20
PENDAHULUAN PPH Kita ketahui bersama bahwa salah satu poin MDGs yang diajukan pada tahun 2000 adalah untuk mengurangi kematian ibu sebesar 75 % di tahun 2015. Apabila poin ini bisa dicapai, kematian ibu yang berhubungan dengan postpartum hemorrhage (PPH) secara signifikan akan berkurang. Untuk mendukungnya, para petugas medis di negera berkembang harus mendapatkan akses pengobatan yang memadai dan mendapat pelatihan sesuai standar prosedur yang ada. Karenanya dibutuhkan suatu petunjuk yang menunjukkan manfaat dan kegunaan dari beberapa intervensi yang ada dan yang bisa dilakukan. Dengan adanya petunjuk ini diharapkan dapat membantu program yang ada berjalan dengan baik dan sesuai dengan pengimplementasian berdasarkan studi terbaru (WHO, 2009). PPH secara umum didefinisikan sebagai kehilangan darah lebih dari atau sama dengan 500 ml selama 24 jam setelah persalinan, dimana PPH berat didefinisikan sebagai kehilangan darah lebih dari atau sama dengan 1000 ml dalam waktu 24 jam setelah persalinan. PPH merupakan penyebab utama kematian ibu di seluruh dunia. Kebanyakan kasus yang berhubungan dengan PPH selama 24 jam pasca persalinan dianggap sebagai PPH primer, dan apabila PPH masih berkembang sampai 12 minggu setelah persalinan dapat dianggap sebagai PPH sekunder (WHO, 2009). PPH dapat disebabkan oleh adanya kegagalan uterus berkontraksi secara adekuat (atonia), trauma jalan lahir (laserasi serviks atau vaginal), ruptur uteri, plasenta restan, atau kelainan perdarahan dari ibu. Atonia uteri merupakan penyebab tersering dari PPH ini. Faktor risiko dari PPH ini mencakup grande

Pendahuluan - Talak Tagar

Embed Size (px)

DESCRIPTION

hvv

Citation preview

Page 1: Pendahuluan - Talak Tagar

PENDAHULUAN PPH

Kita ketahui bersama bahwa salah satu poin MDGs yang diajukan pada tahun 2000 adalah

untuk mengurangi kematian ibu sebesar 75 % di tahun 2015. Apabila poin ini bisa dicapai,

kematian ibu yang berhubungan dengan postpartum hemorrhage (PPH) secara signifikan

akan berkurang. Untuk mendukungnya, para petugas medis di negera berkembang harus

mendapatkan akses pengobatan yang memadai dan mendapat pelatihan sesuai standar

prosedur yang ada. Karenanya dibutuhkan suatu petunjuk yang menunjukkan manfaat dan

kegunaan dari beberapa intervensi yang ada dan yang bisa dilakukan. Dengan adanya

petunjuk ini diharapkan dapat membantu program yang ada berjalan dengan baik dan sesuai

dengan pengimplementasian berdasarkan studi terbaru (WHO, 2009).

PPH secara umum didefinisikan sebagai kehilangan darah lebih dari atau sama dengan 500

ml selama 24 jam setelah persalinan, dimana PPH berat didefinisikan sebagai kehilangan

darah lebih dari atau sama dengan 1000 ml dalam waktu 24 jam setelah persalinan. PPH

merupakan penyebab utama kematian ibu di seluruh dunia. Kebanyakan kasus yang

berhubungan dengan PPH selama 24 jam pasca persalinan dianggap sebagai PPH primer, dan

apabila PPH masih berkembang sampai 12 minggu setelah persalinan dapat dianggap sebagai

PPH sekunder (WHO, 2009).

PPH dapat disebabkan oleh adanya kegagalan uterus berkontraksi secara adekuat (atonia),

trauma jalan lahir (laserasi serviks atau vaginal), ruptur uteri, plasenta restan, atau kelainan

perdarahan dari ibu. Atonia uteri merupakan penyebab tersering dari PPH ini. Faktor risiko

dari PPH ini mencakup grande multipara dan gestasi multipel. Walaupun pada beberapa

kasus, PPH terjadi pada wanita yang tak memiliki faktor risiko. Karenanya diperlukan suatu

panduan dan tindakan yang benar untuk manajemen aktif kala 3 pada semua wanita yang

melahirkan, disamping kemampuan tim medis yang ada di lapangan. Manajemen aktif yang

dimaksud ini adalah pemberian agen uterotonika segera setela bayi lahir, klem tali pusat

dengan mengobservasi kontraksi uterus selama 3 menit, dan pengeluaran plasenta dengan

peregangan tali pusat terkendali diikuti masase pada uterus (WHO, 2009).

