10
P A P E R & P R E S E N T A T I O N Pameran dan Rangkaian Seminar Ini Medan Demokrasi Bung Selasa - Jumat, 24 - 27 Mei 2011 Tempat: Gelanggang Mahasiswa Kampus USU Universitas Sumatera Utara - Medan Diselenggarakan atas kerjasama Friedrich-Ebert-Stiftung (FES) Indonesia dengan FISIP Universitas Sumatera Utara Kelompok Kerja Sosial Perkotaan (KKSP) Tempo Institute

Merawat Indonesia Merawat Pancasila

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Tulisan Bapak Asvi Marwan Adam

Citation preview

Page 1: Merawat Indonesia Merawat Pancasila

P A P E R & P R E S E N T A T I O N

Pameran dan Rangkaian Seminar

Ini Medan Demokrasi Bung

Selasa - Jumat, 24 - 27 Mei 2011

Tempat:

Gelanggang Mahasiswa Kampus USU

Universitas Sumatera Utara - Medan

Diselenggarakan atas kerjasama Friedrich-Ebert-Stiftung (FES) Indonesia

dengan

FISIP Universitas Sumatera Utara

Kelompok Kerja Sosial Perkotaan (KKSP)

Tempo Institute

Page 2: Merawat Indonesia Merawat Pancasila

1

MERAWAT INDONESIA, MERAWAT PANCASILA

Oleh Asvi Warman Adam

Di dalam sebuah diskusi yang diadakan oleh sebuah partai politik baru 26 Agustus 2003 di Jakarta

dengan pembicara Sitor Situmorang, Al Chaidar dan saya sendiri, terlontar sebuah ucapan bahwa di

akhir hayatnya Kartosoewirjo sempat berpesan kepada anak buahnya untuk meneruskan perjuangan,

“Amerika di belakang kita”, ujarnya. Pernyataan itu tentu memerlukan cek ulang maupun rujukan

pembanding.

Namun pernyataan semacam itu bukanlah tidak berdasar sama sekali. Amerika Serikat (AS) berada di

belakang PRRI/Permesta. AS juga membantu penumpasan PKI tahun 1965. Kita mengetahui bahwa

kelompok mujahidin yang berangkat ke Afganistan berperang melawan Uni Soviet telah berjuang bahu-

membahu dengan AS. Dalam perkembangan berikutnya justeru mereka menganggap AS sebagai

musuh.

Jika timbul sebuah gerakan (radikal) berlabel agama, lumrah bila orang bertanya, siapa atau instansi

mana yang berada di belakangnya. Apakah pihak asing atau dalam negeri? Bila unsur pemerintah,

siapa, BIN, polisi atau lembaga lain ? Ketika meletus Peristiwa Malari Januari 1974, terjadi kerusuhan

dan pembakaran di beberapa tempat termasuk di Senen. Menurut Jenderal Sumitro, para eks DI/TII

yang dibina pejabat intelijen Ali Murtopo ikut terlibat dalam peristiwa tersebut.

Ketika pecah lagi konflik Ahmadiyah, penyerangan Gereja Kristen, kasus NII (Negara islam Indonesia)

dan tertembaknya beberapa orang yang disebut polisi sebagai teroris, maka dengan mudah kita

berkesimpulan bahwa hubungan agama dengan negara dan masyarakat sampai saat ini masih

bermasalah. Dengan kata lain, penerapan sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa ternyata

belum berjalan dengan baik.

Terbitnya buku Yudi Latif, Negara Paripurna, Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila

(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010, 666 halaman) memberikan kesempatan untuk mengkaji

permasalahan mendasar negara dan bangsa Indonesia. Tentang perjalanan menjadi Indonesia yang

belum selesai akibat pengaruh dari luar dan dalam negeri (kepentingan pemerintah dan unsur

masyarakat serta individu) yang mungkin tidak sejalan bahkan bertabrakan. Tentang kondisi hari ini dan

prospek Indonesia masa depan.

Pancasila bukanlah obat bagi segala macam penyakit, namun ia bisa menjadi asas dan rambu-rambu

dalam menyelesaikan masalah bangsa. Sebagai ideologi dan falsafah negara, ia perlu diaplikasikan

dalam kegiatan pemerintahan dan kehidupan masyarakat.

