Upload
rocco-bayu-w
View
64
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP INDUSTRI PARIWISATA LOKAL:
WISATA MEETING, INCENTIVE, CONVENTION, EXHIBITION (MICE) DI KOTA
SURABAYA TAHUN 2008 – 2011
Globalisasi yang berdampak pada perkembangan di bidang teknologi dan sarana
informasi komunikasi ini memengaruhi pola pikir masyarakat pada suatu negara, sehingga
dapat memicu terjadinya migrasi penduduk negara tersebut. Hadirnya migrasi yang semakin
berkembang pesat di era globalisasi ini menunjukkan bahwa mobilitas penduduk yang terjadi
pun kian berkembang pesat pula. Mobilitas yang terjadi tidaklah selalu bersifat permanen
mengingat masyarakat melakukan perjalanannya tidak selalu bersifat permanen. Contoh dari
migrasi yang bersifat tidak permanen adalah perjalanan yang dilakukan oleh para
turis/wisatawan.1
Shaw dan Williams menambahkan bahwa pariwisata merupakan salah satu contoh kuat
dari fenomena globalisasi dengan menggunakan skala geografis. Hal ini bisa dilihat dari
terjadinya perjalanan dan perdagangan yang berkembang pesat daripada yang seharusnya,
dengan terjadinya interaksi spasial antar satu tempat dengan tempat lain yang lebih jauh dan
juga terciptanya lingkaran yang lebih luas dari sebelumnya.2 Fenomena globalisasi yang
seperti ini berkontribusi secara signifikan dalam penyebaran turis hingga pada tempat terjauh
di planet ini, sehingga mengarah pada penyusutan pleasure periphery sebagai sebuah tren,
yang dengan kata lain, menuju masyarakat tunggal dunia (single world society).3
Konsekuensi dari proses globalisasi yang demikian ini, seperti perluasan jangkauan kegiatan
yang tidak terbatas pada satu negara saja, berpengaruh terhadap perkembangan
kepariwisataan dunia, yang berimplikasi pada dunia pariwisata Indonesia.4
Berkenaan dengan fenomena globalisasi yang menyebabkan peningkatan mobilitas
wisatawan dan penyebaran turis/wisatawan di seluruh dunia, terdapat peningkatan jumlah
wisatawan mancanegara yang datang ke Indonesia pada umumnya dan Kota Surabaya pada
khususnya. Pada tahun 2008 terdapat 48,417 wisatawan mancanegara yang datang ke
Surabaya. Sedangkan pada tahun 2009 jumlah tersebut meningkat menjadi 136,539
1 Saskia Sassen, ‘The De Facto Transnationalizing of Immigration Policy’, dalam Globalization and Its Discontents: Essays on the New Mobility of People and Money, the New Press, New York, 1998, hlm. 5-30.
2 Shaw & Williams, loc. cit.
3 A.K. Bhatia, International Tourism Management, Sterling Publishers, Pvt, Ltd, New Delhi, 2006, hlm. 46-48.
4 I Putu Gelgel, Industri Pariwisata Indonesia dalam Globalisasi Perdagangan Jasa (GATS-WTO), Refika Aditama, Bandung, 2006, hlm. 1.
1
wisatawan, 116,829 wisatawan pada tahun 2010 dan 83,247 pada tahun 2011 .5 Diantara para
wisatawan mancanegara tersebut, pada tahun 2008, sebanyak 63% memiliki maksud dan
tujuan untuk melakukan perjalanan bisnis, dinas dan konvensi. Prosentase tersebut terus
meningkat pada tahun berikutnya, 82% pada tahun 2009, 84% pada tahun 2010 hingga pada
tahun 2011, sebanyak 85% wisatawan mancanegara memiliki maksud dan tujuan untuk
melakukan perjalanan bisnis, dinas dan konvensi berkunjung ke Surabaya.6
Sebagai respon terhadap semakin meningkatnya kebutuhan wisatawan mancanegara
akan sarana dan prasarana kegiatan MICE (wisata konvensi), pemerintah Indonesia kian
mengembangkan potensi pariwisata dalam bidang MICE. Lebih lanjut, Pemerintah Indonesia
telah menetapkan 10 daerah tujuan wisata MICE di Indonesia salah satunya adalah Kota
Surabaya.7 Sebagai kota terbesar kedua di Indonesia, Surabaya memiliki peranan penting
dalam pariwisata Indonesia, khususnya menyambut program Visit Indonesia Year 2008.
