Upload
others
View
6
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
ii
MODEL TERAPI LINGUISTIK "KINECT-BASED DYSLEXIA
THERAPY” TERHADAP ANAK PENYANDANG DISLEKSIA
DI SULAWESI SELATAN:
(Kajian Neuropsikolinguistik)
MODEL OF LINGUISTIC THERAPY ”KINECT-BASED DYSLEXIA THERAPY” FOR DYSLEXIC CHILDREN IN SOUTH SULAWESI:
(Neuropsycholinguistic Studies)
TAMMASSE
P0300314002
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
iii
MOTTO DAN PENDEDIKASIAN
"Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majelis", maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan
apabila dikatakan: "Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di
antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang
kamu kerjakan." (QS. Al-Mujadilah:11)
Disertasi ini kudedikasikan kepada:
pohon rinduku, jumraini tammasse (ibu anak-anakku), buah cintaku, iin fadhilah utami tammasse, dan gita fitri aidini
tammasse, generasi “pattola-palallo”ku, pelanjut segala cita-cita luhurku, ……… serta kepada seluruh generasi muda
bangsaku agar merdeka dari ketidakmampuan membaca dan menulis (disleksia) ……
Makassar, 20 Februari 2018
H. Tammasse Balla
iv
PERSETUJUAN UJIAN PROMOSI
MODEL TERAPI LINGUISTIK "KINECT-BASED DYSLEXIA THERAPY”
TERHADAP ANAK PENYANDANG DISLEKSIA DI SULAWESI SELATAN:
Kajian Neuropsikolinguistik
Tammasse
NIM P0300314002
Makassar, 20 Februari 2018
Menyetujui:
Promotor,
Prof. Dr. Abdul Hakim Yassi, Dipl. TESL., M.A.
Kopromotor I, Kopromotor II, Dr. dr. Jumraini T., S.Ked., Sp.S. Dr. Ikhwan M. Said, M.Hum.
Mengetahui:
Ketua Program Studi S3 Ilmu Linguistik,
Dr. Ikhwan M. Said, M.Hum.
v
PERNYATAAN KEASLIAN DISERTASI
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Tammasse
Nomor Induk Mahasiswa : P0300314002
Program Studi : Ilmu Linguistik
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa disertasi yang saya tulis ini
benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan
pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila di kemudian hari
terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan disertasi ini
hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan
tersebut.
Makassar, 20 Februari 2018
Yang menyatakan,
Tammasse
vi
KATA PENGANTAR
Tidak ada kata yang paling tepat saya ucapkan kecuali rasa syukur
saya panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala nikmat kesehatan dan
kesempatan sehingga disertasi ini dapat saya rampungkan.
Disertasi ini merupakan karya yang dilakukan dengan proses panjang,
butuh pengorbanan, keuletan, dan kesabaran tinggi. Tanpa bantuan,
petunjuk, bimbingan, dan arahan berharga dari Tim Pembimbing, masing-
masing Prof. Dr. Abdul Hakim Yassi, Dipl., TESL., M.A. (Promotor),
Dr.dr.Hj. Jumraini Tammasse, S.Ked., Sp.S. (Kompromotor I) dan kepada
Dr. Ikhwan M. Said., M.Hum., tanpa bimbingan mereka, disertasi ini belum
tentu dapat terwujud seperti sekarang ini.
Segala kritikan membangun, perbaikan, dan saran yang sangat
berguna dari tim penguji: Prof. Dr. H. A. Jufri, M.Pd. (penguji eksternal dari
Universitas Negeri Makassar (UNM), Prof. Dr. H. Hamzah A. Machmoed,
M.A., Dr. Hj. Nurhayati Syairuddin, M.Hum., Dr. H. Basrah Gising, M.Si.
(penguji internal) yang telah memperkaya kedalaman pemahaman saya
terhadap objek dan pembahasan penelitian ini.
Ucapan terima kasih saya tujukan kepada Rektor Universitas
Hasanuddin, Prof. Dr. Dwia Aries Tina Palubuhu, M.A., Prof Dr. Junaidi
Muhidong, M.A. dan Wakil Rektor lainnya atas segala pelayanan
administrasi yang prima selama saya menempuh pendidikan S3 di Prodi S3
Ilmu Linguistik, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin.
vii
Kepada Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin,
Prof. Dr. Akin Duli, M.A., Wakil Dekan I, Dr. H. Fathu Rahman, M.Hum.,
Wakil Dekan II, Prof. Dr. Abdul Rasyid Asba, M.A. dan Wakil Dekan III.,
Dr. A. Muhammad Akhmar, S.S., M.Hum. atas bantuan dan dorongan
hingga saya tiba pada penghujung penyelesaian studi. Jasa baik yang tidak
bisa saya lupakan dari Dekan FIB Universitas Hasanuddin (periode 2009-
2017), Prof. Drs. H. Burhanuddin Arafah, M.Hum., Ph.D. yang selalu
memberikan motivasi kepada saya agar secepatnya menyelesaikan studi.
Demikian pula dorongan semangat dari Prof. Dr. Hj. Nurhayati Rahman,
M.Hum., yang hampir tiap bertemu selalu “menagih” saya “Kapan Doktor?”
Ucapan terima saya tujukan kepada Dr. Ikhwan M.Said, M.Hum
selaku Ketua Program Studi S3 yang tak henti-hentinya mendorong saya
untuk melangkah selangkah demi selangkah dalam proses penyelesaian
studi. Demikian pula kepada mendiang Prof. Stanislaus Sandarupa, M.A.
Ph.D., semasa hidupnya beliau pada setiap kesempatan menuntun saya
dalam memahami cakrawala ilmu pengetahuan linguistik yang amat luas itu.
Kepada seluruh guru saya mulai dari SD, SMP, SMA, S1, S2, sampai
S3 yang tidak sempat disebutkan satu per satu di sini, dengan penuh
kerendahan hati, saya menyampaikan terima kasih tak terhingga. Semoga
segala ilmu yang telah dititiskan kepada saya dapat menjadi amal jariah.
Tiga orang yang amat berjasa dalam proses penyelesaian studi saya,
masing-masing Dr.dr.Hj. Jumraini Tammasse, S.Ked.,Sp.S., Iin Fadhilah
Utami Tammasse, S.Ked., dan Gita Fitri Aidini Tammasse, istri dan kedua
viii
putriku. Mereka tak henti-hentinya memberikan dorongan semangat disertai
doa sehingga tahap demi tahap penulisan disertasi dapat terlewati tanpa
hambatan yang berarti. Dengan penuh pengertian, kepentingan ketiga orang
ini seringkali saya kesampingkan demi kepentingan studi saya.
Secara khusus saya ingin mengungkapkan terima kasih dan
penghargaan setinggi-tingginya kepada Dr. H. Fathu Rahman, M.Hum. atas
kritik dan catatan-catatan pertimbangan yang diberikan saat berdiskusi. Pada
satu kesempatan, saya sempat bekerja satu tim dengan beliau untuk
kegiatan pengabdian masyarakat yang saya ketuai. Saya tahu beliau amat
sibuk dengan kesibukannya sebagai Wakil Dekan Bidang Akademik dan
Pengembangan FIB Unhas, namun beliau selalu saja menyisihkan waktu
untuk bertukar pikiran disertai dengan canda khasnya. Saya tidak akan
pernah melupakan itu, walaupun dalam diskusi tersebut tidak selalu pikiran
kami sejalan.
Ayah saya H. Balla (almarhum) dan ibu saya Hj. Asia Balla
(almarhumah), orang yang mendambakan saya mengenyam pendidikan
tertinggi. Doa mereka Insya Allah dikabulkan oleh Allah meskipun beliau
tidak sempat menyaksikan saya berdiri di podium terhormat untuk
mempertahankan disertasi saya sebagai bagian yang harus saya jalani untuk
memperoleh gelar akademik maha terpelajar. Disertasi ini saya dedikasikan
kepada mereka.
ix
Saya tidak boleh melupakan jasa baik orangtua para subjek penelitian
saya, yang tidak mungkin saya sebutkan satu per satu. Juga kepada
Drs. Achmad, M.M., Kepala SLB Negeri 2 Makassar dan seluruh staf, tanpa
bantuan dan persetujuan mereka, penelitian ini bisa terhambat. Demikian
halnya kepada Tim Etik Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin atas
penerbitan keterangan etik untuk pelaksanaan penelitian saya.
Kepada rekan seperjuangan, M. Dahlan Abubakar, Ahmad, Rita
Tanduk, Fitri Arniati, Nirwanto Ma'ruf, Supriadi, Lewi, Antonius Wotun,
Umar, Lalu Santana adalah teman seperjuangan di Prodi S3 Ilmu Linguistik
FIB Unhas. Semboyan kami, “mari kita kukuh dalam cita-cita mulia ini,
semoga perjuangan ini membuahkan hasil yang diidamkan”.
Kepada adik-adikku, Hj. Nurbah Balla, S.Pd., dan keluarga, Nur
Asibah Balla, S.Pd., M.Pd., dan keluarga, yang selalu memberikan motivasi
sehingga saya dapat menyelesaikan pendidikan tertinggi ini. Demikian pula
kepada adik ipar saya, dr. Sabriani M. Said, S.Ked. dan keluarga yang
selalu mengingatkan saya agar tetap menjaga kesehatan, sehingga
alhamdulillah, saya bisa menempuh pendididkan ini dengan sukses. Tak lupa
pula saya menyampaikan terima kasih kepada adik Dya Puspitasari H. La
Tuwo (Lidya) yang menemani saya sewaktu pengambilan data di SLB
Negeri 2 Makassar.
Akhirnya, kepada semua pihak yang tidak sempat saya sebutkan satu
per satu, yang telah membantu saya, baik langsung maupun tidak langsung,
x
saya sampaikan terima kasih. Semoga disertasi ini memberi manfaat. Amin
YRA.
Makassar, 20 Februari 2018
Tammasse
xi
Abstrak
TAMMASSE. Model Terapi Lingusitik “Kinect-Based Dyslexia Therapy” terhadap Anak Penyandang Disleksia di Sulawesi Selatan: Kajian Neuropsikolinguistik (dibimbing oleh Abdul Hakim Yassi, Jumraini Tammasse, dan Ikhwan M. Said).
Penelitian ini bertujuan untuk: 1) mendeskripsikan masalah kebahasaan penyandang disleksia dari sisi neuropsikolinguistik, 2) menjelaskan kegagalan berbahasa bagi anak penyandang disleksia dari aspek fonologis, leksikal, dan sintaksis, dan 3) menjelaskan efektivitas terapi (media “kinect-based dyslexia therapy”) untuk meningkatkan kemampuan membaca pada anak disleksia dibandingkan dengan kelompok kontrol. Jenis penelitian ini adalah deskriptif analitik dengan kajian eksperimental melalui pendekatan longitudinal eksperimental. Penelitian ini dilaksanakan pada salah satu Sekolah Luar Biasa (SLB) di Sulawesi Selatan, sebagai sampel, selama satu tahun. Secara purposif, sampel ditetapkan sebanyak 10 orang murid, 5 orang untuk kelompok perlakuan dan 5 orang lainnya kelompok kontrol. Baik kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol memiliki derajat disleksia yang sama berdasarkan hasil uji linguistis dan uji klinis. Persamaan derajat kedua kelompok ini telah memenuhi prinsip dasar metode analisis eksperimental. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat dua tipe disleksia, yaitu developmental dyslexia (bawaan sejak lahir) dan acquired dyslexia (diperoleh karena gangguan atau perubahan cara otak kiri membaca). Developmental dyslexia disandang sepanjang hidup dan umumnya genetik. Jenis disleksia ini dapat memicu lahirnya acquired dyslexia. Acquired dyslexia ini dapat diperbaiki melalui terapi, dan aspek inilah yang menjadi sumbangan penelitian ini. Berdasarkan hasil terapi dengan menggunakan ‘Kinect-Based Dyslexia Therapy”, terlihat perbaikan dari aspek fonologis, leksikal, dan sintaksis dengan pencapaian rata-rata 0.90 (4.51/5=0.90) dari 5 sampel anak suspek disleksia yang mengikuti terapi selama delapan kali sesi terapi. Dengan kata lain, telah terjadi perbedaan yang signifikan dengan nilai p<0,023 pada kelompok perlakuan sebelum dan sesudah terapi (uji T tidak berpasangan), yakni nilai p=0.043. Temuan tersebut menujukkan bahwa penggunaan media “Kinect-Based Dyslexia Therapy” (sesuai prosedur yang tepat) menjadi salah satu rekomendasi yang dapat digunakan untuk membantu anak penyandang disleksia. Kata Kunci: disleksia, neuropsikolinguistik, uji linguistik, uji klinis, Kinect-Based Dyslexia Therapy, terapi
xii
Abstract
TAMMASSE. Model of Linguistic Therapy “Kinect-Based Dyslexia Therapy” for Dyslexic Children in South Sulawesi: Neuropsycholinguistic Studies (supervised by Abdul Hakim Yassi, Jumraini Tammasse, and Ikhwan M. Said).
This study aims to: 1) describe the language problem of dyslexic people from the neuropsycholinguistic side, 2) to explain the language failure for dyslexic children from phonological, lexical and syntactic aspects, and 3) to explain the effectiveness of therapy (media kinect-based dyslexia therapy) to improve reading skill in dyslexic children in comparison with the control group.
The type of this research is an analytic descriptive one with experimental method through experimental longitudinal approach. This research was conducted at one of SLB (Sekolah Luar Biasa) in South Sulawesi, as sample, for one year. By purposive sample were determined by 10 children, 5 children as for treatment group and 5 other as control group one. Both the treatment group and the control group one had the same degree of dyslexia based on linguistics test result and clinical trials record. The equations of these two groups have met the basic principles of the experimental analysis method.
The results shows that there are two types of dyslexia, developmental dyslexia (congenital) and acquire dyslexia (obtained due to disorder or changes in the way the left brain reads). Developmental dyslexia affects throughout the life of the patient and is generally genetic. This type of dyslexia can trigger the birth of acquire dyslexia. The acquire dyslexia can be improved through therapy process, and this aspect to be beneficial contribution of this study.
Based on the results of therapy using “Kinect-Based Dyslexia Therapy” seen improvement of phonological, lexical and syntactic aspects with an average achievement of 0.90 (4.51 / 5 = 0.90) of 5 samples of suspect dyslexic children who followed therapy for eight treatment sessions of therapy. In other words there has been a significant difference with the p-value <0.023 in the treatment group before and after therapy (unpaired T-test) that is p-value = 0.043. From these findings, the therapy using “KInect-Based Dyslexia Therapy” (appropriate procedure) became one of the recommendations that can be used to help children with dyslexia. Keywords: dyslexia, neuropsycholingustics, linguistic test, clinical trials, Kinect-Based Dyslexia Therapy, terapi
xiii
DAFTAR ISI
Halaman:
HALAMAN JUDUL ………………………………………………………...
HALAMAN MOTTO DAN PENDEDIKASIAN …………………………
HALAMAN PENGESAHAN ……………………………………………....
PERNYATAAN KEASLIAN DISERTASI .……………………………....
KATA PENGANTAR .....…………………………………………………..
ABSTRAK …………………………………………………………………..
ABSTRACT …………………………………………………………………
DAFTAR ISI ………………………………………………………………...
DAFTAR ISTILAH …………………………………………………………
DAFTAR SINGKATAN ……………………………………………………
DAFTAR ARTI LAMBANG ……………………………………………….
DAFTAR BAGAN ………………………………………………………….
DAFTAR DIAGRAM ……………………………………………………….
DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………..
DAFTAR TABEL …………………………………………………………...
DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………...
i
ii
iii
iv
v
x
xi
xii
xviii
xix
xx
xxi
xx
xxi
xxiv
xxv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ……………………………………………….
B. Rumusan Masalah ……………………………………………………...
C. Tujuan Penelitian ……………………………………………………….
1
11
12
xiv
1. Tujuan Umum ………………………………………………………...
2. Tujuan Khusus ……………………………………………………….
D. Manfaat Penelitian ……………………………………………………..
1. Manfaat Teoretis ……………………………………………………..
2. Manfaat Pragmatis …………………………………………………..
12
13
13
13
14
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Studi Terdahulu ………………………………………………
B. Landasan Teori ………………………………………………………….
1. Neurolinguistik ………………………………………………………..
1.1 Afasia ……………………………………………………………..
1.2 Disleksia ………………………………………………………….
1.2.1 Epidemiologi ………………………………………………
1.2.2 Klasifikasi Disleksia ………………………………………
1.2.3 Proses Belajar Membaca ………………………………..
1.2.4 Kajian Neuropsikolinguistik Disleksia …………………..
2. Psikolinguistik ………………………………………………………...
2.1 Cabang-cabang Psikolinguistik ………………………………..
2.2 Area Studi ………………………………………………………...
3. Mekanisme dan Teori Pemerolehan Bahasa …………………….
3.1 Pemerolehan Bahasa …………………………………………...
3.2 Mekanisme Pemerolehan Bahasa …………………………….
4. Membaca dan Pemahaman Membaca …………………………….
16
28
28
28
31
34
35
37
38
39
41
44
45
45
47
50
xv
5. Teori Skemata dan Proses Membaca …….……………………...
6. Otak dan Perkembangan Bahasa …………………………………
6.1 Struktur dan Fungsi Otak ……………………………………….
6.2 Bagian-bagian Otak ……………………………………………..
6.3 Gangguan Bicara dan Bahasa …………………………………
6.4 Instrumen Pemeriksaan Otak ………………………………….
7. Faktor Penyebab Disleksia …………………………………………
7.1 Mekanisme Kerusakan Otak pada Disleksia …………………
7.2 Tanda-tanda dan Gejala Disleksia …………………………….
7.3 Diagnosis …………………………………………………………
7.4 Identifikasi Dini Disleksia ……………………………………….
7.5 Alur Skrining Disleksia …………………………………………..
7.6 Penatalaksanaan Disleksia …………………………………….
7.7 Penanganan Disleksia dengan Terapi Video Game ………...
7.8 Media Belajar LexiPal …………………………………………..
7.8.1 Konten LexiPal ……………………………………………
7.8.2 Keunggulan dari Aplikasi LexiPal ……………………….
7.8.3 SOP Pelaksanaan Terapi dengan Aplikasi LexiPal …
7.9 Beberapa Kasus Disleksia ……………………………………..
C. Kerangka Teori ………………………………………………………….
D. Kerangka Konsep …..………………………………………………….
E. Definisi Operasional …………………………………………………….
F. Hipotesis …………………………………………………………………
54
57
59
62
65
67
72
71
80
81
83
86
86
90
96
97
110
112
114
124
125
128
132
xvi
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Desain Penelitian …………………………………………...
B. Prosedur Pengumpulan Data ………………………………………….
C. Lokasi dan Waktu Penelitian ………………………………………….
D. Sumber Data Penelitian ………………………………………………..
1. Data Primer …………………………………………………………...
2. Data Pendukung ……………………………………………………..
E. Populasi dan Sampel …………………………………………………..
1. Populasi ……………………………………………………………….
2. Sampel ………………………………………………………………...
F. Teknik Analisis Data …………………………………………………….
133
135
128
138
138
138
139
139
139
141
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian ………………………………………………………….
1. Hasil Pengamatan terhadap Subjek Penelitian …………………...
a. Bentuk Pengujian ………………………………………………….
1) Uji Linguistis …………………………………………………….
2) Uji Klinis …………………………………………………………
b. Karakteristik Anak Disleksia …………………………………….
c. Faktor Penyebab/Etiologi ………………………………………
2. Penerapan Model Terapi “Kinect-Based Dyslexia Therapy” …....
3. Efektivitas Penggunaan Model Terapi “Kinect-Based Dyslexia
Therapy ……………………………………………………………......
143
143
145
145
172
178
181
184
189
xvii
B. Pembahasan …………………………………………………………….
1. Deskripsi Masalah Kebahasaan Penyandang Disleksia dari
Sisi Neuropsikolinguistik …………………………………………....
a. Perilaku Saat Membaca ………………………………………….
b. Analisis Capaian Subjek …………………………………………..
i) Capaian Melalui Uji Linguistis …………………………………..
ii) Capaian Melalui Uji Klinis ……………………………………….
2. Aspek Etiologi dan Lingkungan Keluarga ………………………...
3. Aspek Perbaikan dan Kerusakan Permanen …………………….
4. Strategi Perbaikan Kesalahan Membaca bagi Penyandang
Disleksia ……………………………………………………………...
6. Efektivitas Hasil Terapi LexiPal ……………………………………
195
195
195
197
197
199
202
207
207
216
BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI
A. Simpulan …………………………………………………………………
B. Rekomendasi ……………………………………………………………
1. Rekomendasi untuk Guru …………………………………………..
2. Rekomendasi untuk Orangtua ……………………………………...
3. Rekomendasi untuk Guru dan Orangtua ………………………….
4. Rekomendasi untuk Pemerintah …………………………………...
223
225
226
226
227
229
xviii
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………
LAMPIRAN-LAMPIRAN …………………………………………………..
230
247
RIWAYAT HIDUP PENELITI ………………………………...…………... 402
xix
DAFTAR ISTILAH
AFASIA BROCA (Lesion), terjadi di sekitar Broca
AFASIA WERNICKE, terjadi di sekitar Wernicke
AFASIA ANOMIK, terjadi di bagian depan dari Lobe Parietal (Antara Lobe Parietal – Lobe temporal)
AFASIA GLOBAL, terjadi tidak di satu atau dua tempat saja, tetapi di beberapa daerah lain (Komplikasi)
AFASIA KONDUKSI, terjadi pada fiber-fiber yang ada pada fsaikulus arkuat yang menghubung Lobe Frontal dengan Lobe Temporal.
DISARTRIA adalah Lafal yang tidak jelas tetapi ujarannya utuh.
AGNOSIA / DIMENSIA adalah gangguan pada pengembangan/ pembuatan ide.
ALEKSIA adalah hilangnya kemampuan untuk membaca.
AGRAFIA adalah hilangnya kemampuan untuk menulis dengan huruf normal.
VOKAL, biasa disebut juga huruf hidup (dalam fonetik) adalah suara di dalam bahasa lisan yang dicirikhaskan dengan pita suara yang terbuka sehingga tidak ada tekanan udaya yang terkumpul di atas glotis.
KONSONAN, biasa disebut juga huruf mati adalah fonem yang bukan vokal dan dengan kata lain direalisasikan dengan obstruksi. Jadi aliran udara yang meliwati mulut dihambat pada tempat-tempat artikulasi.
DIFTONG (vokal rangkap), adalah vokal yang berubah kualitasnya. Dalam sistem tulisan, diftong biasa dilambangkan oleh dua huruf vokal. Kedua huruf vokal itu tidak dapat dipisahkan. Bunyi /aw/ padfa kata “harimau” adalah diftong, swehingga <au> pada suku kata “mau” tidak dapat dipisahkan menjadi “ma-u” seperti pada kata “mau”.
KUARTIL adalah data yang membagi posisi sekumpulan data yang telah diurutkan menjadi empat bagian. Dalam satu urutan data terdapat 3 kuartil, yaitu kuaertil bawah, kuartuil tengah, dan kuartil atas.
TMS, Transcranial Magnetic Stimulation
CT Scan, Computer Tomography Scan
xx
DAFTAR SINGKATAN
ket : keterangan
hal : halaman
dkk : dan kawan-kawan
dll : dan lain-lain
mis : misalnya
uji T : istilah statistik untuk menghitung selisih perbandingan
SPO : subjek predikat objek
SLB : Sekolah Luar Biasa
PSD : Penyandang Suspek Disleksia
SOP : Standard Operating Procedure
K-BDT : Kinect-Based Dyslexia Therapy
xxi
DAFTAR ARTI LAMBANG
[...] : kurung siku, pengapit unsur fonetis
/.../ : kurung miring, pengapit unsur fonemis
‘...’ : tanda petik tunggal, pengapit makna istilah/kata
(...) : kurung biasa, penjelas dari istilah/kata yang
mendahuluinya
(X) : kelompok perlakuan
(Y) : kelompok kontrol
(+) : menyatakan positif
(-) : menyatakan negatif
√ : menyatakan ya
x : menyatakan tidak
≠ : menyatakan tidak sama
→ : mengacu atau merujuk ke
± : kurang lebih
∑ : jumlah
xxii
DAFTAR BAGAN
Halaman:
Bagan 1 : Wilayah Kajian Neurolinguistik 31
Bagan 2 : Wilayah Kajian Psikolinguistik 48
Bagan 3 : Wilayah Pertemuan Kajian Neurolinguistik
dan Psikolinguistik
49
Bagan 4 :
Bagan 5 :
Kerangka Teori Kajian Neuropsikolinguistik
Kerangka Teori
50
124
Bagan 6 :
Bagan 7 :
Kerangka Konsep
Tahapan Pelaksanaan Penelitian
127
137
xxiii
DAFTAR DIAGRAM
Halaman:
Diagram 1 : Nilai Suspek Kelompok Perlakuan (Y) 154
Diagram 2 : Nilai Suspek Kelompok Kontrol (X) 155
Diagram 3 : Penyebutan Huruf (I) –N (C/26) 159
Diagram 4 : Penyebutan Vokal / Konsonan / Diftong / Vokal Rangkap (II) – N (C/30)
161
Diagram 5 : Penyebutan Vokal Rangkap dan Huruf Mirip (III) – N(C/18)
163
Diagram 6 : Penyebutan Gabungan Vokal/Konsonan/Diftong (IV) – N (C/12)
165
Diagram 7 : Penyebutan Kata Bersuku Dua Hingga Bersuku Banyak (V) _ N (C/22)
167
Diagram 8 : Penyebutan Membedakan Pasangan Minimal (VI) – N (C/10)
169
Diagram 9 : Penyebutan dalam Membaca Kalimat / Paragraf (VII) – N (C/18)
171
Diagram 10: Posisi Uji Linguistis dan Uji Klinis 173
Diagram 11: Capaian Intervensi Subjek 193
Diagram 12: Aspek Tindakan Penanganan Disleksia 221
xxiv
DAFTAR GAMBAR
Halaman:
Gambar 1 : Letak Lesi pada Disleksia 19 Gambar 2 : SIstem Membaca dalam Otak 19 Gambar 3 : Disfungsi Hemisfer Kiri Jalur
Membaca pada Developmental Dyslexia
20
Gambar 4 : Struktur dan Fungsi Otak 60 Gambar 5 : Belahan Otak Kiri dan Kanan 61 Gambar 6 : Area Broca dan Area Wernicke 62 Gambar 7 : Paul Broca 63 Gambar 8 : Carl Wernicke 64 Gambar 9 : CT atau CTA 69 Gambar 10 : PET 70 Gambar 11 : MRI 71 Gambar 12 : ERPs 72 Gambar 13 : Letak Lesi Disleksia pada Parieto-
Temporo-Occipital
74 Gambar 14 : Letak Lesi Disleksia 75 Gambar 15 : Perbedaan antara Otak Normal dan
Penyandang Disleksia
78 Gambar 16 : Bentuk dan Pola 99 Gambar 17 : Persamaan, Perbedaan dan
Perbandingan Bentuk dan Pola
100 Gambar 18 : Ingatan Jangka Pendek 101 Gambar 19 : Asosiasi Objek 102 Gambar 20 : Persepsi Arah 103 Gambar 21 : Urutan Aktivitas 104 Gambar 22 : Pemahaman Tempat 105 Gambar 23 : Konsep Waktu 106 Gambar 24 : Keterampilan Sosial 107 Gambar 25 : Huruf 108 Gambar 26 : Suku Kata dan Kata 109 Gambar 27 : Leonardo da Vinci 116 Gambar 28 : Agatha Christy 117 Gambar 29 : Muhammad Ali 118 Gambar 30 : John Lennon 119 Gambar 31 : Steven Sfielberg 120 Gambar 32 : Albert Einstein 121 Gambar 33 : Henry Ford 122
Gambar 34a: Deteksi Otak dengan TMS 144 Gambar 34b: Deteksi Otak dengan TMS 145 Gambar 35 : Perbedaan Otak Anak Normal dan Disleksia 202
xxv
DAFTAR TABEL
Halaman:
Tabel 1 : Data Peserta dengan Hasil Uji Linguistis 136 Tabel 2 : Pengelompokan Uji Linguistis dan Butir Soal 137 Tabel 3 : Data Peserta Hasil Uji Linguistis Berdasarkan
Suspek Disleksia
139 Tabel 4 : Kategori Disleksia Berdasarkan Pembagian Kuartil 141 Tabel 5 : Pembagian Data Peserta untuk Kelompok
Perlakuan dan Kelompok Kontrol Berdasarkan Hasil Uji Linguistis
142 Tabel 6 : Identifikasi Kelompok Perlakuan dan Kelompok
Kontrol
145 Tabel 7 : Penyebutan huruf (I) – Ñ (C/26) 147 Tabel 8 : Penyebutan vokal/konsonan/diftong/vokal rangkap
(II) – Ñ (C/30)
149 Tabel 9 : Penyebutan vokal rangkap dan huruf mirip (III) – Ñ
(C/18)
151 Tabel 10 : Penyebutan gabungan vokal/konsonan/diftong (IV)
– Ñ (C/12)
153 Tabel 11 : Penyebutan Kata Bersuku dua hingga bersuku
banyak (V) – Ñ (C/22)
155 Tabel 12 : Penyebutan membedakan pasangan minimal (VI) –
Ñ (C/10)
157 Tabel 13 : Penyebutan dalam membaca kalimat/paragraf (VII)
– Ñ (C/18)
159 Tabel 14 : Hasil Uji Klinis Responden 163 Tabel 15 : Hasil Pemeriksaan Otak Responden dengan
menggunakan TMS baik Kelompok Perlakuan dan maupun Kelompok Kontrol
171 Tabel 16 : Model dan Keterampilan yang Dilatih 181 Tabel 17 : Perkembangan Capaian melalui Terapi dari Tahap
ke Tahap
181 Tabel 18 : Nilai Uji dan Nilai Saspek Responden Anak PSD 186 Tabel 19 : Paparan Responden Berdasarkan Uji Klinis 189 Tabel 20 : Perbandingan Nilai Saspek Sebelum dan Sesudah
Intervensi
189 Tabel 21 : Tabel 22 : Tabel 23 :
Hasil yang dicapai Kelompok Perlakuan (Y) Setelah Pemberian Intervensi Hasil Uji T-Test Berpasangan pada Kelompok Perlakuan Hasil Uji T-Test Tidak Berpasangan Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol
206
207
208
xxvi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman:
Lampiran 1 : Sekolah Luar Biasa (SLB) di Sulawesi
Selatan
248
Lampiran 2 : Lembar Uji Linguistis 250
Lampiran 3 : Format Rangkuman Hasil Uji Linguistis 259
Lampiran 4 : Lembar Uji Klinis 261
Lampiran 5 : Format Rangkuman Hasil Uji Klinis 266
Lampiran 6 : Daftar Nama Informan/Guru Pembina Murid
Disleksia
267
Lampiran 7 : Daftar Nama Siswa/Murid Suspek Disleksia 271
Lampiran 8 : Tabel Perhitungan Uji Linguistis 273
Lampiran 9 : Permohonan Izin dan Persetujuan Orang
Tua/Wali Murid
275
Lampiran 10 : Surat Tanda Persetujuan Orangtua/Wali
Murid
276
Lampiran 11 : Surat Pernyataan Kesediaan 277
Lampiran 12 : Surat Keterangan Penggunaan Uji Linguistis 278
Lampiran 13 : Surat Keterangan Validasi Penggunaan Alat
Terapi LexiPal
279
Lampiran 14 : Materi Terapi 280
Lampiran 15
Lampiran 16 :
Dokumentasi Pelaksanaan Penelitian
Surat Keterangan Etik Penelitian
362
393
Lampiran 17 : Surat Izin Penelitian 394
Lampiran 18 :
Lampiran 19 :
Lampiran 20 :
Inisialisasi Nama Responden
Sistem Identifikasi Dini Disleksia (Skrining
Awal Disleksia )
Riwayat Hidup Peneliti
395
396
402
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Disleksia adalah sebuah kondisi ketidakmampuan belajar pada
seseorang yang disebabkan oleh kesulitan pada orang tersebut dalam
melakukan aktivitas membaca dan menulis. Disleksia terbagi dua macam,
yaitu: developmental dyslexia, merupakan disleksia yang bersifat genetik
(bawaan sejak lahir), dan acquired dyslexia, ditimbulkan karena gangguan
atau perubahan pada otak kiri (Nation K., 2010; Robin L., et al., 2012).
