman. Cakrawala pemikiran yang berlandaskan pada teologi inklusif-

pluralistik dapat menjadi pijakan bagi seluruh komponen bangsa untuk

Page 18: memberikan dorongan akan “kesatuan” melalui keragaman …stainpamekasan.ac.id/media/pdf/Makalah Aicis 2015 Zainuddin Syarif.… · Agustus 2012.4 Pengusiran atas Warga Ahmadiyah

18

membangun masyarakat beradab, berkeadilan sosial serta demi menegakkan

harkat dan martabat bangsa.

Dalam hal ini semangat teologi pluralistik bisa diinternalisasikan secara

konkret dalam perubahan-perubahan sosial melalui bentuk transformasi

yang meliputi tiga jalan sebagai berikut. Pertama, transformasi sekolah.

Sekolah adalah sebuah institusi pendidikan yang juga dapat disebut sebagai

komunitas multikultural yang berkemampuan untuk mengelola keragaman

sehingga sekolah yang bersangkutan dapat hidup dalam keragaman itu

sendiri. Bagaimana cara sekolah dapat hidup dalam keragaman, pertama

harus dimulai dengan membangun sistem kepercayaan dan perilaku yang

mengakui dan menghargai kehadiran kelompok-kelompok yang beragam.

Selanjutnya, memahami dan menilai perbedaan sosio-kultural mereka, dan

mendorong serta mendukung mereka agar tetap memberi kontribusi

berkesinambungan dalam suatu konteks kebudayaan inklusif yang

memberdayakan semua orang dalam organisasi atau masyarakat.

Kedua, transformasi diri. Perlu disadari sejak awal bahwa refleksi diri

dan kritik diri merupakan bagian penting dalam proses transformasi diri.

Yang harus dilakukan adalah mempertimbangkan kembali dan menguji

segala hal yang berinteraksi di dalam kelas baik mencakup sistem nilai,

prasangka, bias, asumsi-asumsi, pengalaman, gaya belajar yang dipilih, dan

lainnya. Selanjutnya peserta didik harus diarahkan pada pemahaman tentang

Page 19: memberikan dorongan akan “kesatuan” melalui keragaman …stainpamekasan.ac.id/media/pdf/Makalah Aicis 2015 Zainuddin Syarif.… · Agustus 2012.4 Pengusiran atas Warga Ahmadiyah

19

kedirian secara lebih luas, konsep diri positif,39 dan bersahaja pada identitas

keagamaannya, identitas kultural, dan etniknya.

Ketiga, transformasi lingkungan sosial. Suatu hal yang perlu dicermati,

harus dipastikan bahwa dalam lingkunan sosial yang inklusif semua

kelompok merasa aman dalam suasana perbedaan dan keragaman. Lebih

dari itu, tentu tidak sekadar dibutuhkan kesadaran dan kepekaan menangkap

perbedaan dan keragaman, tetapi juga keberanian memasuki perubahan

paradigma, di mana setiap orang dapat saling menguntungkan dalam

perbedaan dan keragaman.

Dalam lingkup sekolah, peserta didik perlu belajar berinteraksi dan

memahami orang lain yang berbeda baik etnik, agama, dan budaya. Dalam

kerangka ini, guru yang memandu perjalanan proses belajar mengajar di

kelas secara khusus memberikan informasi akurat tentang semua segmen

keagamaan dalam masyarakat, mengembangkan kesadaran sosial, dan

ketegasan moral, sehingga peserta didik lebih manusiawi dan simpati pada

pluralitas kultural, etnik, dan agama, serta adil secara moral dan egalitarian.

