50
Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017 “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 1013 telah dicamour pada panic selama proses pengukusan. Proses pengolahan dimulai dari awal yaitu pembuatan tepung ubi kayu selanjutnya pembuatan beras siger. Pembuatan tepung ubi kayu di mulai dengan pengupasan ubi kayu, pencucian ubi kayu, penggilingan, pengepresan, pengendapan, pemisahan, pengeringan. Ubi kayu dikupas dengan manual menggunakan pisau untuk membuang kulitnya, ubi kayu selanjutnya dicuci hingga bersih dengan air mengalir untuk membuang sisa kulit dan kotoran tanah. Ubi kayu setelah dicuci bersih selanjutnya diparut dengan menggunakan alat pemarut. Pemarutan ini dimaksudkan agar permukaan menjadi luas dan mempermudah dalam ekstraksi pati. Ubi kayu yang sudah diparut kemudian di peras untuk memisahkan antara serat kasar dan pati ubi kayu. Pemerasan selanjutnya dilakukan dengan pengepresan menggunakan alat pengepes hal ini dilakukan agar terekstrak sempurna. Pati ubi kayu hasil pemerasan dan pengepresan selanjutnya direndam untuk memisahkan air dan pati yang selanjutnya pati akan dikeringkan dan digunakan untuk bahan pencampur pembuatan beras siger. Ampas hasil pemerasan selanjutnya dikeringkan, pengeringan ini masih menggunakan pengering matahari yang tergantung pada cuaca. Proses pengeringan bertujuan untuk mengurangi kandungan air pada ampas ubi kayu. Ampas ubi kayu yang telah kering kemudian di giling dengan menggunakan mesin penggiling, hal ini dilakukan agar berbentuk tepung. Setelah di giling selanjutnya di ayak agar menghasikan bubuk ampas yang halus. Proses pembuatan beras siger dimulai dengan penimbangan tepung ubi kayu dan bahan tambahan, pencampuran bahan tambahan dengan tepung ubi kayu, pengukusan, pencetakan, pengeringan, dan pengemasan. Tepung ampas ubi kayu selanjutnya di buat adonan dengan menambahkan tepung tapioka, air dan emulsifier kemudian dihomogenkan dengan tangan. Pengadukan dilakukan terus hingga diperoleh adonan yan kalis dan homogen. Adonan selanjutnya dikukus dalam panci selama 15 menit. Pengukusan dimaksudkan agar terjadi proses gelatinisasi pati sehingga bahan dapat menyatu dan memudahkan dalam pencetakan. Pencetakan butiran beras siger dari adonan yang sudah homogen dengan menggunakan alat ekstruder, adonan dimasukkan ke alat kemudian keluar melewati lubang ukuran 2x6 mm , kemudian dipotong dengan pisau berputar Butiran beras siger yang keluar dari alat pengukus kemudian dikeringkan dengan memanfaatkan sinar matahari. Pengeringan beras siger dimaksudkan untuk menurunkan kadar air sampai dibawah 15% agar memiliki umur simpan produk yang cukup panjang. Pengemsan merupakan aspek yang sangat penting pada pembuatan beras siger. Produk beras siger yang dihasilkan dibungkus dalam kemasan rapat. Kemasan yang digunakan untuk mengemas produk beras siger adalah plastik transparan. Kemasan ini dapat mencegah masuknya udara dari luar ke dalam kemasan dan mencegah tumbuhnya jamur dan berkembangnya bakteri. Aspek Manajemen Tenaga kerja yang dipekerjakan rencananya akan memperkerjakan masyarakat sekitar yang berdomisili di daerah sekitar pabrik guna menciptakan lapangan pekerjaan bagi warga yang berada di sekitar pabrik. Perekrutan tenaga kerja, perusahaan tidak memiliki standar khusus karena perusahaan lebih mengutamajan kemampuan kerja dan keterampilan daripada tingkat pendidikan. Rencananya perusahaan akan memperkerjakan 4 orang yang akan dibagi perbagian proses produksi. Mulai dari penerimaan bahan baku hingga pengemasan produk akhir. Dalam merekrut karyawan perusahaan akan mengambil dari berbagai

menambahkan tepung tapioka, air dan - thp.fp.unila.ac.idthp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/buku-2_Part7.pdfPembuatan tepung ubi kayu di mulai dengan pengupasan ubi

  • Upload
    hadiep

  • View
    216

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: menambahkan tepung tapioka, air dan - thp.fp.unila.ac.idthp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/buku-2_Part7.pdfPembuatan tepung ubi kayu di mulai dengan pengupasan ubi

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 1013

telah dicamour pada panic selama proses pengukusan.

Proses pengolahan dimulai dari awal

yaitu pembuatan tepung ubi kayu selanjutnya pembuatan beras siger. Pembuatan tepung ubi kayu di mulai dengan pengupasan ubi kayu, pencucian ubi kayu, penggilingan, pengepresan, pengendapan, pemisahan, pengeringan. Ubi kayu dikupas dengan manual menggunakan pisau untuk membuang kulitnya, ubi kayu selanjutnya dicuci hingga bersih dengan air mengalir untuk membuang sisa kulit dan kotoran tanah. Ubi kayu setelah dicuci bersih selanjutnya diparut dengan menggunakan alat pemarut. Pemarutan ini dimaksudkan agar permukaan menjadi luas dan mempermudah dalam ekstraksi pati. Ubi kayu yang sudah diparut kemudian di peras untuk memisahkan antara serat kasar dan pati ubi kayu. Pemerasan selanjutnya dilakukan dengan pengepresan menggunakan alat pengepes hal ini dilakukan agar terekstrak sempurna. Pati ubi kayu hasil pemerasan dan pengepresan selanjutnya direndam untuk memisahkan air dan pati yang selanjutnya pati akan dikeringkan dan digunakan untuk bahan pencampur pembuatan beras siger. Ampas hasil pemerasan selanjutnya dikeringkan, pengeringan ini masih menggunakan pengering matahari yang tergantung pada cuaca. Proses pengeringan bertujuan untuk mengurangi kandungan air pada ampas ubi kayu. Ampas ubi kayu yang telah kering kemudian di giling dengan menggunakan mesin penggiling, hal ini dilakukan agar berbentuk tepung. Setelah di giling selanjutnya di ayak agar menghasikan bubuk ampas yang halus.

Proses pembuatan beras siger dimulai dengan penimbangan tepung ubi kayu dan bahan tambahan, pencampuran bahan tambahan dengan tepung ubi kayu, pengukusan, pencetakan, pengeringan, dan pengemasan. Tepung ampas ubi kayu selanjutnya di buat adonan dengan

menambahkan tepung tapioka, air dan emulsifier kemudian dihomogenkan dengan tangan. Pengadukan dilakukan terus hingga diperoleh adonan yan kalis dan homogen. Adonan selanjutnya dikukus dalam panci selama 15 menit. Pengukusan dimaksudkan agar terjadi proses gelatinisasi pati sehingga bahan dapat menyatu dan memudahkan dalam pencetakan. Pencetakan butiran beras siger dari adonan yang sudah homogen dengan menggunakan alat ekstruder, adonan dimasukkan ke alat kemudian keluar melewati lubang ukuran 2x6 mm , kemudian dipotong dengan pisau berputar Butiran beras siger yang keluar dari alat pengukus kemudian dikeringkan dengan memanfaatkan sinar matahari. Pengeringan beras siger dimaksudkan untuk menurunkan kadar air sampai dibawah 15% agar memiliki umur simpan produk yang cukup panjang. Pengemsan merupakan aspek yang sangat penting pada pembuatan beras siger. Produk beras siger yang dihasilkan dibungkus dalam kemasan rapat. Kemasan yang digunakan untuk mengemas produk beras siger adalah plastik transparan. Kemasan ini dapat mencegah masuknya udara dari luar ke dalam kemasan dan mencegah tumbuhnya jamur dan berkembangnya bakteri. Aspek Manajemen

Tenaga kerja yang dipekerjakan rencananya akan memperkerjakan masyarakat sekitar yang berdomisili di daerah sekitar pabrik guna menciptakan lapangan pekerjaan bagi warga yang berada di sekitar pabrik. Perekrutan tenaga kerja, perusahaan tidak memiliki standar khusus karena perusahaan lebih mengutamajan kemampuan kerja dan keterampilan daripada tingkat pendidikan. Rencananya perusahaan akan memperkerjakan 4 orang yang akan dibagi perbagian proses produksi. Mulai dari penerimaan bahan baku hingga pengemasan produk akhir. Dalam merekrut karyawan perusahaan akan mengambil dari berbagai

Page 2: menambahkan tepung tapioka, air dan - thp.fp.unila.ac.idthp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/buku-2_Part7.pdfPembuatan tepung ubi kayu di mulai dengan pengupasan ubi

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”1014

tingkatan mulai dari SD sampai perguruan tinggi, dan akan mengutamakan kemauan dan kemampuan bekerja karyawan. Jam kerja akan dimulai pada pukul 08.00 WIB sampai pukul 16.00 WIB dan akan memberikan libur kerja pada hari minggu dan pada hari raya besar. Aspek Pasar dan Pemasaran

Analisis aspek pasar penting dilakukan dalam rangka mengetahui peluang penawaran produk yang akan dihasilkan oleh industri pada pasar yang akan dituju secara kompetitif dan menguntungkan. Pada aspek pasar ini dilakukan terhadap potensi pasar, kebutuhan pasar serta peluang pasar atau kecenderungan permintaan produk. Kegiatan pemasaran pabrik beras siger akan dilaksanakan mulai dari menyediakan produk beras siger yang berkualitas, menawarkan harga yang kompetitif, membuka saluran distribusi dari produsen sampai ke konsumen dan melihat upaya yang digunakan dalam mempromosikan produknya.

Beras siger merupakan beras yang terbuat dengan bahan dasar ubi kayu yang diproses sehingga karakteristik dapat mendekati beras dan dapat menjadi bahan pengganti beras dan baik untuk kesehatan karena memiliki kadar gula yang lebih rendah dibandingkan beras. Hal tersebut merupakan peluang usaha untuk menghasilkan nilai tambah dari ubi kayu dan mengurangi konsumsi beras. Peluang pasar beras siger cukup tinggi sejalan dengan kesadaran masyarakat akan kesehatan dimana beras siger dapat menjadi subtitusi dari beras. Beras siger memiliki sifat yang lebih baik dari beras padi karena memiliki indeks glikemik yang lebih rendah. Teknologi produksi beras siger dengan proses bahan baku diharapkan dapat menghasilkan beras siger dengan sifat mendekati beras siger sehingga memudhkan untuk diterima di pangsa pasar serta membuka peluang pasar beras siger yang lebih luas ditingkat lokal, regional , dan nasional.

Produk yang dihasilkan adalah beras siger dengan merk dagang Beras Siger Unila yang kualitasnya akan dijaga. Terjaganya kualitas karena produk beras siger akan diolah dengan penggunaan komposisi bahan tambahan makanan yang memenuhi persyaratan yang direkomendasikan. Persyaratan bahan tambahan mengacu pada SNI tentang Bahan Tambahan Makanan yang dalapt dilihat pada Lampiran. Merk dagang Beras Siger Unila diambil karena beras siger ini ditemukan oleh salah satu dosen Unila. Selain itu merek dagang ini juga lebih mudah diingat dan sudah tidak asing lagi dengan menggunakan kata Unila.

Saluran distribusi merupakan salah satu kegiatan dalam bauran pemasaran yang tidak kalah peting untuk dilakukan oleh perusahaan agar produknya lebih mudah dijangkau dan tersedia bagi pasar sasarannya sehingga konsumen mudah mendapatkannya. Pada industri beras siger ini direncanakan jalur distribusi tidak terlalu panjang yaitu dengan menyalurkan produk beras siger melalui agen-agen dan kemudian meyalurkan produk beras siger sampai kepada konsumen akhir. Aspek Lingkungan

Proses pembuatan beras siger menghasilkan limbah berupa air hasil pengendapan tapioka dan limbah padat berupa kulit ubi kayu. Kegiatan operasional usaha ini tidak akan mengganggu keseimbangan lingkungan karena limbah padat yang dihasilkan berupa kulit akan dijual kepada peternak sebagai pakan ternak. Limbah cair tersebut akan dilakukan perlakuan khusus dengan sistem . Pembuangan limbah cair yang sudah bersih akan dimanfaatkan untuk menyiram tanaman disekitar perusahaan. Mesin yang akan digunakan merupakan alat-alat yang memiliki tingkat kebisingan yang rendah sehingga adanya kebisingan yang ditimbulkan oleh mesin-mesin ketika sedang

Page 3: menambahkan tepung tapioka, air dan - thp.fp.unila.ac.idthp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/buku-2_Part7.pdfPembuatan tepung ubi kayu di mulai dengan pengupasan ubi

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 1015

beroperasi tidak akan mengganggu masyarakat setempat.

Aspek Finansial

Aspek finansial merupakan aspek yang digunakan untuk menggambarkan hal-hal berkaitan dengan keuntungan perusahaan. Investasi yang dilakukan memerlukan perhitungan kemungkinan keuntungan yang tinggi agar harapan untuk mendaptkan nilai lebih pada waktu mendatang dapat tercapai.

Biaya Investasi

Biaya investasi yaitu biaya yang diperlukan pada saat mendirikan industri beras siger. Biaya ini terbentuk atas dua komponen yaitu biaya tetap dan biaya modal kerja. Biaya tetap merupakan biaya yang diperlukan untuk keperluan fisik dari pabrik, mulai dari pembangunan pabrik, pembelian mesin, dan peralatan. Modal kerja adalah gabungan biaya pabrik tidak langsung (biaya tenaga kerja tidak lansung, administrasi, dan pemasaran), biaya bahan mentah, bahan bakar, tenaga kerja langsung, dan persediaan kas. Biaya modal kerja adalah biaya operasi yang diperlukan untuk memproduksi beras siger pada pertama kali. Komposisi modal kerja investasi beras siger dapat dilihat pada Tabel 1. dan biaya investasi industri beras siger dapat dilihat pada Tabel 2.

Investasi pabrik beras siger bernilai Rp 201.000.000,00. Dana yang tersedia tersebut digunakan untuk modal investasi pada awal tahun, kegiatan produksi pada bulan pertama dan biaya penyusutan di tahun pertama. Sumber dana yang digunakan seluruhnya adalah berasal dari dana hibah pemerintah. Skala usaha ini termasuk skala usaha kecil (berdasarkan Kemetrian Perindustrian dan perdagangan) dilihat dari dana yang dibutuhkan yaitu diantara Rp 50.000.000,00 sampai Rp 500.000.000,00.

Analisis Penentuan Harga Pokok Produksi Penentuan harga pokok produksi

merupakan cara untuk memperhitungkan unsur-unsur biaya kedalam harga pokok produksi. Penentuan harga pokok ini menggunakan metode full costing merupakan metode penentuan harga pokok produksi yang memperhitungkan semua unsure biaya produksi, yang terdiri dari bahan baku, biaya tenaga kerja langsung, dan biaya overhead pabrik, baik berperilaku variabel maupun tetap. Perhitungan harga pokok produksi per 1 kg dapat dilihat pada Tabel 3.

Berdasarkan hasil perhitungan didapatkan harga pokok produksi sebesar Rp 5.382.000,00 perbulan. Dari harga pokok produksi tesebut dapat di hitung harga pokok produksi perunit sebesar Rp 11.700,00. Kriteria Kelayakan Investasi

Kriteria investasi yang digunakan antara lain NPV, IRR, Net Benefit-Cost Ratio (B/C Ratio) dan BEP, untuk melakukan perhitungan kriteria kelayakan diperlukan metode yang diperhitungkan pula nilai perubahan uang terhadap waktu factor disconto. Diskonto merupakan teknik yang dapat menurunkan manfaat yang diperoleh pada masa mendatang dan aru biaya menjadi nilai biaya pada masa mendatang dan arus biaya menjadi nilai biaya pada masa sekarang. Faktor diskonto hanya sebagai alat bantu untuk menghitung kriteria investasi. Net Present Value (NPV)

Net Present Value (NPV) merupakaan selisih antara present value dan investasi dengan nilai sekarang dari penerimaan-penerimaan kas bersih di masa yang akan datang. Proyek dikatakan menguntungkan dan layak apabila nilai penerimaan kas bersih dimasa yang akan datang lebih besar daripada nilai sekarang begitu pula sebaliknya. Berdasarkn hasil perhitungan, didapatkan nilai NPV dapat dilihat pada Tabel 4.

Page 4: menambahkan tepung tapioka, air dan - thp.fp.unila.ac.idthp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/buku-2_Part7.pdfPembuatan tepung ubi kayu di mulai dengan pengupasan ubi

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”1016

Berdasarkan Tabel 4. ditunjukkan bahwa dengan tingkat diskonto 10% akan diperoleh nilai Net Present Value (NPV) sebesar Rp 103.716.000 selama umur proyek 5 tahun menurut nilai waktu uang sekarang. Nilai NPV lebih dari nol, oleh karena itu maka nilai industry beras siger dinyatakan layak sesuai perhitungan NPV. Net Benefit-Cost Ratio (B/C Ratio)

Nilai B/C ratio adalah sebesar 1,516. Nilai tersebut berarti bahwa nilai manfaat yang akan diperoleh pada usaha ini adalah sebesar 1,516 kali lipat dari nilai biaya yang dikeluarkan pada tingkat bunga sebesar 10%. Karena B/C ratio ini lebih besar dari satu maka industri ini layak untuk dilakukan. Nilai B/C ratio pada industri beras siger dapat dilihat pada Tabel 5.

Internal Rate of Return (IRR)

Internal Rate of Return (IRR) merupakan tingkat bunga yang menyamakan nilai sekarang investasi dengan nilai sekarang penerimaan-penerimaan kas bersih di masa datang. Proyek layak dilaksanakan bila mempunyai nilai IRR yang lebih besar dari nilai faktor diskonto, artinya investasi tersebut memberikan manfaat lebih dibandingkan dengan suku bunga yang diberikan. Hasil perhitungan IRR industri beras siger dapat dilihat pada Tabel 6.

Nilai Internal Rate of Return (IRR) sebesar 28,73% dan lebih besar dari tingkat suku bunga yang berlaku (14%) maka dapat dikatakan industri beras layak untuk direalisasikan. Pay Back Periode

Nilai tersebut menerangkan bahwa industry beras siger layak untuk direalisasikan, karena mempunyai waktu pengembalian lebih cepat daripada umur proyek. Informasi criteria investasi yang dipaparkan menggambarkan bahwa industri beras siger layak untuk direalisasikan. Nilai

Payback Period pada usaha ini menunjukkan masa pengembalian investasi yang ditanamkan yaitu 2 tahun dalam masa proyek lima tahun. Nilai Pay Back Periode pada industry beras siger dapat dilihat pada Tabel 7.

KESIMPULAN

Dari indikator finansial usaha beras siger dari ubikayu ini layak dilakukan dengan nilai hasil perhitungan NPV (Net Present Value) (Rp. 103.716.000), IRR (Internal Rate of Return) (28,73%), b/c rasio (1,516), dan PBP (Payback Periode) (2 tahun).

UCAPAN TERIMAKASIH Kemenristek Dikti melalui pendanaan

Hibah Produk Terapan tahun 2017.

DAFTAR PUSTAKA

Astuti, E.P. 2008. Analisis Preferensi dan Kepuasan Konsumen Terhadap Beras Di Kecamatan Mulyorejo Surabaya Jawa Timur. Fakultas Pertanian. Istitut Pertanian Bogor.

Badan Pusat Statistik. 2007. Indikator Kesejahteraan Rakyat Indonesia. Jakarta : BPS.

Budijanto, Selamet. 2012. Beras dari Tepung Nonpadi. Jurnal Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pasca Panen. Bogor.

Budijanto, Selamet. F.S. Budi., P. Hariyadi., D. Syah. 2013. Teknologi Proses Ekstrusi untuk Membuat Beras Siger. Majalah Pangan. 22(3): 263-274.

Budijanto, Selamet., S. Noviasari., F. Kusnandar., A. Setiyono. 2015. Beras Siger Sebagai Pangan Fungsional dengan Indeks Glikemik Rendah. Jurnal Gizi Pangan. 10(3) : 225-232.

Page 5: menambahkan tepung tapioka, air dan - thp.fp.unila.ac.idthp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/buku-2_Part7.pdfPembuatan tepung ubi kayu di mulai dengan pengupasan ubi

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 1017

Halim. 2012. Beras Siger, Nasi atau Ubi kayu?. http://www.polinela.ac.id/. Diakses 14 Desember 2016.

Hidayat, Beni. 2016. Prospek Pengembangan dan Teknologi Pengolahan Beras Siger. Pidato Ilmiah. UP Politeknik Negri Lampung. Bandar Lampung

Novia,W., W. A. Zakaria dan D. A. H. Lestari. 2013. Analisis Nilai Tambah dan Kelayakan Pengembangan Agroindustri Beras Siger. Jurnal Ilmu-Ilmu Agribisnis. 1 (3): 210-217.

