Upload
hamien
View
262
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
i
MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN
PENDUKUNG PENGEMBANGAN INDUSTRI KAKAO
BERBASIS KINERJA DRIVER RANTAI PASOK
YUDI WIDAYANTO
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
ii
iii
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul “Model Perumusan
Kebijakan Pendukung Pengembangan Industri Kakao Berbasis Kinerja Driver
Rantai Pasok” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2013
Yudi Widayanto
NIM F361080021
ii
RINGKASAN
YUDI WIDAYANTO. Model Perumusan Kebijakan Pendukung Pengembangan
Industri Kakao Berbasis Kinerja Driver Rantai Pasok. Dibimbing oleh
MACHFUD, ERLIZA HAMBALI dan SUKARDI
Indonesia sebagai penghasil biji kakao terbesar ketiga di dunia saat ini
sedang berupaya meningkatkan nilai tambah dari komoditi ini melalui
pengembangan industri kakao. Berbagai kebijakan dan program telah
dilaksanakan untuk mencapai daya saing industri kakao. Namun, kompleksitas
pengembangan industri membuat tidak mudahnya merumuskan kebijakan yang
efektif. Banyak faktor yang berpengaruh dalam pengembangan industri kakao di
antaranya adalah adalah manajemen rantai pasok dan infrastruktur.
Faktor rantai pasok menjadi pertimbangan penting dalam pengembangan
industri kakao di Indonesia, karena secara geografis kegiatan agroindustri kakao
tersebar luas di berbagai pulau di wilayah Indonesia. Dalam manajemen rantai
pasok driver (faktor penggerak) logistik sangat mempengaruhi keputusan
perusahaan untuk melakukan ekspansi atau penambahan kapasitas. Selain itu,
aspek aliran informasi dan pilihan cara pengadaan juga menjadi pertimbangan
yang mempengaruhi pengembangan industri. Untuk mengetahui kinerja rantai
pasok diperlukan sistem pengukuran yang mampu mengevaluasi kinerja rantai
pasok secara holistik.
Pengukuran kinerja pada level perusahaan sudah banyak dilakukan seperti
metode SCOR dan Balance Score Card, namun pengukuran kinerja pada level
antar perusahaan masih sangat jarang. Penelitian ini bertujuan merancang suatu
model perumusan kebijakan pendukung pengembangan industri kakao berbasis
kinerja driver rantai pasok. Adapun tahapan untuk mencapai tujuan tersebut
adalah: a) Menguraikan permasalahan dan kebijakan perkakaoan Indonesia; b)
Menganalisis rantai pasok kakao sebagai upaya pengembangan industri kakao; c)
Menguraikan faktor penggerak (driver) kinerja rantai pasok kakao; dan d)
Mendesain model perumusan kebijakan yang didasarkan pada pengukuran kinerja
driver rantai pasok industri kakao. Industri kakao dalam penelitian ini dibatasi
pada industri pengolahan biji kakao yang menghasilkan cocoa cake, cocoa liquor,
cocoa butter, dan cocoa powder (kakao olahan).
Permasalahan utama perkakaoan Indonesia adalah: produktivitas kebun
masih rendah, mutu biji belum standar, kapasitas industri rendah, konsumsi coklat
per kapita rendah, kurangnya dukungan infrastruktur jalan dan pasokan energi
untuk pembangunan industri. Dari identifikasi kebijakan untuk mengatasi masalah
pengembangan industri kakao ternyata kebijakan sektor keuangan khususnya
bidang perpajakan memiliki peran yang dominan. Hal ini dapat ditunjukkan dari
persandingan antara kronologi keluarnya kebijakan dan naik turunnya
perkembangan jumlah industri kakao yang berbanding lurus. Hasil analisis rantai
pasok menunjukkan pengembangan industri kakao perlu jaringan kemitraan
dengan petani. Metode pembangunan demplot di sentra produksi disertai
penyediaan penyuluh lapangan terbukti menghasilkan biji kakao berkualitas yang
mendukung keberlanjutan pasokan biji kakao industri.
Pengukuran kinerja rantai pasok dalam penelitian ini dibagi menjadi dua
aspek yaitu efisiensi dan responsivitas. Masing-masing aspek memiliki 5 buah
iii
driver yaitu fasilitas, persediaan, transportasi, sourcing, dan informasi. Untuk
memperoleh ukuran yang lebih operasional dilakukan dekomposisi driver menjadi
sub driver rantai pasok berdasarkan literatur yang relevan. Dalam penelitian ini
berhasil diuraikan 35 sub driver untuk aspek efisiensi dan 27 sub driver untuk
aspek respsonsivitas. Selanjutnya berdasar uraian sub driver tersebut disusun
kuesioner skor kinerja rantai pasok untuk perusahaan dan kuesioner pembobotan
yang diisi oleh pakar.
Hasil analisis menunjukkan driver fasilitas, inventori dan sourcing
cenderung mengutamakan responsivitas. Sementara driver transportasi dan
informasi lebih cenderung mengutamakan efisiensi. Perhitungan dengan Weighted
Scoring Model menghasilkan nilai indeks kinerja rantai pasok total sebesar 29.75.
Nilai ini relatif rendah jika dibandingkan nilai ideal sebesar 45.00 yang
mengindikasikan perlunya pembenahan atau perbaikan segera pada seluruh driver.
Secara berurutan prioritas driver yang perlu penanganan segera adalah fasilitas,
inventori, informasi, transportasi, dan sourcing.
Berdasarkan kinerja driver rantai pasok, model perumusan kebijakan
penelitian ini menghasilkan 11 kebijakan pemerintah dan 9 kebijakan perusahaan
dalam pengembangan industri kakao. Dengan menggunakan teknik ISM, hasil
studi ini menunjukkan bahwa kebijakan pemberian insentif fiskal untuk
pengembangan industri, kebijakan perluasan penerapan wajib SNI biji kakao,
kebijakan perluasan jaringan telekomunikasi, dan kebijakan penghapusan
hambatan perdagangan antar daerah merupakan empat kebijakan yang
keberhasilannya sangat ditentukan oleh kebijakan lain di level bawahnya. Dalam
konteks kebijakan pengembangan industri kakao posisi kebijakan insentif fiskal
adalah kebijakan penentu akhir berhasilnya pengembangan industri kakao dan
bukan sebagai pendorong utama.
Keberhasilan kebijakan peningkatan produktivitas kebun kakao sangat
membutuhkan dukungan/dorongan kerjasama yang sinergis antara pemerintah dan
industri dalam akan memberdayakan petani kakao hingga dihasilkan kebun kakao
yang produktif dan bermutu sesuai tuntutan industri/ekspor. Selanjutnya
keberhasilan kebijakan kerjasama penyuluhan dan peningkatan produktivitas
diharapkan dapat menjadi pola revitalisasi lembaga penyuluhan pemerintah
melalui serangkaian kegiatan penyuluhan dan pendampingan yang kreatif.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kebijakan perbaikan infrastruktur
jalan merupakan kebijakan yang paling dasar yang memberikan dorongan pada
kebijakan lainnya. Bersama-sama dengan kebijakan infrastruktur lainnya yaitu
perbaikan infrastruktur dan manajemen pelabuhan, dan pemenuhan pasokan
infrastruktur energi (listrik dan gas) diharapkan menjadi pendorong kebijakan
lainnya dalam pengembangan industri kakao. Kebijakan tersebut tidak hanya
berupa pembangunan fisik infrastruktur, namun juga non fisik yang lebih
mendorong penguatan dan pemberdayaan pemasok kakao yaitu petani kakao.
Validasi model dengan metode face validity menunjukkan bahwa kebijakan-
kebijakan yang tersusun dalam rumusan kebijakan serta model struktur yang
dihasilkan dapat menggambarkan apa yang seharusnya dilakukan untuk
mengembangkan industri kakao di Indonesia.
Kata Kunci : industri kakao, driver rantai pasok, model perumusan kebijakan,
ISM, AHP
iv
SUMMARY
YUDI WIDAYANTO. A Model for Supporting Policy Formulation of
Cocoa Industry Development Based on Supply Chain Driver Performance. Under
Direction of MACHFUD, ERLIZA HAMBALI and SUKARDI
As the third largest cocoa beans producer in the world Indonesia is currently
working to improve the added value of these commodities through the
development of the cocoa industry. Various policies and programs both upstream
and downstream sectors have been implemented to achieve industrial
competitiveness cocoa. However, the complexity of the development of the
industry makes it difficult to formulate effective policies. Many factors influence
the development of the cocoa industry. Previous studies one of the factors in the
development of the cocoa industry is a supply chain management and
infrastructure.
Supply chain factor is an important consideration in the development of
Indonesian cocoa industries, because geographically widespread cocoa activities
in various islands in Indonesia. Raw material production of cocoa beans is mostly
on the island of Sulawesi, Sumatra, and Kalimantan, while for manufacturing
activity is still concentrated in Java and some parts of Sulawesi.
In supply chain management logistics aspects such as location, capacity and
flexibility of its facilities, inventory, and equipment and transportation costs
greatly affect the company's decision to expand or adding capacity. In addition, an
aspect of the flow of information and the selection method of procurement is also
a consideration that affects the development of the industry. Aspects mentioned
above have referred to as drivers (driving forces) that will determine the
performance of the supply chain. To determine the performance of the supply
chain required measurement system that is able to evaluate the performance of the
supply chain holistically. However, choosing the system of supply chain
performance measures is quite difficult due to the complexity of the system. In
addition, the design of supply chain performance measurement is very diverse.
Performance measurement at the firm level has been done such as SCOR
method and Balance Score Card. But, the problem was how to measure an inter-
company level performance of the supply chain. The development of the cocoa
industry in Indonesia needs a supply chain performance measurement at the
industry level (inter-company) to support the government's role in creating a
climate that was more conducive to the development of the cocoa industry.
This study aims to design a model of cocoa industry development policy
formulation based on driver of supply chain performance. While the stages
include: a) analyses on policy issues and Indonesian cocoa; b) analysing the cocoa
supply chain as an effort to develop the cocoa industry, c) Describe the driver
cocoa supply chain performance, and d) Measuring supply chain performance
cocoa industry. Cocoa industry was limited to the processing industry that
produces cocoa beans, cocoa cake, cocoa liquor, cocoa butter, and cocoa powder.
The supply chain analysis shows that the cocoa industry development needs
a partnership between industry and farmers/cooperative. Development of a pilot
project in the production area with the provision of extension workers was proven
to produce high quality cocoa beans that support a sustainable supply of cocoa for
v
industry. While the mechanism for fair and free barriers of trade should be
supported by government policy in terms of standard scales (metrology), trade
monitoring, road infrastructure improvement, and deregulate fees/levies.
The decomposition of supply chain driver obtained 5 drivers of efficiency
and responsiveness aspects. These five drivers are facilities, inventory,
transportation, sourcing, and information. This study has been able to break down
into 35 sub drivers for efficiency and 27 sub drivers for responsiveness.
Tendency analysis results show that the facilities, inventory and sourcing
driver tend to prioritize responsiveness. While the transportation and information
driver tend to give priority to efficiency. The Weighted Scoring Model calculation
produces Supply Chain Performance Index score total of 29.75. This value was
relatively low compared to the ideal value of 45.00 which indicate the need for
immediate improvement on the entire drivers.
Based on the performance of supply chain drivers, this study has been
formed twelve government‟s policies and eight firm‟s policies for the
development of the cocoa industry. Using ISM technique the policy formulation
previously unknown structure can be structured and have relationships clearer.
The results of this study indicate that the fiscal incentives policy, the
expansion of the application of SNI (Indonesian National Standard) cocoa beans,
telecommunication network expansion, and the policy of removal of trade barriers
were the four policies that its success were depend on other policies. In the cocoa
industry development context, the fiscal incentives policy was the final
determinant of successful policy. This was in line with the fiscal policy goal to
support national economic policy.
The improvement of the cocoa productivity urgently needs to encourage
cooperation between government and industry in the field of extension services.
Furthermore, the pattern of cooperation could be adopted for the government
revitalization extension services through a series of outreach activities and
creative mentoring.
This study indicates that improvements of road infrastructure policy were
the basic policies that will provide encouragement and support to other policies.
Organized with the other infrastructure policies such as the road infrastructure
(including bridges), infrastructure and improved management of the port, and
fulfillment supply of energy (electricity and gas) was expected to lead other
policies. The policy was not just a physical infrastructure development, but also
non-physical which encourage the strengthening and empowerment of the cocoa
farmers.
A model for supporting policy formulation of cocoa industry development
was validated using face validity method by experts. The results show that the set
of formulating policy and the structural models have been able to describe what
should be done to develop the cocoa industry in Indonesia. Emphasizing on using
supply chain driver performance as a basis for policy formulation has been
assessed by experts to meet the real demands of industrial development faced by
existing investor or industry owner.
Keywords: cocoa industry, supply chain driver, performance, policy formulation,
ISM, AHP.
vi
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
i
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Teknologi Industri Pertanian
MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN
PENDUKUNG PENGEMBANGAN INDUSTRI KAKAO
BERBASIS KINERJA DRIVER RANTAI PASOK
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
YUDI WIDAYANTO
ii
Penguji pada Ujian Tertutup: Dr Ir Yandra Arkeman
Dr Ir Undang Fajar
Penguji pada Ujian Terbuka: Prof Dr Ir Eriyatno, MSAE
Dr Ir Dedi Mulyadi
iii
Judul Disertasi : Model Perumusan Kebijakan Pendukung Pengembangan Industri
Kakao Berbasis Kinerja Driver Rantai Pasok
Nama :Yudi Widayanto
NIM : F361080021
Disetujui Oleh
Komisi Pembimbing
Dr Ir Machfud, MS
Ketua
Prof Dr Erliza Hambali Dr Ir Sukardi, MM
Anggota Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana
Teknologi Industri Pertanian
Dr Ir Machfud, MS Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 22 Juli 2013
Tanggal Lulus:
iv
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2010 ini ialah
pengembangan industri kakao, dengan judul Model Perumusan Kebijakan
Pendukung Pengembangan Industri Kakao Berbasis Kinerja Driver Rantai Pasok.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Machfud MS selaku
ketua komisi pembimbing serta kepada Ibu Prof Dr Erliza Hambali dan Bapak Dr
Ir Sukardi MM selaku anggota komisi pembimbing atas bimbingan dan
pengarahannya. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ketua
dan Sekretaris Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Dekan Fakultas
Teknologi Pertanian dan Sekolah Pascasarjana IPB beserta staf administrasinya
yang telah banyak membantu kelancaran studi penulis di IPB. Di samping itu,
penghargaan penulis sampaikan kepada Badan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi yang telah mensponsori kegiatan belajar dan penelitian penulis.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Latief Setiono selaku
Direktur PT MCI yang telah memberi kesempatan penulis bergabung dalam
kajian kebijakan perkakaoan di Sulawesi Selatan serta mengijinkan penulis
menggunakan datanya untuk disertasi ini. Tak lupa penulis juga sampaikan terima
kasih kepada Bapak Dr Undang Fajar dan Bapak Dr Bambang Dradjat dari PT
Riset Perkebunan Nusantara (RPN), Bapak Dr Misnawi dari Puslit Kopi dan
Kakao Indonesia (ICCRI), Bapak Dr Andi Fahmi pimpinan Program Studi MPKP
– FE – UI, dan Bapak Monty S, PhD atas masukan dan diskusi yang memperkaya
penelitian ini. Penghargaan juga penulis sampaikan kepada Bapak Sindra Wijaya
SE selaku Direktur Utama PT Bumi Tangerang Mesindotama (BT Cocoa) dan
Direktur Eksekutif AIKI, Ibu Ir Mima Rangkuty MBS dari Kementerian
Perindustrian, Ibu Musdalifah dari Kemenko Perekonomian atas informasi dan
data yang diberikan. Penulis juga ucapkan terima kasih kepada Saudara Andi
Luxbinatur atas bantuannya dalam proses pencarian literatur penulisan disertasi
ini.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, istri, dan anak-
anak tercinta kami serta seluruh keluarga, atas doa dan curahan kasih sayangnya.
Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada semua pihak yang tidak dapat
penulis sebutkan satu persatu, atas masukan, saran, dan berbagai bentuk bantuan
yang diberikan kepada penulis dalam mengikuti program studi Doktor hingga
selesainya penulisan disertasi ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2013
Yudi Widayanto
v
DAFTAR ISI
PRAKATA iv
DAFTAR ISI v
DAFTAR TABEL vii
DAFTAR GAMBAR viii
DAFTAR LAMPIRAN ix
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 4
Manfaat Penelitian 4
Ruang Lingkup Penelitian 4
Kebaruan Penelitian 5
Sistematika Penulisan 5
2 TINJAUAN PUSTAKA 6
Pengertian Kebijakan Publik 6
Perumusan Kebijakan Publik 6
Pengertian Model 7
Model Perumusan Kebijakan 8
Perumusan Kebijakan Pengembangan Industri 10
Rantai Pasok dan Manajemen Rantai Pasok 11
Klasifikasi Industri Pengolahan Kakao Berdasarkan Tahap Pengolahan 12
3 METODE 14
Kerangka Pemikiran 14
Teknik Pengumpulan Data, Informasi dan Pengetahuan 15
Verifikasi dan Validasi 16
4 PERMASALAHAN DAN KEBIJAKAN PERKAKAOAN INDONESIA 18
Abstrak 18
Pendahuluan 18
Metode Penelitian 19
Hasil dan Pembahasan 21
Permasalahan Perkakaoan Indonesia 21
Sektor-Sektor yang Terkait Pengembangan Industri Kakao Indonesia 27
Simpulan 35
5 ANALISIS RANTAI PASOK KAKAO UNTUK PENGEMBANGAN
INDUSTRI PENGOLAHAN KAKAO DI SULAWESI SELATAN 37
Abstrak 37
Pendahuluan 37
vi
Metode Penelitian 39
Hasil dan Pembahasan 41
Simpulan 55
6 FAKTOR PENGGERAK (DRIVER) KINERJA EFISIENSI DAN
RESPONSIVITAS RANTAI PASOK INDUSTRI KAKAO 57
Abstrak 57
Pendahuluan 57
Tinjauan Pustaka 58
Metodologi Penelitian 64
Hasil dan Pembahasan 67
Simpulan 79
7 MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI
KAKAO 80
Abstrak 80
Pendahuluan 80
Metode Penelitian 82
Hasil dan Pembahasan 87
Simpulan 118
8 PEMBAHASAN UMUM 120
9 SIMPULAN DAN SARAN 127
Simpulan 127
Saran 129
DAFTAR PUSTAKA 130
LAMPIRAN 138
vii
DAFTAR TABEL
1 Aktivitas fungsional perumusan kebijakan model O‟Jones ............................. 9
2 Kriteria perumusan kebijakan industri ........................................................... 10
3 Keputusan driver kinerja rantai pasok menurut tingkat keputusan ............... 12
4 Kebijakan perkakaoan berdasarkan pelaku dan proses agroindustri ............. 26
5 Harga referensi Bea Keluar biji kakao ........................................................... 30
6 Bentuk dukungan dalam produksi biji kakao ................................................. 45
7 Perhitungan inefisiensi aliran barang ............................................................. 52
8 Inefisiensi rantai pasok akibat informasi harga, mutu dan perilaku
perdagangan ................................................................................................... 53
9 Upaya perbaikan rantai pasok ........................................................................ 54
10 Perbandingan harga tingkat petani yang berlaku di beberapa kabupaten
di Provinsi Sulawesi Selatan .......................................................................... 55
11 Perbandingan rantai pasok efisien dan responsif ........................................... 61
12 Perbandingan keputusan/strategi efisiensi dan responsivitas menurut
driver rantai pasok (Hugos 2010)................................................................... 61
13 Perbandingan strategi efisiensi dan responsivitas menurut aspek dalam
rantai pasok (Ravindran dan Warsing 2012) ................................................. 62
14 Dekomposisi driver fasilitas dalam aspek efisiensi ....................................... 69
15 Dekomposisi driver inventori dalam aspek efisiensi ..................................... 71
16 Dekomposisi driver transportasi dalam aspek efisiensi ................................. 72
17 Dekomposisi driver sourcing dalam aspek efisiensi ...................................... 73
18 Dekomposisi driver informasi dalam aspek efisiensi .................................... 73
19 Dekomposisi driver fasilitas dalam aspek responsivitas ................................ 75
20 Dekomposisi driver inventori dalam aspek responsivitas .............................. 76
21 Dekomposisi driver transportasi dalam aspek responsivitas ......................... 77
22 Dekomposisi driver sourcing dalam aspek responsivitas .............................. 78
23 Dekomposisi driver informasi dalam aspek responsivitas ............................. 78
24 Nilai dan definisi pendapat kualitatif dari skala perbandingan Saaty ............ 85
25 Populasi industri kakao Indonesia tahun 2011 ............................................... 86
26 Hasil dekomposisi driver kinerja aspek efisiensi ........................................... 88
27 Hasil dekomposisi driver kinerja aspek responsivitas ................................... 89
28 Hasil pembobotan driver kinerja rantai pasok dengan AHP .......................... 90
29 Rumusan Kebijakan berdasar kinerja rantai pasok ........................................ 95
30 Hubungan kontekstual antar sub-elemen pada teknik ISM ......................... 104
31 Rumusan kebijakan pemerintah dalam pengembangan industri kakao ....... 105
32 Iterasi ke-1 ................................................................................................... 110
33 Iterasi ke-2 ................................................................................................... 111
34 Iterasi ke-3 ................................................................................................... 111
35 Iterasi ke-4 ................................................................................................... 111
36 Iterasi ke-5 ................................................................................................... 112
37 Iterasi ke-6 ................................................................................................... 112
38 Iterasi ke-7 ................................................................................................... 112
viii
DAFTAR GAMBAR
1 Kebijakan publik sebagai sebuah proses (Nugroho, 2009) .............................. 9
2 Pohon industri kakao ...................................................................................... 13
3 Kerangka pikir penelitian ............................................................................... 14
4 Kerangka pikir penelitian ............................................................................... 19
5 Tahapan perumusan masalah .......................................................................... 20
6 Produktivitas perkebunan kakao rakyat ......................................................... 22
7 Luas lahan dan produksi biji kakao (ribu ton/ha) ........................................... 22
8 Keterkaitan antar kebijakan pengembangan industri hilir kakao ................... 35
9 Kerangka analisis rantai pasok untuk pengembangan industri....................... 40
10 Ekspor kakao Sulawesi Selatan 2009 ............................................................. 42
11 Struktur rantai pasok kakao Sulawesi Selatan ................................................ 43
12 Aktivitas pendukung petani dalam menghasilkan biji kakao ......................... 45
13 Aktivitas perdagangan biji kakao ................................................................... 46
14 Aktivitas produksi kakao olahan .................................................................... 48
15 Kerangka desain rantai pasok menurut Chopra & Meindl (2007) ................. 59
16 Kerangka dekomposisi driver kinerja rantai pasok aspek esisiensi dan
responsivitas ................................................................................................... 65
17 Kerangka penelitian ........................................................................................ 82
18 Kerangka pengukuran kinerja rantai pasok aspek efisiensi dan
responsivitas ................................................................................................... 83
19 Struktur hirarki AHP untuk pembobotan driver dan sub-driver .................... 84
20 Grafik kinerja rantai pasok efisiensi dan responsivitas industri kakao .......... 90
21 Grafik kecenderungan efisiensi dan responsivitas industri kakao .................. 91
22 Grafik kinerja rantai pasok agregat industri kakao ........................................ 92
23 Kesenjangan kinerja driver rantai pasok industri kakao ................................ 92
24 Model konseptual perumusan kebijakan pendukung pengembangan
industri kakao berbasis rantai pasok ............................................................... 93
25 Proses penentuan kebijakan ............................................................................ 95
26 Structural self interaction matrix (SSIM) awal kebijakan pemerintah
pendukung pengembangan industri kakao ................................................... 106
27 Matriks reachability ..................................................................................... 106
28 Revisi SSIM final (memenuhi syarat transitivity rule) ................................ 107
29 Hasil matriks reachability final dan interpretasinya .................................... 107
30 Matriks daya dorong–ketergantungan kebijakan pemerintah pendukung
pengembangan industri kakao ...................................................................... 108
31 Diagram model struktural kebijakan pengembangan industri kakao ........... 113
32 Skema pembahasan umum ........................................................................... 121
ix
DAFTAR LAMPIRAN
1 Kuesioner pakar ........................................................................................... 138
2 Kuesioner pengukuran kinerja efisiensi dan responsivitas rantai pasok ...... 148
3 Kuesioner penilaian kebijakan dengan ISM ................................................ 156
4 Data kinerja industri kakao aspek efisiensi .................................................. 161
5 Data kinerja industri kakao aspek responsivitas .......................................... 162
6 Jawaban pakar penilaian kebijakan pemerintah dalam pengembangan
industri kakao ............................................................................................... 163
7 Jawaban pakar penilaian kebijakan perusahaan dalam pengembangan
industri kakao ............................................................................................... 164
8 Penentuan level kebijakan pemerintah ......................................................... 165
9 Hasil matriks reachability final untuk kebijakan perusahaan ...................... 166
10 Matriks daya dorong–ketergantungan kebijakan perusahaan pendukung
pengembangan industri kakao ...................................................................... 166
11 Diagram model struktural kebijakan perusahaan dalam pengembangan
industri kakao ............................................................................................... 167
12 Industri kakao yang mulai aktif kembali...................................................... 168
13 Industri kakao yang mengalami penambahan kapasitas .............................. 168
14 Jadwal survei lapangan ................................................................................ 168
15 Informan dalam survei lapangan: ................................................................. 169
16 Narasumber, pakar dan praktisi ................................................................... 170
1
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan produsen biji kakao terbesar ketiga di dunia. Pada
tahun 2011 tercatat produksi Indonesia sebesar 459 ribu ton di bawah Pantai
Gading (1.5 juta ton) dan Ghana (1 juta ton). Akan tetapi, keberhasilan yang
dicapai di sektor hulu ini tidak dengan mudah dibawa ke sektor hilir industri
kakao. Perkembangan industri kakao Indonesia masih belum optimal mengingat
selama ini (hingga tahun 2011) sebagian besar kakao diekspor dalam bentuk
mentah dan belum diolah sehingga nilai tambah yang dihasilkan masih rendah.
Volume ekspor kakao olahan Indonesia yang pada tahun 2010 sekitar 120 ribu ton
dan naik menjadi 176 ribu ton di tahun 2011. Pencapaian ini masih jauh dari total
kapasitas terpasang industri kakao Indonesia sebesar 531 675 ton/tahun pada tahun
2010 dan 689 750 ton/tahun pada tahun 2011 (Kemenperin 2012).
Upaya pengembangan industri pengolahan kakao sudah dilakukan
pemerintah Indonesia sejak awal dekade tahun 2000-an. Namun baru pada tahun
2007 terbit kebijakan yang pro industri kakao dengan dihapuskannya PPN 10%
dan serangkaian kebijakan lainnya hingga kemudian keluar kebijakan Bea Keluar
(BK) pada tahun 2010. Upaya pemerintah tersebut perlu didukung dengan
penguatan informasi tentang apa yang diharapkan industri dan apa yang menjadi
pilihan strategi industri kakao untuk dapat berkembang.
Kebijakan pemerintah memegang peranan sentral bagi pengembangan
industri yang berbasis hasil pertanian (Agroindusri). Austin (1992) menjelaskan
bahwa iklim usaha agroindustri sangat ditentukan oleh kebijakan dan tindakan
pemerintah. Khusus di bidang perkakaoan Wahyudi et al. (2008) menyatakan
bahwa peranan perumusan strategi dan kebijakan pemerintah menjadi kunci
keberhasilan pengembangan industri kakao.
Perumusan kebijakan merupakan salah satu tahapan penting dalam proses
pembuatan kebijakan. Perumusan kebijakan merupakan proses yang secara
spesifik ditujukan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan khusus (Winarno
2002). Penggunaan data dan fakta yang komprehensif dan peran para ahli,
peneliti, dan akademisi sangat penting untuk memberikan landasan pengetahuan
yang memadai dalam perumusan kebijakan (Herawati 2011).
Kebijakan industri (industrial policy) pada dasarnya merupakan kelompok
kebijakan yang tujuan utamanya adalah mendorong perkembangan industri
tertentu (Taufik 2005). Dalam upaya mendorong pengembangan industri perlu
diketahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhinya. Suprihatini et al. (2004)
telah meneliti dan mengukur faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
pengembangan industri di sektor perkebunan, salah satu dari 10 faktor yang
berpengaruh penting adalah manajemen rantai pasok dan infrastruktur.
Rantai pasok menjadi pertimbangan penting dalam pengembangan industri
kakao di Indonesia, karena kegiatan di dalam setiap tahapan agroindustri kakao
tersebar di berbagai pulau di wilayah Indonesia yang luas. Kegiatan produksi
bahan baku biji kakao tersebar di pulau Suwawesi, Sumatera, Kalimantan, dan
Jawa, sementara untuk untuk kegiatan pengolahan selama ini masih terkonsentrasi
di bagian barat pulau Jawa dan sebagian kecil di Sulawesi. Aspek-aspek logistik
2
(logistic driver) seperti fasilitas, persediaan, transportasi, serta aspek-aspek lintas
fungsi (cross-functional driver) yang terdiri dari informasi, sourcing, dan harga
merupakan elemen-elemen dalam rantai pasok sangat mempengaruhi
pengembangan agroindustri kakao Indonesia. Di samping itu, karakteristik kakao
yang merupakan komoditas global membuat pengelolaan dan pemanfaatannya
tidak bisa dilepaskan dari jaringan rantai pasok internasional. Dalam konteks
global ternyata industri kakao sangat tersentralisasi, dimana hanya sekitar 10
perusahaan multinasional yang mendominasi 70% industri pengolah kakao dunia.
Cargill, ADM, dan Barry Callebaut adalah tiga perusahaan pengolah kakao
terbesar dunia. Bukti bahwa keterkatain itu terjadi adalah bahwa sebagian besar
industri pengolah kakao besar juga terlibat dalam perdagangan kakao
internasional (Thomas 2011).
Selain itu, pengembangan industri sangat ditentukan oleh daya tarik
investasi berupa faktor return dan risiko dimana investasi dalam industri kakao
sangat rentan terhadap risiko rantai pasok. Alam (2009) menunjukkan bahwa
investasi asing langsung sangat dipengaruhi oleh kemampuan rantai pasok suatu
negara. Sementara itu CSP (2010) mengungkap kebijakan pengembangan industri
kakao Indonesia kurang mencapai sasarannya karena kurangnya koordinasi
kebijakan pusat dan daerah, kurangnya pemahaman terhadap kemampuan pelaku
rantai pasok, serta tidak tepatnya pemilihan teknologi dan skala industri yang
direncanakan.
Kompleksitas permasalahan yang ditandai dengan dinamika rantai pasok
industri kakao yang tidak terakomodir dalam kebijakan pemerintah, maka
kebijakan yang dikeluarkan tidak bisa optimal. Studi FAO menyatakan bahwa
pengembangan agroindustri membutuhkan respon kebijakan yang sehat untuk
mengoptimalkan potensi dalam mencapai keuntungan rantai pasok dan
mengurangi risiko (FAO 2009). Tuntutan dunia akan keamanan dan kualitas
pangan, menjadikan aspek standar semakin memainkan peran fundamental dalam
organisasi rantai pasok (Busch 2000; Henson dan Reardon 2005; FAO 2009). Hal
ini sesuai dengan dorongan FAO terhadap kebijakan pengembangan industri yang
menyatakan :
“Industrial development policy should not add to the risk of entrepreneurs,
but encourage the application of sound, proven methods for the production
of useful goods” (FAO 2009).
Untuk kemudahan dan efektivitas di tengah kompleksitas perumusan
kebijakan, maka kehadiran suatu model perumusan kebijakan yang mampu
mengakomodir tuntutan pelaku sangat diperlukan. Beberapa model perumusan
kebijakan berbasis rantai pasok sudah dikembangkan (Arshinder et al. 2008;
Beheshti 2010; dan Manuj dan Sahin 2011). Namun, model tersebut merupakan
model pengambilan keputusan manajerial pada sebuah organisasi/perusahaan.
Sementara untuk model yang terintegrasi dengan mengembangkan metrik dan
sistem antar organisasi/ perusahaan belum banyak dilakukan (Pujawan 2005:234).
Beberapa penelitian yang relevan sebagai rujukan penulisan disertasi ini
meliputi Liu (2010), Becker et al. (2011) dan Wagner dan Neshat (2011). Ketiga
penelitian tersebut membahas penggunaan model rantai pasok antar perusahaan
dalam kaitan dengan perumusan kebijakan pemerintah. Penelitian Liu (2010)
melihat peran pemerintah selain melakukan kontrol terhadap dunia usaha, juga
secara aktif harus berinteraksi dengan dunia usaha melalui fasilitasi perdagangan
3
untuk memastikan keamanan rantai pasok. Hal ini karena peran pemerintah sangat
menentukan efisiensi dan efektivitas operasi rantai pasok. Penelitian Liu (2010)
tersebut mendiskusikan bagaimana peran pemerintah yang dalam hal ini di bidang
perpajakan menangani masalah tata kelola rantai pasok dunia usaha (bisnis)
swasta. Kedekatan penelitian Liu (2010) dengan disertasi ini adalah dalam
konteks penggunaan rantai pasok pada perusahaan swasta sebagai suatu media
bagi pemerintah menangani masalah keamanan rantai pasok.
Selanjutnya Becker et al. (2011) dalam penelitiannya tentang kebijakan
pemanfaatan biomassa hutan di Amerika Serikat menggunakan kerangka analisis
rantai pasok untuk merumuskan kebijakan untuk meningkatkan pemanfaatan
biomassa hutan. Kerangka analisis rantai pasok dalam penelitian Becker et al.
(2011) didekati dengan sinergi antara tahapan dalam rantai pasok dan kebijakan
pemerintah yang menyertainya. Namun demikian efektivitas kebijakan dalam
penelitian Becker et al.(2011) diukur dengan jumlah kebijakannya (0,1,2..dst)
bukan pada substansi kebijakan. Hal ini karena banyaknya kebijakan yang
direview, yaitu mencakup seluruh wilayah negara bagian di Amerika Serikat.
Pada bidang rantai pasok Wagner dan Neshat (2011) menggambarkan
bahwa mengukur kerentanan rantai pasok sangat penting karena kerentanan rantai
pasok tidak dapat diamati atau diukur secara langsung, melainkan ditentukan oleh
variabel yang mendorong kerentanan rantai pasok yang disebut driver kerentanan.
Oleh karena itu, perlu untuk mengukur driver, mengetahui hubungan antar driver,
dan menyusun agregasi driver untuk suatu ukuran kerentanan rantai pasok.
Mengingat tantangan dalam mengukur kerentanan rantai pasok, tujuan
utama dari penelitian Wagner dan Neshat (2011) adalah mendefinisikan konsep
kerentanan rantai pasok dan menyediakan pengukuran kerentanan rantai pasok
berupa indeks kerentanan rantai pasok (supply chain vulnerability index = SCVI),
kemudian menggunakan SCVI untuk menganalisis dan membandingkan
kerentanan rantai pasok berbagai kategori perusahaan. Kategori perusahaan dalam
penelitian tersebut didasarkan pada kinerja rantai pasok, ukuran perusahaan
(jumlah karyawan dan pendapatan penjualan), jenis produksi, logistik, jenis
perencanaan risiko rantai pasok, dan manajemen risiko rantai pasok.
Kedekatan penelitian Wagner dan Neshat (2011) dengan disetasi ini adalah
dalam hal perumusan suatu kebijakan publik dengan memperhatikan rantai pasok
agar perusahaan dapat mengoptimalkan kinerja rantai pasoknya. Dalam
tatalaksana penelitiannya pengukuran kerentanan rantai pasok menggunakan
metrik (metric) untuk mengevaluasi driver kerentanan rantai pasok. Penelitian
Wagner dan Neshat (2011) menggunakan metode grafik dalam mengukur dan
menganalisa kerentanan rantai pasok.
Dengan memperhatikan perkembangan penelitian di bidang perumusan
kebijakan berbasis rantai pasok di atas, perumusan kebijakan yang dikembangkan
disertasi ini diharapkan dapat menjawab bagaimana kebijakan yang menjamin
tercapainya kinerja rantai pasok industri kakao. Dengan rumusan kebijakan yang
baik akan tercipta iklim yang kondusif bagi berkembangnya industri kakao di
Indonesia.
4
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini secara umum adalah merancang model perumusan
kebijakan pengembangan industri kakao berbasis kinerja driver rantai pasok.
Tujuan umum tersebut dijabarkan dalam tahapan yaitu: 1) Menguraikan
permasalahan dan kebijakan perkakaoan Indonesia; 2) Menganalisis rantai pasok
kakao sebagai upaya pengembangan industri kakao; 3) Menguraikan faktor
penggerak (driver) kinerja rantai pasok kakao; dan 4) Mendesain model
perumusan kebijakan yang didasarkan pada pengukuran kinerja driver rantai
pasok industri kakao.
Manfaat Penelitian
Manfaat hasil penelitian ini adalah untuk memberikan masukan bagi para
pengambil keputusan dalam pengembangan industri kakao Indonesia. Hasil
penelitian ini secara akademis dapat menjadi rujukan dalam melakukan penelitian
kebijakan, khususnya dalam proses perumusan kebijakan.
Analisis rantai pasok kakao akan memberi gambaran tentang kompleksitas dan
persoalan dalam upaya pengembangan industri kakao Indonesia.
Instrumen dan metode pengukuran kinerja efisiensi dan responsivitas rantai
pasok untuk industri kakao merupakan suatu bentuk self assessment
perusahaan di dalam lingkup industri kakao yang bisa diterapkan guna melihat
sejauh mana kinerja rantai pasok industri secara agregat.
Rumusan kebijakan pendukung pengembangan industri kakao berbasis kinerja
driver rantai pasok diharapkan dapat memandu pemangku kepentingan pada
tataran kebijakan dalam mengakomodir tuntutan pencapaian kinerja rantai
pasok industri kakao.
Relasi antar kebijakan yang dihasilkan penelitian ini memberi gambaran
kebijakan yang menyeluruh (mencakup permasalahan rantai pasok industri
kakao), mempunyai keterkaitan dan keselarasan yang jelas antara satu
kebijakan dengan kebijakan yang lain, dan terintegrasi sehingga cukup efektif
untuk mencapai tujuan pengembangan industri kakao.
Ruang Lingkup Penelitian
Lingkup penelitian perumusan kebijakan industri sangatlah luas. Guna
memfokuskan penelitian dengan berbagai keterbatasan dan kendalanya, maka
lingkup penelitian ini dibatasi sebagai berikut:
Model yang dimaksud dalam penelitian ini adalah suatu model konseptual
yaitu model yang menunjukkan gambaran tentang entitas (entity) dan relasinya
berdasarkan proses yang diinginkan oleh organisasi. Model konseptual dapat
diterapkan untuk menggambarkan relasi antar pelaku dalam suatu sistem
kebijakan (Gürel dan Kavak 2010).
Kebijakan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kebijakan publik yaitu
suatu instrumen kebijakan yang dikeluarkan dan atau dilaksanakan oleh
instansi/lembaga pemerintah untuk mencapai sasaran dan tujuan untuk
mengembangkan industri kakao Indonesia. Sementara pengertian kebijakan
pendukung pengembangan industri kakao kebijakan yang bertujuan untuk
5
memberi iklim yang kondusif bagi efisien dan responsifnya rantai pasok
industri kakao.
Industri kakao dalam penelitian ini dibatasi pada industri antara (semi finished
industry) yaitu industri pengolahan biji kakao menjadi kakao olahan seperti:
cocoa liquor, cocoa cake, cocoa butter, dan cocoa powder. Penelitian ini
mengambil data rantai pasok kakao di Sulawesi Selatan dan Lampung,
sementara data tentang rantai pasok industri kakao di Provinsi Banten.
Kebaruan Penelitian
Kebaruan dari penelitian ini adalah :
1) Pengukuran kinerja rantai pasok multi perusahaan yang diagregasi ke level
industri (kumpulan perusahaan sejenis) kemudian digunakan sebagai bahan
perumusan kebjakan pemerintah.
2) Disertasi ini mengembangkan konsep pengukuran kinerja rantai pasok
Chopra dan Meindl (2007) dan Hugos (2010) yang didasarkan pada faktor-
faktor penggerak (driver) kinerja rantai pasok yang didekomposisi menjadi
sub driver yang lebih terukur secara operasional. Sub driver kinerja rantai
pasok yang dikembangkan dalam disertasi ini merupakan suatu bentuk
penyesuaian dari driver-driver yang relevan untuk industri kakao.
3) Model perumusan kebijakan pendukung pengembangan industri kakao
berbasis rantai pasok yang merupakan model konseptual yang
merepresentasikan proses perumusan kebijakan yang mendukung
pengembangan industri yang didasarkan pada kinerja driver rantai pasok
industri kakao.
Sistematika Penulisan
Penulisan disertasi ini menganut pola rangkaian penelitian. Pada Bab 1
diuraikan pendahuluan yang memuat latar belakang, tujuan, manfaat, ruang
lingkup, dan kebaruan penelitian. Bab 2 menyajikan tinjauan pustaka yang
bersifat umum, dilanjutkan Bab 3 membahas metode penelitian secara umum.
Uraian Bab 4 hingga Bab 7 merupakan rangkaian penelitian yang dapat berdiri
sendiri dengan uraian tinjauan pustaka dan metode yang bersifat spesifik untuk
topik yang dibahas. Pada masing-masing bab tersebut juga dibuat simpulan.
Untuk menyatukan pembahasan yang terpisah-pisah tersebut pada Bab 8 diuraikan
pembahasan umum untuk merangkai bahasan pada bab-bab sebelumnya menjadi
satu kesatuan.
Penulisan disertasi ini diakhiri dengan Bab 9 tentang simpulan secara
keseluruhan dan saran penelitian lanjutan. Daftar pustaka yang disajikan
merupakan kumpulan pustaka yang diacu oleh keseluruhan bagian disertasi ini.
6
2 TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian Kebijakan Publik
Pengertian tentang kebijakan publik sangat beragam dan terdapat banyak
ahli yang merumuskannya sesuai dengan sudut pandang masing-masing. Dye
(1981) mendefinisikan kebijakan publik sebagai whatever government choose to
do or not to do (apapun yang dipilih pemerintah untuk dilakukan atau tidak
dilakukan). Sejalan dengan pendapat tersebut, Islamy (1997) menjelaskan bahwa
kebijakan publik adalah serangkaian tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan
atau tidak dilaksanakan oleh pemerintah yang mempunyai tujuan atau berorientasi
pada tujuan tertentu demi kepentingan seluruh masyarakat. Sementara itu,
Chandler dan Plano (1988) menguraikan bahwa kebijakan publik adalah
penggunaan strategis dari sumber-sumber yang ada untuk menghilangkan
masalah-masalah negara atau pemerintah. Pengertian yang bersifat lebih umum
dikemukakan oleh Dunn (1999) bahwa kebijakan publik adalah suatu pola
ketergantungan yang kompleks dari pilihan-pilihan kolektif yang saling
tergantung, termasuk keputusan-keputusan untuk bertindak, yang dibuat oleh
badan atau kantor pemerintah.
Implikasi dari beberapa pengertian kebijakan publik di atas adalah: 1)
kebijakan publik merupakan bentuk penetapan tindakan-tindakan pemerintah; 2)
kebijakan publik itu tidak cukup hanya dinyatakan tapi juga dilaksanakan dalam
bentuk nyata; 3) Setiap kebijakan dilandasi dengan maksud dan tujuan tertentu; 4)
kebijakan publik pada hakekatnya ditujukan untuk kepentingan seluruh
masyarakat.
Perumusan Kebijakan Publik
Menurut Dunn (1999) analisis kebijakan adalah suatu aktivitas intelektual
dan praktis yang ditujukan untuk menciptakan, secara kritis menilai, dan
mengkomunikasikan pengetahuan tentang dan di dalam proses kebijakan. Proses
analisis kebijakan mempunyai lima tahap yang saling bergantung yang secara
bersama-sama membentuk siklus aktivitas intelektual yang kompleks dan tidak
linear. Adapun kelima tahapan penting menurut Dunn (1999) sebagaimana
tersebut diatas, meliputi : penetapan agenda kebijakan (agenda setting),
perumusan kebijakan (policy formulation), adopsi kebijakan, implementasi
kebijakan, dan penilaian kebijakan. Jadi, perumusan kebijakan publik merupakan
salah satu tahapan di dalam rangkaian analisis kebijakan yang bertujuan untuk
mengetahui masalah yang harus dipecahkan. Oleh karena itu untuk dapat
mengimplementasikan hasil perumusan kebijakan masih memerlukan serangkaian
tahapan.
Dalam pandangan Miller et al. (2007) tahapan perumusan kebijakan
merupakan tahap kritis dari sebuah proses kebijakan. Tahap perumusan kebijakan
melibatkan aktivitas identifikasi dan atau merajut seperangkat alternatif kebijakan
untuk mengatasi permasalahan; serta mempersempit seperangkat solusi tersebut
sebagai persiapan dalam penentuan kebijakan akhir. Selanjutnya Miller et al.
(2007) memerinci bahwa perumusan kebijakan mencoba menjawab pertanyaan :
7
Apa rencana untuk menyelesaikan masalah? Apa tujuan dan prioritas? Apa saja
keuntungan dan kerugian dari setiap pilihan? Apa eksternalitas terkait dengan
setiap alternatif?
Tujuan perumusan kebijakan adalah untuk mengetahui masalah apa yang
harus dipecahkan (Dunn, 1999). Sejalan dengan pendapatan Dunn (1999), Keban
(2004) menambahkan cara untuk mengetahui dan mendapatkan kepastian
informasi dalam perumusan kebijakan seorang analis lebih baik membuat
pertanyaan-pertanyaan yang realistis dan etis sehingga mampu melahirkan sebuah
kebijakan yang terbaik.
Pengertian Model
Definisi model adalah abstraksi dari sistem sebenarnya dalam gambaran
yang lebih sederhana serta mempunyai tingkat prosentase yang bersifat
menyeluruh, atau model adalah abstraksi dari realitas dengan hanya memusatkan
perhatian pada beberapa sifat dari kehidupan sebenarnya (Simarmata 1983).
Dalam hal yang sama Eriyatno (2003) menjelaskan bahwa suatu model adalah
suatu abstraksi dari realitas, maka pada wujudnya kurang kompleks daripada
realitas itu sendiri.
Jenis-jenis model dapat dibagi dalam lima kelas yang berbeda :
1. Kelas I, pembagian menurut fungsi: a) Model deskriptif: hanya
menggambarkan situasi sebuah sistem tanpa rekomendasi dan peramalan.
Contoh : peta organisasi; b) Model prediktif: model ini menunjukkan apa
yang akan terjadi, bila sesuatu terjadi; c) Model normatif : model yang
menyediakan jawaban terbaik terhadap satu persoalan. Model ini memberi
rekomendasi tindakan-tindakan yang perlu diambil. Contoh : model budget
advertensi, model ekonomi, model marketing.
2. Kelas II, pembagian menurut struktur: a) Model Ikonik : adalah model yang
menirukan sistem aslinya, tetapi dalam suatu skala tertentu. Contoh : model
pesawat; b) Model Analog: adalah suatu model yang menirukan sistem
aslinya dengan hanya mengambil beberapa karakteristik utama dan
menggambarkannya dengan benda atau sistem lain secara analog. Contoh :
aliran lalu lintas di jalan dianalogkan dengan aliran air dalam sistem pipa; c)
Model Simbolis : adalah suatu model yang menggambarkan sistem yang
ditinjau dengan simbol-simbol biasanya dengan simbol-simbol matematik.
Dalam hal ini sistem diwakili oleh variabel-variabel dari karakteristik sistem
yang ditinjau.
3. Kelas III, pembagian menurut referensi waktu: a) Statis: model statis tidak
memasukkan faktor waktu dalam perumusannya; b) Dinamis : mempunyai
unsur waktu dalam perumusannya.
4. Kelas IV, pembagian menurut referensi kepastian. a) Deterministik: dalam
model ini pada setiap kumpulan nilai input, hanya ada satu output yang unik,
yang merupakan solusi dari model dalam keadaan pasti; b) Probabilistik:
model probabilistik menyangkut distribusi probabilistik dari input atau proses
dan menghasilkan suatu deretan harga bagi paling tidak satu variabel output
yang disertai dengan kemungkinan-kemungkinan dari harga-harga tersebut; c)
Game: teori permainan yang mengembangkan solusi-solusi optimum dalam
menghadapi situasi yang tidak pasti.
8
5. Kelas V, pembagian menurut tingkat generalitas. a) Umum; b) Khusus.
Selain pembagian jenis model di atas, dalam proses pemodelan berkaitan
dengan model yang lebih rinci, Kristanto (2004) menyatakan perlunya dibuat
suatu model konseptual, yaitu model yang menunjukkan gambaran tentang entitas
(entity) dan relasinya berdasarkan proses yang diinginkan oleh organisasi. Model
konseptual dapat diterapkan untuk menggambarkan relasi antar pelaku dalam
suatu sistem kebijakan (Gürel dan Kavak 2010). Selain itu, model konseptual
dapat digunakan untuk menggambarkan hubungan antara pembeli dan pemasok
(Zaefarian 2012). Dalam penelitiannnya model konseptual menggambarkan
prosedur dan hubungan pembeli-pemasok yang berkeadilan.
Berdasarkan acuan pustaka tentang jenis-jeni model di atas, menurut fungsi
model yang dikembangkan dalam penelitian ini termasuk model normatif dimana
akan disarankan cara yang sebaiknya dilakukan dalam merumuskan kebijakan.
Sementara itu, secara struktur model yang disusun ini termasuk model Analog,
dimana model yang dibuat menirukan sistem aslinya dengan hanya mengambil
beberapa karakteristik utama dan menggambarkannya dengan benda atau sistem
lain secara analog.
.
Model Perumusan Kebijakan
Perumusan kebijakan adalah inti dari kebijakan publik karena di sini
dirumuskan batas-batas kebijakan itu sendiri (Nugroho 2009). Sebagai sebuah
proses, perumusan kebijakan memiliki langkah-langkah dan cara tertentu hingga
dihasilkannya suatu rumusan kebijakan yang dianggap paling sesuai dengan
permasalahan yang dihadapi. Untuk dapat merumuskan kebijakan harus
ditentukan terlebih dahulu langkah-langkah atau cara seperti apa yang akan
digunakan dalam merumuskan kebijakan. Kajian yang memfokuskan diri pada
proses pembuatan kebijakan inilah yang disebut Model Perumusan Kebijakan.
Sebagaimana pendapat Winarno (2002) yang menyatakan bahwa model
perumusan kebijakan merupakan upaya mengkaji proses pembuatan kebijakan
agar lebih mudah dipahami.
Beberapa model perumusan kebijakan dalam menggambarkan proses
pembuatan kebijakan yang sudah ada antara lain: model institusional, model elit-
massa, model inkremental, model group/kelompok, model sistem, model rasional,
model proses, model teori permainan, model demokratis, model strategis, model
deliberatif, model pilihan publik dan model “tong sampah” (garbage can model).
Nugroho (2009) telah membahas sedikitnya tiga belas macam model perumusan
kebijakan. Masing-masing model memiliki fokus yang berbeda terhadap kondisi
politik dan membantu memahami berbagai perbedaan tentang kebijakan publik.
Mencermati berbagai model perumusan kebijakan publik yang sudah ada,
penelitian ini lebih condong pada model proses. Dalam model proses berlaku
asumsi bahwa politik merupakan sebuah aktivitas sehingga mempunyai proses.
Untuk itu, kebijakan juga merupakan suatu proses yang menyertakan rangkaian
kegiatan: 1) identifikasi masalah, 2) menata agenda, 3) perumusan kebijakan, 4)
legitimasi kebijakan, 5) implementasi kebijakan, dan 6) evaluasi kebijakan. Di
dalam rangkaian proses tersebut (Gambar 1), tahap perumusan kebijakan
(kegiatan ke-3) yang akan dibahas dalam penelitian ini.
9
Gambar 1 Kebijakan publik sebagai sebuah proses (Nugroho, 2009)
Model proses ini menjabarkan bagaimana kebijakan dibuat atau seharusnya
dibuat, namun belum memberikan tekanan pada substansi seperti apa yang harus
ada (Nugroho 2009). Untuk itu, Nugroho (2009) menjabarkan perumusan
kebijakan yang lebih rinci dalam bentuk aktivitas fungsional dengan mengambil
dari Model O‟Jones (Tabel 1).
Tabel 1 Aktivitas fungsional perumusan kebijakan model O‟Jones
Sumber : Dimodifikasi dari Model O‟Jones dalam Nugroho (2009).
Di antara 15 aktivitas fungsional yang disebutkan pada Tabel 1, penelitian
ini membatasi pada aktivitas ke-1 sampai ke-6. Hal ini karena aktivitas tersebut
Identifikasi Masalah
Menata Agenda
Perumusan Kebijakan
Legitimasi Kebijakan
Implementasi Kebijakan
Evaluasi Kebijakan
Aktivitas
Fungsional
Kategori dalam
Pemerintahan Sebagai Sistem Proses penelitian ini
1. Persepsi
Masalah ke
pemerintah
Identifikasi
permasalahan
Masalah yang dihadapi
industri kakao untuk
berkembang (berbasis
kinerja driver rantai
pasok)
2. Definisi
3. Agregasi
4. Organisasi
5. Representasi
6. Formulasi
Tindakan dalam
pemerintahan
Pengembangan
program/kebijakan
Perumusan kebijakan
pendukung
pengembangan industri
kakao 7. Legitimasi
8. Apropriasi
9. Organisasi Pemerintah ke
masalah
Implementasi
program/ kebijakan 10. Interpretasi
11. Aplikasi
12. Spesifikasi Program/
kebijakan ke
pemerintahan
Evaluasi
program/kebijakan
13. Pengukuran
14. Analisis
15. Resolusi/
Terminasi
Resolusi atau
perubahan Terminasi
10
merupakan proses akademis. Sebaliknya aktivitas ke-7 hingga ke-15 lebih ke
ranah politik.
Perumusan Kebijakan Pengembangan Industri
Kebijakan Industri suatu negara adalah upaya strategis pemerintah untuk
mendorong pengembangan dan pertumbuhan sektor industri manufaktur (Graham
1994; Bingham 1998; dan Rodrik 2004). Pemerintah mengambil langkah-langkah
yang bertujuan untuk meningkatkan daya saing dan kemampuan perusahaan
dalam negeri serta mempromosikan transformasi struktural pembangunan
infrastruktur (seperti sarana dan prasarana transportasi, telekomunikasi dan
energi) merupakan bagian utama yang memiliki peran penting dalam mendukung
kebijakan industri (UNCTAD 2008).
Kebijakan industri bukanlah hanya tentang penerapan pajak atau subsidi,
namun mencakup kolaborasi strategis antara sektor swasta dan pemerintah dengan
tujuan mengungkap di mana hambatan paling signifikan dan apa jenis intervensi
yang paling mungkin untuk menghilangkan hambatan tersebut. Sejalan dengan itu,
analisis kebijakan industri perlu memusatkan perhatian bukan hanya pada hasil
kebijakan, tetapi untuk mendapatkan proses kebijakan yang tepat. Menurut
UNIDO (2007) kriteria yang harus dipertimbangkan dalam perumusan kebijakan
industri mencakup sepuluh macam. Kriteria tersebut dapat dikelompokkan ke
dalam dua jenis atribut yang melekat pada kriteria tersebut, yaitu sifat dan tujuan
(Tabel 2). Kriteria kebijakan industri tersebut dapat digunakan untuk penilaian
terhadap implementasi kebijakan industri yang sedang berlaku.
Tabel 2 Kriteria perumusan kebijakan industri
Kriteria Atribut
1. Realistis; Sifat
2. Berorientasi produktivitas dan pertumbuhan; Tujuan
3. Menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pengembangan sektor
swasta dan mampu menarik investasi; Tujuan
4. Mendorong kreativitas dan inovasi proses produksi dan produk; Tujuan
5. Menawarkan kesempatan penciptaan lapangan kerja dan
pemberdayaan masyarakat diintegrasikan dalam proses
industrialisasi;
Tujuan
6. Menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi; Tujuan
7. Mendorong pengembangan SDM untuk industri;. Tujuan
8. Terintegrasi secara fungsional dan berkelanjutan dengan kebijakan
sektoral;
Sifat
9. Transparan; Sifat
10. Kebijakan industri harus mewakili kepentingan negara, mengatasi
kepentingan dan permasalahan sektor swasta dan juga
memperhitungkan kebutuhan masyarakat pada umumnya;
Sifat
11. Bertujuan menjamin daya saing industri Tujuan
Sumber : diadopsi dari UNIDO (2007)
Rumusan kebijakan industri yang akan dihasilkan penelitian ini setidaknya
dapat memenuhi kriteria penilaian kebijakan industri menurut UNIDO (2007)
tersebut.
11
Rantai Pasok dan Manajemen Rantai Pasok
Menurut Chopra dan Meindl (2007) sebuah rantai pasok (supply chain)
terdiri dari pihak-pihak yang terlibat, baik secara langsung dan tidak langsung,
dalam memenuhi permintaan pelanggan. Rantai pasok adalah jaringan pasokan
dan permintaan yang mencakup pemasok, produsen, pengecer besar dan
konsumen akhir, dengan tujuan respon cepat dan kerjasama yang efektif dalam
pengendalian kualitas dan penurunan biaya. Istilah manajemen rantai pasok
(supply chain management) dipopulerkan sebagai pendekatan manajemen
persediaan yang ditekankan pada pasokan bahan baku. Menurut Vorst (2004)
manajemen rantai pasok adalah keterpaduan antara perencanaan, koordinasi
seluruh proses, dan aktivitas bisnis untuk menghantarkan nilai keutamaan produk
kepada konsumen sebagai keseluruhan untuk memenuhi kebutuhan kepuasaan
para pihak yang berkepentingan dalam sistem rantai pasok. Rantai pasok adalah
jaringan fisik dan aktivitas yang terkait dengan aliran bahan dan informasi di
dalam atau melintasi batas-batas perusahaan.
Manajemen rantai pasok produk pertanian berbeda dengan manajemen
rantai pasok produk manufaktur lainnya karena: (1) produk pertanian bersifat
mudah rusak, (2) proses penanaman, pertumbuhan dan pemanenan tergantung
pada iklim dan musim, (3) hasil panen memiliki bentuk dan ukuran yang
bervariasi, (4) produk pertanian bersifat kamba sehingga produk pertanian sulit
untuk ditangani (Austin 1992; Brown 1994). Faktor-faktor tersebut harus
dipertimbangkan dalam desain dan analisis rantai pasok produk pertanian menjadi
lebih kompleks daripada manajemen rantai pasok pada umumnya.
Pembahasan rantai pasok produk pertanian belum banyak dilakukan karena
kajian rantai pasok pada umumnya dilakukan oleh para peneliti dengan latar
belakang ilmu manajemen atau keteknikan yang berbasis manufaktur (Vanani et
al. 2009). Beberapa penelitian yang mengkaji lingkup rantai pasok pertanian
antara lain Zee dan Vorst (2005), Santoso (2005), Aramyan et al. (2006), Vorst
(2006), Yandra et al. (2007), dan Suharjito (2011).
Menurut Chopra dan Meindl (2007) terdapat hubungan yang sangat dekat
antara disain dan manajemen aliran di dalam rantai pasok (aliran produk,
informasi dan uang) dan berhasilnya suatu rantai pasok mencapai kinerja
terbaiknya. Adapun salah satu kunci berhasil atau gagalnya manajemen rantai
pasok adalah pengambilan keputusan dalam hal desain, perencanaan dan operasi.
Keberhasilan manajemen rantai pasok memerlukan banyak keputusan terkait
dengan aliran produk, informasi dan uang. Setiap keputusan harus dibuat untuk
mencapai tingkat surplus rantai pasok.
Terdapat tiga kategori atau tahapan keputusan manajemen rantai pasok
yaitu : Strategi atau disain, perencanaan, dan operasi rantai pasok. Strategi atau
disain rantai pasok berkaitan dengan konfigurasi rantai pasok. Keputusan-
keputusan tentang disain dan strategi ini memiliki jangka waktu yang panjang.
Sementara perencanaan rantai pasok mencakup suatu periode beberapa bulan
hingga tahun yang meliputi: perencanaan produksi, subkontrak, dan promosi
hingga periode perencanaan tersebut. Keputusan-keputusan operasional rantai
pasok merupakan keputusan dari menit ke menit sampai ke keputusan harian
termasuk sekuensi produks dan pemenuhan order.
Pentingnya pembuatan keputusan manajemen rantai pasok didasarkan atas
struktur faktor penggerak (driver) yang akan menentukan kinerja rantai pasok.
12
Pengambilan keputusan rantai pasok berawal dari pemilihan strategi dalam
menjaga keseimbangan antara Responsiveness dan Efficiency rantai pasok .
Untuk mencapai tujuan, suatu perusahaan harus mampu menata atau
menstrukturkan kombinasi dari tiga driver logistik dan tiga driver lintas fungsi
(cross functional driver). Masing-masing driver tersebut adalah: fasilitas atau
infrastruktur, inventori dan transportasi untuk driver logistik, sedangkan informasi,
sourcing dan harga untuk driver lintas fungsi.
Keputusan suatu perusahaan untuk mencapai daya saingnya dilakukan
dengan menentukan titik keseimbangan (trade off) antara responsivitas
(responsiveness) dan efisiensi (efficiency). Keputusan tersebut merupakan suatu
strategi yang paling sesuai (strategic fit) dengan tujuan perusahaan dalam
menghadapi kondisi internal dan eksternal. Keputusan dalam mencapai kinerja
rantai pasok terbaik berdasarkan driver rantai pasok sangatlah luas. Chopra dan
Meindl (2007) menggambarkan beberapa tingkatan keputusan yang mungkin
diambil dari setiap driver (Tabel 3).
