1
18 KOMPAS, MINGGU, 12 APRIL 2 01 5 AKSEN PA R O D I OLEH SAMUEL MULIA Cinta? S eorang karyawan paruh waktu bercerita kepada saya bahwa se- telah menikah, suaminya memin- tanya untuk tidak lagi bekerja. Padahal menurut ceritanya, ia cukup sedih ka- rena ia sangat senang dengan peker- jaannya itu. ”Kata suami saya, karena cintanya pada saya, ia tak ingin melihat saya bekerja. Katanya dia saja yang b e ke r j a . ” Egois atau pengecut? Cerita itu melambungkan ingatan saya kepada peristiwa yang saya alami sendiri. Pertama, waktu saya ingin menjadi perancang busana. Kedua, saat saya diusir ayah karena tidak mau berenang bersamanya. Alasannya be- gini. Untuk kasus yang pertama, ayah memberi alasan bahwa pekerjaan se- bagai perancang busana tak memiliki jaminan pasti bahwa di masa tua saya punya cukup uang dan materi agar saya bisa bertahan hidup. Saya mengerti mungkin di masa tiga puluh lima ta- hunan lalu, cita-cita itu terlalu sulit untuk dibayangkan. Selain mungkin juga itu sebagai se- buah cara menghalangi niat seorang anak laki-laki berprofesi sebagai pe- rancang busana. Mungkin ayah akan lebih menyetujui kalau saya jadi tukang jahit jas, seperti tukang jahit jas lang- ganannya yang beranak istri. Untuk kasus kedua, ia mengatakan bahwa berenang itu sehat, tidak perlu membutuhkan banyak orang untuk di- lakukan, biayanya juga jauh dari mahal karena modal hanya celana renang, dan bukan alat-alat yang sebelum olahraga saja sudah membuat dompet kosong melompong. Dua kasus yang telah membuat ayah saya naik pitam itu, menurutnya hanya didasari sebuah cinta seorang ayah ke- pada anaknya, agar anaknya tidak se- ngsara di masa tua dan sehat senan- t i a sa . Kejadian dengan ayah membuat saya naik pitam, dan kekesalan itu bercokol dengan abadi di hati, sehingga kalau mendengar dan melihat beberapa pe- ristiwa yang saya tulis sebagai pembuka tulisan di hari Minggu ini, kekesalan itu makin menjadi. Dan seperti biasa, kekesalan macam itu melahirkan sebuah pertanyaan di dalam hati sendiri. Kok cinta itu me- larang? Kok cinta menghasilkan ke- kesalan? Apakah benar itu sebuah ben- tuk konkret dari cinta sejati? Apakah itu tidak karena keegoisan seseorang, atau ketakutan akan masa depan yang tak bisa mereka prediksi hasilnya, sehingga dengan atas nama cinta, ia dianggap baik dan bukan ter- lihat sebagai seorang pengecut? Anak durhaka Mengapa seorang suami melarang seorang istri melakukan pekerjaan yang disukainya? Bukankah kalau itu benar cinta, seharusnya ia mendukung dan memberi kesempatan untuk mengem- bangkan kesenangannya itu menjadi lebih besar? Mengapa ayah saya sampai berpikir bahwa perancang mode itu tidak akan menjamin bahwa saya bisa hidup ber- kecukupan di masa tua kalau sean- dainya saya bisa mencicipi masa tua? Apakah cinta itu sebisa mungkin di- terjemahkan ke dalam angka alias ber- ke c u k u p a n ? Kalau cinta itu benar tidak menyiksa, dan tidak menimbulkan kekesalan, mengapa ayah tidak mendukung saya menjadi pelari yang juga tidak akan membuat dompetnya kosong melom- pong? Apakah cinta itu adalah sebuah bentuk penguasaan dari salah satu makhluk kepada makhluk lainnya? Meski yang dikuasai memiliki rasa cin- ta sehingga rela untuk dikuasai? Apakah penguasaan itu terjadi agar yang dikuasai tak akan mengalahkan- nya di suatu hari nanti? Sehingga sejak awal ia sudah dikebiri sebelum wak- tunya dengan senjata yang disebut cin- ta? Begitu? Teman saya pacaran dengan seorang laki-laki biasa. Kalau saya katakan biasa itu maksudnya penampilannya biasa, kekayaannya