Page 6: menambahkan tepung tapioka, air dan - thp.fp.unila.ac.idthp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/buku-2_Part7.pdfPembuatan tepung ubi kayu di mulai dengan pengupasan ubi

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”1018

KINETIKA PENURUNAN KANDUNGAN IODIUM DALAM BERAS FORTIFIKASI SELAMA PENYIMPANAN

THE KINETICS OF IODINE CONTENT DECREASE IN FORTIFIED RICE

DURING STORAGE

Wisnu, C.1, Syarif, A.1*, Diki N.2

1Jurusan Teknologi Pangan ,Fakultas Teknik Universitas Pasundan 2Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

*Email Korespondensi: [email protected]

ABSTRACT

Iodine Deficiency Disorders (IDD) is a major public health problem in several areas of the world, especially in developing countries. Iodine deficiency can cause goitre, cretinism, decrease of intelligence, mental retardation, brain damage, deaf-autism, and cause miscarriage in pregnant women and stillbirth as well. In this research, the determination of the kinetics of decreased iodine content in fortified rice with microcapsule containing iodine were carried out by Accelerated Self-Life Test (ASLT) and Arrhenius equation methods. The results of research showed that kinetics of iodine content decrease average in fortified rice (k) was 0.0141 mg kg-

1hour-1 and 1.692 kcal mol-1K-1 of activation energy (Ea). This suggests that iodine (as KIO3) in encapsulated ingredients of fortified rice was fairly stable during storage, but there was still a decrease in iodine content caused by several factors (i.e. temperature, atmosphere, humidity, oxygen and moisture content). The results showed that the higher storage temperature causing the value of kinetics (rate constant) decreased of iodine content to be bigger. The longest shelf life of fortified rice was 92 days with storage temperature of 25oC. Key words : fortified rice, Iodine deficiency disorders, microencapsulation, reaction kinetics

ABSTRAK Iodine Deficiency Disorders (IDD) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang umum terjadi pada beberapa area di belahan bumi, terutama di negara berkembang. Kekurangan Iodium, bisa menyebabkan penyakit yang dikenal sebagai penyakit goigtre/gondok, kretinisme, penurunan kecerdasan/intelegensi, keterbelakangan mental, kerusakam otak, bisu tuli, dan kejadian keguguran pada wanita hamil atau kelahiran bayi tidak pada waktunya. Dalam penelitian ini dilakukan penentuan dari kinetika penurunan kandungan iodium dalam fortifikasi beras dengan pelapisan mirko yang berisi iodium diukur dengan menggunakan Accelerated Self-Life Test (ASLT) dan metode persamaan Arrhenius. Hasil dari penelitian memperlihatkan dimana kinetika penurunan kandungan iodium rata-rata dalam fortifikasi beras sebesar 0.0141mg kg-1jam-1 dan 1.692 kcal mol-1K-1 dari energi aktifasinya (Ea). Iodium (sebagai KIO3) dalam bahan-bahan yang terlapisi dari fortifikasi beras cukup stabil selama penyimpanan, akan tetapi masih bias terjadi penurunan kandungan iodium oleh karena beberapa faktor (diantaranya suhu, atmosfir, kelembaban, kandungan oksigen dan air). Hasil penelitian memperlihatkan

Page 7: menambahkan tepung tapioka, air dan - thp.fp.unila.ac.idthp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/buku-2_Part7.pdfPembuatan tepung ubi kayu di mulai dengan pengupasan ubi

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 1019

bahwa suhu penyimpanan yang tinggi menyebabkan nilai penurunan kinetika (laju konstan) dari kandungan iodium bisa menjadi besar. Masa simpan terlama dari fortifikasi beras adalah 92 hari dengan perlakukan penyimpanan pada suhu 25oC. Kata kunci : beras fortifikasi, kinetika reaksi, mikroenkapsulasi, Penyakit kekurangan

Iodium

PENDAHULUAN

Iodine Deficiency Disorders (IDD) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang utama di beberapa area di dunia terutama di negara berkembang. Dilaporkan ada 2,2 milyar orang (38% dari total populasi dunia) hidup di area dengan kondisi kekurangan Iodium dan resiko komplikasinya. Iodine Deficiency Disorders (IDD) merupakan salah satu masalah nutrisi utama di Indonesia dengan perkiraan 140 juta populasi yang mempunyai penurunan nilai IQ diduga disebabkan oleh kekurangan Iodium dan sekitar 42 juta orang tinggal di area endemic. (Diosady et al., 1997; WHO.,1999).

Kekurangan Iodium dapat menyebabkan terjadinya gondok, kretinisme, penurunan kecerdasan, keterbelakangan mental, kerusakan otak, bisu tuli serta kejadian keguguran pada wanita hamil atau kelahiran bayi tidak pada waktunya. Untuk mengurangi kekuranagn Iodium, pemerintah melakukan penerapan program penggunaan garam ber-iodium dengan penambahan Kalium Iodat kedalam garam dapur. Kekurangan Iodium bisa terjadi karena mengkonsumsi garam tanpa Iodium atau garam yang mengandung iodium dibawah persyaratan minimum (Diosady et al., 1998; WHO, 1999).

Penurunan kualitas kinetika merupakan hal sangat penting, baik pada saat proses maupun saat distribusi makanan. Beberapa peneliti pernah melaporkan mengenai fenomena pelepasan dari penurunan kandungan iodium dalam makanan, seperti yang dilaporkan oleh Chauhan, tetapi secara umum masih laporan kualitatif. Proses

pelepasan tidak akan berpengaruh terhadap jumlah iodium (sebagai KIO3) dalam makan jika menggunakan kemasan yang baik. Stabilitas iodium dalam makanan juga dipengaruhi oleh jenis makanan, kandungan air dan temperature pemasakan pada saat proses pemasakan. Level penurunan iodium selama pemasakan berkisar dari 36.6% - 86.1%. Penyebaran dari iodat ke jenis iodium lain (iodide dan iodine) selama pemanasan/pemasakan memperlihatkan bahwa iodat tidak stabil pada kondisi tersebut (Diosady et al., 1998; Bhatnagar, A., et al., 1997; Chauhan, S.A., et al., 1992; Wang, G.Y., et al., 1999). Pengaruh suhu dalam kinetika reaksi atau stabilitas iodium dlam beras fortifikasi dapat dipelajari secara empiris dari berbagai aspek seperti thermodynamics dan statistik. Pada dasarnya, nilai logaritme ketetapan laju reaksi untuk penurunan kandungan iodium berbanding erbalik secara proporsional terhadap suhu absolut, dengan kata lain kinetika (k) dipengaruhi oleh factor suhu. Fenomena tersebut di ekspersikan oleh persamaan Arrhenius dibawah ini, ko = faktor pre-exponensial, Ea = energy aktivasi, merupakan energy ekstra yang di butuhkan oleh substrat to mencapai kemungkinan level tingi untuk berlangsungnya reaksi R = gas constant (1.986 cal / mol K), dan T = temperature (K) (Suyitno, 1997)

k = ko e –Ea/RT

ln k = ln k0 -

Page 8: menambahkan tepung tapioka, air dan - thp.fp.unila.ac.idthp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/buku-2_Part7.pdfPembuatan tepung ubi kayu di mulai dengan pengupasan ubi

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”1020

Berbagai usaha sudah dilakukan untuk mengurangi kerusakan akibat defisiensi iodine, diantaranya adalah fortifikasi terhadap beras menggunakan iodine. Hal ini dikarenakan nasi adalah makanan pokok bagi 90% penduduk Indonesia. Konsumsi beras di Indonesia adalah sekitar 150kg/kapita atau sekitar 200 g/hari, dimana kebutuhan iodin bagi pertumbuhan normal pada manusia dewasa mendekati 150 mg iodin/day, sehingga iodine yg terkandung dalam beras yg difortifikasi hanya diperlukan dalam jumlah kecil (sekitar 750 mg/kg atau 0,75 ppm). (Pedersen et al.,2002).

Fortifikasi pangan mengacu pada penambahan mikronutrien kedalam olahan pangan. Dalam banyak situasi, strategi ini dapat membawa kepada peningatan yg relative cepat dalam status mikronutrien pada sebuah populasi, dan pada harga yg masuk akal, terutama jika keuntungan dari teknologi yang ada dan jaringan distribusi setempat. Karena keuntungannya berpotensi menjadi besar, fortifikasi pangan dapat menjadi intervensi kesehatan public yg sangat efektif dari segi biaya. Namun demikian kebutuhan yg paling nyata adalah pangan terfortifikasi perlu dikonsumsi dalam jumlah yg seimbang oleh individu2 tertentu dalam suatu populasi dalam proporsi besar. (Lindsay, A, et al., 2006)

Mikroenkapsulasi adalah proses pembuatan mikrokapsul dari materi aktif dalam bentuk solid, liquid atau disperse, dengan sebuah lapisan tipis dari kapsul (Hogan et al. 2001; Tulyathan et al. 2006; Wegmuller et al. 2006). Mikroenkapsulasi dari iodine diharapkan dapat mempertahankan kandungan iodin dalam beras selama penyimpanan, penanganan, pencucian dan pemasakan. Masalah yang harus dihadapi biasanya adalah bagaimana mempertahankan kandungan iodin dalam beras selama penyimpanan, penanganan, pencucian dan pemasakan. Mikroenkapsulasi dapat memberikan perlindungan terhadap kondisi

lingkungan yang merugikan seperti temperature tinggi, kelembaban, cahaya dan reaksi dengan material lain yang tidak diinginkan. Lebih jauh lagi dengan mikroenkapsulasi kecepatan dari pelepasan komposisi aktif dapat dikontrol (pelepasan terkontrol) sehingga dapat memperluas ketersediaan iodine (Yuliani, S. 2009 dan 2011).

BAHAN DAN METODE

Material

Larutan standar CertiPUR dari KIO3p.a dan KI p.a (Merck, Darmstadt, Germany), malthodextrin, tofu whey powder, aquadest, simulasi beras terfortifikasi yg digunakan sebagai sampel, amylum 10%, konsentrat H3PO4 dan larutan 0,01 N Na2S2O3

Peralatan Produksi mikrokapsul yang mengandung iodin

Bahan bahan mikrokapsul dibuat dengan mencampur 129.50 g maltodextrin, tepung whey tofu 55.5 g, 15 g potassium iodat dan 800 g air destilasi kedalam blender dan aduk dengan baik sampai benar2 tercampur. Uji terhadap warna dan viskositas dilakukan sebelum bahan mikrokapsul menjalani proses pengeringan (harus dibawah 24 cp), kemudian proses homogenisasi dilakukan selama 15 detik pada kecepatan 11000 rpm menggunakan homogenizer. Suspensi mikrokapsul dikeringkan menggunakan spray dryer dengan temperature dalamnya sebesar 1700C dan kecepatan aliran sebesar 15 mL/min. Proses fortifikasi mikrokapsul yang mengandung iodin kedalam beras

Proses fortifikasi mikrokapsul yang mengandung iodin kedalam beras dilakukan dengan cara menyemprot atomisasi suspensi mikrokapsul selama proses penggilingan

Page 9: menambahkan tepung tapioka, air dan - thp.fp.unila.ac.idthp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/buku-2_Part7.pdfPembuatan tepung ubi kayu di mulai dengan pengupasan ubi

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 1021

beras. Untuk membuat suspense mikrokapsul iodin yaitu dengan melarutkan kira-kira 70 g mikrokapsul kedalam 100 mL aquadest dalam sebuah beaker glass, lalu aduk dan homogenasi selama 15 detik pada kecepatan 11000rpm. Lalu suspense mikrokapsul diatomisasi menggunakan mesin atomisasi khusus kedalam beras di akhir proses penggilingan beras dengan kecepatan iodisasi 0.5mL/kg/min. Beras teriodisasi (fortifikasi beras) disimpan dalam wadah lalu ditimbang seberat masing2 250 g dan dikemas dalam kantung plastic HDPE lalu disimpan pada temperature yang berbeda selama periode waktu tertentu. Kemudian lakukan pengamatan dan penentuan kinetic dari kandungan iodin dalam beras terfortifikasi tsb. Penentuan kinetic dari penurunan kandungan iodin dalam beras terfortifikasi selama penyimpanan

Beras terfortifikasi dikemas dalam kantung plastic HDPE dan disimpan selama 8 hari dalam sebuah incubator dengan kondisi kelembabab ruang pada suhu berturut turut 25, 40 dan 65 derajat Celsius. Percobaan tersebut dilakukan dengan 3x pengulangan dan pengamatan dibuat pada hari ke 0, 2, 4, 6, dan 8. Metode yang digunakan utk menentukan kinetic dari penurunan kandungan iodin adalah dgn menggunakan ASLT dan menerapkan persamaan Arrhenius. Analisa terhadap kandungan iodin dalam sample menggunakan metode iodometri. Penentuan kandungan iodin dalam beras terfortifikasi

Penentuan kandungan iodin dalam beras terfortifikasi adalah dengan menggunakan metode iodometri. Pertama-tama adalah persiapan bahan-bahan yang akan digunakan dalam Analisa iodometri seperti larutan amylum 10%, konsentrat H3PO4 dan

larutan 0,01N Na2S2O3 (thiosulfate) serta bubuk KI. Selanjutnya beras terfortifikasi digiling menggunakan grinder utk mendapatkan serbuk sari beras. Kira kira sebanyak 25 g sample beras terfortifikasi ditimbang dan dilarutkan kedalam 50 mL aquadest. Sample kemudian disaring menggunakan kertas saring. Lalu filtrat ditambahkan dengan 2.5 mL konsentrat H3PO4dan 1 g KI. Setelah larut, tambahkan 10% larutan amylum sebagai indicator, lalu filtrat dititrasi dengan larutan Na2S2O3 0.01N sebagai titrant sampai warna biru dalam larutan menghilang. Kandungan KIO3 = Vol Na2S2O3 x konst Na2S2O3 x 35.67 x 100% ___________________________________ Berat sample (mg)

HASIL DAN PEMBAHASAN Beras terfortifikasi yang mengandung

iodin akan berkurang kualitasnya sejalan dengan meningkatnya umur simpan. Kinetik dari berkurangnya kandungan iodin dipengaruhi oleh suhu, humiditas, oksigen, kandungan moisture, keasaman, sinar matahari, jenis pengemas, lama penyimpanan dan ketidakmurnian yg mengurangi zat atau higroskopis. Metode yang digunakan utk menentukan kinetic dari penurunan kandungan iodin dalam beras terfortifikasi adalah dgn menggunakan ASLT. Metode ini digunakan dengan proses percepatan atau reaksi pengurangan kualitas dalam sebuah eksperimen dengan meningkatkan suhu penyimpanan pada 25, 40, dan 65 derajat celcius dengan lama penyimpanan adalah 8 hari. Hasil dari perhitungan pengurangan kandungan iodin dalam beras terfortifikasi pada suhu dan waktu bervariasi ditunjukan dalam tabel 1 gambar 1

Page 10: menambahkan tepung tapioka, air dan - thp.fp.unila.ac.idthp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/buku-2_Part7.pdfPembuatan tepung ubi kayu di mulai dengan pengupasan ubi

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”1022

Tabel 1: Hasil perhitungan penurunan kandungan iodin dalam beras fortifikasi pada suhu dan waktu penyimpana yang berbeda

Waktu simpan (jam)

Temperature (oC)

25oC 40oC 65oC

Iodin (mg/kg) ln Ca Iodine (mg/kg)

ln Ca Iodine (mg/kg) ln Ca

0 26.27 3.27 26.27 3.27 26.27 3.27

48 12.85 2.55 14.19 2.65 22.30 3.10

96 10.13 2.31 10.14 2.32 10.84 2.38

144 5.42 1.67 8.12 2.09 6.77 1.91

192 2.71 1.00 0.67 0.00 0.67 0.00

a ln C = penurunan kandungan iodin

Gambar 1: Kurva penurunan kandungan iodin pada beras fortifikasi (hubungan antara waktu simpan dengan ln C) dalam suhu berbeda

Kinetika (laju constant) dari

penurunan kualitas pada suhu bervariasi dapat dikalkulasi berdasarkan kalkulasi matematis dengan menggunakan, dasarnya nilai

logaritma pada laju reaksi konstan bersifat proporsional terhadap suhu absolut sebagaimana ditunjukan pada tabel 2, gambar 2.

0.

1.

2.

3.

4.

0 48 96 144 192

ln C

a

Storage time (hour)

y = 3,2463 - 0,0113 x r = -0,99

y = 3,4854 - 0,0148 x r = -0,91

Page 11: menambahkan tepung tapioka, air dan - thp.fp.unila.ac.idthp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/buku-2_Part7.pdfPembuatan tepung ubi kayu di mulai dengan pengupasan ubi

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 1023

Tabel 2: Hubungan antara konstanta (k) penurunan kandungan iodin dengan suhu (1/T)

Suhu Suhu (T+273) 1/T k ln k

25oC 298 0.00336 0.0113 -4.4829

40oC 313 0.00319 0.0148 -4.2131

65oC 338 0.00296 0.0161 -4.1289

Activity Energy (Ea) = 1.986 kal/mol k (852) = 1.692 kkal mol-1 K-1

Gambar 2: Kurva hubungan antara 1/T dengan ln k

Dengan kata lain reaksi kinetic (k)

sangat kuat dipengaruhi oleh faktor suhu. Parameter yg diuji di riset ini adalah penurunan kandungan iodin dalam beras terfortifikasi. Hasil penentuan menunjukan bahwa kinetic dari penurunan kandungan

iodin dalam beras terfortifikasi mengikuti reaksi urutan pertama dimana rata2 penurunan kandungan iodine (k) adalah 0.01441 mg kg-

1jam-1 dan energi aktivasi (Ea) adalah 1,692 kcal mol-1K-1 sebagaimana ditunjukan dalam tabel 3.

Tabel 3: Hasil perhitungan kinetika penurunan kandungan iodin pada berbagai suhu

Suhu (K) 1/T Kinetika penurunan kandungan iodin (mg kg-1 hour-1)

298 0.00336 0.0119

313 0.00319 0.0136

338 0.00296 0.0167

Rata-rata 0.0141

y = -852.11x - 1.5738 R² = 0.8465

-4.65

-4.5

-4.35

-4.2

-4.050.0029 0.003 0.0032 0.0033 0.0035

ln k

Temperature (1/T)

Page 12: menambahkan tepung tapioka, air dan - thp.fp.unila.ac.idthp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/buku-2_Part7.pdfPembuatan tepung ubi kayu di mulai dengan pengupasan ubi

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”1024

Bila mempertimbangkan nilai K dan Ea maka terlihat bahwa iodin masih cukup stabil dalam beras terfortifikasi selama waktu penyimpanan, tetapi keberadaan air, suhu, factor pengurang dan ketidakmurnian, asam, cahaya dan jenis kemasan serta proses yang tidak sesuai dapat menyebabkan pengurangan kandungan iodin (Sebagaimana KIO3) dan akan terdekomposisi membentuk species iodide (I-) dan Iodin (I2). Dapat diketahui bahwa nilai penurunan kinetika (laju konstan)

kandungan iodin (k) dan energi aktivasi (Ea) dapat dilanjutkan dengan memperkirakan besarnya penurunan kandungan iodin dalam beras terfortifikasi menggunakan metode yang mengacu pada teori Arhenius tentang kinetika reaksi. Sebagai tambahan, metode ini juga dapat memperkirakan umur simpan dari produk beras terfortifikasi berdasarkan parameter penurunan kandungan iodin yang ditunjukan dalam tabel 4.

Tabel 4: Hasil perhitungan shelf life beras fortifikasi pada berbagai suhu

Suhu (K) kinetika penurunan kandungan

iodin (mg kg-1 hour-1) Shelf life (hari)

298 0.0119 92

313 0.0136 80

338 0.0167 65

Catatan: Shelf life = first concentration (Co)/rate constant of iodine content decrease (k) (Heni, H, 2008)

Sejak beberapa dekade yang lalu, fortifikasi terhadap beras dengan berbagai macam tambahan nutrisi sudah dilakukan di negara maju spt amerika, jepang, filipina dan Australia. Satu metode yang digunakan adalah metode memperkaya, metode ini tidak menggunakan enkapsulasi sebagai system perlindungan bagi vitamin dan mineral yang ditambahkan sehingga kekurangan yg paling menonjol dari metode ini adalah kemungkinan hilangnya nutrisi yang ditambahkan sampai 20-100% selama pemrosesan beras. Kandungan iodine yg berkurang dalam beras terfortifikasi selama penyimpanan sangat berhubungan dengan karakteristik dan sifat alamiah iodin dengan kondisi lingkungan iodin tsb selama penyimpanan (Soeid. 2006). Sementara itu hasil menunjukan bahwa beras terfortifikasi dengan proses mikroenkapsulasi dapat

mempertahankan (tetap stabil) kandungan iodin dengan rentang 48.79 – 84.63% yang disimpan selama 2 hari dan tergantung pada suhu penyimpanan walaupun ada penurunan level iodin pada suhu yg berbeda. Semakin tinggi suhu dan waktu penyimpanan, maka semakin besar penurunan kandungan iodin. Pada dasarnya mikroenkapsulasi iodin bertujuan utk mendapatkan iodin yang lebih stabil. Hasil yang didapat dari mikroenkapsulasi iodin menghasilkan mikrokapsul tak dapat larut sehingga dapat meminimalisasi resiko kehilangan iodin Karena proses fisika kimia pada fortifikasi beras (Wiwin et al. 2012).

Iodin adalah esensial trace element yang ada di alam. Dalam tubuh manusia iodin adalah bagian integral dari hormone tiroid yg berperan penting dalam mengontrol laju metabolisme dasar dan dalam proses

Page 13: menambahkan tepung tapioka, air dan - thp.fp.unila.ac.idthp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/buku-2_Part7.pdfPembuatan tepung ubi kayu di mulai dengan pengupasan ubi

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 1025

reproduksi. Fortifikasi beras dengan mikrokapsul yang mengandung iodin berhasil mengurangi kasus penyakit gondok pada populasi yg sudah diberi supplemen. Ketersediaan iodide dari beras terfortifikasi hanya 10% dari perkiraan 0,75mg iodide dalam garam beryodium yg dikonsumsi per hari. Jumlah 0,075 mg ini menunjukan kurang dari 1% dari jumlah iodide yg digunakan pada study oleh Marine (1920) yaitu 9 mg dan juga kurang dari 1% asupan harian yg direkomendasikan dari larutan Lugol. (Edmundson et al., 1999; Abraham 2006)

KESIMPULAN

Fortifikasi beras dengan mikrokapsul

yang mengandung iodin berhasil menurunkan angka penderita penyakit gondok pada populasi yg sdh diberi supplemen tsb. Hasil dari riset ini menunukan bahwa kinetika rata2 penurunan kandungan iodin dalam beras terfortifikasi (k) adalah 0.0141 mg kg-1jam-1

dan energi aktivasi (Ea) adalah 1,692 kcal mol-1K-1 .