Tabel 3 Keputusan driver kinerja rantai pasok menurut tingkat keputusan
Driver Rantai
Pasok
Keputusan
Level Strategis/Disain Level Taktis/Rencana Level Pelaksanaan
Fasilitas • Penentuan lokasi fasilitas
• Penentuan jenis infrastsruktur
• Penentuan kapasitas • Skedul
• Jarak antar fasilitas
Persediaan • Pola permintaan
• Siklus persediaan
• Biaya inventaris
• Biaya penyimpanan
• Rata-rata persediaan
• Fill rate
Transportasi • Penentuan jaringan, rute,
moda angkutan,
• Penjadwalan
pengangkutan,
• Penentuan pasar
sasaran
• Biaya pengangkutan
• Kapasitas angkut
inbound dan
outbound
Informasi • Pull atau push system
• Koordinasi & sharing
informasi
• Knowledge transfer
• Forecast & aggregate
planning
• Enabling technology
• Perkiraan informasi
• Frekuensi
• Seasonal factor
Sourcing • Penentuan in house /
outsource
• Penentuan kontrak
• Rencana kolaborasi
• Proses pengadaan
• Catatan pembayaran
• Time delivery
• Kualitas pasokan
Harga • Penentuan skala ekonomi
• Penentuan strategi pricing
(dinamic, multiple segmen)
• Overbooking
• Overselling
• Stabilisasi order
• Catatan profit
• Biaya per unit
• Rentang harga
Sumber: diadaptasi dari Chopra dan Meindl (2007)
Klasifikasi Industri Pengolahan Kakao Berdasarkan Tahap Pengolahan
Pada umumnya, industri pengolahan kakao atau biasa disebut industri kakao
dibedakan atas industri hulu (grinder) dan industri hilir (manufacture chocolate).
Pengolahan kakao meliputi urutan proses mengubah bahan baku (biji kakao)
menjadi produk setengah jadi kakao (cocoa liquor, cocoa butter dan cocoa
powder). Hal ini mencakup tiga tahapan proses utama: (i) sangrai/pemanggangan
biji kakao, (ii) menggiling biji kakao untuk membuat cocoa liquor, (iii) proses
ekstraksi dari cocoa liquor menjadi cocoa butter dan bubuk kakao.
13
Industri Kakao menurut Deperind (2009) adalah industri yang berbasis pada
pengolahan bahan baku hasil perkebunan kakao. Pengelompokan industri kakao
dan kakao olahan terdiri dari atas: Industri Hulu yang menghasilkan: buah kakao,
biji kakao, liquor/mass; Industri Antara yang menghasilkan: cocoa liquor, cocoa
cake, cocoa butter, dan cocoa powder (kakao olahan); dan industri hilir adalah
industri makanan berbasis coklat.
Secara keseluruhan, empat kategori produk utama berdasarkan tahapan
pengolahan kakao, yaitu: 1) Biji kakao (mentah, atau minimal diolah); 2) Produk
antara kakao (cocoa liquor, cocoa butter, cocoa powder); 3) Couverture atau
cokelat industri; 4) Produk cokelat jadi. Secara umum pohon industri kakao
memuat berbagai turunan dari komoditi kakao yang masih terbuka peluangnya
untuk dikembangkan (lihat Gambar 2).
BIJI LIQUOR
CAKE
FAT
PASTE
POWDER
CONCENTRATE
EXTRACT
ESSENCE
LECHITIN
TANNIN
PEKTIN
COCO BUTTER
OLEO CHEMICAL
FATTY ACID
VITAMIN D
Confectionery
Bars
Minuman
Makanan
Obat-obatan
Makanan
Minuman
Kosmetika
Obat-obatan
Industri Kimia
Industri Kimia
Makanan
Industri Kimia
Obat-obatan
Industri Kimia
Industri Kimia/Farmasi
Sumber : BKPM, 2010
Gambar 2 Pohon industri kakao
14
3 METODE
Kerangka Pemikiran
Kerangka pikir penelitian ini didasari pada perkembangan industri kakao
Indonesia yang masih belum optimal (Gambar 3). Perlu dibuktikan dugaan yang
mengatakan bahwa perkembangan industri kakao sangat dipegaruhi oleh
kebijakan pemerintah. Untuk itu, keberadaan kebijakan pemerintah di bidang
kakao perlu dipahami secara mendalam dan dikenali bagaimana kinerja
implementasi dan dampaknya terhadap perkembangan industri kakao. Secara
normatif seharusnya kebijakan mampu mendorong, memayungi dan mendukung
perkembangan industri kakao yang kondisinya masih belum berkembang. Hal ini
karena konsekuensi dari komoditi kakao sebagai komoditi global, sehingga kakao
dan produk turunannya masuk ke dalam suatu sistem rantai pasok berskala
internasional.
Model Perumusan KebijakanTool Analisis Kondisi yang DiharapkanKondisi Saat Ini
Jumlah dan Kapasitas
Industri Kakao Belum
Optimal
Identifikasi dan
Dekomposisi Driver &
Sub Driver Kinerja
Rantai Pasok
Pengukuran Kinerja
Rantai Pasok Industri
Kakao
Analisis tentang
Kebijakan Perkakaoan Model Perumusan Kebijakan
Pendukung Pengembangan
Industri Kakao
Verifikasi dan Validasi
Berkembangnya
Industri Kakao
Rantai Pasok Kakao
yang Efisien &
Responsif
Kebijakan
Pengembangan
Industri Kakao belum
Kondusif
Rantai Pasok
Kakao Belum
Efisien & Responsif
Rumusan Kebijakan
Pendukung
Pengembangan Industri
Kakao
Kebijakan Industri
Kakao yang Kondusif
OK
Belum
Analisis Rantai Pasok
Kakao
Gambar 3 Kerangka pikir penelitian
Pengembangan industri kakao tidak bisa dilepaskan dari manajemen rantai
pasok para pelakunya. Dengan demikian perkembangan industri kakao sangat
dipengaruhi oleh keputusan industri yang ada atau calon investor baru dalam
merespon risiko dan manajemen rantai pasok kakao. Dengan menggunakan rantai
pasok sebagai basis perumusan kebijakan diharapkan akan ada titik temu antara
tuntutan atau kebutuhan industri atau calon investor di satu sisi dan upaya penentu
kebijakan yang mendukung pengembangan industri kakao di sisi lain.
15
Alat analisis yang digunakan untuk mengurai perihal pengembangan
industri kakao dimulai dari analisis tentang permasalahan dan kebijakan
perkakaoan. Dari pemahaman terhadap kebijakan yang ada kemudian dilanjutkan
melihat gambaran rantai pasok kakao. Analisis rantai pasok ini ditujukan untuk
melihat siapa saja yang terlibat, bagaimana hubungan antar pelaku dan bagaimana
konfigurasi rantai pasok yang ada. Dengan mengetahui konfigurasi rantai pasok
akan dikenali hambatan atau kendala terhadap aliran barang, informasi dan uang
di antara anggota rantai pasok. Kinerja rantai pasok akan dapat ditingkatkan jika
hambatan dan kedala dapat dihilangkan atau minimal dikurangi.
Untuk dapat mengetahui kinerja rantai pasok perlu metrik atau ukuran yang
relevan dengan obyek yang dihadapi yaitu industri kakao. Untuk itu, perlu
identifikasi faktor-faktor penggerak kinerja (driver) rantai pasok yang relevan
dengan obyek yang diteliti, kemudian mendekomposisi faktor-faktor tersebut ke
dalam variabel yang lebih operasional untuk dicari datanya.
Dengan terumuskannya ukuran atau variabel yang operasional akan dapat
disusun instrumen berupa kueioner untuk mengumpulkan data lapangan dan data
dari pakar terkait bobot dari setiap driver. Data diolah untuk mendapatkan indeks
kinerja rantai pasok. Hasil indeks kinerja rantai ini kemudian ditinjau secara
mendalam guna dirumuskan bagaimana kondisi industri kakao sebenarnya.
Berdasar hasil pengukuran kinerja driver rantai pasok industri kemudian dianalisis
untuk mengetahui kecenderungan dan kesenjangan antara capaian kinerja dengan
kondisi ideal yang diharapkan. Analisis kesenjangan dan kecenderungan akan
menghasilkan rumusan kebijakan yang seharusnya diambil baik oleh
perusahaan/industri sendiri maupun oleh pemerintah. Hasil rumusan kebijakan
dijadikan bahan bagi pemerintah guna mendukung perbaikan kinerja rantai pasok
industri kakao. Pada akhirnya rumusan kebijakan yang mendukung perbaikan
kinerja rantai pasok industri kakao diharapkan akan memberikan iklim yang lebih
kondusif bagi berkembang industri kakao Indonesia.
Teknik Pengumpulan Data, Informasi dan Pengetahuan
Data yang dikumpulkan penelitian ini meliputi data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh dengan cara sebagai berikut: Observasi lapangan
ke lokasi para petani kakao, pedagang kakao, eksportir kakao, dan industri
pengolahan kakao; Wawancara mendalam dengan wakil petani, pedagang kecil
dan besar, eksportir, industri pengolah kakao, pemerintah daerah, beberapa
asosiasi dan lembaga lain terkait kakao; FGD (Focus Group Discussion) di
beberapa Kabupaten yang melibatkan anggota rantai pasok kakao di kabupaten.
Data sekunder diperoleh dari instansi Pemerintah Pusat, Pemerintah
Provinsi maupun Pemerintah Kabupaten terkait dengan statistik di sektor
Pertanian, Perdagangan, Perindustrian serta sektor Pekerjaan Umum. Data yang
diambil dari sektor Pertanian berkaitan dengan dukungan dalam hal budidaya dan
input faktor pertanian. Pada bidang perdagangan data yang dihimpun berkenaan
dengan kebijakan perdagangan daerah, seperti pengawasan perdagangan,
penerapan standar timbangan (metrologi) serta pungutan atau retribusi daerah.
Untuk sektor Perindustrian penelitian ini menyoroti kebijakan pengembangan
industri di tingkat nasional dan program bantuan peralatan pengolahan kakao
skala kecil di tingkat daerah. Sementara itu, data dari sektor Pekerjaan Umum
16
berkaitan dengan kondisi infrstruktur jalan dan jembatan di seluruh wilayah
Sulawesi Selatan, program yang sedang dan akan dilaksanakan serta kebijakan
tentang rencana tata ruang wilayah Provinsi dan Kabupaten di Sulawesi Selatan.
Pengetahuan dari pakar diperoleh dengan cara mengakuisisi kepakaran yang
dimilikinya melalui suatu instrumen penilaian berupa kuesioner pakar. Ada
beberapa kuesioner yang disiapkan untuk mengakuisisi pengetahuan dari pakar di
antaranya: validasi terhadap driver dan sub driver yang telah didekomposisi,
kuesioner AHP, kuesioner penilaian kebijakan, dan kuesioner verifikasi dan
validasi hasil perumusan kebijakan.
Verifikasi dan Validasi
Proses verifikasi model dilakukan melalui pengujian logika, kesesuaian
konseptual dan kerja komputasi jika menggunakan perhitungan komputer. Model
diverifikasi dengan jalan menguji apakah program untuk model tersebut telah
dapat berjalan dengan baik dan benar. Agar model dapat diimplementasikan,
setelah dilakukan tahapan verifikasi, selanjutnya model perlu divalidasi. Tahap
validasi model ditujukan untuk memperbaiki tingkat keyakinan bahwa
berdasarkan kondisi yang diasumsikan, model yang dikembangkan dapat
mewakili sistem yang sebenarnya (Susila 1991).
Validasi model dalam penelitian ini menggunakan teknik-teknik validasi
yang disesuaikan dengan kebutuhan. Efektivitas proses validasi sangat dibutuhkan
untuk meyakinkan bahwa model telah sesuai dengan kebutuhan dan kondisi nyata.
Validasi model pada penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu validasi penyusunan
(validation by construct) dan validasi hasil (validation by results). Validasi
penyusunan dimaksudkan untuk menilai keabsahan teori dan asumsi-asumsi yang
digunakan didalam model. Sementara, validasi hasil dimaksudkan untuk menilai
kesesuaian antara hasil keluaran model dan keluaran dari sistem yang sebenarnya.
Validasi penyusunan pada penelitian ini menggunakan teknik face validity,
animation validity (Sargent 2010) dan consistency analysis (Saaty 1983; Saxena
1992). Teknik face validity digunakan untuk validasi model-model dengan
pendekatan soft system metodhology. Pada teknik ini, validasi tidak bisa
sepenuhnya dilakukan secara matematis, namun cukup mendapat pengakuan
secara intelektual (professional judgement) (Checkland 1995). Prosedur validasi
yang diterapkan dalam penelitian ini adalah merumuskan pertanyaan-pertanyaan
yang bertujuan untuk mendapatkan kecocokan bahwa model telah mengandung
semua elemen, kejadian, dan relasi dari sebuah sistem pengembangan industri
kakao. Pada teknik ini diperlukan bantuan pakar yang memahami industri kakao
guna menilai apakah logika model dan hasil yang dicapai telah dianggap mewakili
sistem nyata yang ada. Pada tahap ini dimungkinkan terjadinya perbaikan-
perbaikan secara simultan yang pada akhirnya akan diperoleh model perumusan
kebijakan pengembangan industri kakao yang efektif. Teknik validasi ini
digunakan untuk validasi: hasil dekomposisi driver menjadi sub driver kinerja
rantai pasok yang dikembangkan dari studi pustaka yang relevan untuk industri
kakao;
Teknik animation digunakan untuk validasi hasil pengukuran kinerja
efisiensi dan responsivitas rantai pasok. Indeks kinerja rantai pasok ditampilkan
secara grafis (Sargent 2010). Metode ini dilakukan dengan melihat pola secara
17
grafis indeks kinerja rantai pasok setiap perusahaan yang disurvey dan indeks
agregasi level industri dicocokkan dengan kenyataan sistem yang ada.
Teknik consistency analysis digunakan untuk validasi proses penilaian
bobot kepentingan dengan teknik AHP dan ISM. Teknik ini dilakukan dengan
melihat konsitensi penilaian yang diberikan oleh pakar terhadap berbagai kriteria,
alternatif dan jenis-jenis entitas yang dibandingkan secara pairwaise comparison.
Nilai rasio konsistensi untuk AHP harus 10 persen atau kurang. Jika lebih dari 10
persen, maka penilaiannya masih acak dan perlu diperbaiki. Sementara untuk
teknik ISM dilakukan dengan membentuk matriks yang bersifat Reachability jika
dengan operasi Boolean memenuhi syarat reflexive dan transitif, jika tidak maka
dilakukan penyesuaian dengan melakukan operasi recursive multiplication
sehingga terbentuk kondisi matriks tertutup (causal looping). Setelah dilakukan
proses pengecekan dengan aturan transitivity sampai didapatkan final SSIM untuk
diinterpretasikan hasilnya.
Validasi hasil dilakukan melihat kesesuaian output model dengan kondisi
nyata yang sebenarnya yang merupakan petunjuk bahwa model yang
dikembangkan adalah model yang valid. Teknik validasi yang digunakan dalam
penelitian adalah teknik face validity (Sargent 2010). Teknik tersebut digunakan
untuk validasi hasil rumusan kebijakan pengembangan industri kakao.
18
4 PERMASALAHAN DAN KEBIJAKAN PERKAKAOAN
INDONESIA
Abstrak
Pengembangan industri kakao di Indonesia masih menemui banyak permasalahan.
Kondisi di sektor hulu (kebun kakao), perdagangan, hingga industri pengolahan
masih banyak mengalami hambatan. Kebijakan dari berbagai sektor telah
digulirkan untuk memperbaiki keadaan dan mempercepat peningkatan nilai
tambah bagi perekonomian. Namun, perkembangan industri belum mencapai
besaran yang dikehendaki. Penelitian pada bagian ini bertujuan untuk
mengidentifikasi permasalahan dan kebijakan perkakaoan Indonesia. Metode
Analisis Kebijakan digunakan untuk memperoleh rumusan masalah dan
pemahaman yang mendalam akan kebijakan perkakaoan. Hasil analisis
menunjukkan bahwa permasalahan utama perkakaoan Indonesia di antaranya:
produktivitas kebun masih rendah, mutu biji belum standar, konsumsi coklat
rendah, dukungan infrastruktur jalan dan pasokan energi untuk industri. Kebijakan
sektor keuangan masih mendominasi peranan sektor dalam pengembangan
idnsutri kakao.
Kata kunci: permasalahan kebijakan, pengembangan industri, kakao
Pendahuluan
Indonesia merupakan negara produsen utama kakao dunia. Luas areal
tanaman kakao Indonesia tercatat 1.4 juta hektar dengan produksi kurang lebih
500 ribu ton pertahun, menempatkan Indonesia sebagai negara produsen terbesar
ketiga dunia setelah Pantai Gading dan Ghana. Pantai Gading, dengan luas area
1.6 juta Ha produksinya sebesar 1.5 juta ton per tahun, sedangkan Ghana sebesar
1 juta ton per tahun dengan luas area yang sama (ICCO 2011).
Dari perbandingan di atas terlihat kesenjangan yang nyata dalam
produktivitas antara kebun kakao Indonesia dan Ghana maupun Pantai Gading.
Menurut Kementerian Pertanian produktivitas kebun kakao Indonesia relatif
rendah yaitu 630 kg/Ha/tahun, karena berbagai hal seperti: penyakit CPB (Cocoa
Pod Borer), tanaman sudah tua, kecilnya penguasaan lahan rata-rata petani,
kurangnya perawatan lahan dan kebun, kurangnya varietas (klon) unggul yang
dikembangkan (Ditjenbun 2010).
Permasalahan juga dialami sektor hilir yaitu masih rendahnya kapasitas
industri pengolahan kakao Indonesia yang mengakibatkan rendahnya nilai tambah
yang bisa diambil dari komoditas potensial ini bagi perekonomian. Guna
peningkatan nilai tambah kakao, pemerintah Indonesia telah mengeluarkan
serangkaian kebijakan mulai dari hulu sampai hilir. Mulai dari kebijakan di sektor
budidaya kakao, pasca panen, perdagangan, hingga sektor industri hilir kakao.
Selain itu, untuk „memayungi‟ berbagai program yang direncanakan pemerintah
juga mengeluarkan kebijakan pada tataran makro seperti: pajak ekspor,
standarisasi, Kebijakan Industri Nasional (Perpres 2008) dan kebijakan klaster
19
industri (Deperind 2009a). Walaupun demikian, serangkaian kebijakan yang telah
dikeluarkan belum efektif mendukung pengembangan industri kakao.
Bagian ini bertujuan untuk mengurai permasalahan perkakaoan dan
kebijakan yang menyertainya agar dapat dipahami secara mendalam permasalahan
yang dihadapi dan kemana arah kebijakan perkakaoan Indonesia. Memahami
masalah sangat penting karena para analis kebijakan lebih sering gagal
memecahkan masalah yang salah daripada memperoleh solusi yang salah terhadap
masalah yang tepat (Dunn 1999). Selain itu, dapat diketahui kebijakan sektor apa
saja yang berpengaruh dan memiliki peran strategis dalam mendorong
pengembangan industri kakao Indonesia.
Metode Penelitian
Kerangka penelitian
Pada dasarnya suatu kebijakan merupakan sebuah sistem yang mencakup
tiga elemen yaitu kebijakan publik itu sendiri, lingkungan kebijakan, dan pelaku
kebijakan (Dunn 1999). Dalam penelitian ini, kebijakan publik adalah kebijakan
yang dikeluarkan oleh berbagai sektor (pemerintah) berkenaan dengan dukungan
atau pengaturan dalam rangka pengembangan industri kakao. Sementara untuk
elemen lingkungan dan pelaku dalam kerangka penelitian ini akan disatukan
pembahasannya karena interaksinya sulit untuk dipisahkan (Gambar 4).
Gambar 4 Kerangka pikir penelitian
Kondisi input
faktor
Kondisi aktivitas
budidaya
Kondisi
pasokan energi
Kondisi
infrastruktur
Tujuan pengembangan
industri kakao
Kebijakan berbagai
sektor
Kondisi aktivitas
pascapanen
Kondisi aktivitas
perdagangan
Kondisi aktivitas
Industri pengolahan
Perkembangan
industri kakao
Ragam
kebijakan
Permasalahan
20
Dengan demikian, analisis dibagi menjadi dua bagian: pertama, analisis
permasalahan (lingkungan kebijakan) tentang kondisi pada setiap aktivitas
agroindustri (pelaku kebijakan) untuk menghasilkan rumusan masalah, dan kedua,
mengidentifikasi ragam kebijakan yang menjawab permasalahan perkakaoan.
Sumber data
Dalam mengurai permasalahan dan kebijakan perkakaoan Indonesia
menggunakan data sekunder dan primer. Data sekunder diambil dari studi literatur
yang relevan, statistik dan laporan lembaga-lembaga yang berkompeten.
Sementara untuk data primer diperoleh dengan observasi dan survey lapangan
(wawancara) dengan para pelaku usaha di bidang perkakaoan.
Metode analisis
Metode yang digunakan untuk mengidentifikasi dan memahami
permasalahan diambil dari tahapan perumusan masalah dalam analisis kebijakan
Dunn (1999). Adapun tahapan perumusan masalah menurut Dunn (1999) adalah:
1) Pengenalan masalah yang digali dari literatur yang relevan; 2) pencarian
masalah, diperoleh dari survey dan observasi lapangan; 3) Pendefinisian masalah;
4) Spesifikasi masalah, diperoleh dari diskusi dan wawancara (Gambar 5).
Gambar 5 Tahapan perumusan masalah
Berdasarkan tahapan perumusan masalah pada Gambar 5, analisis yang
dilakukan dalam penelitian pada bagian ini terdiri dari dua hal. Pertama, uraian
tentang permasalahan perkakaoan Indonesia. Kedua, uraian kebijakan dari sektor-
sektor yang terkait dengan pengembangan industri kakao.
Meta
Masalah
Situasi
Masalah
Masalah
Substantif
Masalah
Formal
Pencarian
Masalah
Pendefinisian
Masalah
Spesifikasi
Masalah
Pengenalan
Masalah
21
Hasil dan Pembahasan
Permasalahan Perkakaoan Indonesia
Proses pengembangan industri kakao secara umum mengikuti tahapan
agorindustri mulai dari hulu sampai hilir. Demikian juga permasalahan yang
dihadapi dapat diuraikan mengikuti tahapan agroindustri tersebut mulai dari
permasalahan di sektor hulu hingga sektor hilir.
Permasalahan di Sektor Hulu
Di sektor hulu (di kebun kakao) permasalahan yang dihadapi sebagaimana
dilaporkan oleh Kementerian Pertanian di antaranya: Produktivitas rendah yaitu
0.63ton/ha/tahun, padahal potensinya bisa mencapai 1.5ton/ha/tahun. Hal ini
karena berbagai hal seperti: Penyakit CPB (Cocoa Pod Borer), tanaman sudah tua,
kecilnya penguasaan lahan rata-rata petani, kurangnya perawatan lahan dan kebun,
kurangnya varietas (klon) unggul yang dikembangkan. Selain itu, budidaya kakao
belum berkembang karena kurangnya penyuluhan, pemahaman nilai ekonomi
komoditas yang kurang, pendidikan rendah, kurangnya sarana pertanian dan
permodalan budidaya, dan kurangnya peran lembaga keuangan formal (Ditjenbun
2010).
Sebenarnya, setelah krisis ekonomi tahun 1998 berlangsung, terutama pada
periode tahun 1999–2003 (selama 4 tahun) pernah terjadi kenaikan produktivitas,
dan puncaknya pada tahun 2000. Pada saat itu, produktivitas kebun kakao rakyat
mencapai 1.466 ton/ha/tahun atau 1.4 kali produktivitas yang dicapai pada tahun
1998. Hal ini karena sejak krisis ekonomi antusias petani dalam mengusahakan
tanaman kakao meningkat sangat pesat karena harga kakao meningkat tajam.
Namun demikian, pada akhir 2004 sampai dengan 2009 gairah petani dalam
mengusahakan tanaman kakao mulai menurun, karena: produktivitas tanaman
turun drastis terutama akibat tanaman tua serta serangan hama dan penyakit
(terutama hama PBK dan penyakit VSD). Kemudian, pada tahun 2007 pemerintah
meluncurkan program Revitalisasi Perkebunan (Revitbun) yang didukung
Permentan No.33/Permentan/OT.140/7/2006 serta Permenkeu No.117/PMK.06/
2006, tetapi realisasi kredit investasi perbankan untuk membiayai perluasan;
peremajaan; dan rehabilitasi kebun kakao masih sangat rendah. Hal ini karena
kebijakan penyaluran kredit perbankan bagi petani baru bersifat anjuran dan
himbauan (Peraturan BI No.3/2/PBI/2001). Padahal petani memerlukan kredit
investasi untuk pembangunan kebun baru dan/atau rehabilitasi kebun tua/rusak,
serta dan kredit operasional untuk pemeliharaan kebun produktif (menghasilkan).
Selain itu, tidak adanya jaminan sertifikat dan asuransi pertanian sering dijadikan
alasan perbankan untuk tidak menyalurkan kredit kepada petani (Hasil FGD,
Maret 2010).
Bahkan pada tahun 2008 produktivitas kakao tersebut hanya mencapai
0.498ton/ha/tahun atau hanya 34% dari puncak produksi yang pernah dicapai pada
tahun 2000.
22
Sumber: Ditjenbun Kementerian Pertanian (2013)
Gambar 6 Produktivitas perkebunan kakao rakyat
Mengacu pada data statistik perkebunan, sebagaimana tertera pada Gambar
6, rendahnya produktivitas kebun kakao rakyat berkaitan dengan kondisi kebun
yang tua dan/atau rusak. Permasalahan di sektor hulu ini masih berlanjut hingga
saat ini, meskipun telah dilaksanakan program Gernas mulai tahun 2009 hingga
2011, terlihat produksi pada tahun 2011 justru mengalami penurunan (Gambar 7).
Hal ini disebabkan antara lain umur tanaman kakao yang telah tua, kondisi
tanaman yang rusak, tanaman kakao terkena penyakit pembuluh kayu kakao atau
vascular streak dieback (VSD) serta beberapa jenis organisme pengganggu
tanaman (OPT) kakao lainnya. Di samping itu, kondisi iklim dimana terjadi hujan
lebih lama dibanding tahun 2010 menyebabkan penurunan produksi kakao (BKF-
PKPN 2012).
Sumber: Ditjenbun Kementerian Pertanian (2013)
Gambar 7 Luas lahan dan produksi biji kakao (ribu ton/ha)
Krisis Ekonomi
Program
Revitbun
Program
Gernas
Iklim Ekstrim
Harga kakao
melonjak
Program
Revitbun
Program
Gernas
23
Sejalan dengan itu, hasil observasi lapangan mengungkapkan bahwa
penurunan produktivitas kebun kakao petani yang tajam dan terus menerus terjadi
sejak tanaman semakin tua yang disertai dengan semakin tingginya intensitas
serangan hama Penggerek Buah Kakao atau Cocoa Pod Borer (CPB). Serangan
hama tersebut semakin lama semakin ganas sehingga para petani semakin sulit
menanggulanginya. Akibat lebih lanjut dari kondisi tersebut, para petani merasa
putus asa dan mereka enggan memelihara kebunnya karena usaha yang mereka
lakukan akan sia-sia. Di samping itu, bibit SE dari program Gernas yang ditanam
tahun 2010 baru panen 3-5 tahun kemudian.
Melihat data dan observasi yang ada permasalahan kakao pada sektor hulu
yang utama adalah produktivitas yang semakin menurun. Rendahnya
produktivitas tanaman kakao merupakan masalah klasik yang hingga kini masih
sering dihadapi. Secara umum, rata-rata produktivitas kakao Indonesia sebesar
900 kg/ha/tahun. Angka ini masih jauh di bawah rata-rata potensi yang diharapkan,
yakni sebesar 2 ton/ha/tahun. Di antara faktor penyebab rendahnya produktivitas
tanaman kakao mayoritas disebabkan oleh penggunaan bahan tanam yang kurang
baik, teknologi budi daya yang kurang optimal, umur tanaman, serta masalah
serangan hama dan penyakit. Penelitian ini melihat bahwa faktor umur menjadi
penyebab utama, karena sebelumnya saat umur tanaman masih muda, tanaman
tersebut memiliki produktivitas yang baik.
Tidak hanya di kebun, di luar kebunpun permasalahan yang dihadapi cukup
rumit, misalnya: akses pendanaan perawatan kebun petani yang kurang; perilaku
petani yang lebih cenderung menghasilkan biji kakao non fermentasi karena harga
yang diterima tidak signifikan bedanya dengan yang fermentasi (berkisar Rp1000-
1500); dicampurnya mutu biji kakao untuk mengejar volume; tidak adanya
insentif petani untuk memperbaiki mutu (Sa‟id 2009).
Permasalahan tersebut merupakan interaksi petani dengan pihak di luar
kebun baik di sisi penyediaan input produksi (misal: pupuk, bibit, jasa
penyuluhan) maupun pada tahap pascapanen sampai perdagangan. Permasalahan
pada rantai perdagangan kakao muncul karena struktur pasar oligopsoni1 (Elizabet
2008). Selain itu, tersebar luasnya sentra produksi di berbagai pelosok, informasi
harga yang belum merata menyebabkan banyaknya distorsi yang terjadi
(Panlibuton dan Lusby 2006).
Sejalan dengan itu, berdasar hasil wawancara mengungkapkan bahwa
permasalahan utama di sektor hulu di luar kebun adalah hambatan perdagangan,
rendahnya mutu biji kakao yang diperdagangkan. Rute perdagangan kakao yang
jauh menjadikan tingginya risiko terhambat karena berbagai kondisi seperti:
kondisi jalan poros yang sedang pengerjaan pelebaran, kondisi jalan desa dan
jalan kebun di sentra produksi kakao umumnya kurang baik. Akibatnya pilihan
moda angkutan yang dipakai juga harus menyesuaikan. Selama ini untuk di jalan
desa hanya bisa menggunakan truk kecil (maksimal 7 ton) bahkan jika kondisi
cuaca tidak memungkinkan hanya bisa menggunakan sepeda motor. Oleh sebab
itu, di sentra produksi yang letaknya jauh, petani memperoleh harga (harga tingkat
1 Oligopsoni, adalah keadaan dimana dua atau lebih pelaku usaha menguasai penerimaan pasokan
atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan/atau jasa dalam suatu pasar komoditas. 2 Dasar hukum penerapan BK adalah UU No. 1 Tahun 2006 tentang Kepabeanan dan PP No 55 tentang
Pengenaan Bea Keluar terhadap Barang Ekspor. Dalam PP tersebut (ayat 1), BK ditetapkan dengan tujuan
24
petani) yang lebih rendah karena biaya transportasi menjadi lebih mahal. Keadaan
ini menunjukkan tidak efisiennya rantai pasok yang ada.
Di samping kondisi jalan, masih berlakunya pungutan resmi maupun tidak
resmi di sepanjang jalan tersebut. Pungutan tidak resmi yang berkembang
umumnya pungutan di perjalanan, mulai dari lokasi petani sampai pelabuhan.
Pengalaman dari para pedagang di Luwu Utara Sulsel mengungkapkan bahwa
pada saat mereka membawa biji kakao ke Makasar paling tidak menemui lebih
dari empat jembatan timbang dan belasan tempat pemberhentian yang
memberlakukan pungutan (cek point retribusi, dinas perhubungan, pos polisi,
preman, dll) (Wawancara, 12 Maret 2010).
Selain itu, untuk angkutan hasil bumi di beberapa daerah masih
memberlakukan pungutan resmi berupa pajak hasil bumi, retribusi, atau
sumbangan pihak ketiga mekipun tidak ada standar tarif resmi yang seragam di
semua kabupaten. Pada observasi di Kabupaten Luwu Utara didapatkan informasi
besar retibusi sebesar Rp30/kg; di Bone 1% dari harga jual; dan di Bulukumba
Rp100/kg (Wawancara, 1-28 Maret 2010).
Rendahnya mutu kakao rakyat tidak hanya disebabkan kurang baiknya
proses pasca panen tetapi juga kondisi kebun yang kurang baik. Kondisi kebun
dan/atau teknis budidaya yang berkaitan dengan mutu biji kakao adalah: jenis
klon tanaman, input produksi, pengendalian hama dan penyakit. Kondisi tersebut
lebih lanjut akan berkaitan dengan indikator mutu biji berikut : jumlah biji/100 gr,
jumlah biji hampa, jumlah biji dempet, insek hidup, dan residu pestisida.
Sementara itu, proses pasca panen (handling) yang dilakukan petani akan
berkaitan dengan indikator mutu berikut : kadar air, kadar jamur, kadar kotoran
dan benda asing.
Secara teknis, sebenarnya biji kakao fermentasi diperlukan kalangan industri
hilir kakao untuk menghasilkan produk berkualitas tinggi. Biji kakao yang tidak
difermentasi menyebabkan produk yang dihasilkan tidak memiliki cita rasa khas
coklat karena didominasi oleh rasa sepat dan pahit. Namun demikian, biji kakao
non fermentasi tidak dipermasalahkan oleh pasar USA, mereka hanya
mempermasalah-kan good quality clean bean. Hal ini terjadi karena industri
coklat di USA memiliki formulasi produk makanan chocolate yang dirancang
menggunakan biji kakao unfermented dengan porsi tertentu. Padahal USA
merupakan salah satu pasar kakao Indonesia yang besar.
Permasalahan di Sektor Hilir
Kategori industri hilir kakao dalam kancah global terbagi menjadi tiga jenis,
yaitu industri pengolahan kakao setengah jadi (grinding), industri kakao untuk
industri (coverture) dan industri coklat konsumsi (makanan, minuman,
confectionery, dll). Pangsa pasar global untuk produk pengolahan kakao setengah
jadi (grinding) cenderung sangat terkonsentrasi dan didominasi oleh perusahaan-
perusahaan multinasional (UNCTAD 2008).
Isu yang berkembang tentang industri kakao Indonesia secara umum adalah
masih rendahnya daya serap industri. Masa kejayaan industri kakao Indonesia
terjadi antara tahun 1980 sampai dengan tahun 2000. Pada tahun 2000 terdapat 40
pabrik dengan kapasitas sekitar 300 ribu ton/tahun. Sebaliknya, pada tahun 2008
produk olahan Indonesia hanya sekitar 130 ribu ton per tahun. Penurunan tersebut
25
terjadi sebagai akumulasi berbagai kebijakan dan keadaan berikut: 1)
dilaksanakannya kebijakan PPN (Pajak Penambahan Nilai) atas transaksi bahan
baku kakao; 2) tingginya tarif bea masuk di negara tujuan ekspor (6-30%); 3)
diskriminasi tarif bea masuk kakao olahan di beberapa Negara tujuan ekspor
produk olahan (di Eropa: Indonesia 6% sedangkan Afrika 0%, di China: Indonesia
15% sedangkan Malaysia dan Singapore 0%); 4) krisis keuangan global yang
terjadi pada tahun 2008 dan 2009 terutama di Amerika dan Eropa yang
merupakan pasar kakao utama Indonesia; 5) harga biji kakao melambung hingga
100% dan bea masuk kakao olahan di Eropa menjadi semakin tinggi (sekitar
US$500/ton) .
Sebenarnya pemerintah Indonesia telah memperbaiki berbagai kebijakan
yang dianggap menghambat pengembangan industri kakao. Pada tahun 2007 PPN
dicabut, bea masuk kakao olahan di Indonesia dinaikkan dan bea masuk kakao
olahan di China diturunkan menjadi 0%. Walaupun demikian, ternyata hanya
beberapa industri kakao yang mampu bangkit kembali sedangkan yang lainnya
masih tetap berada pada kondisi yang sama. Sebagian besar industri yang
beraliansi multinasional, masih berproduksi dengan kapasitas produksi normal,
sedangkan beberapa industri lain yang mengalami hambatan (modal dan pasar)
belum dapat berpoduksi normal atau bahkan belum berproduksi lagi. Dari 17
pabrik industri pengolahan, hanya 4 pabrik yang bekerja dekat dengan kapasitas
terpasangnya, sedangkan 9 pabrik lainnya berproduksi kurang dari 50% kapasitas
terpasang, bahkan 4 pabrik lannya samasekali tidak berproduksi.
Pengembangan industri kakao masih terbuka luas mengingat banyaknya
produk turunan yang bisa dihasilkan dari buah kakao. Di samping itu, dengan
konsumsi kakao perkapita Indonesia yang sudah tumbuh secara signifikan yaitu
250gram/kapita/tahun (Kemenperin 2011), seharusnya memicu pengembangan
industri kakao Indonesia untuk memenuhi potensi pasar tersebut.
Kebijakan perkakaoan dapat dikelompokkan menurut rangkaian proses
agroindustri mulai dari hulu hingga hilir. Keterkaitan antara kegiatan agroindustri
dengan pelaku/sasaran kebijakan membentuk suatu matriks sebagaimana Tabel 4.
Tabel 4 menunjukkan bahwa seluruh proses agroindustri telah ada kebijakan yang
mengaturnya.
26
Tabel 4 Kebijakan perkakaoan berdasarkan pelaku dan proses agroindustri
Pelaku /
Sasaran
Proses
Agroindustri
Kebijakan Peraturan/Sumber Acuan
Penyuluh
Pertanian Penyuluhan
Percontohan
Penyuluhan pertanian
Kebun percontohan
UU 16/2006 Sistem Penyuluhan
Penyedia Input
Pertanian Pengemasan
Pengiriman
Subsidi pupuk
Distribusi pupuk
Perpres No 77 Tahun 2005
tentang penetapan pupuk
bersubsidi.
Permendag No. 21/M-DAG/
PER/6/2008 tentang pengadaan
dan penyaluran pupuk
bersubsidi.
Permentan No. 42/Permentan
/OT.140/09/2008
Petani/
Kelompok
Tani
Budidaya
Pascapanen
Revitalisasi kebun
Gernas Kakao
Fermentasi
Teknologi Pasca
Panen
SNI Biji kakao
Teknologi Budidaya
Permentan No. 33/Permentan
/OT.140/7/2006 tetnag
Revitbun dan Permenkeu No.
117/PMK.06/ 2006
Bimbingan Teknis Penerapan
Pasca Panen Kementan
BSN No 86/KEP/ BSN/9/2008
tentang SNI biji kakao
Pedagang
Pengumpul
(perusahaan
pengering
kakao)
Pengeringan
Quality Control
Pengemasan
Penyimpanan
Pengiriman
SNI Biji kakao
Kebijakan
Perdagangan
(kab/prop)
Penurunan tarif THC
(Terminal Handling
Cost)
UU 102/2000 tentang SNI
Perda perdagangan antar daerah
Penurunan tarif THC, CHC dan
Surcharge melalui Kepmenhub
PR.302/3/18-PHB 2008
Eksportir dan
Perusahaan
transportasi /
Pengapalan
Pengemasan
Pemuatan
Pemeriksaan
Pengiriman
Pembongkaran
Penyimpanan
Teknologi Pasca
Panen
Bea Keluar
Kawasan
perdagangan dan
industri
Bimbingan Teknis Pasca Panen
Kakao oleh Kementan
Permenkeu
No.67/PMK.011/2010
Keppres Nomor 53 Tahun 1989
tentang Kaw Industri
Pemasok bahan
pendukung
Industri
Kakao/Coklat
Pengemasan
Pengiriman
Penyimpanan
SNI produk olahan
kakao
Kebijakan
Perdagangan LN
(Ekspor)
Permenperin 157/M.IND/
PER/11 /2009 penerapan SNI
bubuk kakao
Permendag No.27/M-
DAG/PER/6/2010 ttg
pembatalan L/C
Industri Kakao Sortasi
Kendali mutu
Pemrosesan
Pengemasan
Penyimpanan
Pembangunan
dan perluasan
Bantuan Mesin
Pengolahan skala
kecil
SNI Bubuk & produk
olahan kakao
Pembebasa bea
masuk
APBN (Anggaran Kemenperin)
UU 102/2000 tentang SN
PP 52/2011 ttg Tax allowance
Tax Allowance untuk Bidang-
Bidang Usaha Tertentu
PMK76/2012 Pembebasan Bea
Masuk Impor Barang Modal
Distributor Sistem distribusi Kebijakan
Perdagangan
Peraturan Perdagangan/Perda
Permendag no.27/M-
DAG/PER/6/2010) pembatalan
L/C termasuk kakao
Konusmen Konsumsi produk
akhir
Kampanye konsumsi
coklat
Belum ada kebijakan
27
Sektor-Sektor yang Terkait Pengembangan Industri Kakao Indonesia
Sektor yang terkait baik langsung maupun tidak langsung dalam
pegembangan industri hilir kakao di Indonesia adalah: sektor perindustrian, sektor
keuangan, sektor pekerjaan umum, sektor perhubungan dan telekomunikasi,
sektor pertanian, sektor perdagangan, dan sektor energi. Secara keseluruhan
program dan kegiatan sektor yang berkaitan dengan pengembangan industri hilir
kakao dikoordinasikan oleh sebuah kementerian koordinator.
Sektor Perindustrian
Pada sektor perindustrian, kebijakan pengembangan industri kakao meliputi
kebijakan makro dan mikro. Pada kebijakan makro pengembagan industri kakao
diatur dan diarahkan oleh Kebijakan Industri Nasional (Perpres, 2008) dan
Kebijakan Klaster Industri (Deperind, 2009b). Dalam Kebijakan Nasional
disebutkan tentang industri-industri andalan masa depan, meliputi: Industri Agro,
Industri Alat Angkut, dan Industri Telematika. Industri kakao termasuk dalam
Industri Agro yaitu meliputi industri pengolahan kakao dan coklat.
Kebijakan jangka menengah yang dikeluarkan pemerintah melalui
Kementerian Perindustrian adalah: Meningkatkan jaminan pasokan bahan baku;
Melakukan diversifikasi produk kakao dan coklat olahan; Melakukan optimalisasi
kapasitas industri kakao dalam negeri; Meningkatkan mutu biji kakao fermentasi
dan produk kakao (Good Manufacturing Practices (GMP), Hazard Analysis and
Critical Control Point (HACCP) dan Sertifikasi Halal) dan penerapan sertifikasi
produk (SNI); Meningkatkan kerjasama internasional (pasar, teknologi, promosi
dan investasi); Mengembangkan teknologi pengolahan kakao; Meningkatkan
kompetensi SDM.
Kebijakan jangka panjang meliputi: Mengembangkan produk-produk kakao
non pangan; Membangun pusat-pusat pengembangan industri kakao di sentra-
sentra produksi; Mempromosikan industri hilir/turunan dari produk kakao.
Sementara itu, dalam menjalankan strateginya, Menteri Perindustrian menyusun
dan menetapkan peta panduan (Road Map) pengembangan klaster industri
prioritas. Klaster industri adalah sekelompok industri inti yang terkonsentrasi
secara regional maupun global yang saling berhubungan atau berinteraksi sosial
secara dinamis, baik dengan industri terkait, industri pendukung maupun jasa
penunjang, infrastruktur ekonomi dan lembaga terkait dalam meningkatkan
efisiensi, menciptakan aset secara kolektif dan mendorong terciptanya inovasi
sehingga tercipta keunggulan kompetitif. Industri Inti adalah industri yang
menjadi basis dalam pengembangan klaster industri nasional. Industri Penunjang
adalah industri yang berperan sebagai pendukung serta penunjang dalam
pengembangan industri inti secara integratif dan komprehensif.
Industri Prioritas adalah klaster industri yang memiliki prospek tinggi untuk
dikembangkan berdasarkan kemampuannya bersaing di pasar internasional, dan
industri yang faktor-faktor produksi untuk bersaingnya tersedia dengan cukup di
Indonesia.
Melalui kebijakan industri nasional, industri kakao ditempatkan sebagai
salah satu industri prioritas tinggi karena dianggap memiliki prospek tinggi untuk
dikembangkan berdasarkan kemampuannya bersaing di pasar internasional dan
faktor-faktor produksinya tersedia di Indonesia. Konsekuensinya adalah industri
28
kakao dapat memperoleh fasilitas berupa insentif fiskal, insentif non fiskal dan
kemudahan lainnya dari pemerintah. Dalam road map yang disusun oleh
Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia, Kementerian Perindustrian, sasaran
pengembangan industri kakao dalam kurun waktu (2010-2014) adalah sebagai
berikut: i) optimalisasi kapasitas terpasang industri kakao olahan dalam negeri
dari 40% menjadi 80%; ii) peningkatan biji kakao fermentasi dari 20% menjadi
80%; iii) peningkatan pasokan bahan baku biji kakao fermentasi untuk industri
dalam negeri; iv) meningkatnya investasi di bidang industri kakao; v)
pengendalian ekspor biji kakao kering sebagai bahan baku industri kakao dalam
negeri; dan vi) peningkatan ekspor produk kakao olahan rata-rata 16% per tahun.
Sektor Pertanian
Tujuan umum kebijakan pertanian adalah memajukan pertanian,
mengusahakan agar pertanian menjadi lebih produktif, produksi dan efisiensi
produksi naik dan akibatnya tingkat penghidupan dan kesejahteraan petani
meningkat. Untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah pusat maupun daerah
mengeluarkan peraturan tertentu seperti: Undang-undang, Peraturan Pemerintah,
Kepres, Kepmen, keputusan Gubernur dan lain-lain.
Kebijakan pertanian pada komoditi kakao secara umum tertuang dalam
kebijakan perkebunan (Undang-Undang No. 18 tahun 2004). Tujuan
pengembangan agribisnis kakao tidak bisa dilepaskan dari tujuan penyelenggaraan
perkebunan seperti yang tertuang dalam undang-undang tersebut, yaitu: i)
meningkatkan pendapatan masyarakat; ii) meningkatkan penerimaan negara; iii)
meningkatkan penerimaan devisa negara; iv) menyediakan lapangan kerja; v)
meningkatkan produktivitas, nilai tambah dan daya saing; vi) memenuhi
kebutuhan konsumsi dan bahan baku industri dalam negeri; dan vii)
mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya alam secara berkelanjutan.
Ragam kebijakan sektor pertanian khusus komoditi kakao, di antaranya
kebijakan subsidi pupuk. Dilaporkan oleh Arsyad et al. (2011) bahwa subsidi
pupuk telah memberikan dampak positif terhadap produksi dan ekspor kakao.
Mengingat pentingnya produktivitas dan mutu kakao untuk mendapatkan
nilai tambah dan daya saing, maka peran penyuluh yang memberdayakan petani
menjadi sangat sentral. Namun, kinerja penyuluhan masih terbatas dan belum
efektif. Hal ini ditunjukkan oleh beberapa hal-hal berikut: sasaran penyuluhan
komoditas kakao (area/jumlah petani) yang dilakukan lembaga pemerintah masih
terbatas. Kebijakan daerah belum mengapresiasi petani kakao sebagai kontributor
ekonomi primer sehingga kegiatan penyuluhan sebagai partner/supporting system
service bagi petani tidak berkembang (tanpa struktur dan alokasi pendanaan yang
memadai). Selain itu, kegiatan penyuluhan pertanian masih terkonsentrasi pada
tanaman pangan (Wawancara, 1-28 Maret 2010).
Dalam sistem kelembagaan penyuluhan yang diatur dalam Undang Undang
SP3K (Pasal 13 ayat 2) yang mengamanatkan bahwa lembaga penyuluhan
dibentuk sebagai lembaga struktural setingkat eselon II. Namun dari hasil
observasi menunjukkan kebijakan ini belum dapat diterapkan pada seluruh
kabupaten karena terkendala oleh PP 41/2007 tentang Organisasi Perangkat
Daerah (Pasal 21) yang membatasi besaran organisasi perangkat daerah (SKPD)
di kabupaten, serta Permendagri No.59/2007 (pasal 32 ayat 2 dan 3 tentang
29
klasifikasi belanja urusan wajib dan pilihan) yang tidak mencantumkan kata
„penyuluhan‟.
Selain kebijakan penyuluhan, pemerintah juga menetapkan suatu program.
Salah satunnya adalah Program Revitalisasi Perkebunan (Revitbun) yang
diluncurkan tahun 2007 untuk memfasilitasi petani melakukan kegiatan perluasan,
peremajaan, dan rehabilitasi kebun kakao dengan dana komersial perbankan
(kredit investasi). Dalam program ini, petani dapat mengusulkan pembiayaan
(kredit) lengkap sampai tanaman menghasilkan, termasuk biaya sarana produksi
dan tenaga kerja. Bantuan pemerintah hanya pendampingan oleh tenaga penyuluh
dalam subsidi bunga sehingga bunga yang mereka bayar hanya 10% (selama masa
Grass Periode).
Kementerian Pertanian melalui Direktorat Jenderal Perkebunan mulai tahun
2009 melaksanakan program “Gerakan Peningkatan Produktivitas dan Mutu
Kakao Nasional” (Gernas kakao) yang merupakan upaya percepatan peningkatan
produktivitas tanaman dan mutu hasil kakao nasional melalui pemberdayaan yang
melibatkan seluruh pemangku kepentingan dan sumberdaya yang ada secara
optimal. Gernas kakao tersebut dilaksanakan selama 3 tahun mulai tahun 2009-
2011 di 9 provinsi dan 40 kabupaten dengan sasaran sebagai: i) perbaikan
tanaman kakao rakyat seluas 450 ribu Ha yang terdiri dari peremajaan seluas 70
ribu Ha, rehabilitasi 235 ribu Ha dan intensifikasi seluas 145 ribu Ha; ii)
pemberdayaan petani melalui pelatihan dan pendampingan kepada 450 ribu
petani; iii) pengendalian hama dan penyakit tanaman seluas 450 ribu Ha; dan iv)
perbaikan mutu kakao sesuai dengan standar nasional Indonesia (SNI).
Beberapa target yang ingin dicapai melalui pelaksanaan kebijakan ini
adalah: i) peningkatan produktivitas kakao di lokasi gerakan dari 660kg/ha/tahun
menjadi 1 500kg/ha/tahun pada tahun 2013; ii) peningkatan produksi kakao di
lokasi gerakan dari 297ribu ton/tahun menjadi 675ribu ton/tahun; iii)
meningkatnya pendapatan petani dari Rp13.2juta/ha/tahun (2009) menjadi
Rp30juta/ha/tahun (2013); iv) meningkatnya devisa negara dari US$494 juta
(2009) menjadi US$1485 juta (2013); dan v) meningkatnya mutu kakao sesuai
SNI sebanyak 675ribu ton/tahun (2013).
Rossi (2004) menyebutkan bahwa secara umum, langkah penting yang
harus dilakukan pemerintah dalam upaya pengembangan sistem agroindustri
adalah mengintegrasikan berbagai sektor dan pelaku yang terlibat dalam sistem
agroindustri sehingga dapat dihadirkan koordinasi dan tindakan kolektif untuk
menyelesaikan berbagai permasalahan yang ada dalam sistem agroindustri
tersebut. Hal senada juga disampaikan oleh Sa‟id (2010) yang menyebutkan
bahwa dalam penyusunan kebijakan pengembangan sistem agroindustri kakao,
pemerintah harus mampu memuaskan semua pihak yang terlibat terutama
masyarakat petani kecil.
Kesimpulan tentang peran kebijakan sektor pertanian terhadap
pengembangan industri kakao adalah memastikan peningkatan produktivitas dan
mutu kakao yang berkelanjutnan. Kebijakan sektor pertanian mencakup aspek
pemberdayaan petani melalui kebijakan penyuluhan, meningkatkan dukungan
perluasan dan rehabilitasi kebun kakao melalui penyediaan bibit unggul. Namun
kebijakan yang dikeluarkan masih memiliki permasalahan dalam hal kelembagaan,
kemauan politik dari pemerintah daerah serta jangkauan program yang masih
terbatas.
30
Sektor Keuangan
Kebijakan sektor keuangan yang berkaitan dengan perkakaoan meliputi
kebijakan penerimaan berupa pajak ekspor atau bea keluar dan kebijakan pajak
dan retribusi daerah.
Kebijakan Pajak Ekspor
Hampir semua studi yang mengkaji dampak pemberlakuan pajak ekspor
produk suatu negara menyimpulkan bahwa dengan diberlakukannya pajak ekspor,
maka secara keseluruhan biaya ekspor menjadi meningkat. Di sisi lain,
pendapatan yang diterima eksportir menjadi menurun akibat turunnya harga yang
diterima.
Sejenis dengan pajak ekspor pemerintah telah mengeluarkan Bea Keluar
(BK). Meskipun sudah dicanangkan sejak tahun 2005, Bea Keluar (BK) atas biji
kakao baru diberlakukan 1 April 2010. BK adalah pungutan negara berdasarkan
Undang-Undang Kepabeanan yang dikenakan terhadap barang ekspor. BK diatur
dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 67/PMK.O11/2010 Tentang
Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar2.
Tujuan dari penerapan BK ini adalah dalam rangka menjamin ketersediaan bahan
baku serta peningkatan nilai tambah dan daya saing industri pengolahan kakao
dalam negeri. Penetapan tarif BK atas Biji Kakao berdasarkan PMK dimaksud
adalah sebagaimana tertera pada Tabel 5.
Tabel 5 Harga referensi Bea Keluar biji kakao
No Harga referensi (US$) Bea Keluar (%)
1. Kurang dari 2,000 0
2. 2,000 - 2,750 5
3. 2,750 - 3,500 10
4. Lebih dari 3,500 15
Harga referensi3
untuk Biji Kakao ditetapkan oleh menteri yang
bertanggung jawab pada bidang perdagangan dan berpedoman pada harga rata-
rata internasional, yaitu harga rata-rata ClF New York Board of Trade (NYBOT),
NewYork.
Setelah penerapan selama 3 tahun dampak positif dan negatif dari kebijakan
BK telah banyak dikemukakan oleh berbagai pihak. Kebijakan BK, dalam jangka
pendek telah menjadi disinsentif bagi petani, sementara insentif yang tercipta bagi
industri hilir tidak bisa dinikmati oleh petani. Maksud baik pemerintah untuk
2 Dasar hukum penerapan BK adalah UU No. 1 Tahun 2006 tentang Kepabeanan dan PP No 55 tentang
Pengenaan Bea Keluar terhadap Barang Ekspor. Dalam PP tersebut (ayat 1), BK ditetapkan dengan tujuan
untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan dalam negeri, melindungi kelestarian sumberdaya alam,
mengantisipasi kenaikan harga yang cukup drastis dari ekspor tertentu di pasaran internasional, dan
menjaga komoditas tertentu di dalam negeri. 3 Harga Referensi adalah harga rata-rata internasional komoditi tertentu untuk penetapan tarif Bea Keluar.
31
merealokasi pendapatan negara yang berasal dari penerapan BK tersebut kepada
petani kakao, selain tidak mudah untuk dilaksanakan juga membutuhkan waktu
yang lama untuk bisa sampai dirasakan manfaatnya oleh petani. Padahal petani
tidak memiliki daya tahan yang cukup untuk itu. Disinsentif bagi petani bisa
mendorong beralihnya kepemilikan lahan petani kepada pemilik modal.
Kebijakan Pajak dan Reribusi Daerah
Dengan diberlakukannya Undang-undang No.28 tahun 2009 tentang Pajak
dan Reribusi Daerah, daerah harus menghapus pungutan yang menambah biaya
perdagangan antar daerah. Pada bagian Penjelasan Umum UU ini diatur bahwa
pajak dan retribusi tidak boleh menyebabkan ekonomi biaya tinggi dan/atau
menghambat mobilitas penduduk, lalu lintas barang dan jasa antar daerah dan
kegiatan ekspor-impor. Pungutan seperti Retribusi atas izin masuk kota, Retribusi
atas pengeluaran/pengiriman barang dari suatu daerah ke daerah lain dan
pungutan atas kegiatan ekspor-impor tidak dapat dijadikan sebagai objek Pajak
atau Retribusi. Namun, hingga saat ini regulasi ini belum cukup efektif berlaku
sehingga dalam prakteknya masih banyak daerah yang menarik pungutan dengan
berbagai sebutan. Kebijakan ini selain termasuk dalam kebijakan sektor keuangan
juga berkaitan dengan sektor perdagangan.
Sektor Perdagangan
Sektor Perdagangan merupakan sektor yang aktivitasnya sangat dipengaruhi
oleh kebijakan di sektor keuangan. Perdagangan kakao juga tidak terlepas dari
target kebijakan pemerintah. Dalam upaya pengendalian ekspor biji kakao dan
penyediaan bahan baku bagi industri dalam negeri, pemerintah menerapkan
kebijakan bea keluar untuk ekspor biji kakao melalui Peraturan Menteri Keuangan
No. 67 tahun 2010. Bea Keluar ekspor biji kakao ditetapkan sesuai dengan harga
referensi yaitu harga rata-rata internasional yang berpedoman pada harga rata-rata
CIF New York Board of Trade (NYBOT). Tarif bea keluar biji kakao adalah
sebagai berikut: i) untuk harga referensi sampai dengan US$2 000, tarif sebesar
nol persen; ii) harga referensi US$2.000–2.750, tarif sebesar 5 persen; iii) harga
referensi US$2 750–3 500, tarif sebesar 10 persen; dan iv) harga referensi lebih
dari US$3 500, tarif sebesar 15 persen.
Selain bea keluar, pemerintah juga menetapkan tarif bea masuk untuk biji
kakao dan produk olahan kakao. Tarif MFN bea masuk biji kakao dikenakan
sebesar 5 persen, sedangkan produk olahan kakao dikenakan tarif sebesar 10
persen. Sedangkan untuk negara-negara yang termasuk dalam perjanjian
perdagangan bebas ATIGA, ASEAN-CHINA dan ASEAN-KOREA tarifnya
sudah dihapuskan.
Kebijakan lain dalam upaya pengembangan agribisnis kakao adalah berupa
insentif pajak. Melalui Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 2007, biji kakao kering
baik yang difermentasi maupun non fermentasi termasuk kriteria barang hasil
pertanian yang bersifat strategis sehingga dibebaskan dari pengenaan pajak
pertambahan nilai. Selain kebijakan yang langsung terkait dengan komoditas
kakao, berbagai kebijakan pemerintah, baik fiskal maupun moneter, seperti
32
subsidi pertanian secara umum, pembangunan infrastruktur, kebijakan nilai tukar,
inflasi, dan lain-lain, berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung
terhadap perkembangan agribisnis kakao. Setiap jenis kebijakan juga akan
memberikan dampak yang berbeda-beda bagi setiap pihak yang terkait.
Sebagaimana kebijakan di sektor keuangan UU 28 tahun 2009 tentang Pajak
dan Reribusi Daerah telah mengamanatkan untuk menghilangkan hambatan
perdagangan antara daerah. Namun dari observasi lapangan di beberapa daerah
seperti kabupaten Pinrang, dan Luwu Utara ternyata praktek penerapan retribusi
untuk perdagangan komoditas antar daerah masih berlaku.
Sektor Perhubungan
Peranan sektor perhubungan dalam pengembangan industri kakao dapat
dikategorikan sebagai dukungan prasarana dan sarana transportasi. Jenis prasarana
transportasi yang paling banyak berkaitan dengan aktivitas dalam rantai pasok
kakao meliputi prasarana pelabuhan, dan jalan. Sementara itu untuk sarana
transportasi yang berkaitan adalah moda transportasi laut dan transportasi darat.
Dalam konteks rantai pasok, Pujawan (2005) menyatakan bahwa tujuan dari
aktivitas transportasi atau disebut manajemen logistik dan manajemen distribusi
pada prinsipnya adalah menciptakan pelayanan yang tinggi ke pelanggan yang
bisa dilihat dari tingkat pelayanan (service level) yang dicapai, kecepatan
pengiriman, kesempurnaan barang sampai ke tangan pelanggan, serta pelayanan
purna jual yang memuaskan. Sejalan dengan hal itu, kebijakan pemerintah pada
sektor perhubungan bertujuan untuk mendukung pengembangan transportasi yang
lancar, terpadu, aman dan nyaman, sehingga mampu meningkatkan efisiensi
pergerakan orang dan barang, memperkecil kesenjangan pelayanan angkutan antar
wilayah serta mendorong ekonomi nasional (Kemenhub, 2010). Dalam
pengembangan industri kakao, peran kebijakan pemerintah dalam infrastruktur
transportasi menjadi enabler (pemungkin) suatu aktivitas trasnportasi mencapai
kinerja terbaiknya yang lancar, aman, nyaman serta efisien.
Proses transportasi bahan baku maupun barang jadi produk kakao untuk di
darat sebagian besar menggunakan angkutan Jenis Truk, sementara untuk di laut
dengan kapal laut baik kontainer maupun curah. Pemerintah Indonesia melalui
Kementerian Perhubungan terus menerus meningkatkan pembangunan kapasitas
infrastruktur logistik sehingga menjadi sarana transportasi yang efektif dan efisien
agar mekanisme pergerakan dan perpindahan barang dari satu moda ke moda
lainnya dengan lancar, cepat, akurat, dan dengan biaya yang wajar.
Dari pengamatan lapangan dan wawancara di Pelabuhan Makasar dalam
proses ekspor kakao di Terminal Petikemas Makassar (dengan kapal berkapasitas
13.000 Ton) biasanya melalui dua cara, yaitu : konvensional (cara manual) dan
kontainer (menggunakan crane). Dengan cara konvensional membutuhkan waktu
7 hari untuk bisa memenuhi kapal, dan perlu penambahan 4 hari jika kondisi
sedang hujan. Sedangkan untuk cara kontainer hanya membutuhkan waktu 1 hari.