Page 3: Merawat Indonesia Merawat Pancasila

2

Empat Gelombang Pancasila

Sejak pertama kali digagas tahun 1945 sejarah Pancasila dapat dibagi atas empat gelombang

melewati beberapa pemerintahan. Gelombang pertama adalah saat penciptaan, gelombang kedua

merupakan masa perdebatan, pada gelombang ketiga dilakukan rekayasa, sedangkan dalam gelombang

keempat terjadi penemuan kembali.

Tanggal 1 Juni 1945 Sukarno berpidato di depan sidang BPUPKI menjawab pertanyaan ketua

sidang Radjiman Wedyodiningrat tentang dasar Negara. Memang sudah ada tokoh yang tampil

sebelum Bung Karno seperti Supomo yang berpidato tentang perlunya rakyat, wilayah dan

pemerintahan. Supomo berbicara mengenai syarat berdirinya sebuah Negara bukan tentang tentang

dasar Negara. Pidato Sukarno disambut hangat dengan tepukan sangat meriah.

Pada rapat 22 Juni 1945 tim sembilan yang diketuai Sukarno mencantumkan tujuh kata “dengan

kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dalam rancangan pembukaan undang-

undang dasar 1945. Namun menjelang proklamasi kemerdekaan, Hatta menerima pesan dari masyarakat

Indonesia bagian Timur yang menolak masuk Indonesia bila pernyataan itu dipertahankan. Hatta

kemudian merundingkannya terutama dengan tokoh Islam. Akhirnya dalam UUD 1945 yang disahkan

pada tanggal 18 Agustus 1945, persoalan syariat itu tidak dimasukkan sedangkan sila pertama

dilengkapi menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh bapak-bapak pendiri Negara, Pancasila yang

menjadi bagian dari pembukaan tidak dituliskan sesuai dengan urutan dan rumusan tertanggal 1 Juni

1945 namun mengalami penyesuaian seperti yang kita kenal sekarang.

Masa perdebatan

Setelah pemilihan umum tahun 1955 terbentuk Konstituante yang bertugas merancang undang-

undang dasar. Ketika itu diperdebatkan apakah Pancasila sebagai dasar Negara atau ideologi lain. Para

tokoh Islam seperti M Natsir dan HAMKA dengan tegas mengajukan Islam sebagai pilihan. Para tokoh

itu berdebat dengan argumen yang disertai kata-kata yang sangat keras dan tajam. Partai-partai Islam

mendukung Islam sebagai dasar Negara. Sementara itu partai-partai nasionalis dan komunis

mempertahankan Pancasila.

Tidak ada pihak yang mencapai 2/3 jumlah suara, sehingga keputusan tidak dapat diambil.

Tanggal 5 Juli 1959 Presiden Sukarno mengeluarkan dekrit yang membubarkan Konstituante dan

menyatakan kembali ke UUD 1945. Berarti yang diakui adalah pancasila sebagai tercantum dalam

pembukaan UUD 1945 yang disahkan tanggal 18 Agustus 1945.

Masa rekayasa

Pada masa pemerintahan Suharto Pancasila dijadikan asas tunggal untuk partai dan organisasi

masyarakat. Awalnya ditentang berbagai organisasi namun pada akhirnya mereka tidak mempunyai

pilihan lain.

Sejak tanggal 1 Juni 1970, peringatan hari lahirnya Pancasila dilarang Kopkamtib. Jasa Sukarno

menggagas pertama Pancasila direduksi dengan menciptakan narasi sejarah baru bahwa ada orang lain

yang berpidato sebelum Bung Karno di sidang BPUPKI dan yang otentik memang pengesahan

Pancasila tanggal 18 Agustus 1945. Pada buku-buku sejarah yang digunakan di sekolah diajarkan

Page 4: Merawat Indonesia Merawat Pancasila

3

bahwa Pancasila merupakan karya seluruh bangsa Indonesia sejak dari zaman purbakala sampai masa

sekarang. Upaya Nugroho Notosusanto itu ditolak oleh panitia lima (Mohamad Hatta, Ahmad Subardjo,

AA Maramis, Sunario dan AG Pringgodigdo) yang pandangan mereka tidak digubris oleh pemerintah.

Pada tanggal 13 April 1968 dikeluarkan Keputusan Presiden tentang rumusan resmi Pancasila.