biasa. Tetapi orang- tua tidak setuju karena alasan mata pencaharian pacarnya itu tidak men- jamin masa depan yang bebas kesu- raman. Sampai sekarang hubungan itu ma- sih berlangsung tetapi tak bisa ke ma- na-mana. Alasan orangtua tidak me- nyetujui, karena orangtua yang tak ingin melihat anaknya sengsara di masa yang akan datang. Karena cintalah me- reka tidak setuju. Saya sampai berpikir setelah men- dengar cerita klise itu. Apakah cinta itu mampu membuat seseorang menjadi peramal nasib manusia lainnya? Bisa memprediksi bahwa masa depan suram itu milik mereka? Bagaimana kalau mereka keliru? Bagaimana kalau teman saya menikah dengan laki-laki luar bi- asa yang disetujui orangtuanya, dan beberapa tahun kemudian jatuh mis- kin? Ketika saya protes akan alasan ayah saya di atas, ia bilang begini. ”Saya ini orangtua, saya hidup lebih lama dari kamu, saya tahu yang terbaik untuk kamu?” Waktu saya tambah besar saya bertanya dalam hati. Benarkah hidup yang lebih lama, jam terbang yang lebih lama menjadi sebuah alasan tepat me- maksa kehendak orang lain? Apakah hidup dan jam terbang lebih lama menjamin bahwa perjalanan hi- dup seseorang itu akan semuanya sama? Sayang ayah saya sudah me- ninggal dunia. Seandainya belum, se- karang ini saya pasti sudah ada dalam diskusi panjang yang mungkin tak akan ada habisnya, dan bisa jadi ia akan berpikir anak di depannya ini sungguh durhaka. KEJUJURAN SALLY KOESWANTO Malam itu, di akhir Maret lalu, Sally menggelar peragaan busana koleksinya yang bertajuk ”S ay a ” untuk menandai kembalinya ia di panggung mode In- donesia. Perhelatan yang digelar di Ho- tel Raffles, Jakarta, itu diawali dengan acara santap malam bersama. Atmosfer yang romantis sekaligus melankolik menaungi suasana ballroom yang ditata m a n i s. ”Saya memang orangnya melanko- lik,” ujar Sally tertawa. Selama dua tahun absen dari dunia mode, Sally mengaku tidak menjenguk perkembangan mode apa pun. Dia memilih untuk melakukan perjalanan ke sejumlah tempat. Berkelana memberi kesempatan kepada jiwanya untuk lebih reflektif terhadap dirinya sendiri. Sally menyadari, dunia mode adalah dunia yang penuh dengan euforia pu- ja-puji, tetapi pada saat yang bersa- maan pelakonnya dihantui rasa tidak aman dengan keniscayaan atas ter- jadinya perubahan yang terus-mene- rus. Kehadiran bakat-bakat baru yang bagus, misalnya, bisa menjadi salah satu pemicu terbitnya rasa tidak aman ter- sebut. ”Saya dulu bisa terintimidasi dengan bibit baru yang bermunculan, yang lebih jago-jago, pintar. Saya yakin se- mua (desainer) punya perasaan yang sama, tinggal mau mengakui atau tidak. Saya mikir, kalau masih terintimidasi begitu, berarti saya enggak cukup se- c u re dengan diri sendiri, belum merasa penuh dengan diri sendiri, padahal itu sumber kebahagiaan sesungguhnya. Se- karang, saya bisa merasa lebih senang dengan kehadiran bakat baru, ingin bisa menginspirasi dan berkontribusi dalam regenerasi,” ucap Sally. Sally sebelumnya dikenal dengan rancangan yang bernuansa provokatif, dengan semangat pembangkangan (re- bellious) dan sisi kekuatan dari diri perempuan. Bagi Sally, ini salah satu bentuk refleksi dari kehidupan masa lalunya yang tumbuh dalam ke- luarga broken home. Masa-masa sulit yang mendidiknya menjadi perempuan yang harus mandiri dan kuat. Padahal, Sally merasa, dirinya juga punya sisi rapuh. Momentum baru Keputusannya untuk kembali ke panggung mode kali ini, bagi Sally, harus dijadikan momentum bagi di- rinya untuk lebih jujur dalam berkarya. Sally tak lagi enggan menunjukkan si- si-sisi ”rapuh” dalam koleksinya, sisi kehalusan dan feminitas dalam diri perempuan. ”Kenapa saya dulu selalu berusaha menampilkan bahwa saya sosok yang kuat dalam pandangan orang lain. Pa- dahal, dalam banyak hal tidak. Efeknya dalam koleksi saat ini, saya lebih tone d ow n , lebih rileks,” ujar Sally. Sally pun mempersiapkan koleksi- nya sepenuh hati sejak September 2014. Pengerjaan dimulai akhir Novem- ber 2014. Meskipun sebenarnya ada 25 tampilan yang semula hendak diper- agakan, 23 tampilan busana yang akhir- nya dihadirkan dalam peragaan. Sally enggan membuat karyawannya harus lembur lebih lama untuk menuntaskan semua busana yang menuntut kete- latenan pengerjaan tangan. Dari 23 tampilan busana itu, Sally membagi dalam tiga kategori palet war- na, yakni putih, nude gold, dan hitam. Ketiga warna utama itu merepresen- tasikan makna tersendiri bagi Sally. Pu- tih mewakili kejujuran serta ketulusan, hitam mewakili penerimaannya pada misteri kehidupan sekaligus penerima- annya pada masa-masa kelam dalam hidup. Sementara warna emas tak se- kadar merepresentasikan kejayaan dan kemenangan, tetapi juga keteguhan da- lam merawat integritas diri. Siluet potongan dari koleksi ”S ay a ” tetap menampilkan ciri ikonik dari Sally, terutama korset dan h a r n e ss . Sally mempertegas kembali ciri khas siluet rancangannya itu dalam koleksi ”S ay a ”. Nuansa provokatif yang terselubung teredam oleh material bahan serta pernik-pernik aksen yang mengembus- kan pula sisi kerapuhan dan kehalusan. Seperti aplikasi mutiara jepang, kristal, manik-manik, dan kelopak mawar yang dirangkai sendiri dari sequins. Beragamnya material bahan yang di- gunakan juga berkontribusi memper- kaya dimensi pada koleksinya. Mulai dari bahan french lace, sutra gazar, jacquard dengan tekstur timbul, sutra crepe, satin lurex, sifon lurex, sutra sifon, hingga kulit kambing yang lem- but, ular piton, serta buaya. Sally bereksperimen juga dengan konstruksi yang baru kali ini dilaku- kannya, yaitu dengan menganyam tali kulit tanpa landasan dengan pola si- lang-menyilang menjadi sebuah gaun, h a r n e ss , dan korset. ”Konstruksi itu rumit sekali dan lama pengerjaannya,” kata Sally. Bagi Sally, mode adalah sebuah kre- asi yang harus berkarakter. Bukan se- kadar soal siluet atau seberapa banyak ornamen yang ditempelkan. Akan tetapi, yang penting adalah bagaimana karya tersebut membawa semangat, jiwa, dan identitas yang orisinal. Karya yang dikerjakan dengan hati, profe- sionalitas, serta rasa cinta yang solid. ”Saya merasa terlahir kembali,” kata S a l l y. Setelah dua tahun hibernasi dari dunia mode, Sally Koeswanto memutuskan kembali pada panggilan hati sesungguhnya. Kini, ia berusaha lebih jujur memaknai kembali dirinya sendiri bersama koleksi ”Saya”. OLEH SARIE FEBRIANE D unia fashion adalah dunia yang selalu terancam dengan ketidakbahagiaan..” kata Sally. Pernyataan singkat Sally itu seperti membungkus seluruh latar belakang atas keputusannya dua tahun lalu ke- tika menyatakan mundur dari dunia mode Tanah Air. Perancang mode asal Surabaya, Jawa Timur, ini beralasan saat itu ingin menata ulang prioritas hidupnya serta ingin memiliki lebih banyak waktu untuk keluarga. ”Sejujurnya, karena saat itu saya ti- dak merasa berbahagia dengan diri saya sendiri, karena saya tidak sepenuhnya jujur dengan diri saya sendiri. Mungkin buat sebagian orang kesannya drama,” kata Sally saat berbicara di panggung, sebelum peragaan busana dimulai. FOTO-FOTO: KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO Karya Sally Koeswanto