Pengiriman kakao dengan kontainer biasanya digunakan jika harus ganti
kapal di Pelabuhan Surabaya. Namun sebagian besar proses pengapalan lebih
memilih cara konvensional, sehingga waktu handling sangat dipengaruhi oleh
kondisi cuaca. Untuk cara konvensional, tarif yang berlaku di Terminal
Petikemas Makassar, adalah sebesar Rp625/ton, sedangkan untuk tarif kontainer
umumnya Rp545 000 per box ukuran 20 feet.
33
Dengan demikian peranan sektor perhubungan dalam pengembangan
industri kakao merupakan dukungan terhadap penyediaan infrastruktur dan
pelayanan transportasi untuk memperlancar dan efisiensi biaya aliran barang.
Sektor Pekerjaan Umum
Sektor pekerjaan umum secara umum di Indonesia mencakup bidang
penataan ruang, sumber daya air, jalan dan jembatan, perumahan dan permukiman.
Bidang-bidang tersebut merupakan bidang infrastruktur. Sistem infrastruktur
merupakan pendukung utama fungsi-fungsi sistem sosial dan ekonomi dalam
kehidupan sehari-hari masyarakat. Sistem infrastruktur dapat didefinisikan
sebagai fasilitas-fasilitas atau struktur-struktur dasar, peralatan-peralatan,
instalasi-instalasi yang dibangun dan yang dibutuhkan untuk berfungsinya sistem
sosial dan sistem ekonomi masyarakat (Grigg 2000).
Bidang infrastruktur yang berkaitan langsung dengan pengembangan
industri kakao adalah jalan dan jembatan serta bidang penataan ruang.
Infrastruktur jalan merupakan bagian dari sistem transportasi yang saling terkait
satu dengan yang lainnya. Jalan memiliki peran paling strategis terutama pada
tahap awal proses pembangunan suatu negara atau daerah dari keseluruhan
fasilitas infrastruktur transportasi. Ketersediaannya tidak hanya berperan penting
untuk mendorong aktivitas ekonomi, tetapi keberadaannya juga penting untuk
menyediakan berbagai jenis infrastruktur lainnya. Menurut Grigg (2000)
pembangunan jaringan infrastruktur listrik, jaringan telepon, jaringan irigasi, pipa
air bersih, rel kereta api, pelabuhan, air port, dan infrastruktur lainnya hampir
tidak mungkin dapat disediakan tanpa didahului oleh pembangunan jaringan jalan.
Bidang penataan ruang yang berpengaruh terhadap pengembangan industri
adalah dalam hal letak lokasi yang diperuntukkan membangun industri dalam
suatu wilayah. Hal ini penting karena lokasi indusri yang tidak mengakomodir
kepentingan pengusaha tidak akan menarik bagi pengusaha dan tidak akan
terwujud tujuan penataan ruang yang efektif.
Di sisi lain pertimbangan pengusaha atau calon investor terhadap lokasi
industri adalah sangat penting untuk efisiensi dan profitabilitas dari kegiatan
industri. Dalam dunia bisnis, pilihan yang tepat harus dilakukan untuk dapat
menghasilkan keuntungan. Lokasi industri adalah investasi tetap sehingga penting
untuk strategi dan investasi modal dari setiap calon investor. Lokasi ini juga
berdampak pada non-investor, yaitu secara langsung mempengaruhi penyerapan
tenaga kerja, masalah lingkungan, dan aktivitas ekonomi lokal (Harrington dan
Warf 1995).
Dengan demikian, peranan sektor Pekerjaan Umum sangat berkaitan dengan
pengembangan industri kakao dalam hal penyediaan infrastruktur jalan dan
jembatan yang mendukung kelancaran aktivitas transportasi aliran barang.
Sektor ESDM
Pemerintah telah menetapkan kebijakan umum mengenai pemanfaatan gas
alam nasional dalam rangka mendorong peningkatan pemanfaatan gas alam
domestik untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri sesuai dengan amanat UU No.
22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Hal tersebut ditegaskan melalui PP
No 35 Tahun 2004 Pasal 46 dan Peraturan Menteri ESDM No 3 Tahun 2010, di
34
mana pemerintah mewajibkan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) untuk
menyerahkan 25 persen dari produksi gas bumi bagian kontraktor guna memenuhi
keperluan dalam negeri dalam rangka domestic market obligation (DMO)4.
Berdasarkan Rencana Strategis Kementerian Energi dan Sumberdaya
Mineral ada beberapa peran penting sektor ESDM, antara lain sebagai sumber
penerimaan negara, penggerak pembangunan daerah, neraca perdagangan,
investasi, subsidi, penyediaan energi dan bahan baku domestik (Kementerian
ESDM 2010). Pasokan energi sektor industri seperti gas merupakan acuan
strategis karena berfungsi sebagai bahan baku dan sumber energi. Pemanfaatan
gas bumi sebagai bahan baku industri dalam negeri sejalan dengan kebijakan
pemerintah untuk mendorong hilirisasi industri yang mendukung peningkatan
nilai tambah di Indoensia. Pemanfaatan gas sebagai sumber energi menjadi faktor
penting dalam menggerakkan kegiatan operasi industri manufaktur, termasuk di
dalamnya industri kakao serta industri turunannya. Hal ini karena Industri kakao
termasuk industri yang prospektif, baik dalam memenuhi kebutuhan dalam negeri
maupun untuk berkompetisi di pasar internasional.
Kebutuhan gas bumi untuk industri saat ini mencapai 2.129.57 MMSCFD5
yang mencakup kebutuhan untuk bahan baku sebesar 1.022.00 MMSCFD dan
untuk energi sebesar 1.107.57 MMSCFD. Kebutuhan tersebut semakin meningkat
seiring dengan rencana pengembangan industri kedepan. Karena itu perlu ada
dorongan untuk memenuhi kebutuhan gas di sektor industri. Termasuk yang
dialami industri kakao, saat ini sulit mendapatkan tambahan pasokan gas alam
sehingga menghambat industri yang sedang melakukan ekspansi dan
pembangunan baru industri kakao di beberapa daerah (Kemenperin 2011; 2013).
Infrastruktur Energi Listrik
Infrastruktur energi listrik berperan sebagai input dalam proses produksi
berbagai aktivitas ekonomi khususnya sektor industri pengolahan. Penyediaannya
selain dilakukan oleh perusahaan negara, sebagian disediakan oleh pihak swasta,
termasuk pembangkitan tenaga listrik oleh perusahaan industri. Penyediaan energi
listrik oleh PT PLN (Perusahaan Listrik Negara) mengalami perkembangan yang
cukup pesat pada periode sebelum krisis ekonomi dengan peningkatan kapasitas
terpasang mencapai 14.29 persen per tahun selama periode 1972-1996. Setelah
krisis ekonomi, peningkatannya hanya 4.10 persen per tahun pada periode 1997-
2006 (Delis 2008).
Delis (2008) mengidentifikasi bahwa perkembangan penyediaan
infrastruktur listrik juga mengalami pelambatan seperti halnya infrastruktur jalan.
Pada periode 1972-1980, peningkatannya mencapai 18.79 persen per tahun,
kemudian turun pada periode-periode berikutnya. Kecenderungan ini
4 DMO pada dasarnya adalah kewajiban kontraktor untuk memasok kebutuhan domestik sejumlah
volume tertentu. 5 MMSCFD adalah singkatan dari Million Metric Standard Cubic Feet per Day (gas) atau juta
standar metrik kaki kubik per hari (gas). M adalah 1000 (seribu) jika digunakan dalam hubungan
dengan satuan SCF (Standard Cubic Foot). SCF adalah sejumlah gas yang diperlukan untuk
mengisi ruangan 1 (satu) kaki kubik, dengan tekanan sebesar 14.7 psi (empatbelas dan tujuh per
sepuluh pound per square inch) dan pada temperatur 60oF (enampuluh derajat Fahrenheit) dalam
kondisi kering.
35
mengindikasi melemahnya kemampuan keuangan negara dan BUMN dalam
pembiayaan energi listrik, padahal kebutuhan infrastruktur ini semakin meningkat
bersamaan dengan meningkatnya aktivitas industri pengolahan dan
berkembangnya teknologi produksi modern. Pada pengembangan industri kakao
hingga tahun 2012 didapati masih terbatasnya infrastruktur energi berupa listrik
dan gas (Kemenperin 2013).
Berdasar hasil analisis keterkaitan sektor-sektor yang berpengaruh terhadap
pengembangan industri kakao dapat disusun interaksi kebijakan antar sektor
sebagaimana skema pada Gambar 8.
Pengembangan
Industri Kakao
Kebijakan
Perindustrian
Kebijakan
Keuangan
Kebijakan
Perhubungan
Kebijakan
Pekerjaan Umum
Kebijakan
Pertanian
Kebijakan
Perdagangan
Kebijakan
TelekomunikasiKebijakan Energi
Gambar 8 Keterkaitan antar kebijakan pengembangan industri hilir kakao
Simpulan
Dari hasil pembahasan dapat disimpulkan bahwa permasalahan utama
perkakaoan Indonesia di sektor hulu adalah produktivitas rendah dan mutu biji
belum standar. Selain itu, budidaya kakao belum berkembang karena kurangnya
penyuluhan, pemahaman nilai ekonomi komoditas yang kurang, pendidikan
rendah, kurangnya sarana pertanian dan permodalan budidaya, dan kurangnya
peran lembaga keuangan formal.
Permasalahan sektor hulu selanjutnya adalah akses pendanaan perawatan
kebun petani yang kurang, kecenderungan menghasilkan biji kakao non
fermentasi, perdagangan yang berbasis volume karena struktur pasar yang bersifat
oligopsoni, tersebarnya sentra produksi, dan informasi harga yang terdistorsi.
Selain itu, masih adanya hambatan perdagangan yaitu kondisi jalan poros yang
kurang memadai, kondisi jalan desa di sentra produksi kakao yang umumnya
kurang baik, serta pungutan yang berlaku pada perdagangan antar daerah.
36
Pada sektor hilir permasalahan yang dihadapi adalah masih rendahnya daya
serap (kapasitas) industri akibat berbagai kebijakan seperti PPN, bea masuk di
negara tujuan ekspor, diskriminasi tarif bea masuk di beberapa Negara tujuan
ekspor; dan krisis keuangan global.
Pemerintah telah memperbaiki berbagai kebijakan yang menghambat
pengembangan industri kakao melalui pencabutan PPN tahun 2007, menaikkan
bea masuk kakao olahan di Indonesia dan untuk meningkatkan pasokan bahan
baku industri melalui kebijakan Bea Keluar tahun 2010. Namun demikian, proses
bangkitnya industri kakao masih belum optimal, sehingga membutuhkan
dukungan kebijakan pemerintah yang lebih sinergis pada berbagai sektor yang
berkaitan dengan pengembangan industri kakao.
Di sisi lain, peluang pengembangan industri kakao masih terbuka luas
mengingat banyaknya produk turunan yang bisa dihasilkan dari biji kakao. Di
samping itu, dengan konsumsi kakao perkapita Indonesia yang mulai tumbuh
secara signifikan yaitu 250gram/kapita/tahun, seharusnya memicu pengembangan
industri kakao Indonesia untuk memenuhi potensi pasar tersebut.
Sektor yang terkait baik langsung maupun tidak langsung dalam
pegembangan industri hilir kakao di Indonesia adalah: sektor perindustrian, sektor
pertanian, sektor keuangan, sektor pekerjaan umum, sektor perhubungan dan
telekomunikasi, sektor perdagangan, dan sektor energi.
Dari berbagai kebijakan yang telah dikeluarkan untuk mendorong
pengembangan industri kakao, terlihat kebijakan sektor keuangan khususnya
perpajakan sangat mendominasi perkembangan industri kakao Indonesia.
Sementara peranan sektor inti pengembangan industri masih terbatas pada
kebijakan tataran makro berupa kebijakan. Kebijakan yang bertaraf mikro lebih
banyak dilakukan oleh sektor hulu (budidaya dan pascapanen). Program berdana
besar seperti Gernas Kakao tahun 2009-2011 merupakan implementasi perkuatan
kakao di sektor hulu. Sungguhpun demikian, berhadapan dengan perubahan iklim
yang sedang melanda kawasan asia, usaha tersebut hanya mampu
mempertahankan tingkat produksi kakao Indonesia pada kisaran 500 ribu ton per
dari tahun 2010 hingga 2012.
Kebijakan pendukung di bidang infrastruktur seperti jalan, jembatan,
pelabuhan dari sisi industri masih dinilai belum memenuhi harapan. Sementara itu
kelancaran aliran barang masih menemui hambatan karena adanya pungutan baik
yang resmi maupun liar dalam perdagangan kakao antara daerah. Berkaitan
dengan perluasan (ekspansi) industri kakao masih mengalami kekurangan pasokan
energi berupa gas maupun listrik bagi pembangunan baru dan beberapa rencana
perluasan industri pengolahan kakao.
37
5 ANALISIS RANTAI PASOK KAKAO UNTUK
PENGEMBANGAN INDUSTRI PENGOLAHAN KAKAO DI
SULAWESI SELATAN
Abstrak
Sebagai provinsi penghasil biji kakao terbesar di Indonesia, Sulawesi Selatan
belum menikmati nilai tambah yang layak karena sebagian besar kakao diekspor
atau dikirim ke industri pengolahan di Pulau Jawa. Pengembangan industri kakao
sebagai upaya peningkatan nilai tambah perlu kajian yang menyeluruh.
Pendekatan rantai pasok yang mengintegrasikan seluruh pelaku untuk
menghasilkan produk secara efisien sangat tepat untuk melihat kemungkinan
pengembangan industri kakao di Sulawesi Selatan. Penelitian pada bagian ini
bertujuan menganalisis rantai pasok kakao dalam pengembangan industri
pengolahan kakao di Sulawesi Selatan. Pendekatan deskriptif kualitatif digunakan
mempelajari fenomena lapangan mengenai rantai pasok kakao. Analisis yang
dilakukan meliputi: identifikasi anggota rantai pasok, pemetaan struktur dan
hubungan antar pelaku serta upaya perbaikan manajemen rantai pasok. Temuan
penelitian ini menunjukkan bahwa perluasan kemitraan industri dan petani,
perbaikan infrastruktur jalan ke sentra produksi, pengawasan perdagangan akan
mengatasi hambatan aliran barang. Perluasan akses informasi, penguatan
kelompok tani akan memperlancar aliran Informasi. Sementara perluasan akses
modal petani akan memperbaiki aliran uang. Secara umum pengembangan
kemitraan antara industri dan petani akan mendorong perkembangan industri
pengolahan kakao di Sulawesi Selatan.
Kata kunci: rantai pasok, kakao, Sulawesi Selatan, industri pengolahan kakao
Pendahuluan
Indonesia merupakan penghasil biji kakao terbesar ketiga di dunia dengan
jumlah produksi pada tahun 2011 mencapai 440 ribu ton setelah Pantai Gading
dan Ghana berturut-turut 1.5 dan 1.0 juta ton (ICCO 2011). Meskipun demikian,
kakao Indonesia masih lebih banyak diekspor dalam bentuk mentah, sehingga
nilai tambahnya banyak dinikmati negara tujuan ekspor utama antara lain
Malaysia, Amerika, Singapura, Brazil dan China (Kemenperin 2011). Sulawesi
Selatan sebagai sentra produksi kakao terbesar di Indonesia mengalami
permasalahan yang sama. Selama ini produksi biji kakao dari Sulawesi Selatan
sebagian besar dikirim keluar wilayah, baik diekspor ke luar negeri maupun ke
Pulau Jawa.
Terdapat keadaan yang kontradiktif, dimana Sulawesi Selatan yang
merupakan wilayah produksi kakao yang relatif besar tetapi hanya mendapatkan
manfaat ekonomi yang relatif kecil dari industri hilirnya (semi finsih dan finish
product). Sebagai produsen utama biji kakao nasional Sulawesi Selatan idealnya
mendapat peluang untuk mengembangkan industri kakao guna memperoleh
manfaat ekonomi yang lebih besar. Oleh sebab itu, untuk menghasilkan
peningkatan nilai tambah dari pengembangan industri pengolahan kakao,
38
Sulawesi Selatan perlu meningkatkan daya saing yang dapat menarik investor
baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
Produksi kakao Sulawesi Selatan pada tahun 2010 sebesar 173.555ton
sedikit menurun dibanding tahun 2004 sebesar 198.079 ton. Secara proporsi
produksi kakao Sulawesi Selatan terhadap produksi kakao nasionalpun ikut
menurun, yaitu dari 22% pada tahun 2004 menjadi 19,2% pada tahun 2010.
Walaupun demikian, luas lahan kakao di Sulawesi Selatan terus meningkat, dari
217.399 hektar di tahun 2004 menjadi 270.060 ribu hektar di tahun 2010. Hal
tersebut di satu sisi menunjukkan menurunnya produktivitas, tetapi di pihak lain
menunjukkan adanya peluang peningkatan produksi bila dilakukan berbagai
perbaikan melalui rehabilitasi, replanting, dan intensifikasi.
Perkembangan industri pengolahan kakao yang ada di Sulawesi Selatan
menghadapi berbagai masalah. Turunnya produktivitas dan kualitas biji kakao
serta kuatnya tekanan pasar internasional telah menurunkan nilai ekspor kakao.
Kondisi ini kemudian menyebabkan tekanan nyata terhadap harga di tingkat
petani (farm gate price) dan lebih lanjut menyebabkan para petani tidak
mempunyai modal yang cukup untuk memelihara kebun sehingga mampu
menghasilkan produksi dan kualitas kakao yang baik.
Sementara itu, permintaan pasar akan kakao Indonesia mendorong transaksi
pasar lokal cenderung berbasis volume (bukan pada kualitas) dan membuat
kurangnya penawaran biji kakao berkualitas bagi industri. Pasar reguler hanya
menawarkan insentif yang rendah untuk biji kakao berkualitas dan kakao
fermentasi. Akibatnya, sangat sedikit petani yang tertarik menghasilkan produk
tersebut. Jaminan ketersediaan pasokan biji kakao bermutu akan mempengaruhi
industri pengolahan kakao (semi finished) menghasilkan cocoa liquor, cocoa
butter, cocoa cake dan cocoa powder yang merupakan komoditas ekspor bernilai
tinggi.
Pengembangan industri hilir suatu komoditas pertanian, termasuk di
dalamnya industri pengolahan kakao perlu mempertimbangkan berbagai aspek.
Aspek-aspek tersebut mulai dari aspek pasar, tekno-ekonomi, dan aspek
pembangunan (terkait dengan sektoral, strategi dan kebijakan pengembangan).
Untuk itu, perumusan strategi dan kebijakan yang bisa mengakomodir berbagai
aspek tersebut merupakan faktor kunci dalam pengembangan industri kakao
(Wahyudi et al. 2008).
Keterlibatan banyak pelaku dalam rantai pasok kakao membuat tidak mudah
mengembangkan industri hilir tanpa membenahi seluruh bagian yang terkait.
Panlibuton dan Lusby (2006) menggambarkan banyaknya fungsi dan pelaku yang
terlibat dalam rantai pasok kakao di Indonesia. Pelaku rantai pasok di tingkat lokal
terdiri atas pemasok bibit dan obat-obatan, petani, pedagang, pengangkut, sampai
eksportir; Sementara untuk pelaku internasional terdapat multinational trader,
multinational processors (produk setengah jadi) dan multinational manufacturer
(produk akhir). Keseluruhannya membentuk suatu jaringan rantai pasok
internasional. Dengan keterkaitan tersebut, rantai pasok kakao di Indonesia
berkaitan dengan sistem perdagangan kakao international. Oleh sebab itu dalam
pengembangan industri pengolahan kakao harus memperhatikan konstelasi rantai
pasok internasional.
Bertolak dari berbagai isu yang berkembangan tentang perkakaoan di
Sulawesi Selatan, dapat dirumuskan bahwa permasalahan yang dihadapi
39
setidaknya ada tiga, yaitu pertama, menurunnya produktivitas meskipun luas
lahan bertambah, hal ini berarti ada peluang peningkatan produksi bila ada
penanganan yang tepat. Masalah kedua adalah mutu kakao yang cenderung
menurun akibat dari tekanan pasar internasional, model transaksi berbasis volume
dan kecilnya insentif petani sehingga kurang tertarik menghasilkan kakao
bermutu. Ketiga, banyaknya pelaku yang terlibat sehingga sulit mengembangkan
industri tanpa membenahi seluruh bagian. Dalam pada itu pengembangan industri
pengolahan kakao di Sulawesi Selatan maupun di Indoensia pada umumnya harus
memperhatikan konstelasi rantai pasok.
Berdasar latar belakang masalah tersebut tujuan penelitian ini adalah untuk
menganalisis rantai pasok kakao sebagai upaya merealisasikan pengembangan
industri pengolahan kakao di Sulawesi Selatan untuk meningkatkan nilai tambah
yang bisa dinikmati wilayah ini.
Metode Penelitian
Analisis rantai pasok ini mengacu pada pengertian pengelolaan rantai pasok
yang secara umum merupakan integrasi atas proses-proses bisnis dari pengguna
akhir melalui pemasok awal yang menyediakan produk, jasa, dan informasi yang
memberikan nilai tambah bagi pelanggan (Lambert 1998). Lebih lanjut, metode
analisis rantai pasok juga diajukan Chopra dan Meindl (2007) yang mencakup
manajemen atas aliran-aliran di antara tingkatan dalam suatu rantai pasok untuk
memaksimumkan keuntungan total. Pujawan (2005) menyatakan bahwa
pengelolaan rantai pasok merupakan metode atau pendekatan integratif untuk
mengelola aliran produk, informasi dan uang secara terintegrasi yang melibatkan
pihak-pihak mulai hulu sampai hilir.
Untuk memperoleh gambaran tentang rantai pasok kakao Sulawesi Selatan
yang diorientasikan untuk pengembangan industri pengolahan kakao, penelitian
pada bagian ini melakukan serangkaian langkah mulai dari studi literatur,
perumusan permasalahan, pengumpulan data, analisis, pembahasan dan penarikan
kesimpulan.
Metode Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan penelitian ini meliputi data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh dengan cara sebagai berikut: Observasi lapangan
ke lokasi para petani kakao, pedagang kakao, eksportir dan industri pengolahan
kakao di Kabupaten Luwu Utara, Pinrang, Bone dan Bulukumba Provinsi
Sulawesi Selatan; Wawancara mendalam dengan wakil petani, pedagang kecil dan
besar, eksportir, industri pengolah kakao, pemerintah daerah, beberapa asosiasi
dan lembaga lain terkait kakao di Sulawesi Selatan; FGD (Focus Group
Discussion) di Kabupaten Luwu Utara pada tanggal 11 Maret 2010, Pinrang
tanggal 18 Maret 2010, Bone tanggal 23 Maret 2010 dan Bulukumba tanggal 26
Maret 2010. FGD yang dilaksanakan melibatkan para anggota rantai pasok kakao
di masing-masing kabupaten.
Data sekunder diperoleh dari instansi Ditjen Perkebunan Kementerian
Pertanian, Dinas di Lingkungan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten
terkait dengan statistik di sektor Pertanian, Perdagangan, Perindustrian serta
40
sektor Pekerjaan Umum. Data yang diambil dari sektor Pertanian berkaitan
dengan dukungan dalam hal budidaya dan input faktor pertanian. Pada bidang
perdagangan data yang dihimpun berkaitan dengan kebijakan perdagangan daerah,
seperti pengawasan perdagangan, penerapan standar timbangan (metrologi) serta
pungutan atau retribusi daerah. Untuk sektor Perindustrian penelitian ini
menyoroti kebijakan pengembangan industri di tingkat nasional dan program
bantuan peralatan pengolahan kakao skala kecil di tingkat daerah. Sementara itu,
data dari sektor Pekerjaan Umum berkaitan dengan kondisi infrstruktur jalan dan
jembatan di seluruh wilayah Sulawesi Selatan, program yang sedang dan akan
dilaksanakan serta kebijakan tentang rencana tata ruang wilayah Provinsi dan
Kabupaten di Sulawesi Selatan.
Metode Analisis dan Pendekatan Penelitian
Metode analisis penelitian pada bagian ini merujuk pada Lambert (2004)
yang meliputi: 1) Identifikasi seluruh anggota rantai pasok, identifikasi struktur
rantai pasok, dan mengidentifikasi hubungan antar anggota rantai pasok; 2)
Menganalisis konfigurasi manajemen rantai pasok yang mencakup pengelolaan
tiga macam aliran, yaitu aliran barang, uang dan informasi. Analisis konfigurasi
rantai pasok kakao dilakukan pada semua tingkatan. 3) melakukan upaya
perbaikan struktur untuk memperoleh rantai pasok yang lebih efisien dan
rensponsif (Gambar 8).
Gambar 9 Kerangka analisis rantai pasok untuk pengembangan industri
Secara umum penelitian pada bagian ini menggunakan pendekatan
deskriptif kualitatif untuk membedah fenomena yang diamati di lapangan.
Pendekatan ini menggambarkan dan menjabarkan temuan di lapangan serta
memberikan penguatan dengan data kuantitatif yang relevan. Pendekatan
kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif
Analisis Rantai Pasok untuk
Pengembangan Industri Kakao
Identifikasi Anggota Rantai Pasok
Pemetaan Struktur Rantai Pasok
Mekanisme Antar
Anggota Rantai Pasok
Aliran
Barang
Aliran
Informasi
Aliran
Uang
Upaya Perbaikan
Konfigurasi Manajemen Rantai Pasok
Rekomendasi Rantai Pasok yang mendukung
Berkembangnya Industri pengolahan kakao
41
berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang atau perilaku yang diamati
(Moleong 2002).
Hasil dan Pembahasan
Identifikasi Anggota rantai pasok kakao Sulawesi Selatan
Anggota rantai pasok kakao Sulawesi Selatan meliputi: Petani; Kelompok
tani atau koperasi tani; Buying Station yang merupakan kepanjangan tangan
Eksportir atau industri pengolah kakao; Pedagang Pengumpul tingkat desa;
Pedagang Pengumpul tingkat Kabupaten ; Pedagang besar; Broker atau makelar
yang berperan sebagai perantara antara pedagang daerah yang tidak memiliki
hubungan langsung dengan eksportir; Eksportir; Industri pengolahan kakao (semi
finished product); dan confectionery atau industri makanan/minuman berbasis
coklat (finished product).
Petani sebagai pelaku utama dalam menghasilkan biji kakao memainkan
peran kunci dalam pengembangan industri pengolahan kakao di Sulawesi Selatan.
Jenis biji kakao Sulawesi Selatan yang saat ini masih didominasi oleh biji yang
tidak difermentasi, nantinya akan menjadi permasalahan bagi industri pengolahan
kakao. Seperti diketahui, untuk menghasilkan produk cocoa cake dan cocoa
powder yang bercitarasa baik memerlukan biji kakao yang difermentasi (Wahyudi
et al. 2008). Dengan demikian perilaku petani yang lebih suka menghasilkan biji
kakao non fermentasi akan menjadi kendala pengembangan industri.
Aktivitas berkelompok bagi petani cukup efektif untuk menjawab tuntutan
skala ekonomi kegiatan pascapanen dan peningkatan posisi tawar terhadap pelaku
rantai pasok yang lainnya. Dalam kegiatan pascapanen seperti fermentasi, tingkat
optimal tumpukan biji kakao minimal adalah 60kg, sedangkan panen petani secara
individual biasanya lebih sedikit dari itu (Susanto 1994). Demikian juga untuk
proses pengeringan biji kakao jika menggunakan alat pengering mekanis
(berbahan bakar minyak) juga membutuhkan volume tertentu agar ekonomis yang
mana keadaan ini relatif sulit dipenuhi jika tidak berkelompok. Dalam kemitraan
antara eksportir/industri dan petani selalu mensyaratkan terbentuknya kelompok
atau koperasi tani. Namun, kondisi saat ini tidak seluruh petani bergabung dalam
kelompok tani atau koperasi, sehingga hanya sebagian kecil petani yang
memperoleh manfaat dan keuntungan dari berkelompok.
Aktivitas transportasi dan perdagangan kakao di pulau Sulawesi banyak
diperankan oleh pedagang pengumpul, pedagang besar di tingkat kabupaten serta
broker atau makelar di tingkat provinsi. Sementara untuk transportasi ke luar
pulau Sulawesi diperankan oleh eksportir dan industri pengolahan kakao baik
untuk bahan baku maupun barang jadi.
Aktivitas pengolahan kakao dilakukan oleh pabrik pengolah kakao dengan
berbagai tingkatan/skala. Paling tidak ada dua yaitu skala besar (perusahaan
multinasional) dan skala kecil/menengah yang ada di kabupaten-kabupaten.
Dibandingkan dengan besarnya potensi bahan mentah, ekspor produk olahan
kakao masih sangat rendah yaitu 6.345 ton pada 2009 (Gambar 10). Jumlah
produk yang di ekspor tersebut merupakan kontribusi dari lima industri
pengolahan di Sulawesi Selatan. Dari lima industri pengolahan di Sulawesi
Selatan, hanya satu perusahaan skala besar yang beroperasi dengan kapasitas
42
penuh yaitu PT. Mars Symbioscience. Perusahaan ini memiliki daya saing tinggi
yang ditunjukkan dari produktivitas dan pangsa pasar luas serta didukung oleh
kapasitas modal yang kuat karena beraliansi dengan perusahaan multinasional.
Sementara untuk industri kecil/menengah berproduksi di bawah kapasitas
terpasang atau bahkan belum berproduksi.
Sumber: Dinas Perindag Prov. Sulawesi Selatan, 2010
Gambar 10 Ekspor kakao Sulawesi Selatan 2009
Keterangan : Volume (Ton), Nilai (Ribu US$)
Tidak ada industri confectionery (industri makanan berbasis coklat) skala
besar yang beroperasi di Sulawesi Selatan. Untuk industri skala kecil dan
menengah, Kementerian Perindustrian telah melaksanakan program bantuan
peralatan mesin pengolahan kakao hingga menghasilkan barang jadi siap
konsumsi. Untuk menjalankan program tersebut bekerjasama dengan Pemerintah
Daerah yang berperan menyediakan lahan dan bangunan pabrik. Industri hilir
kakao tersebut dikelola oleh kelompok tani atau koperasi lokal dan dibangun di
kabupaten di mana bahan baku dianggap memadai untuk memasok industri
tersebut.
Hasil survei lapangan terhadap program tersebut di 6 Kabupaten di Sulawesi
Selatan (Luwu Utara, Kota Palopo, Pinrang, Bone, Bulukumba dan Gowa)
menunjukkan kinerja yang belum baik. Dari tujuh pabrik yang direncanakan,
hanya satu yang melakukan percobaan produksi komersial, dua pabrik telah
melakukan ujicoba produksi, sedangkan yang lain masih dalam proses
pembangunan atau dibiarkan terurai karena peralatan yang belum lengkap atau
tidak sesuai spesifikasi.
133,254
6,345
313,631
22,376
-
50.000
100.000
150.000
200.000
250.000
300.000
350.000
Biji Kakao Kakao Olahan
Vo
lum
e (T
on)
dan
Nil
ai (
Rib
u U
S$
)
43
Pemetaan Struktur Rantai Pasok
Berdasarkan hasil observasi dan wawancara dengan para pelaku rantai
pasok kakao dapat disusun struktur rantai pasok kakao Sulawesi Selatan. Struktur
rantai pasok kakao Sulawesi Selatan memiliki dua pola, yaitu pola perdagangan
umum dan pola kemitraan (Gambar 11). Jaringan pada pola perdagangan umum
lebih panjang, karena melibatkan lebih banyak pelaku perdagangan mulai dari
desa hingga tingkat provinsi secara berjenjang. Pola ini berlaku secara luas di
semua wilayah Provinsi Sulawesi Selatan.
KE
CA
MA
TA
ND
ES
AK
AB
UP
AT
EN
PR
OV
INS
IP
. JA
WA
/ LU
AR
NE
GE
RI
PETANI
KELOMPOK TANI /
KOPERASI
PEDAGANG
PENGUMPUL
DESA
PEDAGANG
PENGUMPUL
KECAMATAN
PEDAGANG
KABUPATEN
BROKER/
KOMISIONEREKSPORTIR
INDUSTRI
PENGOLAH
KAKAO
INDUSTRI
PENGOLAH
KAKAO
CONFECTIONERY
CONFECTIONERY
BUYING
STATIONBUYING
STATION
Gambar 11 Struktur rantai pasok kakao Sulawesi Selatan
Sementara itu, untuk pola kemitraan memiliki jalur lebih pendek karena
memiliki akses langsung ke eksportir atau industri pengolahan kakao yang
dijembatani oleh tempat pembelian (buying station) di desa setempat. Dalam satu
kabupaten hanya berkisar 1 sampai 2 unit buying station.
Pola kemitraan mampu memberikan harga beli kakao yang lebih baik
kepada petani karena berlaku transaksi yang transparan sesuai standar. Misalnya
digunakannya alat uji kadar air, timbangan digital, alat sampling yang memenuhi
standar. Selain itu, dalam pola kemitraan kakao yang dihimpun dari petani dapat
dikondisikan harus sudah difermentasi. Kakao fermentasi dikumpulkan dalam
suatu kelompok tani sehingga dapat mencapai volume tertentu yang dicatat dalam
suatu kontrak pembelian dengan eksportir atau industri pengolahan kakao.
Pengendalian perdagangan kakao terfermentasi sulit dicapai jika pola
perdagangan bukan kemitraan. Karena selama ini isu yang berkembang di
masyarakat bahwa harga tidak berbeda antara biji kakao fermentasi dan tidak
44
fermentasi. Isu tersebut tidak sepenuhnya benar, karena harga sebenarnya berbeda
meskipun kecil (Rp1.500.00-2.000.00/kg). Sementara itu, kakao yang
diperdagangkan sebagian besar merupakan campuran dari berbagai tingkatan
mutu (baik sengaja dicampur maupun tidak), sehingga harga kakao fermentasi
akan mengikuti yang non fermentasi jika volumenya kecil.
Beberapa model kemitraan telah ditumbuh-kembangkan melalui fasilitasi
program pemerintah atau lembaga non pemerintah. Namun demikian, kerjasama
petani-eksportir/industri melalui model kemitraan belum berkembang pesat karena
minat kalangan eksportir atau industri untuk mengembangkan rantai pasok biji
kakao melalui pola kemitraan masih relatif terbatas.
Hendaknya kemitraan yang lebih luas dapat diterapkan dan didorong oleh
pemerintah baik pusat maupun daerah. Dari perkembangan kemitraan yang sudah
ada perlu penguatan dalam hal penyiapan petani agar mampu berorganisasi atau
berkelompok. Karena dengan berkelompok mereka dapat melakukan aktivitas
budidaya dan terutama pasca panen secara lebih efisien. Selain itu dengan
berkelompok petani menjadi lebih memiliki daya tawar tinggi terhadap pedagang
maupun industri dalam hal transaksi jual beli biji kakao. Kemitraan yang harus
dikembangkan dapat mengintegrasikan program pemerintah dalam mendukung
penguatan petani dengan program pihak CSR perusahaan swasta (eksportir/
industri kakao).
Mekanisme hubungan antar anggota rantai pasok
Hubungan antar anggota rantai pasok kakao dibagi menjadi empat aktivitas
yaitu: aktivitas menghasilkan biji kakao, perdagangan biji kakao, proses produksi
produk olahan kakao, dan distribusi.
Aktivitas Menghasilkan Biji Kakao
Petani dalam kegiatan budidaya menghasilkan biji kakao didukung oleh
pelaku lain yang memasok barang dan jasa yang sangat dibutuhkan. Pelaku
tersebut di antaranya: Pemasok input faktor (bahan tanam, pupuk, obat-obatan),
Penyuluh perkebunan, Lembaga Pembiayaan, Perusahaan transportasi, ASKINDO
(Asosiasi Kakao Indonesia), dan APKAI (Asosiasi Petani Kakao Indonesia)
Sulawesi Selatan. Dari survei lapangan diketahui bahwa dukungan pelaku
pendukung terhadap petani kakao sebagian besar masih belum optimal kecuali
jasa transportasi dan pemasok input produksi (Tabel 6).
Aliran barang dan jasa dalam mendukung petani untuk menghasilkan biji
kakao ada yang bersifat langsung dan tidak langsung (Gambar 12). Kegiatan yang
sangat mendukung petani namun masih lemah adalah dukungan pemerintah dalam
penyuluhan. Peluang itu justru telah diambil oleh perusahaan dalam
mengembangkan kemitraan yang berkelanjutan untuk menjaga kontinuitas bahan
baku.
45
Tabel 6 Bentuk dukungan dalam produksi biji kakao
Pendukung Barang/Jasa Dukungan Keterangan
Pemasok
input faktor
Pupuk, bibit,
pestisida
Positif. Kebutuhan akan pupuk, obat-
obatan, bibit dapat terpenuhi di
pasaran
Penyuluh
perkebunan
Jasa
penyuluhan,
teknologi
Belum optimal Penyuluh pemerintah belum
berfungsi karena faktor
kelembagaan dan pendanaan.
Lembaga
Pembiayaan
Jasa
keuangan,
uang
Belum optimal Hanya mendukung industri dan
pedagang, sedang untuk petani
belum ada skema pembiayaan
dari bank.
Perusahaan
transportasi
Jasa
transportasi,
Sangat
menunjang
Alat angkut untuk pengiriman
biji kakao antar daerah dan
ekspor selalu tersedia.
ASKINDO Fasilitasi, jasa
penyuluhan,
informasi
harga
Belum optimal Cakupan fasilitasi belum meluas,
di setiap kabupaten hanya satu.
APKAI Fasilitasi,
informasi
harga,
teknologi
Belum
berperan
Belum menjadi mitra petani
kakao dalam berbagi informasi.
Sumber: Survei dan Wawancara (Maret 2010)
Gambar 12 Aktivitas pendukung petani dalam menghasilkan biji kakao
Efektifitas dan kinerja penyuluhan kakao di suatu kabupaten akan
ditentukan oleh sejauhmana pemerintah setempat memprioritaskan pentingnya
penyuluhan untuk komoditas kakao. Meskipun kakao menjadi komoditas yang
memberikan kontribusi besar bagi perekonomian suatu kabupaten, namun masih
46
banyak pemerintah kabupaten di provinsi Sulawesi Selatan yang belum
memberikan perhatian besar terhadap keberlangsungan kegiatan penyuluhan bagi
petani kakao. Padahal pemberiaan prioritas yang dibarengi alokasi budget
merupakan hal penting yang harus hadir dalam melangsungkan penyuluhan yang
memiliki kinerja baik dan efektif. Hal ini karena sistem kelembagaan penyuluhan
belum mantap (baik struktur organisasi maupun anggaran penyelenggaraannya).
Implementasi UU SP3K (Pasal 13 ayat 2) yang mengamanatkan bahwa lembaga
penyuluhan dibentuk sebagai lembaga struktural setingkat eselon II belum dapat
diterapkan pada seluruh kabupaten karena terkendala oleh: 1) PP 41/2007 tentang
Organisasi Perangkat Daerah (Pasal 21) yang membatasi besaran organisasi
perangkat daerah (SKPD) di kabupaten, serta 2) Permendagri No. 59/ 2007 (pasal
32 ayat 2 dan 3 tentang klasifikasi belanja urusan wajib dan pilihan) tidak
mencantumkan penyuluhan. Akibatnya, alokasi dana untuk kegiatan penyuluhan
mengalami kendala di legislatif. Jumlah SDM pelaksana penyuluh masih terbatas
dan sebagian dari mereka belum menguasai industri kakao. Sebagian besar
penyuluh di Badan Pelaksana Peyuluhan berasal dari keahlian non perkebunan
(Wawancara, 1-28 Maret 2010).
Aktivitas Perdagangan Biji Kakao
Dalam perdagangan biji kakao di Sulawesi Selatan umumnya dengan cara
transaksi spot. Transaksi ini dilakukan sebagai berikut, para petani di Makassar
memiliki akses langsung ke pedagang (pengumpul). Terdapat dua pola petani
dalam menjual hasil panen kakao, yaitu secara bebas (tanpa ikatan) dengan
pedagang dan melakukan penjualan kepada pedagang langganan karena terikat
pinjaman dengan pedagang yang bersangkutan. Adapun skema hubungan antar
pelaku perdagangan sebagaimana Gambar 13.
Gambar 13 Aktivitas perdagangan biji kakao
PETANI
PEDAGANG
PENGUMPUL PEDAGANG
BESAR
BROKER
EKSPORTIR INDUSTRI
DOMESTIK
INDUSTRI
LUAR NEGERI INDUSTRI
CONFECTIONERY
KONSUMEN
BUYING
STATION
47
Aktivitas Produksi Kakao Olahan
Proses pengolahan kakao menjadi bahan setengah jadi dilakukan oleh
industri pengolah kakao (grinding). Mekanisme yang terjadi dalam industri
pengolahan meliputi: pengadaan bahan baku, barang modal, teknologi proses,
packaging, distribusi dan pamasaran.
Proses pengadaan bahan baku tergantung pada struktur rantai pasok yang
dipilih oleh industri. Jika ditentukan pola kemitraan menjadi pilihan maka
berbagai fasilitas atau sarana harus disiapkan untuk terpenuhinya kebutuhan
jaringan kemitraan. Misalnya, identifikasi pemasok (petani/kelompok tani) yang
potensial, sarana buying station, dll.
Pada proses pengadaan barang modal, hal yang paling penting untuk
diperhatikan adalah pemilihan teknologi proses pengolahan (Wahyudi et al. 2008).
Hal ini karena salah satu kelemahan negara sedang berkembang selama bertahun-
tahun adalah penguasaan teknologi proses yang berimplikasi pada mutu produk
akhir yang dihasilkan. Di sisi lain, tuntutan konsumen akan produk berbasis coklat
sudah sedemikian beragam mengharuskan industri mengaplikasikan teknologi
yang lebih customize agar lebih responsif. Pada industri skala besar di Sulawesi
Selatan telah menggunakan teknologi proses yang relatif canggih,
terkomputerisasi dan memiliki produktivitas tinggi. Dengan demikian produk
akhirnya dihasilkan sudah memenuhi standar baik nasional maupun internasional.
Sebaliknya teknologi proses yang digunakan oleh industri pengolahan kakao
skala kecil masih menggunakan teknologi yang sederhana dengan produktivitas
yang relatif rendah hasil produksi dalam negeri. Dari jenis aktivitas produksi
kakao olahan (Gambar 14) pada industri pengolahan kakao skala kecil di Sulawesi
Selatan, aktivitas yang dinilai kritis adalah pada teknologi pengempaan (pressing),
dan penggilingan (grinding). Hal ini ditunjukkan oleh mesin pengempa dan giling
yang hampir seluruhnya memiliki kinerja rendah bahkan gagal/rusak. Akibat dari
teknologi proses yang kurang memadai adalah produk akhir yang kurang
memenuhi standar. Hal ini membuat produk makanan (berbasis coklat) yang
dihasilkan juga kurang menarik dalam hal rasa.
Secara umum pengembangan industri pengolahan kakao skala kecil di
Sulawesi Selatan masih memiliki hambatan berupa: terbatasnya pasokan biji
kakao terfermentasi dari aspek kualitas dan kuantitas yang berkelanjutan;
kurangnya sumberdaya manusia yang memiliki etos kerja industri; pemasaran
produk masih bersifat lokal, dan manajemen manufaktur yang belum memiliki
kapasitas permodalan untuk operasional (Wawancara, Maret 2010).
48
Gambar 14 Aktivitas produksi kakao olahan
Konfigurasi Rantai Pasok Kakao Sulawesi Selatan
Pengertian konfigurasi rantai pasok di antaranya adalah menentukan jumlah
tingkatan (tiers) dalam rantai pasok, mendefinisikan jenis unit yang terlibat di
setiap tingkatan, dan mengidentifikasi kendala spesifik untuk tingkat secara
keseluruhan (misalnya, jumlah pemasok diperlukan).
Pada dasarnya rantai pasok merupakan sistem terintegrasi yang terdiri dari:
a) entitas/pelaku, seperti pemasok, produsen, gudang, distributor, dan pengecer,
dan b) hubungan diantara entitas tersebut, karena mereka mengelola aliran
material dalam bentuk bahan baku, barang dalam proses, dan persediaan barang
akhir. Untuk mengoptimalkan kinerja sistem ini penting untuk
mengkonfigurasikan berdasarkan dinamika perubahan penawaran dan permintaan
di pasar.
Aliran Barang/jasa
Dalam manajemen rantai pasok masing-masing anggota rantai pasok tidak
hanya berorientasi pada urusan internal sebuah perusahaan, melainkan juga urusan
eksternal yang menyangkut hubungan dengan perusahaan partner (Pujawan, 2005).
49
Aliran barang pada rantai pasok kakao di Sulawesi Selatan meliputi biji kakao,
barang input faktor (seperti bibit, bahan tanam, pupuk, dan obat-obatan pembasmi
hama). Untuk aliran jasa meliputi: jasa penyuluhan, pendampingan, sekolah
lapang, dan transfer teknologi.
Pada aliran barang berupa biji kakao di Sulawesi Selatan terdapat beberapa
permasalahan sebagiamana diuraikan pada bahasan bab 4. Permasalahan tersebut
adalah hambatan dan beban biaya perjalanan karena faktor banyaknya pungutan.
Sementara itu, untuk aliran jasa penyuluhan, pendampingan, sekolah lapang, dan
transfer teknologi yang sudah berjalan adalah bentuk bantuan teknis yang
diberikan berupa lahan percontohan (demplot) dan tenaga fasilitator lapangan
yang dibayar oleh industri pengolahan kakao atau eksportir, baik secara sendiri-
sendiri maupun tergabung dalam asosiasi. Dengan adanya demplot tersebut petani
menjadi terbantu dalam peningkatan pengetahuan dan ketrampilan budidaya
kakao yang baik serta berkesempatan menjual produknya yang memenuhi standar
ke industri/eksportir dengan harga lebih baik dan transparan. Strategi yang
dilakukan industri kakao tersebut selain bertujuan meningkatkan mutu kakao yang
dihasilkan juga untuk menjaga terpenuhinya pasokan biji kakao.
Aliran Informasi
Aliran informasi dalam rantai pasok kakao meliputi: informasi harga,
informasi mutu, tagihan, kapasitas, kuota, status dan waktu pengiriman. Kinerja
aliran informasi pada rantai pasok dapat dilihat dari beberapa ukuran seperti:
keseimbangan dan transparansi informasi (Pujawan 2005), kecepatan dan
ketepatan/keakuratan informasi. Transparansi informasi menurut Laming et al.
(2001) adalah berbagi informasi biaya antara pelanggan dan pemasok, termasuk
data yang secara tradisional biasanya dirahasiakan oleh masing-masing pihak.
Tujuannya adalah untuk memungkinkan pelanggan dan pemasok bekerja sama
untuk mengurangi biaya. Dalam hal ini transparansi akan percuma jika tidak
dilakukan secara dua arah. Untuk itu transparansi informasi haruslah timbal balik,
selektif tetapi tidak selalu simetris.
Pada rantai pasok kakao di Sulawesi Selatan terdapat paling tidak ada tiga
keadaan yang mempengaruhi aliran informasi. Pertama, adanya ketergantungan
petani kepada pedagang karena ketidakseimbangan posisi tawar. Kebutuhan akan
modal untuk budidaya dan kebutuhan rumah tangga yang tidak bisa dipenuhi dari
pendapatan menyebabkan petani sangat mengandalkan pinjaman dari pedagang
meskipun dikenakan bunga pinjaman. Di beberapa daerah, pedagang juga
merangkap sebagai pemilik toko/warung yang menjual bahan kebutuhan rumah
tangga maupun sarana produksi pertanian, sehingga pinjaman petani bisa berupa
uang maupun barang. Pengembalian hutang petani akan diperhitung saat transaksi
hasil panen kakao.
Selama ini belum ada pihak yang dapat mengatasi persoalan keuangan
mikro petani dalam memenuhi kebutuhan dana untuk pembelian sarana produksi
maupun untuk kebutuhan rumah tangganya. Meskipun telah ada program
pemerintah yang dapat memberikan pinjaman kepada petani, namun kebanyakan
petani masih sulit mengaksesnya. Beberapa skema kredit mikro yang
dilaksanakan oleh Bank masih sangat sulit dijangkau oleh kemampuan petani
yang berpenghasilan tidak tetap.
50
Kedua, terjadi distorsi informasi harga oleh pedagang untuk memperoleh
keuntungan lebih besar. Beberapa bentuk distorsi meliputi: perbedaan cara
penetapan harga, penerapan harga diferensial, dan tidak simetrinya aliran
informasi. Meskipun harga dunia mempengaruhi harga di Makasar, tetapi banyak
daerah kabupaten terutama di desa-desa sentra produksi kakao tidak merasakan
dinamika harga. Harga dunia yang diacu oleh Eksportir dan pedagang besar tidak
serta merta berpengaruh terhadap harga di tingkat desa yang diterapkan oleh
pedagang pengumpul desa kepada petani. Gejolak harga di tingkat petani relatif
kecil dibanding di tingkat eksportir dan pedagang besar. Hal ini karena adanya
beberapa cara penetapan harga patokan untuk perdagangan kakao. Biasanya
pelaku yang menghitung harga berlaku di Makasar adalah eksportir atau pedagang
besar, sedangkan pelaku perdagangan di tingkat kabupaten biasanya hanya
menerima saja informasi yang diterima.
Aliran informasi harga sering terdistorsi oleh kepentingan pedagang untuk
memperoleh keuntungan lebih besar jangka pendek. Penerapan harga diferensial6
(Price differential) yang berbeda dilakukan untuk memperoleh harga berlaku di
Makasar oleh beberapa pedagang kabupaten. Misalnya harga diferensial yang
sering digunakan adalah US$ 450/ton. Dari survei diketahui ada kemungkinan
pelaku (penentu harga) menggunakan harga diferensial untuk menambah
keuntungan dagang semata.
Selain itu, aliran informasi harga berlangsung tidak simetris antara kejadian
kenaikan dan penurunan harga. Pada saat terjadi penurunan harga, informasi cepat
sampai ke desa-desa sentra produksi kakao, namun pada saat terjadi kenaikan
harga, informasi dirasakan tidak lancar dan sering terjadi petani tidak mengetahui
kalau harga naik. Meskipun sudah ada bentuk penyearan informasi harga yang
bisa diakses oleh petani, harga yang belaku dalam transaksi lebih banyak
ditentukan pedagang. Hal ini karena adanya sistem pengikatan oleh pedagang
pengumpul kepada petani untuk memperoleh biji kakao dengan harga relatif
murah.
Ketiga, kurangnya pengawasan pemerintah dalam hal: kualitas/standar
mutu/SNI, proses transaksi, dan perilaku pedagang. Kualitas biji kakao yang
diperdagangkan dalam pola perdagangan umum masih rendah dengan kadar
kotoran yang relatif besar. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari kondisi kakao
Sulawesi Selatan yang terserang hama PBK7, selain itu banyak ditemukan biji
berukuran kecil akibat petani ditanamnya klon yang tidak unggul dan/atau kebun
yang tidak terawat.
Dalam perdagangan biji kakao pemerintah telah menerapkan Standard
Nasional Indonesia (SNI) tentang biji kakao. Penerapan standar telah dilakukan
oleh pedagang besar dan beberapa kelompok tani/koperasi yang menjalin
kemitraan dengan eksportir atau industri. Transaksi perdagangan telah
menggunakan alat pemeriksaan kualitas biji kakao seperti pemeriksa kadar air,
timbangan digital, dan alat sampling di tempat tersebut.
6 Harga diferensial adalah perbedaan harga yang dibebankan terhadap produk yang sama untuk segmen pasar
yang berbeda atau di wilayah geografis yang berbeda. 7 Hingga saat ini hama penggerek buah kakao (PBK, Conomorpha Cramella Snell) masih menjadi masalah
utama pada budidaya kakao di Indonesia. Buah yang terserang PBK sebagian atau seluruh bijinya lengket dan
biji yang lengket tersebut tidak dapat dipanen, kalau pun biji dapat dipanen akan terjadi penurunan mutu biji.
51
Secara umum kualitas biji kakao yang dibeli langsung dari petani pada
dasarnya lebih baik daripada biji kakao dari pedagang pengumpul karena adanya
kecenderungan tercampurnya (baik sengaja maupun tidak) biji berkualitas baik
dengan yang kurang baik. Tindakan pencampuran biji kualitas baik (kadar air
rendah) dengan biji kualitas kurang (kadar air tinggi) dapat terjadi di berbagai
level rantai pasok. Untuk mengatasi ulah pedagang yang mencampur biji ini,
pihak eksportir maupun industri mempunyai cara dengan tidak langsung
menimbang biji kakao yang datang dari daerah, melainkan ditahan dulu selama
sehari, baru keesokan harinya ditimbang dan diperiksa kualitasnya. Selain itu,
eksportir juga menetapkan batas maksimal kadar air yang bisa diterima yaitu 10%.
Tindakan pencampuran biji kualitas baik dan buruk tersebut didorong oleh target
mengejar suatu komposisi mutu dan volume tertentu. Dengan demikian pada
akhirnya kakao yang keluar dari Sulawesi Selatan secara agregat memiliki mutu
yang cenderung rendah yag berdampak langsung pada pengembangan industri.
Untuk memperlancar arus informasi antara petani khususnya sebagai pihak
yang posisi tawarnya relatif rendah perlu dukungan sarana dan prasarana
komunikasi. Keberadaan alat komunikasi (telepon genggam atau telepon rumah)
di daerah sentra produksi kakao di Sulawesi Selatan masih terbatas. Desa-desa
sentra kakao di Kabuapten Luwu Utara, Pinrang, Bone, dan Bulukumba banyak
yang tidak memiliki akses komunikasi.
Berdasarkan data lapangan sebagaimana diuraikan pada bahasan tentang
permasalahan perkakaoan, secara kuantitatif perhitungan inefisiensi rantai pasok
menyangkut aliran barang dan informasi adalah menyangkut kondisi jalan yang
rusak/buruk, adanya pungutan dan rantai perdagangan yang panjang untuk pola
perdagangan umum (Tabel 7). Nilai inefisiensi untuk kakao yang diangkut dengan
kendaraan darat sebesar Rp 2.044/kg. Inefisiensi ini menunjukkan penambahan
biaya yang harus ditanggung oleh pelaku perdagangan (bisa pedagang, petani atau
industri yang melakukan pengiriman barang secara inhouse).
Aliran Uang
Dalam rantai pasok kakao Sulawesi Selatan transaksi terjadi di antara pelaku
petani, pedagang, eksportir, broker, dan industri. Pola aliran uang yang terjadi
dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu petani sebagai pemasok dan kelompok
pelanggannya petani yaitu industri, eksportir dan pedagang. Dalam transaksi yang
terjadi, petani adalah pihak penerima harga (price taker) sementara kelompok
pelangganya petani menjadi pihak penentu harga (price setter). Hal ini
menunjukkan posisi tawar petani relatif lebih lemah karena beberapa faktor
seperti kurangnya akses modal, informasi, kurangnya akses, kecilnya volume
penjualan dan faktor lainnya. Sementara kelompok pelanggannya petani lebih
mengusasi akses informasi, modal, jaringan dan faktor lain yang mendukung
posisinya. Keadaan demikian sudah lama terjadi sebagaimana dilaporkan Lipsey
dan Chrystal (2011) dalam studi kasus kakao di Indonesia yang menunjukkan
bahwa proses pembelian biji kakao oleh agen-agen swasta dari petani yang
kemudian dijual di pasar dunia, dalam semua kasus para petani adalah sebagai
pihak price taker dan tidak dapat mempengaruhi harga yang mereka terima.
52
Tabel 7 Perhitungan inefisiensi aliran barang
Kondisi Nilai inefisiensi Keterangan
Kondisi Jalan yang Buruk
Jalan desa yg tidak
memadai
Rp 150/kg Penggunaan angkutan yang kurang
efisien, Misal: Spd Motor bertarif Rp
50 ribu/200kg kakao (Rp250/kg). Jika
jalan memadai bisa dengan mobil
pickup dengan tarif Rp100/kg kakao.
Jalan poros rusak/belum
selesai diperbaiki
Rp36/kg Tambahan biaya transport akibat jalan
rusak/tambahan waktu tempuh.
Rp250ribu/truk (7 ton).
Pungutan
Retribusi kabupaten Rp100/kg Nilai retribusi kabupaten yang paling
tinggi diterapkan thd perdagangan
kakao di Sulsel
Askindo Rp50/kg
Pungutan tidak resmi diluar
retribusi (Jembatan
timbang, oknum petugas,
dan preman)
Rp 8/kg Nilai rata-rata dari pungutan di tiga
poros utama : Pare-pare – Makasar,
Bulukumba – Makasar, Polopo – Pare-
Pare senilai Rp50 ribu/trip
Rantai Perdagangan Panjang
Komisioner Rp1000/kg Komisioner memperoleh masing-
masing 2.5% dari Eksportir dan
Pedagang Besar (daerah).
Pedagang Besar Rp600/Kg Selisih antara harga dunia, diferensial
dan tingkat keuntungan wajar dari
pedagang.
Pedagang Pengumpul Rp100/kg Selisih harga akibat info harga yang
lebih rendah dan biaya transportasi
yang lebih efisien.
TOTAL INEFIENSI Rp 2 044/kg Nilai kerugian akibat inefisiensi
rantai pasok secara keseluruhan
Keterangan : Diolah berdasar data hasil survei di Kab. Luwu Utara, Pinrang, Bone dan
Bulukumba serta Makassar (Maret 2010).
Asumsi : Komoditas kakao diangkut dari kabupaten asal ke Makasar.
Dalam posisi sebagai price taker tersebut harga di tingkat petani (Farm
Gate Price = FGP) Sulawesi Selatan menjadi relatif rendah, kecuali pada petani
yang bermitra dengan eksportir/industri dan yang berada dekat akses pasar. FGP
seharusnya bisa ditingkatkan dengan menerapkan bisnis yang adil berdasarkan
usaha dan risiko yang ditanggung. Hal ini diperkuat penelitian Amoro et al.
(2012) yang membuktikan secara statistik bahwa peningkatan FGP justru akan
mengakibatkan peningkatan ekspor. Amoro et al. (2012) berargumen bahwa
kenaikan harga produsen yang menyesuaikan harga dunia akan mendorong
53
pemeliharaan kebun dan peningkatan output. Sebaliknya, perbedaan yang tinggi
antara harga ekspor dan harga di tingkat petani akan menghambat petani untuk
mau dengan sepenuh hati berpartisipasi dalam produksi komoditi tersebut.
Berdasarkan data-data hasil survei di atas dapat dirangkum bahwa faktor
yang membuat rantai pasok kurang efisien antara lain: informasi harga, mutu
kakao, dan perilaku perdagangan. Perilaku perdagangan yang terjadi ditunjukkan
dengan penggunaan timbangan yang tidak standar oleh pedagang dan terjadinya
pola pinjam meminjam petani kepada pedagang. Secara kuantitatif
ketidakefisienan rantai pasok dapat dihitung dari selisih harga normal dan harga
yang terpengaruh faktor inefisiensi. Hasil perhitungan menunjukkan inefisiensi
rantai pasok mencapai Rp3.950/kg biji kakao (Tabel 8). Nilai inefisiensi tersebut
akan mengurangi harga yang diterima petani.
Tabel 8 Inefisiensi rantai pasok akibat informasi harga, mutu dan perilaku
perdagangan
Faktor inefisiensi Rp/kg Keterangan
Info Harga 2.500 Konsistensi fluktuasi harga dunia dan harga lokal.
Dengan harga antara asumsi diferensial sebesar US$
450/ton, maka rata-rata selisih harga dunia dg FGP
sebesar US$280/ton
Mutu 200 Penambahan kadar air sekitar 2% kadar air dengan
berbagai modus.
Timbangan 750 Pengurangan bobot timbangan dengan berbagai
modus sekitar 5%
Pinjaman 500 Pemberian harga yang lebih rendah dari harga
berlaku di Sulsel karena adanya ikatan pinjam
meminjam.
Total 3.950
Sumber data : Data hasil survei di Kab. Luwu Utara, Pinrang, Bone dan Bulukumba serta
Makassar (Maret 2010).
Upaya Perbaikan Rantai Pasok
Upaya perbaikan dalam literatur manajemen rantai pasok merupakan tahap
akhir dalam rekayasa ulang (reengineering) rantai pasok yang menurut Lambert
(1998) dalam Tunggal (2009) dilakukan untuk meningkatkan kinerja rantai pasok
untuk mencapai daya saing. Rekayasa ulang terdiri dari tiga tahap utama yaitu
penemuan fakta-fakta, identifikasi area-area dimana proses bisnis berupa aliran-
aliran dalam rantai pasok terjadi hambatan, dan tahap terakhir perbaikan kreatif.
Pada upaya perbaikan secara kreatif Diaz dan Rodriguez (2006) membagi
dua pendekatan, yaitu kemampuan internal (internal capabilities) dan kemampuan
relasi (relational capabilities). Pendekatan kemampuan internal perlu mengetahui
keunggulan kompetitif perusahaan, sementara pendekatan kemampuan relasi perlu
keunggulan asosiatif. Karena obyek penelitian ini mengarah pada pengembangan
industri kakao secara umum, tidak satu persatu perusahaan, maka analisis upaya
perbaikan difokuskan pada pendekatan kemampuan relasi.
