33
MEWUJUDKAN PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI INDONESIA (SEBUAH KAJIAN PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI BERBAGAI NEGARA) Oleh : Afandi Program Pascasarjana Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta Email: [email protected] Pendahuluan Sedikitnya selama tiga dasawarsa terakhir, kebijakan yang sentralistis dan pengawalan yang ketat terhadap isu perbedaan telah menghilangkan kemampuan masyarakat untuk memikirkan, membicarakan dan memecahkan persoalan yang muncul dari perbedaan secara terbuka, rasional dan damai. Sejarah menunjukkan, pemaknaan secara negatif atas keragaman telah melahirkan penderitaan panjang bagi umat manusia. Di Indonesia sendiri, konflik kekerasan yang melibatkan suku, agama, ras dan golongan (SARA) masih sering terjadi. Berbagai peristiwa berdarah seperti di ambon, poso, sampit, sambas dan berbagai daerah lainnya memberikan gambaran betapa rentannya gesekan yang terjadi akibat adanya perbedaan pandangan, pola hidup Wawasan Makro Pendidikan 1

Mewujudkan Pendidikan Multikultural Di Indonesia

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Di tulis oleh:afandi

Citation preview

Page 1: Mewujudkan Pendidikan Multikultural Di Indonesia

MEWUJUDKAN PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI INDONESIA

(SEBUAH KAJIAN PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI BERBAGAI

NEGARA)

Oleh : Afandi

Program Pascasarjana Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta

Email: [email protected]

Pendahuluan

Sedikitnya selama tiga dasawarsa terakhir, kebijakan yang sentralistis dan

pengawalan yang ketat terhadap isu perbedaan telah menghilangkan kemampuan

masyarakat untuk memikirkan, membicarakan dan memecahkan persoalan yang

muncul dari perbedaan secara terbuka, rasional dan damai. Sejarah menunjukkan,

pemaknaan secara negatif atas keragaman telah melahirkan penderitaan panjang

bagi umat manusia. Di Indonesia sendiri, konflik kekerasan yang melibatkan

suku, agama, ras dan golongan (SARA) masih sering terjadi. Berbagai peristiwa

berdarah seperti di ambon, poso, sampit, sambas dan berbagai daerah lainnya

memberikan gambaran betapa rentannya gesekan yang terjadi akibat adanya

perbedaan pandangan, pola hidup dan gesekan kebudayaan antara masyarakat

mayoritas dan minoritas.

Rapuhnya kehidupan berbangsa dan bernegara serta pengakuan atas hak-hak

asasi manusia saat ini mendorong munculnya gerakan pengakuan dan persamaan

akan keragaman budaya serta eksistensinya di dalam masyarakat yang dikenal

dengan istilah multikulturalisme. Secara sederhana multikulturalisme dapat

dipahami sebagai sikap bagaimana masing-masing kelompok bersedia untuk

menyatu (integrate) tanpa mempedulikan keragaman budaya yang dimiliki.

Mereka semua melebur, sehingga pada akhirnya ada proses “hibridisasi” yang

meminta setiap individu untuk tidak menonjolkan perbedaan masing-masing

kultur (Ramly, 2005).

Wawasan Makro Pendidikan 1

Page 2: Mewujudkan Pendidikan Multikultural Di Indonesia

Sebuah kesadaran akan pentingnya multikulturalisme tersebut hanya dapat

berkembang dengan baik apabila secara terus-menerus dilatihkan dan dididikkan

pada generasi-generasi selanjutnya melalui pendidikan. Dengan pendidikan, sikap

saling menghargai terhadap perbedaan akan berkembang bila generasi penerus

dilatih dan disadarkan akan pentingnya penghargaan pada orang lain dan budaya

lain. Oleh karena pendidikan multicultural sangat diperlukan untuk mengatasi

berbagai konflik horizontal, seperti keragaman suku, ras dan agama serta konflik

vertical seperti tingkat pendidikan, ekonomi dan sosial budaya bangsa Indonesia.

Peran pendidikan di dalam multikulturalisme hanya dapat dimengerti di

dalam kaitannya dengan falsafah hidup, kenyataan sosial, yang akan meliputi

disiplin-disiplin yang lain seperti agama, social science, antropologi, sosiologi

dsb. Dengan demikian multikulturalisme dan pendidikan bukanlah masalah teknis

pendidikan belaka, tetapi memerlukan suatu konsep pemikiran serta

pengembangan yang meminta partisipasi antar disiplin. Pendidikan multikultural

dapat dijadikan sarana untuk mengikis perbedaan-perbedaan yang dapat menjadi

buah bagi adanya perpecahan. Berdasarkan fakta-fakta tersebut mendorong

penulis memilih topic ”Mewujudkan Pendidikan Multikultural di Indonesia:

Sebuah Kajian Pendidikan Multikultural di Berbagai Negara”

Multikulturalisme

Secara epistemologis, multikulturalisme dibentuk dari kata multi (banyak),

kultur (budaya) dan isme (aliran/paham). Menurut Suparlan (2002) akar kata

dari multikulturalisme adalah kebudayaan, yaitu kebudayaan yang dilihat dari

fungsinya sebagai pedoman bagi kehidupan manusia. Multikulturalisme pada

dasarnya adalah pandangan dunia yang kemudian dapat diterjemahkan dalam

berbagai kebijakan kebudayaan yang menekankan penerimaan terhadap realitas

keagamaan, pluralitas, dan multikultural yang terdapat dalam kehidupan

masyarakat. Multikulturalisme dapat juga dipahami sebagai pandangan dunia

yang kemudian diwujudkan dalam kesadaran politik (Azra, 2007).

Parekh (2000) membedakan lima macam bentuk multikulturalisme yaitu:

Wawasan Makro Pendidikan 2

Page 3: Mewujudkan Pendidikan Multikultural Di Indonesia

1. Multikulturalisme isolasionis yang mengacu kepada masyarakat di

mana berbagai kelompok kultural menjalankan hidup secara otonom dan

terlibat dalam interaksi yang hanya minimal satu sama lain. Contoh

kelompok ini, seperti masyarakat yang ada pada sistem “millet” di Turki

Usmani atau masyarakat ”Amish” di AS. Kelompok ini menerima

keragaman, tetapi pada saat yang sama berusaha mempertahankan

budaya mereka secara terpisah dari masyarakat lain umumnya. Di

Indonesia, multikulturalisme isolasionis dapat ditemui pada masyarakat

Madura di Kalimantan.

