31
Gambar 1.1 Sampel mounting MODUL I PREPARASI SAMPEL 1.1 Mounting 1.1.1 Tujuan Mounting pada sampel bertujuan untuk menempatkan sampel pada suatu media, untuk memudahkan penanganan sampel yang berukuran kecil dan tidak beraturan dengan tanpa merusak sampel. 1.1.2 Dasar Teori Pada dasarnya, sampel yang diuji berukuran sangat kecil atau memiliki bentuk yang tidak beraturan sehingga sangat sulit untuk ditangani khususnya ketika dilakukan pengamplasan dan pemolesan akhir. Sebagai contoh adalah spesimen yang berupa kawat, spesimen lembaran logam tipis, potongan yang tipis, dll. Untuk memudahkan penanganannya, maka spesimen spesimen tersebut harus ditempatkan pada suatu media (media mounting). Adapun syarat syarat yang harus dimiliki bahan mounting adalah [1][2] : 1. Tidak bereaksi dengan material maupun zat etsa (inert) 2. Sifat eksotermis, viskositas, dan penyusutan linier rendah 3. Sifat adhesi baik 4. Tahan terhadap panas selama gerinda dan poles 5. Tidak mudah pecah, memiliki kekerasan yang sama dengan sampel 6. Kemampualiran yang baik, dapat menembus pori, celah, dan bentuk ketidakteraturan yang terdapat pada sampel 7. Konduktif (khusus untuk etsa elektrolitik dan pengujian SEM)

Metallography

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Laporan Awal Praktikum Metalografi DMM FTUI

Citation preview

Page 1: Metallography

Gambar 1.1 Sampel mounting

MODUL I

PREPARASI SAMPEL

1.1 Mounting

1.1.1 Tujuan

Mounting pada sampel bertujuan untuk menempatkan sampel pada suatu

media, untuk memudahkan penanganan sampel yang berukuran kecil dan tidak

beraturan dengan tanpa merusak sampel.

1.1.2 Dasar Teori

Pada dasarnya, sampel

yang diuji berukuran sangat

kecil atau memiliki bentuk yang

tidak beraturan sehingga sangat

sulit untuk ditangani khususnya

ketika dilakukan pengamplasan

dan pemolesan akhir. Sebagai contoh adalah spesimen yang berupa kawat,

spesimen lembaran logam tipis, potongan yang tipis, dll. Untuk memudahkan

penanganannya, maka spesimen – spesimen tersebut harus ditempatkan pada

suatu media (media mounting).

Adapun syarat – syarat yang harus dimiliki bahan mounting adalah[1][2]

:

1. Tidak bereaksi dengan material maupun zat etsa (inert)

2. Sifat eksotermis, viskositas, dan penyusutan linier rendah

3. Sifat adhesi baik

4. Tahan terhadap panas selama gerinda dan poles

5. Tidak mudah pecah, memiliki kekerasan yang sama dengan sampel

6. Kemampualiran yang baik, dapat menembus pori, celah, dan bentuk

ketidakteraturan yang terdapat pada sampel

7. Konduktif (khusus untuk etsa elektrolitik dan pengujian SEM)

Page 2: Metallography

Gambar 1.2 Mounting pada sampel

Cetakan mounting umumnya memiliki diameter sekitar 25 mm (1 inch), 32

mm (1,25 inch), 38 mm (1,5 inch), atau disesuaikan dengan stage dari mikroskop.

Teknik mounting bisa dilakukan menggunakan teknik pemanasan atau suasana

temperatur kamar. Spesimen yang tidak tahan panas tidak boleh dimounting

panas, harus menggunakan mounting dingin. Mounting dingin biasanya dilakukan

menggunakan polimer tertentu[2]

.

Pada umumnya mounting menggunakan material plastik sintetik.

Materialnya dapat berupa resin (castable resin) dan thermosetting mounting.

Resin (castable resin) biasa dicampur dengan hardener atau bakelit. Penggunaan

castable resin lebih mudah dan alat yang digunakan lebih sederhana dibandingkan

bakelit, karena tidak diperlukan aplikasi panas dan tekanan. Namun bahan

castable resin ini tidak memiliki sifat mekanis yang baik (lunak) sehingga kurang

cocok untuk material-material yang keras. Variabel yang sangat penting dalam

proses castable mounting adalah komposisi atau rasio dari resin dan hardener

serta kecepatan pengadukan dari campuran resin dan hardener. Jika variabel

tersebut tidak dijaga dengan baik, maka akan terjadi cacat dalam mounting yang

mengganggu proses selanjutnya. Resin yang sering dipakai dalam proses castable

ini adalah epoxy, acrylic, dan polyester[3]

.

Selain castable resin, dapat pula

digunakan thermosetting mounting

dengan menggunakan material bakelit.

Mounting dengan menggunakan bahan

ini adalah mounting yang paling baik.

Material ini berupa bubuk yang tersedia

dengan warna yang beragam.

Thermosetting mounting membutuhkan

alat khusus, karena dibutuhkan aplikasi

tekanan (4200 lb/in2) dan panas (149

0C) pada mold saat mounting. Variabel yang

berpengaruh pada proses compression mounting adalah tekanan dan temperatur.

