Upload
others
View
6
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
i
MODEL ESTIMASI KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE DI KOTA
KENDARI
ESTIMATION MODEL OF DENGUE HEMORRHAGIC FEVER IN
KENDARI
VIRGINIA IVONELA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
ii
MODEL ESTIMASI KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE DI KOTA
KENDARI
Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister
Program Studi
Kesehatan Masyarakat
Disusun dan diajukan oleh
VIRGINIA IVONELA
kepada
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
iii
iv
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS
Yang bertanda tangan dibawah ini
Nama : Virginia Ivonela
Nomor Mahasiswa : P1801215014
Program Studi : Kesehatan Masyarakat
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini
benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan
pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila dikemudian
hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis
ini hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan
tersebut.
Makassar, Oktober 2017
Yang Menyatakan
Virginia Ivonela
v
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat, taufik dan hidayah - Nya kepada hambanya.
Shalawat dan salam tidak lupa penulis panjatkan kepada Nabi Besar
Muhammad SAW, sahabat, keluarga yang telah memberikan Tauladan
Islamiah, sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis dengan judul
“Model Estimasi Kejadian Demam Berdarah Dengue Di Kota
Kendari”.
Penulis menyadari bahwa keberhasilan tersusunnya tesis ini, tidak
terlepas dari bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak yang telah
membantu dalam penyelesaian tesis ini. Oleh karena itu, penulis
menyampaiakan rasa hormat dan terimakasih kepada Bapak Anwar
Mallongi, SKM., M.Sc., Ph.D selaku Pembimbing I dan Bapak Dr.
Darmawansyah, SE., MS selaku Pembimbing II, yang telah meluangkan
waktu dan pikirannya dengan senantiasa memberikan bimbingan dan
arahan kepada penulis.
Perkenankan pula penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang
sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof.Dr. Anwar Daud, SKM., M.Kes, Ibu Dr. Masni., MPH,
Bapak dr. Hasanuddin Ishak, M.Sc., Ph.D, selaku penguji yang telah
memberikan arahan, kritik dan saran yang sangat berguna demi
perbaikan tesis ini.
2. Bapak Prof. Dr. drg. Andi Zulkifli Abdullah, M.Kes Dekan Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin, Staf Pengajar dan
Staf Administrasi yang telah memberikan bantuan dan bimbingan
vi
kepada penulis selama menjalani pendidikan di Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Hasanuddin.
3. Bapak Ridwan M. Thaha, M.Sc selaku ketua Program Studi
Pascasarjana Kesehatan Masyarakat beserta staf yang telah bersedia
membantu dan mendukung penulisan Tesis ini.
4. Bapak Anwar Mallongi, SKM., M.Sc., Ph.Dselaku ketua konsentrasi
Kesehatan Lingkungan Pascasarjana Universitas Hasanuddin beserta
staf yang telah memberikan bantuan, kemudahan dan dukungan
dalam bidang akademik.
5. Bapak Dr. Muhammad Hatta, MS dan Istri serta keluarga beliau yang
telah menerima dan membimbing penulis selama proses penulisan
tesis.
6. Kepala Dinas Kesehatan Kota Kendari yang telah memberikan
rekomendasi peneltian.
7. Seluruh Responden yang telah meluangkan waktunya dengan ikhlas
dan kerjasama yang baik selama peneltian berlangsung.
8. Rekan - rekan mahasiswa Pascasarjana Konsentrasi Magister
Kesehatan Lingkungan angkatan 2015 atas segala dukungandan
motivasinya selama ini penyelesaian tesis ini.
9. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan namanya satu persatu yang
turut membantu serta menyumbangkan pemikirannya kepada penulis
dalam menyelesaikan tesis ini.
Semoga segala bantuan, dukungan dan doa yang diberikan kepada
penulis dibalas oleh Allah SWT dengan balasan yang berlipat ganda.
Teristimewa rasa terimakasih yang sedalam-dalamnya penulis
haturkan kepada kedua orang tua tercinta Ayahanda IPDAMa’mur Guluhi
dan Ibunda Susanti Winingsihserta Adikku Dina Pramesti Regitaatas
segala doa, nasehat, dukungan dan kasih sayang yang tiada henti untuk
penuls.
Dengan keterbatasan pengalaman, ilmu maupun pustaka yang
ditinjau, penulis menyadari bahwa tesis ini masih banyak kekurangan dan
vii
pengembangan lanjut agar benar benar bermanfaat. Oleh sebab itu,
penulis sangat mengharapkan kritik dan saran agar tesis ini lebih
sempurna serta sebagai masukan bagi penulis untuk penelitian dan
penulisan karya ilmiah di masa yang akan datang.
Akhir kata, penulis berharap tesis ini memberikan manfaat bagi kita
semua terutama untuk pengembangan ilmu pengetahuan.
Wassalamualaikum Waramatullahi Wabarakatuh.
Makassar, Oktober 2017
Penulis
viii
ix
x
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ............................................................................. i
HALAMAN PENGAJUAN .................................................................. ii
HALAMAN PERSETUJUAN .............................................................. iii
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN ................................................ iv
PRAKATA ........................................................................................... v
ABSTRAK ........................................................................................... viii
ABSTRACT ......................................................................................... ix
DAFTAR ISI ......................................................................................... x
DAFTAR TABEL ................................................................................ xii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................. xiii
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................... xv
DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH ............................................... xvi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ......................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................... 7
C. Tujuan Penelitian ...................................................................... 9
D. Manfaat Penelitian .................................................................... 10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang DBD ................................................. 12
B. Tinjauan Umum Model Dinamik ............................................... 28
C. Tinjauan Umum Tentang Aplikasi Stella .................................... 37
D. Kerangka Teori .......................................................................... 47
E. Kerangka Konsep ..................................................................... 50
F. Variabel Dan Definisi Operasional ............................................ 51
xi
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis dan Desain Penelitian ..................................................... 53
B. Waktu dan Lokasi Penelitian .................................................... 53
C. Populasi dan Sampel ............................................................... 54
D. Teknik Pengambilan Sampel .................................................... 55
E. Instrumen Penelitian ................................................................. 57
F. Diagram Alir Model ................................................................... 57
G. Alur Penelitian ........................................................................... 59
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian ......................................................................... 60
B. Pembahasan ............................................................................ 80
C. Keterbatasan Penelitian ........................................................... 102
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .............................................................................. 103
B. Saran ........................................................................................ 105
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xii
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Daftar Penelitian tentang Pemodelan Dinamis
Program Stella
41
2. Variabel dan Definisi Operasional 51
3. Luas Wilayah Kota Kendari Menurut Kecamatan 61
4. Jumlah Penduduk Menurut Kecamatan di Kota
Kendari Tahun 2012 – 2016
63
xiii
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Siklus Nyamuk Aedes 14
2. Telur Aedes sp. 15
3. Larva Nyamuk Aedes sp. 15
4. Pupa Nyamuk Aedes sp. 16
5. Nyamuk Dewasa 16
6. Tampilan Alat Bantu Untuk Menyusun Model
Pada Stella
39
7. Kerangka Teori 49
8. Kerangka Konsep 56
9. Causal Loop 58
10. Alur Penelitian 59
11. Grafik Jumlah Penduduk Kota Kendari Tahun
2012 – 2016
63
12. Estimasi Kejadian DBD pada 15 tahun Yang
Akan Datang (2017 – 2032) Di Kota Kendari
Berdasarkan Skenario Do Nothing (Kondisi
Eksisting)
65
13. Estimasi Kejadian DBD pada 15 tahun Yang
Akan Datang (2017 – 2032) Berdasaran
Pengaruh Suhu Udara Di Kota Kendari
Berdasarkan Skenario Do Nothing (Kondisi
Eksisting)
67
14. Estimasi Kejadian DBD pada 15 tahun Yang
Akan Datang (2017 – 2032) Berdasarkan
Pengaruh Kelembaban Udara Di Kota Kendari
Berdasarkan Skenario Do Nothing (Kondisi
Eksisting)
67
xiv
15. Estimasi Kejadian DBD pada 15 tahun Yang
Akan Datang (2017 – 2032) Berdasarkan
Pengaruh Curah Hujan Di Kota Kendari
Berdasarkan Skenario Do Nothing (Kondisi
Eksisting)
68
16. Estimasi Kejadian DBD pada 15 tahun Yang
Akan Datang (2017 – 2032) Di Kota Kendari
Berdasarkan Skenario 3M(Optimis)
70
17. Estimasi Kejadian DBD pada 15 tahun Yang
Akan Datang (2017 – 2032) Di Kota Kendari
Berdasarkan Skenario Abatisasi(Optimis)
71
18. Estimasi Kejadian DBD pada 15 tahun Yang
Akan Datang (2017 – 2032) Di Kota Kendari
Berdasarkan Skenario Fogging(Optimis)
72
19. Estimasi Kejadian DBD pada 15 tahun Yang
Akan Datang (2017 – 2032) Di Kota Kendari
Berdasarkan Skenario Penyuluhan(Optimis)
74
20. Estimasi Kejadian DBD pada 15 tahun Yang
Akan Datang (2017 – 2032) Di Kota Kendari
Berdasarkan Skenario 3M dan Abatisasi
75
21 Estimasi Kejadian DBD pada 15 tahun Yang
Akan Datang (2017 – 2032) Di Kota Kendari
Berdasarkan Skenario 3M dan Fogging
76
22 Estimasi Kejadian DBD pada 15 tahun Yang
Akan Datang (2017 – 2032) Di Kota Kendari
Berdasarkan Skenario 3M dan Penyuluhan
77
23 Estimasi Kejadian DBD pada 15 tahun Yang
Akan Datang (2017 – 2032) Di Kota Kendari
Berdasarkan Skenario Abatisasi dan Fogging
78
24 Estimasi Kejadian DBD pada 15 tahun Di Kota
Kendari Berdasarkan Abatisasi dan Penyuluhan
79
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
1. Beberapa Rumus Formula Yang Digunakan Dalam Model
2. Hasil Skenario Pertama (I) Kejadian Demam Beradarah Dengue
Pada 15 Tahun Yang Akan Datang (2017 – 2032) Di Kota
Kendari
3. Hasil Skenario Kedua (II) 3M Optimis Kejadian Demam
Beradarah Dengue Pada 15 Tahun Yang Akan Datang (2017 –
2032) Di Kota Kendari
4. Hasil Skenario Ketiga (III) Abatisasi Optimis Kejadian Demam
Beradarah Dengue Pada 15 Tahun Yang Akan Datang (2017 –
2032) Di Kota Kendari
5. Hasil Skenario Keempat (IV) Fogging Optimis Kejadian Demam
Beradarah Dengue Pada 15 Tahun Yang Akan Datang (2017 –
2032) Di Kota Kendari
6. Hasil Skenario Keempat (V) Penyuluhan Optimis Kejadian
Demam Beradarah Dengue Pada 15 Tahun Yang Akan Datang
(2017 – 2032) Di Kota Kendari
7. Hasil Skenario Gabungan Skenario II, III, IV dan V Kejadian
Demam Beradarah Dengue Pada 15 Tahun Yang Akan Datang
(2017 – 2032) Di Kota Kendari
8. Surat Izin Penelitian
9. Dokumentasi Penelitian
xvi
DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH
Lambang/Singkatan Arti Dan Keterangan
WHO
World Health Organization
DBD Demam Berdarah Dengue
P2PL Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan
ABJ Angka Bebas Jentik
PSN Pemberantasan Sarang Nyamuk
HI House Index
CI Container Index
BI Breteau Index
PI Pupae Index
DF Density Figure
IR Incidence Rate
CFR Case Fatality Rate
OR Odd Ratio
3M Menguras, Menutup, Mengubur
PJB Pemantauan Jentik Berkala
KLB Kejadian Luar Biasa
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Demam berdarah merupakan infeksi virus di tahun terakhir yang
telah menjadi perhatian utama kesehatan masyarakat internasional serta
menjadi penyebab utama penyakit dan kematian di daerah tropis dan
subtropis. Diperkirakan bahwa setiap tahun, ada sekitar
390 juta infeksi dengue dengan lebih dari 12.000 kematian per
tahun (WHO, 2016 dalam Goatz, 2016).