Maka, Pendidikan Agama hendaknya diarahkan pada upaya untuk

menumbuhkan kesadaran beragama yang menghargai perbedaan dalam

kultur keagamaan yang dialogis. Perbedaan ekspresi keberagamaan, baik

dalam intern Islam sendiri atau antara Islam dan selain Islam harus

diperkenalkan kepada mahasiswa sebagai suatu anugerah Tuhan yang harus

39 W.S. Winkel & M.M Sri Hastuti, Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan,(Jakarta: Media Abadi,), cet. IV, hlm. 379. Lihat juga, F.S. Caprio, Mengatasi Rasa Sepi,Frustrasi, dan Rendah Diri, terj. (Jakarta: Arcan, 1984), hlm. 8

Page 20: memberikan dorongan akan “kesatuan” melalui keragaman …stainpamekasan.ac.id/media/pdf/Makalah Aicis 2015 Zainuddin Syarif.… · Agustus 2012.4 Pengusiran atas Warga Ahmadiyah

20

disyukuri, dihargai, dipelihara, dan dikembangkan bersama dalam rangka

membangun peradaban manusia yang damai dan harmonis.

2. Pendekatan Spritual

Pendidikan merupakan proses menuju kesempurnaan individu. Dalam

pandangan pendidikan teologi inklusif, pendekatan spiritual merupakan

usaha sadar untuk menghantarkan peserta didik memiliki hubungan yang

sangat kuat antara ruhani manusia dengan Sang Pencipta, dengan kata lain

sebagai upaya mencapai ma’rifah ruhiyah. Dalam perjalanan ruhani ini

manusia harus dapat menyerap asma Allah yang merupakan cerminan sifat-

sifat-Nya, seperti Pengasih dan Penyayang.40

Seseorang yang mengkaji tradisi keagamaan Islam segera akan

menyadari bahwa di bawah lapisan dohma monoteistik yang kokoh serta

ketat dan hukum monolitik terdapat kehidupan bawah tanah dari

pengalaman keagamaan yang kaya, kehidupan yang dimaksud disini adalah

kehidupan para mistikus Islam.41 Kehidupan yang penuh toleransi dan

keramahan mistisisme terhadap agama-agama lain yang terejawantahkan

dalam dialognya yang mendalam dengan agama-agama lain.

Spiritual adalah hubungannya dengan Yang Maha Kuasa dan Maha

pencipta, tergantung dengan kepercayaan yang dianut oleh individu.

Menurut Burkhardt spiritualitas meliputi aspek-aspek: pertama,

berhubungan dengan sesuatu yang tidak diketahui atau ketidakpastian dalam

40 Jalaluddin Rakhmat, Reformasi Sufistik (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998), hal. 3441 Jalaluddin Rakhmat, “Skisme dalam Islam Syi’ah: Sebuah Telaah Ulang”, dalam

Budhy Munawar Rachman, (ed.), Konstektualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta:Paramadina, 1994.

Page 21: memberikan dorongan akan “kesatuan” melalui keragaman …stainpamekasan.ac.id/media/pdf/Makalah Aicis 2015 Zainuddin Syarif.… · Agustus 2012.4 Pengusiran atas Warga Ahmadiyah

21

kehidupan,. Kedua, menemukan arti dan tujuan hidup. Ketiga, menyadari

kemampuan untuk menggunakan sumber dan kekuatan dalam diri sendiri.

Keempat, Mempunyai perasaan keterikatan dengan diri sendiri dan dengan

yang maha tinggi.42

Mempunyai kepercayaan atau keyakinan berarti mempercayai atau

mempunyai komitmen terhadap sesuatu atau seseorang.Konsep kepercayaan

mempunyai dua pengertian. Pertama kepercayaan didefinisikan sebagai

kultur atau budaya dan lembaga keagamaan seperti Islam, Kristen, Budha,

dan lain-lain. Kedua, kepercayaan didefinisikan sebagai sesuatu yang

berhubungan dengan Ketuhanan, Kekuatan tertinggi, orang yang

mempunyai wewenang atau kuasa, sesuatu perasaan yang memberikan

alasan tentang keyakinan (belief) dan keyakinan sepenuhnya (action),

harapan (hope), harapan merupakan suatu konsep multidimensi, suatu

kelanjutan yang sifatnya berupa kebaikan, dan perkembangan, dan bisa

mengurangi sesuatu yang kurang menyenangkan. Harapan juga merupakan

energi yang bisa memberikan motivasi kepada individu untuk mencapai

suatu prestasi dan berorientasi kedepan.Agama adalah sebagai sistem

organisasi kepercayaan dan peribadatan dimana seseorang bisa

mengungkapkan dengan jelas secara lahiriah mengenai

spiritualitasnya.Agama adalah suatu sistem ibadah yang terorganisir atau

teratur.