Bakelit banyak digunakan untuk proses compression mounting karena

penggunaannya yang sederhana, hasil yang baik dan biaya yang relatif rendah.

Page 3: Metallography

1.1.3 Prosedur Percobaan

1.1.3.1 Alat dan Bahan

1. Cetakan

2. Resin + Hardener

3. Sampel

4. Solatip

5. Pengaduk

1.1.3.2 Flowchart Proses

Castable Mounting

Mulai

Siapkan cetakan

Letakan sampel pada dasar cetakan

Siapkan resin 1/3 bagian cetakan

Campurkan resin dengan 15 tetes hardener

Tuangkan resin + hardener ke dalam cetakan

Tunggu 25 – 30 menit

Tunggu 25 – 30 menit

Keluarkan mounting dari cetakan

Selesai

Page 4: Metallography

Thermosetting Mounting

Mulai

Siapkan sampel

Letakan sampel pada permukaan piston

Pengaturan tekanan piston

Pengaturan alat mounting + penuangan bubuk bakelit

Pasang balok pendingin

Turunkan tekanan

Keluarkan mounting dari cetakan

Selesai

Atur piston

Page 5: Metallography

Gambar 1.4 Mikrostruktur permukaan Copper hasil pengamplasan

Gambar 1.3 Proses grinding

1.2 Pengamplasan/Grinding

1.2.1 Tujuan

Pengampalasan (grinding) bertujuan untuk meratakan dan menghaluskan

permukaan sampel dengan cara menggosokan sampel pada kain abrasif/amplas.

1.2.2 Dasar Teori

Sampel yang baru saja dipotong, atau

sampel yang telah terkorosi memiliki

permukaan yang kasar. Permukaan yang kasar

ini harus diratakan agar pengamatan struktur

mudah untuk dilakukan. Pengamplasan

dilakukan dengan menggunakan kertas amplas

yang ukuran butir abrasifnya dinyatakan

dengan mesh (120, 240, 320, 400, 600, 800, 1000, 1200 #). Urutan pengamplasan

harus dilakukan dari nomor mesh yang rendah (hingga 150 mesh) ke nomor mesh

yang tinggi (800 hingga 1200 mesh) tujuannya adalah untuk menghilangkan hasil

goresan dari pengamplasan sebelumnya[3]

.

Page 6: Metallography

Ukuran grit pertama yang dipakai tergantung pada kekasaran permukaan

dan kedalaman kerusakan yang ditimbulkan oleh pemotongan[1]

. Lihat tabel 1.1

berikut:

Tabel 1.1 Ukuran grit pada pengamplasan pertama dengan alat potong yang berbeda

Jenis alat potong Ukuran kertas amplas (grit)

untuk pengamplasan pertama

Gergaji pita 60 – 120

Gergaji abrasif 120 – 240

Gergaji kawat / intan

kecepatan rendah

320 – 400

Hal yang harus diperhatikan pada saat pengamplasan adalah pemberian

air. Dalam hal ini air berfungsi sebagai pemindah geram dan memperpanjang

masa pemakaian kertas amplas. Hal lain yang harus diperhatikan adalah ketika

melakukan perubahan arah pengamplasan, maka arah yang baru adalah 45o atau

90o terhadap arah sebelumnya dengan tujuan menghilangkan goresan pada tahap

sebelumnya. Bahan amplas yang umum adalah SiC, Al2O3, atau intan[2]

.

Tabel 1.2 Fungsi bahan amplas SiC, Al2O3, dan intan

SiC Alumina Intan

Abrasif SiC merupakan

hasil reaksi temperatur

tinggi antara silika dan

karbon. Material ini

memiliki kekerasan

hingga mendekati 2500

HV. Untuk preparasi

metalografi, SiC

digunakan untuk melapis

kertas grinding abrasif

(amplas) dalam rentang

bervariasi, dari sangat

kasar 60 grit hingga

sangat halus 1200 grit.

Alumina merupakan

material yang terbentuk

secara alami dari bauksit.

Kekerasannya dapat

mencapai 2000 HV.

Abrasif Alumina sering

digunakan sebagai

tahapan akhir dalam

pemolesan dikarenakan

kekerasan dan

ketangguhannya yang

tinggi.

Merupakan material yang

paling keras sampai saat

ini. Kekerasannya sekitar

8000 HV dan 10 dalam

skala Mohs. Memiliki

struktur kristal kubik dan

tersedia dalam bentuk

alami maupun buatan.

Meskipun diamong ideal

untuk grinding kasar,

namun harganya yang

relatif mahal membuat

proses tersebut menjadi

tidak lagi efisien.

Page 7: Metallography

1.2.3 Prosedur Percobaan

1.2.3.1 Alat dan Bahan

1. Sampel

2. Kertas amplas berbagai ukuran (120, 240, 320, 400, 600, 800, 1000,

1200 #)

3. Mesin amplas

4. Air

1.2.3.2 Flowchart Proses

Mulai

Potong kertas amplas dan pasang pada mesin amplas

Nyalakan mesin dengan kecepatan rendah sambil tuang air secara kontinyu

Pengamplasan

Lakukan dengan variasi ukuran kertas amplas dan kecepatan mesin amplas

Selesai

Page 8: Metallography

1.4 Pemolesan/Polishing

1.4.1 Tujuan

Pemolesan bertujuan untuk mendaptkan permukaan sampel yang halus dan

mengkilat seperti kaca tanpa gores.