Penanganan efektif dari PPH ini sendiri melibatkan bidang multidisipliner yang lain secara

simultan. Tim medis yang ada harus bisa memberikan resusitasi secara cepat dan tepat,

mengetahui penyebab dari perdarahan yang terjadi, dan segera komunikasi dengan dokter

spesialis obstetrik ginekologi, spesialis anestesi ataupun spesialis radiologi. Terlambatnya

diagnosis dan penanganan dari PPH ini akan mempengaruhi kesempatan ibu untuk bertahan

hidup (WHO, 2009).

Page 2: Pendahuluan - Talak Tagar

TATA LAKSANA PPH “HEMOSTASIS”

1. H : ASK FOR HELP

Pentingnya komunikasi dengan para ahli di bidang lain akan sangat membantu

penanganan pasien dengan PPH. Apabila perdarahan PPH sekitar 500 – 1000 ml tanpa

tanda syok, wajib memberitahu bidan jaga dan perawat untuk berjaga-jaga. Apabila

perdarahan yang terjadi lebih dari 1000 ml dan perdarahan masih berlanjut serta

mengarah ke tanda syok, yang dilakukan adalah sebagai berikut (Croft et al., 2007).

a. Menghubungi bidan yang berpengalaman

b. Menghubungi residen obsgyn tingkat menengah dan konsulen jaga obsgyn

c. Menghubungi residen anestesi tingkat menengah dan konsulen jaga anestesi

d. Menghubungi laboratorium untuk keperluan transfusi darah

e. Meminta bantuan untuk mengecek jumlah cairan yang masuk, obat apa saja yang

masuk, mengecek tanda vital.

Yang perlu diketahui adalah untuk para residen jangan malu untuk meminta bantuan dan

konsultasi dengan konsulen jaga mengingat pasien dengan PPH ini memerlukan

penanganan dan pengambilan keputusan yang cepat dan tepat.

2. A : ASSESS VITAL PARAMETERS, BLOOD LOSS AND RESUSCITATE

Menilai kehilangan darah bisa dilakukan dari berbagai komponen yaitu sebagai berikut

(Glover, 2003).

a. Jumlah darah yang hilang

Menurut ICD-10-AM, PPH adalah kehilangan darah minimal 500 cc secara per

vaginam atau minimal 750 cc secara per abdominam.

b. Perubahan hematokrit

Dikatakan PPH apabila terjadi perubahan hematokrit minimal 10 % antara sebelum

persalinan dan setelah persalinan dan membutuhkan transfusi

c. Kecepatan hilangnya darah

Klasifikasi ini dibagi menjadi dua yaitu :

1) Perdarahan hebat : kehilangan darah > 150 cc/menit (dalam waktu 20 menit,

kehilangan darah lebih dari 50 %)

2) Perdarahan mendadak : kehilangan darah > 1500-2000 cc (disebabkan atonia

uteri, kehilangan darah sejumlah 25-35 %).

d. Defisit volume darah

Page 3: Pendahuluan - Talak Tagar

Tabel . Klasifikasi Perdarahan dan Derajat Syok (Sumber : Glover, 2003)

Menggunakan klasifikasi Benedetti untuk menilai derajat PPH, dan dibagi menjadi 4

kelas yaitu :

1) Kelas 1

Wanita hamil 60 kg memiliki darah 6 liter pada umur kehamilan 30 minggu

kehilangan darah kurang dari 900 ml jarang menimbulkan keluhan dan tidak

membutuhkan penanganan khusus.

Page 4: Pendahuluan - Talak Tagar

2) Kelas 2

Kehilangan darah sekitar 1200-1500 ml akan menimbulkan gejala klinis seperti

peningkatan nadi dan respirasi. Diketahui terdapat perubahan tekanan darah,

namun belum sampai menyebabkan akral dingin.

3) Kelas 3

Pada keadaan ini pasien mengalami hipotensi, takipnea, takikardi (120-160

kali/menit), dan akral dingin disebabkan adanya kehilangan darah sebanyak

1800-2100 ml.

