Upload
others
View
4
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Menerjang Arus Oligarki : Lika-liku
Pengungkapan Kasus Suap Komisioner KPU
Menerjang Arus Oligarki : Lika-liku
Pengungkapan Kasus Suap Komisioner KPU
Executive Summary
Kasus suap terhadap komisioner Komisi Pemilihan Umum, Wahyu Setiawan, hingga
sejauh ini ternyata cukup pelik. Kasus yang berawal dari penggantian anggota DPR terpilih
Nazarudin Kiemas dengan calon legislatif lainnya yaitu Harun Masiku dinilai tidak tepat
karena bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang
Pemilihan Umum, Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun 2019, dan Peraturan
Komisi Pemilihan Umum Nomor 4 Tahun 2019. Bahkan yang menarik adalah dua PKPU
tersebut telah dilakukan uji materi ke Mahkamah Agung oleh Megawati Soekarnoputri dan
Hasto Kristiyanto sebagai bentuk memperjuangkan pergantian tersebut. Selain itu,
permasalahan ini juga semakin kompleks dikarenakan ‘hilangnya’ Harun Masiku, dugaan
obstruction of justice dan konflik kepentingan Yasonna Laoly, gagalnya penggeledahan kantor
DPP PDIP, serangkaian tindakan penghalang-halangan penyidikan lainnya, serta upaya lain
yang dinilai menghambat penyelesaian kasus ini. Pada kajian ini akan dibahas tuntas mengenai
hal-hal tersebut di atas secara komprehensif.
Kronologi Kasus
Dalam pusaran kasus suap yang menjerat komisioner KPU, Wahyu Setiawan, KPK juga
menetapkan politisi PDI-P, Harun Masiku sebagai tersangka. Harun Masiku merupakan calon
legislatif dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) pada pemilihan umum 2019 lalu.
Ia mencalonkan diri dari daerah pemilihan Sumatera Selatan I.
Sebelum beberapa kali ikut serta dalam pertarungan menuju kursi anggota dewan,
Harun adalah seorang pengacara di beberapa firma hukum dan sempat pula menjadi tenaga ahli
bidang III di DPR RI1. Karier politik praktis Harun bermula saat ia menjadi kader Partai
Demokrat dan bergabung dalam tim pemenangan Pemilu serta Pilpres Partai Demokrat pada
tahun 2009. Kemudian, pada pemilu 2014 ia mencoba peruntungannya untuk duduk di Senayan
melalui partai yang sama, tetapi ternyata gagal melenggang. Tak patah arang, pada perhelatan
Pemilu 2019, Harun kembali ikut dalam kontestasi memperebutkan kursi anggota dewan
melalui Partai PDI-P, tetapi ia kembali gagal untuk kedua kalinya. Pada saat itu, Harun Masiku
hanya memperoleh 5.878 suara. Perolehan ini tergolong rendah, terutama apabila dibandingkan
dengan Nazarudin Kiemas, anggota DPR terpilih yang ditetapkan oleh KPU, yang memperoleh
1 I Gusti Agung B.A.P, Anomali Sosok Harun Masiku, https://bebas.kompas.id/baca/utama/2020/01/14/anomali-sosok-
harun-masiku/, kompas.id, diakses tanggal 27 Januari 2020
Menerjang Arus Oligarki : Lika-liku
Pengungkapan Kasus Suap Komisioner KPU
145.752 suara. Perolehan suara Harun juga terpaut jauh di bawah calon lainnya yaitu Riezky
Aprilia yang mengantongi 44.402 suara2.
Pangkal Permasalahan Penggantian Calon Legislatif Terpilih
Berangkat dari meninggalnya Nazarudin Kiemas selaku calon legislatif dari PDIP yang
lolos ke parlemen pada tanggal 26 Maret 2019 tepat 16 hari sebelum diadakannya Pemilu
Serentak pada 17 April 2019.3 Kemudian atas kebenaran informasi tersebut, KPU
mengeluarkan Surat Ketua KPU Nomor 707/PL.01.4-SD/06/KPU/IV/2019 tanggal 16 April
2019 perihal Pengumuman Calon Anggota DPR Yang Tidak Memenuhi Syarat karena
calon meninggal dunia yaitu Nazarudin Kiemas.4 Padahal berdasarkan Keputusan Komisi
Pemilihan Umum Nomor 987/PL.01.8-Kpt/06/KPU/V/2019 tanggal 21 Mei 2019 berisi hasil
rekapitulasi perolehan suara PDIP untuk Dapil Sumatera Selatan I, Nazarudin Kiemas
mendapatkan suara yang berada di posisi pertama, disusul oleh Riezky Aprilia dengan jumlah