Selanjutnya iodin (KIO3) dalam komposisi terenkapsulasi dalam beras terfortifikasi cukup stabil selama penyimpanan tetapi masih terjadi penurunan kandungan iodin yang disebabkan oleh beberapa factor seperti suhu, atmosfir, humiditas, oksigen, kandungan moisture. Hasil menunjukan bahwa semakin tinggi suhu penyimpanan menyebabkan nilai kinetika penurunan kandungan iodin semakin besar. Umur simpan terlama dari beras terfortifikasi adalah 92 hari pada suhu penyimpanan 25 derajat Celsius.

DAFTAR PUSTAKA

Abraham, G.E. 2006. The history of iodine in

medicine Part III: thyroid fixation and medical iodophobia. Original Internist. June.

Bhatnagar. A.. Maharda. N.S.. Ambardar. V.K.. Dham. D.N.. Magdum. M.. and Sankar. R. 1997. Iodine loss from iodised salt on heating. Indian Journal of Pediatric. 64(6). 883-885.

Chauhan, S.A., Bhatt, A.M., Bhatt, M.P., and Majeethia, K.M., 1992. Stability of Iodized Salt with Respect to Iodine Content, India Research and Industry, V 37, 38-41

Diosady, L.L., Alberti, J.O., Venkatesh, M.M.G. and Stone, T. 1997. Stability of iodine in iodized salt used for correction of iodine deficiency disorders. Food and Nutrition Bulletin 18(4): 388-396.

Diosady, L.L., Alberti, J.O. and Mannar, M.G.V. 2002. Micromicrocapsule for iodine stability in salt with ferrous fumarate and potassium iodide. Food Research Int. 35: 635-642.

Edmundson. W.C. and Stella A.E.. 1999. Goitre in Asia. Report of a Seminar on Goitre Control: New Delhi. WHO. SEATO

Lindsay, A., Bruno dB., Omar, D., Richard, H., Sue, H., Janine, L., Claudia, P., Mohammed, R., Marie, R. and Brian, T. 2006. Guidelines on food fortification with micronutrients. WHO and FAO of the United Nations. p.13.

Pedersen, I.B., Kudsen, N., Jorgensen, T., Perrild, H., Ovesen, L. and Laurgerg, P. 2002. Large differences in incidences of overt hyper- and hypothyroidism associated with a small difference in iodine intake: a prospective comparative register-based population survey. J of Clinical Endocrinology & Metabolism 87: 4462–4469.

Soeid, Soeida N.L., Azwar N. R., Hasim, Komari. 2006. Pembuatan dan Uji Stabilitas Garam Fortifikasi Ganda dengan Kalium Iodida dan Besi Elemental Mikroenkapsulasi. Akta Kimia Indonesia.

Page 14: menambahkan tepung tapioka, air dan - thp.fp.unila.ac.idthp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/buku-2_Part7.pdfPembuatan tepung ubi kayu di mulai dengan pengupasan ubi

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”1026

Suyitno, 1997, Dasar-dasar Kinetika Kemunduran Mutu, PAU Pangan dan Gizi, UGM, Yogyakarta.

Tulyathan, V., Laukuldilok, T. and Jongkaewwattana, S. 2006. Retention of iodine in fortified parboiled rice and its pasting characteristics during storage. Journal of Food Biochem 31: 217-229.

Wegmuller, R., Zimmermann, M.B., Buhr, V.G., Windhab, E.J. and Hurrell, R.F. 2006. Development, stability, and sensory testing of microcapsules containing iron, iodine, and vitamin A for use in food fortification. Journal of Food Science 71: S181-S188.

Yuliani, S., Kailaku, S.I. and Lubis, S. 2009. Micromicrocapsule of iodine for rice fortification. In Workshop on Chemistry in Nature – Natural Resources: Chemical, Biological and Environmental Aspects. Chiang Mai, December 7-10th

Yuliani, S. 2011. Mikroenkapsulasi: Pendekatan strategis untuk fortifikasi

pangan. Buletin Teknologi Pascapanen Pertanian 7: 9-19.

Wang. G.Y.. Zhou. R.H.. Wang. Z.. Shi L.. Sun M.. 1999. Effects of Storage and Cooking on the Iodine Content in Iodized Salt and Study on Monitoring Iodine Content in Iodized Salt. Biomedical and Environmental. Science. 12 (1);1-9.

Wiwit, A.W., Nur, S.W.Y., Meutia, Indra .H., Rafiqah .N.B., 2012. Laporan Perkembangan Penelitian Beras Analog Fungsional dengan Penambahan Ekstrak Teh untuk Menurunkan Indeks Glikemik dan Fortivikasi dengan Folat, Seng dan Iodin. Institut Pertanian Bogor.

World Health Organization. 1999. World Health Organization sets out to eliminate iodine deficiency disorder. WHA in Geneva.

Page 15: menambahkan tepung tapioka, air dan - thp.fp.unila.ac.idthp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/buku-2_Part7.pdfPembuatan tepung ubi kayu di mulai dengan pengupasan ubi

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 1027

OPTIMASI RENDEMEN PADA SEPARASAI FRAKSI TIDAK TERSABUNKAN MENGANDUNG SENYAWA BIOAKTIF MULTI KOMPONEN DENGAN METODE

SAPONIFIKASI DARI MINYAK SAWIT KASAR

YIELD OPTIMIZATION IN SEPARATION OF UNSAPONIFIABLE FRACTION CONTAINED MULTICOMPONENT BIOACTIVE COMPOUNDS FROM CRUDE PALM

OIL

Teti Estiasih, Grace Maria Ulfa, Jhauharotul Mukhlisyiyah Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan, Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas

Teknologi Pertanian, Universitas Brawijaya *Email Korespondensi: [email protected]/[email protected]

ABSTRACT

Crude palm oil (CPO) contains bioactive compounds, such as tocopherols, tocotrienols, phytosterols, and squalene that has not been used intensively for nutrification. Those bioactive compounds are supposed to accumulate in unsaponifiable matters (USM). This study was objected to determine optimum condition of saponification in USM separation from CPO by using sodium hydroxide. Response surface methodology (RSM) was applied to optimize USM yield. Data was analyzed by Design Expert DX 10.0. The result showed that the model was quadratic with optimum condition was obtained at 68.19°C and reaction time of 41.14 min (41 min, 8 sec) with accuracy level of 82.29%. USM had higher bioactive compounds than CPO. This USM contained free fatty acid of 2.01%, peroxide value of 5.91 mek/kg, p-anisidin value of 8.45, and oHue 59.65. Bioactive compounds of USM was vitamin E 19,372.30 ppm that comprised of α-tocotrienol of 8,628.71 ppm, δ-tocotrienol of 1,373,17 ppm, γ-tocotrienol of 9,370.45 ppm, and total tocotrienol of 19.372,30 ppm. Phytosterols of USM was 658,020.22 ppm with β-sitosterol of 419,429.47 ppm, campesterol of 44.720,89 ppm, and stigmasterol of 193,869.86 ppm. USM also contained β-carotene of 544.74 ppm and squalene of 316,906.16 ppm. Meanwhile α-tocopherol was not detected in CPO nor USM. Keyword: bioactive compounds, crude palm oil, optimation, yield

ABSTRAK Minyak sawit kasar memiliki kandungan senyawa bioaktif seperti karotenoid, tokoferol, fitosterol, dan skualen yang belum dimanfaatkan secara optimal sebagai bahan fortifikan. Senyawa bioaktif ini terakumulasi pada fraksi tidak tersabunkan (FTT), sehingga diperlukan proses saponifikasi untuk mendapatkannya.Tujuan dari penelitian ini adalah menentukan kondisi optimum proses saponifikasi untuk mendapatkan FTT dari minyak sawit kasar yang mengandung senyawa bioaktif multi komponen dengan menggunakan Natrium Hidroksida. Metode penelitian yang digunakan adalah Metode Respon Permukaan/Response Surface Method (RSM) menggunakan Rancangan Komposit Pusat yang terdiri dari 2 variabel yaitu suhu dan lama reaksi. Respon yang dioptimasi adalah rendemen FTT. Analisa data dilakukan dengan program Design

Page 16: menambahkan tepung tapioka, air dan - thp.fp.unila.ac.idthp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/buku-2_Part7.pdfPembuatan tepung ubi kayu di mulai dengan pengupasan ubi

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”1028

Expert DX 10.0. Hasil penelitian menunjukkan model bersifat kuadratik dengan rendemen optimum diperoleh pada suhu 68,19°C dan lama reaksi 41,14 menit (41 menit 8 detik). Respon rendemen prediksi adalah sebesar 4,80 (% b/b). dan respon aktual sebesar 5,84 (% b/b) dengan tingkat akurasi data 82,29%. FTT yang diperoleh mempunyai kadar senyawa bioaktif yang lebih tinggi dari minyak sawit kasar. FTT yang dihasilkan mempunyai kadar asam lemak bebas 2,01%, bilangan peroksida 5,91 mek/kg, bilangan p-anisidin 8,45, dan oHue 59,65. Kandungan senyawa bioaktif pada FTT yaitu vitamin E 19.372,30 ppm, α-tokotrienol 8.628,71 ppm, δ-tokotrienol 1.373,17 ppm, γ-tokotrienol 9.370,45 ppm, total tokotrienol 19.372,30 ppm, total fitosterol 658.020,22 ppm, β-sitosterol 419.429,47 ppm, kampesterol 44.720,89 ppm, stigmasterol 193.869,86 ppm, β-karoten 544,74 ppm, dan kadar skualen 316.906,16 ppm. Namun, senyawa α-tokoferol pada minyak sawit kasar maupun pada FTT dinyatakan tidak terdeteksi. Kata kunci: minyak sawit kasar, optimasi, rendemen, senyawa bioaktif

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan penyuplai 85-

90% total produksi minyak sawit dunia bersama dengan Malaysia. Tahun 2014, produksi minyak sawit Indonesia mencapai 33 juta ton metrik dan diperkirakan akan berkembang mencapai 40 juta ton metrik hingga tahun 2020 (GAPKI, 2015). Minyak sawit kasar adalah minyak nabati yang diperoleh dari hasil ekstraksi daging buah sawit (Fauzi et al., 2008). Selama ini, pemanfaatan minyak sawit kasar di Indonesia adalah sebagai bahan baku sekunder pembuatan minyak goreng, margarin, surfaktan, sabun, dan produk oleokimia lain (Sunarko, 2007). Pemanfaatan minyak sawit kasar sebagai sumber senyawa bioaktif bahan pangan masih belum dilaksanakan.

Minyak sawit kasar memiliki kandungan senyawa bioaktif seperti karotenoid, vitamin E, fitosterol, skualen, fosfatida, fenolik, dan koenzim Q10 (Loganathan et al., 2009). Senyawa bioaktif ini dapat ditambahkan pada bahan pangan untuk mencegah penyakit degeneratif. Senyawa bioaktif minyak sawit kasar sebagai sumber fortifikan memiliki potensi untuk dimanfaatkan.

Kandungan senyawa bioaktif pada minyak sawit kasar terdapat pada fraksi tidak

tersabunkan (FTT). Menurut Estiasih et al. (2013) Semakin tinggi dosis FTT, kemampuan memperbaiki profil lipid darah semakin baik. Selain itu, kandungan senyawa bioaktif tokoferol dan tokotrienol berperan sebagai antioksidan (Loganthan et al., 2009). β-karoten berperan sebagai antioksidan dan mencegah defisiensi vitamin A (Mokgope, 2006). Fitosterol menurunkan kadar kolestrol total serta LDL dalam tubuh (Lieverias et al., 2013), dan bersifat kardioprotektor (Loganthan et al., 2009).

Saponifikasi dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti suhu dan lama reaksi. Suhu mempengaruhi saponifikasi karena mempercepat reaksi pembentukan sabun (Ngassapa et al. 2012). Sedangkan lama reaksi mempengaruhi jumlah asam lemak yang tersabunkan. Namun, apabila reaksi telah mencapai kondisi setimbangnya, penambahan waktu tidak akan meningkatkan jumlah asam lemak yang tersabunkan (Partana, 2003). Saponifikasi juga dipengaruhi oleh basa yang digunakan. Basa yang biasa digunakan untuk saponifikasi adalah natrium hidroksida (NaOH) dan kalium hidroksida (KOH). NaOH merupakan basa kuat yang digunakan dalam proses saponifikasi untuk menghasilkan sabun padat karena bersifat eksotermis apabila bereaksi

Page 17: menambahkan tepung tapioka, air dan - thp.fp.unila.ac.idthp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/buku-2_Part7.pdfPembuatan tepung ubi kayu di mulai dengan pengupasan ubi

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 1029

dengan air dan larut dalam etanol (Heaton, 1996).

Berbagai penelitian mengenai saponifikasi telah dilakukan dan menurut Puspitasari (2013),. Namun, FTT dari DALMS tersebut memiliki kelemahan berupa bau yang menyimpang dan after taste setelah dikonsumsi akibat kandungan senyawa aldehid dan keton (Latifah, 2016), sehingga menghambat penggunaannya sebagai fortifikan. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan menggunakan minyak sawit kasar yang diharapkan mempunyai bau menyimpang yang lebih lemah, kandungan senyawa bioaktif yang lebih tinggi, dan mengandung karotenoid. Kondisi saponifikasi sederhana pada minyak sawit kasar perlu dikaji berdasarkan pengaruh suhu dan lama reaksi untuk mendapatkan rendemen maksimum. Hasil optimasi rendemen pada saponifikasi tersebut diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai sumber senyawa bioaktif multi komponen sekaligus meningkatkan nilai ekonomi minyak sawit kasar.

METODE PENELITIAN

Bahan

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah minyak sawit kasar dari PT. Salim Ivomas Pratama Surabaya. Standar vitamin E (α-tokoferol, α, δ, γ-tokotrienol), skualen, koenzim Q10, polikosanol (1-docosanol) dan MSTFA (N-Methyl–N–trimethylsilyl trifluoroacetamide) dari Santa Cruz Biotecnology serta standar fitosterol (β-sitosterol, Stigmasterol, Kampesterol) dan β-karoten dari Sigma-Aldrich, metanol, etanol, benzena, H2O2, KOH, asam askorbat, NaOH 0,1 N, HCl 10 N, asam asetat, reagen p-anisidin, isopropanol, diklorometan, acetonitrile, aseton, amonium tiosianat, ferro sulfat, HCl 37%, FeCl3.6H2O (p.a dari Merck), heksana dan etanol 96%, (teknis dari

Brataco Chemica), asam askorbat, nitrogen, indikator phenolphthalein dan akuades. Alat

Peralatan yang digunakan meliputi perangkat HPLC Shimadzu LC-20AT kolom ODS 250X4,6 mm, perangkat GC-MS Shimadzu QP2010S dengan kolom AGILENT DB-1, rotary evaporator (Buchi Rotavapor R-200), spektrofotometer (LaboMed), freezer, shaker waterbath (Memmert), timbangan analitik, seperangkat titrasi, dan peralatan gelas. Rancangan Percobaan

Penelitian ini disusun dan dirancang dengan Rancangan Komposit Pusat Metode Permukaan Respon yang terdiri dari dua variabel yaitu suhu proses (X1) dan lama reaksi (X2) sesuai yang terlihat pada Tabel 3. Respon yang dioptimasi dari fraksi tidak tersabunkan adalah kadar rendemen (% b/b). Analisa data dilakukan dengan program Design Expert 10.0 (trial version). Saponifikasi Minyak Sawit Kasar

Saponifikasi dilakukan pada minyak sawit kasar untuk memisahkan asam lemak dengan fraksi tidak tersabunkan. Saponifikasi dilakukan dengan metode Ahmadi (1997). Sebelum digunakan minyak sawit kasar dan FTT minyak sawit kasar dianalisis untuk mengetahui kadar dan jenis-jenis vitamin E, fitosterol, β-karoten, dan skualen, analisa tingkat oksidasi (bilangan peroksida dan bilangan anisidin) serta kadar asam lemak bebas. Hasil rendemen FTT yang didapat kemudian di optimasi. Verfikasi dan Karakterisasi Hasil Optimum

Proses verifikasi dilakukan pada pembuatan FTT bebas pelarut yang diperoleh dengan mengkombinasikan kedua variabel perlakuan optimum tersebut. Suhu dan lama reaksi hasil verifikasi menghasilkan FTT

Page 18: menambahkan tepung tapioka, air dan - thp.fp.unila.ac.idthp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/buku-2_Part7.pdfPembuatan tepung ubi kayu di mulai dengan pengupasan ubi

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”1030

bebas pelarut dengan total kadar rendemen maksium dapat diketahui dari hasil analisis data yang didapatkan pada penelitian utama kemudian dikarakterisasi sama dengan analisis yang dilakukan pada minyak sawit kasar.

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Minyak Sawit Kasar

Karakteristik minyak sawit kasar yang digunakan pada penelitian dapat dilihat pada Tabel 1. Menurut Ketaren (1986), minyak yang bermutu tinggi mempunyai kadar ALB kurang dari 3%. Apabila kadar ALB melebihi 5%, minyak dikatakan bermutu rendah. ALB mempunyai aktivitas prooksidan karena adanya gugus karboksil. Minyak yang mengandung asam lemak bebas menghasilkan peroksida yang lebih besar (Charalambous, 2013). Hidroperoksida hasil dari oksidasi primer bersifat tidak stabil dan akan menjadi produk sekunder yang terdiri dari persenyawaan alkohol, aldehida dan hidrokarbon (Hamilton, 1994). Oleh karena itu, hasil produk oksidasi primer diukur dengan bilangan peroksida dan hasil produk oksidasi sekunder diukur dengan bilangan anisidin dapat dianalisa. Tabel 1. Karakterisasi Minyak Sawit

Kasar Karakteristik Minyak Sawit

Kasar Literatur

Kadar ALB (%) 2,80±0,35 4,6a

Bilangan Peroksida(mek/g)

9,14±0,08 6,0b

Bilangan p-Anisidin 2,61±0,01 2,0c oHue 66,32±0,05 -

Sumber: a. Twumasi (2014), b. Morgan et al. (1985), c. Nkpa et al. (1989)

Kadar asam lemak bebas dan bilangan anisidin pada minyak sawit kasar cukup rendah dikarenakan minyak sawit kasar merupakan minyak bahan baku yang masih minim pengolahan. Kandungan ALB minyak dipengaruhi oleh proses penanganan tandan buah sawit (TBS) (Mangoensoekarjo, 2003), proses ekstraksi (Tambun, 2002), dan proses penanganan minyak sawit kasar (Petrauskaite et al., 1998). Hasil bilangan anisidin yang rendah juga diduga karena aldehid sebagai produk oksidasi sekunder belum banyak terbentuk dan mengalami penguapan (Tompkins dan Perkins, 1999) sehingga pembacaannya rendah.

Bilangan peroksida yang cukup tinggi pada minyak sawit kasar yang digunakan pada penelitian ini diduga disebabkan karena tingkat oksidasi minyak sawit kasar yang masih cukup tinggi. Menurut Ketaren (1986), kerusakan minyak dapat disebabkan oleh proses oksidasi, hidrolisis, mikroba, dan ion logam yang merupakan katalisator dalam proses oksidasi minyak. Logam tersebut dapat membentuk persenyawaan kompleks dengan hasil oksidasi asam lemak dan berubah menjadi radikal bebas sehingga peroksida yang terbentuk semakin tinggi. Hidroperoksida sebagai hasil oksidasi primer bersifat tidak stabil dan akan berubah menjadi produk sekunder yang terdiri dari persenyawaan alkohol, aldehida dan hidrokarbon (Hamilton, 1994). Keberadaan aldehid (terukur sebagai bilangan anisidin) merupakan senyawa volatil sehingga kadarnya masih rendah.

Hasil nilai oHue penelitian ini adalah 66,32±0,05 yang menandakan bahwa warna minyak sawit kasar berada pada rentang merah kekuningan. Hasil ini telah sesuai dengan Standar Nasional Indonesia yang menyatakan bahwa minyak sawit kasar berwarna jingga. Warna ini disebabkan oleh pigmen karotenoid. Karotenoid menyebabkan minyak sawit kasar memiliki derajat hue

Page 19: menambahkan tepung tapioka, air dan - thp.fp.unila.ac.idthp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/buku-2_Part7.pdfPembuatan tepung ubi kayu di mulai dengan pengupasan ubi

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 1031

berwarna oranye kemerahan (Duffield et al., 1998).

Menurut Chandrasekaram et al. (2009), minyak sawit kasar mengandung karotenoid sebanyak 530 ppm, vitamin E sebanyak 1020 ppm, sterol sebanyak 910 ppm, dan skualen

440 ppm. Oleh karena minyak sawit kasar yang masih mengandung senyawa bioaktif multi komponen perlu dikarakterisasi. Kadar senyawa bioaktif minyak sawit kasar tercantum dalam Tabel 2.

Tabel 2. Karakterisasi Minyak Sawit Kasar

Senyawa Bioaktif

Minyak Sawit Kasar Literatur Minyak Sawit Kasar

ppm % relatif ppm % relatif

Vitamin E 222,51 869b -

α-tokoferol Td Td 420c 21b

α-tokotrienol 145,25 0,014 260c 24b

δ-tokotrienol 20,51 0,02 80c 11b

γ-tokotrienol 56,75 0,005 360c 43b

Total Tokotrienol 222,51 0,02 700c 78b

Total Fitosterol 17.322,40 210-620b -

β-sitosterol 17.108,79 1,71 120-369,5b -

Stigmasterol 125,34 0,012 26,3-65,7b -

Kampesterol 88,27 0,0088 46,4-150b -

β –karoten 643,30 0,0643 370a

Kadar Skualen 535,594 2,3237 440e -

Keterangan : td : tidak terdeteksi Sumber : a. Manorama et al. (1992), b. Nagendran et al. (2000), c. Ng et al. (2004), d. Puspitasari (2013), e. Chandrasekaram et al.(2009)

Hasil analisa menunjukkan bahwa minyak sawit kasar mengandung tokotrienol yang cukup tinggi yaitu 222,51 ppm. Nilai ini cukup tinggi jika dibandingkan dengan sumber vitamin E yang lain seperti biji-bijian

dan berry dengan kisaran 84-318 dan 56-140 ppm (Kallio et al., 2002) dan minyak zaitun (100-200 ppm) (Cunha et al., 2006). Minyak sawit kasar mengandung vitamin E dalam bentuk tokotrienol yang cukup besar.

