15
GEJALA KLINIS Keluhan pertama biasanya nyeri kepala. Rasa nyeri ini dapat menjalar ke tengkuk dan punggung. Tengkuk menjadi kaku. Kaku kuduk disebabkan oleh mengejangnya otot-otot ekstensor tengkuk. Bila hebat, terjadi opistotonus, yaitu tengkuk kaku dalam sikap kepala tertengadah dan punggung dalam sikap hiperekstensi. Kesadaran menurun, Tanda Kernig’s dan Brudzinky positif.. Dalam suatu studi prospektif yang melibatkan 696 kasus meningitis bakterial pada pasien dewasa, 95% pasien mempunyai 2 dari 4 gejala berikut: demam, nyeri kepala, kaku leher, dan perubahan status mental (Mansjoer, 2005; Israr, 2008; Hasbun, 2015, Meisadona et al., 2015) Gejala lain yang mungkin timbul antara lain mual, muntah, photopobia, mengantuk, konfusi, iritabel, delirium, hingga koma. Sekitar 25% pasien dengan meningitis bakterial mengalami gejala yang akut dalam 24 jam setelah onset. Terkadang, jika pasien sudah mengkonsumsi antibiotik untuk infeksi yang lain, gejala meningitis dapat muncul lebih lama atau tidak begitu signifikan. Presentasi atipik dapat ditemui pada kelompok tertentu. Pada individu usia tua, terutama dengan komorbid (diabetes, penyakit liver dan ginjal), dapat menunjukkan letargi dan tidak menunjukkan gejala meningeal. Pasien dengan neutropenia dapat menunjukkan gejala meningeal irritation yang sulit dideteksi. Individu dengan immunocomprised, termasuk penerima transplantasi jaringan atau organ dan pasien HIV/AIDS, juga dapat menunjukkan gejala yang atipikal atau tidak jelas (Hasbun, 2015, Meisadona et al., 2015).

Meningitis (klinis, dx, talak).docx

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Meningitis (klinis, dx, talak).docx

GEJALA KLINIS

Keluhan pertama biasanya nyeri kepala. Rasa nyeri ini dapat menjalar ke tengkuk dan

punggung. Tengkuk menjadi kaku. Kaku kuduk disebabkan oleh mengejangnya otot-otot

ekstensor tengkuk. Bila hebat, terjadi opistotonus, yaitu tengkuk kaku dalam sikap kepala

tertengadah dan punggung dalam sikap hiperekstensi. Kesadaran menurun, Tanda Kernig’s

dan Brudzinky positif.. Dalam suatu studi prospektif yang melibatkan 696 kasus meningitis

bakterial pada pasien dewasa, 95% pasien mempunyai 2 dari 4 gejala berikut: demam, nyeri

kepala, kaku leher, dan perubahan status mental (Mansjoer, 2005; Israr, 2008; Hasbun, 2015,

Meisadona et al., 2015)

Gejala lain yang mungkin timbul antara lain mual, muntah, photopobia, mengantuk,

konfusi, iritabel, delirium, hingga koma. Sekitar 25% pasien dengan meningitis bakterial

mengalami gejala yang akut dalam 24 jam setelah onset. Terkadang, jika pasien sudah

mengkonsumsi antibiotik untuk infeksi yang lain, gejala meningitis dapat muncul lebih lama

atau tidak begitu signifikan. Presentasi atipik dapat ditemui pada kelompok tertentu. Pada

individu usia tua, terutama dengan komorbid (diabetes, penyakit liver dan ginjal), dapat

menunjukkan letargi dan tidak menunjukkan gejala meningeal. Pasien dengan neutropenia

dapat menunjukkan gejala meningeal irritation yang sulit dideteksi. Individu dengan

immunocomprised, termasuk penerima transplantasi jaringan atau organ dan pasien

HIV/AIDS, juga dapat menunjukkan gejala yang atipikal atau tidak jelas (Hasbun, 2015,

Meisadona et al., 2015).

Sekitar 25% pasien yang mempunyai sinusitis atau otitis merupakan predisposisi

untuk mengalami S.pneumonia meningitis. Sedangkan pasien dengan subakut bakterial

meningitis dan kebanyakan pasien dengan viral meningitis menunjukkan gejala neurologis

yang berkembang dalam waktu 1-7 hari. Gejala kronis yang berlangsung lebih dari 1 minggu

menunjukkan meningitis yang disebabkan oleh virus atau oleh tuberculosis, sifilis, fungi

(terutama cryptococci) atau carcinomatosis.

