13
471 METAMORFOSA KERASULAN MUHAMMAD SAW DALAM PROSA MAULIDUL BARZANJI (Tinjauan Psikologi Sastra Perspektif Abraham Maslow) Himatul Istiqomah CV. Pustaka Abadi Jember - Penerbit Misykat Indonesia Malang SMP Plus Cordova Banyuwangi [email protected] Abstrak: Humanistik merupakan kategori kepribadian yang dipengaruhi oleh motivasi internal, berupa meta kebutuhan alami pada manusia nyata ataupun yang tergambarkan dalam karya sastra. Melalui teori Maslow, peneliti berupaya memaparkan jenis kebutuhan motivatif Muhammad SAW dan bagaimana pemuasannya dalam Maulidul Barzanji (karya Ja‟far bin Hasan al-Barzanji (w. 1763 M)), guna menelisik pesan moralnya. Tujuan tersebut dinyatakan dengan pendekatan kualitatif deskriptif, menggunakan analisis teks berbasis Psikosastra milik Endraswara. Terdapat lima jenis kebutuhan motivatif Muhammad SAW dalam Maulidul Barzanji secara sempurna, yaitu: kebutuhan fisiologis, rasa aman, sosial, penghargaan, dan aktualisasi diri. Untuk pemuasannya; pertama, melalui pemenuhan kebutuhan pangan, papan, dan ekonomi; kedua, melalui perlindungan pengasuh dan nasehat Ahlul Kitab; ketiga, melalui rumah tangga sakinah dan solidaritas kesukuan; keempat, melalui posisinya sebagai al-Amiin; dan kelima, melalui prosesi bi‟tsah. Hal ini menunjukkan adanya serangkaian proses yang dilalui Muhammad Saw sebelum dan saat mencapai posisi puncaknya, sebagai nabi dan rasul Allah. Adanya kompleksitas metamorfosa di sinilah yang dapat diteladani oleh setiap manusia, agar tidak lekas putus asa dalam memuaskan kebutuhan motivatifnya, hingga mencapai posisi puncak sebagai khalifah Allah di muka bumi. Kata Kunci: Metamorfosa Kerasulan, Muhammad Saw, Prosa Maulidul Barzanji, Psikologi Sastra, dan Abraham Maslow. Pendahuluan Setiap orang memiliki kepribadiannya masing-masing. Sebagai identitas diri, kepribadian sering kali menjadi sorotan yang menentukan nilai dan posisi seseorang di tengah masyarakat. Kepribadian dilatari oleh banyak hal, salah satunya adalah kehadiran motivasi dalam diri seseorang. Motivasi merupakan dorongan yang timbul pada diri seseorang secara sadar atau tidak untuk melakukan suatu tindakan dengan tujuan tertentu (KBBI, 2005: 759). Abraham Maslow, seorang pakar Psikologi Kepribadian Humanistik (Mazhab Ketiga) memandang motivasi berasal dari kebutuhan- kebutuhan dasar manusia yang dianggapnya berlaku universal (Wilcox, 2013: 154). Terdapat lima klasifikasi dalam hierarki kebutuhan yang digagas oleh Maslow, yaitu kebutuhan fisiologis, rasa aman, rasa cinta dan memiliki, penghargaan, dan aktualisasi diri (Minderop, 2011: 49). Dalam pendekatan Mazhab Ketiga ini, karya sastra memberikan kontribusinya sebagai bingkai yang tampil dengan gayanya yang khas dan unik. Sebab, karya sastra tak luput dari perbincangan terkait kepribadian tokoh yang diusung oleh pengarang. Selanjutnya, ia hadir memberikan beberapa pesan dan nilai yang mendidik, di samping fungsinya memberikan hiburan atau wisata jiwa. Horace menyebutnya dengan dulce at utile (Wellek dan Warren, 1989: 25). Penyair Sutarji C. Bachri pun menegaskan bahwa karya sastra dapat memberikan hikmah (Fakhrudin, 2015). Di antaranya, yaitu: nilai religius, nilai moral, nilai optimis, nilai kreatif, nilai kesadaran, nilai sosial, dan nilai kebebasan, yang oleh Ali Syari‟ati disebut dengan nilai humanisme (Istiqomah, 2015).

METAMORFOSA KERASULAN MUHAMMAD SAW DALAM PROSA …

  • Upload
    others

  • View
    3

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: METAMORFOSA KERASULAN MUHAMMAD SAW DALAM PROSA …

471

METAMORFOSA KERASULAN MUHAMMAD SAW DALAM PROSA

MAULIDUL BARZANJI

(Tinjauan Psikologi Sastra Perspektif Abraham Maslow)

Himatul Istiqomah

CV. Pustaka Abadi Jember - Penerbit Misykat Indonesia Malang

SMP Plus Cordova Banyuwangi

[email protected]

Abstrak: Humanistik merupakan kategori kepribadian yang dipengaruhi oleh

motivasi internal, berupa meta kebutuhan alami pada manusia nyata ataupun yang

tergambarkan dalam karya sastra. Melalui teori Maslow, peneliti berupaya

memaparkan jenis kebutuhan motivatif Muhammad SAW dan bagaimana

pemuasannya dalam Maulidul Barzanji (karya Ja‟far bin Hasan al-Barzanji (w. 1763

M)), guna menelisik pesan moralnya. Tujuan tersebut dinyatakan dengan pendekatan

kualitatif deskriptif, menggunakan analisis teks berbasis Psikosastra milik

Endraswara. Terdapat lima jenis kebutuhan motivatif Muhammad SAW dalam

Maulidul Barzanji secara sempurna, yaitu: kebutuhan fisiologis, rasa aman, sosial,

penghargaan, dan aktualisasi diri. Untuk pemuasannya; pertama, melalui pemenuhan

kebutuhan pangan, papan, dan ekonomi; kedua, melalui perlindungan pengasuh dan

nasehat Ahlul Kitab; ketiga, melalui rumah tangga sakinah dan solidaritas kesukuan;

keempat, melalui posisinya sebagai al-Amiin; dan kelima, melalui prosesi bi‟tsah. Hal

ini menunjukkan adanya serangkaian proses yang dilalui Muhammad Saw sebelum

dan saat mencapai posisi puncaknya, sebagai nabi dan rasul Allah. Adanya

kompleksitas metamorfosa di sinilah yang dapat diteladani oleh setiap manusia, agar

tidak lekas putus asa dalam memuaskan kebutuhan motivatifnya, hingga mencapai

posisi puncak sebagai khalifah Allah di muka bumi.

Kata Kunci: Metamorfosa Kerasulan, Muhammad Saw, Prosa Maulidul Barzanji,

Psikologi Sastra, dan Abraham Maslow.