44.402.5 Sementara Harun Masiku berada diperingkat kelima dengan total 5.878 suara.
Berdasarkan Pasal 54 ayat (5) huruf k Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 3
Tahun 2019 tentang Pemungutan Dan Hasil Penghitungan Suara Dalam Pemilihan Umum pada
intinya surat suara yang apabila calon tersebut meninggal dunia atau tidak lagi memenuhi
syarat sebagai calon dinyatakan sah untuk partai politik. Kemudian Pasal 55 ayat (3) Peraturan
Komisi Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun 2019 tentang Pemungutan Dan Hasil Penghitungan
Suara Dalam Pemilihan Umum pada intinya yaitu dalam hal ketua KPSS menemukan surat
suara yang dicolos pada calon anggota DPR tetapi nama calon tersebut telah meninggal dunia
atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon dan telah diumumkan oleh KPPS, suara pada
surat suara tersebut dinyatakan sah dan menjadi suara sah partai politik. Kemudian pada Pasal
426 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum mengatur
bahwa apabila calon anggota DPR terpilih meninggal dunia diganti oleh KPU dengan calon
dari daftar calon tetap partai politik peserta pemilu yang sama di daerah pemilihan tersebut
berdasarkan perolehan suara calon terbanyak berikutnya. Ketiga landasan hukum tersebut jika
dikaitkan dengan persoalan Nazarudin Kiemas adalah surat suara dari Nazarudin Kiemas
2 Ibid. 3 Kukuh S. Wibowo, “Soal PAW Nazarudin Kiemas ke Riezky Aprillia, Ini Kronologi KPU”
https://nasional.tempo.co/read/1293690/soal-paw-nazarudin-kiemas-ke-riezky-aprilia-ini-kronologi-kpu/full&view=ok,
diakses tanggal 28 Januari 2020 4 Ibid. 5 Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 987/PL.01.8-Kpt/06/KPU/V/2019 tanggal 21 Mei 2019 berisi hasil
rekapitulasi perolehan suara PDIP untuk Dapil Sumatera Selatan I
Menerjang Arus Oligarki : Lika-liku
Pengungkapan Kasus Suap Komisioner KPU
tersebut tetap sah dan pihak yang menentukan calon anggota DPR penggantian antarwaktu
adalah KPU berdasarkan dengan calon dari daftar calon tetap partai politik peserta pemilu yang
sama di daerah pemilihan tersebut berdasarkan perolehan suara calon terbanyak berikutnya.
Namun pada tanggal 24 Juni 2019, PDIP melakukan pengujian materiil Pasal 54 ayat
(5) huruf k dan Pasal 55 ayat (3) PKPU Nomor 3 Tahun 2019 tentang Pemungutan Dan Hasil
Penghitungan Suara Dalam Pemilihan Umum dan Pasal 92 huruf a Peraturan Komisi Pemilihan
Umum Nomor 4 Tahun 2019 tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara dan
Penetapan Hasil Pemilihan Umum. Kemudian pada tanggal 18 Juli 2019 keluar Putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 57P/HUM/2019, amar putusan dalam putusan a
quo pada intinya mengabulkan permohonan pemohon sebagian yaitu Pasal 92 huruf a Pasal 92
huruf a PKPU Nomor 4 Tahun 2019 tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara
dan Penetapan Hasil Pemilihan Umum tidak mempunyai hukum mengikat dan Pasal 54 ayat
(5) huruf k dan i PKPU Nomor 3 Tahun 2019 tentang Pemungutan Dan Hasil Penghitungan
Suara Dalam Pemilihan Umum juncto Pasal 55 ayat (3) PKPU Nomor 3 Tahun 2019 tentang
Pemungutan dan Penghitungan Suara dalam Pemilihan Umum pada intinya perolehan suara
terhadap calon yang meninggal dunia tetap sah dan masuk kedalam suara partai politik. Selain
itu dalam pertimbangan hukum putusan nomor 57/P/HUM/2019 yang menjadi poin penting
dan perlu digarisbawahi adalah Mahkamah Agung berpendapat bahwa memang sejatinya
hubungan antara calon dengan partai politik bersifat subordinatif oleh karena itu sudah
sejatinya menjadi diskresi partai politik untuk menentukan kader terbaiknya yang
menggantikan calon yang meninggal dunia dengan tetap memperhatikan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Sehingga apabila ditafsirkan peraturan perundang-undangan yang berlaku adalah salah satunya
pada ketentuan pasal 426 ayat (3) uu a quo di atas bahwa pengganti dari calon yang meninggal
adalah calon dari daftar calon tetap Partai Politik Peserta Pemilu yang sama di daerah pemilihan
tersebut berdasarkan perolehan suara calon terbanyak berikutnya yang dalam kasus ini adalah
Riezky Aprilia yang mendapatkan suara terbanyak kedua sesuai keputusan nomor
987/PL.01.8-kpt/06/KPU/V/2019 tanggal 21 mei tahun 2019 dengan 44.402 suara, sedangkan
Harun Masiku sendiri berada di posisi kelima dengan 5.878 suara. Menurut Zainal Arifin
Mochtar dalam forum diskusi salah satu stasiun televisi swasta putusan MA nomor 57 a quo
rancu karena dalam pertimbangannya tidak dipertimbangkan bunyi bahasa undang-undang
mengenai suara sah tersebut. Namun terdapat kalimat “…sudah sejatinya menjadi diskresi
Menerjang Arus Oligarki : Lika-liku
Pengungkapan Kasus Suap Komisioner KPU
partai politik untuk menentukan kader terbaiknya yang menggantikan calon yang meninggal
dunia..” namun kalimat tersebut dikunci dengan kalimat “….dengan tetap memperhatikan
peraturan perundang-undangan yang berlaku…” seperti yang dijelaskan di atas. Hal ini
menunjukan bahwa sudah sepatutnya ketika KPU menolak permohonan PDIP tersebut sudah
berdasarkan peraturan-perundangan.