1.4.2 Dasar Teori

Setelah diamplas sampai halus, sampel harus dilakukan pemolesan.

Pemolesan bertujuan untuk memperoleh permukaan sampel yang halus bebas

goresan dan mengkilap seperti cermin dan menghilangkan ketidakteraturan

sampel hingga orde 0.01 μm. Seperti halnya pengamplasan, pemolesan juga

dilakukan dari yang kasar ke yang lebih halus. Pemolesan kasar dapat dilakukan

dengan tangan dengan arah pemolesan tegak lurus dengan arah pengampelasan

terakhir. Pada pemolesan halus dapat dilakukan dengan tangan atau dengan

pemoles otomatis. Selama proses pemolesan, spesimen harus digerakkan

kontinyu dan diputar-putar, untuk mencegah timbulnya ekor komet[4]

.

Permukaan sampel yang akan diamati di bawah mikroskop harus benar-

benar rata. Apabila permukaan sampel kasar atau bergelombang, maka

pengamatan struktur mikro akan sulit untuk dilakukan karena cahaya yang datang

dari mikroskop dipantulkan secara acak oleh permukaan sampel. Hal ini dapat

dijelaskan pada gambar berikut[2]

:

Gambar 1.5 Permukaan halus (kiri) dan permukaan kasar (kanan)

Page 9: Metallography

Tahap pemolesan dimulai dengan pemolesan kasar terlebih dahulu

kemudian dilanjutkan dengan pemolesan halus. Ada 3 metode pemolesan antara

lain yaitu sebagai berikut[5]

:

a. Pemolesan Mekanis

Proses polishing biasanya multistage karena pada tahapan awal

dimulai dengan penggosokan kasar (rough abrasive) dan tahapan

berikutnya menggunakan penggosokan halus (finer abrasive) sampai

hasil akhir yang diinginkan. Mesin poles metalografi terdiri dari

piringan berputar dan diatasnya diberi kain poles terbaik yaitu kain

“selvyt” (sejenis kain beludru). Cara pemolesannya yaitu benda uji

diletakkan diatas piringan yang berputar dan kain poles diberi air serta

ditambahkan sedikit pasta poles. Pasta poles yang biasa dipakai adalah

jenis alumina (Al2O3) dan pasta intan.

b. Pemolesan Kimia Mekanis

Merupakan kombinasi antara etsa kimia dan pemolesan mekanis yang

dilakukan serentak di atas piringan halus. Partikel pemoles abrasif

dicampur dengan larutan pengetsa yang umum digunakan untuk

melihat struktur spesimen yang dipreparasi. Metode ini akan

memberikan hasil yang baik jika larutan etsa yang diberikan sedikit

tetapi pada dasarnya bebas dari logam pengotor akibat dari abrasif.

c. Pemolesan Elektropolishing

Electropolishing disebut juga electrolytic polishing yang banyak

digunakan oleh stainless steel, tembaga paduan, zirconium, dan logam

lainnya yang sulit untuk dipoles dengan metode mekanis. Ketika

electropolishing digunakan dalam metalografi, biasanya diawali

dengan mechanical polishing dan diikuti oleh etching. Mekanismenya

yaitu menggunakan sistem elektrolisis yang terdiri dari anoda (+) dan

katoda (-).

Page 10: Metallography

Gambar 1.6 Sampel copper dipoles dengan partikel intan ukuran: a) 6 mikron, b) 1 mikron[3]

.

1.4.3 Prosedur Percobaan

1.4.3.1 Alat dan Bahan

1. Sampel

2. Mesin poles

3. Alumina dan Air

4. Kain poles

1.4.3.2 Flowchart Proses

Mulai

Pasang kain poles pada mesin poles

Tuangkan alumina pada permukaan kain poles

Nyalakan mesin poles pada kecepatan rendah

Selesai

Letakan sampel pada permukaan kain poles

Pemolesan

(tambahkan alumina bila perlu)

Page 11: Metallography

1.5 Etsa

1.5.1 Tujuan

1. Mengamati dan mengidentifikasi detil struktur logam dengan bantuan

mikroskop optik setelah terlebih dahulu dilakukan proses etsa pada sampel.

2. Mengetahui perbedaan antara etsa kimia dengan elektro etsa serta

aplikasinya.

3. Dapat melakukan preparasi sampel metalografi secara baik dan benar

1.5.2 Dasar Teori

Etsa merupakan suatu proses penyerangan atau pengikisan batas butir

secara selektif dan terkendali dengan pencelupan ke dalam larutan pengetsa baik

menggunakan listrik maupun listrik maupun tidak ke permukaan sampel sehingga

detil struktur yang akan diamati akan terlihat dengan jelas dan tajam[1]

. Untuk

beberapa material, mikrostruktur baru muncul jika diberikan zat etsa. Sehingga

perlu pengetahuan yang tepat untuk memilih zat etsa yang tepat[2]

. Ada beberapa

jenis etsa seperti di bawah ini:

1. Etsa Kimia

Merupakan proses pengetsaan dengan menggunakan larutan kimia

dimana zat etsa yang digunakan ini memiliki karakteristik tersendiri

sehingga pemilihannya disesuaikan dengan sampel yang akan diamati.