54
Upaya perbaikan kemampuan relasi menurut Diaz dan Rodriguez (2006)
perlu mengembangkan konsep integrasi, yaitu suatu perspektif yang lebih
mengarah pada pendekatan relasional. Rosenzweig et al. (2003) berbicara dalam
konteks rantai pasok dapat dibagi menjadi empat macam kemungkinan integrasi
yang mencerminkan keterkaitan antara berbagai elemen rantai pasok: 1) integrasi
dalam organisasi itu sendiri; 2) integrasi dengan pemasok bahan baku; 3) integrasi
dengan distributor dan pengecer, dan 4) integrasi dengan konsumen akhir.
Upaya perbaikan tersebut di atas dapat dilakukan oleh masing-masing
organisasi/perusahaan yang menghadapi hambatan dalam rantai pasoknya maupun
oleh pemerintah sebagai pihak yang memiliki kepentingan yang lebih luas yaitu
mendukung perbaikan kinerja rantai pasok pada industri yang dikembangkan
untuk mencapai daya saing. Berdasarkan hasil serangkaian FGD di empat
kabupaten dihasilkan rumusan upaya perbaikan mengatasi hambatan (Tabel 9).
Tabel 9 Upaya perbaikan rantai pasok
Fakta Hambatan Perbaikan
Aliran Barang
- Rantai panjang
- Kemitraan terbatas
- Mutu Biji kakao tidak
menjadi orientasi
perdagangan
- Trade off dengan
pemerataan pendapatan
- Daya tarik petani bagi
industri/ eksportir
- Kurangnya penerapan dan
kontrol kualitas
- Memperluas kemitraan
/integrasi industri dan
petani
- Perbaikan Infrastruktur
jalan ke sentra produksi
- Peran pengawasan
perdagangan
Aliran Informasi
- Keseimbangan
informasi
- Transparansi informasi
- Ketepatan informasi
- Petani kurang akses
informasi
- Posisi tawar petani
rendah
- Perluasan akses informasi
- Penguatan kelompok tani
Aliran Uang
- FGP rendah
- Petani kesulitan akses
modal.
- Posisi tawar petani
rendah
- Kurangnya akses modal
skala kecil menengah.
- Memperluas kemitraan
- Perluasan akses modal
kepada petani
Sumber: diolah dari hasil FGD di Kab. Luwu Utara, Pinrang, Bone dan Bulukumba
Dari fakta-fakta yang diuraikan di atas terlihat ada hambatan yang
mempengaruhi beberapa aliran, seperti posisi tawar petani yang rendah
mempengaruhi transparansi informasi dan akses modal. Dalam hal aliran barang
yang bisa diupayakan di antaranya: memperluas kemitraan, perbaikan
infrastruktur jalan ke sentra produksi, dan peran pengawasan perdagangan. Dalam
aliran Informasi upaya yang harus dilakukan melalui perluasan akses informasi
dan penguatan kelompok tani. Sementara untuk aliran uang penting untuk
memperluas kemitraan, dan perluasan akses modal kepada petani.
Dari alternatif perbaikan rantai pasok ini terlihat upaya perluasan kemitraan
menjadi cara yang dapat mengatasi hambatan di semua aliran. Hal ini dapat
dibuktikan dari diferensiasi harga di tingkat petani yang berbeda antara jaringan
55
rantai pasok biasa dengan jaringan kemitraan. Beragam diferensiasi harga tersebut
tercatat dari survei di beberapa kabupaten sebagai berikut (lihat Tabel 10).
Di Kabupaten Luwu Utara FGP mencapai Rp20.000/kg biji kering sesuai
standar SNI. Harga tersebut adalah harga yang diterima petani anggota Koperasi
yang menjalin kerjasama dengan Eksportir. Sementara itu, harga yang diberikan
oleh jaringan pasok umum Rp18.000/kg. Di Kabupaten Pinrang, petani yang
berada dekat ibukota kabupaten biji kakao petani dibeli pedagang pengumpul
dengan harga Rp18.000–19.000/kg, meskipun volume kakao yang dijual petani
relatif sedikit. Sementara itu, di beberapa lokasi petani yang kebun kakaonya
sehat dan menghasilkan biji kakao dengan mutu terbaik, petani mendapat harga
Rp24.000/kg. Di Bulukumba, beberapa kelompok tani yang telah menerapkan
teknik budidaya sambung samping dapat menjual biji kakao dengan harga
Rp24.000/kg untuk biji kakao mutu baik (setelah dilakukan sortasi) dan hanya
Rp22.000 bila tidak disortasi. Sebagaimana terjadi di Luwu Utara, untuk kualitas
biji kakao yang sama, harga yang diterima petani dengan kemitraan lebih tinggi
11% dari pada harga yang berlaku pada jaringan rantai pasok umum (Wawancara,
1-28 Maret 2010).
Tabel 10 Perbandingan harga tingkat petani yang berlaku di beberapa kabupaten
di Provinsi Sulawesi Selatan
Kabupaten Harga kakao rata-rata (Rp/kg)
Sumber data Pola umum Pola kemitraan
Luwu Utara 18.000* 20.000** Pedagang besar kab. dan
koperasi/kelompok tani
Pinrang 18.000* 24.000** Pedagang pengumpul kab
Bone 17.000* na Pedagang besar kab.
Bulukumba 17.000* 24.000** Pedagang besar kab. dan
kelompok tani Catatan : * Harga biji kakao tanpa sortasi
** Harga biji kakao kualitas tinggi hasil sortasi
Dari Tabel 10 dapat dihitung perbedaan FGP antara pola perdagangan umum
dengan pola kemitraan menunjukkan selisih sebesar 22%. Artinya pola kemitraan
akan memberikan harga yang diterima petani lebih tinggi 22% dibanding pola
umum.
Simpulan
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa nilai inefisiensi dalam pola
perdagangan umum kakao di Sulawesi Selatan mencapai Rp2.044/kg. Inefisiensi
ini merupakan tambahan biaya yang harus ditanggung oleh pelaku perdagangan
kakao. Sementara itu, nilai inefisiensi rantai pasok akibat distorsi informasi harga,
kakao dan perilaku pelaku perdagangan kakao mencapai Rp3.950/kg biji kakao.
Nilai inefisiensi tersebut akan mengurangi harga yang diterima petani.
Pengembangan industri pengolahan kakao di Sulawesi Selatan dapat dicapai
dengan mengefektifkan dan mengefisienkan rantai pasok kakao. Membangun
56
kemitraan dengan pemasok (petani atau koperasi/kelompok tani) merupakan
bentuk kegiatan yang secara bersama mengatasi dan memberdayakan pelaku pada
jaringan yang terlemah. Metode kemitraan yang diikuti sarana pelatihan demplot
di sentra produksi disertai fasilitator/penyuluh lapangan terbukti memberikan hasil
biji kakao berkualitas yang mendukung keberlanjutan (kuantitas dan kualitas)
pasokan biji kakao industri. Dengan pola kemitraan tersebut akan memberi
manfaat berupa harga pada tingkat petani lebih tinggi 22% dibanding pola umum.
Di sisi lain, pada pola perdagangan umum yang memiliki rantai lebih
panjang perlu diefisienkan melalui perbaikan mekanisme perdagangan yang lebih
adil dan transparan. Hal ini memerlukan dukungan kebijakan pemerintah dalam
hal menjaga standar timbangan (metrologi) dalam transaksi perdagangan.
Untuk mendukung kegiatan budidaya kakao yang menjamin produktivitas
dan mutu yang tinggi, perlu dukungan dari berbagai pelaku pendukung budidaya.
Sistem penyuluhan yang handal, serta pasokan input pertanian (bibit, pupuk dan
sarana lainnya) dari berbagai pelaku pendukung. Di samping itu, perluasan akses
permodalan bagi petani bisa dikombinasikan dalam kemitraan yang telah berjalan
antara industri/eksportir dengan kelompok petani selama ini melalui dorongan
pemerintah daerah terhadap lembaga keuangan atau perbankan untuk membuka
akses kredit bagi petani kakao.
57
6 FAKTOR PENGGERAK (DRIVER) KINERJA
EFISIENSI DAN RESPONSIVITAS RANTAI PASOK
INDUSTRI KAKAO
Abstrak
Dalam literatur tentang kinerja rantai pasok, banyak sekali faktor yang dianggap
sebagai penggerak kinerja suatu rantai pasok. Paper ini memfokuskan pada faktor
penggerak kinerja efisiensi dan responsivitas rantai pasok pada industri kakao.
Studi ini bertujuan untuk mengidentifikasi driver yang relevan serta
mendekomposisinya menjadi sub-driver kinerja rantai pasok yang lebih
operasional. Driver yang teridentifikasi meliputi driver logistik dan driver lintas
fungsi. Driver logistik terdiri atas fasilitas, persediaan, dan transportasi,
sedangkan driver lintas fungsi meliputi sourcing dan informasi. Teknik
dekomposisi yang dikembangkan studi ini adalah dengan menggali berbagai
keputusan/strategi perusahaan yang paling cocok (strategic fit) terkait dengan
keseimbangan antara responsivitas dan efisiensi untuk mencapai daya saing.
Validasi terhadap hasil dekomposisi dilakukan dengan construct validity berdasar
konsepsi teoritis dan praktis yang telah dikembangkan penelitian ilmiah
sebelumnya. Hasil akhir penelitian pada bagian ini adalah tersusunnya kuesioner
untuk pengukuran kinerja rantai pasok industri dan kuesioner AHP untuk
pembobotan driver dan sub driver kepada pakar.
Kata kunci: driver kinerja, efisiensi, responsivitas, rantai pasok, industri kakao.
Pendahuluan
Salah satu aspek penting dan fundamental dalam manajemen rantai pasok
adalah manajemen kinerja dan perbaikan secara berkelanjutan. Untuk
menciptakan manajemen kinerja yang efektif diperlukan sistem pengukuran yang
mampu mengevaluasi kinerja rantai pasok secara holistik (Pujawan 2005). Namun
demikian, proses untuk memilih ukuran kinerja rantai pasok yang tepat cukup
sulit karena kompleksitas dari sistem yang dihadapi. Salah satu area yang paling
sulit dalam seleksi pengukuran kinerja rantai pasok adalah pengembangan sistem
pengukuran kinerjanya (Beamon 1999). Salah satu masalah dalam literatur
pengukuran kinerja rantai pasok adalah sangat beragamnya disain pengukuran.
Menurut Neely et al. (2005) penulis tentang pengukuran kinerja cenderung
berfokus pada aspek yang berbeda-beda dalam disain sistem pengukuran. Secara
umum, aspek pengukuran kinerja rantai pasok dapat dikaitkan dengan kualitas,
waktu, fleksibilitas dan biaya.
Pujawan (2005) mengajukan ukuran kinerja berupa pemilihan strategi rantai
pasok dalam efisiensi dan responsivitas (responsiveness). Strategi rantai pasok
harus tercermin pada kebijakan atau keputusan taktis rantai pasok. Yaitu
kebijakan atau keputusan mengenai di mana lokasi fasilitas akan didirikan,
bagaimana cara mengatur dan mengendalikan sistem produksi, bagaimana
kebijakan-kebijakan tentang persediaan dan transportasi, supplier yang bagaimana
58
yang akan dipilih, dan kebijakan mengenai pengembangan produk harus
bersinergi dengan strategi rantai pasok.
Sistem pengukuran kinerja rantai pasok yang diajukan Pujawan (2005)
dikembangkan pula oleh Chopra dan Meindl (2007) dengan menguraikan secara
lebih mendalam terhadap driver (penggerak) kinerja rantai pasok. Menurut
Chopra dan Meindl (2007) penggerak kinerja rantai pasok terdiri dari: Fasilitas,
persediaan, transportasi, sourcing, informasi dan harga.
Ukuran kinerja rantai pasok dapat diklasifikasikan ke dalam dua kategori
umum yaitu: ukuran kualitatif seperti „baik‟, „kurang‟, „adil‟, „puas‟, „kualitas‟,
dll; dan ukuran kuantitatif seperti delivery lead time, supply chain response time,
fleksibilitas, pemanfaatan sumber daya, kinerja pengiriman, dll (Neely et al. 1995,
2005 ).
Menurut Beamon (1996) ada sejumlah karakteristik dalam sistem
pengukuran kinerja yang efektif, dan karena itu dapat digunakan untuk evaluasi
sistem pengukuran kinerja. Karakteristik tersebut meliputi: inklusifitas
(pengukuran semua aspek terkait), universalitas (memungkinkan untuk
perbandingan pada berbagai kondisi operasi), terukur (data yang terukur), dan
konsistensi (tindakan yang sesuai dengan tujuan organisasi). Selain itu,
benchmarking merupakan metode penting yang digunakan dalam evaluasi
mengukur kinerja. Benchmarking berfungsi sebagai sarana untuk mengidentifikasi
peluang perbaikan.
Berdasarkan acuan penelitian terkait di atas, penelitian pada bagian ini
bertujuan mengidentifikasi faktor-faktor penggerak atau yang disebut driver
kinerja rantai pasok yang ditinjau dari aspek efisiensi dan resposivitas.
Selanjutnya, kedua aspek ini perlu didekomposisi menjadi ukuran yang lebih
operasional agar dapat diukur kinerjanya secara sistematik. Selain itu,
dekomposisi akan menyediakan sejumlah indikator yang mempermudah
interpretasi bagi upaya langsung untuk perbaikan kinerja rantai pasok oleh
perusahaan atau upaya tidak langsung untuk bahan perumusan kebijakan
pemerintah yang mendukung perbaikan kinerja rantai pasok. Ukuran kinerja yang
dikembangkan penelitian ini menggunakan pengukuran kualitatif sebagaimana
Neely et al. (1995; 2005) yang terdiri ukuran-ukuran yang lebih mudah untuk
dicari dibanding ukuran secara kuantitatif.
Tinjauan Pustaka
Kerangka Pengukuran Kinerja Rantai Pasok
Kerangka pemikiran model pengukuran kinerja rantai pasok dari aspek
efisiensi dan responsivitas dikembangkan dari model Chopra dan Meindl (2007)
sebagai strategi rantai pasok dengan tujuan mencapai daya saing (Gambar 15).
Dari skema pada gambar tersebut terlihat bahwa penentuan strategi rantai pasok
berawal dari pemilihan strategi dalam menjaga keseimbangan antara responsivitas
dan efisiensi rantai pasok. Untuk mencapai tujuan, suatu perusahaan harus mampu
menata atau menstrukturkan kombinasi dari tiga penggerak logistik dan tiga
penggerak lintas fungsi. Masing-masing penggerak tersebut adalah: fasilitas atau
infrastruktur, inventori dan transportasi untuk penggerak logistik, serta informasi,
sourcing, dan harga untuk penggerak lintas fungsi.
59
Strategi Daya Saing
Strategi Rantai Pasok
Fasilitas
Informasi Pengadaan Harga
Struktur Rantai Pasok
Driver Lintas Fungsi
Persediaan Transportasi
Efisiensi Responsivitas
Driver Logistik
Gambar 15 Kerangka desain rantai pasok menurut Chopra & Meindl (2007)
Selanjutnya setelah titik keseimbangan trade-off antara responsivitas dan
efisiensi ditentukan, maka perlu identifikasi hal-hal yang menjadi penyusun peran
setiap driver kinerja rantai pasok dalam strategi daya saing perusahaan.
Keterkaitan daya saing dan rantai pasok telah dikembangkan World Bank
(2005) dengan menekankan pengertian daya saing sebagai kemampuan
perusahaan untuk memperoleh pendapatan yang cukup untuk membayar tenaga
kerja yang dipekerjakan dan modal. Jika suatu perusahaan kompetitif, maka dapat
berinvestasi untuk memperluas, berinovasi, dan menyesuaikan diri dengan
perubahan pasar. Lebih lanjut daya saing tergantung pada struktur biaya dan harga
serta kinerja lembaga-lembaga lain yang menyediakan input dan jasa. Karena
perusahaan-perusahaan yang terkait dengan masukan jauh atau pasar produk
sering sangat tergantung pada perusahaan-perusahaan lain dan daya saing sektor
publik mungkin perlu dianalisis untuk kelompok perusahaan dengan kegiatan
yang saling terkait.
Daya Saing tergantung pada rantai perusahaan yang secara bersama-sama
menghasilkan, mengumpulkan, memproses, mengakut, dan menjual produk.
Rantai pasok menyediakan jaringan pasar yang menjamin pasokan, kualitas, dan
keamanan produk pertanian. Kinerja rantai pasok tergantung pada kerjasama yang
efektif dan koordinasi antara semua mitra dalam rantai pasok (World Bank, 2005).
Konsep Efisiensi dan Responsivitas dalam Model Kinerja Rantai Pasok. Terdapat dua konsep utama dalam model kinerja rantai pasok ini yaitu
efisiensi dan responsivitas. Masing-masing memiliki karakteristiik yang berbeda
sesuai dengan kondisi yang dihadapi oleh perusahaan.
60
Efisiensi Rantai Pasok Umumnya, efisiensi diukur dengan rasio tingkat output yang dihasilkan
dengan tingkat input yang dikonsumsi untuk menghasilkan output tersebut.
Konsep ini dapat diterapkan baik sistem fisik maupun non fisik. Sistem Fisik
misalnya mesin mobil yang mengubah energi dalam bahan bakar yang dikonsumsi
oleh mesin menjadi tenaga kuda yang dihasilkan oleh mesin untuk mendorong
roda kendaraan. Sedang sistem non fisik misalnya dalam bisnis, konversi dari
nilai input (tenaga kerja, bahan, dan biaya pengoperasian aset fisik seperti pabrik
atau gudang) ke dalam pendapatan dari penjualan. Oleh karena itu, efisiensi rantai
pasok yang diberikan berfokus pada seberapa baik sumber daya yang digunakan
di seluruh rantai dalam memenuhi permintaan pelanggan.
Fisher (1997) dalam Ravindran dan Warsing (2012) menguraikan bahwa
kerangka konsep rantai pasok yang efisien lebih fokus pada minimalisasi biaya,
yaitu rantai pasok yang membutuhkan biaya input lebih kecil untuk menghasilkan
jumlah output yang lebih efisien. Oleh karena itu, langkah-langkah efisiensi
berfokus pada biaya yang meliputi: biaya bahan baku, biaya proses manufaktur,
biaya distribusi, biaya persediaan, biaya operasional fasilitas, biaya pengangkutan,
dan biaya penggudangan.
Responsivitas Rantai Pasok Responsivitas menurut Ravindran dan Warsing (2012) mengacu pada sejauh
mana kebutuhan dan harapan pelanggan terpenuhi, dan sejauh mana fleksibelitas
rantai pasok dapat mengakomodasi perubahan kebutuhan dan harapan. Dengan
demikian, dalam trade-off efisiensi-responsivitas yang diperkenalkan oleh Fisher
(1997) kerangka kerja yang dibahas berfokus pada seberapa besar responsivitas
yang bisa diterima pada tingkat biaya yang lebih tinggi (yaitu, efisiensi biaya yang
lebih rendah) dalam rangka meningkatkan kemampuan untuk memenuhi dan
mengakomodasi kebutuhan pelanggan secara fleksibel (yaitu, respon yang lebih
tinggi). Ukuran umum responsivitas adalah antara lain: keandalan dan ketepatan
pemenuhan pesanan pelanggan, waktu pengiriman, variasi produk, waktu untuk
memproses permintaan pelanggan yang khusus atau unik, persen permintaan
pelanggan yang dipenuhi dari persediaan barang jadi dibandingkan dengan untuk
memesan dari bahan baku atau persediaan komponen.
Dalam sebuah perusahaan, trade-off antara responsivitas dan efisiensi dapat
terjadi menyangkut pertimbangan manfaat yang diberikan dan biaya untuk
memperolehnya (Hugos 2010). Tindakan suatu perusahaan untuk memilih lebih
responsif atau efisien menurut Chopra dan Meindl (2007) adalah suatu bentuk
strategi. Perbandingan keputusan/strategi untuk menjadi lebih responsif atau
efisien (Tabel 11) dari uraian Chopra dan Meindl sebagian besar memiliki kondisi
yang bertolak belakang (trade off).
61
Tabel 11 Perbandingan rantai pasok efisien dan responsif
Atribut Rantai pasok efisien Rantai pasok responsif
Tujuan utama Biaya terendah dari supply demand Merespon permintaan secara cepat
Strategi desain produk Maksimisasi kinerja pada biaya
produk minimum
Rancang secara modular untuk
memungkinkan penundaan produk
Strategi penentuan
harga
Margin lebih rendah karena harga
menjadi penggerak utama bagi
pelanggan
Margin tinggi karena harga bukan
penggerak utama bagi pelanggan
Strategi manufaktur Biaya yang lebih rendah melalui
utilisasi tinggi
Mempertahankan fleksibilitas
kapasitas untuk penyangga permintaan
atau ketidakpastian pasokan
Strategi persediaan Minimisasi persediaan untuk biaya
lebih lebih rendah
Mempertahankan persediaan untuk
menangani ketidaktentuan permintaan/
penawaran
Strategi lead time Mengurangi, tapi tidak dengan
mengorbankan biaya
Mengurangi secara agresif, bahkan jika
biaya signifikan
Strategi supplier
Pilih berdasarkan biaya dan
kualitas
Pilih berdasarkan kecepatan,
fleksibilitas, keandalan, dan kualitas
Sumber : Dimodifikasi dari Fisher (1997) dalam Chopra dan Meindl (2007).
Driver rantai pasok menurut Hugos (2010) terbagi menjadi lima macam
yaitu: produksi, inventori, lokasi, transportasi, dan informasi. Kemampuan atau
kinerja rantai pasok dalam aspek responsivitas dan efisiensi bersumber dari
keputusannya terhadap lima driver rantai pasok tersebut. Meskipun memiliki
keserupaan dengan driver Chopra dan Meindl, ada perbedaan istilah yang
digunakan dalam driver rantai pasok Hugos (2010). Hugos tidak memasukkan
fasilitas sebagai driver melainkan langsung memasukkan elemen yang lebih
operasional yaitu produksi dan lokasi (Tabel 12). Tiga driver Hugos lainnya yaitu
inventori, transportasi dan informasi memiliki kesamaan dengan Chopra dan
Meindl (2007).
Tabel 12 Perbandingan keputusan/strategi efisiensi dan responsivitas menurut
driver rantai pasok (Hugos 2010)
No Driver Rantai
Pasok Efisiensi Responsivitas
1. Produksi • Sedikit Kelebihan kapasitas
• Fokus sempit
• Beberapa pabrik terpusat
• Kelebihan kapasitas
• Fleksibelitas proses
pengolahan
• Banyak pabrik skala kecil
2. Inventori • Tingkat persediaan rendah
• Jenis produk sedikit
• Tingkat persediaan tinggi
• Jenis produk bervariasi
3. Lokasi • Beberapa lokasi terpusat
dengan cakupan luas
• Banyak lokasi dekat
pelanggan
4. Transportasi • Pengiriman skala besar
• Lambat, namun murah
• Pengiriman sering, skala kecil
• Cepat dan fleksibel
5. Informasi • Biaya informasi turun
sementara biaya lain
meningkat
• Pengumpulan dan berbagi
informasi setiap waktu, data
yang akurat
Sumber : Diadopsi dari Hugos 2010
62
Sementara itu, Ravindran dan Warsing (2012) menguraikan responsivitas
dan efisiensi rantai pasok berdasarkan sepuluh aspek berikut: permintaan, siklus
hidup produk, variasi produk, lead time pemenuhan pesanan, pemasok, produksi,
kapasitas, inventori, dan seleksi pasokan. Terhadap sepuluh aspek tersebut
Ravindran dan Warsing (2012) tidak menyebutkannya sebagai driver atau
penggerak, melainkan hal-hal yang terjadi dalam aktivitas rantai pasok.
Perbandingan dalam memilih strategi antara responsif atau efisien menurut
Ravindran dan Warsing (2012) didasarkan pada sifat atau keadaan yang dihadapi
terkait sepuluh aspek penting (Tabel 13).
Tabel 13 Perbandingan strategi efisiensi dan responsivitas menurut aspek dalam
rantai pasok (Ravindran dan Warsing 2012)
Aspek Rantai Pasok Efisiensi Responsivitas
Permintaan Konstan, berdasar ramalan Fluktuasi, berdasar order pelangga
Siklus hidup produk Panjang Pendek
Variasi produk Sedikit Banyak
Kontribusi keuntungan Rendah Tinggi
Lead time pesanan Lebih lama Cepat atau berdasar jatuh tempo
Pemasok Jangka panjang Menurut siklus hidup produk
Produksi Make to stock Assamble to order, make to order
Kapasitas Rendah Tinggi
Inventori Barang jadi Suku cadang, komponen,
Seleksi pasokan Biaya rendah, kualitas konsisten,
pengiriman tepat waktu
Flaksibel, pengiriman cepat, disain
kualitas berkinerja tinggi
Sumber : Diadopsi dari Ravindran dan Warsing (2012)
Konsep dekomposisi driver kinerja rantai pasok
Dalam mendekomposisi driver rantai pasok Copra dan Meindl (2007)
menguraikan driver menjadi beberapa sub-driver yang lebih operasional
berdasarkan keputusan-keputusan berkenaan dengan upaya meningkatkan kinerja
sub-driver tersebut. Adapun keputusan-keputusan tersebut diuraikan sebagai
berikut:
1. Fasilitas, yaitu lokasi fisik dalam jaringan rantai pasok dimana produk
disimpan, dirakit, atau dibuat. Ada dua jenis fasilitas yang utama, yaitu lokasi
produksi dan lokasi penyimpanan. Keputusan mengenai pentingnya
pengelolaan fasilitas, lokasi, kapasitas, dan fleksibilitas dari fasilitas memiliki
dampak yang signifikan terhadap kinerja rantai pasok. Komponen dari
keputusan mengenai fasilitas menurut Chopra dan Meindl (2007) adalah
sebagai berikut: a) Lokasi. Penentuan keputusan dimana suatu perusahaan
menentukan lokasi fasilitasnya merupakan bagian yang sangat penting dalam
langkah mendisain rantai pasok. Penentuan lokasi secara ekonomis,
sedangkan penentuan lokasi secara desentralisasi akan menjadi lebih
responsif dalam permintaan konsumen; b) Kapasitas. Perusahaan juga harus
menetukan seberapa kapasitas dari fasilitas yang dimiliki oleh perusahaan
tersebut. Sejumlah besar kapasitas akan menjadikan perusahaan tersebut
63
menjadi lebih responsif, demikian pula sebaliknya. c) Metode operasi. Adalah
upaya perusahaan bagaimana memproduksi barang, apakah mesin yang
dipakai untuk membuat produk itu bersifat fleksibel, maksudnya adalah mesin
tersebut juga dapat pula digunakan untuk membuat produk yang lain
(responsive) yang biasanya mesin itu relatif mahal atau menggunakan mesin
yang hanya dapat membuat satu macam produk saja (efisien); d) Warehouse
methodology terdiri dari: Stock Keping Unit (SKU) Storage. Yaitu gudang
tradisional yang menyimpan segala macam produk dalam satu tempat; Job Lot
storage, yaitu suatu metode penyimpanan persediaan dimana semua produk-
produk yang berbeda dibutuhkan untuk suatu pekerjaan khusus atau
memuaskan konsumen tipe khusus, disimpan bersama-sama; Crossdocking,
yaitu sebuah metode, dimana barang sebenarnya tidak disimpan dalam
fasilitas (gudang) perusahaan. Tiap-tiap truk dari pemasok barang membawa
jenis barang pesanan yang berbeda-beda yang diangkut menuju fasilitas
perusahaan. Dari sana kemudian dipecah menjadi bagian-bagian kecil dan
dengan cepat diangkut ke retailer menggunakan truk-truk yang berisi
barang-barang yang beragam dari truk-truk sebelumnya.
2. Persediaan. Meliputi persediaan bahan baku, persediaan dalam proses8, dan
barang jadi dalam rantai pasok. Persediaan merupakan salah satu penggerak
rantai pasok yang penting karena perubahan kebijakan persediaan dapat
mengubah secara drastis tingkat responsivitas dan efisiensi rantai pasok
(Chopra dan Meindl 2007). Komponen keputusan mengenai inventori adalah:
a) Cycle Inventory. Adalah jumlah rata-rata dari persediaan yang digunakan
untuk memenuhi permintaan dalam suatu waktu; b) Safety Inventory. Adalah
persediaan yang dibuat untuk berjaga-jaga terhadap perkiraan akan kelebihan
permintaan. Ini digunakan untuk mengatasi ketidak pastian akan permintaan
yang tinggi; c) Seasional Inventory. Adalah persediaan yang dibuat untuk
mengatasi keragaman yang dapat diprediksi dalam permintaan. Perusahaan
ynag menggunakan seasional inventory akan membangun persediaan mereka
pada periode permintaan akan barang rendah dan menyimpannya untuk
periode permintaan akan barang menjadi tinggi, dimana pada saat permintaan
tinggi dimana mereka tidak dapat memproduksi semua barang untuk
memenuhi permintaan.
3. Transportasi. Adalah kegiatan memindahkan persediaan dari titik ke titik dalam
rantai pasok. Transportasi terdiri atas banyak kombinasi dari model dan
bentuk yang memiliki keunggulan masing-masing. Pemilihan transportasi juga
mempunyai dampak yang besar terhadap tingkat responsivitas dan efisiensi
rantai pasok (Chopra dan Meindl 2007). Komponen dari keputusan mengenai
transportasi menurut Chopra dan Miendl (2007) adalah sebagai berikut: a)
Moda transportasi. Adalah cara-cara dimana sebuah produk dipindahkan dari
satu lokasi dalam jaringan rantai pasok ke tempat lainnya; b) Rute dan Pilihan
Jaringan. Rute adalah jalur jalan dimana sebuah produk dikirimkan, sedangkan
jaringan adalah sebuah kumpulan lokasi dan rute dimana produk dapat
dikirimkan. Perusahaan membuat beberapa keputusan mengenai rute pada
8 Persediaan dalam proses (Work in Process Inventory) terdiri dari bahan dalam berbagai tahapan pembuatan
atau perakitan. Dalam hal ini bisa terdiri dari produk setengah jadi hasil pertanian di berbagai tahap proses
produksi. Biasanya, output dari satu tahap dalam sebuah jalur perakitan adalah masukan untuk tahap
berikutnya. (Narayan, P. and J. Subramanian 2009)
64
saat langkah mendisain rantai pasok; c) In house atau outsource. Secara
tradisional, kebanyakkan fungsi transportasi dilakukan oleh perusahaan
sendiri, namun pada saat ini banyak yang telah dilimpahkan ke perusahaan
lain (outsorced).
4. Informasi. Informasi terdiri dari data dan analisis berkaitan dengan fasilitas,
persediaan, transportasi, dan pelanggan di seluruh rantai pasok. Dengan
informasi memungkinkan pihak manajemen berkesempatan untuk membuat
rantai pasok menjadi lebih responsif dan efisien. Informasi secara potensial
adalah penggerak terbesar kinerja rantai pasok (Chopra dan Meindl 2007).
Komponen dari keputusan informasi menurut Chopra dan Meindl (2007)
adalah sebagai berikut: a) Push versus Pull. Sistem push biasanya
menggunakan MRP (Material requirement Planning) untuk jadwal produksi,
jadwal kepada pemasoknya untuk menetukan kapan, jenis dan banyak barang
yang dikirimkan ke perusahaan, sedangkan tipe pull menggunakan
informasi atas permintaan aktual konsumen, sehingga perusahaan dapat dengan
tepat memenuhi permintaan tersebut; b) Koordinasi dan Sharing informasi.
Koordinasi dari rantai pasok terjadi ketika semua tingkat-tingkat dari rantai
pasok bekerja menuju tujuan yaitu memaksimalkan keuntungan total rantai
pasok di bandingkan dengan bekerja sendiri-sendiri. Kekurangan koordinasi
berpengaruh pada kerugian yang besar atas keuntungan supply chain. Ini bisa
dilakukan dengan pertukaran data antara tiap-tiap bagian dalam rantai pasokitu
sendiri; c) Forecasting and Aggregate Planning. Forecasting (peramalan)
adalah suatu ilmu pengetahuan dan seni untuk membuat rencana mengenai
kebutuhan masa depan dan kondisinya. Forecasting ini digunakan dalam
pengambilan keputusan. Setelah melakukan peramalan, perusahaan membuat
aggregate planning yaitu mengubah peramalan menjadi rencana aktivitas untuk
memenuhi permintaan yang telah diperhitungkan. d) Enabling Technologies.
Untuk mencapai sharing informasi dan integrasi dalam rantai pasok terdapat
beberapa teknologi yang digunakan yaitu: Electronic Data Interchange (EDI).
EDI memungkinkan perusahaan menjadi lebih efisien, juga menurunkan waktu
yang dibutuhkan produk untuk sampai kepada konsumen, transaksi menjadi
lebih akurat dan lebih cepat dibandingkan tanpa EDI; Internet. Internet sendiri
mendukung penggunaan EDI. Dengan internet maka EDI menjadi lebih efektif
untuk kinerja rantai pasok; Enterprise Resources Planning (ERP) system.
Sistem ERP ini menyediakan pelacakan transaksi dan kemampuan melihat
secara keseluruhan atas informasi dari tiap-tiap bagian perusahaan dan
memungkinkan rantai pasok membuat keputusan yang „cerdas‟; Supply Chain
Management (SCM) Software. Yaitu program perangkat lunak yang
menyediakan dukungan terhadap analisis keputusan dalam hal penambahan
kemampuan melihat secara keseluruhan informasi yang ada.
Metodologi Penelitian
Kerangka Penelitian
Penelitian pada bagian ini mengacu pada kerangka dekomposisi driver
kinerja rantai pasok aspek efisiensi dan responsivitas (Gambar 16). Identifikasi
driver kinerja rantai pasok penelitian ini didasari oleh tujuan untuk mencapai daya
saing rantai pasok industri.
65
Gambar 16 Kerangka dekomposisi driver kinerja rantai pasok aspek esisiensi dan
responsivitas
Identifikasi Driver Kinerja Rantai Pasok
Pengukuran kinerja rantai pasok dalam penelitian ini diorientasikan untuk
pencapaian daya saing yang merupakan tujuan utama dari suksesnya pengelolaan
rantai pasok. Untuk mencapai tujuan daya saing tersebut suatu perusahaan harus
memiliki kinerja terbaik yang dalam hal ini dapat dilihat dari driver (penggerak)
kinerjanya. Driver kinerja rantai pasok sebagaimana Chopra dan Meindl (2007)
dan Hugos (2010), paling tidak terdiri dari fasilitas, inventori, trasnportasi,
informasi, dan sourcing.
Dekomposisi Driver Rantai Pasok
Mengingat driver rantai pasok yang ada masih bersifat relatif abstrak, maka
perlu dilakukan dekomposisi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pengertian
dekomposisi adalah proses pemecahan atau berubahnya sesuatu bentuk atau
karakter menjadi lebih sederhana. Dalam penelitian ini dekomposisi driver kinerja
rantai pasok dilakukan untuk memperoleh unit analisis yang lebih operasional dan
terukur dengan jelas.
Teknik dekomposisi yang dikembangkan penelitian ini dilakukan dengan
menggali faktor-faktor keputusan/strategi dari setiap sub-driver rantai pasok
sebagaimana diuraikan dalam Chopra dan Meindl (2007). Dalam mendekomposisi
driver kinerja rantai pasok Chopra dan Meindl (2007) mengacu pada strategi yang
Identifikasi Driver Kinerja Rantai Pasok
Strategi Rantai Pasok
Trade-off dalam Struktur Rantai
Pasok
Dekomposisi Driver dan Sub Driver Kinerja Rantai Pasok (Studi Pustaka dan Pendapat Pakar)
Efisiensi Responsivitas
• Fasilitas • Inventori • Trasnportasi • Informasi • Sourcing
• Fasilitas • Inventori • Trasnportasi • Informasi • Sourcing
Sub Driver Kinerja Responsivitas Rantai Pasok
Sub Driver Kinerja Efisiensi
Rantai Pasok
Tujuan Daya Saing Rantai Pasok
Penyusunan Instrumen Pengukuran Kinerja Rantai
Pasok
Penyusunan Instrumen Pembobotan
(AHP)
Kuesiosner Pakar Pembobotan Driver dan
Sub Driver
Kuesioner Industri Pengukuran Kinerja Ranta
Pasok
66
paling sesuai (Strategic fit) untuk mencapai keseimbangan antara responsivitas
dan efisiensi terbaik yang bisa dilakukan perusahaan sebagai strategi bersaingnya.
Selain itu, penelitian ini juga melakukan dekomposisi dengan mengacu pada
penelitian-penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya terkait driver dan sub-
driver kinerja rantai pasok. Hasilnya dapat teridentifikasi lebih dari 27 jurnal dan
beberapa disertasi yang dapat dijadikan acuan dalam mendekomposisi terkait
driver dan sub-driver kinerja terkait aspek efisiensi dan responsitas rantai pasok.
Penyusunan Instrumen Pengukuran Kinerja Rantai Pasok
Instrumen pengukuran kinerja yang disusun berupa kuesioner atau daftar
pertanyaan yang dilengkapi pilihan jawaban untuk mengumpulkan data dari
responden penelitian. Agar kuesioner mudah untuk dipahami dan diisi oleh
responden, maka pertanyaan dibuat dalam bahasa yang sederhana dan umum
dalam konteks industri kakao. Berkaitan dengan substansi kinerja rantai pasok
dari aspek efisiensi dan responsivitas yang relatif kompleks, maka data yang
ditanyakan adalah data kualitatif dengan skala pengukuran ordinal berupa Skor.
Skor yang digunakan mulai dari 1 sampai 9 yang menunjukkan pendapat tentang
keadaan atau kondisi dari setiap driver dan sub-driver kinerja rantai pasok yang
dinilai oleh pihak internal perusahaan.
Sebagaimana yang ada dalam penilaian dalam AHP, menurut Saaty (1983)
untuk berbagai persoalan, skala 1 sampai 9 adalah skala terbaik dalam
mengekspresikan pendapat. Dalam hal ini responden yang dituju bisa Manajer
Supply Chain maupun personil yang ditunjuk mewakili perusahaan. Kuesioner
yang telah disusun sebagaimana terlampir.
Secara statistik perbedaan variabel kuantitatif dan kualitatif adalah, variabel
kuantitatif diukur dalam skala pengukuran interval atau rasio. Variabel kuantitatif
dapat bersifat diskrit (variabel yang besarannya tidak dapat menempati semua
nilai dan pada umumnya diperoleh melalui pencacahan) atau kontinu (variabel
yang besarannya dapat menempati semua nilai yang ada diantara dua titik dan
biasanya diperoleh melalui pengukuran). Sedangkan variabel kualitatif adalah
variabel yang diukur dalam skala pengukuran nominal atau ordinal. Sebagaimana
diketahui, variabel yang datanya berskala ukur nominal atau ordinal ini tidak
memiliki satuan ukur. Variabel kualitatif pada umumnya juga dikenal sebagai
variabel kategori (Siagian dan Sugiarto 2006).
Untuk menjamin validitas instrumen, penelitian menggunakan validitas isi
(content) dari setiap pertanyaan. Validitas isi ialah derajat di mana sebuah tes
mengukur cakupan substansi yang ingin diukur. Untuk mendapatkan validitas isi
memerlukan dua aspek penting, yaitu valid isi dan valid teknik samplingnya.
Valid isi mencakup khususnya, hal-hal yang berkaitan dengan apakah butir-butir
itu menggambarkan pengukuran dalam cakupan yang ingin diukur. Dalam hal ini
substansi setiap pertanyaan bersumber dari hasil dekomposisi driver dan sub-
driver yang telah dilakukan pada tahap sebelumnya.
67
Hasil dan Pembahasan
Analisis Efisiensi dan Responsivitas
Tujuan dari rantai pasok yang efisien adalah untuk mengkoordinasikan
aliran material dan jasa untuk meminimalkan persediaan dan memaksimalkan
efisiensi dari produsen dan penyedia layanan dalam rantai pasok (Li 2007). Model
rantai pasok efisien ini menurut Li (2007) merupakan model terbaik untuk
perusahaan yang menghadapi lingkungan di mana tuntutan pasar bisa diprediksi,
kesalahan peramalan rendah, siklus hidup produk panjang, jarang melakukan
pengenalan produk baru, variasi produk minimal, lead time produksi panjang dan
lead-time pemenuhan pesanan singkat. Disain rantai pasok yang efisien
menekankan pada biaya operasi rendah dan pengiriman tepat waktu.
Responsivitas suatu perusahaan menurut Daugherty dan Pittman (1995)
adalah tentang apa yang dilakukan perusahaan agar operasi perusahaan lebih
fleksibel dan memungkinkan untuk menjadi lebih tanggap terhadap permintaan
pelanggan. Penelitian Daugherty dan Pittman (1995) menunjukkan responsivitas
merupakan konsep kinerja yang berhubungan dengan interaksi pasar, sedangkan
fleksibilitas adalah kemampuan internal dalam menghadapi lingkungan eksternal.
Fleksibilitas menunjukkan kemampuan sistem operasi untuk menyerap gangguan,
sedangkan responsivitas menunjukkan seberapa baik sistem menghadapi
perubahan pasar. Fleksibilitas memungkinkan sistem untuk menyerap
ketidakpastian dengan berfungsi sebagai penyangga untuk menstabilkan proses
produksi.
Lebih lanjut Pujawan (2005) memerinci apabila suatu rantai pasok
mengutamakan efisiensi fisik maka semua keputusan pada aspek tersebut harus
mendukung. Kebijakan tentang lokasi fasilitas misalnya, akan berpengaruh besar
terhadap ongkos-ongkos fisik maupun kecepatan respon suatu rantai pasok. Oleh
karena itu, kebijakan lokasi tentu berbeda pada rantai pasok yang mengutamakan
efisiensi fisik dengan rantai pasok yang fokusnya pada responsivitas. Rantai pasok
yang mementingkan efisiensi fisik akan memilih mendirikan pabrik di tempat-
tempat yang biaya tenaga kerjanya murah atau dekat dengan bahan baku.
Konfigurasi dan pengelolaan sistem produksi juga menentukan efisiensi
maupun kecepatan respon suatu rantai pasok. Kecepatan respon akan dicapai jika
sistem produksinya fleksibel. Untuk menciptakan efisiensi fisik, utilitas sistem
produksi harus tinggi. Di sini konsep-konsep seperti lean manufacturing dan just
in time (JIT) akan sangat relevan untuk menciptakan efisiensi di lini produksi.
Selanjutnya, strategi persediaan juga besar pengaruhnya terhadap efisiensi
fisik dan kecepatan merespon pasar. Efisien pada rantai pasok bisa dicapai apabila
ada upaya untuk meminimumkan persediaan secara terus menerus. Salah satu
ukuran kinerja yang penting diukur adalah tingkat perputaran persediaan.
Sebaliknya, perubahan permintaan yang terjadi secara tiba-tiba pada produk-
produk inovatif membutuhkan rantai pasok untuk menyimpan cadangan
persediaan ekstra di tempat-tempat tertentu.
Sementara itu, menurut Chopra dan Meindl (2007) responsivitas rantai
pasok adalah kemampuan untuk dapat melakukan aktivitas seperti: merespons
berbagai jumlah permintaan; memenuhi lead time yang lebih pendek; menangani
68
produk yang bervariasi; membangun produk yang inovatif; memenuhi tingkat
pelayanan tinggi; menangani ketidakpastian pasokan.
Sub Driver Rantai Pasok dari Aspek Efisiensi
Penilaian efisiensi rantai pasok terdiri dari 5 driver. Kelima driver tersebut
adalah fasilitas, persediaan, transportasi, sourcing, dan informasi (Chopra dan
Meindl 2007). Kelima driver tersebut terdiri dari beberapa sub driver yang
merupakan faktor-faktor penentu efisiensi kinerja rantai pasok (Noor and Pitt
2009; Waller 2004; Lau et al. 2006).
A. Fasilitas
Sebagaimana dijelaskan di depan, driver fasilitas adalah berbicara tentang
lokasi fisik dalam jaringan rantai pasok dimana produk disimpan, dirakit atau
dibuat. Driver fasilitas dapat didekomposisi menjadi beberapa macam, di
antaranya Noor dan Pitt (2009) mengkaji tentang manajemen fasilitas dalam
kaitannya dengan penentuan keberhasilan suatu rantai pasok. Untuk mengukur
tingkat kualitas pengelolaan fasilitas, Noor dan Pitt (2009) menggunakan besaran
dana yang digunakan untuk perawatan fasilitas. Semakin besar dana yang
disediakan untuk perawatan fasilitas akan menjamin efisiensi fasilitas. Sementara
itu, fasilitas yang terjaga akan meningkatkan stabilitas produksi. Stabilitas
produksi dinilai oleh Waller (2004) sebagai salah satu penentu keberhasilan rantai
pasok. Lebih lanjut Waller (2004) berpendapat bahwa stabilitas produksi akan
memberikan kontribusi besar pada keberhasilan rantai pasok yang efisien.
Sedangkan Lau et al. (2006) telah membuktikan bahwa penggunaan teknologi
dalam rantai pasok mempengaruhi kinerja rantai pasok. Teknologi dalam berbagai
tingkat kecanggihan menjadi salah satu jenis fasilitas yang bisa lebih
mengefisienkan dan sekaligus lebih responsif terhadap pasokan dan permintaan.
Misalnya dengan menggunakan teknologi berupa alat nirkabel, yaitu WAP
(Wireless Application Protocol) adalah sebuah teknik layanan pesan yang
memungkinkan sebuah telepon genggam digital atau terminal mobile yang
mempunyai fasilitas WAP, melihat/membaca isi sebuah situs di internet dalam
sebuah format teks khusus), Bluetooth, WML (Wireless Markup Language), dan
lainnya akan dapat mendukung pelaksanaan pertukaran data antar perusahaan
menjadi lebih cepat dan lebih tanggap.
Kinerja rantai pasok produk hasil bumi sangat dipengaruhi oleh lokasi.
Kedekatan Fasilitas seperti tempat pengolahan (pabrik) dengan sumber bahan
baku memberikan kontribusi yang besar terhadap efisiensi rantai pasok (Siry et al.
2006). Menurut Siry et al. (2006) infrastruktur yang baik akan menunjang rantai
pasok semakin efisien. Dalam penelitiannya infrastruktur berkategori baik diukur
dapat dilihat dari kondisi jalannya. Siry et al. (2006) menegaskan bahwa
perusahaan akan memiliki rantai pasok efisien dengan adanya jaringan jalan yang
lebar dan luas.
Kapasitas fasilitas yang besar dengan utilisasi maksimal memberikan
kontribusi signifikan terhadap efisiensi rantai pasok (Cook et al. 2011; Siry et al.
2006). Siry et al. (2006) melaporkan bahwa penggunaan kendaraan besar dengan
utilisasi maksimal membuat biaya pengiriman semakin murah. Fasilitas
perusahaan seperti pabrik atau gudang berkapasitas besar dengan utilitas
69
maksimal memberikan pengaruh positif bagi kinerja efisiensi rantai pasok (Cook
et al. 2011). Pengukuran kapasitas dapat ditentukan dari volume kapasitas (Siry et
al. 2006) dan utilitas (Cook et al. 2011). Cook et al. (2011) menekankan perlunya
perusahaan menggunakan utilitas maksimal agar tercapai rantai pasok yang efisien,
dengan alasan ini maka pengukuran kapasitas fasilitas berdasarkan utilitas fasilitas
perusahaan.
Pabrik dan gudang yang mampu digunakan memproses dan menyimpan
beberapa macam sekaligus produk jadi atau setengah jadi memiliki pengaruh
besar dalam efisiensi (Soon dan Udin 2011). Soon dan Udin (2011) menjelaskan
bahwa semakin fleksibel fasilitas produksi dan penyimpanan akan semakin baik
pula rantai pasok perusahaan tersebut. Kendaraan yang bisa difungsikan untuk
mengangkut beberapa macam barang (barang jadi maupun bahan baku) akan
mempengaruhi kinerja rantai pasok (Jahre dan Hatteland 2004). Fleksibilitas
fasilitas diukur dengan menggunakan kemampuan fasilitas produksi (pabrik)
(Soon dan Udin 2011), fasilitas penyimpanan (Soon dan Udin 2011), dan
kendaraan angkut (Jahre dan Hatteland 2004). Mengacu pada beberapa penelitian
tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa Sub-Driver Fasilitas meliputi su-sub
driver berikut (Tabel 14).
Tabel 14 Dekomposisi driver fasilitas dalam aspek efisiensi
SUB-DRIVER SUB SUB-DRIVER PERTANYAAN
1.1. Pengelolaan
fasilitas
Manajemen fasilitas Seberapa besar dana yang dihabiskan untuk
maintenance cost pabrik/gudang?
Stabilitas produksi
Seberapa besar jumlah produk yang
diproduksi mengalami kenaikan dan
penurunan dalam jangka pendek?
Teknologi Apakah untuk pengelolaan Rantai Pasok
perusahaan menggunakan teknologi modern?
1.2. Lokasi
Kedekatan fasilitas Seberapa jauh letak pabrik dengan sumber
bahan baku?
Infrastruktur jalan
Bagaimana Kondisi jalan yang dilalui armada
pengiriman bahan baku dan barang jadi saat
ini.
1.3. Kapasitas fasilitas
Utilitas gudang Seberapa tinggi tingkat penggunaan gudang
perusahaan anda?
Utilitas pabrik Seberapa Tinggi tingkat penggunaan pabrik
perusahaan anda?
Utilitas kendaraan Seberapa tinggi tingkat penggunaan
kendaraan perusahaan anda?
1.4. Fleksibilitas
fasilitas
Fleksibilitas
kendaraan
Apakah kendaraan perusahaan anda
memungkinkan untuk mengangkut beberapa
jenis produk?
Fleksibilitas gudang
Apakah gudang perusahaan anda
memungkinkan untuk menyimpan beberapa
jenis produk?
Fleksibilitas Pabrik Apakah peralatan pabrik memungkinkan
untuk memproduksi beberapa jenis produk?
70
B. Persediaan
Persediaan adalah bagian dari rantai pasok yang merupakan pemicu biaya
(cost driver) terbesar (Manikas dan Terry 2009; Randal et al. 2011; Blackburn dan
Scudder 2009; Boulaksil et al. 2009). Oleh sebab itu tidak mungkin mengabaikan
persediaan dalam penilaian rantai pasok. Dengan alasan inilah Randal et al.
(2011) dan Blackburn dan Scudder (2009) melakukan penelitian terkait dengan
persediaan terutama perputaran produk dan kuantitas barang. Dua driver tersebut
dinyatakan memiliki andil besar terhadap keberhasilan efisiensi rantai pasok
perusahaan.
Randal et al. (2011) dan Blackburn dan Scudder (2009) memberikan bukti
bahwa perputaran produk yang cepat berarti rantai pasok berkinerja baik.
Perputaran produk memiliki dua faktor yaitu aliran barang (Randal et al. 2011)
dan decay rate (Blackburn dan Scudder 2009), terutama pada produk yang cepat
habis atau berumur pendek (fast moving product). Decay rate adalah tingkat
(dalam persen) kerusakan barang (Blackburn dan Scudder 2009). Sementara itu,
aliran barang (bahan baku dan produk jadi) diukur dengan menilai ketepatan
waktu produk (Randal et al. 2011) sedangkan decay rate diukur dengan kuantitas
barang (bahan baku dan produk jadi) yang mengalami kerusakan (Blackburn dan
Scudder 2009).
Pengaruh kuantitas barang terhadap efisiensi rantai pasok didukung oleh
penelitian Boulaksil et al. (2009). Boulaksil et al. (2009) menambahkan faktor
keamanan stok (bahan baku dan produk). Kekurangan stok produk menyebabkan
tidak terlayaninya permintaan konsumen, sedangkan kekurangan stok bahan baku
menyebabkan proses produksi macet. Keamanan stok produk diukur dari
frekuensi terjadinya proses produksi macet karena kehabisan stok bahan baku dan
frekuensi terjadinya order produk yang tidak terlayani akibat tidak ada stok
produk. Disisi yang lain, stok barang yang terlalu besar membuat rantai pasok
tidak efisien. Alasan inilah yang mendasari Randal et al. (2011) untuk
memasukkan streamline stock dan Blackburn dan Scudder (2009) untuk
memasukkan optimalisasi pengiriman sebagai bagian penting dalam efisiensi
rantai pasok. Streamline stock diukur dengan tingkat keketatan perusahaan
meminimalisir stok barang untuk meminimalisir biaya penyimpanan barang.
Optimalisasi pengiriman diukur dengan preferensi kebijakan perusahaan untuk
memilih opsi pengiriman.
Penelitian Manikas dan Terry (2009) menambahkan faktor warehouse
management sebagai subdriver persediaan karena warehouse management
memiliki pengaruh signifikan terhadap efisiensi utilisasi storage space terutama
pada fast moving product. Efisiensi persediaan terjadi apabila penataan barang di
gudang mampu memaksimalkan kapasitas penyimpanan dan arus barang (keluar-
masuk barang) dapat berjalan dengan cepat (Manikas dan Terry 2009). Arus
barang mempengaruhi lead time penurunan dan pemuatan barang dari dan ke
kendaraan angkut. Lead time tinggi menyebabkan inefisiensi rantai pasok
(Manikas dan Terry 2009). Dari beberapa hasil penelitian tersebut maka driver
persediaan dapat diuraikan menjadi sub-sub driver berikut (Tabel 15).
71
Tabel 15 Dekomposisi driver inventori dalam aspek efisiensi
SUB DRIVER SUB SUB DRIVER PERTANYAAN
2.1. Perputaran produk
Aliran bahan baku Apakah pengiriman bahan baku tepat waktu
sesuai kebutuhan produksi?
Aliran produk Apakah pengiriman produk jadi kepada
konsumen tepat waktu dan tepat jumlah?
Decay rate produk Seberapa banyak produk yang rusak setelah
dikirim sampai ke konsumen?
Decay rate bahan
baku
Seberapa banyak bahan baku yang rusak
setalah dikirim sampai ke pabrik?
2.2. Kuantitas barang
Keamanan stok
produk
Seberapa sering terjadi order produk yang
tidak terlayani akibat tidak ada stok produk?
Keamanan stok bahan
baku
Seberapa sering terjadi produksi macet
karena kehabisan stok bahan baku?
Streamline stock
Seberapa ketat perusahaan meminimalisir
stok barang untuk meminimalisir biaya
penyimpanan barang?
Optimalisasi
pengiriman
Dalam proses pengiriman barang bagaimana
perusahaan anda mengelolanya?
2.3. Warehouse
management
Penataan gudang Bagaimana penataan barang di gudang?
Arus barang di
gudang
Seberapa lancar arus keluar masuk barang di
gudang?
C. Transportasi
Daya angkut barang yang dibatasi dengan ketat di Amerika Serikat (AS)
menyebabkan perusahaan AS kalah bersaing dengan perusahaan negara lain dari
sisi efisiensi price of trip (Siry et al. 2006). Alasan ini mendasari Siry et al. (2006)
untuk memasukkan price of trip yang diukur dari daya angkut truk ke dalam salah
satu faktor yang ikut mempengaruhi efisiensi rantai pasok. Terkait dengan
transportasi, Siry et al. (2006) dan Blackburn dan Scudder (2009) menambahkan
dengan faktor pengiriman barang yang terjadwal dan ketepatan pengiriman.
Pengiriman barang yang terjadwal dan ketepatan pengiriman memperlancar arus
barang, baik di gudang maupun di tempat proses produksi, sehingga membuat
meningkatkan efisiensi keseluruhan rantai pasok. Konsep ini sejalan dengan
konsep JIT yang telah lama diterapkan di berbagai industri. Penjadwalan
pengiriman diukur menggunakan tingkat keketatan jadwal (Blackburn dan
Scudder 2009). Ketepatan waktu pengiriman diukur menggunakan frekuensi
keterlambatan pengiriman barang (Blackburn dan Scudder 2009). Dari beberapa
penelitian tersebut maka driver transportasi dapat diuraikan menjadi sub-sub
driver berikut (Tabel 16).
72
Tabel 16 Dekomposisi driver transportasi dalam aspek efisiensi
SUB DRIVER SUB SUB DRIVER PERTANYAAN
3.1. Vehicle flow
Penjadwalan
pengiriman
Bagaimana penjadwalan pengiriman barang
di perusahaan anda?
Ketepatan waktu
pengiriman
Seberapa baik ketepatan waktu pengiriman
barang?
3.2.Price of trip Daya angkut truk Seberapa banyak truk yang daya angkutnya
dimaksimalkan untuk mengangkut barang?
D. Sourcing
Menurut Siry et al. (2006), Shukla et al. (2011), Noor dan Pitt (2009),
Ellegaard (2008), dan Pretty et al. (2008), proses perusahaan mendapatkan bahan
baku atau sourcing mempengaruhi kinerja rantai pasok. Ada tiga cara umum yang
digunakan untuk mendapatkan bahan baku. Pertama, perusahaan membeli ke
pemasok langsung tanpa menggunakan perantara, agen, atau logistic provider.
Kedua, perusahaan menggunakan inhouse-outsource. Ketiga, perusahaan
menggunakan logistic provider atau agen. Ketiga cara ini bisa digunakan
bersamaan atau hanya salah satu saja. Perusahaan yang menggunakan cara
pembelian langsung perlu memperhatikan manajemen pemasok (Noor dan Pitt
2009), peningkatan kemampuan pemasok (Noor dan Pitt 2009), penetapan kriteria
tertentu untuk menjadi pemasok (Ellegaard 2008), dan penerapan pertanian
berkelanjutan (Pretty et al. 2008). Jika perusahaan menggunakan cara pembelian
bahan baku langsung kepada pemasok, maka rantai pasok efisien bisa diperoleh
dengan mengharuskan adanya keempat sub-driver tersebut (Noor dan Pitt 2009;
Ellegaard 2008; Pretty et al. 2008). Manajemen pemasok diukur dengan kualitas
pengelolaan pemasok (Noor dan Pitt 2009). Peningkatan kemampuan pemasok
diukur dengan kualitas upaya perusahaan dalam meningkatkan kemampuan
pemasok (Noor dan Pitt 2009). Kriteria pemasok diukur dengan tingkat keketatan
perusahaan menerapkan kriteria pemasok (Ellegaard 2008). Pertanian
berkelanjutan diukur dengan menggunakan tingkat kecenderungan perusahaan
untuk memperhatikan penerapan pertanian berkelanjutan oleh pemasok (Pretty et
al. 2008).
Penerapan pembelian bahan baku menggunakan inhouse-outsource
menyebabkan rantai pasok efisien mengharuskan adanya integrasi pemasok
dengan perusahaan. Integrasi dengan pemasok dilakukan perusahaan dengan
mengintegrasikan pemasok ke dalam rantai pasok (Siry et al. 2006). Semakin
dalam pemasok terlibat di rantai pasok, semakin efisien kinerja rantai pasok (Siry
et al. 2006). Integrasi pemasok diukur dengan tingkat kualitas integrasi aktivitas
produksi dengan pola pasokan bahan baku.
Cara perolehan bahan baku ketiga yaitu dengan menggunakan logistic
provider memerlukan tingkat hubungan yang erat antara perusahaan dengan
logistic provider (Shukla et al.. 2011). Hubungan erat antara perusahaan dengan
logistic provider menyebabkan rantai pasok efisien (Shukla et al. 2011). Keeratan
hubungan antara perusahaan dengan logistic provider diukur dengan jangka waktu
73
kerja sama yang telah berjalan di kedua belah pihak (Shukla et al. 2011). Dari
beberapa hasil penelitian tersebut maka driver sourcing dapat diuraikan menjadi
sub-sub driver berikut (Tabel 17).
Tabel 17 Dekomposisi driver sourcing dalam aspek efisiensi
SUB DRIVER SUB SUB DRIVER PERTANYAAN
4.1. Penilaian supplier
Manajemen pemasok Bagaimana pengelolaan pemasok di
Perusahaan anda?
Peningkatan
kemampuan pemasok
Bagaimana upaya perusahaan dalam
meningkatkan kemampuan pemasok?
Kriteria pemasok Seberapa ketat perusahaan menggunakan
kriteria tertentu ketika memilih supplier?
Pertanian
berkelanjutan
Seberapa tinggi kecenderungan perusahaan
untuk memperhatikan supplier agar
menerapkan pertanian berkelanjutan ?
4.2. Integrasi pemasok Integrasi pemasok Bagaimana integrasi aktivitas produksi
dengan pola pasokan bahan baku?
4.3. Keeratan hubungan
pemasok Hubungan pemasok
Seberapa lama jangka waktu hubungan
dengan pemasok ?
E. Informasi
Frayret et al. (2007) dan Waller (2004) melakukan penelitian tentang
penggunaan integrasi dan koordinasi informasi untuk peningkatan kinerja rantai
pasok. Informasi yang semakin terintegrasi pada suatu rantai pasok menyebabkan
rantai pasok tersebut semakin efisien, terutama integrasi informasi permintaan
produk (Waller 2004). Integrasi informasi pada rantai pasok diukur dengan
ketersediaan integrasi informasi dalam rantai pasok. Koordinasi informasi diukur
dari output koordinasi informasi yaitu perencanaan rantai pasok (Frayret et al.
2007) dan pengendalian aktivitas produksi (Randal et al. 2011), (Frayret et al.
2007). Perusahaan dengan perencanaan rantai pasok berkualitas dan kontrol yang
kuat atas aktivitas produksi memiliki rantai pasok yang efisien karena tidak
dimungkinkan adanya aktivitas yang merugikan. Dari beberapa hasil penelitian
tersebut maka driver informasi dapat diuraikan menjadi sub-sub driver berikut
(Tabel 18).
Tabel 18 Dekomposisi driver informasi dalam aspek efisiensi
SUB DRIVER SUB SUB DRIVER PERTANYAAN
5.1. Integrasi
permintaan Integrasi permintaan
Apakah perusahan mengintegrasikan proses
dan produk permintaan konsumen?
