Upload
aulia-nastiti
View
1.140
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Aulia Dwi N | 0906561452 Tugas Makalah Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Media dan Isu-isu Sosial Budaya
08 Fall
KETIKA BLACKBERRY MENJADI ADIKSI
D E P A R T E M E N I L M U K O M U N I K A S I F A K U L T A S I L M U S O S I A L D A N I L M U P O L I T I K U N I V E R S I T A S I N D O N E S I A 2 0 1 1
| Menyoroti Konsumerisme Kelas Menengah terhadap Blackberry dalam Kerangka Teori Fetisisme Komoditas |
1 |
Dalam bukunya, Das Kapital II, Karl Marx pernah menulis tentang bagaimana seorang
individu dalam masyarakat kapitalis modern mempercayai bahwa suatu barang hasil
produksi memiliki kekuatan otonom untuk menentukan relasi sosialnya (Lewin dan Morris,
1977). Hal ini berarti dalam diri individu tersebut timbul keyakinan bahwa nilai-nilai eksistensi
dirinya dalam ruang sosial bisa tersimbolisasikan dalam barang-barang produksi tersebut.
Pada indvidu ini, yang terjadi ialah ia membeli barang hanya untuk mendapatkan ‘nilai yang
melekat pada barang itu’, bukan karena membutuhkan nilai gunanya.
Pemikiran Marx tersebut relevan dengan kondisi masyarakat modern saat ini yang identik
dengan suatu paradigma bahwa barang produksi dapat mendefinisikan status sosial mereka.
Dengan menjual brand, sebuah produk menghadirkan prestise, untuk menunjukkan apa
posisi pemiliknya. Berbagai komoditas dengan segala simbol yang melekat di dalamnya
telah berkembang menjadi bagian dari gaya hidup yang tak bisa dipisahkan dalam
kehidupan masyarakat modern. Gaya hidup modern tersebut mendorong seorang individu
untuk mendefinisikan sikap, nilai-nilai, dan menunjukkan kekayaan serta posisi sosial
seseorang melalui segala properti yang dimilikinya. Gaya hidup bermewah-mewahan yang
sebelumnya terbatas pada masyarakat kelas atas, kini cenderung terjadi pula pada
masyarakat di kalangan menengah.
Di Indonesia, perubahan gaya hidup kelas menengah ini sangatlah terlihat dari tingkat
belanja kelas menengah yang semakin meningkat. Berdasarkan Survei Nielsen yang
dilakukan sepanjang tahun 2011 pada responden kelas menengah kelas menengah
Indonesia dinilai sebagai pasar yang luar biasa kuat daya belinya (Kompas, 9 Desember
2011). Kuatnya daya beli masyarakat kelas menengah ini salah satunya dipengaruhi oleh
tingkat penggunaan media yang juga tinggi. Produsen produk apa pun dapat mengiklankan
berbagai macam produknya melalui segala media, mulai dari televisi (96 persen kelas
menengah menontonnya), internet (22 persen kelas menengah mengaksesnya), telepon
seluler karena 71 persen kelas menengah di perkotaan memakainya, dan jejaring sosial,
mengingat 94 persen kelas menengah Indonesia terkoneksi satu sama lain. Pesan-pesan
yang disampaikan melalui berbagai media membentuk konstruk sosial mengenai gambaran
masyarakat ideal yang didefinisikan dengan segala macam kepemilikan barang.
L A T A R B E L A K A N G
2 |
Berbagai konstruk sosial tersebut pada menumbuhkan sifat fetish yang mendorong
masyarakat pada suatu bentuk pemujaan terhadap berbagai komoditas atau wujud
kebendaan. Media, dengan segala kontennya, membangun persepsi sosial yang
mempercayai bahwa gaya hidup modern adalah yang senantiasa memperbaharui diri
dengan mengkonsumsi barang-barang bermerk yang paling up to date. Pola belanja
semacam ini terlihat jelas dalam konsumsi gadget terbaru, salah satunya ialah ponsel.
Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan Mahbubani Kishore dalam bukunya, Asian: The
New Hemisphere (2008), yang menggambarkan bahwa salah satu dampak modernisasi ialah
merebaknya telepon seluler. Dalam laporan tahun 2010, Bank Pembangunan Asia (ADB) juga
menunjuk kepemilikan ponsel sebagai salah satu indikator meningkatnya kelas menengah.
Di Indonesia sendiri, tingkat penetrasi ponsel mencapai 60 persen dari populasi atau lebih
dari 100 juta penduduk. Perkembangan teknologi ponsel yang demikian cepatnya dan
menghasilkan berbagai macam ponsel yang selalu berganti dengan menghadirkan berbagai
macam fitur dan brand membuat masyarakat modern merasa tertinggal jika tidak membeli
ponsel dengan model terbaru. Masyarakat kelas menengah pun pada akhirnya terbentuk
menjadi kelompok yang konsumtif terhadap pembelian ponsel dan didorong semakin
konsumtif oleh penggunaan ponsel sehingga terjebak dalam lingkaran konsumerisme.
Di Indonesia, konsumerisme kelas menengah terhadap teknologi dibuktikan oleh fenomena
maraknya ponsel Blackberry (BB). Sejak hadir di Indonesia, ponsel ini mulanya hanya
dinikmati oleh kalangan atas, tetapi kini semua orang yang berasal dari berbagai lapisan
masyarakat pun berlomba-lomba membeli Blackberry karena terdorong oleh tren. Angka
penjualan Blackberry yang terus meningkat membuktikan hal tersebut. Animo masyarakat
terhadap smartphone ini begitu besar, sampai bisa dibilang tak rasional.
Fenomena ricuhnya antrian peluncuran perdana BB Bellagio pada 26 November 2011
menunjukkan bahwa fetisisme terhadap BB telah melanda masyarakat. Blackberry dianggap
dianggap sebagai lambang modernitas mendorong masyarakat untuk belanja gaya hidup
modern, bukan belanja fungsi ‘sebuah ponsel’. Oleh karena itulah, fenomena maraknya
konsumsi Blackberry oleh kelas menengah di Indonesia menarik untuk dikaji dalam kerangka
teori fetisisme komoditas untuk menjelaskan bagaimana sifat fetish terhadap Blackberry
dapat melanggengkan kapitalisme modern melalui pembentukan masyarakat konsumtif.