Tahun 1968 didirikan laboratorium Pancasila di Malang dan tiga tahun kemudian diterbitkan seri

laboratorium ini bersamaan dengan dokumen yang berisi sikap ABRI tentang Pancasila. TAP MPR

tentang penataran Pancasila dikeluarkan tahun 1978.

Pada era Orde Baru Pancasila dijadikan asas tunggal bagi semua partai politik dan organisasi

masyarakat tanpa kecuali. Ideologi ini dikampanyekan secara nasional dan lewat pendidikan sekolah.

Penataran dilakukan secara berjenjang dari tingkat direktur jenderal departemen sampai tingkat RT

dengan memakai anggaran negara. Dalam tempo sepuluh tahun telah ditatar sebanyak 72 juta warga

Negara. Hasilnya tidak jelas. Istilah Pancasila melebar sampai ada kesaktian Pancasila, sepakbola

Pancasila dan es campur Pancasila. Namun Pancasila yang diajarkan sudah direduksi menjadi sekian

butir-butir sifat yang yang harus dihafal. Pancasila juga digunakan sebagai alat pemukul bagi kelompok

yang kritis. Orang yang menolak tanahnya digusur atau dibeli murah dicap “tidak Pancasilais”.

Penemuan kembali

Pada awal reformasi, BP7 (Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan

dan Pengamalan Pancasila) dibubarkan sedangkan penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan

Pengamalan Pancasila) dihapuskan. Pancasila masih tetap diajarkan di sekolah dan perguruan tinggi

walaupun bukan lagi pelajaran/kuliah wajib. Secara bertahap peringatan hari lahirnya Pancasila

diselenggarakan kembali.

Walaupun pada mulanya ada rasa bosan dan jenuh terhadap penataran dan slogan Pancasila

yang selalu dikumandangkan rezim Orde Baru, namun kemudian muncul kerinduan kembali kepada

ideologi ini. Suasana kesulitan ekonomi yang dibayangi ancaman perpecahan menyebabkan masyarakat

menengok kembali kepada sesuatu yang bisa menjadi perekat bangsa. Yang tepat untuk itu adalah

Pancasila sebagaimana terbukti dalam sejarah.

Dari empat gelombang tersebut terlihat konflik dan konsensus masyarakat mengenai Pancasila.

Kalau kita sudah bersepakat Pancasila dapat dijadikan alat pemersatu, mengapa masih mencari yang

lain? Karena hal itu hanya menimbulkan konflik baru. Lebih baik perdebatan diarahkan bagaimana

mengimplementasikan masing-masing sila dalam menghadapi masalah internal dan eksternal kita

sebagai bangsa dan negara sesuai dengan perkembangan zaman. Sementara itu pendidikan Pancasila di

sekolah dan perguruan tinggi agar dilaksanakan dengan metode dan bahan yang lebih menyegarkan dan

diajarkan secara dialogis.

Five in One

Buku setebal 666 halaman yang ditulis oleh Yudi Latif selama dua tahun merupakan buku teks baru

tentang Pancasila yang membahas kelima sila dalam satu buku dan pada sisi lain dapat juga dilihat

sebagai dokumen tentang berbagai teori yang cukup memadai untuk membahas dan memperdebatkan

Pancasila. Sesuai dengan judulnya “historisitas, rasionalitas dan aktualitas”, maka masing-masing sila

diuraikan perspektif historis, perspektif teoritis-komparatif dan cara membumikan sila tersebut.

Page 5: Merawat Indonesia Merawat Pancasila

4

Mungkin ada satu-dua hal mengenai materi yang ditampilkan dapat diperdebatkan namun secara

keseluruhan buku ini disajikan secara sistematis.

