View
213
Download
27
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Laporan Awal Praktikum Metalografi DMM FTUI
Citation preview
Gambar 1.1 Sampel mounting
MODUL I
PREPARASI SAMPEL
1.1 Mounting
1.1.1 Tujuan
Mounting pada sampel bertujuan untuk menempatkan sampel pada suatu
media, untuk memudahkan penanganan sampel yang berukuran kecil dan tidak
beraturan dengan tanpa merusak sampel.
1.1.2 Dasar Teori
Pada dasarnya, sampel
yang diuji berukuran sangat
kecil atau memiliki bentuk yang
tidak beraturan sehingga sangat
sulit untuk ditangani khususnya
ketika dilakukan pengamplasan
dan pemolesan akhir. Sebagai contoh adalah spesimen yang berupa kawat,
spesimen lembaran logam tipis, potongan yang tipis, dll. Untuk memudahkan
penanganannya, maka spesimen – spesimen tersebut harus ditempatkan pada
suatu media (media mounting).
Adapun syarat – syarat yang harus dimiliki bahan mounting adalah[1][2]
:
1. Tidak bereaksi dengan material maupun zat etsa (inert)
2. Sifat eksotermis, viskositas, dan penyusutan linier rendah
3. Sifat adhesi baik
4. Tahan terhadap panas selama gerinda dan poles
5. Tidak mudah pecah, memiliki kekerasan yang sama dengan sampel
6. Kemampualiran yang baik, dapat menembus pori, celah, dan bentuk
ketidakteraturan yang terdapat pada sampel
7. Konduktif (khusus untuk etsa elektrolitik dan pengujian SEM)
Gambar 1.2 Mounting pada sampel
Cetakan mounting umumnya memiliki diameter sekitar 25 mm (1 inch), 32
mm (1,25 inch), 38 mm (1,5 inch), atau disesuaikan dengan stage dari mikroskop.
Teknik mounting bisa dilakukan menggunakan teknik pemanasan atau suasana
temperatur kamar. Spesimen yang tidak tahan panas tidak boleh dimounting
panas, harus menggunakan mounting dingin. Mounting dingin biasanya dilakukan
menggunakan polimer tertentu[2]
.
Pada umumnya mounting menggunakan material plastik sintetik.
Materialnya dapat berupa resin (castable resin) dan thermosetting mounting.
Resin (castable resin) biasa dicampur dengan hardener atau bakelit. Penggunaan
castable resin lebih mudah dan alat yang digunakan lebih sederhana dibandingkan
bakelit, karena tidak diperlukan aplikasi panas dan tekanan. Namun bahan
castable resin ini tidak memiliki sifat mekanis yang baik (lunak) sehingga kurang
cocok untuk material-material yang keras. Variabel yang sangat penting dalam
proses castable mounting adalah komposisi atau rasio dari resin dan hardener
serta kecepatan pengadukan dari campuran resin dan hardener. Jika variabel
tersebut tidak dijaga dengan baik, maka akan terjadi cacat dalam mounting yang
mengganggu proses selanjutnya. Resin yang sering dipakai dalam proses castable
ini adalah epoxy, acrylic, dan polyester[3]
.
Selain castable resin, dapat pula
digunakan thermosetting mounting
dengan menggunakan material bakelit.
Mounting dengan menggunakan bahan
ini adalah mounting yang paling baik.
Material ini berupa bubuk yang tersedia
dengan warna yang beragam.
Thermosetting mounting membutuhkan
alat khusus, karena dibutuhkan aplikasi
tekanan (4200 lb/in2) dan panas (149
0C) pada mold saat mounting. Variabel yang
berpengaruh pada proses compression mounting adalah tekanan dan temperatur.
Bakelit banyak digunakan untuk proses compression mounting karena
penggunaannya yang sederhana, hasil yang baik dan biaya yang relatif rendah.
1.1.3 Prosedur Percobaan
1.1.3.1 Alat dan Bahan
1. Cetakan
2. Resin + Hardener
3. Sampel
4. Solatip
5. Pengaduk
1.1.3.2 Flowchart Proses
Castable Mounting
Mulai
Siapkan cetakan
Letakan sampel pada dasar cetakan
Siapkan resin 1/3 bagian cetakan
Campurkan resin dengan 15 tetes hardener
Tuangkan resin + hardener ke dalam cetakan
Tunggu 25 – 30 menit
Tunggu 25 – 30 menit
Keluarkan mounting dari cetakan
Selesai
Thermosetting Mounting
Mulai
Siapkan sampel
Letakan sampel pada permukaan piston
Pengaturan tekanan piston
Pengaturan alat mounting + penuangan bubuk bakelit
Pasang balok pendingin
Turunkan tekanan
Keluarkan mounting dari cetakan
Selesai
Atur piston
Gambar 1.4 Mikrostruktur permukaan Copper hasil pengamplasan
Gambar 1.3 Proses grinding
1.2 Pengamplasan/Grinding
1.2.1 Tujuan
Pengampalasan (grinding) bertujuan untuk meratakan dan menghaluskan
permukaan sampel dengan cara menggosokan sampel pada kain abrasif/amplas.