Pendahuluan Setiap orang memiliki kepribadiannya masing-masing. Sebagai identitas diri,

kepribadian sering kali menjadi sorotan yang menentukan nilai dan posisi seseorang di

tengah masyarakat. Kepribadian dilatari oleh banyak hal, salah satunya adalah

kehadiran motivasi dalam diri seseorang. Motivasi merupakan dorongan yang timbul

pada diri seseorang secara sadar atau tidak untuk melakukan suatu tindakan dengan

tujuan tertentu (KBBI, 2005: 759). Abraham Maslow, seorang pakar Psikologi

Kepribadian Humanistik (Mazhab Ketiga) memandang motivasi berasal dari kebutuhan-

kebutuhan dasar manusia yang dianggapnya berlaku universal (Wilcox, 2013: 154).

Terdapat lima klasifikasi dalam hierarki kebutuhan yang digagas oleh Maslow, yaitu

kebutuhan fisiologis, rasa aman, rasa cinta dan memiliki, penghargaan, dan aktualisasi

diri (Minderop, 2011: 49).

Dalam pendekatan Mazhab Ketiga ini, karya sastra memberikan kontribusinya

sebagai bingkai yang tampil dengan gayanya yang khas dan unik. Sebab, karya sastra

tak luput dari perbincangan terkait kepribadian tokoh yang diusung oleh pengarang.

Selanjutnya, ia hadir memberikan beberapa pesan dan nilai yang mendidik, di samping

fungsinya memberikan hiburan atau wisata jiwa. Horace menyebutnya dengan dulce at

utile (Wellek dan Warren, 1989: 25). Penyair Sutarji C. Bachri pun menegaskan bahwa

karya sastra dapat memberikan hikmah (Fakhrudin, 2015). Di antaranya, yaitu: nilai

religius, nilai moral, nilai optimis, nilai kreatif, nilai kesadaran, nilai sosial, dan nilai

kebebasan, yang oleh Ali Syari‟ati disebut dengan nilai humanisme (Istiqomah, 2015).

Page 2: METAMORFOSA KERASULAN MUHAMMAD SAW DALAM PROSA …

472

Salah satu karya sastra yang mashur bagi kaum Muslim di berbagai belahan dunia,

yang dipilih untuk merealisasikan tujuan penelitian ini yakni Prosa Maulidul Barzanji,

berisi ringkasan perjalanan hidup Muhammad SAW sejak sebelum lahir hingga masa

kerasulan. Dalam Ensiklopedi Islam disebutkan bahwa karya ini ditulis oleh Sayyid

Ja‟far bin Hasan al-Barzanji, seorang ulama besar keturunan Nabi SAW dari keluarga

Sadah al-Barzanji, daerah Barzanj di Irak (Isa, 2008).

Dengan teori milik Maslow, peneliti berupaya menganalisis teks Maulidul Barzanji

guna menyajikan serangkaian perilaku Muhammad SAW yang dianggapnya sebagai

bagian dari proses menuju kenabian dan kerasulannya. Predikat nabi dan rasul tidak

semata-semata diberikan oleh Allah SWT secara tiba-tiba. Tapi, ini merupakan

kombinasi antara hadiah dari Allah SWT dan pengasahan kepribadian yang telah

dijalani oleh Muhammad SAW secara istiqomah (kontinyu). Artinya, dia telah terlebih

dulu menjalani serangkaian proses panjang dan sangat kompleks yang mengasah

kepribadiannya layaknya proses metamorfosa, sehingga dapat diteladani seluruh umat.

Muhammad SAW yang notabene juga manusia biasa menjadi contoh riil dalam setiap

proses yang berlangsung dalam kehidupan, termasuk proses kenabian dan kerasulan,

yang mana bagi seluruh manusia berarti proses kekhalifahan. Karena, semua manusia

pada dasarnya memiliki energi nubuwwah dan risalah, meski tidak setingkat

Muhammad SAW (Nawawi, 2000: 187). Karena itulah, di sini peneliti menggunakan

bahasa Metamorfosa Kerasulan Muhammad SAWdalam Prosa Maulidul Barzanji.

Metode Penelitian

Penelitian ini pada dasarnya merupakan penelitian teks (dirasah nushusiyah).

Untuk memperoleh pemahaman mendalam terkait Prosa Maulidul Barzanji dan

jawaban dari rumusan masalah yang telah disampaikan, peneliti menggunakan

pendekatan kualitatif. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif guna

mendeskripsikan isi kandungan teks yang diteliti secara kritis.

Sumber data primer dalam penelitian ini berupa teks Prosa Maulidul Barzanji yang

terdapat dalam buku Maulidul Barzanji. Untaian karya sastra milik Sayyid Ja‟far bin

Hasan al-Barzanji yang kemudian ditahqiq olehBassam Muhammad Baaruud dan

diterbitkan di Abu Dabi: Ishdaaraah As-Saahatul Khuzrajiyyah tahun 2008.Sedangkan

sumber data sekunder berupa penelitian terdahulu terhadap Natsr Maulidul Barzanji,

buku terjemahan Natsr Maulidul Barzanji, Syarhu Maulidul Barzanji, Sirah

Nabawiyah, sejumlahpenelitian terdahulu, dan rujukan yang menjelaskan teori

kepribadian humanistik Abraham Maslow.

Pengumpulan data di sini dilakukan dengan metode library research. Untuk

mencapai hasil penelitian yang objektif, peneliti menggunakan TeoriMotivasi Persektif

Abraham Maslow guna menguak aneka kebutuhan motivatif Muhammad Saw secara

hierarki (Maslow, 1998) dalam prosa tersebut melalui teknik analisis teks berbasis

Psikosastra milik Endraswara (Endraswara, 2013: 97).

Metamorfosa Kerasulan Muhammad Saw

Berdasarkan penelitian yang dilangsungkan, peneliti akan memaparkan kelima

macam kebutuhan motivatif Muhammad SAW yang tertera dalam Prosa Maulidul

Barzanji, sebagai berikut.

Page 3: METAMORFOSA KERASULAN MUHAMMAD SAW DALAM PROSA …

473

Kebutuhan Fisiologis (Al-Haajatul Fiisiyuuluujiyyah)

Sebagai kebutuhan yang paling mendasar dalam kehidupan manusia, kebutuhan

fisiologis berupa makan, minum, seks, tidur (Knight, 2005: 333), tempat tinggal yang

layak, dan ekonomi.

A. ASI Esklusif

ه أياما ﴿فـ . ﴾.901: 7وأرضعته أم

“Ibunya telah menyusuinya (bayi Muhamad SAW) selama beberapa hari”

(Pasal 7: 109).

Kalimat di atas menjelaskan pemenuhan kebutuhan fisiologis Muhammad SAW

yang berupa pemberian ASI esklusif oleh ibu kandungnya, Aminah. Hal tersebut dalam

pandangan psikologi tidak hanya sebagai pemenuhan kebutuhan nutrisi, tapi juga upaya

pemenuhan kebutuhan seksual bayi Muhammad SAW pada fase oral.Saat proses

menyusui, ibu berlaku sebagai objek cinta pertama bayi secara natural. Fokus pada

kebutuhan dan perasaan cinta kasih akan menumbuhkan kelekatan hubungan antar ibu

dan anak (Ervika, 2000). Dengan demikian, terbangunlah pribadi yang penuh kasih

sayang sejak Muhammad SAW masih kecil.