Istilah ''disleksia'' muncul tahun 1887, 131 tahun lalu yang
diperkenalkan oleh Rudolf Berlin di Jerman Timur. Disleksia terjadi pada 10%
sampai 15% dari populasi anak-anak pada usia sekolah. Ini artinya, 1 dari 10
anak, menyandang disleksia (Nation, K., 2010; Robin, L. et al, 2012). Namun,
prevalensi ini bervariasi di berbagai negara di seluruh dunia. Di Malaysia,
terdapat sekitar 7% dari seluruh populasi anak-anak menyandang disleksia.
Di Amerika Serikat, berdasarkan penelitian NINDS (National Institute of
Neurological Disorders and Stroke) menunjukkan bahwa hingga 17% anak-
anak menyandang disleksia. Di Cina, 8% anak-anak sekolah menyandang
disleksia. Adapun di Australia, 16% dari anak-anak sekolah menyandang
disleksia (Smythe, E. dan Salter, 2004). Menurut Biro Pusat Statistik
2
Indonesia (BPSI, 2014), terdapat sekitar 50 juta anak-anak Indonesia pada
usia 5-7 tahun. Usia antara 5 - 7 tahun ini menjadi perhatian tersendiri karena
pada usia inilah anak-anak pertama kali diperkenalkan dengan membaca
permulaan (alfabet dan kata-kata). Jika 10% atau 1 dari 10 anak tersebut
menyandang disleksia, setidaknya ada 5 juta anak-anak di Indonesia
menyandang disleksia. Kenyataan itu diperkuat oleh Ketua Asosiasi Disleksia
Indonesia, Riyani T. Bondan, bahwa anak penyandang disleksia di Indonesia
semakin meningkat. Dari jumlah anak usia sekolah tersebut mengalami
gangguan membaca dan menulis (disleksia).
Menurut Child Development Institue, (2008:1) (Martini Jamaris,
2014:139) kasus disleksia ditemukan antara 3-6% dari jumlah penduduk.
Namun, kasus yang berkaitan dengan kesulitan membaca yang tidak
digolongkan ke dalam disleksia ditemukan lebih dari 50% dari jumlah
penduduk (Rutter M., Caspi A., Fergusson D., 2004). Menurut Dyslexia
Association International (DAI), diperkirakan terdapat 13-14% dari populasi
usia sekolah menyandang disleksia. Uniknya, angka kasus disleksia lebih
tinggi pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan (Willcutt E.G.,
Pennington B.F., 2000). Perbandingannya berkisar 2:1 sampai 5:1. Hal ini
sering berkaitan dengan gangguan komorbid seperti Attention Deficit /
Disorder (ADHD), (Peterson, R.L., dan Pennington, B.F, 2012).
Indonesia termasuk negara urutan menengah yang memiliki tingkat
penyandang disleksia bagi anak-anak. Sulawesi Selatan berkontribusi di
3
dalamnya. Menurut penelitian, diperkirakan 1 dari 10 orang anak di Indonesia
adalah penyandang disleksia (merdeka.com, 2011). Jika angka perkiraan itu
diterapkan di Sulawesi Selatan, dengan jumlah anak usia sekolah berkisar
65.534 jiwa (data BPS Sulawesi Selatan, 2017) maka penyandang disleksia
di Sulawesi Selatan pada akhir 2017 mencapai angka +6.500 orang. Tentu ini
bukan angka kecil.
Berdasarkan data lapangan, penanganan disleksia di Sulawesi
Selaran dimulai sekitar tahun 70-an dan masih ditangani di sekolah anak
cacat. Pada tahun 80-an, Sulawesi Selatan memperoleh bantuan
pembangunan Sekolah Luar Biasa (SLB). Adapun SLB pertama dibangun di
Sulawesi Selatan adalah SLB yang terletak di Jalan Cendrawasih Makassar.
Sejak saat itu, perhatian nyata pemerintah terhadap penanganan masalah
ketunaan ini (termasuk di antaranya adalah disleksia) semakin baik.
Memasuki tahun 90-an, pemerintah telah membangun beberapa SLB di
beberapa daerah di Sulawesi sejalan dengan penerimaan guru yang
menangani disleksia.
Bagi kebanyakan ahli, termasuk di Indonesia, disleksia adalah kondisi
yang menetap seumur hidup dan hanya terjadi pada anak yang minimal
memiliki IQ normal. Disleksia bukanlah sebuah penyakit yang dapat
disembuhkan melainkan suatu kondisi yang diwariskan (T. Wood, 2006).
Namun, dengan terapi yang tepat, misalnya melalui terapi remedial, anak
disleksia dapat mengatasi masalahnya dan berhasil menyelesaikan
4
sekolahnya (S.E. Shaywitz dan B. A. Shaywitz, 2003). Karena pemahaman
orang yang sedikit tentang disleksia, orang akan menilai anak disleksia
seperti anak keterbelakangan mental. Padahal, sebenarnya justru mereka
anak cerdas pada kemampuan lainnya. Misalnya, kemampuan bersosialisasi
dan kemampuan dalam menyelesaikan masalah.
Disleksia tidak disebabkan oleh tingkat kecerdasan anak yang rendah.
Dalam kehidupan sehari-hari, penyandang disleksia tampak seperti orang
kebanyakan karena gangguan disleksia tidak terlihat secara fisik. Namun
penyandang disleksia akan mengalami kesulitan ketika mereka harus
membaca, menulis, mengurutkan angka, atau menerima perintah, khususnya
perintah tertulis (Abdurrahman, Mulyono, 2003).
Dampak dari disleksia bila tidak ditangani dengan baik, dapat memiliki
efek yang berlangsung pada masa depan generasi bangsa. Majalah Pusat
Nasional untuk Learning Disabilities edisi ke-3 (2014) melaporkan bahwa
orang-orang dengan gangguan belajar, termasuk disleksia memiliki tingkat
kelulusan lebih rendah di perguruan tinggi. Kondisi seperti itu memiliki tingkat
pengangguran lebih tinggi dibandingkan populasi umum yang normal serta
memengaruhi tingkat rasa kepercayaan diri penyandangnya.
Finn, E.S., et al (2013), menyebutkan bahwa penyebab disleksia
hingga saat ini belum diketahui secara pasti. Para peneliti sudah berusaha
dengan berbagai cara untuk menemukan penyebab dasar biologis disleksia.
Upaya itu dilakukan sejak pertama kali teridentifikasi oleh Oswald Berkhan
5
pada tahun 1881. Penyebab disleksia dilihat dari konteks biologis,
disebabkan oleh faktor genetik atau keturunan (Fisher S.E., de Fries J.C.,
2002). Penelitian yang dilakukan oleh Grigorenko menghasilkan 20-65%
anak disleksia juga memiliki orangtua mengalami kesulitan membaca (Wenar
dan Kerig, 2006). Masalah dalam migrasi neuron/saraf, penelitian oleh Simos
(McGrath L.M., Smith S.D., Pennington B.F., 2006) menunjukkan bahwa anak
disleksia memiliki pola aktivitas yang berbeda dengan anak normal. Anak
normal menggunakan hemisfer kiri, sedangkan anak disleksia hemisfer
kanan (Wenar dan Kerig, 2006). Ada juga kerusakan akibat hipoksi-iskemik
saat prenatal di daerah parieto-temporo-oksipital, yakni lobus-lobus dalam
otak, pengaruh hormonal prenatal seperti testosteron (Byrne Brian, Cara
Delaland, Ruth Fielding‐Barnsley, Peter Quain, et al., 2002).
Para ilmuwan saat ini menggunakan teknologi seperti Magnetic
Resonance Imaging Functional (fMRI) untuk lebih memahami gangguan di
otak penyandang disleksia (Eicher, J.D., dan Gruen, J.R., 2013). Paula Tallal,
Ph.D., seorang peneliti psikologi dan cognitif neuroscientist, di Rutgers
University dengan menggunakan fMRI, menemukan bahwa pada
penyandang disleksia mengalami penurunan aktivitas dalam area bahasa di
daerah temporo parietal kiri otak selama pemrosesan fonologi. Penelitian
lebih lanjut menunjukkan bahwa anak-anak dengan disleksia tidak
menunjukkan aktivasi di korteks prefrontal kiri ketika membedakan antara
6
rangsangan akustik yang cepat dan lambat. Disfungsi tersebut berhubungan
dengan perubahan konektivitas di area fonologis (membaca) (Emily B. Myers,
2005).
Pembelajaran berbasis linguistik dan ilmu saraf, dikombinasikan
dengan teknologi baru yang mengarah ke aplikasi dapat meningkatkan
kualitas hidup anak-anak dengan gangguan bahasa dan membaca seperti
disleksia. Selain itu, tersimpan potensi yang luar biasa ketika seorang anak
mampu menjadi mahir dalam berbahasa Inggris atau bahasa sesuai bahasa
pada video game dan membaca pada tingkat kelas yang sesuai (Solek dan
K. Dewi, 2013).
Program remedial tersebut meliputi semua aspek membaca dan
semua kegiatan atau mata pelajaran yang mendukung membaca. Biasanya,
program tersebut dilakukan menggunakan pena, kertas, papan tulis, atau
mainan-mainan edukasi. Dengan perkembangan teknologi pada era digital
ini, aplikasi-aplikasi alternatif berbasis teknologi informasi dapat
dikembangkan (Solek dan K. Dewi, 2013).
Aplikasi-aplikasi ini dapat membantu anak-anak disleksia belajar
dengan mudah atau dapat digunakan sebagai media belajar pelengkap untuk
membantu terapi disleksia melakukan program terapi remedial. Aplikasi
software untuk anak-anak disleksia sudah banyak dikembangkan di banyak
negara dan dalam bahasa yang berbeda-beda. Ketersediaan jenis aplikasi
dan penelitian yang berhubungan dengan ini masih langka di beberapa
7
negara berkembang, termasuk Indonesia. Masalahnya, aplikasi dalam
bahasa lain tidak bisa serta-merta dibuat dalam bahasa ibu lainnya karena
setiap bahasa memiliki karakteristik yang berbeda dan langkah-langkah yang
berbeda untuk mempelajarinya (Solek dan K. Dewi, 2013).
Jadi, pengembangan aplikasi software harus dilakukan dengan hati-
hati dengan pengawasan dari para pakar disleksia. Pengembangan tersebut
harus memenuhi kebutuhan anak-anak disleksia dan harus sesuai dengan
langkah-langkah belajar membaca bahasa tertentu. Selain itu, sebagian dari
aplikasi yang dikembangkan hanya fokus pada masalah spesifik anak
disleksia, misalnya masalah bunyi huruf atau ejaan kata, sementara aplikasi
dengan konten yang lebih lengkap sangat diperlukan agar anak bisa belajar
secara komprehensif dan lebih cepat (Solek dan K. Dewi, 2013).
Tallal, P., dan Benasich, A.A. (1999) bekerja sama dengan Ahli Saraf,
Michael Merzenich, Ph.D. dari University of San Fransisco California,
mengembangkan alat komputerisasi (video game) yang berbasis
neuroplastisitas. Alat ini dapat me“rewire” otak anak-anak dengan disleksia
dan mengaktifkan daerah-daerah otak yang penting untuk meningkatkan
kemampuan membaca.
Sebuah studi yang dilakukan oleh Elise Temple, Ph.D. dari Darmouth
University pada tahun 2003 dengan menggunakan fungsional Magnetic
Resonance Imaging (fMR) menunjukkan perubahan fungsi otak pada anak-
anak dengan disleksia setelah menggunakan program komputer. Studi ini
8
menemukan peningkatan aktivasi di beberapa daerah otak selama
pemrosesan fonologi, serta secara signifikan meningkatkan kemampuan
bahasa dan membaca.
Miller, S.L., et al., (1999) mengembangkan program pelatihan video
game, disebut “fast forward”, memberikan pelatihan individual yang intensif
dalam pengolahan secara luas area kognitif, bahasa, dan membaca yang
semuanya penting untuk keberhasilan akademis. Misalnya, pada salah satu
permainan anak mendapatkan poin dengan suara “ba” dari “pa” hasil
keterampilan pemusatan perhatian, yang berbasis neuroplastisitas. Ketika
seorang anak melakukan permainan yang sesuai dengan “master tugas”,
permainan disesuaikan dengan tingkat kemampuan si anak sehingga anak
ditantang pada tingkat yang lebih tinggi pada hari berikutnya, sambil
didampingi oleh seorang profesional.
Sulastri (2008) mengemukakan bahwa salah satu faktor penentu
keberhasilan pembelajaran membaca awal adalah dengan menggunakan
media yang sesuai. Media pembelajaran setiap tahun mengalami
perkembangan. Masing-masing media memiliki kelemahan sehingga perlu
diperbaharui setiap waktu agar dapat memberikan manfaat yang lebih baik.
Wilkinson dalam (Hadi, 2000), (Gori, et al., 2013) mengemukakan bahwa
proses pembelajaran berbantuan komputer sangat menarik dibandingkan
dengan proses pembelajaran yang menggunakan media lain. Letak
menariknya pada nada suara, gambar, huruf, animasi, warna, dan gerak.
9
Pada terapi disleksia secara tradisional, anak-anak cenderung berhenti,
karena membosankan.
Media video game merupakan salah satu media pendidikan yang
digunakan dalam kegiatan pembelajaran pada anak berkesulitan belajar.
Pengobatan untuk kegagalan gangguan berbahasa dan membaca oleh
speech therapy dan reading specialist sering lambat, lama, mahal,
menimbulkan frustrasi, dan kebosanan. Hal ini merupakan pengalaman bagi
para profesional, orangtua, dan anak-anak.
Peneliti di Italia (2013) melaporkan bahwa pelatihan video game aksi
cepat dapat meningkatkan kemampuan perhatian pada orang disleksia yang
diterjemahkan dengan kemampuan membaca yang lebih baik. Demikian juga
penelitian oleh Harrar, V. (2014) mengeksplorasi penggunaan video game full
action untuk mengobati gangguan disleksia. Penggunaan media video game
(media kinect-based dyslexia therapy) pada anak dengan disleksia
diharapkan dapat mengatasi kesulitan yang dihadapi saat proses
pembelajaran sehingga dapat meningkatkan kemampuan pada tahap awal
membaca.
Pelatihan atau terapi dengan video game (mediakinect-based dyslexia
therapy) ini diharapkan mengasah kemampuan perhatian visual dan
membaca, bahkan dapat melebihi yang diperoleh pada anak-anak setelah
10
terapi tradisional untuk disleksia, yang berfokus pada kemampuan struktur
bahasa.
Penelitian ini berfokus di SLB Negeri 2 Makassar. Berdasarkan hasil
pemantauan awal, sekolah ini banyak menyerap anak penyandang disleksia.
Penyandang disleksia diberikan berbagai media pembelajaran yang
diharapkan dapat mengatasi gangguan mereka. Namun kenyataannya, para
pendidik masih menggunakan media konvensional. Belum tersentuh dengan
berbagai peralatan yang bersifat teknologi terkini seperti yang disebutkan di
atas.
Dari kenyatan tersebut, peneliti ingin memberikan solusi perbaikan
gangguan disleksia dengan penerapan video game. Dengan media “kinect-
based dyslexia therapy” diharapkan akan banyak membantu penyandang
disleksia di sekolah tersebut. Sambil bermain, mereka akan mendapat terapi
perbaikan gangguan bahasa. Di samping itu, dengan media ini, anak
penyandang disleksia tidak pernah merasa bosan bermain.
Berdasarkan permasalahan tersebut, peneliti tertarik mengkaji lebih
dalam mengenai penggunaan media video game (media kinect-based
dyslexia therapy) guna mengatasi gangguan-gangguan kesulitan belajar yang
diakibatkan adanya ketidakmampuan belajar (learning disability) pada anak-
anak yang mengalami gangguan disleksia di sekolah dasar.
11
B. Rumusan Masalah
Menurut S. Devaraj, S. Roslan (2006) setiap pertumbuhan dan
perkembangan anak merupakan saat menggembirakan dan menjadi
perhatian orangtua. Hal yang dicapai dalam setiap pertumbuhan anak
dipandang sebagai suatu anugrah. Orangtua selalu memaknai setiap
kemampuan baru yang dicapai si anak.
Pada usia tertentu setelah si anak pandai berbicara yang pada
gilirannya akan mencapai usia sekolah. Pada usia sekolah, selain berhitung,
diharapakan bisa membaca dan menulis. Suatu kebanggaan tersendiri yang
dicapai si anak jika ia mulai pintar membaca dan menulis. Sebaliknya,
orangtua akan merasa gelisah jika si anak belum bisa membaca dan menulis
dibanding anak seusianya. Bagi seorang guru yang berpengalaman akan
mencoba memberi perlakuan khusus kepada anak seperti ini. Dalam ilmu
linguistik, keadaan ini disebut dengan disleksia (J.H. Menkes, et al, 2005).
Bagi kebanyakan ahli, antara lain Wenar dan Kerig (2006),
menyimpulkan bahwa disleksia bukan merupakan suatu penyakit, melainkan
sebuah kelainan yang disandang oleh seseorang. Namun demikian, para
neurolog menyebut bahwa disleksia adalah sebuah penyakit. Peterson, R.L.,
dan Pennington, B.F. (2012), misalnya, menyebutkan bahwa disleksia
termasuk kategori penyakit karena telah terjadi gangguan pada wilayah
Broca dan Wernicke, yaitu daerah occipito-parieto-temporal sehingga fungsi
12
otak yang terkait dengan bahasa menjadi terganggu. Berdasarkan berbagai
sumber dalam studi literatur, paling tidak disleksia disebabkan oleh empat
faktor utama, yaitu: a) genetika, b) psikologis, c) lingkungan sosial, dan d)
akibat kecelakaan (Crystal, D., 2015).
Disleksia atau biasa juga disebut sebagai gangguan membaca dan
menulis spesifik pada anak yang merupakan sebuah fenomena kebahasaan.
Sebagai sebuah fenomena kebahasaan, muncul beberapa pertanyaan
mendasar, antara lain:
1. Bagaimana mengenal masalah kebahasaan disleksia lebih dini
pada anak?
2. Bagaimana penerapan model terapi linguistik “Kinect-Based
Dyslexia Therapy” terhadap anak penyandang disleksia?
3. Bagaimana efektivitas penggunaan media video game (media
Kinect-Based Dyslexia Therapy) dalam meningkatkan kemampuan
membaca pada anak dengan disleksia?
Sejumlah pertanyaan di atas akan dijawab dalam penelitian ini.
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk menjelaskan efektivitas penggunaan media video game (media
kinect-based dyslexia therapy) dalam meningkatkan kemampuan membaca
pada anak disleksia.
13
2. Tujuan Khusus
Berdasarkan latar belakang dan pertanyaan penelitian, tujuan khusus
penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan masalah kebahasaan penyandang disleksia dari sisi
neuropsikolinguistik;
2. Menjelaskan kegagalan berbahasa bagi anak penyandang disleksia
dari aspek fonologi, leksikal, dan sintaksis;
3. Menjelaskan efektivitas terapi (media kinect-based dyslexia therapy)
untuk meningkatkan kemampuan membaca pada anak disleksia
dibandingkan dengan kelompok kontrol;
4. Mengukur efektivitas perbaikan leksikal, morfologi, dan sintaksis untuk
meningkatkan kemampuan membaca anak disleksia yang diterapi
dengan media kinect-based dyslexia therapy.
D. Manfaat Penelitian
Melalui penelitian ini diharapkan akan menghasilkan dua kemanfaatan,
yakni secara teoretis dan pragmatis.
1. Manfaat Teoretis:
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan untuk memperkaya
khasanah pengetahuan yang berkaitan dengan kajian ilmiah dari sudut
neurolinguistik dan psikolinguistik perkembangan kemampuan membaca
14
anak disleksia. Perpaduan keduanya akan mewujudkan kajian
neuropsikolinguistik.
2. Manfaat Pragmatis:
a. Bagi Perpustakaan
Hasil penelitian ini diharapkan berguna untuk menambah literatur
(bahan referensi) di bidang neuropsikolinguistik terutama yang
berkaitan dengan peningkatan kemampuan membaca anak
disleksia melalui media terapi video game.
b. Bagi Siswa
Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu melaksanakan
pembelajaran yang menyenangkan (tidak membosankan) dalam
meningkatkan kemampuan membaca anak disleksia.
c. Bagi Praktisi Pendidikan/Sekolah
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan,
wawasan, dan pengalaman sehingga pihak sekolah dan guru
dapat mengembangkan pembelajaran dan melengkapi perangkat
pembelajaran pada anak disleksia.
d. Bagi Orangtua Anak Penyandang Disleksia
Hasil penelitian ini diharapkan para orangtua siswa memberi
motivasi kepada putra-putrinya agar semangat belajar dan
15
menumbuhkan kepercayaan dirinya. Anak disleksia diharapkan
mampu bersosialisasi di tengah keberagaman masyarakat di
lingkungan sekitarnya.
e. Bagi Peneliti
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan
tentang hal yang diteliti dan senantiasa mengembangkan dan
menyempurnakan penelitian yang sudah ada.
16
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Studi Terdahulu
Disleksia berasal dari bahasa Yunani “dyslexia”, /dys/ artinya tanpa,
tidak adekuat atau kesulitan dan /lexis/lexia/ artinya kata atau bahasa.
Disleksia adalah salah satu karakteristik kesulitan belajar pada anak yang
memiliki masalah dalam bahasa tertulis, oral, ekspresif atau reseptif (Lerner,
2003). Masalah yang muncul adalah anak mengalami kesulitan dalam
membaca, mengeja, menulis, berbicara, dan mendengar. Disleksia adalah
salah satu kelompok dalam kesulitan belajar spesifik. Disleksia bukanlah
penyakit, disleksia tidak memiliki obat. Disleksia merupakan kesulitan belajar
yang paling sering ditemukan dalam penelitian (Wenar dan Kerig, 2006).
Banyak ahli yang mengemukakan pengertian disleksia antara lain
sebagai berikut:
a. Disleksia merujuk pada kesulitan membaca, baik itu penglihatan atau
pendengaran. Inteligensinya normal, dan usia keterampilan bahasanya
sesuai. Kesulitan belajar tersebut akibat faktor neurologis dan bukan
disebabkan oleh faktor eksternal, misalnya lingkungan atau sebab-sebab
sosial (Corsini dalam Imandala, 2009).
17
b. Disleksia sebagai kesulitan membaca berat pada anak yang memiliki
kecerdasan normal dan bermotivasi cukup, berlatar belakang budaya yang
memadai dan berkesempatan memperoleh pendidikan serta tidak
bermasalah emosional (Guszak dalam Imandala, 2009).
c. Disleksia adalah suatu bentuk kesulitan dalam mempelajari komponen-
komponen kata dan kalimat, yang secara historis menunjukkan
perkembangan bahasa yang lambat dan hampir selalu bermasalah dalam
menulis dan mengeja serta kesulitan dalam mempelajari sistem
representasional, misalnya berkenaan dengan waktu, arah, dan masa.
(Bryan dan Bryan; Mercer dalam Imandala, 2009).
d. Disleksia adalah bentuk kesulitan belaiar membaca dan menulis. Dalam
hal ini belajar mengeja dengan benar dan mengungkapkan pikiran secara
tertulis. Demikian pula memanfaatkan kesempatan bersekolah dengan
normal, serta tidak memperlihatkan keterbelakangan dalam mata pelajaran
lainnya (Hornsby; Sodiq dalam Imandala , 2009).
Di antara sekian banyak definisi para ahli di atas, ada kesepakatan
secara umum mengenai definisi dan penjelasannya yang dirumuskan ke
dalam empat bagian (Hynd dalam Lerner, 2000), yaitu:
a) Disleksia memiliki dasar biologis dan dikarenakan kondisi neurologis
bawaan.
18
b) Masalah disleksia bertahan sampai remaja dan dewasa.
c) Disleksia memiliki dimensi perseptual, kognitif, dan bahasa.
d) Disleksia mengarah pada kesulitan pada banyak area kehidupan sebagai
individu dewasa.
Beberapa penelitian mengenai disleksia telah dilakukan peneliti
terdahulu, antara lain oleh Anjarningsih (2006), Hidayah (2007), Yulianti
(2011), Mustafa, dkk. (2013), Aini (2013), Qadariah (2014), dan beberapa
peneliti lainnya.
Pada tahun 1930-an, sebuah hasil penelitian menjelaskan gangguan
membaca dengan model hemisferik serebral. Hasil penelitian tersebut
menyatakan adanya korelasi positif gangguan membaca dengan tangan kiri,
mata kiri atau lateralisasi campuran (Kaplan, Benyamin J., Sadock dan Jack
A. Greb, 1997: 698).
Penelitian K.U. Leuven di Belgia (Dewi, 2010) juga mengemukan
bahwa disleksia disebabkan oleh masalah konektivitas yang terkait dengan
bidang pengolahan bahasa di otak. Para peneliti melakukan CT-Scan otak
dari 23 orang dewasa dengan disleksia dan 22 orang dewasa normal melalui
respons berbagai rangsangan pidato. Para ilmuwan melihat akurasi otak
peserta sebagai representasi fonetik yang dipetakan dari suara mereka.
19
Perbandingan otak normal dan yang terkena disleksia dapat dilihat di bawah
ini:
(Sumber: Shaywitz, S., 2003; Red 2004)
Gambar 1: Letak Lesi pada Disleksia
Gambar 2: Sistem Membaca dalam Otak
20
Para peneliti kemudian meneliti konektivitas otak. Terdapat perbedaan
antara peserta disleksia dan normal. Secara khusus, mereka meneliti
seberapa baik daerah otak yang terlibat dalam 13 pengolahan bahasa yang
terhubung ke representasi fonetik.
Para peserta dengan disleksia memiliki konektivitas buruk terutama
antara daerah Broca, sebuah daerah di lobus frontal otak yang terkait dengan
produksi ujaran, dan cortex pendengaran kiri dan kanan. Selain itu, orang-
orang dengan koneksi terlemah dan terburuk dilakukan pada saat membaca
dan mengeja tes (dikutip dari The Boston Globe Abnormal Brain Patterns
Indicate Dyslexia has Physical Explanation by Richard Saltus, Globe Staff).
(Sumber: Richlan, F., Kronbichler, M., dan Wimmer, H. 2013)
Gambar 3: Disfungsi Hemisfer Kiri Jalur Membaca
pada Developmental Dyslexia
21
Penelitian terkini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan anatomi
antara otak anak disleksia dengan anak normal, yakni di bagian parietal-
temporo-oksipitalnya (otak bagian samping dan bagian belakang).
Pemeriksaan functional Magnetic Resonancy Imaging yang dilakukan untuk
memeriksa otak saat dilakukan aktivitas membaca ternyata menunjukkan
bahwa aktivitas otak individu disleksia jauh berbeda dengan individu biasa
terutama dalam hal pemprosesan input huruf/kata yang dibaca lalu“
diterjemahkan” menjadi suatu makna. (Dewi, 2010). Bukti di atas sejalan
dengan beberapa penelitian dengan menggunakan Tomografi Computer (CT,
Computed Tomography), pencitraan resonansi magnetik, telah menunjukkan
bahwa ada asimetris abnormal pada lobus temporalis dan parietalis orang
dengan gangguan membaca. Merujuk kajian yang dilakukan oleh Dr.
Galaburda Abdurrahman, M. 2003. Susunan sel-sel otak orang disleksia
ternyata berbeda dibandingkan dengan otak orang biasa (normal).
Perbedaan tersebut dapat dilihat pada gambar 2 terdahulu.
Kajian gangguan berbahasa dewasa ini paling tidak mengalami
perkembangan pesat sejalan dengan fenomena gangguan berbahasa
(gangguan membaca khususnya). Hal ini terlihat dari berbagai penelitian
terkait yang dilakukan oleh peneliti terdahulu. Paling tidak, tulisan ini akan
menunjukkan sedikitnya empat penelitian dengan orientasi, metode, dan
tujuan berbeda.
22
Oleh karena penelitian ini termasuk bidang kajian interdisipliner, maka
kritikan terbesar berada pada sejauhmana kesiapan peneliti dalam
menunjukkan data penelitian yang memadai dan komprehensif. Seorang
peneliti disleksia paling tidak harus ditunjang dua bidang yang seimbang
yakni neurologi dan ilmu linguistik.