Page 20: menambahkan tepung tapioka, air dan - thp.fp.unila.ac.idthp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/buku-2_Part7.pdfPembuatan tepung ubi kayu di mulai dengan pengupasan ubi

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”1032

Literatur juga menyatakan bahwa kandungan vitamin E pada minyak sawit berkisar antara 869 ppm (Nagendran et al., 1985).

Komposisi vitamin E yang terdapat pada minyak sawit kasar meliputi α-tokotrienol (0,014%), δ-tokotrienol (0,02%) dan γ-tokotrienol (0,05 %), yang lebih kecil dibandingkan literatur yang menyatakan dalam minyak sawit kasar terdiri dari α-tokoferol (21%), α-tokotrienol (24%), δ-tokotrienol (11%) dan γ-tokotrienol (43%) (Nagendran et al., 2011). Penelitian sebelumnya oleh Ng et al. (2014) mendapatkan kadar α-tokoferol dalam minyak sawit kasar sebesar 420 ppm, α-tokotrienol 260 ppm, δ-tokotrienol 80 ppm dan γ-tokotrienol 360 ppm. Kadar α-tokoferol pada penelitian ini tidak terdeteksi, diduga proses pemanasan pada suhu tinggi pada saat saponifikasi menyebabkan tokoferol mengalami kerusakan yang lebih intensif daripada tokotrienol. Menurut Winarno (1997), vitamin E tahan terhadap suhu tinggi serta asam, tetapi karena bersifat antioksidan, vitamin E mudah teroksidasi terutama bila ada lemak yang tengik, timah dan garam besi, serta mudah rusak oleh sinar ultraviolet. Peran utama vitamin E adalah sebagai antioksidan, dengan menerima oksigen, vitamin E dapat membantu mencegah oksidasi. Ketahanan yang cukup tinggi terhadap suhu menyebabkan kadar vitamin E dalam hasil saponifikasi cukup tinggi. Namun, tokoferol yang tidak terdeteksi diduga karena paparan terhadap udara. Senyawa tokoferol rusak secara perlahan jika terpajang udara atau sinar ultraviolet, rusak apabila lemak menjadi tengik, dan apabila terdapat prooksidan (Marcus dan Coulston, 2007).

Selain mengandung vitamin E dalam bentuk tokotrienol dan tokoferol, minyak sawit kasar juga mengandung komponen seperti sterol yang meliputi stigmasterol (0,012%), kampesterol (0,0088%) dan β-sitosterol (1,71%). Kadar total fitosterol

minyak sawit kasar sebesar 17322,40 ppm lebih besar dari literatur yaitu 210-620 ppm (Nagendran et al., 2000). Penggunaan suhu rendah (50-80°C) pada proses saponifikasi tidak sepenuhnya dapat merusak fitosterol. Menurut Chuang dan Brunner (2006), kadar sterol minyak sawit kasar berkisar antara 300-23.000 ppm. Diduga suhu saponifikasi yang lebih rendah dari titik leleh fitosterol yang tinggi mengakibatkan fitosterol masih berada pada minyak sawit kasar dan mengakibatkan kadarnya meningkat. Menurut Gapor et al. (2002), minyak sawit kasar mengandung asam lemak bebas, gliserida, skualen, vitamin E, sterol dan substansi lainnya.

Kadar β-karoten minyak sawit kasar yang didapatkan dari penelitian ini adalah 643,30 ppm lebih besar dari literatur, yaitu 370 ppm (70% total karoten) (Manorama dan Rukmini, 1992) dan berada pada kisaran 500-700 ppm dengan kadar β-karoten 90% (Choo et al., 1996). Menurut Sundram et al. (2003), minyak sawit kasar berwarna oranye dikarenakan kandungan karotenoidnya (700-800 ppm), yang sebagian besar berbentuk α- dan β-karoten sejumlah 90% dari total karotenoid. Terdapat 11 jenis karotenoid yang berbeda dalam minyak sawit kasar. Sedangkan menurut Chiu et al. (2009), minyak sawit kasar mengandung 500-700 ppm karotenoid dan 800 ppm tokoferol dengan jumlah α- dan β-karoten sejumlah lebih dari 80% dari total karotenoid. Sedangkan menurut Chuang dan Brunner (2006), kadar β-karoten berkisar antara 550-54.000 ppm. Kandungan karotenoid pada minyak sawit kasar umumnya berkisar antara 600-1000 ppm, hal itu merupakan keunggulan minyak kelapa sawit dibandingkan dengan tanaman lainnya yang menghasilkan minyak (Naibaho,1983 dalam Yugo, 1997).

Kadar skualen pada minyak sawit kasar yang diperoleh adalah 535,594 ppm, sedikit lebih tinggi dari penelitian Chandrasekaram

Page 21: menambahkan tepung tapioka, air dan - thp.fp.unila.ac.idthp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/buku-2_Part7.pdfPembuatan tepung ubi kayu di mulai dengan pengupasan ubi

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 1033

et al. (2009) yang menyatakan kadar skualen pada minyak sawit kasar adalah 440 ppm. Sedangkan pada DALMS dalam penelitian Puspitasari (2013) didapatkan hasil 1.092,38 ppm. lebih tinggi dibandingkan dengan minyak nabati lainnya. Hasil skualen pada DALMS yang lebih tinggi diduga karena kondisi saponifikasi pada DALMS lebih optimum dibandingkan dengan kondisi saponifikasi pada minyak sawit kasar pada penelitian ini. Selain itu, ada faktor-faktor lain yang tidak dapat dikontrol yang kemungkinan mempengaruhi hasil dari saponifikasi. Namun, hasil skualen yang didapat dari penelitian ini telah sesuai dengan Chuang dan Brunner (2006), kandungan skualen minyak sawit kasar berkisar antara 400-22.000 ppm.

Secara keseluruhan, kandungan senyawa bioaktif pada minyak sawit kasar lebih tinggi dibandingkan pada DALMS pada penelitian Puspitasari (2013) dikarenakan DALMS merupakan produk samping dari pemurnian minyak sawit kasar yang banyak mengandung asam lemak bebas, yaitu sekitar 80%. DALMS yang dihasilkan pada proses deodorisasi pada suhu 200-260oC pada kondisi vakum mengalami kehilangan asam

lemak, aldehida, keton, pigmen karotenoid terdegradasi, sterol, hidrokarbon, tokoferol, dan tokotrienol sekitar 62% (Hui, 1992).

Respon Kadar Rendemen pada Optimasi dengan Metodologi Permukaan Respon

Pada penelitian ini digunakan suhu proses 70°C dan lama reaksi 40 menit sebagai titik pusat untuk menghasilkan kadar rendemen maksimum. Data hasil pengamatan kadar rendemen pada FTT minyak sawit kasar dengan metode saponifikasi disajikan lengkap pada Tabel 3. Model yang Sesuai

Metode permukaan respon digunakan untuk menentukan model yang sesuai. Model yang dievaluasi mencakup linear, 2FI (interaksi), kuadratik, atau kubik. Pemilihan model berdasarkan sequential model sum of square (Tabel 4) menunjukkan bahwa model yang signifikan (P<0,05) adalah kuadratik dan disarankan oleh program dengan P 0,0043. Model lain yaitu linear, interaksi (2FI) dan kubik tidak signifikan (P>0,05), sehingga model terpilih adalah kuadratik.

Tabel 3. Data Respon Kadar Rendemen dari Rancangan Komposit Pusat

No Variabel Asli Variabel Kode Respon Rendemen

(%) Suhu (°C) Lama Reaksi (menit) X1 X2

1 60 30 -1 -1 3,61±0,61

2 60 50 -1 +1 3,97±0,15

3 80 30 +1 -1 3,69±0,63

4 80 50 +1 +1 2,73±0,31

5 70 40 0 0 5,11±0,32

6 70 40 0 0 5,57±0,08

7 70 40 0 0 4,83±0,22

8 70 40 0 0 4,51±0,005

Page 22: menambahkan tepung tapioka, air dan - thp.fp.unila.ac.idthp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/buku-2_Part7.pdfPembuatan tepung ubi kayu di mulai dengan pengupasan ubi

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”1034

9 70 40 0 0 3,84±0,31

10 84,14 40 +1,414 0 2,32±0,14

11 55,86 40 -1,414 0 3,35±0,005

12 70 54,14 0 +1,414 4,64±0,08

13 70 25,86 0 -1,414 4,32±0,32

Tabel 4. Hasil Pemilihan Model Berdasarkan Uraian Jumlah Kuadrat

Sumber Keragaman Jumlah Kuadrat

Derajat Bebas

Kuadrat Tengah

Nilai F Nilai p prob > F

Keterangan

Rata-rata vs total Linier vs rata-rata 2FI vs Linier Kuadratik vs 2FI Kubik vs Kuadratik Residual Jumlah

211,94 0,86 0,45 7,10 0,15 1,74

222,24

1 2 1 2 2 5

13

211,94 0,43 0,45 3,55

0,076 0,35

17,10

0,45 0,45

13,15 0,22

0,6470 0,5213 0,0043 0,8117

Suggested

Suggested Aliased

Permukaan Respon dan Kondisi Optimum

Persamaan Kuadratik dapat digunakan untuk memprediksi respon dari berbagai taraf suhu dan lama reaksi. Persamaan kuadratik yang diperoleh adalah: Y = 0,477 + (-0,33) X1 + (-0,018) X2 + (-0,33) X1 X2 + (-1,01) X1

2 + (-0,19) X22

dengan X1= suhu proses dan X2 = lama reaksi. Tanda negatif (-) dari koefisien variabel kuadrat (X1

2 dan X2

2) menunjukkan bahwa grafik respon yang diperoleh adalah maksimum.

Berdasarkan analisis ragam menunjukkan bahwa pengaruh suhu dan lama reaksi tidak berpengaruh nyata terhadap respon. Hal ini dikarenakan minyak sawit kasar yang digunakan pada penelitian ini diduga masih mengandung pengotor yang tinggi sehingga pengaruh kedua variabel belum signifikan.

Pengaruh Suhu Proses dan Lama Reaksi terhadap Kadar Rendemen

Gambar 1 menunjukkan bahwa pengaruh suhu proses dan lama reaksi bersifat kuadratik terhadap respon kadar rendemen. Semakin tinggi suhu proses dengan lama reaksi tertentu, kecepatan reaksi saponifikasi juga meningkat sampai titik tertentu.

Semakin tinggi suhu proses dengan lama reaksi tertentu maka respon rendemen akan semakin meningkat sampai titik tertentu. Kenaikan suhu akan mempercepat reaksi sehingga sabun yang terbentuk semakin banyak dan menyebabkan rendemen yang dihasilkan menurun dalam waktu yang lebih cepat. Tetapi jika kenaikan suhu telah melebihi suhu optimumnya maka kecepatan reaksi akan menurun karena ALB yang sudah berkurang sehingga rendemen yang dihasilkan juga menurun (Levenspiel, 1999).

Meningkatnya kadar rendemen pada penelitian ini diduga juga karena pelarut

Page 23: menambahkan tepung tapioka, air dan - thp.fp.unila.ac.idthp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/buku-2_Part7.pdfPembuatan tepung ubi kayu di mulai dengan pengupasan ubi

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 1035

yang digunakan telah mencapai kondisi pada titik tertentu (kondisi setimbang) sehingga menyebabkan kadar rendemen yang dihasilkan meningkat.

Gambar 1. Kurva Permukaan Respon Pengaruh Suhu Proses dan Lama Reaksi terhadap Respon Kadar Rendemen Verifikasi Kondisi Optimum

Hasil dari solusi yang diperoleh dari perhitungan software Design Expert, kondisi terbaik variabel suhu proses 68,19°C dan lama reaksi 41,14 menit (41 menit 8 detik). Kedua nilai tersebut kemudian akan digunakan sebagai perlakuan untuk mendapatkan FTT dengan rendemen maksimum yang akan diverifikasi rendemennya.

Hasil dari perlakuan kondisi terbaik tersebut diprediksi kadar rendemen pada FTT adalah 4,80 (% b/b). Namun dari hasil penelitian ini, kondisi terbaik respon rendemen aktual yang didapat adalah 5,84 (% b/b). Nilai ini memiliki selisih sebesar 1,03%. Tingkat akurasi data yaitu 82,29%.

Rendemen pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan hasil optimasi rendemen pada DALMS pada penelitian Puspitasari (2013) dengan rendemen 3,74 (% b/b). Kadar rendemen yang tinggi dapat disebabkan oleh kondisi proses. Penggunaan pelarut pada penelitian ini diduga mencapai kesetimbangan reaksi, kemampuan pelarut dalam melarutkan senyawa bioaktif dari FTT meningkat sehingga menghasilkan rendemen yang lebih tinggi. Menurut

Puspitasari (2013), jumlah pelarut mempengaruhi hasil. Jumlah berlebihan tidak akan mengekstrak lebih banyak. Pelarut dapat bekerja optimum dalam jumlah tertentu. Selain itu minyak sawit kasar merupakan minyak bahan baku yang masih minim proses pengolahan dibandingkan DALMS sehingga rendemen FTT yang didapatkan lebih tinggi. Karakteristik Fraksi Tidak Tersabunkan Hasil Verifikasi Optimum

FTT bebas pelarut yang diperoleh dari proses optimasi kemudian dikarakterisasi kimiawi dengan analisa kadar asam lemak bebas, bilangan peroksida, dan p-anisidin, serta kandungan senyawa bioaktifnya yang meliputi kadar vitamin E, fitosterol, skualen, dan karotenoid. Data hasil karakterisasi FTT disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Hasil Karakterisasi Fraksi Tidak Tersabunkan Minyak Sawit Kasar Kondisi Optimum

Karakteristik Minyak Sawit Kasar

FTT Minyak Sawit Kasar

ALB (%) 2,80±0,35 2,013±0,04

Bilangan Peroksida(mek/kg)

9,14±0,08 5,91±0,22

Bilangan p-Anisidin

2,61±0,01 8,45±0,17

oHue 66,32±0,05 59,65±0,59

Hasil analisa kadar senyawa bioaktif FTT kondisi optimum tercantum dalam Tabel 6. Minyak sawit kasar mengandung FTT tokotrienol yang cukup tinggi yaitu 19.372,30, lebih tinggi dibandingkan kadar minyak sawit kasar yaitu 222,51 ppm.

Page 24: menambahkan tepung tapioka, air dan - thp.fp.unila.ac.idthp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/buku-2_Part7.pdfPembuatan tepung ubi kayu di mulai dengan pengupasan ubi

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”1036

Komposisi vitamin E yang terdapat pada FTT minyak sawit kasar meliputi α-tokotrienol (0,86%), δ-tokotrienol (0,93%) dan γ-tokotrienol (0,93 %), lebih besar dibandingkan pada minyak sawit kasar meliputi α-tokotrienol (0,014%), δ-tokotrienol (0,02%) dan γ-tokotrienol (0,05 %).

Menurut Winarno (1997), vitamin E tahan terhadap suhu tinggi serta asam, tetapi karena bersifat antioksidan, vitamin E mudah teroksidasi terutama bila ada lemak yang tengik, timah dan garam besi, serta

mudah rusak oleh sinar ultraviolet. Peran utama vitamin E adalah sebagai antioksidan, dengan menerima oksigen, vitamin E dapat membantu mencegah oksidasi. Ketahanan yang cukup tinggi terhadap suhu menyebabkan kadar vitamin E dalam hasil saponifikasi cukup tinggi. Namun, tokoferol yang tidak terdeteksi diduga karena paparan terhadap udara. Senyawa tokoferol rusak secara perlahan jika terpajang udara atau sinar ultraviolet, rusak apabila lemak menjadi tengik, dan apabila terdapat prooksidan (Marcus dan Coulston, 2007).

Tabel 6. Kadar Senyawa Bioaktif FTT Kondisi Optimum

Senyawa Bioaktif Minyak Sawit Kasar

FTT Minyak Sawit Kasar

ppm % ppm %

Kadar Vitamin E 222,51 19.372,30 -

α-tokoferol Td Td Td Td

α-tokotrienol 145,25 0,014 8.628,71 0,86

δ-tokotrienol 20,51 0,02 1.373,17 0,14

γ-tokotrienol 56,75 0,005 9.370,45 0,93

Total Tokotrienol 222,51 0,02 19.372,30 1,94

Total Fitosterol 17.322,40 658.020,22

β-sitosterol 17.108,79 1,71 419.429,47 41,94

Stigmasterol 125,34 0,012 193.869,86 19,38

Kampesterol 88,27 0,0088 44.720,89 4,47

β –karoten 643,30 0,0643 544,74 0,0544

Kadar Skualen 535,59 316.906,12 -

Keterangan : td : tidak terdeteksi

Selain mengandung vitamin E dalam bentuk tokotrienol dan tokoferol, minyak sawit kasar juga mengandung komponen seperti sterol yang meliputi stigmasterol (19,38%), kampesterol (4,47%) dan β-sitosterol (41,9%). Kadar total fitosterol

minyak sawit kasar sebesar 658.020,22 ppm lebih besar dari minyak sawit kasar yaitu 17.322,40 dan lebih besar pula dari literatur yaitu 210-620 ppm (Nagendran et al., 2000). Diduga suhu saponifikasi yang lebih rendah dari titik leleh fitosterol yang tinggi

Page 25: menambahkan tepung tapioka, air dan - thp.fp.unila.ac.idthp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/buku-2_Part7.pdfPembuatan tepung ubi kayu di mulai dengan pengupasan ubi

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 1037

mengakibatkan fitosterol masih berada pada minyak sawit kasar dan mengakibatkan kadarnya meningkat. Menurut Gapor et al. (2002), minyak sawit kasar mengandung asam lemak bebas, gliserida, skualen, vitamin E, sterol dan substansi lainnya.

Kadar β-karoten FTT minyak sawit kasar yaitu 544,74 lebih rendah dibandingkan minyak sawit kasar yaitu 643,30 ppm. Kandungan β-karoten yang lebih rendah diduga karena proses saponifikasi yang telah dilakukan. Menurut Mumpuni (2006), beberapa macam kerusakan karotenoid dapat disebabkan oleh kerusakan pada suhu tinggi, oksidasi, dan isomerisasi.

Kadar skualen pada fraksi tidak tersabunkan minyak sawit kasar 316.906,11 ppm. Kondisi optimum tersebut jauh lebih besar dibandingkan dengan kadar skualen pada minyak sawit kasar 535,59 ppm. Tingginya kadar skualen pada fraksi tidak tersabunkan minyak sawit kasar diduga karena proses saponifikasi telah berjalan dengan optimum.

Secara umum kadar senyawa bioaktif pada FTT minyak sawit kasar lebih tinggi dibandingkan dengan minyak sawit kasar kecuali pada kadar β-karoten. Hal ini dikarenakan kondisi saponifikasi yang telah dilakukan lebih optimum. Menurut Chandrasekaram et al. (2009), proses saponifikasi mampu meminimalisir intervensi dari gliserida dan ester serta mampu menyediakan kondisi yang lebih baik pada analisis fitonutrien.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa semakin optimum suhu dan lama reaksi saponifikasi, maka rendemen yang dihasilkan akan semakin meningkat. Pada penelitian ini didapatkan respon rendemen yang bersifat kuadratik memiliki pengaruh yang signifikan dengan persamaan Y = 0,477 + (-0,33) X1 + (-0,018) X2 + (-0,33)

X1 X2 + (-1,01) X12 + (-0,19) X2

2 dengan X1= suhu (°C) dan X2 = lama reaksi (menit). Respon rendemen optimum variabel suhu adalah 68,19°C dan lama reaksi 41,14 menit (41 menit 8 detik). Respon rendemen yang diperoleh sebesar 5,84 (%b/b). Karakteristik mutu FTT hasil verifikasi optimum kadarnya meningkat jika dibandingkan dengan kadar pada minyak sawit kasar kecuali pada kadar β-karoten. Vitamin E kadarnya meningkat 87,06 kali, fitosterol kadarnya meningkat 37,98 kali, skualen kadarnya meningkat 139,71 kali, dan β-karoten kadarnya menurun 0,84 kali. Namun, senyawa α-tokoferol pada minyak sawit kasar maupun pada FTT dinyatakan tidak terdeteksi.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, K. 1997. Aktivasi Zeolit Alam dan

Penggunaannya untuk Pemurnian Tokoferol dari Distilat Asam Lemak Minyak Sawit. Tesis. Program Pascasarjana. UGM. Yogyakarta.

Chandrasekaram, K., M.H. Ng, and C.H. Chuah. 2009. Effect of Storage Temperature on the Stability of Phytonutrients in Palm Concentrates. Am J Appl Sci 6(3):529-533.

Charalambous, G. 2013. Off-Flavors in Food and Beverages. Elsevier. Amsterdam.

Chiu, M.C., C.M. Coutinho, and L. Goncalves. 2009. Carotenoid concentration of palm oil using membrane technology. Desalination 245: 783-786

Choo, Y.M, S.C. Yap, C.K. Ooi, A.N. Ma, S.H. Goh, A.S.H. Oong. 1996. Recovered oil from palm-pressed fiber: a good source of natural carotenoids, vitamin E, and sterols. J. Am. Oil Chem. Soc. 73:599-602.

Chuang, M.H. and G. Brunner. 2006. Concentration of minor components in crude palm oil. J. Supercrit Fluids 37:151-156.