Pasien dengan viral meningitis mempunyai riwayat gejala sistemik (myalgia, fatigue,

anoreksia). Pasien dengan meningitis yang disebabkan oleh virus mumps biasanya

menunjukkan trias berikut: demam, muntah, dan nyeri kepala. Gejala ini mengikuti onset dari

parotitis yang secara klinis akan mengalami resolusi dalam 7-10 hari.

1. Anamnesis

Saat melakukan anamnesis, harus diperhatikan beberapa hal berikut:

a. Pajanan

Page 2: Meningitis (klinis, dx, talak).docx

Riwayat pajanan dengan pasien yang mempunyai penyakit serupa merupakan

petunjuk diagnostik yang penting. Hal itu penting untuk mengarahkan pada penyakit

epidemik seperti viral atau menungococcal meningitis.

Singkirkan riwayat kontak seksual dengan pasien berisiko. Herpes simplex

virus (HSV) meningitis berhubungan dengan infeksi HSV genital primer dan infeksi

HIV. Riwayat kontak dengan hewan juga harus disingkirkan. Pasien dengan rabies

(riwayat tergigit hewan seperti anjing, rubah, kelelawar, rakun, dll) dapat

menunjukkan gejala atipik dengan aseptik meningitis. Paparan dengan hewan

pengerat berkaitan dengan infeksi lymphocytic choriomeningitis virus (LCM) virus

dan infeksi Leptospira (Hasbun, 2015)

b. Kondisi Penyerta

Kondisi-kondisi tertentu juga bisa menyebabkan seseorang lebih berisiko

meningitis, contohnya pasien dengan implan cochlear lebih berisiko mengalami

bakterial meningitis. Alkoholisme dan sirosis juga merupakan faktor risiko

meningitis. Tetapi karena etiologi demam dan kejang pada pasien dengan alkoholisme

atau sirosis sangat beragam, membuat meningitis menjadi sulit didiagnosa (Hasbun,

2015).

Meningitis setelah prosedur bedah saraf biasanya disebabkan oleh infeksi

stafilokokus. Infeksi HIV, gangguan myeloproliferatif, defek tulang kranium (tumor,

osteomyelitis), penyakit kolagen, kanker metastasis, dan terapi imunosupresan adalah

kondisi yang memudahkan terjadinya meningitis yang disebabkan

Enterobacteriaceae, Listeria, A. calcoaceticus, dan Pseudomonas (Meisadona et al.,

2015)

c. Geografis

Lokasi geografi dan riwayat bepergian ke tempat tertentu juga harus

dievaluasi. Infeksi H.capsulatum atau B.dermatitidis perlu dipertimbangkan bagi

pasien di daerah Mississippi dan Ohio River valleys; C immitis pada daerah baratdaya

US, Mexico, dan Amerika Tengah; B burgdorferi pada daerah timur laut dan selatan

US dengan probalitas pajanan yang tinggi (Hasbun, 2015).

d. Musim dan Suhu

Di negara yang memiliki empat musim, infeksi ini bersifat musiman,

sedangkan pada daerah tropis seperti Indonesia, dapat terjadi sepanjang tahun

(Hasbun, 2015).

Page 3: Meningitis (klinis, dx, talak).docx

2. Pemeriksaan Fisik

Dari pemeriksaan fisik didapatkan trias klasik meningitis yang terdiri dari demam,

kaku kuduk, dan perubahan status mental, tetapi tidak semua pasien mempunyai

ketiganya, dan hampir semua pasien mengeluhkan nyeri kepala. Perubahan status mental

dapat bervariasi, dari iritabel, somnolen, delirium, hingga koma. Pemeriksaan fisik tidak

menunjukkan adanya defisit neurologis fokal pada kebanyakan kasus. Lebih jauh,

kebanyakan kasus baterial meningitis menunjukkan kaku kuduk, tetapi tanda tesebut

tidak sensitif untuk mendiagnosis meningitis.

Pemeriksaan fisik umum pada viral meningitis sama dengan semua agen kausatif,

tetapi beberapa virus menunjukkan menifestasi klinis yang khas yang dapat

memfokuskan pada diagnosis tertentu. Infeksi enteroviral dapat menunjukkan gejala

berikut: exanthema, gejala pericarditis, myocarditis, atau konjungtivitis, Syndromes of

pleurodynia, herpangina, dan hand-foot-and-mouth disease. Peningkatan tekanan darah

dengan bradikardia dapat terjadi. Sedangkan muntah terjadi pada sekitar 35% pasien

meningitis. Nonblanching petechiae dan perdarahan kutaneus dapat ditemukan pada

meningitis yang disebabkan oleh N meningitidis (50%), H influenzae, S pneumoniae, or S

aureus.