Berikut ini adalah contoh etsa yang digunakan untuk berbagai

material[1]

:

Tabel 1.3 jenis etsa serta waktu etsa pada material

Etsa Material Waktu

Nitrid acid/nital: asam

nitrit + alkohol 95%

Khusus untuk baja karbon,

mendapatkan fasa pearlit, ferrite,

dan ferrite dari martensit

5-10 detik

Picral (asam picric +

alcohol

Khusus untuk baja, mendapatkan

fasa pearlit, ferrite, dan ferrite dari

martensit

Page 12: Metallography

Ferric chloride (ferric

chloride + HCl + air)

Untuk stainless steel, nikel

austenitic dan paduan tembaga

10-15 detik

Hydrofluoric acid: HF

+ air

Untuk aluminium dan paduannya < 5 detik

Dalam proses pengetsaan perlu diperhatikan waktu etsa, hindari waktu etsa

yang terlalu lama (umumnya sekitar 4 – 30 detik saja). Kemudian setelah

di etsa, sampel harus segera dicuci dengan air mengalir lalu dengan

alkohol dan dikeringkan dengan hair dryer.

2. Etsa Elektrolitik

Dilakukan untuk mengetsa logam yang sulit dietsa dengan metode kimia

dan untuk memunculkan fasa-fasa tertentu. proses etsa ini menggunakan

reaksi elektroetsa. Cara ini dilakukan khusus untuk stainless steel karena

dengan etsa kimia susah untuk mendapatkan detil strukturnya.

Hubungan kuat arus dan tegangan dalam etsa seperti pada gambar di atas

terbagi menjadi beberapa daerah karakteristik, yaitu:

Daerah A-B :

Daerah proses etsa, dimana ion logam sebagai anoda, larut dalam

larutan elektrolit.

AB = Daerah Etsa

BC = Daerah Tak stabil

CD = Daerah Poles

DE = Daerah evolusi dan pitting

Gambar 1.7 Kurva Arus dan tegangan pada Proses Etsa

Page 13: Metallography

Daerah B-C :

Daerah tidak stabil, karena permukaan logam merupakan gabungan

dari daerah pasif dan aktif yang disebabkan oleh perbedaan energi

bebas antara butir dan batas butir.

Daerah C-D :

Daerah poles, terjadi kestabilan arus, meskipun tegangan

ditambahkan. Hal ini disebabkan oleh stabilnya larutan. Meskipun

pada daerah ini logam berubah menjadi logam oksida, tetapi oleh

larutan elektrolit logam itu dilarutkan kembali.

Daerah D-E :

Terjadi evolusi oksigen pada anoda, dimana gelembung gas melekat

dan menetap pada permukaan anoda untuk waktu yang lama, sehingga

menyebabkan pitting. Dengan penambahan tegangan, rapat arus

melonjak tinggi tak terkendali[1]

.

1.5.3 Prosedur Percobaan

1.5.3.1 Alat dan Bahan

Alat

1. Blower/dryer

2. Cawan gelas dan pipet.

3. Alat elektro-etsa (rectifier, amperemeter, penjepit sampel konduktif)

Gambar 1.8 Instalasi elektrolitik polishing dan etching

Page 14: Metallography

Mulai

Bersihkan sampel dengan air + alkohol

Celupkan sampel pada zat etsa selama waktu tertentu

Bersihkan sampel dengan alkohol

Selesai

Keringkan sampel denga hair dryer

Bahan

1. Zat etsa: FeCl3, Nital 2%, HF 0.5%, dan asam oksalat (H2C2O4) 15

g/100ml air.

2. Air, alkohol, tissue.

1.5.3.2 Flowchart Proses

Etsa Kimia

Etsa Elektrolitik

Mulai

Susunlah alat seperti gambar 6 (rectifier jangan dihidupkan dahulu

Tentukan daerah yang ingin di etsa

Atur besarnya rus yang akan digunakan

Selesai

Bilas dengan air dan HNO3, keringkan dengan hair dryer

Page 15: Metallography

MODUL II

PEMBUATAN FOTO DAN ANALISIS STRUKTUR MAKRO DAN

MIKRO

2.1 Pengamatan Struktur Mikro

2.1.1 Tujuan

1. Mengetahui proses pengambilan foto mikrostruktur

2. Menganalisa struktur mikro dan sifat-sifatnya

3. Mengenali fasa-fasa dalam struktur mikro

2.1.2 Dasar Teori

Skala pengamatan mikro adalah Pengamatan 100 X atau lebih besar. Hal

yang diamati adalah fasa, besar butir, endapan. Alat yang digunakan: Mikroskop

Optik, Scanning Electron Microscope (SEM), Transmision Electron Microscope

(TEM). Beda material akan menghasilkan struktur mikro yang berbeda pula.