Risiko penularan DBD dapat terjadi salah satunya karena adanya
kepadatan vektor Aedes aegypti. Nyamuk tersebut mempunyai tempat
perindukan pada wadah penampungan air atau kontainer yang cocok bagi
perkembangbiakan vektor (Purnama dan Baskoro, 2012). Keberadaan
tempat perindukan nyamuk disetiap wilayah mempunyai beberapa
perbedaan karakteristik yang potensial bagi perkembangbiakan nyamuk.
Maya Index (MI) sebagai salah satu pendekatan kuantitatif dapat
digunakan untuk mengidentifikasi suatu area berisiko tinggi sebagai
tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes (Danies et al. 2002 dalam
Kursianto 2017).
Dalam upaya menurunkan angka kejadian DBD, diperlukan strategi
pengendalian vektor yang efektif dan efisien. Salah satu upaya
pengendalian tersebut yaitu memutus rantai penularan penyakit.
2
Pemutusan rantai penularan yang sangat dikenal adalah upaya 3M yaitu
menguras dan menyikat tempat-tempat penampungan air, menutup rapat-
rapat tempat penampungan air dan memanfaatkan atau mendaur ulang
barang-barang bekas yang dapat menampung air hujan. Selain itu
ditambahkan dengan cara lain seperti menaburkan bubuk abate,
memasang kawat kasa, menggunakan kelambu dan cara-cara spesifik
lainnya di masing-masing Daerah (Kemenkes, 2013).
Kondisi lingkungan merupakan salah satu kondisi yang dapat
mempengaruhi perkembangan jentik nyamuk Aedes aegypti, kondisi
lingkungan yang dimaksudkan meliputi suhu udara dan kelembaban
disuatu daerah. Umumnya nyamuk akan meletakkan telurnya pada
temperatur 20°C - 30°C, toleransi terhadap suhu tergantung pada spesies
nyamuk, dan nyamuk akan mengalami embriosasi lengkap pada waktu 72
jam dalam temperatur 25°C - 27°C dan pertumbuhan nyamuk akan
terhenti sama sekali bila suhu kurng dari 10°C atau lebih dari 40°C.
Sedangkan kelembaban udara berkisar antara 70% - 90% merupakan
kelembaban yang sangat optimal untuk proses embriosasi dan ketahanan
hidup nyamuk (Soegito, 2006).
Dalam beberapa dekade terakhir kasus penyakit DBD telah
berkembang di wilayah Afrika, Amerika, Mediterania Timur, Asia Tenggara
dan Pasifik Barat serta lebih dari 100 negara di seluruh dunia merupakan
endemik penyakit DBD. Pada tahun 2008 laporan kasus DBD di seluruh
Amerika, Asia Tenggara dan Pasifik Barat melebihi 1,2 juta kemudian
3
mengalami peningkatan sebesar lebih dari 3 juta pada tahun 2013.
Setelah selang lebih dari 70 tahun tidak pernah ada kasus DBD, ternyata
kasus DBD dilaporkan terjadi lagi di Jepang. Dilaporkan Pada tahun 2015
di Brazil telah terjadi peningkatan jumlah kasus (WHO, 2015).
Di Indonesia, kasus DBD pertama kali terjadi di Surabaya pada
tahun 1968. Data dari Depkes RI melaporkan bahwa pada tahun 2004
tercatat 17.707 orang terkena DBD di 25 Provinsi dengan kematian 322
penderita selama bulan januari dan februari (Widoyono, 2011).
Pada tahun 2007 terjadi peningkatan kasus yang mencapai
158.912 kasus, pada tahun 2008 angka IR sebesar 59,02 per 100.000
penduduk dan CFR sebesar 0,86%, tahun 2009 angka IR sebesar 68,22
per 100.000 penduduk dan CFR sebesar 0,89% tahun 2010 angka IR
sebesar 65,70 per 100.000 penduduk dengan CFR sebesar 0,87%, tahun
2011 angka IR sebesar 27,56% per 100.000 penduduk dan CFR sebesar
0,91%, tahun 2012 angka IR sebesar 37,11 per 100.000 penduduk dan
CFR sebesar 0,90%, dan tahun 2013 angka IR sebesar 45,85 per 100.000
penduduk dan CFR sebesar 0,77%. Pada tahun 2013 insiden DBD lebih
tinggi kasusnya dibandingkan tahun 2012 yaitu 45,85 kasus per 100.000
penduduk sedangkan tahun 2012 hanya 37,11 kasus per seratus ribu
penduduk. Angka kematian DBD dari tahun 2012 sampai dengan tahun
2013 menurun dari 0,90% hingga 0,77%. Pada tahun 2014 insiden DBD
meningkat dari tahun 2013 yakni 39,80 kasus per 100.000 penduduk.
4
Tahun 2015 terjadi peningkatan kasus yakni 50,75 per 100.000 penduduk
dengan angka kematian sebasar 0,83% (Kemenkes RI, 2015).
Daerah dengan tingkat kepadatan penduduk tinggi, seperti Provinsi
Jawa, Bali dan Sumatera dilaporkan sebagai daerah dengan kasus DBD
terbanyak. Pada tahun 2012 dilaporkan jumlah kasus DBD sebanyak
90.245 kasus dengan jumlah kematian 816 orang. Provinsi Jawa Tengah
pada tahun 2011 menempati peringkat kedua tertinggi di Indonesia
dengan jumlah 2.345 kasus. Pada tahun 2012 jumlah kasus Demam
Berdarah Jawa Tengah 7.088 kasus dan 108 kematian (Ditjen PP dan PL
Kemenkes RI, 2013).
Wilayah dengan kasus DBD terbanyak adalah Asia Tenggara,
dimana setiap tahunnya terdapat sekitar 50-100 juta kasus DBD dan
sebanyak 500.000 diantaranya memerlukan perawatan rumah sakit
(Fitriah, 2015). Indonesia pada tahun 2012 tercatat jumlah kasus DBD
yakni 90.245 kasus (IR 37,11 per 100.000 penduduk) dengan jumlah
kematian 816 orang (CFR 0,90 %) dan jumlah kota yang terjangkit 417
(83,90%) Kabupaten/Kota. Pada tahun 2013 mengalami peningkatan
kasus yakni sebanyak 112.511 kasus (IR 45,85 per 100.000 penduduk)
dengan jumlah kematian 871 orang (CFR 0,77%) dan jumlah kota yang
terjangkit 412 (82,90%) Kabupaten/Kota (Kementerian Kesehatan RI,
2014). Sedangkan pada tahun 2014, jumlah penderita DBD di Indonesia
mengalami penurunan jumlah kasus yakni 100.347 kasus (IR 39,80 per
100.000 penduduk) dengan jumlah kematian 907 orang (CFR 0,90%) dan
5
jumlah Kota yang terjangkit 433 (84,74%) Kabupaten/Kota (Kementerian
Kesehatan RI, 2015).
Penyakit DBD telah menyebar luas ke seluruh wilayah di Provinsi
Sulawesi Tenggara. Berdasarkan laporan dari Seksi Bina P2PL Dinkes
Kota Kendari, pada tahun 2010 jumlah kasus DBD yaitu 466 kasus
dengan IR 184 per 100.000 penduduk 4 diantaranya meninggal dunia
dengan CFR sebesar 0,9%. Pada tahun 2011 mengalami penurunan yang
signifikan dengan jumlah kasus DBD yakni 33 kasus dengan IR 13 per
100.000 penduduk, tahun 2012kejadian penyakit DBD kembali meningkat
dengan jumlah kasus mencapai 114 kasus dengan IR 39 per 100.000
penduduk. Tahun 2013 kasus DBD mengalami peningkatan yang
mencapai 231 kasus dengan IR 80 per 100.000 penuduk dan 2
diantaranya meninggal dunia atau CFR sebesar 0,9%. Pada tahun 2014
kembali menurun dengan jumlah kasus DBD yakni 30 kasus. Pada tahun
2015 kembali meningkat dan mencapai 78 kasus dan pada tahun 2016
kasus DBD mencapai 1.094 kasus (Dinkes Kota Kendari, 2015).
