Upload
khuliqataqna
View
26
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
MATA KULIAH FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MEKANISME KERJA OBAT AINS
OLEH :
NAMA : SITTI KHULIQAT AQNA
NIM : N111 11 013
MAKASSAR
2013
OBAT - OBAT ANALGETIKA ANTI INFLAMASI NON STEROID
I.1 Pengertian
Analgetika adalah obat-obat yang dapat mengurangi atau
menghilangkan rasa sakit tanpa menghilangkan kesadaran. Analgetika
pada umumnya diartikan sebagai suatu obat yang efektif untuk
menghilangkan sakit kepala, nyeri otot, nyeri sendi, dan nyeri lainnya.
Hampir semua analgetika ternyata memiliki efek anti inflamasi dimana
efek anti inflamasi sendiri berguna untuk mengobati radang sendi (artritis
remautoid). Jadi analgetika anti inflamasi non steroid adalah obat-obat
analgetika yang selain mempunyai efek analgetika juga mempunyai efek
anti inflamasi, sehingga obat-obat jenis ini digunakan dalam pengobatan
reumatik dan gout.
Obat anti inflamasi non steroid (AINS) merupakan salah satu
golongan obat besar yang secara kimia heterogen menghambat aktivitas
siklooksigenase, menyebabkan penurunan sintesis prostaglandin dan
prekursor tromboksan dari asam arakidonat.
Obat-obat golongan ini merupakan suatu obat yang heterogen
secara kimia. Klasifikasi kimiawi AINS, tidak banyak manfaat kliniknya
karena ada AINS dari subgolongan yang sama memiliki sifat yang
berbeda, sebaliknya ada obat AINS yang berbeda subgolongan tetapi
memiliki sifat yang serupa. Ternyata sebagian besar efek terapi dan efek
sampingnya berdasarkan atas penghambatan biosintesis prostaglandin
(PG).
Beberapa AINS umumnya bersifat anti-inflamasi, analgesika dan
antipiretik. Efek antipiretiknya bari terlihat pada dosis yang lebih besar dari
pada efek analgesiknya, dan AINS relatif lebih toksis dari pada antipiretika
klasik, maka obat-obat ini hanya digunakan untuk terapi penyakit inflamasi
sendi seperti artritis reumatoid, osteo-artritis, spondilitis ankliosa dan
penyakit pirai. Respon individual terhadap AINS bisa sangat bervariasi
walaupun obatnya tergolong dalam kelas atau derivat kimiawi yang sama.
Sehingga kegagalan dengan satu obat bisa dicoba dengan obat sejenis
dari derivat kimiawi yang sama. Semua AINS merupakan iritan mukosa
lambung walaupun ada perbedaan gradasi antar obat-obat ini.
I.2 Patologi
Adapun penyebab nyeri sendiri yaitu akibat pengeluaran
prostaglandin secara berlebihan akibat adanya rangsangan nyeri. Adapun
rangsangan nyeri sendiri yaitu :
1. Fisika , dapat berupa benturan dan menyebabkan bengkak
2. Kimia, dapat terjadi karena tertetesi HCl dan zat-zat kimia lainnya
3. Biologi , dapat terjadi karena terinfeksi bakteri atau kuman
Nyeri timbul oleh karena aktivasi dan sensitisasi sistem nosiseptif,
baik perifer maupun sentral. Dalam keadaan normal, reseptor tersebut
tidak aktif. Dalam keadaan patologis, misalnya inflamasi, nosiseptor
menjadi sensitive bahkan hipersensitif. Adanya pencederaan jaringan
akan membebaskan berbagai jenis mediator inflamasi, seperti
prostaglandin, bradikinin, histamin dan sebagainya. Mediator inflamasi
dapat mengaktivasi nosiseptor yang menyebabkan munculnya nyeri. AINS
mampu menghambat sintesis prostaglandin dan sangat bermanfaat
sebagai anti-nyeri.
