6
KAJIAN POSTKOLONIALISME DAN KONSTRUKSI MASYARAKAT TERHADAP LGBT (LESBIAN, GAY, BISEKSUAL, TRANSGENDER) Definisi Postkolonialisme Mendefinisikan istilah postkolonialisme sama susahnya dengan mendefinisikan istilah postmodern. Hal ini tentunya terkait dengan adanya prefik „post” yang mana pada ranah selanjutnya akan mengarah pada pertanyaan yang lebih mendasar yaitu pada basis epistemologisnya. Setidaknya ada banyak anggapan mengenai arti dari postkolonialisme ini. Ada yang menganggap bahwa postkolonialisme adalah kelanjutan dari kolonialisme. Ada yang beranggapan bahwa munculnya postkolonialisme menandai „kematian‟ kolonialisme. Dan ada pula yang berpikir bahwa postkolonialisme merupakan salah satu bentuk pendobrakan atau perlawanan terhadap dominasi kolonialisme dan warisan-warisannya selama ini. Meminjam istilah filsuf linguistik Ferdinand de Saussure, postkolonialisme dianggap sebagai counter knowledgesyang bermula dari revolusi kesadaran masyarakat. Postkolonialisme lahir untuk menggugat konstruksi kolonial yang telah menindas kelompok- kelompok marjinal. Postkolonialisme kemudian membongkar (mendekonstruksi) kembali wacana-wacana yang terstruktur, termasuk dalam memetakan politik dan kekuasaan. Lalu, postkolonialisme mengemban tugas untuk merevikasikan kembali wacana oposisi biner. Oposisi biner adalah sistem yang membagi dunia dalam dua kategori yang saling berhubungan. Misalnya, kategori A masuk akal hanya karena ia bukan kategori B, sesuatu benar kalau ia tidak salah. Sehingga dalam opisisi biner mediasi tidak mendapatkan tempat. Alhasil ketika sistem ini masuk ke dalam kamar-kamar sosial , maka ia akan membentuk dualitas masyarakat yang saling menindas, kaum elit lebih tinggi dari masyarakat karena itu elit leluasa menindas dan membodohi masyarakat, Barat lebih tinggi dari Timur, agama A lebih benar dari agama B, disini lebih baik dari disana. Primordialisasi atau sekterenisasi kelompok itu, bila dibiarkan, lambat laun akan menjadi mitos, menjadi kebenaran dan kebajikan yang harus

MMMM

Embed Size (px)

DESCRIPTION

=)

Citation preview

  • KAJIAN POSTKOLONIALISME DAN KONSTRUKSI

    MASYARAKAT TERHADAP LGBT (LESBIAN, GAY, BISEKSUAL,

    TRANSGENDER)

    Definisi Postkolonialisme

    Mendefinisikan istilah postkolonialisme sama susahnya dengan mendefinisikan istilah

    postmodern. Hal ini tentunya terkait dengan adanya prefik post yang mana pada ranah

    selanjutnya akan mengarah pada pertanyaan yang lebih mendasar yaitu pada basis

    epistemologisnya. Setidaknya ada banyak anggapan mengenai arti dari postkolonialisme ini. Ada

    yang menganggap bahwa postkolonialisme adalah kelanjutan dari kolonialisme. Ada yang

    beranggapan bahwa munculnya postkolonialisme menandai kematian kolonialisme. Dan ada

    pula yang berpikir bahwa postkolonialisme merupakan salah satu bentuk pendobrakan atau

    perlawanan terhadap dominasi kolonialisme dan warisan-warisannya selama ini.

    Meminjam istilah filsuf linguistik Ferdinand de Saussure, postkolonialisme dianggap

    sebagai counter knowledges yang bermula dari revolusi kesadaran masyarakat.

    Postkolonialisme lahir untuk menggugat konstruksi kolonial yang telah menindas kelompok-

    kelompok marjinal. Postkolonialisme kemudian membongkar (mendekonstruksi) kembali

    wacana-wacana yang terstruktur, termasuk dalam memetakan politik dan kekuasaan. Lalu,

    postkolonialisme mengemban tugas untuk merevikasikan kembali wacana oposisi biner.