Meski demikian, bidang ini tidak vakum. Kajian Disleksi telah diteliti
oleh beberapa penelitian terdahulu antara lain oleh Mustafa, dkk. (2013)
dengan judul Learning Model Development for Dislexia Students of Initial
Inclusive Elementary Schools at Makassar. Laporan Penelitian Lembaga
Penelitian UNM oleh Mustafa, Syamsuddin, dan Dwiyatmi Sulasminah
(2013).
Penelitian tersebut di atas adalah penelitian yang berbasis
kependidikan. Tidak menelusuri aspek penyebab dan langkah terapi
berkelanjutan, melainkan hanya berkisar pada penanganan anak
penyandang disleksia dalam belajar. Penelitian ini mengklaim bahwa
pembelajaran pada anak disleksia di sekolah inklusif rintisan Kota Makassar
cenderung menggunakan pembelajaran klasikal yang menyebabkan anak
disleksia tertinggal dari rekan-rekannya (anak normal). Berdasarkan hal
tersebut dipandang perlu tersedianya suatu model pembelajaran yang cocok
untuk anak disleksia sehingga potensi anak disleksia dapat berkembang
sebagaimana mestinya. Oleh karena itu dilakukan penelitian untuk
23
merancang model pembelajaran yang efektif untuk anak disleksia. Demikian
penelitian itu menyimpulkan (Jensen, Eric, 2008).
Pada tahun yang sama, Fitri, N.A. (2013) melakukan penelitian
disleksia dengan judul Implementasi Terapi Gestalt dalam Menangani Siswa
Disleksia. Pada hasil dan simpulan, peneliti ini mengklaim bahwa
penggunaan Terapi Gestalt dipandang berhasil. Hal itu terlihat dari
perubahan dan perkembangan membaca dan menulis yang ditunjukkan oleh
siswa X setelah pemberian terapi. Penelitian ini secara tidak langsung
menjawab pertanyaan apakah gangguan disleksia dapat direhabilitasi
melalaui terapi?
Penelitian lain dilakukan oleh Anjarningsih (2006), seorang peneliti dari
Universitas Indonesia, dengan judul Developmental Dyslexia in Bahasa
Indonesia: Developing a Screening Test. Tujuan utama penelitian yang
dilakukan oleh Anjarningsih ini untuk melihat hubungan ketidakmampuan
membaca dengan produksi fonologis bagi penyandang disleksia. Meski
penelitian ini dilakukan di Belanda oleh seorang Indonesia, penelitian ini
mencerminkan anak disleksia di Indonesia.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kesadaran fonologis
pada level suku kata ditemukan adanya korelasi baik dengan keberhasilan
membaca yang diikuti oleh kesadaran fonologis pada tataran fonem.
24
Membaca dalam Bahasa Indonesia tampaknya ditandai dengan pemanfaatan
jalur sub-leksikal dan membaca terampil oleh rute leksikal. Pengembangan
rute leksikal bergantung pada pengembangan rute sub-leksikal yang
dipengaruhi oleh kompleksitas dari grafem fonem yang berkorespondensi
(Anjarningsih, 2006).
Selanjutnya, Yulianti (2011) menguraikan efektivitas penggunaan
media audiovisual dalam meningkatkan kemampuan membaca awal pada
anak dengan berkesulitan belajar membaca (disleksia). Hasilnya
menyimpulkan bahwa penggunaan media audiovisual efektif dalam
meningkatkan kemampuan membaca awal anak dengan disleksia. Ada satu
kelemahan yang dikemukakan oleh peneliti pada penelitian ini adalah
keterlibatan langsung peneliti dalam penelitian menyebabkan kecenderungan
terjadinya bias pada subjek penelitian. Subjek tidak memunculkan perilaku
yang alamiah.
Salah satu penelitian yang agak khas adalah penelitian yang dilakukan
oleh Siti Qadariah, dkk. (2014). Penelitian ini mempertegas bahwa disleksia
merupakan jenis gangguan belajar spesifik yang paling banyak muncul. Oleh
karena itu, diperlukan suatu penanganan untuk mengatasi permasalahan
tersebut mengingat setiap anak memiliki potensi yang sama untuk belajar.
Terlebih lagi gangguan disleksia tidak ada hubungannya dengan kapasitas
intelegensi anak. Brain Gym ini sudah marak dilakukan, namun belum
25
memiliki bukti penelitian empiris dalam mengatasi disleksia. Brain Gym ini
bekerja dalam mengoptimalisasi otak anak disleksia secara menyeluruh
(whole brain) melalui tiga dimensi, yaitu dimensi pemokusan, dimensi
pemusatan, dan dimensi laterisasi. Rancangan penelitian menggunakan
Time Series Design. Penelitian ini adalah penelitian populasi. Subjek
penelitian tiga orang anak disleksia kelas VI SD dengan kategori berat
(diagnosis psikolog). Data kesulitan membaca diperoleh dari hasil observasi
dengan teknik behavior tallying saat anak diberikan bahan bacaan.
Pengukuran dilakukan tiga kali sebelum perlakuan dan tiga kali setelah
perlakuan.
Brain Gym ini dilakukan secara berulang-ulang setiap hari kecuali hari
Sabtu dan Minggu selama kurun waktu 15 hari. Teknik analisis yang
digunakan adalah T-test. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi
penurunan rata-rata frekuensi perilaku kesulitan membaca dari 343 kali
frekuensi menjadi 83 kali frekuensi perilaku kesulitan membaca, yaitu
sebanyak 75,71%. Hal ini membuktikan bahwa Brain Gym memberikan
pengaruh signifikan terhadap penurunan frekuensi kesulitan membaca pada
anak disleksia.
Penelitian lain dilakukan oleh Rifa Hidayah (2007) peneliti dari
Fakultas Psikologi, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim (UIN)
Malang berjudul “Kemampuan Baca-Tulis Siswa Disleksia”. Tujuan penelitian
26
ini adalah untuk (1) memahami kemampuan membaca dan menulis anak
disleksia, (2) mengukur faktor ketahanan membaca dan menulis bagi anak
disleksi, dan (3) mendesain model pembelajaran bagi anak disleksia. Hasil
penelitian menunjukkan; (1) Kemampuan membaca dan menulis kemampuan
disleksia rendah, (2) Faktor yang memengaruhi ketahanan membaca adalah
(a) terjadinya disfungsi sistem saraf, (b) terjadi pertumbuhan lambat karena
faktor kurang gizi, (c) memiliki memori pendek, (d) kurangnya dukungan
keluarga dan dukungan fasilitas untuk studi, (e) kurang kematangan fisik,
emosional dan sosial. (3) Model pembelajaran yang bersifat umum.
Proses pembelajaran bagi anak disleksia di kelas seyogyanya tidak
sama dengan anak-anak lain, tetapi harus ada perlakuan khusus, misalnya
guru khusus, metode dan ruang pribadi dan waktu khusus. Dengan kata lain,
diperlukan adanya perlakuan khusus bagi anak penyandang disleksia demi
perbaikan kemampuan membaca dan menulis mereka (Arifuddin, 2013).
Kelima penelitian yang disebutkan di atas mengesankan bahwa
penelitian-penelitian tersebut hanya berkisar pada:
1. data penelitian tidak berbasis data neurologis dari sebuah diagnosis
yang cermat dan akurat;
27
2. disleksia lebih diarahkan sebagai bidang psikolinguistik, misalnya
melalui diagnosis psikologi, padahal sejatinya, dalam bidang
neuropsikolingistik;
3. uraian unsur linguistis tidak terungkap secara jelas, padahal gangguan
membaca sebagai akibat dari gangguan otak seyogyanya terpetakan
dengan baik.
Merujuk pada sejumlah penelitian yang disebutkan di atas, dalam
penelitian ini peneliti dengan berbagai pertimbangan melakukan sebuah
terobosan dengan mengisi ketimpangan:
a) penelitian disleksia yang selama ini berbasis kajian neurologi dengan
mengabaikan uji linguistis;
b) penelitian disleksia yang bertumpu pada kajian psikolinguistik yang
melepaskan dari uji klinis, dan
c) menggabungkan kedua simpangan penelitian dengan
mempertimbangkan baik dari psikolinguistik (disertai uji klinis) maupun
dari aspek neurologi (ditunjang dengan uji linguistis). Penggabungan
ini telah menjadi alasan kuat sehingga penelitian ini seyogyanya
dilakukan secara komprehensif di bawah payung ilmu
neuropsikolinguistik.
28
B. Landasan Teori
Kajian neuropsikolinguistik merupakan gabungan dari berbagai bidang
secara interdisipliner yang mengkaji masalah kebahasaan dan lingkungan
bahasa sebagai akibat terjadinya gangguan area kendali bahasa pada otak
manusia. Disleksia merupakan objek kajian yang diklaim sebagai objek
material neurolinguistik dan psikolinguistik. Klaim ini, baik dari segi
neurolingustik maupun psikolingustik dapat dijelaskan berikut ini (Heru,
Nanang S., 2012).
1. Neurolinguistik
Neurolinguistik adalah salah satu bidang kajian interdisipliner dalam
ilmu linguistik dan ilmu kedokteran yang mengkaji hubungan antara otak
manusia dengan bahasa. Gangguan pada kemampuan berbahasa karena
kerusakan otak manusia disebut afasia, yaitu (gangguan bicara karena
mengalami geger atau trauma otak). Orang yang mengalami gangguan
bahasa ini dapat diamati berdasarkan ketidakmampuannya berbahasa
secara normal (David, Kemmerer, 2014).
1.1 Afasia
a. Afasia Broca
Afasia Broca berarti kerusakan daerah bahasa atau pusat bahasa
yang mengendalikan baik artikulasi maupun peran yang unik dalam
29
pembentukan kata dan kalimat, karena daerah Broca berhubungan dengan
unsur struktur dan organisasi bahasa (Anna, 2003). Oleh karena itu, area
Broca pada otak bertanggung jawab untuk kaidah artikulasi yang
menciptakan pola bunyi, untuk kaidah morfologi dan sintaksis, antara lain
dalam membentuk kata dan frasa (Basir, H., 2012; Gupta A., Singhal G.,
2011).
b. Afasia Wernicke
Afasia Wernicke berhubungan dengan kerusakan area Wernicke pada
otak. Area Wernicke adalah pusat bahasa yang bertanggung jawab untuk
memproduksi makna, seperti interpretasi kata selama pemahaman makna
dan pemilihan kata selama menghasilkan produksi ujaran (Gupta A., Singhal
G., 2011).
c. Afasia Konduksi
Afasia konduksi merupakan kerusakan pada arcuate fasciculus.
Kondisi ini berdampak pada transmisi informasi dari daerah Wernicke ke
daerah Broca. Gejala kerusakan ini adalah informasi leksikal dari daerah
Wernicke tidak dapat dipindahkan ke daerah Broca, sehingga ujarannya
secara semantis tidak padu (tidak koheren). Demikian pula, karena informasi
kategori morfem terikat (afiks) dan kategori leksikal tidak dapat dipindahkan
30
ke daerah Wernicke, pemahaman bahasa menjadi rusak (Gupta A., Singhal
G., 2011).
d. Alexia dan Agrafia
Aleksia (alexia) dan agrafia adalah kerusakan pada angular gyrus
mengganggu asosiasi pencitraan pola visual dengan bentuk pendengaran,
karena itu mengganggu kemampuan baca dan tulis. Kerusakan baca disebut
alexia, sedangkan kehilangan kemampuan tulis disebut agrafia. Kedua
kerusakan bahasa tersebut biasanya saling melengkapi (Gupta A., Singhal
G.,2011).
Alexia terjadi dengan sendirinya. Penyandang alexia mungkin bisa
menulis, tapi tidak bisa membaca yang dia tulis. Kerusakan pada angular
gyrus tidak memengaruhi pandangan. Penyandang alexia dan agrafia masih
dapat melihat dengan normal. (https://id.wikipedia.org/wiki/Neurolinguistik).
Selanjutnya, baik afasia maupun disleksia (dalam neurologi juga
diistilahkan alexia) memiliki posisi yang berbeda dalam neurolinguistik. Posisi
tersebut dapat dilihat pada bagan di bawah ini.
31
Bagan 1: Wilayah Kajian Neurolinguistik
1.2 Disleksia
Gangguan disleksia adalah salah satu jenis Kesulitan Belajar Spesifik
(KBS). Kata /spesifik/ menunjukkan disleksia yang secara khusus
memengaruhi aspek-aspek tertentu dari pembelajaran. Dalam kasus
disleksia, kesulitannya terletak pada area membaca (T. Wood, 2006).
32
Menurut National Institute of Neurological Disorders dan Stroke (NINDS,
2011), disleksia adalah kesulitan belajar spesifik berbasis neurologi.
Kesulitan belajar itu secara khusus mengganggu kemampuan seseorang
untuk berbahasa dan membaca. Individu-individu ini biasanya memiliki
kemampuan membaca lebih rendah dari yang diharapkan meskipun memiliki
kecerdasan normal. Walaupun kesulitan belajar ini bervariasi dari satu orang
ke orang lain, namun karakteristik umum orang-orang dengan disleksia
adalah kesulitan dalam memproses fonologi (manipulasi suara), ejaan, dan
kecepatan merespon visual-auditori.
Ada beberapa variabilitas definisi disleksia. Beberapa sumber, seperti
(National Institute of Neurological Disorders and Stroke, National Institutes of
Health, 2015), mendefinisikan secara khusus sebagai gangguan belajar.
Dyslexia berasal dari kata Yunani (Greek), “dys” berarti kesulitan, “lexis”
berarti kata-kata. Abigail (Sidiarto, 2007) menjelaskan bahwa disleksia
merupakan kesulitan belajar primer berkaitan dengan masalah bahasa tulisan
seperti membaca, menulis, mengeja, dan pada beberapa kasus kesulitan
dengan angka, karena adanya kelainan neurologis yang kompleks, kelainan
struktur dan fungsi otak. Dapat pula merupakan kelainan bawaan
(constitutional in origin), keturunan (genetik). Bila salah satu dari kembar
identik mengalami disleksia, maka 85% hingga 100% kemungkinan anak
kembar yang lain mengalami disleksia pula. Bila salah satu orangtua
mengalami disleksia, sekitar 25-50% dari anaknya mengalami disleksia pula.
33
Bryan dan Bryan (dalam Abdurrahman, 1999:95), menyebut disleksia
sebagai suatu sindroma kesulitan dalam mempelajari komponen-komponen
kata dan kalimat, mengintegrasikan komponen-komponen kata dan kalimat
dan dalam belajar segala sesuatu yang berkenaan dengan waktu, arah, dan
masa.
Disleksia adalah gangguan berbahasa yang bermanifestasi
ketidakmampuan membaca, yaitu ketidakmampuan membaca anak berada di
bawah kemampuan seharusnya, dengan mempertimbangkan tingkat
inteligensi, usia, dan pendidikannya. Gangguan ini bukan bentuk dari
ketidakmampuan fisik, seperti masalah penglihatan, tetapi mengarah pada
bagaimana otak mengolah dan memproses data. Hal itu terjadi setelah anak
memasuki usia sekolah untuk beberapa waktu (Endang, Widyorini, 2014).
Adapun Jensen, Eric, (2008:25); Hornsby (1984:9) mengartikan
disleksia sebagai bentuk kesulitan belajar membaca dan menulis terutama
belajar mengeja (mengujar) secara betul dan mengungkapkan pikiran secara
tertulis dan ia telah pernah memanfaatkan sekolah normal serta tidak
memperlihatkan keterbelakangan dalam mata pelajaran lainnya.
Menurut T.L. Harris dan R.E Hodges (Corsini, 1987: 44) disleksia
mengarah pada anak yang tidak dapat membaca sekalipun penglihatan,
pendengaran intelegensinya normal, dan keterampilan usia bahasanya
sesuai. Pendapat lain bahwa disleksia ditandai dengan adanya kesulitan
membaca pada anak maupun dewasa yang seharusnya menunjukkan
34
kemampuan dan motivasi untuk membaca secara fasih dan akurat (Ferrer E.,
2010).
Berdasarkan penjelasan tersebut, diperoleh gambaran bahwa
disleksia adalah suatu kondisi pemrosesan informasi yang berbeda dari anak
normal yang sering ditandai dengan kesulitan dalam membaca. Hal dapat
memengaruhi area kognisi seperti daya ingat, kecepatan pemprosesan input,
kemampuan pengaturan waktu, aspek koordinasi, dan pengendalian gerak.
Hal tersebut termasuk kesulitan dalam penerapan disiplin ilmu
fonologi, kemampuan bahasa/pemahaman verbal (Morais J.,Cognition,1979)
Diseleksia adalah kesulitan belajar yang paling umum dan gangguan
membaca yang paling mengganggu. Ada kesulitan-kesulitan lain dalam
membaca, namun tidak berhubungan dengan disleksia.
1.2.1 Epidemiologi
Persentase penyandang disleksia belum diketahui secara pasti. Hal itu
diperkirakan angka kejadian di dunia berkisar 5-17% pada anak usia sekolah.
Disleksia adalah gangguan yang paling sering terjadi pada masalah belajar.
Kurang lebih 80% penyandang gangguan belajar mengalami disleksia. Angka
kejadian disleksia lebih tinggi pada anak laki-laki dibandingkan dengan
perempuan, yaitu berkisar 2:1 sampai 5:1 (Castles A., 2011, Roongpraiwan
R., 2012).
35
Kesulitan utama dalam disleksia adalah defisit kesadaran fonologi. Di
Indonesia, disleksia disebut juga dengan gangguan membaca khas dan
masuk ke dalam salah satu gangguan perkembangan belajar khas. Pada
penyandang disleksia, tidak terjadi gangguan untuk tingkat kepandaian.
Disleksia juga dapat ditemukan bersamaan dengan gangguan lainnya, yaitu
Gangguan Pemusatan Perhatian/Hiperaktif (GPPH) atau dikenal juga dengan
Attention Deficit/Hyperactivity Disorder (ADHD), gangguan berbahasa,
gangguan mengucapkan kata dengar benar (Yoshimasu K., 2010).
1.2.2 Klasifikasi Disleksia
Sidiarto (2007) dalam bukunya Perkembangan Otak dan Kesulitan
Belajar pada Anak, menjelaskan klasifikasi disleksia sebagai berikut:
a. Disleksia dan Gangguan Visual
Disleksia jenis ini disebut disleksia diseidetis atau disleksia visual
(Helmer, Myklebust, 1962; Hani'ah, Munnal, 2015). Kelainan ini jarang terjadi,
hanya didapat pada 5% kasus disleksia (Gobin, 1980, dikutip Njikoktjien,
1986). Gangguan fungsi otak bagian belakang dapat menimbulkan gangguan
dalam persepsi visual (pengenalan visual tidak optimal, membuat kesalahan
dalam membaca dan mengeja visual), dan defisit dalam memori visual.
Adanya rotasi dalam bentuk huruf-huruf atau angka yang hampir mirip
36
bentuknya, bayangan cermin (b-q, 5-2, 3-E,) atau huruf, angka terbalik
(inversion) seperti m-w, n-u, 6-9. Hal ini terlihat nyata pada tulisannya.
b. Disleksia dan Gangguan Bahasa
Disleksia ini disebut disleksia verbal atau linguistik. Beberapa penulis
menyebutkan prevalensi yang cukup besar yaitu 50-80%. Lima puluh persen
dari jenis ini mengalami keterlambatan berbicara (disfasia perkembangan)
pada masa balita atau prasekolah (Njikoktjien,1986). Legien dan Bouma
(1987) menyebutkan kelainan ini didapatkan pada sekitar 4% dari semua
anak laki-laki dan 1% pada anak perempuan. Gejala berupa kesulitan dalam
diskriminasi atau persepsi auditoris (disleksia disfonemis) seperti p-t, b-g, t-d,
t-k; kesulitan mengeja secara auditoris, kesulitan menyebut atau menemukan
kata atau kalimat, urutan auditoris yang kacau (sekolah sekolhah). Hal ini
berdampak pada imla atau membuat karangan (Lyytinen, Paula, 2005).
c. Disleksia dengan Diskoneksi Visual-Auditoris
Disleksia ini disebut sebagai disleksia auditoris (myklebust). Ada
gangguan pada kondisi visual-auditoris (grafem-fonem), anak membaca
lambat. Dalam hal ini bahasa verbal dan persepsi visualnya baik. Hal yang
dilihat tidak dapat dinyatakan dalam bunyi bahasa. Terdapat gangguan dalam
“cross-modal (visual-auditory) memory retrieval”. Bakker, et al., (1987)
membagi disleksia menjadi dua tripologi, yaitu:
37
i) L-Type dyslexia (linguistic)
Anak membaca relatif cepat namun dengan membuat kesalahan
seperti penghilangan (omission), penambahan (addition), atau penggantian
huruf (substitution), dan kesalahan multikata lainnya.
ii) P-Type Dyslexia (perspective)
Anak cenderung membaca lambat dan membuat kesalahan seperti
fragmentasi (membaca terputus-putus) dan mengulang-ulang (repetisi).
Dari dua tripologi di atas dapat disimpulkan bahwa jarang terdapat
hanya satu jenis disleksia murni. Pada umumnya gabungan dari berbagai
jenis disleksia, yaitu terdapat gangguan dalam masalah wicara bahasa,
membaca, dan bahasa tulis.
1.2.3 Proses Belajar Membaca
Membaca merupakan proses kompleks yang melibatkan kedua
belahan otak (hemisfer). Adapun persyaratan khusus untuk dapat membaca
adalah: (1) Tidak ada gangguan penglihatan dan pendengaran yang berat,
(2) Pemahaman bahasa tutur / verbal cukup, (3) Pergerakan bola mata untuk
mengikuti barisan huruf tulisan (scanning letters in the correct order) cukup
baik, (4) Tidak ada gangguan motorik atau koordinasi motorik untuk berbicara
(kelumpuhan atau praksis mulut) (Partiwisastro, 1984).
38
1.2.4 Kajian Neuropsikolinguistik Disleksia
Kajian neuropsikolinguistik merupakan gabungan dari berbagai bidang
secara interdisipliner yang mengkaji masalah kebahasaan dan lingkungan
bahasa sebagai akibat terjadinya gangguan area kendali bahasa pada otak
manusia. Disleksia merupakan objek kajian yang diklaim sebagai objek
material neurolinguistik dan psikolinguistik. Klaim ini, baik dari segi
neurolingustik maupun psikolingustik dapat dijelaskan berikuit ini.
Psikolinguistik adalah penggabungan antara dua kata /psikologi/ dan
/linguistik/. Menurut Dardjowidjojo (2005:7) bahwa psikolinguistik adalah studi
tentang bahasa dan otak atau pengetahuan interdisipliner.
Sebelum menggunakan bahasa, seorang pengguna bahasa terlebih
dahulu memperoleh bahasa. Dalam kaitan ini, Levelt (Marat, 1083:1)
mengemukakan bahwa psikolinguistik adalah suatu studi mengenai
penggunaan dan pemerolehan bahasa oleh manusia.
Psikolinguistik mempelajari faktor-faktor psikologis dan neurobiologis
yang memungkinkan manusia mendapatkan, menggunakan, dan memahami
bahasa. Kajiannya semula lebih banyak bersifat filosofis, karena masih
sedikitnya pemahaman tentang bagaimana otak manusia berfungsi. Oleh
karena itu, psikolinguistik sangat erat kaitannya dengan psikologi kognitif.
Penelitian modern menggunakan biologi, neurologi, ilmu kognitif dan teori
informasi untuk mempelajari cara otak memproses bahasa (Sternberg, R.J.
39
(2006). Pada hakikatnya, dalam kegiatan berkomunikasi terjadi proses
memproduksi dan memahami ujaran. Dengan demikian, psikolinguistik
merupakan studi tentang mekanisme mental yang terjadi pada orang yang
menggunakan bahasa, baik pada saat memproduksi atau memahami ujaran
(Chaer, 2003).
Simpulannya, psikolinguistik adalah ilmu yang mempelajari perilaku
berbahasa, baik yang tampak maupun yang tidak tampak berupa persepsi,
pemproduksian bahasa, dan pemerolehan bahasa.
2. Psikolinguistik
Sebagai alat interaksi verbal, bahasa dapat dikaji secara internal
maupun secara eksternal. Secara internal kajian dilakukan terhadap struktur
internal bahasa itu, mulai dari struktur fonologi, morfologi, sintaksis sampai
struktur wacana. Kajian secara eksternal berkaitan dengan hubungan bahasa
itu dengan faktor-faktor atau hal-hal yang ada di luar bahasa, seperti faktor
sosial, psikologi, etnis, dan sebagainya (Chaer, 2015:1).
Pembelajaran bahasa, sebagai salah satu masalah kompleks
manusia, selain berkenaan dengan masalah bahasa, juga berkenaan dengan
masalah kegiatan berbahasa. Adapun kegiatan berbahasa itu bukan hanya
berlangsung secara mekanistik, tetapi juga berlangsung secara mentalistik.
Artinya, kegiatan berbahasa itu berkaitan juga dengan proses atau kegiatan
40
mental (otak). Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan pembelajaran
bahasa, studi linguistik perlu dilengkapi dengan studi antardisiplin antara
linguistik dan psikologi, yang lazim disebut psikolinguistik. Untuk memahami
psikolinguistik itu dengan baik, terlebih dahulu perlu dibicarakan ranah studi
psikologi dan ranah studi linguistik, meskipun secara singkat.
a. Psikologi
Psikologi (psychology) berasal dari bahasa Yunani, yaitu psyche (jiwa),
dan logos (ilmu). Secara etimologi, psikologi merupakan ilmu jiwa.
Psikolinguistik sendiri merupakan gabungan dari psikologi–linguistik. Menurut
Harley (Dardjowidjojo, 2003:7), psikolinguistik merupakan studi tentang
proses mental dalam penggunaan bahasa. Slobin (Chaer, 2003:5)
mengemukakan bahwa psikolinguistik mencoba menguraikan proses-proses
psikologi yang berlangsung jika seseorang mengucapkan kalimat-kalimat
yang didengarnya pada waktu berkomunikasi dan bagaimana kemampuan
bahasa diperoleh manusia (Darmojuwono, Seliawati, dan Kushartanti, 2000).
Psikolinguistik adalah penggabungan antara dua kata 'psikologi’ dan
'linguistik'. Psikolinguistik mempelajari faktor-faktor psikologis dan
neurobiologis yang memungkinkan manusia mendapatkan, menggunakan,
dan memahami bahasa. Kajiannya semula lebih banyak bersifat filosofis,
karena masih sedikitnya pemahaman tentang bagaimana otak manusia
berfungsi. Oleh karena itu, psikolinguistik sangat erat kaitannya dengan
41
psikologi kognitif. Penelitian modern menggunakan biologi, neurologi, ilmu
kognitif dan teori informasi untuk mempelajari cara otak memproses bahasa
(Slobin dalam Chaer, 2003:5).
Psikolinguistik meliputi proses kognitif yang bisa menghasilkan
kalimat yang mempunyai arti dan benar secara tata bahasa dari
perbendaharaan kata dan struktur tata bahasa, termasuk juga proses yang
membuat bisa dipahaminya ungkapan, kata, tulisan, dsb. Psikolinguistik
perkembangan mempelajari kemampuan bayi dan anak-anak dalam
mempelajari bahasa, biasanya dengan metode eksperimental dan kuantitatif
(berbeda dengan pengamatan naturalistik seperti yang dilakukan Jean Piaget
dalam penelitiannya tentang perkembangan anak (Wikipedia, 2014).
2.1 Cabang-cabang Psikolinguistik
Psikolinguistik berkembang sehingga melahirkan subdisiplin baru
untuk lebih fokus dipelajari. Cabang-cabang psikolinguistik antara lain:
(Dardjowidjojo, 2005:7).
1. Psikolinguistik Teoretis: mengkaji hal-hal yang terkait dengan teori
bahasa, misalnya mengenai hakikat bahasa, ciri bahasa manusia, teori
kompetensi dan performansi, atau teori langue dan parole, dan
sebagainya.
2. Psikolinguistik Perkembangan: mengkaji tentang pemerolehan bahasa,
misalnya tentang teori pemerolehan bahasa, baik bahasa pertama
42
maupun kedua, piranti pemerolehan bahasa, periode kritis
pemerolehan bahasa, dan sebagainya.
3. Psikolinguistik Sosial: mengkaji tentang aspek-aspek sosial bahasa,
misalnya sikap bahasa, akulturasi budaya, kejut budaya, jarak sosial,
periode kritis budaya, pendidikan, lama pendidikan, dan sebagainya.
4. Psikolinguistik Pendidikan: mengkaji tentang aspek-aspek pendidikan
secara umum di sekolah, khususnya tentang peranan bahasa dalam
pengajaran bahasa pada umumnya.
5. Neuropsikolinguistik: mengkaji tentang hubungan bahasa dengan otak
manusia, misalnya tentang bagian otak mana yang berkaitan dengan
kemampuan berbahasa.
6. Psikolinguistik Eksperimental: mengkaji tentang eksperimen-
eksperimen dalam semua bidang yang melibatkan bahasa dan
perilaku berbahasa.
7. Psikolinguistik Terapan: mengkaji tentang penerapan temuan-temuan
keenam subdisiplin psikolinguistik di atas ke dalam bidang-bidang
tertentu, seperti psikologi, linguistik, pendidikan, pengajaran, neurologi,
psikiatri, komunikasi, kesusastraan, dan lain-lain.
b. Linguistik
Secara umum linguistik lazim diuraikan sebagai ilmu bahasa atau ilmu
yang mengambil bahasa sebagai objek kajiannya. Adapun bahasa itu
43
sendiri merupakan fenomena yang hadir dalam segala aktivitas
kehidupan manusia, maka linguistik itu pun menjadi sangat luas
bidang kajiannya. Oleh karena itu, kita bisa melihat adanya berbagai
cabang linguistik yang dibuat berdasarkan berbagai kriteria atau
pandangan. Secara umum pembidang linguistik itu adalah sebagai
berikut (Chaer, 2010:4-5).
Pertama, meniuirut objek kajiannya, linguistic dibagi atas dua
cabang besar, yaitu linguistik mikro dan linguistic makro. Objek kajian
linguistik mikro adalah struktur internal bhadsda itu sendiri, mencakup
struktur fonologi, morfologi, sintaksis, dan leksikon. Adapun objek
kajian linguistik makro adalah bahasa dalam hubungannya dengan
factor-faktor di luar bahasa, seperti sosiologis, psikologis, antropologi,
dan neurologi.