Kota Kendari masih berstatus daerah endemis DBD disebabkan
oleh rendahnya kemampuan dalam mengantisipasi kejadian DBD antara
lain disebabkan karena waktu, belum tersedianya indeks dan peta
kerentanan wilayah berdasarkan waktu kejadian, tempat dan angka
kejadian belum dapat diprediksi dengan baik, serta belum tersedianya
model prediksi kejadian penyakit DBD yang dapat dijadikan patokan.
6
Penyakit DBD merupakan penyakit infeksi yang ditularkan melalui
gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus betina yang telah
terinfeksi oleh virus dengue dari penderita sebelumnya. Penyakit DBD
dapat muncul sepanjang tahun dan dapat menyerang seluruh kelompok
umur. Penyakit ini berkaitan dengan kondisi lingkungan dan perilaku
masyarakat (Kemenkes, 2013).
Oleh karena itu sangat penting untuk dilakukan pengendalian
penyakit DBD dengan cara pencegahan serta penanggulangan faktor
yang berpengaruh untuk kedepannya agar dapat merencanakan kebijakan
pengendalian DBD.Dengan demikian, dalam penelitian ini dibangun suatu
model dinamis berdasarkan faktor risiko yang bermakna secara substansi
menurut teori mempunyai pengaruh dengan kejadian DBD.
Model dinamik merupakan salah satu alat yang dapat membantu
dalam menyelesaikan masalah dalam kehidupan nyata. Masalah-masalah
tersebut dapat dibawa ke dalam model matematis dengan menggunakan
asumsi-asumsi tertentu. Selanjutnya akan dicari solusinya baik secara
analitis maupun numerik. Salah satu masalah dalam kehidupan adalah
mengenai penyebaran penyakit. Dalam dunia kesehatan terdapat
penyakityang bersifat menular (infectiousdiseases) dan tidak menular (non
infectious diseases) (Rochmatika, 2013).
Pemodelan dinamis merupakan metode yang dibuat untuk
meramalkan pola kejadian penyakit dan mengetahui apa yang akan terjadi
jika diterapkan beberapa tindakan kontrol alternatif yang strategis
7
sehingga diperoleh pilihan tindakan atau kebijakan yang tepat dalam
usaha pengendalian penyakit.
Dengan demikian diperlukan pendekatan model dinamis dalam
menggambarkan peningkatan kejadian DBD yang merupakan bagian dari
sistem kompleks pada dunia nyata ke dalam model sederhana. Hal ini
penting mengingat tingginya prevalensi DBD di Kota Kendari. Model ini
diharapkan dapat mengestimasi kejadian DBD di Kota Kendari tahun 2017
hingga tahun 2032 dan diharapkan dapat menunjang pengambilan
keputusan dalam mengendalian faktor risiko untuk mengurangi laju
peningkatan kejadian DBD di Kota Kendari.
B. Rumusan Masalah
Seiring pergantian musim yang saat ini terjadi di wilayah Indonesia,
sejumlah penyakitpun mulai menyerang masyarakat. Tidak terkecuali
masyarakat Sulawesi Tenggara. Penyakit yang disebabkan gigitan
nyamuk Aedes Aegyptiyang bisa menular ke orang lain karena adanya
Virus Dengue. DBD tergolong cukup masif di daerah Sulawesi Tenggara.
Daerah yang paling banyak terserang DBD yakni Kota Kendari.Hal ini
berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Kendari pada tahun 2012 kasus
DBD sebanyak 114 kasus, tahun 2013 mengalami peningkatan sebanyak
231 kasus. Pada tahun 2014 angka kejadian DBD mengalami penurunan
menjadi 30 kasus dan meningkat pada tahun 2015 menjadi 78 kasus dan
pada tahun 2016 kasus DBD mencapai 1.094 kasus.
8
Pusat kesehatan masyarakattelah menyosialisasikan 3M Plus
kepada masyarakat yaitu menguras atau membersihkan tempat yang
sering dijadikan tempat penampungan air seperti bak mandi, ember,
tempat penampungan air minum. Kedua, menutup rapat tempat-tempat
penampungan air seperti drum, kendi, dan tower air. Ketiga,
memanfaatkan kembali atau mendaur ulang barang bekas yang memiliki
potensi untuk jadi tempat perkembangbiakan nyamuk penular DBD.
Adapun yang dimaksud dengan Plus adalah segala bentuk
kegiatan pencegahan seperti menaburkan bubuk larvasida atau yang lebih
dikenal dengan abate, pada tempat penampungan air yang sulit
dibersihkan.
Kota Kendari masih berstatus daerah endemis DBD disebabkan
oleh rendahnya kemampuan dalam mengantisipasi kejadian DBD antara
lain disebabkan karena waktu, belum tersedianya indeks dan peta
kerentanan wilayah berdasarkan waktu kejadi, tempat dan angka kejadian
belum dapat diprediksi dengan baik, serta belum tersedianya model
prediksi kejadian penyakit DBD yang dapat dijadikan patokan.
Berdasarkan uraian diatas, maka rumusan masalah dalam
penelitian sebagai berikut :
1. Berapa kenaikan jumlah kejadian DBD berdasarkan hasil simulasi
model dinamik selama 15 tahun (2017-2032) di Kota Kendari ?
9
2. Berapa penurunan jumlah kejadian DBD berdasarkan hasil simulasi
model dinamik selama 15 tahun (2017-2032) di Kota Kendari dengan
skenario 3M ?
3. Berapa penurunan jumlah kejadian DBD berdasarkan hasil simulasi
model dinamik selama 15 tahun (2017-2032) di Kota Kendari dengan
skenario abatisasi ?
4. Berapa penurunan jumlah kejadian DBD berdasarkan hasil simulasi
model dinamik selama 15 tahun (2017-2032) di Kota Kendari dengan
skenario fogging ?
5. Berapa penurunan jumlah kejadian DBD berdasarkan hasil simulasi
model dinamik selama 15 tahun (2017-2032) di Kota Kendari dengan
skenariopenyuluhan?
6. Bagaimana efektifitas skenario model estimasi kejadian DBD di Kota
Kendari ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian terbagi atas dua yaitu tujuan umum dan tujuan
khusus sebagai berikut :
1. Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengestimasi kejadian DBD di Kota
Kendari selama 15 tahun (2017-2032) dan efektifitas skenario model
kejadian DBD dengan pendekatan model dinamik.
2. Tujuan Khusus
Adapun Tujuan khusus dari penelitian ini antara lain :
10
a. Mengestimasi kejadian DBD di Kota Kendari selama 15 tahun (2017 -
2032) dengan pendekatan model dinamik tanpa skenario.
b. Mengestimasi kejadian DBD di Kota Kendari selama 15 tahun (2017-
2032) dengan pendekatan model dinamik dengan skenario 3 M.
c. Mengestimasi kejadian DBD di Kota Kendari selama 15 tahun (2017-
2032) dengan pendekatan model dinamik dengan skenario Fogging.
d. Mengestimasi kejadian DBD di Kota Kendari selama 15 tahun (2017-
2032) dengan pendekatan model dinamik dengan skenario Abatisasi.
e. Mengestimasi kejadian DBD di Kota Kendari selama 15 tahun (2017-
2032) dengan pendekatan model dinamik dengan skenario Penyuluhan.
f. Mengestimasi kejadian DBD di Kota Kendari selama 15 tahun (2017-
2032) dengan pendekatan model dinamik dengan penggabungan
beberapaskenario.
D. Manfaat Penelitian
Adapun Tujuan khusus dari penelitian ini antara lain :
1. Manfaat Ilmiah
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu
pengetahuan dan menjadi referensi bagi peneliti selanjutnya.
2. Manfaat Institusi
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu sumber
informasi bagi instansi yang terkait seperti Dinas Kesehatan dan dapat
digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan
bagi penyelenggara program yang berkaitan dengan kejadian DBD.
11
3. Manfaat Praktis
Merupakan suatu pengalaman ilmiah yang sangat berharga bagi
peneliti dalam pengembangan wawasan ilmu pengetahuan dan informasi
khususnya tentang estimasi dan upaya penanggulangan yang tepat dalam
menurunkan kejadian DBD.
4. Bagi Masyarakat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan
masyarakat mengenai perkembangan penyebaran DBD, serta
meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai upaya pencegahan
dan penanggulangan penyakit DBD.
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang DBD
1. Pengertian
Penyebab penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah virus
Dengue dari genus Flavivirus, family Flaviviridae. Virus Dengue penyebab
Demam Dengue (DD), Demam Berdarah Dengue (DBD) dan Dengue
Shock Syndrome (DSS) termasuk dalam kelompok B Arthropod
bornevirus (Arbovirosis) (WHO,2012).
Virus Dengue mempunyai 4 jenis serotipe yang ditularkan melalui
gigitan nyamuk betina Aedes aegypti dan Aedes albopictus yang terinfeksi
oleh virus dengue dari penderita penyakit DBD yaitu Den-1, Den-2, Den-3,
Den-4. (Gubler DJ, et al, 2014).
2. Siklus Penularan
Manusia, virus dan vektor perantara adalah tiga faktor yang
memegang peranan pada penularan infeksi virus dengue. Virus dengue
ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti.
Nyamuk Aedes Albopictus, Aedes Polynesiensis dan beberapa spesies
lainnya dapat juga menularkan virus ini, namun merupakan vektor yang
kurang berperan. (Arsin, 2013).
13
3. Tanda dan Gejala DBD
Sebagai acuan para klinisi dalam mendiagnosis dan
mengklasifikasikan kasus DBD, WHO telah merekomendasikan kriteria
penegakkan diagnosis dengue berdasarkan klinis dan laboratorium (WHO,
2009 dalam Kemenkes RI, 2013). Adapun penegakkan diagnosis dengue
sebagai berikut :
a. Diagnosis suspek infeksi dengue
Demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas dan berlangsung
selama dua sampai tujuh hari, serta adanya manifestasi perdarahan
(sekurang-kurangnya uji tourniquet/rumple leede positif) merupakan
diagnosis suspek infeksi dengue yang ditegakkan apabila ditemukan
kriteria tersebut diatas.
b. Diagnosis Demam Dengue (DD)
Demam dengue biasanya berupa demam tinggi mendadak dengan
suhu ≥ 39°C, disertai dengan keluhan nyeri belakang bola mata, nyeri
kepala, nyeri otot dan tulang, ruam di kulit, biasanya diikuti dengan
perdarahan yang tidak lazim.
c. Diagnosis DBD
Perlunya minimal ada kriteria klinis 1 dan 2, serta dua kriteria
laboratorium untuk penegakkan diagnosis DBD (WHO, 2009 dalam
Kemenkes RI, 2013).