﴾.901: 7﴿فـ . ثم أرضعته الفتاة حليمت السعديت أرضعته ثويبت السلميت ۞ ثم

“Kemudian dia (bayi Muhammad SAW) disusui oleh Tsuwaybah dari klan

Aslam. Kemudian disusui oleh seorang wanita, Halimah dari klan Sa‟di”

(Pasal 7: 109).

Kalimat di atas menjelaskan pemenuhan ASI esklusif bayi Muhammad Saw tidak

hanya diperoleh dari ibu kandungnya, tapi juga dari Tsuwaybah, budak yang

dimerdekakan oleh Abu Lahab1 sebagai hadiah karena menyampaikan kabar kelahiran

Muhammad SAW, dan Halimah binti Abi Dzu‟aib Abdullah Al-Harts, seorang wanita

dari klan Sa‟di (Ahmad, 2010: 23-24) hingga berusia dua tahun.

Menurut hasil diskusi penulis dengan Syekh Muhammad Nursamad Kamba, sudah

menjadi salah satu tradisi dan budaya bangsa Arab perihal menyusukan putra-putrinya

kepada wanita dusun yang dianggap tepat, bercitra baik atau berkualitas. Sebab,

lingkungan pedesaan merupakan bagian alam yang masih segar dan bagus untuk

pertumbuhan fisik anak, dan cenderung memelihara penggunaan bahasa Arab baku

(fusha). Sehingga, tradisi ini diharapkan dapat membantu pertumbuhan dan

perkembangan anak menjadi sosok yang sehat, baik fisik maupun kepribadiannya, serta

mampu berbahasa Arab baku dengan baik dan tepat. Demikian pula yang berlaku pada

bayi Muhammad SAW melalui tangan Aminah, Tsuwaybah, dan Halimah.

Urgensitas pemenuhan ASI esklusif bagi bayi bahkan mendapat perhatian besar

dalam ajaran Islam, sebagaimana tersurat dalam firman Allah SWT.

“Para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh,yaitu bagi

yang ingin menyempurnakan penyusuan. ... Apabila dia hendak menyapih

(sebelum dua tahun) dengan kerelaan dari keduanya (orangtua dan bayi), tidak

ada dosa bagi keduanya. Apabila kamu sekalian hendak menyusukan (kepada

orang lain) anak-anakmu, tidak ada dosa bagimu jika kamu menyerahkan (upah)

dengan ma‟ruf” (QS. Al-Baqarah: 233).

Melalui ayat di atas, Allah SWT mengisyaratkan kurun waktu maksimal dua tahun

untuk memenuhi kebutuhan ASI esklusif bagi bayi, baik oleh ibu kandungnya sendiri

1Abu lahab adalah kunyah yang diberikan kepada orang yang bernama asli Abdul Uzza (Abdurrahim,

1903: 31), sebab kecaman yang diberikan oleh Allah SWT kepadanya dalam surat Al-Lahab, ketika dia

menolak terang-terangan dakwah Islam dengan bahasa yang tidak santun dan perilaku yang tidak sopan.

Page 4: METAMORFOSA KERASULAN MUHAMMAD SAW DALAM PROSA …

474

maupun wanita lain yang dianggap layak, dengan ketentuan yang telah

disepakati.Dalam tinjauan medis, ASI mengandung kolostrum dan kaya akan protein

yang mendukung pertumbuhan anak dan menguatkan daya tahan tubuhnya (Abid, 2007:

137). Kealamiahan ASI tersebut sangatlah berkualitas dibandingkan dengan susu

formula, apalagi jika si ibu memiliki inisiasi menyusui sejak dini. Perilaku ini dapat

mempererat relasi dan rasa kepercayaan seorang anak terhadap ibunya, sehingga

menimbulkan rasa aman ketika berinteraksi dengan ibu dan keluarganya. Setelah

kemandirian ini terbentuk, anak tidak akan melakukan hal-hal yang dapat merugikan

oranglain. Karena kebutuhan pribadinya sudah terpenuhi, anak tidak memiliki alasan

untuk melakukan perilaku parasitnya.

Adapun pemenuhan ASI yang tidak tercukupi dengan baik, secara psikologi

berdampak pada pembentukan karakter anak, bahkan hingga dia dewasa. Di antaranya,

dia akan mudah ditipu, mudah menelan semua yang dikatakan orang, suka berdebat, dan

suka mengritik orang lain. Selain itu, akan terbentuk pribadi yang penakut, merasa tidak

aman, haus akan perhatian, iri, agresif, mudah membenci sesuatu, dan merasa kesepian

(Istiqomah, 2016).

B. Penghidupan Layak Papan atau tempat tinggal merupakan bagian penting dari kebutuhan pokok bagi

setiap manusia. Tempat tinggal tidak harus berarti yang mewah, tapi cukup yang

sederhana, asalkan memberikan keteduhan, baik dari terik mentari maupun guyuran

hujan, udara yang dingin, maupun keteduhan bagi jiwa penghuninya.

ه ى زقي

عله وأ

يه وزق ل

ه إل م

ض

لب ف

ط

ه عبد ال ى جد

ه عل

ت

ل

دخ

م ۞ وأ

ك ول

ش

ت

ل في صباه جىعا و

سه

ف ه

ط

ا ق

ش

۞عط

ت بي

ثيرا ما ال

داوك

ي بما غ

د

ت

اغ

زواه ف

بعه وأ

ش

أ

مصم ف

بى ۞ ء شه أ ه عم

ل

ف

ك

بيه عبد الله ﴿فـ . قيق أ

الب ش

﴾. 111: 9ط

“Ummu Aiman membawa Muhammad SAW kepada kakeknya, Abdul Muththalib,

kemudian dipeluk dan digendong oleh kakeknya. Sedari kecil Muhammad SAW

belum pernah mengeluhkan rasa lapar dan dahaga kepada kakeknya. Dia sering

tidak makan dan hanya meneguk air zam-zam untuk

mengenyangkannya.Muhammad SAW diasuh oleh Abu Thalib, saudara kandung

ayahnya, Abdullah” (Pasal 9: 111).

Dalam kasus ini, Muhammad SAW sepeninggal Aminah diasuh oleh kakeknya,

Abdul Muththalib, kemudian pamannya, Abu Thalib. Dari merekalah kebutuhan akan

tempat tinggal yang layak, makan, minum, dan semua urusannya secara tidak langsung

juga terpenuhi.

Selain papan, yang termasuk kebutuhan primer bagi kelangsungan hidup manusia

yaitu pangan dan sandang. Oleh karena itu, memiliki kemandirian dalam pemenuhannya

sangat penting ketika seseorang sudah beranjak dewasa.