Upaya promosi di dalam dan luar negeri semakin gencar diadakan. Namun, beberapa obyek
wisata masih tampak kotor, tidak terawat dan melakukan promosi asal-asalan. Di Surabaya
masih jarang dijumpai wisatawan mancanegara berjalan-jalan di jalan protokol di Kota
Surabaya, seperti halnya yang terjadi di Bali atau Jogjakarta.8
Kondisi Surabaya yang tidak kondusif disebabkan oleh beberapa hal. Yang pertama,
kurangnya variasi produk. Dengan kondisi potensi wisata alam dan budaya yang selama ini
dimiliki Surabaya, tidak banyak pelaku pariwisata yang mampu membuat paket-paket tour
yang menjual aset wisata Kota Surabaya. Paket city tour yang seringkali dijual hanyalah
mengunjungi tempat-tempat wisata di Surabaya tanpa memberikan makna lebih di balik
perjalanan itu. Kedua, lemahnya manajemen di kawasan wisata di Surabaya, khususnya
masalah kebersihan dan keamanan. Sebagian besar tempat wisata di Surabaya dikelola oleh
Pemerintah Kota (Pemkot) melalui UPTD (Unit Pelaksana Teknis Daerah). Kesadaran akan
kualitas tempat wisata, baik dari segi tampilan, penataan ruang, kebersihan toilet maupun
keamanan, kerap diabaikan. Ketiga, minimnya fasilitas pendukung wisatawan dalam kota.
5 Laporan Jumlah Wisatawan Mancanegara / Wisatawan Nusantara di Kota Surabaya tahun 2008 - 2010. Arsip Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Surabaya.
6Ibid.
7 R. Widodo Djati Sasongko, ‘Kesiapan Surabaya Sebagai Daerah Tujuan Wisata MICE dalam Rangka Meningkatkan Kunjungan Wisatawan’, Indonesian Scientific Journal, vol. 2, no. 2, Juni 2008, hlm. 71, diakses 15 Maret 2012, Indonesian Scientific Journal Database.
8 Anon., Pariwisata Surabaya dan Entrepreneurship, Ciputra, 2010, diakses 30 Juni 2012, <http://www.ciputra.org/node/92/pariwisata-surabaya-dan-entrepreneurship.htm>
2
Fasilitas pendukung bertujuan untuk mempermudah wisatawan, asing khususnya, bergerak
dari satu tempat ke tempat lain secara mandiri tanpa bantuan dari travel agent. Untuk itu,
yang dibutuhkan adalah informasi akurat tentang tempat-tempat yang menarik di Surabaya
yang bisa diakses dengan mudah, semacam Tourist Information Center. Kesadaran akan
kualitas tempat wisata, baik dari segi tampilan, penataan ruang, kebersihan toilet maupun
keamanan, kerap diabaikan. Sementara, 3 hal sangat dibutuhkan oleh wisatawan, yaitu
kebersihan, keamanan dan keakuratan informasi.9
Fenomena globalisasi membawa dampak pada meningkatnya mobilitas masyarakat
dunia untuk mengunjungi wilayah-wilayah tujuannya di berbagai belahan dunia, termasuk di
dalamnya Kota Surabaya di Indonesia. Sebagian besar dari mereka merupakan konsumen dari
produk wisata konvensi, jika dilihat dari maksud tujuan mereka yang datang untuk
melakukan aktivitas MICE. Menghadapi hal tersebut Surabaya melakukan pengembangan-
pengembangan tertentu, terutama pada sarana dan prasarana MICE. Usaha untuk
mengembangkan fasilitas MICE ini dilakukan dalam rangka memenuhi kebutuhan wisatawan
mancanegara yang membutuhkan sarana dan prasarana MICE.
