3
Apakah kecintaan saya buta? Pantaskah saya mengaku cinta Indonesia, tanpa pernah membandingkannya? Pertanyaan inilah yang kemudian mendorong Pandji Pragiwaksono menuangkan cerita 365 hari perjalanannya, ke dua puluh kota, delapan negara, empat benua, dalam sebuah buku berjudul “Menemukan Indonesia”. “Menemukan Indonesia” bukan sekadar travelog pada umumnya. Buku ini menyajikan konsep cerita tentang pencarian jati diri, dengan berkeliling dunia, menjadi orang Indonesia.Apalagi yang ingin Pandji sampaikan, kalau bukan tentang berkarya dan nasionalisme? Baginya, belum pantas rasanya mencintai sesuatu tanpa mengetahui alasannya. Demikian juga tentang kecintaannya terhadap Indonesia. Dia menggali alasan-alasan itu dengan cara yang unik. Bukan berkutat dan mengulik Indonesia- nya. Namun sebaliknya, dia justru berkeliling dunia kemudian membandingkannya. Pandji menceritakan pengalamannya dengan begitu asik. Tak jarang tulisannya menyentuh hingga sisi terkecil peristiwa pada setiap kota yang dia singgahi, seperti barang apa saja yang mesti dibawa, bagaimana dia mencari konsultan travel, hingga hal paling tak terpikirkan oleh kita, cara bebersih diri setelah buang air besar layaknya adab setempat. Bisakah kita membayangkan bagaimana menggunakan toilet di negara yang justru terbiasa buang air di sembarang tempat? Suatu saat di Beijing, Pandji kesulitan mencari kamar mandi yang layak guna, atau yang sesuai dengan orang biasa hidup di Indonesia. Dia mencatat kelakuan orang Tiongkok yang hampir bisa buang air dimanapun. Bahkan saat di dalam kamar mandi saja, mereka tetap buang air ‘tidak pada tempatnya’. Lalu, pemandangan unik lainnya di Shanghai, tepatnya di depan ATM canggih yang bisa mengeluarkan uang lewat aplikasi via ponsel tanpa harus menggunakan kartu ATM, ada seorang ibu sedang menunggu anaknya buang air besar di trotoar-bawah pohon. Cerita lain dari Guangzhou, banyak toilet tersedia di tempat umum, namun sayang, kondisinya membuat cemas. Bahkan di hotel terbagus sekalipun, airnya malas sekali keluar. Beruntung dia masih menenteng satu setengah liter air. Ya, seperti itulah budaya di sana. Cerita perjalanan Pandji dalam ‘Menemukan Indonesia’ tidak sekadar perjalanan tentang keindahan gedung bersejarah, kecanggihan sistem transportasi di setiap kota, atau kelezatan kuliner khas yang biasa diceritakan. Pandji justru menyelipkan pergumulan batinnya selama menjalani perjalanan tersebut. Pandji mencoba membandingkan negara-negara yang ia kunjungi dengan keadaan di Indonesia. Sepanjang membaca buku ini, niscaya akan menemukan banyak pertanyaan yang mengajak kita untuk menjawabnya. “Apa sih budaya kita (orang Indonesia)? Bagaimana orang Indonesia di mata dunia?” Pertanyaan Pandji ini muncul karena Indonesia adalah negara muda yang umurnya bahkan lebih muda dari usia kakek kita. Jati diri negara ini belum sepenuhnya terbentuk secara utuh. Makna substansial tentang menjadi ‘orang Indonesia’ mungkin masih sering terabaikan dan tak pernah terlintas dalam benak kita. Dalam perjalanan pencarian jati diri sebagai ‘orang Indonesia’ ini, Pandji menawarkan sebuah konsep pencarian makna hasil dari perjalanannya di berbagai belahan dunia. KOLEKSI PILIHAN ¢ Bung Karno : The Founding Father ¢ Indonesia Bagian dari Desa Saya ¢ Informasi Pariwisata Indonesia ¢ Kagum Kepada Orang Indonesia ¢ Kami Tidak Lupa Indonesia ¢ Keimanan Pancasila ¢ Lupa Endonesa ¢ Muhammad Yamin: Penggagas Indonesia yang Dihujat dan Dipuja ¢ Reinventing Indonesia ¢ Revolusi Mental: Pembentukan Karakter Bangsa Indonesia PERPUSTAKAAN KPK LETTER NEWS Edisi 08 Vol.III | Agustus 2017 Penulis: Pandji Pragiwaksono Kolasi : vvi + 282 Halaman; 20,5cm Menjelajah Dunia untuk Menemukan Indonesia Gedung KPK Lt.1 Jalan Kuningan Persada Kav.4 Jakarta Telp: (021) 2557 8300 ext 8642 Email: [email protected] http://perpustakaan.kpk.go.id alamat redaksi “Dunia memahami potensi Indonesia.Tapi, Indonesia masih kesulitan menguasai dirinya. Memahami tubuhnya. Membuat dirinya kompak dan bersatu. Persatuan dulu, baru kita bisa sama-sama bergerak. Tanpa persatuan, gerak kita akan acak, bahkan bukan mustahil malah jadi saling menjatuhkan.” – Pandji Pragiwaksono

