Upload
aisyah-zulkepli
View
214
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
=)
Citation preview
KAJIAN POSTKOLONIALISME DAN KONSTRUKSI
MASYARAKAT TERHADAP LGBT (LESBIAN, GAY, BISEKSUAL,
TRANSGENDER)
Definisi Postkolonialisme
Mendefinisikan istilah postkolonialisme sama susahnya dengan mendefinisikan istilah
postmodern. Hal ini tentunya terkait dengan adanya prefik post yang mana pada ranah
selanjutnya akan mengarah pada pertanyaan yang lebih mendasar yaitu pada basis
epistemologisnya. Setidaknya ada banyak anggapan mengenai arti dari postkolonialisme ini. Ada
yang menganggap bahwa postkolonialisme adalah kelanjutan dari kolonialisme. Ada yang
beranggapan bahwa munculnya postkolonialisme menandai kematian kolonialisme. Dan ada
pula yang berpikir bahwa postkolonialisme merupakan salah satu bentuk pendobrakan atau
perlawanan terhadap dominasi kolonialisme dan warisan-warisannya selama ini.
Meminjam istilah filsuf linguistik Ferdinand de Saussure, postkolonialisme dianggap
sebagai counter knowledges yang bermula dari revolusi kesadaran masyarakat.
Postkolonialisme lahir untuk menggugat konstruksi kolonial yang telah menindas kelompok-
kelompok marjinal. Postkolonialisme kemudian membongkar (mendekonstruksi) kembali
wacana-wacana yang terstruktur, termasuk dalam memetakan politik dan kekuasaan. Lalu,
postkolonialisme mengemban tugas untuk merevikasikan kembali wacana oposisi biner.
Oposisi biner adalah sistem yang membagi dunia dalam dua kategori yang saling
berhubungan. Misalnya, kategori A masuk akal hanya karena ia bukan kategori B, sesuatu benar
kalau ia tidak salah. Sehingga dalam opisisi biner mediasi tidak mendapatkan tempat. Alhasil
ketika sistem ini masuk ke dalam kamar-kamar sosial , maka ia akan membentuk dualitas
masyarakat yang saling menindas, kaum elit lebih tinggi dari masyarakat karena itu elit leluasa
menindas dan membodohi masyarakat, Barat lebih tinggi dari Timur, agama A lebih benar dari
agama B, disini lebih baik dari disana. Primordialisasi atau sekterenisasi kelompok itu, bila
dibiarkan, lambat laun akan menjadi mitos, menjadi kebenaran dan kebajikan yang harus
disembah dan dibela mati-matian. Padahal pembagian-pembagian itu bukanlah sesuatu yang
alamiah melainkan tanda yang diproduksi dari hasil interaksi budaya.
Postkolonialisme ingin membongkar persemayaman mitos-mitos itu, sebagaimana yang
dipaparkan oleh pemikir kritis Roland Barthes yaitu bahwa mitos biasanya bekerja dengan cara
membuat sesuatu yang sesungguhnya berdasar pada ideologi tertentu, kemudian lewat perjalanan
sejarah hal itu dibuat tampak dan tampil seakan-akan sebagai sesuatu yang alamiah.
Karakter Teori
Teori postkolonialisme yang dikemukakan oleh Moore dan Gilbert memaparkan bahwa
postkolonial lahir pada paruh kedua abad ke-20 dan seringkali disebut sebagai metode
dekonstruktif terhadap model berpikir dualis (biner). Model berpikir dualis ini cenderung selalu
menempatkan kedudukan Barat dalam posisi yang lebih unggul dibandingkan dengan Timur.
Dalam hal ini kedudukan orang-orang di negara Barat selalu dianggap sebagai pengamat,
subyek, penjajah, dan hal-hal unggul lainnya. Sedangkan orang-orang di negara Timur selalu
dianggap sebagai pelengkap, orang luar, obyek, dan pihak yang terjajah.
Teori postkolonialisme pada dasarnya merupakan teori kritis sebagai salah satu bentuk
dari kelompok teori-teori postmodern. Postkolonial menunjukkan bahwa apa yang disebut
sebagai dunia ketiga tidaklah seragam. Ada heterogenitas baik karena wilayah, manusianya,
maupun kulturnya. Kemudian menurut Spivak, ada istilah yang disebut sebagai subaltern yang
menunjukkan bahwa ada resistensi tertentu dari Timur kepada Barat. Subaltern adalah sebutan
untuk seluruh subjek yang tertekan, lemah, dan termarjinalkan. Mereka adalah kaum terjajah
yang inferior dan bisu. Dari fenomena subaltern tersebut, Spivak berhasil menunjukkan bahwa
dalam kolonialisme tidak hanya terjadi penaklukan fisik, namun juga penaklukan pikiran, jiwa,
dan budaya. Intinya, postkolonialisme menyediakan kerangka untuk mendestabilisasi bahwa ada
asumsi tersembunyi (inherent assumptions) yang melekat dalam pemikiran Barat yang selama ini
selalu mengklaim diri sebagai kebenaran tertinggi dan juga universal.