2.1.2.1 Mikrostruktur Baja Karbon

Struktur yang terdapat pada material adalah tergantung pada komposisi

unsur-unsur pembentuk, yang dapat dilihat dari diagram fasa[1]

. Fasa-fasa yang

terdapat pada mikrostruktur baja karbon dapat dilihat pada diagram fasa Fe-Fe3C.

Gambar 2.1 Diagram Fe – Fe3C[6]

Page 16: Metallography

Dari diagram fasa Fe-Fe3C di atas beberapa fasa yang terdapat pada

mikrostruktur baja karbon adalah Ferrite (α-iron) dengan C max = 0,022%,

Austenite (γ) dengan C max = 2.11%, Cementite (Fe3C) dengan komposisi C =

6,70%, Pearlite (α+ Fe3C) dengan C max = 0,76%[7]

. Pada baja karbon hasil

perlakuan panas, terbentuk fasa martensit atau bainit. Ada beberapa macam proses

perlakuan panas yaitu annealing, spheroidisasi, normalisasi, tempering, dan

quenching.

2.1.2.2 Mikrostruktur Besi Tuang

Besi tuang pada dasarnya merupakan perpaduan antara besi dan karbon,

dimana pada diagram Fe-Fe3C terlihat bahwa besi tuang mengandung kadar karbon

lebih besar dibandingkan dengan yang dibutuhkan untuk menjenuhkan austenit pada

temperatur eutektik, yaitu pada rentang 2,14 – 6,67%. Secara komersial besi tuang

yang dipakai adalah besi tuang dengan kadar karbon 2,5 – 4%. Tipe-tipe besi tuang,

antara lain[1]:

Besi tuang putih (white cast iron), semua kadar karbonnya terpadu dalam

bentuk sementit.

Besi tuang malleable (malleable cast iron), semua karbonnya dalam bentuk

partikel tak beraturan yang dikenal dengan karbon temper.

Besi tuang kelabu (gray cast iron), semua atau hampir semua karbonnya

dalam bentuk flakes.

Besi tuang nodular (ductile cast iron), semua atau hampir semua karbonnya

dalam bentuk spheroidal.

2.1.2.3 Mikrostruktur Baja Perkakas

Tingginya kualitas baja perkakas diperoleh dari penambahan paduan-paduan

seperti Cr, W, dan Mo, ditambah perlakuan-perlakuan khusus. Mikrostruktur yang

dihasilkan pada umumnya adalah matriks martensit dengan adanya partikel-partikel

karbida, grafit, serta presipitat.

Klasifikasi baja perkakas berdasarkan AISI (American Iron and Steel

Institute) dibagi dalam 7 kelompok utama, yaitu water hardening (W), shock resisting

(S), cold work (O, A, D), hot work (H), mold (P), dan special purpose (L, F).[1]

Page 17: Metallography

2.1.2.4 Mikrostruktur Paduan Aluminium

Mikrostruktur hampir semua paduan alumunium terdiri dari kristal utama

padatan alumunium (biasanya berbentuk dendritik) ditambah dengan produk hasil

reaksi dengan paduan. Elemen paduan yang tidak berada dalam keadaan padat

biasanya membentuk fasa campuran pada eutectik, kecuali silikon yang muncul

sebagai produk utama. Pada paduan alumunium-silikon, eutektik terjadi pada

sekitar 12% Si[1]

.

2.1.2.5 Mikrostruktur Paduan Tembaga

Paduan tembaga yang akan dibahas di sini adalah paduan tembaga dengan

elemen dasar seng. Kuningan merupakan paduan tembaga seng, dengan elemen-

elemen lainnya seperti timbal, timah dan alumunium. Pada diagram fasa Cu-Zn,

kelarutan seng dalam larutan padatan fasa α meningkat dari 32,5% pada

temperatur 903 oC ke 39% pada temperatur 454 oC. Fasa α berbentuk FCC,

sementara fasa β berbentuk BCC[1]

.

2.1.2.6 Mikrostruktur Hasil Lasan

Pada gambar di bawah menggambarkan berbagai daerah pada produk las

baja. Daerah pada produk las dimulai dari daerah logam las terdiri dari: daerah

terpengaruh panas/heat affected zone (daerah fusi, daerah pertumbuhan butir,

daerah penghalusan butir (rekristalisasi), daerah transisi) dan daerah tak

terpengaruh panas/unaffected zone[1]

.