Hal ini sejalan dengan sistem proporsional terbuka yang digunakan dalam pemilihan DPR
RI sesuai yang ditegaskan dalam pasal 168 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017
tentang Pemilihan Umum bahwa:
“Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD kabupaten/kota
dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka”.
Secara teoritik sistem ini menghendaki bahwa calon yang dapat mewakili partai di parlemen
adalah calon yang mendapatkan suara terbanyak terbanyak.6 Sehingga apabila calon dengan
suara terbanyak tersebut berhalangan tetap seperti dalam perkara ini maka calon dengan
perolehan terbanyak berikutnyalah yang menggantikan. Terkait tujuan penggunaan sistem ini
juga ditegaskan oleh Mahkamah Konstitusi nomor 22-24/PUU-VI/2008 yang dalam
pertimbangan hukumnya menyebutkan bahwa:
“Bahwa Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota
dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka, dengan demikian adanya keinginan rakyat
memilih wakil-wakilnya yang diajukan oleh partai politik dalam Pemilu, sesuai dengan
kehendak dan keinginannya dapat terwujud, harapan agar wakil yang terpilih tersebut juga
tidak hanya mementingkan kepentingan partai politik, tetapi mampu membawa aspirasi rakyat
pemilih. Dengan sistem proporsional terbuka, rakyat secara bebas memilih dan menentukan
calon anggota legislatif yang dipilih, maka akan lebih sederhana dan mudah ditentukan siapa
yang berhak terpilih, yaitu calon yang memperoleh suara atau dukungan rakyat paling
banyak”
Setelah adanya putusan a quo PDIP menafsirkan bahwa putusan a quo memberikan
kewenangan kepada pimpinan partai politik untuk melakukan pergantian antarwaktu calon
anggota DPR terpilih sehingga merekomendasikan Harun Masiku sebagai calon Penggantian
Antar Waktu untuk menggantikan Nazarudin Kiemas menjadi anggota DPR 2019-2014 yang
6 Kacung Marijan, 2012, Sistem Politik Indonesia : Konsolidasi Demokrasi Pasca Orde Baru, Jakarta : Kencana. Hlm. 96
Menerjang Arus Oligarki : Lika-liku
Pengungkapan Kasus Suap Komisioner KPU
meninggal dunia.7 Rekomendasi tersebut dilakukan melalui surat rekomendasi DPP PDIP
kepada Komisi Pemilihan Umum yang telah dilakukan sebanyak 3 (tiga) kali.8 Arief Budiman
menjelaskan Surat pertama yaitu pada tanggal 5 Agustus 2019 dengan
nomor 2576/EX/DPP/VIII/2019 perihal Permohonan Pelaksanaan Putusan Mahkamah
Agung Republik Indonesia No. 57P/HUM/2019.9 Surat pertama ini berisi permintaan PDIP
agar KPU melaksanakan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 57P/HUM/2019
yang menguji ketentuan Pasal 54 ayat (5) huruf k dan Pasal 55 ayat (3) Peraturan KPU Nomor
3 Tahun 2019 tentang Pemungutan Dan Hasil Penghitungan Suara Dalam Pemilihan Umum.
Namun, meskipun MA memutuskan demikian, tidak ada pelaksanaan konkret dari
putusan tersebut melainkan KPU tetap menetapkan Rezky Aprilia.10 Hal ini dikarenakan Harun
Masiku tidak memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan11
mengenai calon anggota DPR penggantian antarwaktu yaitu suara terbanyak berikutnya
sedangkan total suara Harun Masiku berada diurutan kelima, sedangkan Rezky Aprilia berada
di urutan kedua setelah Nazarudin Kiemas.
”Pada tanggal 31 Agustus 2019, KPU melaksanakan rapat pleno penetapan kursi dan calon
terpilih, menetapkan nama Riezky Aprillia sebagai calon terpilih. Tetapi, saksi dari PDIP
mengajukan keberatan atas pembacaan draft keputusan KPU,” ujar Arief Budiman.12
Kemudian, PDIP tidak menyerah dengan mengirimkan surat kedua pada tanggal 13
September 2019 yang merupakan surat tembusan PDIP yang meminta fatwa terhadap MA.13
Surat tembusan tersebut ditandatangani Yasonna Laoly dan Hasto Kristianto.14 Karena surat
tersebut hanya berupa tembusan, maka KPU tidak melaksanakan dan membalas surat itu.15
Lalu, DPP PDIP kembali mengirimkan surat ketiganya pada tanggal 6 Desember 2019 kepada
KPU yang diterima pada tanggal 18 Desember 2019 perihal Permohonan Pelaksanaan Fatwa
MA dilengkapi fatwa Mahkamah Agung.16 Surat tersebut ditandatangani oleh Ketua Umum
7 Rizki Maulana, “Terungkap, PDIP Tiga Kali Kirim Surat ke KPU Untuk Loloskan Harun Masiku”,
https://www.inews.id/news/nasional/terungkap-pdip-tiga-kali-kirim-surat-ke-kpu-untuk-loloskan-harun-masiku, diakses
tanggal 27 Januari 2020. 8 Ibid. 9 Ibid. 10 Ibid. 11 Ibid. 12 Ibid. 13 Ibid. 14 Maria Rita Hasugian, “Ketua KPU: PDIP 3 Kali Bersurat Usul PAW Harun Tolak Riezky”,
https://nasional.tempo.co/read/1293710/ketua-kpu-pdip-3-kali-bersurat-usul-paw-harun-tolak-riezky/full&view=ok, diakses
tanggal 29 Januari 2020. 15 Ibid. 16 Ibid
Menerjang Arus Oligarki : Lika-liku
Pengungkapan Kasus Suap Komisioner KPU
Megawati Soekanoputri dan Sekjen Hasto Kristiyanto.17 Namun tetap saja KPU tidak
memenuhi permohonan tersebut dengan argumen Harun Masiku tidak memenuhi Peraturan