I.3 Mekanisme Kerja
Mekanisme kerja anti-inflamsi non steroid (AINS) berhubungan
dengan sistem biosintesis prostaglandin yaitu dengan menghambat enzim
siklooksigenase sehingga konversi asam arakhidonat menjadi PGG2
menjadi terganggu. Enzim siklooksigenase terdapat dalam 2 isoform yang
disebut COX-1 dan COX-2. Kedua isoform tersebut dikode oleh gen yang
berbeda. Secara garis besar COX-1 esensial dalam pemelihraan berbagai
fungsi dalam keadaan normal di berbagai jaringan khususnya ginjal,
saluran cerna, dan trombosit. Di mukosa lambung aktivitas COX-1
menghasilakan prostasiklin yang bersifat protektif. Siklooksigenase 2
diinduksi berbagi stimulus inflamatoar, termasuk sitokin, endotoksindan
growth factors. Teromboksan A2 yang di sintesis trombosit oleh COX-1
menyebabkan agregasi trombosit vasokontriksi dan proliferasi otot polos.
Sebaliknya prostasiklin PGL2 yang disintesis oleh COX-2 di endotel malro
vasikuler melawan efek tersebut dan menyebabkan penghambatan
agregasi trombosit.
I.4 Contoh Obat-Obat Analgetik Anti Inflamasi Non Steroid (AINS)
Di bawah ini adalah obat-obat yang tergolong AINS, yaitu :
1. Asam mefenamat dan Meklofenamat
Asam mefenamat digunakan sebagai analgetika dan anti-
inflamasi, asam mefenamat kurang efektif dibandingkan dengan
aspirin. Meklofenamat digunakan sebagai obat anti-inflamasi pada
reumatoid dan osteoartritis. Asam mefenamat dan meklofenamat
merupakan golongan antranilat. Asam mefenamat terikat kuat pada
pada protein plasma. Dengan demikian interaksi dengan oabt
antikoagulan harus diperhatikan.
Asam mefenamat merupakan kelompok anti inflamasi non
steroid, bekerja dengan cara menghambat sintesa prostaglandin
dalam jaringan tubuh dengan menghambat enzim siklooksigenase
sehingga mempunyai efek analgetik, anti-inflamasi dan antipiretik.
Efek samping terhadap saluran cerna sering timbul misalnya
dispepsia, diare sampai diare berdarah dan gejala iritasi terhadap
mukosa lambung. Dosis asam mefenamat adalah 2-3 kali 250-500
mg sehari. Sedangakan dosis meklofenamat untuk terapi penyakit
sendi adalah 240-400 mg sehari. Karena efek toksisnya di Amerika
Serikat obat ini tidak dianjurkan kepada anak dibawah 14 tahun dan
ibu hamil dan pemberian tidak melebihi 7 hari.
2. Diklofenak
Diklofenak merupakan derivat asam fenilasetat. Absorpsi
obat ini melalui saluran cerna berlangsung lengkap dan cepat. Obat
ini terikat pada protein plasma 99% dan mengalami efek
metabolisma lintas pertama (first-pass) sebesar 40-50%. Walaupun
waktu paruh singkat 1-3 jam, dilklofenakl diakumulasi di cairan
sinoval yang menjelaskan efek terapi di sendi jauh lebih panjang
dari waktu paruh obat tersebut.
Diklofenak adalah golongan obat non steroid dengan
aktivitas anti-inflamasi, analgesik dan antipiretik. Aktivitas
diklofenak dengan jalan menghambat enzim siklooksigenase
sehingga pembentukan prostaglandin terhambat.
Efek samping yang lazim ialah mual, gastritis, eritema kulit
dan sakit kepala sama seperti semua AINS, pemakaian obat ini
harus berhati-hati pada pasien tukak lambung. Pemakaian selama
kehamilan tidak dianjurkan. Dosis orang dewasa 100-150 mg
sehari terbagi dua atau tiga dosis.