3 |
TEORI FETISISME KOMODITAS
Jika ditilik berdasarkan terminologi harfiahnya, kata fetisisme merujuk pada suatu sifat
memuja (fetish). Fetisisme pada komoditas merupakan rangkaian dari proses konsumsi pada
produk setelah perilaku konsumsi menjadi bersifat konsumtif dan berkembang menjadi gaya
hidup (Mulvey, 1993; 1996). Fetisisme berkaitan erat dengan konsumtivisme, atau kondisi di
mana seorang individu, sebagai konsumen, mengkonsumsi barang di luar kebutuhan riilnya.
Dalam perspektif Teori Kritis, fetisisme mengacu pada konsep yang dikembangkan oleh Karl
Marx ketika menganalisis mengapa individu yang terdominasi dapat menerima dan
mengadopsi kepercayaan yang dapat mendukung dan mereproduksi status quo kapitalisme.
Tesis Marx ini selajutnya dikembangkan menjadi terfokus pada operasionalisasi berbagai
komoditas yang dihasilkan kapitalis dalam membentuk kepercayaan individu yang
terdominasi. Bagi Marx, cara seorang individu menerima dan mengalami dominasi kapitalis,
berbeda dari cara bagaimana sistem kapitalisme itu bekerja (Marx, dalam Lloyd, 2008).
Dengan demikian, berbeda dengan teori dominasi atau hegemoni sistem kapitalisme, dalam
Teori Fetisisme Komoditas, yang menjadi fokus adalah bagaimana kapitalisme bekerja
membentuk kepercayaan pada tataran individu.
Fetisisme terjadi apabila konsumsi individu terhadap suatu produk tidak berada pada level
yang dibutuhkan, tetapi pada level di mana individu tersebut bahkan tidak mengetahui
fungsi utama produk tersebut. Pada fetisisme komoditas, kebutuhan seorang individu
didominasi dan dikaburkan oleh suatu objek kenikmatan atau kepuasan semu yang
diperoleh dari komoditas tersebut (Ripstein, 1987). Dalam relevansinya dengan kapitalisme,
fetisisme menjadi salah satu pondasi yang menyebabkan kapitalisme tetap bertahan dan
abadi. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Bourdieu (1989) melalui teori distingsi
sosialnya bahwa status quo kapitalisme dipertahankan oleh perilaku individu-individu di
dalamnya melalui cara konsumsi mereka dalam kehidupan sehari-hari.
Akar konseptual Teori Fetisisme Komoditas berasal dari pemikiran Karl Marx. Tesis Marx
tentang fetisisme komoditas merupakan landasan teori bagaimana bentuk-bentuk
K E R A N G K A K O N S E P T U A L
4 |
komodifikasi bisa berfungsi mengamankan dominasi modal ekonomi. Menurut Marx, asal
mula fetisisme komoditas adalah hasil usaha kerja manusia yang diobjektifikasi. Hubungan
antara produsen dengan keseluruhan usaha mereka sendiri dihadirkan sebagai suatu
hubungan sosial sosial yang tidak hanya terjadi di antara produsen itu sendiri, tetapi juga di
antara berbagai hasil produksi mereka. Hasil-hasil usaha tersebut menjadi sebuah komoditas
yang seolah menjelma sebagai entitas otonom dan menjalin relasi sosial di antara mereka.
Berbagai komoditas tersebut seolah memiliki wujud jiwa yang nyata, memiliki sifat dapat
ditangkap sekaligus tidak dapat ditangkap oleh kemampuan indrawi. Meskipun sebenarnya
perwujudan komoditas tersebut hanyalah pendefinisian manusia yang mengambil wujud
fantastis dari suatu hubungan di antara benda-benda hasil produksi tersebut. Inilah yang
disebut Marx sebagai fetisisme, yang merekatkan manusia pada hasil-hasil kerja ketika
diproduksi sebagai komoditas (Marx, 1963 dalam Strinati, 2007: 63).
Kerangka pemikiran Marx mengenai fetisisme dikembangkan oleh Adorno, untuk
menganalisis tentang ‘rahasia sejati keberhasilan’ kapitalisme melalui fetisisme. Menurut
Adorno, fetisisme komoditas merupakan cara bagaimana produsen menunjukkan bahwa
asas pertukaran dapat memaksakan kekuatannya secara khusus dalam dunia benda-benda
budaya (Adorno, 1991, dalam Strinati, 2007). Dalam kapitalisme, asas pertukaran akan selalu
mendominasi asas manfaat karena roda eksistensi kapitalis selalu berputar di sekitar
produksi, konsumsi, dan pemasaran komoditas. Konsekuensinya, diperlukan suatu kondisi di
mana masyarakat merasa bahwa konsumsi yang dilakukan merupakan upaya memenuhi
kebutuhan hidupnya.
Cara yang dilakukan kapitalis untuk mempertahankan eksistensinya melalui fetisisme
komoditas ialah mendominasi kebutuhan-kebutuhan riil manusia dengan ‘kebutuhan’ semu
untuk melakukan pertukaran yaitu dengan mengkonsumi berbagai komoditas yang
dihasilkan para produsen kapitalis tersebut. Dengan demikian, dalam fetisisme komoditas,
asas pertukaran mengaburkan sekaligus mendominasi asas manfaat dengan cara
menyamarkan dirinya sebagai objek kenikmatan (Strinati, 2007).
Merujuk pada Bourdieu (1989), pola konsumsi individu dalam masyarakat kapitalis modern
ini dapat mereproduksi kapitalisme dalam dua jalan. Pertama, membuat inidvidu untuk
mengkonsumsi secara gila-gilaan dalam rangka melakukan mobilitas sosial vertical menjadi
5 |
‘kelas atas’. Namun yang terjadi adalah muncul kelas menengah beranggotakan sekumpulan
individu dalam jumlah besar yang memiliki komoditas yang serupa. Pembagian kelas
pekerja-dan kelas penguasa dalam level produksi pun menjadi tersamarkan dengan adanya
‘kelas menengah’ dalam jumlah besar. Hal ini pada akhirnya menyamarkan sumber masalah
yang sebenarnya dan melanggengkan dominasi pemilik modal.