Kedua, menurut tujuan kajiannya, linguistic dapat dibedakan
atas dua bidang besar, yaitu linguistic teoretis dan linguistic terapan.
Kajian teoretis hanya ditujukan untuk mencari atau menemukan teori-
teori linguistik belaka. Adapun kajian terapan dituujukan untuk
menerapkan kaidah-kaidah linguistik dalam kegiatan praktis, seperti
dalam pengajaran bahasa, penerjemahan, penyusunan kamus, dsb.
Ketiga, adanya yang disebut linguistik sejarah dan sejarah
linguistik. Linguistik sejarah mengkaji perkembangan dan perubahan
suatu bahasa atau sejumlah bahasa, baik dengan diperbandingkan
44
maupun tidak. Sejarah linguistik, mengkaji perkembangan ilmu
linguistik, baik mengenai tokoh-tokohnya, aliran-aliran teorinya,
maupun masil-hasil kerjanya.
Simpulannya bahwa dalam kaitannya dengan psikologi,
linguistik lazim diartikan sebagai ilmu yang mencoba mempelajari
hakikat bahasa, struktur bahasa, bagaiimana bahasa itu diperoleh,
bagaimana bahasa itu bekerja, dan bagaimana bahasa itu
berkembang. Dalam konsep ini tampak bahwa yang namanya
psikolinguistik dianggap sebagai cabang dari linguistik, sedangkan
linguistik itu sendiri dianggap sebagai cabang dari psikologi.
2.2 Area Studi
Psikolinguistik bersifat interdisipliner dan dipelajari oleh ahli dalam
berbagai bidang, seperti psikologi, ilmu kognitif, dan linguistik. Psikolinguistik
adalah perilaku berbahasa yang disebabkan oleh interaksinya dengan cara
berpikir manusia. Ilmu ini meneliti tentang perolehan, produksi, dan
pemahaman terhadap bahasa. Ada beberapa subdivisi dalam psikolinguistik
yang didasarkan pada komponen-komponen yang membentuk bahasa pada
manusia.
45
a. Fonetik dan fonologi mempelajari bunyi ucapan. Di dalam psikolinguistik,
penelitian ini berfokus pada bagaimana otak memproses dan memahami
bunyi-bunyi ini.
b. Morfologi mempelajari struktur kalimat, terutama hubungan antara kata
yang berhubungan dan pembentukan kata-kata berdasarkan pada aturan-
aturan.
c. Sintaksis mempelajari pola-pola yang menentukan bagaimana kata-kata
dikombinasikan bersama membentuk kalimat.
d. Bila sintaksis berhubungan dengan struktur formal dari kalimat, semantik
berhubungan dengan makna aktual dari kalimat.
e. Pragmatik berhubungan dengan peran konteks dalam penginterpretasian
makna.
f. Studi tentang cara mengenali dan membaca kata meneliti proses yang
tercakup dalam perolehan informasi ortografik, morfologis, fonologis, dan
semantik dari pola-pola dalam tulisan.
3. Mekanisme dan Teori Pemerolehan Bahasa
3.1 Pemerolehan Bahasa
Terdapat beberapa teori mengenai perolehan bahasa pada bayi dan
balita yang bersumber pada perkembangan psikologi yang bersifat natur dan
nurtur. Natur adalah aliran yang meyakini bahwa kemampuan manusia
46
adalah bawaan sejak lahir. Oleh karena itu, manusia telah dilengkapi secara
biologis oleh alam (natur) untuk memproduksi bahasa. Sejak lahir, manusia
sudah mempunyai alat-alat bicara (lidah, bibir, gigi, rongga tenggorokan,
dibantu oleh alat pendengaran) maupun untuk memahami arti dari bahasa
tersebut (melalui skema pada kognisi) (Dardjowidjojo, 2005).
Chomsky adalah tokoh yang mempercayai peran natur secara
radikal dalam perolehan bahasa. Pihak yang memp\rcayai kekuatan nurtur
dalam perolehan bahasa berargumen bahwa bayi dan balita memperoleh
bahasa karena terbiasa pada bahasa ibu. Hal ini terbukti pada pembentukan
kemampuan fonem yang bergantung pada bahasa ibu. Misalkan pada bayi
Jepang pada usia di bawah 6 bulan masih dapat membedakan fonem /ra/
dan /la/ dengan jelas. Namun, pada usia satu tahun mereka kesulitan
membedakan fonem /ra/ dan /la/. Michael Tomasello mengkritik Chomsky
bahwa bahasa tidak akan muncul begitu saja. Ia meyakini bahwa bahasa
diperoleh karena bayi belajar menggunakan bahasa sebagai simbol terlebih
dahulu dengan kemampuan bayi untuk melakukan atensi bersama (Join
attention) pada saat sebelum bayi mampu memproduksi bahasa. Pada
dasarnya natur dan nurtur memiliki kontribusi terhadap perolehan bahasa
pada bayi (Dardjowidjojo, 2005).
47
3.2 Mekanisme Pemerolehan Bahasa
a) Imitasi
Imitasi dalam perolehan bahasa terjadi ketika anak menirukan pola
bahasa maupun kosakata dari orang-orang yang signifikan bagi mereka,
biasanya orangtua atau pengasuh. Imitasi yang dilakukan anak, tidak hanya
menirukan secara persis (mimikri) hal yang dilakukan orang lain. Namun,
anak memilih hal-hal yang dianggap oleh anak menarik untuk ditirukan
(Anna. 2003).
b) Pengondisian
Mekanisme perolehan bahasa melalui pengondisian diajukan oleh B.F.
Skinner. Mekanisme pengondisian atau pembiasaan terhadap ucapan yang
didengar anak dan diasosiasikan dengan objek atau peristiwa yang terjadi.
Oleh karena itu, kosakata awal yang dimiliki oleh anak adalah kata benda.
c) Kognisi sosial
Anak memperoleh pemahaman terhadap kata (semantik) karena
secara kognisi ia memahami tujuan seseorang memproduksi suatu fonem
melalui mekanisme atensi bersama. Adapun produksi bahasa diperolehnya
melalui mekanisme imitasi (https://id.wikipedia.org/wiki/Psikolinguistik).
(Perhatikan bagan berikut:)
48
Bagan 2: Wilayah Kajian Psikolinguistik
Untuk membangun kerangka teori dalam penelitian ini, peneliti
memadukan dua teori utama, yakni neurolinguistik yang terkait dengan afasia
dan psikolinguistik yang terkait dengan disleksia. Gabungan kedua teori ini
mendasari penelitian berada dalam lingkup penelitian neuropsikolinguistik.
Secara fundamental, gabungan kedua teori telihat dalam gambar di bawah
ini: (Andika Dutha Bachari, 2009).
49
Bagan 3: Wilayah Pertemuan Kajian Neurolinguistik dan Psikolinguistik
Dengan demikian, bangunan kedua bidang kajian ini dapat
disederhanakan seperti yang terlihat pada bagan di bawah ini:
50
Bagan 4: Kerangka Teori Kajian Neuropsikolinguistik
4. Membaca dan Pemahaman Membaca
Seorang ahli membaca, Steve Stahl (Santrock, 2008) mengemukakan
ada tiga tujuan utama dalam instruksi membaca, yakni (1) membantu anak
mengenali kata-kata secara otomatis (2) memahami teks bacaan, dan (3)
menjadi termotivasi untuk membaca dan menghargai bacaan. Ketiga tujuan
ini saling terkait satu sama lain. Jika anak tidak dapat mengenal kata-kata
51
secara otomatis, maka anak tersebut tidak dapat mengerti hal yang
dibacanya. Jika anak tidak mengerti bacaan, maka anak tidak mungkin akan
termotivasi untuk membaca, demikian seterusnya.
Analisis terkini dari Rich Mayer (dalam Santrock, 2008) bahwa ada
proses kognitif yang harus dilalui oleh seorang anak untuk dapat membaca
kata-kata yang tertulis / tercetak. Proses kognitif dimaksud adalah:
a. Sadar akan unit suara dalam kata dalam bentuk ‘mengenal,
menghasilkan, dan memanipulasi fonem’
b. Decoding word, artinya mengubah kata-kata yang tercetak dalam
suara.
c. Dapat mengakses arti kata, artinya dapat menemukan representasi
mental arti kata dalam memori.
Membaca, dalam pengertian lain, adalah suatu proses yang
berkembang sejak manusia lahir, dari tidak menguasai sampai menguasai
dan memahami. Sebelum menguasai dan memahami, ada tahap-tahap awal
yang dilalui anak sepanjang mereka belajar membaca (Moats dalam Lerner,
2000) yakni sebagai berikut:
52
a. Logographic Reading
Untuk tahap ini, anak mulai mengenali kosakata yang terbatas dari
seluruh kata melalui isyarat yang tidak disengaja, misalnya sebuah logo,
gambar, simbol, warna, atau bentuk tertentu. Contoh, orangtua yang memiliki
anak pada tahap ini mungkin menemukan bahwa mereka tidak dapat
menggantikan sebuah merek sereal yang umum / biasa dilihatnya jika anak
mereka ingin sebuah merek yang mereka kenal dari logo di iklan televisi.
Pada awal tahap ini, anak tidak dapat mengasosiasikan suara dengan simbol
atau menyadari bahwa kata dibentuk oleh fonem lalu disuarakan.
b. Early Alphabetic Reading
Untuk dapat berkembang dalam membaca, anak perlu memahami
wawasan dari tulisan alfabet yang merepresentasikan fonem (Moats dalam
Lerner, 2000). Pada tahap ini, anak menggunakan tulisan alfabet untuk
menulis kata-kata. Sebagai contoh, anak mungkin menulis PTIZU untuk pizza
atau ES CERM untuk es cream.
c. Mature Alphabetic Reading
Pada tahap ini, seorang anak mengetahui asosiasi pengejaan dengan
suara keras, anak juga dapat menggunakannya untuk menguraikannya pada
kata-kata yang sederhana
53
d. Orthographic Stages: Recognizing Syllables and Morphemes
Pada tahap ini, seorang anak menggunakan analogi kata yang
diketahui sebelumnya untuk mengenal dan membaca kata-kata yang baru
(misalnya kata “perang”, “serang” dan ‘berang”), dengan mengingat kata
“parang”. (silam, malam, salam) dengan mengingat kata “dalam”, dan
seterusnya.
e. Gaining Fluency
Fluency terjadi ketika anak mulai membaca dengan mudahnya dalam
bekerja membaca materi. Pada tahap ini seorang anak akan membaca apa
saja yang dilihatnya, misalnya nama toko, merek barang, atau tulisan-tulisan
pada sampul plastik yang ia temui. Namun, anak seperti ini masih kesulitan
membaca teks berjalan (running text) pada layar televisi.
Kelima tahap awal belajar membaca di atas kemudian akan berlanjut
pada tahap penguasaan dalam membaca komprehensi. Komprehensi yang
dimaksudkan di sini adalah pemahaman teks secara lengkap. Kegagalan
pada tahap ini menjadi suatu petanda bahwa si penyandang akan mengalami
kegagalan kemampuan membaca sempurna pada umur remaja dan
dipastikan hingga tahap ini, anak yang mengalami gangguan disleksia
semakin merasakan kegelisahan.
54
5. Teori Skemata dan Proses Membaca
Skemata merupakan suatu peta kognitif yang terdiri atas sejumlah ide
yang tersusun rapi. Kerangka kognitif tersebut atau sistem konseptual itu
dapat merekam dan memahami berbagai peristiwa atau data. Respon
terhadap sesuatu yang diberikan akan menjadi acuan untuk respon
berikutnya. Di samping itu, juga dapat dinyatakan bahwa skema merupakan
pengetahuan yang pernah diperoleh untuk disimpan dalam otak dalam
bentuk kerangka kognitif (Jufri, 2002:147).
Representasi bentuk dari seperangkat persepsi, ide, dan aksi yang
diasosiasikan, dan merupakan dasar pengembangan pembangunan
pemikiran. Skemata seseorang senantiasa berkembang sejalan dengan
kapasitas pengalaman dirinya. Dalam perkembangannya skemata
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari skemata seseorang terhadap
sesuatu merupakan bagian dari pengalamannya.
Pengertian skemata ketika dihubungkan dengan teori membaca,
menggambarkan proses dimana pembaca mengombinasikan pengetahuan
awal dengan informasi baru dalam teks bacaan yang dihadapinya. Skemata
merupakan bagian dari pengetahuan awal yang menyediakan interpretasi
bermakna tentang sesuatu konten yang baru. Anak PSD pada umumnya
55
kehilangan orientasi skemata sesuai dengan tingkat atau derjat disleksia
yang dideritanya.
Skemata berawal dari teori skema, yang menggambarkan proses
dimana pembelajar membandingkan latar belakang pengetahuan yang
mereka miliki dengan informasi yang baru akan didapatkannya. Teori skema
ini didasarkan pada kepercayaan bahwa setiap kegiatan pemahaman
dipengaruhi oleh pengetahuan seseorang yang luas. Inilah salah satu
hambatan bagi seorang penyandang disleksia. Menurut teori ini terdapat dua
proses yang saling mengisi yang menyebabkan skemata seseorang
senantiasa berkembang, yaitu: proses asimilasi dan proses akomodasi.
Proses asimilasi adalah proses penyerapan konsep baru ke dalam
struktur kognitif yang telah ada, pada proses asimilasi seseorang yang
menggunakan struktur atau kemampuan yang ada untuk menanggapi
masalah yang datang dari lingkungannya.
Selanjutnya, akomodasi adalah proses pembentukan skemata baru
atau memodifikasi struktur kognitif yang telah ada agar konsep-konsep baru
dapat diserap. Dengan demikian, proses akomodasi seseorang memerlukan
modifikasi struktur kognitif yang sudah ada dalam mengadakan respon
terhadap tantangan lingkungannya. Bagi penyandang disleksia misalnya,
merekonstruksi kembali susunan huruf dalam kata merupakan skema
56
akomodasi yang perlu memperoleh bantuan pihak ketiga; guru, orangtua,
lingkungan bermain dan untuk mendorong lebih cepat diperlukan alat terapi
yang akomodatif dengan kebutuhannya.
Keserasian antara asimilasi dengan akomodasi, kemudian disebut
‘ekuilibrasi’. Ekuilibrasi adalah proses terjadinya perubahan dari suatu
keadaan ke keadaan yang lain yang mengahasilkan suatu keseimbangan
baru. Keseimbangan baru bagi PSD adalah membaca kata dari salah
menjadi benar yang disebabkan karena adanya perbaikan. Perbaikan hanya
dapat dicapai melalui terapi.
Menurut Rumerhart dalam Jufri (2002), bahwa dalam teori skema ada
tiga alasan mengapa pembelajar gagal memahami suatu bahasa. Ketiga
alasan itu meliputi (1) pembelajar mungkin tidak memahami skema yanfg
tepat, sehingga seseorang tidak dapat memahami suatu konsep yang ada
dalam bahasa, (2) pembelajar memiliki skemata, akan tetapi petunjuk yang
disediakan penulis tidak cukup untuk dapat memahami suatu bahasa, dan (3)
pembelajar mungkin dapat menafsirkan suatu bahasa,akan tetapi tidak
sesuai dengan pesan yang disampaikan penulis.
Dalam kaitan dengan penanganan anak PSD, seorang terapi perlu
mengenali bahwa anak PSD berhadapan dengan suatu masalah, maka
struktur kognitifnya akan mengalami ketidakseimbangan sehingga secara
57
spontan struktur kognitif tersebut mengadakan kegiatan pengaturan diri (self-
regulation) sebagai upaya untuk memperoleh suatu keseimbangan baru lagi.
Tercapainya keseimbangan baru menunjukkan bahwa ada sesuatu yang
telah dicapai sebagai umpan balik dan disimpan dalam struktur yang
permanen.
6. Otak dan Perkembangan Bahasa
Hubungan bahasa dan otak merupakan kajian yang amat kompleks.
Otak manusia merupakan salah satu organ tubuh manusia yang di dalamnya
terdapat bagian yang berfungsi mengendalikan semua gerak dan fungsi
tubuh, termasuk berbahasa. Pertanyannya kemudian, pada bagian
manakah secara tepat letak bahasa tersebut di dalam otak manusia? Bagian
ini akan membahas hubungan keduanya dari sudut neurolinguistik (Kerig,
P.K., dan Wenar, C., 2006).
Neurolinguistik adalah satu sains baru sebagai fusi antara neurologi,
ilmu kedokteran (medis) yang mengkaji sistem saraf dan penyakit-
penyakitnya, dengan linguistik, ilmu yang mengkaji bahasa secara alamiah.
Kerjasama ini muncul karena ternyata penyakit bertutur adalah termasuk
bidang kajian neurologi dan juga linguistik.Jadi, neurolinguistik sebagai sains
baru, mengkaji struktur dalam bahasa dan ucapan dan mekanisme
sereberum (struktur otak) yang mendasarinya (Simanjuntak, 2008: 21).
58
Bahasa adalah satu sistem kognitif manusia (diatur oleh fungsi-fungsi
alamiah yang sangat unik. Hal itu dapat dimanipulasi oleh manusia untuk
menghasilkan (mengujarkan) sejumlah kalimat yang tidak terbatas jumlahnya
berdasarkan unsur-unsur yang terbatas untuk dipakai oleh manusia sebagai
alat berkomunikasi dan mengakumulasi ilmu pengetahuan (Simanjuntak,
2008:17). Bahasa adalah alat verbal yang digunakan untuk berkomunikasi.
(Chaer, 2002: 30).
Soetjiningsih, dkk. (2016:11); Dardjowidjojo (2005:16), mengatakan
bahwa bahasa adalah suatu sistem simbol lisan arbitrer. Bahasa dipakai oleh
anggota suatu masyarakat bahasa untuk berkomunikasi dan berinteraksi
antarsesamanya, berlandaskan pada budaya yang mereka miliki bersama.
Berdasarkan ketiga pendapat di atas, dapat dikaitkan dengan
Hipotesis Kenuranian Chomsky dalam (Simanjuntak, 2008:24). Hipotesis
Kenuranian (The Innateness Hypothesis) satu hipotesis internal yang dibawa
lahir, yang diwariskan secara alamiah, mengatakan bahwa manusia telah
diperlengkapi secara alamiah dengan suatu area yang khusus yang nurani
(”innate”), memungkinkan manusia melahirkan dan memperoleh bahasa.
Hipotesis ini menekankan bahwa setiap manusia melahirkan bahasa dari
otaknya. Lieberman, dalam (Simanjuntak, 2008:25) menyatakan setiap
masyarakat manusia mempunyai bahasa yang mereka lahirkan sendiri
secara evolusi. Bahasa yang dilahirkan secara evolusi ini ialah bahasa
59
linguistik, yaitu bahasa luaran. Bahasa luaran tersebut (linguistik) berasal dari
bahasa nurani (bahasa dalaman) yang telah dimiliki manusia secara alami.
Hal ini juga sejalan dengan teori Competence dan Performance, Chomsky,
dalam (Mar’at Samsunuwiyati, 2005: 18).
Kompetensi (competence) adalah kapasitas kreatif dari pengguna
bahasa. Adapun performance adalah penggunaan bahasa secara aktual
yang meliputi mendengarkan, berbicara, berpikir, dan menulis. Chomsky
beranggapan bahwa pengguna bahasa mengerti struktur dari bahasanya
yang membuat dia dapat mengkreasi kalimat-kalimat baru yang tidak
terhitung jumlahnya dan membuat dia mengerti kalimat-kalimat tersebut. Jadi,
kompetensi adalah pengetahuan intuitif yang dimiliki oleh setiap individu
mengenai bahasa ibunya (native language). Intuisi linguistik ini tidak begitu
saja ada melainkan dikembangkan pada anak sejalan dengan
pertumbuhannya. Adapun performance adalah sesuatu yang dihasilkan oleh
competence, selain itu juga oleh faktor-faktor lainnya seperti motivasi untuk
berbicara, ingatan dan faktor-faktor psikologi lainnya ikut terlihat (Rydz D.,
Srour M., Oskoui M., Marget N., Shiller M., 2006).
6.1 Struktur dan Fungsi Otak
Otak adalah organ vital yang terdiri atas 100-200 milyar sel aktif yang
saling berhubungan dan bertanggung jawab atas fungsi mental dan
60
intelektual kita. Otak terdiri atas sel-sel otak yang disebut neuron (Leonard
C,1998).
Sumber :Neuroanatomical Basis of Clinical Neurology Orhan Arslan 422 pp Carnforth: Parthenon, 2001
Gambar 4: Struktur dan Fungsi Otak
Keterangan:
1. Left Hemisphere (Otak Kiri).
2. Right Hemisphere (Otak Kanan)
3. Cerebral Cortex
4. Skull (Tengkorak)
5. Midbrain (Limbic System)
6. Pons (Batas Otak)
7. Cerebellum (Hind Brain)
8. Medulla (Batang Otak)
61
Otak manusia dewasa beratnya rata-rata sekitar 1,5 kg dengan ukuran
sekitar 1.130 cm3 pada wanita, dan 1.260 cm3 pada pria, meskipun ada
variasi individu substansial. Otak manusia bertanggung jawab terhadap
pengaturan seluruh badan dan pemikiran manusia. Oleh karena itu, terdapat
kaitan erat antara otak dan pemikiran. Otak dan sel saraf di dalamnya
dipercayai dapat memengaruhi kognisi manusia. Secara neurobiologis, otak
manusia terdiri atas miliaran sel saraf atau neuron yang menyebar di
keseluruhan otak manusia. Setiap saraf otak itu saling berhubungan dan
berkomunikasi melalui satu hubungan atau lebih. Setiap belahan otak, baik
otak kiri maupun otak kanan pada hakikatnya mempunyai tanggung jawab
dan fungsi masing-masing.
Gambar 5: Belahan Otak Kiri dan Otak Kanan
62
Otak kiri berkaitan dengan akademik, seperti perbedaan, angka,
urutan, tulisan, bahasa, hitungan, dan logika. Adapun otak kanan berfungsi
dalam hal persamaan, khayalan, kreativitas, bentuk atau ruang, emosi,
music, dan warna. Namun, aktivitas kerja kedua otak tersebut tidak terpisah.
Aktivitas kedua otak itu saling menyatu dan juga saling membangun (Leonard
C., 1998).
6.2 Bagian-bagian Otak
Secara umum, otak dibagi dua bagian, yaitu otak kiri dan otak kanan.
Namun, jika kita telaah lagi, pada sisi kiri otak kita akan menemukan tiga
bagian otak yang memiliki tanggung jawab dalam kemampuan bahasa kita,
yakni: area Broca (Broca’s area), area Wernicke (Wernicke’s area), dan area
motor tambahan (upplementary motor area).
(Sumber: Neuroanatomical Basis of Clinical Neurology Orhan Arslan 422 pp Carnforth: Parthenon, 2001)
Gambar 6: Area Broca dan Area Wernicke
63
6.2.1 Area Broca
Area Broca atau yang disebut sebagai anterior korteks bahasa. Paul
Broca, seorang ahli bedah melaporkan pada tahun 1860 bahwa kerusakan
pada area ini dapat menyebabkan kesulitan yang sangat besar pada produksi
berbahasa. Ini menunjukkan bahwa kerusakan pada otak sebelah kanan
tidak akan berpengaruh pada kemampuan bahasa seseorang, dan
membuktikan bahwa kemampuan bahasa terletak di otak kiri, bukan di otak
kanan. Sejak saat itu, area Broca diilustrasikan sebagai tempat yang sangat
penting dalam kemampuan berbahasa (Basir, H., 2005).
Gambar 7: Paul Broca
64
6.2.2 Area Wernicke
Ini adalah area korteks posterior bahasa. Carl Wernicke, seorang
Dokter Jerman melaporkan pada tahun 1870 bahwa kerusakan pada area ini
akan mengakibatkan kesulitan memahami bahasa. Penemuan ini
membuktikan bahwa kemampuan berbahasa terletak pada otak kiri dan area
Wernicke adalah bagian otak yang paling penting terlibat dalam pemahaman
bahasa (Basir, H., 2005).
Gambar 8: Carl Wernicke
6.2.3 Area Motor Tambahan
Ini adalah area korteks superior bahasa. Area ini berpengaruh pada
gerakan aktual fisik saat artikulasi berbicara. Pada tahun 1950, Penfield dan
65
Robert, dua ahli bedah saraf menemukan di area inilah yang mengatur
pergerakan sense juga produksi artikulasi dalam berbicara (Basir, H., 2005).
6.3 Gangguan Bicara dan Bahasa
Penyebab gangguan perkembangan bahasa sangat banyak dan luas.
Semua gangguan mulai dari proses pendengaran, penerusan impuls ke otak,
otak, otot atau organ pembuat suara. Adapun beberapa penyebab gangguan
atau keterlambatan bicara adalah gangguan pendengaran, kelainan organ
bicara, retardasi mental, kelainan genetik atau kromosom, autis, mutism
selektif, keterlambatan fungsional, afasia reseptif dan deprivasi lingkungan.
Deprivasi lingkungan terdiri atas lingkungan sepi, status sosial ekonomi,
teknik pengajaran salah, sikap orangtua, bicara pada anak dapat disebabkan
karena kelainan organik yang mengganggu beberapa sistem tubuh seperti
otak, pendengaran, dan fungsi motorik lainnya (Parker S., Zuckerman B.,
Augustyn M., 2013).
Beberapa penelitian menunjukkan penyebab gangguan bicara adalah
adanya gangguan hemisfer dominan. Penyimpangan ini biasanya merujuk ke
otak kiri. Beberapa anak juga ditemukan penyimpangan belahan otak kanan,
korpus kalosum, dan lintasan pendengaran yang saling berhubungan. Hal
lain dapat juga disebabkan karena di luar organ tubuh seperti lingkungan
yang kurang mendapatkan stimulasi yang cukup atau penggunaan dua
66
bahasa. Bila penyebabnya karena lingkungan, biasanya keterlambatan yang
terjadi tidak terlalu berat (Owens, R.E., 2001).
Terdapat tiga penyebab keterlambatan bicara terbanyak diantaranya
adalah retardasi mental, gangguan pendengaran, dan keterlambatan
maturasi.Keterlambatan maturasi ini sering juga disebut keterlambatan bicara
fungsional.
Smith C., Hill J., (1999) mengemukakan bahwa keterlambatan bicara
fungsional merupakan penyebab yang cukup sering dialami oleh sebagian
anak. Keterlambatan bicara fungsional sering juga diistilahkan keterlambatan
maturasi atau keterlambatan perkembangan bahasa. Keterlambatan bicara
golongan ini disebabkan karena keterlambatan maturitas (kematangan) dari
proses saraf pusat yang dibutuhkan untuk memproduksi kemampuan bicara
pada anak.
Gangguan ini sering dialami oleh laki-laki dan sering terdapat riwayat
keterlambatan bicara pada keluarga. Biasanya hal ini merupakan
keterlambatan bicara yang ringan dan prognosisnya baik. Pada umumnya
kemampuan bicara akan tampak membaik setelah memasuki usia 2 tahun.
Terdapat penelitian yang melaporkan penyandang dengan keterlambatan ini,
kemampuan bicara saat masuk usia sekolah akan normal seperti anak
lainnya. Dalam keadaan ini biasanya fungsi reseptif sangat baik dan
kemampuan pemecahan masalah visuo-motor anak dalam keadaan normal.
Anak hanya mengalami gangguan perkembangan ringan dalam fungsi
67
ekspresif. Ciri khas lain adalah anak tidak menunjukkan kelainan neurologis,
gangguan pendengaran, gangguan kecerdasan, dan gangguan psikologis
lainnya (Rydz D., Srour M., Oskoui M., Marget N., Shiller M., 2006).
6.4 Instrumen Pemeriksaan Otak
Dalam hal ini banyak sekali peneliti yang kemudian menyelidiki
peranan otak dalam memproduksi ujaran atau juga bagian-bagian yang
menghasilkan ujaran secara verbal kemudian bahasa sinyal, dan juga hal-hal
yang lainnya. Disebutkan bahwa otak manusia itu bila diberi tekanan pada
bagian-bagian tertentu dapat memengaruhi ujaran seseorang. Di sini juga
dapat kita ketahui bahwa bila inputnya adalah visual, prosesnya akan
berbeda dengan inputnya bunyi (suara) sebelum akhirnya outputnya secara
verbal diujarkan. Seiring dengan adanya kemajuan teknologi, manusia dapat
meneliti otak manusia untuk mengetahui khususnya dalam hal ini faktor-
faktor yang berperan dan memengaruhi seseorang dalam berbahasa.
Kemajuan teknologi telah membuat penelitian mengenai otak lebih
maju. Kini telah terdapat CT atau CTA (Computerized Axial Tomography),
PET (Positron Emission Tomography), MRI (Magnetic Resonance Imaging),
dan ERPs (Event Related Potentials). Berikut ini spesifikasi dari alat-alat yang
digunakan untuk meneliti otak tersebut: (Miller-Shaul, Shelley, Zvia Breznitz,
2004).
68
6.4.1 CT atau CTA (Computerized Axial Tomography)
69
Gambar 9: CT atau CTA (Computerized Axial Tomography)
Sumber: Google Picture.Com
CT atau CTA Scan memanfaatkan sumber Sinar-X (X-Ray) untuk
merekam berbagai imaji (image) dan komputer kemudian membentuk imaji
tiga dimensi dari seluruh atau sebagian otak. Menarik untuk diketahui bahwa
alat ini telah dipakai untuk meneliti otak Mr.Tan (pasien Broca) yang otaknya
disimpan di museum kedokteran Paris selama lebih dari 100 tahun dan
terbukti bahwa Broca itu benar.
70
6.4.2 PET (Positron Emission Tomography)
Berbeda dengan CT / CTA, Positron Emission Tomography (PET)
dapat mempertunjukkan kegiatan otak secara langsung. Pada PET, bahan
yang berisi radioaktif ringan ini disuntikkan ke pembuluh darah dan kemudian
pola aliran darah pada otak ditelusuri dengan alat detektor khusus yang
diletakkan pada kepala si pasien. Detektor ini memberikan imaji yang
berwarna-warna. Pada waktu pasien melakukan kegiatan verbal sesuai
dengan instruksi dari penelitii, gambar di atas menunjukkan bagian-bagian
otak yang melakukan kegiatan ini akan mendapat aliran darah yang lebih
banyak dan menyebabkan daerah itu “menyala”. Dengan cara ini, orang lebih
pasti tahu untuk menentukan bagian-bagian otak yang terlibat dalam
kegiatan-kegiatan verbal tertentu.