14
4. Siklus Nyamuk Aedes
Nyamuk mengalami metamorfosis sempurna dimulai dari telur,
larva, pupa dan dewasa. Nyamuk memulai hidup sebagai telur kecil,
dimana nyamuk betina biasanya bertelur beberapa hari setelah minum
darah. Tergantung pada spesies nyamuk, telur dapat diletakkan baik
secara tunggal misalnya Aedes aegypti. Telur diletakkan dipermukaan air,
di sisi kontainer, atau ditanah lembab (Li, 2013).
Gambar 1. Siklus Nyamuk Aedes
Nyamuk betina meletakkan telurnya pada dinding tempat air, telur
menetas menjadi larva dalam waktu 1-2 hari, selanjutnya larva akan
berubah menjadi pupa dalam waktu 5-15 hari. Stadium pupa biasanya
berlangsung 2 hari. Dalam suasana optimum, perkembangan dari telur
sampai dewasa memerlukan waktu sekurang-kurangnya 9 hari. Setelah
keluar dari pupa nyamuk beristirahat di kulit pupa untuk sementara waktu.
5. Morfologi Nyamuk
Morfologi Nyamuk Aedes aegypti adalah sebagai berikut :
a. Telur
15
Telur mempunyai permukaan yang polygonal dan berbentuk elips.
Telur menetas dalam waktu satu sampai tiga hari pada suhu 30°C,
tetapi membutuhkan tujuh hari pada suhu 16°C. (Neva FA and Brown
HW, 1994 dalam Palgunadi 2015).
Gambar 2. Telur Aedes sp.
b. Larva (jentik)
Dalam pertumbuhan dan perkembangannya, larva mengalami 4
kalipergantian kulit (ecdysis), antara lain (Arsin, 2013) :
1) Instar I : Larva dengan ukuran paling kecil, yaitu 1-2 mm.
2) Instar II : Larva dengan ukuran 2,1-3,8 mm.
3) Instar III : Larva dengan ukuran 3,9-4,9 mm.
4) Instar IV : Larva dengan ukuran 5-6 mm.
Gambar 3. Larva NyamukAedes sp.
16
c. Pupa (Kepompong)
Pupa berenang naik turun dari bagian dasar ke permukaan air.
Dua atau tiga hari perkembangan pupa sudah sempurna, maka kulit
pupa pecah serta nyamuk dewasa muda segera keluar dan terbang.
(Sembel DT, 2009).
Gambar 4. Pupa NyamukAedes sp.
d. Nyamuk Dewasa
Gambar 5. NyamukDewasa
1) Aedes aegypti
Nyamuk Aedes aegypti betina dewasa memiliki tubuh berwarna
hitam kecokelatan. Ukuran tubuh nyamuk Aedes aegypti betina
antara 3-4 cm. Tubuh dan tungkainya ditutupi sisik dengan garis-
garis putih keperakan. Yang menjadi ciri dari nyamuk spesies ini
17
adalah bagian punggung (dorsal) tubuhnya tampak dua garis
melengkung vertikal dibagian kiri dan kanan.
2) Aedes albopictus
Spesies ini tersebar luar di Asia dari negara beriklim tropis
sampai yang beriklim sub-tropis. Nyamuk ini bertelur dan
berkembang di lubang pohon, ruas bambu dan pangkal daun
sebagai habitat hutannya serta penampung buatan di
daerahperkotaan. Nyamuk ini merupakan nyamuk yang bersifat
zoofilik (lebih memilih hewan). Jarak terbangnya bisa mencapai 500
meter.
6. Bionomik Vektor
Kebiasaan memilih tempat perindukan (breeding habit), kebiasaan
menggigit (feeding habit), kebiasaan tempat istirahat (resting habit) dan
jarak terbang adalah definisi dari bionomik (Cahyati, 2006 dalam
Wirayoga, 2013).
a. Tempat Perindukan (Breeding Habit)
Aedes albopictus biasanya lebih banyak terdapat di luar rumah
sedangkan Aedes aegypti berkembang biak di dalam tempat
penampungan air yang tidak beralaskan tanah seperti bak mandi,
tempayan, drum, vas bunga, dan barang bekas. (Kesumawati Hadi dan
Koesharto, 2006 dalam Sucipto, 2011).
b. Kebiasaan Menggigit
18
Nyamuk Aedes aegypti memiliki aktivitas menggigit yakni pertama
di pagi hari (diurnal) selama beberapa jam setelah matahari terbit dan
sore hari selama beberapa jam sebelum gelap. Kebiasaan menggigit
Aedes aegypti pada pagi hari hingga sore yaitu pukul 08.00-10.00 dan
pukul 15.00 -17.00. (Sutanto, 2008 dalam Saragih, 2015).
c. Kebiasaan Istirahat (Resting Habitat)
Nyamuk betina akan beristirahat sekitar 2-3 hari untuk
mematangkan telurnya setelah selesai menghisap darah. Nyamuk
Aedes aegypti lebih menyukai tinggal di dalam rumah daripada di luar
rumah. Tempat beristirahat yang disenangi nyamuk ini adalah tempat-
tempat yang lembab dan kurang terang seperti kamar mandi, dapur,
dan WC.
d. Jarak Terbang
Aedes aegypti dalam jarak yang cukup jauh sehingga dalam
mencari makan jangkauan terbangnya hanya 100 kaki saja dari tempat
perindukannya umumnya tidak dapat terbang.
e. Variasi Musim
Pada musim hujan akan semakin banyak tempat penampungan air
alamiah yang terisi air hujan dan dapat digunakan sebagai tempat
berkembangbiaknya nyamuk ini. Oleh karena itu, populasi nyamuk
Aedes aegypti akan meningkat pada musim hujan. Hal ini merupakan
salah satu faktor yang menyebabkan meningkatnya penularan penyakit
dengue.
19
7. Ekologi Vektor
Tujuan utama dari ekologi vektor yakni mempelajari hubungan
antara vektor dan lingkungannya atau mempelajari bagaimana pengaruh
lingkungan terhadap vektor. Lingkungan fisik mencakup keadaan iklim
terdiri dari curah hujan, suhu udara, kelembaban udara, kecepatan angin
dan ketinggian tempat.
a. Lingkungan Fisik
1) Iklim
• Curah Hujan
Faktor penentu tersedianya tempat perindukan bagi vektor
nyamuk adalah curah hujan. Curah hujan yang cukup besar
menyebabkan genangan air melimpah sehingga larva atau pupa
nyamuk tersebar ke tempat-tempat lain yang sesuai atau tidak
sesuai untuk menyelesaikan siklus hidupnya. (Wirayoga, 2013).
• Temperatur Udara
Suhu berpengaruh pada daur hidup, kelangsungan hidup,
pertumbuhan dan perkembangan nyamuk Aedes aegypti.
Perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti dipengaruhi oleh
perubahan iklim yang ditandai dengan peningkatan suhu rerata
dapat mempengaruhi dengan memperpendek waktu yang
20
diperlukan untuk berkembang dari fase telur menjadi nyamuk
dewasa (Daryono, 2004 dalam Saragih, 2015).
• Kelembaban Udara
Pendeknya masa inkubasi nyamuk disebabkan oleh naiknya
suhu udara akibat perubahan iklim. Dampaknya, nyamuk akan
berkembangbiak lebih cepat. Meningkatnya populasi vektor
nyamuk maka peluang agen–agen penyakit akan meningkat
dengan vektor nyamuk (seperti demam berdarah, malaria,
filariasis, Chikungunya) untuk menginfeksi manusia (Wirayoga,
2013)
• Sinar Matahari
Pada umumnya, aktivitas nyamuk dalam mencari makanan
dan beristirahat sinar dipengaruhi oleh sinar matahari. Menurut
WHO (2008) dalam Pohan (2014), suhu udara, kelembaban udara,
dan curah hujan dipengaruhi oleh penyinaran matahari.
Penyinaran matahari juga berpengaruh terhadap pergerakan
nyamuk untuk mencari makan atau tempat beristirahat.
• Kecepatan Angin
Perubahan global dan lokal dalam pola angin memiliki tiga
efek pada penularan penyakit, yaitu mempengaruhi kemampuan
penyebaran dan perilaku vektor penyakit, mengubah proses
hidrologi seperti kelimpahan vektor semakin tinggi dan kerentanan
manusia yang dipengaruhi karena peristiwa cuaca ekstrim seperti
badai dan siklon tropis (Parham, 2011).
21
2) Ketinggian Tempat
Sebagai vektor penyakit DBD, nyamuk Aedes aegypti hidup
pada ketinggian 0 - 500 meter dari permukaan laut dengan daya
hidup yang tinggi, sedangkan pada ketinggian 1000 meter dari
permukaan laut nyamuk Aedes aegypti idealnya masih dapat
bertahan hidup (BMG, 2006 dalam Arsin 2013).
3) Jenis Kontainer
Macam kontainer termasuk pula letak dari kontainer, bahan,
warna, bentuk, volume, penutup kontainer dan asal air dalam
kontainer sangat mempengaruhi nyamuk betina dalam pilihan
tempat bertelur. Tempat air yang tertutup kurang rapat sangat
disukai oleh nyamuk betina sebagai tempat bertelur dibandingkan
dengan tempat air yang terbuka karena tutupnya sering dibuka
sehingga mengakibatkan ruang di dalamnya relatif lebih terang
dibandingkan dengan tempat air yang tertutup.
b. Lingkungan Biotik
Lingkungan biotik yang mempengaruhi penularan DBD adalah
banyaknya tanaman di pekarangan yang mempengaruhi pencahayaan
dan kelembaban di sekitar rumah. Kurangnya pencahayaan dan
kelembaban yang tinggi dalam rumah merupakan tempat yang
disenangi nyamuk Aedes aegypti untuk beristirahat.