يه ى الله عل

حل به صل ز

س سنت

ني عش

اث

غ

ـا بل

ت ول امي

د الش

بل

ى ال

ه إل م عم

﴾.111: 9﴿فـ . وسل

“Ketika Muhammad SAW mencapai usia 12 tahun, dia bepergian ke negeri Syam

(Suriah) bersama pamannya” (Pasal 9: 112).

Muhammad SAW, pada usianya yang ke-12 tahun sudah diperkenalkan dengan

dunia wirausaha di bidang perdagangan oleh pamannya, Abu Thalib. Dia tidak lagi

sekedar mempelajari cara-cara pamannya dalam berwirausaha seperti sebelumnya (pada

Page 5: METAMORFOSA KERASULAN MUHAMMAD SAW DALAM PROSA …

475

usia 9 tahun), malah sudah mulai mengambil tanggungjawab sebagai tulang punggung

keluarga pamannya (Ahmad, 2010: 31).

Pertumbuhan Muhammad SAW di bawah asuhan pamannya ini menjadikannya

sosok wirausahawan yang mandiri. Bahkan, ketika pamannya bangkrut saat dia hampir

dewasa, dia tetap mampu berdiri melalui perdagangan yang dilakonkannya di Makkah.

Muhammad SAW adalah pedagang keliling yang rajin, terampil, ulet, dan penuh

dedikasi dalam menekuni profesinya. Disebutkan dalam pengantar Dr. Laode

Kamaluddin, kecerdasan, kejujuran, dan kesetiaannya memegang janji adalah dasar

etika wirausaha yang sangat modern. Dari sifat-sifatnya inilah, berbagai pinjaman

komersial yang tersedia di Makkah membuka peluang kemitraan antara Muhammad

SAW dengan pemilik modal (Afzalurrahman, 1997: viii).

Perihal pentingnya urusan ekonomi sebagaipenunjang kahidupan, Allah SWT

mengisyaratkan dalam firmanNya akan larangan meninggalkan anak turunnya dalam

keadaan yg susah.

“Hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang seandainya meninggalkan

keturunan yang lemah di belakang mereka, yang mengkhawatirkan terhadap

(kesejahteraan) keturunannya itu” (QS. An-Nisaa:9).

Pada kebutuhan pertama (fisiologis) ini, pemenuhannya harus dilakukan berulang-

ulang menggunakan cara yang sesuai dengan situasi dan kondisi seseorang. Artinya,

seperti kebutuhan terhadap pangan, papan, sandang, tidur, seks, dll pun harus dipenuhi

oleh Muhammad SAW selama hidupnya. Seiring bertambahnya usia, kebutuhan ini

bukan lagi menjadi prioritas, melainkan sebagai pendukung. Setelah semua kebutuhan

pada tahap ini terpenuhi, Muhammad SAW secara psikologis akan termotivasi untuk

memenuhi kebutuhan pada tingkat berikutnya, yakni kebutuhan akan rasa aman.

Kebutuhan Akan Rasa Aman (Al-Haajah ilal Amn) Pada tahap kedua, kebutuhan ini berupa perlindungan diri dari sesuatu yang

dianggap berbahaya, meliputi: jaminan, stabilitas, ketertiban, bebas dari ketakutan dan

kecemasan (Minderop, 2011: 283).

A. Perlindungan Pengasuh

م ه ث

ت ت ۞ زد ير سخي

ه، وهي به غ م

ى أ

م إل

يه وسل

ى الله عل

ن يصاب بمصاب حادث صل

زا من أ

حر

اه ﴿فـ .

ش

خ ﴾.111: 8 ت

“Kemudian Halimah mengembalikan Muhammad SAW ke (pangkuan) ibunya

dengan berat hati, kerena khawatir terjadi sesuatu yang menakutkan (yang

menimpa Muhammad SAW)” (Pasal 8: 110).

Selama dalam asuhan Halimah, keamanan Muhammad SAW sangat terjamin

dengan baik. Halimah memperlakukannya sebagaimana anak sendiri. Muhammad SAW

juga senang bergaul dan bermain bersama dengan anak-anak Halimah. Dia senang

menemani Abdullah menggembalakan kambing-kambing di padang pasir (Chalil, 1969:

100). Setelah mendengar kabar bahwa Muhammad SAW telah dibelah dadanya, dengan

penuh kekhawatiran Halimah bergegas mengembalikan Muhammad SAW ke pangkuan

ibunya, Aminah. Meskipun sebenarnya Halimah sangat berat hati melakukannya.

لب ط

ه عبد ال ى جد

ته عل

ل

دخ

بيه عبد الله - وأ

قيق أ

الب ش

بى ط

ه أ ه عم

ل

ف

ام -ك

ق

ته ف

ال

ف

بعصم بك

ت ۞ حمي ت و هم ىي ومه ق د

اه ﴿فـ . وك وزب

بنين

س وال

ف

ى الن

﴾.111: 9عل

Page 6: METAMORFOSA KERASULAN MUHAMMAD SAW DALAM PROSA …

476

“Ummu Aiman membawa Muhammad SAW kepada kakeknya, Abdul Muththalib -

Muhammad SAW di asuh oleh Abu Thalib, saudara kandung ayahnya, Abdullah -

Abu Thalib merawatnya dengan perlindungan penuh dan menjadi prioritas.

Bahkan, Abu Thalib lebih mendahulukan Muhammad SAW daripada putera-

puteranya sendiri dan mengasuhnya (sepenuh hati)” (Pasal 9: 111).

Adanya perpindahan hak asuh atas Muhammad SAW ini pun terkategorikan dalam

pemenuhan kebutuhan akan rasa aman. Sebab, untuk melindungi dirinya dari segala

sesuatu yang mengancam keselamatannya, Muhammad SAW kecil masih

membutuhkan tangan-tangan lain, seperti kakek dan pamannya.

B. Nasehat Ahlul Kitab

ة وحىاه ۞ بى صف الن اهب بحيراء بما حاشه من و ه السمس وعسف

ه وأ ه عم ىبسد

إل

ت

يه من مك

ا عل

ف ى

خ

ت

ت يهىدن ال هل د

﴾.111: 9﴿فـ . أ

“Pendeta Buhaira mengetahui tanda-tanda kenabian yang ada pada diri

Muhammad SAW. Dia pun memerintahkan Abu Thalib agar membawanya pulang

ke Makkah, karena takut jika hal itu diketahui oleh kaum Yahudi” (Pasal 9: 112).

Kebutuhan kedua ini tidak hanya dipenuhi melalui tangan-tangan keluarga

Muhammad SAW, tapi juga dari orang lain. Terbukti dengan adanya anjuran Buhaira,

seorang pendeta Yahudi, agar pamannya membawa Muhammad SAW kembali ke

Makkah. Buhaira khawatir jika sampai ada orang Yahudi lain yang mengetahui hal itu.

Sebab, orang Yahudi tidak berkenan jika ada nabi yang lahir tidak dari golongannya,

sehingga kemungkinan mereka akan menjadi ancaman atas keselamatan Muhammad

SAW jika megetahui tanda-tanda itu.