Bagian pendahuluan membahas tentang proses kelahiran Pancasila yang dibagi oleh penulisnya menjadi

tiga tahap yakni “pembuahan” sejak tahun 1920-an, “perumusan” oleh BPUPK dan PPKI (29 Mei

sampai 18 Agustus 1945) dan “pengesahan” oleh PPKI (18 Agustus 1945). Walaupun bukan sejarawan,

penulisnya telah berupaya membuat pembabakan kronologis, sesuatu yang dapat dipuji. Tentu

periodisasi yang dilakukan dapat didiskusikan, apakah “pembuahan” Pancasila terjadi sejak tahun

1920-an atau sudah muncul lebih awal pada permulaan abad ke-20. “Pengesahan” yang hanya satu hari

atau mungkin hanya beberapa menit dianggap sebagai satu babakan, tentunya dengan tujuan untuk

menonjolkan aspek ini. Sebaliknya berkaitan dengan “Perumusan” yang berlangsung beberapa bulan,

maka tanggal lahir Pancasila 1 Juni 1945 tidak dianggap sebagai tonggak tersendiri.

Penceritaan proses di atas banyak mengutip buku AB Kusuma (2004) yang kiranya dapat dianggap

sebagai koreksi Risalah Sidang BPUPK dan PPKI terbitan Sekretariat Negara yang diterbitkan pada era

Orde Baru(1980). Buku AB Kusuma meluruskan apa yang direkayasa oleh Nugroho Notosusanto dan

M Yamin.

Sila Pertama

Penjelasan masing-masing sila diawali Yudi Latif dengan mengutip pidato Bung Karno 1 Juni 1945.

Sukarno mengatakan “Marilah kita di dalam Indonesia Merdeka yang kita susun ini, sesuai dengan itu,

menyatakan: Bahwa prinsip kelima daripada negara kita ialah Ke-Tuhanan yang berkebudayaan, Ke-

Tuhanan yang berbudi pekerti yang luhur, Ke-Tuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain”.

Tentulah yang diharapkan “berkebudayaan, berbudi pekerti luhur dan saling menghormati” itu manusia

yang percaya dan manyembah Tuhan.

Di dalam bagian teoritis-komparatif penulisnya menjelaskan hubungan antara agama dengan negara

menguraikan perkembangan konsep pemisahan (separasi) agama dengan negara yang kemudian diikuti

pula dengan menjadikan agama sebagai kegiatan privat (privatisasi) belaka. Ia di sini memberikan

solusi: dari separasi dan privatisasi ke diferensiasi. Agama itu tidak dipisahkan tetapi dibedakan dari

negara.

Di Indonesia terjadi gerakan ganda (doubled movement) antara sekularisasi dengan islamisasi. Usaha-

usaha kompromi dilaksanakan untuk menjaga keharmonisan antara pendukung ide-ide agama dan

“sekuler” kenegaraan. Hasil dialektika dari dua arus sejarah itu menjadikan Indonesia sebagai negara

yang khas seperti dilukiskan William E Shepard dengan istilah “secularism religious”, dalam hal ini

proses sekularisasi harus bernegosiasi dengan proses religiosasi.

Dibutuhkan toleransi kembar (twin tolerantion) atau toleransi timbal-balik; institusi agama dan negara

memiliki toleransi terhadap fungsi masing-masing dan serta menyadari batas otoritasnya. Ruslan

Abdulgani mengatakan “negara secara aktif dan dinamis membimbing, menyokong, memelihara dan

mengembangkan agama”, khususnya melalui departemen agama. Tetapi agama tidak menyatu dengan

negara, negara tidak didikte atau mewakili agama tertentu bahkan tidak pula memberikan keistimewaan

Page 6: Merawat Indonesia Merawat Pancasila

5

kepada salah salah satu agama. Secara lazim dikatakan Indonesia bukan „negara sekuler‟ dan juga

bukan „negara agama‟”.

Pandangan yang menuntut keistimewaan terhadap agama tertentu berdasarkan jumlah penganutnya

yang mayoritas. Hal ini berkaitan dengan “politik angka” yang tanpa disadari sebetulnya mempengaruhi

sikap dan hubungan umat beragama di Indonesia. Jumlah penganut agama Islam di tanah air lebih atau

kurang dari 90 %. Istilah “kristenisasi” pernah menjadi menakutkan karena itu akan mengubah angka

90 tadi. Satu orang pun sudah dianggap penting, seorang mualaf atau orang yang beragama non-Islam

dan kemudian masuk Islam, akan dielu-elukan. Sebaliknya seorang yang berpindah ke agama lain

dianggap murtad, sebutan yang jelas negatif.