42 Ibid

Page 22: memberikan dorongan akan “kesatuan” melalui keragaman …stainpamekasan.ac.id/media/pdf/Makalah Aicis 2015 Zainuddin Syarif.… · Agustus 2012.4 Pengusiran atas Warga Ahmadiyah

22

Aspek spiritual yang harus ditanamkan dalam pendidikan teologi

inklusif adalah spiritual yang bukan sekedar metode pencarian makna,

namun merupakan fondasi bagi pencarian itu sendiri. Pertama, muatan

materi harus memperhatikan perpaduan antara tubuh dan jiwa. Harus

disadari bahwa hal-hal yang bersifat fisik akan sangat mempengaruhi

psikis, seperti, persepsi, kognisi, kensepsi diri dan sebagainya.43 Kedua,

muatana materi meliputi aspek kemampuan yang di memiliki oleh Manusia

yang hampir tak terbatas. Tubuh dan jiwa manusia dapat berkembang jauh

melebihi dari apa yang kita bayangkan. Pendidikan harus berusaha

mengoptimalkan seluruh potensi ini. Dimensi mistikal dalam kehidupan

manusia harus dikembangkan lagi dalam situasi belajar.44

Pendidikan teologi inlkusif lebih mengutamakan kesalehan pribadi dan

sosial dari pada kesalehan spiritualitas yang eksklusif. Menerapkan

pembelajaran SQ (Spiritual Quotient), yakni pembelajara yang bertumpu

pada bagian dalam diri yang berhubungan dengan kearifan di luar ego dan

jiwa sadar serta berkaitan dengan pencarian nilai. Pada prisipnya manusia

memiliki banyak kecerdasan, tetapi jika tidak dibarengi dengan kecerdasan

spiritual, jiwa tidak akan merasakan kebahagiaan.45

Pendidikan Agama perlu diarahkan pada pencerahan hati dan

kecerdasan emosional serta tidak hanya pada tataran kognitif, agar umat

43Jalaluddin Rakhmat, Belajar Cerdas: Belajar Berbasis Otak, Cet. VII, (Bandung:Penerbit MLC: 2007), hlm. 27

44 Ibid45 Jalaluddin Rakhmat, Reformasi Sufistik, Bandung: (Pustaka Hidayah, 1998), hlm. 89

Page 23: memberikan dorongan akan “kesatuan” melalui keragaman …stainpamekasan.ac.id/media/pdf/Makalah Aicis 2015 Zainuddin Syarif.… · Agustus 2012.4 Pengusiran atas Warga Ahmadiyah

23

memiliki wawasan akidah, ruhiyah dan moral yang tinggi, kemampuan

empati dan peka terhadap persoalan kolektif. Dengan bahasa lain, melalui

wawasan Teologi Inklusif, terdidik–secara graduatif—diharapkan tidak

hanya sekadar mengetahui sesuatu dengan benar (to know), tetapi juga

mengamalkannya dengan benar (to do), menjadi diri sendiri (to be).

3. Pendekatan Tauhid Sosial

Dalam UUD amendemen II, kebebasan beragama diatur dalam Pasal

29 ayat (2) bahwa ”Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk

untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut

agamanya dan kepercayaannya itu.”. artinya, keyakinan (iman) sangatlah

pribadi, siapapun tidak bisa memisahkan iman dan raga seseorang,

begitupun sebuah Negara juga tidak bisa semerta-merta memaksakan

keyakinan tertentu kepada penduduknya.

Selama suatu keyakinan tidak menimbulkan akibat yang melanggar

hukum tata negara dan hak asasi manusia (HAM) maka negara wajib

memberikan perlindungan kepada pemeluk keyakinan itu, tak peduli apakah

keyakinan itu dianggap benar atau sesat oleh kelompok tertentu. Tak

selayaknya keyakinan orang itu dihakimi berdasarkan standar keyakinan

orang lain. tidak ada paksaan dalam agama, tentu juga dalam keyakinan

secara umum. Jaminan terhadap kebebasan beragama dan keyakinan bukan

saja sesuai dengan prinsip universal hak asasi manusia, tetapi juga dengan

sesuai ajaran Islam.