Sumber: Barthel H, Luthardt J, Becker G, 2011
Gambar 10: PET (Positron Emission Tomography)
71
6.4.3 MRI (Magnetic Resonance Imaging)
MRI (Magnetic Resonance Imaging) berfungsi mengukur fungsi otak
dengan memanfaatkan jumlah aliran darah pada daerah-daerah otak yang
sedang aktif. Aktivitas selular diukur melalui medan magnetik yang
menelusuri proton-proton pada aliran darah. Pada saat suatu daerah di otak
melakukan suatu tugas kognitif, ada tambahan aliran darah dan aktivitas
selular yang berkaitan dengan tugas tersebut pada daerah itu (Stark, David
D., 1988).
(Sumber: Kieran Maher using Graphic Converter from Applied Imaging Technology by Heggie, Liddell, and Maher)
Gambar 11: MRI (Magnetic Resonance Imaging)
72
6.4.4 ERPs (Event Related Potentials)
ERPs (Event Related Potentials) berfungsi mengukur perubahan-
perubahan voltase pada otak yang berkaitan dengan hal-hal seperti sensori,
motorik, atau kognitiif. Pengukuran perubahan voltase ini mempunyai resolusi
waktu yang ukurannya milidetik. Rekaman dari ERPs menunjukkan sederetan
puncak voltase yang positif dan negatif yang muncul dengan jeda waktu
tertentu sejak stimulus diberikan.
(Sumber: Steven, L. Bressler, 2002)
Gambar 12: ERPs
7. Faktor Penyebab Disleksia
Sidiarto (2007) menunjukkan bahwa penyebab anak mengalami
keterlambatan atau kesulitan perkembangan membaca adalah:
73
1. Anak yang lahir prematur dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)
dapat mengalami kerusakan otak sehingga mengalami kesulitan
belajar atau gangguan pemusatan perhatian.
2. Anak dengan kelainan fisik seperti gangguan penglihatan, gangguan
pendengaran atau anak dengan cerebral palsy (c.p.) akan mengalami
kesulitan belajar membaca.
3. Anak kurang memahami perintah karena lingkungan yang
menggunakan beberapa bahasa (biloingual atau multilingual).
4. Anak yang sering pindah-pindah sekolah.
5. Anak yang sering absen karena sakit atau ada masalah dalam
keluarga.
6. Anak yang pandai dan berbakat yang tidak tertarik dengan
pembelajaran bahasa, sehingga kurang konsentrasi dan banyak
membuat kesalahan.
7.1 Mekanisme Kerusakan Otak pada Disleksia
Mekanisme terjadinya disleksia berkembang sedikit demi sedikit.
Bagian-bagian tertentu dalam otak tidak mengalami proses kematangan.
Dengan kata lain, pertumbuhannya tidak seimbang sehingga menyebabkan
bahagian otak yang mengontrol bacaan dan ejaan tidak dapat berfungsi
dengan optimal. (Gambar 10) memperlihatkan perbedaan aktivasi otak anak
disleksia dengan anak normal. Pada anak normal, sistem saraf paling aktif
74
pada bagian kiri posterior. Adapun pada disleksia, tidak tampak aktivitas
sistem saraf pada bagian belakang, bahkan cenderung area depan overaktif.
(Sumber: Shaywitz, S. 2003)
Gambar 13: Letak Lesi Disleksia pada Parieto-Temporo-Occipital
75
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Chiara Spironelli, et al., 2010,
menemukan terjadinya kerancuan pada kedua hemisfer cerebral untuk
menguasai kemahiran membaca dan mengeja. Pada keadaan ini hemisfer
kiri lemah, sehingga terjadilah keterbalikan huruf dan perkataan yang dialami
oleh anak-anak disleksia.
(Sumber: Shaywitz,S.2003)
Gambar 14: Letak lesi Disleksia pada Parieto-Temporo-Occipital
76
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk menjelaskan mekanisme
terjadinya disleksia, a.l. Chiara Spironelli, et al., 2010 meneliti plastisitas otak
14 anak-anak Italia yang mengalami developmental dyslexia setelah 6 bulan
mengikuti pelatihan fonologi. Cara yang digunakan untuk mengukur
reorganisasi bahasa adalah perekaman potensi gelombang awal disebut
N150, yang ditimbulkan oleh pengenalan kata otomatis. Komponen puncak
korteks temporo-oksipital kiri dan amplitudo bergantung pada keahlian
linguistik. N150 ditimbulkan oleh kata-kata yang tertulis dan diukur baik pada
anak-anak disleksia sebelum dan sesudah pelatihan, pada kontrol (bukan
disleksia), yang match selama pelatihan fonologi, semantik dan ortografi.
Setelah pelatihan, anak disleksia mengalami peningkatan kecepatan
membaca secara signifikan. Pada kontrol, menunjukkan gambaran khas
N150 posterior kiri. Pada anak-anak disleksia itu merata di seluruh hemisfer
sebelum pelatihan dan bergeser ke situs posterior kiri setelah pelatihan.
Selain itu, penyandang disleksia N150 posterior kiri asimetri pada fungsi
fonologis. Setelah pelatihan secara signifikan berkorelasi dengan
peningkatan kecepatan membaca, ditunjukkan pergeseranke kiri fonologi
N150, serta peningkatan kecepatan membaca yang sangat signifikan. Lokasi
sumber N150 berasal dari software Low Resolution Electromagnetic
Tomography dan dianalisis dengan metode Brain Electrical Source Analysis.
Generator terletak pada occipito-temporal korteks kiri (daerah Brodmann 39,
37, dan 19) pada kontrol, dan di daerah homolog pada anak disleksia
77
sebelum pelatihan. Setelah pengobatan, generator N150 penyandang
disleksia bergeser ke occipito-parieto-temporal korteks kiri (yaitu daerah
Brodmann 37 dan 19). Hasil studi ini menambah literatur saat ini pada
hipotesis fonologis disleksia dengan menunjukkan reorganisasi hemisfer
jaringan linguistik pada potensi pengenalan kata awal. Selanjutnya, penelitian
ini adalah yang pertama untuk menyelidiki reorganisasi otak pada bahasa
biasa / transparan seperti di Italia.
Beberapa penelitian mengenai disleksia telah dilakukan peneliti
terdahulu, antara lain oleh Anjarningsih (2006), Hidayah (2007), Mustafa, dkk.
(2013), Aini (2013), dan Qadariah (2014). Jauh sebelum penelitian tersebut,
tahun 1930-an, sebuah hasil penelitian menjelaskan gangguan membaca
dengan model hemisferik serebral. Hasil penelitian tersebut menyatakan
adanya korelasi positif gangguan membaca dengan tangan kiri, mata kiri atau
lateralisasi campuran (Kaplan, Benyamin J., Sadock dan Jack A. Greb, 1997:
698).
Penelitian K.U. Leuven di Belgia (Dewi, 2010) juga menemukan bahwa
disleksia disebabkan oleh masalah konektivitas yang terkait dengan bidang
pengolahan bahasa di otak, "Para peneliti melakukan CT Scan otak dari 23
orang dewasa dengan disleksia, dan 22 orang dewasa normal melalui
respons berbagai rangsangan pidato. Para ilmuwan melihat akurasi otak
peserta sebagai representasi fonetik yang dipetakan dari suara mereka.
78
Perbandingan otak normal dan yang terkena disleksia dapat dilihat pada
gambar berikut.
(Sumber: Richard Saltus, Globe Staff, 2003)
Gambar 15: Perbedaan antara Otak Normal dan Penyandang Disleksia
Penelitian selanjutnya mengenai konektivitas otak berbeda antara
anak disleksia dan anak normal. Secara khusus, para peneliti ingin melihat
79
seberapa baik daerah otak yang terlibat dalam 13 pengolahan bahasa yang
terhubung ke representasi fonetik.
Para peserta yang terpapar memiliki konektivitas buruk terutama
antara daerah Broca, sebuah daerah di lobus frontal otak yang terkait dengan
produksi ujaran, dan korteks pendengaran kiri dan kanan. Selain itu, orang-
orang dengan koneksi terlemah dan terburuk dilakukan pada saat membaca
dan mengeja teks (dikutip dari The Boston Globe Abnormal Brain Patterns
Indicate Dyslexia has Physical Explanation by Richard Saltus, Globe Staff,
2003)
Penelitian terkini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan anatomi
antara otak anak disleksia dengan anak normal, yakni di bagian temporo-
parietal-oksipitalnya (otak bagian samping dan bagian belakang).
Pemeriksaan functional Magnetic Resonancy Imaging (fMRI) dilakukan untuk
memeriksa otak saat dilakukan aktivitas membaca. Hal itu menunjukkan
bahwa aktivitas otak individu disleksia jauh berbeda dengan individu biasa,
terutama dalam hal pemprosesan input huruf / kata yang dibaca lalu
“diterjemahkan” menjadi suatu makna (Dewi, 2010). Bukti di atas sejalan
dengan beberapa penelitian dengan menggunakan Tomografi Computer (CT,
Computed Tompgraphy), pencitraan resonansi magnetik. Penelitian itu telah
menunjukkan bahwa ada asimetris abnormal pada lobus temporalis dan
parietalis orang dengan gangguan membaca.
80
Merujuk kajian yang dilakukan oleh Dr. Galaburda (Abdurrahman,
1999), susunan sel-sel otak orang disleksia ternyata berbeda dibandingkan
dengan otak orang biasa (normal). Perbedaan tersebut dapat dilihat pada
gambar 10 terdahulu. Untuk lengkapnya, penelitian seperti ini seyogyanya
dilakukan secara komprehensif di bawah payung ilmu neuropsikolinguistik.
7.2 Tanda-tanda dan Gejala Disleksia
Berikut ini adalah tanda-tanda disleksia yang mungkin dapat dikenali
oleh orangtua atau guru: (Dewi, K., 2012).
Kesulitan mengenali huruf atau mengejanya;
Kesulitan membuat pekerjaan tertulis secara terstruktur, misalnya
essay;
Huruf tertukar-tukar, misal ’b’ tertukar ’d’, ’p’ tertukar ’q’, ’m’ tertukar
’w’, ’s’ tertukar ’z’;
Membaca lambat-lambat dan terputus-putus dan tidak tepat, misalnya:
o menghilangkan atau salah baca kata penghubung (“di”, “ke”,
“pada”);
o mengabaikan kata awalan pada waktu membaca (”menulis”
dibaca sebagai ”tulis”);
o tidak dapat membaca atau pun membunyikan perkataan yang
tidak pernah dijumpai;
81
o tertukar-tukar kata (misalnya: dia-ada, sama-masa, lagu-gula,
batu-buta, tanam-taman, dapat-padat, mana-nama).
Daya ingat jangka pendek yang buruk;
Kesulitan memahami kalimat yang dibaca atau pun yang didengar;
Tulisan tangan yang buruk;
Mengalami kesulitan mempelajari tulisan sambung;
Ketika mendengarkan sesuatu, rentang perhatiannya pendek;
Kesulitan mengingat kata-kata;
Kesulitan dalam diskriminasi visual;
Kesulitan dalam persepsi spatial.
Kesulitan mengingat nama-nama;
Kesulitan / lambat mengerjakan PR;
Kesulitan memahami konsep waktu;
Kesulitan membedakan huruf vokal dengan konsonan;
Kebingungan atas konsep alfabet dan simbol;
Kesulitan mengingat rutinitas aktivitas sehari hari;
Kesulitan membedakan kanan dan kiri.
7.3 Diagnosis
Tidak ada satu jenis tes pun yang khusus atau spesifik untuk
menegakkan diagnosis disleksia. Diagnosis disleksia ditegakkan secara klinis
82
berdasarkan cerita dari orangtua, observasi dan tes-tes psikometrik yang
dilakukan oleh dokter anak atau psikolog. Selain dokter anak dan psikolog,
profesi lain seyogyanya juga terlibat dalam observasi dan penilaian anak
disleksia, yaitu dokter saraf anak (mendeteksi dan menyingkirkan adanya
gangguan neurologis), audiologis (mendeteksi dan menyingkirkan adanya
gangguan pendengaran), oftalmologis (mendeteksi dan menyingkirkan
adanya gangguan penglihatan), dan tentunya guru sekolah (Shaywitz S.,
2003).
Untuk menentukan anak disleksia atau tidak, harus dilakukan dengan
diagnosis oleh pakar yang ahli dalam bidang ini, misalnya dokter saraf anak
atau psikolog. Diagnosis disleksia dilakukan secara klinis berdasarkan cerita
dari orangtua, observasi, dan tes-tes psikometrik. Jika orangtua meyakini
bahwa tanda-tanda disleksia ada pada anaknya, segera konsultasikan
dengan pakar terkait. Anak disleksia pada usia prasekolah, menunjukkan
adanya keterlambatan berbahasa (delay speech) atau mengalami gangguan
dalam mempelajari kata-kata yang bunyinya mirip atau salah dalam pelafalan
kata-kata, dan mengalami kesulitan untuk mengenali huruf-huruf dalam
alfabet, disertai dengan riwayat disleksia dalam keluarga (Bailhaqi, M.I.F.dan
Sugiarmin, M., 2014).
Keluhan utama pada anak disleksia pada usia sekolah biasanya
berhubungan dengan prestasi sekolah, dan biasanya orangtua ”tidak terima”
jika guru melaporkan bahwa penyebab kemunduran prestasinya adalah
83
kesulitan membaca. Kesulitan yang dikeluhkan meliputi kesulitan dalam
berbicara dan kesulitan dalam membaca.
Siapa saja, tanpa memandang jenis kelamin, suku bangsa atau latar
belakang sosio-ekonomi-pendidikan, bisa mengalami disleksia. Riwayat
keluarga dengan disleksia merupakan faktor risiko terpenting karena 23-65%
orangtua dileksia mempunyai anak disleksia juga. Pada awalnya, anak lelaki
dianggap lebih banyak menyandang disleksia, tapi penelitian-penelitian
terkini menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan antara jumlah laki-laki
dan perempuan yang mengalami disleksia. Namun karena sifat perangai laki-
laki lebih kentara jika terdapat tingkah laku yang bermasalah, sepertinya
kasus disleksia pada laki-laki lebih sering dikenali dibandingkan pada
perempuan (Bailhaqi, M.I.F.dan Sugiarmin, M., 2014).
7.4 Identifikasi Dini Disleksia
Menurut Asosiasi Disleksia Internasional (Hawelka S., Huber C.,
Wimmer H., et al, 2006) disleksia merupakan salah satu jenis kesulitan
belajar spesifik yang berasal dari kelainan neurobiologis. Hal ini ditandai
dengan kesulitan pada pengenalan, mengeja dan mengode kata. Kesulitan-
kesulitan ini biasanya disebabkan oleh adanya kekurangan dalam komponen
fonologis. Penyandang disleksia sulit dikenali karena dari segi penampilan
seperti anak normal pada umumnya serta dengan nilai IQ normal (rata-rata
84
atau di atas rata-rata). Pada umumnya, terlihat dari kurang prestasinya,
membaca tidak fasih, huruf sering dibolak-balik, dll. Tidak banyak guru yang
menyadari bahwa masalah yang melatarbelakangi kesulitannya tersebut
adalah suatu kesulitan belajar spesifik. Oleh karena itu, deteksi disleksia
sejak dini serta penanganan yang baik akan memberikan hasil yang baik
pula.
Disleksia tidak bisa disembuhkan, namun hanya bisa membaik.
Penelitian di negara maju menunjukkan bahwa deteksi disleksia sejak dini
serta penanganan yang baik akan memberikan hasil yang baik juga.
Sebaliknya, seperti penjelasan di atas, jika tidak cepat dideteksi, akan
berakibat pada gangguan sosial dan emosional. Gangguan sosial dan
emosional ini dapat menumbuhkan sikapnya yang kurang percaya diri, labil,
mudah tersinggung, merasa dirinya bodoh, dan menjadi korban bullying
teman-temannya (Bailhaqi, M.I.F. dan Sugiarmin, M., 2014).
Diagnosis disleksia dapat ditegakkan pada usia anak 7 tahun dan
proses diagnosisnya memerlukan seorang psikolog atau dokter ahli saraf.
Namun, kita sudah bisa mengidentifikasi sejak anak masih berusia 5-7 tahun
atau usia prasekolah. Identifikasi awal akan memberikan manfaat yang besar
antara lain: biaya terapi yang jauh lebih murah, anak belum terganggu self
esteem-nya dan lebih fleksibel dalam menerima metode pembelajaran
(Aaron, P. G., dan Phillips, S.,1986).
85
Permasalahan yang terjadi di Indonesia adalah tidak semua daerah,
khususnya di daerah-daerah terpencil memiliki SDM seperti dokter spesialis
saraf anak yang mampu mengidentifikasi dan mendiagnosis disleksia.
Dengan demikian, dibutuhkan suatu sistem yang dapat mengidentifikasi awal
kemungkinan atau potensi seorang anak menyandang disleksia yang dapat
dengan mudah diakses di mana saja dan kapan saja, sehingga baik orangtua
maupun guru dapat lebih waspada terhadap hal ini (Bailhaqi, M.I.F. dan
Sugiarmin, M., 2014).
Sistem ini merupakan sistem identifikasi disleksia dini dengan
ketentuan sebagai berikut:
1. Sistem ini digunakan untuk identifikasi dini disleksia pada anak dengan
rentang usia 5 - 7 tahun;
2. Sistem ini mengeluarkan output berupa kemungkinan seorang anak
menyandang disleksia, bukan diagnosis;
3. Diagnosis hanya ditegakkan oleh tenaga profesional yang
berkompeten;
4. Parameter yang diukur antara lain: bahasa lisan, bahasa tulisan,
bahasa sosial, matematika, organisasi, sekuensi, working memory,
arah dan koordinasi motorik halus.
86
7.5 Alur Skrining Disleksia (Catts, H.W., 2012)
1. Skrining Awal
Skrining awal adalah identifikasi dini disleksia yang dilakukan
oleh orangtua. Orangtua mengisi 21 pertanyaan kuesioner tentang
anak dan hasil dari proses ini adalah kemungkikan seorang anak
menyandang disleksia atau tidak.
2. Skrining Lanjut
Skrining lanjut adalah identifikasi yang dilakukan oleh
seseorang yang sudah disertifikasi oleh Asosiasi Disleksia Indonesia
(ADI) sebagai lanjutan dari proses skrining awal. Hasil dari proses ini
adalah kemungkikan seorang anak menyandang disleksia berat,
sedang, atau ringan.
7.6 Penatalaksanaan Disleksia
Disleksia dapat diatasi dengan terapi yang benar dan tepat sesuai
metode yang teruji secara ilmiah. Ada beberapa cara yang bisa dilakukan
untuk mengatasi kesulitan belajar pada anak disleksia.
Berikut beberapa cara yang bisa dijadikan referensi untuk mengatasi
kesulitan belajar pada anak disleksia.
87
1) Gunakan Media Belajar
Cara mengatasi kesulitan belajar pada anak disleksia adalah dengan
menggunakan media belajar. Seperti yang telah disebutkan di atas, anak
disleksia cenderung lebih mudah memahami sesuatu dengan gambar. Untuk
itu, bisa digunakan media belajar berupa gambar untuk membantu
memudahkan dalam mengenalkan huruf, membedakan huruf hingga akhirnya
anak disleksia mampu membaca dan menulis dengan lancer (Beacham,
Nigel A. dan James L. Alty, 2006).
2) Tingkatkan Motivasi Belajar pada Anak
Cara mengatasi kesulitan belajar pada anak disleksia yang kedua
adalah dengan meningkatkan motivasi belajar pada anak. Upaya
meningkatkan motivasi belajar bisa dilakukan dengan membacakan sebuah
cerita atau dongeng, kemudian memberitahukan segala manfaat dan
keuntungan yang bisa diperoleh dengan membaca dan menulis. Dengan
demikian, anak akan termotivasi dan terdorong untuk bisa membaca dan
menulis sendiri.
3) Tingkatkan Rasa Percaya Diri Anak
Kondisi anak disleksia mengakibatkan kesulitan menulis dan
membaca. Hal itu membuat sebagian anak disleksia mengalami depresi dan
kehilangan rasa percaya diri karena kesulitan mengikuti pelajaran di sekolah
88
dan sering juga dikucilkan oleh teman-temannya. Dengan meningkatkan rasa
percaya diri pada anak disleksia, merupakan salah satu cara mengatasi
kesulitan belajar pada anak disleksia. Dengan mengembalikan dan
meningkatkan rasa percaya dirinya, sehingga memiliki semangat belajar yang
lebih tinggi untuk mengatasi kesulitan belajar yang dialaminya. Beberapa hal
berikut perlu pula diperhatikan:
a. Jangan pernah menyalahkan anak atas kondisi yang dialaminya.
Beberapa orangtua yang tidak siap memiliki anak dengan disleksia
cenderung menyalahkan anak karena kondisi yang dideritanya.
Padahal kondisi disleksia yang menyebabkan anak mengalami
kesulitan belajar bukan merupakan kesalahan yang dilakukan oleh
anak, namun karena adanya kelainan dalam otak anak. Dengan
menyalahkan anak atas kondisi yang dialaminya, justru akan membuat
anak semakin depresi.
b. Selalu dampingi anak dalam belajar
Cara mengatasi kesulitan belajar pada anak disleksia
berikutnya adalah dengan selalu mendampingi anak dalam belajar.
Dengan selalu melakukan pendampingan dalam belajar, anak akan
lebih mengingat hal yang dipelajarinya. Selain itu, pendampingan
belajar secara rutin juga dapat meningkatkan rasa percaya diri dan
meningkatkan motivasi anak untuk selalu belajar.
89
Beberapa cara di atas bisa digunakan sebagai referensi dalam
mengatasi kesulitan belajar pada anak disleksia. Namun, gejala disleksia
berbeda antara anak yang satu dengan anak yang lain. Selain menggunakan
beberapa cara di atas, juga bisa mengatasi kesulitan belajar pada anak
disleksia sesuai dengan gejala yang ditunjukkan.
Sampai saat ini belum ditemukan obat yang bisa mengatasi disleksia.
Untuk itu, terapi merupakan bentuk penanganan yang paling tepat untuk
mengatasi kesulitan belajar pada anak disleksia. Terapi yang bisa digunakan
untuk mengatasi kesulitan belajar pada anak disleksia adalah Terapi
Gelombang Otak. Terapi Gelombang Otak Dyslexia Treatment adalah
sebuah terapi yang dirancang khusus oleh para ahli untuk membantu
mengatasi kesulitan membaca dan menulis pada penyandang disleksia.
Terapi Gelombang Otak Dyslexia Treatment bekerja dengan
memberikan stimulus pada gelombang otak yang telah disesuaikan, sehingga
sangat efektif untuk mengatasi masalah kesulitan belajar pada anak
disleksia. Terapi Gelombang Otak Dyslexia Treatment berbentuk CD musik
terapi sehingga sangat mudah dan praktis digunakan. Penggunaan terapi ini
secara teratur mampu memudahkan anak disleksia untuk mempercepat
proses belajarnya.
90
4) Pendekatan Multisensori
Pada awalnya, pendekatan multisensory diusulkan secara kolektif oleh
ahli dalam bidang kesulitan belajar, guru, dan peneliti pada akhir tahun 1920-
an dan secara signifikan dikembangkan pada tahun 1970-an oleh Gillingham
dan Stillman. Pada dasarnya, pendekatan tersebut terdiri atas sederatan
strategi pembelajaran multisensori yang menghubungkan mata, telinga,
suara, dan gerakan tangan karena anak-anak disleksia memiliki kreativitas
ekstra dan reseptor sensorik yang lebih kuat (J.Ohene-Djan dan R. Begum,
2008).
Studi dari National Institute of Child Health and Human Development
menunjukkan bahwa dengan menggunakan pendekatan multisensori, anak-
anak dengan kesulitan belajar dapat belajar membaca dengan lebih baik (S.
Purkayastha, dkk., 2012). Selanjutnya, dengan menggunakan berbagai jenis
alat pembelajaran yang memanfaatkan kekuatan sensori anak disleksia, tidak
hanya membuat proses pembelajaran lebih produktif dan efektif, tetapi juga
membuat anak-anak tetap fokus untuk jangka waktu lama.
7.7 Penanganan Anak Disleksia dengan Terapi Video Game
Bagi anak-anak dengan disleksia, bermain video game aksi dapat
membantu mereka mengalihkan perhatian antara suara dan isyarat visual
dengan lebih baik. Disleksia memengaruhi 5-10% populasi dan merupakan
ketidakmampuan belajar karena kesulitan membaca, menulis, dan mengeja.
91
Salah satu efek samping yang terdokumentasi dengan baik adalah kesulitan
memproses dan mengalihkan antara isyarat sensorik visual dan audio,
contohnya, melihat gambar dan kemudian mengalihkan perhatian untuk
suara yang datang tiba-tiba (Gabrieli, J., 2009).
Dalam studi baru yang dirilis dalam Cell Biology, para peneliti menguji
waktu reaksi dari 34 partisipan yang diminta memencet tombol setiap kali
mereka mendengarkan suara, melihat cuplikan gambar redup, dan
mendengar suara sekaligus melihat gambar yang muncul di layar. Separuh
partisipan memiliki disleksia dan grup satunya normal. Secara keseluruhan,
para peneliti menemukan bahwa anak-anak dengan disleksia memiliki reaksi
yang lebih lambat ketika mendengar isyarat suara yang diikutii isyarat
gambar, dibandingkan dengan kelompok pembanding (Vidyasagar, T.R., and
Pammer, K., 2010).
Para peneliti mencatat kelompok disleksia mengalami tingkat respons
yang sama dengan kelompok pembanding dalam hal bereaksi terhadap
isyarat visual yang diikuti isyarat suara-asimetri yang sebelumnya tidak
pernah diamati di antara penyandang disleksia. Temuan ini mengarahkan
peneliti untuk berhipotesis bahwa video game mungkin bermanfaat besar
bagi orang-orang dengan disleksia, membantu mereka lebih mudah melatih
mengalihkan rangsangan suara dan visual (Green, C.S., Pouget, A., dan
Bavelier, D., 2010).
92
Satu lagi manfaat dari bermain video game ditemukan oleh
sekelompok peneliti dari University of Padua, Italia. Menurut penelitian
tersebut, bermain video game ternyata bisa membantu anak penyandang
disleksia untuk membaca lebih cepat. Penelitian tersebut melibatkan
beberapa anak yang berusia antara 7 hingga 13 tahun, yang memainkan
beberapa mini game bertempo cepat dalam Rayman Raving Rabbids, salah
satu game Wii selama 12 jam. Hasilnya, memainkan game bertipe action
tersebut dapat meningkatkan kecepatan membaca anak-anak tanpa harus
kehilangan ketepatan membacanya, lebih cepat dibandingkan mengajari
mereka membaca secara konvensional selama satu tahun. Lebih lanjut, hasil
yang didapat dari bermain game tersebut setara dengan mengajari anak-
anak membaca dengan metode terbaik sekalipun, bahkan sedikit lebih baik
dan lebih efektif (Dye, M.W.G., Green, C.S., dan Bavelier, D., 2009).
Andrea Facoetti, salah satu asisten yang ikut berkontribusi dalam
penelitian tersebut mengungkapkan, bahwa bermain video game bisa
meningkatkan perhatian mereka secara visual, yang juga akhirnya sangat
membantu mengembangkan kemampuan membacanya. Video game dengan
banyak aksi bisa meningkatkan banyak aspek dari perhatian visual, yang
utamanya berakibat meningkatkan penggalian informasi dari lingkungan
(Facoetti, 2013:18). Anak dengan disleksia dapat belajar untuk lebih fokus
terhadap lingkungan tersebut dengan lebih efisien, yang diharapkan
berakibat bisa menggali informasi yang relevan dari tulisan lebih cepat.
93
Sebuah penemuan yang menarik dan kembali membuktikan bahwa bermain
video game tidak sepenuhnya merugikan untuk perkembangan anak.
Mahasiswa Universitas Gadjah Mada yang tergabung dalam tim
LexiPal berhasil membuat aplikasi untuk siswa penyandang disleksia. Liwat
aplikasi Kinect-Based Dyslexia Therapy, mereka membantu para siswa
disleksia untuk memahami huruf dan melatih penggunaan otak kiri dan kanan
dengan baik (Mega Saputra, 2015). Aplikasi inilah yang diadaptasi dan
selanjutnya dijadikan alat itervensi untuk memperbaiki kesulitan belajar anak
penyandang disleksia.
Penelitian lain tentang video game oleh Jurnal Current Biology minggu
ini menerbitkan tulisan tentang penelitian terhadap 12 anak disleksia agar
bisa membaca dengan permainan Wii Game berjudul Rayman Raving
Rabbids selama 12 jam dalam 9 hari. Game ini terdiri atas beberapa seri
mini game, setengah dari anak-anak disleksia tersebut ditugaskan untuk
memainkan permainan yang disebut oleh peneliti sebagai game mini "aktif"
atau 'action', sementara separuh anak lainnya ditugaskan memainkan game
mini "non-aktif" atau 'non-action'. Bedanya adalah bahwa game aktif lebih
cepat dibandingkan dengan game mini yang tidak aktif, termasuk di
dalamnya membutuhkan lebih banyak sensori stimuli dan membutuhkan lebih
banyak masukan dinamis dari pemainnya. Intinya, “game mini aktif”
94
memerlukan fokus, perhatian dan respon yang lebih cepat dari anak
penyandang disleksia agar bisa menjalankan permainan dengan baik.
Setelah berjalan selama 9 hari memainkan game tersebut, peneliti
menguji anak-anak disleksia tersebut dengan berbagai tugas yang berbeda
seperti tes kecepatan dan keakuratan membaca, pengenalan kata, dan
kemampuan anak untuk memberikan perhatian pada beberapa jenis input
seperti penglihatan dan suara sekaligus (Nini, Subini, 2012; Saputra, 2015).