2. Multikulturalisme akomodatif, masyarakat plural yang memiliki kultur

dominan, membuat penyesuaian dan akomodasi-akomodasi tertentu bagi

kebutuhan kultural kaum minoritas. Masyarakat multikultural akomodatif

merumuskan dan menerapkan undang-undang, hukum dan ketentuan-

ketentuan sensitif secara kultural, dan memberikan kebebasan kepada

kaum minoritas untuk mempertahankan dan mengembangkan

kebudayaan mereka, sebaliknya kaum minoritas tidak menantang kultur

dominan. Model ”multikulturalisme akomodatif” ini dapat ditemukan di

Inggris, Prancis, dan beberapa negara Eropa lain.

3. Multikulturalisme otonomis, masyarakat plural di mana kelompok-

kelompok kultural utama berusaha mewujudkan kesetaraan (equality)

dengan budaya dominan dan menginginkan kehidupan otonom dalam

kerangka politik yang secara kolektif dapat diterima. Fokus pokok

kelompok-kelompok kultural terakhir ini adalah untuk mempertahankan

cara hidup mereka, yang memiliki hak yang sama dengan kelompok

dominan; mereka menantang kelompok kultural dominan dan berusaha

menciptakan suatu masyarakat di mana semua kelompok dapat eksis

sebagai mitra sejajar. Jenis multikulturalisme ini didukung misalnya oleh

kelompok Quebecois di Kanada, dan kelompok-kelompok Muslim

imigran di Eropa, yang menuntut untuk dapat menerapkan syari`ah,

mendidik anak-anak mereka pada sekolah Islam, dan sebagainya.

Wawasan Makro Pendidikan 3

Page 4: Mewujudkan Pendidikan Multikultural Di Indonesia

4. Multikulturalisme kritikal atau interaktif, masyarakat plural di mana

kelompok-kelompok kultural tidak terlalu concern dengan kehidupan

kultural otonom, tetapi lebih menuntut penciptaan kultur kolektif yang

mencerminkan dan menegaskan perspektif-perspektif distingtif mereka.

Kelompok budaya dominan tentu saja cenderung menolak tuntutan ini,

dan bahkan berusaha secara paksa untuk menerapkan budaya dominan

mereka dengan mengorbankan budaya kelompok-kelompok minoritas.

Itulah kelompok-kelompok minoritas menantang kelompok kultur

dominan, baik secara intelektual maupun politis, dengan tujuan

menciptakan iklim yang kondusif bagi penciptaan secara bersama-sama

sebuah kultur kolektif baru yang egaliter secara genuine. Jenis

multikulturalisme, sebagai contoh, diperjuangkan masyarakat Kulit

Hitam di Amerika Serikat, Inggris dan lain-lain.

5. Multikulturalisme kosmopolitan, berusaha menghapuskan ”batas-batas

kultural” sama sekali untuk menciptakan sebuah masyarakat di mana

setiap individu tidak lagi terikat dan committed kepada budaya tertentu

dan sebaliknya, secara bebas terlibat dalam eksperimen-eksperimen

interkultural dan sekaligus mengembangkan kehidupan kultural masing-

masing. Para pendukung multikulturalisme jenis ini yang sebagian besar

adalah intelektual diasporik dan kelompok-kelompok liberal yang

memiliki kecenderungan postmodernist dan memandang seluruh budaya

sebagai resources yang dapat mereka pilih dan ambil secara bebas.

Pendidikan Multikultural

Dimensi pendidikan multikultural memiliki perbedaan dengan pendidikan

kebudayaan. Seringkali orang terjebak pada rumusan-rumusan peristilahan tampa

tau asal-muasalnya sehingga memperoleh definisi yang berbeda dengan tujuan

pendidikan multikultural itu sendiri. Seringkali orang terjebak pada mencari-cari

rumusan kultur itu apa, dan multikultur itu apa, lalu pendidikan multikultur

disimpulkan daripadanya. Dengan kata lain, disimpulkanlah bahwa pendidikan

multikultur itu sebagai upaya mengajarkan berbagai macam kultur Indonesia,

Wawasan Makro Pendidikan 4

Page 5: Mewujudkan Pendidikan Multikultural Di Indonesia

mulai dari bahasa, lagu, pakaian, dsb. Sehingga konsep dasar pendidikan

multikultural itu sendiri menjadi bias dan tidak mencapai tujuan yang diharapkan.

Pendidikan multikultural itu awalnya merupakan gerakan reformasi

pendidikan di Amerika Serikat dalam rangka meniadakan (setidaknya

mengurangi) diskriminasi rasial dan etnis serta kultur yang melekat padanya, dan

berupaya agar semua orang bisa memperoleh kesempatan yang setara untuk

mendapatkan pendidikan. Menurut Banks (2002) pendidikan multikultural

merupakan suatu rangkaian kepercayaan (set of beliefs) dan penjelasan yang

mengakui dan menilai pentingnya keragaman budaya dan etnis dalam membentuk

gaya hidup, pengalaman sosial, identitas pribadi, kesempatan pendidikan dari

individu, kelompok, maupun negara.

Menurut HAR Tilaar (2004), pendidikan multikultural berawal dari

berkembangnya gagasan kesadaran tentang ”interkulturalisme” seusai PD II.

Kemunculan gagasan dan kesadaran ”interkulturalisme” ini, selain terkait dengan

perkembangan politik internasional menyangkut HAM, kemerdekaan dari

kolonialisme dan diskriminasi rasial, juga meningkatkan pluralitas di negara-

negara barat sendiri akibat dari peningkatan migrasi dari negara-negara baru

merdeka di Amerika dan Eropa.