Ada yang menganalisis bahwa masuk dan keluarnya Timor Timur yang penduduknya mayoritas

Katholik terkait dengan “politik angka” tadi. Jadi pendukung masuknya daerah itu adalah Jenderal

Benny Murdani dengan sokongan pemikiran think tank CSIS yang beragama Khatolik. Sedangkan

lepasnya Timor Timur terjadi semasa pemerintahan BJ Habibie dengan masukan dari CIDES dan ICMI.

Tentu saja analisis itu sangat menyederhanakan persoalan, namun sekali lagi dalam konteks ini angka

jumlah umat itu dianggap sangat signifikan.

Itulah sebabnya terjadi resistensi yang kuat ketika ada usulan menghapus kolom agama pada KTP.

Tidak ada persoalan ketika kolom suku bangsa dihapus pada masa Orde Baru karena dianggap itu

SARA. Sementara kolom agama tetap dipertahankan karena itu terkait dengan jumlah yang ingin

dihitung dan diperhitungkan.

Keributan mengenai Ahmadiyah belakangan ini menimbulkan tanda tanya besar bagi saya. Setelah 80

tahun lebih mengapa masalah ini baru berdarah-darah sekarang. Dari dulu telah ada perdebatan. Bahkan

sudah ada fatwa Muhammadiyah yang mengatakan orang Islam yang percaya kepada Rasul setelah

Muhammad SAW adalah kafir. Juga ada larangan bagi pengikut Muhammadiyah untuk mengikuti

dakwah Ahmadiyah. Namun saat itu tidak ada serangan maut atau pembunuhan terhadap warga

Ahmadiyah.

Dari salah satu aspek sejarah, saya melihat bahwa pendiri Ahmadiyah di Indonesia sebetulnya

bersaudara dengan pendiri NU dan Muhammadiyah. Ahmad Djojosugito yang memimpin Ahmadiyah

adalah saudara sepupu dari pendiri NU Hasyim Asyhari dan Wahab Chasballah. Irfan Dahlan putra dari

perintis Muhammdiyah “Sang Pencerah” Ahmad Dahlan belajar Ahmadiyah ke India dan pernah

menjadi pengurus Ahmadiyah. Oleh sebab itu persoalan ini seyogianya diselesaikan dengan cara

persaudaraan tanpa berbunuh-bunuhan.

Sila kedua

“Tetapi tanah air kita Indonesia hanya satu bahagian kecil saja daripada dunia! Ingatlah akan hal ini !

Gandhi berkata „Saya seorang nasionalis, tetapi kebangsaan saya adalah perikemanusiaan, my

nationality is humanity…Kita bukan saja harus mendirikan Negara Indonesia merdeka, tetapi harus

menuju pula kepada kekeluargaan bangsa-bangsa…Inilah filosofisch principle yang nomor dua, …

yang boleh saya namakan internasionalisme. Tetapi jikalau saya katakana internasionalisme, bukanlah

saya bermaksud kosmopolitanisme, yang tidak mau adanya kebangsaan”, demikian pidato Bung Karno

tanggal 1 Juni 1945.

Page 7: Merawat Indonesia Merawat Pancasila

6

Dalam menguraikan sila kedua ini Yudi Latif membahas tentang teori yang dikemukakan Denys

Lombard tentang empat nebula atau mega budaya yang mempengaruhi peradaban Nusantara, yakni

nebula yang berasal dari India, Arab, China dan Eropa. Dijelaskan sumbangan keempatnya bagi

kebudayaan lokal. Namun yang disebutkan dalam buku ini bahwa sejak Orde Baru, sumbangsih

kebudayaan China itu dihilangkan dalam buku pelajaran sejarah di sekolah.

Bagian lain menguraikan tentang politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif yang sebetulnya

merupakan perpaduan antara teori “idealism politik” dan “realism politik”. Juga disinggung mengenai

perspektif HAM (universalisme versus parti`kularisme) dan persoalan HAM dan kaitannya dengan

masalah globalisasi. Tentu juga relevan sebetulnya diulas tentang pelanggaran HAM berat di Indonesia

terutama pada era Orde Baru dan penyelesaiannya.