1.2.2 Dasar Teori
Sampel yang baru saja dipotong, atau
sampel yang telah terkorosi memiliki
permukaan yang kasar. Permukaan yang kasar
ini harus diratakan agar pengamatan struktur
mudah untuk dilakukan. Pengamplasan
dilakukan dengan menggunakan kertas amplas
yang ukuran butir abrasifnya dinyatakan
dengan mesh (120, 240, 320, 400, 600, 800, 1000, 1200 #). Urutan pengamplasan
harus dilakukan dari nomor mesh yang rendah (hingga 150 mesh) ke nomor mesh
yang tinggi (800 hingga 1200 mesh) tujuannya adalah untuk menghilangkan hasil
goresan dari pengamplasan sebelumnya[3]
.
Ukuran grit pertama yang dipakai tergantung pada kekasaran permukaan
dan kedalaman kerusakan yang ditimbulkan oleh pemotongan[1]
. Lihat tabel 1.1
berikut:
Tabel 1.1 Ukuran grit pada pengamplasan pertama dengan alat potong yang berbeda
Jenis alat potong Ukuran kertas amplas (grit)
untuk pengamplasan pertama
Gergaji pita 60 – 120
Gergaji abrasif 120 – 240
Gergaji kawat / intan
kecepatan rendah
320 – 400
Hal yang harus diperhatikan pada saat pengamplasan adalah pemberian
air. Dalam hal ini air berfungsi sebagai pemindah geram dan memperpanjang
masa pemakaian kertas amplas. Hal lain yang harus diperhatikan adalah ketika
melakukan perubahan arah pengamplasan, maka arah yang baru adalah 45o atau
90o terhadap arah sebelumnya dengan tujuan menghilangkan goresan pada tahap
sebelumnya. Bahan amplas yang umum adalah SiC, Al2O3, atau intan[2]
.
Tabel 1.2 Fungsi bahan amplas SiC, Al2O3, dan intan
SiC Alumina Intan
Abrasif SiC merupakan
hasil reaksi temperatur
tinggi antara silika dan
karbon. Material ini
memiliki kekerasan
hingga mendekati 2500
HV. Untuk preparasi
metalografi, SiC
digunakan untuk melapis
kertas grinding abrasif
(amplas) dalam rentang
bervariasi, dari sangat
kasar 60 grit hingga
sangat halus 1200 grit.
Alumina merupakan
material yang terbentuk
secara alami dari bauksit.
Kekerasannya dapat
mencapai 2000 HV.
Abrasif Alumina sering
digunakan sebagai
tahapan akhir dalam
pemolesan dikarenakan
kekerasan dan
ketangguhannya yang
tinggi.
Merupakan material yang
paling keras sampai saat
ini. Kekerasannya sekitar
8000 HV dan 10 dalam
skala Mohs. Memiliki
struktur kristal kubik dan
tersedia dalam bentuk
alami maupun buatan.
Meskipun diamong ideal
untuk grinding kasar,
namun harganya yang
relatif mahal membuat
proses tersebut menjadi
tidak lagi efisien.
1.2.3 Prosedur Percobaan
1.2.3.1 Alat dan Bahan
1. Sampel
2. Kertas amplas berbagai ukuran (120, 240, 320, 400, 600, 800, 1000,
1200 #)
3. Mesin amplas
4. Air
1.2.3.2 Flowchart Proses
Mulai
Potong kertas amplas dan pasang pada mesin amplas
Nyalakan mesin dengan kecepatan rendah sambil tuang air secara kontinyu
Pengamplasan
Lakukan dengan variasi ukuran kertas amplas dan kecepatan mesin amplas
Selesai
1.4 Pemolesan/Polishing
1.4.1 Tujuan
Pemolesan bertujuan untuk mendaptkan permukaan sampel yang halus dan
mengkilat seperti kaca tanpa gores.
1.4.2 Dasar Teori
Setelah diamplas sampai halus, sampel harus dilakukan pemolesan.
Pemolesan bertujuan untuk memperoleh permukaan sampel yang halus bebas
goresan dan mengkilap seperti cermin dan menghilangkan ketidakteraturan
sampel hingga orde 0.01 μm. Seperti halnya pengamplasan, pemolesan juga
dilakukan dari yang kasar ke yang lebih halus. Pemolesan kasar dapat dilakukan
dengan tangan dengan arah pemolesan tegak lurus dengan arah pengampelasan
terakhir. Pada pemolesan halus dapat dilakukan dengan tangan atau dengan
pemoles otomatis. Selama proses pemolesan, spesimen harus digerakkan
kontinyu dan diputar-putar, untuk mencegah timbulnya ekor komet[4]
.