Menurut Susan Strange, bahwa globalisasi terjadi pada berbagai tingkatan, salah
satunya adalah tingkat material life. Tingkat material life yang dimaksud di sini adalah
terciptanya struktur produksi global yang menentukan barang dan jasa apa yang dihasilkan
oleh negara untuk kelangsungan dan kenikmatan hidup. Produksi barang dan jasa itu
berorientasi ke pasar global dan tidak hanya terbatas pada pasar nasional saja.10 Hubungan
saling ketergantungan dalam sistem perekonomian menyebabkan sistem nasional cenderung
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sistem ekonomi global (global economy).
Aktivitas ekonomi berlangsung dalam gerak arus barang, jasa dan uang di dunia secara
dinamis sesuai dengan prinsip ekonomi.11
Salah satu produk jasa yang diproduksi untuk berorientasi ke pasar global adalah
pariwisata. Pariwisata memiliki porsi yang besar dan merupakan aspek penting dalam proses
globalisasi.12 Hal ini dikarenakan pada dasarnya, globalisasi melibatkan terjadinya pertukaran
9 Ibid.
10 Susan Strange, Casino Capitalism, Manchester University Press, Manchester, 1997, dikutip dalam Halwani, op.cit., hlm. 227.
11 Halwani, op.cit., hlm. 226.
12 A.P. Cheater, “Globalisation and the new technologies of knowing: Anthropological calculus or chaos?” Dalam M. Strathern (ed.), Shifting Contexts: Transformations in Anthropological Knowledge, Routledge, London, 1995, dikutip dalam Donald V.L. Macleod, Tourism, Globalisation and Cultural Change, Channel View
3
dan aliran serta muatan intelektual dalam hal produk (barang dan jasa), ilmu pengetahuan,
nilai-nilai, seperti halnya manusia, pada skala global.13 Sedangkan yang terjadi pada sektor
pariwisata adalah hal yang tidak jauh berbeda. Mengutip definisi dari World Tourism
Organization (WTO),
Chawla menuliskan bahwa:
“… tourism is the activity of people who travel to places outside their customary
surroundings and stay there for leisure, business or other purposes for no longer than
one year without interruption…”
pariwisata merupakan aktivitas sekelompok orang yang bepergian menuju tempat di luar
lingkungan mereka dan tinggal di tempat tersebut untuk tujuan leisure, bisnis atau tujuan-
tujuan lain yang tidak memakan waktu lebih dari satu tahun.14 Jadi seperti halnya praktek
globalisasi (yang memiliki ciri menjangkau wilayah lain, yang dimana menghasilkan
pertukaran mata uang, produk-produk dan informasi, mendorong terjadinya perdagangan
internasional, perjalanan dan komunikasi) pariwisata juga memiliki ciri khas tersebut. Dalam
konteks ekspor, segala hal yang menarik datangnya turis/wisatawan merupakan bentuk lain
dari sebuah komoditas dalam sebuah jaringan yang tersebar secara lintas batas.15
Dengan masuknya arus globalisasi dan terbukanya pasar lokal, maka terjadi pertemuan
antara kebutuhan konsumen global dengan produk-produk baik barang maupun jasa yang
tersedia di pasar lokal. Bertemunya dua hal tersebut merupakan bentuk dari glokalisasi,
seperti yang dinyatakan oleh Richard Tiplady, Tiplady mendefinisikan glokalisasi sebagai
sebuah cara di mana ide-ide dan struktur-struktur yang berada pada tingkat global diadaptasi
dan disesuaikan oleh kenyataan yang ada di daerah lokal.16
Sedangkan Robertson mendefinisikan “glokalisasi” sebagai “sebuah proses yang
terbentuk dari mendekatkan (nilai/unsur) global dan lokal untuk kemudian menghasilkan
sebuah perpaduan”. Dalam dunia bisnis ide ini diadopsi untuk mengarahkan kepada (proses)
lokalisasi global.17 Lebih khusus, glokalisasi adalah pengadapatasian/penyesuaian produk-
Publications, Clevedon, 2004, hlm. 4.