5.2. Koordinasi
Perencanaan yang
baik
Bagaimana mekanisme perencanaan
perusahaan anda?
Pengendalian Seberapa kuat perusahaan mengontrol
aktivitas produksi?
74
Sub driver Rantai Pasok dari Aspek Responsivitas
Penilaian responsivitas rantai pasok terdiri dari 5 driver, yaitu fasilitas,
persediaan, transportasi, sourcing, dan informasi. Dari kelima driver tersebut
masing-masing terdiri dari beberapa sub driver yang merupakan faktor-faktor
penentu kinerja responsivitas rantai pasok.
A. Fasilitas
Noor dan Pitt (2009) mengkaji manajemen fasilitas dalam kaitannya dengan
penentuan keberhasilan responsivitas suatu rantai pasok. Fasilitas yang terkelola
memiliki responsivitas lebih tinggi daripada fasilitas yang kurang terkelola (Noor
dan Pitt 2009). Untuk mengukur tingkat responsivitas pengelolaan fasilitas, Noor
dan Pitt (2009) menggunakan fleksibilitas fasilitas perusahaan dalam pemenuhan
permintaan konsumen. Pengukuran fleksibilitas fasilitas juga diukur
menggunakan besaran lead time ketika terjadi perubahan permintaan konsumen.
Penelitian Noor dan Pitt (2009) juga menunjukkan adanya pengaruh aliansi
strategis yang menggunakan fasilitas tambahan semacam buying station dalam
perdagangan kakao untuk meningkatkan kinerja rantai pasok. Pemanfaatan
fasilitas yang meningkatkan hubungan dengan pelanggan seperti buying station
tersebut terbukti mampu meningkatkan responsivitas rantai pasok (Noor dan Pitt
2009). Pengukuran aliansi strategis menggunakan buying station diukur dengan
tingkat pemanfaatan fasilitas tersebut.
Lau et al. (2006) menjelaskan pentingnya penggunaan teknologi untuk
meningkatkan responsivitas rantai pasok perusahaan. Integrasi fasilitas
perusahaan dengan penggunaan teknologi dalam rantai pasok secara positif
menunjang kinerja rantai pasok sehingga mampu meningkatkan responsivitas
perusahaan. Penggunaan teknologi pada rantai pasok diukur dengan ketersediaan
fasilitas teknologi yang terintegrasi dalam rantai pasok (Lau et al. 2006).
Penelitian Siry et al. (2006) tidak hanya menunjukan urgensi lokasi fasilitas
terhadap efisiensi, tetapi juga secara tersirat membuktikan pengaruh lokasi yang
strategis terhadap responsivitas. Lokasi fasilitas yang saling berdekatan membuat
perusahaan lebih responsif terhadap permintaan konsumen. Prasarana penunjang
lain seperti infrastruktur transportasi secara nyata memberikan kontribusi terhadap
responsivitas rantai pasok (Siry et al. 2006). Kedekatan lokasi fasilitas diukur
secara relatif subyektif pelaku usaha. Infrastruktur transportasi yang diukur adalah
infrastruktur jalan dan pelabuhan karena dua infrastruktur inilah yang sering
digunakan. Cara pengukuran adalah dengan menilai kualitas infrastruktur secara
subyektif oleh pelaku usaha.
Masih terkait dengan pengelolaan fasilitas, fasilitas yang terkelola dengan
baik sehingga memicu adanya fasilitas yang multiple use dan fleksibel membuat
rantai pasok semakin responsif (Jahre dan Hatteland 2004; Soon dan Udin 2011;
Waller 2004). Gudang, moda pengangkutan, dan pabrik yang mampu menyimpan,
mengangkut, dan memproduksi beragam produk yang berbeda-beda mampu
meningkatkan responsivitas rantai pasok (Jahre dan Hatteland 2004; Waller
2004). Fleksibilitas gudang, moda pengangkutan, dan pabrik diukur dengan ada
atau tidaknya kemungkinan dilakukan multiple use. Dari beberapa hasil penelitian
75
tersebut maka driver fasilitas dapat diuraikan menjadi sub-sub driver berikut
(Tabel 19).
Tabel 19 Dekomposisi driver fasilitas dalam aspek responsivitas
SUB-DRIVER SUB SUB-DRIVER PERTANYAAN
1.1. Pengelolaan
fasilitas
Manajemen fasilitas
Seberapa besar perubahan jumlah
permintaan pelanggan yang mampu
dipenuhi oleh fasilitas pabrik?
Manajemen fasilitas
Seberapa besar perubahan waktu (lead
time) pemenuhan permintaan pelanggan
yang mampu dipenuhi pabrik?
Aliansi strategis
Dalam bekerjasama dengan supplier,
seberapa penting perusahaan
menggunakan fasilitas pembelian
(seperti buying station)?
Teknologi
Dalam menanggapi dan mengelola
permintaan pelanggan seberapa banyak
perusahaan menggunakan teknologi
1.2. Lokasi fasilitas
Kedekatan
Seberapa jauh lokasi fasilitas
(misal:gudang atau pabrik) perusahaan
dengan sumber bahan baku.
Infrastruktur jalan
Bagaimana kondisi jalan yang dilalui
armada pengiriman bahan baku dan
barang jadi saat ini.
Infrastruktur pelabuhan
Bagaimana kondisi pelabuhan untuk
pengiriman bahan baku dan barang jadi
saat ini.
1.3. Fleksibilitas
fasilitas
Fleksibilitas kendaraan
Apakah kendaraan angkut yang dimiliki
memungkinkan mengangkut beberapa
jenis produk.
Fleksibilitas gudang
Apakah gudang yang dimiliki bisa
digunakan untuk menyimpan beberapa
jenis/sifat produk
Fleksibilitas pabrik
Apakah peralatan pabrik yang dimiliki
memungkinkan untuk memproduksi
beberapa jenis permintaan produk.
B. Persediaan
Persediaan adalah bagian dari rantai pasok yang merupakan cost driver
terbesar dan menjadi area trade off antara responsivitas dan efisiensi (Manikas dan
Terry 2009; Boulaksil et al. 2007; Blackburn dan Scudder 2009). Semakin besar
biaya persediaan akan meningkatkan responsivitas (Randall et al. 2011; Boulaksil
et al. 2007). Blackburn dan Scudder (2009) mengemukakan tentang decay rate,
suatu tingkat rusaknya barang jika terlalu lama disimpan. Gagasan tentang decay
rate (untuk bahan yang mudah busuk) menyebutkan perlunya high flow goods
sehingga tidak ada barang yang rusak (Manikas dan Terry 2009). Decay rate
76
diukur dengan memperkirakan jumlah produk dan bahan baku yang rusak ketika
sampai di tujuan.
Decay rate cenderung menekan jumlah persediaan, sebaliknya safety stock
cenderung meningkatkan jumlah (Boulaksil et al. 2007). Boulaksil et al. (2007)
menambahkan faktor safety stock (bahan baku dan produk). Agar semakin
responsif rantai pasok maka safety stock harus ditingkatkan. Kekurangan stok
produk menyebabkan tidak terlayaninya permintaan konsumen, sedangkan
kekurangan stok bahan baku menyebabkan proses produksi macet (Boulaksil et al.
2007). Keamanan stok produk diukur dari frekuensi terjadinya proses produksi
macet karena kehabisan stok bahan baku dan frekuensi terjadinya order produk
yang tidak terlayani akibat tidak ada stok produk.
Decay rate dan safety stock berkaitan erat dengan arus barang. Arus barang
yang tinggi menekan jumlah decay rate dan safety stock. Arus barang tinggi
menuntut adanya warehouse management (Manikas dan Terry 2009). Manikas
dan Terry (2009) menekankan perlunya pengelolaan gudang dengan penataan
barang yang baik sehingga memperlancar arus barang. Warehouse management
diukur dengan kualitas penataan barang di gudang dan tingkat kelancaran arus
barang. Dari beberapa acuan penelitian tersebut di atas maka driver persediaan
dapat diuraikan menjadi sub-sub driver berikut (Tabel 20).
Tabel 20 Dekomposisi driver inventori dalam aspek responsivitas
SUB-DRIVER SUB SUB-DRIVER PERTANYAAN
2.1. Perputaran
Produk
Decay rate produk Seberapa Banyak produk yang rusak setelah
dikirim sampai ke konsumen
Decay rate bahan baku Seberapa Banyak bahan baku yang rusak
setalah dikirim sampai ke pabrik?
2.2. Kuantitas Barang
Keamanan Stok produk Seberapa sering terjadi order produk yang
tidak terlayani akibat tidak ada stok produk?
Keamanan stok bahan baku Seberapa sering terjadi produksi macet
karena kehabisan stok bahan baku?
2.3. Pengelolaan
gudang
Penataan gudang Bagaimana penataan barang di gudang?
Arus barang di gudang Seberapa lancar arus keluar masuk barang di
gudang?
C. Transportasi
Transportasi merupakan driver penting dalam responsivitas rantai pasokan.
Terkait dengan transportasi, Siry et al. (2004) dan Blackburn dan Scudder (2009)
menyebutkan pengiriman barang yang terjadwal dan ketepatan pengiriman
mampu mempengaruhi responsivitas rantai pasok. Pengiriman barang yang
terjadwal dan atau tepat waktu memperlancar arus barang baik di gudang maupun
tempat proses produksi. Konsep ini sejalan dengan konsep JIT yang telah lama
diterapkan di berbagai industri. Penjadwalan pengiriman diukur menggunakan
77
tingkat keketatan jadwal (Blackburn dan Scudder 2009). Ketepatan waktu
pengiriman diukur menggunakan frekuensi keterlambatan pengiriman barang
(Blackburn dan Scudder 2009). Dari beberapa hasil penelitian tersebut maka
driver transportasi dapat diuraikan menjadi sub-sub driver berikut (Tabel 21).
Tabel 21 Dekomposisi driver transportasi dalam aspek responsivitas
SUB-DRIVER SUB SUB-DRIVER PERTANYAAN
3.1. Vehicle flow
Penjadwalan pengiriman Bagaimana penjadwalan Pengiriman
barang di perusahaan anda?
Ketepatan waktu pengiriman Seberapa baik ketepatan waktu pengiriman
barang?
D. Sourcing
Menurut Siry et al. (2004), Shukla et al. (2011), Noor dan Pitt (2009),
Ellegaard (2008), dan Pretty et al. (2008), proses perusahaan mendapatkan bahan
baku atau sourcing mempengaruhi kinerja rantai pasok. Ada tiga cara umum
digunakan untuk mendapatkan bahan baku. Pertama, perusahaan membeli ke
pemasok langsung tanpa menggunakan perantara, agen, atau logistic provider.
Kedua, perusahaan menggunakan inhouse-outsource. Ketiga, perusahaan
menggunakan logistic provider atau agen. Ketiga cara ini bisa digunakan
bersamaan atau hanya salah satu saja. Perusahaan yang menggunakan cara
pembelian langsung perlu memperhatikan manajemen pemasok (Noor dan Pitt
2009), peningkatan kemampuan pemasok (Noor dan Pitt 2009), penetapan kriteria
tertentu untuk menjadi pemasok (Ellegaard 2008), dan tingkat kepercayaan
pemasok dengan perusahaan (Vachon et al. 2009; Lambert dan Cooper 2000).
Jika perusahaan menggunakan cara pembelian bahan baku langsung kepada
pemasok, maka responsivitas rantai pasok bisa diperoleh dengan mengharuskan
adanya keempat sub subdriver tersebut (Noor dan Pitt 2009; Ellegaard 2008; dan
Vachon et al. 2009). Manajemen pemasok diukur dengan kualitas pengelolaan
pemasok (Noor dan Pitt 2009). Peningkatan kemampuan pemasok diukur dengan
kualitas upaya perusahaan dalam meningkatkan kemampuan pemasok (Noor dan
Pitt 2009). Kriteria pemasok diukur dengan tingkat keketatan perusahaan
menerapkan kriteria pemasok (Ellegaard 2008). Kepercayaan diukur dengan
keberadaan kepercayaan diantara dua belah pihak (Vachon et al. 2009).
Penerapan pembelian bahan baku menggunakan inhouse-outsoure
menyebabkan rantai pasok responsif, namun mengharuskan adanya integrasi
pemasok dengan perusahaan. Integrasi pemasok-perusahaan dilakukan dengan
cara mengintegrasikan pemasok ke dalam jaringan rantai pasok (Siry et al. 2006).
Semakin dalam pemasok terlibat di rantai pasok, semakin responsif kinerja rantai
pasok (Siry et al. 2006). Integrasi pemasok diukur dengan tingkat kualitas
integrasi aktivitas produksi dengan pola pasokan bahan baku.
78
Cara perolehan bahan baku ketiga, yaitu dengan menggunakan logistic
provider memerlukan tingkat hubungan yang erat antara perusahaan dengan
logistic provider (Shukla et al.. 2011). Hubungan erat antara perusahaan dengan
logistic provider menyebabkan rantai pasok lebih responsif (Shukla et al. 2011).
Keeratan hubungan antara perusahaan dengan logistic provider diukur dengan
jangka waktu kerja sama yang telah berjalan di antara kedua belah pihak (Shukla
et al. 2011). Dari beberapa hasil penelitian tersebut maka driver sourcing dapat
diuraikan menjadi sub-sub driver berikut (Tabel 22).
Tabel 22 Dekomposisi driver sourcing dalam aspek responsivitas
SUB-DRIVER SUB SUB-DRIVER PERTANYAAN
4.1. Penilaian
pemasok
Manajemen pemasok Bagaimana pengelolaan pemasok di
perusahaan anda?
Peningkatan kemampuan
pemasok
Bagaimana upaya perusahaan dalam
meingkatkan kemampuan pemasok?
Hubungan pemasok Bagaimana hubungan perusahaan dengan
supplier bahan baku?
Tingkat kepercayaan Bagaimana tingkat kepercayaan antara
perusahaan dengan pemasok?
4.2. Integrasi
pemasok Integrasi aktivitas produksi
Bagaimana integrasi aktivitas produksi
dengan pola pasokan bahan baku?
4.3. Keeratan
hubungan Jangka waktu hubungan
Seberapa lama jangka waktu hubungan
dengan pemasok ?
E. Informasi
Rudolf et al. (2011), Saad dan Gindy (2007) dan Waller (2004) melakukan
penelitian tentang penggunaan integrasi dan koordinasi informasi untuk
peningkatan kinerja rantai pasok. Informasi yang semakin terintegrasi pada suatu
rantai pasok menyebabkan rantai pasok tersebut semakin responsif, terutama
integrasi informasi permintaan produk (Rudolf et al. 2011; Saad dan Gindy 2007;
Waller 2004). Integrasi informasi pada rantai pasok diukur dengan ketersediaan
integrasi informasi dalam rantai pasok. Koordinasi informasi diukur dari output
koordinasi informasi yaitu perencanaan rantai pasok (Frayret et al. 2007) dan
pengendalian aktivitas produksi (Randal et al. 2011; Frayret et al. 2007).
Perusahaan dengan perencanaan rantai pasok berkualitas dan kontrol yang kuat
atas aktivitas produksi memiliki rantai pasok yang efisien karena tidak
dimungkinkan adanya aktivitas yang merugikan. Dari beberapa acuan penelitian
tersebut maka driver informasi dapat diuraikan menjadi sub-sub driver Tabel 23.
Tabel 23 Dekomposisi driver informasi dalam aspek responsivitas
79
SUB-DRIVER SUB SUB-DRIVER PERTANYAAN
5.1. Integrasi Integrasi proses dan produk
Apakah perusahan mengintegrasikan
proses dan produk permintaan
konsumen?
5.2. Koordinasi
Perencanaan Bagaimana mekanisme perencanaan
perusahaan anda?
Pengendalian Seberapa kuat perusahaan mengontrol
aktivitas produksi?
Hasil Penyusunan Kuesioner Pakar untuk Pembobotan Driver dan
Kuesioner Industri Instrumen survei yang disusun terdiri dari kuesioner pakar untuk
pembobotan driver dan sub driver, dan kuesioner industri untuk pengukuran
kinerja efisiensi dan responsivitas. Kuesioner untuk pembobotan driver dan sub
driver didasarkan pada driver-driver dan sub-driver hasil dari proses dekomposisi.
Format kuesioner pakar disesuaikan dengan perangkat lunak yang digunakan
untuk proses pengolahan data. Adapun perangkat lunak yang digunakan untuk
pengolahan data bobot dari pakar adalah Expert Choice 2000 (Lampiran 1).
Kuesioner untuk pengukuran Kinerja Efisiensi dan Responsivitas disusun
berdasarkan pertanyaan yang dirumuskan dalam bentuk tabel dekomposisi
(Lampiran 2).
Simpulan
Pengukuran kinerja rantai pasok memerlukan suatu metrik guna
pengumpulan data lapangan yang bersifat operasional. Dengan melakukan
dekomposisi driver kinerja rantai pasok akan dapat diperoleh variabel yang
memudahkan dalam pengumpulan data guna pengukuran kinerja. Dengan tujuan
mencapai daya saing rantai pasok industri kakao, penelitian ini telah berhasil
malakukan identifikasi driver dan sub driver kinerja rantai pasok yang ditinjau
dari aspek efisiensi dan responsivitas. Kedua aspek yang didekomposisi akan
menyediakan sejumlah indikator yang mempermudah interpretasi bagi upaya
perbaikan kinerja rantai pasok oleh perusahaan atau upaya tidak langsung untuk
bahan perumusan kebijakan pemerintah yang mendukung perbaikan kinerja rantai
pasok tersbut.
Hasil dekomposisi ini adalah berupa instrumen pengukuran kinerja rantai
pasok perusahaan di industri kakao. Instrumen tersebut terdiri dari: 1) kuesioner
pakar untuk pembobotan driver. Format kuesioner pakar disesuaikan dengan
perangkat lunak yang digunakan yaitu Expert Choice 2000. 2) Kuesioner industri
untuk pengukuran kinerja efisiensi dan responsivitas. Kuesioner industri
dirancang untuk dapat diisi secara mandiri oleh pihak perusahaan sehingga
merupakan instrumen penilaian sendiri (self assessment).
80
7 MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN
INDUSTRI KAKAO
Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah mengembangkan model perumusan kebijakan
pengembangan industri kakao berbasis rantai pasok. Rumusan kebijakan mengacu
pada hasil pengukuran kinerja rantai pasok berupa indeks kinerja rantai pasok.
Dua tahapan utama dalam model yaitu pengukuran kinerja rantai pasok dan relasi
antar kebijakan yang dihasilkan. Pengukuran kinerja ditentukan oleh driver
kinerja yang terdiri dari fasilitas, persediaan, transportasi, informasi dan sourcing.
Driver kinerja didekomposisi berdasar studi literatur yang dilanjutkan dengan
pembobotan menggunakan AHP (Analytical Hierarchy Process). Weighted
Scoring Model digunakan untuk menghitung indeks kinerja rantai pasok.
Implikasi kebijakan untuk mengoptimalkan rantai pasok diperoleh dari indeks
kinerja driver yang menunjukkan kondisi lemah. Tahap strukturisasi kebijakan
dilakukan dengan teknik ISM untuk menentukan karakteristik, struktur dan relasi
antar kebijakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan yang menjamin
pasokan energi listrik dan gas yang memadai di kawasan industri dan kebijakan
pembangunan infrastruktur jalan, jembatan dan fasilitas pelabuhan merupakan dua
kebijakan yang menjadi prasyarat dasar bagi tumbuh dan berkembangnya industri
kakao.
Kata kunci: model, perumusan kebijakan, industri kakao, rantai pasok, ISM
Pendahuluan
Indonesia sebagai penghasil biji kakao terbesar ketiga dunia saat ini sedang
berupaya meningkatkan nilai tambah dari komoditi ini melalui pengembangan
industri kakao. Berbagai kebijakan dan program telah dilaksanakan mulai dari
sektor hulu hingga hilir untuk mencapai daya saing industri kakao. Namun,
dinamika pengembangan industri yang kompleks mengakibatkan tidak mudahnya
merumuskan kebijakan yang efektif. Banyak faktor yang berpengaruh dalam
pengembangan industri kakao. Suprihatini et al. (2004) mengajukan paling tidak
ada sebelas faktor berpengaruh dalam pengembangan industri hilir perkebunan di
antaranya manajemen rantai pasok, dan infrastruktur. Selain itu, Beckett (2011)
menunjukkan bahwa kualitas, keamanan pangan, traceability dan keberlanjutan
adalah kunci masalah yang menantang dengan supply chain kakao yang kompleks.
Dengan demikian, rantai pasokan merupakan faktor penting yang harus
dipertimbangkan dalam pengembangan industri kakao.
Faktor rantai pasok menjadi pertimbangan penting dalam pengembangan
indutri kakao di Indonesia, karena secara geografis kegiatan agroindustri kakao
tersebar luas di berbagai pulau di wilayah Indonesia. Kegiatan produksi bahan
baku biji kakao sebagian besar tersebar di pulau Sulawesi, Sumatera, dan
Kalimantan, sementara untuk kegiatan industri pengolahan masih terkonsentrasi di
pulau Jawa dan sebagian kecil di Sulawesi.
81
Dalam manajemen rantai pasok aspek-aspek logistik seperti lokasi,
kapasitas maupun fleksibilitas fasilitas yang dimiliki, inventori, sarana dan biaya
transportasi sangat mempengaruhi keputusan perusahaan untuk melakukan
ekspansi atau penambahan kapasitas. Selain itu, aspek aliran informasi dan pilihan
cara pengadaan juga menjadi pertimbangan yang mempengaruhi pengembangan
industri. Jika pengembangan industri diharapkan dari modal asing, Alam (2009)
mengingatkan bahwa investasi asing langsung (FDI) sangat dipengaruhi oleh
kapabilitas rantai pasok suatu negara.
Aspek-aspek tersebut di atas oleh Chopra dan Meindl (2007) dan Hugos
(2010) disebut sebagai driver (faktor penggerak) yang akan menentukan kinerja
dari rantai pasok. Untuk mengetahui kinerja rantai pasok diperlukan sistem
pengukuran yang mampu mengevaluasi kinerja rantai pasok secara holistik
(Pujawan 2005). Namun memilih sistem ukuran kinerja rantai pasok cukup sulit
karena kompleksitas sistem yang dihadapi (Beamon 1999). Selain itu, disain
pengukuran kinerja rantai pasok sangat beragam (Neely et al. 2005).
Pengukuran kinerja pada level perusahaan sudah banyak dilakukan di
antaranya yang menggunakan metode SCOR (Supply Chain Council 2006) dan
Balance Score Card (Brewer dan Speh 2000). Sementara untuk pengukuran
kinerja pada level antar perusahaan yang bisa membantu pemerintah
mengevaluasi kinerja rantai pasok sektor industri untuk tujuan daya saing sektor
tersebut masih jarang dilakukan. Pada pengembangan industri kakao di Indonesia,
perlu suatu pengukuran kinerja rantai pasok pada level industri (antar perusahaan)
yang mampu mendukung peran pemerintah dalam menciptakan iklim yang lebih
kondusif bagi berkembangnya industri kakao.
Beberapa penelitian yang relevan sebagai rujukan dalam proses penulisan
disertasi ini meliputi Minnich dan Maier (2006) dan Macq et al. (2008) pada
pengukuran kinerja dan Liu (2010), Becker et al. (2011) dan Wagner dan Neshat
(2011) pada perumusan kebijakan. Dalam penelitiannya Minnich dan Maier
(2006) dan Macq et al. (2008) mengukur efisiensi dan responsivitas rantai pasok
dengan metode sistem dinamis dan analisis kebijakan. Sementara Liu (2010),
Becker et al. (2011) dan Wagner dan Neshat (2011), ketiga penelitian tersebut
membahas penggunaan model rantai pasok antar perusahaan dalam kaitan dengan
perumusan kebijakan pemerintah.
Penelitian Liu (2010) mendiskusikan bagaimana peran pemerintah yang
dalam hal ini di bidang perpajakan menangani masalah tata kelola rantai pasok
dunia usaha (bisnis) swasta. Penelitian Liu (2010) ini memperkuat konteks
penggunaan sistem rantai pasok pada perusahaan swasta sebagai suatu media bagi
pemerintah menangani masalah keamanan rantai pasok. Selanjutnya Becker et al.
(2011) yang mendiskusikan kebijakan pemanfaatan biomassa hutan di Amerika
Serikat menggunakan kerangka analisis rantai pasok untuk merumuskan kebijakan
untuk meningkatkan pemanfaatan biomassa hutan. Kerangka analisis rantai pasok
dalam penelitian Becker et al. (2011) didekati sinergi antara tahapan dalam rantai
pasok dan kebijakan pemerintah yang menyertainya. Namun demikian efektivitas
kebijakan dalam penelitian Becker et al.(2011) diukur dengan jumlah
kebijakannya (0,1,2..dst) bukan pada substansi kebijakan.
Pada bidang yang sama Wagner dan Neshat (2011) menggunakan driver
kerentanan untuk mengukur kerentanan rantai pasok, mengetahui hubungan antar
driver, dan menyusun agregasi driver untuk menghasilkan suatu ukuran
82
kerentanan rantai pasok berupa indeks kerentanan rantai pasok (supply chain
vulnerability index = SCVI). SCVI digunakan untuk menganalisis dan
membandingkan kerentanan rantai pasok berbagai kategori perusahaan.
Kedekatan penelitian Wagner dan Neshat (2011) dengan disetasi ini adalah dalam
hal perumusan suatu kebijakan publik dengan memperhatikan rantai pasok
(termasuk manajemen risiko) agar perusahaan dapat mengoptimalkan kinerja
rantai pasoknya.
Dengan memperhatikan perkembangan penelitian di bidang perumusan
kebijakan berbasis rantai pasok di atas, tujuan dari penelitian pada bagian ini
adalah mendesain model perumusan kebijakan yang didasarkan pada kinerja
driver rantai pasok industri kakao. Diharapkan model yang didesain dapat
menjawab bagaimana proses perumusan kebijakan yang menjamin tercapainya
kinerja rantai pasok industri kakao. Dengan rumusan kebijakan yang baik akan
tercipta iklim yang kondusif bagi berkembangnya industri kakao di Indonesia.
Metode Penelitian
Kerangka penelitian pada bagian ini (Gambar 17) terbagi dua yaitu:
pengukuran kinerja rantai pasok dan model perumusan kebijakan pengembangan
industri kakao berbasis rantai pasok.
Tujuan Mendisain Model
Perumusan Kebijakan
Pengukuran Kinerja Rantai
Pasok
Pemodelan Perumusan
Kebijakan
Kinerja rantai
pasok
Model Perumusan
Kebijakan
Gambar 17 Kerangka penelitian
Kerangka pengukuran kinerja rantai pasok dalam penelitian ini (Gambar 18)
terdiri dari aktivitas: 1) identifikasi driver kinerja rantai pasok, 2) dekomposisi
driver rantai pasok, 3) pembobotan driver dan sub-driver kinerja rantai pasok, dan
4) pengukuran kinerja rantai pasok.
Model perumusan kebijakan pendukung pengembangan industri kakao
berbasis rantai pasok (Gambar 24) akan menguraikan proses perumusan kebijakan
tahap demi tahap untuk menghasilkan rumusan kebijakan pengembangan industri
kakao.
Identifikasi Driver Kinerja Rantai Pasok
Menurut Chopra dan Meindl (2007) keputusan manajemen rantai pasok
didasarkan atas struktur driver (faktor penggerak) yang akan menentukan kinerja
83
dari rantai pasok. Keputusan tersebut berupa pemilihan strategi dalam menjaga
keseimbangan antara Responsivitas dan Efisiensi rantai pasok. Pengukuran kinerja
rantai pasok dalam penelitian ini diorientasikan untuk pencapaian daya saing yang
merupakan tujuan utama dari suksesnya pengelolaan rantai pasok. Untuk
mencapai tujuan daya saing tersebut suatu perusahaan harus memiliki kinerja
terbaik yang dalam hal ini dapat dilihat dari kinerja driver. Driver rantai pasok
sebagaimana Chopra dan Meindl (2007), Hugos (2010) dan Ravindran dan
Warsing (2012) paling tidak terdiri dari fasilitas, inventori, trasnportasi, informasi,
sourcing.
Gambar 18 Kerangka pengukuran kinerja rantai pasok aspek efisiensi dan
responsivitas
Dekomposisi Driver Rantai Pasok
Mengingat driver rantai pasok yang ada masih bersifat relatif abstrak, maka
perlu dilakukan dekomposisi. Dekomposisi dilakukan untuk memperoleh unit
analisis yang lebih operasional dan terukur dengan jelas. Dekomposisi dilakukan
dengan menggali faktor-faktor keputusan/strategi sub-driver yang paling sesuai
(Strategic fit) untuk mencapai keseimbangan antara responsivitas dan efisiensi
terbaik yang bisa dilakukan perusahaan (Chopra dan Meindl 2007). Penelitian ini
melakukan dekomposisi dengan mengacu pada penelitian-penelitian yang sudah
dilakukan sebelumnya terkait driver dan sub-driver kinerja rantai pasok di
antaranya Noor dan Pitt (2009); Waller (2004); Lau et al. (2006); Siry et al.
84
(2006); Cook et al. (2011); Jahre dan Hatteland (2004); Soon dan Udin (2011);
Randal et al. (2011); Blackburn dan Scudder (2009); Boulaksil et al. (2009);
Manikas dan Terry (2009); Ellegaard (2008); Pretty et al. (2008); dan Shukla et al.
(2011); Vachon et al. (2009).
Untuk uji validitas digunakan construct validity yaitu bahwa variabel yang
disusun sudah mengungkapkan suatu konsepsi teoritis yang diukur. Untuk itu,
kuesioner yang telah dibuat dikonsultasikan kepada pakar di bidang
pengembangan industri kakao untuk mendapatkan tanggapan dan perbaikan.
Pembobotan Driver dan Sub-Driver Kinerja Rantai Pasok
Pembobotan driver dan sub-driver bertujuan untuk memperoleh bobot
kepentingan dari driver dan sub-driver terhadap tujuan pencapaian kinerja rantai
pasok terbaik. Metode yang digunakan untuk pembobotan adalah Proses Hirarki
Analitik (Analytical Hierarchy process – AHP). Metode AHP bertujuan untuk
mengorganisir informasi dan pendapat ahli (judgment) dalam memilih alternatif
yang paling disukai (Saaty 1983). AHP memungkinkan pengguna (pakar)
memberikan nilai bobot relatif dari suatu kriteria majemuk secara intuitif, yaitu
dengan melakukan perbandingan berpasangan (pairwise comparisons) (Marimin
2008).
Tatalaksana Metode AHP
Metode AHP terdiri dari 3 tahap, yaitu penyusunan hirarki, penetapan
prioritas, dan konsistensi logis.
1. Penyusunan Hirarki.
Susunan hirarkis AHP terdiri dari goal, aspek, driver dan sub-driver.
Dimana goalnya adalah pengukuran kinerja rantai pasok, kemudian aspek
efisiensi dan resposivitas. Driver dan sub-driver rantai pasok adalah hasil
dekomposisi tahap sebelumnya. Diagram Gambar 19 berikut mempresentasikan
keputusan dengan menggunakan AHP.
Gambar 19 Struktur hirarki AHP untuk pembobotan driver dan sub-driver
Pengukuran Kinerja Rantai Pasok
Efisiensi Responsivitas
Fas
ilita
s
Inve
ntor
i
Info
rmas
i
Tra
nspo
rtas
i
Sou
rcin
g
Fas
3
Fas
2
Fas
1
Inv
3
Inv
2
Inv
1
Tra
3
Tra
2
Tra
1
Inf
3 In
f 2
Inf 1
Sou
3
Sou
2
Sou
1
Fas
3
Fas
2
Fas
1
Inv
3
Inv
2
Inv
1
Tra
3
Tra
2
Tra
1
Inf
3 In
f 2
Inf 1
Sou
3
Sou
2
Sou
1
Fas
ilita
s
Inve
ntor
i
Info
rmas
i
Tra
nspo
rtas
i
Sou
rcin
g
Goal
Aspek
Driver
Sub-
Driver
85
2 Penilaian Setiap Level Hirarki
Penilaian setiap level hirarki dinilai melalui perbandingan berpasangan.
Menurut Saaty 1983), untuk berbagai persoalan, skala 1 sampai 9 adalah skala
terbaik dalam mengekspresikan pendapat. Skala dengan sembilan satuan dapat
menggambarkan derajat sampai mana kita mampu membedakan intensitas tata
hubungan antar elemen. Nilai dan definisi pendapat kualitatif dari skala
perbandingan Saaty dapat dilihat pada Tabel 24.
Tabel 24 Nilai dan definisi pendapat kualitatif dari skala perbandingan Saaty
Nilai Keterangan
1 Faktor vertikal sama penting dengan faktor horizontal
3 Faktor vertikal lebih penting dari faktor horisontal
5 Faktor vertikal jelas lebih penting faktor horisontal
7 Faktor vertikal sangat jelas lebih penting dari faktor
horisontal
9 Faktor vertikal mutlak lebih penting dari faktor
horisontal
2,4,6,8 Apabila ragu-ragu antara dua nilai elemen yang
berdekatan
1/(2-9) Kebalikan dari keterangan nilai 2-9
3. Penentuan Prioritas
Untuk setiap level hirarki, dilakukan perbandingan berpasangan untuk
menentukan prioritas. Langkahnya dengan memberi bobot setiap vektor dengan
prioritas sifatnya. Proses perbandingan berpasangan dimulai pada puncak hirarki
(goal) yang digunakan untuk melakukan pembandingan pertama. Kemudian turun
ke level di bawahnya (aspek), demikian seterusnya hingga level driver dan sub-
driver. Nilai-nilai perbandingan relatif kemudian diolah untuk menentukan
peringkat relatif dari seluruh elemen.
4. Konsistensi Logis.
AHP mengukur konsistensi menyeluruh dari berbagai pertimbangan melalui
suatu rasio konsistensi. Nilai rasio konsistensi harus 10 persen atau kurang. Jika
lebih dari 10 persen, maka penilaiannya masih acak dan perlu diperbaiki.
Penyusunan Instrumen Pengukuran Kinerja Rantai Pasok
Instrumen pengukuran kinerja yang disusun berupa kuesioner dengan
pilihan jawaban. Mengingat kinerja rantai pasok dari aspek efisiensi dan
responsivitas relatif kompleks, maka jawaban yang diminta adalah data kualitatif
dengan skala ordinal berupa Skor. Skor yang digunakan mulai dari 1 sampai 9
yang menunjukkan pendapat tentang keadaan atau kondisi dari setiap driver dan
sub-driver kinerja rantai pasok yang dinilai oleh perusahaan mengacu pada ukuran
kinerja rantai pasok Neely et al. (2005). Ukuran kinerja rantai pasok dapat
diklasifikasikan ke dalam dua kategori umum yaitu: ukuran kualitatif seperti
86
„baik‟, „kurang‟, „adil‟, „puas‟, „kualitas‟, dan ukuran kuantitatif seperti delivery
lead time, supply chain response time, fleksibilitas, pemanfaatan sumber daya,
kinerja pengiriman, dll (Neely et al. 2005 ).
Untuk menjamin validitas instrumen, penelitian ini melakukan validasi
dengan metode validitas isi (content validity) dari setiap pertanyaan. Validitas isi
ialah derajat di mana sebuah tes mengukur cakupan substansi yang ingin diukur.
Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampling purposif
yang didasarkan pada pertimbangan keaktifan industri selama kurun waktu 3
tahun terakhir. Industri yang dipilih sebanyak 3 perusahaan dari populasi industri
kakao Indonesia yang aktif (Tabel 25).
Tabel 25 Populasi industri kakao Indonesia tahun 2011
No Perusahaan Lokasi
1 PT. General Food Industry Bandung
2 PT. Bumitangerang Mesindotama Tangerang
3 PT. Davomas Abadi Tangerang
4 PT. Maju Bersama Cocoa Industries Makassar
5 PT. Effem Indonesia Makassar
6 PT. Cocoa Ventures Indonesia Medan
7 PT.Teja Sekawan Surabaya
8 PT. Unicom Kakao Makmur Sulawesi Makassar
9 PT. Kakao Mas Gemilang Tangerang
10 PT. Gandum Mas Kencana Tangerang
Sumber : Kementerian Perindustrian 2011 dan AIKI 2011
Pengukuran Kinerja Rantai Pasok
Pengumpulan data kinerja rantai pasok dari aspek efisiensi dan responsivitas
dimulai dengan survei lapangan untuk pengumpulan data melalui kuesioner.
Responden penelitian adalah pihak yang menguasai rantai pasok perusahaan, di
antaranya adalah Manajer Rantai Pasok. Hasil pengumpulan data dengan
kuesioner dientri untuk selanjutnya diolah dengan perangkat lunak Microsoft
Excel.
Pengukuran indeks kinerja rantai pasok pada penelitian ini menggunakan
Model skor terbobot (Weighted Scoring Model). Model skor terbobot adalah
sebuah alat untuk memilih alternatif berdasarkan multi kriteria (Lessard dan
Lessard 2007). Dalam konteks manajemen rantai pasok, Wisner (2011)
menggunakan model skor terbobot untuk memilih tingkat daya tarik beberapa
lokasi berdasarkan sejumlah kriteria kualitatif dan kuantitatif. Proses perhitungan
skor oleh Wisner terbagi atas lima tahap yaitu: 1) Identifikasi kriteria yang
dianggap penting dalam memilih lokasi; 2) Menetapkan bobot setiap kriteria; 3)
Tentukan skor kinerja relatif untuk setiap kriteria yang dipertimbangkan; 4)
Kalikan nilai skor dengan bobot yang berhubungan dengan masing-masing
kriteria lalu jumlahkan nilai terbobot di semua kriteria; 5) Lokasi dengan total
skor terbobot tertinggi adalah lokasi yang direkomendasikan.
Dengan model perhitungan yang sama, persamaan untuk menghitung
Indeks Kinerja Rantai Pasok (Supply Chain Performance Index) setiap aspek
dalam penelitian ini dapat disederhanakan menjadi sebagai berikut :
87
m
Indeks Kinerja Aspeki = Skor ij (Bobot j) ........................(1)
j = 1
Dimana:
Indeks Kinerja Aspeki = total nilai indeks kinerja rantai pasok aspek ke-i
Skor ij = nilai/skor variabel aspek ke-i pada driver ke-j
Bobot j = tingkat kepentingan (bobot) driver ke-j
i = 1,2 ; 1= aspek efisiensi, 2=aspek responsivitas
j = 1,2,3,…m; m = jumlah driver
Indeks kinerja yang dihasilkan kemudian dilakukan analisis gap dengan
tahapan berdasar Lambert (2008). Analisis gap sebagai proses evaluasi hasil
penilaian merupakan bagian dari perencanaan perbaikan yang akan dilaksanakan
pada tahap berikutnya.
Hasil dan Pembahasan
Studi ini berhasil mengidentifikasi driver rantai pasok berdasar tiga sumber
acuan, yaitu Chopra dan Meindl (2007), Hugos (2010), dan Ravindran dan
Warsing (2012). Berdasar ketiga acuan tersebut secara umum konsep efisiensi dan
responsivitas merupakan aktivitas yang bersifat trade off. Untuk konteks rantai
pasok industri kakao, penelitian ini telah mengidentifikasi sub driver dengan
aktivitas yang bersifat trade off maupun tidak. Hasil dari dekomposisi driver
kinerja rantai pasok menjadi sub driver rantai pasok dari aspek efisiensi dan
responsivitas sebagaimana Tabel 26 dan 27.
Dalam tabel 26 dan 27 tersebut masing-masing driver diuraikan menjadi
beberapa sub driver yang dilengkapi dengan jurnal acuan yang menjadi rujukan
dalam dekomposisi yang dilakukan.
88
Tabel 26 Hasil dekomposisi driver kinerja aspek efisiensi
SUB-DRIVER SUB SUB-DRIVER JURNAL ACUAN
A. Fasilitas
1.1. Pengelolaan fasilitas
Manajemen pabrik
Noor dan Pitt (2009) Manajemen gudang
Manajemen kendaraan
Stabilitas produksi Waller (2004),
Teknologi Lau et al. (2006)
1.2. Lokasi fasilitas
Kedekatan fasilitas Siry et al. (2004).
Infrastruktur jalan Siry et al. (2004)
1.3. Kapasitas fasilitas
Utilitas gudang Cook et al. (2011)
Utilitas pabrik Siry et al. (2004).
Utilitas kendaraan
1.4. Fleksibilitas fasilitas
Fleksibilitas kendaraan Jahre dan Hatteland (2004)
Fleksibilitas gudang Soon dan Udin (2010)
Fleksibilitas pabrik
B. Persediaan
2.1. Perputaran produk
Aliran bahan baku
Randal et al. (2011)
Blackburn dan Scudder
(2009).
Aliran produk
Decay rate produk
Decay rate bahan baku
2.2. Kuantitas barang
Keamanan stok produk Boulaksil et al. (2009)
Keamanan stok bahan baku
Streamline stock Blackburn dan Scudder (2009)
Optimalisasi pengiriman
2.3. Pengelolaan gudang Penataan gudang
Manikas dan Terry (2009) Arus barang di gudang
C. Transportasi
3.1. Vehicle flow Penjadwalan pengiriman Siry et al. (2004)
Ketepatan waktu pengiriman Blackburn dan Scudder (2009)
3.2.price of trip Daya angkut truk Siry et al. (2004)
D. Sourcing
4.1. Penilaian pemasok
Manajemen pemasok Noor dan Pitt (2009)
Peningkatan kemampuan pemasok Noor dan Pitt (2009)
Kriteria pemasok Ellegaard (2008)
Pertanian berkelanjutan Pretty et al. (2008)
4.2. Integrasi pemasok Integrasi pemasok Siry et al. (2004).
4.3. Keeratan hub. Pemasok Hubungan pemasok Shukla et al.. (2011)
E. Informasi
5.1. Integrasi permintaan Integrasi permintaan Frayret et al. (2007), Waller
(2004)
5.2. Koordinasi
Perencanaan yang baik Frayret et al. (2007)
Pengendalian Randal et al. (2011),
Frayret et al. (2007)
89
Tabel 27 Hasil dekomposisi driver kinerja aspek responsivitas
SUB-DRIVER SUB SUB-DRIVER JURNAL ACUAN
A. Fasilitas
1.1. Pengelolaan fasilitas
Manajemen jml permintaan Noor dan Pitt (2009)
Manajemen waktu pemenuhan
Aliansi strategis Noor dan Pitt (2009)
Teknologi Lau et al. (2006)
1.2. Lokasi fasilitas
Kedekatan fasilitas Siry et al. (2004).
Infrastruktur jalan Siry et al. (2004)
Infrastruktur pelabuhan Siry et al. (2004)
1.3. Fleksibilitas fasilitas
Fleksibilitas kendaraan Jahre dan Hatteland (2004);
Soon dan Udin (2011);
Waller (2004) Fleksibilitas gudang
Fleksibilitas pabrik
B. Persediaan
2.1. Perputaran produk
Randal et al. (2011)
Blackburn dan Scudder
(2009).
Decay rate produk
Decay rate bahan baku
2.2. Kuantitas barang
Keamanan stok produk Boulaksil et al. (2009)
Keamanan stok bahan baku
2.3. Pengelolaan gudang Penataan gudang
Manikas dan Terry (2009) Arus barang di gudang
C. Transportasi
3.1. Vehicle flow
Penjadwalan pengiriman Siry et al. (2004)
Ketepatan waktu pengiriman Blackburn dan Scudder
(2009)
D. Sourcing
4.1. Penilaian pemasok
Manajemen pemasok Noor dan Pitt (2009)
Peningkatan kemampuan
pemasok Noor dan Pitt (2009)
Hubungan pemasok Shukla et al.. (2011)
Tingkat kepercayaan Vachon et al. (2009).
4.2. Integrasi pemasok Integrasi aktivitas produksi Siry et al. (2004).
4.3. Keeratan hubungan
Pemasok Jangka waktu hubungan
Shukla et al.. (2011)
E. Informasi
5.1. Integrasi Integrasi proses dan produk Rudolf et al. (2011),
Saad dan Gindy (2007),
Waller (2004)
Randal et al. (2011),
Frayret et al. (2007). 5.2. Koordinasi
Perencanaan yang baik
Pengendalian
90
Hasil Pembobotan Driver dan Sub-driver
Hasil pembobotan driver dan sub-driver oleh pakar (Tabel 28) menunjukkan
bahwa dalam konteks pencapaian kinerja rantai pasok industri kakao, aspek
responsivitas lebih penting dibanding aspek efisiensi. Hal ini sejalan dengan sifat
(nature) produk olahan dari industri kakao yang memerlukan keandalan dan
ketepatan pemenuhan sesuai pesanan pelanggan yang bervariasi. Dalam hal ini
diperlukan fleksibilitas fasilitas pengolahan (pabrik) lebih dari sekedar besarnya
kapasitas. Di samping itu, salah satu tolok ukur bahwa industri kakao Indonesia
cenderung mementingkan responsivitas adalah sebaran lokasi industri yang
mendekati pasar yaitu di Pulau Jawa. Menurut Pujawan (2005) rantai pasok yang
ingin responsif biasanya memiliki fasilitas yang cenderung mendekati pasar.
Tabel 28 Hasil pembobotan driver kinerja rantai pasok dengan AHP
Hasil Pengolahan Data
Gambaran kinerja rantai pasok industri kakao dari aspek efisiensi dan
responsivitas baik pada level perusahaan dan level agregasi industri menunjukkan
kondisi yang penting bagi bahan perumusan kebijakan pengembangan industri
kakao (Gambar 20).
Gambar 20 Grafik kinerja rantai pasok efisiensi dan responsivitas industri kakao
BOBOT ASPEK EFISIENSI : 0,250 BOBOT ASPEK RESPONSIVITAS : 0,750
DRIVER BOBOT
DRIVER
SUB-DRIVER BOBOT
SUB DRIVER
DRIVER BOBOT
DRIVER
SUB-DRIVER BOBOT
SUB DRIVER
FASILITAS 0,095 1.1. PENGELOLAAN FASILITAS 0,140 FASILITAS 0,064 1.1. PENGELOLAAN FASILITAS 0,333
1.2. LOKASI FASILITAS 0,544 1.2. LOKASI FASILITAS 0,333
1.3. KAPASITAS FASILITAS 0,158 1.3. FLEKSIBILITAS FASILITAS 0,333
1.4. FLEKSIBILITAS FASILITAS 0,158 INVENTORY 0,348 2.1. PERPUTARAN PRODUK 0,600
INVENTORY 0,382 2.1. PERPUTARAN PRODUK 0,268 2.2. KUANTITAS BARANG 0,200
2.2. KUANTITAS BARANG 0,117 2.3. PENGELOLAAN GUDANG 0,200
2.3. PENGELOLAAN GUDANG 0,614 TRANSPORTASI 0,323 3.1. VEHICLE FLOW 1,000
TRANSPORTASI 0,347 3.1. VEHICLE FLOW 0,500 SOURCING 0,133 4.1.PENILAIAN PEMASOK 0,210
3.2.PRICE OF TRIP 0,500 4.2. INTEGRASI PEMASOK 0,240
SOURCING 0,111 4.1.PENILAIAN PEMASOK 0,091 4.3. KEERATAN HUB PEMASOK 0,550
4.2. INTEGRASI PEMASOK 0,455 INFORMASI 0,133 5.1. INTEGRASI PERMINATAAN 0,500
4.3. KEERATAN HUB PEMASOK 0,455 5.2. KOORDINASI 0,500
INFORMASI 0,065 5.1. INTEGRASI PERMINATAAN 0,500
5.2. KOORDINASI 0,500
91
Analisis gap yang dilakukan meliputi: 1) Gap antara kinerja efisiensi dan
responsivitas; 2) Gap kinerja total (industri) dengan kinerja ideal yang diharapkan.
Analisis gap antara kinerja efisiensi dan responsivitas dalam hal ini menunjukkan
kecenderungan industri akan lebih mengutamakan efisiensi atau responsivitas
dalam strategi mencapai daya saingnya. Analisis ini dibutuhkan untuk
mengetahui sifat dasar (nature) dari permasalahan yang dihadapi industri kakao.
Li (2007) menyatakan bahwa salah satu sebab kegagalan rantai pasok suatu
perusahaan adalah karena kurang dipahaminya sifat dasar permintaan.
Kekurangpahaman ini berdampak pada kurang sesuainya rancangan konfigurasi
rantai pasok.
Gambar 21 Grafik kecenderungan efisiensi dan responsivitas industri kakao
Gambar 21 menunjukkan bahwa, pertama, secara umum industri kakao
cenderung mengutamakan responsivitas untuk keputusan menyangkut driver
fasilitas, persediaan dan sourcing. Kecenderungan tersebut menunjukkan industri
kakao memiliki fasilitas yang cenderung berkapasitas besar, fleksibel dalam
proses pengolahan, tingkat produksi tinggi, teknologi prosesnya cenderung
mempertahankan fleksibilitas kapasitas untuk penyangga permintaan atau
ketidakpastian pasokan (Hugos 2010; Ravindran dan Warsing 2012) . Selanjutnya,
industri kakao cenderung memiliki tingkat persediaan yang tinggi, dengan jenis
produk bervariasi, cenderung mempertahankan persediaan untuk menangani
ketidaktentuan permintaan/penawaran. Dalam hal memilih cara pengadaan seperti
bahan baku dan peralatan produksi, transportasi, dan penyimpanan cenderung
fleksibel, pengiriman cepat, disain kualitas serta berkinerja tinggi (Hugos 2010;
Ravindran dan Warsing 2012).
Kedua, untuk kondisi driver transportasi dan informasi industri kakao lebih
cenderung mengutamakan efisiensi. Artinya dalam hal kegiatan transportasi lebih
memilih pengiriman skala besar meskipun relatif lambat namun lebih murah.
Demikian juga untuk kinerja driver informasi, secara umum industri kakao
mengandalkan penyampaian informasi berbiaya murah, baik berupa koordinasi
dan integrasi pemasok dengan mengandalkan sarana komunikasi yang ada (Hugos
2010; Ravindran dan Warsing 2012).
-1,00
-0,80
-0,60
-0,40
-0,20
0,00
0,20
0,40
0,60
0,80
1,00
EFISIENSI
RESPONSIVITAS
92
Gambar 22 Grafik kinerja rantai pasok agregat industri kakao
Indeks kinerja total industri kakao (Gambar 22) menunjukkan adanya
kesenjangan yang hampir merata pada seluruh driver rantai pasok. Nilai indeks
total yang merupakan penjumlahan indeks dari setiap driver mencapai nilai
sebesar 29.75. Idealnya kondisi yang diharapkan dapat mencapai nilai 45.00 jika
setiap driver memiliki kinerja maksimum yaitu bernilai 9. Gambaran tersebut
memberikan petunjuk tentang perlunya pembenahan atau perbaikan pada seluruh
driver.
Untuk dapat memberikan penekanan atau fokus yang lebih jelas pada bagian
mana dukungan perbaikan perlu dilakukan, perlu prioritas penanganan yang
didasarkan atas nilai kesenjangan yang dimiliki masing-masing kinerja driver
rantai pasok. Analisis gap terhadap kondisi ideal diperoleh daftar driver rantai
pasok dengan urutan dari yang paling terpuruk yaitu : fasilitas, inventori,
informasi, transportasi, dan sourcing (Gambar 23).
Gambar 23 Kesenjangan kinerja driver rantai pasok industri kakao
Model Perumusan Kebijakan Berbasis Rantai Pasok
Indeks kinerja rantai pasok industri merupakan input berharga untuk bahan
perumusan kebijakan pengembangan industri kakao di Indonesia. Rodrik (2004)
mengungkapkan bahwa kebijakan industri yang baik membutuhkan informasi dari
pihak swasta (industri) tentang hal-hal yang menyangkut eksternalitas yang
93
dialaminya. Lebih lanjut, kebijakan yang baik perlu kolaborasi strategis swasta-
pemerintah dengan tujuan mengenali hambatan dan jenis intervensi apa yang
sesuai untuk menghilangkannya.
Berdasarkan hasil pengukuran kinerja rantai pasok, selanjutnya disusun
model perumusan kebijakan pendukung pengembangan industri kakao. Model
perumusan kebijakan yang disusun menunjukkan proses pembuatan kebijakan
agar lebih mudah dipahami (Winarno 2002). Dengan mengacu pada literatur
sebelumnya bahwa kebijakan industri sebagai sasaran yang akan dirumuskan oleh
model adalah suatu upaya strategis pemerintah untuk mendorong pengembangan
dan pertumbuhan industri manufaktur. Dalam hal ini kebijakan industri
merupakan langkah-langkah yang diambil pemerintah yang bertujuan untuk
meningkatkan daya saing dan kemampuan industri dalam negeri serta
mempromosikan transformasi struktural pembangunan infrastruktur yang
mendukung industri (Graham 1994; Bingham 1998; dan Rodrik 2004).
Pengukuran Kinerja
Rantai Pasok Industri
Kakao
Penentuan Batas Kritis
(Median)
Indeks Kinerja
Rantai Pasok
Industri
Skor < 5
Kinerja Driver dan Sub
Driver Kurang/Lemah
Penentuan Kebijakan
(Literatur dan Wawancara)
Relasi antar Kebijakan
(ISM)
Kebijakan PemerintahKebijakan Perusahaan
Kinerja Driver dan Sub
Driver Baik
ValidBelum
Rumusan Kebijakan
Pendukung Pengembangan
Industri Kakao Berbasis
Rantai Pasok
Pen
elus
uran
Inde
ks
Stop
Kebijakan
Mempertahan dan
Peningkatan
Gambar 24 Model konseptual perumusan kebijakan pendukung pengembangan
industri kakao berbasis rantai pasok
94
Model konseptual perumusan kebijakan (Gambar 24) dimulai dengan input
model berupa indeks kinerja rantai pasok industri sebagaimana yang dilakukan
pada tahap sebelumnya. Gambar 24 memperlihatkan bahwa proses perumusan
kebijakan dalam model ini didasarkan pada kondisi nyata yang digambarkan
dalam bentuk indeks kinerja rantai pasok industri. Dalam indeks kinerja rantai
pasok terdiri atas faktor-faktor penggerak (driver) yang menunjukkan kinerja yang
berbeda-beda. Dari skor indeks kinerja dapat diketahui driver dan sub driver apa
saja yang lemah. Kelemahan dapat dilihat dari kesenjangan yang nyata antara
kondisi ideal dengan pencapaian kinerja.
Dengan mengambil satu titik di antara sebaran skor kinerja mulai 1 sampai
9 sebagai ambang batas (threshold), maka dapat dipilah kinerja driver dan sub
driver yang baik dan kurang baik. Kinerja driver dan sub driver dengan skor di
bawah titik ambang batas termasuk driver dan sub driver yang kurang baik atau
lemah, sebaliknya driver dan sub driver dengan skor di atas ambang batas
dianggap dalam keadaan baik.
Jenis ambang batas yang digunakan dapat bermacam-macam bergantung
pada tujuan pengambilan keputusan dan sebaran data yang dimiliki. Beberapa
ukuran sebaran data seperti rata-rata (mean), nilai tengah (median) dan modus
(mode) dapat dipilih sebagai titik ambang batas.
Dalam konteks sebaran data skor kinerja rantai pasok industri kakao dalam
penelitian ini dipilih nilai tengah yaitu skor 5 sebagai ambang batas. Hal ini
karena nilai tengah dari skor pengukuran kinerja rantai pasok bernilai tetap.
Keuntungan dengan ambang batas yang tetap adalah jika model ini
diimplementasi dengan menambah sampel perusahaan yang diukur kinerjanya,
hasilnya masih dapat dibandingkan dengan pengukuran sebelumnya. Jika
menggunakan rata-rata sebagai ambang batas, maka rata-rata skor pengukuran
akan berbeda karena jumlah sampel yang berbeda. Namun jika model dapat
memperoleh data/informasi secara luas sehingga seluruh perusahaan dalam
industri kakao tercakup dalam penelitian, maka penggunaan ambang batas rata-
rata akan lebih baik karena lebih mencerminkan populasi.
Proses selanjutnya dalam model konseptual perumusan kebijakan ini adalah
penentuan kebijakan (Gambar 25). Penentuan kebijakan diperoleh dari dua
macam proses, pertama penelusuran kembali terhadap indeks kinerja dengan
menerapkan skor 5 (nilai tengah) sebagai ambang batas pemilahan driver
berkinerja baik dan kurang baik. Kedua, dengan menggunakan literatur yang
relevan untuk memperoleh alternatif kebijakan yang sudah dibuktikan penelitian
sebelumnya akan memperbaiki keadaan yang kurang. Di samping itu kebijakan
yang direkomendasikan untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi juga
mengacu pada pendapat para pakar di bidan yang sesuai.
95
Penelitian
sebelumnya
yang relevan
Review pada driver
yang bersesuaian
Parafrase
Temuan yang
ditunjukkan
Pencarian literaturKebijakan yang relevan
untuk suatu
permasalahan
Penilaian oleh Pakar
& Praktisi
Verified
Masukan pakar
& Praktisi
Belum
Stop
Data IKRP
(Indeks Kinerja
Rantai Pasok)
Penelusuran Indeks
Kinerja Rendah
Penentuan Batas Kritis
(Median)
Skor < 5
Daftar Driver dan Sub
Driver Berkinerja Kurang
Penentuan Kebijakan
Kebijakan
Perusahaan
Kebijakan
Pemerintah
Gambar 25 Proses penentuan kebijakan
Pada proses penelusuran nilai indeks kinerja driver diperoleh hasil penilaian
skor driver atau sub driver. Selanjutnya, kebijakan yang dirumuskan adalah
kebijakan untuk mengatasi kondisi driver yang berkinerja kurang. Sementara
untuk driver dengan kinerja baik direkomendasikan kebijakan mempertahankan
atau meningkatkan. Hasil penentuan kebijakan untuk mendukung pengembangan
industri kakao sebagaimana Tabel 29. Pustaka yang tertulis dalam kurung setelah
pernyataan kebijakan merupakan acuan yang mendukung pernyataan kebijakan
yang dirumuskan.
Tabel 29 Rumusan Kebijakan berdasar kinerja rantai pasok
Driver Kondisi/Permasalahan
yang dialami industri Kebijakan Perusahaan Kebijakan Pemerintah
Fasilitas Jauhnya jarak sumber
bahan baku ke industri
Kondisi jalan yang
macet atau dalam
kondisi rusak
menambah waktu
tempuh dan biaya
Kondisi pelabuhan
untuk pengiriman
bahan baku dan barang
jadi saat ini lambat
dan kurang memadai.
Fleksibilitas pabrik
dan gudang yang
Pemilihan moda
transportasi yang lebih
efisien (kapasitas dan
utilitas) (Cook et al.
2011)
Pemilihan lokasi
pabrik yang lebih
murah (Pujawan 2005)
Investasi teknologi
proses yang lebih
Perbaikan
infrastruktur jalan
(Siry et al. 2006)
Perbaikan
infrastruktur dan
manajemen
pelabuhan (Grigg
2000)
Pemberian insentif
fiskal pengembangan
96
Driver Kondisi/Permasalahan
yang dialami industri Kebijakan Perusahaan Kebijakan Pemerintah
kurang. fleksibel (Bauhoff
2003).
industri (Barbour
2005).
Pemenuhan pasokan
energi listrik dan gas
untuk industri (Delis
A. 2008)
Inventori Aliran bahan baku
kurang tepat waktu
Banyaknya bahan
baku yang rusak
setelah dikirim sampai
ke pabrik
Sering terjadi order
produk yang tidak
terlayani akibat tidak
ada stok produk
Proses pengiriman
barang kurang optimal
Pengelolaan pemasok
dan peningkatan
kemampuan pemasok
(Noor dan Pitt 2009)
Penerapan streamline
stock (Randal et al.
2011) dan optimalisasi
pengiriman
(Blackburn dan
Scudder 2009)
Peningkatan
produktivitas kebun
kakao (Wahyudi et
al. 2008)
Revitalisasi penyuluh
pertanian/perkebunan
(PSE Litbangtan
2012)
Perluasan penerapan
Wajib SNI biji kakao
(Salam 2011;
Wahyudi et al. 2008)
Informasi Perencanaan masih
menggunakan cara
biasa
Penerapan teknologi
informasi dalam
perencanaan (Frayret
et al. 2007)
Perluasan jaringan
telekomunikasi (Levi
et al. 2002)
Transportasi Kurang penjadwalan
pengiriman barang
Penjadwalan
pengiriman secara
ketat (Blackburn dan
Scudder 2009)
Penghapusan
hambatan
perdagangan antar
daerah (CSP 2010)
Sourcing
Kurangnya
pengelolaan pemasok
di perusahaan
Kurangnya upaya
perusahaan dalam
meningkatkan
kemampuan pemasok
Pemilihan pemasok
dengan kriteria dan
penerapan standar
(Ellegaard 2008;
Pretty et al. 2008).
Peningkatan
kemampuan pemasok
(Noor dan Pitt 2009).
Penguatan
kelembagaan petani
(pemasok kakao)
(Arsyad dan
Kawamura 2009)
Kerjasama
pemerintah dan
industri dalam
peningkatan
penyuluhan dan
pendamping petani
(Arsyad dan
Kawamura 2009)
Mengacu pada Miller et al. (2007) bahwa suatu rumusan kebijakan harus
dapat menjabarkan tentang pilihan cara untuk menyelesaikan masalah, tujuan dan
prioritas dari kebijakan. Untuk itu rumusan kebijakan sebagaimana Tabel 29 dapat
dijabarkan dalam bentuk kebijakan peningkatan kinerja masing-masing rantai
pasok driver.