Sebelum mendapatkan treatment dengan permainan game ini, dua
kelompok tersebut memiliki kemampuan yang sama pada tugas-tugas yang
diberikan. Namun, setelah 12 jam bermain game, anak-anak disleksia yang
memainkan 'game mini aktif' memperlihatkan peningkatan yang signifikan
dalam kemampuan membacanya. Mereka dapat membaca lebih cepat dan
lebih akurat, serta lebih banyak mengenali kata-kata dibandingkan dengan
sebelum di-treatment. Sebaliknya, anak-anak disleksia yang mendapatkan
tugas memainkan 'mini game tidak aktif' tidak mendapatkan hasil yang lebih
baik dibandingkan dengan tes sebelum mereka mendapatkan treatment
(Saputra, 2015).
Peningkatan kemampuan membaca pada anak-anak disleksia ini pada
tes setelah treatment adalah hasil yang sangat substansial. Seperti bahwa
anak mendapatkan progres kemajuan kemampuan membaca setelah
sembilan hari memainkan 'game mini aktif' dibandingkan dengan anak-anak
disleksia yang mendapatkan bertahun-tahun edukasi terapi secara
95
tradisional. Ajaibnya, kemampuan membaca secara lebih akurat dan bagus
tersebut tidak berubah setelah dua bulan. Anak-anak disleksia tersebut masih
baik dalam tes pengenalan kata sebagaimana ketika baru saja mendapatkan
treatment 9 hari bermain game (Saputra, 2015).
Sebagaimana halnya kemampuan membaca, 'aktif game' membimbing
anak untuk menyeimbangkan berbagai jenis input yang berbeda saat
memainkan tujuan-tujuan misi dalam game tersebut. Para peneliti yakin
bahwa memainkan 'game aktif' kemungkinan juga akan membantu
peningkatan kinerja otak, seperti mengintegrasikan kemampuan menangkap
informasi visual dengan respon motorik (Saputra, 2015).
Namun demikian, peneliti masih menghadapi jalan panjang sebelum
video game mendapatkan penerimaan baik dalam treatment akademik untuk
anak disleksia, dan tidak ada seorang pun yang merekomendasikan seorang
anak, baik disleksia atau pun tidak, untuk menghabiskan beberapa jam
bermain Wii Game. Namun bagaimanapun juga penelitian ini menunjukkan
adanya bukti bahwa untuk meningkatkan perhatian visual pada anak dengan
cara non-tradisional dapat menurunkan gangguan disleksia dan gejala
gangguan kemampuan membaca lainnya. Bagi jutaan anak yang mengalami
hambatan kemampuan membaca, cara seperti ini adalah kabar baik
(Saputra, 2015).
Bagi anak disleksia, belajar membaca adalah sesuatu yang sangat
mengerikan bagi mereka menghadapi kata-kata, huruf-huruf yang dibaurkan
96
dan dicampur aduk, dan juga suara-suara yang tidak dapat masuk ke akal
mereka. Penelitian juga menyebutkan bahwa disleksia adalah gangguan otak
(bukan hanya gangguan sistem visual). Namun, pada dasarnya para ilmuwan
belum tahu hal yang menjadi akar sebab-musababnya. Belum ditemukan
cara sederhana untuk memerangi gangguan ini (R. Frank, 2002).
Dari beberapa kenyataan, betapa mahal, dan lamanya treatment baik
secara pendidikan di sekolahan atau pun melalui menyewa terapi secara
tradisional saat ini bagi anak penyandang disleksia. Namun, hasilnya sama
sekali tidak menunjukkan hasil dan peningkatan yang menggembirakan. Jadi,
metode dengan memainkan video game ini adalah cara yang lebih murah,
dapat dijangkau dan tentunya menyenangkan bagi anak-anak (Solso, Robert
L, et.al., 2016).
7.8 Media Belajar LexiPal
Aplikasi LexiPal dikembangkan berdasarkan pendekatan multisensori
sehingga melibatkan sebanyak mungkin indera anak seperti visual, auditori,
taktil, dan kinestetik. LexiPal juga menyediakan aplikasi yang lebih
komprehensif dengan memasukkan konten pra-membaca dan kemampuan
spesifik untuk membantu mereka dalam kegiatan sehari-hari, di samping
kemampuan membaca. Dengan konten yang menarik dan menyenangkan,
97
diharapkan aplikasi ini dapat memotivasi anak disleksia untuk terus belajar.
Aplikasi ini sudah divalidasi oleh Asosiasi Disleksia Indonesia (ADI).
LexiPal adalah media belajar membaca untuk anak dengan kesulitan
membaca dan menulis. Bersama LexiPal, orangtua dapat mengasah
kemampuan pra-sekolah anak dan memandu anak belajar membaca
permulaan. Dengan tampilan yang menarik dan memotivasi, proses belajar
membaca akan menjadi lebih menyenangkan (Mega, Saputra, 2015).
Dikembangkan bersama Asosiasi Disleksia Indonesia, LexiPal juga
tersedia untuk dokter anak, psikolog, guru, dan terapi dengan nama LexiPal
Professional Version. Guru dan terapi dapat menggunakan LexiPal
Professional Version sebagai salah satu alat bantu dalam mengajarkan
membaca atau terapi remedial bagi penyandang disleksia. Selain itu, para
profesional juga dapat membuat jadwal belajar anak serta melihat
perkembangan belajar anak (Mega, Saputra, 2015).
7.8.1 Konten LexiPal
Konten aplikasi ini dirancang untuk memenuhi kebutuhan anak-anak
disleksia dan terapi. Berbeda dari penelitian sebelumnya yang hanya fokus
pada masalah spesifik anak-anak disleksia. Penelitian ini menyediakan
konten yang lebih komprehensif dengan memasukkan tidak hanya
keterampilan belajar membaca, tetapi juga materi yang mungkin bisa
membantu anak-anak disleksia dalam kehidupan sehari-hari mereka. Secara
98
lebih rinci, konten media pembelajaran dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu
pra-membaca, keterampilan khusus, dan membaca.
a. Pra-Membaca
Kelompok ini terdiri atas materi yang mendukung kemampuan anak
dalam belajar membaca. Jika anak-anak disleksia bisa menguasainya, ini
akan membantu mereka belajar membaca dengan lebih lebih baik. Sebagai
contoh, jika disleksia memahami perbandingan istilah seperti "lebih tinggi
dari", itu bisa membantu mereka untuk mengenali perbedaan antara bentuk
"h" dan"n".
b. Keterampilan Khusus
Keterampilan khusus berhubungan dengan masalah tertentu yang
dimiliki oleh anak-anak disleksia atau pun kemampuan untuk membantu dia
menjalankan kegiatan sehari-hari dengan baik seperti masalah memori
jangka pendek, arah, atau berpikir secara runtut.
c. Membaca
Aplikasi ini berisi kemampuan membaca permulaan, misalnya belajar
huruf, suku kata, kata-kata, dan kalimat sederhana. Langkah-langkah belajar
membaca pada aplikasi ini berdasarkan pada fase belajar bahasa Indonesia.
Setiap kelompok berisi beberapa kategori yang mewakili keterampilan yang
dipelajari di kelompok itu. LexiPal terdiri atas berbagai media belajar yang
99
dikelompokkan dalam 12 kategori berbeda. Media belajar ini dirancang agar
mampu disesuaikan dengan kebutuhan belajar anak-anak.
Dua belas Kategori tersebut masing-masing dijabarkan di bawah ini (Mega,
Saputra, 2015).
i) Bentuk dan Pola
Gambar 16: Bentuk dan Pola
100
Mengenal bentuk dan pola adalah salah satu kemampuan dasar yang
harus dipelajari sebelum anak mulai belajar mengenal huruf. Sesungguhnya
bentuk-bentuk huruf adalah susunan dari berbagai bentuk dan pola yang
berbeda.
ii) Persamaan, Perbedaan, dan Perbandingan
Gambar 17: Persamaan, Perbedaan, Perbandingan Bentuk
dan Pola
101
Kemampuan dalam menemukan persamaan dan perbedaan pada
gambar akan sangat bermanfaat dalam mengidentifikasi persamaan dan
perbedaan antara satu huruf dengan huruf ainnya. Begitu pula dengan
kemampuan membandingkan objek, seperti: mana yang lebih tinggi dan
mana yang lebih pendek, akan diperlukan oleh anak untuk mengidentifikasi
perbedaan bentuk huruf.
iii) Ingatan Jangka Pendek
Gambar 18: Ingatan Jangka Pendek
102
Salah satu kesulitan yang dihadapi oleh anak-anak dengan Kesulitan
Belajar Spesifik adalah lemah dalam hal ingatan jangka pendek. Media-
media pada kategori “Ingatan Jangka Pendek” akan melatih kemampuan
tersebut.
iv) Asosiasi Objek
Gambar 19: Asosiasi objek
103
sosiasi objek adalah kemampuan untuk mengasosiasikan suatu objek
dengan objek tertentu atau dengan suatu kategori tertentu. Kemampuan
pengategorian ini akan membantu anak dalam mengategorikan huruf-huruf.
v) Persepsi Arah
Gambar 20: Persepsi Arah
104
Kemampuan memahami arah merupakan salah satu kemampuan
yang hampir selalu digunakan pada aktivitas sehari-hari. Namun, pada anak
yang memiliki kesulitan belajar spesifik, persepsi arah merupakan salah satu
kesulitan tersendiri. Pada kategori ini, anak akan belajar mengenai berbagai
persepsi arah, seperti kanan, kiri, atas, bawah, depan, belakang, dan di
antara.
vi) Urutan Aktivitas
Gambar 21: Urutan Aktivitas
105
Kategori Urutan Aktivitas berkaitan dengan kemampuan mengurutkan
tahap-tahap dalam sebuah aktivitas tertentu. Selain sangat bermanfaat dalam
kehidupan sehari-hari anak, ini juga melatih kemampuan berpikir sekuensial
yang sering kali anak-anak dengan kesulitan belajar spesifik mengalami
kesulitan.
vii) Pemahaman Tempat
Gambar 22: Pemahaman Tempat
106
Kategori Pemahaman Tempat berkaitan dengan kemampuan dalam
mengasosiasikan suatu benda atau aktivitas dengan suatu lokasi tertentu.
viii) Konsep Waktu
Gambar 23: Konsep Waktu
Salah satu masalah yang dihadapi anak dengan Kesulitan Belajar
Spesifik adalah mengenai pemahaman terhadap waktu. Kategori Konsep
107
Waktu mengajarkan pemahaman terhadap istilah-istilah yang berkaitan
dengan waktu.
ix) Keterampilan Sosial
Gambar 24: Keterampilan Sosial
Kesulitan dalam memahami bahasa sosial juga menjadi salah satu
kelemahan anak-anak dengan Kesulitan Belajar Spesifik. Kategori
108
Keterampilan Sosial mengajarkan anak segala sesuatu yang dibutuhkan
dalam aktivitas sosial.
x) Huruf
Gambar 25: Huruf
Kategori Huruf mengajarkan dan melatih anak mengenai huruf abjad
dalam Bahasa Indonesia, yang mencakup huruf vokal, huruf konsonan,
109
bagaimana bunyi fonem dan bunyi masing-masing nama huruf, serta bentuk
dan cara penulisannya.
xi) Suku Kata dan Kata
Gambar 26: Suku Kata dan Kata
Kategori Suku Kata dan Kata mengajarkan berbagai pola gabungan
kata yang membentuk suku kata dan kata beserta bagaimana bunyi
110
pengucapannya, mulai dari yang paling sederhana, misalnya pola Konsonan-
Vokal (KV), hingga pola kata berimbuhan /me- /,/me-i/, dan /me-kan/.
xii) Kalimat Sederhana
Kategori kalimat sederhana mengajarkan dan melatih anak untuk
membentuk dan memahami pola kalimat Subjek-Predikat-Objek (S-P-O).
7.8.2 Keunggulan Aplikasi LexiPal
Keunggulan dari aplikasi LexiPal adalah sebagai berikut:
a. Menarik dan Menyenangkan
Aplikasi LexiPal didesain dekat dengan dunia anak-anak yang penuh
permainan dan warna, sehingga diharapkan lebih menarik dan
menyenangkan.
b. Memotivasi
Dengan adanya score, hadiah, dan sertifikat, LexiPal dapat
memotivasianak untuk belajar lebih banyak lagi.
c. Sesuai dengan Kemampuan Anak
Setiap anak adalah unik dan berbeda. Hampir semua media belajar
pada LexiPal menyediakan menu pengaturan, termasuk di dalamnya
tingkat kesulitan, sehingga bisa disesuaikan dengan kebutuhan dan
kemampuan anak.
111
d. Pendekatan Multisensori
LexiPal mengadopsi pendekatan multisensori dengan melibatkan
sebanyak mungkin indera anak dalam belajar, meliputi visual,
auditori, taktil, dan kinestetik. Dengan bantuan alat sensor gerak
kinect, aplikasi LexiPal menyediakan beberapa media belajar yang
mendukung interaksi natural dengan isyarat dan anak dapat belajar
seperti di dunia nyata tanpa harus bersentuhan dengan keyboard dan
mouse.
e. Jadwal
Pengguna, terutama terapi, dapat membuat jadwal sebagai pengingat
waktu belajar.
f. Data Historis
Dengan data historis, guru, dan orangtua dapat melihat dan memonitor
perkembangan belajar anak.
Penelitian ini mengembangkan aplikasi belajar membaca untuk
membantu terapi atau guru dalam melakukan program remedial untuk
anak disleksia usia 5-7 tahun. Dengan menggunakan pendekatan
multisensori, aplikasi ini dirancang agar anak-anak disleksia dapat
menggunakan semua reseptor sensorik dengan mengimplementasi-
kan umpan balik visual audio dan mendukung taktil-kinestetik.
112
7.8.3 SOP Peaksanaan Terapi dengan Media “Kinect-Based
Dyslexia Therapy”
SOP (Standard Operating Procedures) atau Prosedur Operasi Standar
terapi dengan menggunakan LexiPal sebagai berikut:
a. Untuk Penyandang Suspek Disleksia
1. Anak suspek disleksia dikontrol untuk duduk tenang (diciptakan
suasana agar mereka tidak dalam keadaan takut dan tertekan).
2. Diberi gambaran tentang hal yang akan dilakukan, diberikan motivasi,
dan tidak diberikan target.
3. Duduk di depan layar monitor dengan tenang.
4. Selama terapi berlangsung, anak disleksia sebaiknya tidak diinterupsi
dengan kegiatan lain.
5. Setelah terapi selesai, anak disleksia dipersilakan meninggalkan
ruangan disertai pemberian semangat dan pujian.
b. Untuk Tenaga Terapi (terapis)
1. Menciptakan suasana santai.
2. Mencatat perilaku setiap anak saat pelaksanaan terapi berlang-sung,
jika ada yang tidak normal, seyogyanya tidak ditegur secara spontan.
3. Memastikan bahwa setiap peralatan berfungsi dengan baik.
4. Mempersiapkan catatan (record) capaian sebelumnya.
5. Menjelaskan hal yang akan dilakukan disertai contoh.
113
6. Saat melakukan terapi, seyogyanya tidak memegang mainan yang
dapat mengalihkan perhatian anak, demikian halnya tidak menerima
telepon di depan anak-anak (HP silent).
7. Jika keadaan si anak sudah letih, harus jeda istirahat.
8. Setiap sesi terapi, tidak melebihi 40 menit (untuk menghindari rasa
bosan anak-anak yang diterapi). Jika harus dilaksanakan selama 1
jam, maka seharusnya ada jeda.
c. Untuk Klinik Terapi
1. Setiap Klinik Terapi Disleksia harus ditangani oleh tenaga terampil dan
memiliki pengetahuan terlatih mengenai penanganan anak Suspek
Disleksia.
2. Setiap klinik terapi disleksia harus mampu mendiagnosis pasien
melalui Uji Linguistis dan Uji Klinis.
3. Setiap klinik terapi harus menjaga kerahasiaan pasien.
4. Peralatan terapi (LexiPal) disiapkan dalam ruangan tersendiri.
5. Ruangan harus senantiasa bersih, udara bebas dan penerangan cukup
serta tidak sumpek.
6. Menyiapkan ruang tunggu bagi pengantar si anak, jika ruang klinik ini
di SLB, sebaiknya disiapkan ruangan tersendiri, dan
7. Memberi keterangan atau penjelasan kepada keluarga si penyandang
atas capaian pada setiap tahap terapi.
114
7.9 Beberapa Kasus Disleksia
Sekitar tahun 1878, seorang ahli fisika ternama berbangsa Jerman, Dr.
Kussmaul tercatat sebagai seorang lelaki yang mempunyai kecerdasan
normal, tetapi tidak dapat membaca dengan sempurna. Ia sendiri menyebut
keadaan ini sebagai 'buta membaca' (reading blindness) (Selikowitz, 1993).
Menyusul sembilan tahun kemudian, tahun 1887, tokoh yang pertama
kali menggunakan istilah disleksia kepada pasiennya ialah seorang
ophthalmologist yang bekerja di Stuttgart. Inilah cikal-bakal mengenai
ditemukannya disleksia yang kemudian tercatat dan berterima dalam British
Medical Journal yang terbit pada tahun 1896, atas jasa Dr. Pringle Morgan,
seorang doktor di Sussex. Ahli ini menulis artikel mengenai seorang anak
lelaki berusia 14 tahun bernama Percy yang bijak dan cerdas. Si anak
menguasai berbagai permainan dengan cepat dan tidak terlihat kekurangan
sedikit pun dibanding dengan teman sebayanya. Namun, anak ini tidak dapat
mengeja namanya dengan lancar. Secara terbata-bata ia mengeja namanya
sendiri dengan 'Precy' (Pumprey dan Reason, 1991).
Seorang ahli neurologi, Samuel T. Orton (dalam Ott, 1997), merawat
dan membuat kajian khusus terhadap sejumlah anak yang mengalami
kesulitan dalam belajar. Kegiatan itu dilakukan sejak tahun 1925. Beliau juga
mengkaji post mortem otak manusia. Orton memperkenalkan istilah
'ketidakupayaan membaca yang spesifik'. Dalam kajiannya ditemukan bahwa
115
kesukaran itu adalah proses lateralization yang tidak sempurna dalam
hemisfer-hemisfer otak. Menurut beliau, pemulihan keadaan ini memerlukan
cara pengajaran yang khusus (Ott, 1997).
Orton merupakan orang pertama yang mengaitkan pendidikan dengan
neurologi pediatrik. Dalam tahun 1930-an, Anna Gillingham, asisten peneliti
Orton menciptakan satu bentuk pengajaran untuk anak-anak penyandang
disleksia. Gillingham dan seorang guru bernama Bessie Stillman
menciptakan teknik-teknik pengajaran bagi membantu kanak-kanak disleksia
yang dikenal pasti oleh Orton. Sistem ini sudah digunakan secara meluas
dan menjadi asas kepada banyak program pengajaran seterusnya (Ott, 1997;
Hornsby dan Shear, 1983; Gearheart, 2014).
Ada sejumlah tokoh terkenal/pesohor dunia yang ternyata penyandang
disleksia. Sejumkah tokoh besar berikut adalah pada awal kehidupannya
menyandang disleksia. Namun, dengan usaha kerasnya, mereka mampu
melawan gangguan belajar (disleksia) itu. Pada akhirnya, mereka mampu
menunjukkan kepada dunia hasil kerja kerasnya. Pesohor dunia tersebut
menjadi suatu cambuk para penyandang disleksia untuk lebih memacu diri
belajar dan berlatih keras.
Para pesohor dunia tersebut, dapat dilihat beberapa orang yang
ditampilkan, antara lain sebagai berikut:
116
1. Leonardo da Vinci
Gambar 27: Leonardo da Vinci
Siapa yang tak kenal dengan Leonardo da Vinci, sang pencipta
Monalisa dan pelukis The Last Supper. Hingga saat ini nama da Vinci masih
sangat melegenda dan diperbincangkan oleh banyak orang. Pelukis terkenal
ini ditengarai seorang penyandang disleksia. Hal ini diindikasikan oleh tulisan
tangan da Vinci. Ia seringkali menuliskan ide-ide penemuannya dengan
tulisan tangan dengan kalimat secara terbalik-balik sehingga hanya bisa
dibaca lewat cermin. Ini adalah hal biasa bagi penyandang disleksia yang
kidal. Penulis disleksia seringkali tak sadar bahwa cara mereka menulis tak
117
sama dengan orang kebanyakan. Meski begitu, desain yang dibuat Leonardo
da Vinci sangat mendetail dan
2. Agatha Christie
Gambar 28: Agatha Christy
Bagi penggemar cerita-cerita detektif Hercule Poirot dan Miss Marple,
nama ini sudah tak asing dengan sang pencerita ulung Agatha Christie.
Hingga kini, cerita-cerita misteri Agatha Christie telah terjual miliaran kopi.
Agatha Christie juga diketahui menyandang disleksia. Namun hal ini tak
menghentikannya menjadi orang kreatif. Agatha pun tak lelah belajar untuk
118
menulis dan membuat novel-novel misterinya yang hebat dan selalu bisa
menyergap pembacanya. Hingga saat ini, novel-novelnya telah menginspirasi
banyak novelis dan pembuat film.
3. Muhammad Ali
Gambar 29: Muhammad Ali
Muhammad Ali, seorang petinju yang telah melegenda, ternyata adalah
penyandang disleksia. Muhammad Ali sendiri mengaku bahwa ketika ia
masih sekolah, guru-guru selalu mengatainya bodoh. Hal ini karena
Muhammad Ali kecil tidak bisa membaca buku pelajarannya. Selain itu,
119
Muhammad Ali juga tak diterima bergabung dengan militer karena
kemampuan bahasanya yang buruk. Meski begitu, tidak membuat
Muhammad Ali menyerah dengan dirinya. Terbukti kemudian dia menjadi
salah satu petinju terhebat dan terpopuler di dunia. Muhammad Ali juga
terkenal dengan frase legendarisnya: "Float like a butterfly and sting like a
bee" (Mengapung / melayang seperti kupu-kupu dan menyengat seperti
lebah).
4. John Lennon
Gambar 30: John Lennon
"You may say I'm a dreamer ..., but I'm not the only one." (Anda
mungkin mengatakan saya seorang pemimpi ..., tapi aku bukan satu-
120
satunya). "Hampir setiap orang mengetahui pelantun syair lagu tersebut. Dia
adalah John Lennon, salah seorang personil Band The Beatles yang
melegenda. Dengan bakatnya yang hebat dalam menulis lirik dan lagu, tak
banyak yang mengira bahwa Lennon adalah penyandang disleksia.
Justru karena disleksia yang dideritanya, Lennon berhasil menggubah
lirik dan lagu miliknya sendiri. Disleksia membuatnya sulit mengingat lirik lagu
favoritnya, sehingga Lennon kemudian membuat lirik dan menggubah
lagunya sendiri. Dari sanalah Lennon kemudian menekuni bidang musik
hingga dia menjadi legendaris.
5. Steven Spielberg
Gambar 31: Steven Spielberg
121
Steven Spielberg, seorang sutradara dan pembuat film yang paling
fenomenal pada masanya melalui Jurassic Park. Di balik kehebatannya
membuat film, Spielberg ternyata juga seorang penyandang disleksia.
Spielberg kemudian 'melarikan' diri dari penyakitnya dan berfokus pada
pembuatan film.
Spielberg menjelaskan mengenai perjuangannya melawan disleksia
dan bagaimana masalah tersebut telah membuatnya semakin kuat dan
bertekad menjadi besar melalui karier perfilman. Spielberg juga tidak
membiarkan kekurangan tersebut mengganggu kehidupan profesionalnya.
6. Albert Einstein
Gambar 32: Albert Eisntein
122
Nama Albert Einstein saat ini seolah telah identik dengan kata 'jenius'.
Namun siapa sangka, penemu teori relativitas ini ternyata juga seorang
penyandang disleksia. Meski begitu, faktanya menyandang disleksia tak
membuat Einstein menyerah dan pasrah pada nasib.
Einstein diketahui menyandang disleksia ketika dia sering gagal
mengingat hal-hal sederhana. Einstein tak bisa mengingat jumlah bulan
dalam setahun, namun dia bisa berhasil menyelesaikan formula matematika
tersulit. Einstein juga diketahui tak bisa mengikat tali sepatunya dengan
benar, namun kejeniusannya terbukti membuatnya bisa sukses dan
melegenda hingga saat ini.
7. Henry Ford
Gambar 33:
123
Henry Ford adalah seorang enterpreneur yang menjadi penemu Ford
Motor Company. Beliau familiar dengan nama belakangnya yang kini
digunakan sebagai merek mobil. Semasa kecilnya, Ford harus berjuang
keras bisa membaca dan menulis. Meski begitu, dia juga dikenal memiliki
kemampuan memperbaiki barang.
Meski Ford kecil susah membaca, namun dia menjadi yang tercepat
ketika harus memperbaiki jam. Meski memiliki disleksia, Ford tak berhenti
belajar dan berusaha. Salah satu rahasia suksesnya adalah tak pernah
berhenti belajar dan tak pernah menyerah. Filosofi Ford bahwa kegagalan
adalah sebuah kesempatan untuk memulai lagi, kali ini lebih rajin dan lebih
baik. Tak heran, dengan semangatnya itu, Ford menjadi seorang pengusaha
sukses.
Itulah beberapa tokoh terkenal yang diketahui menyandang disleksia.
Selain tujuh tokoh di atas, masih banyak lagi tokoh yang diketahui memiliki
disleksia seperti Alexander Graham Bell, Pablo Picasso, Robin William, aktor
Orlando Bloom dan aktris Kiera Knightley, seniman Andy Warhol, Presiden
Amerika Winston Churchill, mantan Perdana Menteri Singapura Lee Kwan
New, dan lain-lain.
Orang-orang yang berhasil dan sukses bukan berarti orang yang
sempurna dan memiliki segala kemampuan yang diinginkannya. Mereka
adalah orang-orang yang berhasil mengalahkan kekurangan mereka dan
124
berjuang dengan kekuatan yang mereka miliki. Mereka semua adalah orang
yang mengetahui kelebihannya dan berjuang untuk sukses dengan kekuatan
mereka.
C. Kerangka Teori
Berdasarkan tinjauan pustaka di atas, penelitian ini dilaksanakan
dengan kerangka teori yang terbangun di bawah ini:
Bagan 5. Kerangka Teori
Genetik/
Developmental Lingkungan/
Acquired
Lesi Parieto-Temporo-
Oksipital
Disleksia + Gangguan Visiual
Disleksia + Gangguan Bahasa
Disleksia + Diskoneksi Visual-
Auditoris
Interdisiplin
Neurologi dan
Linguistik
Neurolinguistik
Broca
Afasia
Interdisplin Psikologi
dan Linguistik
Psikolinguistik
Fonetik
Morfologi
Sintaksis
Semantik
Pragmatik
1. Imitasi
2. Pengondisian
3. Kognisi Sosial
Mekanisme Perolehan
Bahasa Proses Kognitif
Disleksia
a Alexia
Agrafia
Wernicke
Konduksi
125
C. KERANGKA KONSEP
Kerangka konsep berikut menjelaskan bahwa masalah disleksia
merupakan sesuatu yang diakibatkan adanya lesi pada daerah parieto-
temporo-oksipital. Hal itu ditentukan oleh dua hal, yakni yang bersifat genetik
(developmental) dan lingkungan (acquired). Suspek disleksia ini disebut
sebagai variabel independen. Adapun variabel dependennya adalah
gangguan bahasa pada anak suspek disleksia yang akan diterapi media
video game (dalam hal ini media terapi LexiPal). Untuk tiba pada upaya
perbaikan gangguan berbahasa pada anak PSD (gangguan berbahasa)
menjadi variabel antara untuk memastikan apakah anak penyandang suspek
disleksia mengalami gangguan visual atau diskoneksi visual-audiotoris. Inilah
yang menjadi alasan mengapa dalam penelitian juga diakukan uji klinis.
Tanpa uji klinis, sulit memastikan penyebab lain dari suspek disleksia selain
karena memang terjadi gangguan pada otak.
Pembelajaran membaca berbasis linguistik dan ilmu saraf,
dikombinasikan dengan teknologi baru yang mengarah ke aplikasi dapat
meningkatkan kualitas hidup anak-anak dengan gangguan membaca dan
menulis (disleksia). Selain itu, tersimpan potensi yang luar biasa ketika
seorang anak mampu menjadi mahir dalam berbahasa Inggris atau bahasa
sesuai bahasa pada video game dan membaca pada tingkat kelas yang
sesuai.
126
Kajian gangguan berbahasa dewasa ini paling tidak mengalami
perkembangan pesat sejalan dengan fenomena gangguan berbahasa
(gangguan membaca khususnya). Hal ini terlihat dari berbagai penelitian
terkait yang dilakukan oleh peneliti terdahulu. Oleh karena itu, penelitian ini
termasuk bidang kajian interdisipliner. Kritikan terbesar berada pada
kesiapan peneliti menunjukkan data penelitian yang memadai dan
komprehensif. Penelitian disleksia paling tidak harus ditunjang dua bidang
yang seimbang, yakni neurologi dan ilmu linguistik. Disleksia dapat diatasi
dengan terapi yang benar dan tepat sesuai metode yang teruji secara ilmiah.
Beberapa cara yang bisa dilakukan untuk mengatasi kesulitan belajar pada
anak disleksia, antara lain dengan menggunakan media video game.
Pelatihan atau terapi dengan video game (mediakinect-based dyslexia
therapy) ini diharapkan mengasah kemampuan perhatian visual dan
membaca, bahkan dapat melebihi yang diperoleh pada anak-anak setelah
terapi tradisional untuk disleksia, yang berfokus pada kemampuan struktur
bahasa.
Berdasarkan hal atau kerangka konsep tersebut, maka untuk
pelaksanaan penelitian yang terarah dan sistematis, kerangka konsep yang
diterapkan dikonstruksi sebagai berikut:
127
D. KERANGKA KONSEP
Bagan 6: Kerangka Konsep
DISLEKSIA + GANGGUAN+ BAHASA
DISLEKSIA + GANGGUAN +VISUAL
DISLEKSIA + DISKONEKSI VISUAL
AUDIORIK
DISLEKSIA + GANGGUAN BAHASA
DISLEKSIA + GANGGUAN VISUAL
PERBAIKAN FONOLOGIS
TERAPI VIDEO GAME
LEXIPAL
TERAPI
METODA
LAINNYA
GENETIK
METABOLISME GLUKOSA OTAK
MEMPERBAIKI SINAPS OTAK
LINGKUNGAN
DISLEKSIA
LESI TEMPORO
PARIETO OKSIPITAL
PERBAIKAN LEKSIKAL
PERBAIKAN FONOLOGIS
PERBAIKAN FONOLOGIS
TERAPI VIDEO GAME
LEXIPAL
TERAPI
METODE
LAINNYA
METABOLISME GLUKOSA OTAK
MEMPERBAIKI SINAPS OTAK
PERBAIKAN LEKSIKAL
PERBAIKAN KALIMAT
128
Keterangan:
Variabel Bebas : Disleksia
Variabel Antara : Disleksia + gangguan neurologi, visual, pendengaran
Variable bergantung : Perbaikan gangguan berbahasa anak disleksia
E. Definisi Operasional
1. Terapi linguistik adalah sejumah daftar latihan penyebutan huruf (vokal
dan konsonan), penyebutan vokal rangkap dan kata mirip, penyebutan
gabungan vokal/konsonan/diftong, penyebutan kata bersuku dua hingga
bersuku banyak, penyebutan membedakan pasangan minimal, dan
penyebutan dalam membaca kalimat/paragraf.