Permukaan sampel yang akan diamati di bawah mikroskop harus benar-
benar rata. Apabila permukaan sampel kasar atau bergelombang, maka
pengamatan struktur mikro akan sulit untuk dilakukan karena cahaya yang datang
dari mikroskop dipantulkan secara acak oleh permukaan sampel. Hal ini dapat
dijelaskan pada gambar berikut[2]
:
Gambar 1.5 Permukaan halus (kiri) dan permukaan kasar (kanan)
Tahap pemolesan dimulai dengan pemolesan kasar terlebih dahulu
kemudian dilanjutkan dengan pemolesan halus. Ada 3 metode pemolesan antara
lain yaitu sebagai berikut[5]
:
a. Pemolesan Mekanis
Proses polishing biasanya multistage karena pada tahapan awal
dimulai dengan penggosokan kasar (rough abrasive) dan tahapan
berikutnya menggunakan penggosokan halus (finer abrasive) sampai
hasil akhir yang diinginkan. Mesin poles metalografi terdiri dari
piringan berputar dan diatasnya diberi kain poles terbaik yaitu kain
“selvyt” (sejenis kain beludru). Cara pemolesannya yaitu benda uji
diletakkan diatas piringan yang berputar dan kain poles diberi air serta
ditambahkan sedikit pasta poles. Pasta poles yang biasa dipakai adalah
jenis alumina (Al2O3) dan pasta intan.
b. Pemolesan Kimia Mekanis
Merupakan kombinasi antara etsa kimia dan pemolesan mekanis yang
dilakukan serentak di atas piringan halus. Partikel pemoles abrasif
dicampur dengan larutan pengetsa yang umum digunakan untuk
melihat struktur spesimen yang dipreparasi. Metode ini akan
memberikan hasil yang baik jika larutan etsa yang diberikan sedikit
tetapi pada dasarnya bebas dari logam pengotor akibat dari abrasif.
c. Pemolesan Elektropolishing
Electropolishing disebut juga electrolytic polishing yang banyak
digunakan oleh stainless steel, tembaga paduan, zirconium, dan logam
lainnya yang sulit untuk dipoles dengan metode mekanis. Ketika
electropolishing digunakan dalam metalografi, biasanya diawali
dengan mechanical polishing dan diikuti oleh etching. Mekanismenya
yaitu menggunakan sistem elektrolisis yang terdiri dari anoda (+) dan
katoda (-).
Gambar 1.6 Sampel copper dipoles dengan partikel intan ukuran: a) 6 mikron, b) 1 mikron[3]
.
1.4.3 Prosedur Percobaan
1.4.3.1 Alat dan Bahan
1. Sampel
2. Mesin poles
3. Alumina dan Air
4. Kain poles
1.4.3.2 Flowchart Proses
Mulai
Pasang kain poles pada mesin poles
Tuangkan alumina pada permukaan kain poles
Nyalakan mesin poles pada kecepatan rendah
Selesai
Letakan sampel pada permukaan kain poles
Pemolesan
(tambahkan alumina bila perlu)
1.5 Etsa
1.5.1 Tujuan
1. Mengamati dan mengidentifikasi detil struktur logam dengan bantuan
mikroskop optik setelah terlebih dahulu dilakukan proses etsa pada sampel.
2. Mengetahui perbedaan antara etsa kimia dengan elektro etsa serta
aplikasinya.
3. Dapat melakukan preparasi sampel metalografi secara baik dan benar
1.5.2 Dasar Teori
Etsa merupakan suatu proses penyerangan atau pengikisan batas butir
secara selektif dan terkendali dengan pencelupan ke dalam larutan pengetsa baik
menggunakan listrik maupun listrik maupun tidak ke permukaan sampel sehingga
detil struktur yang akan diamati akan terlihat dengan jelas dan tajam[1]
. Untuk
beberapa material, mikrostruktur baru muncul jika diberikan zat etsa. Sehingga
perlu pengetahuan yang tepat untuk memilih zat etsa yang tepat[2]
. Ada beberapa
jenis etsa seperti di bawah ini:
1. Etsa Kimia
Merupakan proses pengetsaan dengan menggunakan larutan kimia
dimana zat etsa yang digunakan ini memiliki karakteristik tersendiri
sehingga pemilihannya disesuaikan dengan sampel yang akan diamati.