Ide pendidikan multikulturalisme akhirnya menjadi komitmen global

sebagaimana direkomendasi UNESCO pada bulan Oktober 1994 di Jenewa yang

memuat 3 pesan utama yakni: Pertama, pendidikan hendaknya mengembangkan

kemampuan untuk mengakui dan menerima nilai-nilai yang ada dalam

kebhinnekaan pribadi, jenis kelamin, masyarakat dan budaya serta

mengembangkan kemampuan untuk berkomunikasi, berbagi dan bekerja sama

dengan yang lain. Kedua, pendidikan hendaknya meneguhkan jati diri dan

mendorong konvergensi gagasan dan penyelesaian-penyelesaian yang

memperkokoh perdamaian, persaudaraan dan solidaritas antara pribadi dan

masyarakat. Ketiga, pendidikan hendaknya meningkatkan kemampuan

menyelesaikan konflik secara damai dan tanpa kekerasan. Karena itu, pendidikan

hendaknya juga meningkatkan pengembangan kedamaian dalam diri diri pikiran

Wawasan Makro Pendidikan 5

Page 6: Mewujudkan Pendidikan Multikultural Di Indonesia

peserta didik sehingga dengan demikian mereka mampu membangun secara lebih

kokoh kualitas toleransi, kesabaran, kemauan untuk berbagi dan memelihara.

Keadilan sosial, persamaan pendidikan, dan dedikasi menjadi landasan

pendidikan multikultural dalam memfasilitasi pengalaman pendidikan agar semua

siswa dapat mewujudkan semua potensinya secara penuh dan menjadikannya

sebagai manusia yang sadar dan aktif secara lokal, nasional, maupun global.

Sehingga pendidikan multikultural dapat dikatakan sebagai suatu gerakan

pembaharuan dan proses untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang setara

untuk seluruh siswa.

Sebagai suatu gerakan pembaharuan dan proses untuk menciptakan

lingkungan pendidikan yang setara untuk seluruh siswa, Menurut Banks (2002)

pendidikan multikultural setidaknya harus memiliki prinsip-prinsip sebagai

berikut :

1. Pendidikan multikultural adalah gerakan politik yang bertujuan

menjamin keadilan sosial bagi seluruh warga masyarakat tanpa

memandang latar belakang yang ada.

2. Pendidikan multikultural mengandung dua dimensi: pembelajaran

(kelas)  dan kelembagaan (sekolah) dan antara keduaanya tidak bisa

dipisahkan, tetapi justru harus ditangani lewat reformasi yang

komprehensif.

3. Pendidikan multikultural menekankan reformasi pendidikan yang

komprehensif dapat dicapai hanya lewat analisis kritis atas sistem

kekuasaan untuk dapat dilakukan reformasi komprehensif dalam

pendidikan.

4. Tujuan pendidikan multikultural adalah menyediakan bagi setiap siswa

jaminan memperoleh kesempatan guna mencapai prestasi maksimal

sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.

5. Pendidikan multikultural adalah pendidikan yang baik untuk seluruh

siswa, tanpa memandang latar belakangnya.

Lebih lanjut Banks (2002) menjelaskan bahwa pendidikan multikultural

memiliki beberapa dimensi yang berkaitan satu dengan yang lain, yaitu: Dimensi

Wawasan Makro Pendidikan 6

Page 7: Mewujudkan Pendidikan Multikultural Di Indonesia

pertama (Contents Integration), yaitu mengintegrasikan berbagai budaya dan

kelompok untuk mengilustrasikan konsep dasar, generalisasi dan teori dalam mata

pelajaran atau disiplin ilmu. Dimensi kedua (The Knowledge Construction

Process), yaitu membawa siswa untuk memahami implikasi budaya ke dalam

sebuah mata pelajaran (disiplin). Dimensi ketiga (An Equity Paedagogy), yaitu

menyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka

memfasilitasi prestasi akademik siswa yang beragam baik dari segi ras, budaya

(culture) ataupun sosial (social). Dimensi keempat (Prejudice Reduction), yaitu

mengidentifikasi karakteristik ras siswa yang menentukan metod pengajaran

mereka. Dimensi kelima yakni melatih kelompok untuk berpartisipasi dalam

kegiatan olahraga, berinteraksi dengan seluruh staff dan siswa yang berbeda etnis

dan ras dalam upaya menciptakan budaya akademik yang toleran dan inklusif.

Oleh karena itu, pendidikan multikultural bertujuan memperluas bukan

hanya toleransi terhadap budaya yang berbeda, tetapi lebih jauh dari itu adalah

mengembangkan mutual respect. Pelaksanaan konsep ini memerlukan

pengalaman kelompok yang dibangun dengan memperhatikan pemahaman yang

pada gilirannya menjadi sikap yang relatif stabil dan konsisten. Sudah barang

tentu proses ini memerlukan waktu dan usaha pemeliharaan yang harus menjadi

perhatian para guru. Dalam kaitan ini perlu diperhatikan bahwa belajar bukan

hanya terjadi pada aras (level) perilaku, tetapi juga terjadi secara internal pada

aras abstrak, misalnya pada keyakinan terhadap asumsi dasar perilaku itu.

Pendidikan Multikultural di Berbagai Negara

Pendidikan Multikultural di Kanada

Kanada menjadi negara pertama di dunia yang menerapkan kebijakan

multicultural pada tahun 1971. Multikulturalisme di kanada ini diawali ratusan

tahun yang lalu dengan kedatangan penduduk asli kanada dari Asia dengan

melewati gunung-gunung es untuk mencapai Amerika Utara. Setelah menetap

penduduk tersebut menyebar ke berbagai Negara yang mengawali beragamnya

bahasa dan kebudayaan di Kanada. Kemudian datangnya orang-orang Eropa yang

diawali oleh prancis dan kemudian disusul oleh Ingris. Inilah yang mengawali

Wawasan Makro Pendidikan 7

Page 8: Mewujudkan Pendidikan Multikultural Di Indonesia

kekayaan akan kebahasaan dan kebudayaan yang ada di Kanada. Lalu pada abad

ke 18, Inggris yang berada di USA kalah dalam revolusi Amerika dan mereka

diusir menuju ke British North America (Kanada) (Deviani, 2013). Saat ini

pertumbuhan penduduk Kanda dapat diidentifikasi atas empat kelompok yakni:

1. Etnis asli ada sekitar 50 jenis dengan berbagai bahasa yang hidup secara

nomaden sebagai pemburu dan petani.

2. Etnis Perancis pada abad 16 sampai 18 masuk sebagai penjajah dan

pedagang karena perdagangan bulu binatang. Percampuran etnis Perancis

dengan penduduk asli Indian melahirkan penduduk Metis.