4) Kelas 4

Umumnya sering disebut dengan perdarahan masif. Bila kehilangan darah lebih

dari 2400 ml, kemungkinan syok bisa terjadi dan menyebabkan sulitnya

pemeriksaan nadi dan tekanan darah.

Tabel . Sistem Siaga Obstetrik (Sumber : Glover, 2003)

RESUSITASI

Resusitasi ini menjadi penting apabila diketahui ada kemungkinan terjadinya syok yang

menyebabkan terganggunya perfusi oksigen ke jaringan di seluruh tubuh. Prinsip yang

perlu diketahui adalah dengan resusitasi ini, hemostasis tercapai dan stabilisasi sirkulasi

volume darah dan urin output (0,5 cc/kgBB/jam) (Chestnut, 2004).

Langkah awal yang perlu dilakukan adalah mendapatkan akses vena untuk resusitasi

sebelum vena kolaps saat syok sudah terjadi, dengan menggunakan kanul ukuran 14 atau

Page 5: Pendahuluan - Talak Tagar

16. Setelah akses vena didapat, hal ini menjadi penting sebagai jalur terapi cepat bagi

pasien apabila terjadi kondisi emergensi. Hal kedua yang penting adalah dengan

mengirimkan sampel darah cito ke laboratorium untuk menilai darah lengkap, PT, dan

APTT. Analisa gas darah menjadi penting untuk menentukan level asidosis. Sebenarnya

tidak semua pasien membutuhkan darah mengingat banyaknya risiko transfusi yang

terjadi, sehingga apabila terjadi syok, solusinya adalah dengan memberikan kristaloid

ataupun koloid. Transfusi darah baru dilakukan apabila setelah pemberian 2 liter

kristaloid dan 1 liter koloid tidak memberikan perubahan yang bermakna pada pasien

yang masih mengalami perdarahan aktif. American Society of Anesthesiologists

mengisyaratkan transfusi baru dilakukan apabila nilai hemoglobin di bawah 7 mg/dl

(Cowen, 2006).

Perlu diketahui resusitasi cairan dilakukan apabila mekanisme kompensasi tubuh untuk

mempertahankan tekanan darah gagal. Perlunya resusitasi cairan ini untuk menjaga

perfusi jaringan di seluruh organ dalam batas normal. Pemberian cairan kristaloid atau

koloid sejumlah 250-500 ml dalam 10-20 menit sering digunakan sebagai acuan

resusitasi (untuk derajat syok yang lebih dalam, bisa diberikan sampai 2-3 liter) (Cowen,

2006).

Penggunaan jenis cairan untuk penanganan perdarahan masih menjadi perdebatan. Baik

kristaloid maupun koloid memiliki keuntungan dan kerugian masing-masing. Selain itu,

stabilisasi konsentrasi hemoglobin itu penting untuk menjaga kapasitas pengangkutan

oksigen ke seluruh jaringan. Apabila hemoglobin mencapai angka 7-8 mg/dl, sudah

menjadi dasar untuk dilakukannya transfusi, kecuali untuk pasien dengan penyakit

jantung iskemik, batas minimal untuk dilakukannya transfusi adalah 9 mg/dl. Semuanya

ini dilakukan untuk mencapai target hemoglobin sebesar 10 mg/dl pada pasien yang

masih mengalami perdarahan aktif (Cowen, 2006).

Secara umum, untuk pasien dengan PPH sejumlah 500 – 1000 ml tanpa tanda syok,

penanganannya adalah sebagai berikut (Rossaint et al, 2010).

a. Pemasangan akses vena dengan kanul no.14 1 jalur

b. Pemberian infus kristaloid

c. Pemasangan kateter urin

Sedangkan untuk PPH lebih dari 1000 ml dengan perdarahan aktif dan atau disertai tanda

syok, penanganannya adalah (Rossaint et al, 2010).

a. Nilai airway, breathing, circulation (ABC)

b. Oksigenasi 10-15 lpm

Page 6: Pendahuluan - Talak Tagar

c. Pemasangan akses vena 2 jalur

d. Segera lakukan transfusi darah sesuai indikasi

e. Apabila darah belum siap, bisa diberikan cairan kristaloid 2 liter dan atau cairan

koloid 1-2 liter secepatnya,

Target yang ingin dicapai setelah melakukan resusitasi pada pasien PPH adalah sebagai

berikut (Rossaint et al, 2010).