Berikut ini adalah contoh etsa yang digunakan untuk berbagai
material[1]
:
Tabel 1.3 jenis etsa serta waktu etsa pada material
Etsa Material Waktu
Nitrid acid/nital: asam
nitrit + alkohol 95%
Khusus untuk baja karbon,
mendapatkan fasa pearlit, ferrite,
dan ferrite dari martensit
5-10 detik
Picral (asam picric +
alcohol
Khusus untuk baja, mendapatkan
fasa pearlit, ferrite, dan ferrite dari
martensit
Ferric chloride (ferric
chloride + HCl + air)
Untuk stainless steel, nikel
austenitic dan paduan tembaga
10-15 detik
Hydrofluoric acid: HF
+ air
Untuk aluminium dan paduannya < 5 detik
Dalam proses pengetsaan perlu diperhatikan waktu etsa, hindari waktu etsa
yang terlalu lama (umumnya sekitar 4 – 30 detik saja). Kemudian setelah
di etsa, sampel harus segera dicuci dengan air mengalir lalu dengan
alkohol dan dikeringkan dengan hair dryer.
2. Etsa Elektrolitik
Dilakukan untuk mengetsa logam yang sulit dietsa dengan metode kimia
dan untuk memunculkan fasa-fasa tertentu. proses etsa ini menggunakan
reaksi elektroetsa. Cara ini dilakukan khusus untuk stainless steel karena
dengan etsa kimia susah untuk mendapatkan detil strukturnya.
Hubungan kuat arus dan tegangan dalam etsa seperti pada gambar di atas
terbagi menjadi beberapa daerah karakteristik, yaitu:
Daerah A-B :
Daerah proses etsa, dimana ion logam sebagai anoda, larut dalam
larutan elektrolit.
AB = Daerah Etsa
BC = Daerah Tak stabil
CD = Daerah Poles
DE = Daerah evolusi dan pitting
Gambar 1.7 Kurva Arus dan tegangan pada Proses Etsa
Daerah B-C :
Daerah tidak stabil, karena permukaan logam merupakan gabungan
dari daerah pasif dan aktif yang disebabkan oleh perbedaan energi
bebas antara butir dan batas butir.
Daerah C-D :
Daerah poles, terjadi kestabilan arus, meskipun tegangan
ditambahkan. Hal ini disebabkan oleh stabilnya larutan. Meskipun
pada daerah ini logam berubah menjadi logam oksida, tetapi oleh
larutan elektrolit logam itu dilarutkan kembali.
Daerah D-E :
Terjadi evolusi oksigen pada anoda, dimana gelembung gas melekat
dan menetap pada permukaan anoda untuk waktu yang lama, sehingga
menyebabkan pitting. Dengan penambahan tegangan, rapat arus
melonjak tinggi tak terkendali[1]
.
1.5.3 Prosedur Percobaan
1.5.3.1 Alat dan Bahan
Alat
1. Blower/dryer
2. Cawan gelas dan pipet.
3. Alat elektro-etsa (rectifier, amperemeter, penjepit sampel konduktif)
Gambar 1.8 Instalasi elektrolitik polishing dan etching
Mulai
Bersihkan sampel dengan air + alkohol
Celupkan sampel pada zat etsa selama waktu tertentu
Bersihkan sampel dengan alkohol
Selesai
Keringkan sampel denga hair dryer
Bahan
1. Zat etsa: FeCl3, Nital 2%, HF 0.5%, dan asam oksalat (H2C2O4) 15
g/100ml air.
2. Air, alkohol, tissue.
1.5.3.2 Flowchart Proses
Etsa Kimia
Etsa Elektrolitik
Mulai
Susunlah alat seperti gambar 6 (rectifier jangan dihidupkan dahulu
Tentukan daerah yang ingin di etsa
Atur besarnya rus yang akan digunakan
Selesai
Bilas dengan air dan HNO3, keringkan dengan hair dryer
MODUL II
PEMBUATAN FOTO DAN ANALISIS STRUKTUR MAKRO DAN
MIKRO
2.1 Pengamatan Struktur Mikro
2.1.1 Tujuan
1. Mengetahui proses pengambilan foto mikrostruktur
2. Menganalisa struktur mikro dan sifat-sifatnya
3. Mengenali fasa-fasa dalam struktur mikro
2.1.2 Dasar Teori
Skala pengamatan mikro adalah Pengamatan 100 X atau lebih besar. Hal
yang diamati adalah fasa, besar butir, endapan. Alat yang digunakan: Mikroskop
Optik, Scanning Electron Microscope (SEM), Transmision Electron Microscope
(TEM). Beda material akan menghasilkan struktur mikro yang berbeda pula.
2.1.2.1 Mikrostruktur Baja Karbon
Struktur yang terdapat pada material adalah tergantung pada komposisi
unsur-unsur pembentuk, yang dapat dilihat dari diagram fasa[1]
. Fasa-fasa yang
terdapat pada mikrostruktur baja karbon dapat dilihat pada diagram fasa Fe-Fe3C.