يسسة لال ل

وآواه ۞ وك

ىازف

ها ال

يه ظل

مال إل

اهب إذ ه الس

عسف

ف

ف

ه ت

حسن ازك عه بصدق عصم و ن م

وك

ت ﴿ف ىي ﴾.111-111: 11ـ . ط

“Pendeta (Nasrani) mengetahui tiba-tiba dedaunan yang lebat menunduk dan

menaunginya (sebagai tanda Muhammad SAW adalah nabi). Dia pun berkata

kepada Maisarah, “Jangan sampai kau meninggalkannya dan sertailah dia dengan

hati yang lapang!” (Pasal 10: 112-113).

Selain Buhaira, ada pula perlindungan yang diberikan oleh seorang pendeta

Nasrani. Dia menganjurkan kepada Maisarah (kolega Muhammad SAW) agar

senantiasa bersamanya dan tidak meninggalkannya, karena khawatir sesuatu yang buruk

akan terjadi pada dirinya jika sampai kaum Nasrani lain mengetahui hal ini.

Perihal keamanan, Nabi Ibrahim A.s. memprioritaskannya melalui doanya kepada

Allah SWT.

“Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini aman sentosa, dan rizkikanlah buah-buahan

kepada pendudukanya yang beriman kepada Allah dan hari akhir”(QS. Al-

Baqarah: 126).

Pada tahap kedua ini, pemenuhan kebutuhan Muhammad SAW akan rasa aman

didapatkan melalui keluarganya, termasuk ibu susunya, dan orang-orang yang di

sekitarnya, seperti dua pendeta yang telah disebutkan di atas. Maslow menuturkan,

apabila seorang anak dapat merasakan keamanan dan keselamatan dari orang-orang di

Page 7: METAMORFOSA KERASULAN MUHAMMAD SAW DALAM PROSA …

477

sekelilingnya di tahun-tahun awal pertumbuhannya, ia akan menjadi sosok yang kuat

dan mampu berpikir serta bertindak positif menghadapi segala kemungkinan buruk yang

akan terjadi di masa depannya.

Sementara itu, seorang anak yang diabaikan oleh orang-orang di sekelilingnya,

terlebih orangtuanya, ia akan berusaha mencari perhatian, pujian, dan kasih sayang

dengan cara yang kekanak-kanakan. Efek jangka panjangnya, anak yang demikian dapat

mengalami gangguan mental (Goble, 1987: 115-116) dan merasakan dirinya dalam

belenggu ketakutan, was-was, dan khawatir tanpa alasan yang jelas.

Setelah Muhammad SAW terpenuhi kebutuhan tahap keduanya ini, dia pun

termotivasi untuk memenuhi level berikutnya, yakni kebutuhan akan cinta dan rasa

memiliki.

Kebutuhan Akan Cinta dan Rasa Memiliki (Al-Haajatul Ijtimaa’iyyah) Kebutuhan akan cinta dan rasa memiliki ini disebut juga dengan kebutuhan sosial.

Pada tahap ketiga, kebutuhan ini dapat dipenuhi dengan jalan bergabung dengan suatu

kelompok atau berorganisasi, memiliki solidaritas, dan membina hubungan kekerabatan

dengan orang-orang pada umumnya. Dalam hal ini, sama pentingnya antara memberi

dan menerima cinta (Minderop, 2011: 283).

A. Rumah Tangga Sakinah

ىها لسابق سعادتها

خها وقيل أ بىها وقيل عم

م أ

يه وسل

ى الله عل

ه صل

جها من صو

ت۞ف لي

ش ال

م يه وسل

ى الله عل

ده صل

ول

ل أ

دها ك

ول

اه ﴿فـ . وأ ليل سم

خ

ري باسم ال

ال

﴾.111-111: 11إل

“Kemudian Muhammad SAW dinikahkan dengan Khadijah oleh ayahnya

(beberapa pendapat mengatakan pamannya; saudara kandungnya) berdasarkan

suratan takdir yang membahagiakan. Semua putera Khadijah adalah puteranya

bersama Muhammad SAW, kecuali yang bernama Ibrahim” (Pasal 10: 113-114).

Ketika masa kanak-kanak dan remaja Muhammad SAW telah purna, tibalah

saatnya dia mencapai masa dewasa. Jika semula semua pemenuhan kebutuhan dasarnya

masih bergantung pada orang-orang di sekitarnya, sekarang justru Muhammad SAW lah

yang berlaku sebagai subjek, yang aktif menjalankan peranannya. Pada tahap ini,

kebutuhan cinta dan rasa memiliki dalam pribadi Muhammad SAW, selain terpenuhi

oleh keluarganya, juga terpenuhi melalui pernikahannya dengan Khadijah Binti

Khuwaylid Al-Kubra, dengan mas kawin sebanyak 20 ekor unta betina (Hamid, 1379 H:

179). Bersama Khadijah, Muhammad SAW melabuhkan segenap cinta dan kasih

sayangnya sebagai sepasang kekasih. Memberi dan menerima, saling memiliki, serta

saling mengisi kekurangan pasangan, sehingga terwujud rumah tangga yang sakinah,

penuh mawaddah dan rahmah. Dalam berkeluarga, keduanya dikaruniai 2 putera, yakni

Qasim dan Abdullah. Namun, mereka meninggal saat masih bayi. Muhammad SAW

bersama Khadijah juga dikaruniai 4 puteri, yakni: Ummu Kultsum, Ruqayyah, Zainab,

dan Fatimah Az-Zahra. Selain Fatimah, ketiganya telah menikah dan meninggal

sebelum memiliki keturunan pada tahun 630 M (Raji dan Lamya, 1998: 157). Kemudian

ditambah lagi seorang putera bernama Ibrahim, yang dilahirkan dari istri yang bernama

Mariyah dari klan Qibti. Meski dibilang putera Muhammad SAW cukup banyak, tapi dia mampu

menciptakan kehidupan keluarganya senantiasa hangat oleh cinta. Sebagai kepala rumah

tangga, Muhammad SAW sangat bagus dalam bergaul bersama istri-istri dan

Page 8: METAMORFOSA KERASULAN MUHAMMAD SAW DALAM PROSA …

478

keluarganya, menyantuni mereka, bergurau dengan mereka, dan menuangkan segenap

cinta tanpa pamrih dan tanpa pilih kasih (Ibnu Majah, tt: 636; J. 1).

Dalam kasus ini, pernikahan adalah solusi indah yang diajukan Islam untuk

memenuhi kebutuhan seksual pada tingkat lanjut, yakni hubungan antara dua lawan

jenis. Melalui Muhammad SAW, Islam mencontohkan bagaimana seharusnya membina

sebuah keluarga melalui pernikahan, yang menjadi tempat melabuhkan segenap cinta

dan rasa memiliki yang manusiawi. Pernikahan menjadi sesuatu yang suci yang dalam

ajaran Islam memiliki kurikulum tersendiri, sebagai upaya preventif terhadap

kemungkinan terjadinya perzinaan sekaligus perlindungan terhadap nasab (keturunan).