KPU Nomor 6 Tahun 2017 tentang Pergantian Antar Waktu Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan Perwakilan Daerah.18
Setelah dilakukan pemeriksaan di KPK terdapat rangkaian perbuatan yaitu diawali
dengan Saeful menghubungi mantan anggota Bawaslu yaitu Agustiani Tio Fredelina
(Agustiani) guna melakukan lobby dan agar Agustiani berkomunikasi dengan Wahyu
Setiawan. Wahyu selaku Komisioner KPU menyanggupi membantu namun meminta dana
operasional Rp 900.000.000,00.19 Menurut Lili Pantou, untuk merealisasikkan dana tersebut
dilakukan dua kali proses pemberian, pertama sebesar Rp400.000.000,00 untuk Wahyu
Setiawan, Agustiani, Donny Tri Istiqomah, dan Saeful.20 Kemudian Wahyu menerima kembali
dari Agustiani sebesar Rp200.000.000,00 yang bertempat di salah satu pusat perbelanjaan di
Jakarta Selatan.21 Pada akhir Desember 2019, Harun Masiku memberikan uang kepada Saeful
sebesar Rp 850.000.000,00 kepada Saeful melalui staf DPP PDIP. Lalu Saeful memberikan
Rp150.000.000,00 kepada DON. Lalu sisa uang Rp700.000.000,00 diberikan kepada Agustiani
sebanyak Rp250.000.000,00 untuk biaya operasional. 22
Kemudian dengan adanya rangkaian tersebut pada tanggal 7 Januari 2020, Rapat Pleno
KPU menolak permohonan PDIP dan kembali kepada keputusan awal.23 Namun tepat 1 hari
setelah Rapat Pleno tersebut yaitu 8 Januari 2020, Wahyu Setiawan mengambil sebagian
uangnya di Agustiani dan pada saat itu juga tim KPK melakukan Operasi Tangkap Tangan
(OTT).24 Dari OTT tersebut Tim KPKP menemukan dan mengamankan barang bukti uang
sebesar Rp400.000.00,00 dalam bentuk dollar singapura yang ada di tangan Agustiani.25 Selain
itu, Tim KPK juga mengamankan Saeful, Donny, dan Ilham di sebuah restoran Jakarta Pusat.26
17 Ibid. 18 Ibid. 19 Ryn, “Kronologi Suap Wahyu Setiawan Yang Melibatkan Staf PDIP”,
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200109205545-12-464047/kronologi-suap-wahyu-setiawan-yang-melibatkan-
staf-pdip, diakses tanggal 29 Januari 2020. 20 Ibid. 21 Ibid. 22 Ibid. 23 Ibid. 24 Ibid. 25 Ibid. 26 Felldy Utama, “Kronologi OTT Wahyu Setiawan, Dari Banyumas, Depok hingga Bandara Soetta”,
https://www.inews.id/news/nasional/kronologi-ott-wahyu-setiawan-dari-banyumas-depok-hingga-bandara-soetta, diakses
tanggal 29 Januari 2020.
Menerjang Arus Oligarki : Lika-liku
Pengungkapan Kasus Suap Komisioner KPU
Setelah terjadinya rangkaian perbuatan tersebut, KPK telah menetapkan 4 orang
tersangka, yaitu Wahyu Setiawan sebagai Komisioner KPU, Agustiani Tio Fridelina sebagai
orang kepercayaan Wahyu Setiawan yang juga mantan anggota Badan Pengawas Pemilu,
Harun Masiku sebagai calon anggota legislatif (caleg) dari PDIP, serta Saeful sebagai swasta.
Wahyu dan Agustiani sebagai penerima suap, sedangkan Harun dan Saeful sebagai pihak
pemberi suap.27 Sebagai pihak penerima, Wahyu dan Agustiani disangkakan melanggar Pasal
12 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 11 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.28
Sedangkan Harun dan Saeful selaku pemberi, disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a
atau b atau Pasal 13 UU Tipikor, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.29
Permasalahan dalam Operasi Senyap di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK)
Seperti diketahui bahwa penyidik KPK yang tengah melakukan operasi senyap
mengejar Hasto Kristiyanto di PTIK mendapat hambatan karena dicegah bahkan dites urine
dengan dalih sterilisasi PTIK oleh aparat kepolisian setempat.30 Dalih dari kepolisian setempat
dikarenakan mereka tidak membawa kartu tanda penyidik KPK.31 Sedangkan pihak KPK
sendiri menyatakan kegiatan di PTIK hanya sekadar mampir shalat dengan durasi total 7 jam.32
Jika dilihat lebih dalam bahwa peristiwa ini memberikan banyak prejudice dalam diskursus
publik. Pertama, jika benar KPK ingin melakukan operasi senyap terhadap Hasto Kristianto ini
menunjukkan lemahnya koordinasi yang dibangun antara KPK dengan instansi lainnya dalam
hal pemberantasan korupsi. Padahal sesuai dengan ketentuan pasal 8 huruf a Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Korupsi secara tegas menyatakan bahwa KPK dalam
melaksanakan tugas koordinasi mempunyai kewenangan untuk “mengoordinasikan
27 Ibnu Hariyanto, “KPK Panggil Komisioner KPU Sumbesel Di Kasus Suap Wahyu Setiawan”,
https://news.detik.com/berita/d-4877442/kpk-panggil-komisioner-kpu-sumsel-di-kasus-suap-wahyu-setiawan, diakses
tanggal 29 Januari 2020. 28 Ahmad Al Fiqri, “KPK Tetapkan Wahtu Setiawan Tersangka Suap”, https://www.alinea.id/nasional/kpk-tetapkan-wahyu-
setiawan-tersangka-suap-b1ZGu9q4t, diakses tanggal 29 Januari 2020. 29 Ibid. 30 Ady Nugrahadi, “Isu Penyelidik KPK Tertahan di PTIK saat akan OTT, Polri : Mereka Mau Salat,
https://www.liputan6.com/news/read/4152552/isu-penyelidik-kpk-tertahan-di-ptik-saat-akan-ott-polri-mereka-mau-salat.