Kebijakan peningkatan kinerja driver fasilitas
Pada driver fasilitas terdapat empat keadaan yang dinilai kurang yaitu:
jauhnya jarak sumber bahan baku ke lokasi industri dan kondisi jalan yang macet
atau dalam kondisi rusak. Selain itu, jarak pengiriman biji kakao antar pulau yang
tersebar dihadapkan pada kondisi pelabuhan yang kurang memadai serta lambat
97
dalam pelayanan. Hal tersebut akan berisiko menambah waktu tempuh aliran
barang dan biaya perjalanan. Untuk itu, perbaikan infrastruktur dan manajemen
pelabuhan akan sangat membantu mempercepat perjalanan dan mengurangi biaya.
Jauhnya jarak sumber bahan baku dan kondisi jalan yang kurang memadai dapat
diatasi dengan pemilihan moda transportasi yang lebih efisien. Hal ini akan
memberikan kontribusi signifikan terhadap efisiensi rantai pasok (Cook et al.
2011). Selain itu dengan memilih lokasi yang lebih murah untuk pembangunan
pabrik merupakan strategi ekspansi yang mempertimbangkan jauhnya jarak
sumber bahan baku dan hambatan transportasi yang tidak bisa dihindari (Pujawan
2005). Dari sisi pemerintah perlu untuk mengambil kebijakan perbaikan jalan yang
menghubungkan kegiatan ekonomi yang strategis termasuk untuk menunjang
pergerakan komoditas kakao dari sentra produksi hingga ke pelabuhan atau ke
industri. Kondisi jalan yang memadai (lebar dan bebas hambatan) yang
menghubungkan daerah penghasil dengan industri atau pelabuhan ekspor akan
mengefisienkan rantai pasok (Siry et al. 2006). Menurut hasil perhitungan
inefisiensi akibat kondisi jalan yang buruk mencapai Rp 186/kg biji kakao yang
diangkut (lihat Tabel 7).
Kurangnya fleksibilitas pabrik dan gudang merupakan keadaan driver
fasilitas yang dihadapi oleh industri kakao saat ini. Pengertian fleksibililas pabrik
adalah kemampuan untuk memproses bermacam-macam benda dengan bentuk
yang berbeda-beda dan pada sistem kerja yang berbeda-beda pula. Fleksibilitas
juga berarti kemampuan untuk mengubah bentuk benda produksi sesuai dengan
permintaan yang datang (Chopra dan Meindl, 2007). Sementara itu menurut
Beamon (1999) sebuah system manufaktur baru dapat dikatakan fleksibel jika: l)
Mempunyai kemampuan untuk mengidentifikasi proses produksi yang mempunyai
ciri-ciri berbeda ataupun benda yang berbeda berdasarkan system; 2) Mampu
dengan cepat mengubah instruksi operasi; 3) Mampu dengan cepat mengubah
pengaturan fisik (physical set up) desain manufakturnya.
Dari sisi perusahaan, kebijakan yang diperlukan untuk mengatasi masalah
fleksibilitas pabrik adalah investasi mesin yang memiliki spesifikasi lebih fleksibel.
Komponen mesin industri kakao skala besar yang berspesifikasi tinggi
(fleksibilitas tinggi) memiliki ketergantungan pada pasokan energi baik listrik
maupun gas yang tinggi pula. Jenis mesin tersebut di antaranya adalah mesin
penyangrai biji kakao berbahan bakar gas (cocoa gas roaster) dan permesinan
lainnya bertenaga listrik yang semuanya dapat diintegrasikan dalam satu sistem
proses pengolahan kakao (cocoa processing plant) yang membutuhkan pasokan
listrik dan gas yang mencukupi. Selain itu, gas juga digunakan untuk pemanasan
terhadap bagian-bagian mesin pengolahan kakao yang menganut sistem aliran
panas, seperti pada sistem perpipaan, dan membantu proses pengempaan (pressing)
agar lebih efektif (Misnawi, Agustus 2013, wawancara). Namun, mengingat nilai
investasi barang modal yang relatif besar, maka perlu dukungan pemerintah
dengan pemberian insentif fiskal (perpajakan) terhadap pembangunan/
pengembangan industri, serta kebijakan yang memberi jaminan pasokan energi
listrik dan gas yang memadai.
Berkenaan dengan fleksibilitas gudang yang kurang, secara internal
kebijakan perusahaan untuk mengatasinya di antaranya dengan meningkatkan
sistem pengelolaannya dengan memanfaatkan teknologi. Salah satu bentuknya
berupa WMS (warehouse management system) yaitu suatu pusat distribusi berbasis
98
aturan canggih atau alat manajemen gudang yang menyediakan serangkaian fungsi
terintegrasi sebagai paket terkonfigurasi (Bauhoff 2003). Namun demikian akuisisi
dan implementasi teknologi WMS harus terencana dengan baik meyangkut
berbagai persiapan. Untuk itu, menurut Bauhoff (2003) optimalisasi strategi
operasional gudang konvensional merupakan pilihan pertama jika masih bisa
memenuhi fleksibilitas yang diminta oleh proses produksi dan permintaan pasar.
Pada tingkat yag lebih maju, pengelolaan gudang dapat memanfaatkan RFID
(radio frequency identification) mendukung desain teknologi WMS yang
memungkinkan untuk memproses dan mengontrol semua informasi yang
terkandung dalam tag RFID pada setiap jenis barang yang disimpan.
Dari sisi pemerintah kondisi yang dihadapi oleh industri merupakan
permasalahan yang perlu diatasi. Salah satu bentuk instrumen kebijakan yang
dimiliki pemerintah adalah dengan mengurangi atau menghilangkan beban pajak
impor barang modal bagi industri melalui kebijakan fiskal. Hal ini didasari oleh
teori bahwa kebijakan insentif fiskal dapat meningkatkan investasi (terutama FDI)
dan pertumbuhan ekonomi. Insentif fiskal bekerja dengan mengubah parameter
dari suatu proyek investasi dimana perusahaan (investor) memilih untuk
melakukan investasi ketika Net Present Value (NPV) dari arus kas suatu proyek
lebih besar dari nol (Barbour 2005).
Kebijakan peningkatan kinerja driver persediaan
Kelemahan yang dialami pada driver persediaan adalah banyaknya bahan
baku yang rusak setelah dikirim sampai ke pabrik. Kondisi biji kakao yang rusak
dapat ditandai dengan biji berkualitas jelek (tidak terfermentasi, purple dan slaty
bila dibelah, berjamur, warna ungu akibat fermentasi berlebih, biji pipih, kecil dan
biji pecah-pecah, berkecambah, berbau tidak sedap, berbau asap akibat
pengeringan berlebih, berjamur, bercampur kotoran, tingkat kelembaban dan kadar
air yang tinggi). Jika salah satu atau beberapa kondisi tersebut ada pada biji kakao
yang diangkut, maka hal ini dapat terjadi karena mutu bahan baku yang dikirim
tidak memenuhi standard. Jika kadar air tinggi kecenderungan biji berjamur dan
rusak sangat besar. Industri kakao membutuhkan biji kakao dengan kadar air
antara 6-7%. Jika lebih dari 8%, yang turun bukan hanya hasil rendemennya saja,
tetapi juga berisiko terhadap serangan bakteri dan jamur. Jika kadar air kurang dari
5%, kulit biji akan mudah pecah dan biji harus dipisahkan karena mengandung
kadar biji pecah yang tinggi (Wahyudi et al. 2008).
Untuk dapat mengatasi kondisi tersebut yang paling mendasar dimulai dari
perbaikan kualitas biji kakao melalui penanganan pasca panen melalui revitalisasi
penyuluh pertanian (khususnya perkebunan) yang kondisinya kurang memadai
(PSE Litbangtan 2012). Selanjutnya perlunya penerapan Wajib SNI biji kakao
secara luas terhadap seluruh mata rantai perdagangan biji kakao. Keterpurukan
citra mutu kakao Indonesia sebenarnya tidak terlepas dari penerapan standar mutu
kakao yang selama ini masih secara sukarela dan longgarnya persyaratan mutu di
dalamnya. Pelaksanaan dan perluasan penerapan standar mutu secara konsisten
akan mendorong (mendidik) perbaikan mutu dan secara bertahap akan
memperbaiki citra mutu kakao di dalam perdagangan global (Salam 2011;
Wahyudi et al. 2008).
Dari sisi perusahaan aliran bahan baku kurang tepat waktu dapat diselesaikan
dengan cara pengelolaan pemasok yang benar-benar memiliki kualifikasi baik
99
(Noor dan Pitt 2009). Artinya dengan kendala kondisi infrastruktur jalan dan
hambatan lainnya akan dapat diupayakan meskipun dengan biaya yang relatif besar.
Untuk itu peran pemerintah melalui program dan kebijakan yang dapat
memperbaiki infrastruktur yang mendukung aliran barang lebih lancar menjadi
harapan perusahaan pengolah kakao. Sementara itu, banyaknya bahan baku yang
rusak setelah dikirim sampai ke pabrik secara umum berkaitan dengan mutu biji
kakao dari lokasi asal biji kakao tersebut, atau juga bisa terjadi akibat sistem
perdagangan biji kakao yang kurang sehat, yaitu ada tindakan pencampuran biji
kualitas baik dan buruk tersebut didorong oleh target mengejar suatu komposisi
mutu dan volume tertentu. Upaya secara internal yang dapat dilakukan
perusahaan adalah perluasan kemitraan dengan pemasok/ petani untuk menjamin
pasokan secara kontinu. Sementara untuk mengatasi seringnya terjadi order
produk yang tidak terlayani akibat tidak ada stok produk dapat dilakukan dengan
penerapan streamline stock yaitu perusahaan meminimalisir stok barang untuk
meminimalisir biaya penyimpanan barang (Randal et al. 2011) dan optimalisasi
pengiriman (Blackburn dan Scudder 2009).
Kebijakan peningkatan kinerja driver informasi
Perencanaan yang dilakukan oleh industri kakao masih menggunakan cara
biasa. Hal tersebut menunjukkan bahwa perencanaan industri --sebagai salah satu
elemen dari driver informasi rantai pasok-- belum mengadopsi teknologi informasi
yang memadai agar lebih efisien dan responsif terhadap tantangan dan peluang
yang ada. Dari sisi perusahaan, kebijakan yang relevan untuk mengatasi keadaan
tersebut adalah dengan penerapan teknologi informasi dalam berbagai lingkup
untuk mengintegrasikan keterkaitan antar perusahaan yang membentuk rantai
pasok. Perusahaan dengan perencanaan rantai pasok berkualitas dan kontrol yang
kuat atas aktivitas produksi memiliki rantai pasok yang efisien karena tidak
dimungkinkan adanya aktivitas yang merugikan (Frayret et al. 2007). Selain itu
teknologi informasi diperlukan untuk memperbaiki kinerja rantai pasok terutama
dengan mengurangi ketidakpastian (Chopra dan Meindl 2007).
Salah satu kendala yang dihadapi dalam penerapan menerapkan teknologi
informasi untuk rantai pasok adalah penyiapan infrastruktur. Levi et al. (2002)
menyebutkan bahwa infrastruktur teknologi informasi mencakup empat komponen,
yaitu: interface devices, komunikasi, database, dan arsitektur sistem. Infrastruktur
ini harus disiapkan, baik untuk internal perusahaan maupun eksternal antar
perusahaan dalam rantai pasok. Beberapa kendala yang harus dapat diatasi dalam
penerapan teknologi informasi untuk pengelolaan rantai pasok, antara lain, masalah
penyiapan infrastruktur dan standardisasi informasi. Masalah bentuk informasi
tersebut terkait dengan standardisasi informasi. Informasi dapat dalam berbagai
bentuk atau format yang berbeda sesuai dengan teknologi informasi yang
digunakan perusahaan. Perbedaan bentuk atau format ini dapat menjadi kendala
untuk mengintegrasikan informasi. Jika informasi ini tidak dapat terintegrasi maka
pengelolaan rantai pasok sangat sulit dilakukan.
Untuk mendukung aktivitas tersebut pemerintah perlu mempeluas akses
untuk memperlancar arus informasi antar pelaku rantai pasok kakao lintas daerah.
Syam (2006) dalam penelitiannya menempatkan kebijakan pengembangan
infrastruktur jaringan telekomunikasi menjadi kebijakan yang mendasar dan
penting bagi pengembangan agrokakao. Pada daerah dimana infrastruktur
100
telekomunikasi masih kurang perlu dukungan penambahan prasarana, seperti di
sentra produksi kakao yang berada di pedesaan.
Kebijakan peningkatan kinerja driver Transportasi
Pada driver transportasi terlihat masih kurangnya penjadwalan merupakan
permasalahan yang dihadapi oleh perusahaan. Secara internal perusahaan dapat
melakukan penjadwalan pengiriman secara lebih ketat (Blackburn dan Scudder
2009). Dengan pengiriman barang yang terjadwal dan ketepatan pengiriman. Akan
memperlancar arus barang, baik di gudang maupun di tempat proses produksi,
sehingga membuat meningkatkan efisiensi keseluruhan rantai pasok. Konsep ini
sejalan dengan konsep JIT yang telah lama diterapkan di berbagai industri.
Sementara itu, dari sisi pemerintah kebijakan yang memberikan iklim yang
kondusif bagi upaya peningkatan aliran barang ini adalah dengan penghapusan
hambatan perdagangan antar daerah (pungutan/retribusi) akan lebih memperlancar
pasokan dan mengurangi biaya pengiriman (CSP 2010).
Kebijakan peningkatan kinerja driver sourcing
Permasalahan pada driver sourcing rantai pasok industri kakao adalah
kurangnya pengelolaan pemasok di perusahaan dan kurangnya upaya perusahaan
dalam meningkatkan kemampuan pemasok. Hal ini menunjukkan kondisi nyata
bahwa manajemen hubungan pemasok (supplier relationship management) dalam
industri kakao belum berjalan baik. Manajemen hubungan pemasok merupakan
proses yang menentukan bagaimana suatu perusahaan berinteraksi dengan para
pemasoknya. Menggingat pemasok berperan penting dalam menentukan mutu
produk, biaya, pengembangan produk bagi perusahaan. Mutu produk dan layanan,
sebagai penentu kepuasan pelanggan, salah satunya bergantung kepada kualitas
pemasok yang dipilih. Jadi pemasok yang berkualitas tentu memudahkan
perusahaan menghasilkan produk dan layanan yang berkualitas pula. Dari sisi
perusahaan (industri) harus cermat dalam memilih pemasok yang sesuai. Pemilihan
pemasok dapat dilakukan dengan menerapkan kriteria tertentu dan penerapan
standar dalam budidaya yang dilakukan oleh petani dan penanganan biji kakao
yang diperdagangkan (Ellegaard 2008; Pretty et al. 2008).
Menurut Susanto (2006), untuk memdapatkan pemasok yang bermutu dan
membina hubungan baik dengan mereka diperlukan langkah-langkah: komitmen,
komunikasi, kejujuran, dan berbagi informasi. Kemitraan yang sudah
dikembangkan oleh industri kakao dengan para pemasok (petani) perlu diperluas
dengan membangun buying station lebih banyak. Hal ini akan memberikan
penguatan pasar bagi pemasok yang menerapkan budidaya dan pascapanen yang
baik disamping akan memberikan harga di tingkat petani yang lebih baik pula
sehingga berdampak pada perbaikan mutu secara keseluruhan wilayah sentra
produksi kakao.
Dari sisi pemerintah perlu ada penguatan terhadap kelembagaan petani
sebagai pemasok utama biji kakao. Selain itu kelembagaan petani yang kuat akan
dapat memperluas kemitraan antara petani dan industri. Penguatan kelembagaan
petani untuk membentuk kelompok/koperasi akan membuat petani lebih berdaya
berhadapan dengan pelaku lainnya. Selain itu pemerintah perlu bekerjasama
dengan industri dalam penyuluhan dan pendamping petani. Karena akan dapat
menerapkan kontrak dengan industri. Selanjutnya industri perlu melakukan
101
penguatan kapasitas pemasok (pelatihan dan percontohan). Mengingat selama ini
jangkau penyuluh pertanian masih sangat rendah terutama di komoditas kakao
(Arsyad dan Kawamura 2009).
Relasi antar Kebijakan
Metodologi ISM
Untuk memperoleh kualitas rumusan kebijakan yang lebih baik dari
implikasi kebijakan yang telah diperoleh (Tabel 25), perlu strukturisasi dan
keterkatain antar kebijakan. ISM adalah sebuah teknik permodelan yang
dikembangkan untuk perencanaan kebijakan strategis. Menurut Eriyatno (2003)
ISM adalah proses pengkajian kelompok (group learning process) di mana model-
model struktural dihasilkan guna memotret perihal yang kompleks dari suatu
sistem, melalui pola yang dirancang secara seksama dengan menggunakan grafis
serta kalimat.
Metode ISM telah luas digunakan, terutama untuk menganalisis struktural
elemen-elemen berdasarkan hubungan kontekstual-nya (Saxena et al. 1992;
Machfud 2001; Eriyatno 2003; Marimin 2004). ISM bersangkut paut dengan
interpretasi dari suatu obyek yang utuh atau perwakilan sistem melalui aplikasi
teori grafis secara sistematis dan iteratif Metode ISM telah luas digunakan,
terutama untuk menganalisis struktural elemen-elemen berdasarkan hubungan
kontekstual-nya (Saxena et al. 1992). Secara khusus pada penelitian bidang rantai
pasok Charan et al. (2008) menerapkan ISM untuk menganalisis interkasi antara
variabel kinerja rantai pasok sehingga diperoleh alternatif variabel yang lebih
realistik dalam penerapan sistem pengukuran kinerja rantai pasok. Ramesh et al.
(2010) juga menerapkan metodologi ISM untuk pemodelan hambatan kolaborasi
rantai pasok.
ISM dapat digunakan untuk mengembangkan beberapa tipe struktur,
termasuk struktur pengaruh (misalnya: dukungan atau pengabaian), struktur
prioritas (misalnya: „lebih penting dari‟ atau „sebaiknya dipelajari sebelumnya‟),
dan kategori ide (misalnya: „termasuk dalam kategori yang sama dengan‟).
Langkah perumusan kebijakan memerlukan penentuan hubungan kontekstual
yang kemudian dikonversi menjadi suatu hubungan matematik (Rm) di antara
alternatif implikasi kebijakan yang ada. Hubungan antar elemen tersebut
dinyatakan dalam perkalian Cartesian. Matriks tersebut harus memenuhi sifat
reflexive dan transitive (Machfud 2001). Berdasarkan hubungan kontekstual
tersebut, maka disusun Structural Self Interaction Matrix (SSIM). Menurut Jaya et
al. (2010), Eriyatno (2003) dan Marimin (2004), langkah-langkah permodelan
dengan menggunakan ISM mencakup:
1) Identifikasi elemen: Elemen sistem diidentifikasi dan didaftar. Identifikasi
elemen dapat diperoleh melalui penelitian atau diskusi curah pendapat.
2) Hubungan kontekstual: Sebuah hubungan kontekstual antar elemen
dibangun berdasarkan pada tujuan dari permodelan.
3) Matriks interaksi tunggal terstruktur (Structural Self Interaction Matrix
SSIM). Matriks ini mewakili elemen persepsi responden terhadap
hubungan elemen yang dituju. Empat simbol yang digunakan untuk
102
mewakili tipe hubungan yang terdapat antar dua elemen dari sistem yang
dikaji adalah:
V ..... hubungan dari elemen Ei terhadap Ej, dan tidak sebaliknya
A ..... hubungan dari elemen Ej terhadap Ei, dan tidak sebaliknya
X ..... hubungan interrelasi antara Ei dan Ej, dan dapat sebaliknya
O ..... menunjukkan bahwa Ei dan Ej tidak berkaitan
4) Matriks Reachability (Reachability Matrix--RM): Sebuah RM yang
dipersiapkan kemudian mengubah simbol-simbol SSIM ke dalam sebuah
matriks biner. Konversi SSIM menjadi RM menggunakan aturan-aturan
berikut,
Jika hubungan Ei terhadap Ej = V dalam SSIM maka elemen Eij = 1
dan Eji = 0 dalam RM.
Jika hubungan Ei terhadap Ej = A dalam SSIM maka elemen Eij = 0
dan Eji = 1 dalam RM.
Jika hubungan Ei terhadap Ej = X dalam SSIM maka elemen Eij = 1
dan Eji = 1 dalam RM.
Jika hubungan Ei terhadap Ej = O dalam SSIM maka elemen Eij = 0
dan Eji = 0 dalam RM.
RM awal dimodifikasi untuk menunjukkan seluruh direct dan indirect
reachability, yaitu jika Eij = 1 dan Ejk = 1 maka Eik = 1.
5) Tingkat partisipasi dilakukan untuk mengklasifikasi elemen-elemen dalam
level-level yang berbeda dari struktur ISM. Untuk tujuan ini, dua
perangkat diasosiasikan dengan tiap elemen Ei dari sistem: Reachability
set (Ri) adalah sebuah set dari seluruh elemen yang dapat dicapai dari
elemen Ei, dan Antecedent Set (Ai) adalah sebuah set dari seluruh elemen
dimana elemen Ei dapat dicapai. Pada iterasi pertama seluruh elemen,
dimana Ri = Ri ∩ Ai adalah elemen-elemen level 1. Pada iterasi-iterasi
berikutnya elemen-elemen diidentifikasi seperti elemen-elemen level dalam
iterasi-iterasi sebelumnya dihilangkan, dan elemen-elemen baru diseleksi
untuk level-level berikutnya dengan menggunakan aturan yang sama.
Selanjutnya, seluruh elemen-elemen sistem dikelompokkan ke dalam level-
level yang berbeda.
6) Matriks Canonnical: Pengelompokan elemen-elemen dalam level yang
sama mengembangkan matriks ini. Matriks resultan memiliki sebagian
besar dari elemen-elemen triangular yang lebih tinggi adalah 0 dan
terendah 1. Matriks ini selanjutnya digunakan untuk mempersiapkan
digraph.
7) Digraph adalah konsep yang berasal dari Directional Graph, yaitu sebuah
grafik dari elemen-elemen yang saling berhubungan secara langsung dan
level hierarki. Digraph awal dipersiapkan dalam basis matriks canonical.
Graph awal tersebut selanjutnya dipotong dengan memindahkan semua
komponen yang transitif untuk membentuk digraph akhir.
8) Interpretative Structural Model: ISM dibangkitkan dengan memindahkan
seluruh jumlah elemen dengan deskripsi elemen aktual. Oleh sebab itu
ISM memberikan gambaran yang sangat jelas dari elemen-elemen sistem
dan alur hubungannya.
Eriyatno (2003) menyatakan bahwa metode dan teknik ISM dibagi menjadi
dua bagian, yaitu penyusunan hierarki dan klasifikasi sub elemen. Prinsip
103
dasarnya adalah identifikasi dari struktur di dalam suatu sistem yang memberikan
nilai manfaat yang tinggi guna meramu sistem secara efektif dan untuk
pengambilan keputusan yang lebih baik. Struktur dari suatu sistem yang
berjenjang diperlukan untuk lebih menjelaskan pemahaman tentang perihal yang
dikaji. Menentukan jenjang dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan, namun
harus memenuhi kriteria: a) kekuatan pengikat dalam dan antar kelompok atau
tingkat, b) frekuensi relatif dari oksilasi dimana tingkat yang lebih rendah lebih
cepat terguncang dari yang diatas, c) konteks dimana tingkat yang lebih tinggi
beroperasi pada jangka waktu yang lebih lambat daripada ruang yang lebih luas, d)
liputan dimana tingkat yang lebih tinggi mencakup tingkat yang lebih rendah, dan
e) hubungan fungsional, dimana tingkat yang lebih tinggi mempunyai peubah
lambat yang mempengaruhi peubah cepat tingkat dibawahnya. Teknik ISM dapat
memberikan basis analisis program dimana informasi yang dihasilkan sangat
berguna dalam formulasi kebijakan dan perencanaan strategis.
Selanjutnya, Saxena et al. (1992) menyatakan bahwa penggunaan ISM
dalam analisis, program dapat dibagi menjadi sembilan elemen utama: Sektor
masyarakat yang terpengaruh; kebutuhan dari program; kendala utama program;
perubahan yang diinginkan; tujuan dari program; tolok ukur untuk menilai setiap
tujuan; aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan; ukuran aktivitas
untuk mengevaluasi hasil yang dicapai setiap aktivitas; dan lembaga yang terlibat
dalam pelaksanaan program. Dalam menyusun elemen perihal dapat pula
ditetapkan menurut Sharma (1994), yaitu: pernyataan atas tujuan; usulan proyek
atau pilihan; parameter ekonomi; tolok ukur dasar pembinaan suatu sistem; nilai;
permasalahan, peluang, penyebab; dan aktivitas, kejadian (events).
Untuk setiap elemen dari program yang dikaji, selanjutnya dijabarkan
menjadi sejumlah sub-elemen. Kemudian ditetapkan hubungan kontekstual antara
sub-elemen yang mengandung adanya suatu pengarahan pada perbandingan
berpasangan. Hubungan kontekstual pada teknik ISM selalu dinyatakan dalam
terminologi sub-ordinat yang menuju pada perbandingan berpasangan antar sub-
elemen yang mengandung suatu arahan pada hubungan tersebut. Menurut Eriyatno
(2003) hubungan kontekstual dapat bersifat kualitatif atau kuantitatif. Keterkaitan
antar sub-elemen dapat meliputi berbagai jenis hubungan seperti disajikan pada
Tabel 30. Berdasarkan hubungan kontekstual tersebut, maka disusun Structural
Self Interaction Matrix dengan menggunakan simbol:
V jika eij = 1 dan eji = 0
A jika eij = 0 dan eji = 1
V jika eij = 1 dan eji = 1
V jika eij = 0 dan eji = 0
Nilai eij = 1 berarti ada hubungan kontekstual antara elemen ke-i dan elemen
ke-j, sedangkan eij = 0 adalah tidak ada hubungan kontekstual antara elemen ke-i
dan elemen ke-j. Hasil penilaian ini kemudian dibuat dalam Structural Self
Interaction Matrix yang berbentuk tabel Reachability Matrix (RM) dengan
mengganti V, A, X, dan O menjadi bilangan 1 dan 0. Matriks RM selanjutnya
dikoreksi sampai menjadi matriks tertutup yang memenuhi kaidah transitivitas.
104
Tabel 30 Hubungan kontekstual antar sub-elemen pada teknik ISM
No Jenis Hubungan Interpretasi
1 Pembandingan (comparative) A lebih penting/besar/indah dari B
A 20% lebih berat dari B
2 Pernyataan (definitive) A adalah atribut B
A termasuk di dalam B
A mengartikan B
3 Pengaruh (influence) A menyebabkan B
A adalah sebagian penyebab B
A mengembangkan B
A menggerakkan B A meningkatkan B
4 Keruangan (spatial) A adalah selatan/utara B
A diatas B
A sebelah kiri B
5 Kewaktuan (temporal/time
scale)
A mendahului B
A mengikuti B
A mempunyai prioritas lebih dari B
Sumber: Eriyatno (2003)
Matriks RM yang telah memenuhi kaidah transitivitas kemudian diolah
untuk mendapatkan nilai Driver-Power (DP) dan nilai Dependence (D) untuk
menentukan klasifikasi sub elemen. Eriyatno (2003) menyebutkan bahwa untuk
mengetahui peran masing-masing sub elemen, sub elemen dikelompokkan ke
dalam 4 sektor:
Sektor 1: Weak driver-weak dependent variables (Autonomous), sub elemen yang
berada pada sektor ini umumnya tidak berkaitan dengan sistem,
mungkin mempunyai hubungan yang sedikit walaupun hubungan
tersebut bisa saja kuat.
Sektor 2: Weak driver-strongly dependent variables (Dependent), sub elemen
yang berada pada sektor ini umumnya sub elemen yang tidak bebas
atau dipengaruhi oleh sub elemen lain.
Sektor 3: Strong driver-strongly dependent variables (Linkage), sub elemen yang
berada pada sektor ini perlu dikaji secara hati-hati sebab hubungan
antar sub elemen tidak stabil. Setiap tindakan pada sub elemen
tersebut akan memberikan dampak terhadap peubah lain dan umpan
balik pengaruhnya bisa memperbesar dampak.
Sektor 4: Strong driver-weak dependent variables (Independent), sub elemen
yang berada pada sektor ini umumnya merupakan sub elemen bebas
yang memiliki kekuatan penggerak yang besar terhadap sub elemen
lain dalam sistem.
Tatalaksana Metode ISM
Pengumpulan Data
Data sekunder yang dikumpulkan berupa data dan laporan dari kementerian
terkait berkenaan dengan jenis kebijakan yang ada tentang perkakaoan, sedangkan
proses akuisisi pengetahuan melalui wawancara mendalam dengan para pakar
105
(responden). Penetapan responden sebagai seorang pakar berdasarkan atas (1)
reputasi, kedudukan dan kredibilitasnya yang sesuai pada topik kajian; (2)
memiliki pengalaman dibidang yang tekuni; (3) bersedia untuk diwawancara
secara mendalam. Berdasarkan kriteria tersebut maka dipilih tiga pakar yaitu pakar
di bidang kebijakan industri hasil perkebunan, teknologi pengolahan kakao, dan
ekonomi pertanian.
Penentuan elemen kebijakan yang merupakan hasil pengukuran kinerja rantai
pasok industri kakao. Yang dimaksud dengan data pada teknik ISM adalah
kumpulan pendapat atau penilaian dari pakar sewaktu mereka menjawab tentang
keterkaitan antar elemen yang dibandingkan.
Pengolahan Data
Berdasarkan hasil rumusan kebijakan pengembangan industri kakao
sebagaimana diuraikan pada Tabel 29, diperoleh 11 kebijakan (Tabel 31) yang
selanjutnya diolah dengan menggunakan teknik ISM.
Tabel 31 Rumusan kebijakan pemerintah dalam pengembangan industri kakao
No Kebijakan dan program pemerintah
1 Perbaikan infrastruktur jalan
2 Perbaikan infrastruktur dan manajemen pelabuhan
3 Pemberian insentif fiskal pengembangan industri
4 Pemenuhan pasokan energi listrik dan gas untuk industri
5 Peningkatan produktivitas kebun kakao
6 Revitalisasi penyuluh pertanian/perkebunan
7 Perluasan penerapan Wajib SNI biji kakao
8 Perluasan jaringan telekomunikasi
9 Penghapusan hambatan perdagangan antar daerah
10 Penguatan kelembagaan petani (pemasok kakao)
11 Kerjasama pemerintah dan industri dalam peningkatan penyuluhan dan
pendamping petani
Pengolahan data menggunakan teknik ISM dengan metode ISM-VAXO
dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut :
Penyusunan Matriks SSIM
Dari elemen kebijakan yang telah disepakati, disiapkan kuesioner penilaian
pakar (terlampir). Pada pemodelan dengan ISM pendapat atau penilaian hubungan
kontekstual elemen dinyatakan dalam bentuk huruf V, A, X, O yang menunjukkan
bahwa:
V : sub-elemen ke-i mempunyai hubungan dengan sub-elemen ke-j dan sub-
elemen ke-j tidak mempunyai hubungan dengan sub elemen ke-i.
A : sub-elemen ke-j mempunyai hubungan dengan sub-elemen ke-i dan sub-
elemen ke-i tidak mempunyai hubungan dengan sub elemen ke-j.
X : sub-elemen ke-i mempunyai hubungan timbal balik dengan sub-elemen ke-j.
O : sub-elemen ke-i tidak mempunyai hubungan timbal balik dengan sub-elemen
ke-j.
106
Hasil penilaian berupa matrik SSIM dari ketiga pakar diagregasi dengan
menggunakan Modus untuk memperoleh satu matriks SSIM (Gambar 26).
11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1
1 V V V V X V V V X V
2 V A V V V V V X X
3 A A X V X A A X
4 V A V V V V V
5 X X V V V X
6 X X V V V
7 A A X V
8 A A A
9 A A
10 X
11
Gambar 26 Structural self interaction matrix (SSIM) awal kebijakan
pemerintah pendukung pengembangan industri kakao
Transformasi Matriks SSIM menjadi Matriks Reachability
Hubungan kontekstual antar sub-elemen dalam bentuk matriks yang selnya
dalam bentuk huruf (VAXO) ditransformasi menjadi matriks Reachability bilangan
biner dengan aturan seperti di atas. Hasil transformasi menjadi matriks
Reachability sebagaimana Gambar 27.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
2 0 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1
3 1 1 1 1 0 0 1 1 1 0 0
4 0 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1
5 0 0 1 0 1 1 1 1 1 1 1
6 0 0 1 0 1 1 1 1 1 1 1
7 1 0 1 0 0 0 1 1 1 0 0
8 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0
9 0 0 1 0 0 0 1 1 1 0 0
10 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
11 0 0 1 0 1 1 1 1 1 1 1
Gambar 27 Matriks reachability
107
Pengujian dan Transformasi Matriks Reachability
Matriks bersifat Reachability jika dengan operasi Boolean memenuhi syarat
reflexive dan transitif, jika tidak maka dilakukan penyesuaian dengan melakukan
operasi recursive multiplication sehingga terbentuk kondisi matriks tertutup
(causal looping). Setelah dilakukan proses pengecekan dengan aturan transitivity
sampai didapatkan final SSIM (Gambar 28) dan final RM (Gambar 29).
11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1
1 V V V V V V V V V V
2 V A V V V V V V V
3 A A X X X A A A
4 V A V V V V V
5 A A V V V V
6 A A V V V
7 A A X X
8 A A X
9 A A
10 V
11
Gambar 28 Revisi SSIM final (memenuhi syarat transitivity rule)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 DP R
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 11 1*
2 0 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 9 3
3 0 0 1 0 0 0 1 1 1 0 0 4 7
4 0 0 1 1 1 1 1 1 1 0 1 8 4
5 0 0 1 0 1 1 1 1 1 0 0 6 5
6 0 0 1 0 0 1 1 1 1 0 0 5 6
7 0 0 1 0 0 0 1 1 1 0 0 4 8
8 0 0 1 0 0 0 1 1 1 0 0 4 8
9 0 0 1 0 0 0 1 1 1 0 0 4 8
10 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 10 2
11 0 0 1 0 1 1 1 1 1 0 1 7 4
D 1 3 11 4 6 7 11 11 11 2 5
Gambar 29 Hasil matriks reachability final dan interpretasinya
Keterangan:
D = Ketergantungan (dependence)
DP = Daya Dorong (driver power)
R = Rangking (tanda * merupakan elemen kunci)
108
Interpretasi Output ISM
Output ISM berupa rangking masing-masing kebijakan dan plot masing-
masing kebijakan ke dalam empat sektor beserta koordinatnya. Berdasarkan
rangking masing-masing kebijakan dapat dibuat hierarki setiap kebijakan di mana
kebijakan dengan rangking lebih tingggi akan berada pada hierarki yang lebih
rendah. Letak koordinar masing-masing menunjukkan plot masing-masing
kebijakan ke dalam empat sektor. Berdasarkan hasil perhitungan di atas dapat
digambarkan hierarki dan plot ke dalam empat sektor sebagaimana Gambar 30.
Dari Gambar 30 terlihat dari 11 kebijakan pemerintah dalam pengembangan
industri kakao terbagi ke dalam 3 sektor yaitu sektor II (Dependent), sektor III
(Linkage) dan sektor IV (Independent). Tidak ada kebijakan yang berada pada
sektor I (Autonomous). Hal ini menunjukkan bahwa seluruh kebijakan yang
dirumuskan memiliki keterkaitan satu dan lainnya untuk berhasilnya
pengembangan industri kakao.
Kelompok kebijakan yang masuk dalam sektor II meliputi kebijakan
Revitalisasi penyuluh pertanian/perkebunan (6), Pemberian insentif fiskal
pengembangan industri (3), Perluasan penerapan Wajib SNI biji kakao (7),
Perluasan jaringan telekomunikasi (8), dan Penghapusan hambatan perdagangan
antar daerah (9).
Gambar 30 Matriks daya dorong–ketergantungan kebijakan pemerintah
pendukung pengembangan industri kakao
Keterangan:
Sektor 1: Autonomous, tidak berkaitan dengan sistem.
Sektor 2: Dependent, tidak bebas atau dipengaruhi oleh kebijakan lain.
Sektor 3: Linkage, hubungan antar kebijakan tidak stabil.
Sektor 4: Independent, merupakan kebijakan yang bebas dan memiliki
kekuatan penggerak yang besar terhadap kebijakan lain.
Sementara itu, kebijakan yang termasuk dalam sektor III (linkage) adalah
kebijakan peningkatan produktivitas kebun kakao (5). Kebijakan pengait memiliki
11 1
10 10
9 2
8 4
7 11
6 5
5 6
4 3,7,8,9
3
2
1
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Ketergantungan (DEPENDENCE)
Daya D
oro
ng (
DR
IVE
R P
OW
ER
)
Sektor IV
Sektor ISektor II
Sektor III
109
arti strategis karena keberhasilan kebijakan ini akan mampu menarik kebijakan-
kebijakan lain yang memiliki ketergantungan tinggi, sekaligus mampu mendorong
keberhasilan kebijakan yang lebih independen. Namun, karena sangat strategisnya,
kegagalan kebijakan ini juga akan menghambat kebijakan-kebijakan lain baik yang
bersifat dependen maupun independen.
Selanjutnya kebijakan-kebijakan yang memiliki daya dorong besar untuk
berhasilnya pengembangan industri kakao (Sektor IV) secara berurutan mulai dari
kebijakan perbaikan infrastruktur jalan (1), kebijakan penguatan kelembagaan
petani (pemasok kakao) (10), kebijakan perbaikan infrastruktur dan manajemen
pelabuhan (2), kebijakan pemenuhan pasokan energi listrik dan gas untuk industri
(4), dan kebijakan kerjasama pemerintah dan industri dalam peningkatan
penyuluhan dan pendamping petani (11). Berdasarkan hasil penilaian pakar,
kelima kebijakan tersebut yang dikategorikan sebagai kebijakan yang memiliki
ketergantungan rendah serta mampu menjadi pendorong bagi kebijakan lainnya.
Kebijakan di sektor IV banyak diisi dengan kebijakan di bidang infrastruktur yaitu
perbaikan infrastruktur jalan (termasuk jembatan), perbaikan infrastruktur dan
manajemen pelabuhan, dan pemenuhan pasokan infrastruktur energi (listrik dan
gas). Hal ini menunjukkan bahwa pengembangan industri kakao membutuhkan
dukungan yang kuat dari aspek infrastruktur yang diharapkan menjadi penghela
(enabler) kegiatan ekonomi lain yang didukung dengan kebijakan yang lainnya.
Selain aspek infrastruktur yang merupakan aspek fisik, kebijakan
pengembangan industri kakao memerlukan dorongan yang kuat dari aspek non
fisik yang lebih mengarah penguatan di sektor hulu yaitu petani dengan budidaya
kakaonya. Untuk itu kebijakan penguatan kelembagaan petani (kebijakan 10)
sebagai pelaku utama di sektor hulu perlu mendapat dukungan dari pemerintah.
Kebijakan yang diperlukan untuk penguatan kelembagaan di antaranya penyuluhan.
Menurut Arsyad (2013) materi penyuluhan berupa pengetahuan tentang:
pengelolaan pascapanen, pemasaran, dan penyediaan input produksi, merupakan
kunci dalam memperkuat kelembagaan petani. Sementara itu dalam penelitiannya,
Arsyad (2013) juga menyimpulkan bahwa yang menjadi lembaga kunci dalam
penguatan kelembagaan petani adalah Lembaga Pemasaran, Petuga Penyuluh
Lapangan (PPL), dan Dinas Kehutanan dan Perkebunan. Di sisi lain, kondisi nyata
di lapangan berdasar hasil observasi dan wawancara menunjukkan bahwa
keberadaan lembaga-lembaga tersebut berkenaan dengan penyuluhan kakao masih
lemah. Maka dengan kerjasama pemerintah dan industri dalam peningkatan
penyuluhan dan pendamping petani (kebijakan 11) diharapkan peranan penyuluhan
yang sekaligus berfungsi memperkuat dan memberdayakan petani dari berbagai
segi dapat ditingkatkan. Kerjasama yang dimaksud dalam hal ini pada prakteknya
belum dilakukan, meskipun secara sendiri-sendiri baik pihak pemerintah dan pihak
industri sudah melekasanakan penyuluhan.
Yang menarik dari hasil pemetaan dalam matriks daya dorong–
ketergantungan (Gambar 30) di atas adalah tentang posisi tiga kebijakan yaitu
kebijakan (11), (5) dan (6). Sebagaimana diuraikan dalam pembahasan di atas
kebijakan (5) adalah kebijakan pengait, kebijakan (11) adalah independen, dan
kebijakan (6) adalah kebijakan dependen. Terlihat posisi kebijakan (5) diapit oleh
dua kebijakan yang sebenarnya memiliki tujuan sama yaitu mengefektifkan
kepenyuluhan terhadap petani. Dapat dinterpretasikan bahwa keberhasilan
kebijakan (5) sangat ditentukan oleh dorongan kebijakan (11) (karena memiliki
110
daya dorong besar) dan tarikan kebijakan (6) (karena ketergantungannya yang
tinggi). Artinya keberhasilan kebijakan peningkatan produktivitas kebun kakao
sangat membutuhkan dukungan kerjasama yang sinergi dengan industri (lembaga
non pemerintah) yang selama ini telah membuktikan perannya dalam turut
memberdayakan petani kakao hingga dihasilkan kebun kakao yang produktif dan
bermutu sesuai tuntutan industri/ekspor. Dengan berhasilnya kebijakan
peningkatan produktivitas kebun kakao yang dibarengi dengan kerjasama
pemerintah dengan industri dalam penyuluhan akan ada pola yang baik untuk
revitalisasi lembaga penyuluhan yang dimotori pemerintah.
Untuk dapat memperoleh gambaran lebih mendalam tentang keterkaitan
antar kebijakan ini berperan, dapat dilihat kembali pada rangking daya dorong
(driver power). Dari Gambar 28 terlihat kebijakan yang menjadi elemen kunci
berhasilnya pengembangan industri kakao yaitu Perbaikan infrastruktur jalan
(kebijakan 1). Hal ini menjawab permasalahan besar terhadap kurang efisien dan
responsifnya rantai pasok industri kakao selama ini. Jika dikaitkan bersama-sama
dengan kebijakan lain yang berada pada sektor IV yang sebagian besar adalah
kebijakan pembangunan infrastruktur, maka keberhasilan kebijakan ini akan
memiliki daya ungkit besar, karena akan mendorong kegiatan-kegiatan lainnya.
Partisi Penentuan Level
Suatu reachability dan anteseden (antecedent) untuk masing-masing
kebijakan diketahui dari matriks reachability final (Charan et al. 2008).
Reachability suatu kebijakan tertentu terdiri dari kebijakan itu sendiri dan
kebijakan lain, yang mungkin membantu mencapai tujuan kebijakan tersebut.
Sementara itu suatu anteseden terdiri dari kebijakan itu sendiri dan kebijakan
lainnya, yang dapat membantu dalam mencapai kebijakan tersebut. Selanjutnya,
suatu interseksi (intersection) berasal dari semua kebijakan yang ada pada
reachability dan anteseden.
Tabel 32 Iterasi ke-1
Kebijakan Rechability Anteseden Interseksi Level
1 1,2,3,4,5,6,7,8,9,10,11 1 1
2 2,3,4,5,6,7,8,9,11 1,2,10 2
3 3,7,8,9 1,2,3,4,5,6,7,8,9,10,11 3,7,8,9 I
4 3,4,5,6,7,8,9,11 1,2,4,10 4
5 3,5,6,7,8,9 1,2,4,5,10,11 5
6 3,6,7,8,9 1,2,4,5,6,10,11 6
7 3,7,8,9 1,2,3,4,5,6,7,8,9,10,11 3,7,8,9 I
8 3,7,8,9 1,2,3,4,5,6,7,8,9,10,11 3,7,8,9 I
9 3,7,8,9 1,2,3,4,5,6,7,8,9,10,11 3,7,8,9 I
10 2,3,4,5,6,7,8,9,10,11 1,10 10
11 3,5,6,7,8,9,11 1,2,4,10,11 11
Kebijakan yang memiliki reachability dan interseksi sama diberikan level
teratas pada hirarki model struktur ISM, yang tidak akan membantu/mendukung
mencapai tujuan kebijakan lain di atas level tersebut. Setelah suatu
111
kebijakan/beberapa kebijakan teridentifikasi sebagai elemen level teratas,
selanjutnya kebijakan tersebut dibuang dari matriks partisi sehingga menyisakan
kebijakan-kebijakan lainnya yang akan dilakukan iterasi selanjutnya.
Dari Tabel 32, terlihat bahwa kebijakan Pemberian insentif fiskal
pengembangan industri (3), Perluasan penerapan Wajib SNI biji kakao (7),
Perluasan jaringan telekomunikasi (8), dan kebijakan penghapusan hambatan
perdagangan antar daerah (9) ditentukan berada di level I. Dengan demikian,
kebijakan tersebut berada pada puncak model struktur kebijakan pendukung
pengembangan industri kakao. Iterasi tersebut dilanjutkan sampai level masing-
masing kebijakan dapat ditentukan. Kebijakan pemerintah dalam mendukung
pengembangan industri kakao dengan reachability, anteseden, interseksi dan level,
ditunjukkan pada Tabel 32-38.
Tabel 33 Iterasi ke-2
Kebijakan Rechability Anteseden Interseksi Level
1 1,2,4,5,6,10,11 1 1
2 2,4,5,6,11 1,2,10 2
4 4,5,6,11 1,2,4,10 4
5 5,6, 1,2,4,5,10,11 5
6 6 1,2,4,5,6,10,11 6 II
10 2,4,5,6,10,11 1,10 10
Tabel 34 Iterasi ke-3
Kebijakan Rechability Anteseden Interseksi Level
1 1,2,4,5,10,11 1 1
2 2,4,5,11 1,2,10 2
4 4,5,11 1,2,4,10 4
5 5 1,2,4,5,10,11 5 III
10 2,4,5,10,11 1,10 10
11 5,11 1,2,4,10,11 11
Tabel 35 Iterasi ke-4
Kebijakan Rechability Anteseden Interseksi Level
1 1,2,4,10,11 1 1
2 2,4,11 1,2,10 2
4 4,11 1,2,4,10 4
10 2,4,10,11 1,10 10
11 11 1,2,4,10,11 11 IV
112
Tabel 36 Iterasi ke-5
Kebijakan Rechability Anteseden Interseksi Level
1 1,2,4,10 1 1
2 2,4 1,2,10 2
4 4 1,2,4,10 4 V
10 2,4,10 1,10 10
Tabel 37 Iterasi ke-6
Kebijakan Rechability Anteseden Interseksi Level
1 1,2,10 1 1
2 2 1,2,10 2 VI
10 2,10 1,10 10
Tabel 38 Iterasi ke-7
Kebijakan Rechability Anteseden Interseksi Level
1 1,10 1 1 VIII
10 10 1,10 10 VII
Pembentukan Model Struktur Kebijakan Pendukung Pengembangan Industri
Kakao
Berdasarkan matriks reachability final dapat dibentuk model struktural ISM
kebijakan pengembangan industri kakao (Gambar 31). Dalam model struktur
tersebut hubungan antara kebijakan ke-j dan ke-i, ditunjukkan dengan tanda panah
yang menunjuk arah dari kebijakan ke-i ke kebijakan ke-j. Sementara itu kotak
persegi empat yang melingkupi beberapa kebijakan menunjukkan bahwa
kebijakan-kebijakan di dalamnya berada pada level yang sama.
Pada Gambar 31 terlihat level setiap kebijakan yang ditentukan melalui
partisi penentuan level dalam RM. Hasil dari penelitian ini didapatkan delapan
level dimana kebijakan Pemberian insentif fiskal untuk mendukung pengembangan
industri (3), Perluasan penerapan Wajib SNI biji kakao (7), Perluasan jaringan
telekomunikasi (8), dan kebijakan Penghapusan hambatan perdagangan antar
daerah (9) ditentukan menempati level pertama.
Kebijakan yang berada pada level teratas sebagaimana metodologi ISM
adalah kebijakan yang keberadaannya sangat tergantung pada kebijakan lainnya.
Dalam konteks kebijakan yang mempengaruhi pengembangan industri kakao yang
dirumuskan berdasarkan kinerja rantai pasok industri kakao, posisi kebijakan
insentif fiskal yang berada pada level teratas dapat dikatakan menjadi penentu
akhir berhasilnya pengembangan industri kakao. Hal ini sejalan dengan maksud
dari kebijakan fiskal yaitu mendukung kebijakan perekonomian nasional.
Pada pengembangan industri kakao terdapat paling tidak dua kelompok alat
kebijakan fiskal yaitu insentif dan dis-insentif fiskal. Insentif fiskal meliputi Tax
Allowance-Pengurangan PPh (PP 52/2011) untuk pembangunan dan perluasan
113
industri kakao (10731) dan industri olahan makanan mengandung coklat (10732);
dan Pembebasan Bea Masuk Impor Barang Modal untuk Kegiatan Penanaman
Modal Industri Pengolahan Kakao (PMK76/2012). Sementara itu untuk dis-
insentif fiskal diterapkan pengenaan bea keluar (BK) atas ekspor bijih kakao
sebesar maksimal 15% dalam rangka mendorong pengembangan industri
pengolahan kakao (PMK 75 Tahun 2012). Kedua jenis alat kebijakan fiskal
tersebut meskipun sangat mempengaruhi profil industri kakao Indonesia secara
umum, keberadaannya sangat bergantung pada keberhasilan kebijakan yang lain.
Sebagai contoh pada kasus suatu industri kakao yang sudah mapan ingin
melakukan perluasan industrinya dan membutuhkan pasokan gas alam, namun
permintaan gasnya tidak dipenuhi tetapi justru mengalami pengurangan pasokan
(AIKI, 5 april 2013, wawancara). Dalam kasus tersebut beberapa alat kebijakan
insentif fiskal tidak akan menyelesaikan persoalan yang dihadapi industri.
(1) Perbaikan infrastruktur jalan
(2) Perbaikan infrastruktur dan
manajemen pelabuhan
(5) Peningkatan produktivitas kebun
kakao
(7) Perluasan penerapan Wajib
SNI biji kakao
(8) Perluasan jaringan
telekomunikasi
(3) Pemberian insentif fiskal
pengembangan industri
(9) Penghapusan hambatan
perdagangan antar daerah
(6) Revitalisasi penyuluh pertanian/
perkebunan
(10) Penguatan kelembagaan petani
(pemasok kakao)
(4) Pemenuhan pasokan energi listrik
dan gas untuk industri
(11) Kerjasama pemerintah dan industri
dalam peningkatan penyuluhan dan
pendamping petani
Level 8
Level 7
Level 6
Level 5
Level 4
Level 3
Level 1
Level 2
Gambar 31 Diagram model struktural kebijakan pengembangan industri kakao
114
Selain dari itu, kebijakan perluasan penerapan Wajib SNI biji kakao (7),
perluasan jaringan telekomunikasi (8), dan kebijakan Penghapusan hambatan
perdagangan antar daerah (9) juga merupakan kebijakan yang keberadaannya
sangat tergantung dari keberhasilan kebijakan lainnya.
Penerapan Wajib SNI secara luas bertujuan untuk memperbaiki mutu kakao
pada seluruh mata rantai perdagangan biji kakao. Hal ini tidak terlepas dari
penerapan standar mutu kakao yang selama ini masih secara sukarela dan
longgarnya persyaratan mutu di dalamnya. Perluasan dalam pelaksanaan penerapan
standar mutu secara konsisten akan mendorong (mendidik) perbaikan mutu dan
secara bertahap dan akan memperbaiki citra mutu kakao di dalam perdagangan
global (Salam 2011; Wahyudi et al. 2008).
Kebijakan perluasan jaringan telekomunikasi termasuk dalam kebijakan yang
keberadaannya dipengaruhi kebijakan lainnya dalam model struktur kebijakan
pengembangan industri kakao. Hal tersebut karena komunikasi merupakan
aktivitas penyampaian informasi yang sangat penting dalam koordinasi untuk
peningkatan kinerja rantai pasok. Informasi yang semakin terintegrasi pada suatu
rantai pasok menyebabkan rantai pasok tersebut semakin efisien, terutama integrasi
informasi permintaan produk (Waller 2004). Integrasi informasi pada rantai pasok
diukur dengan ketersediaan integrasi informasi dalam rantai pasok. Dukungan
iklim usaha yang menunjang terjalinya komunikasi adalah melalui tersedianya
jaringan telekomunikasi secara luas hingga ke sentra-sentra produksi kakao.
Namun, keberadaan kebijakan perluasan jaringan telekomunikasi ini baru
akan efektif jika telah ada di perusahaan yang bersangkutan suatu sistem
koordinasi yang terintegrasi dan juga telah didahului dengan berbagai bentuk
kerjasama yang jelas antara industri dengan pemasoknya (yang di antaranya adalah
petani kakao di sentra-sentra produksi yang relatif terisolir).
Selanjutnya, kebijakan penghapusan hambatan perdagangan antar daerah
(berupa pungutan/retribusi) akan lebih memperlancar pasokan dan mengurangi
biaya pengiriman (CSP 2010). Kebijakan ini sudah memiliki payung hukum yaitu
Undang-undang No.28 tahun 2009 tentang Pajak dan Reribusi Daerah. Dalam
peraturan tersebut daerah harus menghapus pungutan yang menambah biaya
perdagangan antar daerah. Sebagaimana disebutkan pada bagian Penjelasan Umum
UU ini, dinyatakan bahwa pajak dan retribusi tidak boleh menyebabkan ekonomi
biaya tinggi dan/atau menghambat mobilitas penduduk, lalu lintas barang dan jasa
antar daerah dan kegiatan ekspor-impor. Pungutan seperti Retribusi atas izin masuk
kota, Retribusi atas pengeluaran/pengiriman barang dari suatu daerah ke daerah
lain dan pungutan atas kegiatan ekspor-impor tidak dapat dijadikan sebagai objek
Pajak atau Retribusi.
Hingga saat ini regulasi ini belum efektif dilaksanakan sehingga dalam
prakteknya masih ada daerah yang menerapkan pungutan dengan berbagai sebutan
untuk perdagangan antara daerah. Dengan demikian kebijakan penghapusan
hambatan perdagangan yang dimaksud adalah kebijakan yang melarang
Pemerintah Daerah menerapkan pungutan atas perdagangan komoditas biji kakao
antar daerah. Diharapkan dengan kebijakan tersebut akan dapat memperlancar
aliran barang (biji kakao) mengurangi biaya perdagangan dan mengefisienkan
rantai pasok kakao. Kebijakan ini sangat penting mengingat sebaran lokasi sentra
produksi biji kakao di berbagai wilayah (Pulau Sulawesi dan Sumatera) sementara
115
orientasi pengangkutan masih terpusat ke beberapa titik lokasi industri di pulau
Jawa.
Pada level kedua ditempati oleh kebijakan revitalisasi penyuluh
pertanian/perkebunan (6). Saat ini kondisi penyuluhan sedang mengalami
permasalahan berat menyangkut kelembagaan penyuluh di daerah. Sebenarnya
secara nasional Undang Undang No 16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan
sudah mendorong Pemerintah Daerah untuk mengorganisir penyuluh sesuai
dengan kebutuhan daerah. Namun berhadapan dengan pelaksanaan otonomi
daerah, kurangnya pemahaman dan prioritas daerah terhadap kelembagaan
penyuluh perkebunan menjadikan aspek penyuluhan pemerintah menjadi lemah
(Monty S Padmanagara, 14 Mei 2010 dan 13 Juli 2013, komunikasi pribadi).
Untuk itu kebijakan revitalisasi dimaksud adalah mengembalikan fungsi dan
mengefektifkan kepenyuluhan yang sebenarnya sudah ada pada kelembagaan
pemerintah melalui pembenahan kelembagaan pemerintah daerah --khususnya
daerah dengan potensi komoditas kakao yang besar-- berkenaan kemauan politik
untuk memprioritaskan penyuluhan yang memberdayakan dan menguatkan petani
kakao.
Kebijakan pada level ketiga yaitu kebijakan peningkatan produktivitas kebun
kakao (5). Kebijakan ini sebenarnya sedang berjalan berupa program Gernas
Kakao yang merupakan program pemerintah berdaya jangkau luas meskipun
cakupannya masih terbatas 30% luas lahan kakao Indonesia. Efektivitas program
ini sebagaimana dibahas pada bab 5 masih perlu untuk dilanjutkan mengingat
masih banyaknya kebun kakao yang belum tersentuh oleh program Gernas. Di
samping itu dihadapkan pada kondisi umur tanaman kakao yang sudah relatif tua
program ini sangat mendesak untuk dilanjutkan.
Kebijakan pada level keempat ditempati oleh kebijakan kerjasama
pemerintah dan industri dalam peningkatan penyuluhan dan pendamping petani
(11). Sedikit berbeda dengan kebijakan (6) yang merupakan murni peran
pemerintah (dan pemerintah daerah) di dalam kepenyuluhan, kebijakan (11) ini
menekankan adanya kerjasama sinergis antara swasta (industri kakao atau pihak-
pihak lain) dengan pemerintah dalam kegiatan penyuluhan dan pendampingan. Hal
ini bersifat lebih mendasar mengingat selama ini yang berperan dalam kegiatan
kepenyuluhan kakao di lapangan bukan lagi didominasi oleh penyuluh pemerintah.
Peran lembaga non pemerintah justru semakin menguat ditahun-tahun
terakhir seiring tuntutan pasokan biji kakao yang lebih baik mutu dan kuantitasnya.
Lembaga non pemerintah yang berperan dalam penyuluhan perkebunan kakao
rakyat bukan hanya lembaga nasional tetapi juga internasional. Dalam observasi
lapangan di Sulawesi Selatan terdapat banyak lembaga non pemerintah seperti
ASKINDO (Komite Operasional Alih teknologi), CSP (Cocoa Sustainability
Partnership), IFC (International Finance Corporation), ACIAR, USAID-
AMARTA, ACDI VOCA (dilanjutkan lembaga non pemerintah (NGO) lokal:
SICOS, SCORE ), beberapa industri dan eksportir juga berperan aktif seperti Mars
Symbioscience, Almajaro dan lain-lain.
Kegiatan-kegiatan penyuluhan dan transfer teknologi dan pemberdayaan
petani umumnya dilaksanakan melalui berbagai kegiatan berikut: pelatihan petani,
demonstrasi plot, pembibitan oleh petani/kelompok tani, pendampingan petani
dalam penerapan teknologi, kakao klinik, penguatan kelompok tani, penguatan
116
akses petani terhadap lembaga perbankan, dan penyebaran informasi harga melalui
SMS (ASKINDO Sulsel, Maret 2010, Wawancara).
Sebagaimana dibahas pada bagian sebelumnya (bab 5) permasalahan
penyuluh adalah alokasi dana untuk kegiatan penyuluhan mengalami kendala di
legislatif, jumlah SDM penyuluh masih terbatas dan mereka belum menguasai
perkakaoan karena sebagian besar penyuluh di Badan Pelaksana Peyuluhan berasal
dari keahlian non perkebunan. Untuk itu keberadaaan penyuluh yang ahli dan
trampil di bidang perkakaoan akan dapat mendukung kebijakan peningkatan
produktivitas kakao. Dengan kerjasama yang sinergis dalam kepenyuluhan yang
memiliki tujuan untuk memberdayakan petani, sekaligus juga memenuhi tujuan
dari industri untuk memperoleh bahan baku berkualitas dan berkesinambungan.
Kembali mencermati tingkatan kebijakan antara kebijakan level II, III dan IV
yang dalam peta matriks daya dorong-ketergantungan menempati tiga sektor yang
berbeda yaitu dependen, linkage, dan independen, menunjukan pentingnya
mengetahui prioritas kebijakan mana yang harus diutamakan untuk mencapai
keberasilan pengembangan industri kakao. Secara praktis dengan mengambil
contoh konkrit dari kebijakan pada level II, III dan IV dapat dinyatakan bahwa:
keberhasilan program Gernas Kakao (sebagai salah satu peningkatan produktivitas
kebun kakao) perlu kerjasama dengan industri (lembaga non pemerintah lainnya)
dalam penyuluhan dan pendampingan petani. Selanjutnya pola kerjasama yang
sinergis antara pemerintah dan industri dapat menjadi pola revitalisasi penyuluh
perkebunan pada lembaga pemerintah/daerah agar lebih efektif. Kegiatan-kegiatan
yang lebih kreatif yang telah dilaksanakan oleh lembaga non pemerintah
diharapkan dapat diadobsi oleh pemerintah dalam merevitalisasi penyuluh
perkebunan yang dimilikinya.
Kebijakan pada level kelima yaitu kebijakan pemenuhan pasokan energi
listrik dan gas untuk industri (4). Kebijakan level keenam yaitu kebijakan
perbaikan infrastruktur dan manajemen pelabuhan (2). Kebijakan level ketujuh
yaitu kebijakan penguatan kelembagaan petani (10).
Kebijakan level kedelapan yaitu kebijakan perbaikan infrastruktur jalan (1)
merupakan kebijakan yang paling dasar yang akan memberikan dorongan dan
dukungan pada kebijakan-kebijakan lainnya dalam pengembangan industri kakao.
Bersama-sama dengan kelompok kebijakan lainnya mulai dari kebijakan level
keempat hingga level kedelapan, kebijakan yang masuk di sektor IV dalam matriks
daya dorong–ketergantungan merupakan kebijakan yang memiliki daya dorong
kuat terhadap keberhasilan pengembangan industri kakao. Kebijiakan tersebut
tidak hanya berupa pembangunan fisik infrastruktur, namun juga non fisik yang
lebih mendorong penguatan dan pemberdayaan pemasok kakao yaitu petani kakao.