“Di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri

dari jenismu sendiri, agar kamu merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan

olehNya di antaramu rasa kagum dan kasih sayang. Sesungguhnya yang demikian

itu benar-benar merupakan tanda (kekuasaanNya) bagi kaum orang-orang

berfikir” (QS. Ar-Ruum: 21).

Pada ayat di atas, penggunaan bentuk fi‟il mudhari‟ yang didahului oleh lam amar2

pada kata litaskunuu mengisyaratkan bahwa pernikahan itu merupakan sarana yang

dikaruniakan oleh Allah SWT sebagai upaya manusia agar dapat mencapai ketentraman

(sakinah). Artinya, sakinah pada konteks ini merupakan proses panjang yang mengiringi

pernikahan.

B. Solidaritas Kesukuan

س ه وه

بل

ق

ا ه

ن

ل

مين وك

ا ال

ىا: هر

ال

ق

ل داخل، ف و

م أ

يه وسل

ى الله عل

بي صل

الن

ان

ك

اه ۞ ف

بروه ض

خ

أ

ف

ه ﴿فـ . لم وولي ا ال

م في هر

حك

صاحب ال

ىن

ك

ن

هم زضىه أ ن

﴾.111: 11بأ

“Muhammad SAW lah orang yang pertama masuk (pintu Masjidul Haram).

Semuanya berkata, “Inilah Al-Amiin (orang yang dapat dipercaya)” dan semuanya

pun menerimanya. Mereka menyatakan bersedia dan rela jika Muhammad SAW

menjadi penegak hukum dalam perkara ini” (Pasal 11: 114).

Kalimat di atas menggambarkan bahwa Muhammad SAW memiliki kedekatan

dalam bergaul dengan sesamanya, khususnya bangsa Arab. Tidak mungkin muncul

pengakuan Muhammad SAW sebagai Al-Amiin tanpa sebelumnya mereka memahami

betul siapa dia dalam kesehariannya. Kejujurannya, budi pekertinya yang sopan, tutur

yang santun, dan selalu setia dengan janji-janji yang dibuat bersamanya adalah karakter

positif yang sebenarnya telah dikenal oleh bangsa Arab pada sosok Muhammad SAW

sejak lama. Sehingga, tidak ada alasan bagi mereka untuk meragukannya sebagai

penengah dalam permasalahan yang genting, yang mengancam integritas antar suku di

Arab, yakni perebutan posisi untuk meletakkan Hajar Aswad kembali di atas Ka‟bah.

Pada tahap ketiga ini, Muhammad SAW memperoleh pemenuhannya dari hampir

semua orang yang ada di sekelilingnya, baik dari pihak keluarga dekat yang satu klan,

bahkan orang-orang daripihak luar. Keberhasilan Muhammad SAW menjadi bagian dari

masyarakat Quraisy dan membina keluarga sangatlah besar pengaruhnya, tidak untuk

pribadi Muhammad SAW saja, tapi juga untuk pihak-pihak yang bersinggungan

dengannya. Setelah semua pemenuhan ini, Muhammad SAW pun terdorong untuk

memenuhi kebutuhan berikutnya, yakni kebutuhan akan penghargaan.

2Huruf lam yang memiliki fungsi membentuk kalimat perintah.

Page 9: METAMORFOSA KERASULAN MUHAMMAD SAW DALAM PROSA …

479

Kebutuhan Akan Penghargaan (Al-Haajah ilat Taqdiir)

Pada tahap keempat, kebutuhan ini berupa penghargaanatau harga diri. Maslow

mengelompokkan penghargaan ini ke dalam dua jenis, yakni penghargaan yang

diperoleh dari orang lain dan penghargaan yang berasal dari diri sendiri. Penghargaan

dari orang lain adalah yang utama, seperti penghargaan berdasarkan reputasi,

kekaguman, status, popularitas, prestise atau keberhasilan dalam masyarakat, dan semua

sikap serta pandangan masyarakat terhadap diri seseorang (Minderop, 2011: 284).

Al-Amiin

س ه وه

بل

ق

ا ه

ن

ل

مين وك

ا ال

ىا: هر

ال

ق

ل داخل، ف و

م أ

يه وسل

ى الله عل

بي صل

الن

ان

ك

اه ۞ ف

بروه ض

خ

أ

ف

ه ﴿فـ . لم وولي ا ال

م في هر

حك

صاحب ال

ىن

ك

ن

هم زضىه أ ن

﴾.111: 11بأ

“Muhammad SAW lah orang yang pertama masuk (pintu Masjidul Haram).

Semuanya berkata, “Inilah Al-Amiin (orang yang dapat dipercaya)” dan semuanya

pun menerimanya. Mereka menyatakan bersedia dan rela jika Muhammad SAW

menjadi penegak hukum dalam perkara ini”(Pasal 11: 114).

Di sela cerita banjir yang mnimpa Ka‟bah, kemenangan Muhammad SAW sebagai

orang pertama yang memasuki pintu Masjidul Haram telah menyebarkan salah satu sifat

terpujinya, yakni Al-Amiin, dapat dipercaya. Sebagaimana dituliskan oleh Ibnu Hisyam,

penyebutan Al-Amiin atas diri Muhammad SAW menggunakan redaksi, “Inilah Al-

Amiin (yang dapat dipercaya), kami merelakannya. Inilah Muhammad SAW (yang

terpuji)” (Abdussalam, 2010: 14). Ini menunjukkan bahwa antara Muhammad SAW

dengan suku-suku yang hadir merenovasi Ka‟bah memiliki hubungan yang karib dan

saling mengenal karakter satu sama lain. Artinya, ke-amiin-annya tidak hanya karena

peristiwa ini saja. Bahkan, jauh sebelum peristiwa ini terjadi, Muhammad SAW sudah

dikenal sebagai Amiin, baik dalam pergaulan keseharian sbagai kturunan suku Quraisy

maupun dalam transaksi perdagangan. Hanya, pengukuhan yang spontanitas dan

disepakati banyak orang di sinilah yang kemudian semakin menguatkan bukti ke-amiin-

annya. Tidak hanya itu, tindakan Muhammad SAW sebagai hakim dalam memutuskan

perkara ini menunjukkan bahwa jiwa leadership sudah melekat pada kepribadiannya,

bahkan jauh sebelum bi‟tsah. Kemudian, setelah pengukuhannya sebagai nabi dan rasul,

Muhammad SAW tidak kehilangan jiwa leadership-nya, justru semakin terasah dan

menunjukkan kesejatiannya sebagai pemimpin sejati yang patut diteladani (Istiqomah

dan Sholeh, 2016).