Pada bayi dapat ditemukan tanda fontanella bulging (pada keadaan euvolemic),

Paradoxic irritability, High-pitched cry, Hypotonia. Klinisi harus memeriksa kulit di

sekitar spine untuk melihat apakah ada dimple, sinus, nevi, atau tuft of hair yang dapat

mengindikasikan adanya kelainan kongnital yang berhubungan dengan subarachnoid

space (Hasbun, 2015; Israr, 2008)

a. Tanda Neurologis Fokal

Tanda neurologis fokal termasuk abnormalitas nervus kranialis (terutama

nervus III, IV, VI, dan VII) terjadi pada 10-20% pasien. Hal ini terjadi karena

peningkatan tekanan intrakranial (TIK) atau adanya eksudat yang mengelilingi dan

mendesak nerve roots (Meisadona et al., 2015). Tanda serebral fokal terjadi pada 10-

20% pasien sebagai hasil dari iskemik karena inflamasi vascular dan thrombosis.

Papil edema jarang ditemukan (<1% pasien). Tanda ini juga merupakan tanda

peningkatan TIK tetapi tidak sensitif dan tidak spesifik untuk meningitis karena dapat

ditemukan juga pada kelainan lain, seperti abses otak (Hasbun, 2015).

Tanda-tanda serebral fokal pada stadium awal meningitis paling sering

disebabkan oleh pneumokokus dan H. influenza. Meningitis dengan etiologi H.

influenza paling sering menyebabkan kejang. Lesi serebal fokal persisten atau kejang

Page 4: Meningitis (klinis, dx, talak).docx

yang sulit dikontrol biasanya terjadi pada minggu kedua infeksi meningen dan

disebabkan oleh vaskulitis infeksius, saat terjadi sumbatan vena serebral superfisial

yang berujung pada infark jaringan otak.

b. Tanda Iritasi Meningeal

Lebih dari 100 tahun, klinisi menggunakan tanda meningeal (kaku kuduk,

kernig sign, dan brudzinski sign) untuk mengevaluasi pasien suspek meningitis dan

membantu menentukan pasien yang akan dilakuakn pungsi lumbal. Tetapi, suatu studi

prospektif menunjukkan sensitivitas yang rendah pada tanda ini (Kernnig sign 5%,

Brudzinski sign 5%, kaku kuduk 30%), sehingga tidak adanya tanda meningeal tidak

akan berpengaruh pada pelaksanaan pungsi lumbal.

c. Temuan sistemik dan Ekstrakranial

Temuan sistemik pada pemeriksaan fisik dapat menunjukkan etiologi dari

meningitis. Rash morbiliform dengan faringitis dan adenopathy dapat mengarah pada

virus (EBV, CMV, adenovirus, atau HIV). Makula dan peteki yang dengan cepat

berubah menjadi purpura mengarah pada meningococcemia (dengan atau tanpa

meningitis). Lesi vesikular pada distribusi dermatom mengarah pada VZV. Vesikel

pada genital mengarah pada HSV-2 meningitis.

Sinusitis atau otitis mengarah pada ekstensi langsung ke meninges, biasanya

etiologinya S.pneumoniae atau, lebih jarang, H influenzae. Rhinorrhea atau otorrhea

mengarah pada kebocoran cerebrospinal fluid (CSF) dari fraktur basis kranii, dengan

meningitis paling sering disebabkan oleh S.pneumoniae.

Hepatosplenomegaly dan lymphadenopathy mengarah pada penyakit sistemik,

di antaranya virus dan jamur (misal: disseminated histoplasmosis).

Meningitis meningokokal harus dicurigai jika terjadi perburukan kondisi yang

sangat cepat (kondisi delirium atau sopor dalam hitungan jam), terdapat ruam

petechiae atau purpura, syok sirkulasi, atau ketika ada wabah lokal meningitis. Ruam

petechiae muncul pada sekitar 50% infeksi meningokokal, manifestasi tersebut

mengindikasikan pemberian antibiotik secepatnya (Meisadona et al., 2015)

Meningitis pneumokokal sering didahului oleh infeksi paru, telinga, sinus,

atau katup jantung. Etiologi pneumokokal juga patut dicurigai pada pasien alkoholik,

pascasplenektomi, lansia, anemia bulan sabit, dan fraktur basis kranium. Sedangkan

etiologi H. influenzae biasanya terjadi setelah infeksi telinga dan saluran napas atas

pada anak-anak (Meisadona et al., 2015)

Page 5: Meningitis (klinis, dx, talak).docx

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Bakterial meningitis harus menjadi pertimbangan yang utama dari semua diferensial

diagnosis pada pasien dengan nyeri kepala, kaku kuduk, demam, dan perubahan status

mental. Akut bekterial meningitis merupakan kegawatdaruratan medis dan penundaan

pemberian antimikroba yang efektif akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas (Hasbun,

2015).