Kedua, kelas menengah yang berjumlah mayoritas terus berebut menduduki hirarki sosial
dalam sistem kelas dengan cara mengkonsumsi komoditas ‘high-end’ atau barang-barang
yang paling mutakhir. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan status dalam hirarki sosial.
Namun, oleh para produsen, hal ini dimanfaatkan dengan jalan menciptakan dan
memperbaharui produk ‘high-end’ tersebut secara kontiyu dan gradual. Pola konsumsi
modern yang terjadi dalam repetisi dan terwujud menjadi sebuah siklus ‘catch-up
consumption’. Sehingga, yang terjadi pada akhirnya adalah berlangsungnya konsumsi terus
menerus dan bertambahnya kelas menengah yang terjebak dalam siklus tersebut (Lloyd,
2008).
Pola konsumsi yang terus menerus itulah yang membangun terjadinya fetisisme. Fetisisme
bekerja dengan membangun kelas atas atau penguasa kapital yang merencanakan pola
konsumsi dan menciptakan kelas menengah dalam jumlah massif untuk mengikuti pola
konsumsi ‘kelas atas’ tersebut. Bourdieu (1989) menyebutkan bahwa yang diciptakan
fetisisme sebenarnya tak lebih dari differensiasi sosial antara kelas atas dan kelas menengah
dan jarak sosial antara keduanya selamanya dikendalikan oleh pihak yang berkuasa, yaitu
kelas atas. Dengan demikian, differensiasi sosialmelalui fetisisme ini menjadi kontributor
utama dalam kelanggengan dominasi kapitalis.
KONSUMERISME
Pemahaman kata konsumerisme pada masa sekarang identik dengan sebuah bentuk atau
gaya hidup. Gagasan tentang konsumerisme ini terkait dengan teori-teori konsumsi dan
kapitalisme modern yang berakar dari pemikiran Mahzab Frankfurt. Menurut Mahzab
Frankfurt, melalui konsumerisme, sistem kapitalisme memanfaatkan kesempatan untuk
menciptakan masyarakat kelas menengah sebagai konsumen produknya. Oleh karena itu,
keruntuhan akhir kapitalisme dan kebangkitan sosialisme serta masyarakat tanpa kelas
merupakan hal utopis yang agaknya tak mungkin terwujud. Hal ini disebabkan pada
6 |
fleksibilitas dan sifat tahan lama sistem kapitalisme yang didasarkan pada kemakmuran dan
konsumerisme kalangan pekerja, serta bentuk-bentuk kontrol sosial yang lebih umum
melalui media massa dan budaya populer (Strinati, 2007).
Sistem kapitalisme modern menciptakan kemakmuran bagi kelas pekerja dengan tingkat
pengendalian idelogis tertentu dengan bertujuan menciptakan konsumerisme di kalangan
kelas menengah tersebut. Para pekerja kelas menengah seolah diberi ‘jaminan’ keamanan
secara finansial agara bisa membeli banyak barang yang mereka inginkan dan meraka
butuhkan, sementara barang-barang tersebut adalah hasil produksi kapitalisme. Segala
macam komoditas semakin mudah terjangkau. Konsekuensinya, komoditas tersebut lebih
mampu mendominasi kesadaran orang lain. Ketika konsumerisme membawa seorang
konsumen pada suatu kebahagiaan ketika membeli barang-barang tersebut dan
membuatnya tidak sadar akan kebutuhan yang sebenarnya, saat itulah kapitalisme suskses
mencipatakan fetisisme dalam diri konsumen (Strinati, 2007).
Dalam konsumerisme, juga terdapat adanya kebutuhan palsu yang konsepnya
dikembangkan oleh Herbert Marcuse (1972). Kebutuhan-kebutuhan palsu ini merupakan
tuntutan sosial yang perwujudannya berupa nilai-nilai dalam relasi sosial seperti status sosial,
prestise, eksistensi, dan citra, yang dinyatakan melalui berbagai komoditas yang diperoleh
dengan jalan konsumerisme. Implikasinya, kebutuhan-kebutuhan palsu yang diciptakan
dipenuhi sementara kebutuhan-kebutuhan sejati yang sebenarnya masih belum terpenuhi.
Hal ini terjadi sebagai akibat dari rangsangan dan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan palsu,
mereka memiliki apa yang (mereka pikir) mereka butuhkan dan inginkan.
Seorang tokoh posmodern, Jean Baudrillard (1998), memberi kontribusi berupa gagasannya
tentang masyarakat konsumsi. Menurutnya, masyarakat kontemporer saat ini dibentuk oleh
kenyataan bahwa manusia jaman ini dikepung oleh faktor konsumsi yang begitu nampak
dan konkret, yaitu dengan adanya multiplikasi objek, jasa, serta barang-barang
material. Lebih lanjut ia menunjukkan gagasan manusia dalam memenuhi kebutuhannya:
“the immediately self-evident, such as an analysis in term of needs, will never produce
anything more than a consumed reflection on consumption.” Pemikiran Baudrillard ini
menginterpretasikan bahwa sesungguhnya manusia tak pernah terpuaskan secara actual,
sehingga segala kebutuhannya pun tak akan pernah terpuaskan.
7 |
Ricuh Antrean BlackBerry
Gara-gara Bellagio, Jakarta "Mendunia"
Didik Purwanto | Reza Wahyudi | Minggu, 27 November 2011 | 11:35 WIB
KOMPAS.com - Sejumlah media asing ikut memberitakan penjualan diskon Blackberry Bellagio
yang ricuh pada Jumat (25/11/2011). Jakarta yang menjadi lokasi penjualan perdana Blackberry 9790
(Bellagio) makin "dikenal" masyarakat dunia.
RIM sengaja memilih lokasi Jakarta sebagai tempat peluncuran Blackberry Bellagio pertama di dunia.