2. Media Video Game (Kinect-Based Dyslexia Therapy)
Aplikasi yang digunakan dalam pengajaran membaca disajikan dalam
bentuk media game yang berisi pengenalan huruf, suku kata, dan kata.
Gambar yang ditampilkan melalui komputer sangat menarik disertai
suara, sehingga anak-anak dapat melihat dan mendengar bunyi dari
kata yang ditampilkan.
3. Kemampuan membaca:
Kemampuan anak dalam mengenali huruf, menggabungkan huruf dalam
bentuk suku kata, dan membaca kata. Adapun huruf yang diajarkan
129
terdiri atas konsonan yaitu, b, c, d, f, g, l, k, m, p, s, t, dan huruf vokal
yang sederhana terdiri atas a, i, u, e, o.
4. Umur:
Umur yang berdasarkan tanggal lahir (sesuai kriteria inklusi)
5. Bentuk dan Pola:
Mengenal bentuk dan pola adalah salah satu kemampuan dasar yang
harus dipelajari sebelum anak mulai belajar mengenal huruf karena
sesungguhnya bentuk-bentuk huruf adalah susunan dari berbagai
bentuk dan pola yang berbeda.
6. Persamaan, Perbedaan, dan Perbandingan:
Kemampuan dalam menemukan persamaan dan perbedaan pada
gambar akan sangat bermanfaat dalam mengidentifikasi persamaan dan
perbedaan antara satu huruf dengan huruf lainnya. Begitu pula dengan
kemampuan membandingkan objek, seperti “mana yang lebih tinggi”
dan “mana yang lebih pendek”, akan diperlukan oleh anak untuk
mengidentifikasi perbedaan bentuk huruf.
7. Ingatan Jangka Pendek:
Salah satu kesulitan yang dihadapi oleh anak-anak dengan Kesulitan
Belajar Spesifik adalah lemah dalam hal ingatan jangka pendek. Media-
media pada kategori “Ingatan Jangka Pendek” akan melatih
kemampuan tersebut.
130
8. Asosiasi Objek:
Asosiasi objek adalah kemampuan untuk mengasosiasikan suatu objek
dengan objek tertentu atau dengan suatu kategori tertentu. Kemampuan
pengategorian ini akan membantu anak dalam mengategorikan huruf-
huruf.
9. Persepsi Arah:
Kemampuan memahami arah merupakan salah satu kemampuan yang
hampir selalu digunakan pada aktivitas sehari-hari. Namun, pada anak
yang memiliki Kesulitan Belajar Spesifik, persepsi arah merupakan
salah satu kesulitan tersendiri. Pada kategori ini, anak akan belajar
mengenai berbagai persepsi arah, seperti kanan, kiri, atas, bawah,
depan, belakang, dan di antara.
10. Urutan Aktivitas:
Kategori Urutan Aktivitas berkaitan dengan kemampuan mengurutkan
tahap-tahap dalam sebuah aktivitas tertentu. Selain sangat bermanfaat
dalam kehidupan sehari-hari anak, ini juga melatih kemampuan berpikir
sekuensial yang sering kali anak-anak dengan Kesulitan Belajar Spesifik
mengalami kesulitan.
11. Pemahaman Tempat:
Kategori Pemahaman Tempat berkaitan dengan kemampuan dalam
mengasosiasikan suatu benda atau aktivitas dengan suatu lokasi
tertentu.
131
12. Konsep Waktu:
Salah satu masalah yang dihadapi anak dengan Kesulitan Belajar
Spesifik adalah mengenai pemahaman terhadap waktu. Kategori
Konsep Waktu mengajarkan pemahaman terhadap istilah-istilah yang
berkaitan dengan waktu.
13. Keterampilan Sosial:
Kesulitan dalam memahami bahasa sosial juga menjadi salah satu
kelemahan anak-anak dengan Kesulitan Belajar Spesifik. Kategori
keterampilan sosial mengajarkan anak segala sesuatu yang dibutuhkan
dalam aktivitas sosial.
14. Huruf:
Kategori Huruf mengajarkan dan melatih anak mengenai huruf abjad
dalam bahasa Indonesia, yang mencakup huruf vokal, huruf konsonan,
bagaimana bunyi fonem dan bunyi masing-masing nama huruf, serta
bentuk, dan cara penulisannya.
15. Suku Kata dan Kata:
Kategori suku kata dan kata mengajarkan berbagai pola gabungan kata
yang membentuk suku kata dan kata beserta bagaimana bunyi
pengucapannya, mulai dari yang paling sederhana, misalnya pola
Konsonan-Vokal (KV), hingga pola kata berimbuhan me-,me-i, dan me-
kan.
132
16. Kalimat Sederhana:
Kategori kalimat sederhana mengajarkan dan melatih anak untuk
membentuk dan memahami pola kalimat Subjek-Predikat-Objek (S-P-
O).
F. Hipotesis
Adapun hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Penggunaan media video game (media kinect-based dyslexia
therapy) efektif dalam meningkatkan kemampuan membaca pada
anak disleksia.
b. Ada perbedaan yang signifikan terhadap peningkatan kemampuan
membaca dan menulis pada anak disleksia yang menggunakan
media video game (media kinect-based dyslexia therapy)
dibandingkan dengan anak yang tidak menggunakan video game
(media kinect-based dyslexia therapy).
133
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Desain Penelitian
Berdasarkan permasalahan dan rumusan masalah penelitian yang
dikemukakan di atas, penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian kuantitatif
longitudinal eksperimental dengan menggunakan metode kohor. Penelitian ini
dilakukan dengan menerapkan suatu perlakuan dibandingkan kontrol dan
dianalisis berdasarkan data untuk mendapatkan hasil dan simpulan.
Studi kohor akan melihat berbagai hubungan antara faktor risiko dan
efek dengan memilih kelompok studi berdasarkan perbedaan faktor risiko.
Kemudian mengikuti sepanjang periode waktu tertentu untuk melihat
seberapa banyak subjek dalam masing masing kelompok yang mengalami
efek.
Penelitian ini merupakan model penelitian dan pengembangan atau
Research and Development (R & D). Menurut Sugiyono (2012: 407)
penelitian dan pengembangan adalah metode penelitian yang digunakan
untuk menghasilkan produk tertentu, dan menguji keefektifan produk
tersebut. Nana Syaodih Sukmadinata (2006:169) mendefinisikan penelitian
dan pengembangan merupakan pendekatan penelitian untuk menghasilkan
produk baru atau menyempurnakan produk yang telah ada. Jadi, penelitian
134
pengembangan merupakan metode untuk menghasilkan produk tertentu atau
menyempurnakan produk yang telah ada serta menguji keefektifan produk
tersebut. Metode pengembangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
mengimplementasikan Kinect-Based Dyslexia Therapy yang dikembangkan
oleh Saputra (2015). Dalam pengembangan ini digunakan kriteria keefektifan
ditinjau dari tiga aspek, yaitu aspek penyandang disleksia dan guru, respon
siswa penyandang disleksia, dan hasil peningkatan kemampuan membaca
penyandang disleksia.
Penelitian eksperimen dilakukan menggunakan pretest-postest group
design. Rancangan eksperimen tersebut digunakan untuk mengukur
efektivitas waktu perlakuan dalam jangka waktu tertentu, baik sebelum
maupun sesudah perlakuan diberikan (Suryabrata, 2009). Subjek dalam
penelitian dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu kelompok eksperimen dan
kelompok kontrol. Kelompok eksperimen adalah kelompok yang
mendapatkan perlakuan berupa penggunaan lexiPal (video game). Kelompok
kontrol adalah kelompok yang tidak mendapatkan perlakuan lexiPal (media
video game).
Tampilan desain penelitian dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 15.1 Pre-test-Post-test Control Group Design
Kelompok Pretest Perlakuan Postest
Perlakuan (Y) T1 (+) T1
Kontrol (X) T1 (-) T2
135
Keterangan:
(Y) : Perlakuan
(-) : Tidak diberikan perlakuan
T1 : Pretest
T2 : Postest
Penelitian longitudinal dilakukan pada subjek perorangan dari waktu
ke waktu, menghasilkan data dalam jarak waktu tertentu, sehingga
mengurangi kemungkinan bias akibat kesalahan pengambilan sampel.
B. Prosedur Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan data lapangan. Objek penelitian adalah
penyandang disleksia yang tersebar dalam lingkup Sekolah Luar Biasa (SLB)
di Sulawesi Selatan. Berdasarkan data Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi
Selatan, jumlah SLB sebanyak 78 buah tersebar di berbagai kabupaten dan
kota (lihat tabel 1 pada lampiran).
Dalam fakta lapangan bukan tidak mungkin penyandang disleksia juga
ditemukan pada sekolah umum. Hal ini terjadi karena para orangtua
penyandang disleksia kebanyakan tidak menyadari kondisi ini, bahkan ada
pula yang mencoba menyembunyikannya. Padahal fakta ini harus dihadapi
secara bijak dan ditangani dengan baik.
136
Prosedur pengumpulan data mengikuti tahapan operasional yang telah
ditentukan dan dipedomani secara ketat dan terukur. Tahapan dimaksud
adalah sebagai berikut:
1. menginventarisasi Penyandang Suspek Disleksia (PSD) di berbagai SLB
(atau di masyarakat umum) di Sulawesi Selatan;
2. melakukan pemeriksaan neurologis terhadap penyandang suspek
disleksia;
3. menentukan penyandang disleksia, kemudian dilakukan pengujian
psikolinguistis untuk menentukan ciri dan bagian kegagalan berbahasa
responden;
4. menetapkan secara purposif 10 orang penyandang eksperimental (5
orang untuk uji perlakuan dan 5 lainnya untuk uji kontrol) untuk
pemantauan longitudinal;
5. melakukan rekapitulasi kejadian (dari 5 orang uji perlakuan) secara
periodik, berkelanjutan, dan tertib;
6. mendesain skema terapi sesuai peluang perbaikan kegagalan berbahasa
bagi penyandang disleksia;
7. menguji keabsahan dan akurasi data;
8. menganalisis data secara menyeluruh dengan menggunakan metode
kohor;
9. membuktikan (menerima atau menolak) hipotesis penelitian; dan
10. menetapkan simpulan
137
Tahapan penelitian sebagaimana disebutkan di atas dapat dilihat pada
bagan di bawah ini:
Bagan 7: Tahapan Pelaksanaan Penelitian
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
observasi
populasi
suspek
penyandang
bahasa
sampel
uji Klinis uji linguistik
deteksi Awal
psikolinguistik neurolinguistik
pengolahan
penyajian
deskripsi
data
kategorisasi
pemantauan subjek
penelitian
analisis
kohor
uji
hipotesis
disleksia
dan jenis
gangguan
berbahasa
neurologis
linguistik psikologis
longitud. + eksp. X Y
desain terapi
verifikasi
skema
terapi
fakta/
temuan disleksia
penulisan
laporan
simpulan
sementara
138
C. Lokasi dan Waktu Penelitian
1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di SLB Negeri 2 Makassar, Baddoka, Sudiang.
2. Waktu Penelitian
Penelitian ini berlangsung selama 9 bulan, yakni bulan Februari 2017 -
Oktober 2017.
D. Sumber Data Penelitian
Sumber data penelitian ini adalah suatu pengamatan yang intensif
(baik berupa perilaku maupun hasil tes). Sumber data ini dibagi ke dalam
data primer dan data pendukung.
1. Data Primer
Data perimer penelitian ini berupa keseluruhan data yang diambil dari
subjek (setelah mengeliminasi unsur yang tidak terkait dengan topik),
berupa catatan pemantauan berdasarkan desain yang telah
dipersiapkan (bentuk alat pengumpulan data dapat dilihat pada
lampiran 3, 4, 5).
2. Data Pendukung
Data pendukung penelitian ini berupa data historis subjek (dapat
diperoleh dari orangtua, pengasuh, atau guru). Data pendukung
historis tidak dapat diperoleh dari pengakuan yang bersangkutan. Data
139
pendukung dapat pula berupa rekaman medik subjek jika ia pernah
ditangani secara medik.
E. Populasi dan Sampel
Baik populasi maupun sampel penelitian akan diuraikan sebagai
berikut:
1. Populasi
Rancangan penelitian ini termasuk dalam kategori interdisipliner
neurolinguistik dan psikolinguistik dengan menggunakan dua jenis populasi,
yakni populasi orang dan populasi bahasa. Populasi orang adalah
keseluruhan penyandang disleksia. Adapun populasi bahasa ialah
keseluruhan keadaan yang termasuk dalam fenomena neuropsikolinguistis
oleh orang-orang yang mengalami disleksia.
2. Sampel
Sampel penelitian ini ditentukan secara purposif, yaitu berupa
penentuan ‘emergen mencuat’ yaitu 10 orang anak yang disuspek
penyandang disleksia (berdasarkan pengujian). Sampel ini dibagi ke dalam
dua kelompok, masing-masing 5 orang untuk uji perlakuan dan 5 orang
lainnya untuk uji kontrol. Pembagian tidak didasarkan pada jenis kelamin,
umur, dan latar belakang keluarga. Pembagian lebih pada pertimbangan
kesederajatan sifat disleksia yang mereka alami.
140
Untuk menjamin terlaksananya pengambilan data ini dengan baik,
sebelum penentuan pengambilan data, peneliti menerapkan prinsip dan
kriteria inklusi dan eksklusi. Penerapan ketentuan ini berlaku dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. Kriteria Inklusi:
a) positif penyandang disleksia (berat, ringan, dan sedang);
b) penyandang boleh laki-laki atau perempuan;
c) berusia antara 7 tahun sampai dengan 15 tahun;
d) bertempat tinggal di wilayah Sulawesi Selatan;
e) tidak dalam keadaan masa rehabilitasi narkoba;
f) dapat berbahasa Indonesia;
g) menyatakan tidak berkeberatan disertakan sebagai sampel
penelitian dengan mengisi surat pernyataan yang ditanda-
tangani oleh yang bersangkutan atau orangtua/wali yang
bersangkutan, dan
h) memperoleh izin pendampingan penelitian oleh guru bagi
penyandang yang tinggal di SLB berasrama.
b. Kriteria Eksklusi:
Untuk menjaga wibawa penelitian ini, sampel akan dikeluarkan
dari penelitian apabila:
141
a) tidak memenuhi kriteria inklusi, baik dari aspek penyandang
maupun aspek administrasi;
b) keadaan kejiwaan si penyandang sehingga tidak
memungkinkan pengambilan data; dan
c) karena suatu alasan sehingga si penyandang menyatakan
mengundurkan dari dari sampel penelitian.
Sampel bahasa penelitian ini berupa produksi bahasa yang
dihasilkan oleh penyandang disleksia sesuai penentuan sampel yang telah
ditentukan.
F. Teknik Analisis Data
Setelah data dinyatakan valid, penelitian ini dilanjutkan pada tahap
analisis data dengan menggunakan metode kohor (cohort method), yakni
studi yang mempelajari (mengungkap) hubungan antara paparan dan
penyakit dengan cara membandingkan kelompok terpapar dan tidak terpapar
berdasarkan status penyakit. Ada beberapa alasan mengapa studi ini
dilakukan dengan analisis kohor antara lain:
Studi kohor merupakan desain yang terbaik dalam menentukan
insidens dan perjalanan penyakit atau efek yang diteliti.
Dapat menerangkan hubungan antara faktor-faktor risiko dengan efek
secara temporal.
Sesuai untuk paparan penyakit langka yang khas (misalnya disleksia).
142
Pengamatan dilakukan secara kontinyu dan longitudinal, studi kohor
memiliki kekuatan yang handal untuk meneliti berbagai masalah
kesehatan atau gangguan dari kenormalan seharusnya.
Ciri penelitian kohor antara lain a) subjek penelitian dipilih berdasarkan status
paparan, b) dilakukan pengamatan dan pencacatan apakah subjek mengalami
penyakit atau tidak, c) dimungkinkan menghitung laju insidensi, d) pengamatan
bergerak maju dari sebab (paparan) ke akibat (penyakit), dan e) memiliki periode
waktu pengamatan tertentu.
143
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Hasil Pengamatan terhadap Subjek Penelitian
Penelitian ini berupa pemantauan dan pengkajian mendalam terhadap
subjek penelitian, dengan melakukan perlakuan (berupa terapi lexiPal),
dalam kurun waktu 9 (sembilan) bulan. Pemantauan longitudinal terhitung
sejak penelitian ini direncanakan, yakni sejak bulan Februari 2017 sampai
dengan Oktober 2017. Penelitian pendahuluan (preliminary study) telah
dilakukan pada bulan Mei sampai dengan September 2016. Karakteristik
kelompok perlakuan (Y) dan kelompok kontrol (X) telah ditetapkan dengan
prinsip keseimbangan dan kesetaraan (homogeny) terutama atas
pertimbangan hasil uji linguistis dan uji klinis. Materi uji linguistis (lihat
lampiran 2) terdiri atas tujuh bagian yang meliputi 1) Penyebutan huruf, 2)
Penyebutan Vokal/Konsonan, 3) Penyebutan Diftong, 4) Penyebutan Kata
Bervokal Rangkap–Huruf Mirip, 5) Penyebutan Kata Bersuku Satu hingga
Bersuku Banyak, 6) Membedakan Pasangan Minimal Dua Kata–Tiga Kata,
dan 7) Membaca Kalimat/Paragraf.
144
Materi uji klinis berupa serangkaian pemeriksaan kesehatan.
Pemeriksaan yang dimaksud adalah di Poliklinik THT (khusus pendengaran),
Poliklinik Mata (melihat) dan Poliklinik Saraf (gangguan saraf). Pemeriksaan
tersebut dikhususkan pada keterkaitan dengan fungsi-fungsinya yang
mendukung lingkungan produksi bahasa (khususnya membaca).
Rangkaian penting pengujian THT, Mata, dan Saraf, pengujian
selanjutnya adalah dengan TMS (Transcranial Magnetic Stimulation) dan CT
Scan untuk mendeteksi kemungkinan terdapat gangguan pada otak area
bicara anak PSD. Pengambilan uji klinis dilakukan secara gradual dan
bertahap, dengan menggunakan Compurized Tomography Scan untuk
memantau kondisi otak si anak.
145
Gambar 34: Deteksi Gangguan Otak dengan dengan alat canggih TMS
a. Bentuk Pengujian
Untuk menjamin validitas data penelitian ini, peneliti melakukan dua
bentuk pengujian, yakni Uji Linguistis dan Uji Klinis.
1) Uji Linguistis
Uji Linguistis yang dimaksud dalam penelitian ini adalah seperangkat
cara atau pengukuran untuk mengetahui bagian atau aspek yang gagal
146
diucapkan, dibaca dan atau dikenal secara konstan oleh seseorang yang
diduga menyandang disleksia. Uji Linguistis mutlak dilakukan secara individu
dengan cara menyebut, mengeja, atau membaca secara terkontrol yang
dilakukan oleh penguji. Pengujian dilakukan untuk memastikan bagian yang
mengalami kegagalan. Berbeda dengan pengujian lain, Uji Linguistis justru
dihitung seberapa tingkat kegagalan seseorang untuk menentukan derajat
disleksia yang diderita seseorang. Uji linguistis harus dijalankan oleh tenaga
yang memahami aspek psikologis setiap peserta yang ditanganinya.
Pada Februari 2017 jumlah anak PSD (Penyandang Suspek Disleksia)
yang mengikuti Uji Linguistis sebanyak 19 (sembilan belas) orang. Satu
orang peserta mengundurkan diri dari yang seharusnya 20 (dua puluh) orang.
Alat Uji Linguistis yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada
lampiran 8. Hasil Uji Linguistis kemudian diurut berdasarkan nomor Seri
Peserta dengan Total Nilai Uji dan Nilai Suspek sebagai berikut:
Tabel 1. Data Peserta dengan Hasil Uji Linguistis
No
Seri
Nam
a
JK Usia/
thn
Nilai
Uji
Ta
b1
Ta
b2
Tab3 Tab4 Tab5 Tab
6
Tab
7
Nilai
suspe
k
I II II IV V VI VII VIII IX X XI XII XIII
01 IK Pr 11 98,5 11,5/
0,44
22,5/
0,75
13,5/0,75
9/ 0,75
17,5/ 0,79
8,5/ 0,85
16/ 0,88
5,21
02 AN Lk 10 94 10/ 0,38
19,5/
0,6
13,5/0,75
9/ 0,75
17,5/ 0,79
8,5/ 0,85
16/ 0,88
5,05
147
5
03 AD Lk 11 88,25
5/ 0,26
21/ 0,7
11,25/0,6
2
9/ 0,75
17,5/ 0,79
8,5/ 0,85
16/ 0,88
4,85
04 PR Pr 13 81,5 0,5/ 0,01
21/ 0,7
9/ 0,5
9/ 0,75
17,5/ 0,79
8,5/ 0,85
16/ 0,88
4,48
05 WY Lk 13 32 2,5/ 0,09
6,75/
0,22
4,5/ 0,25
2,25/0,18
5,25/ 0,23
3,75/
0,37
7/ 0,38
1,72
06 IJ Lk 14 100 13/
0,5 22,5/
0,75
13,5/0,75
9/ 0,75
17,5/ 0,79
8,5/ 0,85
16/ 0,88
5,27
07 MI Lk 17 100 13/
0,5 22,5/
0,75
13,5/0,75
9/ 0,75
17,5/ 0,79
8,5/ 0,85
16/ 0,88
5,27
08 SN Pr 14 100 13/
0,5 22,5/
0,75
13,5/0,75
9/ 0,75
17,5/ 0,79
8,5/ 0,85
16/ 0,88
5,27
09 NR Lk 14 100 13/
0,5 22,5/
0,75
13,5/0,75
9/ 0,75
17,5/ 0,79
8,5/ 0,85
16/ 0,88
5,27
10 EA Lk 14 69 1,5/ 0,05
15,75/ 0,52
6,75/0,37
9/ 0,75
16/ 0,72
6,25/
0,62
16/ 0,88
3,72
11 SR Pr 9 100 13/
0,5 22,5/
0,75
13,5/0,75
6,75/0,56
17,5/ 0,79
8,5/ 0,85
16/ 0,88
5,27
12 NA Pr 13 76 7/ 0,26
13,5/
0,45
8,25/0,45
6/ 0,5
16,75/
0,76
8,5/ 0,85
16/ 0,88
4,15
13 RF Lk 10 66 6/ 0,23
9/ 0,3
4,5/ 0,25
4,5/ 0,37
17,5/ 0,79
8,5/ 0,85
16/ 0,88
3,67
14 AH Lk 13 32,75
0/ 0
6/ 0,2
7,5/ 0,41
2,25 0,18
7/ 0,31
4,5/ 0,45
5,5/ 0,30
1,85
15 SI Lk 15 62,75
0,5/ 0,01
7,5/ 0,25
6,75/0,37
7,5/ 0,62
16/ 0,72
8,5/ 0,85
16/ 0,88
3,7
16 WA Lk 14 31,75
1/ 0,03
6/ 0,2
3,75/0,20
2,25/0,18
4,5/ 0,20
3,5/ 0,35
10,75/
0,59
1,75
148
17 YK Pr 9 90 3/ 0,11
22,5/
0,75
13,5/0,75
9/ 0,75
17,5/ 0,79
8,5/ 0,85
16/ 0,88
4,88
18 LK Pr 9 89,75
3,5/ 0,14
21,75/ 0,75
13,5/0,75
9/ 0,75
17,5/ 0,79
8,5/ 0,85
16/ 0,88
4,91
19 AR Lk 8 86 8/ 0,30
16,5/
0,55
11,25/0,6
2
8,25/0,68
17,5/ 0,79
8,5/ 0,85
16/ 0,88
4,67
20 HD Lk 0 0 dikeluarkan karena tidak ada izin dari orangtua
*) data anak (responden) yang diperoleh dari sekolah SLB **) nilai suspek disleksia
Berdasarkan data tabel 1 di atas, langkah berikut adalah mengurutkan
derajat nilai suspek dari nilai uji tertinggi ke nilai uji terendah. Dengan kata
lain, semakin tinggi nilai suspek disleksia seseorang, maka derajat disleksia
yang diderita semakin tinggi pula. Berdasarkan data dari tabel 1 di atas,
diketahui nilai Uji Linguistis tertinggi yakni 100 dan nilai terendah adalah 23.5.
Untuk menemukan nilai uji, perhitungan didapatkan melalui
penjumlahan total nilai per kelompok aspek (tab), sedangkan nilai suspek
diperoleh melalui penjumlahan dari total nilai per kelompok aspek dibagi
dengan jumlah nilai satuan aspek. Kelompok aspek dihitung dari kegagalan
penyandang suspek dalam menyebutkan objek. Uji linguistis dalam penelitian
ini dikelompokkan sebagai berikut:
149
Tabel 2. Pengelompokan Uji Linguistis dan Butir Soal
No Kelompok Cakupan Keterangan
1 I. Penyebutan Huruf 1. penyebutan vokal 2. penyebutan
konsonan
26 butir soal
2 II. Penyebutan
Vokal/Konsonan/Diftong/Vo-
kal Rangkap
1. penyebutan huruf diftong (dua suku kata)
2. penyebutan konsonan – vokal
3. penyebutan vokal – konsonan
4. penyebutan vokal rangkap
5. penyebutan gabungan huruf konsonan – vokal – konsonan
30 butir soal
3 III. Penyebutan Vokal Rangkap
dan Huruf Mirip
1. penyebutan bervokal – konsonan – vokal
2. penyebutan kata bervokal rangkap
3. penyebutan huruf mirip
18 butir soal
4 IV. Penyebutan Gabungan
Vokal/Konsonan/Diftong
1. penyebutan
gabungan
konsonan/vokal –
vokal/konsonan
2. penyebutan
gabungan diftong-
vokal/vokal-
diiftong
12 butir soal
5 V. Penyebutan Kata Bersuku
Dua Hingga Bersuku
1. penyebutan kata
bersuku dua
22 butir soal
150
Banyak 2. penyebutan kata
bersuku tiga
3. penyebutan kata
bersuku empat
4. penyebutan kata
bersuku banyak
6 VI. Penyebutan Membedakan
Pasangan Minimal
1. membedakan
pasangan minimal
dua kata
2. membedakan
pasangan minimal
tiga kata
22 butir soal
7 VII. Penyebutan dalam
Membaca Kalimat /
Paragraf
1. membaca kalimat
2. membaca
paragraf
18 butir soal
Di bawah ini, peneliti menyusun secara urut nilai suspek responden
dari yang tertinggi ke yang lebih rendah. Hasil pengurutan terlihat pada tabel
di bawah ini:
Tabel 3. Data Peserta Hasil Uji Linguistis Berdasarkan Suspek Disleksia
No Seri
Nama JK Usia /thn
Total Nilai Uji
Tab1 Tab2 Tab3 Tab4 Tab5 Tab6 Tab7 Nilai suspe
k
I II II IV V VI VII VIII IX X XI XII XIII
06 IJ Lk 14 100 13/ 0,5
22,5/ 0,75
13,5/0,75
9/ 0,75
17,5/ 0,79
8,5/ 0,85
16/ 0,88
5,27
07 ML Lk 17 100 13/ 0,5
22,5/ 0,75
13,5/0,75
9/ 0,75
17,5/ 0,79
8,5/ 0,85
16/ 0,88
5,27
08 SN Pr 14 100 13/ 0,5
22,5/ 0,75
13,5/0,75
9/ 0,75
17,5/ 0,79
8,5/ 0,85
16/ 0,88
5,27
09 NR Lk 14 100 13/ 0,5
22,5/ 0,75
13,5/0,75
9/ 0,75
17,5/ 0,79
8,5/ 0,85
16/ 0,88
5,27
151
11 SR Pr 9 100 13/ 0,5
22,5/ 0,75
13,5/0,75
9/ 0,75
17,5/ 0,79
8,5/ 0,85
16/ 0,88
5,27
01 IK Pr 11 98,5 11,5/ 0,44
22,5/ 0,75
13,5/0,75
9/ 0,75
17,5/ 0,79
8,5/ 0,85
16/ 0,88
5,21
02 AN Lk 10 94 10/ 0,38
19,5/ 0,65
13,5/0,75
9/ 0,75
17,5/ 0,79
8,5/ 0,85
16/ 0,88
5,05
18 LK Pr 9 89,75 3,5/ 0,14
21,75/ 0,75
13,5/0,75
9/ 0,75
17,5/ 0,79
8,5/ 0,85
16/ 0,88
4,91
17 YK Pr 9 90 3/ 0,11
22,5/ 0,75
13,5/0,75
9/ 0,75
17,5/ 0,79
8,5/ 0,85
16/ 0,88
4,88
03 AR Lk 11 88,25 5/ 0,26
21/ 0,7
11,25/0,62
9/ 0,75
17,5/ 0,79
8,5/ 0,85
16/ 0,88
4,85
19 AR Lk 8 86 8/ 0,30
16,5/ 0,55
11,25/0,62
8,25/0,68
17,5/ 0,79
8,5/ 0,85
16/ 0,88
4,67
04 PR Pr 13 81,5 0,5/ 0,01
21/ 0,7
9/ 0,5
9/ 0,75
17,5/ 0,79
8,5/ 0,85
16/ 0,88
4,48
12 NA Pr 13 76 7/ 0,26
13,5/ 0,45
8,25/0,45
6/ 0,5
16,75/ 0,76
8,5/ 0,85
16/ 0,88
4,15
10 EA Lk 14 69 1,5/ 0,05
15,75/ 0,52
6,75/0,37
6,75/0,56
16/ 0,72
6,25/0,62
16/ 0,88
3,72
13 IJ Lk 10 66 6/ 0,23
9/ 0,3
4,5/ 0,25
4,5/ 0,37
17,5/ 0,79
8,5/ 0,85
16/ 0,88
3,67
15 SI Lk 15 62,75 0,5/ 0,01
7,5/ 0,25
6,75/0,37
7,5/ 0,62
16/ 0,72
8,5/ 0,85
16/ 0,88
3,7
14 AH Lk 13 32,75 0/ 0
6/ 0,2
7,5/ 0,41
2,25 0,18
7/ 0,31
4,5/ 0,45
5,5/ 0,30
1,85
05 WY Lk 13 32 2,5/ 0,09
6,75/ 0,22
4,5/ 0,25
2,25/0,18
5,25/ 0,23
3,75/ 0,37
7/ 0,38
1,72
16 WA Lk 14 31,75 1/ 0,03
6/ 0,2
3,75/0,20
2,25/0,18
4,5/ 0,20
3,5/ 0,35
10,75/ 0,59
1,75
20 HD Lk 0 0 dikeluarkan karena tidak ada izin dari orangtua
*) nilai suspek disleksia
Untuk diketahui bahwa penelitian ini secara purposif telah menetapkan
10 (sepuluh) anak suspek disleksia berdasarkan hasil uji linguistis dengan
mengacu pada nilai uji (lihat kolom 5 dalam tabel). Nilai uji ini, seperti
kenyataannya, tidak selamanya berbanding lurus dengan nilai suspek,
meskipun keduanya terkait sangat erat.