22
8. Pengamatan Vektor
Dilakukannya pemantauan vektor DBD untuk mengetahui situasi
vektor penyakti DBD di suatu kawasan, mencakup kegiatan survei di
rumah penduduk yang dipilih secara acak. Kegiatan survei yang biasa
dilakukan adalah survei nyamuk dewasa dan survei jentik (Hairani, 2009).
a. Survei Nyamuk
Survei nyamuk dilakukan dengan cara penangkapan nyamuk
dengan menggunakan umpan orang di dalam dan di luar rumah,
masing-masing selama 20 menit per rumah dan penangkapan nyamuk
didalam dan di luar rumah.
Indeks-indeks nyamuk yang digunakan :
1) Landing Rate
Σ Aedes aegypti betina tertangkap umpan orang
Σ penangkapan x jumlah jam penangkapan
2) Resting per rumah
Σ Aedes aegypti betina tertangkap pada penagkapan nyamuk hinggap
Σ rumah yang dilakukan penangkapan
b. Survei Jentik
Cara melakukan survei jentik sebagai berikut :
1) Semua yang dapat menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk
Aedes aegypti baik tempat atau bejana dilakukan pemeriksaan
(dengan mata telanjang) untuk mengetahui ada tidaknya jentik.
23
2) Dilakukan pemeriksaan pada tempat penampungan air yang
berukuran besar, seperti bak mandi, tempayan, drum dan bak
penampungan air lainnya.
3) Untuk memeriksa tempat-tempat perkembangbiakan yang kecil,
seperti vas bunga, pot tanaman air, dan botol yang airnya keruh,
seringkali airnya perlu dipindahkan ke tempat lain.
4) Digunakan senter untuk memeriksa jentik ditempat yang agak gelap,
atau airnya keruh.
Ukuran-ukuran yang dipakai untuk mengetahui kepadatan jentik
Aedes aegypti:
1) Angka Bebas Jentik (ABJ )
𝛴 𝑟𝑢𝑚𝑎 ℎ 𝑏𝑎𝑛𝑔𝑢𝑛𝑎𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑖𝑑𝑎𝑘 𝑑𝑖𝑡𝑒𝑚𝑢𝑘𝑎𝑛 𝑗𝑒𝑛𝑡𝑖𝑘
𝛴𝑟𝑢𝑚𝑎 ℎ 𝑏𝑎𝑛𝑔𝑢𝑛𝑎𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑝𝑒𝑟𝑖𝑘𝑠𝑎 ×100%
2) House Indeks (HI)
𝛴 𝑟𝑢𝑚𝑎 ℎ 𝑏𝑎𝑛𝑔𝑢𝑛𝑎𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑖𝑑𝑎𝑘 𝑑𝑖𝑡𝑒𝑚𝑢𝑘𝑎𝑛 𝑗𝑒𝑛𝑡𝑖𝑘
𝛴𝑟𝑢𝑚𝑎 ℎ 𝑏𝑎𝑛𝑔𝑢𝑛𝑎𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑝𝑒𝑟𝑖𝑘𝑠𝑎 ×100%
3) Container index (CI)
𝛴 𝑐𝑜𝑛𝑡𝑎𝑖𝑛𝑒𝑟 𝑑𝑒𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑗𝑒𝑛𝑡𝑖𝑘
𝛴𝑟𝑢𝑚𝑎 ℎ 𝑏𝑎𝑛𝑔𝑢𝑛𝑎𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑝𝑒𝑟𝑖𝑘𝑠𝑎 ×100%
9. Pengendalian Vektor
a. 3M
Perlu adanya upaya pemberantasan yang komprehensif dari
penyakit DBD tersebut. Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan
Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN 3M) mengingat sangat
berbahayanya penyakit DBD. Ini merupakan cara utama yang dianggap
24
efektif,efisien dan ekonomis untuk memberantas vektor penular DBD
mengingat obat dan vaksin pembunuh virus DBD ditemukan (Depkes
2007 dalam Budiman 2016).
Upaya pengendalian DBD yang telah dilakukan sampai saat ini
masih berfokus pada pengendalian nyamuk penularnya (vektor) baik
terhadap nyamuk dewasa maupun stadium pradewasa karena obat dan
vaksin untuk penyakit ini belum ditemukan. Kementerian Kesehatan
telah menetapkan lima kegiatan pokok sebagai kebijakan dalam
pengendalan penyakit DBD yaitu menemukan kasus secepatnya dan
mengobati sesuai prosedur tetap, memutuskan mata rantai penularan
dengan pemberantasan vektor (nyamuk dewasa dan jentik – jentiknya),
kemitraan dalam wadah POKJANAL DBD (Kelompok Kerja Operasional
DBD), pemberdayaan masyarakat dalam gerakan Pemberantasan
Sarang Nyamuk (PSN 3M Plus) dan peningkatan profesionalisme
pelaksana program (Kemenkes RI, 2012).
Peran serta masyarakat dapat berwujud melalui pelaksanaan
kegiatan 3M (menutup wadah – wadah penampungan air, mengubur
atau membakar barang – barang bekas yang menjadi sarang nyamuk,
dan menguras atau mengganti air ditempat tampungan air) di sekitar
rumah dan melaksanakan PSN pada lingkungannya (Koban, 2014).
b. Abatisasi
Abatisasi selektif adalah kegiatan pemeriksaan Tempat
Penampungan Air (TPA) baik didalam maupun diluar rumah pada
25
seluruh rumah dan bangunan di desa/kelurahan endemis dan sporadik
dan penaburan bubuk abate (larvasida) yang dilaksanakan 4 siklus (tiga
bulan sekali) dengan menaburkan larvasida pada TPA yang ditemukan
jentik (Octaviani H, 2003). Pemberian serbuk abate dilakukan dua
sampai tiga bulan sekali, dengan takaran 10 gr abate untuk 100 liter air
atau 2,5 gram altosoid untuk 100 liter air.
c. Fogging
Pelaksanaan program fogging adalah upaya pemberantasan
nyamuk bukan upaya pencegahan sehingga akan dilaksanakan fogging
apabila terdapat kasus DBD dan memenuhi kriteria fogging. Proses
pelaksanaan fogging dilakukan bukan berarti kasus DBD berkurang
tetapi fogging ini untuk pencegahan sehingga akan dilakukan fogging
apabila sudah memenuhi kriteria fogging dan fogging tidak aktif jika
tidak dilanjuti dengan 3M, Tujuan penanggulangan foggingfokus
dilaksanakan untuk membatasi penularan DBD dan mencegah KLB di
lokasi tempat tinggal penderita DBD serta tempat yang menjadi sumber
penularan, pada umumnya fogging ini belum berhasil, karena masih
bergantung pada insektisida untuk membunuh nyamuk dewasa serta
penyemprotan ini membutuhkan biaya yang cukup tinggi dan tempat
penyemprotan harus dikuasai oleh petugas fogging (Kartika Dewi,
2017).
Pemutusan rantai penularan penyakit DBD sampai saat ini masih
mengandalkan pengendalian nyamuk vektor (Aedes aegypti) dengan
26
cara pengabutan (Ultra Low Volume) dan pengasapan (Thermal
Fogging) (Salim, dkk. 2007).
Pengasapan dilakukan dua siklus dengan interval satu minggu.
Pengasapan siklus I berfungsi untuk membunuh nyamuk dewasa yang
ada pada saat pengasapan siklus II berfungsi untuk membunuh jentik
nyamuk pada siklus I yang sudah berkembang menjadi nyamuk dewasa
pada siklus II. Pengasapan dilakukan pada areal titik fokus, satu areal
titik fokus maksimalnya mencakup areal seluas 3,1 Ha.
Pengendalian vektor menggunakan mesin Fog adalah metode
penyemprotan udara yang berbentuk asap (pengasapan/Fogging) yang
dilakukan untuk mencegah/mengendalikan DBD di rumah penderita/
tersangka DBD dan lokasi sekitarnya serta tempat – tempat umum yang
diperkirakan dapat menjadi sumber penularan penyakit DBD
(Kemenkes, 2011).
Didalam pelaksanaannya penentuan jenis insektisida, dosis dan
metode aplikasi merupakan syarat yang penting untuk dipahami dalam
kebijakan pengendalian vektor. Aplikasi insektisida yang berulang di
satuan ekosistem akan menimbulkan terjadinya resistensi serangga
sasaran (Kemenkes, 2011). Pendapat itu juga didukung oleh
Kasumbogo, yang mengatakan bahwa ada beberapa variabel yang
mempengaruhi tingkat resistensi nyamuk terhadap pestisida. Variabel –
variabel tersebut antara lain konsentrasi pestisida, frekuensi
penyemprotan. Fenomena resistensi itu dapat dijelaskan dengan teori
27
evolusi yaitu ketika suatu lokasi dilakukan penyemprotan pestisida,
nyamuk yang peka akan mati, sebaliknya yang tidak peka akan tetap
melangsungkan hidupnya. Paparan pestisida yang terus – menerus
menyebabkan nyamuk beradaptasi sehingga jumlah nyamuk yang
kebal bertambah banyak, apalagi nyamuk yang keba tersebut dapat
membawa sifat resistensinya ke keturunannya (Untung, 2004).
d. Penyuluhan
Pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan adalah proses
pemberian informasi kepada individu, keluarga atau kelompok secara
terus menerus dan berkesinambungan mengikuti perkembangan dari
suatu kelompok masyarakat, serta proses membantu agar berubah dari
tidak tahu menjadi tahu atau sadar (aspek pengetahuan atau
knowledge) dari tahu menjadi mau (aspek sikap atau attitude) dan dari
mau menjadi mampu melaksanakan perilaku yang diperkenalkan
(aspek tindakan atau practice) (Erlanger TE, dkk, 2008).
Pengendalian vektor DBD akan efektif mengurangi populasi vektor
apabila intervensi dilakukan berbasis masyarakat, terintegrasi yang
disesuaikan dengan eko – epidemiologi lokal da sosiokultural serta
dikombinasikan dengan program edukasi yang bertujuan untuk
meningkatkan pengetahuan dan memahami praktek terbaik (Erlanger
TE, dkk, 2008).
Pengendalian vektor yang bebasis masyarakat telah banyak
memberikan dampak positif terhadap kepadatan larva
28
maupunpenularan DBD itu sendiri. Penelitian pemberdayaan
masyarakat dan stakeholder di Tamil Nadu India untuk mencegah
perkembangbiakan vektor menghasilkan penurunan kepadatan vektor
(Arunachalam N, dkk, 2012).