13 Macleod, loc. cit.
14 Romila Chawla, Global Tourism, Sonali Publications, New Delhi, hlm. 13.
15 Macleod, op. cit., hlm. 6
16 Richard Tiplady, World Difference: global mission at the pic ‘n’ mix counter, Paternoster Press, 2003, diakses 22 April 2012, <http://www.tiplady.org.uk/pdfs/bookTiplady.pdf>
17 Roland Robertson, Globalization: Time-Space and Homogeneity-Heterogeneity in Featherstone, Lash, and Robertson (eds) Global Modernities, Sage, London, 1995 , hlm. 28, dikutip dalam Khondker, ‘Glocalization as
4
produk (lokal) hingga sedemikian rupa agar bisa memenuhi kebutuhan dan keinginan
konsumen di pasar asing (global).18
Terkait dengan hubungan antara globalisasi dan lokalisasi, Rosenau mengutip
perspektif dari O’Riordian dan Church:19
“…Globalization and localization unite at all spatial scales. There is little, and may be
nothing, that is global that does not have some sort of local manifestation. And each
local manifestation changes the global context. Place centredness is the amalgam of
global change and local identity. Every place reveals itself at variety of scales. Local
perceptions are shaped by global influences, the combinations of which process local
actions. These in turn are fuelled by local aspirations, many of which are the product of
global images and expectations. All these local activities accumulate to create chaotic
but global outcomes…”
Pada dasarnya O’Riordian dan Church menyampaikan bahwa globalisasi dan lokalisasi
adalah dua hal yang merupakan satu kesatuan pada tiap skala spasial. Hal ini dikarenakan
tidak ada satupun isu global yang tidak memiliki pengejawantahan lokal. Persepsi dan
tindakan-tindakan lokal dibentuk oleh pengaruh global. Hal ini didorong oleh aspirasi lokal,
yang banyak diantaranya merupakan produk dari harapan dan gambaran global. Semua
aktivitas lokal ini berakumulasi untuk menciptakan hasil yang bersifat global.20
Dalam hal ini The Glocal Forum dalam jurnalnya yang berjudul The Glocalization
Manifesto menempatkan kota dan pihak berwenang sebagai aktor utama dalam glokalisasi.
Kota, pada kenyataannya, memiliki beberapa kelebihan; hubungan dengan pemerintah dan
badan-badan administratif bisa berinteraksi secara langsung pada tingkat kota. Kota juga
merupakan representasi dari “mesin“ inovasi dan perkembangan ekonomi; kota juga
seringkali merupakan pusat identitas budaya dan perubahan sosial dan reformasi institusi.
Globalization: Evolution of Sociological Concept’, Bangladesh e-Journal of Sociology, vol. 1, no. 2, July 2004, hlm. 4, diakses 22 April 2012, <http://www.cpi.hr/download/links/hr/4298.pdf>
18 Anonim, Global Media Global Culture: Glocalization, 6 Mei 2010, diakses 21 April 2012, <drop.theunluckydip.com/stuff/global2.pdf>
19 Tim O’Riordan and Chris Church, “Synthesis and Content,” in Tim O’Riordan (ed.), Globalism, Localism and Identity: Fresh Perspectives on the Transition to Sustainability, Earthscan, London, 2001 dikutip dalam James N. Rosenau, Distant Proximities, Princeton University Press, New Jersey, 2003, hlm. 4