3. Ibuprofen
Ibuprofen merupakan derivat asam propionat yang
diperkenalkan pertama kali dibanyak negara. Obat ini bersifat
analgesik dengan daya efek anti-inflamasi yang tidak terlalu kuat.
Efek analgesiknya sama seperti aspirin, sedangkan efek anti-
inflamasinya terlihat pada dosis 1200-2400 mg sehari. Ibuprofen
bekerja menghambat sintesis prostaglandin. Absorpsi ibuprofen
cepat melalui lambung dan kadar maksimum dalam plasma dicapai
dicapai setelah 1-2 jam. 90% ibuprofen terikat dalam protein
plasma, ekskresinya berlangsung cepat dan lengkap.
Pemberian bersama warfarin harus waspada dan pada obat
anti hipertensi karena dapat mengurangi efek antihipertensi, efek ini
mungkin akibat hambatan biosintesis prostaglandin ginjal. Efek
samping terhadap saluran cerna lebih ringan dibandingkan dengan
aspirin. Ibuprofen tidak dianjurkan diminum wanita hamil dan
menyusui. Ibuprofen dijual sebagai obat generik bebas dibeberapa
negara yaitu inggris dan amerika karena tidak menimbulkan efek
samping serius pada dosis analgesik dan relatif lama dikenal.
4. Fenbufen
Berbeda dengan AINS lainnya, fenbufen merupakan suatu
pro-drug. Jadi fenbufen bersifat inaktif dan metabolit aktifnya
adalah asam 4-bifenil-asetat. Zat ini memiliki waktu paruh 10 jam
sehingga cukup diberikan 1-2 kali sehari. Absorpsi obat melalui
lambung dan kadar puncak metabolit aktif dicapai dalam 7.5 jam.
Efek samping obat ini sama seperti AINS lainnya, pemakaian pada
pasien tukak lambung harus berhati-hati. Pada gangguan ginjal
dosis harus dikurangi. Dosis untuk reumatik sendi adalah 2 kali 300
mg sehari dan dosis pemeliharaan 1 kali 600 mg sebelum tidur.
5. Indometasin
Merupakan derivat indol-asam asetat. Obat ini sudah dikenal
sejak 1963 untuk pengobatan artritis reumatoid dan sejenisnya.
Walaupun obat ini efektif tetapi karena toksik maka penggunaan
obat ini dibatasi. Indometasin memiliki efek anti-inflamasi
sebanding dengan aspirin, serta memiliki efek analgesik perifer
maupun sentral. In vitro indometasin menghambat enzim
siklooksigenase, seperti kolkisin.
Absorpsi pada pemberian oral cukup baik 92-99%.
Indometasin terikat pada protein plasma dan metabolisme terjadi di
hati. Di ekskresi melalui urin dan empedu, waktu paruh 2- 4 jam.
Efek samping pada dosis terapi yaitu pada saluran cerna berupa
nyeri abdomen, diare, perdarahan lambung dan pankreatis. Sakit
kepala hebat dialami oleh kira-kira 20-25% pasien dan disertai
pusing. Hiperkalemia dapat terjadi akibat penghambatan yang kuat
terhadap biosintesis prostaglandin di ginjal.
Karena toksisitasnya tidak dianjurka pada anak, wanita
hamil, gangguan psikiatrik dan pada gangguan lambung.
Penggunaanya hanya bila AINS lain kurang berhasil. Dosis lazim
indometasin yaitu 2-4 kali 25 mg sehari, untuk mengurangi reumatik
di malam hari 50-100 mg sebelum tidur.
6. Piroksikam dan Meloksikam
Piroksikam merupakan salah satu AINS dengan struktur
baru yaitu oksikam, derivat asam enolat. Waktu paruh dalam
plasma 45 jam sehingga diberikan sekali sehari. Absorpsi
berlangsung cepat di lambung, terikat 99% pada protein plasma.