Menjelajah Dunia untuk Menemukan Indonesia · PDF filemenyajikan konsep cerita tentang pencarian jati diri, dengan berkeliling dunia, ... Whistleblowing orupsi Direktori Subjek Korupsi

Embed Size (px)

Citation preview

Apakah kecintaan saya buta?Pantaskah saya mengaku cinta Indonesia, tanpa pernah membandingkannya?

Pertanyaan inilah yang kemudian mendorong Pandji Pragiwaksono menuangkan cerita 365 hari perjalanannya, ke dua puluh kota, delapan negara, empat benua, dalam sebuah buku berjudul “Menemukan Indonesia”.

“Menemukan Indonesia” bukan sekadar travelog pada umumnya. Buku ini menyajikan konsep cerita tentang pencarian jati diri, dengan berkeliling dunia, menjadi orang Indonesia.Apalagi yang ingin Pandji sampaikan, kalau bukan tentang berkarya dan nasionalisme?

Baginya, belum pantas rasanya mencintai sesuatu tanpa mengetahui alasannya. Demikian juga tentang kecintaannya terhadap Indonesia. Dia menggali alasan-alasan itu dengan cara yang unik. Bukan berkutat dan mengulik Indonesia-n y a . N a m u n s e b a l i k n y a , d i a j u s t r u b e r k e l i l i n g d u n i a k e m u d i a n membandingkannya.

Pandji menceritakan pengalamannya dengan begitu asik. Tak jarang tulisannya menyentuh hingga sisi terkecil peristiwa pada setiap kota yang dia singgahi, seperti barang apa saja yang mesti dibawa, bagaimana dia mencari konsultan travel, hingga hal paling tak terpikirkan oleh kita, cara bebersih diri setelah buang air besar layaknya adab setempat.

Bisakah kita membayangkan bagaimana menggunakan toilet di negara yang justru terbiasa buang air di sembarang tempat?

Suatu saat di Beijing, Pandji kesulitan mencari kamar mandi yang layak guna, atau yang sesuai dengan orang biasa hidup di Indonesia. Dia mencatat kelakuan orang Tiongkok yang hampir bisa buang air dimanapun. Bahkan saat di dalam kamar mandi saja, mereka tetap buang air ‘tidak pada tempatnya’. Lalu, pemandangan unik lainnya di Shanghai, tepatnya di depan ATM canggih yang bisa mengeluarkan uang lewat a p l i k a s i v i a p o n s e l t a n p a h a r u s menggunakan kartu ATM, ada seorang ibu sedang menunggu anaknya buang air besar di trotoar-bawah pohon. Cerita lain dari Guangzhou, banyak toilet tersedia di tempat umum, namun sayang, kondisinya membuat cemas. Bahkan di hotel terbagus sekalipun, airnya malas sekali keluar. Beruntung dia masih menenteng satu setengah liter air. Ya, seperti itulah budaya di sana.