Pada tahap keempat ini, kebutuhan akan penghargaan pada diri Muhammad SAW

telah dipenuhi melalui statusnya sebagai klan Hasyim yang notabene diinduki oleh suku

Quraisy dan karena sifat-sifat terpujinya dalam kehidupan sosial dan bisnis. Kesemua

pemenuhan kebutuhan pada tahap ini memotivasi Muhammad SAW untuk meneruskan

langkahnya mencapai kebutuhan berikutnya, yakni aktualisasi diri.

Kebutuhan Akan Aktualisasi Diri (Al-Haajah ilaa Tahqiiqidz Dzaat)

Pada tahap kelima, kebutuhan ini berupa aktualisasi diri. Ini merupakan kebutuhan

motivasi teratas pada hierarki kebutuhan yang digagas oleh Abraham Maslow.

Seseorang tidak akan dapat sampai pada level ini tanpa terlebih dahulu memenuhi

keempat kebutuhan lain pada tahap sebelumnya, secara sempurna. Sehingga,

terpenuhinya semua kebutuhan tersebut menjadi modal utama Muhammad SAW untuk

Page 10: METAMORFOSA KERASULAN MUHAMMAD SAW DALAM PROSA …

480

selanjutnya melangkah memenuhi kebutuhannya akan aktualisasi diri, dimulai dari

pengangkatannya sebagai nabi dan rasul Allah SWT.

Prosesi Bi’tsah

ت ي

عالوي ال

ىال لر

ق

ق ال

وف

ى أ

عل

ت

سن

زبعىن

م أ

يه وسل

ى الله عل

ه صل

مل ل

ا ك

ى ول

عال

ه الله ت

۞ بعث

هم بسحماه ﴿فـ . عمسا ف ر

ه بشيرا و

ين

عال

﴾.111: 11لل

“Ketika (usia) Muhammad SAW telah sempurna 40 tahun, menurut qaul yang

paling shahih, Allah SWT mengutusnya sebagai pemberi kabar gembira dan

pemberi peringatan, sekiranya seluruh alam memperoleh rahmatnya” (Pasal 12:

115).

Menjelang usianya yang ke-40 tahun, Muhammad SAW cenderung pada pencarian

kebenaran sejati. Dia merasa gundah, resah, dan gelisah menyaksikan kondisi kaumnya,

khususnya suku Quraisy, yang semakin menjauh dari nilai-nilai luhur. Mereka

terperangkap oleh pesolek harta dunia yang tertumpuk, sehingga melupakan hak-hak

fakir-miskin yang seharusnya mereka penuhi. Mereka mengalami degradasi moral yang

luar biasa dan degradasi agama serta kepercayaan yang semakin memudar bak

terbenamnya mentari di kala senja. Karena itu, Muhammad berusaha mencarikan solusi

baru agar kaumnya dapat kembali pada jalan kebenaran, sebagaimana mestinya.

۞ ت د

عد

يالي ال

د بحساء الل عب

ت

ان

ك

ء ف

لا

خ

يه ال

ب إل اه ۞ وحب

حق وواف

اه فيه صسيح ال

ت

أ

ن

ى أ

إل

ىم لك في ت ﴿فـ . وذ دزي

ق

ت ال

يل

هس الل

من ش

ت

ل

خ

ت

يل

ل

سة

ين لسبع عش

ن

ث

﴾.111: 11ال

“Muhammad SAW senang menyendiri dan beribadah di gua Hira selama beberapa

malam, hingga dia didatangi kebenaran (wahyu) yang jelas. Peristiwa itu terjadi

pada hari Senin, 17 Ramadhan” (Pasal 12: 115).

Berkat kesungguhannya dalam mencari jalan kebenaran yang telah sekian lama dia

rindukan, Muhammad SAW, pada hari Senin, tanggal 17 Ramadhan sekitar 611 M,

telah resmi dikukuhkan oleh Allah SWT sebagai nabi Allah, penutup para nabi yang

kemudian dilantik menjadi rasul Allah, penebar rahmat untuk seluruh alam semesta.

Artinya, dia bertanggung jawab penuh atas segala sesuatu yang berhubungan dengan

upaya perubahan rekontruksi moral bangsa Arab, khususnya Quraisy dan seluruh umat

manusia, umumnya, dari kerusakan menuju jalan kebenaran yang menjadi ketetapan

Allah SWT. Ini seperti Muhammad SAW telah lebih dulu menyiapkan modal yang

maksimal (pada fase sebelumnya), sehingga dia (pada fase ini) siap membelanjakan

modal tersebut sesuai kebutuhan dan untuk memberikan kebermanfaatan seluas-

luasnya, yakni mengajak manusia kembali kepada kebenaran sejati.

Sebagaimana teori Maslow, kebutuhan akan aktualisasi merupakan puncak teratas

dari semua kebutuhan yang memotivasi manusia dan menjadi bagian dari alasan kenapa

dan untuk apa manusia diciptakan. Keberhasilan Muhammad SAW memenuhi keempat

kebutuhan sebelumnya dan ketidakterlenaannya oleh popularitas dan eksistensi yang

diperolehnya pada tahap keempat telah mengantarkannya menuju gerbang aktualisasi

diri, yakni sebagai sejatinya khalifah Allah SWT di muka bumi pada maqam nabi dan

rasul di usianya yang mencapai kepala empat.

“Sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya mencapai empat puluh tahun,

dia berdoa, "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat yang telah

Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku, dan (tunjukilah aku) supaya

Page 11: METAMORFOSA KERASULAN MUHAMMAD SAW DALAM PROSA …

481

dapat berbuat kesalehan yang Engkau ridhai; jadikanlah kesalehan untukku dalam

(kesalehan) anak-cucuku. Sesungguhnya aku kembali kepada Engkau dan

sesungguhnya aku termasuk golongan orang-orang yang berserah diri” (QS. Al-

Ahqaaf: 15).

Merujuk pada kalimat pertanyaan, kenapa 40 tahun? Ada apa dengan 40 tahun?

Menurut penulis, ayat di atas mengisyaratkan adanya kecenderungan seseorang pada

pencarian kebenaran sejati di usianya yang menjelang 40 tahunan. Dengan demikian,

nominal 40 tahun merupakan patokan untuk mengetahui tingkat kualitas seseorang. Jika

pada usia ini seseorang sudah mampu memenuhi semua kebutuhan motivasinya dari

yang pertama hingga keempat dan bersiap untuk memenuhi kebutuhan teratasnya, dia

termasuk golongan orang-orang yang menemukan jalan kembali kepada Allah SWT dan

orang yang selamat karena telah berserah diri kepadaNya. Sebaliknya, seseorang yang

belum bersiap untuk memenuhi kebutuhan teratasnya, yakni aktualisasi diri, atau masih

terjebak oleh popularitas pada level sebelumnya, dialah orang yang menjauhkan diri

dari jalan kembali menuju Allah SWT dan menghindar dari golongan orang-orang yang

selamat, karena belum siap menyerahkan diri kepadaNya.