Frekuensi kejadian efek samping dengan piroksikam mencapai 11-
46% dan 4-12%. Efek samping adalah gangguan saluran cerna,
dan efek lainnya adalah pusing, tinitus, nyeri kepala dan eritema
kulit. Piroksikam tidak dianjurkan pada wanita hamil, pasien tukak
lambung dan yang sedang minum antikoagulan. Dosis 10-20 mg
sehari.
Piroksikam adalah anti-inflamasi non steroid yang
mempunyai aktifitas anti inflamasi, analgetik, dan antipiretik.
Aktifitas kerja piroksikam belum sepenuhnya diketahui, diperkirakan
melalui interaksi beberapa tahap respon imun dan inflamasi, antara
lain : penghambatan enzim siklo-oksigenase pada biosintesa
prostaglandin, penghambatan agregasi netrofil dalam pembuluh
darah, penghambatan migrasi polimorfonuklear (PMN) dan monosit
ke daerah inflamasi. Metabolisme terjadi dalam hati dan diekskresi
melalui urin, 5% dalam bentuk utuh dalam urin dan feses.
Meloksikam cenderung menghambat COX-2 dari pada COX-1.
Efek samping meloksikam terhadap saluran cerna kurang dari
piroksikam.
7. Salisilat
Asam asetil salisilat yang lebih dikenal dengan asetosal atau
aspirin adalah analgesik antipiretik dan anti inflamasi yang sangat
luas digunakan.
Asam salisilat sangat iritatif, sehingga hanya digunakan
sebagai obat luar. Derivatnya yang dapat dipakai secara sistemik
adalah ester salisilat dengan substitusi pada gugus hidroksil,
misalnya asetosal. Untuk memperoleh efek anti-inflamasi yang baik
dalam kadar plasma perlu dipertahankan antara 250-300 mg/ml.
Pada pemberian oral sebagian salisilat diabsorpsi dengan cepat
dalam bentuk utuh di lambung. Kadar tertinggi dicapai kira-kira 2
jam setelah pemberian. Setelah diabsorpsi salisilat segera
menyebar ke jaringan tubuh dan cairan transeluler sehingga
ditemukan dalam cairan sinoval. Efek samping yang paling sering
terjadi adalah induksi tukak lambung atau tukak peptik, efek
samping lain adalah gangguan fungsi trombosit akibat
penghambatan biosintesa tromboksan.
8. Diflunsial
Obat ini merupakan derivat difluorofenil dari asam salisilat,
bersifat analgetik dan anti inflamasi tetapi hampir tidak bersifat
antipiretik. Kadar puncak yang dicapai 2-3 jam. 99% diflunsial
terikat albumin plasma dan waktu paruh berkisar 8-12 jam. Indikasi
untuk nyeri sedang sampai ringan dengan dosis awal 250-500 mg
tipa 8-12 jam. Untuk osteoartritis dosis awal 2 kali 250-500 mg
sehari. Efek samping lebih ringan dari asetosal.
9. Fenilbutazon dan Oksifenbutazon
Fenilbitazon dan oksifenbutazon merupakan derivat
pirazolon. Dengan adanya AINS yang lebih aman, fenilbutazon dan
oksifenbutazon tidak lagi dianjurkan digunakan sebagai anti-
inflamasi kecuali obat lain tidak efektif.
Derivat pirazolon ini memiliki khasiat antiflogistik yang lebih
kuat dari pada kerja analgetiknya jadi golongan ini hanya
digunakan sebagai obat rematik. Fenilbutazon dimasukan secara
diam-diam dengan maksud untuk mengobati keadaan lesu dan
letih, otot-otot lemah dan nyeri. Efek samping derivat pirazolon
dapat menyebabkan agranulositosis, anemia aplastik, dan
trombositopenia.
DAFTAR PUSTAKA
Gunawan, Sulistia Gan. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Depok :
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
http://www.jdentistry.ui.ac.id/index.php/JDI/article/download/27/23