Cerita perjalanan Pandji dalam ‘Menemukan Indonesia’ tidak sekadar perjalanan tentang keindahan gedung bersejarah, kecanggihan sistem transportasi di setiap kota, atau kelezatan kuliner khas yang biasa diceritakan. Pandji justru menyelipkan pergumulan batinnya selama menjalani perjalanan tersebut. Pandji mencoba membandingkan negara-negara yang ia kunjungi dengan keadaan di Indonesia.

Sepanjang membaca buku ini, niscaya akan menemukan banyak pertanyaan yang mengajak kita untuk menjawabnya. “Apa sih budaya kita (orang Indonesia)? Bagaimana orang Indonesia di mata dunia?”

Pertanyaan Pandji ini muncul karena Indonesia adalah negara muda yang umurnya bahkan lebih muda dari usia kakek kita. Jati diri negara ini belum sepenuhnya terbentuk secara utuh. Makna substansial tentang menjadi ‘orang Indonesia’ mungkin masih sering terabaikan dan tak pernah terlintas dalam benak kita. Dalam perjalanan pencarian jati diri sebagai ‘orang Indonesia’ ini, Pandji menawarkan sebuah konsep pencarian makna hasil dari perjalanannya di berbagai belahan dunia.

KOLEKSI PILIHAN

¢ Bung Karno : The Founding Father¢ Indonesia Bagian dari Desa Saya¢ Informasi Pariwisata Indonesia¢ Kagum Kepada Orang Indonesia¢ Kami Tidak Lupa Indonesia¢ Keimanan Pancasila¢ Lupa Endonesa¢ Muhammad Yamin: Penggagas Indonesia

yang Dihujat dan Dipuja¢ Reinventing Indonesia¢ Revolusi Mental: Pembentukan Karakter

Bangsa Indonesia

PERPUSTAKAAN KPK

LETTERNEWS

Edisi 08 Vol.III | Agustus 2017

Penulis: Pandji PragiwaksonoKolasi : vvi + 282 Halaman; 20,5cm

Menjelajah Dunia untuk Menemukan Indonesia

Gedung KPK Lt.1Jalan Kuningan Persada Kav.4 Jakarta

Telp: (021) 2557 8300 ext 8642Email: [email protected]://perpustakaan.kpk.go.id

alamat redaksi

“Dunia memahami

potensi Indonesia.Tapi, Indonesia

masih kesulitan menguasai

dirinya. Memahami tubuhnya.

Membuat dirinya kompak

dan bersatu. Persatuan dulu,

baru kita bisa sama-sama

bergerak. Tanpa persatuan,

gerak kita akan acak,

bahkan bukan mustahil

malah jadi saling

menjatuhkan.”

– Pandji Pragiwaksono

Halaman BelakangDapatkan Newsletter Perpustakaan KPK edisi lainnya di Portal ACCH

https://acch.kpk.go.id/perpustakaan/newsletterSelama ini, saya selalu berkata bahwa saya

mencintai Indonesia. Tak pernah ada sedikit pun

keraguan. Hingga kemudian, saya memutuskan

untuk menantang rasa cinta terhadap negara ini

dengan membuat perbandingan-perbandingan.

Saya harus melakukan perjalanan keliling dunia

dan melihat dengan mata kepala sendiri, seperti

apa situasi di luar sana.

Dan akhirnya, kesempatan itu tiba. Dari April 2014

sampai April 2015, saya melakukan perjalanan ke

Singapura, Sydney, Melbourne, Adelaide,

Brisbane, Gold Coast, Hong Kong, Macau, London,

Liverpool, Manchester, Amsterdam, Leiden, Berlin,

Guangzhou, Beijing, Tokyo, Kyoto, Los Angeles,

dan San Francisco.

Dua puluh kota. Delapan negara. Empat benua.

Satu tahun.

Perjalanan saya membawa misi, mengenalkan

dan mengenal kembali Indonesia melalui

Mesakke Bangsaku World Tour. Setiap detail dan

segala sesuatu yang saya lihat, dengar, dan

rasakan di negara-negara tersebut, saya tuliskan

dalam buku ini.