Kebijakan Perusahaan dalam Pengembangan Industri Kakao
Dengan cara yang sama analisis strukturisasi rumusan kebijakan perusahaan
untuk pengembangan industri kakao (Lampiran 9-11) menunjukkan bahwa
kebijakan penerapan teknologi informasi dalam perencanaan (kebijakan
perusahaan ke-6) merupakan puncak dari struktur kebijakan yang dapat dilakukan
perusahaan untuk meningkatkan kinerja rantai pasok agar industrinya berkembang.
Kebijakan ini keberhasilannya sangat ditentukan oleh kebijakan-kebijakan
perusahaan yang berada di level bawahnya. Sementara kebijakan peningkatan
117
kemampuan pemasok (kebijakan perusahaan ke-9) merupakan kebijakan dasar
untuk dapat mendukung kebijakan-kebijakan perusahaan yang lainnya dalam
meningkatkan kinerja rantai pasok.
Pada level kedua adalah kebijakan pemilihan lokasi pabrik yang lebih murah
(kebijakan perusahaan ke-2). Kebijkan ini untuk mengantisipasi kondisi jalan yang
macet atau rusak serta kondisi pelabuhan untuk pengiriman bahan baku dan barang
jadi yang lambat dan kurang memadai. Sementara kebijakan pada level ke tiga
adalah kebijakan penerapan streamline stock dan optimalisasi pengiriman
(kebijakan perusahaan ke-5). Kebijakan ini merupakan kebijakan untuk mengatasi
banyaknya bahan baku yang rusak setelah dikirim sampai ke pabrik serta seringnya
terjadi order produk yang tidak terlayani akibat tidak ada stok produk.
Penjadwalan pengiriman secara ketat (kebijakan perusahaan ke-7) untuk
mengatasi kurangnya penjadwalan pengiriman barang. Kebijakan ke-7 bersama
kebijakan ke-8 yaitu pemilihan pemasok dengan penetapan kriteria dan penerapan
standar budidaya termasuk kebijakan dengan kategori sebagai kebijakan pengkait.
Artinya bagi industri kakao yang menginginkan kinerja rantai pasoknya meningkat,
kegiatan penjadwalan pengiriman secara ketat dan pemilihan pemasok yang
disertasi penerapan standar budidaya merupakan rangkaian kebijakan yang
strategis dalam mendukung dan menarik kebijakan lainnya untuk berhasilnya
peningkatan kinerjarantai pasok industri kakao.
Pemilihan moda transportasi yang efisien (kebijakan perusahaan ke-1)
dilakukan untuk mengantisipasi jauhnya jarak sumber bahan baku ke industri
merupakan kebijakan level ke lima.
Kebijakan investasi teknologi proses pengolahan yang lebih fleksibel
(kebijakan perusahaan ke-3) bersama-sama dengan kebijakan pengelolaan
pemasok (kebijakan perusahaan ke-4) merupakan kebijakan level ke enam yang
memiliki daya dorong tinggi untuk keberhasilan mendukung kebijakan lainnya
dalam meningkatkan kinerja rantai pasok.
Validasi Model Perumusan Kebijakan Pengembangan Industri Kakao
Hasil rumusan kebijakan pengembangan industri kakao dan model struktur
antar kebijakan telah dilakukan validasi oleh pakar. Dengan menggunakan metode
validasi face validity pakar diminta untuk memberikan komentar terhadap rumusan
tersebut. Hasilnya menunjukkan bahwa kebijakan-kebijakan yang tersusun dalam
rumusan kebijakan pengembangan industri kakao berbasis kinerja driver rantai
pasok serta model struktur yang dihasilkan telah dapat menggambarkan tentang
apa yang seharusnya dilakukan untuk mengembangkan industri kakao di Indonesia.
Penekakan terhadap penggunaan kinerja driver rantai pasok sebagai dasar
dalam perumusan kebijakan pengembangan industri kakao dinilai telah dapat
memenuhi tuntutan nyata pengembangan industri yang dihadapi oleh investor atau
industri yang ada.
118
Simpulan
Desain model perumusan kebijakan pendukung pengembangan industri
kakao yang dihasilkan penelitian ini didasarkan pada kondisi kinerja driver rantai
pasok agar menjamin tercapainya kinerja rantai pasok industri kakao. Model yang
dikembangkan merupakan model konseptual yang menjelaskan relasi antar proses
perumusan kebijakan.
Hasil pengukuran indeks kinerja driver rantai pasok menunjukkan bahwa
secara umum industri kakao cenderung mengutamakan responsivitas untuk
keputusan menyangkut driver fasilitas, persediaan dan sourcing. Sementara untuk
driver transportasi dan informasi pada rantai pasok industri kakao lebih cenderung
mengutamakan efisiensi. Gambaran kecenderungan ini menjadi informasi penting
bagi pemerintah dalam memfasilitasi industri kakao untuk dapat meningkatkan
kinerja rantai pasok dan daya saingnya. Sementara itu, urutan driver berdasarkan
kesenjangan dimulai dari yang paling besar adalah driver fasilitas, inventori,
informasi, transportasi, dan sourcing.
Dari hasil strukturisasi rumusan kebijakan didapatkan delapan level dimana
kebijakan pemerintah pemberian insentif fiskal, perluasan penerapan wajib SNI
biji kakao, perluasan jaringan telekomunikasi, dan kebijakan penghapusan
hambatan perdagangan antar daerah merupakan empat kebijakan yang berada pada
level pertama. Hal ini berarti bahwa keberhasilan keempat kebijakan tersebut
sangat ditentukan oleh kebijakan lain di level bawahnya. Dalam konteks kebijakan
pendukung pengembangan industri kakao posisi kebijakan insentif fiskal adalah
kebijakan penentu akhir berhasilnya pengembangan industri kakao.
Terdapat tiga kebijakan yang memiliki relasi menarik dalam konteks
pengembangan industri kakao, dimana keberhasilan kebijakan peningkatan
produktivitas kebun kakao (kebijakan 5) sangat membutuhkan dukungan/dorongan
kerjasama yang sinergi dengan industri (kebijakan 11) dalam memberdayakan
petani kakao hingga dihasilkan kebun kakao yang produktif dan bermutu sesuai
tuntutan industri/ekspor. Selanjutnya keberhasilan kebijakan kerjasama penyuluhan
dan peningkatan produktivitas dapat mendorong revitalisasi lembaga penyuluhan
pemerintah (kebijakan 6).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kebijakan perbaikan infrastruktur
jalan merupakan kebijakan yang paling dasar yang memberikan dorongan dan
dukungan pada kebijakan-kebijakan lainnya dalam pengembangan industri kakao.
Bersama-sama dengan kelompok kebijakan di bidang infrastruktur yaitu perbaikan
infrastruktur jalan (termasuk jembatan), perbaikan infrastruktur dan manajemen
pelabuhan, dan pemenuhan pasokan infrastruktur energi (listrik dan gas)
diharapkan menjadi penghela kebijakan lainnya dalam pengembangan industri
kakao. Kebijiakan tersebut tidak hanya berupa pembangunan fisik infrastruktur,
namun juga non fisik yang lebih mendorong penguatan dan pemberdayaan
pemasok kakao yaitu petani kakao.
Kebijakan perusahaan untuk pengembangan industri kakao harus didasari
peningkatan kemampuan pemasok yang akan mendukung kebijakan-kebijakan
perusahaan yang lainnya dalam meningkatkan kinerja rantai pasok. Sementara
penerapan teknologi informasi dalam perencanaan merupakan kebijakan yang
keberhasilannya sangat ditentukan oleh kebijakan-kebijakan perusahaan lainnya
yang berada di level bawahnya.
119
Berdasarkan hasil validasi terhadap model perumusan kebijakan pendukung
pengembangan industri kakao menunjukkan bahwa kebijakan-kebijakan yang
tersusun dalam rumusan kebijakan serta model struktur yang dihasilkan telah dapat
menggambarkan tentang apa yang seharusnya dilakukan untuk mengembangkan
industri kakao di Indonesia. Dengan menekankan pada penggunaan kinerja driver
rantai pasok sebagai dasar dalam perumusan kebijakan dinilai telah dapat
memenuhi tuntutan nyata pengembangan industri yang dihadapi oleh investor atau
industri yang ada.
120
8 PEMBAHASAN UMUM
Sistematika pembahasan umum ini selain menyarikan hasil bahasan di setiap
bab juga menyajikan keterkaitan antar bab yang diorientasikan pada tujuan akhir
dari disertasi ini. Adapun rangkaian uraian pada bab pembahasan umum ini dapat
digambarkan dengan skema sebagaimana Gambar 32.
Penelitian ini didasari oleh kondisi Indonesia yang hampir dua dekade
sebagai pemasok utama biji kakao dunia, namun belum mampu mengambil nilai
tambah dari komoditi yang potensial ini. Berbagai kebijakan dan program telah
dikeluarkan untuk mencapai pertumbuhan sektor hilir kakao yang seimbang
dengan pertumbuhan di sektor hulu. Namun, perkembangan industri kakao dalam
negeri masih belum optimal mengingat sebagian besar kakao diekspor dalam
bentuk mentah dan belum diolah sehingga nilai tambah yang dihasilkan masih
rendah (Kemenperin 2011).
Dari keadaan tersebut muncul banyak pertanyaan, di antaranya: Apakah
benar kebijakan sangat menentukan perkembangan industri kakao? Apakah
kebijakan yang telah dikeluarkan tersebut mendukung atau justru menghambat?
Apakah dengan „membanjiri‟ pasokan bahan baku industri akan tumbuh? Faktor
apa yang mempengaruhi perkembangan industri kakao? Bagaimana pemerintah
sebagai pihak yang memfasilitasi pengembangan industri dapat memperoleh
informasi yang tepat terkait kondisi, keinginan, dan kecenderungan industri,
sehingga bisa mengambil keputusan secara lebih baik?
Jawaban atas pertanyaan yang diuraikan di atas dengan menggunakan
metode Analisis Kebijakan beragam permasalahan dirumuskan. Dengan
menguraikan secara terperinci diharapkan memperdalam pemahaman akan
kebijakan perkakaoan di Indonesia. Rumusan Bab 4 menunjukkan bahwa
perkembangan industri kakao berkaitan erat dengan kebijakan pemerintah. Hal ini
dapat dilihat dari naik turunnya jumlah industri kakao yang mengikuti kronologi
dikeluarkannya kebijakan pemerintah.
Jumlah industri sebelum tahun 2000 yang berjumlah sekitar 40 perusahaan
berkurang secara drastis menjadi 17 sejak adanya kebijakan pengenaan PPN 10%
terhadap bahan baku yang masuk ke industri pada tahun 2000. Dari tahun 2001
hingga tahun 2006 praktis tidak ada kebijakan yang mendukung perkembangan
industri kakao hingga dikeluarkannya kebijakan yang menghapus kebijakan
penerapan PPN 10% tahun 2007. Namun, dilaporkan tahun 2008 dari 17 pabrik
yang masih bertahan, hanya 4 pabrik yang bekerja mendekati kapasitas
terpasangnya, 9 pabrik lainnya berproduksi kurang dari 50% kapasitas terpasang,
bahkan 4 pabrik lainnya samasekali tidak berproduksi. Selanjutnya, kebijakan
diperkuat dengan Kebijakan Industri Nasional (Perpres, 2008) dan Kebijakan
Klaster Industri (Deperind, 2009b), yang mengatur industri-industri andalan masa
depan termasuk industri pengolahan kakao dan coklat.
Kebijakan yang hingga tahun 2013 masih menjadi isu utama dalam
pengembangan industri kakao adalah kebijakan Bea Keluar (BK). Kebijakan yang
bertujuan menjamin ketersediaan bahan baku, peningkatan nilai tambah dan daya
saing industri pengolahan kakao inipun masih memiliki permasalahan.
Permasalahan tersebut antara lain pasokan bahan baku yang mengalami penurunan
di tahun 2011 dan 2012. BK di satu sisi berdampak pada peningkatan pasokan biji
121
Gambar 32 Skema pembahasan umum
Perm
asa
lahan
Kebija
kan E
xist
ing
Kebun
Perd
agan
gan
Pengola
han
Dis
trib
usi Konsu
msi
Analis
is R
anta
i
Paso
k K
aka
o
Anggota
Meka
nis
me
Str
ukt
ur
Manaje
men R
anta
i
Paso
k K
aka
o
Kin
erja R
anta
i
Paso
k
Efis
iensi
Resp
onsi
vita
s
Kece
nde
rungan
Efis
ien/
Resp
onsi
f
Gap K
ondis
i
Kin
erja
Exi
stin
g d
an
Ideal
Rum
usa
n K
ebija
kan
Penelu
sura
n k
inerja
Ran
tai P
aso
k In
du
stri
Rum
usa
n
Kebija
kan
Tekn
ik IS
M
Identif
ikasi
hu
bungan
konte
kstu
al a
nta
r ke
bija
kan
Kebja
kan b
elu
m
ters
trukt
ur
R
um
usa
n M
asa
lah
S
ifat duku
ngan
kebija
kan
H
am
ba
tan
alir
an
P
ola
ide
al
Rum
usa
n K
ebija
kan
Pendu
kung P
engem
ban
gan
Indust
ri K
aka
o
Priorita
s F
akt
or
pengg
era
k yg
sig
nifi
kan
dlm
peng
em
bangan
IK
Fakt
or
penggera
k
(drive
r) k
inerja r
anta
i
paso
k ka
kao
Div
er
Kuesi
on
er
Sub d
rive
r
Inst
rum
ent penguku
r
kine
rja r
anta
i paso
k
Analis
is
P
enila
ian/
Penguku
ran
P
engelo
laan
K
ebija
kan
K
onfir
masi
P
engua
tan /
pene
gasa
n
S
angga
han
Valid
asi
hasi
l rum
usa
n Metrik kinerja
Permudah
pemahaman
Mengurangi
abstraksi
Kebija
kan
Pem
erin
tah
Kebija
kan
Peru
sah
aan
R
ela
si a
nta
r
kebija
kan
P
enst
rukt
ura
n
kebija
kan
BA
B 4
BA
B 5
BA
B 6
BA
B 7
PE
RM
AS
ALA
HA
N D
AN
KE
BIJ
AK
AN
PE
RK
AK
AO
AN
IND
ON
ES
IA
AN
ALI
SIS
RA
NTA
I PA
SO
K
KA
KA
O
IDE
NTI
FIK
AS
I DA
N D
EK
OM
PO
SIS
I
DR
IVE
R K
INE
RJA
M
OD
EL
PE
RU
MU
SA
N K
EB
IJA
KA
N P
EN
DU
KU
NG
PE
NG
EM
BA
NG
AN
IND
US
TRI K
AK
AO
BE
RB
AS
IS
KIN
ER
JA D
RIV
ER
RA
NTA
I PA
SO
K
122
kakao di dalam negeri, namun di sisi lain menekan harga di tingkat petani karena
banyaknya pasokan. Dampak berikutnya adalah petani kurang mendapatkan
insentif untuk memperbaiki budidayanya sehingga baik produksi maupun mutu
menjadi tertekan. Ditambah lagi dampak perubahan iklim berakibat pada
penurunan produksi akibat perubahan pola curah hujan dan kejadian iklim ekstrim
(Balitbangtan 2011).
Dari banyak kebijakan pengembangan industri kakao yang diambil oleh
pemerintah Indonesia, terlihat pemerintah lebih fokus pada pasokan bahan baku.
Sementara menurut Barghouti et al. (1993) justru ada lima kelemahan yang
dihadapi industri kakao di negara penghasil kakao, yaitu: sumber bahan baku
terbatas dari satu sumber; biaya pengolahan yang lebih mahal dibanding pabrik-
pabrik di Eropa; jauhnya jarak ke konsumen; penggunaan biji kakao tidak bermutu;
dan kurangnya jaminan pasokan biji kakao. Indonesia masih lebih berfokus pada
salah satu hal yaitu jaminan pasokan bahan baku. Sementara, aspek teknologi
industri agar lebih efisien yang menjadi kelemahan negara sedang berkembang
justru belum tertangani dengan baik. Lebih lanjut Barghouti et al. (1993) merinci
kendala spesifik yang harus diperhatikan adalah: biaya operasional yang lebih
tinggi dalam hal energi (harga perkilowatt dua kali lebih mahal di bandingkan
negara-negara di Eropa), tingkat suku bunga yang tinggi dan kepabeanan.
Sektor-sektor yang terkait dengan pegembangan industri hilir kakao di
Indonesia meliputi: sektor perindustrian, sektor keuangan, sektor pekerjaan umum,
sektor perhubungan dan telekomunikasi, sektor pertanian, sektor perdagangan, dan
sektor energi. Permasalahan umum yang dihadapi adalah sulitnya mensinergikan
kebijakan, sehingga perlu mendorong sinergi kebijakan dari sektor-sektor
pembangunan yang lain dalam mendukung pembangunan industri nasional
(Kemenperin 2010). Secara umum keseluruhan sektor tersebut dikoordinasikan
oleh sebuah kementerian koordinator.
Ditinjau dari sisi kebijakan, sektor keuangan melalui kebijakan fiskalnya
sangat mendominasi perkembangan industri kakao. Pengaruh tersebut dapat dilihat
dari perkembangan industri kakao secara kronologis mengikuti runtutan waktu
dikeluarkannya kebijakan fiskal. Sebaliknya justru peranan sektor inti (sektor
perindustrian) yang banyak berpengaruh adalah kebijakan pada tataran makro
berupa Kebijakan Industri Nasional. Sementara kebijakan yang mengarah pada
fasilitasi penguatan teknologi industri pada industri kakao skala besar belum
berkembang.
Kebijakan yang berskala mikro lebih banyak di sektor hulu. Program berdana
besar seperti Gernas Kakao tahun 2009-2011 merupakan contoh implementasi
perkuatan budidaya dan pascapanen kakao. Sungguhpun demikian, berhadapan
dengan perubahan iklim yang sedang melanda kawasan asia, usaha tersebut hanya
mampu mempertahankan tingkat produksi kakao Indonesia pada kisaran 500 ribu
ton pertahun dari tahun 2010-2012. Hal-hal tersebut di atas menunjukkan
kompleksitas permasalahan pengembangan industri baik yang dihadapi oleh
perusahaan/industri maupun pemerintah dalam mengkoordinasi kebijakan antar
lembaga yang belum sinergi. Kompleksitas tersebut membuat tidak mudahnya
merumuskan kebijakan yang efektif.
Dalam menguraikan kompleksitas permasalahan yang dihadapi, penelitian ini
mengambil sistem rantai pasok sebagai kerangka analisis untuk mengkaji
karakteristik pelaku yang terlibat, struktur dan mekanisme hubungan antar pelaku.
123
Analisis rantai pasok ini mengambil kasus pengembangan industri kakao di
Sulawesi Selatan yang merupakan provinsi penghasil biji kakao terbesar di
Indonesia. Posisi Sulawesi Selatan terhadap Indonesia memiliki kesamaan dengan
posisi Indonesia terhadap dunia. Sulawesi Selatan saat ini belum memperoleh nilai
tambah yang layak karena sebagian besar kakao diekspor ke industri pengolahan di
Pulau Jawa. Diharapkan dengan mengambil pelajaran dari kasus pengembangan
industri kakao di Sulawesi Selatan dapat dijadikan landasan pengembangan
industri kakao di Indonesia.
Hasil telaah literatur tentang faktor-faktor yang berpengaruh dalam
pengembangan industri kakao (Suprihatini 2004; Arsyad et al. 2011) diketahui
bahwa rantai pasok menjadi faktor penting. Hal ini sejalan dengan Beckett (2011)
yang menunjukkan bahwa kunci masalah dan tantangan pada pengembangan
industri kakao meliputi kualitas, keamanan pangan, traceability dan keberlanjutan
yang semuanya merupakan elemen penting dalam rantai pasok.
Hasil analisis rantai pasok kakao Sulawesi Selatan menyimpulkan bahwa
pengembangan industri kakao perlu membangun jaringan kemitraan dengan petani
atau koperasi/kelompok tani. Kemitraan yang dijalin untuk mengakomodir konsep
integratif yang berarti secara bersama mengatasi dan memberdayakan pelaku pada
jaringan yang terlemah. Metode pembentukan demplot di sentra produksi disertai
penyediaan penyuluh lapangan terbukti memberikan hasil biji kakao berkualitas
yang mendukung keberlanjutan (kuantitas dan kualitas) pasokan biji kakao industri.
Selain itu, mekanisme perdagangan yang adil dan lancar perlu didukung
kebijakan dalam hal: standar timbangan (metrologi), pengawasan perdagangan,
dan pembinaan perilaku pedagang, perbaikan infrastruktur jalan di sentra produksi
dan menderegulasi kebijakan pungutan/retribusi. Dukungan akses permodalan bisa
dikombinasikan dalam kemitraan dengan industri/eksportir, atau dengan
mendorong lembaga keuangan atau perbankan membuka akses kredit bagi petani
kakao.
Pelajaran yang bisa diambil dari kasus Sulawesi Selatan adalah bahwa
perluasan kemitraan memiliki peran strategis yang dapat memenuhi tuntutan baik
di sisi petani maupun industri. Meskipun demikian, ada sisi yang terkorbankan
yaitu pelaku perdagangan yang akan mengalami pengurangan pasar jika kemitraan
berlaku luas. Hal ini serupa dengan kebijakan BK yang memiliki dampak positif
terhadap industri karena pasokan melimpah, namun memiliki dampak negatif
tekanan harga di tingkat petani dan banyaknya eksportir yang harus menutup
usahanya karena tingginya biaya yang ditanggung jika mengekspor biji kakao.
Berkaca dari hasil analisis rantai pasok dalam aspek perdagangan,
seharusnya kemitraan yang diterapkan industri kakao dapat melibatkan para pelaku
lain pada pola perdagangan umum. Namun hal ini perlu prasyarat bahwa kebijakan
perbaikan di sektor perdagangan dapat berjalan dan program di sektor hulu secara
konsisten dapat diteruskan oleh pemerintah. Karena dengan luas lahan kakao yang
bertambah (menjadi 1.6 juta Ha tahun 2012), produktivitas yang masih rendah
(820kg/Ha tahun 2012) akan terbuka peluang peningkatan produksi sebagaimana
target pemerintah menjadikan Indonesia penghasil biji kakao terbesar di dunia
pada tahun 2014.
Dari identifikasi kebijakan sektoral bidang perkakaoan menunjukkan bahwa
meskipun telah dikoordinasi oleh suatu kementerian koordinator namun masih sulit
mensinergikan program agar tujuan pengembangan industri kakao tercapai.
124
Penelitian ini mengajukan suatu tinjauan dari sudut pandang industri yaitu rantai
pasok sebagai pertimbangan penting bagi industri untuk berkembang (dalam hal ini
menambah kapasitas pabrik atau investasi pembangunan pabrik baru).
Berdasarkan logika tersebut dalam pengembangan industri kakao, kinerja rantai
pasok (sebagai ukuran dari manajemen rantai pasok) seharusnya „mewarnai‟
rumusan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah agar ada kesesuaian antara
harapan dengan pemenuhan.
Pemahaman tentang pentingnya rantai pasok dalam pengembangan industri
kakao selanjutnya diperdalam dan diperkaya melalui studi identifikasi dan
dekomposisi driver kinerja rantai pasok. Penelitian pada bagian ini memfokuskan
pada faktor penggerak kinerja efisiensi dan responsivitas rantai pasok pada industri
kakao. Hal ini karena keputusan suatu perusahaan untuk mencapai daya saingnya
dilakukan dengan menentukan titik keseimbangan (trade off) antara responsivitas
dan efisiensi (Chopra dan Meindl 2007). Keputusan tersebut merupakan suatu
strategi yang paling sesuai dengan tujuan perusahaan dalam menghadapi kondisi
internal dan eksternal. Industri kakao sebagaimana industri pada umumnya
menggunakan strategi tersebut untuk mencapai daya saing yang tinggi. Produk
yang dihasilkan industri kakao termasuk produk inovatif karena prosesnya yang
membutuhkan kontrol yang ketat berdasarkan beragam kriteria. Penyesuaian
terhadap variasi jenis bahan baku, orientasi tujuan akhir pengolahan kakao
(minuman, makanan, dll), tuntutan selera konsumen, dan variasi pilihan teknologi
serta kapasitasnya merupakan area kontrol yang harus diantisipasi oleh industri
kakao. Oleh karena itu kemampuan respon terhadap faktor eksternal sangat
dibutuhkan. Di samping itu, persaingan di pasar global yang tidak terhindarkan
menuntut efisiensi yang tinggi untuk memenangi persaingan itu.
Melalui kajian literatur secara komprehensif, telah dapat diidentifikasi driver
dan sub driver dengan meninjau relevansinya dengan industri kakao. Hasilnya
diperoleh masing-masing 5 driver untuk aspek efisiensi dan responsivitas. Kelima
`driver tersebut adalah fasilitas, persediaan, transportasi, sourcing, dan informasi.
Sedangkan sub-driver yang berhasil diuraikan sebanyak 35 peubah untuk aspek
efisiensi dan 27 peubah sub driver untuk aspek respsonsivitas. Hasil dekomposisi
telah direview oleh pakar di bidang industri perkebunan untuk selanjutnya
dijadikan instrumen untuk mengukur kinerja rantai pasok industri kakao dan
instrumen penilaian bobot kepentingan driver dan sub driver.
Instrumen pengukuran selanjutnya digunakan untuk pengukuran kinerja
rantai pasok industri kakao. Pengumpulan data dilakukan dengan survei ke pabrik-
pabrik pengolahan kakao, yang diisi oleh pihak yang memahami rantai pasok
perusahaan. Di sisi lain dengan metode AHP dilakukan proses akuisisi penilaian
pakar untuk menentukan bobot kepentingan aspek (efisiensi dan responsivitas),
driver dan sub-driver kinerja rantai pasok. Perhitungan Weighted Scoring Model
yang merupakan perkalian skor penilaian industri dikalikan bobot driver dan sub
driver menghasilkan Indeks Kinerja Rantai Pasok Efisiensi dan Responsivitas
Industri Kakao.
Hasil analisis kecenderungan terhadap pencapaian kinerja rantai pasok
menunjukkan bahwa untuk driver fasilitas, inventori dan sourcing industri kakao
cenderung mengutamakan responsivitas. Sedang untuk driver transportasi dan
informasi industri kakao lebih cenderung mengutamakan efisiensi.
125
Indeks kinerja rantai pasok total industri kakao menunjukkan kesenjangan
yang hampir merata pada seluruh driver rantai pasok. Sementara itu, dari Analisis
Gap diperoleh nilai indeks total kinerja rantai pasok sebesar 29.75 masih jauh dari
nilai ideal 45.00 yang mengindikasikan perlunya pembenahan atau perbaikan
segera pada seluruh driver. Secara berurutan kondisi indeks kinerja driver dari
yang kesenjangannya paling besar yaitu: fasilitas, inventori, informasi, transportasi,
dan sourcing. Gap yang terjadi pada setiap driver juga mengindikasi prioritas
penanganan atau pembenahan terhadap kelemahan yang ada.
Dari hasil penelusuran terhadap driver dan sub driver yang berkinerja rendah
(dalam hal ini skor kurang dari 5) dapat disusun suatu kebijakan internal industri
itu sendiri dan kebijakan pemerintah. Hasil rumusan kebijakan dapat dirangkum
menjadi tigabelas kebijakan pengembangan industri kakao. Ketigabelas kebijakan
tersebut mencakup sektor hulu sampai hilir, sehingga dalam implementasi tetap
diperlukan koordinasi dan sinergi untuk efektivitasnya.
Untuk dapat melakukan koodinasi secara sistematis dengan tujuan
mensinergikan kebijakan, perlu diketahui relasi antar kebijakan. Dengan analisis
relasi akan diketahui karakteristik, struktur dan keterkaitan antar kebijakan untuk
mencapai efektivitas kebijakan. Menurut Hoogerwerf (1983) akurasi rumusan
kebijakan dan kelengkapan informasi yang dimiliki, serta dukungan publik
terhadap kebijakan yang dikembangkan menjadi penentu efektivitas kebijakan.
Untuk memetakan relasi dan mempertajam akurasi rumusan kebijakan
digunakan teknik ISM (Intepretive Structural Modelling). Kebijakan
pengembangan industri kakao yang sebelumnya tidak diketahui peta hubungannya
dapat dirumuskan menjadi kebijakan yang memiliki struktur keterkaitan atau
ketergantungan yang jelas. Dengan rechability matrix dapat ditentukan rangking
alternatif kebijakan yang ada sehingga diketahui kebijakan-kebijakan apa yang
menjadi kunci keberhasilan program.
Dari model perumusan kebijakan dalam penelitian ini diperoleh rumusan
kebijakan pengembangan industri kakao yang berbasis pada kinerja driver rantai
pasok. Dengan teknik ISM, alternatif kebijakan pengembangan industri kakao yang
sebelumnya tidak diketahui strukturnya dapat dirumuskan menjadi kebijakan yang
memiliki struktur keterkaitan atau ketergantungan yang jelas.
Dari hasil strukturisasi rumusan kebijakan didapatkan delapan level dimana
kebijakan pemerintah Pemberian insentif fiskal untuk pengembangan industri,
Perluasan penerapan Wajib SNI biji kakao, Perluasan jaringan telekomunikasi, dan
kebijakan Penghapusan hambatan perdagangan antar daerah merupakan empat
kebijakan yang berada pada level pertama. Artinya kebijakan tersebut adalah
kebijakan yang keberadaannya sangat tergantung pada kebijakan lainnya.
Dalam konteks kebijakan pengembangan industri kakao posisi kebijakan
insentif fiskal adalah kebijakan penentu akhir berhasilnya pengembangan industri
kakao. Hal ini sejalan dengan maksud dari kebijakan fiskal yaitu mendukung
kebijakan perekonomian nasional.
Hasil pemetaan kebijakan menunjukkan bahwa seluruh rumusan kebijakan
memiliki keterkaitan hubungan. Terdapat tiga kebijakan yang memiliki relasi
menarik dalam konteks pengembangan industri kakao, yaitu relasi kebijakan 6, 5,
dan 11. Keberhasilan kebijakan peningkatan produktivitas kebun kakao (kebijakan
5) sangat membutuhkan dukungan/dorongan kerjasama yang sinergi dengan
industri (kebijakan 11) dalam memberdayakan petani kakao hingga dihasilkan
126
kebun kakao yang produktif dan bermutu sesuai tuntutan industri/ekspor.
Selanjutnya keberhasilan kebijakan kerjasama penyuluhan dan peningkatan
produktivitas diharapkan dapat mendorong revitalisasi lembaga penyuluhan
pemerintah (kebijakan 6) yang kondisinya masih lemah.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kebijakan perbaikan infrastruktur
jalan merupakan kebijakan yang paling dasar yang akan memberikan dorongan dan
dukungan pada kebijakan-kebijakan lainnya dalam pengembangan industri kakao.
Bersama-sama dengan kelompok kebijakan di bidang infrastruktur yaitu perbaikan
infrastruktur jalan (termasuk jembatan), perbaikan infrastruktur dan manajemen
pelabuhan, dan pemenuhan pasokan infrastruktur energi (listrik dan gas)
diharapkan menjadi penghela kebijakan lainnya dalam pengembangan industri
kakao. Kebijakan tersebut tidak hanya berupa pembangunan fisik infrastruktur,
namun juga non fisik yang lebih mendorong penguatan dan pemberdayaan
pemasok kakao yaitu petani kakao.
Dengan tata cara yang sama strukturisasi rumusan kebijakan perusahaan
untuk pengembangan industri kakao (Lampiran 9-11) menunjukkan bahwa
kebijakan penerapan teknologi informasi dalam perencanaan (kebijakan
perusahaan ke-6) merupakan kebijakan yang berada di puncak dari struktur
kebijakan perusahaan untuk meningkatkan kinerja rantai pasok. Kebijakan ini
keberhasilannya sangat ditentukan oleh kebijakan-kebijakan perusahaan yang
berada di level bawahnya. Sementara kebijakan peningkatan kemampuan pemasok
(kebijakan perusahaan ke-9) merupakan kebijakan dasaruntuk dapat mendukung
kebijakan-kebijakan perusahaan yang lainnya dalam meningkatkan kinerja rantai
pasok.
Berdasarkan validasi hasil rumusan kebijakan menunjukkan bahwa kebijakan
tersebut dapat diterima sebagai upaya pengembangan industri kakao dengan
penekanan pada peningkatan kinerja rantai pasok dan daya saing industri kakao.
127
9 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Permasalahan perkakaoan di sektor hulu adalah produktivitas rendah dan
mutu biji belum standar, dan kurangnya pendanaan perawatan kebun. Sementara
itu, permasalahan pada rantai perdagangan biji kakao adalah tersebarnya sentra
produksi, kondisi jalan poros yang kurang memadai, kondisi jalan di sentra
produksi yang kurang baik, pungutan terhadap perdagangan antar daerah, dan
informasi harga yang terdistorsi. Pada sektor hilir permasalahan yang dihadapi
adalah masih rendahnya daya serap (kapasitas) industri. Pemerintah telah
memperbaiki beberapa kebijakan yang menghambat, namun proses bangkitnya
industri kakao masih belum optimal.
Dari berbagai kebijakan untuk mendorong pengembangan industri kakao,
terlihat kebijakan sektor keuangan khususnya kebijakan fiskal dan perpajakan
mendominasi perkembangan industri kakao Indonesia. Sementara kebijakan di
bidang infrastruktur seperti jalan, jembatan, pelabuhan dan pasokan energi berupa
gas alam dan energi listrik dari sisi industri masih dinilai belum memenuhi harapan.
Dari analisis rantai pasok kakao diketahui bahwa nilai inefisiensi akibat pola
perdagangan umum kakao di Sulawesi Selatan mencapai Rp2.044/kg kakao.
Sementara itu, nilai inefisiensi rantai pasok akibat distorsi informasi harga, kakao
dan perilaku pelaku perdagangan kakao mencapai Rp3.950/kg kakao. Nilai
inefisiensi tersebut akan mengurangi harga yang diterima petani.
Pengembangan industri pengolahan kakao dapat dicapai dengan
mengefektifkan dan mengefisienkan rantai pasok kakao. Membangun kemitraan
dengan pemasok (petani atau koperasi/kelompok tani) merupakan bentuk kegiatan
yang secara bersama mengatasi dan memberdayakan pelaku pada jaringan yang
terlemah. Metode kemitraan yang diikuti sarana pelatihan demplot di sentra
produksi disertai fasilitator/penyuluh lapangan terbukti memberikan hasil biji
kakao berkualitas yang mendukung keberlanjutan (kuantitas dan kualitas) pasokan
biji kakao industri. Dengan pola kemitraan tersebut akan memberi manfaat berupa
harga pada tingkat petani lebih tinggi 22% dibanding pola umum.
Dari proses dekomposisi driver kinerja rantai pasok diperoleh masing-
masing 5 driver untuk aspek efisiensi dan responsivitas. Kelima driver tersebut
adalah fasilitas, persediaan, transportasi, sourcing, dan informasi. Sedangkan sub-
driver yang berhasil diurai sebanyak 35 peubah sub driver untuk aspek efisiensi
dan 27 peubah sub driver untuk aspek respsonsivitas.
Hasil pengukuran indeks kinerja driver rantai pasok menunjukkan bahwa
secara umum industri kakao cenderung mengutamakan responsivitas untuk
keputusan menyangkut driver fasilitas, persediaan dan sourcing. Sementara untuk
driver transportasi dan informasi pada rantai pasok industri kakao lebih cenderung
mengutamakan efisiensi. Gambaran kecenderungan ini menjadi informasi penting
bagi pemerintah dalam memfasilitasi industri kakao untuk dapat meningkatkan
kinerja rantai pasok dan daya saingnya. Sementara itu, urutan driver berdasarkan
kesenjangan dimulai dari yang paling besar adalah driver fasilitas, inventori,
informasi, transportasi, dan sourcing.
128
Dari hasil strukturisasi rumusan kebijakan didapatkan delapan level dimana
kebijakan pemerintah pemberian insentif fiskal, perluasan penerapan wajib SNI
biji kakao, perluasan jaringan telekomunikasi, dan kebijakan penghapusan
hambatan perdagangan antar daerah merupakan empat kebijakan yang berada pada
level pertama. Hal ini berarti bahwa keberhasilan keempat kebijakan tersebut
sangat ditentukan oleh kebijakan lain di level bawahnya. Dalam konteks kebijakan
pendukung pengembangan industri kakao posisi kebijakan insentif fiskal adalah
kebijakan penentu akhir berhasilnya pengembangan industri kakao.
Terdapat tiga kebijakan yang memiliki relasi menarik dalam konteks
pengembangan industri kakao, dimana keberhasilan kebijakan peningkatan
produktivitas kebun kakao (kebijakan 5) sangat membutuhkan dukungan/dorongan
kerjasama yang sinergi dengan industri (kebijakan 11) dalam memberdayakan
petani kakao hingga dihasilkan kebun kakao yang produktif dan bermutu sesuai
tuntutan industri/ekspor. Selanjutnya keberhasilan kebijakan kerjasama penyuluhan
dan peningkatan produktivitas dapat mendorong revitalisasi lembaga penyuluhan
pemerintah (kebijakan 6).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kebijakan perbaikan infrastruktur
jalan merupakan kebijakan yang paling dasar yang memberikan dorongan dan
dukungan pada kebijakan-kebijakan lainnya dalam pengembangan industri kakao.
Bersama-sama dengan kelompok kebijakan di bidang infrastruktur yaitu perbaikan
infrastruktur jalan (termasuk jembatan), perbaikan infrastruktur dan manajemen
pelabuhan, dan pemenuhan pasokan infrastruktur energi (listrik dan gas)
diharapkan menjadi penghela kebijakan lainnya dalam pengembangan industri
kakao. Kebijiakan tersebut tidak hanya berupa pembangunan fisik infrastruktur,
namun juga non fisik yang lebih mendorong penguatan dan pemberdayaan
pemasok kakao yaitu petani kakao.
Untuk kebijakan perusahaan, kebijakan penerapan teknologi informasi dalam
perencanaan merupakan kebijakan level teratas dalam struktur kebijakan
perusahaan untuk meningkatkan kinerja rantai pasok agar industrinya berkembang.
Kebijakan ini keberhasilannya sangat ditentukan oleh kebijakan-kebijakan
perusahaan yang berada di level bawahnya. Sementara kebijakan peningkatan
kemampuan pemasok merupakan kebijakan dasar untuk dapat mendukung
kebijakan-kebijakan perusahaan yang lainnya dalam meningkatkan kinerja rantai
pasok.
Berdasarkan hasil validasi terhadap model perumusan kebijakan pendukung
pengembangan industri kakao menunjukkan bahwa kebijakan-kebijakan yang
tersusun dalam rumusan kebijakan serta model struktur yang dihasilkan telah dapat
menggambarkan tentang apa yang seharusnya dilakukan untuk mengembangkan
industri kakao di Indonesia. Dengan menekankan pada penggunaan kinerja driver
rantai pasok sebagai dasar dalam perumusan kebijakan dinilai telah dapat
memenuhi tuntutan nyata pengembangan industri yang dihadapi oleh investor atau
industri yang ada.
129
Saran
Pada dasarnya pengukuran kinerja rantai pasok industri kakao dalam
penelitian ini dapat diimplementasikan pada rantai pasok industri selain kakao.
Model pengukuran tersebut dapat digunakan dengan baik sepanjang: 1) aktivitas
rantai pasok yang dilakukan perusahaan cukup lengkap dan sesuai dengan lingkup
dalam model; 2) adanya personil perusahaan yang memiliki pemahaman terhadap
rantai pasok perusahaan bersangkutan; 3) data skor yang diberikan mengenai
kondisi kinerja rantai pasok mencerminkan keadaan/kenyataan rantai pasok
perusahaan.
Untuk memperdalam kajian driver rantai pasok disarankan untuk memilih
pakar sesuai dengan ranah driver rantai pasok yang dibahas. Misalnya pakar
dibidang infrastruktur untuk membahas driver fasilitas, pakar di bidang inventori
untuk driver inventori dan seterusnya. Hal ini untuk mempertajam tinjauan tentang
driver rantai tersebut sekaligus dapat memperbaiki tingkat relevansi antara konsep
dan metrik pengukurannya.
.
130
DAFTAR PUSTAKA
Alam A. 2009. Foreign direct investment and supply chain capability of nations: a
conceptual and empirical analysis [disertasi]. Washington DC (US): The Faculty of
the School of Business, The George Washington University. Amoro G, Shen Y. 2012. The determinants of agricultural export: cocoa and rubber in
cote d'ivoire. Int J Econ Financ. 5(1):228-233.
Arshinder, Kanda, Deshmukh SG. 2008. Development of a decision support tool for
supply chain coordination using contracts. J Advances in Manag Res. 5(2): 20-41.
Arsyad M. 2013. Penguatan kelembagaan menuju kesejahteraan petani: pengalaman
dari kondisi terkini petani kakao di Sulawesi. Di dalam: Simposium Nasional
Ekonomi Kakao: Meningkatkan daya saing kakao untuk mewujudkan
kesejahteraan petani dan pelaku usaha lain; Perhimpunan Ekonomi Pertanian
Indonesia (PERHEPI) bekerjasama dengan Fakultas Pertanian dan Program
Pascasarjana Universitas Haluoleo; 2013 Feb 12-13; Kendari (ID): PERHEPI.
Arsyad M, Sinaga BM, Yusuf S. 2011. Analisis dampak kebijakan pajak ekspor dan
subsidi harga pupuk terhadap produksi dan ekspor kakao Indonesia pasca Putaran
Uruguay. J Sos Ekon Pert 8(1).
Arsyad M, Kawamura Y. 2009. A poverty causal model of cocoa smallholders in
indonesia: some initial findings from south sulawesi. Ryukoku Journal of
Economic Studies. 49(2):1-27.
Austin JE. 1992. Agroindustrial project analysis: critical disign factors; published for
the economic development institute of the world bank. Ed ke-2. Washington DC
(US): The John Hopkins University Pr.
Salam AR. 2011. Kesiapan produk agrobase/prepared foodstuff menghadapi
harmonisasi standar ASEAN. Jurnal Standardisasi 13(2):141–154.
[Balitbangtan] Badan Penelititan dan Pengembangan Pertanian. 2011. Pedoman
umum adaptasi perubahan iklim sektor pertanian. Jakarta (ID): Kementerian
Pertanian.
Barghouti SM, Cromwell E, Pritchard AJ. 1993. Agricultural technologies for
market-led development opportunities in the 1990s, World Bank.
Bauhoff N. 2003. Warehouse management technology: Is the industry ready?
Beverage Industry. 94(10):58-59.
Barbour P. 2005. An assessment of South Africa’s investment incentive regime with a
focus on the manufacturing sector. London (UK): ESAU Overseas Development
Institute.
Beamon BM. 1996. Performance measures in supply chain management. Di dalam:
Proceedings of the 1996 Conference on Agile and Intelligent Manufacturing
Systems; 1996 Okt 2-3; New York, USA (US): Rensselaer Polytechnic Institute
Troy.
[BKF-PKPN]. Badan Kebijakan Fiskal - Pusat Kebijakan Pendapatan Negara. 2012.
Kajian perkembangan perekonomian kakao nasional pasca pengenaan bea keluar
biji kakao. Jakarta (ID): Kementerian Keuangan Republik Indonesia.
Beamon BM. 1999. Measuring supply chain performance. Int J Oper Prod Manag.
19(3):275 – 292. doi: 10.1108/01443579910249714.
Beckett ST. 2011. Industrial chocolate manufacture and use. Wiley
Beheshti HM. 2010. A decision support system for improving performance of
131
inventory management in a supply chain network. Int J Prod Perform Manag.
59(5): 452-467.
Bingham RD. 1998. Industrial policy american style: From Hamilton to HDTV. New
York (US): ME Sharpe, Inc.
Blackburn J, Scudder G. 2009. Supply chain strategies for perishable products: the
case of fresh produce. Prod Oper Manag. 18(2): 129-137.doi:3110.3401/
poms.1080.01016.
Boulaksil Y, Fransoo JC, Halm van ENG. 2007. Setting safety stocks in multi-stage
inventory systems under rolling horizon mathematical programming models. OR
Spectrum. 31:121–140.doi: 10.1007/s00291-007-0086-3.
Brewer PC, Speh TW. 2000. Using the balanced scorecard to measure supply chain
performance. J Bus Logist. 21:75
Brown JE. 1994. Agroindustrial investment and operations. New York (US): World
Bank Publications.
Busch L. 2000. The moral economy of grades and standards. J Rural Studies. 16:
273–283.
Chandler RC, Plano JC. 1988. The public administration dictionary. Ed ke-2. Santa
Barbara (US): ABC-Clio.
Charan P, Shankar R, dan Baisya RK. 2008. Analysis of interactions among the
variables of supply chain performance measurement system implementation.
Bussiness Process Manag J. 14(4):512-529. doi: 10.1108/14637150810888055.
Checkland P. 1995. Soft Systems Methodology and its relevance to the development of
information systems. In Information Systems Provision: the Contribution of Soft
Systems Methodology, Stowell FA (ed.). London (GB): McGraw-Hill.
Chopra S, Meindl P. 2007. Supply chain management: strategy, planning and
operations. Ed ke-3. Upper Saddle River, NJ (US): Pearson Prentice Hall.
Cook LS, Heiser DR, Sengupta K. 2011. The moderating effect of supply chain role
on the relationship between supply chain practices and performance: an empirical
analysis. Int J Phys Distrib Logist Manag. 41(2):104-134. doi:10.1108/
09600031111118521.
[CSP] Cocoa Sustainability Partnership. 2010. Policy assessment, reform
prioritization and policy recommendation for cocoa sector. Di dalam : Proceeding
Seminar Workshop Isu dan Kebijakan Pengembangan Kakao di Sulawesi Selatan;
2010 Jun 1; Makassar, Indonesia (ID):CSP.
Delis A. 2008. Peran infrastruktur sebagai pendorong dinamika ekonomi sektoral dan
regional berbasis pertanian [disertasi] Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
[Deperind] Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia - Departemen Perindustrian.
2009a. Peraturan Menteri Perindustrian RI No. 113/M-IND/PER/10/2009 tanggal
14 Oktober 2009 tentang Peta Panduan (Road Map) Pengembangan Klaster
Industri Kakao. Jakarta (ID): Departemen Perindustrian RI
[Deperind] Departemen Perindustrian. 2009b. Direktorat Jenderal Industri Agro dan
Kimia - Departemen Perindustrian: Peraturan Menteri Perindustrian RI No.
113/M-IND/PER/10/2009 tanggal 14 Oktober 2009 tentang peta panduan (road
map) pengembangan klaster industri kakao. Jakarta (ID): Departemen
Perindustrian RI
[Deperind] Departemen Perindustrian. 2009b. Statistik departemen perindustrian:
perkembangan industri makanan 2006-2008. Jakarta: Departemen Perindustrian.
Dıaz MR, Rodrıguez TFE. 2006. Redesigning the supply chain: reengineering,
132
outsourcing, and relational capabilitiesn. Bus Proc Manag J. 12(4):483-502.
doi.10.1108/14637150610678087
[Ditjenbun] Direktorat Jenderal Perkebunan, Departemen Pertanian. 2010. Statistik
perkebunan 2008-2010. Jakarta: Direktorat Jenderal Perkebunan, Departemen
Pertanian
Dunn WN. 1999. Pengantar analisis kebijakan publik. Yogyakarta (ID): Gajah Mada
Univ. Pr.
Cook LS, Heiser DR, Sengupta K. 2011. The moderating effect of supply chain role
on the relationship between supply chain practices and performance: an empirical
analysis. Int J Phys Distrib Logist Manag. 41(2):104-134.doi:10.1108/
09600031111118521.
Dye TR. 1981. Understanding public policy. Englewood Cliffs, NJ (US): Prentice-
Hall.
Elizabet R. 2008. Penguatan dan pemberdayaan kelembagaan petani. Bogor (ID):
Pusat Analisa Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Departemen Pertanian.
Ellegaard C. 2008. Supply risk management in a small company perspective. SCM:
Int J. 13(6): 425–434.doi: 10.1108/13598540810905688.
Eriyatno. 2003. Ilmu Sistem: Meningkatkan mutu dan efektivitas manajemen. Ed ke-3.
Bogor (ID): IPB Pr.
[FAO] Food and Agriculture Organization of the United Nations. 2009. Agro-
industries for development. Ed: Carlos A. da Silva et al. Published jointly by CAB
International and FAO. Rome (IT): FAO.
Frayret JM, Amours SD, Rousseau A, Harvey S, Gaudreault J. 2007. Agent-based
supply-chain planning in the forest products industry. Int J Flex Manuf Syst.
19:358–391.doi: 10.1007/s10696-008-9034-z.
Grigg N, Fontane G, Darrel. 2000. Infrastructure system management and
optimization. Di dalam Seminar Internasional Paradigm and Strategy of
Infrastructure Management. Semarang (ID): Civil Engeenering Depart Univ
Diponegoro.
Gürel E, Kavak B. 2010. A conceptual model for public relations in museums.
European Journal of Marketing. 44(1):42-65. doi:http://dx.doi.org/
10.1108/03090561011008600
Harrington JW, Warf B. 1995. Industrial location: principles, practice, and policy.
London (GB): Routledge Harris CD 1954.
Henson SJ, Reardon T. 2005. Private agrifood standards: implications for food policy
and the agrifood system. Food Policy. 30(3):241–253.
Herawati T. 2011. Hutan Tanaman Rakyat: Analisis proses perumusan kebijakan dan
rancang bangun model konseptual kebijakan [disertasi]. Bogor (ID): Program
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Hoogerwerf A. 1983. Ilmu pemerintahan. Terjemahan RLL Tobing. Jakarta:
Erlangga.
Hugos MH. 2010. Essentials of supply chain management. Ed ke-2. New Jersey: J
Wiley.
[ICCO] International Cocoa Organization. 2011. Annual report 2010/2011. London
(GB): ICCO
Islamy I. 1997. Prinsip-prinsip perumusan kebijaksanaan negara. Jakarta (ID): Bumi
Aksara.
Jahre M, Hatteland CJ. 2004. Packages and physical distribution: Implications for
133
integration and standardisation. Int J Phys Distrib Logist Manag. 34(2): 123-139.
Jaya R, Machfud, Ismail M. 2011. Aplikasi teknik ISM dan ME-MCDM untuk
identifikasi posisi pemangku kepentingan dan alternatif kegiatan untuk perbaikan
mutu kopi gayo. J. Tek. Ind. Pert. 21(1):1-8
Jones CO. 1984. An Introduction to The Study of Public Policy. Brooks/Cole Pub. Co.
Keban YT. 2004. Enam dimensi strategis administrasi publik: konsep, teori dan isu.
Jakarta (ID): Gava Media.
[Kemenhub] Kementerian Perhubungan Republik Indonesia. 2010. Keputusan
Menteri Perhubungan Nomor: KM 7 Tahun 2010 tentang Rencana Strategis
Kementerian Perhubungan Tahun 2010 – 2014. Jakarta (ID): Kementerian
Perhubungan.
[Kemenperin]. Kementerian Perindustrian Republik Indonesia. 2010. Peraturan
Menteri Perindustrian RI Nomor: 151/M-IND/PER/12/2010 tentang Rencana
Strategis Kementerian Perindustrian 2010-2014. Jakarta (ID): Kementerian
Perindustrian.
[Kemenperin]. Kementerian Perindustrian Republik Indonesia. 2012. Publikasi data
industri. Jakarta (ID): Humas Kementerian Perindustrian.
[Kemenperin]. Kementerian Perindustrian Republik Indonesia. 2013. Laporan
perkembangan kemajuan program kerja kementerian perindustrian tahun 2004-
2012. Jakarta (ID): Humas Kementerian Perindustrian.
[Kemenperin]. Kementerian Perindustrian Republik Indonesia. 2011. Publikasi data
industri. Jakarta (ID): Humas Kementerian Perindustrian.
[Kementerian ESDM] Kementerian ESDM Republik Indonesia. 2010. Rencana
Strategis Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral Tahun 2010-2014. Jakarta
(ID): Kementerian ESDM.
Kristanto I H. 2004. Konsep dan perancangan database. Yogyakarta (ID):Penerbit
Andi.
Lambert DM, Cooper MC. 2000. Issues in supply chain management. Industrial
Marketing Manag. 29: 65–83.
Lambert DM, Guinipero LC, Ridenhower GJ. 1998. Supply Chain Management: A
Key to Achieving Bussiness Excelence in the 21st Century. Unpublished
manuscript (1998).
Lambert DM. 2004. The eight essential supply chain management processes. Supply
Chain Manag Review 8(6):18.
Lambert DM. 2008. Supply chain management: processes, partnerships,
performance, Ed ke-3. Sarasota FL (US): Supply Chain Management Institute.
Lamming RC, Caldwell ND, Harrison DA, Phillips W. 2001. Transparency in supply
relationships: concept and practice. J SCM. 37:4-10.
Lau HCW, Lee CKM, Ho GTS, Ip WH, Chan FTS, Ip RWL. 2006. M-commerce to
support the implementation of a responsive supply chain network. Supply Chain
Manag. 11:169-178.doi: 10.1108/13598540610652564.
Levi DS, Kaminsky N, Levi S. 2002. Designing and managing the supply chain:
concepts, strategies, and case studies. Ed. Ke-2. McGraw-Hill.
Li L. 2007. Supply chain management: concepts, techniques and practices enhancing
value through collaboration. Danvers (US): World Scientific Publishing Co Pte
Ltd.
Lipsey R, Chrystal A. 2011. Economics. London (GB): Oxford Univ Pr.
Liu J. 2010. Breaking the ice between government and business: from it-enabled
134
control procedure redesign to trusted relationship building [disertasi]. Delft (NL):
Vrije Univ Amsterdam.
Machfud. 2001. Rekayasa model penunjang keputusan kelompok dengan fuzzy-logic
untuk sistem pengembangan agroindustri minyak atsiri. [disertasi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Macqa J, Martinya P, Villalobosb LB, Solisc A, Mirandad J, Mendeze HC, Collinsf
C. 2008. Public purchasers contracting external primary care providers in central
america for better responsiveness, efficiency of health care and public governance:
Issues and challenges. Health Policy .87(3):377–388.
Manikas I, Terry LA. 2009. A case study assessment of the operational performance
of a multiple fresh produce distribution centre in the UK. Br Food J. 111:421-
435.doi: 10.1108/00070700910957276.
Manuj I, Sahin F. 2011. A model of supply chain and supply chain decision-making
complexity. Int J Physic Distrib Logist Manag. 41(5): 511-549.
Marimin, Maghfiroh N. 2010. Aplikasi teknik pengambilan keputusan dalam
manajemen rantai pasok. Bogor (ID): IPB Pr.
Marimin. 2004. Teknik dan aplikasi pengambilan keputusan kriteria majemuk.
Jakarta (ID): Grasindo.
Marimin. 2008. Teknik dan aplikasi pengambilan keputusan kriteria majemuk. Ed ke-
3. Jakarta (ID): Gramedia Widiasarana Indonesia.
Miller GJ, Fischer F, Sidney MS. 2007. Handbook Of Public Policy Analysis: Theory,
Politics, and Methods. Boca Raton FL (US): CRC/Taylor & Francis.
Minnich D, Maier FH. 2006. Supply chain responsiveness and efficiency–
complementing or contradicting each other?” Di dalam: Größler A, Rouwette
EAJA, Langer RS, Rowe JI and Yanni JM, editor. International Conference of the
System Dynamics Society; 2006 Jul 23-27; Nijmegen, Netherlands (NL): The
System Dynamics Society. hlm 94-105.
Moleong, Lexy J. 2002. Metodologi penelitian kualitatif. Bandung (ID): Rosda.
Narayan P. and J. Subramanian (2009). Inventory management-principles and
practices, excel books. New Delhi (IN): Anurag Jain.
Neely A, Gregory M, dan Platts K. 1995. Performance measurement system design.
Int J Operat & Prod Manag15(4): 80-116.
Neely A, Gregory M, Platts K. 2005. Performance measurement system design: A
literature review and research agenda. Int J Oper Prod Manag. 25(12):1228-
1263.doi: 10.1108/01443570510633639.
Noor MNM, Pitt M. 2009. The application of supply chain management and
collaborative innovation in the delivery of facilities management services. J Facil
Manag. 7: 283-297
Nugroho R. 2009. Public policy: dinamika kebijakan–analisis kebijakan–manajemen
kebijakan. Ed. Ke-3. Jakarta (ID): Elex Media Komputindo.
Panlibuton H, Lusby F. 2006. Indonesia cocoa bean value chain case study. USAID,
microREPORT, 65.
[Perpres] Peraturan Presiden Republik Indonesia. 2008. Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 28 Tahun 2008 tentang Kebijakan industri nasional. Jakarta
(ID): Sekretariat Negara RI.
Pretty J, King V, Smith G, Goulding KWT, Oostrum JV, Pendlington DJ, Groves SJ,
Vis JK, Henderson I, Walter C, Hine RE. 2008. Multi-year assessment of
Unilever‟s progress towards agricultural sustainability. Int J Agri Sustain. 6:63–88.
135
Pujawan IN. 2005. Supply chain management. Ed ke-1. Surabaya (ID): Penerbit Guna
Widya.
[PSE Litbangtan]. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2012. Revitalisasi sistem penyuluhan
untuk mendukung daya saing industri pertanian pedesaan. Jakarta (ID): Balitbang
Pertanian Kementerian Pertanian.
Ramesh A, Banwet DK, Shankar R. 2010. Modeling the barriers of supply chain
collaboration. J Model Manag.5(2):176-193.doi:10.1108/17465661011 061014.
Randall WS, Gibson BJ, Defee CC, Williams BD. 2011. Retail supply chain
management: key priorities and practices. Int J Logist Manag. 22(3):390-402.
doi:10.1108/09574091111181381.
Ravindran AR, Warsing DP. 2012. Supply chain engineering: models and
applications. Boca Raton FL (US): CRC Pr.
Rodrik D, Lozachmeur JM, Pestieau P. 2004. Industrial policies for the twenty-first
century. Harvard (US): Centre for Economic Policy Research Harvard Univ.
Rosenzweig ED, Roth AV, Dean JWJr. 2003.The influence of an integration strategy
on competitive capabilities and business performance: an exploratory study of
consumer products manufacturers. J Operations Manag. 21:437-56.
Rudolf R, Sinkovics RR, Jean RJ, Roath AS, Cavusgil ST. 2011. Does IT
integration really enhance supplier responsiveness in global supply chains?.
Manag Int Rev. 51: 193-212.
Sa‟id EG. 2009. Review kajian, penelitian dan pengembangan agroindustri strategis
nasional: kelapa sawit, kakao dan gambir. J Teknologi Industri Pertanian.
19(1):45-55.
Saad SM, Gindy NNZ. 2007. Future shape of the responsive manufacturing
enterprise. Benchmarking: In International Journal. 14: 140-152
Saaty TL. 1983. Decision Making For Leaders: The Analytical Hierarchy Process
for Decision in Complex World. Pittsburgh (US): RWS Publication.
Santoso I. 2005. Rekayasa model manajemen risiko untuk pengembangan
agroindustri buah-buahan secara berkelanjutan [disertasi]. Bogor (ID): Sekolah
Pascasarjana, IPB.
Sargent RG. 2010. Verification and validation of simulation models. Di dalam
Johansson B. et al. editor. Proceeding of the 2010 Winter Simulation
Conference;2010 Des 5-8; Baltimore, Maryland, USA (US):WSC.
Saxena, Sushil JP, Vrat P. 1992. Hiearchy and classification of program plan
elements using interpretive structural modelling. System Practice. 5(6):651-670.
Sehgal V. 2009. Enterprise supply chain management: integrating best in class
processes. New Jersey (US): John Wiley & Sons Inc.
Shukla A, Lalit VA, Venkatasubramanian V. 2011. Optimizing efficiency-robustness
trade-offs in supply chain design under uncertainty due to disruptions. Int J Phys
Distrib Logist Manag. 41: 623-646.
Siagian D dan Sugiarto. 2006. Metode statitiska untuk bisnis & ekonomi. Edisi ke-3.
Jakarta (ID): Gramedia Pustaka Utama.
Simarmata DjA. 1983. Operation research, sebuah pengantar. Jakarta: Gramedia.
Siry JP, Greene WD, Harris TGJ, Izlar RL et al. 2006. Wood supply chain efficiency
and fiber cost: what can we do better?. Forest Prod J. 56:4.
Soon QH, Udin ZM. 2011. Supply chain management from the perspective of value
chain flexibility: an exploratory study. J Manuf Tech Manag. 22: 506-526.
136
Suharjito. 2011. Pemodelan sistem pendukung pengambilan keputusan cerdas
manajemen risiko rantai pasok produk/komoditi jagung [disertasi] Bogor (ID).
Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Supply Chain Council. 2006. Supply chain operations reference model version 8.0.
dictionary. United States and Canada: SSC.
Suprihatini R, Drajat B, Fadjar U. 2004. Kebijakan percepatan pengembangan
industri hilir perkebunan: kasus kelapa sawit dan teh. AKP Lembaga Riset
Perkebunan Indones. 2(1).
Suprihatini R. 2004. Rancang bangun sistem produksi dalam agroindustri teh
indonesia[disertasi]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Susanto FX. 1994. Tanaman kakao, budi daya dan pengolahan hasil. Yogyakarta
(ID): Kanisius.