Masalah intervensi atau campur tangan asing di Indonesia tergambar dalam arsip Kedutaan Besar AS di

Jakarta yang dikirimkan kepada Menteri Luar Negeri AS di Washington bahwa tanggal 15 Desember

1965 Suharto dengan naik helikopter terbang menuju istana Cipanas (pada arsip Kedubes dikatakan di

pinggir Jakarta, namun dalam memoir Dubes Marshal Green disebutkan Cipanas) . Ketika itu sedang

berlangsung rapat membahas pengambilalihan perusahaan minyak AS Caltex yang dipimpin oleh

Waperdam Chaerul Saleh. Suharto turun dari helikopter, masuk ruangan dan mengatakan bahwa AD

tidak setuju nasionalisasi Caltex, lalu pergi. Adegan yang dramatis ini menggambarkan maneuver

Suharto di saat genting, siapa yang menyuruh Suharto melakukan hal tersebut. Jelas bukan Presiden

Sukarno yang saat itu sudah digerogoti kekuasaannya.

Sila ketiga

“Kita hendak mendirikan suatu negara “semua untuk semua”… Karena itu, jikalau tuan-tuan terima

baik, marilah kita mengambil sebagai sebagai dasar negara yang pertama: Kebangsaan Indonesia.

Kebangsaan Indonesia yang bulat! Bukan kebangsaan Jawa, bukan kebangsaan Sumatera, bukan

kebangsaan Borneo, Sulawesi, Bali atau lain-lain, tetapi kebangsaan Indonesia yang bersama-sama

menjadi dasar satu nationale staat.” (Sukarno, 1 Juni 1945).

Di dalam buku Negara Paripurna ini diuraikan Kehidupan Manusia Purba di Nusantara ini serta

munculnya nasionalisme purba, nasionalisme tua dan nasionalisme modern. Nasionalisme purba

mengaju kepada pemberontakan yang dilakukan kerajaan di Indonesia atau tokoh-tokohnya.

Nasionalisme tua muncul sejak akhir abad ke-19 sedangkan nasionalisme modern pada dekade 1920-an.

Tentu saja periodisasi ini dapat dikritik baik pembagiannya maupun durasinya. Batas wilayah Indonesia

serta prinsip kewarganegaraan juga disinggung.

Dalam kaitan dengan masa sekarang, kita sangat membutuhkan persatuan bangsa justeru tatkala gejala

disintegrasi bangsa itu mengemuka terutama dalam kasus Aceh (dulu) dan Papua. Bahkan sempat

terdengar tuntutan Riau Merdeka, walau kemudian dengan cepat tersapu angin lalu. Dalam sengketa

perbatasan dengan Malaysia, lepasnya pulau Ligitan dan Sipadan menorehkan trauma bagi bangsa kita.

Begitu mencuat kasus Ambalat sekelompok pemuda di Jawa Tengah melakukan cap jempol darah dan

siap untuk diterjunkan di Ambalat. Jelas ini nasionalisme yang picik, mereka pikir Ambalat itu nama

sebuah pulau, padahal zona di dasar laut.

Page 8: Merawat Indonesia Merawat Pancasila

7

Terhadap klaim budaya milik Malaysia seperti lagu atau tari sebaiknya direspons dengan cerdas. Tidak

dengan slogan “Ganyang Malaysia”. Bahkan sebaliknya, bila Malaysia mengakui suatu budaya

Indonesia sebagai milik mereka, kita bisa berkata, karena budaya kita sudah sama, maka seyogianya

Malaysia bergabung saja dengan Indonesia.

Kasus Ibrahim Jacoob menarik untuk disampaikan di sini. Tanggal 14 Agustus 1945 ketika Sukarno

singgah di Taiping, Perak dalam perjalanan pulang dari Dalat, Vietnam, ia ditemui Ibrahim Jacoob

pimpinan pemuda Malaya. Ibrahim mendukung kemerdekaan Indonesia dan menyatakan sebaiknya

bersama-sama dengan Malaya dalam suatu wadah Indonesia Raya.

Ketika Bung Karno sampai di Jakarta ia memperoleh desakan dari para pemuda sehingga pesan Ibrahim

Jacoob terabaikan sama sekali. Namun beberapa hari kemudian Ibrahim Jacoob bersama istri dan

beberapa orang kawannya terbang ke Jakarta karena diburu oleh tentara Inggris. Sukarno

mempersilakan mereka untuk tinggal di Indonesia bahkan ketika pemerintahan pindah ke Yogyakarta

Ibrahim Jacoob ikut ke sana bekerja pada Markas Besar Tentara Indonesia urusan hubungan luar negeri.