3. Kedatangan Inggris setelah Treaty of Paris (1763) yang ditambah etnis

Perancis yang terlibat Perang Kemerdekaan Amerika 1776.

4. Imigran dari Eropa (terutama Belanda, Ukraina dan Jerman) dan Asia

(Jepang, India, Cina) dilatar belakangi kebutuhan pekerja di propinsi

tengah dan barat.

Kanada dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki jumlah kultur

penduduknya paling banyak di dunia. Keadaan di Kanada ini sangat terbuka,

saling menghormati dan damai untuk para imigran dan pendatang lainnya. Pada

tahun 1971, pemerintah federal kanada meluncurkan kebijakan mengenai

multikulturalisme di kanada. Kebijakan ini membuat semua orang di Kanada

dipaksa untuk menerima perbedaan dan mengajak seluruh imigran untuk ikut

berpartisipasi dalam hidup yang setara dan bermasyarakat di Kanada. Sebenarnya

yang menyebabkan dikeluarkannya kebijakan ini adalah faktor ketika pada

pertengahan 1960, terjadi banyak masalah antara hubungan Inggris dan Prancis di

Kanada.

Sesudah PD II terjadi banjir imigran dari Italia, Jerman, Belanda dan

Polandia. Pada tahun 1960-an terjadi perkembangan ekonomi Kanada yang

membutuhkan tenaga terdidik untuk memenuhi kebutuhan metropolitan. Toronto

menjadi pusat konsentrasi imigran asing. Berbeda dengan AS yang menerapkan

politik asimilasi, pemerintah liberal Kanada menerapkan politik multikulturalisme

yang memberlakukan status yang sama untuk bahasa Perancis dan Inggris sebagai

bahasa resmi.

Wawasan Makro Pendidikan 8

Page 9: Mewujudkan Pendidikan Multikultural Di Indonesia

Pada tahun 1972 didirikanlah Direktorat Multikultural di dalam lingkungan

Departemen Luar Negeri untuk memajukan cita-cita multikultural, integrasi

social, dan hubungan positif antar ras. Upaya tersebut melahirkan Canadian

Multiculturalism act (1988) yang isinya antara lain :

1. Alokasi dana untuk memajukan hubungan harmonis antar ras,

2. Memperluas saling pengertian kebudayaan yang berbeda,

3. Memelihara budaya dan bahasa asli,

4. Kesempatan yang sama untuk berpartisipasi, dan

5. Pengembangan kebijakan multikultural di semua kantor pemerintah

federal.

Kanada merupakan negara pertama yang memberikan pengakuan legal

terhadap multikulturalisme. Sekalipun kebijakan multikultural merupakan

kebijakan federal, namun masing-masing negara bagian melaksanakan kebijakan

sesuai dengan kebutuhannya. Kebijakan multikultural dimasukkan dalam bentuk

yang berbeda-beda di dalam program sekolah, penataran guru. Kurikulum dikaji

ulang untuk dilihat hal-hal yang mengandung stereotipe dan prasangka antar etnis.

Demikian pula di dalam pendidikan oleh Ontario Heritage Language Programme

yang didirikan tahun 1977 memberikan bantuan terhadap pengajaran bahasa etnis

yang bermacam-macam sesudah jam resmi sekolah. Guru diberikan penataran

untuk menyebarluaskan sumber-sumber yang bebas dari prasangka, terutama

kelompok kulit berwarna (black population).

Di propinsi Manitoba, Alberta dan Saskacthewan sekolah diijinkan

memberikan bahasa di luar bahasa Inggris dan Perancis sampai 50 % dari jumlah

jam di sekolah. Kebijakan ini diterima dengan baik oleh kelompok imigran,

terutama imigran Ukraina dan Jerman. Sejak 1993, beberapa dewan pendidikan

seperti Vancouver School Board melaksanakan penataran guru-guru untuk

Pendidikan Multikultural, mendirikan komite penasehat untuk hubungan rasial,

serta melembagakan hubungan rasial di distrik sekolah. Secara terinci Magsino

(dalam Tilaar, 2004) mengidentifikasi 6 jenis model Pendidikan Multikultural:

Wawasan Makro Pendidikan 9

Page 10: Mewujudkan Pendidikan Multikultural Di Indonesia

1. Pendidikan “emergent society”. Model ini merupakan suatu upaya

rekonstruksi dari keanekaan budaya yang diarahkan kepada terbentuknya

budaya nasional.

2. Pendidikan kelompok budaya yang berbeda. Model ini merupakan suatu

pendidikan khusus pada anak dari kelompok budaya yang berbeda.

Tujuannya adalah memberikan kesempatan yang sama dengan mengurangi

perbedaan antara sekolah dan keluarga, atau antara kebudayaan yang

dikenalnya di rumah dengan kebudayaan di sekolah. Model ini bertujuan

membantu anak untuk menguasai bahasa resmi serta norma dominan

dalam masyarakat.

3. Pendidikan untuk memperdalam saling pengertian budaya. Model ini

bertujuan untuk memupuk sikap menerima dan apresiasi terhadap

kebudayaan kelompok yang berbeda. Model ini merupakan pendekatan

liberal pluralis yang melihat perbedaan budaya sebagai hal yang berharga

dalam masyarakat. Di dalam kaitan ini, pendidikan multikultural diarahkan

kepada memperkuat keadilan sosial dengan menentang berbagai jenis

diskriminasi dan etnosentrisme.

4. Pendidikan akomodasi kebudayaan. Tujuan model ini adalah mempertegas

adanya kesamaan dari kelompok yang bermacam-macam. Mengakui

adanya partikularisme dengan tetap mempertahankan kurikulum dominan.

5. Pendidikan “accomodation and reservation” yang berusaha untuk

memelihara nilai-nilai kebudayaan dan identitas kelompok yang terancam

kepunahan.

6. Pendidikan multikultural yang bertujuan untuk adaptasi serta pendidikan

untuk memelihara kompetensi bikultural. Model ini mengatasi pendekatan

kelompok spesifik, identifikasi dan mengembangkan kemampuan untuk

berkomunikasi secara cross-cultural dengan mendapatkan pengetahuan

tentang bahasa atau kebudayaan yang lain

Pengalaman di Kanada menunjukkan bahwa isi budaya (cultural content) di

dalam kurikulum sekolah menempati urutan kedua, sedangkan yang utama adalah

bagaimana mencapai kemajuan akademis. Pendidikan Multikultural di Kanada

Wawasan Makro Pendidikan 10

Page 11: Mewujudkan Pendidikan Multikultural Di Indonesia

tergantung di mana pendidikan multietnis itu berada di dalam kerangka struktur

ekonomi, politik, dan sosial masyarakatnya.