Lalu, setelah Anda selesai membacanya, coba

tanyakan hal ini pada diri Anda: seperti apakah

Indonesia yang selama ini saya kenal?

“Apa itu Indonesia? Apa itu menjadi “Orang Indonesia”? Pertanyaan ini sengaja kembali muncul di bagian akhir buku. Seakan pembaca tidak dibiarkan menyelesaikan buku ini. Bab terakhirnya menahan kita untuk kembali pada hari-hari perjalanan Pandji sebelumnya.

Persis. Untuk menemukan jawaban yang Pandji inginkan. Cerita buku ini menggunakan gaya bertutur yang sangat khas Pandji, cerdas dan menggelitik. Membacanya, seolah kita sedang mendengarkan Pandji bercerita langsung di depan mata. Buku ini mujarab sebagai pelepas penat, mungkin akan lebih cocok menikmatinya saat akhir pekan tiba.

Meski menggunakan gaya bahasa yang ringan, Pandji mencoba mengajak pembacanya berpikir kritis. Lewat pertanyaan-pertanyaan yang tersebar di sepanjang buku, Pandji ‘memaksa’ pembaca untuk menemukan ‘Indonesia’nya sendiri, membandingkan kota-kota dalam ceritanya dengan Indonesia. Pemikiran pembaca digiring untuk melahirkan silogisme yang dibangun atas premis-premis yang Pandji hadirkan lewat hasil observasi yang komprehensif, ditambah pendapat pribadi yang pragmatik.

Sayangnya, buku ini dicetak hitam putih. Sehingga foto-foto pun tidak full colour. Keceriaan cerita tidak tampil secara maksimal melalui dukungan visual.

Di sela cerita, pembaca juga akan disuguhi kisah bagaimana world tour “Mesakke Bangsaku” diselenggarakan. Memang, “Menemukan Indonesia” lahir dari kesibukan Pandji saat menjalani world tour stand-up comedy yang bertajuk “Mesakke Bangsaku”. Jadi tak heran jika selama menikmati buku ini, kita juga akan sering mendapat cerita bagaimana tour ini digelar di berbagai kota.

Bagi pembaca yang tak nyaman dengan kritikan, mungkin harus paham sepenuhnya bahwa kritikan yang dilontarkan Pandji bertujuan memberi gambaran bahwa di luar sana banyak sekali hal baik yang bisa kita adaptasi demi kemajuan bangsa ini.

Namun, kekurangan ini terbayar dengan lay out buku yang menampilkan kutipan-kutipan dengan desain menarik. Pemilihan dominasi warna biru langit dan abu-abu seolah membawa kita ikut terbang bersama rombongan Pandji yang berawakan Tim Mesakke Bangsaku World Tour.

Artikel Korupsi

Asset Recovery and Mutual Legal Assistance

Bribery

Fraud

Indeks

Persepsi

Korupsi

Pemberantasan

Korupsi

di Indonesia

Kasus Korupsi

Korupsi

dan Agama

Korupsi

di Wilayah

Lain

Korupsi Khusus

Money

LaunderingNovel

Korupsi Pendidikan Antikorupsi

Peradilan

Peraturan

Korupsi

Prosiding

Korupsi

Teori Korupsi

Whis

tleblo

win

g

Direktori Subjek Korupsi Perpustakaan KPK

Kunjungi dan manfaatkan koleksi Perpustakaan KPK

untuk mencari referensi dan rekreasi!

Nama Colliq Pujie diambil dari sosok perempuan

intelektual asal Barru yang menuliskan naskah I La

Galigo. Dalam bahasa lokal setempat, colliq pujie

bermakna pucuk yang terpuji, sangat cocok dengan lambang

Pustaka Bergerak. “Ini penghormatan khusus untuk perempuan

dan sastra,” kata Nirwan Ahmad Arsuka, pendiri Pustaka

Bergerak.