Gambar 2.1 Diagram Fe – Fe3C[6]
Dari diagram fasa Fe-Fe3C di atas beberapa fasa yang terdapat pada
mikrostruktur baja karbon adalah Ferrite (α-iron) dengan C max = 0,022%,
Austenite (γ) dengan C max = 2.11%, Cementite (Fe3C) dengan komposisi C =
6,70%, Pearlite (α+ Fe3C) dengan C max = 0,76%[7]
. Pada baja karbon hasil
perlakuan panas, terbentuk fasa martensit atau bainit. Ada beberapa macam proses
perlakuan panas yaitu annealing, spheroidisasi, normalisasi, tempering, dan
quenching.
2.1.2.2 Mikrostruktur Besi Tuang
Besi tuang pada dasarnya merupakan perpaduan antara besi dan karbon,
dimana pada diagram Fe-Fe3C terlihat bahwa besi tuang mengandung kadar karbon
lebih besar dibandingkan dengan yang dibutuhkan untuk menjenuhkan austenit pada
temperatur eutektik, yaitu pada rentang 2,14 – 6,67%. Secara komersial besi tuang
yang dipakai adalah besi tuang dengan kadar karbon 2,5 – 4%. Tipe-tipe besi tuang,
antara lain[1]:
Besi tuang putih (white cast iron), semua kadar karbonnya terpadu dalam
bentuk sementit.
Besi tuang malleable (malleable cast iron), semua karbonnya dalam bentuk
partikel tak beraturan yang dikenal dengan karbon temper.
Besi tuang kelabu (gray cast iron), semua atau hampir semua karbonnya
dalam bentuk flakes.
Besi tuang nodular (ductile cast iron), semua atau hampir semua karbonnya
dalam bentuk spheroidal.
2.1.2.3 Mikrostruktur Baja Perkakas
Tingginya kualitas baja perkakas diperoleh dari penambahan paduan-paduan
seperti Cr, W, dan Mo, ditambah perlakuan-perlakuan khusus. Mikrostruktur yang
dihasilkan pada umumnya adalah matriks martensit dengan adanya partikel-partikel
karbida, grafit, serta presipitat.
Klasifikasi baja perkakas berdasarkan AISI (American Iron and Steel
Institute) dibagi dalam 7 kelompok utama, yaitu water hardening (W), shock resisting
(S), cold work (O, A, D), hot work (H), mold (P), dan special purpose (L, F).[1]
2.1.2.4 Mikrostruktur Paduan Aluminium
Mikrostruktur hampir semua paduan alumunium terdiri dari kristal utama
padatan alumunium (biasanya berbentuk dendritik) ditambah dengan produk hasil
reaksi dengan paduan. Elemen paduan yang tidak berada dalam keadaan padat
biasanya membentuk fasa campuran pada eutectik, kecuali silikon yang muncul
sebagai produk utama. Pada paduan alumunium-silikon, eutektik terjadi pada
sekitar 12% Si[1]
.
2.1.2.5 Mikrostruktur Paduan Tembaga
Paduan tembaga yang akan dibahas di sini adalah paduan tembaga dengan
elemen dasar seng. Kuningan merupakan paduan tembaga seng, dengan elemen-
elemen lainnya seperti timbal, timah dan alumunium. Pada diagram fasa Cu-Zn,
kelarutan seng dalam larutan padatan fasa α meningkat dari 32,5% pada
temperatur 903 oC ke 39% pada temperatur 454 oC. Fasa α berbentuk FCC,
sementara fasa β berbentuk BCC[1]
.
2.1.2.6 Mikrostruktur Hasil Lasan
Pada gambar di bawah menggambarkan berbagai daerah pada produk las
baja. Daerah pada produk las dimulai dari daerah logam las terdiri dari: daerah
terpengaruh panas/heat affected zone (daerah fusi, daerah pertumbuhan butir,
daerah penghalusan butir (rekristalisasi), daerah transisi) dan daerah tak
terpengaruh panas/unaffected zone[1]
.
Gambar 2.2 Diagram skematis menunjukan lima daerah pada baja yang dilas
2.1.3 Prosedur Percobaan
2.1.3.1 Alat dan Bahan
1. Sampel
2. Preparat
3. Mikroskop optik dengan kamera
4. Lilin
2.1.3.2 Flowchart Proses
Pengamatan Struktur Mikro
Mulai
Letakan sampel pada kaca preparat
Berikan lilin pada bawah sampel
Ratakan peletakan sampel dengan alat penekan dan lilin
Nyalakan mikroskop
Atur perbesaran mikroskop dan lensa objektif
Atur fokus pada lensa
Amati gambar mikrostruktur
Mengambil sampel dan matikan mikroskop
Selesai
Pengambilan Foto
Mulai
Letakan sampel pada kaca preparat
Berikan lilin pada bawah sampel
Ratakan peletakan sampel dengan alat penekan dan lilin
Nyalakan mikroskop dan letakan sampel di bawah lensa objektif
Atur fokus
Tentukan diafragma dan pencahayaan
Ambil foto mikrostruktur
Selesai
2.2 Metalografi Kuantitatif
2.2.1 Tujuan
1. Menentukan jumlah fasa
2. Mengukur besar butir
2.2.2 Dasar Teori
Sampel yang telah dipoles dan dietsa dapat dianalisis secara kuantitatif
dengan melihat mikrostruktur material tersebut. Analisis dari ruang dua dimensi
dapat dilakukan untuk menduga morfologi sampel dalam tiga dimensi. Analisis
tersebut dinamakan ”metalografi kuantitatif” atau disebut juga stereology
kuantitatif. Terkait dengan tujuannya, ada pun standard yang menjelaskan tentang
perhitungan ukuran butir, yaitu ASTM E112[7]
. Parameter-parameter ini dapat
dihubungkan dengan sifat mekanis, terutama kekuatan logam[1]
.