    Oposisi biner adalah sistem yang membagi dunia dalam dua kategori yang saling

    berhubungan. Misalnya, kategori A masuk akal hanya karena ia bukan kategori B, sesuatu benar

    kalau ia tidak salah. Sehingga dalam opisisi biner mediasi tidak mendapatkan tempat. Alhasil

    ketika sistem ini masuk ke dalam kamar-kamar sosial , maka ia akan membentuk dualitas

    masyarakat yang saling menindas, kaum elit lebih tinggi dari masyarakat karena itu elit leluasa

    menindas dan membodohi masyarakat, Barat lebih tinggi dari Timur, agama A lebih benar dari

    agama B, disini lebih baik dari disana. Primordialisasi atau sekterenisasi kelompok itu, bila

    dibiarkan, lambat laun akan menjadi mitos, menjadi kebenaran dan kebajikan yang harus

  • disembah dan dibela mati-matian. Padahal pembagian-pembagian itu bukanlah sesuatu yang

    alamiah melainkan tanda yang diproduksi dari hasil interaksi budaya.

    Postkolonialisme ingin membongkar persemayaman mitos-mitos itu, sebagaimana yang

    dipaparkan oleh pemikir kritis Roland Barthes yaitu bahwa mitos biasanya bekerja dengan cara

    membuat sesuatu yang sesungguhnya berdasar pada ideologi tertentu, kemudian lewat perjalanan

    sejarah hal itu dibuat tampak dan tampil seakan-akan sebagai sesuatu yang alamiah.

    Karakter Teori

    Teori postkolonialisme yang dikemukakan oleh Moore dan Gilbert memaparkan bahwa

    postkolonial lahir pada paruh kedua abad ke-20 dan seringkali disebut sebagai metode

    dekonstruktif terhadap model berpikir dualis (biner). Model berpikir dualis ini cenderung selalu

    menempatkan kedudukan Barat dalam posisi yang lebih unggul dibandingkan dengan Timur.

    Dalam hal ini kedudukan orang-orang di negara Barat selalu dianggap sebagai pengamat,

    subyek, penjajah, dan hal-hal unggul lainnya. Sedangkan orang-orang di negara Timur selalu

    dianggap sebagai pelengkap, orang luar, obyek, dan pihak yang terjajah.

    Teori postkolonialisme pada dasarnya merupakan teori kritis sebagai salah satu bentuk

    dari kelompok teori-teori postmodern. Postkolonial menunjukkan bahwa apa yang disebut

    sebagai dunia ketiga tidaklah seragam. Ada heterogenitas baik karena wilayah, manusianya,

    maupun kulturnya. Kemudian menurut Spivak, ada istilah yang disebut sebagai subaltern yang

    menunjukkan bahwa ada resistensi tertentu dari Timur kepada Barat. Subaltern adalah sebutan

    untuk seluruh subjek yang tertekan, lemah, dan termarjinalkan. Mereka adalah kaum terjajah

    yang inferior dan bisu. Dari fenomena subaltern tersebut, Spivak berhasil menunjukkan bahwa

    dalam kolonialisme tidak hanya terjadi penaklukan fisik, namun juga penaklukan pikiran, jiwa,

    dan budaya. Intinya, postkolonialisme menyediakan kerangka untuk mendestabilisasi bahwa ada

    asumsi tersembunyi (inherent assumptions) yang melekat dalam pemikiran Barat yang selama ini

    selalu mengklaim diri sebagai kebenaran tertinggi dan juga universal.

    Tujuan utama dari teori postkolonialisme ini sebenarnya adalah untuk mendobrak tradisi

    kolonialisme berupa kritik dan melawan dampak yang ditimbulkan oleh kolonialisme. Dampak-

    dampak tersebut hanya kelihatan setelah meggunakan kacamata teori postkolonial. Postkolonial

    berorientasi pada terwujudnya tata hubungan dunia yang baru di masa depan. Postkolonial

  • merupakan teori yang berasumsikan dan sekaligus mengeksplor perbedaan fundamental antara

    negara penjajah dan negara terjajah dalam menyikapi arah perkembangan kebudayaannya. Teori

    ini diterapkan terutama untuk mengkaji karakter budaya yang lahir pada negara-negara dunia

    ketiga atau negara bekas jajahan pada dekade setelah masa penjajahan berakhir.