Pada prinsipnya, pungsi lumbal harus dikerjakan pada setiap kecurigaan meningitis

dan/atau ensefalitis. Diagnosis bakterial meningitis didasarkan pada hasil kultur dari sampel

CSF yang didapatkan dari pungsi lumbal. Sebuah jarum ditusukkan pada pertengahan tulang

belakang, pas di atas pinggul. Jarum menyerap contoh cairan sumsum tulang belakang.

Tekanan cairan sumsum tulang belakang juga dapat diukur. Bila tekanan terlalu tinggi,

sebagian cairan tersebut dapat disedot (Israr, 2008; Meisadona et al., 2015)

Yang biasanya menjadi perhatian pada pungsi lumbal adalah dengan pengambilan

CSF melalui pungsi lumbal, dapat menurunkan TIK dan meningkatkan risiko terjadinya

herniasi otak. Herniasi terkadang terjadi pada akut bakterial meningitis dan infeksi sistem

sarafat pusat yang lain sebagai konsekuensi dari edema serebral yang parah atau akut

hidrosefalus. Secara klinis, hal ini akan bermanifestasi sebagai perubahan status mental,

abnormalitas refelek pupil, dan postur deserebreasi atau dekortikasi. Insidensi terjadinya

herniasi setelah pungsi lumbal, bahkan pada pasien dengan papiledema, sekitar 1% (Hasbun,

2015).

Pencitraan otak harus dilakukan secepatnya untuk mengeksklusi lesi massa,

hidrosefalus, atau edema serebri yang merupakan kontraindikasi relatif pungsi lumbal. Jika

pencitraan tidak dapat dilakukan, pungsi lumbal harus dihindari pada pasien dengan

gangguan kesadaran, keadaan immunocompromised (AIDS, terapi imunosupresan, pasca-

transplantasi), riwayat penyakit sistem saraf pusat (lesi massa, stroke, infeksi fokal), defisit

neurologik fokal, bangkitan awitan baru, atau papil edema yang memperlihatkan tanda-tanda

ancaman herniasi (Meisadona et al., 2015)

Keputusan untuk melakukan CT scan sebelum pungsi lumbal jangan sampai menjadi

alasan untuk menunda terapi antibiotik karena dapat meningkatkan mortalitas. Herniasi juga

dapat terjadi pada pasien dengan CT scan otak yang normal. Tanda yang paling reliabel untuk

menilai risiko terjadinya herniasi adalah penurunan kesadaran, tanda batang otak, dan kejang

yang baru terjadi (Hasbun, 2015).

Page 6: Meningitis (klinis, dx, talak).docx

Pemeriksaan laboratorium lain, termasuk kultur darah, diperlukan untuk melengkapi

kultur CSF. Pada pemeriksaan darah, meningitis bakterial disertai dengan peningkatan

leukosit dan penanda inflamasi, dan kadang disertai hipokalsemia, hiponatremia, serta

gangguan fungsi ginjal dengan asidosis metabolik. Kultur bakteri ini digunakan untuk

mengidentifikasi agen etiologi dan sensitivitasnya terhadap antibiotik. Pemeriksaan lain

seperti serology dan nucleic acid amplification, dilakukan bila ada kecurigaan organisme

tertentu (Pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR) bersifat sensitif terhadap

Streptococcus pneumoniae dan Neisseria meningitidis) (Hasbun, 2015., Meisadona et al.,

2015)

Karakteristik CSS pada jenis meningitis yang berbeda disajikan dalam tabel berikut.

(Meisadona et al., 2015).

TATA LAKSANA

1. Viral Meningitis

Sebagian besar viral meningitis jinak dan bersifat self-limited. Pasien hanya

membutuhkan terapi suportif dan tidak ada terapi spesifik. Pada beberapa kasus,

terapi antiviral spesifik mungkin diperlukan, seperti pada HIV meningitis yang terjadi

selama masa akut serokonversi (Hasbun, 2015)

2. Bakterial Meningitis

Meningitis bakterial adalah kegawatdaruratan medik. Secara umum, tata

laksana meningitis bakterial dapat dilihat pada gambar 1.