Salah satu jenis metode metalografi kuantitatif adalah, metode kuantitatif
manual. Metode-metode kuantitatif manual ini meliputi[1]
:
Chart Method
Standard chart method meliputi mengamati sampel dan
membandingkannya dengan referensi dari standard chart yang berisi
mikrografi pada perbesaran yang sama dengan parameter-parameter
yang berbeda. Proses ini menjadikan sampel dapat dibandingkan
dengan sampel standard dan merupakan penentuan mikrostruktur yang
paling representatif.
Counting Method
Merupakan pengukuran / perhitungan dari parameter metalografi secara
langsung. Contoh metalografi kuantitatif manual secara umum adalah
penentuan jumla grain size, (n). Grain size number dapat ditemukan
dari persamaan berikut:
n = 2 G-1
dimana n = jumlah butir per inch kuadrat pada perbesaran 100x
G = ASTM grain saize number
Tabel 2.1 ASTM Grain size (Tabel lengkap dapat dilihat dalam ASTM E112)
Jeffries Planimetric Method (satuan pengukuran: mm)
Sebuah lingkaran digambar pada foto mikrostruktur dengan diameter
79.8 mm (luas area 5000 mm2). Gambar 2.10 adalah contoh dari
mikrostruktur baja austenitic dengan beberapa pearlite halus.
Gambar 2.3 Contoh gambar untuk perhitungan metode Jeffries dan Triple Point
Jumlah atau banyaknya butir per mm2 dihitung dengan persamaan:
(
), dimana M adalah perbesaran foto, adalah
jumlah butir dalam area dan adalah jumlah butir yang memotong
keliling lingkaran. Besar butir ASTM dihitung dengan persamaan
[ ] .
Triple Point Method (satuan pengukuran: mm)
Seperti metode Jeffries, sebuah lingkaran digambar pada foto
mikrostruktur dengan diameter 79.8 mm (luas area 5000 mm2). Contoh
gambar dapat dilihat pada gambar 1.4. Nilai NA dihitung dengan
menggunakan persamaan
, dimana P adalah jumlah triple
point dari grain boundary dan AT adalah area lingkaran pada perbesaran
1x. Besar butir ASTM dihitung dengan persamaan
[ ] .
2.2.3 Prosedur Percobaan
2.2.3.1 Alat dan Bahan
1. Foto mikrostruktur
2. Alat tulis
3. Kalkulator
2.2.3.2 Flowchart Proses
Mulai
Gambar lingkaran d=79,8 mm pada foto mikrostuktur dari sampel
Hitung jumlah butir dalam area lingkaran (n1)
Hitung jumlah butir yang memotong keliling lingkaran (n2)
Hitung jumlah butir/mm2 (NA)
Hitung besar butir ASTM (G)
Hubungkan ukuran butir dengan sifat mekanis material
Selesai
2.3 Pengamatan Struktur Makro
2.3.1 Tujuan
Percobaan ini bertujuan untuk mengetahui bentuk-bentuk perpatahan pada
sampel makro.
2.3.2 Dasar Teori
Dalam material teknik, terdapat dua jenis perpatahan yang mungkin
terjadi, yaitu perpatahan ulet (ductile) dan getas (brittle)[7]
. Klasifikasi ini
berdasarkan pada kemampuan material tersebut untuk mengalami deformasi
plastis. Material ulet akan menunjukkan deformasi plastis sebelum mengalami
perpatahan sedangkan sedikit atau tidak ada sama sekali deformasi plastis terjadi
pada material getas. Sampel hasil pengujian tarik dapat menunjukkan beberapa
tampilan perpatahan seperti diilustrasikan oleh gambar 2.4 di bawah ini:
Gambar 2.4 (a) Perpatahan sangat ulet dimana spesimen mengalami necking. (b) Perpatahan
cukup ulet setelah beberapa necking. (c) Perpatahan getas tanpa deformasi plastis terjadi[7]
.