    Kemunculan gerakan sosial di tengah arus kolonialisasi setidaknya memiliki dua arti

    penting. Yang pertama yaitu menandai titik balik kesadaran (the turning point of consciousness)

    masyarakat dalam strategi meruntuhkan tembok kolonialisasi yang menghujam dunia pada masa

    penjajahan. Kemudian yang kedua adalah meletakkan landasan kebudayaan (cultural) sebagai

    basis fundamental bagi perjuangan pergerakan kebangsaan.

    Tokoh

    Sumbangan besar bidang kajian ini terutama datang dari karya Edward W. Said bertajuk

    Orientalism yang mengawali pembongkaran kebusukan pandangan Barat dalam melihat

    Timur. Edward Said melakukan dekonstruksi yang mengagetkan kaum antikolonialisme dengan

    membawa slogan kesadaran tandingan melalui paradigma orientalismenya. Said

    menyampaikan bahwa Timur tak lebih dari sebentuk panggung yang didirikan oleh Barat dengan

    sesuka mereka. Orientalisme yang didengungkan sebagai pengetahuan universal, bagi Said hanya

    dianggap sebagai wacana yang dibentuk oleh motif-motif kekuasaan belaka. Bersama dengan

    Edward Said, Homi Bhaabha dan Gayatri Spivak merupakan tokoh penting dalam ranah kajian

    postkolonialisme.

    Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa dalam teorinya, Spivak banyak menyoroti

    mengenai perlakuan orang-orang yang menganggap dirinya termasuk dalam kelompok orang

    kelas atas, orang mayoritas, orang yang mendominasi atau menghegemoni kelompok lain

    terhadap orang-orang dari kelompok minoritas, terjajah, lemah, dan termarjinalkan. Kemudian

    Spivak dengan lantang menyerukan suara hati orang-orang minoritas tersebut yang selama ini

    selalu mengorbankan harga diri, perasaan, kebebasan berpendapat mereka demi kepentingan

    golongan mayoritas. Sebuah pertanyaan besar dan kritis lalu muncul ke permukaan: Dapatkah

    subaltern berbicara? . Pertanyaan ini mengemuka lantaran begitu tertekan dan tertindasnya

    posisi subaltern ini sehingga mereka hampir tidak punya kesempatan untuk sekadar berbicara.

    Lebih lanjut, Spivak juga menunjukkan fakta bahwa cara berpikir kolonialis atau Barat

    atau terpengaruh paradigma orientalisme yang cenderung merendahkan cara berpikir orang

  • Timur, juga diadopsi oleh sebagian masyarakat Timur (khususnya para elit). Mereka cenderung

    menelan mentah-mentah berbagai ilmu yang diwariskan oleh kolonialisme tanpa mengunyahnya

    lagi. Sebagai contoh, para elit di dunia pendidikan dan segenap sivitas akademikanya sejak lama

    telah sengaja didoktrin dengan pemikiran-pemikiran Barat. Sehingga mereka pun menjadi orang-

    orang yang selalu mengagungkan cara berpikir ala Barat dan intelektual khas Barat. Pada

    akhirnya, dunia pendidikan kita tidak dapat lepas dari pengaruh pemikiran para filsuf Barat.

    Segala hal yang menjadi fenomena di sekitar kita selalu ditelaah dan diteliti dengan

    menggunakan konsep intelektual Barat. Untuk mengatasi hal ini, menurut Spivak, dibutuhkan

    transformasi epistemologis dengan mengganti imperalisme pemikiran tersebut.

    Pada intinya, teori postkolonialisme ini ingin melakukan semacam dekonstruksi terhadap

    kolonialisme yang telah berlangsung sejak masa penjajahan. Berdasarkan pada teori

    postkolonialisme yang ditulis oleh Gayatri Spivak, maka dapat disimpulkan bahwa kajian

    postkolonialisme ini bertujuan untuk melihat golongan lemah dan termarjinalkan, kemudian

    berusaha untuk mengangkatnya menjadi salah satu bagian penting dalam masyarakat heterogen.