Gambar 2.2 Diagram skematis menunjukan lima daerah pada baja yang dilas

Page 18: Metallography

2.1.3 Prosedur Percobaan

2.1.3.1 Alat dan Bahan

1. Sampel

2. Preparat

3. Mikroskop optik dengan kamera

4. Lilin

2.1.3.2 Flowchart Proses

Pengamatan Struktur Mikro

Mulai

Letakan sampel pada kaca preparat

Berikan lilin pada bawah sampel

Ratakan peletakan sampel dengan alat penekan dan lilin

Nyalakan mikroskop

Atur perbesaran mikroskop dan lensa objektif

Atur fokus pada lensa

Amati gambar mikrostruktur

Mengambil sampel dan matikan mikroskop

Selesai

Page 19: Metallography

Pengambilan Foto

Mulai

Letakan sampel pada kaca preparat

Berikan lilin pada bawah sampel

Ratakan peletakan sampel dengan alat penekan dan lilin

Nyalakan mikroskop dan letakan sampel di bawah lensa objektif

Atur fokus

Tentukan diafragma dan pencahayaan

Ambil foto mikrostruktur

Selesai

Page 20: Metallography

2.2 Metalografi Kuantitatif

2.2.1 Tujuan

1. Menentukan jumlah fasa

2. Mengukur besar butir

2.2.2 Dasar Teori

Sampel yang telah dipoles dan dietsa dapat dianalisis secara kuantitatif

dengan melihat mikrostruktur material tersebut. Analisis dari ruang dua dimensi

dapat dilakukan untuk menduga morfologi sampel dalam tiga dimensi. Analisis

tersebut dinamakan ”metalografi kuantitatif” atau disebut juga stereology

kuantitatif. Terkait dengan tujuannya, ada pun standard yang menjelaskan tentang

perhitungan ukuran butir, yaitu ASTM E112[7]

. Parameter-parameter ini dapat

dihubungkan dengan sifat mekanis, terutama kekuatan logam[1]

.

Salah satu jenis metode metalografi kuantitatif adalah, metode kuantitatif

manual. Metode-metode kuantitatif manual ini meliputi[1]

:

Chart Method

Standard chart method meliputi mengamati sampel dan

membandingkannya dengan referensi dari standard chart yang berisi

mikrografi pada perbesaran yang sama dengan parameter-parameter

yang berbeda. Proses ini menjadikan sampel dapat dibandingkan

dengan sampel standard dan merupakan penentuan mikrostruktur yang

paling representatif.

Counting Method

Merupakan pengukuran / perhitungan dari parameter metalografi secara

langsung. Contoh metalografi kuantitatif manual secara umum adalah

penentuan jumla grain size, (n). Grain size number dapat ditemukan

dari persamaan berikut:

n = 2 G-1

dimana n = jumlah butir per inch kuadrat pada perbesaran 100x

G = ASTM grain saize number

Page 21: Metallography

Tabel 2.1 ASTM Grain size (Tabel lengkap dapat dilihat dalam ASTM E112)

Jeffries Planimetric Method (satuan pengukuran: mm)

Sebuah lingkaran digambar pada foto mikrostruktur dengan diameter

79.8 mm (luas area 5000 mm2). Gambar 2.10 adalah contoh dari

mikrostruktur baja austenitic dengan beberapa pearlite halus.

Gambar 2.3 Contoh gambar untuk perhitungan metode Jeffries dan Triple Point

Jumlah atau banyaknya butir per mm2 dihitung dengan persamaan:

(

), dimana M adalah perbesaran foto, adalah

jumlah butir dalam area dan adalah jumlah butir yang memotong

keliling lingkaran. Besar butir ASTM dihitung dengan persamaan

[ ] .

Triple Point Method (satuan pengukuran: mm)

Seperti metode Jeffries, sebuah lingkaran digambar pada foto

mikrostruktur dengan diameter 79.8 mm (luas area 5000 mm2). Contoh

gambar dapat dilihat pada gambar 1.4. Nilai NA dihitung dengan

Page 22: Metallography

menggunakan persamaan

, dimana P adalah jumlah triple

point dari grain boundary dan AT adalah area lingkaran pada perbesaran

1x. Besar butir ASTM dihitung dengan persamaan

[ ] .

2.2.3 Prosedur Percobaan

2.2.3.1 Alat dan Bahan

1. Foto mikrostruktur

2. Alat tulis

3. Kalkulator

2.2.3.2 Flowchart Proses

Mulai

Gambar lingkaran d=79,8 mm pada foto mikrostuktur dari sampel

Hitung jumlah butir dalam area lingkaran (n1)

Hitung jumlah butir yang memotong keliling lingkaran (n2)

Hitung jumlah butir/mm2 (NA)

Hitung besar butir ASTM (G)

Hubungkan ukuran butir dengan sifat mekanis material

Selesai

Page 23: Metallography

2.3 Pengamatan Struktur Makro

2.3.1 Tujuan

Percobaan ini bertujuan untuk mengetahui bentuk-bentuk perpatahan pada

sampel makro.

2.3.2 Dasar Teori

Dalam material teknik, terdapat dua jenis perpatahan yang mungkin

terjadi, yaitu perpatahan ulet (ductile) dan getas (brittle)[7]

. Klasifikasi ini

berdasarkan pada kemampuan material tersebut untuk mengalami deformasi

plastis. Material ulet akan menunjukkan deformasi plastis sebelum mengalami

perpatahan sedangkan sedikit atau tidak ada sama sekali deformasi plastis terjadi

pada material getas. Sampel hasil pengujian tarik dapat menunjukkan beberapa

tampilan perpatahan seperti diilustrasikan oleh gambar 2.4 di bawah ini:

Gambar 2.4 (a) Perpatahan sangat ulet dimana spesimen mengalami necking. (b) Perpatahan

cukup ulet setelah beberapa necking. (c) Perpatahan getas tanpa deformasi plastis terjadi[7]

.