Penelitian pemberdayaan masyarakat yang disertai promosi
kesehatan serta manajemen lingkungan di Brazil berdampak positif
terhadap penurunan indeks jentik (Caprara A, 2015).
B. Tinjauan Umum Tentang Model Dinamik
1. Pengertian Model
Model merupakan sistem atau kejadian yang sesungguhnya
ataupun tiruan dari suatu benda, model hanya berisi informasi-informasi
yang dianggap penting untuk ditelaah.
Model menghasilkan gambaran proses secara keseluruhan dengan
menggunakan perumusan matematika dari proses-proses
fisika/kimia/biologi suatu fenomena alam, sehingga jika dimasukkan data –
data penunjang, kemudian dihitung dengan metode perhitungan tertentu.
Pemodelan diartikan sebagai ilustrasi penggambaran, penyederhanaan,
miniatur, visualising atau kreasi prediksi inovatif (Mallongi, 2012).
Model dibangun untuk tujuan peramalan dan perancangan
kebijakan. Pendekatan model dinamik bersifat deduktif dan mampu
menghilangkan kelemahan-kelemahan dalam asumsi-asumsi yang dibuat,
dapat diperoleh kesepakatan atas asumsi-asumsi tersebut. Proses
29
perubahan dari satu kondisi ke kondisi lainnya merupakan hal utama yang
ditekankan dalam model dinamik (Bohari, 2014).
2. Karakteristik Model
Sebagai ukuran tujuan pemodelan, maka karakteristik model yang
baik antara lain sebagai berikut (Budihati, 2008):
a. Model yang dapat memecahkan suatu masalah yang besar adalah
model yang tingkat generalisasinya tinggi.
b. Model dapat menjelaskan dinamika secara rinci.
c. Menambah minat peneliti yang lain untuk melakukan penelitian lanjutan.
d. Proses pemodelan tidak pernah selesai.
3. Prinsip-prinsip Pemodelan
a. Elaborasi adalah pengembangan model dilakukan secara bertahap
dimulai dari model sederhana hingga diperoleh model yang lebih
representatif.
b. Sinektik adalah pengembangan model yang dilakukan secara analogis
(Kesamaan-kesamaan).
c. Iteratif adalah pengembangan model yang dilakukan secara berulang-
ulang dan peninjauan kembali.
4. Syarat Menyusun Model
Hal-hal yang harus diperhatikan sebelum menyusun model, antara
lain (Mallongi, 2012) :
30
a. Jika teori yang digunakan benar maka model juga seharusnya
menghasilkan keluaran yang benar, sebab model merupakan
representasi dari sebuah teori.
b. Ketika menyusun model, asumsi dan penyederhanaan yang dibuat
harus mengikuti aturan/teori yang berlaku, dokumentasi dan
pencatatan yang baik harus dilakukan dalam setiap asumsi yang
dibuat.
c. Menggunakan pendekatan metode numerik untuk menghitung model
matematika, sehingga harus didefinisikan dengan baik kemungkinan
kesalahan perhitungan dari metode numerik yang digunakan.
5. Tahapan Pemodelan
Tahapan pemodelan antara lain sebagai berikut (Mallongi,2012):
a. Konseptualisasi dan identifikasi
- Penyusunan hipotesis dasar teori yang terlibat dalam proses
- Mengevaluasi dasar teori
- Melakukan identifikasi struktur model
b. Representasi matematika
- Biasanya dalam bentuk diferensial atau persamaan aljabar
- Dapat menggunakan aturan bahasa (Linguistic rules) untuk sistem
pakar.
c. Implementasi numerik
- Melakukan penyusunan alogaritma solusi numerik
- Melakukan perhitungan dengan menggunakan komputer
31
d. Estimasi parameter dan kalibrasi
- Melakukan pengaturan pada parameter model berdasarkan data
pengukuran
- Agar seluruh data pengukuran dan parameter model sesuai, maka
dilakukan kalibrasi
e. Pengujian hipotesis
Pengujian keluaran model terhadap kondisi uji yang telah ditentukan
untuk hipotesis tertentu.
f. Validasi
Melakukan perbandingan antara hasil suatu model dengan data
pengukuran untuk memastikan kualitas model.
6. Pengertian Sistem Dinamik
Model Sistem Dinamis yang merepresentasikan struktur diagram
umpan balik adalah diagram sebab akibat atau Causal Loop Diagram.
Diagram ini merupakan penunjuk arah aliran perubahan variabel dan
polaritasnya. Polaritas aliran dibagi menjadi positif dan negatif. Diagram
Alir atau Flow Diagram meupakan bentuk diagram lain yang juga
menggambarkan struktur model sistem dinamis. Diagram alir
merepresentasikan hubungan antar variabel yang telah dibuat dalam
diagram sebab-akibat dengan lebih jelas, dengan menggunakan berbagai
simbol tertentu untuk berbagai variabel yang terlibat (Sushil, 1993 dalam
(Bohari, 2014).
32
Dalam menyusun model dinamik terdapat tiga bentuk alternatif
yang dapat digunakan ( Muhammad et al, 2001) yaitu :
a. Verbal
Model verbal adalah model sistem yang dinyatakan dalam
bentukkata-kata.
b. Visual
Deskripsi visual dinyatakan secara diagram dan menunjukkan
hubungan sebab akibat banyak variabel dalam keadaan sederhana
dan jelas. Analisis deskripsi visual dilakukan secara kualitatif.
c. Matematis
Model visual dapatdipresentasikan kedalam bentuk matematis yang
merupakan perhitungan perhitungan terhadap suatu sistem. Semua
bentuk perhitungannya bersifat ekuivalen, yang mana setiap bentuk
berperan sebagai alat bantu untuk dimengerti bagi yang awam.
7. Pendekatan Sistem Dinamik
Berdasarkan filosofi kausal (sebab - akibat), tujuan metodologi
sistem dinamik adalah untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam
tentang tata cara kerja suatu sistem. Ada beberapa tahapan dalam
pendekatan sistem dinamik antara lain :
a. Identifikasi dan Definisi Masalah
Untuk mengetahui dimana sebenarnya pemodelan sistem perlu
dilakukan, maka pendefinisian masalah merupakan tahap yang sangat
penting dilakukan. Tahap selanjutnya adalah menetapkan tujuan
33
pembatasan masalah dari sistem yang akan dimodelkan. Batas sistem
menyatakan komponen-komponen yang termasuk dan tidak termasuk
dalam pemodelan sistem.
b. Konseptualisasi Sistem
Konseptualisasi sistem dilakukan atas dasar permasalahan yang
didefinisikan. Dimulai dari identifikasi komponen atau variabel yang
terlibat dalam pemodelan. Dengan menggunakan ragam metode
seperti diagram sebab - akibat (causal), diagram kotak pana (stock and
flow), dan diagram sekuens (aliran), variabel-variabel tersebut
kemudian dicari interrelasinya satu sama lain. Tujuan dari
konseptualisasi model adalah ini adalah memberikan kemudahan bagi
pembaca agar dapat mengikuti pola pikir yang tertuang dalam model
sehingga menimbulkan pemahaman yang lebih mendalam atas sistem.
c. Formulasi Model
Pada tahap formulasi (spesifikasi) model, dilakukan dengan
memasukkan data kuantitatif kedalam diagram model dengan tujuan
untuk merumuskan makna yang sebenarnya dari setiap relasi yang
ada dalam model konseptual. Spesifikasi model dilakukan terhadap
variabel-variabel yang saling berhubungan dalam diagram.
d. Simulasi Model
Menurut Muhammadi et al (2001) untuk memahami gejala atau
proses tersebut dimasa depan, maka dilakukanlah simulasi model.
Sedangkan untuk mengetahui kesesuaian antara hasil simulasi
34
dengan gejala atau proses yang ditirukan maka dilakukan validasi
model. Hasil validasi ini kemudian akan menimbulkan proses
perbaikan serta reformulasi model.
e. Analisa Kebijakan
Untuk memahami pentingnya sifat-sifat dinamika dari model
merupakan tujuan dari tahapan analisa kebijakan. Ini dapat dilakukan
dengan menggunakan metode matematik/analitik. Meskipun ini tidak
mungkin untuk menemukan solusi persamaan-persamaan model
sistem dinamik secara matematik, kita kadang dapat menemukan level
yang konstan setimbang dan menentukan stabilitasnya. Lebih umum,
analisis dilakukan dengan percobaan simulasi.
f. Implementasi Kebijakan
Implementasi kebijakan merupakan tahap yang penting karena
keberhasilan utama dari sebuah proyek aplikasi sistem dinamik berarti
suatu demonstrasi dan peningkatan sistem yang berkelanjutan.