Syam H. 2006. Rancang bangun model sistem pengembangan agroindustri berbasis
kakao melalui pola jejaring usaha [disertasi]. Bogor (ID): Program Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor.
Taufik TA. 2005. Pengembangan sistem inovasi daerah: perspektif kebijakan. Jakarta
(ID): P2KTPUDPKM–BPPT dan MRT
Thomas O. 2011. Sustainable supply chain management in the chocolate industry.
Norderstedt (DE): GRIN Verlag.
Tunggal AW. 2009. Supply chain management (manajemen rantai pasokan). Jakarta
(ID): Harvarindo Pr.
[UNCTAD] United Nations Conference on Trade and Development Secretariat. 2008.
Cocoa study: industry structures and competition. New York (US): UNCTAD
Secretariat - United Nations.
Vachon S, Halley A, Beaulieu M. 2009. Aligning competitive priorities in the supply
chain: the role of interactions with suppliers. Int J Oper Prod Manag. 29(4):322-
340.doi: 10.1108/01443570910945800.
Vorst JGAJ. 2004. Supply chain management: theory and practice. Di dalam Camps
T, Diederen P, Hofstede GJ, Vos B. editor. The Emerging World of Chains &
Networks. Elsevier.
Vorst JGAJ. 2006. Performance measurement in agrifood supply chain networks: an
overview. Di dalam: C. Ondersteijn, Â. J. Wijnands, R. Huirne, O. van Kooten.
editor. Quanvtifying the Agri-Food Supply Chain. Van Godewijckstraat (NL):
Springer Science Business Media 2:13-24.
Wagner SM and Neshat N. 2011. A comparison of supply chain vulnerability indices
for different categories of firms. Int J Prod Res. 1–15, iFirst. doi:
10.1080/00207543.2011.561540
Wahyudi T, Pangggabean TR, Pujiyanto. 2008. Panduan lengkap kakao. Jakarta:
Penebar Swadaya.
Waller B. 2004. Market responsive manufakturing for the automotive supply chain. J
Manuf Tech Manag. 15:10-19.doi: 1108/09576060410512194.
Winarno B. 2002. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Ed ke-3. Jakarta (ID): Penerbit
Media Pressindo.
[World Bank] The World Bank. 2005. Agriculture investment sourcebook:
agriculture and rural development. Washington DC (US) : www.worldbank.org .
137
Yandra, Marimin, Jamaran I, Eriyatno, Tamura H. 2007. An integration of multi-
objective genetic algorithm and fuzzy logic for optimization of agroindustrial
supply chain design. Di dalam: Proceedings of the 51st Annual Meeting of the
ISSS.
Zaefarian T, Zaefarian R. 2012. Complaint management and suppliers' engagement in
long-term relationships: A conceptual model based on fairness theory. Business
and Economic Research 2(1): doi:http://dx.doi.org/10.5296/ber.v2i1.1594
Zee DJ, Vorst JGAJ. 2005. A modelling framework for analyzing supply chain
scenarios: applications in food industry. Decision Sciences 36(1):65.
138
LAMPIRAN
Lampiran 1 Kuesioner pakar
KUISIONER
Penggunaan Proses Hirarki Analitik dalam
Survey Penentuan Bobot Kepentingan Aspek, Driver
dan Sub Driver Kinerja Rantai Pasok Industri Kakao
Tanggal Pengisian : ..........................................
Nama Responden : ..........................................
Pekerjaan Responden : ..........................................
Tanda Tangan : ..........................................
Dilakukan Oleh :
Yudi Widayanto
139
PENGANTAR
Bapak/Ibu Yth. Perumusan kebijakan pemerintah yang mampu
mengakomodir berbagai kepentingan industri sangatlah penting. Hal ini karena
masih terjadinya kesenjangan antara arah kebijakan pemerintah dengan kondisi
nyata yang dihadapi oleh industri. Demikian juga yang terjadi pada pengembangan
industri kakao di Indonesia. Masih adanya kebijakan yang kurang kondusif
menyebabkan industri kakao belum mencapai tingkat utilitas dan kapasitas optimal.
Pengembangan industri kakao sangat dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah,
karena banyak area aktivitas industri kakao yang rentan terhadap risiko jika tidak
mendapatkan dukungan kebijakan pemerintah. Beberapa di antara faktor penting
pengembangan industri hilir perkebunan termasuk industri kakao adalah
Manajemen Rantai Pasok, dan Infrastruktur dan beberapa faktor lain (Suprihatini et
al. 2004).
Bagi industri kakao Indonesia, rantai pasok menjadi pertimbangan penting,
karena sentra biji kakao tersebar di berbagai wilayah Indonesia, sementara industri
sebagian besar masih terkonsentrasi di Jawa. Aspek driver logistik seperti fasilitas,
inventori dan transportasi, serta aspek driver lintas fungsi seperti informasi dan
sourcing merupakan elemen-elemen rantai pasok yang sangat diperhatikan oleh
pelaku industri kakao Indonesia dalam berinvestasi baik dengan peningkatan
kapasitas maupun pembukaan pabrik baru. Penelitian Alam (2009) menunjukkan
keputusan investasi asing langsung (FDI) sangat dipengaruhi oleh kapabilitas
rantai pasok suatu negara.
Dengan latar belakang tersebut, penelitian ini berasumsi jika kinerja rantai
pasok industri tidak terakomodir dalam perumusan kebijakan pemerintah, maka
kebijakan yang dikeluarkan tidak akan optimal dalam mendukung
pengembangannya. Untuk itu diperlukan ukuran kinerja rantai pasok yang
dikembangkan berdasarkan driver kinerja tersebut. Dalam pengukuran kinerja
diperlukan bobot kepentingan dari aspek, driver maupun sub driver kinerja.
Maksud survey ini adalah memperoleh masukan dari pakar tentang bobot
kepentingan dari Aspek, driver dan sub driver kinerja rantai pasok bagi pencapaian
kinerja terbaik rantai pasok Industri Kakao. Selanjutnya dari hasil pengukuran
kinerja rantai pasok akan dijadikan bahan perumusan kebijakan pengembangan
industri hilir kakao. Hasil perumusan kebijakan penelitian ini diharapkan dapat
menjawab permasalahan bagaimana kondisi nyata yang dihadapi oleh industri hilir
kakao, sehingga tercipta iklim yang kondusif bagi berkembangnya industri hilir
kakao di Indonesia yang tergambar dari rantai pasok yang efisien dan responsif.
Pengisian kuisioner ini bertujuan untuk menentukan bobot kepentingan aspek,
driver dan sub driver kinerja rantai pasok industri kakao.
Metode pengisian kuesioner ini menggunakan AHP (Analytical Hierarchy
Process) dimana penilaian berlandaskan suatu Hierarki (struktur AHP) dengan
komponen-komponen yang telah disusun berdasarkan pendapat ahli (pakar).
Hierarki dapat dilihat pada Gambar 1.
140
Gambar 1. Struktur Hierarki AHP untuk Pembobotan Aspek, Driver dan Sub-
Driver
PETUNJUK PENGISIAN
I. UMUM
1. Isi kolom Identitas yang terdapat pada halaman depan Kuisioner.
2. Berikan penilaian terhadap hirarki penentuan bobot kepentingan dengan
cara mengisi lembar pengisian.
3. Penilaian dilakukan dengan membandingkan tingkat kepentingan
komponen dalam satu level hirarki yang berkaitan dengan komponen-
komponen level sebelumnya menggunakan skala penilaian yang
terdapat pada petunjuk bagian II,
4. Penilaian dilakukan dengan mengisi titik-titik pada kolom yang telah
tersedia.
Pengukuran Kinerja Rantai Pasok
Efisiensi Responsivitas F
asili
tas
Inve
ntor
i
Info
rmas
i
Tra
nspo
rtas
i
Sou
rcin
g
Fas
3
Fas
2
Fas
1
Inv
3
Inv
2
Inv
1
Tra
3
Tra
2
Tra
1
Inf
3 In
f 2
Inf 1
Sou
3
Sou
2
Sou
1
Fas
3
Fas
2
Fas
1
Inv
3
Inv
2
Inv
1
Tra
3
Tra
2
Tra
1
Inf
3 In
f 2
Inf 1
Sou
3
Sou
2
Sou
1
Fas
ilita
s
Inve
ntor
i
Info
rmas
i
Tra
nspo
rtas
i
Sou
rcin
g
Goal
Aspek
Driver
Sub-
Driver
141
II. SKALA PENILAIAN
Definisi dari skala yang digunakan adalah sebagai berikut:
Nilai Perbandingan
( A dibandingkan B)
Derfinisi
1 A sama penting dengan B
3 A sedikit lebih penting dari B
1/3 Kebalikannya (B sedikit lebih penting dari A)
5 A jelas lebih penting dari B
1/5 Kebalikannya (B jelas lebih penting dari A)
7 A sangat jelas lebih penting dari pada B
1/7 Kabalikannya (B sangat jelas lebih penting dari pada A)
9 A mutlak lebih penting dari pada B
1/9 Kebalikannya (B mutlak lebih penting dari pada A)
2,4,6,8 atau
½,1/4,1/6,1/8
Diberikan apabila terdapat sedikit perbedaan dengan patokan
diatas
Contoh Pengisian:
Misalkan terdapat empat elemen yang mempengaruhi investasi yaitu faktor C,D,E
dan F. Berdasarkan tingkat kepentingan maka factor tersebut disusun dalam bentuk
tabel seperti pada contoh berikut:
Elemen A Elemen B
C D E F
C 1 …3(a)
… …1/3(b)
… …2..
D 1 …4… …7…
E 1 …1/2…
F 1
Keterangan:
Nilai Pada (a)
: Faktor C sedikit lebih penting dari D
Nilai Pada (b)
: Faktor E sedikit lebih penting dari C
PERHATIAN: Konsistensi penilaian sangat penting dalam penelitian ini.
142
Tabel 1. Membandingkan tingkat kepentingan Aspek dibawah ini berdasarkan
Goal Kinerja Rantai Pasok Industri Kakao.
ELEMEN
ASPEK A
ELEMEN ASPEK B
Efisiensi Responsivitas
Efisiensi 1 ..........
Responsivitas 1
Keterangan :
Pengertian Responsivitas dan Efisiensi:
Responsivitas mengacu pada sejauh mana kebutuhan dan harapan pelanggan
terpenuhi, dan sejauh mana fleksibilitas rantai pasok dapat mengakomodasi
perubahan kebutuhan dan harapan.
Efisiensi lebih fokus pada minimalisasi biaya, yaitu rantai pasok yang
membutuhkan biaya input lebih kecil untuk menghasilkan jumlah output yang
lebih efisien.
Dalam pengisian kuisioner pada tabel 1 diatas, Bapak/Ibu diminta untuk
membandingkan mana yang lebih penting dari elemen aspek A dengan elemen aspek
B, lalu memberikan bobot berdasarkan petunjuk. Keluaran dari kuesioner ini adalah
memprioritaskan salah satu Aspek berdasarkan pendapat responden.
Tabel 2. Membandingkan tingkat kepentingan elemen-elemen Driver dibawah
ini berdasarkan Aspek Efisiensi Rantai Pasok Industri Kakao
ELEMEN
DRIVER A
ELEMEN DRIVER B
Fasilitas Inventori Transportasi Informasi Sourcing
Fasilitas 1 ……….. ……….. ………… ………
Inventori 1 ………. ………… ………
Transportasi 1 ………… ………
Informasi 1 ………
Sourcing 1
Keterangan : Pengertian Driver kinerja rantai pasok:
1. Fasilitas yaitu lokasi fisik dalam jaringan rantai pasok dimana produk disimpan,
dirakit, atau dibuat.
2. Inventory meliputi persediaan bahan baku, persediaan dalam proses, dan barang
jadi dalam rantai pasok.
3. Transportasi adalah memindahkan inventory dari titik ke titik dalam rantai pasok.
4. Informasi terdiri dari data dan analisis yang berkaitan dengan fasilitas, inventory,
transportasi, dan pelanggan di seluruh rantai pasok.
143
5. Sourcing adalah pilihan cara dalam melakukan kegiatan pengadaan dalam rantai
pasok seperti produksi, transportasi, penyimpanan, atau manajemen informasi.
Pilihan yang ada bisa dilakukan perusahaan sendiri atau out-sourcing.
Dalam pengisian kuisioner pada tabel 2, Bapak/Ibu diminta untuk membandingkan
mana yang lebih penting dari elemen Driver A dengan elemen Driver B dalam
mencapai efisiensi rantai pasok, lalu memberikan bobot berdasarkan petunjuk.
Keluaran dari kuesioner ini adalah daftar prioritas driver kinerja rantai pasok
berdasarkan pendapat responden.
Tabel 3. Membandingkan tingkat kepentingan elemen-elemen Driver dibawah
ini berdasarkan Aspek Responsivitas Rantai Pasok Industri Kakao
ELEMEN
DRIVER A
ELEMEN DRIVER B
Fasilitas Inventori Transportasi Informasi Sourcing
Fasilitas 1 ……….. ……….. ………… ………
Inventori 1 ………. ………… ………
Transportasi 1 ………… ………
Informasi 1 ………
Sourcing 1
Keterangan :
Keterangan Pengertian driver sama dengan sebelumnya. Dalam pengisian kuisioner
dalam tabel 3 diatas, Bapak/Ibu diminta untuk membandingkan mana yang lebih
penting dari elemen Driver A dengan elemen Driver B dalam mencapai
Responsivitas rantai pasok, lalu memberikan bobot berdasarkan petunjuk. Keluaran
dari kuesioner ini adalah daftar prioritas driver kinerja rantai pasok berdasarkan
pendapat responden.
Tabel 4. Membandingkan tingkat kepentingan elemen-elemen Sub Driver
dibawah ini berdasarkan Kinerja Fasilitas dalam Aspek Efisiensi
ELEMEN
SUB DRIVER A
ELEMEN SUB DRIVER B
Pengelolaan
Fasilitas
Lokasi
Fasilitas
Kapasitas
Fasilitas
Fleksibilitas
Fasilitas
Pengelolaan Fasilitas 1 ……….. ……….. …………
Lokasi Fasilitas 1 ………. …………
Kapasitas Fasilitas 1 …………
Fleksibilitas Fasilitas 1
Keterangan :
Dalam pengisian kuisioner pada tabel 4, Bapak/Ibu diminta untuk membandingkan
mana yang lebih penting dari elemen Sub Driver A dengan elemen Sub Driver B
dalam mencapai Kinerja Fasilitas dalam aspek efisiensi rantai pasok, lalu
144
memberikan bobot berdasarkan petunjuk. Keluaran dari kuesioner ini adalah daftar
prioritas sub driver kinerja rantai pasok berdasarkan pendapat responden.
Tabel 5. Membandingkan tingkat kepentingan elemen-elemen Sub Driver
dibawah ini berdasarkan Kinerja Inventory dalam aspek Efisiensi
ELEMEN
SUB DRIVER A
ELEMEN SUB DRIVER B
Perputaran
Produk Kuantitas Barang
Pengelolaan
Gudang
Perputaran Produk 1 ……….. ………..
Kuantitas Barang 1 ……….
Pengelolaan Gudang 1
Keterangan :
Dalam pengisian kuisioner pada tabel 5, Bapak/Ibu diminta untuk membandingkan
mana yang lebih penting dari elemen Sub Driver A dengan elemen Sub Driver B
dalam mencapai Kinerja Inventory dalam aspek efisiensi rantai pasok, lalu
memberikan bobot berdasarkan petunjuk. Keluaran dari kuesioner ini adalah daftar
prioritas sub driver kinerja rantai pasok berdasarkan pendapat responden.
Tabel 6. Membandingkan tingkat kepentingan elemen-elemen Sub Driver
dibawah ini berdasarkan Kinerja Transportasi dalam aspek Efisiensi
ELEMEN
SUB DRIVER A
ELEMEN SUB DRIVER B
Vehicle Flow Price Of Trip
Vehicle Flow 1 ………..
Price Of Trip 1
Keterangan :
Dalam pengisian kuisioner pada tabel 6, Bapak/Ibu diminta untuk membandingkan
mana yang lebih penting dari elemen Sub Driver A dengan elemen Sub Driver B
dalam mencapai Kinerja Transportasi dalam aspek efisiensi rantai pasok, lalu
memberikan bobot berdasarkan petunjuk. Keluaran dari kuesioner ini adalah daftar
prioritas sub driver kinerja rantai pasok berdasarkan pendapat responden.
145
Tabel 7. Membandingkan tingkat kepentingan elemen-elemen Sub Driver
dibawah ini berdasarkan Kinerja Sourcing dalam aspek Efisiensi
ELEMEN
SUB DRIVER A
ELEMEN SUB DRIVER B
Penilaian
Pemasok
Integrasi
Pemasok
Keeratan
Hubungan
Pemasok
Penilaian Pemasok 1 ……….. ………..
Integrasi Pemasok 1 ……….
Keeratan Hubungan
Pemasok 1
Keterangan :
Dalam pengisian kuisioner pada tabel 7, Bapak/Ibu diminta untuk membandingkan
mana yang lebih penting dari elemen Sub Driver A dengan elemen Sub Driver B
dalam mencapai Kinerja Sourcing dalam aspek efisiensi rantai pasok, lalu
memberikan bobot berdasarkan petunjuk. Keluaran dari kuesioner ini adalah daftar
prioritas sub driver kinerja rantai pasok berdasarkan pendapat responden.
Tabel 8. Membandingkan tingkat kepentingan elemen-elemen Sub Driver
dibawah ini berdasarkan Kinerja Informasi dalam aspek Efisiensi
ELEMEN
SUB DRIVER A
ELEMEN SUB DRIVER B
Integrasi permintaan Koordinasi
Integrasi permintaan 1 ………..
Koordinasi 1
Keterangan :
Dalam pengisian kuisioner pada tabel 8, Bapak/Ibu diminta untuk membandingkan
mana yang lebih penting dari elemen Sub Driver A dengan elemen Sub Driver B
dalam mencapai Kinerja Informasi dalam aspek efisiensi rantai pasok, lalu
memberikan bobot berdasarkan petunjuk. Keluaran dari kuesioner ini adalah daftar
prioritas sub driver kinerja rantai pasok berdasarkan pendapat responden.
146
Tabel 9. Membandingkan tingkat kepentingan elemen-elemen Sub Driver
dibawah ini berdasarkan Kinerja Fasilitas dalam aspek Responsivitas
ELEMEN
SUB DRIVER A
ELEMEN SUB DRIVER B
Pengelolaan
Fasilitas
Lokasi
Fasilitas
Kapasitas
Fasilitas
Fleksibilitas
Fasilitas
Pengelolaan Fasilitas 1 ……….. ……….. …………
Lokasi Fasilitas 1 ………. …………
Kapasitas Fasilitas 1 …………
Fleksibilitas Fasilitas 1
Keterangan :
Dalam pengisian kuisioner pada tabel 9, Bapak/Ibu diminta untuk membandingkan
mana yang lebih penting dari elemen Sub Driver A dengan elemen Sub Driver B
dalam mencapai Kinerja Fasilitas dalam aspek responsivitas rantai pasok, lalu
memberikan bobot berdasarkan petunjuk. Keluaran dari kuesioner ini adalah daftar
prioritas sub driver kinerja rantai pasok berdasarkan pendapat responden.
Tabel 10. Membandingkan tingkat kepentingan elemen-elemen Sub Driver
dibawah ini berdasarkan Kinerja Inventory dalam aspek Responsivitas
ELEMEN
SUB DRIVER A
ELEMEN SUB DRIVER B
Perputaran
Produk Kuantitas Barang
Pengelolaan
Gudang
Perputaran Produk 1 ……….. ………..
Kuantitas Barang 1 ……….
Pengelolaan Gudang 1
Keterangan :
Dalam pengisian kuisioner pada tabel 10, Bapak/Ibu diminta untuk membandingkan
mana yang lebih penting dari elemen Sub Driver A dengan elemen Sub Driver B
dalam mencapai Kinerja Inventory dalam aspek Responsivitas rantai pasok, lalu
memberikan bobot berdasarkan petunjuk. Keluaran dari kuesioner ini adalah daftar
prioritas sub driver kinerja rantai pasok berdasarkan pendapat responden.
147
Tabel 11. Membandingkan tingkat kepentingan elemen-elemen Sub Driver
dibawah ini berdasarkan Kinerja Sourcing dalam aspek Responsivitas
ELEMEN
SUB DRIVER A
ELEMEN SUB DRIVER B
Penilaian
Pemasok
Integrasi
Pemasok
Keeratan
Hubungan
Pemasok
Penilaian Pemasok 1 ……….. ………..
Integrasi Pemasok 1 ……….
Keeratan Hubungan
Pemasok 1
Keterangan :
Dalam pengisian kuisioner dalam tabel 11 diatas, Bapak/Ibu diminta untuk
membandingkan mana yang lebih penting dari elemen Sub Driver A dengan elemen
Sub Driver B dalam mencapai Kinerja Sourcing dalam aspek Responsivitas rantai
pasok, lalu memberikan bobot berdasarkan petunjuk. Keluaran dari kuesioner ini
adalah daftar prioritas sub driver kinerja rantai pasok berdasarkan pendapat responden.
Tabel 12. Membandingkan tingkat kepentingan elemen-elemen Sub Driver
dibawah ini berdasarkan Kinerja Informasi dalam aspek Responsivitas
ELEMEN
SUB DRIVER A
ELEMEN SUB DRIVER B
Integrasi permintaan Koordinasi
Integrasi permintaan 1 ………..
Koordinasi 1
Keterangan :
Dalam pengisian kuisioner dalam tabel 12 diatas, Bapak/Ibu diminta untuk
membandingkan mana yang lebih penting dari elemen Sub Driver A dengan elemen
Sub Driver B dalam mencapai Kinerja Informasi dalam aspek Responsivitas rantai
pasok, lalu memberikan bobot berdasarkan petunjuk. Keluaran dari kuesioner ini
adalah daftar prioritas sub driver kinerja rantai pasok berdasarkan pendapat responden.
148
Lampiran 2 Kuesioner pengukuran kinerja efisiensi dan responsivitas rantai pasok
KUESIONER
PENELITIAN DISERTASI
JUDUL MODEL UNTUK PERUMUSAN KEBIJAKAN
PENGEMBANGAN INDUSTRI KAKAO
BERBASIS MANAJEMEN RANTAI PASOK
Oleh:
YUDI WIDAYANTO
F361080021
KOMISI PEMBIMBING:
Dr Ir Machfud, MS (Ketua)
Prof Dr Erliza Hambali (Anggota)
Dr Ir Sukardi, MM (Anggota)
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2013
149
KUESIONER PENGUKURAN KINERJA EFISIENSI DAN
RESPONSIVITAS RANTAI PASOK
PENGANTAR Bapak/Ibu Yth. Perumusan kebijakan pemerintah yang mampu mengakomodir berbagai
kepentingan pelaku usaha industri sangatlah penting. Hal ini karena masih terjadinya
kesenjangan antara arah kebijakan pemerintah dengan kondisi nyata yang dihadapi oleh dunia
usaha khususnya industri. Demikian juga yang terjadi pada pengembangan industri hilir kakao
di Indonesia. Masih adanya kebijakan yang belum sesuai sehingga industri kakao belum
mencapai tingkat utilitas dan kapasitas sebagaimana yang diharapkan.
Pengembangan industri hilir kakao sangat dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah. Hal
ini karena banyaknya area aktivitas industri hilir kakao yang rentan terhadap risiko jika tidak
mendapatkan dukungan kebijakan. Beberapa faktor yang penting dalam pengembangan
industri hilir perkebunan sebagaimana penelitian Suprihatini et al. (2004) ada 10 faktor yang
di antaranya adalah Manajemen Rantai Pasok, dan Infrastruktur.
Rantai pasok termasuk pertimbangan penting, karena budidaya kakao yang tersebar di
berbagai pulau di wilayah Indonesia, sementara industri masih terkonsentrasi di Pulau Jawa.
Aspek logistic driver seperti transportasi, fasilitas, dan persediaan, serta aspek cross-
functional driver seperti informasi, sourcing, dan pricing merupakan elemen-elemen dalam
rantai pasok yang sangat diperhatikan oleh pelaku industri kakao Indonesia. Penelitian Alam
(2009) menunjukkan keputusan investasi asing langsung (FDI) sangat dipengaruhi oleh
kapabilitas rantai pasok suatu negara.
Dengan latar belakang tersebut, penelitian ini berasumsi jika kompleksitas
permasalahan yang tercermin dari kinerja rantai pasok industri tidak terakomodir dalam
perumusan kebijakan pemerintah, maka kebijakan yang dikeluarkan tidak akan optimal dalam
mendukung pengembangannya. Hal ini sesuai dengan studi FAO (2009) yang menyatakan
bahwa pengembangan agroindustri membutuhkan respons kebijakan yang sehat untuk
mengoptimalkan potensi dalam mencapai keuntungan rantai pasok dan mengurangi risiko.
Penelitian ini fokus pada upaya mengidentifikasi penggerak (driver) kinerja rantai
pasok yang dilakukan oleh Industri. Selanjutnya dari hasil identifikasi driver akan dilakukan
pengukuran kinerja rantai pasok yang kemudian akan menjadi bahan perumusan kebijakan
pengembangan industri hilir kakao. Hasil perumusan kebijakan penelitian ini diharapkan
dapat menjawab permasalahan bagaimana kondisi nyata yang dihadapi oleh industri hilir
kakao, sehingga tercipta iklim yang kondusif bagi berkembangnya industri hilir kakao di
Indonesia yang tergambar dari rantai pasok yang efektif, efisien dan responsif.
MAKSUD, TUJUAN DAN SASARAN
Maksud penelitian ini adalah untuk penyusunan disertasi, yang merupakan salah satu
syarat kelulusan S3 pada program studi Teknologi Industri Pertanian - Sekolah
Pascasarjana IPB.
Tujuan pelaksanaan dari survei dengan kuesioner ini adalah untuk menggali informasi
kinerja rantai pasok industri hilir kakao yang dijadikan bahan perumusan kebijakan.
Sasaran survey ini adalah pengambil keputusan manajemen rantai pasok
(Manager Supply Chain) industri hilir kakao atau pejabat pelaksanaan logistik dan
layanan konsumen.
RAHASIA ID : └─┴─┘
150
KUESIONER INDUSTRI HILIR KAKAO
RESPONDEN ADALAH : MANAGER SUPPLY CHAIN PERUSAHAAN
ATAU YANG DITUNJUK
Nama Perusahaan : ______________________________________________________
[NAMA PERUSAHAAN AKAN DIRAHASIAKAN DALAM PROSES ANALISIS MAUPUN PUBLIKASI]
Tanggal/Bulan/Tahun : └─┴─┘ / └─┴─┘ / └─┴─┘ └─┴─┘
PETUNJUK PENGISIAN
Kuesioner untuk Industri Hilir Kakao ini terdiri dari dua bagian yaitu : Aspek
Efisiensi dan Aspek Responsivitas
Jawaban yang diberikan merupakan kondisi nyata yang diterjadi atau yang
dilakukan perusahaan dalam aktivitas rantai pasok (supply chain) yang dinilai
dalam bentuk SKOR antara 1 dan 9.
Skor 1 merupakan kondisi ekstrim kiri dari keadaan yang disebutkan di
sebelah kiri angka. Sedang skor 9 merupakan kondisi ekstrim kanan dari
keadaan yang disebutkan di sebelah kanan angka tersebut.
Jawablah pertanyaan dengan memberi tanda check () pada angka yang
sesuai di kolom Jawaban (skor).
Ilustrasi :
1
Seberapa besar dana yang
dihabiskan untuk biaya
pemeliharaan gudang?
Relatif
Kecil Relatif
Besar
KERAHASIAAN INFORMASI
Kerahasian isian kuesioner dan hasil wawancara ini dijamin dan hanya akan digunakan untuk
keperluan peneltian ini saja.
Kondisi Ekstrem kiri
Driver Kondisi Ekstrim kanan
151
BAGIAN 1 : ASPEK EFISIENSI
NO PERTANYAAN JAWABAN (SKOR)
1 Seberapa besar biaya
pemeliharaan gudang? Relatif kecil Relatif besar
2 Seberapa besar biaya
pemeliharaan pabrik? Relatif kecil Relatif besar
3 Seberapa besar biaya
pemeliharaan kendaraan? Relatif kecil Relatif besar
4
Seberapa besar produksi
mengalami fluktuasi
(kenaikan & penurunan)
dalam setahun terakhir?
Sangat besar Sangat kecil
5
Apakah untuk pengelolaan
Rantai Pasok perusahaan
menggunakan teknologi
modern
Tidak
menggunakan
Menggunakan
teknologi
terintegrasi
6
Seberapa jauh letak pabrik
dengan sumber bahan
baku?
Jauh sekali Dekat sekali
7
Bagaimana kondisi jalan
yang dilalui armada
pengiriman bahan baku
dan barang jadi saat ini.
Sangat rusak
dan macet
Sangat baik dan
lancar
8
Seberapa tinggi tingkat
penggunaan gudang
perusahaan anda?
Sangat rendah Sangat tinggi
9
Seberapa Tinggi tingkat
penggunaan pabrik
perusahaan anda?
Sangat rendah Sangat tinggi
10
Seberapa tinggi tingkat
penggunaan kendaraan
perusahaan anda?
Sangat rendah Sangat tinggi
11
Apakah kendaraan
perusahaan
memungkinkan
mengangkut beberapa
jenis produk?
Tidak
memungkin-
kan
Sangat
memungkin-
kan
12
Apakah gudang
perusahaan anda
memungkinkan untuk
menyimpan beberapa jenis
produk?
Tidak
memungkin-
kan
Sangat
memungkin-
kan
13
Apakah peralatan pabrik
memungkinkan untuk
memproduksi beberapa
jenis produk?
Tidak
memungkin-
kan
Sangat
memungkin-
kan
14
Apakah pengiriman bahan
baku telah selalu tepat
waktu dan kebutuhan
produksi?
Tidak selalu Selalu tepat
15
Apakah pengiriman
produk jadi kepada
konsumen tepat waktu dan
Tidak selalu Selalu tepat
152
NO PERTANYAAN JAWABAN (SKOR)
tepat jumlah?
16
Seberapa banyak produk
yang rusak setelah dikirim
sampai ke konsumen?
Relatif banyak Tidak ada yang
rusak
17
Seberapa banyak bahan
baku yang rusak setalah
dikirim sampai ke pabrik?
Relatif banyak Tidak ada yang
rusak
18
Seberapa sering terjadi
order produk yang tidak
terlayani akibat tidak ada
stok produk?
Sangat sering Tidak pernah
19
Seberapa sering terjadi
produksi macet karena
kehabisan stok bahan
baku?
Sangat sering Tidak pernah
20
Seberapa ketat perusahaan
meminimalisir stok barang
untuk meminimalisir
biaya penyimpanan
barang?
Sangat longgar Sangat ketat
21
Dalam proses pengiriman
barang bagaimana
perusahaan anda
mengelolanya?
Dikirim setiap
kali ada
pesanan
Dikirim dengan
pertimbangkan
jumlah optimal
22 Bagaimana penataan
barang di gudang? Tidak diatur
Sangat teratur
mengikuti pola
permintaan
23
Seberapa lancar arus
keluar masuk barang di
gudang?
Sangat macet Sangat lancar
24
Bagaimana penjadwalan
pengiriman barang di
perusahaan anda?
Tidak ada
penjadwalan
Terjadwal
dengan ketat
25 Seberapa baik ketepatan
waktu pengiriman barang? Sering telat
Selalu tepat
waktu
26
Seberapa banyak truk
yang daya angkutnya
dimaksimalkan untuk
mengangkut barang?
Tidak ada
upaya
pemaksimalan
daya angkut
Semua truk
dimaksimalkan
27
Bagaimana pengelolaan
pemasok di perusahaan
anda?
Tidak dikelola
Terkelola
dalam suatu
sistem
28
Bagaimana upaya
perusahaan dalam
meningkatkan
kemampuan pemasok?
Tidak ada
program
peningkatan
kemampuan
pemasok
Banyak
dukungan
peningkatan
kemampuan
dari
perusahaan.
29
Seberapa ketat perusahaan
menggunakan kriteria
tertentu ketika memilih
Memenubi
kriteria
minimal
Memenuhi
seluruh kriteria
153
NO PERTANYAAN JAWABAN (SKOR)
supplier?
30
Seberapa kecenderungan
perusahaan
memperhatikan supplier
agar menerapkan
pertanian berkelanjutan ?
Belum
diterapkan
Telah
menerapkan
secara
konsisten
31
Bagaimana integrasi
aktivitas produksi dengan
pola pasokan bahan baku?
Tidak ada
integrasi
Aktivitas
produksi
terintegrasi
dengan pola
pasokan
32
Seberapa lama jangka
waktu hubungan dengan
pemasok ?
Jangka pendek
Jengka panjang
dan
berkelanjutan
33
Apakah perusahan
mengintegrasikan proses
dan produk permintaan
konsumen?
Tidak ada
integrasi
Proses dan
produk
terintegrasi
dengan
permintaan
34
Bagaimana mekanisme
perencanaan perusahaan
anda?
Perencanaan
biasa
Perencanaan
terkoordinasi
dengan
dukungan
komputer
35
Seberapa kuat perusahaan
mengontrol aktivitas
produksi?
Kontrol secara
manual pada
setiap bagian
Kontrol
terintegrasi
dalam suatu
sistem
terkomputeri-
sasi
154
BAGIAN 2 : ASPEK RESPONSIVITAS
NO PERTANYAAN JAWABAN (SKOR)
1
Seberapa besar perubahan
jumlah permintaan
pelanggan yang mampu
dipenuhi oleh fasilitas
pabrik?
Sangat kecil Sangat besar
2
Seberapa besar perubahan
waktu (lead time)
pemenuhan permintaan
pelanggan yang mampu
dipenuhi pabrik?
Sangat kecil Sangat besar
3
Dalam bekerjasama
dengan supplier, seberapa
penting perusahaan
menggunakan fasilitas
pembelian (Misalnya
buying station)?
Tidak
menggunakan
Menggunakan
dengan intensif
4
Dalam menanggapi dan
mengelola permintaan
pelanggan seberapa
banyak perusahaan
menggunakan teknologi?
Tidak ada
satupun bagian
yang
menggunakan
teknologi khusus
Seluruh bagian
menggunakan
teknologi
terintegrasi
5
Seberapa jauh lokasi
fasilitas (mis:gudang atau
pabrik) perusahaan dengan
sumber bahan baku?
Sangat jauh Sangat dekat
6
Bagaimana kondisi jalan
yang dilalui armada
pengiriman bahan baku
dan barang jadi saat ini?
Sangat rusak dan
macet
Sangat baik dan
lancar
7
Bagaimana kondisi
pelabuhan untuk
pengiriman bahan baku
dan barang jadi saat ini?
Sangat tidak
memadai dan
lambat
Sangat baik dan
cepat
8
Apakah kendaraan yang
dimiliki memungkinkan
mengangkut beberapa
jenis produk?
Tidak
memungkinkan
Sangat
memungkinkan
9
Apakah gudang yang
dimiliki bisa digunakan
untuk menyimpan
beberapa jenis/sifat
produk?
Tidak
memungkinkan
Sangat
memungkinkan
10
Apakah peralatan pabrik
memungkinkan untuk
memproduksi beberapa
jenis permintaan produk?
Tidak
memungkinkan
Sangat
memungkinkan
11
Seberapa banyak produk
yang rusak setelah dikirim
sampai ke konsumen?
Sangat banyak
yang rusak
Tidak ada yang
rusak
12
Seberapa banyak bahan
baku yang rusak setalah
dikirim sampai ke pabrik?
Sangat banyak
yang rusak
Tidak ada yang
rusak
13 Seberapa sering terjadi Sangat sering Sangat jarang
155
NO PERTANYAAN JAWABAN (SKOR)
order produk yang tidak
terlayani akibat tidak ada
stok produk?
14
Seberapa sering terjadi
produksi macet karena
kehabisan stok bahan
baku?
Sangat sering Sangat jarang
15 Bagaimana penataan
barang di gudang? Tidak diatur
Sangat teratur
mengikuti pola
permintaan
16
Seberapa lancar arus
keluar masuk barang di
gudang?
Sangat macet Sangat lancar
17
Bagaimana penjadwalan
Pengiriman barang di
perusahaan anda?
Tidak ada
penjadwalan
Terjadwal dengan
ketat
18 Seberapa baik ketepatan
waktu pengiriman barang? Sering telat Selalu tepat waktu
19
Bagaimana pengelolaan
pemasok di Perusahaan
anda?
Tidak dikelola Terkelola dengan
baik
20
Bagaimana upaya
perusahaan dalam
meingkatkan kemampuan
pemasok?
Tidak ada
program
peningkatan
kemampuan
pemasok
Banyak dukungan
peningkatan
kemampuan
21
Bagaimana hubungan
perusahaan dengan
supplier bahan baku?
Hubungan
informal Kontraktual
22
Bagaimana tingkat
kepercayaan antara
perusahaan dengan para
pemasok?
Tidak ada
kepercayaan
Tingkat
kepercayaan
tinggi
23
Bagaimana integrasi
aktivitas produksi dengan
pola pasokan bahan baku?
Tidak ada
integrasi
Aktivitas produksi
terintegrasi
dengan pemasok
24
Seberapa lama jangka
waktu hubungan dengan
pemasok?
Jangka pendek Jengka panjang
dan berkelanjutan
25
Apakah perusahan
mengintegrasikan proses
dan produk permintaan
konsumen?
Tidak ada
integrasi
Proses dan produk
terintegrasi
dengan
permintaan
26
Bagaimana mekanisme
perencanaan perusahaan
anda?
Perencanaan
biasa
Perencanaan
terkoordinasi &
dukungan
komputer
27
Seberapa kuat perusahaan
mengontrol aktivitas
produksi?
Kontrol secara
manual pada
setiap bagian
Kontrol
terintegrasi dalam
suatu sistem
terkomputerisasi
---(TERIMAKASIH ATAS PARTISIPASI DAN KERJASAMANYA)---
156
Lampiran 3 Kuesioner penilaian kebijakan dengan ISM
KUESIONER
PENILAIAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN
INDUSTRI KAKAO INDONESIA
Keterangan Responden :
Nama : .................................................................................................
Jabatan : .................................................................................................
Instansi : .................................................................................................
Penelitian Disertasi:
Model Perumusan Kebijakan Pengembangan Industri Kakao Berbasis Kinerja
Driver Rantai Pasok
Oleh:
Yudi Widayanto
Program Studi Teknologi Industri Pertanian
Sekolah Pascasarjana IPB
2013
157
Petunjuk Pengisian
Kuesioner ini dibuat dalam rangka untuk mendapatkan justifikasi mengenai
perumusan kebijakan pengembangan industri kakao. Pada kuesioner ini akan
digambarkan penilaian Bapak/Ibu selaku pakar atau praktisi di bidang Kebijakan
Industri, melihat tingkat kepentingan masing-masing elemen berkaitan dengan
topik perumusan kebijakan pengembangan industri kakao dalam rangka
meingkatkan daya saing industri kakao Indonesia.
Atas perkenannya kami ucapkan terima kasih.
Cara Pengisian
Untuk membandingkan antar elemen, maka Anda dapat memilih huruf-huruf V, A,
X, dan O tergantung pada pendapat Anda. Misalnya Anda ingin membandingkan
elemen ke-1 dengan elemen ke-2 (1 dibandingkan 2), maka Anda dapat memilih
huruf :
V : Jika elemen ke-1 lebih penting dibandingkan dengan elemen ke-2.
A : Jika elemen ke-2 lebih penting dibandingkan dengan elemen ke-1.
X : Jika kedua elemen yang dibandingkan memiliki tingkat kepentingan yang
sama dalam konteks tujuan kebijakan..
O : Jika kedua elemen yang dibandingkan sama-sama tidak penting dalam
konteks tujuan kebijakan.
CONTOH PENGISIAN
Untuk membandingkan antar elemen, maka Bapak/Ibu dapat memilih huruf
V, A, X atau O tergantung pada pendapat Bapak/Ibu. Misalnya Bapak/Ibu akan
membandingkan elemen ke- 1 dengan elemen ke-2 [1 dibandingkan 2], maka
Bapak/Ibu dapat memilih huruf :
V : Jika elemen ke- 1 lebih penting dibandingkan dengan elemen ke-2
Elemen ke- Elemen ke-
7 6 5 4 3 2 1
1 V
2
3
4
5
6
7
158
A : Jika elemen ke-2 lebih penting dibandingkan dengan elemen ke-1.
Elemen ke- Elemen ke-
7 6 5 4 3 2 1
1 A
2
3
4
5
6
7
X : Jika kedua elemen yang dibandingkan memiliki tingkat kepentingan yang
sama
Elemen ke- Elemen ke-
7 6 5 4 3 2 1
1 X
2
3
4
5
6
7
O : Jika kedua elemen yang dibandingkan sama-sama tidak penting
dalampencapaian tujuan kebijakan
Elemen ke- Elemen ke-
7 6 5 4 3 2 1
1 O
2
3
4
5
6
7
159
PENILAIAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI
KAKAO
Elemen
ke-
Elemen ke-
11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
A. Kebijakan Pemerintah dalam pengembangan industri kakao.
Ele
men
1. Perbaikan infrastruktur jalan
2. Perbaikan infrastruktur dan manajemen pelabuhan
3. Pemberian insentif fiskal pengembangan industri
4. Pemenuhan pasokan energi listrik dan gas untuk industri
5. Peningkatan produktivitas kebun kakao
6. Revitalisasi penyuluh pertanian/perkebunan
7. Perluasan penerapan wajib SNI biji kakao
8. Perluasan jaringan telekomunikasi
9. Penghapusan hambatan perdagangan antar daerah
10. Penguatan kelembagaan petani (pemasok kakao)
11. Kerjasama pemerintah dan industri dalam peningkatan penyuluhan dan
pendamping petani
160
PENILAIAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI
KAKAO
Elemen
ke-
Elemen ke-
9 8 7 6 5 4 3 2 1
1
2
3
4
5
6
7
8
9
--------< Atas Kerjasamanya Disampaikan Terimakasih >---------
B. Kebijakan Perusahaan dalam pengembangan industri kakao.
Ele
men
1. Pemilihan moda transportasi yang efisien (kapasitas dan utilitas)
2. Pemilihan lokasi pabrik yang lebih murah
3. Investasi teknologi proses pengolahan yang lebih fleksibel
4. Pengelolaan pemasok dan peningkatan kemampuan pemasok
5. Penerapan streamline stock dan optimalisasi pengiriman
6. Penerapan teknologi informasi dalam perencanaan
7. Penjadwalan pengiriman secara ketat
8. Pemilihan pemasok dengan penetapan kriteria dan penerapan standar
budidaya
9. Peningkatan kemampuan pemasok
161
Lampiran 4 Data kinerja industri kakao aspek efisiensi
DR
IVE
R
BO
BO
T
DR
IVE
R
SUB-DRIVER
BOBOT
SUB
DRIVER
NO PENILAIAN DRIVER
PENILAIAN
PERUSAHAAN AGREGAT
P 1 P 2 P 3 IN
FA
SIL
ITA
S
0.0
95
PENGELOLAAN
FASILITAS 0.140
1 Manajemen pabrik 3 7 6 5.3
2 Manajemen gudang 5 8 7 6.7
3 Manajemen
kendaraan 3 4 4 3.7
4 Stabilitas produksi 3 6 6 5.0
5 Teknologi 6 5 4 5.0
LOKASI 0.544 6 Kedekatan fasilitas 3 7 3 4.3
7 Infrastruktur jalan 3 6 3 4.0
KAPASITAS
FASILITAS 0.158
8 Utilitas gudang 9 5 7 7.0
9 Utilitas pabrik 9 8 8 8.3
10 Utilitas kendaraan 7 2 7 5.3
FLEKSIBILITAS
FASILITAS 0.158
11 Fleksibilitas
kendaraan 6 5 6 5.7
12 Fleksibilitas gudang 2 3 2 2.3
13 Fleksibilitas pabrik 6 9 6 7.0
INV
EN
TO
RY
0.3
82
PERPUTARAN
PRODUK 0.268
14 Aliran bahan baku 2 2 2 2.0
15 Aliran produk 2 9 2 4.3
16 Decay rate produk 8 2 8 6.0
17 Decay rate bahan
baku 3 7 5 5.0
KUANTITAS BARANG
0.117
18 Keamanan stok
produk 4 2 4 3.3
19 Keamanan stok bahan
baku 8 2 7 5.7
20 Streamline stock 7 8 5 6.7
21 Optimalisasi pengiriman
2 2 4 2.7
PENGELOLAAN GUDANG
0.614
22 Penataan gudang 8 4 5 5.7
23 Arus barang di
gudang 8 6 5 6.3
TR
AN
SP
OR
-
TA
SI
0.3
47
VEHICLE FLOW 0.500
24 Penjadwalan pengiriman
8 9 4 7.0
25 Ketepatan waktu
pengiriman 8 4 5 5.7
PRICE OF TRIP 0.500 26 Daya angkut truk 7 7 7 7.0
SO
UR
CIN
G
0.1
11
PENILAIAN
PEMASOK 0.091
27 Manajemen pemasok 7 5 7 6.3
28 Peningkatan
kemampuan pemasok 7 6 4 5.7
29 Kriteria pemasok 7 4 7 6.0
30 Pertanian
berkelanjutan 7 6 2 5.0
INTEGRASI
PEMASOK 0.455 31 Integrasi pemasok 7 5 6 6.0
KEERATAN HUB PEMASOK
0.455 32 Hubungan pemasok 7 6 7 6.7
INF
OR
MA
SI
0.0
65
INTEGRASI
PERMINATAAN 0.500 33 Integrasi permintaan 8 3 7 6.0
KOORDINASI 0.500 34
Perencanaan yang baik
9 5 5 6.3
35 Pengendalian 7 8 7 7.3
162
Lampiran 5 Data kinerja industri kakao aspek responsivitas D
RIV
ER
BO
BO
T
DR
IVE
R
SUB-DRIVER
BOBOT
SUB
DRIVER
NO PENILAIAN
DRIVER
PENILAIAN
PERUSAHAAN AGREGAT
P 1 P2 P 3 IND
FA
SIL
ITA
S
0.0
64
PENGELOLAAN
FASILITAS 0.333
1 Manajemen
jumlah permintaan 7 3 8 6.0
2 Manajemen waktu
pemenuhan 7 7 6 6.7
3 Aliansi strategis 9 4 7 6.7
4 Teknologi 7 2 7 5.3
LOKASI 0.333
5 Kedekatan 3 4 4 3.7
6 Infrastruktur jalan 3 5 2 3.3
7 Infrastruktur
pelabuhan 2 6 3 3.7
FLEKSIBILITAS
FASILITAS 0.333
8 Fleksibilitas
kendaraan 4 8 3 5.0
9 Fleksibilitas
gudang 2 6 8 5.3
10 Fleksibilitas pabrik 2 8 4 4.7
INV
EN
TO
RY
0.3
48
PERPUTARAN
PRODUK 0.6
11 Decay rate produk 8 9 2 6.3
12 Decay rate bahan
baku 4 8 2 4.7
KUANTITAS
BARANG 0.2
13 Keamanan stok
produk 8 5 4 5.7
14 Keamanan stok
bahan baku 8 7 2 5.7
PENGELOLAAN
GUDANG 0.2
15 Penataan gudang 8 3 9 6.7
16 Arus barang di
gudang 8 7 4 6.3
TR
AN
S
PO
RT
AS
I
0.3
2
VEHICLE FLOW 1
17 Penjadwalan
pengiriman 8 3 3 4.7
18 Ketepatan waktu
pengiriman 8 7 7 7.3
SO
UR
CIN
G
0.1
33
PENILAIAN
PEMASOK 0.21
19 Manajemen
pemasok 8 2 8 6.0
20 Peningktn kemam-
puan pemasok 7 3 8 6.0
21 Hubungan
pemasok 7 7 6 6.7
22 Tingkat
kepercayaan 7 6 9 7.3
INTEGRASI
PEMASOK 0.24 23
Integrasi aktivitas
produksi 7 8 6 7.0
KEERATAN
HUB PEMASOK 0.55 24
Jangka waktu
hubungan 7 8 8 7.7
INF
OR
MA
SI
0.1
33
INTEGRASI
PERMINATAAN 0.5 25
Integrasi proses
dan produk 8 4 7 6.3
KOORDINASI 0.5 26 Perencanaan 8 4 2 4.7
27 Pengendalian 7 6 6 6.3
163
Lampiran 6 Jawaban pakar penilaian kebijakan pemerintah dalam pengembangan
industri kakao
(Pakar 2: BD) 11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1
1 V V V V V V V V V V
2 V A V V V V V V V
3 A A X X X A A A
4 V A V V V V V
5 A A V V V V
6 A A V V V
7 A A X X
8 A A X
9 A A
10 V
11
(Pakar 2: AHM) 11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1
1 A A X V A A A V A V
2 A A A O A A A A A
3 A A X V A A A V
4 A A A X A A A
5 X X V V V X
6 X X V V V
7 A A X V
8 A A A
9 X X
10 X
11
(Pakar 3: MJ)
11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1
1 V V V V V V V X X X
2 V V V V V V V X X
3 V V V V V V V X
4 V V V V V V V
5 V V V V V X
6 V V V V V
7 A X V V
8 A A A
9 A A
10 A
11
164
Lampiran 7 Jawaban pakar penilaian kebijakan perusahaan dalam pengembangan
industri kakao
(Pakar 1: BD) 9 8 7 6 5 4 3 2 1
1 A V V V V A X V
2 A A A V A A A
3 A V V V V V
4 A V V V V
5 A A A V
6 A A A
7 A X
8 A
9
(Pakar 2: AHM) 9 8 7 6 5 4 3 2 1
1 A A X A X A A A
2 A A A X X A A
3 V V V V V V
4 X X V V V
5 A A X X
6 A A V
7 A A
8 X
9
(Pakar 3: MJ) 9 8 7 6 5 4 3 2 1
1 V V V V V V V A
2 V V V V V V V
3 X X X X V X
4 A A A A A
5 X X X V
6 A A A
7 X X
8 X
9
165
Lampiran 8 Penentuan level kebijakan pemerintah
Iterasi 1
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Kebjakan Rechability Antecedent Intersection Level
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1,2,3,4,5,6,7,8,9,10,11 1 1
2 0 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 2 2,3,4,5,6,7,8,9,11 1,2,10 2
3 0 0 1 0 0 0 1 1 1 0 0 3 3,7,8,9 1,2,3,4,5,6,7,8,9,10,11 3,7,8,9 1
4 0 0 1 1 1 1 1 1 1 0 1 4 3,4,5,6,7,8,9,11 1,2,4,10 4
5 0 0 1 0 1 1 1 1 1 0 0 5 3,5,6,7,8,9 1,2,4,5,10,11 5
6 0 0 1 0 0 1 1 1 1 0 0 6 3,6,7,8,9 1,2,4,5,6,10,11 6
7 0 0 1 0 0 0 1 1 1 0 0 7 3,7,8,9 1,2,3,4,5,6,7,8,9,10,11 3,7,8,9 1
8 0 0 1 0 0 0 1 1 1 0 0 8 3,7,8,9 1,2,3,4,5,6,7,8,9,10,11 3,7,8,9 1
9 0 0 1 0 0 0 1 1 1 0 0 9 3,7,8,9 1,2,3,4,5,6,7,8,9,10,11 3,7,8,9 1
10 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 10 2,3,4,5,6,7,8,9,10,11 1,10 10
11 0 0 1 0 1 1 1 1 1 0 1 11 3,5,6,7,8,9,11 1,2,4,10,11 11
Iterasi 2
1 2 4 5 6 10 11 Kebjakan Rechability Antecedent Intersection Level
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1,2,4,5,6,10,11 1 1
2 0 1 1 1 1 0 1 2 2,4,5,6,11 1,2,10 2
4 0 0 1 1 1 0 1 4 4,5,6,11 1,2,4,10 4
5 0 0 0 1 1 0 0 5 5,6, 1,2,4,5,10,11 5
6 0 0 0 0 1 0 0 6 6 1,2,4,5,6,10,11 6 2
10 0 1 1 1 1 1 1 10 2,4,5,6,10,11 1,10 10
11 0 0 0 1 1 0 1 11 5,6,11 1,2,4,10,11 11
Iterasi 3
1 2 4 5 10 11 Kebjakan Rechability Antecedent Intersection Level
1 1 1 1 1 1 1 1 1,2,4,5,10,11 1 1
2 0 1 1 1 0 1 2 2,4,5,11 1,2,10 2
4 0 0 1 1 0 1 4 4,5,11 1,2,4,10 4
5 0 0 0 1 0 0 5 5 1,2,4,5,10,11 5 3
10 0 1 1 1 1 1 10 2,4,5,10,11 1,10 10
11 0 0 0 1 0 1 11 5,11 1,2,4,10,11 11
Iterasi 4
1 2 4 10 11 Kebjakan Rechability Antecedent Intersection Level
1 1 1 1 1 1 1 1,2,4,10,11 1 1
2 0 1 1 0 1 2 2,4,11 1,2,10 2
4 0 0 1 0 1 4 4,11 1,2,4,10 4
10 0 1 1 1 1 10 2,4,10,11 1,10 10
11 0 0 0 0 1 11 11 1,2,4,10,11 11 4
Iterasi 5
1 2 4 10 Kebjakan Rechability Antecedent Intersection Level
1 1 1 1 1 1 1,2,4,10 1 1
2 0 1 1 0 2 2,4 1,2,10 2
4 0 0 1 0 4 4 1,2,4,10 4 5
10 0 1 1 1 10 2,4,10 1,10 10
Iterasi 6
1 2 10 Kebjakan Rechability Antecedent Intersection Level
1 1 1 1 1 1,2,10 1 1
2 0 1 0 2 2 1,2,10 2 6
10 0 1 1 10 2,10 1,10 10
Iterasi 7
1 10 Kebjakan Rechability Antecedent Intersection Level
1 1 1 1 1,10 1 1 8
10 0 1 10 10 1,10 10 7
166
Lampiran 9 Hasil matriks reachability final untuk kebijakan perusahaan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 DP R
1 1 1 1 0 1 1 1 1 0 7 3
2 0 1 0 0 0 1 0 0 0 2 6
3 1 1 1 1 1 1 1 1 0 8 2
4 1 1 0 1 1 1 1 1 0 7 3
5 0 1 0 0 1 1 0 0 0 3 5
6 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 6
7 0 1 0 0 1 1 1 1 0 5 4
8 0 1 0 0 1 1 1 1 0 5 4
9 1 1 1 1 1 1 1 1 1 9 1*
D 4 8 3 3 7 9 6 6 1
Keterangan:
D = Ketergantungan (dependence)
DP = Daya Dorong (driver power)
R = Rangking (tanda * merupakan elemen kunci)
Lampiran 10 Matriks daya dorong–ketergantungan kebijakan perusahaan
pendukung pengembangan industri kakao
9 9
8 3
7 4 1
6
5 7,8
4
3 5
2 2
1 6
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Ketergantungan (Dependence)
Da
ya
Do
ro
ng
(D
riv
er P
ow
er)
Sektor IV
Sektor I
Sektor II
Sektor III
167
Lampiran 11 Diagram model struktural kebijakan perusahaan dalam
pengembangan industri kakao
(9) Peningkatan kemampuan pemasok
(6) Penerapan teknologi informasi dalam
perencanaan
(1) Pemilihan moda transportasi yang efisien
(kapasitas dan utilitas)
(2) Pemilihan lokasi pabrik yang lebih
murah
(5) Penerapan streamline stock dan
optimalisasi pengiriman
(7) Penjadwalan pengiriman secara
ketat
(8) Pemilihan pemasok dengan
penetapan kriteria dan penerapan
standar budidaya
(3) Investasi teknologi proses
pengolahan yang lebih fleksibel (4) Pengelolaan pemasok
168
Lampiran 12 Industri kakao yang mulai aktif kembali
No Perusahaan Lokasi Kapasitas Terpasang (Ton)
Semula Menjadi
1 PT. Effem Indonesia Makassar 17 000 17 000
2 PT. Jaya Makmur Hasta Tangerang 15 000 15 000
3 PT. Unicom Kakao Makmur Sulawesi Makassar 10 000 10 000
4 PT. Davomas Abadi Tangerang 140 000 140 000
5 PT. Maju Bersama Cocoa Industries Makassar 20 000 20 000
Total 202 000 202 000
Sumber : Kemenperin 2011
Lampiran 13 Industri kakao yang mengalami penambahan kapasitas
No Perusahaan Lokasi Kapasitas Terpasang (Ton) Penambahan
Semula Menjadi (Ton) %
1 PT.General Food Industry Bandung 80.000 100.000 20.000 25
2 PT.Bumitangerang Tangerang 48.000 96.000 48.000 100
3 PT. Cocoa Ventures Medan 7.000 14.000 7.000 100
4 PT.Teja Sekawan Surabaya 15.000 24.500 9.500 63
5 PT.Kakao Mas Gemilang Tangerang 375 450 75 20
6 PT. Gandum Mas Kencana Tangerang 10.000 15.000 5.000 50
7 PT. Freyabadi Indotama Karawang 22.500 25.000 2.500 11
8 PT. Sekawan Karsa Mulia Jakarta 6.000 7.000 1.000 17
Total
188.875 281.950 93.075 49
Sumber : Kemenperin 2011
Lampiran 14 Jadwal survei lapangan
Lokasi Tanggal Survei
Makasar 1 - 6 Maret 2010
Kabupaten Luwu Utara 8 - 13 Maret 2010.
Kabupaten Pinrang 14 - 18 Maret 2010,
Kabupaten Bone 19 - 23 Maret 2010
Kabupaten Bulukumba 24 -27 Maret 2010
Makasar 28 Maret – 1 April 2010
169
Lampiran 15 Informan dalam survei lapangan:
Kabupaten Luwu Utara
Informan Kelompok yang diwakili
Pesianus Lesnussa Pedagang dan mewakili KOPTAN Prima Jaya
Nusla APKAI (Asosiasi Petani Kakao Indonesia) Luwu Utara
Abu Rasyid KUB (Kelompok Usaha Bersama) Sibalirosoe
Jumadi Petani/Anggota Kelompok Tani
Jasmani Dinas Koperasi, Perdagangan & Perindustrian
Mahfud Bidang Perdagangan
Kabupaten Pinrang
Informan Kelompok yang diwakili
Syamsudin F Kelompok Tani Temangengi
Hamasing Dinas Kehutanan & Perkebunan
Abidin Gazali Fasilitator Petani MARS
Rais Petani dari BT Parimba
Malliy Angta Pedagang kakao
Kabupaten Bone
Informan Kelompok yang diwakili
Firitiah Nur Dinas Perindustrian dan Perdagangan
Lintar Petani
Nasir Ketua KLP Tani
Latif Pedagang kabupaten
Lamading Dinas kehutanan dan Perkebunan
Kabupaten Bulukumba
Informan Kelompok yang diwakili
Abri, S.Pd Anggota Kelompok Tani “Emas Hijau”
Kamaruddi BUMP
H. M Amir Pedagang
H. Tamsil Sp BPP Bulo-Bulo
Ir. H. Akhmad Syahtar Dinas Kehutanan dan Perkebunan
Drs. H. Suddin, MSi Kepala Diskop UKM
170
Lampiran 16 Narasumber, pakar dan praktisi
Narasumber Lembaga Kepakaran / Praktisi
Sindra Wijaya, SE BT Cocoa dan AIKI Praktisi industri kakao
Dr Undang Fajar PT RPN Perkakaoan
Dr Andi Fahmi Lubis FE Univ Indonesia Kebijakan industri
Dr. Ir. Bambang Dradjat PT RPN Kebijakan industri
perkebunan
Dr. Ir. A. Husni Malian Balitbang Kementan Ekonomi Pertanian
Dr. Ir. Misnawi Jati Puslit Kopi dan Kakao
Indonesia (ICCRI)
Teknologi pengolahan
kakao
Monty SP, PhD Kementrian Pertanian Penyuluhan pertanian
Mima Rangkuty, MSi Kementerian Perindustrian Kebijakan industri agro
Musdalifah Kemenko Ekonomi Kebijakan industri agro
Ir M Dakhri Eksportir (PT Nedcom) Perdagangan ekspor kakao
Armajro Eksportir Perdagangan ekspor kakao
Ir Tommy Suplier GFI di Lampung Pedagang mitra industri
Ir. Kapson Dinas Kehutanan dan
Perkebunan Prov Lampung
Budidaya kakao
Ir. Gigih Lab. TIAB BPPT Teknologi pengolahan
kakao
171
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Blitar pada tanggal 7 Juli 1968, sebagai anak kedua dari
empat bersaudara dari pasangan Pramudji dan (alm) M Andiyati. Pendidikan
sarjana ditempuh di Jurusan Statistika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, lulus pada tahun
1993. Pada tahun 1999 penulis diterima di Program Studi Magister Perencanaan
dan Kebijakan Publik, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan
menamatkannya pada tahun 2001. Kesempatan untuk melanjutkan ke program
doktor diperoleh pada tahun 2008 di Program Studi Teknologi Industri Pertanian
pada Program Pascasarjana IPB. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi.
Karya ilmiah berjudul “Penerapan Teknik ISM untuk Perumusan Kebijakan
Pengembangan Industri Kakao” siap terbit pada Jurnal Sains dan Teknologi
Indonesia (JSTI) Vol. 17, No. 3, Agustus 2015. Artikel lain berjudul “Measuring
Performance of Supply Chain Efficiency and Responsiveness for Policy
Formulation of Cocoa Industry Development” siap terbit pada Journal of Research
in International Business and Management (JRIBM) (ISSN: 2251-0028). Pada 11
Juni 2013. Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S-3
penulis.