Page 24: memberikan dorongan akan “kesatuan” melalui keragaman …stainpamekasan.ac.id/media/pdf/Makalah Aicis 2015 Zainuddin Syarif.… · Agustus 2012.4 Pengusiran atas Warga Ahmadiyah

24

Pendekatan tauhid sosial berupaya untuk menyeimbangkan wilayah

transendental dan rasionalitas, lebih-lebih dalam wilayah pendidikan yang

didasarkan pada keragaman dan realitas multikultural. Pendidikan teologi

iklusif dengan pendekatan tauhid sosial dapat menjadi pionir bagi

terciptanya dan terbukanya jalan pendidikan Islam yang meniscayakan

toleransi, keterbukaan, dan integrasi pengetahuan. Tauhid dapat menjadi

inspirasi dan sumber kreativitas bagi peserta didik dengan menghilangkan

beberapa sifat-sifat negatif yang melekat dan menubuh dalam dialektika

multikulturalisme. Sifat-sifat itu misalnya, pandangan stereotip (pendapat

dan pikiran yang tertanam dalam wilayah kognitif peserta didik yang

menggeneralisasi ciri-ciri sifat negatif seseorang atau sekelompok orang

berdasarkan keanggotaannya dalam kelompok-kelompok tertentu),

intoleransi (ketidakmampuan untuk menerima dan menghargai pandangan,

keyakinan, nilai, serta praktik orang/kelompok lain yang berbeda),

diskriminasi, dan prejudice-prejudice (perasaan atau sikap negatif yang

secara afektif tertanam dalam diri peserta didik, seperti perasaan tidak suka

atau benci terhadap orang/kelompok yang dilekati dengan prasangka-

prasangka negatif).

Pada dasarnya, manusia yang berpegang pada konsep tauhid—dalam

arti luas—adalah manusia yang berhasil mewujudkan kehidupan yang

cerdas, yang dalam istilah al-Qur’an disebut hayah thayyibah. Orang cerdas

pada zaman dahulu adalah orang yang memiliki keterampilan untuk hidup

sebagai warga masyarakat agraris yang feodalistik dengan posisi sebagai

Page 25: memberikan dorongan akan “kesatuan” melalui keragaman …stainpamekasan.ac.id/media/pdf/Makalah Aicis 2015 Zainuddin Syarif.… · Agustus 2012.4 Pengusiran atas Warga Ahmadiyah

25

elit (gusti) atau massa (kawula). Sedang pada zaman sekarang orang cerdas

itu adalah orang yang memiliki keterampilan dalam masyarakat industri

yang demokratis dengan posisi sebagai partner. Mengarah pada pemikran

yang dibangun oleh KH. Wahid Hasyim adalah semangat untuk

memosisikan logika, agama beserta budaya secara terintegrasi. Adapun

nilai-nilai moral yang diusung oleh beliausemangat pembentukan generasi

kreatif, saling menghargai antara satu sama lainnya. Dengan kata lain

mengarah pada pendidikan inklusif. Sikap-sikap inklusi harus dimilki oleh

civitas akademika sebagai pelaku pendidikan Islam di Indonesia.46

Dalam kontek ini, Wahid Hasyim menekankan pentingnya filsafat

ketuhanan sebagai dasar merancang pendidikan bangsa Indonesia yang

humanistik. Nilai-nilai ketuhanan perlu ditanamkan sebagai nilai perjuangan

pendidikan atau ruh pendidikan agar semangat pendidikan tidak keluar dari

batas-batas tuntunan agama dan bernilai bagi kehidupan berbangsa dan

bernegara yang lebih mulia dan bermartabat yang multikultur.