8. Tahapan-Tahapan Proses Pembuatan dan Pengembangan Model
Sistem Dinamik
Proses pembuatan dan pengembangan model menggunakan
metodologi sistem dinamik melibatkan tahapan – tahapan berikut
(Sterman, 2000 dalam Bohari, 2014):
a. Artikulasi Permasalahan (Identifikasi dan Defenisi Permasalahan)
Artikulasi permasalahan merupakan tahapan yang paling penting
dalam pemodelan sistem dinamik. Artikulasi permasalahan merupakan
35
tahap untuk mengetahui apa isu atau permasalahan yang ingin
diketahui dan diamati. Bagaimana mengartikulasi permasalahan
umpan balik dinamik (pemilihan batas). Permasalahan dinamik
dinyatakan dengan pola– pola perilaku yang mungkin dapat
diobservasi dari data yang diplot atau pola perilaku tersebut diperoleh
dengan metode deduksi dari informasi kualitatif yang tersedia.
b. Memformulasikan Hipotesis Dinamik dan Konseptualisasi Model
Model konseptual adalah abstraksi dari berbagai proses bahan
fisik, kimia dan biologis yang mempengaruhi perilaku kontaminan
dalam sistem (Mallongi and Dullah, 2014). Tujuan dari tahapan ini
adalah untuk membangun suatu hipotesis, suatu teori kerja yang
menjelaska sebab dibalik permasalahan dinamik. Berdasar atas
umpan balik dan interaksi antara berbagai komponen yang berbeda,
teori ini seharusnya menjelaskan dinamika perilaku sistem serta
menggambarkan cara pandang pengambil keputusan yang terlibat,
yang dapat mempengaruhi permasalahan dalam sistem, membangun
hipotesis untuk menjelaskan permasalahan.
c. Pembuatan Model Dinamik (Model Simulasi)
Tahap selanjutnya melibatkan pembuatan model formal yang
lengkap dengan berbagai formula matematis yang menjelaskan
hubungan sebab akibat semua variabel, mengestimasi nilai awal stock
dan nilai - nilai parameter numerik yang merepresentasikan sistem
36
serta menguji konsistensi model secara internal terhadap hipotesis -
hipotesis dinamik.
d. Pengujian dan Validasi Model
Validasi model dirancang untuk membandingkan apakah perilaku
model yang dibangun untuk variabel - variabel kunci dapat mewakili
dan merepresentasikan kondisi nyatanya.
e. Analisis Model
Analisis dilakukan dengan percobaan simulasi. Serangkain logika
yang berkaitan dengan simulasi dapat memberikan hasil yang cukup,
informasi yang reliable (meskipun tidak tepat) tentang sifat - sifat
model. Tahapan simulasi ini dekenal dengan uji sensitivitas, untuk
menilai seberapa besar perilaku output berubah sebagai hasil
perubahan dari parameter, input dan kondisi awal, bentuk fungsi, atau
perubaha struktur lainnya.
f. Perancangan untuk Perbaikan
Untuk melihat seberapa besar kemungkinan model dapat
memperbaiki dinamika model maka tahap akhir yang dilakukan adalah
menguji alternatif - alternatif kebijakan yang baru. Dalam tahap ini,
alternatif kebijakan dirancang dan kemudian diuji dengan menjalankan
simulasi.
g. Implementasi
Tahapan ini penting karena keberhasilan utama dari sebuah proyek
aplikasi sistem dinamik berarti suatu demonstrasi atau peningkatan
37
sistem yang terus menerus. Pembuatan model sistem dinamik
umumnya dilakukan dengan menggunakan software yang memang
dirancang khusus. Sofware tersebut seperti Stella yangdibuat secara
grafis dengan simbol-simbol atas variabel dan hubungannya.
C. Tinjauan Umum Tentang Aplikasi STELLA
STELLA atau Structural Thinking Experimental Learning Laboratory
with Animation adalah otomatis software dirancang untuk
mengoperasionalkan beragai input problem yang diterjemahkan dalam
bentuk model. Program Stella digunakan untuk membangun dan
kemudian bereksperimen dengan berbagai model kreatif.
Menggambarkan dan menganalisis konsep penting dari sistem dinamik
guna memprediksi berbagai kasus atau situasi melalui input data
penelitian atau data literatur (Mallongi, 2012).
Stella adalah perangkat lunak untuk modeling berbasis “flow-chart”
dengan bahasa pemrograman interpreter melalui pendekatan lingkungan
multilevel hierarkis, baik untuk menyusun maupun berinteraksi dengan
model. Dalam program Stella ada tiga jenjang (layering) untuk
mempermudah pengelolaan model, terutama untuk model yang sangat
kompleks. Hal ini sangat bermanfaat baik untuk pembuat program model
maupun untuk pengguna model tersebut. Ketiga jenjang tersebut adalah:
1. High-Level Mapping Layer, yakni jenjang antarmuka bagi pengguna
(users interface). Pada jenjang ini pengguna model dapat bekerja,
seperti mengisi parameter model dan melihat tampilan keluaran.
38
2. Model Construction Layer. Jenjang ini adalah tempat model berbasis
„flow-chart‟. Apabila pengguna model ingin memodifikasi struktur model,
dapat dilakukan di jenjang ini.
3. Equation Layer. Pada jenjang ini dapat dilihat persamaan-persamaan
matematika yang digunakan dalam model.
Ketiga jenjang tersebut di atas saling terkait. Penulis (Programmer)
maupun pengguna (user) model dapat berpindah dari satu jenjang ke
jenjang lainnya.
Stella merupakan bahasa pemrograman jenis interpreter berbasis
grafis. Pemakai Stella dapat dengan mudah menyusun model dengan
merangkaikan bentuk-bentuk geometris seperti bujursangkar, lingkaran
dan panahyang dikenal sebagai Building Blocks. Alat bantu lain di Stella
yang diperlukan dalam menyusun model diantaranya adalah menu,
control, toolbars dan objects. Banyak diantara alat bantu tersebut mirip
dengan alat bantu yang dipergunakan dalam Windows, akan tetapi
banyak pula alat bantu yang tidak sama yang merupakan penciri khas
Stella.
Berikut merupakan paparan beberapa alat penyusun model yang
sering digunakan dalam Stella :
1. Stock
„Stock‟ ini merupakan hasil suatu akumulasi. Fungsinya
untuk menyimpan informasi berupa nilai suatu
parameter yang masuk ke dalamnya.
39
2. Flows
Fungsi dari „flow‟ seperti aliran yakni menambah atau
mengurangi stock. Arah anak panah menunjukkan arah
aliran tersebut. Aliran bisa satu arah maupun dua arah.
3. Converter
„Converter‟ mempunyai fungsi yang luas, dapat
digunakan untuk menyimpan konstanta, input bagi
suatu persamaan, melakukan kalkulasi dari berbagai
input lainnya atau menyimpan data dalam bentuk grafis
(tabulasi x dan y). Secara umum tugasnya adalah
mengubah suatu input menjadi output.
Gambar 6. Tampilan alat bantu untuk menyusun model pada Stella
Program pemodelan Stella adalah system dynamic, powerful dan
flexible untuk berbagai kasus urgen menyangkut semua bidang kesehatan
dan seluruh kasus lingkungan. Ketepatan memprediksi mencapai 95%
40
mampu mengkreasi solusi berbagai kasus/masalah yang langsung
mengarahkan “people learn by doing”. Telah dibandingkan dengan
berbagai hasil penelitian ilmiah dari berbagai Negara, dan berbagai kasus.
Hasilnya perbedaannya adalah tidak melebihi 5% gap antara penelitian
langsung dibandingkan dengan aplikasi Pemodelan Stella.
41
TABEL 1. DAFTAR PENELITIAN TENTANG PEMODELAN DINAMIS
No. Peneliti/Tahun Judul Tujuan Aplikasi
Model
Hasil
1. Fitriani
Sudirman/2015
Model Estimasi
Konsentrasi Karbon
Monoksida (CO) dan
Nitrogen Dioksida
(NO2) Di Beberapa
Jalan Utama di Kota
Makassar
Untuk mengestimasi
konsentrasi karbon
monoksida (CO) dan
nitrogen dioksida (NO2)
pada 10 tahun yang
akan datang (2015 –
2025) di beberapa jalan
utama di Kota Makassar
Stella - Untuk konsentrasi CO dan
NO2 pada 10 tahun yang akan
datang (2015 – 2025) di
beberapa jalan di Kota
Makassar terus mengalami
peningkatan hingga 10 tahun
yang akan datang jika tidak
ada tindakan pengendalian.
2. Amirul Munif, dkk / 2013
Model Intervensi Pengendalian Demam Berdarah Dengue Di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat
untuk mendapatkan model pengendalian DBD yang dapat menurunkan Infection Rate (IR) menjadi nol persen.
Powersim Pelaksanaan fogging di lokasi penelitian dapat menurunkan insidensi DBD baik itu infeksi primer maupun infeksi sekunder insect reppelent dapat dijadikan alternatif pencegahan menularnya DBD karena dapat menurunkan peningkatan jumlah infeksi DBD. Pelaksanaan program kontainer tertutup dapat menurunkan peningkatan jumlah infeksi DBD pada saat outbreak dengan
42
bertambahnya tingkat insect repellent menjadi 40%, dan tingkat fogging20% saja.
3. Hendrri Peranginangin/ 2010
Model Kebijakan Pengendalian Penyakit DBD di Kabupaten Indramayu
membangun model kebijakan pengendalian DBD di Kabupaten Indramayu dengan rancangan analisis kuantitatif dan kualitatif, observasional, Cross Sectional, Analytical Hierarchy Process, Interpretative Structural Modelling, dan pendekatan sistem.
Powersim Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari uji statistik terdapat beberapa perbedaan /persamaan faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian DBD (p-Value ≤ Alpha 0,05) antara gabungan tiga kecamatan pertama (Indramayu, Sindang, dan Jatibarang) dengan gabungan tiga kecamatan kedua (Terisi, Sukagumiwang, dan Tukdana). Perbedaan itu ialah (a) jika di gabungan tiga kecamatan pertama hubungan antara kesehatan rumah hunian dengan kejadian DBD tidak signifikan, maka di tiga gabungan tiga kecamatan kedua hubungan keduanya signifikan; (b) jika di gabungan tiga kecamatan pertama hubungan pekerjaan/mata pencaharian kepala keluarga dengan
43
kejadian DBD signifikan maka di gabungan tiga kecamatan kedua hubungan keduanya tidak signifikan; dan (c) jika di gabungan tiga kecamatan pertama hubungan pendidikan formal kepala keluarga dengan kejadian DBD signifikan maka di gabungan tiga kecamatan kedua hubungan keduanya tidak signifikan. Persamaannya baik di gabungan tiga kecamatan pertama maupun tiga kecamatan kedua ialah faktor-faktor yang berhubungan signifikan dengan kejadian DBD yaitu (a) pengelolaan sampah rumah tangga, (b) pengetahuan kepala keluarga tentang DBD, (c) perilaku sehat penghuni rumah tangga, (d) pendapatan/pengeluaran per kapita keluarga, dan
4. Thomas Goatz,
et al./2016
Modeling Dengue
Data from Semarang,
Untuk menggambarkan
penyebaran DBD di kota
Classical
SIR-Model
- Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan data
44
Indonesia Semarang, dengan
menggunakan
parameter meteorologi
yang tersedia, seperti
curah hujan.
demam berdarah yang di kota Semarang (Indonesia), yang dimodifikasi dengan time-scale dengan SIR-UV sistem untuk memodelkan situasi ini. Namun, fokus utama terletak pada variasi musiman, Oleh karena itu, disertakan variasi musiman dalam tingkat infeksi β. Hal ini juga ditunjukkan dengan perbandingan data dengue dengan curah hujan bulanan. Oleh karena itu, diusulkan dalam Persamaan. (6) dan (9) model di mana β tergantung pada curah hujan. model ini menghasilkan kesepakatan yang cukup baik dengan data yang tersedia.