Seminggu setelah peluncuran khusus bagi media, RIM juga sudah membuat geger karena
membagikan Blackberry Bellagio kepada seluruh undangan secara gratis. Sepekan kemudian, RIM
kembali membuat gempar dengan menyediakan Blackberry Bellagio yang didiskon 50 persen kepada
1000 orang pembeli pertama.
Seperti dikutip Slashgear, RIM sukses membuat Blackberry begitu populer bagi masyarakat
Indonesia, khususnya Jakarta gara-gara diskon besar ini. Masyarakat tumpah ruah untuk mengantri
dan sempat ada pembeli yang cedera serta pingsan. Sekitar 200 anggota polisi dan mobil ambulans
pun ikut berjaga-jaga mengamankan penjualan ponsel tersebut.
Media Phonesreview di Inggris menulis penjualan ponsel Blackberry di seluruh dunia mengalami
penurunan. Namun, penjualan ponsel tersebut di Indonesia justru mengalami kenaikan.
Selain itu, media tersebut menulis masyarakat di negara lain sudah berpindah membeli iPhone dan
ponsel Android, tapi Indonesia ternyata masih menjadi pasar terbesar bagi penjualan Blackberry.
Bahkan, Indonesia mendapat julukan "Blackberry Nation".
Pingsan Berebut pun Dijalani Koordinator Pemasaran dan Komunikasi PT Pacific Place Monica Cindy Nugroho awalnya mengaku
bangga lobi selatan malnya terpilih untuk peluncuran pertama di dunia ponsel pintar Blackberry Bold
9790 atau Bellagio.
Namun, kebanggaannya pupus. Acara peluncuran pada Jumat, 25 November, lalu itu berubah kacau
dan nyaris berbuah malapetaka. Ribuan orang berdesakan. Puluhan orang jatuh pingsan dan luka.
Polisi pun turun tangan.
”Sejak manajemen menyetujui, kami sudah meminta acara berlangsung dengan syarat ketat dan rinci,
termasuk keamanan,” kata Monica , Senin (5/12).
Kepolisian Resor Jakarta Selatan menetapkan empat orang sebagai tersangka, yaitu General Manager
Pacific Place; perwakilan produsen BB, yaitu Research in Motion/RIM; konsultan keamanan; dan
pengorganisasi acara. ”Mereka melanggar Pasal 360 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yaitu
tindak pidana yang menyebabkan orang lain terluka karena kelalaian. Ancamannya paling lama lima
tahun atau kurungan setahun,” ujar Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Jaksel Ajun Komisaris
Besar Budi Irawan, Senin. Mereka diduga gagal mengantisipasi situasi keamanan acara.
G A M B A R A N K A S U S
8 |
Peristiwa berawal dari iklan diskon 50 persen—harga menjadi Rp 2,3 juta—bagi 1.000 pembeli
pertama BB Bellagio. Inilah yang menarik minat ribuan orang. Pembelian disyaratkan memakai kartu
kredit sesuai identitas pengantre.
Pendaftaran dibuka Jumat pukul 09.00 dan penjualan dimulai pukul 10.00. Namun, sebagian orang
antre dari Kamis tengah malam, salah satunya Sonny (30), pegawai toko distributor ponsel di Roxy,
Jakarta Barat. Setelah mendaftar, dia mendapat gelang merah tanda punya KTP dan kartu kredit atas
namanya.
Apa lacur, menjelang tengah hari, antrean kacau. Paramedis Medic One, Dedi Hidayat, yang siaga
sejak pukul 06.00, mengaku menolong empat pengantre. ”Mereka butuh oksigen dan ada yang patah
lengannya. Saya lihat ada ambulans bolak-balik antar korban,” tuturnya.
Meski kekacauan terjadi, banyak pengantre tetap bertahan. Sonny baru meninggalkan tempat pukul
15.00 setelah diusir polisi yang membawa anjing pelacak.
”Saya sakit hati, kapok antre lagi,” ungkapnya, Selasa. Dia mengaku ingin memiliki ponsel
berteknologi lebih canggih pengganti ponsel lamanya. Menurut Sonny, kekacauan muncul setelah
panitia tak konsisten. Selain itu, ”Ada joki dibayar sampai Rp 1 juta.”
Karyawan swasta di Jelambar, Suwardjono (41), antre sejak pukul 06.00. ”Kaget waktu lihat antrean
berjubel, tetapi informasinya, gelang ditambah. Tetapi, kok tak ada. Daripada jadi korban, saya
pulang,” ujar Suwardjono.
Cita-cita Susanto (30) memberikan kejutan kepada istrinya juga kandas. Akan tetapi, ia lega bisa
selamat meski sempat terjepit di antara massa. ”Konyol kalau ingat kejadian itu,” kata pegawai asal
Ciputat, Tangerang Selatan, itu.
Kejar Diskon
Menurut praktisi teknologi informasi Onno W Purbo, motivasi antre cuma mengejar diskon, bukan
teknologi. ”Dari teknologi tak ada loncatan baru,” katanya.
Effendi Gazali, dosen di Universits Indonesia yang mendalami komunikasi politik, tak habis pikir ada
yang mengejar Rp 2,3 juta dengan mempertaruhkan nyawa. ”Tak mungkin ribuan orang dapat kalau
sudah ada 1.000 orang pertama. Jangan-jangan mereka berharap ada celah seperti kebiasaan KKN,”
kata dia.
Bagi dosen Fakultas Psikologi UI, Bagus Takwim, fenomena seperti itu tidak terlalu mengherankan.
”Bukan hanya teknologi baru, berebut BLT dan ketemu selebriti pun bisa rusuh dan makan korban,”
ujarnya.
Menurut Bagus, penyebabnya adalah ada faktor penguatan sosial tentang nilai produk. ”Kehadiran
teknologi juga ditandai dan dianggap penting untuk citra,” paparnya.