2.3.2.1 Perpatahan Ulet
Karakteristik utama dari perpatahan ulet adalah berserabut (fibrous) dan
gelap (dull)[8]
. Perpatahan ulet umumnya lebih disukai karena bahan ulet
umumnya lebih tangguh dan memberikan peringatan lebih dahulu sebelum
terjadinya kerusakan[1]
. Perpatahan ulet memiliki cirri-ciri sebagai berikut:
Permukaan hasil patahan gelap karena menyerap cahaya
(a) (b) (c)
Karakteristik berserabut (fibrous) dan gelap (dull).
Terjadi ‘necking’ (penciutan) pada sampel hasil pengujian tersebut akibat
berkumpulnya void yang membuat void semakin besar. Void-void pada
daerah necking ini menjadi tempat terkonsentrasinya stress yang akhirnya
menjadi penyebab patah.
Gambar 2.5 (a) Scanning electron fractograph dari perpatahan ulet hasil beban tarik
unaksial dengan perbesaran 3300x. (b) Scanning electron fractograph dari perpatahan
ulet hasil beban puntir dengan perbesaran 5000x[7]
.
2.3.2.2 Perpatahan Getas
Permukaan perpatahan getas memiliki karakteristik berbutir (granular)
dan terang. Ciri-ciri perpatahan getas adalah sebagi berikut[8]
:
a. Tidak ada atau sedikit sekali deformasi plastis yang terjadi pada material.
b. Retak atau perpatahan merambat sepanjang bidang-bidang kristalin membelah
atom-atom material (transgranular).
c. Pada material lunak dengan butir kasar (coarse grains) maka dapat dilihat
pola-pola yang dinamakan chevrons or fan-like pattern yang berkembang
keluar dari daerah awal kegagalan.
d. Material keras dengan butir halus (fine grains) tidak memiliki pola-pola yang
mudah dibedakan.
e. Material amorphous (seperti gelas) memiliki permukaan patahan yang
bercahaya dan mulus.
Gambar 2.6 (a) Profil skematis menunjukkan propagasi retak memotong butir (transgranular
fracture). (b) Scanning electron fractograph dari ductile cast iron yang menunjukkan
permukaan patahan transgranular
2.3.3 Prosedur Percobaan
2.3.3.1 Alat dan Bahan
1. Sampel
2. Lilin
3. Kaca Preparat
4. Mikroskop optik kamera
2.3.3.2 Flowchart Proses
Mulai
Bersihkan area pengamatan
Pengamatan visual dengan mata
Pengamatan sampel dengan stereoscan macroscope
Pengambilan foto struktur makro
Selesai
MODUL III
PERCOBAAN JOMINY
3.1 Tujuan
1. Mendapatkan hubungan antara jarak permukaan pada pendinginan
langsung dengan sifat kemampukerasan bahan.
2. Mendapatkan hubungan antara kecepatan pendinginan dengan fasa yang
terbentuk serta mendapatkan sifat kekerasan dari fasa tersebut.
3.2 Dasar Teori
Percobaan Jominy adalah salah satu prosedur standard yang digunakan
untuk menentukan hardenability. Hardenability (kemampukerasan) merupakan
istilah yang digunakan untuk menggambarkan kemampuan suatu paduan untuk
dikeraskan melalui pembentukan martensit sebagai hasil dari perlakuan panas
(heat treatment)[7]
. Proses ini disebut juga kombinasi pemanasan dan pendinginan
yang bertujuan mengubah struktur mikro dan sifat mekanis logam disebut
perlakuan panas (heat treatment).
Logam yang didinginkan dengan kecepatan yang berbeda dengan media
pendingin yang berbeda, misalnya air, udara, atau minyak/oli akan mengalami
perubahan struktur mikro yang berbeda. Setiap struktur mikro misalnya fasa
martensit, bainit, ferit, dan perlit merupakan hasil transformasi fasa, yakni dari
fasa austenit. Masing-masing fasa tersebut terjadi dengan kondisi pendinginan
yang berbeda-beda dimana untuk setiap paduan bahan dapat dilihat pada diagram
Continous Cooling Transformation (CCT) dan Time Temperature Transformation
(TTT) diagram. Masing-masing fasa di atas mempunyai nilai kekerasan yang
berbeda. Dengan pengujian jominy maka dapat diketahui laju pendinginan yang
berbeda akan menghasilkan kekerasan bahan yang berbeda[1]
.
Kekerasan salah satu faktor yang penting dalam mendesain suatu material.
Pada baja, pendinginan yang cepat dari fasa austenit menghasilkan fasa martensit
yang tinggi kekerasannya. Kemampukerasan baja merupakan kemampuan baja
untuk menghasilkan fasa martensit diseluruh bagian produk disebut sebagai
kemampukerasan baja. Semakin besar persentase martensit pada logam, semakin
besar kemampukerasan material tersebut. Baja dengan paduan C, Cr, Mo, V, dan
Cr akan mempertinggi kemampukerasan baja. Bahan dengan kemampukerasan
tinggi, memiliki 100% fasa martensit pada pendinginan cepat[1]
.