Diakses pada 28 Januari 2020 31 Ibid 32 M Rosseno Aji, “Beredar Kabar KPK akan Tangkap Hasto di PTIK, KPK : Salah Paham”,
https://nasional.tempo.co/read/1293258/beredar-kabar-kpk-akan-tangkap-hasto-di-ptik-kpk-salah-paham. Diakses pada 28
Januari 2020
Menerjang Arus Oligarki : Lika-liku
Pengungkapan Kasus Suap Komisioner KPU
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”
termasuk salah satunya dengan lembaga kepolisian. Selanjutnya yang dapat dilihat dari
peristiwa ini adalah adanya upaya melakukan tindakan merintangi penyidikan oleh aparat
kepolisian setempat mengingat lamanya waktu introgasi terhadap para penyidik KPK. Hal ini
dikarenakan jika pada saat itu KPK ingin melakukan penangkapan dalam keadaan tertangkap
tangan, meskipun tidak membawa surat perintah tidak masalah dengan ketentuan bahwa KPK
harus menyerahkan tertangkap beserta barang bukti kepada penyidik atau penyidik pembantu
terdekat. Hal tersebut diatur dalam Pasal 18 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Hal ini tentu termasuk obstruction of justice sebagaimana telah diatur dalam ketentuan pasal
21 Undang-Undang 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bahwa
“setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara
langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan disidang pengadilan
terhadap tersangka atau terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan
atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).” Berdasarkan fakta-fakta yang masih
simpangsiur terkait peristiwa operasi senyap tersebut perlu didalami untuk menentukan apakah
ada upaya-upaya tindak pidana baru disana.
Janggal dalam Penggeledahan Kantor DPP PDIP
Polemik penggeledahan kantor PDIP menjadi sorotan publik. Pihak internal PDIP
menyatakan bahwa petugas KPK tidak dapat menunjukkan surat izin penggeledahan, dengan
demikian tidak jadi dilaksanakan penggeledahan terhadap kantor PDIP berkaitan dengan
dugaan suap PAW Harun Masiku yang merupakan calon legislatif PDIP dan diduga melibatkan
pengurus internal PDIP. Dewan Pengawas KPK menyatakan bahwa mereka belum menerima
permohonan izin penggeledahan terhadap kantor DPP PDIP. Tumpak Hatorangan Panggabean
sebagai Ketua Dewan Pengawas KPK dalam acara Mata Najwa pada 15 Januari 2020
menyatakan bahwa apabila Dewan Pengawas telah menerima permohonan izin dari Pimpinan
KPK maka dalam kurun waktu 1x24 jam mereka akan memutuskan untuk memberi izin atau
tidak memberi izin. Secara tidak langsung, hal ini dapat ditafsirkan bahwa pihak Dewan
Pengawas belum menerima adanya permohonan izin penggeledahan kantor DPP PDIP.
Apabila merujuk pada pernyataan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron yang disampaikan pada
Menerjang Arus Oligarki : Lika-liku
Pengungkapan Kasus Suap Komisioner KPU
kesempatan yang sama, Komisioner menyatakan telah memintakan izin penggeledahan pada
Dewan Pengawas33. Tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat alur koordinasi yang belum sinkron
antara Komisioner dengan Dewan Pengawas KPK.
Sebagaimana dinyatakan dalam pasal 37B ayat (1) huruf b Undang-undang Nomor 19
Tahun 2019 bahwa “Dewan Pengawas bertugas memberikan izin atau tidak memberikan izin
penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan” yang menjadi salah satu tugas Dewan
Pengawas KPK34. Selanjutnya pada Pasal 37C ayat (1) dinyatakan bahwa “ Dewan Pengawas
dalam menjalankan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37B membentuk organ
pelaksana pengawas”. Selanjutnya dalam ayat (2) disebutkan “Ketentuan mengenai organ
pelaksana pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden”35.