Tak ada informasi, dari 1.000 Blackberry Bellagio, berapa yang yang terjual. Kantor RIM yang
dihubungi via telepon tak merespons, sementara berita acara pemeriksaan kepolisian tak boleh didapat
wartawan. (har)
http://cetak.kompas.com/read/2011/12/09/0549551/pingsan.berebut.pun.dijalani
9 |
Ribuan Orang Antre Beli Blackberry Bellagio di Pacific Place
Roderick Adrian Mozes | Heru Margianto | Jumat, 25 November 2011 | 10:26 WIB
KOMPAS.COM/ RODERICK ADRIAN MOZES
Meski RIM hanya menjanjikan diskon 50 persen untuk 1.000 pembeli pertama BlackBerry Bold 9790 atau Bellagio pada penjualan perdana di Pacific Place, Jakarta, Jumat 925/11/2011), antrian calon pembeli
diperkirakan lebih banyak.
JAKARTA, KOMPAS.com - Ribuan orang mengantre untuk membeli Blackberry (BB) Bold 9790
(Bellagio) di Pacific Place, Jakarta, Jumat (25/11/2011). Produk baru RIM (Research in Motion) yang
diluncurkan pertama kali di Indonesia ini di jual perdana hari ini dengan potongan diskon 50 persen
bagi seribu pembeli pertama. "Sebagian dari mereka telah menunggu sejak kemarin malam, cuma kita
harus suruh pergi karena penjualan baru ada pagi ini," kata salah seorang sekuriti Pasific Place.
Penjualan perdana BB seri terbaru ini memang menggiurkan. Resminya, Bellagio dibanderol Rp
4,599 juta. Dengan diskon separuh harga, seribu pembeli pertama hanya perlu merogoh kocek sekitar
Rp 2,3 juta.
"Saya datang dari jam setengah lima pagi, dan berencana membelikannya untuk istri saya yang
berulang tahun," kata Abot (29). Ramainya orang yang membludak di kawasan itu membuat jalan
ditutup. Beberapa kali terlihat aksi saling dorong di tengah kerumunan pengantre.
10 |
FETISISME KOMODITAS TERHADAP BLACKBERRY
Kasus kisruh yang terjadi saat sejumlah massa mengantre Blackberry Bellagio yang dijual
dengan diskon 50 persen di Pacific Place dinilai mengundang keheranan banyak orang,
terutama karena penyebab rusuh adalah Blackberry, smartphone yang dinilai melekat
dengan orang terliterasi dan berkebutuhan akan teknologi. Telepon seluler itu pun hanya
boleh dibayar menggunakan kartu kredit sesuai identitas pengantre. Lokasi penjualan di mal
kelas atas Jakarta. Semua mengindikasikan para pengantre berasal dari kelas menengah
yang asumsinya punya kemampuan ekonomi dan rasionalitas cukup. Oleh karena itulah, jika
sampai terjadi keksiruhan yang sampai menyebabkan puluhan orang pingsan, tentu ada
suatu irasionalitas yang menjangkiti para pengantre tersebut, yang menjadi tanda tanya
besar, mengapa mereka rela berdesak-desakan demi membeli BB terbaru yang didiskon
setengah harga dan hanya boleh dibayar dengan kartu kredit?
Seperti yang sempat disinggung sebelumnya, kasus rusuhnya antrian masyarakat pada acara
peluncuran BB Bellagio merupakan sebuah fenomena yang meggambarkan bagaimana
fetisisme telah merasuki para konsumen teknologi dalam sistem sosial masyarakat di
Indonesia, yang notabene didominasi oleh kalangan menengah. Sebagaimana yang
dikatakan Mulvey (1963) mengenai fetisisme sebagai gaya hidup, dalam fenomena tersebut
dapat dilihat bahwa masyarakat Indonesia cenderung terjebak pada gaya hidup fetish
dengan berusha mati-matian mendapatkan BB Bellagio yang dijual separuh harga tersebut.
Sesuai dengan konsep fetisisme komoditas yang dikemukakan Marx dalam Das Kapital
(1954), orang-orang yang turut terlibat dalam antiran peluncuran BB Bellagio itu dapat
dipandang sebagai entitas yang terdominasi oleh sistem kapitalisme. Namun, sebagai pihak
yang berada dalam posisi subordinat, perilaku mereka justru merupakan suatu bentuk
adapatasi dan reproduksi kapitalisme. Operasionalisasi sistem kapitalis kelas menengah
bekerja melalui pembentukan kepercayaan akan nilai-nilai sebuah komoditas. Begitu juga
dengan kelas menengah yang menganggap Blackberry adalah alat pemuas kebutuhan.
Mereka seolah-olah tak mau kehilangan kesempatan ketika ada produk terbaru BB.
A N A L I S I S K A S U S
11 |
Kasus diskon ponsel hanya titik peledak untuk menyalurkan rasa frustrasi karena tidak puas
dengan keadaan diri. Berbagai acara di media, iklan, serta tren masyarakat sosial berusaha
menyampaikan bahwa Blackberry dapat memberikan kepuasan diri sebagai produk yang
melambangkan status sosial tinggi dan gaya hidup modern. Berbagai konstruk sosial
tersebut pada menumbuhkan sifat fetish dalam diri individu tersebut. Realitas mengenai
diskon Blacberry di atas menunjukkan fenomena fetisisme terhadap suatu produk, di mana
seorang individu tak lagi berbelanja secara rasional berdasarkan kebutuhan, tetapi hanya
demi kepuasan akan sebuah brand. Sifat fetish yang terbentuk dalam diri individu tersebut
membawanya pada suatu bentuk pemujaan terhadap berbagai komoditas atau wujud
kebendaan. Pada akhirnya, sistem kapitalisme menggiring perilaku konsumtif ini pada
belanja gaya hidup modern, bukan belanja fungsi barang tersebut.
Marx menjelaskan bahwa fetisisime komoditas merupakan jawaban mengapa komodifikasi
bisa mengamankan dominasi kapital. Hal ini bisa dilihat dari berbagai komoditas bermerk
Blackberry yang berhasil menanrik animo masyarakat, khususnya kelas menengah untuk
membeli dan mengonsumsinya. Komoditas tersebut sebenarnya merupakan hasil produksi
yang dijadikan sebagai objek pemuas kebutuhan. Melaui merk-merk yang melekat pada
komoditas itu, hadir hubungan sosial, hadir suatu konstruk sosial tentang citra, prestise, dan
status sosial yang terbentuk dalam diri seseorang ketika ia menggunakan Blackberry, apalagi
model terbaru. Produsen berbagai komoditas itu berusaha menancapkan suatu definisi diri
yang tersampaikan melalui merk BB Bellagio tersebut.