Ibrahim Jacoob menjadi warganegara Indonesia, ia aktif di Partindo dan pada awal Orde Baru sempat

menjadi calon parlemen dari Partai Murba. Pada masa Sukarno ia menjadi anggota MPRS mewakili

propinsi Riau. Semasa tinggal di Indonesia ia masih tetap berhubungan dengan teman-temannya di

Malaysia dan berkampanye tentang Indonesia Raya. Ibrahim Jacoob dan istrinya dimakamkan di Taman

Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.

Kalau terbentuk Indonesia Raya yang terdiri dari Indonesia dan Malaysia, maka persoalan TKI

hanyalah masalah antar propinsi.

Sila keempat

“Saya yakin bahwa syarat mutlak untuk kuatnya Negara Indonesia ialah permusyawaratan, perwakilan.

Kalau kita mencari demokrasi, hendaknya bukan demokrasi Barat, tetapi pemusyawaratan yang

member hidup.” Demikian pernyataan Bung Karno tanggal 1 Juni 1945.

Pada bab ini dijelaskan pandangan HOS Tjokroaminoto, Tan Malaka, Sukarno, Hatta, Sjahrir tentang

demokrasi. Juga diuraikan stimulus demokrasi desa, stimulus Islam atas demokrasi dan situmulus Barat

terhadap demokrasi. Namun kata kunci dalam demokrasi ala Indonesia adalah “hikmah kebijaksanaan‟.

Dewasa ini kita mengalamai perkembangan pesat dalam berdemokrasi. Bukan hanya konstitusi yang

berubah beberapa kali, namun juga lembaga serta cara menjalankan demokrasi. Kini terdapat DPD dan

Mahkamah Konstitusi. Pemilihan langsung dilakukan untuk memilih Presiden, Gubernur, Bupati/Wali

Kota. Perimbangan keuangan daerah-pusat menjadi lebih baik bagi daerah. Namun apakah itu termasuk

pemekaran wilayah sudah menjamin kesejahteraan rakyat ? Apakah perubahan demokrasi yang

berlangsung cepat itu sudah sesuai dengan “hikmat kebijaksanaan” ?

Sila kelima

“Prinsip no 4 sekarang saya usulkan… yaitu prinsip kesejahteraan, prinsip tidak akan ada kemiskinan di

dalam Indonesia merdeka”, ujar Sukarno tanggal 1 Juni 1945.

Page 9: Merawat Indonesia Merawat Pancasila

8

Apakah kemiskinan sudah lenyap dari Indonesia. Masih terdapat jutaan rakyat miskin dan lebih banyak

lagi yang menganggur. Kriteria orang miskin dan penganggur (terbuka) itu ternyata bisa diatur.

Buku ini membahas pemikiran ekonomi pra-merkantilis, ekonomi merkantilis dan ekonomi pasca-

merkantilis. Apakah semuanya itu bisa mewujudkan masyarakat yang “gemah ripah loh jinawi, tata

tentrem kerta raharja”?

Dengan menggali lapis demi lapis lintasan sejarah perjuangan bangsa, buku Negara Paripurna ini

menemukan bahwa warisan terbaik para pendiri bangsa adalah “politik harapan” (politics of hope)

bukan “politik ketakutan” (politics of fear). Republik ini berdiri di atas tiang harapan: merdeka, bersatu,

berdaulat, adil dan makmur. Jika kita kehilangan harapan, kita kehilangan identitas sebagai bangsa

Indonesia.

Indonesia menyebut negerinya tanah air. Selama masih ada lautan yang bisa dilayari, selama masih ada

tanah yang bisa ditanami, selama itu pula masih ada harapan.

BIODATA ASVI WARMAN ADAM

Dr Asvi Warman Adam, Ahli Peneliti Utama pada Pusat Penelitian Politik LIPI.

Lahir di Bukittinggi, 8 Oktober 1954.

Menempuh pendidikan di UGM Yogyakarta (lulus sarjana muda sastra Perancis 1977) dan UI Jakarta

(sarjana sastra Perancis tahun 1980). Bekerja tiga tahun sebagai wartawan majalah Sportif sebelum

masuk LIPI tahun 1983.