Pendidikan Multikultural di Amerika

Pendidikan di AS pada mulanya hanya dibatasi pada migran berkulit putih,

sejak didirikan sekolah rendah pertama tahun 1633 oleh imigran Belanda dan

berdirinya Universitas Harvard di Cambridge, Boston tahun 1636. Baru pada

tahun 1934 dikeluarkan Undang Undang Indian Reservation Reorganization Act

di daerah reservasi suku Indian. Tujuan pendidikannya adalah proses

Amerikanisasi. Suatu kelompok etnis atau etnisitas adalah populasi manusia yang

anggotanya saling mengidentifikasi satu dengan yang lain, biasanya berdasarkan

keturunan (Phierquinn, 2013). Pengakuan sebagai kelompok etnis oleh orang lain

seringkali merupakan faktor yang berkontribusi untuk mengembangkan ikatan

identifikasi ini. Kelompok etnis seringkali disatukan oleh ciri budaya, perilaku,

bahasa, ritual, atau agama.

Kemudian pendidikan multikultural di Amerika Serikat mulai mencuat

kembali sekitar tahun 1960-an, lewat sebuah gerakan reformasi yang ditujukan

pada perubahan pendidikan yang selama ini melakukan tindak diskriminasi

terhadap masyarakat “minoritas,” yaitu masyarakat yang berada di luar “white-

male-Protestant-Anglo Saxon (WMPA).”

Gerakan pendidikan multikultural itu adalah gerakan untuk mereformasi

lembaga-lembaga pendidikan agar memberikan peluang yang sama kepada setiap

orang, tanpa melihat asal-usul etnis, budaya, dan jenis kelaminnya, untuk sama-

sama memperoleh pengetahuan, kecakapan (skills), dan sikap yang diperlukan

untuk bisa berfungsi secara efektif dalam negara-bangsa dan masyarakat dunia

yang beragam etnis dan budaya (Banks, 2002).

Menghilangkan diskriminasi sebagai salah satu tujuan utama gerakan

pendidikan multikultural itu dengan tegas dinyatakan Banks sebagai berikut. Latar

belakangnya adalah adanya pengalaman pahit kelompok-kelompok etnis Afro-

Amerika, Pribumi Amerika, Asia-Amerika, dan Latino-Amerika yang pernah dan

masih sedang menjadi korban diskriminasi, bukan saja dalam kehidupan

Wawasan Makro Pendidikan 11

Page 12: Mewujudkan Pendidikan Multikultural Di Indonesia

kemasyarakatan, melainkan juga secara legal kelembagaan (dalam undang-undang

pun terdiskriminasikan).

Terdapat empat jenis dan fase perkembangan pendidikan multikultural di

Amerika (Banks, 2002), yaitu:

1. Pendidikan yang bersifat segregasi yang memberi hak berbeda antara kulit

putih dan kulit berwarna terutama terhadap kualitas pendidikan;

2. Pendidikan menurut konsep salad bowl, di mana masing-masing

kelompok etnis berdiri sendiri, mereka hidup bersama-sama sepanjang

yang satu tidak mengganggu kelompok yang lain;

3. Konsep melting pot, di dalam konsep ini masing-masing kelompok etnis

dengan budayanya sendiri menyadari adanya perbedaan antara sesamanya.

Namun dengan menyadari adanya perbedaan-perbedaan tersebut, mereka

dapat membina hidup bersama. Meskipun masing-masing kelompok

tersebut mempertahankan bahasa serta unsur-unsur budayanya tetapi

apabila perlu unsur-unsur budaya yang berbeda-beda tersebut ditinggalkan

demi untuk menciptakan persatuan kehidupan sosial yang berorientasi

sebagai warga negara as. Kepentingan negara di atas kepentingan

kelompok, ras, dan budaya

4. Pendidikan multikultural melahirkan suatu pedagogik baru serta

pandangan baru mengenai praksis pendidikan yang memberikan

kesempatan serta penghargaan yang sama terhadap semua anak tanpa

membedakan asal usul serta agamanya. Studi tentang pengaruh budaya

dalam kehidupan manusia menjadi sangat signifikan. Studi kultural

membahas secara luas dan kritis mengenai arti budaya dalam kehidupan

manusia

Pendidikan Multikultural di Australia

Kedatangan bangsa kulit putih di benua Australia telah membawa implikasi-

implikasi terhadap tatanan tradisional etnik pemukim asli. Kegiatan eksploitasi

terhadap sumber kekayaan alam yang berlangsung kemudian telah memunculkan

perubahan-perubahan besar dalam berbagai lapangan kehidupan. Dengan

Wawasan Makro Pendidikan 12

Page 13: Mewujudkan Pendidikan Multikultural Di Indonesia

dibukanya ladang-ladang emas di daerah-daerah pertambangan seperti di Victoria,

New South Wales dan Australia Barat, telah meningkatkan taraf perekonomian

masyarakat. Dampak penemuan emas ini ternyata juga berpengaruh pada

peningkatan imigran yang datang ke Australia, seperti dari Cina, Asia, Jepang dll.

Dengan demikian pertumbuhan penduduk semakin meningkat pesat. Akibat dari

ini semua adalah timbulnya perpecahan dikalangan masyarakat, terutama antar

ras, seperti pengalaman-pengalaman di beberapa tambang Victoria pada tahun

1957.

Multikulturalisme, kemudian menjadi gagasan yang muncul untuk

mengatasi heterogenitas etnis yang terdiri dari berbagai etnis dengan latar

belakang budaya yang berbeda. Upaya untuk penyatuan pola budaya ini semula

sudah dirintis melalui gagasan assimilasi dan integrasi dalam rangka mencegah

perpecahan antar etnis di Australia. Gagasan multikulturalisme yang kemudian

diperkenalkan, dalam konteks yang sesungguhnya adalah legitimasi hak atas

berkembangnya berbagai kultur di Australia secara sama. Namun dalam

prakteknya gagasan multikulturalisme ini hanya menekankan aspek kultural

semata tanpa dibarengi dengan pandangan yang sama terhadap kesempatan kerja.