20 Ibid.
5
Dengan kata lain, kota memiliki peranan yang baru dan cukup kuat untuk berperan dalam
glokalisasi.21
Meneruskan pernyataan O’Riordian dan Church mengenai hubungan spasial antara
globalisasi dan lokalisasi, di mana persepsi dan aksi lokal merupakan bentukan dari pengaruh
global, Rosenau muncul dengan Theory of Change (Teori Perubahan). Teori ini kemudian
bisa menjelaskan tentang persepsi dan tindakan-tindakan lokal yang dilakukan sebuah kota
yang merupakan pusat identitas budaya dan perubahan sosial.22 Selebihnya, teori perubahan
ini tidak mungkin berkembang jika tidak terjadi adanya hubungan antara micro-macro dalam
konteks dinamika glokalisasi.
Micro agents dan macro structures akan selamanya saling berinteraksi. Salah satu dari
keduanya pastilah memiliki inisiatif dan yang lain akan mengikutinya, seperti contohnya
bagaimana bentuk sekelompok masyarakat pada skala mikro merupakan bentukan dari
struktur yang ada pada skala makro. Mengenai interaksi antara micro-macro Rosenau
memfokuskan pandangannya kepada dua tipe aktor, yang disebut, sekelompok individu pada
micro level dan kolektifitas pada macro level. Terdapat tiga tipe kelompok (sekelompok
individu) yang Rosenau sebutkan berada pada tingkat mikro, di mana salah satunya adalah
sekelompok individu yang merupakan sekumpulan pemimpin dan elit politik. Mereka
memiliki kapabilitas untuk bisa menghadapi dan mengambil keputusan mengenai apa yang
terjadi pada tingkat makro. Sekumpulan individu tersebut (yang berada pada tingkat mikro)
bisa berupa pemerintahan yang terstruktur pada skala lokal, perusahaan, organisasi
internasional, nongovernmental organizations (NGO), kelompok etnis minoritas, kelompok
kepentingan, dan seterusnya.23
Untuk lebih dalam memahami interaksi mikro-makro dibutuhkan skema konseptual
yang menentukan tren dinamika makro dan membedakan beragam aktor mikro yang
terbentuk serta merupakan respon dari dinamika makro. Rosenau menawarkan sebuah skema
komprehensif yang terdiri dari dua tingakatan, diantaranya adalah: delapan dinamika makro
utama (terdiri dari microelectronic technologies, skill revolution, organizational explosion,
bifurcation of global structures, mobility upheaval, weakening of territoriality, states, and
sovereignty, authority crises, globalization of national economies) dan dua belas “dunia”
yang terbagi dalam “dunia” global, privat dan lokal. Penelitian ini akan difokuskan kepada
21 The Glocal Forum, The Glocalization Manifesto, The Glocal Forum, September 2004, hlm. 6, diakses 22 April 2012, <glocalforum.flyer.it/?id=197&id_p=193&lng=en>
22 Rosenau, op. cit., hlm. 20-21
23 Ibid., hlm. 22-27
6
interaksi antara dinamika makro dalam hal mobility upheaval dan “dunia” lokal yang bisa
disebut juga sebagai micro agents. Local worlds terdiri dari beberapa kategori, diantaranya
adalah: insular locals, resistant locals, exclusionary locals, dan affirmative locals.24 Terkait
dengan bahasan yang diteliti dalam penelitian ini, maka peneliti akan memfokuskan pada
affirmative locals.25
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa kota dan pihak berwenang
merupakan salah satu aktor utama dalam glokalisasi yang juga merupakan aktor tingkat
mikro dalam local worlds. Dalam hal ini, Pemerintah Kota dan masyarakat di sekitarnya
melakukan beberapa usaha dan strategi agar kotanya menjadi kota yang berkualitas.