Tahun 1984 belajar pada EHESS (Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales) Paris sampai tahun

1990. Menjadi lektor bahasa dan sastra Indonesia pada Institut National des Langues et Civilisations

Orientales, Universite de la Sorbonne Nouvelle, Paris III, tahun 1984-1986.

Lulus doktor sejarah dari EHESS Paris tahun 1990 dengan disertasi tentang hubungan Hindia Belanda

dengan Indochina pada era kolonial “Les Relations entre les Indes Neerlandaises et l’Indochine 1870-

1914” di bawah bimbingan Prof Denys Lombard. Sepulangnya ke Indonesia tahun 1990 meneliti di

LIPI tentang masalah Vietnam, Kamboja dan ASEAN. Sejak tahun 1998 sering menulis tentang

rekayasa sejarah Orde Baru dan historiografi Indonesia dari perspektif korban (termasuk puluhan kata

pengantar buku sejarah).

Menulis buku 1) Pelurusan Sejarah Indonesia (Ombak, 2004 dan 2007 revisi), 2) Suharto: Sisi Gelap

Sejarah Indonesia (Ombak, 2004 dan 2006), 3) Menggugat Historiografi Indonesia (ditulis bersama

Page 10: Merawat Indonesia Merawat Pancasila

9

dengan Bambang Purwanto, Ombak, 2005, 4) Seabad Kontroversi Sejarah (Ombak, 2007), 5)

Membedah Tokoh Sejarah (Hidup atau Mati) (Ombak, 2009), 6 Membongkar Manipulasi Sejarah,

(Penerbit Buku Kompas, 2009), 7) Biografi Sarwono Prawirohardjo (LIPI Press, 2009), 8) 1965:

Orang-Orang di Balik Tragedi (Galangpress, 2009), 9) Menguak Misteri Sejarah(Penerbit Buku

Kompas, 2010), 10) Sukarno Dibunuh Tiga Kali: Tragedi Bapak Bangsa Tragedi Indonesia (Penerbit

buku Kompas, 2010).

Pengurus Pusat MSI (Masyarakat Sejarawan Indonesia) sejak tahun 1996. Menjadi anggota tim

Pengkaji Pelanggaran HAM Berat Soeharto yang dibentuk Komnas HAM tahun 2003. Menjadi nara

sumber pada CAVR Timor Leste tahun 2004 dan Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia-Timor

Leste tahun 2008. Anggota Dewan Pakar Yayasan Nabil (Nation Building) sejak tahun 2007. Penasihat

Tim Penggalian Makam Tan Malaka tahun 2009. Memperoleh anugerah Nabil Award tahun 2010.

Visiting Fellow pada KITLV Leiden tahun 2005. Mengikuti workshop “Fighting Impunities and

Promoting International Justice”, Bangkok, 27-28 April 2009. Menjadi pembicara dalam seminar “The

1965-1966 Indonesian Killings Revisited”, Singapura, 17-19 Juni 2009. Sebagai pembicara dalam

seminar “Apakah Suharto Layak Sebagai Pahlawan Nasional?”, Hotel Lorin, Surakarta, 9 Juli 2009.

Pembicara dalam “Seminar Pengusulan Ali Sadikin sebagai Pahlawan Nasional”, Balai Agung DKI, 5

Mei 2010. Menyampaikan paper “Ethnic Chinese and The Teaching of History in Indonesia” dalam

konferensi internasional ISSCO (International Society for the Studies of Chinese Overseas) ketujuh, di

Singapura, 7-9 Mei 2010. Pemakalah dalam “Sarasehan Pancasila” yang diadakan Pusat Penelitian

Pancasila, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 19-20 Mei 2010. Pembicara dalam seminar

sarasehan kebudayaan pada hari lahir Pancasila, 1 Juni 2010 di Gedung Pola Jakarta. Pembicara dalam

seminar menggugat regulasi pelarangan buku di Wisma Antara, 15 Juni 2010. Pemakalah dalam

seminar Kebangkitan Nasional “Sarekat Islam menuju Indonesia merdeka” pada Museum Kebangkitan

Nasional, Jakarta, 16 Juni 2010. Pembahas pada bedah buku Sukarno, “Indonesia Menggugat” di

Gedung Joang, Jakarta, 30 Juni 2010.