Sehingga, gagasan ini, oleh sementara pihak hanya dianggap sebagai upaya

radikal untuk mempromosikan kepentingan etnis tertentu saja.

Pada akhir tahun 1940an, ketika Australia membuka pintunya terhadap para

imigran-imigran non British dan mengizinkan mereka tinggal dan menetap,

beberapa persyaratan ditetapkan untuk mengasimilasikan mereka agar menjadi

warga Australia yang sesungguhnya dan dapat melupakan kebudayaan asli

mereka. Ketika imigran-imigran pertama yang berasal dari Itali dan Greek pada

akhir tahun 1940 masuk ke Australia, mereka mengalami diskriminasi rasial dari

orang-orang Inggris dan Irlandia. Para imigran ini mencoba untuk menguasai

bahasa Inggris serta meniru pola hidup orang Australia. Ini dianggap suatu cara

asimilasi yang kemudian sangat bermanfaat ketika kebijakan White Australia,

namun tidak demikian halnya dengan asimilasi untuk imigran dari Asia dan

Afrika karena perbedaan fisik mereka dengan orang Australia sangat menonjol .

Wawasan Makro Pendidikan 13

Page 14: Mewujudkan Pendidikan Multikultural Di Indonesia

Pada tahun 1966 pemerintah Australia mengubah kebijaksanaan imigrasi

yang memungkinkan orang-orang non-Eropa dapat memperoleh izin untuk tetap

tinggal di Australia, namun ketika pada tahun 1970an masuk para imigran dari

Asia, ternyata mereka tidak disambut dengan hangat oleh masyarakat Australia,

karena, disamping perbedaan fisik yang sangat menonjol, juga latar balakang

budaya dan pola hidup yang sangat berbeda. Kenyataan inilah yang menunjukkan

bahwa kebijaksanaan asimilasi pada dasarnya tidak bermanfaat banyak bagi para

imigran Asia dan Afrika hitam.

Ketika Gough Withlam terpilih sebagai perdana menteri Australia pada

tahun 1972, ia mencoba untuk menghapuskan konsep asimilasi berdasarkan white

Australia untuk kedamaian dan kesejahteraan negara dan atas nama kebenaran.

Untuk upaya ini ia mengangkat Al Grassby sebagai Menteri Imigrasi dan kepala

Komisi Hubungan Masyarakat. Withlam menyediakan pendidikan bahasa Inggris

untuk para imigran dalam rangka membantu mereka dalam pergaulan sehari-hari.

Melalui pemerintahan Withlam konsep multikulturalisme diperkenalkan sebagai

tindakan konstruktif untuk pencapaian identitas baru masyarakat Australia.

Pada tahun 1978 Galbally Report menyarankan prinsip-prinsip dasar

kebijaksanaan multikulturalisme yang sampai saat ini masih diperpegangi.

Pertama, ditekankan agar kesempatan yang sama harus diberikan kepada semua

orang untuk merealisasikan potensinya. Kedua, setiap orang harus dapat menjaga

kebudayaan mereka tanpa mengalami prasangka apapun. Ketiga, kursus-kursus

dan pelayanan-pelayanan khusus harus dipersiapkan untuk para imigran sambil

kebutuhan jangka pendek mereka diberikan. Keempat, Semua program yang

dibentuk untuk para imigran harus dengan konsultasi para imigran tersebut.

Pada tahun 1987, Hawke mendirikan Office of Multicultural Affair (OMA)

dan berada di bawah Departemen Perdana Menteri. Melalui Badan ini

dikembangkan konsep-konsep multikulturalisme secara lebih mendalam dan

menekankan batasan-batasan konsep itu serta ide Australia sebagai suatu unsur

unifikasi. Dengan begitu imigran-imigran diharapkan memberikan loyalitasnya

terhadap Australia. Bahkan OMA, melalui agenda nasionalnya menjelaskan dan

mempertajam defenisi multikulturalisme sebagai suatu istilah yang

Wawasan Makro Pendidikan 14

Page 15: Mewujudkan Pendidikan Multikultural Di Indonesia

menggambarkan diversitas budaya dan etnik dalam Australia Baru (Londom

dalam Shamad, 2009).

Tiga acuan yang dirumuskan Hawke dalam membatasi konsep

multikulturalisme, yaitu : pertama, semua orang boleh mengekspressikan warisan

kebudayaan nenek moyang mereka, asalkan tidak bertentangan dengan hukum

yang ada. Kedua, semua masyarakat Australia berhak atas keadilan sosial tanpa

melihat warna kulit, bahasa, agama serta keturunan, dan ketiga, effesiensi

ekonomi yang mengandung keperluan untuk meneruskan dan mengembangkan

serta menggunakan semua potensi-potensi komunitas baru Australia.

Sebagaimana telah dikemukakan, munculnya gagasan multikulturalisme di

Australia didorong oleh berbagai motivasi, salah satunya yang terpenting adalah

karena terus mengalirnya para imigran dari negara-negara tetangga Asia, namun

kebijaksanaan ini memunculkan reaksi-reaksi dari kalangan Anglo-Australian

yang ingin mempertahankan bentuk masyarakat yang homogen. Menurut mereka,

dengan diterapkannya kebijaksanaan ini, berarti terancamnya hegemoni unsur-

unsur kebudayaan Anglo di Australia. Yang lebih ekstrim lagi adalah pandangan

mereka bahwa multikulturalisme telah menghancurkan kebudayaan nasional.

Keluhan-keluhan seperti ini secara tidak langsung telah mendorong munculnya

perasan dislokasi, bahkan menumbuhkan gejolak rasisme, terutama di kalangan

orang-orang Anglo Australia yang merasa kehilangan hegemoni identitas dan

kebudayaan.