Fetisisme terhadap komoditas Blackberry ini merupakan cara bagaimana produsen produk
kapitalis seperti Blackberry menunjukkan bahwa asas pertukaran dapat memaksakan
kekuatannya secara khusus dalam benda-benda yang menjadi lambang kultural masyarakat.
Dalam kapitalisme, asas pertukaran akan selalu mendominasi asas manfaat karena roda
eksistensi kapitalis selalu berputar di sekitar produksi, konsumsi, dan pemasaran komoditas.
Konsekuensinya, diperlukan suatu kondisi di mana masyarakat merasa bahwa konsumsi
harus terus menerus dilakukan sebagai upaya memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh karena
itulah, produsen komoditas kapitalis berusaha menciptakan definisi sosial melalui sebuah
lambang produk atau brand Blackberry. Setelah brand tercipta, produsen kapitalis berusaha
membentuk definisi sosial dalam brand tersebut melalui konstruksi media, konstruksi media
ini membentu tren masyarakat, dan mempengaruhi masyarakat untuk melakukan
12 |
konformitas dengan kehidupan modern yang dilambangkan dalam produk tersebut. Ketika
masyarakat telah merasa bahwa ia harus konform secara sosial dengan menggunakan brand
Blackberry, produsen Blackberry ini terus menjaga agar masyarakat tetap membeli dan
membeli Blackberry dengan cara terus memproduksi dan memperbaharui produk-produk
Blackberry dengan tipe terbaru yang bisa jadi tak berisikan peningkatan teknologi secara
signifikan, hanya reka ulang model atau penambahan sedikit fitur.
Jika merujuk pada Bourdieu (1989), apa yang dilakukan produsen Blackberry tersebut
menunjukkan sistem reproduksi kapitalisme modern. Bourdieu (1989) menjelaskan ada dua
jalan para produsen kapitalis ini dapat mempertahankan sistem kapitalisme modern melalui
pola konsumsi masyarakat. Pertama, membuat inidvidu untuk mengkonsumsi secara gila-
gilaan dalam rangka melakukan mobilitas sosial vertical menjadi ‘kelas atas’. Contohnya ialah
upaya mobilisasi vertikal yang dilakukan orang-orang ketika mereka menginginkan membeli
produk Blackberry demi kepentingan prestisius. Namun yang terjadi adalah bukanlah orang-
orang tersebut tergolong sebagai kelas atas dengan memakai Blackberry, tetapi muncul
kelas menengah beranggotakan sekumpulan individu dalam jumlah besar yang memiliki
komoditas yang serupa, yaitu Blackberry. Terjadinya kelas menengah ini sangat tampak di
Indonesia dengan adanya kelompok masyarakat yang memiliki penghasilan mencukup tapi
tak besar dan memiliki daya beli yang luar biasa yang ditunjukkan dengan tingkat belanja
yang tinggi (Nielsen, dalam Kompas, 9 Desember 2011). Menurut Nielsen, kelas menengah
ini dapat ditandai dengan kepemilikan beberapa barang yang serupa, terutama barang-
barang konsumsi yang identik dengan kepraktisan, antara lain produk teknologi.
Fenomena kisuruhnya antrian BB Bellagio juga menunjukkan jalan kedua reproduksi
kapitalisme yang dilakukan para produsen dengan memebntuk siklus konsumsi melalui
produk yang plaing up-to-date. Dimulai dari kelas menengah yang berjumlah mayoritas terus
berebut menduduki hirarki sosial dalam sistem kelas dengan cara mengkonsumsi komoditas
‘high-end’ atau barang-barang yang paling mutakhir, salah satunya ialah Blackberry. Namun,
oleh para produsen, hal ini dimanfaatkan dengan jalan menciptakan dan memperbaharui
produk ‘high-end’ tersebut secara kontiyu dan gradual, yang terlihat dari maraknya produk-
produk BB masuk ke Indonesia dengan berbagai tipe dan rutin diperbaharui, mulai dari BB
Curve, BB Gemini, BB Apollo dan lain-lain yang diproduksi dnegan berbagai macam fitur dan
harga jual, disesuaikan untuk kelas atas atau kelas menengah.
13 |
Para pemilik BB yang memiliki model tertentu biasanya menunjukkan kecenderungan untuk
terus meng-upgrade tipe BB yang dimilikinya. Bellagio yang harga aslinya dibanderol sekita
4,6 juta rupiah ini cenderung diperuntukkan untuk masyarakat kelas atas. Ketika BB ini
akhirnya diluncurkan perdana, masyarakat kelas menengaj pun berlomba-lomba untuk
memanfaatkan kesempatan memiliki produk prestisius dengan harga yang cukup terjangkau.
‘Diskon peluncuran perdana’ membuat mereka seolah-olah merasa bahwa inilah kesempatan
langka yang datang hanya sekali untuk melakukan mobilitas sosial vertikal dengan membeli
produk BB prestisius. Keinginan masyarakat untuk terus memperbaharui produk Blackberry
iyang dimilikinya tersebut akhirnya membentuk pola konsumsi modern yang terjadi dalam
repetisi dan terwujud menjadi sebuah siklus ‘catch-up consumption’. Sehingga, yang terjadi
adalah berlangsungnya konsumsi terus menerus dan bertambahnya kelas menengah yang
terjebak dalam siklus tersebut (Lloyd, 2008). Pola konsumsi yang terus menerus itulah yang
membangun terjadinya fetisisme. Fetisisme bekerja dengan membangun kelas atas atau
penguasa kapital yang merencanakan pola konsumsi dan menciptakan kelas menengah
dalam jumlah massif untuk mengikuti pola konsumsi ‘kelas atas’ tersebut.