2.3.2.1 Perpatahan Ulet

Karakteristik utama dari perpatahan ulet adalah berserabut (fibrous) dan

gelap (dull)[8]

. Perpatahan ulet umumnya lebih disukai karena bahan ulet

umumnya lebih tangguh dan memberikan peringatan lebih dahulu sebelum

terjadinya kerusakan[1]

. Perpatahan ulet memiliki cirri-ciri sebagai berikut:

Permukaan hasil patahan gelap karena menyerap cahaya

(a) (b) (c)

Page 24: Metallography

Karakteristik berserabut (fibrous) dan gelap (dull).

Terjadi ‘necking’ (penciutan) pada sampel hasil pengujian tersebut akibat

berkumpulnya void yang membuat void semakin besar. Void-void pada

daerah necking ini menjadi tempat terkonsentrasinya stress yang akhirnya

menjadi penyebab patah.

Gambar 2.5 (a) Scanning electron fractograph dari perpatahan ulet hasil beban tarik

unaksial dengan perbesaran 3300x. (b) Scanning electron fractograph dari perpatahan

ulet hasil beban puntir dengan perbesaran 5000x[7]

.

2.3.2.2 Perpatahan Getas

Permukaan perpatahan getas memiliki karakteristik berbutir (granular)

dan terang. Ciri-ciri perpatahan getas adalah sebagi berikut[8]

:

a. Tidak ada atau sedikit sekali deformasi plastis yang terjadi pada material.

b. Retak atau perpatahan merambat sepanjang bidang-bidang kristalin membelah

atom-atom material (transgranular).

c. Pada material lunak dengan butir kasar (coarse grains) maka dapat dilihat

pola-pola yang dinamakan chevrons or fan-like pattern yang berkembang

keluar dari daerah awal kegagalan.

d. Material keras dengan butir halus (fine grains) tidak memiliki pola-pola yang

mudah dibedakan.

e. Material amorphous (seperti gelas) memiliki permukaan patahan yang

bercahaya dan mulus.

Page 25: Metallography

Gambar 2.6 (a) Profil skematis menunjukkan propagasi retak memotong butir (transgranular

fracture). (b) Scanning electron fractograph dari ductile cast iron yang menunjukkan

permukaan patahan transgranular

2.3.3 Prosedur Percobaan

2.3.3.1 Alat dan Bahan

1. Sampel

2. Lilin

3. Kaca Preparat

4. Mikroskop optik kamera

2.3.3.2 Flowchart Proses

Mulai

Bersihkan area pengamatan

Pengamatan visual dengan mata

Pengamatan sampel dengan stereoscan macroscope

Pengambilan foto struktur makro

Selesai

Page 26: Metallography

MODUL III

PERCOBAAN JOMINY

3.1 Tujuan

1. Mendapatkan hubungan antara jarak permukaan pada pendinginan

langsung dengan sifat kemampukerasan bahan.

2. Mendapatkan hubungan antara kecepatan pendinginan dengan fasa yang

terbentuk serta mendapatkan sifat kekerasan dari fasa tersebut.

3.2 Dasar Teori

Percobaan Jominy adalah salah satu prosedur standard yang digunakan

untuk menentukan hardenability. Hardenability (kemampukerasan) merupakan

istilah yang digunakan untuk menggambarkan kemampuan suatu paduan untuk

dikeraskan melalui pembentukan martensit sebagai hasil dari perlakuan panas

(heat treatment)[7]

. Proses ini disebut juga kombinasi pemanasan dan pendinginan

yang bertujuan mengubah struktur mikro dan sifat mekanis logam disebut

perlakuan panas (heat treatment).

Logam yang didinginkan dengan kecepatan yang berbeda dengan media

pendingin yang berbeda, misalnya air, udara, atau minyak/oli akan mengalami

perubahan struktur mikro yang berbeda. Setiap struktur mikro misalnya fasa

martensit, bainit, ferit, dan perlit merupakan hasil transformasi fasa, yakni dari

fasa austenit. Masing-masing fasa tersebut terjadi dengan kondisi pendinginan

yang berbeda-beda dimana untuk setiap paduan bahan dapat dilihat pada diagram

Continous Cooling Transformation (CCT) dan Time Temperature Transformation

(TTT) diagram. Masing-masing fasa di atas mempunyai nilai kekerasan yang

berbeda. Dengan pengujian jominy maka dapat diketahui laju pendinginan yang

berbeda akan menghasilkan kekerasan bahan yang berbeda[1]

.

Kekerasan salah satu faktor yang penting dalam mendesain suatu material.

Pada baja, pendinginan yang cepat dari fasa austenit menghasilkan fasa martensit

yang tinggi kekerasannya. Kemampukerasan baja merupakan kemampuan baja

untuk menghasilkan fasa martensit diseluruh bagian produk disebut sebagai

Page 27: Metallography

kemampukerasan baja. Semakin besar persentase martensit pada logam, semakin

besar kemampukerasan material tersebut. Baja dengan paduan C, Cr, Mo, V, dan

Cr akan mempertinggi kemampukerasan baja. Bahan dengan kemampukerasan

tinggi, memiliki 100% fasa martensit pada pendinginan cepat[1]

.