Bagi Nirwan, perahu pustaka adalah cara menyebarkan virus

literasi, menyebarkan bacaan bermutu, dan membangun budaya

ilmiah yang tepat di daerahnya. Mengingat kondisi geografi di

daerahnya yang masih jauh dari pembangunan infrastruktur,

perahu masih menjadi salah satu sarana transportasi yang

penting. Colliq Pujie adalah perahu pustaka ketiga, yang akan

berada di Makassar selama perayaan Makassar International

Writers Festival, 17-20 Mei 2017, sekaligus peresmiannya.

Perahu Pustaka Colliq Pujie adalah jenis perahu lambung

lebar model tradisional yang telah dimodifikasi dan biasa dikenal

oleh masyarakat setempat sebagai padewakang. Berukuran 11m x

3m, memiliki dua mesin yang dapat membawa buku dan relawan

mencapai kecepatan 7-8 knot atau 8 mil/jam

Dengan ukuran yang lebih besar (panjang 11 meter dan lebar

3 meter), Perahu Pustaka Colliq Pujie bisa berlayar lebih jauh,

menghantarkan buku-buku ke pulau-pulau di kawasan tengah

Indonesia. “Bagian tertutupnya 70 persen hingga ke buritan,

menggunakan dua mesin dengan daya lebih besar,” jelas Ridwan

yang juga pustakawan perahu pustaka. Tak hanya bisa

menjangkau tempat yang lebih jauh, tapi bisa memuat lebih

banyak relawan dan buku-buku. Perahu ini juga sangat ramah

perempuan, memiliki ruang khusus semacam kamar kecil.

Pembuatan Perahu Pustaka Colliq Pujie sebenarnya masih

pada tahun yang sama dengan Perahu Pustaka Pattingalloang

yakni 2015. “Ini dibuat atas inisiasi dan donasi dana dari kak

Nirwan sebesar seratus juta,” ungkap Ridwan. Penyelesaian

Perahu Pustaka Colliq Pujie ini sempat tertunda karena harus

melakukan pembangunan Nusa Pustaka—perpustakaan menetap

yang juga berfungsi sebagai tempat penyimpanan buku sekaligus

kantor. “Praktis pendanaan dibagi dua, buat perahu pustaka dan

Nusa Pustaka.”

Dalam budaya adat Mandar, perahu itu serupa anak. Ketiga

perahu pustaka ini, ibarat ‘anak’ Anwar alias Puaq Marni yang

membangun perahu. Puaq Marni adalah tukang yang juga

berprofesi sebagai nelayan, tinggal di Dusun Baqba Toa, Desa

Lapeo, Kecamatan Campalagia, Kabupaten Polewali Mandar.

Mari berlayar. Sampai jumpa di MIWF 2017!

Sumber: https://makassarwriters.com/perahu-pustaka-colliq-pujie/

LITERASIINSPIRASI Perahu Pustaka Perahu Pustaka

Colliq PujieColliq PujiePerahu Pustaka Colliq Pujie

Dokumentasi upacara Proklamasi Kemerdekaan tidak begitu baik.

Latief Hendraningrat, yang ditugaskan menghubungi Soetarto dari

Nippon Eiga Sha (perusahaan film Jepang), lupa menjalankan

tugasnya. Beruntung ada Mendur bersaudara, Frans dan Alex Mendur.

Saat itu Frans bekerja sebagai fotografer di harian Asia Raya,

sedangkan Alex bekerja di kantor berita Domei. Itupun hanya tiga kali

jepretan: saat Soekarno membacakan naskah Proklamasi, saat

pengibaran bendera, dan foto massa yang menyaksikan upacara.

Tidak ada rekaman suara atau gambar bergerak yang mengabadikan

kejadian bersejarah itu. Adapun rekaman suara Soekarno

membacakan naskah Proklamasi Kemerdekaan, seperti yang sering

diperdengarkan saat ini, bukanlah rekaman suara Soekarno saat

membacakan Proklamasi tanggal 17 Agustus 1945. Itu adalah suara

asli Soekarno yang direkam tahun 1951 di Radio Republik Indonesia

(RRI) untuk kebutuhan dokumentasi.

Tahukah Anda ?

sumber: instagram.com/ridwanmandar