Mengutip ayat diatas, maka Peraturan Presiden yang dimaksud adalah Peraturan Presiden
Nomor 91 Tahun 2019 tentang Organ Pelaksana Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Organ pelaksana pengawas ini, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal
1 ayat (1) Perpres a quo selanjutnya disebut Sekretariat Dewan Pengawas Komisi
Pemberantasan Korupsi36. Apabila kita mencermati pada Pasal 3 huruf b Perpres tersebut maka
disebutkan bahwa Sekretariat Dewan Pengawas KPK menyelenggarakan fungsi “penerimaan
dan fasilitasi administrasi permohonan pemberian izin penyadapan, penggeledahan, dan/atau
penyitaan”37.
Secara normatif, ketentuan dalam UU Nomor 19 Tahun 2019 maupun Perpres Nomor
91 Tahun 2019 telah mengatur mengenai alur perizinan mengenai penyadapan, penggeledahan
serta penyitaan yang dapat dilakukan oleh KPK. Namun apabila kita berkaca pada fakta yang
muncul dalam upaya penggeledahan kantor DPP PDIP tersebut, tidak heran apabila publik
melihat terjadi ketidaksepahaman koordinasi dan tidak adanya efisiensi dalam upaya
pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK. Dengan adanya ketentuan dalam UU Nomor 19
Tahun 2019 yang mengatur harus adanya mekanisme perizinan dari Komisioner pada Dewan
Pengawas, maka implikasi logis dari norma tersebut adalah adanya birokratisasi upaya
33 Reza Gunadha, “Izin Penggeledahan PDIP, Tumpak : Kalau Ada Permintaan 1x24 Jam Kami Proses”, Suara.com
https://www.suara.com/news/2020/01/16/130954/izin-penggeledahan-pdip-tumpak-kalau-ada-permintaan-1x24-jam-kami-
proses, diakses 29 Januari 2020. 34 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 197, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 6409). 35 Ibid. 36 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 91 Tahun 2019 tentang Organ Pelaksana Dewan Pelaksana Pengawas
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 264). 37 Ibid.
Menerjang Arus Oligarki : Lika-liku
Pengungkapan Kasus Suap Komisioner KPU
penegakan hukum yang bisa saja berpotensi membuat hilangnya alat bukti dikarenakan durasi
waktu dalam menyelesaikan perizinan penyadapan, penggeledahan dan/atau penyitaan oeh
KPK38. Tentunya hal ini perlu menjadi evaluasi bagi langkah kerja KPK, dimana apabila kita
mencermati Pasal 5 huruf c UU Nomor 19 Tahun 2019 disebutkan adanya asas Akuntabilitas
dalam KPK menjalankan tugas dan wewenangnya, dimana hal ini dapat dimaknai bahwa setiap
kegiatan dan hasil akhir kegiatan yang dilakukan KPK harus dapat dipertanggungjawabkan
kepada masyarakat selaku pemegang kedaulatan tertinggi negara.39
Dugaan obstruction of justice dan konflik kepentingan Menteri Hukum dan HAM
Pernyataan yang disampaikan Yassona disinyalir menghalangi proses hukum Harun
Masiku yang akan diperiksa oleh KPK terkait suap komisioner KPU. Yassona menyatakan
bahwa Harun Masiku sedang berada diluar negeri namun.40 Pernyataan Yasonna itu
terbantahkan setelah Majalah Tempo menulis berita Harun sudah berada di Indonesia sejak 7
Januari 2020. Hal itu diperkuat tangkapan kamera CCTV yang menunjukkan seorang laki-laki
diduga Harun Masiku melintas di selasar Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, 7
Januari 2020 pukul 17:15 WIB.41 Pernyataan ini dipertegas “Saya sudah menerima informasi
berdasarkan pendalaman di sistem, termasuk data melalui IT yang dimiliki stakeholder terkait
di Bandara Soetta, bahwa HM telah melintas masuk kembali ke Jakarta dengan menggunakan
pesawat Batik pada 7 Januari 2020,” Pernyataan Yasonna yang bertolak belakang dari
pernyataan Dirjen Imigrasi ini menuai opini public atau dugaan bahwa Yasonna menghambat
proses hukum atau obstruction of justice terhadap Harun Masiku. Terkait segala macam upaya
obstruction of justice bisa dikenakan sanksi pidana sesuai yang diatur dalam Pasal 21 UU No.
20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi yang berbunyi:
Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara
langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara
korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama
38 BBC, “Penggeledahan kantor PDIP tunggu persetujuan Dewan Pengawas KPK, Wakil Ketua KPK sebut 'Ada
kemungkinan alat bukti hilang, tapi kami tidak bisa berbuat lain'”, BBC Indonesia,
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-51096529 , diakses 29 Januari 2020. 39 Rodliyah, Salim.HS, 2019, Hukum Pidana Khusus (Unsur dan Sanksi Pidananya), Rajawali Pers, Depok. 40. Alfian Putra Abadi, Yasonna Laoly Berpotensi Dipidana Bila Rintangi Kasus Harun Masiku, https://tirto.id/euHQ,
diakses pada tanggal 27 Januari 2020 41 ibid
Menerjang Arus Oligarki : Lika-liku
Pengungkapan Kasus Suap Komisioner KPU
12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp150.000.000,00 (seratus lima
puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).”