Percobaan Jominy menggunakan sampel berbentuk silinder dengan

diameter (d) 25,4 mm (1,0 in.) dan panjang (L) 100 mm (4 in.)[7]

. Perlakuan yang

sangat penting dalam pengujian Jominy ialah setiap bagian dari sampel akan

merespon pendinginan yang diperlakukan. Salah satu parameter pengujiannya

adalah derajat pendinginan yang menentukan terbentuknya fasa martensit.

Pengukuran kemampukerasan didapat dengan mengukur kekerasan sepanjang

batang sampel. Nilai kekerasan diukur mulai dari ujung batang yang dekat dengan

media pendingin yang akan didapat 100% martensit, pada ujung sebaliknya yang

akan didapat 0% martensit dan terdapat fasa campuran ferit dan perlit, serta

diantaranya yang akan didapat gabungan antara martensit dan ferit perlit. Hasil

kekerasan yang diperoleh dapat menggambarkan kinetika dekomposisi austenit

pada baja dalam proses pendinginan, dan kurva Jominy dapat digunakan untuk

memplot profil kekerasan dari suatu bagian[1]

.

Gambar 3.1 (a) Pembentukan fasa pada percobaan Jominy dilihat dari diagram CCT, (b)

Diagram kematis percobaan Jominy dan setelah pengujian kekerasan[7]

.

Makin lambat laju pendinginan logam, makin banyak matriks perlit yang

ditampilkan dan kekerasan makin turun . Penambahan kadar karbon atau paduan

atau bertambah besarnya ukuran butir akan menyebabkan grafik bergeser ke

Page 28: Metallography

kanan sehingga memudahkan pembentukan struktur martensit. Untuk pendinginan

lambat akan mendapatkan struktur[1]

:

a. Bainit bawah, yaitu struktur seperti jarum, mirip martensit

b. Bainit atas, yaitu struktur seperti perlit dengan sifat lapisan yang lebih halus

c. Perlit halus, yaitu struktur perlit yang halus dengan lapisan ferit dan

sementit

d. Perlit kasar, yaitu struktur sama dengan perlit halus namum lamel lebih

kasar dan kekerasan lebih rendah.

Gambar 3.2 pengujian Jominy

3.3 Prosedur Percobaan

3.3.1 Alat dan Bahan

1. Batang baja (spesimen), d = 2.5 cm, L = 10 cm

2. Oven muffle dengan suhu max 1100oC

3. Kran air dengan tekanan yang cukup

4. Amplas

5. Alat penguji kekerasan Brinell

6. Mikroskop pengukur jejak

Page 29: Metallography

3.3.3 Flowchart Proses

Mulai

Siapkan benja uji

Amplas salah satu sisi benja uji dengan gerinda

Memanaskan batang uji dalam oven dengan T preheating 3500C

selama 15 menit dan T austenisasi 9000C selama 30 menit.

Batang dikeluarkan dari ovencdengan cepat dan meletakkan batang pada

alat bangku Jominy (ujung bawah logam mengalami penyemprotan air.

Tunggu hingga mendingin

Bersihkan bagian untuk penjajakan dengan amplas

Lakukan penjejakan Brinell pada 15 titik yang berjarak sama

Selesai

Ukur besar d jejak Brinell

Hitung kekerasan dengan rumus kekerasan Brinell*)

Page 30: Metallography

*) Rumus kekerasan Brinell:

Dimana; P = Beban yang digunakan, Kg

D = Diameter bola, mm, dan

d = diameter indentasi, mm

Page 31: Metallography

DAFTAR PUSTAKA

[1] Modul Praktikum Metalografi dan HST 2013. Depok: Laboratorium

Metalografi dan HST, Departemen Teknik Metalurgi dan Material FTUI.

[2] Sofyan, Nofrijon. 2010. Teknik Pengamatan Struktur Mikro. Handout Mata

Kuliah Material Characterization I. Depok: Departemen Teknik Metalurgi

dan Material FTUI.

[3] Anonim. -. Sample Preparation. http://www.doitpoms.ac.uk/tlplib/optical-

microscopy/preparation.php (diakses pada tanggal 24 Februari 2013 pukul

13.32)

[4] Surya, Abdul Khalim. 2004. Laporan Pendahuluan Praktikum Metalografi

dan HST. Depok: Dokumen Pribadi.

[5] Anonim. 2010. Metalografi. http://candadisini.blogspot.com/ (diakses pada

tanggal 24 Februari 2013 pukul 15.43)

[6] Metals Handbook: Metallography, Structures and Phase Diagrams, vol.8, 8th

edition, ASM Handbook Committee, T. Lyman, Editor, ASM, 1973, hal.275

[7] Callister, Jr, William D. (2007). Materials science and Engineering–An

Introduction 7e. New York: John Wiley & Sons, Inc.

[8] Waroko, Rhidiyan . 2009. Karakteristik Material 1: Metalografi Kuantitatif.

Depok: Departemen Metalurgi dan Material FTUI.