a. Hb > 8 gr/dl

b. Leukosit > 75 x 109/l

c. PT < 1,5 x nilai normal

d. APTT < 1,5 x nilai normal

e. Fibrinogen > 1,5 – 2,0 gr/l

Tabel . Petunjuk Penanganan Perdarahan Masif Akut (Sumber : Rossaint et al, 2010)

Page 7: Pendahuluan - Talak Tagar

Tabel . Jenis Cairan untuk Resusitasi (Sumber : Rossaint et al, 2010)

Prognosis akan menjadi buruk bila cardiac arrest terjadi pada pasien PPH yang

disebabkan oleh hipoksemua dan asidosis. Cardiac arrest ini akan menyebabkan

penurunan kesadaran, hilangnya denyut nadi dan respirasi, karenanya diperlukan

penanganan secara basic life support dan advanced life support (Cowen, 2006).

Page 8: Pendahuluan - Talak Tagar

Gambar . Alur Penanganan BLS dan ALS (Sumber : Rossaint et al, 2010)

Page 9: Pendahuluan - Talak Tagar

3. E : ESTABLISH ETIOLOGY, ENSURE AVAILABILITY OF BLOODS, ECBOLICS

(SYNTOMETRINE, ERGOMETRINE, BOLUS OXYTOCIN)

Mencari kemungkinan penyebab-penyebab terjadinya PPH (Anderson et al., 2000).

a. Tonus (penyebab sekitar 70 %)

1) Overdistensi uterus : multiparitas, polihidramnion, makrosomia, hidrosefalus

2) Pemberian relaksan : nifedipin, indometasin, MgSO4

3) Persalinan lama atau terlalu cepat

4) Pemakaian oksitosin untuk menginduksi persalinan

5) Chorioamnionitis : demam, KPD lama

6) Abnormalitas Uterus : Fibroid uterus, plasenta previa

b. Tissue (penyebab sekitar 10 %)

1) Uterus sukar untuk berkontraksi : plasenta restan, multiple fibroid

2) Abnormalitas plasenta : plasenta accreta,

3) Riwayat operasi di uterus sebelumnya : myomektomi, operasi sectio caesarean

klasik

4) Persalinan kala 3 memanjang

5) Tarikan tali pusat yang berlebihan

c. Trauma (penyebab sekitar 20 %)

1) Trauma di vulvovaginal : Episiotomy, partus precipitatus,

2) Makrosomia

3) Robekan di luka operasi SC : malposisi, manipulasi versi luar

4) Ruptur uteri : riwayat operasi di uterus

5) Inversi uteri : multiparitas, tarikan tali pusat berlebihan, fundal placenta,

d. Thrombin (penyebab sekitar 1 %)

1) Didapat selama kehamilan : trombositopenia dari sindrom HELLP, DIC

(eklampsia, IUFD, solutio plasenta, emboli air ketuban), sepsis

2) Herediter : Von Willebrand’s, hemofilia

3) Terapi antikoagulan : pemakaian aspirin/heparin, riwayat deep vein thrombosis /

pulmonary embolism

Cara menggunakan agen uterotonik (Kelly dan Tan, 2001) :

a. Dalam waktu 1 menit setelah bayi lahir, palpasi abdomen untuk mencari

kemungkinan adanya janin lain dan berikan oksitosin 10 IU secara i.m. Oksitosin

Page 10: Pendahuluan - Talak Tagar

lebih dipilih karena efektif dalam waktu 2-3 menit setelah pemberian dan memiliki

efek samping yang minimal

b. Apabila oksitosin tidak ada, bisa diberikan ergometrin 0,2 mg secara i.m.,

syntometrine 1 ampul secara i.m., atau misoprostol 400-600 µgr secara oral.

Pemberian misoprostol dilakukan apabila kondisi penyimpanan agen tersebut tidak

memenuhi.

c. Agen uterotonik membutuhkan syarat penyimpanan :

1) Ergometrin : 2-8 0C dan terlindung dari cahaya dan membeku

2) Misoprostol : tersimpan dalam suhu ruangan dan tempat tertutup

3) Oksitosin : 15-30 0C dan terlindung dari membeku.

d. Beritahu pasien tentang efek samping yang terjadi setelah pemberian agen

uterotonika.

Syntometrine

Syntometrine adalah campuran oksitosin 5 IU dan 500 µgr ergometrin maleat.