MEMBANGUN KONSUMERISME KELAS MENENGAH LEWAT BLACKBERRY
Ricuhnya antrian Blackberry yang pembelinya didominasi masyarakat kelas menengah
tersebut menunjukkan bahwa prosuksi kapitalisme berhasil menciptakan pasar untuk
mereproduksi sistem kapitalisme. Sistem produksi kapitalisme modern dengan sengaja
membangun kemakmuran bagi kelas pekerja menengah dengan tingkat pengendalian
idelogis tertentu dengan bertujuan menciptakan konsumerisme di kalangan kelas menengah
tersebut. Hal ini dibuktikan dari peningkatan pendapatan per kapita Indonesia di akhir tahun
2011 menjadi USD 3.269, padahal analis dari Golden & Sach memperkirakan pendapatan per
kapita Indonesia baru tumbuh menjadi USD3.000 pada tahun 2020. Naiknya pendapatan per
kapita ini dibareng dengan melonjaknya tingkat konsumsi di kalangan kelas menengah,
sehingga dari total pendapatan tersebut, hampir 80-90% habis dibelanjakan, bahkan ada
yang tingkat konsumsinya melebihi pendapatan (Nielsen, dalam Kompas, 9 Desember 2011).
Kondisi tingkat kemakmuran dan pembentukan gaya hidup konsumtif kelas menengah
masyarakat Indonesia tersebut sangat erat kaitannya dengan kapitalisme (Chaney, 1996).
Sistem kapitalisme dengan segala kebebasan produksinya telah mengkondisikan individu
14 |
pada pemikiran delusional mengenai status, kelas, posisi sosial, dan prestise, dan berbagai
pakem standar yang harus diikuti dalam kehidupan modern. Kapitalisme memastikan bahwa
keuntungan diperoleh melalui produksi yang memberi keuntungan sebanyak-banyaknya.
Salah satu produk kapitalis modern yang memiliki pengaruh terkuat kepada konsumen ialah
produk teknologi, seperti Blackberry ini. Melalui penciptaan sebuah brand yang mengandung
fitur khas di dalamnya, Blackberry berhasil menciptakan fetisisme terhadap brand ini, yang
membuat orang tak lagi rasional ketika melakukan pembelian Blackberry.
Kelas pekerja yang telah mengalami ‘kemakmuran’ ini pada dasarnya menginginkan untuk
mengonsumsi kemewahan Blackberry untuk membeli citra sosial yang dibangun di
dalamnya, bukan untuk memperoleh fungsi telepon genggam yang mereka butuhkan, atau
membeli teknologi yang ada di dalamnya. Sesuai dengan yang dikatakan pakar teknologi,
Onno W. Purbo, tak ada peningkatan teknologi dalam BB Bellagio terbaru ini. Masyarakat
hanya menginginkannya karena produk tersebut bermerk, dicitrakan sebagai lambang
modernitas, dan dijual dengan harga yang sangat menggiurkan. Meskipun masyarakat kelas
menengah ini telah mengalami kenaikan penghasilan, merek tetap kelompok yang
dihadapkan pada keterbatasan finansial, apalagi demi memuaskan hasrat konsumsinya.
Irasionalitas masyarakat dalam mengonsumsi produk Blackberry terbaru tersebut
menunjukkan adanya dorongan akan kebutuhan semu seperti yang didelaskan oleh Marcuse
(1972). Kebutuhan-kebutuhan palsu ini merupakan tuntutan sosial yang perwujudannya
berupa nilai-nilai dalam relasi sosial seperti status sosial, prestise, eksistensi, dan citra, yang
dinyatakan oleh produk Blackberry. Sehingga ketika diluncurkan produk Blackberry terbaru,
mau tidak mau masyarakat tentu tergoda dengan status sosial, prestise, dan citra yang bisa
didapatkan melalui Blacberry dan dan bisa diperoleh dengan setengah harga. Implikasinya,
kebutuhan-kebutuhan palsu terhadap pencitraan sosial yang dibentuk melalui produk
kapitalis ini membuat masyarakat bernafsu untuk memenuhinya, sementara kebutuhan-
kebutuhan sejati yang sebenarnya, seperti kebebasan diri, rasa aman, perlindungan terhadap
diri sendiri justru diabaikan. Hal ini terjadi sebagai akibat dari rangsangan kebutuhan-
kebutuhan palsu yang membuat mereka berpikir bahwa mereka harus memiliki apa yang
(mereka pikir) mereka butuhkan dan inginkan.
15 |
Oleh karena itu, masyarakat kelas menengah ini seperti tak mau ketinggalan untuk
mendapatkan produk mewah yang harganya didiskon sampai 50%. Mereka tak peduli
meskipun harus berdesak-desakan dan harus menggunakan kartu kredit untuk membelinya,
segala cara dilakukan untuk memuaskan hasrat memiliki produk terbaru Blackberry. Pola
perilaku konsumsi yang cednerung irasional ini menunjukkan bahwa sebagai sebuah
komoditas, Blackberry mampu mendominasi kesadaran orang lain. Ketika konsumerisme
membawa seorang konsumen pada suatu kebahagiaan ketika membeli Blackberry model
terbaru dan membuatnya tidak sadar akan kebutuhan akan keamanan diirinya, saat itulah
kapitalisme suskses mencipatakan fetisisme Blackberry dalam diri konsumen.
Fetisisme ini kemudian mendorong pada konsumerisme. Masyarakat yang telah fetis
terhadap Blackberry akan mudah terpengaruh untuk terus membeli dan mengonsumsi
Blackberry yang paling up-to-date. Hal ini ditopang dengan konstruksi media massa
terhadap produk Blackberry terbaru yang dinilai sesuai dengan gaya hidup modern dan
sesuai dengan kebutuhan masyarakat urban. Oleh karena itulah, sasaran penjualan produk
tersebut tak hanya kelas borjuis, tetapi telah mengarah kepada kelas menengah yang yang
didasarkan pada kemakmuran dan konsumerisme kalangan pekerja, serta bentuk-bentuk
kontrol sosial yang lebih umum melalui media massa dan budaya populer (Strinati, 2007).