Page 7: Meningitis (klinis, dx, talak).docx

Pemilihan antibiotik yang tepat adalah langkah yang krusial, karena harus

bersifat bakterisidal pada organisme yang dicurigai dan dapat masuk ke CSS dengan

jumlah yang efektif. Pemberian antibiotik harus segera dimulai sambil menunggu

hasil tes diagnostik dan nantinya dapat diubah setelah ada temuan laboratorik. Pada

suatu studi, didapatkan hasil jika pemberian antibiotik ditunda lebih dari 3 jam sejak

pasien masuk RS, maka mortalitas akan meningkat secara bermakna.

Pilihan antibiotik empirik pada pasien MB harus berdasarkan epidemiologi

lokal, usia pasien, dan adanya penyakit yang mendasari atau faktor risiko penyerta.

Page 8: Meningitis (klinis, dx, talak).docx

Antibiotik harus segera diberikan bila ada syok sepsis. Jika terjadi syok sepsis,

pasien harus diterapi dengan cairan dan mungkin memerlukan dukungan obat

inotropik. Jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial, pertimbangkan pemberian

manitol. Antibiotik empirik bisa diganti dengan antibiotik yang lebih spesifik jika

hasil kultur sudah ada. Panduan pemberian antiobiotik spesifik bisa dilihat di tabel

berikut.

Durasi terapi antibiotik bergantung pada bakteri penyebab, keparahan

penyakit, dan jenis antibiotik yang digunakan. Meningitis meningokokal epidemik

dapat diterapi secara efektif dengan satu dosis ceftriaxone intramuskuler sesuai

dengan rekomendasi WHO. Namun WHO merekomendasikan terapi antibiotik paling

sedikit selama 5 hari pada situasi nonepidemik atau jika terjadi koma atau kejang

yang bertahan selama lebih dari 24 jam. Autoritas kesehatan di banyak negara maju

menyarankan terapi antibiotik minimal 7 hari untuk meningitis meningokokal dan

haemofilus; 10-14 hari untuk terapi antibiotik pada meningitis pneumokokal.

Page 9: Meningitis (klinis, dx, talak).docx

Terapi dexamethasone yang diberikan sebelum atau bersamaan dengan dosis

pertama antibiotik dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas secara bermakna,

terutama pada meningitis pneumokokal. Dexamethasone dapat menurunkan respons

inflamasi di ruang subaraknoid yang secara tak langsung dapat menurunkan risiko

edema serebral, peningkatan tekanan intrakranial, gangguan aliran darah otak,

vaskulitis, dan cedera neuron. Dexamethasone diberikan selama 4 hari dengan dosis

10 mg setiap 6 jam secara intravena. Sejumlah pakar berpendapat pemberian

dexamethasone harus dihentikan jika hasil kultur CSS menunjukkan penyebab MB

bukan H. infl uenzae atau S. pneumoniae, namun kelompok pakar lain

merekomendasikan pemberian dexamethasone apapun etiologi meningitis bakterial

yang ditemukan. Pemberian dexamethasone pada pasien meningitis bakterial dengan

sepsis berat atau syok sepsis dapat meningkatkan kesintasan. Pada penelitian lain,

pemberian dexamethasone tidak menurunkan angka mortalitas dan morbiditas secara

bermakna.

Pasien meningitis bakterial harus dipantau ketat. Kejadian kejang sering

muncul dan terapi antikonvulsan sering kali diperlukan. Jika kesadaran pasien

menurun setelah kejang, maka pasien terindikasi untuk pemeriksaan

elektroensefalografi. Kondisi pasien harus dipertahankan dalam status normoglikemia

dan normovolemia. Proton pump inhibitor perlu diberikan untuk mencegah

stressinduced gastritis. Jika kondisi klinis pasien belum membaik dalam 48 jam

setelah terapi antibiotik dimulai, maka analisis CSS ulang harus dilakukan

Pada pasien meningitis bakterial dengan hidrosefalus akut, prosedur

ventrikulostomi dapat dipertimbangkan. Pada pasien dengan pembesaran sistem

ventrikel ringan tanpa perburukan klinis, resolusi spontan dapat terjadi, sehingga

prosedur invasif dapat ditunda.

Daftar Pustaka:

Meisadona G, Soebroto AD, Estiasari R (2015). Diagnosis dan Tatalaksana Meningitis

Bakterialis. CDK-224, 42(1): 15-19.

Israr YA (2008). Meningitis. Fakultas Kedokteran Universitas Riau/RS. Arifin Achmad

Pekan Baru.

Hasbun R (2015). Meningitis. http://emedicine.medscape.com/article/232915-overview -

Diakses pada tanggal 5 Desember 2015.

Page 10: Meningitis (klinis, dx, talak).docx

Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W (eds) (2005). Kapita Selekta

Kedokteran. Edisi Ketiga. Jilid 2. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Media

Aesculapius.