Tujuan utama dari teori postkolonialisme ini sebenarnya adalah untuk mendobrak tradisi
kolonialisme berupa kritik dan melawan dampak yang ditimbulkan oleh kolonialisme. Dampak-
dampak tersebut hanya kelihatan setelah meggunakan kacamata teori postkolonial. Postkolonial
berorientasi pada terwujudnya tata hubungan dunia yang baru di masa depan. Postkolonial
merupakan teori yang berasumsikan dan sekaligus mengeksplor perbedaan fundamental antara
negara penjajah dan negara terjajah dalam menyikapi arah perkembangan kebudayaannya. Teori
ini diterapkan terutama untuk mengkaji karakter budaya yang lahir pada negara-negara dunia
ketiga atau negara bekas jajahan pada dekade setelah masa penjajahan berakhir.
Kemunculan gerakan sosial di tengah arus kolonialisasi setidaknya memiliki dua arti
penting. Yang pertama yaitu menandai titik balik kesadaran (the turning point of consciousness)
masyarakat dalam strategi meruntuhkan tembok kolonialisasi yang menghujam dunia pada masa
penjajahan. Kemudian yang kedua adalah meletakkan landasan kebudayaan (cultural) sebagai
basis fundamental bagi perjuangan pergerakan kebangsaan.
Tokoh
Sumbangan besar bidang kajian ini terutama datang dari karya Edward W. Said bertajuk
Orientalism yang mengawali pembongkaran kebusukan pandangan Barat dalam melihat
Timur. Edward Said melakukan dekonstruksi yang mengagetkan kaum antikolonialisme dengan
membawa slogan kesadaran tandingan melalui paradigma orientalismenya. Said
menyampaikan bahwa Timur tak lebih dari sebentuk panggung yang didirikan oleh Barat dengan
sesuka mereka. Orientalisme yang didengungkan sebagai pengetahuan universal, bagi Said hanya
dianggap sebagai wacana yang dibentuk oleh motif-motif kekuasaan belaka. Bersama dengan
Edward Said, Homi Bhaabha dan Gayatri Spivak merupakan tokoh penting dalam ranah kajian
postkolonialisme.
Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa dalam teorinya, Spivak banyak menyoroti
mengenai perlakuan orang-orang yang menganggap dirinya termasuk dalam kelompok orang
kelas atas, orang mayoritas, orang yang mendominasi atau menghegemoni kelompok lain
terhadap orang-orang dari kelompok minoritas, terjajah, lemah, dan termarjinalkan. Kemudian
Spivak dengan lantang menyerukan suara hati orang-orang minoritas tersebut yang selama ini
selalu mengorbankan harga diri, perasaan, kebebasan berpendapat mereka demi kepentingan
golongan mayoritas. Sebuah pertanyaan besar dan kritis lalu muncul ke permukaan: Dapatkah
subaltern berbicara? . Pertanyaan ini mengemuka lantaran begitu tertekan dan tertindasnya
posisi subaltern ini sehingga mereka hampir tidak punya kesempatan untuk sekadar berbicara.
Lebih lanjut, Spivak juga menunjukkan fakta bahwa cara berpikir kolonialis atau Barat
atau terpengaruh paradigma orientalisme yang cenderung merendahkan cara berpikir orang
Timur, juga diadopsi oleh sebagian masyarakat Timur (khususnya para elit). Mereka cenderung
menelan mentah-mentah berbagai ilmu yang diwariskan oleh kolonialisme tanpa mengunyahnya
lagi. Sebagai contoh, para elit di dunia pendidikan dan segenap sivitas akademikanya sejak lama
telah sengaja didoktrin dengan pemikiran-pemikiran Barat. Sehingga mereka pun menjadi orang-
orang yang selalu mengagungkan cara berpikir ala Barat dan intelektual khas Barat. Pada
akhirnya, dunia pendidikan kita tidak dapat lepas dari pengaruh pemikiran para filsuf Barat.