Metode pembelian BB Bellagio yang menggunakan credit card juga semakin menguatkan
bahwa obral Blackberry ini hanyalah salah satu cara atau insentif yang diberikan kepada kelas
menengah untuk medorong mereka terus dan terus mengonsumsi ke depannya. Masyarakat
kelas menengah menjadi berpikir bahwa kartu kredit adalah barang yang identik dengan
gaya hidup modern dan harus dimiliki untuk dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan
modern tersebut. Fasilitas dan kemudahan yang ditawarkan melalui sistem kredit, juga
hadirnya kartu ajaib ‘credit card’ akhirnya menjadi solusi instan untuk memenuhi hasrat akan
produk-produk up to date. Dengan hanya menggesek kartu kredit, dalam sekejap barang-
barang mewah tersebut berada dalam genggaman. Meskipun barang-barang mutakhir
tersebut belum tentu menjadi kebutuhan, masyarakat tetap saja membelinya demi
membiayai prestise yang menjadi penunjang gaya hidup modern. Pola konsumsi berlebihan
dan cenderung irasional tersebut akhirnya membentuk individu-individu dalam kehidupan
modern menjadi masyarakat yang konsumtif yang tak pernah puas dalam membeli barang,
persis seperti yang dikatakan Baudrillard (1998) tentang wujud masyarakat konsumsi.
16 |
Berdasarkan paparan konseptual dan hasil analisis yang telah dilakukan, dapat disimpulkan
bahwa dari segi konseptual, fetisisme komoditas merupakan konsep yang awalnya
dirumuskan oleh Karl Marx tentang bagaimana sistem kapitalisme mengamankan moda
produksinya melalui pembentukan keyakinan dalam diri individu mengenai nilai dan relasi
sosial suatu hasil produksi. Dalam masyarakat kapitalis modern, fetisisme komoditas
merupakan cara untuk mempertahankan status quo kapitalisme melalui perilaku konsumsi
individu dalam kehidupan sehari-hari.
Fetisisme komoditas menekankan nilai pertukaran suatu barang dibanding nilai fungsinya,
sehingga dalam mengkonsumsi suatu produk, seorang individu lebih memikirkan nilai yang
ia peroleh dalam relasi sosial dari produk tersebut, dibanding fungsi produk tersebut untuk
memenuhi kebutuhannya. Hal inilah yang menciptakan sifat konsumtif dalam diri individu.
Akibatnya, terbentuklah suatu masyarakat pekerja kelas menengah yang selalu berusaha
mengkonsumsi komoditas kapitalis dengan tujuan memperoleh nilai sosial barang tersebut.
Fenomena konsumerisme yang terbentuk melalui fetisisme komoditas ini dapat dilihat dalam
kasus kisruh antrian BB Bellagio yang didiskon 50% pada peluncuran perdana di Indonesia.
Sebagian besar masyarakat yang terlibat dalam antrian tersebut adalah masyarakat kelas
menengah yang notabene memiliki literasi dan rasionalitas. Namun, fetisisme terhadap
komoditas Blackberry yang terbntuk dalam masyarakat kelas menengajh membuat mereka
tak lagi berbelanja secara rasional berdasarkan kebutuhan, tetapi hanya demi kepuasan akan
sebuah brand. Sifat fetish yang terbentuk dalam diri individu tersebut membawanya pada
suatu bentuk pemujaan terhadap berbagai komoditas atau wujud kebendaan.
Fetisisme ini kemudian mendorong pada konsumerisme. Masyarakat yang telah fetis
terhadap Blackberry akan mudah terpengaruh untuk terus membeli dan mengonsumsi
Blackberry yang paling up-to-date. Namun, oleh para produsen, hal ini dimanfaatkan dengan
jalan menciptakan dan memperbaharui produk tersebut secara kontiyu dan gradual,
sehingga membentuk siklus ‘catch-up consumption’ dan mengakibatkan berlangsungnya
bertambahnya kelas menengah dan membentuk masyarakat konsumtif.
P E N U T U P
17 |
Baudrillard, Jean. (1998). The Consumer Soceity: Myths and Structures. London: SAGE
Publications, Ltd.
Bourdieu, Pierre. (1989). “Social Space and Symbolic Power”. Sociological Theory Vol.7(1)
Burton, Graeme. (2005). Media and Society: Critical Perspectives. New Delhi : Rawat
Publication.
Lloyd, Gareth. (2008). Thesis. Commodity Fetishism and Domination: The Contributions of
Marx, Lukacs, Horkheimer, Adorno and Bourdieu. Rhodes University : School of Humanity.
Lewin, Haskell dan Jacob Morris. (1977). “Marx’s Concept of Fetishism”. Science and Society,
Vol. 41(2), 172-190.
Masniasari, Amelia. (2008). Miss Jinjing: Belanja Sampai Mati. Jakarta: Gagas Media.
Mohamad, Goenawan. (2010, 5 Juli). Repetisi. Kolom Catatan Pinggir dalam Majalah Tempo.
Diunduh dari http://www.tempointeraktif.com/hg/caping/2010/07/05/mbm.20100705.
CTP133997. id.html pada 26 Mei 2011 Pukul 14.30.
Mulvey, Laura. (1993). “Some Thoughts on Theories of Fetishism in the Context of
Contemporary Culture”. October Vol. 65, 3-20. The MIT Press.
Mulvey, Laura. (1996). Fetishism and Curiousity. London : British Film Institute.
Pambudy, Ninuk Mardiana. (2011, 9 Desember). “Siap Berubah dan Menuntut Perubahan”,
dalam Kompas, 46.
Redana, Bre. (2011, 9 Desember). “Hiperkonsumerisme, Hiperteks, Hipermedia” dalam
Kompas, 45.
Ripstein, Arthur. (1987, December). “Commodity Fetishism”. Canadian Journal of Philosophy
Vol. 17 (4), 733-748.
Strinati, Dominic. (2007). Popular Culture : Pengantar Menuju Teori Budaya Populer.
Terjemahan. Yogyakarta : Jejak.
Soedjatmiko, Haryanto, 2008, Saya Berbelanja, Maka Saya Ada, Yogyakarta: Jalasutra.
http://tekno.kompas.com/read/2011/11/27/11355290/Gara.gara.Bellagio..Jakarta.Mendunia
http://tekno.kompas.com/read/2011/11/25/10283387/Peminat.Bellagio.Membludak..Antrian.
Sempat.Ricuh
D A F T A R R E F E R E N S I