Pendekatan berbasiskan tauhid sosial, secara ideal adalah doktrin tauhid

yang harus memberikan implikasi makna “kesatuan” dalam berbagai bidang

kehidupan manusia. Artinya, kepada peserta didik doktrin tauhid harus

dipahamkan sebagai kesatuan tujuan dan makna agama-agama, kesatuan ras

dan kulit, kesatuan bahasa, kesatuan budaya, dan seterusnya. Penanaman

nilai-nilai dan pencarian titik temu atas fenomena keragaman harus benar-

46 Noor Achmad, “Visi Pendidikan dan Kebangsaan KH. A. Wahid Hasyim”, dalamShofiyullah MZ, KH. A. Wahid Hasyim; Sejarah, Pemikiran, dan Bangkitnya bagi Agama danBangsa (Jombang; Pesantren Tebuireng, 2011),hlm.361

Page 26: memberikan dorongan akan “kesatuan” melalui keragaman …stainpamekasan.ac.id/media/pdf/Makalah Aicis 2015 Zainuddin Syarif.… · Agustus 2012.4 Pengusiran atas Warga Ahmadiyah

26

benar dapat dirasakan oleh peserta didik sebagai bagian dari praktik

keberagamaan dalam kehidupan sehari-hari. Semangat tauhid sesungguhnya

sangat bersifat toleran terhadap berbagai perbedaan yang melekat dalam

budaya umat manusia. Keanekaragaman suku, ras, etnis, agama, dan kulit

justru semata-mata menunjukkan kemahakuasaan dan kemahatahuan Allah.

Menerapkan Tauhid sosial memang memerlukan sikap arif dan

keterbukaan dalam bentuk toleransi terhadap aneka perbedaan. Tentu yang

dimaksud bukan toleransi negatif (negative tolerance) yang sarat dengan

sikap semu dan penuh kepura-puraan, melainkan toleransi positif (positive

tolerance) yang berbentuk penerimaan (afirmasi) terhadap segenap realitas

keragaman yang ada, sajauh belum ada pembuktian sebaliknya. Secara

epistemologis toleransi merupakan prinsip dalam menyikapi perbedaan dan

fenomena pluralitas yang juga memiliki makna etis. Lingkungan belajar

yang nyaman dapat dikelompokkan dalam lingkungan intern, melibatkan

zona keamanan individu secara personal dalam pembelajaran.47 Ada tiga

konsep persaudaraan yang mengarah pada Tauhid sosial di antaranya:

Pertama, ukhuwah Islamiyah, seseorang merasa saling bersaudara satu

sama lain karena sama-sama memeluk agama Islam. Umat Islam yang

dimaksudkan bisa berada di belahan dunia mana pun. Kedua, ukhuwah

wathaniyah, seseorang merasa saling bersaudara satu sama lain karena

merupakan bagian dari bangsa yang satu, misalnya bangsa Indonesia.

Ukhuwah model ini tidak dibatasi oleh sekat-sekat primordial seperti

47 Ibid

Page 27: memberikan dorongan akan “kesatuan” melalui keragaman …stainpamekasan.ac.id/media/pdf/Makalah Aicis 2015 Zainuddin Syarif.… · Agustus 2012.4 Pengusiran atas Warga Ahmadiyah

27

agama, suku, jenis kelamin, dan sebagainya. Ketiga, ukhuwah basyariyah,

seseorang merasa saling bersaudara satu sama lain karena merupakan bagian

dari umat manusia yang satu yang menyebar di berbagai penjuru dunia.

Dalam konteks ini, semua umat manusia sama-sama merupakan makhluk

ciptaan Tuhan.

E. Penutup

Pendidikan teologi inklusif adalah konsep pendidikan penyadaran terhadap

peserta didik akan menerima keanikaragaman di luar dirinya melalui nilai-nilai

keimanan yang kuat kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pentingnya pememahaman

bagaimana individu berbeda dengan yang lain (individual differences), dan

tidak memahami bagaimana menjadi manusia seperti manusia lain (persamaan

dalam specieshood or humanness). Setidaknya ada enam kesimpulan

sebagaimana berikut:

Pertama, konsep pendidikan teologi inklusif bertitik tolak dari konsep

filosofis-antropologis manusia sebagai Abd Alla>h dan khalifah Alla>h yang

kualitas kemanusiaannya belum selesai (berproses) sehingga memerlukan

perjuangan (muja>hadah) dalam menyempurnakannya. Muja>hadah itu diproses

melalui medium pendidikan–termasuk pendidikan agama (Islam)—yang

menekankan pada tercapainya nilai- nilai akhlak terpuji dalam konteks

kemajemukan yang sudah merupakan Sunnat Alla>h seperti keterbukaan,

sikap inklusif, menyadari dan menerima kemajemukan sebagai design Tuhan

serta berusaha mencari titik temu.