Yasonna berdalih bahwa Ia melihat data pada tanggal 13 Januari 2020 dan menyatakan
adanya delay pada sistem Imigrasi yang menyebabkan data terlambat masuk namun dalih ini
janggal sebab Harun Masiku tercatat meninggalkan Indonesia menuju Singapura pada tanggal
6 Januari 2020 dan kembali ke Indonesia pada tanggal 7 Januari 2020. Yasonna mengatakan
kepada awak media tentang posisi Harun Masiku yang sedang tidak berada di Indonesia pada
tanggal 22 Januari 2020 setelahnya baru terbongkar bahwa data yang dijadikan dasar Yasonna
mengatakan posisi Harun Masiku pada tanggal 22 Januari 2020 adalah data yang Ia terima pada
tanggal 13 Januari 2020.
Tentu saja hal ini sangat disayangkan ketika Menteri Hukum dan HAM yang memiliki
garis koordinasi langsung dengan Dirjen Imigrasi mengalami keterlambatan dalam menerima
data terbaru dan ini bersangkutan akan proses hukum Harun Masiku dan terkesan janggal.
Ditambah lagi kabar terbaru bahwa Dirjen Imigrasi dicopot dari jabatannya akibat kejadian
ini.42 Perlu dilakukan penelusuran yang lebih serius terkait alasan pencopotan ini antara benar-
benar dikarenakan kesalahan sang Dirjen atau ada motif lain. Sebelumnya, pada tanggal 12
Januari 2020 Yasonna Laoly menghadiri konfrensi pers yang dilakukan oleh PDIP terkait
dengan pembentukan tim hukum yang dimakusdkan untuk megkaji persoalan hukum terkait
suap Komisioner KPU yang melibatkan Harusn Masiku. Yasonna Laoly yang saat itu
didampingi Hasto Kristiyanto juga mengumumkan kepada publik nama – nama yang menjadi
tim hukum tersebut.43 Kehadiran Yasonna saat itu kemudian mengundang kritik dari berbagai
kalangan. Yasonna Laoly harusnya mampu membedakan posisinya sebagai anggota partai
dengan jabatannya sebagai Menteri Hukum dan HAM.44 Kritik lain datang dari lembaga
pengamat korupsi, Indonesian Corruption Watch (ICW). Menurut mereka meski Yasonna
merupakan kader PDIP, namun statusnya sebagai Menkumham tak bisa serta merta dilepaskan.
Apabila melihat ketentuan penjelasan umum Undang-Undang nomor 39 Tahun 2009 tentang
kementerian negara secara tegas menyatakan bahwa:
42 Aham Faiz Ibnu Sani, Dirjen Imigrasi Dicopot, Ini Kata Terakhirnya: Gak Ada Bohong
https://nasional.tempo.co/read/1300897/dirjen-imigrasi-dicopot-ini-kata-terakhirnya-gak-ada-bohong/full&view=ok, diakses
tanggal 27 Januari 2020 43 Fikri Arigi, Yasonna Hadir Konferensi Pers PDIP, Hujan Kritik Petugas Partai,
https://fokus.tempo.co/read/1296980/yasonna-hadir-konferensi-pers-pdip-hujan-kritik-petugas-partai, diakses tanggal 27
Januari 2020 44 ibid
Menerjang Arus Oligarki : Lika-liku
Pengungkapan Kasus Suap Komisioner KPU
“Undang-undang ini disusun dalam rangka membangun sistem pemerintahan presidensial
yang efektif dan efisien, yang menitikberatkan pada peningkatan pelayanan publik yang prima.
Oleh karena itu, menteri dilarang merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya,
komisaris dan direksi pada perusahaan, dan pimpinan organisasi yang dibiayai dari Anggaran
Pendapatan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah. Bahkan
diharapkan seorang menteri dapat melepaskan tugas dan jabatanjabatan lainnya termasuk
jabatan dalam partai politik. Kesemuanya itu dalam rangka meningkatkan profesionalisme,
pelaksanaan urusan kementerian yang lebih fokus kepada tugas pokok dan fungsinya yang
lebih bertanggung jawab” Meskipun dalam pasal 23 Undang-Undang a quo larangan rangkap
jabatan menteri hanya sebagai pejabat negara lainnya, komisaris atau direksi perusahan negara
atau perusahaan swasta, dan pimpinan organisasi yang dibiayai APBN dan APBD, namun
dengan apa yang dilakukan oleh Yasonna di atas tentunya tidak sesuai dengan semangat
pembentukan kementerian negara yang pada pokoknya menekankan pada profesionalisme
untuk mewujudkan pelayanan publik yang baik.
Menerjang Arus Oligarki : Lika-liku
Pengungkapan Kasus Suap Komisioner KPU
Berdasarkan Kajian di atas, Dema Justicia FH UGM mengambil sikap sebagai berikut: ‘
1. Mendesak untuk menyelesaikan kasus suap Komisioner KPU berdasarkan
hukum yang berlaku;
2. Mendesak Menteri Hukum dan HAM serta pejabat publik lainnya untuk tidak
melakukan upaya obstruction of justice terhadap kasus suap Komisioner KPU;
3. Mendesak Komisioner KPK dan Dewan Pengawas KPK memperbaiki pola
koordinasi dalam melakukan penindakan tindak pidana korupsi; dan
4. Mendesak seluruh pihak yang berwajib mendukung penyelesaian kasus suap
Komisioner KPU.
Menerjang Arus Oligarki : Lika-liku
Pengungkapan Kasus Suap Komisioner KPU
Daftar Pustaka
Al Fiqri, Ahmad, “KPK Tetapkan Wahtu Setiawan Tersangka Suap”,
https://www.alinea.id/nasional/kpk-tetapkan-wahyu-setiawan-tersangka-suap-
b1ZGu9q4t, diakses tanggal 29 Januari 2020.