5. Rahmah
Tahir/2015
Pemodelan Sistem
Dinamis Epidemi
HIV-AIDS Di
Sulawesi Selatan
Untuk mengestimasi
jumlah kejadian HIV-
AIDS selama 27 tahun
(2008-2035) dan
strategi pengendalian
faktor risiko yang paling
sesuai dalam menekan
laju peningkatan jumlah
Powersim - Hasil penelitian menunjukkan
bahwa selama 27 tahun yang
akan datang diestimasikan
kejadian HIV-AIDS meningkat
dari 375 orang pada tahun
2008 menjadi 12.078 orang
pada tahun 2035 jika faktor
risiko HIV tidak dikontrol.
45
kejadian HIV-AIDS
dengan pendekatan
model dinamik di
Sulawesi Selatan.
- Strategi yang paling sesuai
yaitu penambahan struktur
ARV preventif serta
pengontrolan terhadap terapi
ARV saat mencegah infeksi
HIV sebesar 43,5 % dan
mencegah AIDS sebesar
55,8%.
6. Muhammad
Afdhal/2015
Pemodelan Sistem
Dinamis Dalam
Memprediksi
Kejadian Stroke Di
Sulawesi Selatan
Untuk mengestimasi
kejadian stroke selama
25 tahun (2010-2035)
dan strategi
pengendalian yang
paling sesuai dengan
menekan laju
peningkatan kejadian
stroke.
Powersim - Hasil penelitian menunjukkan bahwa selama 25 tahun yang akan datang diestimasikan kejadian stroke meningkat rata-rata 2,28 % dari 1598 orang pada tahun 2010 menjadi 7532 orang pada tahun 2035
- Strategi yang paling sesuai
yaitu kombinasi kontrol
hipertensi perilaku merokok,
aktivitas fisik, dan pola
makan.
7. Sandra Diah
Widhiyana/
2015
Pendekatan Model
Dinamik Dalam
Mengestimasi
Kematian Akibat
Rabies Di Kab.
Untuk mengestimasi
jumlah kematian akibat
rabies selama 20 tahun
(2014-2033) dan
strategi pencegahan
Powersim - Hasil penelitian menunjukkan
pada 20 tahun yang akan
datang diestimasikan
kematian akibat rabies
meningkat sebesar 7x lipat
46
Toraja Utara yang paling sesuai
dalam menekan laju
peningkatan jumlah
kematian akibat rabies
per tahun dari 4 orang di
tahun 2013 menjadi 396
orang di tahun 2033 jika faktor
risiko tidak dikontrol.
- Strategi yang paling sesuai
yaitu dengan
mengkombinasikan ketiga
variabel (pemberian VAR
sebanyak 100%, vaksinasi
rabies sebesar 80%, dan
kastrasi anjing jantan
sebanyak 5%).
47
D. Kerangka Teori
Keberadaan jentik Aedes aegypti dipengaruhi oleh beberapa hal
antara lain sumber penular yang berasal dari host atau manusia penderita
nyamuk Aedes aegypti menghisap darah manusia penderita kemudian
kembali menghisap darah manusia bukan penderita. Hal tersebut dapat
menyebabkan kejadian demam berdarah dengue. Hal tersebut menjadi
salah satu faktor yang berperan dalam status endemisitas suatu wilayah.
Keberadaan jentik Aedes aegypti juga dipengaruhi oleh lingkungan
fisik yaitu suhu dalam rumah. Suhu udara merupakan salah satu faktor
lingkungan yang mempengaruhi kehidupan Aedes aegypti. Nyamuk dapat
hidup dalam suhu rendah tetapi proses metabolismenya meburuk atau
bahkan terhenti jika suhu turun sampai dibawah suhu kritis. Pada suhu
lebih tinggi dari 35°C juga mengalami perubahan dalam arti lebih
lambatnya proses-proses fisiologi, rata-rata suhu optimum untuk
pertumbuhan nyamuk adalah 25-27°C.
Kelembaban dalam rumah juga berpengaruh terhadap keberadaan
jentik. Kelembaban udara optimal akan menyebabkan daya tahan hidup
nyamuk bertambah.
Lingkungan sosial berpengaruh terhadap keberadaan jentik
diantaranya Kebiasaan masyarakat yang merugikan kesehatan dan
kurang memperhatikan kebersihan lingkungan seperti kebiasaan
menggantung baju, kebiasaan tidur siang, kebiasaan membersihkan TPA,
kebiasaan membersihkan halaman rumah, dan juga partisipasi
48
masyarakat khususnya dalam rangka pembersihan sarang nyamuk, maka
akan menimbulkan resiko terjadinya transmisi penularan penyakit DBD.
Pemberantasan sarang nyamuk terdiri atas tiga yaitu biologi, fisik
dan kimia. Pengendalian vektor secara biologi dilakukan dengan
menggunakan agen biologi seperti : predator/pemangsa, parasit dan
bakteri. Pemberantasan secara kimia salah satunya dengan menabur
bubuk abate pada tempat penampungan air, sedangkan pemberantasan
sarang nyamuk secara fisika dilakukan dengan cara 3M Plus yaitu
menguras, mengubur, menutup perilaku menggantung baju dan lain
sebagainya. Ketiga jenis pemberantasan sarang nyamuk diatas apabila
tidak dilakukan dengan baik maka berpengaruh langsung terhadap
keberadaan jentik pada tempat- tempat penampungan air alami bahkan
tempat penampungan air buatan.
Pemberantasan jentik nyamuk berhubungan dengan ABJ, HI, dan
CI.Untuk mengetahui kepadatan vektor nyamuk pada suatu tempat,
diperlukan survei yang meliputi survei jentik, survei nyamuk serta survei
perangkap telur. Data-data yang diperoleh, nantinya dapat digunakan
untuk menunjang perencanaan program pemberantasan vektor.
49
Tingkat Endemisitas
Kejadian DBD
Host
Sumber Penularan
Aedes aegypti
Keberadaan Jentik
Aedes aegypti Tempat Perkembangbiakan Kondisi ABJ, HI, CI, BI
Biologi Kimia
- Abatisasi
- Fogging
PSN
TPA Fisik
- 3M - Penyuluhan
Alami
Buatan
Lingkungan Fisik
- Suhu - Kelembaban - Curah hujan
Lingkungan Sosial
Bionomik
Vektor
Gambar 7. Kerangka Teori
Sumber : Modifikasi dari I Gede Suyasa (2008); Muchlis (2011); Kemenkes
2011); Kestyaningsih Alupati (2012); Ita Maria (2013)
50
E. Kerangka Konsep
Berdasarkan kerangka teori sebelumnya, maka peneliti
merumuskannya dalam kerangka konsep sebagaimana disajikan pada
gambar 8:
Gambar 8. Kerangka Konsep Penelitian
Keterangan :
: Variabel Independen
: Variabel dependen
Suhu
Kelembaban
Curah Hujan
Keberadaan Jentik
Jumlah Penduduk
Populasi Terserang
Kejadian DBD
Skenario Model :
1. Do Nothing
2. 3M
3. Abatisasi
4. Fogging
5. Penyuluhan
6. Gabungan Skenario
II,III,IV dan V
DIA
RE
51
F. Variabel dan Definisi Operasional
Tabel 2. Variabel dan Definisi Operasional
No. Variabel Definisi Operasional Alat Dan Sumber 1 2 3 4
1 Kejadian
DBD
Penderita yang
dinyatakan mengalami
penyakit Demam
Berdarah Dengue
dalam catatan laporan
kasus di Dinas
Kesehatan Kota
Kendari
Telaah data sekunder
laporan kasus DBD
Kota Kendari periode
tahun 2012-2016
2 Suhu Udara Rata-rata suhu udara
per bulan yang
dinyatakan dalam
derajat celcius di Kota
Kendari
Telaah data sekunder
suhu udara bulanan
wilayah Kota Kendari
periode tahun 2012-
2016
3 Kelembaban
Udara
Rata-rata kelembaban
udara per bulan yang
dinyatakan dalam
persentase uap air di
Kota Kendari
Telaah data sekunder
kelembaban udara
bulanan wilayah Kota
Kendari periode
tahun 2012-2016
4 Curah Hujan Rata-rata curah hujan
per bulan yang
dinyatakan dalam
milimeter di Kota
Kendari
Telaah data sekunder
rata-rata curah hujan
bulanan wilayah Kota
Kendari periode
tahun 2012-2016
5 Keberadaan Jentik
Jumlah rumah yang tidak ditemukan jentik dari seluruh rumah yang diperiksa berdasarkan seluruh wilayah kerja Puskesmas di Kota Kendari
Telaah data sekunder ABJ wilayah Kota Kendari periode tahun 2012-2016
6 Jumlah Penduduk
Banyaknya orang yang menempati suatu wilayah tertentu
Telaah data sekunder Badan Pusat Statistik Kota Kendari
7 Populasi Terserang
Jumlah orang yang dinyatakan mengalami penyakit Demam
Telaah data sekunder laporan kasus DBD Dinas Kesehatan
52
Berdarah Dengue Kota Kendari periode tahun 2012-2016
8 Fogging Frekuensi dilakukannya kegiatan fogging di daerah titik fokus pelaksanaan di seluruh wilayah kerja Puskesmas di Kota Kendari
Telaah data sekunder kegiatan fogging wilayah Kota Kendari periode tahun 2012-2016
9 3M Frekuensi dilakukannya kegiatan 3M di seluruh wilayah kerja Puskesmas di Kota Kendari
Telaah data sekunder kegiatan 3M wilayah Kota Kendari periode tahun 2012-2016
10 Abatisasi Frekuensi dilakukannya kegiatan Abatisasi di seluruh wilayah kerja Puskesmas di Kota Kendari
Telaah data sekunder kegiatan Abatisasi wilayah Kota Kendari periode tahun 2012-2016