Salah satu dari strategi yang bisa dilakukan adalah branding strategy. Branding
Strategy dilakukan di hampir seluruh kota utama di dunia, ini juga merupakan sebuah usaha
yang dilakukan untuk menciptakan atmosfer yang kondusif sebagai kota yang menjadi
destinasi dari para wisatawan. Selain itu, Parkenson dan Saunders juga menyampaikan bahwa
beberapa kota melakukan strategi branding untuk meningkatkan daya tariknya dalam hal
pariwisata maupun bisnis.26 Brand yang dimaksudkan di sini (yang dimiliki oleh sebuah kota)
bukan merupakan sebuah produk atau jasa yang didasarkan pada market power, brand dari
sebuah kota didasarkan pada sebuah kebutuhan untuk meningkatkan sektor perekonomiannya
dan untuk menarik para turis dan investor.27 Lebih lanjut mengenai city branding Hudson dan
Hawkins juga menyatakan bahwa strategi ini merupakan elemen yang penting bagi sebuah
kota dalam prosesnya untuk mencapai posisi yang lebih baik dari sebelumnya.28
24 Four Local Worlds terdiri dari; Insular Locals yaitu mereka yang terisolasi dari perkembangan yang terjadi di dunia, mereka berpikir dan bekerja sebatas wilayah geografis mereka; Resistant Locals yaitu mereka yang berpikir bahwa globalisasi merupakan hal yang bersifat mengancam dan oleh karena itu mereka memiliki pemikiran bahwa globalisasi adalah suatu hal yang pantas untuk dilawan; Exclusionary Locals yaitu mereka yang menyadari adanya konektivitas antara globalisasi dan masyarakat lokal, namun sikap mereka terhadap globalisasi lebih mengarah kepada ketidakpedulian, tidak melawan dan tidak mengisolasi diri; Affirmative Locals adalah mereka yang menerima ide globalisasi, terbuka terhadap dinamika makro, mereka bahkan menganggap bahwa beberapa keuntungan dan kesejahtaraan, kelebihan dalam mengakses informasi, kesempatan untuk melakukan perjalanan di luar wilayahnya bisa didapat dengan menerima dan membuka diri terhadap globalisasi.
25 Rosenau, op. cit., hlm. 38-45 & 52-53.
26 B. Parkerson & J. Saunders, ‘City Branding: Can Goods and Services Branding Models Be Used to Brand Cities’, Place Branding, Vol. 01, No. 03, 2004, hlm. 242-264
27 Philip Kotler, ‘Opinion Pieces: ‘Where is Place Branding Heading?’, Place Branding, Vol. 01, No. 01, 2004, hlm. 12-35
28 M. Hudson & N. Hawkins, ‘A Tale of Two Cities – A Commentary on Historic and Current Marketing Strategies Used By The Liverpool and Glasgow Regions, Place Branding, Vol. 02, No. 02, 2006, hlm. 155
7
Dalam membangun brand daerah yang solid diperlukan adanya perumusan strategi
yang disebut dengan strategic place triangle yang mencakup tiga hal kunci yang terdiri dari
sembilan elemen.29 Dari kesembilan elemen tersebut terdapat tiga komponen inti yaitu:
penetapan Positioning, pengembangan Diferensiasi dan upaya membangun Merek (brand).30
Dengan menggunakan strategi ini secara maksimal, maka city branding yang dihasilkan akan
memberikan daya tarik yang cukup besar bagi turis asing untuk datang ke suatu kota (sebagai
tujuan wisata) dan juga bisa menambah kekuatan ekonominya.