    Postkolonialisme berusaha membidik apa yang tidak dianggap sebelumnya pada masa

    kolonialisme karena sebenarnya orang-orang mayoritas itu pun membutuhkan orang-orang

    minoritas baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Hanya saja, mereka tidak mau

    mengakuinya.

    Berkaitan dengan posisi subaltern ini, LGBT dapat menjadi salah satu contoh kajian yang

    nyata. Hal ini didasarkan pada betapa pada masa kolonialisme, LGBT sama sekali tidak

    mendapatkan haknya dan bahkan cenderung disingkirkan dan disembunyikan dari masyarakat.

    Dan karena hal itulah, maka dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut:

    Sejauh manakah masa postkolonialisme mampu mengangkat posisi LGBT dalam

    kehidupan masyarakat heterogen?

    Bagaimanakah peran LGBT dalam masyarakat heterogen, dan seberapa penting peran

    mereka?

    Apakah kehadiran LGBT ini mampu mempengaruhi konstruksi masyarakat yang

    selama ini menstereotypekan mereka dengan label-label negatif?

  • LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender)

    Pada tulisan ini, penulis ingin mengangkat sebuah fenomena budaya yang sedang

    menjadi topik hangat serta banyak sekali diperbincangkan oleh masyarakat. Topik tersebut

    adalah mereka yang sering disebut sebagai kaum liyan oleh masyarakat mayoritas. Mereka

    adalah kaum lesbian, gay, biseksual, dan transgender atau yang lebih populer dengan sebutan

    LGBT. Sejak dahulu, keberadaan mereka selalu diasosiasikan dengan segala hal yang berlabel

    buruk dan negatif. Ironisnya, hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia saja, namun terjadi pula di

    seluruh dunia. Dunia seakan memandang kaum liyan ini sebagai bagian masyarakat yang

    terbelakang, tertindas, serta dianggap tidak memiliki potensi dan peran apapun sehingga mereka

    seringkali tidak mendapatkan haknya untuk dapat berperan serta dalam masyarakat.

    Salah satu contoh nyatanya adalah betapa dunia kerja tidak memberikan kesempatan bagi

    kaum liyan ini untuk menunjukkan kemampuan dan menyumbangkan keahlian mereka. Profesi

    yang paling sering menjadi pilihan bagi mereka adalah bekerja di salon dan tentunya tempat-

    tempat pelacuran. Seperti kisah seorang waria bernama Renita Pundagau (dengan nama pria

    Muhammad Zein Pundagau) dalam film pendek berjudul Renita, Renita. Dalam film tersebut

    diceritakan fakta bahwa para waria menggeluti profesi itu karena keterpaksaan. Mereka berusaha

    tidak menyusahkan orang lain dengan mencari pekerjaan yang layak, namun tidak ada kantor

    atau instansi yang mau memperkerjakan mereka dengan dalih bahwa mereka waria. Akhirnya,

    mereka bekerja di salon atau melacurkan diri karena mereka butuh makan untuk sekadar

    bertahan hidup. Hal ini menunjukkan betapa tidak adilnya perlakuan masyarakat terhadap

    mereka.

    Tidak hanya waria, orang-orang gay dan lesbian juga menerima perlakuan yang kurang

    lebih sama dengan yang diterima oleh para waria tersebut. Mereka selalu dikucilkan dan

    dianggap kelompok orang yang tidak normal. Hal ini menyebabkan mereka takut untuk

    tampil di muka umum dan memilih untuk menyembunyikan semuanya dari masyarakat sekitar.

    Sebenarnya mereka hanya ingin dapat diterima dan diakui keberadaannya dalam masyarakat

    sebagai seorang manusia. Ketika penulis mencoba mewawancarai mereka mengenai perilaku

    seksual mereka dan mengenai pandangan masyarakat terhadap mereka, mereka dengan sangat

    terbuka menceritakan semuanya tanpa ditutup-tutupi dan tanpa sungkan.