Di kalangan imigran juga muncul berbagai reaksi atas kebijakan

multikulturalisme karena dalam prakteknya multikulturalisme menekankan pada

etnisitas. Banyak kalangan yang menganggap bahwa multikulturalisme sebagai

semboyan kosong yang justru bersifat rasisme struktural terutama terlihat dari

prilaku ekonomi dan pasar tenaga kerja. Kenyataan kontradiktif pelaksanaan

kebijakan multikulturalisme juga terlihat dari kelompok masyarakat asli

“Aborigin”. Pengalaman- pengalaman pahit yang dialami oleh penduduk asli ini

semenjak mereka kehilangan tanah-tanah mereka seperti white Australian policy,

assimilasi, hingga multikulturalisme, menjadikan mereka kehilangan kepercayaan

terhadap negara dan pemerintahan Australia sendiri. Mereka merasa bahwa

Wawasan Makro Pendidikan 15

Page 16: Mewujudkan Pendidikan Multikultural Di Indonesia

berbagai kebijakan yang diterapkan tidak lain hanyalah upaya kontrol sosial

terhadap kebudayaan mereka. Posisi Aborigin pada akhirnya merupakan dilema

tersendiri dalam kebijakan multikulturalisme. Oleh karena itu di tingkat birokrasi

dibentuk Aboriginal Reconsiliation Council yang bekerja sama dengan The

National Multicultural Advisory Council. Di sini, penekanan diberikan kepada

‘cultural diversity’ dari pada multikulturalisme, dengan harapan hal ini akan lebih

mudah diterima. Namun yang paling dirasakan dalam penerapannya ialah tidak

adanya upaya anti rasisme yang serius, terutama dalam mengatasi diskriminasi

rasial yang berlaku dalam segala tingkatan masyarakat.

Mewujudkan Pendidikan Multikultural di Indonesia

Untuk membangun bangsa ke depan, diperlukan upaya untuk menjalankan

asas gerakan multikulturalisme menjadi sebuah tujuan bangsa dalam masyarakat

yang plural. Dalam masyarakat multikultural seperti Indonesia, paradigma

hubungan dialogal atau pemahaman timbal balik sangat dibutuhkan, untuk

mengatasi ekses-ekses negatif dari suatu problem disintegrasi bangsa.

Sebelum lanjut, dalam konteks implementasinya di Indonesia, pendidikan

multilkultural itu dapat dilihat atau diposisikan sebagai berikut, (Amirin, 2012):

1. Sebagai falsafah pendidikan; yaitu pandangan bahwa kekayaan

keberagaman budaya Indonesia hendaknya dimanfaatkan sebaik-baiknya

untuk mengembangkan dan meningkatkan sistem pendidikan dan

kegiatan belajar-mengajar di Indonesia guna mencapai masyarakat

Indonesia yang adil dan makmur (berbarkat) dan bahagia dunia akhirat.

2. Sebagai pendekatan pendidikan; yaitu penyelenggaraan dan pelaksanaan

pendidikan yang kontekstual, yang memperhatikan keragaman budaya

Indonesia.

3. Bidang kajian dan bidang studi; yaitu disiplin ilmu yang—dibantu oleh

sosiologi dan antropologi

pendidikan,

menelaah dan mengkaji

aspek- aspek

Wawasan Makro Pendidikan 16

Page 17: Mewujudkan Pendidikan Multikultural Di Indonesia

kebudayaan, terutama nilai-nilai budaya dan perwujudannya (norma,

etiket atau tatakrama, adat-istiadat atau tradisi dan lain-lain—mencakup

“manifestasi budaya” agama) untuk/dalam penyelenggaraan dan

pelaksanaan pendidikan.

Gambar 1. Fungsi Pendidikan Multikultural

Di Indonesia, pendidikan multikultural relatif baru dikenal. Pendidikan

multikultural yang dikembangkan di Indonesia merupakan counter terhadap

kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Model pendidikan multikultural

bukanlah sebuah formalitas yang sekedar merevisi materi pembelajaran tetapi

lebih luas dari itu, pendidikan multikultural dituntut untuk dapat mereformasi

sistem pembelajaran itu sendiri.

Untuk mewujudkan hal tersebut, pendidikan multikultural di Indonesia

perlu memakai kombinasi model yang ada, agar seperti yang diajukan Gorski

(dalam Mahfud, 2009), yang mencakup tiga jenis transformasi, yakni: (1)

transformasi diri; (2) transformasi sekolah dan proses belajar mengajar, dan (3)

transformasi masyarakat. Pada kegiatan transformasi diri, pendidikan

multikultural harus dapat mengarahkan peserta didik untuk dapat mengubah

mindset mereka akan pandangan etnosentrisme yang sempit menjadi pandangan

multikultralisme sebagai sebuah keniscayaan yang menjadi anugerah tuhan YME.

Pada kegiatan transformasi sekolah dan proses belajar mengajar, pendidikan

multikultural haruslah menjadi prioritas utama dalam membangun kebersamaan

diantara berbagai perbedaan. Guru sebagai fasilitator dituntut untuk dapat

Wawasan Makro Pendidikan 17

Page 18: Mewujudkan Pendidikan Multikultural Di Indonesia

mengarahkan peserta didik kedalam bentuk-bentuk pembelajaran yang

memungkinkan terjadinya hubungan dialogis yang harmonis dalam mensikapi

adanya perbedaan kultur, agama dan budaya. Pada kegiatan transformasi

masyarakat, harus tercipta sebuah tatanan masyarakat yang mengutamakan sebuah

interaksi yang selaras dan seimbang dalam mensikapi adanya perbedaan.

Masyarakat haruslah melebur ke dalam sebuah tatanan masyarakat kosmopolitan

yang tidak lagi memandang dominansi suatu kelompok terhadap kelompok lain,

sikap antipati dalam berinteraksi dengan kelompok lain dan saling menghargai

akan adanya perbedaan dalam stuktur sosial masyarakat.

Dalam mewujudkan pendidikan multikultural di Indonesia, menurut

Kurmaryani (tanpa tahun) setidaknya terdapat 4 hal utama yang perlu di tekankan

antara lain: Pertama, model kurikulum yang dapat digunakan dalam pendidikan

multicultural di Indonesia haruslah mencermikan nilai-nilai budaya Indonesia.

Kurikulum yang disusun tersebut harus dapat mengintegrasikan proses

pembelajaran nilai, pengetahuan dan keterampilan “hidup” dalam masyarakat

yang multicultural, seperti: terampil bernegosiasi, mengemukakan dan

menghadapi perbedaan, resolusi konflik, cooperative learning dan problem

solving yang diharapkan dapat meningkatkan internalisasi nilai-nilai kebudayaan

Indonesia di dalam kehidupan perserta didik.