Dari data-data yang peneliti dapatkan, mengenai meningkatnya kebutuhan wisatawan
mancanegara terhadap MICE, terlihat bahwa arus globalisasi berupa dinamika makro
mobility upheaval yang membawa kebutuhan akan MICE memengaruhi Kota Surabaya
sebagai affirmative local dalam mengembangkan industri wisata konvensinya. Dari sekian
banyak jumlah wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Kota Surabaya sebagian besar
dari mereka memiliki kebutuhan MICE. Untuk merespon hal ini Surabaya memposisikan
dirinya sebagai affirmative local dengan membuka diri terhadap masuknya sejumlah
wisatawan mancanegara berkebutuhan MICE tersebut. Keterbukaan dan respon positif
Surabaya tersebut bisa dilihat melalui: kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah
untuk mengembangkan wisata MICE, perbaikan infrastruktur pendukung MICE oleh
Pemerintah Kota Surabaya, pembangunan sarana fisik MICE, pengembangan sektor non-fisik
yang dilakukan oleh pihak swasta dan masyarakat Kota Surabaya.
Pengembangan yang dilakukan oleh Kota Surabaya dalam rangka merespon
masuknya wisatawan mancanegara tersebut sesuai dengan theory of change yang menyatakan
bahwa interaksi antara dinamika makro dan aktor mikro akan mengakibatkan terjadinya
perubahan dan reaksi pada level mikro. Diantara perubahan dan reaksi Kota Surabaya
tersebut adalah: pembangunan dan pengembangan baik sektor fisik maupun non-fisik yang
bertujuan untuk merespon dan memenuhi kebutuhan wisatawan mancanegara yang datang ke
Surabaya untuk melakukan aktivitas MICE dan ditambahkannya identitas Kota Konvensi
(selain Kota Pahlawan) melalui Sparkling Surabaya sebagai city branding Kota Surabaya.
Dalam penelitian ini, peneliti menemukan bahwa Kota Surabaya menunjukkan
sikapnya sesuai dengan ciri khas affirmative locals. Kota Surabaya tidak hanya menunjukkan
29 Sesuai dengan penamaannya, Strategic Place Triangle mencakup tiga hal kunci. Pertama adalah Strategi yang mencakup Segmentasi-Targeting-Positioning. Kedua adalah Taktik yang mencakup Diferensiasi-Marketing Mix-Selling. Dan yang ketiga adalah Value yang mencakup Brand-Servis-Proses.
30 Hermawan Kartajaya & Yuswohady, Attracting Tourists Traders Investors: Strategi Memasarkan Daerah di Era Otonom, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005, hlm. 6
8
keterbukaannya terhadap datangnya wisatawan mancanegara sebagai wujud masuknya arus
globalisasi melalui mobility upheaval, bahkan lebih jauh Kota Surabaya melakukan reaksi
dan strategi untuk mengembangkan sektor wisata konvensinya. Reaksi dan strategi tersebut
dilakukan Surabaya untuk mendapatkan keuntungan dari adanya fenomena globalisasi berupa
mobility upheaval yang membawa kebutuhan MICE. Pengembangan dan pembangunan yang
dilakukan Kota Surabaya tidak hanya semata-mata untuk memenuhi kebutuhan para
wisatawan mancanegara saja, hal tersebut juga dilakukan untuk menggali potensi daerah yang
ada khususnya dalam bidang industri wisata konvensi. Kota Surabaya juga bertujuan untuk
mempromosikan dirinya sebagai Kota Konvensi, kota yang sangat representatif untuk
melakukan aktivitas MICE hingga pada tingkat internasional.
Terwujudnya Sparkling Surabaya sebagai city branding yang matang merupakan hasil
integrasi yang kuat antara Pemkot, pihak swasta dan masyarakat Kota Surabaya. Sparkling
Surabaya merupakan merek yang dibuat untuk Kota Surabaya yang sedang dikembangkan
dan disosialisasikan. Selain sebagai brand yang merespon besarnya kebutuhan wisatawan
mancanegara terhadap MICE, Sparkling Surabaya secara khusus bertujuan untuk
memperkuat identitas Surabaya sebagai Kota Konvensi yang nantinya bisa semakin dikenal
oleh masyarakat internasional.
9