Percobaan Jominy menggunakan sampel berbentuk silinder dengan
diameter (d) 25,4 mm (1,0 in.) dan panjang (L) 100 mm (4 in.)[7]
. Perlakuan yang
sangat penting dalam pengujian Jominy ialah setiap bagian dari sampel akan
merespon pendinginan yang diperlakukan. Salah satu parameter pengujiannya
adalah derajat pendinginan yang menentukan terbentuknya fasa martensit.
Pengukuran kemampukerasan didapat dengan mengukur kekerasan sepanjang
batang sampel. Nilai kekerasan diukur mulai dari ujung batang yang dekat dengan
media pendingin yang akan didapat 100% martensit, pada ujung sebaliknya yang
akan didapat 0% martensit dan terdapat fasa campuran ferit dan perlit, serta
diantaranya yang akan didapat gabungan antara martensit dan ferit perlit. Hasil
kekerasan yang diperoleh dapat menggambarkan kinetika dekomposisi austenit
pada baja dalam proses pendinginan, dan kurva Jominy dapat digunakan untuk
memplot profil kekerasan dari suatu bagian[1]
.
Gambar 3.1 (a) Pembentukan fasa pada percobaan Jominy dilihat dari diagram CCT, (b)
Diagram kematis percobaan Jominy dan setelah pengujian kekerasan[7]
.
Makin lambat laju pendinginan logam, makin banyak matriks perlit yang
ditampilkan dan kekerasan makin turun . Penambahan kadar karbon atau paduan
atau bertambah besarnya ukuran butir akan menyebabkan grafik bergeser ke
kanan sehingga memudahkan pembentukan struktur martensit. Untuk pendinginan
lambat akan mendapatkan struktur[1]
:
a. Bainit bawah, yaitu struktur seperti jarum, mirip martensit
b. Bainit atas, yaitu struktur seperti perlit dengan sifat lapisan yang lebih halus
c. Perlit halus, yaitu struktur perlit yang halus dengan lapisan ferit dan
sementit
d. Perlit kasar, yaitu struktur sama dengan perlit halus namum lamel lebih
kasar dan kekerasan lebih rendah.
Gambar 3.2 pengujian Jominy
3.3 Prosedur Percobaan
3.3.1 Alat dan Bahan
1. Batang baja (spesimen), d = 2.5 cm, L = 10 cm
2. Oven muffle dengan suhu max 1100oC
3. Kran air dengan tekanan yang cukup
4. Amplas
5. Alat penguji kekerasan Brinell
6. Mikroskop pengukur jejak
3.3.3 Flowchart Proses
Mulai
Siapkan benja uji
Amplas salah satu sisi benja uji dengan gerinda
Memanaskan batang uji dalam oven dengan T preheating 3500C
selama 15 menit dan T austenisasi 9000C selama 30 menit.
Batang dikeluarkan dari ovencdengan cepat dan meletakkan batang pada
alat bangku Jominy (ujung bawah logam mengalami penyemprotan air.
Tunggu hingga mendingin
Bersihkan bagian untuk penjajakan dengan amplas
Lakukan penjejakan Brinell pada 15 titik yang berjarak sama
Selesai
Ukur besar d jejak Brinell
Hitung kekerasan dengan rumus kekerasan Brinell*)
*) Rumus kekerasan Brinell:
Dimana; P = Beban yang digunakan, Kg
D = Diameter bola, mm, dan
d = diameter indentasi, mm
DAFTAR PUSTAKA
[1] Modul Praktikum Metalografi dan HST 2013. Depok: Laboratorium
Metalografi dan HST, Departemen Teknik Metalurgi dan Material FTUI.
[2] Sofyan, Nofrijon. 2010. Teknik Pengamatan Struktur Mikro. Handout Mata
Kuliah Material Characterization I. Depok: Departemen Teknik Metalurgi
dan Material FTUI.
[3] Anonim. -. Sample Preparation. http://www.doitpoms.ac.uk/tlplib/optical-
microscopy/preparation.php (diakses pada tanggal 24 Februari 2013 pukul
13.32)
[4] Surya, Abdul Khalim. 2004. Laporan Pendahuluan Praktikum Metalografi
dan HST. Depok: Dokumen Pribadi.
[5] Anonim. 2010. Metalografi. http://candadisini.blogspot.com/ (diakses pada
tanggal 24 Februari 2013 pukul 15.43)
[6] Metals Handbook: Metallography, Structures and Phase Diagrams, vol.8, 8th
edition, ASM Handbook Committee, T. Lyman, Editor, ASM, 1973, hal.275
[7] Callister, Jr, William D. (2007). Materials science and Engineering–An
Introduction 7e. New York: John Wiley & Sons, Inc.
[8] Waroko, Rhidiyan . 2009. Karakteristik Material 1: Metalografi Kuantitatif.
Depok: Departemen Metalurgi dan Material FTUI.