Model Indonesia

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Menceritakan tentang comeback show seorang perancang ternama

Citation preview

Page 1: Model Indonesia

18 KO M PA S, M I N G G U, 1 2 A P R I L 2 01 5

A KSEN

PA R O D I

OLEH SAMUEL MULIA

Cinta?

Seorang karyawan paruh waktubercerita kepada saya bahwa se-telah menikah, suaminya memin-

tanya untuk tidak lagi bekerja. Padahalmenurut ceritanya, ia cukup sedih ka-rena ia sangat senang dengan peker-jaannya itu. ”Kata suami saya, karenacintanya pada saya, ia tak ingin melihatsaya bekerja. Katanya dia saja yangb e ke r j a . ”

Egois atau pengecut?Cerita itu melambungkan ingatan

saya kepada peristiwa yang saya alamisendiri. Pertama, waktu saya inginmenjadi perancang busana. Kedua, saatsaya diusir ayah karena tidak mauberenang bersamanya. Alasannya be-gini.

Untuk kasus yang pertama, ayahmemberi alasan bahwa pekerjaan se-bagai perancang busana tak memilikijaminan pasti bahwa di masa tua sayapunya cukup uang dan materi agar sayabisa bertahan hidup. Saya mengertimungkin di masa tiga puluh lima ta-hunan lalu, cita-cita itu terlalu sulituntuk dibayangkan.

Selain mungkin juga itu sebagai se-buah cara menghalangi niat seoranganak laki-laki berprofesi sebagai pe-

rancang busana. Mungkin ayah akanlebih menyetujui kalau saya jadi tukangjahit jas, seperti tukang jahit jas lang-ganannya yang beranak istri.

Untuk kasus kedua, ia mengatakanbahwa berenang itu sehat, tidak perlumembutuhkan banyak orang untuk di-lakukan, biayanya juga jauh dari mahalkarena modal hanya celana renang, danbukan alat-alat yang sebelum olahragasaja sudah membuat dompet kosongmelompong.

Dua kasus yang telah membuat ayahsaya naik pitam itu, menurutnya hanyadidasari sebuah cinta seorang ayah ke-pada anaknya, agar anaknya tidak se-ngsara di masa tua dan sehat senan-t i a sa .

Kejadian dengan ayah membuat sayanaik pitam, dan kekesalan itu bercokoldengan abadi di hati, sehingga kalaumendengar dan melihat beberapa pe-ristiwa yang saya tulis sebagai pembukatulisan di hari Minggu ini, kekesalan itumakin menjadi.

Dan seperti biasa, kekesalan macamitu melahirkan sebuah pertanyaan didalam hati sendiri. Kok cinta itu me-larang? Kok cinta menghasilkan ke-kesalan? Apakah benar itu sebuah ben-tuk konkret dari cinta sejati?

Apakah itu tidak karena keegoisanseseorang, atau ketakutan akan masadepan yang tak bisa mereka prediksihasilnya, sehingga dengan atas namacinta, ia dianggap baik dan bukan ter-lihat sebagai seorang pengecut?

Anak durhakaMengapa seorang suami melarang

seorang istri melakukan pekerjaan yangdisukainya? Bukankah kalau itu benar

cinta, seharusnya ia mendukung danmemberi kesempatan untuk mengem-bangkan kesenangannya itu menjadilebih besar?

Mengapa ayah saya sampai berpikirbahwa perancang mode itu tidak akanmenjamin bahwa saya bisa hidup ber-kecukupan di masa tua kalau sean-dainya saya bisa mencicipi masa tua?Apakah cinta itu sebisa mungkin di-terjemahkan ke dalam angka alias ber-

ke c u k u p a n ?Kalau cinta itu benar tidak menyiksa,

dan tidak menimbulkan kekesalan,mengapa ayah tidak mendukung sayamenjadi pelari yang juga tidak akanmembuat dompetnya kosong melom-pong? Apakah cinta itu adalah sebuahbentuk penguasaan dari salah satumakhluk kepada makhluk lainnya?Meski yang dikuasai memiliki rasa cin-ta sehingga rela untuk dikuasai?

Apakah penguasaan itu terjadi agaryang dikuasai tak akan mengalahkan-nya di suatu hari nanti? Sehingga sejakawal ia sudah dikebiri sebelum wak-tunya dengan senjata yang disebut cin-ta? Begitu?