Cunha, S.C., J.S. Amaral, J.O. Fernandez, and M.B.P.P. Olivera. 2006. Quantification of tocopherol and tocotrienols in Portugues

Page 26: menambahkan tepung tapioka, air dan - thp.fp.unila.ac.idthp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/buku-2_Part7.pdfPembuatan tepung ubi kayu di mulai dengan pengupasan ubi

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”1038

olive oils using HPLC with three different detection systems. J. Agric. Food Chem. 54:331-335.

Estiasih, T., T.D. Widyaningsih, K. Ahmadi, dan J.M. Maligan. 2013. Senyawa Bioaktif Multi Komponen untuk Suplemen dan Fortifikan Pagan sebagai Upaya Peningkatan Nilai Ekonomi Hasil Samping Pengolahan Minyak. Penelitian Prioritas Nasional Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025.

GAPKI. 2015. Minyak Kelapa Sawit di Indonesia. www.gapki.com, diakses tanggal 16 Januari 2016.

Gapor, A.B., Sulong, and Soom. 2002. Production of Phytosterols From Palms Fatty Acid Distillate. MPOB TT No. 173.

Heaton, A. 1996. An Introduction to Industrial Chemistry, 3rd edition, New York: Blackie Academic.

Hui, Y.H. 1992. Encyclopedia of Food Science and Technology. John Wiley and Sons. New York

Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Cetakan Pertama. Jakarta: Universitas Indonesia

Latifah, N. 2016. Mikroenkapsulasi Fraksi Tidak Tersabunkan Distilat Asam Lemak Minyak Sawit (DALMS) Menggunakan Metode Pengeringan Semprot. Skripsi. Universitas Brawijaya.

Mangoensoekarjo. 2003. Manajemen Agribisnis Kelapa Sawit. Gadjah Mada. University Press. Yogyakarta

Manorama, R dan C. Rukmini. 1992. Crude palm oil as a source of beta-carotene. Nutr. Res. 12:S223-S232

Mumpuni, C, E. 2006. Kendali Stabilitas Beta Karoten selama Proses Produksi Tepung Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.). Tesis. Bogor: IPB

Nagendran, B., U.R. Unnithan, Y.M. Choo, and K. Sundram. 2000. Characteristics of red palm oil, a carotene- and vitamin E–rich refined oil for food uses. Food Nutr. 21(2).

Ng, M.H., Y.M. Chao, A. H. Ma, C.H. Choah, and M.A. Hashim. 2004. Separation vitamin E (tocopherol, tocotrienol, and tocomono-enal) in palm oil. Lipid 30:1031-1035

Ngassapa, F.N., S.S. Nyandoro, and T.R. Mwaisaka. 2012. Effects of temperature on the physicochemical properties of traditionally processed vegetable oils and their blends. AJOL 38(3).

Petrauskaite, V.W., B. DeGreyt., Kellens and A. Huyghabaert. 1998. Physical and chemical of trans free fats produced by chemical interesterification of vegetables oil blends. J. Am. Oil Chem. Soc. 75(4):489-493.

Puspitasari, R. 2013. Optimalisasi Destilat Asam Lemak Minyak Sawit (DALMS) pada Separasi Fraksi Tidak Tersabunkan Mengandung Senyawa Bioaktif Multi Komponen. Skripsi. Universitas Brawijaya

Sunarko. 2007. Petunjuk Praktis Budi Daya dan Pengolahan Kelapa Sawit. Jakarta: PT AgroMedia

Sundram, K., R. Sambanthamurthi, and Y.A. Tan. 2013. Palm fruit chemistry and nutrition. Asia Pacific J. Clin. Nutr. 12(3): 355-362.

Tambun, R. 2002. Proses Pembuatan Asam Lemak secara Langsung dari Buah Kelapa Sawit. Universitas Sumatra Utara. Medan

Tompkins, C. and E.G. Perkins. 1999. The evaluation of frying oils with the p-anisidine value. J. Am. Oil Chem. Soc. 76(8):945-947.

Winarno, F.G. 1997. Kimia Pangan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Yugo, M. 1997. Meningkatkan Konsentrasi Betakaroten Minyak Kelapa Sawit Kasar dengan Teknik Saponifikasi dan Diversifikasi Tingkat Polaritas Pelarut. Tesis. IPB, Bogor.

Page 27: menambahkan tepung tapioka, air dan - thp.fp.unila.ac.idthp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/buku-2_Part7.pdfPembuatan tepung ubi kayu di mulai dengan pengupasan ubi

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 1039

PLASTIK BIODEGRADABLE DENGAN INDIKATOR WARNA DARI EKSTRAK DAUN DAN BUAH TANAMAN PUCUK MERAH (Syzygium oleana) SEBAGAI SMART

PACKAGING

Tuty Anggraini, Novelina dan Endo Pebri Dani Putra Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Andalas

*Email korespondensi: [email protected]

ABSTRACT The aim of this research were to know the effect of color indicator from leaf extract and red shoot leaves (Syzygium oleana) to biodegradable plastic characteristic and to know whether color indicator from leaf extract and red shoot fruit (Syzygium oleana) can be used as indicator of color of smart packaging. The addition of leaf extract and red shoots affect the characteristics of water content, thickness, density, water absorption, antioxidant activity, total polyphenols and biodegradable plastic anthocyanin levels. Biodegradable plastics with leaf extract indicator and red shoots can be used as smart packaging because it can detect fish fillet damage characterized by changing indicator color during storage along with fish fillet damage. With the color change value (ΔE / TCD) is for the smart packaging red shoot leaf color indicator that is on the first day to the 5th day from 0.00 to 2.63 means that the color change can not be detected easily with the common eye, while the value (ΔE / TCD) discolouration of smart packaging indicator from red shoot color extract ie increased from day 1 to day 3 from 0.00 to 10.96 and on day 4 decreased to 5.48 and on the 5th day increased again to 6.77 means that the color change can be detected easily with the common eye.

Keywords: Biodegradable plastic, color indicator, packaging

ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh indikator warna dari ekstrak daun dan buah tanaman pucuk merah (Syzygium oleana) terhadap karakteristik plastik biodegradable dan untuk mengetahui apakah indikator warna dari ekstrak daun dan buah tanaman pucuk merah (Syzygium oleana) dapat digunakan sebagai indikator warna smart packaging. Penambahan ekstrak daun dan buah pucuk merah berpengaruh terhadap karakteristik kadar air, ketebalan, densitas, daya serap air, aktivitas antioksidan, total polifenol dan kadar antosianin plastik biodegradable. Plastik biodegradable dengan indikator warna ekstrak daun dan buah tanaman pucuk merah dapat digunakan sebagai smart packaging karena dapat mendeteksi kerusakan fillet ikan ditandai dengan berubahnya warna indikator selama penyimpanan seiring dengan rusaknya fillet ikan. Dengan nilai perubahan warna (ΔE/TCD) yaitu untuk smart packaging indikator warna daun pucuk merah yaitu pada hari pertama ke-1 sampai hari ke-5 dari 0,00 menjadi 2.63 artinya perubahan warna tidak dapat dideteksi dengan mudah dengan mata biasa, sedangkan nilai (ΔE/TCD) perubahan warna indikator smart packaging dari ekstrak warna buah pucuk merah yaitu meningkat dari hari ke-1 sampai hari ke-3 dari 0,00 menjadi 10.96 dan pada hari ke-4 turun

Page 28: menambahkan tepung tapioka, air dan - thp.fp.unila.ac.idthp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/buku-2_Part7.pdfPembuatan tepung ubi kayu di mulai dengan pengupasan ubi

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”1040

menjadi 5.48 dan pada hari ke-5 meningkat lagi menjadi 6.77 artinya perubahan warna dapat dideteksi dengan mudah dengan mata biasa.

Kata kunci: indikator warna, packaging, Plastik biodegradable

PENDAHULUAN

Industri plastik telah berada dibawah tekanan dalam mengembangkan teknologi berkelanjutan sejak tahun 1990-an (Kishna M, Niesten E., Negro S., and Marko P.H, 2016). Plastik yang diproduksi terutama dari minyak bumi yang mana aplikasi terbesar minyak bumi untuk bahan bakar (Siracusa, Rocculi, Romani and Dalla, 2008; Shen, 2011). Plastik biodegradable dewasa ini berkembang sangat pesat sebagai solusi dalam mengatasi permasalahan plastik non-degradable. Plastik biodegradable merupakan jenis plastik yang digunakan layaknya seperti plastik konvensional seperti polietilena (PE), tetapi mudah untuk terurai secara alami oleh mikroorganisme (Firdaus, dan Anshory, 2008). Plastik biodegradable saat ini telah banyak digunakan sebagai kemasan untuk melindungi bahan dan produk pangan terhadap kerusakan.

Kerusakan bahan dan produk pangan dapat disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut: pertumbuhan dan aktivitas mikroba terutama bakteri, kapang, khamir, aktivitas enzim-enzim di dalam bahan pangan, kemudian juga disebabkan oleh faktor dari luar seperti serangga, parasit dan tikus, suhu termasuk oksigen, sinar dan waktu. Mikroba terutama bakteri, kapang dan khamir penyebab kerusakan pangan yang dapat ditemukan dimana saja baik di tanah, air dan udara, (Muchtadi, 1992). Oleh karena itu, kemasan sangat memainkan peranan penting untuk mendeteksi kerusakan tersebut.

Perkembangan pembuatan kemasan penilai tingkat kesegaran produk saat ini mulai mengarah pada pengintegrasian kemasan dengan nilai kesegaran produk itu sendiri. Teknik kemasan ini menggunakan suatu metode

yang dikenal sebagai Food Quality Indicator-FQI. Kemasan ini bereaksi terhadap perubahan secara kimiawi atau biologi yang ditemukan di dalam kemasan yang menandakan rusaknya produk (Pacquit, Crowley, and Diamond, 2008). Perkembangan lain di bidang kemasan adalah intelligent packaging atau smart packaging. Smart packaging telah memungkinkan untuk memantau dan mengkomunikasikan informasi tentang mutu makanan terkemas dengan bantuan indikator waktu dan suhu, identifikasi frekuensi radio, indikator kematangan, dan biosensor. Perangkat ini dapat dimasukkan ke dalam matrik bahan kemasan atau melekat pada bagian dalam atau di luar kemasan.

Salah satu smart packaging adalah TTI (Time Temperature Indicators). TTI adalah smart packaging yang dapat menginformasikan jika terjadi kesalahan suhu selama penyimpanan produk. Hong dan Park (2000) mengembangkan indikator warna untuk memantau fermentasi dan umur simpan kimchi dengan menggunakan perubahan pH dan suhu di dalam kemasan sebagai sensor untuk perubahan warna pada kemasan produk tersebut. Penelitian mengenai TTI juga dilakukan oleh Vaikousi, Biliaderis, Koutsoumanis, (2008) yang mengembangkan microbial TTI untuk memonitor mutu mikrobial pada produk yang disimpan pada suhu dingin; Warsiki, Sunarti, Damanik, (2010) mengenai kemasan antimikrobial dengan bahan aktif ekstrak bawang putih; serta Warsiki dan Putri (2012) tentang label cerdas dengan indikator warna dari bahan alami dan sintetik.

Berdasarkan hal inilah peneliti menggunakan pewarna alami dalam penelitian ini. Salah satu pewarna yang dapat digunakan adalah pewarna dari ekstrak daun dan buah pucuk merah, dimana dalam ekstrak warna daun dan buah pucuk merah mengandung antosianin.

Page 29: menambahkan tepung tapioka, air dan - thp.fp.unila.ac.idthp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/buku-2_Part7.pdfPembuatan tepung ubi kayu di mulai dengan pengupasan ubi

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 1041

Antosianin sendiri banyak terdapat dalam daun, bunga, dan daun yang memberikan warna merah sampai biru. Struktur dasar dari antosianin adalah C6-C3-C6, dan untuk membentuk antosianin disebabkan karena perbedaan struktur kimia pada berbagai tingkatan pH, antosianin (anthos = bunga, kyanos = biru) berubah warna dari merah dalam asam ke biru dalam basa (Delgado, Jiménez, and Paredes, 2000).

Penelitian ini bertujuan untuk: 1) mengetahui apakah ada pengaruh indikator warna dari ekstrak daun dan buah pucuk merah (Syzygium oleana) terhadap karakteristik plastik biodegradable sebagai smart packaging, 2) mengetahui berapa konsentrasi indikator warna dari ekstrak daun dan buah pucuk merah (Syzygium oleana) yang optimum yang diperlukan sebagai pewarna plastik biodegradable sebagai smart packaging, 3) mengetahui apakah indikator warna dari ekstrak daun dan buah pucuk merah (Syzygium oleana) dapat digunakan sebagai indikator warna smart packaging.

BAHAN DAN METODE

Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian

yaitu pati jagung (tepung maizena), CMC (carboksi metil celulosa) yang diperoleh ditoko bahan makanan dikota Padang, dan sorbitol yang dibeli dari toko kimia Bratachem dikota Padang, akuades dan pewarna yang diekstrak dari daun dan buah pucuk merah (Syzygium oleana). Kriteria daun pucuk merah (Syzygium oleana) yang digunakan adalah daun muda yang masih berwarna merah dan untuk buah pucuk buah yaitu buah yang telah matang yang berwarna merah gelap yang apabila diremas menghasilkan cairan berwarna merah. Kemudian senyawa kimia yang digunakan untuk analisa DPPH (1,1-diphenyl-2-picryllhydrazil), etanol 95%, metanol, HCL pekat, NaCO3 (5%), larutan buffer potassium

clorida (0,025 M), larutan buffer sodium clorida (0,4 M) dan reagen follin-ciocalteu (50%).

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu, gelas piala, gelas ukur, peralatan gelas, magenetic stirrer, thermometer, hot plate, neraca analitik, oven, blender, cetakan kaca 20×30cm, jangka sorong, dan pipet tetes, sedangkan untuk keperluan analisis kuantitatif maupun kualitatif digunakan spektrofotometer dilaboratorium instrument fakultas teknologi pertanian universitas andalas. Universal Testing Mechine (UTM), dan Scanning Electron Microscope (SEM) dilaboratorium metalurgi teknik mesin fakultas teknik universitas andalas.

Rancangan Penelitian

Penelitian ini didesain dengan menggunakan metode Eksploratif. Penelitian ini dilaksanakan dengan dua tahap. Tahap pertama adalah pembuatan ekstrak warna dari daun dan buah tanaman pucuk merah (Syzygium oleana) dan pembuatan plastik biodegradable sebagai smart packaging. Tahap kedua adalah pengujian indikastor smart packaging dari plastik biodegradable dengan pewarna dari daun dan buah tanaman pucuk merah (Syzygium oleana).

Pelaksanaan Penelitian Pembuatan Ekstrak Warna Daun dan Buah Pucuk Merah (Warsiki dan Dewi, 2012) yang dimodifikasi

Siapkan daun dan buah dari tanaman pucuk merah. Selanjutnya daun dan buah pucuk merah dicuci menggunakan air bersih. Kemudian timbang daun dan buah pucuk merah masing-masing sebanyak 300 g. Masing-masing daun dan buah pucuk merah dimasukkan kedalam juicer mix secara terpisah. Untuk daun puxcuk merah tambahkan air sebanyak 150 ml untuk proses penghancuran. Selanjutnya hancurkan daun dan buah pucuk merah sampai mengeluarkan cairan berwarna merah. Setelah didapatkan jus dari daun dan buah pucuk merah, kemudian saring masing-masing cairan untuk mendapatkan cairan warna. Selanjutnya

Page 30: menambahkan tepung tapioka, air dan - thp.fp.unila.ac.idthp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/buku-2_Part7.pdfPembuatan tepung ubi kayu di mulai dengan pengupasan ubi

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”1042

diamkan cairan warna sampai terpisah ekstrak warna dengan ampas. Dipisahkan warna dari ampas, kemudian didapatkan ekstrak warna dari daun dan buah pucuk merah yang siap digunakan dalam pembuatan plastik biodegradable sebagai smart packaging. Untuk ekstrak warna daun pucuk merah sebelum digunakan terlebih dahulu dipekatkan menggunakan vacum rotary evaporator dengan menghilangkan airnya sampai 75%. Pembuatan Plastik Biodegradable sebagai Smart Packaging (Prawira, 2013) yang dimodifikasi

Bahan ditimbang dengan berat pati 3 gram dan plasticizer sorbitol 1,5 gram dan CMC sebanyak 0,25 gram. Larutkan sorbitol kedalam air yang sesuai perbandingan perlakuan yang akan digunakan. Pati dimasukkan ke dalam gelas piala, kemudian tambahkan air sesuai dengan perbandingan

yang tercampur dengan sorbitol sambil diaduk dengan magnetic stirrer dan sambil di panaskan di hotplate dengan suhu 50⁰C sampai pati homogen. Selanjutnya CMC yang sudah ditimbang dimasukkan ke dalam larutan kitosan kemudian diaduk sampai homogen dan mengental pada suhu 70⁰C. Kemudian tambahkan pewarna antosianin sesuai perbandingan. Paduan yang terbentuk didiamkan selama kira-kira 1 jam agar terbebas dari gelembung udara selanjutnya dicetak di atas pelat kaca dengan ukuran 20×20 cm dan dikeringkan dalam oven pada suhu 50⁰C selama 16 jam sebelum dilepaskan biarkan pada suhu kamar selama 3 jam Setelah kering plastik biodegradable sebagai smart packaging dilepaskan dari pelat kaca. Formulasi plastik biodegradable perbandingan konsentrasi ekstrak warna daun dan buah pucuk merah dengan air dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Formulasi Plastik Biodegradable sebagai Smart Packaging Perbedaan Konsentrasi

Ekstrak Warna Daun dan Buah Pucuk Merah dengan Air

Perlakuan Bahan Perlakuan

A B C D

Ekstrak daun pucuk merah

Pati jagung (g) 3 3 3 3

Sorbitol (g) 1, 5 1, 5 1, 5 1, 5

CMC (g) 0,25 0,25 0,25 0,25

Air (ml) 90 85 80 75

Ekstrak daun pucuk merah (ml) 10 15 20 25

Ekstrak buah pucuk merah

Pati jagung (g) 3 3 3 3

Sorbitol (g) 1, 5 1, 5 1, 5 1, 5

CMC (g) 0,25 0,25 0,25 0,25

Air (ml) 90 85 80 75

Ekstrak buah pucuk merah (ml) 10 15 20 25

Page 31: menambahkan tepung tapioka, air dan - thp.fp.unila.ac.idthp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/buku-2_Part7.pdfPembuatan tepung ubi kayu di mulai dengan pengupasan ubi

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 1043

Pengamatan Pengamatan yang dilakukan pada

cairan warna dari daun dan buah pucuk merah adalah analisis aktivitas antioksidan, kadar total polifenol dan analisis kadar antosianin. Pengamatan yang dilakukan pada plastik biodegradable ini adalah berupa pengamatan pengukuran, kadar air, ketebalan, densitas plastik biodegradable, daya serap air, analisis aktivitas antioksidan, analisis kadar antosianin, analisis total polifenol. Kemudian hasil terbaik berdasarkan hasil analisis kadar antosianin tertinggi dari plastik biodegradable dengan pewarna dari daun dan buah pucuk merah kemudian dilanjutkan dengan penelitian tahap dua, dengan pengujian struktur morfologi, uji biodegradasi, uji ketahanan indikator warna smart packaging tehadap suhu penyimpanan, uji ketahanan indikator warna smart packaging tehadap cahaya matahari dan uji perubahan warna indikator smart packaging seiring dengan rusaknya produk.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisa Terhadap Ekstrak Warna Daun Dan Buah Pucuk Merah

Hasil pengamatan terhadap ekstrak warna daun dan buah dari tanaman pucuk merah meliputi kadar antosianin, aktivitas antioksidan dan total polifenol dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Hasil Pengamatan terhadap Ekstrak

Warna Daun dan Buah Tanaman Pucuk Merah

No. Pengamatan Daun Buah

1 Kadar antosianin (mg/L)

38,49 54,52

2 Aktivitas antioksidan (%)

92,79 69,73

3 Total polifenol (mg GAE/g)

984,00 568,50

Dari Tabel 2, dapat dilihat hasil pengujian kadar antosianin pada ekstrak warna daun tanaman pucuk merah yaitu memiliki kadar sebesar 38,49 mg/L, sedangkan pada ekstrak warna buah tanaman pucuk merah adalah sebesar 54,52 mg/L. Hasil pengujian aktivitas antioksidan pada ekstrak warna daun tanaman pucuk merah yaitu memiliki aktivitas sebesar 92,79% pada konsentrasi 500 ppm, sedangkan pada ekstrak warna buah tanaman pucuk merah memiliki aktivitas sebesar 69,73% pada konsentrasi 5000 ppm. Hasil pengujian total polifenol pada ekstrak warna daun tanaman pucuk merah yaitu memiliki kadar sebesar 984,00 mg GAE/g, sedangkan pada ekstrak warna buah tanaman pucuk merah memiliki kadar sebesar 568,50 mg GAE/g.

Uji Analisa Terhadap Plastik Biodegradable dengan Pewarna Daun dan Buah Pucuk Merah Kadar Air

Hasil analisi kadar air plastik biodegradable dengan pewarna dari ekstrak daun dan buah tanaman pucuk merah dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Hasil analisis kadar air plastik

biodegradable Keterangan: Perlakuan 1. Ekstrak warna : Air

(10 ml : 90 ml), 2. Ekstrak warna : Air (15 ml : 85 ml), 3. Ekstrak warna : Air (20 ml : 80 ml) dan 4. Ekstrak warna : Air (25 ml : 75 ml).

Page 32: menambahkan tepung tapioka, air dan - thp.fp.unila.ac.idthp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/buku-2_Part7.pdfPembuatan tepung ubi kayu di mulai dengan pengupasan ubi

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”1044

Dari gambar 1. Terlihat semakin tinggi konsentrasi penambahan pewarna dari ekstrak daun dan buah tanaman pucuk merah maka semakin tinggi kadar air plastik biodegradable yang dihasilkan.

Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Mahabbatul (2015), dimana edible film dengan penambahan ekstrak etanol daun salam, menyatakan bahwa semakin tinggi konsentasi penambahan ekstrak etanol daun salam maka kadar air edible film akan semakin meningkat. Diduga peningkatan kadar air pada plastik biodegradable berkaitan dengan hasil pengukuran ketebalan plastik biodegradable, dimana semakin tinggi konsentrasi penambahan pewarna dari ekstrak daun dan buah tanaman pucuk merah meningkatkan ketebalan plastik biodegradable sehingga dengan meningkatnya ketebalan plastik biodegradable ini maka dapat meningkatkan kadar air yang terkandug dalam plastik biodegradable yang dihasilkan. Karena dengan semakin tebalnya suatu matriks plastik biodegradable maka akan semakin besar kemampuan matriks plastik biodegradable untuk memerangkap suatu komponen seperti air.

Ketebalan

Hasil pengukuran ketebalan plastik biodegradable dengan pewarna dari ekstrak daun dan buah tanaman pucuk merah dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Hasil analisis ketebalan plastik

biodegradable

Keterangan: Perlakuan 1. Ekstrak warna : Air (10 ml : 90 ml), 2. Ekstrak warna : Air (15 ml : 85 ml), 3. Ekstrak warna : Air (20 ml : 80 ml) dan 4. Ekstrak warna : Air (25 ml : 75 ml).

Diduga penambahan pewarna dari

ekstrak daun dan buah tanaman pucuk merah dalam jumlah tertentu akan meningkatkan jumlah total padatan dalam larutan sehingga ketebalan plastik biodegradable semakin meningkat. Hal ini sesuai dengan pendapat Nugroho et al., (2013) yang menyatakan bahwa peningkatan jumlah padatan dalam larutan mengakibatkan polimer-polimer yang menyusun matriks plastik biodegradable semakin banyak.

Densitas

Hasil pengukuran densitas platik biodegradable dengan pewarna dari ekstrak daun dan buah tanaman pucuk merah dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Hasil analisis densitas plastik

biodegradable Keterangan: Perlakuan 1. Ekstrak warna : Air

(10 ml : 90 ml), 2. Ekstrak warna : Air (15 ml : 85 ml), 3. Ekstrak warna : Air (20 ml : 80 ml) dan 4. Ekstrak warna : Air (25 ml : 75 ml).

Dimana berdasarkan hasil pengukuran

densitas ini penambahan pewarna dari ekstrak daun dan buah tanaman pucuk merah memberikan berpengaruh terhadap densitas

Page 33: menambahkan tepung tapioka, air dan - thp.fp.unila.ac.idthp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/buku-2_Part7.pdfPembuatan tepung ubi kayu di mulai dengan pengupasan ubi

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 1045

plastik biodegradable, bahwa semakin tinggi konsentrasi penambahan pewarna dari ekstrak daun dan buah tanaman pucuk merah maka semakin kecil densitas plastik biodegradable yang dihasilkan.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Ratnasari (2014) bahwa dalam bioplastik peningkatan konsentrasi limonena akan menurunkan bobot jenis bioplastik yang dihasilkan. Hal ini menandakan bahwa penambahan pewarna ekstrak daun dan buah tanaman pucuk merah membuat keteraturan plastik biodegradable menurun karena rantai polimer yang semakin lemah dengan adanya ekstrak daun dan buah tanaman pucuk merah. Hal ini memudahkan adanya pergerakan antar molekul sehingga keteraturan plastik biodegradable menurun (Arrieta et al. 2013). Daya Serap Air

Hasil pengukuran daya serap air plastik biodegradable dengan pewarna dari ekstrak daun dan buah tanaman pucuk merah dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Hasil analisis densitas plastik

biodegradable Keterangan: Perlakuan 1. Ekstrak warna : Air

(10 ml : 90 ml), 2. Ekstrak warna : Air (15 ml : 85 ml), 3. Ekstrak warna : Air (20 ml : 80 ml) dan 4. Ekstrak warna : Air (25 ml : 75 ml).

Berdasarkan hasil pengukuran daya

serap air ini penambahan pewarna dari ekstrak daun dan buah tanaman pucuk merah memberikan berpengaruh terhadap daya serap

air plastik biodegradable, bahwa semakin tinggi konsentrasi penambahan pewarna dari ekstrak daun dan buah tanaman pucuk merah maka semakin kecil daya serap air plastik biodegradable yang dihasilkan.

Pati jagung lebih banyak mengandung amilopektin yang memiliki banyak percabangan. Percabangan ini mengakibatkan ikatan antar rantai dalam amilopektin mudah putus. Dengan sifat amilopektin yang lebih amorf (tidak teratur) maka banyak ruang kosong sehingga rapat massa antar rantai dalam pati jagung tidak terlalu besar dan penyerapan terhadap airnya cukup besar sehingga ketahanan airnya rendah. Penambahan pewarna ekstrak daun dan buah tanaman pucuk merah mampu meningkatkan rapat massa plastik biodegradable dan menyebabkan jumlah air yang terserap semakin kecil. Ruang kosong akan diisi oleh ekstrak daun dan buah tanaman pucuk merah sehingga plastik biodegradable yang dihasilkan akan lebih rapat dan meningkatkan ketahanan terhadap air.

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Alim (2014), plastik biodegradable dengan penambahan selulosa asetat bahwa semakin tinggi konsentrasi penambahan selulosa asetat maka semakin rendah nilai daya serap airnya. Kemudian penelitian Coniwanti et al., (2014), tentang pembuatan plastik biodegradable dengan penambahan kitosan menyatakan bahwa semakin banyak kitosan maka nilai daya serap air (swellingnya) akan semakin kecil.

Analisis aktivitas antioksidan dengan DPPH

Hasil pengukuran aktivitas antioksidan platik biodegradable dengan pewarna dari ekstrak daun dan buah tanaman pucuk merah dapat dilihat pada Gambar 5.

Page 34: menambahkan tepung tapioka, air dan - thp.fp.unila.ac.idthp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/buku-2_Part7.pdfPembuatan tepung ubi kayu di mulai dengan pengupasan ubi

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”1046

Gambar 5. Hasil analisis aktivitas antioksidan

plastik biodegradable Keterangan: Perlakuan 1. Ekstrak warna : Air

(10 ml : 90 ml), 2. Ekstrak warna : Air (15 ml : 85 ml), 3. Ekstrak warna : Air (20 ml : 80 ml) dan 4. Ekstrak warna : Air (25 ml : 75 ml).

Penambahan pewarna dari ekstrak daun dan buah tanaman

pucuk merah memberikan berpengaruh terhadap aktivitas antioksidan plastik biodegradable, bahwa semakin tinggi konsentrasi penambahan pewarna dari ekstrak daun dan buah tanaman pucuk merah maka semakin besar aktivitas antioksidan plastik biodegradable yang dihasilkan. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Mahabbatul (2015) tentang edible film dengan penambahan ekstrak daun salam dan ekstrak daun beluntas menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi ekstrak daun salam dan ekstrak daun beluntas akan menghasilkan aktivitas antioksidan yang semakin besar.

Salah satu senyawa yang bersifat antoksidan adalah terpenoid yang ada pada daun pucuk merah adalah asam betulinat (3β-3-Hydroxy-lup-20(29)-en-28-oic acid) (Cowan, 1999). Selain itu pada buah pucuk merah mengandung senyawa sianidin-glikosida, suatu senyawa antosianin yang bersifat antioksidan (Santoni, et al. 2013).

Mekanisme flavonoid sebagai antioksidan memberikan kontribusi pada aktivitas antioksidannya secara in vitro dengan cara flavonoid mengikat (kelasi) ion-ion metal seperti Fe dan Cu. Ion-ion metal

seperti Cu dan Fe ini, dapat mengkatalisis reaksi yang akhirnya memproduksi radikal bebas (Sayuti dan Yenrina, 2015). Menurut Hurme et al., (2002), didalam kemasan antioksidan berfungsi sebagai barrier bagi difusi O2 serta mentransfernya ke produk yang dikemas untuk mecegah reaksi oksidasi.

Analisis Total Polifenol

Hasil pengukuran total polifenol plastik biodegradable dengan pewarna dari ekstrak daun dan buah tanaman pucuk merah dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 6. Hasil analisis total polifenol

plastik biodegradable Keterangan: Perlakuan 1. Ekstrak warna : Air

(10 ml : 90 ml), 2. Ekstrak warna : Air (15 ml : 85 ml), 3. Ekstrak warna : Air (20 ml : 80 ml) dan 4. Ekstrak warna : Air (25 ml : 75 ml).

Total polifenol ini penambahan

pewarna dari ekstrak daun dan buah tanaman pucuk merah memberikan berpengaruh terhadap total polifenol plastik biodegradable, bahwa semakin tinggi konsentrasi penambahan pewarna dari ekstrak daun dan buah tanaman pucuk merah maka semakin besar total polifenol plastik biodegradable yang dihasilkan.Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Oka et al., (2016) pada edible dengan penambahan bahan antioksidan dari daun lokal (daun jati, kelor dan kayu manis), penambahan bahan antioksidan dari daun lokal pada edible telah berhasil meningkatkan kandungan fenolnya.

Page 35: menambahkan tepung tapioka, air dan - thp.fp.unila.ac.idthp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/buku-2_Part7.pdfPembuatan tepung ubi kayu di mulai dengan pengupasan ubi

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 1047

Senyawa fenol yang sebelumnya ditemukan pada ekstrak daun dan buah tanaman pucuk merah, terbukti memberikan efek meningkatkan kandungan senyawa fenol pada plastik biodegradable. Senyawa fenol adalah senyawa utama pemberi efek antioksidan pada produk (Wrasiati, 2011).

Analisis Kadar Antosianin

Hasil pengukuran kadar antosianin plastik biodegradable dengan pewarna dari ekstrak daun dan buah tanaman pucuk merah dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Hasil analisis kadar antosianin

plastik biodegradable Keterangan: Perlakuan 1. Ekstrak warna : Air

(10 ml : 90 ml), 2. Ekstrak warna : Air (15 ml : 85 ml), 3. Ekstrak warna : Air (20 ml : 80 ml) dan 4. Ekstrak warna : Air (25 ml : 75 ml).

Penambahan pewarna dari ekstrak daun dan buah tanaman pucuk merah memberikan berpengaruh terhadap kadar antosianin plastik biodegradable, bahwa semakin tinggi konsentrasi penambahan pewarna dari ekstrak daun dan buah tanaman pucuk merah maka semakin besar kadar antosianin plastik biodegradable yang dihasilkan.

Penambahan konsentrasi ekstrak daun dan buah tanaman pucuk merah yang semakin tinggi terbukti meningkatkan kandungan antosianin dalam dalam plastik biodegradable yang dihasilkan, hal ini sesuai dengan pengukuran kadar antosianin pada ekstrak daun dan buah tanaman pucuk merah, dimana

hasil pengukuran kadar antosianin pada ekstrak daun dan buah tanaman pucuk merah lebih tinggi dari kadar antosianin yang terdapat pada plastik biodegradable dengan pewarna dari ekstrak daun dan buah tanaman pucuk merah. Kadar antosianin pada ekstrak daun pucuk merah lebih besar 38,49 mg/L, dari yang terhitung pada plastik biodegradable dengan indikator warna daun pucuk merah yaitu 4,43 mg/L sampai 12,11 mg/L, demikianpun pada ekstrak warna buah pucuk merah lebih besar 54,52 mg/L dari yang terhitung pada plastik biodegradable dengan indikator warna ekstrak buah pucuk merah yaitu 5,09 mg/L sampai 10,02 mg/L.

Analisa Plastik Biodegradable dengan Indikator Warna Sebagai Smart Packaging

Pada analisis Plastik Biodegradable dengan Indikator Warna Sebagai Smart Packaging ini adalah pengujian tahap 2. Dimana produk terbaik dari penelitian tahap pertama dilanjutakan pada taha kedua. Pemilihan produk terbaik pada penelitian tahap pertama adalah berdasarkan berdasarkan uji kadar antosianin, dimana kadar antosianin tertinggi dari beberapa perlakuan dijadikan produk terbaik. Berdasarkan hasil pengujian kadar antosianin produk terbaik adalah perlakuan 4, dengan kadar antosianin pada plastik biodegradable dengan indikator warna daun pucuk merah sebesar 12,11 mg/L dan pada plastik biodegradable dengan indikator warna buah pucuk merah sebesar 10,02 mg/L.

Analisa Biodegradasi

Hasil pengukuran biodegradasi plastik biodegradable sebagai smart packaging dengan indikator warna dari ekstrak daun dan buah tanaman pucuk merah dapat dilihat pada Gambar 8.

Page 36: menambahkan tepung tapioka, air dan - thp.fp.unila.ac.idthp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/buku-2_Part7.pdfPembuatan tepung ubi kayu di mulai dengan pengupasan ubi

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”1048

Gambar 8. Hasil analisis biodegradasi smart

packaging

Dari gambar 8. Dapat dilihat hasil pengujian biodegradasi plastik biodegradable sebagai smart packaging dengan indikator warna dari ekstrak daun tanaman pucuk merah terdegradasi mencapai 82,19% pada hari ke-8, sedangkan pengujian biodegradasi plastik biodegradable sebagai smart packaging dengan indikator warna dari ekstrak buah tanaman pucuk merah terdegradasi mencapai 81,02% pada hari ke-8.

Menurut standar Internasional (ASTM 5336) lamanya Film Plastik terdegradasi (biodegradasi) untuk plastik PLA dari Jepang dan PCL dari Inggris membutuhkan waktu 60 hari untuk dapat terurai secara keseluruhan (100%) (Arief, 2013). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 8 hari bahwa kemasan plastik biodegradable sebagai smart packaging dapat terurai (biodegradasi) mencapai 81,02% sampai 82,19%. Hal itu membuktikan bahwa hasil penelitian ini memenuhi kriteria degredasi dari plastik biodegradable.

Kemudian hasil penelitian Coniwanti, et al., (2014) lamanya terdegradasi (biodegradasi) plastik biodegradable dari pati jagung dengan penambahan kitosan dan pempalstis gliserol yang dihasilkan adalah dalam waktu 20 hari untuk dapat terurai hampir keseluruhan (80%). Dibanding penelitian Coniwanti et al., (2014) dalam penelitian ini plastik biodegradable sebagai smart packaging dapat terdegradasi lebih cepat diduga disebabkan oleh pengujian biodegradasi yang dilakukan dengan metode

penguburan langsung ke tanah sedalam ± 3 cm. Hasil penelitian Gede dan Tyas (2012), pada bioplastik dari pati singkong-khitosan biodegadasi terjadi selama 10 hari. Hal tersebut menandakkan bahwa bioplastik dari pati singkong-khitosan ramah lingkungan.

Analisis Struktur Morfologi menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM)

Hasil pengamatan morfologi indikator warna smart packaging menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM) dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Morfologi Indikator Smart

Packaging Dari Gambar 9, dapat dilihat bahwa

morfologi plastik biodegradable sebagai smart packaging dengan indikator warna dari daun pucuk merah, morfologi permukaan plastik biodegradable yang dihasilkan kurang rata dan halus, artinya masih ada komponen penyusun plastik biodegradable yang belum tercampur dengan baik sehingga menyebabkan permukaan kurang rata. Menurut hasil penelitian Ayu (2010), ukuran tapioka dan onggok pada saat persiapan bahan berpengaruh positif terhadap dispersi produk termoplastis ke dalam matrik polimer sintetik. Permukaan yang kasar mengindikasikan bahwa campuran masih belum kompatibel. Sedangkan plastik biodegradable sebagai smart packaging dengan indikator warna dari buah pucuk merah, morfologi permukaan plastik biodegradable yang dihasilkan lebih rata dan halus artinya semua komponen penyusun plastik biodegradable telah tercampur dengan baik. Bentuk asli granula

Page 37: menambahkan tepung tapioka, air dan - thp.fp.unila.ac.idthp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/buku-2_Part7.pdfPembuatan tepung ubi kayu di mulai dengan pengupasan ubi

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 1049

pati tidak tampak dan hal ini mengindikasikan bahwa campuran telah membentuk produk termoplastis secara sempurna (Ishiaku et al., 2002).

Analisis Ketahanan Indikator Warna Smart Packaging terhadap Suhu Penyimpanan Hasil pengujian ketahanan indikator warna smart packaging terhadap suhu penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10. Hasil uji ketahanan indikator

warna smart packaging terhadap suhu penyimpanan

Dari Gambar 10, dapat dilihat Untuk

smart packaging dengan indikator warna dari ekstrak daun dan buah tanaman pucuk merah sangat stabil, semua perlakuan penyimpanan dengan suhu suhu ruang (25±30C), suhu dingin (3±20C) dan pada suhu 400C yang sudah dilakukan selama 5 hari, namun plastik biodegradable sebagai smart packaging tidak mengalami perubahan warna secara visualisasi, plastik biodegradable smart packaging tetap menampilkan warna merah selama di semua kondisi penyimpanan, sehingga untuk plastik biodegradable smart packaging dengan penyimpanan dengan suhu ruang (25±30C), suhu kulkas (3±20C) dan pada suhu 400C tidak dilakukan pengukuran

warna dengan secara kuantitaf dengan hunter lab.

Dari hasil pengamatan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa dengan penyimpanan dengan suhu ruang (25±30C), suhu kulkas (3±20C) dan pada suhu 400C selama 5 hari indikator warna smart packaging dari daun dan buah pucuk merah yang mengandung antosianin yang terdapat dalam plastik biodegradable masih stabil. Karena secara umum, stabilitas antosianin dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu struktur dan konsentrasi antosianin, suhu, pH, oksigen, cahaya, enzim, asam askorbat, gula, sulfit, dan sebagainya (Jackman & Smith 1996). Menurut Andarwulan et al., (2012) faktor yang dapat mempengaruhi stabilitas antosianin yaitu pH, suhu, cahaya, oksigen, ion logam, enzim dan gula.

Analisis Ketahanan Indikator Warna Smart Packaging terhadap Cahaya Matahari

Hasil pengujian ketahanan indikator warna smart packaging terhadap cahaya matahari dapat dilihat pada gambar 11.

Gambar 11. Perubahan indikator warna smart

packaging terhadap cahaya matahari

Dari Gambar 11 hasil pengamtan

kualitatif pada indikator warna smart packaging secara visual, hasil pengamatan warna pada plastik biodegradable smart packaging yang terpapar cahaya matahari selama 5 hari menunjukkan perubahan warna pada indikator warna smart packaging. Dengan terlihat perubahan perubahan secara

Page 38: menambahkan tepung tapioka, air dan - thp.fp.unila.ac.idthp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/buku-2_Part7.pdfPembuatan tepung ubi kayu di mulai dengan pengupasan ubi

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”1050

visual ini maka dilakukan pengukuran secara kuantitatif.

Hasil analisa ketahanan indikator warna smart packaging terhadap cahaya matahari dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Hasil Pengukuran Ketahanan

Indikator Warna Smart Packaging terhadap Cahaya Matahari

Hari L* a* b* 0hue Kisaran Warna

Smart packaging indikator warna daun pucuk merah

1 22,70 2,65 1,07 21,99 Merah

2 22,42 2,92 1,14 21,32 Merah

3 20,81 3,03 1,18 21,27 Merah

4 20,26 3,44 1,21 19,37 Merah

5 19,61 3,98 1,33 18,47 Merah

Smart packaging indikator warna buah pucuk merah

1 13,11 0,28 -0,65 66,70 Kuning – Merah

2 13,52 0,49 -0,65 52,99 Merah

3 15,92 0,49 -0,29 30,62 Merah

4 18,63 0,64 -0,16 14,03 Merah

5 19,50 0,74 -0,12 9,21 Merah

Nilai L

Dari Tabel 3, dapat dilihat hasil pengukuran warna indikator smart packaging dari ekstrak daun pucuk merah terhadap cahaya matahari, bahwa selama penyimpanan dan terkena paparan cahaya matahari nilai L menurun dari 22,70 menjadi 19,61, artinya warna indikator smart packaging menjadi lebih gelap. Hal ini sejalan dengan penelitian Hong dan Park (2000) di mana sebaliknya terjadi perubahan warna indikator Metyl Red

dari orange menjadi merah sehingga menurunkan nilai L pada indikator. Sedangkan warna indikator smart packaging dari ekstrak buah pucuk merah terhadap cahaya matahari, bahwa selama penyimpanan dan terkena paparan cahaya matahari nilia L meningkat dari 13,11 menjadi 19,50, artinya warna indikator smart packaging menjadi lebih cerah. Hal ini sejalan dengan penelitian Nofrida (2013), secara umum rata-rata nilai L (tingkat kecerahan) sampel film setelah penyimpanan lebih tinggi dibandingkan dengan sebelum penyimpanan, berarti selama penyimpanan sampel menjadi semakin cerah atau nilai L meningkat.

Data yang didapatkan menggambarkan bahwa semakin tinggi suhu penyimpanan menyebabkan nilai L semakin cepat meningkat. Peningkatan nilai L disebabkan terjadinya proses degradasi antosianin akibat pengaruh suhu yang menyebabkan peningkatan nilai L (Ningrum, 2005). Adanya peningkatan nilai L dapat menunjukkan telah terjadi degradasi warna pada sampel. Dapat disimpulkan bahwa semakin pekat warna sampel maka kecerahan atau nilai L akan semakin menurun, dan semakin memudar warna sampel mendekati putih, maka nilai L sampel akan semakin meningkat. Nilai a

Dari Tabel 3, dapat dilihat hasil pengukuran warna indikator smart packaging dari ekstrak daun dan buah pucuk merah terhadap cahaya matahari, bahwa selama penyimpanan dan terkena paparan cahaya matahari nilia a meningkat dari 2,65 menjadi 3,98 pada indikator warna daun, sedangkan indikator warna smart packaging dari ekstrak buah pucuk merah juga meningkat dari 0,28 menjadi 0,74, artinya warna indikator smart packaging menjadi lebih kemerahan. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Hong dan Park (2000) menemukan terjadi kenaikan nilai a pada di perubahan warna indikator

Page 39: menambahkan tepung tapioka, air dan - thp.fp.unila.ac.idthp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/buku-2_Part7.pdfPembuatan tepung ubi kayu di mulai dengan pengupasan ubi

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 1051

Methyl Red dari orange menjadi merah. Sedangkan hasil penelitian Nofrida (2013), menyatakan hasil yang berbeda yaitu menunjukkan terjadinya penurunan derajat kemerahan sampel film yang juga berimplikasi pada perubahan warna film secara visualisasi dari merah menjadi kekuningan. Berdasarkan hasil penelitian ini dan penelitian sebelumnya bahawa nilai a akan meningkat ketika warna sampel menjadi kemerahan dan akan menurun ketika warna sampel menjadi kekuningan.