Aji, M Rosseno, “Beredar Kabar KPK akan Tangkap Hasto di PTIK, KPK : Salah Paham”,
https://nasional.tempo.co/read/1293258/beredar-kabar-kpk-akan-tangkap-hasto-di-ptik-
kpk-salah-paham. Diakses pada 28 Januari 2020
Alfian Putra Abadi, Yasonna Laoly Berpotensi Dipidana Bila Rintangi Kasus Harun Masiku,
https://tirto.id/euHQ, diakses pada tanggal 27 Januari 2020
Arigi, Fikri, Yasonna Hadir Konferensi Pers PDIP, Hujan Kritik Petugas Partai,
https://fokus.tempo.co/read/1296980/yasonna-hadir-konferensi-pers-pdip-hujan-kritik-
petugas-partai, diakses tanggal 27 Januari 2020
B.A.P, I Gusti Agung, Anomali Sosok Harun Masiku,
https://bebas.kompas.id/baca/utama/2020/01/14/anomali-sosok-harun-masiku/,
kompas.id, diakses tanggal 27 Januari 2020
BBC, “Penggeledahan kantor PDIP tunggu persetujuan Dewan Pengawas KPK, Wakil Ketua
KPK sebut 'Ada kemungkinan alat bukti hilang, tapi kami tidak bisa berbuat lain'”,
BBC Indonesia , https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-51096529 , diakses 29
Januari 2020.
Gunadha, Reza, “Izin Penggeledahan PDIP, Tumpak : Kalau Ada Permintaan 1x24 Jam
Kami Proses”, Suara.com https://www.suara.com/news/2020/01/16/130954/izin-
penggeledahan-pdip-tumpak-kalau-ada-permintaan-1x24-jam-kami-proses, diakses 29
Januari 2020.
Hariyanto, Ibnu, “KPK Panggil Komisioner KPU Sumbesel Di Kasus Suap Wahyu
Setiawan”, https://news.detik.com/berita/d-4877442/kpk-panggil-komisioner-kpu-
sumsel-di-kasus-suap-wahyu-setiawan, diakses tanggal 29 Januari 2020.
Hasugian, Maria Rita, Maria Rita Hasugian, “Ketua KPU: PDIP 3 Kali Bersurat Usul PAW
Harun Tolak Riezky”, https://nasional.tempo.co/read/1293710/ketua-kpu-pdip-3-kali-
bersurat-usul-paw-harun-tolak-riezky/full&view=ok, diakses tanggal 29 Januari 2020.
Kacung Marijan, 2012, Sistem Politik Indonesia : Konsolidasi Demokrasi Pasca Orde Baru,
Jakarta : Kencana. Hlm. 96
Maulana, Rizki, “Terungkap, PDIP Tiga Kali Kirim Surat ke KPU Untuk Loloskan Harun
Masiku”, https://www.inews.id/news/nasional/terungkap-pdip-tiga-kali-kirim-surat-ke-
kpu-untuk-loloskan-harun-masiku, diakses tanggal 27 Januari 2020.
Menerjang Arus Oligarki : Lika-liku
Pengungkapan Kasus Suap Komisioner KPU
Nugrahadi, Ady, “Isu Penyelidik KPK Tertahan di PTIK saat akan OTT, Polri : Mereka Mau
Salat, https://www.liputan6.com/news/read/4152552/isu-penyelidik-kpk-tertahan-di-
ptik-saat-akan-ott-polri-mereka-mau-salat. Diakses pada 28 Januari 2020
Utama, Felldy, “Kronologi OTT Wahyu Setiawan, Dari Banyumas, Depok hingga Bandara
Soetta”, https://www.inews.id/news/nasional/kronologi-ott-wahyu-setiawan-dari-
banyumas-depok-hingga-bandara-soetta, diakses tanggal 29 Januari 2020.
Rodliyah dan Salim. HS, 2019, Hukum Pidana Khusus (Unsur dan Sanksi Pidananya),
Rajawali Pers, Depok.
Ryn, “Kronologi Suap Wahyu Setiawan Yang Melibatkan Staf PDIP”,
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200109205545-12-464047/kronologi-suap-
wahyu-setiawan-yang-melibatkan-staf-pdip, diakses tanggal 29 Januari 2020.
Sani, Aham Faiz Ibnu, Dirjen Imigrasi Dicopot, Ini Kata Terakhirnya: Gak Ada Bohong
https://nasional.tempo.co/read/1300897/dirjen-imigrasi-dicopot-ini-kata-terakhirnya-
gak-ada-bohong/full&view=ok, diakses tanggal 27 Januari 2020
Wibowo, Kukuh S., “Soal PAW Nazarudin Kiemas ke Riezky Aprillia, Ini Kronologi KPU”
https://nasional.tempo.co/read/1293690/soal-paw-nazarudin-kiemas-ke-riezky-aprilia-
ini-kronologi-kpu/full&view=ok, diakses tanggal 28 Januari 2020
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum
Undang-Undang nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi
Peraturan Presiden Nomor 91 Tahun 2019 tentang Organ Pelaksana Dewan Pengawas KPK
Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 6 Tahun 2017
Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun 2019
Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 4 Tahun 2019
Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 987/PL.01.8-Kpt/06/KPU/V/2019
Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 22-24/PUU-VI/2008