Segala hal yang menjadi fenomena di sekitar kita selalu ditelaah dan diteliti dengan
menggunakan konsep intelektual Barat. Untuk mengatasi hal ini, menurut Spivak, dibutuhkan
transformasi epistemologis dengan mengganti imperalisme pemikiran tersebut.
Pada intinya, teori postkolonialisme ini ingin melakukan semacam dekonstruksi terhadap
kolonialisme yang telah berlangsung sejak masa penjajahan. Berdasarkan pada teori
postkolonialisme yang ditulis oleh Gayatri Spivak, maka dapat disimpulkan bahwa kajian
postkolonialisme ini bertujuan untuk melihat golongan lemah dan termarjinalkan, kemudian
berusaha untuk mengangkatnya menjadi salah satu bagian penting dalam masyarakat heterogen.
Postkolonialisme berusaha membidik apa yang tidak dianggap sebelumnya pada masa
kolonialisme karena sebenarnya orang-orang mayoritas itu pun membutuhkan orang-orang
minoritas baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Hanya saja, mereka tidak mau
mengakuinya.
Berkaitan dengan posisi subaltern ini, LGBT dapat menjadi salah satu contoh kajian yang
nyata. Hal ini didasarkan pada betapa pada masa kolonialisme, LGBT sama sekali tidak
mendapatkan haknya dan bahkan cenderung disingkirkan dan disembunyikan dari masyarakat.
Dan karena hal itulah, maka dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut:
Sejauh manakah masa postkolonialisme mampu mengangkat posisi LGBT dalam
kehidupan masyarakat heterogen?
Bagaimanakah peran LGBT dalam masyarakat heterogen, dan seberapa penting peran
mereka?
Apakah kehadiran LGBT ini mampu mempengaruhi konstruksi masyarakat yang
selama ini menstereotypekan mereka dengan label-label negatif?
LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender)
Pada tulisan ini, penulis ingin mengangkat sebuah fenomena budaya yang sedang
menjadi topik hangat serta banyak sekali diperbincangkan oleh masyarakat. Topik tersebut
adalah mereka yang sering disebut sebagai kaum liyan oleh masyarakat mayoritas. Mereka
adalah kaum lesbian, gay, biseksual, dan transgender atau yang lebih populer dengan sebutan
LGBT. Sejak dahulu, keberadaan mereka selalu diasosiasikan dengan segala hal yang berlabel
buruk dan negatif. Ironisnya, hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia saja, namun terjadi pula di
seluruh dunia. Dunia seakan memandang kaum liyan ini sebagai bagian masyarakat yang
terbelakang, tertindas, serta dianggap tidak memiliki potensi dan peran apapun sehingga mereka
seringkali tidak mendapatkan haknya untuk dapat berperan serta dalam masyarakat.
Salah satu contoh nyatanya adalah betapa dunia kerja tidak memberikan kesempatan bagi
kaum liyan ini untuk menunjukkan kemampuan dan menyumbangkan keahlian mereka. Profesi
yang paling sering menjadi pilihan bagi mereka adalah bekerja di salon dan tentunya tempat-
tempat pelacuran. Seperti kisah seorang waria bernama Renita Pundagau (dengan nama pria
Muhammad Zein Pundagau) dalam film pendek berjudul Renita, Renita. Dalam film tersebut
diceritakan fakta bahwa para waria menggeluti profesi itu karena keterpaksaan. Mereka berusaha
tidak menyusahkan orang lain dengan mencari pekerjaan yang layak, namun tidak ada kantor
atau instansi yang mau memperkerjakan mereka dengan dalih bahwa mereka waria. Akhirnya,
mereka bekerja di salon atau melacurkan diri karena mereka butuh makan untuk sekadar
bertahan hidup. Hal ini menunjukkan betapa tidak adilnya perlakuan masyarakat terhadap
mereka.
Tidak hanya waria, orang-orang gay dan lesbian juga menerima perlakuan yang kurang
lebih sama dengan yang diterima oleh para waria tersebut. Mereka selalu dikucilkan dan
dianggap kelompok orang yang tidak normal. Hal ini menyebabkan mereka takut untuk
tampil di muka umum dan memilih untuk menyembunyikan semuanya dari masyarakat sekitar.
Sebenarnya mereka hanya ingin dapat diterima dan diakui keberadaannya dalam masyarakat
sebagai seorang manusia. Ketika penulis mencoba mewawancarai mereka mengenai perilaku
seksual mereka dan mengenai pandangan masyarakat terhadap mereka, mereka dengan sangat
terbuka menceritakan semuanya tanpa ditutup-tutupi dan tanpa sungkan.