Nilai b

Dari Tabel 3, dapat dilihat hasil pengukuran warna indikator smart packaging dari ekstrak daun dan buah pucuk merah terhadap cahaya matahari, bahwa selama penyimpanan dan terkena paparan cahaya matahari nilia b pada indikator warna smart packaging dari ekstrak daun pucuk merah meningkat dari 1,07 menjadi 1,33, indikator warna smart packaging dengan ekstrak daun pucuk merah menghasilkan nilai b positif (+b) artinya indikator warna smart packaging memiliki warna kekuningan, sedangkan indikator warna smart packaging dari ekstrak buah pucuk merah juga meningkat dari -0,65 menjadi -0,12, indikator warna smart packaging dengan ekstrak buah pucuk merah menghasilkan nilai b negatif (-b) artinya indikator warna smart packaging memiliki warna kebiruan.

Hasil penelitian Nofrida et al. (2013) menggambarkan bahwa semakin tinggi suhu penyimpanan menyebabkan terjadinya proses degradasi antosianin sehingga terjadi degradasi warna pada sampel. Menurut Sutrisno (1987), suhu dan lama pemanasan menyebabkan terjadi dekomposisi dan perubahan struktur pigmen sehingga terjadi pemucatan. Peningkatan suhu penyimpanan mampu menstimulasi proses hidrolisis ikatan glikosidik antara gugus aglikon dan glikon pada struktur antosianin. Hidrolisis tersebut mampu menghasilkan gugus-gugus aglikon

yang mudah mengalami transformasi struktural menjadi senyawa kalkon yang tidak berwarna. Penurunan nilai derajat kemerahan disebabkan peningkatan kecepatan reaksi transformasi struktural kation flavilum (berwarna merah) menjadi kalkon (tidak berwarna) (Viguera dan Bridle, 1999).

Nilai ohue

Dari data Tabel 3, yang di hasilkan, dapat diketahui bahwa kisara ohue indikator warna smart packaging berada pada kuadran 1 dan 2, yaitu pada kisaran warna kemerahan hingga kuning. Dimana nilai °hue pada indikator warna smart packaging dengan warna ekstrak daun pucuk merah memiliki warna yang merah dengan nilai °hue berkisar antara 18,47 sampai 21,99, sedangkan nilai °hue pada indikator warna smart packaging dengan warna ekstrak buah pucuk merah memiliki warna merah hingga kuning-merah dengan nilai °hue berkisar antara 9,21 sampai 66,70.

Perubahan indikator warna smart packaging dapat dijelaskan karena ketidakstabilan pewarna antosianin. Secara umum, stabilitas antosianin dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu struktur dan konsentrasi antosianin, suhu, pH, oksigen, cahaya, enzim, asam askorbat, gula, sulfit, dan sebagainya (Jackman & Smith 1996). Menurut hasil penelitian Warsiki et al., (2013) pewarna daun erpa tidak memiliki stabilitas yang bagus khususnya pada perubahan suhu karena antosianin yang terdapat pada ekstrak daun erpa sangat rentan terhadap suhu tinggi. Kemudian penelitian Nofrida et al., (2013) memanfaatkan antosianin pewarna daun erpa sebagai indikator dalam label cerdas untuk mendeteksi kerusakan produk yang sesitif terhadap suhu tinggi seperti susu pasteurisasi.

Nilai ΔE/Total Color Difference (TCD)

Nilai ΔE/TCD dapat dilihat pada Tabel 5.

Page 40: menambahkan tepung tapioka, air dan - thp.fp.unila.ac.idthp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/buku-2_Part7.pdfPembuatan tepung ubi kayu di mulai dengan pengupasan ubi

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”1052

Tabel 5. Besaran nilai ΔE/Total Color Difference (TCD) selama penyimpanan

Sampel Perubahan warna hari ke-

1 2 3 4 5

Indikator warna

daun 0,00 0,08 1,30 0,24 0,36

Indikator warna

buah 0,00 0,11 2,94 3,69 0,38

Dari Tabel 5, dapat dilihat nilai

(ΔE/TCD) perubahan warna indikator smart packaging dari ekstrak warna daun pucuk merah yaitu meningkat dari hari ke-1 sampai hari ke-3 dari 0,00 menjadi 1,30 dan pada hari ke-4 turun menjadi 0,24, kemudian pada hari ke-5 naik lagi menjadi 0,36, sedangkan nilai (ΔE/TCD) perubahan warna indikator smart packaging dari ekstrak warna buah pucuk merah yaitu meningkat dari hari ke-1 sampai hari ke-4 dari 0,00 menjadi 3,69 dan pada hari ke-5 turun menjadi 0,38. Berdasarkan hasil nilai (ΔE/TCD) perubahan warna indikator smart packaging dari ekstrak warna daun dan buah pucuk merah yaitu sangat kecil, dimana nilai perubahan warna (ΔE/TCD) dibawah dari 5, itu artinya perubahan warna tidak dapat dideteksi dengan mudah dengan mata biasa.

Perubahan warna sampel menunjukkan lama penyimpanan dan cahaya dapat menyebabkan terjadinya degradasi antosianin yang menyebabkan perubahan warna indikator smart packaging. Peningkatan suhu, cahaya dan lama penyimpanan mengakibatkan kenaikan nilai ΔE, sebagai imbas dari perubahan nilai L, a, dan b dari sampel smart packaging. Hasil penelitian Nofrida, (2013) mengungkapkan bahwa perubahan warna menyebabkan peningkatan nilai ΔE pada smart packaging

yang terpapar cahaya matahari, hal ini sejalan dengan hasil penelitian Wanihsuksombat et al. (2010), perubahan prototype TTI berbasis asam laktat dari warna kuning kehijauan menjadi merah juga mengakibatkan peningkatan nilai ΔE yang dihasilkan.

Cahaya merupakan faktor yang turut berperan dalam proses degradasi antosianin. Cahaya memiliki energi tertentu yang mampu memicu terjadinya reaksi fotokimia (fotooksidasi) dan membentuk senyawa yang tidak berwarna (Dianawati, 2001).

Analisis Warna Aplikasi Plastik Biodegradable dengan Indikator Warna sebagai Smart Packaging untuk Fillet Ikan

Hasil pengamatan visual perubahan indikator warna smart packaging terhadap perubahan mutu ikan selama penyimpanan dingin (3±20C) dapat dilihat pada gambar 12.

Gambar 12. Perubahan indikator warna smart

packaging

Dari gambar 12, dapat dilihat hasil pengamatan visual pada indikator warna smart packaging selama penyimpanan dingin (3±20C) bahwa terjadi perubahan warna indikator seiring dengan rusaknya produk yang dikemas selama penyimpanan. Kemudian pengujian warna dilanjutkan dengan menggunakan alat untuk menghitung nilai perubahan warna. Hasil pengukuran indikator warna smart packaging untuk fillet ikan selama penyimpanan pada suhu dingin (3±20C) dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Hasil Pengukuran Indikator Warna

Smart Packaging pada Fillet Ikan Selama Penyimpanan pada Suhu Dingin (3±20C)

Page 41: menambahkan tepung tapioka, air dan - thp.fp.unila.ac.idthp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/buku-2_Part7.pdfPembuatan tepung ubi kayu di mulai dengan pengupasan ubi

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 1053

Hari L* a* b* 0hue Kisaran Warna

Smart packaging indikator warna daun pucuk merah

1 20,97 4,53 2,20 25,90 Merah

2 21,47 4,63 2,48 28,18 Merah

3 22,55 4,85 2,62 28,37 Merah

4 23,84 5,40 3,18 30,49 Merah

5 26,03 5,97 3,54 30,67 Merah

Smart packaging indikator warna buah pucuk merah

1 12,49 0,35 -0,41 49,51 Merah

2 14,03 0,59 -0,35 48,01 Merah

3 18,71 0,68 -0,34 26,57 Merah

4 22,02 0,71 -0,29 22,21 Merah

5 25,70 0,74 -0,23 18,68 Merah

Nilai L

Dari Tabel 5, dapat dilihat hasil pengukuran warna indikator smart packaging dari ekstrak daun pucuk merah terhadap kerusakan fillet ikan selama penyimpanan dingin, bahwa selama penyimpanan dingin dan respon indikator terhadap kerusakan fillet ikan nilai a mningkat dari 4,53 menjadi 5,97, sedangkan warna indikator smart packaging dari ekstrak buah pucuk merah terhadap kerusakan fillet ikan selama penyimpanan dingin, bahwa selama penyimpanan dingin dan respon indikator terhadap kerusakan fillet ikan nilia a meningkat dari 0,35 menjadi 0,74. Berdasarkan data yang diperoleh nilai a warna indikator smart packaging memiliki nilai positf (a+) itu artinya indikator warna smart packaging memiliki warna kemerahan.

Nilai a Dari Tabel 5, dapat dilihat hasil

pengukuran warna indikator smart packaging dari ekstrak daun pucuk merah terhadap kerusakan fillet ikan selama penyimpanan dingin, bahwa selama penyimpanan dingin dan respon indikator terhadap kerusakan fillet ikan nilai a mningkat dari 4,53 menjadi 5,97, sedangkan warna indikator smart packaging dari ekstrak buah pucuk merah terhadap kerusakan fillet ikan selama penyimpanan dingin, bahwa selama penyimpanan dingin dan respon indikator terhadap kerusakan fillet ikan nilia a meningkat dari 0,35 menjadi 0,74. Berdasarkan data yang diperoleh nilai a warna indikator smart packaging memiliki nilai positf (a+) itu artinya indikator warna smart packaging memiliki warna kemerahan.

Page 42: menambahkan tepung tapioka, air dan - thp.fp.unila.ac.idthp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/buku-2_Part7.pdfPembuatan tepung ubi kayu di mulai dengan pengupasan ubi

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”1054

Nilai b Dari Tabel 5, dapat dilihat hasil

pengukuran warna indikator smart packaging dari ekstrak daun dan buah pucuk merah terhadap cahaya matahari, bahwa selama penyimpanan dingin dan respon indikator warna smart packaging terhadap kerusakan fillet ikan, bahwa nilai b pada indikator warna smart packaging dari ekstrak daun pucuk merah meningkat dari 2,20 menjadi 3.34, indikator warna smart packaging dengan ekstrak daun pucuk merah menghasilkan nilai b positif (+b), artinya indikator warna smart packaging memiliki warna kekuningan, sedangkan indikator warna smart packaging dari ekstrak buah pucuk merah nilai b juga meningkat dari -0.41 menjadi -0,23, indikator warna smart packaging dengan ekstrak buah pucuk merah menghasilkan nilai b negatif (-b), yang artinya indikator warna smart packaging memiliki warna kebiruan.

Nilai ohue

Dari data tabel 5 yang di hasilkan, dapat diketahui bahwa kisara ohue indikator warna smart packaging berada pada kuadran 1, yaitu pada kisaran warna kemerahan. Dimana nilai °hue pada indikator warna smart packaging dengan warna ekstrak daun pucuk merah memiliki warna yang merah dengan nilai °hue berkisar antara 25,90 sampai 30,67, sedangkan nilai °hue pada indikator warna smart packaging dengan warna ekstrak buah pucuk merah memiliki warna merah dengan nilai °hue berkisar antara 18,68 sampai 49,51. Nilai ΔE/Total Color Difference (TCD)

Nilai ΔE/TCD dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Besaran nilai ΔE/Total Color Difference (TCD) selama penyimpanan

Sampel Perubahan warna hari ke-

1 2 3 4 5

Indikator warna daun

0,00 0,17 0,62 1,14 2,63

Indikator warna buah 0,00 1,22 10,96 5,48 6,77

Dari Tabel 6, dapat dilihat nilai

(ΔE/TCD) perubahan warna indikator smart packaging dari ekstrak warna daun pucuk merah selama penyimpanan dan respon indikator warna smart packaging terhadap kerusakan fillet ikan yaitu meningkat dari hari ke-1 sampai hari ke-5 dari 0,00 menjadi 2,63, sedangkan nilai (ΔE/TCD) perubahan warna indikator smart packaging dari ekstrak warna buah pucuk merah selama penyimpanan dan respon indikator warna smart packaging terhadap kerusakan fillet ikan yaitu meningkat dari hari ke-1 sampai hari ke-3 dari 0,00 menjadi 10,96 dan pada hari ke-4 turun menjadi 5,48 dan pada hari ke-5 meningkat lagi menadi 6,77. Berdasarkan hasil nilai (ΔE/TCD) perubahan warna indikator smart packaging dari ekstrak warna daun pucuk merah yaitu sangat kecil, dimana nilai perubahan warna (ΔE/TCD) dibawah dari 5, itu artinya perubahan warna tidak dapat dideteksi dengan mudah dengan mata biasa. Sedangkan perubahan warna indikator smart packaging dari ekstrak warna buah pucuk merah yaitu relative lebih besar, dimana nilai perubahan warna (ΔE/TCD) melebihi angka 5 pada hari ke-3 sampai hari ke-5, itu artinya perubahan warna dapat dideteksi dengan mudah dengan mata biasa.

Perubahan warna yang disebabkan oleh perubahan pH yaitu ketika pH meningkat diatas 4 maka terbentuk senyawa antosianin berwarna kuning (bentuk kalkon), senyawa

Page 43: menambahkan tepung tapioka, air dan - thp.fp.unila.ac.idthp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/buku-2_Part7.pdfPembuatan tepung ubi kayu di mulai dengan pengupasan ubi

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 1055

berwarna biru (bentuk quinouid), dan senyawa yang tidak berwarna (basa karbinol). Kecepatan degradasi warna semakin dipercepat dengan meningkatnya pH (Anonym, 2012). Kemudian Retno (2016), juga menjelaskan perubahan warna indikator yang diakibatkan oleh reaksi kimia antara terbentuknya metabolit mikroba dengan indikator dalam kemasan. Metabolit – metabolit tersebut dapat berupa glukosa, asam organik (misalnya asam laktat), etanol, karbondioksida, amin biogenik, senyawa nitrogen yang mudah menguap atau senyawa sulfur. Potensi Aplikasi Plastik Biodegradable dengan Indikator Warna Sebagai Smart Packaging

Smart packaging indikator warna daun dan buah pucuk merah sangat potensial untuk diaplikasikan pada produk fillet ikan. Smart packaging indikator warna daun dan buah pucuk merah dapat diaplikasikan dalam bentuk label yang ditempel di bagian luar kemasan fillet ikan. Aplikasi smart packaging indikator warna daun dan buah pucuk merah ditempel dalam bentuk label bersamaan dengan pedoman warna smart packaging indikator warna daun dan buah pucuk merah sehingga dapat di aplikasikan sebagai smart packaging. Adanya pedoman warna smart packaging indikator warna daun dan buah pucuk merah dapat menjadi panduan bagi konsumen, agar konsumen dapat melihat tingkat perubahan warna smart packaging indikator warna daun dan buah pucuk merah sebagi smart packaging, dan dapat dijadikan panduan kerusakan produk hanya dengan melihat perubahan warna dari indikator smart packaging dan mencocokkannya dengan warna panduan. Label indikator warna daun dan buah pucuk merah sebagai smart packaging dapat dilihat pada Gambar 13.

Sampel Suhu Dingin (3±20C)

Indikator Warna Daun

Indikator Warna Buah

Kriteria Baik Segera

konsumsi Rusak

Gambar 13. Perubahan indikator warna smart

packaging KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan 1. Penambahan ekstrak daun dan buah pucuk

merah berpengaruh terhadap karakteristik kadar air, ketebalan, densitas, daya serap air, aktivitas antioksidan, total polifenol dan kadar antosianin plastik biodegradable.

2. Produk terbaik berdasarkan uji kadar antosianin pada plastik biodegradable adalah perlakuan 4 (ekstrak daun dan buah pucuk merah 25%), dengan hasil uji karakteristik plastik biodegradable perlakuan 4 (ekstrak daun dan buah pucuk merah 25% : 75% air), untuk plastik biodegradable indikator warna daun pucuk merah, kadar air 12.95%, ketebalan 0.20 mm, densitas 1.39 g/cm3, daya serap air 54.55%, aktivitas antioksidan 90.36%, total polifenol 540 mg GAE/KG dan kadar antosianin 10.02 mg/L. sedangkan untuk plastik biodegradable indikator warna buah pucuk merah, kadar air 16.73%, ketebalan 0.133 mm, densitas 1.69 g/cm3, daya serap air 54.55%, aktivitas antioksidan 66.53%, total polifenol 432 mg

Page 44: menambahkan tepung tapioka, air dan - thp.fp.unila.ac.idthp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/buku-2_Part7.pdfPembuatan tepung ubi kayu di mulai dengan pengupasan ubi

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”1056

GAE/KG dan kadar antosianin 12.11 mg/L.

3. Plastik biodegradable dengan indikator warna ekstrak daun dan buah pucuk merah dapat digunakan sebagai smart packaging karena dapat mendeteksi kerusakan fillet ikan ditandai dengan berubahnya warna indikator selama penyimpanan seiring dengan rusaknya fillet ikan. Dengan nilai perubahan warna (ΔE/TCD) yaitu untuk smart packaging indikator warna daun pucuk merah yaitu pada hari pertama ke-1 sampai hari ke-5 dari 0,00 menjadi 2.63 artinya perubahan warna tidak dapat dideteksi dengan mudah dengan mata biasa, sedangkan nilai (ΔE/TCD) perubahan warna indikator smart packaging dari ekstrak warna buah pucuk merah yaitu meningkat dari hari ke-1 sampai hari ke-3 dari 0,00 menjadi 10.96 dan pada hari ke-4 turun menjadi 5.48 dan pada hari ke-5 meningkat lagi menjadi 6.77 artinya perubahan warna dapat dideteksi dengan mudah dengan mata biasa.

DAFTAR PUSTAKA

Alim, Nur Bahmid. 2014. Pengembangan

Nanofiber Selulosa Asetat Dari Selulosa Tandan Kosong Kelapa Sawit Untuk Pembuatan Bioplastik. [Tesis]. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Anonym. 2012. Merah-Ungu Antosisnin. Pewarna Alami Untuk Pangan. SEAFAST Center.

Arrieta MP, Jopez Z, Ferandiz S, Peltzer M. 2013. Characterization of PLA-Limonene Blends For Food Packaging Applications. Elsevier Polym Test. 32: 760–768.

Ayu, Niken P. 2010. Produksi Plastik Komposit dari Campuran Tapioka-Onggok Termoplastis dengan Compatibilized Polietilen. [Tesis]. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Coniwanti, P., Laila, L., dan Alfira. 2014. Pembuatan Film Plastik Biodegradable dari Pati Jagung dengan Penambahan Kitosan dan Pemplastis Gliserol. Jurnal teknik Kimia. Vol 20. (4). 22-30.

Delgado-V, A. R. Jiménez, and O. Paredes-LópeZ. 2000. Natural Pigments: Carotenoids, Anthocyanins, and Betalains - Characteristics, Biosynthesis, Processing, and Stability. Critical Reviews in Food Science and Nutrition. Hal 231-233.

Firdaus, F., S. Mulyaningsih, dan H. Anshory. 2008. Green Packgaking Berbasis Biomaterial: Karakteristik Mekanik dan Ketahanan terhadap Mikroba Pengurai Film Kemasan dari Komposit Pati Tropis-PLA-Kitosan. Seminar Nasional Tekno (Prosiding). B27-32.

Gede I.S.M.H dan Tyas P. 2012. Pengaruh Khitosan dan Plasticizer Gliserol pada Karakteristik Plastik Biodegradable dari Pati Limbah Kulit Singkong. Jurnal Pengolahan Limbah Industri. Jurusan Teknik Kimia FTI-ITS.

Ishiaku US, K.W Pang, W.S Lee dan Z.A.M Ishak. 2002. Mechanical Properties and Enzymic Degradation of Thermoplastic and Granular Sago Starch Filled Poly (ε caprolactone). Europe Polym J 38:393-401.

Hong SI, Park W S.2000. Use of Color Indicators as an Active Packaging System for Evaluating Kimchi Fermentation. J Food Eng. 46 : 67 – 72.

Hurme, E., T.S-Malm , R.Ahvenainen and T.Nielsen, 2002. Active and Intelligent Packaging. In: Minimal Processing Technologies in Food Industry. T.Ohlsson and.

Kishna M, Niesten E., Negro S., and Marko P.H, 2016. The role of alliances in creating legitimacy of sustainable technologies: A study on the field of bio-plastics. Journal of Cleaner Production. Hal 1-10.

Page 45: menambahkan tepung tapioka, air dan - thp.fp.unila.ac.idthp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/buku-2_Part7.pdfPembuatan tepung ubi kayu di mulai dengan pengupasan ubi

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 1057

Mahabbatul, F., I. 2015. Pengaruh Penambahan Ekstrak Etanol Daun Salam dan Daun Beluntas Terhadap Sifat Fisik, Aktivitas Antibakteri dan Aktivitas Antioksidan Pada Edible Berbasis Pati Jagung. [Skripsi]. Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim. Malang.

Muchtadi, T. dan Sugiyono. 1992. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Dirjen Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Universitas Pertanian Bogor. Bogor.