Ergometrin sendiri adalah agen ergot alkaloid yang dapat menstimulasi kontraksi uterus

dan otot polos vaskular. Pemberian ergometrin dapat meningkatkan amplitudo dan

frekuensi dari kontraksi uterus dan mengurangi aliran darah uterus. Efek vasokontriksi

dari ergometrin inilah yang dapat menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan darah.

Efek ini terjadi melalui stimulasi reseptor adrenergik alfa dan serotonin serta

penghambatan endothelial relaxation factor release. Pemberian secara intravena dapat

menimbulkan kontraksi dalam waktu 1 menit selama 45 menit. Sedangkan dengan

pemberian secara intramuskular, kontraksi timbul dalam waktu 2-3 menit selama 3 jam.

4. M : MASSAGE UTERUS

Cara melakukan masase uterus adalah sebagai berikut (Lalonde et al., 2006).

a. Segera masase fundus uteri sampai uterus berkontraksi

b. Palpasi uterus yang berkontraksi setiap 15 menit dan ulangi masase selama 2 jam

pertama

c. Pastikan uterus tidak mengalami relaksasi setelah masase dihentikan

Page 11: Pendahuluan - Talak Tagar

Gambar . Masase Uterus

5. O : OXYTOCIN INFUSION/PROSTAGLANDINS

a. Oksitosin

Diketahui sejak lama oksitosin dapat meningkatkan kontraksi uterus dengan

mengaktifkan reseptor oksitosin di myometrium. Reseptor oksitosin ini berikatan

dengan fosfolipase C melalui protein G9q. Adanya aktivasi ini memicu pelepasan

kalsium dari penyimpanan intraseluler dan menyebabkan kontraksi (Breathnach,

2006).

Pemberian infus oksitosin dosis rendah dapat menimbulkan kontraksi ritmis uterus

secara frekuensi dan durasi. Cara kerjanya cepat dimana akan menimbulkan efek

kurang dari 1 menit setelah pemberian melalui bolus intravena sebanyak 10 IU dan

sekitar 2-4 menit setelah pemberian melalui intramuskular. Pemberian oksitosin

melalui infus (40 IU dalam 500 ml NaCl 0,9 %) dapat menimbulkan kontraksi secara

gradual dan mencapai kondisi yang relatif stabil dalam waktu 20-30 menit (Geary,

2006).

b. Prostaglandin

Prostaglandin bekerja mematangkan serviks dengan mengubah substansi

ekstraseluler yaitu dengan meningkatkan aktivitas kolagenase, elastase,

glikoaminoglikan, asam hyaluronat di dalam serviks. Hal ini lah yang menyebabkan

terjadinya relaksasi otot polos dari serviks dan meningkatkan konsentrasi kalsium

intraseluler yang menyebabkan kontraksi myometrium (Alfirevic et al., 2007).

Biasanya diberikan secara intramuskular sebanyak 0,25 mg dan diulangi tiap 15

menit sampai tercapai dosis maksimal 2 mg. Pemberian per rectal dengan

misoprostol (800 – 1000 µgr) juga bisa diberikan sebagai alternatif mengingat

harganya yang murah dan syarat penyimpanannya mudah (Gulmezoglu, 2007).

Page 12: Pendahuluan - Talak Tagar

6. S : SHIFT TO OPERATING THEATRE – WITH BIMANUAL UTERINE / AORTIC

COMPRESSION OR ANTI-SHOCK GARMENT DURING TRANSFER

Pasien harus segera dibawa ke ruang operasi apabila tidak ada perubahan yang berarti

setelah melakukan tindakan “HAEMO” dengan melakukan kompresi bimanual uteri atau

kompresi aorta atau menggunakan Anti-Shock Garment selama pengiriman ke ruang

operasi untuk mengurangi perdarahan yang terjadi (Miller dan Hensleigh, 2006).

Kompresi Bimanual Uteri

Tehnik ini cukup membantu untuk mengontrol perdarahan yang masih terjadi akibat

kurangnya respons terhadap agen oksitosik. Tehnik ini menggunakan kedua tangan

dimana satu tangan mengkompresi bagian posterior uterus di luar (di abdomen) dan

tangan satunya mengkompresi bagian anterior uterus melalui jalan lahir (vagina)

(Roman, 2007).

Gambar . Kompresi Bimanual (Sumber : Cunningham et al., 2005)

Anti-Shock Garment (ASG)

Teknologi terbaru menunjukkan bahwa dengan penggunaan ASG dapat membantu

menurunkan angka mortalitas dan morbiditas yang berhubungan dengan perdarahan

obstetrik (Miller dan Hensleigh, 2006).