Teman saya pacaran dengan seoranglaki-laki biasa. Kalau saya katakanbiasa itu maksudnya penampilannyabiasa, kekayaannya biasa. Tetapi orang-tua tidak setuju karena alasan matapencaharian pacarnya itu tidak men-jamin masa depan yang bebas kesu-raman.

Sampai sekarang hubungan itu ma-sih berlangsung tetapi tak bisa ke ma-na-mana. Alasan orangtua tidak me-nyetujui, karena orangtua yang takingin melihat anaknya sengsara di masayang akan datang. Karena cintalah me-

reka tidak setuju.Saya sampai berpikir setelah men-

dengar cerita klise itu. Apakah cinta itumampu membuat seseorang menjadiperamal nasib manusia lainnya? Bisamemprediksi bahwa masa depan suramitu milik mereka? Bagaimana kalaumereka keliru? Bagaimana kalau temansaya menikah dengan laki-laki luar bi-asa yang disetujui orangtuanya, danbeberapa tahun kemudian jatuh mis-kin?

Ketika saya protes akan alasan ayahsaya di atas, ia bilang begini. ”Saya iniorangtua, saya hidup lebih lama darikamu, saya tahu yang terbaik untukkamu?” Waktu saya tambah besar sayabertanya dalam hati. Benarkah hidupyang lebih lama, jam terbang yang lebihlama menjadi sebuah alasan tepat me-maksa kehendak orang lain?

Apakah hidup dan jam terbang lebihlama menjamin bahwa perjalanan hi-dup seseorang itu akan semuanyasama? Sayang ayah saya sudah me-ninggal dunia. Seandainya belum, se-karang ini saya pasti sudah ada dalamdiskusi panjang yang mungkin tak akanada habisnya, dan bisa jadi ia akanberpikir anak di depannya ini sungguhdurhaka.

KEJUJURAN SALLY KOESWANTO

” Malam itu, di akhir Maret lalu, Sallymenggelar peragaan busana koleksinyayang bertajuk ”S ay a ” untuk menandaikembalinya ia di panggung mode In-donesia. Perhelatan yang digelar di Ho-tel Raffles, Jakarta, itu diawali denganacara santap malam bersama. Atmosferyang romantis sekaligus melankolikmenaungi suasana ballroom yang ditatam a n i s.

”Saya memang orangnya melanko-lik,” ujar Sally tertawa.

Selama dua tahun absen dari duniamode, Sally mengaku tidak menjengukperkembangan mode apa pun. Diamemilih untuk melakukan perjalananke sejumlah tempat. Berkelanamemberi kesempatan kepada jiwanyauntuk lebih reflektif terhadap dirinyasendiri.

Sally menyadari, dunia mode adalahdunia yang penuh dengan euforia pu-ja-puji, tetapi pada saat yang bersa-maan pelakonnya dihantui rasa tidakaman dengan keniscayaan atas ter-jadinya perubahan yang terus-mene-rus. Kehadiran bakat-bakat baru yang

bagus, misalnya, bisa menjadi salah satupemicu terbitnya rasa tidak aman ter-sebut.

”Saya dulu bisa terintimidasi denganbibit baru yang bermunculan, yanglebih jago-jago, pintar. Saya yakin se-mua (desainer) punya perasaan yangsama, tinggal mau mengakui atau tidak.Saya mikir, kalau masih terintimidasibegitu, berarti saya enggak cukup se -c u re dengan diri sendiri, belum merasapenuh dengan diri sendiri, padahal itusumber kebahagiaan sesungguhnya. Se-karang, saya bisa merasa lebih senangdengan kehadiran bakat baru, ingin bisamenginspirasi dan berkontribusi dalamreg enerasi,” ucap Sally.

Sally sebelumnya dikenal denganrancangan yang bernuansa provokatif,dengan semangat pembangkangan (re -bellious) dan sisi kekuatan dari diriperempuan. Bagi Sally, ini salah satubentuk refleksi dari kehidupanmasa lalunya yang tumbuh dalam ke-luarga broken home. Masa-masa sulityang mendidiknya menjadi perempuanyang harus mandiri dan kuat. Padahal,

Sally merasa, dirinya juga punya sisirapuh.

Momentum baruKeputusannya untuk kembali ke

panggung mode kali ini, bagi Sally,harus dijadikan momentum bagi di-rinya untuk lebih jujur dalam berkarya.Sally tak lagi enggan menunjukkan si-si-sisi ”rapuh” dalam koleksinya, sisikehalusan dan feminitas dalam diriperempuan.