Nugroho, A. A., Basito, dan R. B. Katri A. 2013. Kajian Pembuatan Edible Film Tapioka Dengan Pengaruh Penambahan Pektin Beberapa Jenis Kulit Pisang Terhadap Karakteristik Fisik dan Mekanik. Jurnal TeknoSains Pangan, 2(1):73-79.

Ningrum, A. 2005. Stabilitas Zat Pewarna Alami dari Daun Erpa (Aerva sp) dalam Model Minuman Ringan dan Pudding Agar. [Skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.

Oka, A.A. K.A. Wiyana, I.M. Sugitha dan I.N.S. Miwada. 2016. Identifikasi Sifat Fungsional dari Daun Jati, Kelor dan Kayu Manis dan Potensinya sebagai Sumber Antioksidan pada Edible Film. Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 11 No 1.

Pacquit, A., Crowley K, and Diamond D. 2008. Smart Packaging Technologies for Fish and Seafood Products. Di dalam Smart Packaging Technologies for Fast Moving Consumer Goods. Willey John (Eds): 75-96, England : John Wiley & Sons Ltd.

Prawira, F.R. 2013. Pencirian Film Bioplastik dari Tepung Tapioka Terplastisasi gliserol dengan Penambahan Kitosan. [Skripsi]. IPB. Bogor.

Ratnasari, E. 2014. Pencirian Bioplastik Tepung Singkong Dengan Penambahan Natrium Alginat, Selulosa, Dan Limonena. [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Retno, Dwi W. 2016. Kajian Kemasan Pangan Aktif dan Cerdas (Active and Intelligent Food Packaging). Direktorat Pengawasan Produk dan Bahan Berbahaya. BPOM.

Santoni, A., Djaswir. D., Sukmaning, S. 2013. Isolasi Antosianin dari Buah Pucuk Merah serta Pengujian Antioksidan dan Aplikasi Sebagai Pewarna Alami. Prosiding SEMIRATA FMIPA. Lampung.

Sayuti, K., dan Rina, Y. 2015. Antioksidan Alami dan Sintetik. Andalas University Press. Padang.

Siracusa, V., Rocculi, P., Romani, S., Dalla Rosa, M., 2008. Biodegradable Polymers for Food Packaging: A Review. Trends Food Sci. Technol. 19, 634e643.

Vaikousi H, Biliaderis, Koutsoumanis KP. 2008. Development of a Microbial TTI Prototype for Monitoring Microbiological Quality of Chilled Food. Amerika: American Society for Microbiology.

Wanihsuksombat C, Hongtrakul V, Suppakul P. 2010. Development and Characterization of A Prototype of A Lactic Acid-Based Time-Temperature Indicator for Monitoring Food Product Quality. J Food Eng. 100: 427 – 434.

Warsiki E, Sunarti TC, Damanik R. 2010. Pengembangan Kemasan Antimikrobial untuk Memperpanjang Umur Simpan Produk Pangan. Prosiding Seminar Hasil - Hasil Penelitian IPB 2009, Buku 5 Bidang Teknologi dan Rekayasa Pangan, Bogor, Desember 2010. Hal. 579-588.

Warsiki, E dan Dewi, Citra W.P. 2012. Pembuatan Label/Film Indikator Warna

Page 46: menambahkan tepung tapioka, air dan - thp.fp.unila.ac.idthp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/buku-2_Part7.pdfPembuatan tepung ubi kayu di mulai dengan pengupasan ubi

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”1058

dengan Pewarna Alami dan Sintesis. E-Jurnal Agroindustri Indonesia. Vol. 1 No. 2, p 82-87.

Wrasiati, L.P. 2011. Karakteristik dan Toksisitas Ekstrak Bubuk Simplisia Bunga Kamboja Cendana serta Peranannya dalam Meningkatkan Aktivitas Antioksidan Enzimatis pada Tikus Sprague Dawley. Disertasi Pascasarjana Universitas Udayana. Denpasar.

Page 47: menambahkan tepung tapioka, air dan - thp.fp.unila.ac.idthp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/buku-2_Part7.pdfPembuatan tepung ubi kayu di mulai dengan pengupasan ubi

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 1059

PENGEMBANGAN PRODUK OLAHAN MINUMAN SARI BUAH DARI BEBERAPA JENIS PISANG LOKAL

DEVELOPMENT OF JUICE DRINKS FROM SEVERAL LOCAL BANANA SPECIES

Vita N. Lawalata* dan G. Tetelepta

Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Pattimura *Email Korespondensi : [email protected]

ABSTRACT Juice drink is one of the diversified banana fruit products which provide enhanced added-value of banana fruit itself. The purpose of this research was to develop juice drink from several local banana species by characterizing their sensory and chemical quality. Local banana species used were Tongka langit, Kepok, Ambon, Lampung, respectively collected from Ambon Maluku Province. Sensory quality of the product was evaluated by Ranking Test on colour, taste, and aroma. Whereas chemical characteristics such as total sugar, pH, and total acidity were also analyzed. Results showed that juice drinks from Tongka Langit banana received highest rank on colour, while taste and aroma were highly achieved by juice drink from Kepok banana. Chemical quality of juice drinks from these four bananas, i.e. Tongka Langit, Kepok, Ambon, and Lampung including total sugar of 19.09%, 19.38%, 18.52%, and 18.19%, pH value of 4.9, 4.5, 4.7, and 4.5, as well as total acidity of 0.81%, 1.33, 0.91, and 1.36%, sunsequently.

Keywords : juice,sensory, local banana, ranking test

ABSTRAK

Minuman sari buah pisang merupakan salah satu produk diversifikasi dari buah pisang untuk meningkatkan nilai tambah buah pisang. Penelitian ini dilakukan untuk mengembangkan produk minuman sari buah dari beberapa jenis pisang lokal dengan mengkarakterisasi mutu sensoris dan kimia dari sari buah pisang yang dihasilkan. Jenis buah pisang lokal yang digunakan dalam penelitian ini adalah pisang tongka langit, pisang kepok, pisang ambon, dan pisang lampung yang berasal dari kota Ambon Provinsi Maluku. Penilaian Mutu sensori yang digunakan yaitu uji ranking terhadap sifat sensori warna, rasa, dan aroma, sedangkan mutu kimia meliputi total gula, pH, dan total asam. Hasil uji ranking menunjukkan bahwa sari buah pisang tongka langit memiliki tingkat kesukaan warna yang lebih baik, sedangkan sari buah pisang kepok memiliki tingkat kesukaan rasa dan aroma yang lebih baik. Nilai mutu kimia dari masing-masing sari buah pisang tongka langit, pisang kepok, pisang ambon, dan pisang lampung adalah total gula sebesar 19.09%, 19.38%, 18.52%, dan 18.19%, nilai pH 4.9, 4.5, 4.7, dan 4.5, sedangkan nilai total asam 0.81%, 1.33, 0.91, dan 1.36%. Kata kunci : pisang, pisang lokal, sari buah, sensori, uji ranking

Page 48: menambahkan tepung tapioka, air dan - thp.fp.unila.ac.idthp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/buku-2_Part7.pdfPembuatan tepung ubi kayu di mulai dengan pengupasan ubi

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”1060

PENDAHULUAN

Pisang merupakan salah satu jenis tanaman buah tropis yang sangat populer karena banyak dikonsumsi dan dinikmati masyarakat luas diberbagai belahan dunia. Buah pisang kaya akan fitonutrien penting, seperti Vitamin A, B2, B3, B6, B kompleks, dan serotonin yang aktif sebagai neurotransmiter dalam kelancaran fungsi otak, dan juga mengandung mineral besi, fosfor, kalium, kalsium, magnesium, mangan, dan seng (Cahyono, 2016)

Di Indonesia terdapat kurang lebih 230 jenis pisang yang dapat dikelompokan menjadi dua kelompok berdasarkan penggunaannya, yaitu yang dikenal sebagai buah meja (Musa paradisiaca sapientium) dan yang dikenal sebagai buah pisang olahan/plantain (Musa Paradisiaca normalis). Jenis pisang yang tergolong sebagai buah meja umumnya disajikan sebagi buah segar yang bisa langsung dimakan dan jenis pisang yang tergolong plantain hanya enak dimakan setelah diolah menjadi berbagai produk pangan (Pereira, 2015). Kedua kelompok jenis buah pisang ini banyak kita jumpai di seluruh pelosok tanah air, termasuk juga di kota Ambon Provinsi Maluku yang biasanya tumbuh di pekarangan ataupun di kebun. Jenis buah pisang yang tumbuh dan dibudidayakan serta dikembangkan di suatu daerah tanpa memperhatikan dari mana asal varietasnya dapat disebut sebagai pisang lokal daerah tersebut. Jenis pisang lokal kelompok buah meja yang sering dijumpai di kota Ambon adalah pisang pisang ambon, pisang lampung, dan pisang susu, sedangkan kelompok plantain adalah pisang kepok, pisang raja, pisang tanduk, dan pisang yang bentuknya khas karena tandannya menengadah ke langit, yaitu pisang tongka langit.

Pemanfaatan buah pisang di kota Ambon selama ini belum optimal, masih terbatas sebagai buah konsumsi segar dan produk olahan tradisional yaitu pisang

goreng,pisang rebus, kolak, dan kripik. Pemanfaatan dan pengolahan pisang dengan cara diatas masih kurang efisien karena masa simpannya masih singkat. Cara pengolahan lain yang dapat memperpanjang masa simpan buah pisang adalah dengan mengolah pisang menjadi sari buah. Sari buah adalah cairan yang diperoleh dari bagian buah yang dapat dimakan yang dicuci, dihancurkan, dijernihkan (jika dibutuhkan) dengan atau tanpa pasteurisasi dan dikemas untuk dapat dikonsumsi langsung.

Untuk dapat menjadikan produk olahan buah pisang, sebagai produk unggulan di provinsi Maluku, khususnya kota Ambon, maka perlu dilakukan suatu penelitian pengembangan produk olahan minuman sari buah dari berbagai jenis pisang lokal yang ada di kota Ambon, dengan tujuan untuk mengkarakteristik sifat sensori dan kimia sari buah dari beberapa jenis buah pisang lokal asal kota Ambon. Penelitian ini diharapkan berpotensi besar untuk dapat membangun agroindustri buah pisang di provinsi Maluku, khususnya kota Ambon yang berdampak positif untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.

BAHAN DAN METODE

Peralatan yang digunakan dalam

penelitian ini adalah kompor, panci, pisau, timbangan, kain saring, dan peralatan untuk analisa. Bahan utama yang digunakan adalah buah pisang dengan tingkat kematangan masak fisiologis, yaitu buah pisang tongka langit, kepok, lampung, dan buah pisang ambon lumut, sedangkan bahan tambahan yang digunakan adalah gula pasir, asam sitrat, natrium benzoat, akuades, dan bahan kimia untuk analisa.

Pelaksanakan penelitian ini berlangsung pada bulan Maret 2017 di Laboratorium Teknologi Hasil Pertanian, Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Pattimura Ambon.

Page 49: menambahkan tepung tapioka, air dan - thp.fp.unila.ac.idthp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/buku-2_Part7.pdfPembuatan tepung ubi kayu di mulai dengan pengupasan ubi

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 1061

PENDAHULUAN

Pisang merupakan salah satu jenis tanaman buah tropis yang sangat populer karena banyak dikonsumsi dan dinikmati masyarakat luas diberbagai belahan dunia. Buah pisang kaya akan fitonutrien penting, seperti Vitamin A, B2, B3, B6, B kompleks, dan serotonin yang aktif sebagai neurotransmiter dalam kelancaran fungsi otak, dan juga mengandung mineral besi, fosfor, kalium, kalsium, magnesium, mangan, dan seng (Cahyono, 2016)

Di Indonesia terdapat kurang lebih 230 jenis pisang yang dapat dikelompokan menjadi dua kelompok berdasarkan penggunaannya, yaitu yang dikenal sebagai buah meja (Musa paradisiaca sapientium) dan yang dikenal sebagai buah pisang olahan/plantain (Musa Paradisiaca normalis). Jenis pisang yang tergolong sebagai buah meja umumnya disajikan sebagi buah segar yang bisa langsung dimakan dan jenis pisang yang tergolong plantain hanya enak dimakan setelah diolah menjadi berbagai produk pangan (Pereira, 2015). Kedua kelompok jenis buah pisang ini banyak kita jumpai di seluruh pelosok tanah air, termasuk juga di kota Ambon Provinsi Maluku yang biasanya tumbuh di pekarangan ataupun di kebun. Jenis buah pisang yang tumbuh dan dibudidayakan serta dikembangkan di suatu daerah tanpa memperhatikan dari mana asal varietasnya dapat disebut sebagai pisang lokal daerah tersebut. Jenis pisang lokal kelompok buah meja yang sering dijumpai di kota Ambon adalah pisang pisang ambon, pisang lampung, dan pisang susu, sedangkan kelompok plantain adalah pisang kepok, pisang raja, pisang tanduk, dan pisang yang bentuknya khas karena tandannya menengadah ke langit, yaitu pisang tongka langit.

Pemanfaatan buah pisang di kota Ambon selama ini belum optimal, masih terbatas sebagai buah konsumsi segar dan produk olahan tradisional yaitu pisang

goreng,pisang rebus, kolak, dan kripik. Pemanfaatan dan pengolahan pisang dengan cara diatas masih kurang efisien karena masa simpannya masih singkat. Cara pengolahan lain yang dapat memperpanjang masa simpan buah pisang adalah dengan mengolah pisang menjadi sari buah. Sari buah adalah cairan yang diperoleh dari bagian buah yang dapat dimakan yang dicuci, dihancurkan, dijernihkan (jika dibutuhkan) dengan atau tanpa pasteurisasi dan dikemas untuk dapat dikonsumsi langsung.

Untuk dapat menjadikan produk olahan buah pisang, sebagai produk unggulan di provinsi Maluku, khususnya kota Ambon, maka perlu dilakukan suatu penelitian pengembangan produk olahan minuman sari buah dari berbagai jenis pisang lokal yang ada di kota Ambon, dengan tujuan untuk mengkarakteristik sifat sensori dan kimia sari buah dari beberapa jenis buah pisang lokal asal kota Ambon. Penelitian ini diharapkan berpotensi besar untuk dapat membangun agroindustri buah pisang di provinsi Maluku, khususnya kota Ambon yang berdampak positif untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.

BAHAN DAN METODE

Peralatan yang digunakan dalam

penelitian ini adalah kompor, panci, pisau, timbangan, kain saring, dan peralatan untuk analisa. Bahan utama yang digunakan adalah buah pisang dengan tingkat kematangan masak fisiologis, yaitu buah pisang tongka langit, kepok, lampung, dan buah pisang ambon lumut, sedangkan bahan tambahan yang digunakan adalah gula pasir, asam sitrat, natrium benzoat, akuades, dan bahan kimia untuk analisa.

Pelaksanakan penelitian ini berlangsung pada bulan Maret 2017 di Laboratorium Teknologi Hasil Pertanian, Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Pattimura Ambon.

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan menggunakan rancangan acak lengkap faktor tunggal yaitu faktor jenis pisang yang terdiri dari pisang tongka tongka langit, pisang kepok , pisang ambon, dan pisang lampung.

Prosedur penelitian pengolahan sari buah pisang adalah sebagai berikut

1. Sortasi buah pisang 2. Pencucian, 3. Pengupasan buah pisang tongka

langit, 4. Pengecilan ukuran daging buah pisang

yaitu dipotong kecil-kecil, 5. Perebusan daging buah dengan air

mendidih selama 5 menit dengan perbandingan 1:5 (daging buah : air),

6. Penyaringan, 7. Hasil saringan berupa sari buah yang

dihasilkan ditambahkan gula 100 gram per liter dan natrium benzoat 600 mg per liter,

8. Pemasakan selama 5- 10 menit, 9. Pendinginan pada suhu kamar 10. Sari buah pisang siap dianalisa mutu

kimia dan organoleptik. Pengamatan dilakukan terhadap sifat

organoleptik menggunakan uji ranking menggunakan 30 panelis semi terlatih. Panelis diminta mengrutkan sampel sari buah berdasarkan tingkat kesukaannya sesuai atribut sensori warna, ras, dan aroma. Data hasil penilaian ranking kemudian ditransformasi dan selanjutnya dianalisis menggunakan aanlisis keragaman dan perlakuan yang berbeda nyata dan sangat nyata dilanjutkan dengan uji duncan. Data hasil pengamatan sifat kimia meliputi total gula, total asam dan pH dianalisis menggunakan analisi kergaman dan perlakuan yang berbeda nyata dan sangat nyata dilanjutkan dengan uji beda nyata jujur.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sifat Organoleptik Pengujian sifat organoleptik pada

penelitian ini menggunalan Uji Ranking yang bertujuan untuk menentukan urutan sejumlah produk menurut perbedaan intensitasnya. Uji ranking merupakan uji yang digunakan menilai produk atau bahan pangan yang terbaik dan disukai oleh konsumen dengan cara mengurutkan produk untuk dipilih mana yang lebih baik yang akan digunakan. Dengan menggunakan uji ranking dapat mengetahui mutu produk yang terbaik dan mengurutkan produk mana yang paling digemari atau disukai oleh konsumen, sehingga untuk selanjutnya jenis dan tingkat produk tersebut dapat digunakan sebagai standar proses pembuatan dan pengembangan suatu produk pangan. Tabel 1. Hasil uji organoleptik terhadap

sari buah No. Perlakuan

Jenis Pisang Rataan Nilai Ranking

Warna Rasa Aroma 1. Pisang

tongka langit 1.23 a

(1) 2.23 a

(2) 2.46 a

(2) 2. Pisang kepok 2.76 b

(2) 2.06 a

(1) 2.16 a

(1) 3. Pisang

ambon 2.97 b

(3) 2.67 b

(3) 2.6 a

(3) 4. Pisang

Lampung 3.03 b

(4) 3.03 b

(4) 2.76 a

(4) Ket: -. angka yang diiukuti oleh huruf yang sama

tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT 0.05 -. angka didalam kurung merupakan

peringkat ranking Berdasarkan hasil uji ranking pada

tabel 1 terhadap warna sari buah memperlihakan bahwa sari buah dari jenis buah pisang tongka langit menempati ranking pertama dan berbeda nyata dengan semua sari buah dari jenis pisang lainnya. Hal ini disebabkan sari buah pisang tongka langit tidak mengalami perubahan warna dari warna daging buah aslinya setelah proses pengolahan yaitu warna kuning. Sari buah

Page 50: menambahkan tepung tapioka, air dan - thp.fp.unila.ac.idthp.fp.unila.ac.id/wp-content/uploads/sites/9/2018/06/buku-2_Part7.pdfPembuatan tepung ubi kayu di mulai dengan pengupasan ubi

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”1062

pisang tongka langit ini juga memiliki warna yang sangat menarik dibandingkan sari buah dari jenis pisang lainnya, sehingga panelis lebih menyukai sari buah pisang tongka langit ini dan menilainya sebagia ranking tertinggi. Hasil uji rangking terhadap rasa sari buah seperti terlihat pada tabel 1 menyatakan bahwa sari buah dari jenis pisang kepok menempati ranking pertama dan sari buah pisang tongka langit adalah rannking kedua, tetapi kedua perlakuan ini tidak berbeda nyata. Hal ini menunjukan bahwa panelis lebih menyukai rasa dari sari buah pisang kepok, tetapi secara statistik kesukaan rasa ini tidak berbeda dengan rasa sari buah pisang tongka langit. Tingginya ranking tingkat kesukaan rasa sari buah pisang kepok diduga disebakan sari buah ini memiliki total gula yang tinggi sesuai dengan data hasil analisa total gula pada tabel 2 dan kemungkinan panelis lebih menyukai rasa manis, Hasil uji ranking terhadap aroma seperti terlihat pada tabel 1 menyatakan bahwa sari buah dari jenis pisang kepok menempati ranking pertama, kemudian ranking kedua adalah sari buah pisang tongka langit, dan ranking ketiga dan keempat adalah sari buah pisang ambon dan pisang lampung. Berdasarkan hasil uji beda menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan dari sari buah dari keempat jenis pisang yang digunakan dalam penelitian ini. Berdasarkan hasil uji ranking sari buah dari berbagai jenis pisang lokal ini dapatt disimpulkan bahwa sari buah dari jenis pisang kelompok plantain lebih disukai daripada sari buah dari kelompok pisang meja. Sifat Kimia

Hasil analisa karakteristik kimia sari buah dari perlakuan keempat jenis pisang disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Rataan Hasil Analisa Karakteristik Kimia Sari Buah Pisang Jenis Pisang Total

gula (%) Total Asam (%)

pH

Pisang tongka langit

19,09 b 0,81 c 3,9 a

Pisang kepok

19,38 a 1,33 a 3.,5 a

Pisang ambon

18,19 c 1,36 a 3.5 a

Pisang Lampung

18,52 d 0,91 b 3,7 a

Keterangan : angka yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji BNJ 0.05

Hasil penelitian yang disajikan pada

Tabel 2 menunjukkan bahwa total gula sari buah pisang dari keempat jenis perlakuan berbeda nyata. Jenis kelompok pisang olahan (plantain) yaitu pisang tongka langit dan pisang kepok masing-masing sebesar 19,09% dan 19,38 lebih tinggi dibandingkan total gula jenis pisang meja yaitu pisang ambon (18,19%) dan pisang lampung (18,52%). Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Bindelle et al (2011) yang mana rata-rata kadar total gula jenis pisang olahan (plantain) sebesar 38,3% lebih tinggi dibanding jenis pisang meja (banana) sebesar 33,2%.

Penurunan kandungan pati dan penambahan kandungan gula pada buah merupakan sifat yang paling menonjol pada proses pematangan buah pisang. Menurut Simmonds (1982), konsentrsi pati pada daging buah meningkat sampai 70 hari pada masa pertumbuhan buah pisang dan kemudian menurun. Kandungan pati didalam buah yang belum masak berkisar antara 20-25% dari total berat segarnya dan sekitar 2-5% saja yang mampu diubah menjadi gula dan sebagianya dilepas dalam bentuk CO2 melalui