ASG adalah suatu alat yang dapat mengurangi perdarahan akibat obstetrik dengan

memberikan penekanan pada tubuh bagian bawah. Penggunaan alat ini dapat menjaga

paien tetap hidup selama dikirim dari pusat kesehatan dengan fasilitas minimal ke pusat

kesehatan utama. Dengan harga yang tidak mahal (USD 160), bobot yang ringan dan

bisa dipakai berkali-kali (paling tidak 50 kali), menjadi nilai tambah dari alat ini. Alat ini

awalnaya dikembangkan oleh NASA kemudian dimodifikasi Zoek dan disetujui FDA

Page 13: Pendahuluan - Talak Tagar

pada tahun 1991. Penggunaan ASG ini hanya membutuhkan waktu 2 menit dan setelah

pemakaian selama 2 -5 menit, kebanyakan pasien dengan tanda syok akan sadar kembali

dan tanda vitalnya membaik. Penghambatan perdarahan dan perbaikan tanda vital

dengan alat ini cukup membantu tim medis mengurangi rasa panik dan dapat berpikir

untuk melakukan tindakan selanjutnya (Miller dan Hensleigh, 2006).

ASG direkomendasikan untuk dipasang apabila memenuhi kriteria syok hipovolemik

kelas 2 : perdarahan > 750 ml, nadi > 100 kali/menit, dengan tekanan darah

normal/menurun. Pemasangan ASG ini bisa dipertahankan selama 18-24 jam sampai

darah siap untuk ditransfusikan. ASG boleh dilepas apabila darah untuk ditransfusikan

tersedia dan mencapai target : Hb > 7, Ht > 20 %, nadi < 100 kali/menit, dan tekanan

sistolik > 100 mmHg (Miller dan Hensleigh, 2006).

Gambar . Anti-Shock Garment (Sumber : Miller dan Hensleigh, 2006)

Page 14: Pendahuluan - Talak Tagar

7. T : TAMPONADE BALLOON / UTERINE PACKING

8. A : APPLY COMPRESSION SUTURE – B-LYNCH

9. S : SYSTEMATIC PELVIC DEVASCULARIZATION

10. I : INTERVENTIONAL RADIOLOGIST

11. S : SUBTOTAL/TOTAL ABDOMINAL HYSTERECTOMY

DAPUS

Alfirevic et al. Prevention of postpartum hemorrhage with misoprostol, Int J Gynaecol Obstet 2007; 99 (2) : 198-201.

Anderson et al. 2000. Advanced Life Supports in Obstetrics (ALSO). Kansas : American Academy of Family Physicians.

Breathnach, F. 2006. A Textbook of Postpartum Hemorrhage. Lancashire : Sapiens Publishing.

Crofts et al. Change in knowledge of midwives and obstetricians following obstetric emergency training, BJOG 2007; 14 : 1534-1541.

Cunningham, F. Gary, Kenneth J. Leveno, Steven L. Bloom, John C. Hauth, dan Katharine D Wenstrom. 2005. Williams Obstetrics. Texas : McGraw-Hill.

Geary, M. 2006. A Textbook of Postpartum Hemorrhage. Lancashire : Sapiens Publishing.Glover P. Blood losses at delivery : how accurate is your estimation? Aust J Midwifery 2003;

16 : 21-24.Gulmezoglu et al. Prostaglandins for prevention of postpartum hemorrhage, Cochrane

Database Syst Rev 2007; 3 : 494.Kelly, A.J., dan Tan, B. Intravenous oxytocin alone for cervical ripening and induction of

labour, Cochrane Database of Systematic Review 2001 : 3246.Lalonde et al. 2006. A Textbook of Postpartum Hemorrhage. Lancashire : Sapiens

Publishing.Miller, S. dan P. Hensleigh. 2006. A Textbook of Postpartum Hemorrhage. Lancashire :

Sapiens Publishing.Mousa HA. Treatment for primary postpartum haemorrhage, Cochrane Database Syst Rev

2007; 1 : 3249.Roman AS. Seven ways to control postpartum hemorrhage, Contemp Ob/Gyn 2003 : 43.Rossaint R. Management of bleeding following major trauma, Critical Care 2010; 14 : 52.WHO. 2009. Guidelines for The Management of Postpartum Hemorrhage and Retained

Placenta. Geneva : WHO.