Page 28: memberikan dorongan akan “kesatuan” melalui keragaman …stainpamekasan.ac.id/media/pdf/Makalah Aicis 2015 Zainuddin Syarif.… · Agustus 2012.4 Pengusiran atas Warga Ahmadiyah

28

Kedua, Konsep pendidikan teologi inklusif adalah proses internalisasi

kesadaran berteologi bagi setiap siswa di sekolah agar mengetahui akan sifat

dasar suci (fitrah) yang sudah tertanam dalam hati setiap manusia. Dalam

realitasnya, terdapat ribuan agama, budaya, bahasa di dunia. Maka agama-

agama yang sudah diakui secara resmi saja kita melihat keragaman yang luar

biasa, apalagi jika kita melihat cara setiap orang menjalankan agamanya.

Ketiga, pendidikan teologi inklusif relevan dengan lembaga pendidikan

berbasiskan agama secara konsisten dan ekstensif mempraktikkan nilai-nilai

pluralisme, inklusivisme dan keterbukaan dalam ber-Islam, sehingga

mewujudkan genre baru dalam wawasan dan aktualisasi tauhid yang tidak

lagi rikuh dalam mengapresiasi lokalitas dan menghadapi modernitas.

Praktik nilai-nilai di atas dicoba tanamkan melalui konstruksi dan muatan

kurikulum Pendidikan Agama yang lebih bernuansa toleran, terbuka dan

alergi pada truth claim.

Page 29: memberikan dorongan akan “kesatuan” melalui keragaman …stainpamekasan.ac.id/media/pdf/Makalah Aicis 2015 Zainuddin Syarif.… · Agustus 2012.4 Pengusiran atas Warga Ahmadiyah

29

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Amin, Mencari Model Pendidikan Agama Perdamaian EraMultikultural-Multirelijius, Jurnal On Line UIN Sunan Kalijaga,www.uin.suka.com, diakses jam 18 PM, pada 16/08/2014

_______, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas, (Yogyakarta: PustakaPelajar, 1999), hlm. 14

Amirul Hadi, Metologi Penelitian Pendidikan (Bandung: CV Pustaka setia, 2005)

Azra, Azumardi, Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam, (Cet. I.Jakarta: Paramadina, 1999)

_______, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru,(Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999)

Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. (Yogyakarta: LKiS,2001)

Kontowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, Epistemologi, Metodologi, dam Etika (Teraju:Yogyakarta, 2005 )

Ma’arif, Syamsul, Islam dan Pendidikan Pluralisme, makalah disampaikan padaannual Conference Kajian Islam di Lembang 26-30 Nopember 2006.

Mardalis, Metode Penelitian: Suatu pendekatan Proposal l (Jakarta, Bumi Aksara,1995)

Minhaji, Akh. Strategies For Social Reseach; The Methodological Imagination InIslamic Studies (Bahan Kuliah untuk Metodologi Penelitian dalamBidang Studi Islam) (Yogyakarta: Sukapress, 2009)

Ms., Djohar, Pendidikan Strategik Alternatif untuk Pendidikan Masa Depan,(Yogyakarta: LESFI, 2003)

Mubarak, Zakki dkk. Buku Ajar II, Mata Kuliah Pengembangan Kepribadianterintegrasi (MPKT) cetakan kedua. Manusia, Akhlak, Budi Pekerti danMasyarakat,. Depok: FE UI, 2008.