Pada tahap teratas ini, yakni kebutuhan akan aktualisasi diri, Muhammad SAW

tidak cukup berhenti pada bi‟tsah, tapi dia menjadikan bi‟tsah sebagai langkah awal

untuk memulai misinya; mengajak manusia kembali ke jalan yang diridhai Allah SWT

melalui berbagai bentuk strategi dakwahnya. Dengan demikian, tahap demi tahap

kebutuhan Muhammad SAW telah terpenuhi dengan sempurna, yang mana pada titik

puncak ini dia mampu menjaga konsistensinya sebagai nabi dan rasul yang menjadi

teladan bagi seluruh umat sepanjang zaman. Sebagai manusia biasa, sejatinya

Muhammad SAW telah mencapai titik puncaknya, yakni menjadi khalifah Allah di

bumi: menciptakan stabilitas, perdamaian, persaudaraan, keadilan, dan kerukunan serta

menepis dusta dan keangkuhan yang dapat membawa pada kerusakan. Pada bagian

akhirnya, Muhammad SAW telah menyelesaikan misinya menyampaikan risalah Allah

SWT, yang mana dia berperan menunjukkan shirathal mustaqim, jalan lurus menuju

Allah SWT bagi selurh umat manusia. Meskipun, Allah SWT lah yang menentukan

hasil akhirnya.

Simpulan

Berdasarkan uraian di atas, terdapat lima jenis kebutuhan motivatif Muhammad

SAW dalam ProsaMaulidul Barzanji secara sempurna, yaitu: kebutuhan fisiologis, rasa

aman, sosial, penghargaan, dan aktualisasi diri. Untuk pemuasannya; pertama, melalui

pemenuhan kebutuhan pangan, papan, dan ekonomi; kedua, melalui perlindungan

pengasuh dan nasehat Ahlul Kitab; ketiga, melalui rumah tangga sakinah dan solidaritas

kesukuan; keempat, melalui posisinya sebagai al-Amin; dan kelima, melalui prosesi

bi‟tsah. Hal ini menunjukkan adanya serangkaian proses yang dilalui Muhammad Saw

sebelum dan saat mencapai posisi puncaknya, sebagai nabi dan rasul Allah. Adanya

kompleksitas metamorfosa di sinilah yang dapat diteladani oleh setiap manusia, agar

tidak lekas putus asa dalam memuaskan kebutuhan motivatifnya, hingga mencapai

posisi puncak sebagai khalifah Allah di muka bumi.

Page 12: METAMORFOSA KERASULAN MUHAMMAD SAW DALAM PROSA …

482

Daftar Rujukan

Abdussalam, Muhammad Mushthafa. 2010. “As-Siiratun Nabawiyyah bainal Atsaaril

Marwiyyah wal Ayaatil Qur‟aaniyyah – Diraasah Nashshiyyah Muqaaranah”.

Disertasi. Tk: tp.

Abid, Manshur Ar-Rifa‟i. 2000. Al-Mar‟ah Maadhiyyuhaa wa Haadhiruhaa. Beirut-

Lebanon: Qusyraqiyah.

Afzalurrahman. 1997. Muhammad Sebagai Seorang Pedagang. Dewi Nur Julianti

(Terj.). Jakarta Pusat: Yayasan Swarna Bhumy.

Ahmad, Muhammad Ibn „Aliisy al-Maliki. 2010. Al-Qawlul Munji alaa Maulidil

Barzanji. Beirut – Lebanon: Daarul Kutub al-Ilmiyah.

Chalil, Moenawar. 1969. Kelengkapan Tarich Nabi Muhammad Saw I. Jakarta: Penerbit

Bulan Bintang.

Departemen Agama RI. 2005. Al-Quran dan Terjemahnya; Al-Jumaanatul „Aali.

Bandung: J-Art.

Departemen Pendidikan dan Kebudyaan RI. 2005. KBBI Pusat Bahasa Edisi Keempat.

Jakarta: PT Gramedia pustaka Utama.

Endraswara, Suwardi. 2013. Metodologi Penelitian Sastra Epistemologi, Model, Teori,

dan Aplikasi. Yogyakarta: FBS Universitas Yogyakarta.

Ervika, Eka. 2000. “Kualitas Kelekatan dan Kemampuan Berempati pada Anak”.

Skripsi. Tidak diterbitkan. Yogyakarta : Fakultas Psikologi Universitas Gadjah

Mada.

Goble, Frank G.. 1987. Madzhab Ketiga Psikologi Humanistik Abraham Maslow. A.

Supratiknya (Terj.). Yogyakarta: Kanisius.

Hamid, As-Sayyid Abdul Az-Zahrawi. 1379 H. Tokoh Wanita Sebelum dan Sesudah

Islam. Drs. Ali Ahmad Zen, Dkk. (Terj.). Bandung: PT. Al-Ma‟arif Offset.

Ibnu Majah (Abu Abdullah Muhammad Ibnu Yazid Al-Qazwiniy). Tt. Sunan Ibnu

Majah. Muhammad Fuad Abdul Baqi (muhaqqiq). Tk: Daaru Ihyaail Kutub Al-

Arabiyah.

Isa Ibn Abdullah Ibn Man‟aa Al-Humairiy. 2008. “Mawlidul Barzanjiy”. Fii Majmuu‟il

Mawlid al-Mubaarakah. Dubai: Darul Faaqih.

Istiqomah, Himatul dan Muh. Ihsan Sholeh. 2016. Nilai Pendidikan Karakter dalam

Tembang Ilir-ilir Karya Sunan Kalijaga. Diseminarkan di Seminar Nasional

Bahasa Ibu IX pada tanggal 27 Februari 2016. Denpasar: Universitas Udayana.

Istiqomah, Himatul. 2015. Ali Syari‟ati‟s Perspective of Humanisme Value in Footnote

Created by Lena Maria. Diseminarkan di International Social Science Conference

pada tanggal 25 November 2015.Tidak diterbitkan. Lombok: University of

Mataram.

Istiqomah, Himatul. 2016. Pendidikan Karakter Anak dalam Surat Al-Baqarah Ayat

233. Dipresentasikan di Halaqah Ilmiah Edisi 21 Januari 2016. Tidak Diterbitkan.

Malang: Lembaga Tinggi Pesantren Luhur Malang.

Knight, Vicki. Dkk. 2005. Introduction to Psycology 7th

Edition. Tk: San Diego State

University – Rod Plotnik.

Maslow, Abraham. 1998. Maslow On Management. New York: John Wiley and

Sons.Inc.

Minderop, Albertine. 2011. Psikologi Sastra Karya Sastra, Metode, Teori dan Contoh

Kasus. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Nawawi, Rifaat Syauqi. 2000. Metodologi Psikologi Islam. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar.

Page 13: METAMORFOSA KERASULAN MUHAMMAD SAW DALAM PROSA …

483

Raji, Ismail Al-Faruqi dan Lois Lamya Al-Faruqi. 1998. Atlas Budaya Islam;

Menjelajah Khazanah Peradaban Gemilang. Bandung: Mizan.

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan. Melani Budianta (Terj.).

Jakarta: PT. Gramedia.