Kedua, guru juga memainkan peranan penting dalam mewujudkan

pendidikan multikultural di Indonesia. Seorang guru yang mengajar melalui

pendekatan multicultural harus “fleksibel”, karena untuk mengajar dalam

multikultur seperti di Indonesia, pertimbangan “perbedaan budaya” adalah hal

penting yang harus menjadi perhatian guru. Faktor-faktor seperti: membangun

paradigma keberagamaan inklusif dan moderat di sekolah, menghargai keragaman

bahasa, membangun sikap sensitive gender, membangun pemahaman kritis

terhadap ketidakadilan dan perbedaan status social, membangun sikap anti

diskriminasi etnis, menghargai perbedaan kemampuan dan menghargai perbedaan

umur harus dikemas dalam ranah pembelajaran dan penyadaran di persekolahan,

sehingga tercipta suatu paham untuk memahami dan menerima segala perbedaan

yang ada pada setiap individu peserta didik dan pada akhirnya peserta didik

Wawasan Makro Pendidikan 18

Page 19: Mewujudkan Pendidikan Multikultural Di Indonesia

diharapkan mampu memiliki karakter kuat untuk selalu bersikap demokratis,

pluralis dan humanis.

Ketiga, proses pembelajaran yang dikembangkan harus menempatkan

peserta didik pada kenyataan social di sekitarnya. Artinya, proses belajar yang

mengandalkan peserta didik untuk belajar secara kelompok dan bersaing secara

kelompok dalam suatu situasi kompetitif yang positif. Dengan cara ini, perbedaan

antar individu dapat dikembangkan sebagai suatu kekuatan kelompok dan peserta

didik terbiasa hidup dengan berbagai keragaman budaya, social, ekonomi,

intelektual dan aspirasi politik.

Keempat, evaluasi yang digunakan harus meliputi keseluruhan aspek

kemampuan dan kepribadian peserta didik sesuai dengan tujuan dan konten yang

dikembangkan. Asesmen kinerja, asesmen portofolio, asesmen rubric, pedoman

obsevasi, pedoman wawancara, rating scale, skala sikap, cek-list, kuesioner dan

lain sebagai sebagai alat penilaian yang dapat digunakan untuk mengevaluasi

pembelajaran yang menggunakan pendekatan multicultural.

Penutup

Pendidikan di Indonesia yang masyarakatnya terdiri dari berbagai macam

ras, suku budaya, bangsa, dan agama dirasa penting untuk menerapkan pendidikan

multikultural. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa dengan masyarakat Indonesia

yang beragam inilah seringkali menjadi penyebab munculnya berbagai macam

konflik.

Dalam konteks Indonesia, yang dikenal dengan muatan yang sarat

kemajemukan, maka peran pendidikan yang berbasis multikultural menjadi sangat

strategis untuk dapat mengelola kemajemukan secara kreatif, sehingga konflik

yang muncul sebagai dampak dari transformasi dan reformasi sosial dapat

dikelola secara cerdas dan menjadi bagian dari pencerahan kehidupan bangsa ke

depan.

Pendidikan multikultural di Indonesia hanya dapat dibangun melalui upaya-

upaya yang berkesinambungan dan terpadu. eran dan dukungan dari guru/tenaga

pengajar, institusi pendidikan, dan para pengambil kebijakan pendidikan lainnya,

Wawasan Makro Pendidikan 19

Page 20: Mewujudkan Pendidikan Multikultural Di Indonesia

terutama dalam penerapan kurikulum dengan pendekatan multicultural. Guru dan

institusi pendidikan (sekolah) perlu memahami konsep pendidikan multicultural

dalam perspektif global agar nilai-nilai yang terkandung dalam pendidikan ini

dapat diajarkan sekaligus dipraktekkan di hadapan para peserta didik, sehingga

diharapkan melalui pengembangan pendidikan multicultural ini para peserta didik

akan lebih mudah memahami pelajaran dan meningkatkan kesadaran mereka agar

selalu berperilaku humanis, pluralis dan demokratis.

Daftar Pustaka

Amirin, T.M. 2012. Implementasi Pendekatan Pendidikan Multikultural Kontekstual Berbasis Kearifan Lokal di Indonesia. Jurnal Pembangunan dan Pendidikan. Vol 1: (1)

Banks, J. A. 2002. An Introduction to Multicultural Education. Boston: Allyn and Bacon.

Deviani, H. 2013. Dinamika Multikulturalisme Kanada (1968-2006). htttp://heidistoria.blogspot.com. Online diakses 15 September 2013.

Kusmaryani, Y. Tanpa tahun. Pendidikan Multikultural; Suatu Kajian Tentang Pendidikan Alternatif di Indonesia Untuk Merekatkan Kembali Nilai-nilai Persatuan, Kesatuan dan Berbangsa di Era Global. Online (12 September 2013)

Mahfud, C. 2009. Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Ramly, N. 2005. Membangun Pendidikan Yang Memberdayakan dan Mencerahkan, Jakarta: Grafindo

Parekh, B. 2000. Rethinking Multivulturalism: Cultural Diversity and Political Theory. Cambridge: Havard University Press

Phierquin. 2013. Perbandingan Multikulturalisme di Berbagai Negara. http://phierda.wordpress.com/ Online (diakses 15 September 2013)

Shamad, I. 2009. Politik dan Kebudayaan Etnik : Multikulturalisme Versi Australia. http://irhashshamad.blogspot.com/ Online (diakses 15 September 2013)

Wawasan Makro Pendidikan 20

Page 21: Mewujudkan Pendidikan Multikultural Di Indonesia

Suparlan, P. 2002. Kesetaraan Warga dan Hak Budaya Komuniti dalam Masyarakat Majemuk Indonesia. Jurnal Antropologi Indonesia. Vol 6 (1-12)

Tilaar, HAR. 2005. Manifesto Pendidikan Nasional: Tinjauan Dari Perspektif Postmodernisme dan Studi Kultural. Jakarta: Kompas

---------------- 2004. Manajemen Pendidikan Nasional, Bandung: P.T Remaja

Rosdakarya

Wawasan Makro Pendidikan 21