Noor Achmad, “Visi Pendidikan dan Kebangsaan KH. A. Wahid Hasyim”, dalamShofiyullah MZ, KH. A. Wahid Hasyim; Sejarah, Pemikiran, danBangkitnya bagi Agama dan Bangsa (Jombang; Pesantren Tebuireng,2011)

Purnomo Pr,, Aloys Budi, Membangun Teologi Inklusif-Pluralistik (Jakarta:Kompas, 2013)

Rakhmat, Jalaluddin Islam alternatif: Ceramah-Ceramah di Kampus, (Bandung:Penerbit Mizan, Cet IX, 1995,

_______, Reformasi Sufistik (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998)

Page 30: memberikan dorongan akan “kesatuan” melalui keragaman …stainpamekasan.ac.id/media/pdf/Makalah Aicis 2015 Zainuddin Syarif.… · Agustus 2012.4 Pengusiran atas Warga Ahmadiyah

30

_______, Jalaluddin, “Skisme dalam Islam Syi’ah: Sebuah Telaah Ulang”, dalamBudhy Munawar Rachman, (ed.), Konstektualisasi Doktrin Islam dalamSejarah, Jakarta: Paramadina, 1994.

_______, Jalaluddin, Belajar Cerdas: Belajar Berbasis Otak, Cet. VII, (Bandung:Penerbit MLC: 2007)

_______, Jalaluddin, Islam alternatif: Ceramah-Ceramah di Kampus, (Bandung:Penerbit Mizan, Cet IX, 1995)

_______, Jalaluddin, Islam dan Pluralisme: akhlak Quran Menyikapi Perbedaan,(Bandung: Serambil Ilmu Semesta, 2006)

_______, Jalaluddin, Meraih Cinta Ilahi, (Depok: Pustaka IlMaN, 2008)

_______, Jalaluddin, Reformasi Sufistik, Bandung: (Pustaka Hidayah, 1998)

Ricour, Paul, Hermeneutika Ilmu Sosial, Diterj. Muhammad Syukri, (Yogyakarta:Kreasi Wacana, 2006), hlm. 57

Rosyadi, Khoiron, Pendidikan Profetik, (Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2004)

Sanaky, Hujair AH., Konsep Manusia Berkualitas Menurut al-Qur’ān dan UpayaPendidikan, (makalah tidak diterbikan),

Sealy, John, Religious Education Philosophical Perspective, (London: GeorgeAllen & Unwin, 1985),

Shihab, Alwi, Islam Inklusif menuju Sikap Terbuka dalam Beragama (Bandung:Mizan, cet. IV,1998)

Sumartana at al, Pluralisme, Konflik, dan Pendidikan Agama di Indonesia,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001)

Sutrisno Hadi, Metodologi Reseach (Yogyakarta: Andi Offset, 1990)

Tilaar,H.A.R, Multikulturalisme; Tantangan-Tantangan Global Masa Depandalam Transformasi Pendidikan Nasional (Jakarta: Grasindo, 2004)

Winkel, W.S. & M.M Sri Hastuti, Bimbingan dan Konseling di InstitusiPendidikan, (Jakarta: Media Abadi,), cet. IV, hlm. 379. Lihat juga, F.S.Caprio, Mengatasi Rasa Sepi, Frustrasi, dan Rendah Diri, terj. (Jakarta:Arcan, 1984)

Zaini, Muhammad, Membumikan Tauhid; Konsep dan Implementasi PendidikanMultikultural (yogyakarta: Pustaka Ilmu Yogyakarta, 2011)

Page 31: memberikan dorongan akan “kesatuan” melalui keragaman …stainpamekasan.ac.id/media/pdf/Makalah Aicis 2015 Zainuddin Syarif.… · Agustus 2012.4 Pengusiran atas Warga Ahmadiyah

31

Sumber Media:

Bisa dikroscek; “Ini Kronologi Pengusiran Warga Syiah di Sampang” di webhttp://surabaya.okezone.com/read/2013/06/21/521/825293/redirect. Diakses padaJam, 09.30 AM, tanggal; 10/07/2014.

http://nasional.tempo.co/read/news/2015/07/21/078685306/ini-kesaksian-jemaah-salat-id-korban-rusuh-di-tolikara. diakses pada tanggal 30 Juli 2015.

http://nasional.tempo.co/read/news/2015/07/21/078685306/ini-kesaksian-jemaah-salat-id-korban-rusuh-di-tolikara. diakses pada tanggal 30 Juli 2015.