”Kenapa saya dulu selalu berusahamenampilkan bahwa saya sosok yangkuat dalam pandangan orang lain. Pa-dahal, dalam banyak hal tidak. Efeknyadalam koleksi saat ini, saya lebih toned ow n , lebih rileks,” ujar Sally.

Sally pun mempersiapkan koleksi-nya sepenuh hati sejak September2014. Pengerjaan dimulai akhir Novem-ber 2014. Meskipun sebenarnya ada 25tampilan yang semula hendak diper-agakan, 23 tampilan busana yang akhir-nya dihadirkan dalam peragaan. Sallyenggan membuat karyawannya haruslembur lebih lama untuk menuntaskan

semua busana yang menuntut kete-latenan pengerjaan tangan.

Dari 23 tampilan busana itu, Sallymembagi dalam tiga kategori palet war-na, yakni putih, nude gold, dan hitam.Ketiga warna utama itu merepresen-tasikan makna tersendiri bagi Sally. Pu-tih mewakili kejujuran serta ketulusan,hitam mewakili penerimaannya padamisteri kehidupan sekaligus penerima-annya pada masa-masa kelam dalamhidup. Sementara warna emas tak se-kadar merepresentasikan kejayaan dankemenangan, tetapi juga keteguhan da-lam merawat integritas diri.

Siluet potongan dari koleksi ”S ay a ”tetap menampilkan ciri ikonik dariSally, terutama korset dan h a r n e ss . Sallymempertegas kembali ciri khas siluetrancangannya itu dalam koleksi ”S ay a ”.Nuansa provokatif yang terselubungteredam oleh material bahan sertapernik-pernik aksen yang mengembus-kan pula sisi kerapuhan dan kehalusan.Seperti aplikasi mutiara jepang, kristal,manik-manik, dan kelopak mawar yangdirangkai sendiri dari sequins.

Beragamnya material bahan yang di-gunakan juga berkontribusi memper-kaya dimensi pada koleksinya. Mulaidari bahan french lace, sutra gazar,jacquard dengan tekstur timbul, sutracrepe, satin lurex, sifon lurex, sutrasifon, hingga kulit kambing yang lem-but, ular piton, serta buaya.

Sally bereksperimen juga dengankonstruksi yang baru kali ini dilaku-kannya, yaitu dengan menganyam talikulit tanpa landasan dengan pola si-lang-menyilang menjadi sebuah gaun,h a r n e ss , dan korset. ”Konstruksi iturumit sekali dan lama pengerjaannya,”kata Sally.

Bagi Sally, mode adalah sebuah kre-asi yang harus berkarakter. Bukan se-kadar soal siluet atau seberapa banyakornamen yang ditempelkan. Akantetapi, yang penting adalah bagaimanakarya tersebut membawa semangat,jiwa, dan identitas yang orisinal. Karyayang dikerjakan dengan hati, profe-sionalitas, serta rasa cinta yang solid.

”Saya merasa terlahir kembali,” kataS a l l y.

Setelah dua tahun hibernasi dari dunia mode, SallyKoeswanto memutuskan kembali pada panggilan hatisesungguhnya. Kini, ia berusaha lebih jujur memaknai

kembali dirinya sendiri bersama koleksi ”S aya”.

OLEH SARIE FEBRIANE

Dunia f ashion adalahdunia yang selaluterancam denganket i d a k b a h a g i a a n . . ”kata Sally.

Pernyataan singkat Sally itu sepertimembungkus seluruh latar belakangatas keputusannya dua tahun lalu ke-tika menyatakan mundur dari duniamode Tanah Air. Perancang mode asalSurabaya, Jawa Timur, ini beralasansaat itu ingin menata ulang prioritashidupnya serta ingin memiliki lebihbanyak waktu untuk keluarga.

”Sejujurnya, karena saat itu saya ti-dak merasa berbahagia dengan diri sayasendiri, karena saya tidak sepenuhnyajujur dengan diri saya sendiri. Mungkinbuat sebagian orang kesannya drama,”kata Sally saat berbicara di panggung,sebelum peragaan busana dimulai.

FOTO -FOTO: KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Karya Sally Koeswanto