Selanjutnya, untuk menentukan besar sampel penelitian ini, peneliti
telah menetapkan sejumlah anak PSD secara purposif yang termasuk dalam
kategori ‘disleksia akut’. Kategori ini ditentukan dengan sistem quartile, yakni
152
membagi kelompok responden ke dalam 4 (empat) kelompok quartile.
Berdasarkan hitungan quartile, pembagian dari angka terendah hingga angka
tertinggi, ditemukan pembagian sebagai berikut:
Tabel 4. Kategori Disleksia Berdasarkan Pembagian Kuartil
Rentang
Nilai
Kategori Keterangan
Quartile (Kuartil) = Q1 88 – 100 Disleksia
Akut
Disleksia
berdasarkan
Uji Linguistis
Quartile (Kuartil) = Q2 56 – 87
Disleksia
Ringan
Quartile (Kuartil) = Q3 36 – 55 Kecerdasan Kurang Tidak dapat
disebut
Disleksia Quartile (Kuartil) = Q4
23.5 – 35 Normal
Keterangan: Dengan sistem quartile tersebut dapat dipastikan bahwa subjek penelitian
ini adalah anak suspek disleksia yang termasuk kategori Disleksia Akut.
Kategori Q1 dengan rentang nilai antara 88–100 didapatkan sebanyak
10 (sepuluh) sampel anak Penyandang Suspek Disleksia (PSD). Untuk
memenuhi prinsip keseimbangan dan kesetaran antara Kelompok Perlakuan
(Y) dan Kelompok Kontrol (X), kesepuluh sampel PSD tersebut dibagi ke
153
dalam dua kelompok secara berimbang. Pembagian ini dimaksudkan untuk
memastikan bahwa Kelompok Perlakuan (Y) dan Kelompok Kontrol (X)
berada pada posisi yang setara sebelum terapi dilakukan.
Hasil pengelompokan dalam penelitian ini terlihat pada tabel berikut:
Tabel 5. Pembagian Data Peserta untuk Kelompok Perlakuan
dan Kelompok Kontrol Berdasarkan Hasil Uji Linguistis
Kelompok Perlakuan (Y) Kelompok Kontrol (X)
Nama Jenis
Kelami
n
Nilai
Suspe
k
Nama Jenis
Kelami
n
Nilai
Suspe
k
IJ Lk 5.27 MI Lk 5.27
NR Lk 5.27 SN Pr 5.27
SR Pr 5.27 IK Pr 5.21
AR Pr 4.85 AN Lk 4.99
LK Pr 4.91 YK Pr 4.92
Total 25.66 Total 25.66
Nilai suspek didapatkan dengan menghitung jumlah kegagalan anak
PSD dalam mengidentifikasi/mengenali dan mengeja atau menyebutkan
huruf vokal / konsonan, gabungan huruf, kata, suku kata (bersuku kata dua,
154
tiga, empat, dan bersuku banyak), diftong, dan kalimat sederhana. Dengan
menggunakan sistem pengujian yang telah dirancang sedemikian rupa, hasil
pengujian dapat dijadikan standar yang setara dengan pre-test.
Perbandingan Tabel 5 di atas dapat disajikan dalam diagram batang
masing-masing sebagai berikut:
Diagram 1: Nilai Suspek Kelompok Perlakuan (Y)
4.6
4.7
4.8
4.9
5
5.1
5.2
5.3
IA MI IA SH LK
5.27 5.27 5.27
4.85
4.91
Nilai Suspek Kelompok Perlakuan (Y)
155
Capaian setiap subjek seperti pada Diagram 1 (Kelompok Perlakuan)
dapat dibandingkan dengan capaian subjek pada kelompok kontrol seperti
yang tertera pada Diagram 2 di bawah ini:
Diagram 2: Nilai Suspek Kelompok Kontrol (X)
Perbandingan tersebut mempertegas bahwa Kelompok Perlakuan (Y)
dan Kelompok Kontrol (X) harus berada pada posisi yang setara sebelum
terapi dilakukan. Dalam penelitian ini, nilai kesetaraan ditemukan 25.66 (lihat
Tabel 5).
4.7
4.8
4.9
5
5.1
5.2
5.3
MISN
IKAN
YK
5.27 5.27
5.21
4.99
4.92
156
Pembagian kelompok perlakuan (Y) dan kelompok perlakuan (X) pada
Tabel 5 di atas dilakukan secara purposif untuk memastikan bahwa antara Y
dan X terjadi kesetaraan dan keseimbangan. Salah satu acuan kuat
misalnya, total nilai suspek yang didapatkan dari keduanya adalah 25.66.
Penentuan ini amat penting dan dimaksudkan agar setelah terjadi
perlakuan, maka selisih nilai Y terhadap nilai X merupakan hasil pengaruh
terapi. Dengan kata lain, pembagian kelompok perlakuan (Y) dan kelompok
perlakuan (X) pada Tabel 5 diidentifikasi dengan menggunakan 10 (sepuluh)
kriteria (lihat Tabel 6 di bawah).
Untuk memastikan bahwa baik kelompok kontrol maupun kelompok
perlakuan adalah setara dan seimbang, maka dilakukan identifikasi secara
saksama sebelum dilakukan terapi. Identifikasi dengan menggunakan 10
(sepuluh) kriteria terlihat sebagai berikut:
Tabel 6. Identifikasi Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol
No
Identifikasi
Kelompok Keterangan
perlakuan
(Y)
kontrol
(X)
masing-masing 5 (lima)
orang
1 terbukti disleksia
berdasarkan uji
linguistis
√ √ alat penelitian berupa
daftar uji linguistis
(terlampir).
2 terpantau suspek
disleksia melalui uji
klinis
√ √ pemeriksaan melalui alat
CT-San (salinan rekam
medik terlampir)
3 pernah mengalami X X berdasarkan keterangan
157
kecelakaan cedera
otak
orangtua
4 yang bersangkutan
berbadan sehat
√ √ hasil keterangan dokter
klinik
5 memiliki catat tubuh X X -
6 umur antara 7 – 12
tahun
√ √ lihat riwayat hidup
(terlampir)
7 memiliki
kemampuan
berhitung dengan
baik
√ √ berdasarkan rapor
sekolah dan keterangan
guru
8 ceria dalam
kehidupan sehari-
hari
√ √ hanya sering terlihat
terisolir di sekolah
9 pernah ditangani
oleh psikiater
√ √ masing-masing satu
diantara kelompok
pernah ditangani oleh
psikiater
10 riwayat orangtua
disleksia
X
√
X
√
baik keturunan dari garis
ayah maupun dari
keturunan garis ibu
Tabel 6 di atas diisi dengan melakukan pengamatan dan
interview. Pengamatan dilakukan secara longitudinal, sedangkan
interview hanya terkhusus pada guru dan orangtua/wali yang
mengasuh si anak. Sebagaimana sifat penelitian metode
eksperimental, termasuk penelitian untuk mengukur hasil terapi untuk
mengukur perbaikan suspek disleksia, tabel di atas telah menempatkan
kelompok perlakuan (Y) dan kelompok kontrol (X) pada derajat yang
158
sama (didasarkan baik dengan hasil uji linguistis maupun dengan uji
klinis). Dengan teknik seperti ini, maka prinsip dasar penelitian metode
eksperimental sudah terpenuhi.
Langkah berikut adalah perlakuan terapi yang diberikan kepada
subjek (responden) dengan menggunakan aplikasi LexiPal. Aspek
terapi linguistis yang diberikan dapat dilihat pada lampiran 2 dengan
capaian seperti tertuang dalam tabel 7 sampai 11 di bawah ini.
Di bawah ini hasil tabulasi capaian yang terkait dengan
penyebutan huruf (Klaster I) berdasarkan lingkungan linguistis produksi
bahasa (lihat lampiran 8).
Tabel 7. Penyebutan huruf (I) – Ñ (C/26)
No Penyandang Capaian Ñ (C/26) Ket.
1 IJ (lk) 13 0,5 *)
2 MI (lk) 13 0,5
3 SN (pr) 13 0,5
4 NR (lk) 13 0,5
5 SR (pr) 13 0,5
6 IK (pr) 11,5 0,44
7 AN (lk) 10 0,38
8 YK (pr) 3 0,11
159
9 LK (pr) 3,5 0,13
10 AD (lk) 5 0,19
*)capaian dihitung dari uji linguistis, nilai pembagi ditentukan dari ∑ unit pengujian
Tabel 7. Penyebutan huruf (I) – Ñ (C/26) di atas dapat dinyatakan
dengan diagram batang sebagai berikut:
Penyebutan huruf (Klaster I) pada uji linguistis merupakan uji linguistik
yang paling mendasar. Jika bagian ini diterapi, maka akan berpengaruh
94%
95%
96%
97%
98%
99%
100%
IJ (1) MI(2)
SN(3)
NR(4)
SR(5)
IK(6)
AN(7)
YK(8)
LK(9)
AD(10)
13 13 13 13 13 11.5 10 3 3.5 5
0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.44 0.38 0.11 0.13 0.19
NilaiUji Linguistis Nilai Suspek
Diagram 3. Penyebutan huruf (I) – Ñ (C/26)
160
positif pada beberapa aspek lainnya. Dari capaian pengujian terlihat bahwa
terdapat 5 penyandang berada pada derajat yang sama, yakni nilai 13.
Terdapat 2 penyandang termasuk kategori menengah, yakni antara 10 – 11,5
dan 3 penyandang lainnya berada pada kategori rendah, yakni antara 3 – 5.
Pengujian lain adalah penyebutan vokal / konsonan / diftong / vokal
rangkap (Klaster II). Dari hasil uji linguistis, capaian masing-masing subjek
terlihat seperti berikut:
Tabel 8. Penyebutan Vokal / Konsonan / Diftong /
Vokal Rangkap (II) – Ñ (C/30)
No. Penyandang Capaian Ñ (C/30) Ket.
1. IJ (lk) 22,5 0,75 *)
2. MI (lk) 22,5 0,75
3. SN (pr) 22,5 0,75
4. NR (lk) 22,5 0,75
5. SR (pr) 22,5 0,75
6. IK (pr) 22,5 0,75
7. AN (lk) 19,5 0,65
8. YK (pr) 22,5 0,75
9. LK (pr) 21,75 0,72
10. AD (lk) 21 0,7
*)capaian dihitung dari uji linguistis, nilai pembagi ditentukan dari ∑ unit pengujian
161
Penyebutan Vokal / Konsonan / Diftong / Vokal Rangkap (II) – Ñ (C/30)
di atas dapat dinyatakan dengan diagram batang sebagai berikut:
Diagram 4: Penyebutan Vokal / Konsonan / Diftong /
Vokal Rangkap (II) – N (C/30)
Setelah subjek melakukan penyebutan huruf (Klaster I) dan vokal /
konsonan / diftong / vokal rangkap (Klaster II), dilanjutkan dengan memantau
17
18
19
20
21
22
23
24
IJ (1) MI(2)
SN(3)
NR(4)
SR (5) IK (6) AN(7)
YK (8) LK (9) AD(10)
Nilai Suspek 0.75 0.75 0.75 0.75 0.75 0.75 0.65 0.75 0.72 0.7
Nilai Uji Klinis 22.5 22.5 22.5 22.5 22.5 22.5 19.5 22.5 21.75 21
Cap
aian
PENYEBUTAN PENYEBUTAN VOKAL/KONSONAN/DIFTONG/
VOKAL RANGKAP (II) – Ñ (C/30)
162
penyebutan vokal rangkap dan huruf mirip (Klaster III). Hasil pengujian cukup
mengejutkan dimana capaian dari masing-masing subjek adalah sama, yakni
13.5. Hanya terdapat 1 (satu) subjek yang memperoleh capaian 11,25.
Dengan kata lain, hanya 1 subjek yang relatif lebih baik dari 9 subjek lainnya,
meskipun perbedaan itu tidak signifikan sifatnya, tetapi telah memberi bukti
bahwa area kegagalan setiap anak disleksia dapat berbeda-beda. Perhatikan
hasil tabel 9 di bawah ini:
Tabel 9. Penyebutan Vokal Rangkap dan Huruf Mirip (III) – Ñ (C/18)
No. Penyandang Capaian Ñ (C/M18) Ket.
1. IJ (lk) 13,5 0,75 *)
2. MI (lk) 13,5 0,75
3. SN (pr) 13,5 0,75
4. NR (lk) 13,5 0,75
5. SR (pr) 13,5 0,75
6. IK (pr) 13,5 0,75
7. AN (lk) 13,5 0,75
8. YK (pr) 13,5 0,75
9. LK (pr) 13,5 0,75
10. AD (lk) 11,25 0,62
*)capaian dihitung dari uji linguistis, nilai pembagi ditentukan dari ∑ unit pengujian
163
Tabel 9. Penyebutan vokal rangkap dan huruf mirip (III) – Ñ (C/18) di
atas dapat dinyatakan dengan diagram batang sebagai berikut:
Diagram 5. Penyebutan Vokal Rangkap dan Huruf Mirip (III) – Ñ (C/18)
Tabel 10 berikut adalah penyebutan gabungan vokal/konsonan/
diftong (Klaster IV). Untuk klaster ini, capaian masing-masing subjek berada
pada nilai yang sama, yaitu 9. Ini bukan sesuatu yang kebetulan. Seperti
terlihat perolehan sama, tetapi area kegagalan berbeda-beda berdasarkan
92%
93%
94%
95%
96%
97%
98%
99%
100%
IJ (1) MI(2)
SN(3)
NR(4)
SR(5)
IK (6) AN(7)
YK(8)
LK(9)
AD(10)
Cap
aian
IJ (1) MI (2) SN (3) NR (4) SR (5) IK (6) AN (7) YK (8) LK (9) AD (10)
Series 2 0.75 0.75 0.75 0.75 0.75 0.75 0.75 0.75 0.75 0.62
Series 1 13.5 13.5 13.5 13.5 13.5 13.5 13.5 13.5 13.5 11.26
Penyebutan Vokal Rangkap dan Huruf Mirip (III) – Ñ (C/18)
164
hasil uji linguistis yang dilakukan. Hal ini berarti tingkat kesalahan masing-
masing subjek adalah sama, meskipun kegagalan disleksia belum tentu
berada pada bagian yang sama. Capaian yang diperoleh responden dapat
dilihat pada tabel 10 di bawah ini:
Tabel 10. Penyebutan Gabungan Vokal / Konsonan / Diftong
(IV) – Ñ (C/12)
No Penyandang Capaian Ñ (C/26) Ket.
1. IJ (lk) 9 0,34 *)
2. MI (lk) 9 0,34
3. SN (pr) 9 0,34
4. NR (lk) 9 0,34
5. SR (pr) 9 0,34
6. IK (pr) 9 0,34
7. AN (lk) 9 0,34
8. YK (pr) 9 0,34
9. LK (pr) 9 0,34
10. AD (lk) 9 0,34
*)capaian dihitung dari uji linguistis, nilai pembagi ditentukan dari ∑ unit pengujian
Pada tabel 10, penyebutan gabungan vokal / konsonan / diftong (IV) –
Ñ(C/12) di atas dapat dilihat capaian setiap responden memperlihatkan nilai
165
yang sama meskipun dengan bagian yang berbeda, hal ini dapat pula
dinyatakan dengan diagram batang sebagai berikut:
Diagram 6. Penyebutan Gabungan Vokal /
Konsonan / Diftong (IV) - Ñ (C/12)
Hal yang sama juga terjadi pada penyebutan kata bersuku dua hingga
bersuku banyak (Klaster V) setiap peserta memperoleh yang sama dengan
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
IJ (1) MI(2)
SN(3)
NR(4)
SR(5)
IK(6)
AN(7)
YK(8)
LK(9)
AD(10)
Cap
aian
IJ (1) MI (2) SN (3) NR (4) SR (5) IK (6) AN (7) YK (8) LK (9)AD(10)
Series 1 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9
Series 2 0.34 0.34 0.34 0.34 0.34 0.34 0.34 0.34 0.34 0.34
Penyebutan Gabungan Vokal/Konsonan/Diftong (IV) – Ñ (C/12)
166
bagian kesalahan tidak pada tempat yang sama. Dapat dipastikan bahwa
penyebutan kata bersuku nilai banyak misalnya ‘melipatgandakan’,
‘terkembangbiakkan’, ‘menumbuhkembangkan’, dan ‘pemutarbalikan’,
responden mengalami kesulitan yang berlipat ganda. Hal ini dapat dipastikan
dengan membandingkan kesalahan yang terjadi pada penyebutan kata
bersuku dua saja mengalami kesulitan, apalagi dengan penyebutan kata
bersuku banyak. Hasil capaian pada penyebutan kata bersuku dua hingga
bersuku banyak (Klaster V) dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 11. Penyebutan Kata Bersuku dua hingga
bersuku banyak (V) – Ñ(C/22)
No Penyandang Capaian Ñ (C/22) Ket.
1 IJ (lk) 17,5 0,79 *)
2 MI (lk) 17,5 0,79
3 SN (pr) 17,5 0,79
4 NR (lk) 17,5 0,79
5 SR (pr) 17,5 0,79
6 IK (pr) 17,5 0,79
7 AN (lk) 17,5 0,79
8 YK (pr) 17,5 0,79
9 LK (pr) 17,5 0,79
10 AD (lk) 17,5 0,79
167
*)capaian dihitung dari uji linguistis, nilai pembagi ditentukan dari ∑ unit pengujian
Tabel 11. Penyebutan Kata Bersuku dua hingga bersuku banyak (V) –
Ñ (C/22) di atas dapat dinyatakan dengan diagram batang sebagai berikut:
Diagram 7. Penyebutan Kata Bersuku Dua Hingga
Bersuku Banyak (V) – Ñ (C/22)
Salah satu bagian Uji Linguistis yang cukup mendapat perhatian para
peneliti disleksia adalah kesalahan-kesalahan penyebutan membedakan
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
IJ (1) MI (2) SN (3) NR (4) SR (5) IK (6) AN (7) YK (8) LK (9) AD (10)
17.5 17.5 17.5 17.5 17.5 17.5 17.5 17.5 17.5 17.5
0.79 0.79 0.79 0.79 0.79 0.79 0.79 0.79 0.79 0.79
Nilai Uji Klinis Nilai Suspek
Diagram 7. Penyebutan Kata Bersuku Dua Hingga Bersuku Banyak (V) – Ñ (C/22)
168
pasangan minimal (Klaster VI). Ini terjadi misalnya pada kata ‘bunting’ dan
‘banting’, ‘gunting’, ‘bibi’, ‘gigi’ dan ‘pipi’, demikian seterusnya.
Berdasarkan pengujian yang dilakukan, telah terjadi kesalahan yang
cukup akut dan perlu segera ditangani. Meski dengan nilai capaian yang
sama, tidak berarti area kegagalan itu berada pada aspek yang sama. Hasil
nilai capaian dimaksud adalah sebagai berikut:
Tabel 12. Penyebutan Membedakan Pasangan
Minimal (VI) – Ñ (C/10)
No Penyandang Capaian Ñ (C/10) Ket.
1 IJ (lk) 8,5 0,85 *)
2 MI (lk) 8,5 0,85
3 SN (pr) 8,5 0,85
4 NR (lk) 8,5 0,85
5 SR (pr) 8,5 0,85
6 IK (pr) 8,5 0,85
7 AN (lk) 8,5 0,85
8 YK (pr) 8,5 0,85
9 LK (pr) 8,5 0,85
10 AD (lk) 8,5 0,85
169
*)capaian dihitung dari uji linguistis, nilai pembagi ditentukan dari ∑ unit pengujian
Sebagaimana Tabel 12 di atas, penyebutan membedakan pasangan
minimal (VI) – Ñ (C/10) dapat dinyatakan dengan diagram batang sebagai
berikut:
Diagram 8. Penyebutan Membedakan Pasangan Minimal (VI) – Ñ (C/10)
Seperti pada penyebutan gabungan vokal / konsonan / diftong (Klaster
IV), penyebutan kata bersuku dua hingga bersuku banyak (klaster V),
penyebutan membedakan pasangan minimal (klaster VI), dan penyebutan
dalam membaca kalimat / paragraf (VII) masing-masing subjek memiliki nilai
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
IJ (1) MI (2) SN (3) NR (4) SR (5) IK (6) AN (7) YK (8) LK (9) AD (10)
8.5 8.5 8.5 8.5 8.5 8.5 8.5 8.5 8.5 8.5
0.85 0.85 0.85 0.85 0.85 0.85 0.85 0.85 0.85 0.85
Nilai Uji Klinis Nilai Suspek
170
yang sama, yakni klaster IV dalam capaian 9, klaster V dalam capaian 17.5,
klaster VI dalam capaian 8.5, dan klaster VII dalam capaian 16.
Untuk klaster VII misalnya, capaian 16 menunjukkan bahwa subjek
mengalami disleksia akut karena terjadi kekacauan dalam membaca kalimat.
Misalnya kalimat "Setiap hari saya bangun pagi” dibaca menjadi “Setia hari
siapa bangun lagi”. Ketika diminta mengulang kalimat, malah menjadi “Setiap
lari saya bangun bagi”, dst.
Tabel 13. Penyebutan dalam Membaca Kalimat / Paragraf (VII) – Ñ (C/18)
No Penyandang Capaian Ñ (C/10) Ket.
1 IJ (lk) 16 1,6 *)
2 MI (lk) 16 1,6
3 SN (pr) 16 1,6
4 NR (lk) 16 1,6
5 SR (pr) 16 1,6
6 IK (pr) 16 1,6
7 AN (lk) 16 1,6
8 YK (pr) 16 1,6
9 LK (pr) 16 1,6
10 AD (lk) 16 1,6
171
*)capaian dihitung dari uji linguistis, nilai pembagi ditentukan dari ∑ unit pengujian
Data Tabel 13, berupa penyebutan dalam membaca kalimat / paragraf
(VII) – Ñ (C/18) di atas dapat dinyatakan dengan diagram batang sebagai
berikut:
Diagram 9. Penyebutan dalam membaca kalimat / Paragraf (VII) – Ñ (C/18)
Hal yang terlihat dari capaian pada Tabel 13 di atas menunjukkan
bahwa aspek membaca kalimat dan membaca paragraf penting diujikan pula
kepada subjek untuk mengukur apakah seorang anak PSD dapat membaca
sesuai struktur kalimat yang baik, misalnya tidak mempertukarkan posisi
subjek – predikat – objek, dst.
0
2
4
6
8
10
12
14
16
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Chart Title
Nilai Uji Klinis Series 2
Diagram 9. Penyebutan dalam membaca kalimat / Paragraf (VII) – Ñ (C/18)
172
2). Uji Klinis
Uji Klinis dilakukan setelah seseorang dipastikan menyandang
disleksia berdasarkan Uji Linguistis. Demikian metode yang dilakukan dalam
penelitian ini. Uji Klinis dilakukan untuk memastikan apakah ketidakmampuan
seorang anak dalam membaca disebabkan atau dipicu oleh gangguan atau
pengaruh pendengaran, penglihatan, saraf, dan seterusnya. Uji Klinis
(pendengaran, penglihatan, saraf, dan seterusnya) tidak terkait langsung
dengan deteksi adanya disleksia. Terkecuali dengan CT-Scan otak,
gambaran keadaan Broca dan Wernicke seseorang akan terlihat jelas.
Persentase Uji Linguistis dan Uji Klinis dalam penelitian ini dapat
dilihat pada diagram berikut:
173
Diagram 10: Persentase Uji Linguistis dan Uji Klinis
Diagram di atas menjelaskan bahwa porsi uji linguistis lebih besar
daripada uji klinis. Hal ini disebabkan objek utama penelitian ini bertumpu
pada kajian linguistik. Adapun aspek klinis bersifat melengkapi kajian yang
dilakukan dalam penelitian ini.
Posisi uji klinis yang dilaksanakan secara berjenjang terhadap anak
yang terjaring suspek disleksia. Uji klinis tidak dapat dilaksanakan
mendahului uji linguistis. Dengan demikian, uji klinis adalah metode ilmiah
85%
15%
Persentase Uji Linguistis dan Uji Klinis
Uji Linguistis
Uji Klinis
174
untuk memastikan bahwa anak suspek disleksia telah menjalani tahapan uji
linguistis dan uji klinis. Kekeliruan yang banyak terjadi selama ini adalah
deteksi dini anak suspek disleksia hanya terbatas pada gejala linguistisnya
saja. Padahal, beberapa anak terkesan terkena disleksia karena
terkebelakang dalam berbahasa, tetapi sesungguhnya karena masalah lain,
idiot misalnya.
Uji Klinis yang dimaksudkan dalam penelitian ini berupa serangkaian
pemeriksaan kesehatan THT (pendengaran), mata, dan saraf khusus yang
terkait dengan fungsi-fungsinya yang mendukung lingkungan produksi
bahasa (khususnya membaca). Uji klinis amat penting dilakukan untuk
membuktikan bahwa seorang anak yang suspek disleksia disebabkan karena
pengaruh dari sesuatu yang tidak terkait dengan masalah linguistik. Dengan
kata lain, seseorang suspek disleksia disebabkan karena pengaruh di luar
masalah kebahasaan. Inilah yang menjadi alasan kuat untuk melihat
hubungan keduanya. Ketiga bagian dari uji klinis dimaksud meliputi:
1. Pemeriksaan pendengaran dilakukan di Poli THT: pemeriksaan secara
keseluruhan fungsi pendengaran dengan menggunakan alat
audiometri.
2. Pemeriksaan penglihatan dilakukan di Poli Mata: pemeriksaan meliputi
ketajaman penglihatan, lapangan pandang, dan gangguan saraf
penglihatan menggunakan Snellen test, oftalmoskop.
175
3. Pemeriksaan saraf: dilakukan di Poli Saraf dengan memeriksa a)
fungsi kesadaran, b) fungsi kortikal luhur, c) fungsi saraf otak, d)
kekuatan e) rasa, dan f) fungsi keseimbangan.
Hasil pengujian seperti disebutkan di atas (aspek internal) juga
ditambah dengan data wawancara (aspek eksternal). Baik aspek internal
maupun eksternal disajikan pada tabel di bawah ini:
Tabel 14. Hasil Uji Klinis Responden
No Uji Klinis
Responden
Internal Eksternal
Keterangan 1 2 3 4 5 6 7 8
1 IR - - + + - - - - Kelompok perlakuan
2 NR - - - + - + - - Sda
3 IA - - - - + + - - sda
4 SH - - + - - - + - sda
5 LK - - - + - - + +- sda
6 MI - - - - + - - - Kelompok kontrol
7 SN - - - + - + - - sda
8 IK - - - - - - + - sda
9 AN - - - + - - - sda
10 YK - - - + - - + + sda
Keterangan:
1 = Gangguan Penglihatan 2 = Gangguan Pendengaran 3 = Gangguan Saraf 4 = Riwayat Terlambat Bicara (delay speech) 5 = Perilaku Hiperaktif 6 = Riwayat Cedera Kecelakaan 7 = Riwayat Orangtua Disleksia 8 = Riwayat Gangguan Persalinan Orangtua
176
Riwayat cedera kecelakaan, orangtua penyandang disleksia dan
gangguan persalinan orangtua, serta riwayat kerterlambatan bicara setiap
responden diperoleh melalui wawancara dengan orangtua dan atau walinya
yang memelihara si anak sejak kecil. Khusus nomor 6 riwayat cedera
kecelakaan atau cedera penyebab lain dikategorikan aspek internal dalam
penelitian ini karena dalam beberapa kasus sejenis, tidak dapat dibuktikan
bahwa seseorang yang pernah mengalami cedera secara otomatis berakibat
pada disleksia.
Demikian pula dengan riwayat gangguan persalinan normal orangtua
si anak dipandang perlu menjadi bagian dari pengujian ini karena bukan tidak
mungkin seseorang mengalami disleksia karena merupakan bawaan sejak
lahir. Data ini diperoleh melalui wawancara dengan orangtua atau walinya.
Data ini tidak mudah diperoleh karena tidak semua orang ingin terbuka dan
mengungkapkan masalah ini. Penting ditegaskan di sini bahwa seluruh
pemeriksaan (pendataan) ini dilakukan sebelum dilakukan terapi LexiPal.
Pengujian berikut adalah dengan TMS dan CT Scan untuk mengetahui
kemungkinan terdapat gangguan pada otak anak PSD. Pengambilan uji klinis
dilakukan secara gradual dan bertahap, dengan menggunakan Compurized
Tomography Scan akan terdeteksi mengenai kondisi otak si anak. Cara
pengujian dilakukan sesuai SOP Klinik Neurologi Inggit Medical Centre (IMC)
Makassar. Pihak petugas klinis mengetahui tujuan pemeriksaan ini. Hasil
rekaman medik dapat dilihat pada tabel berikut:
177
Tabel 15. Hasil Pemeriksaan Otak Responden dengan
menggunakan TMS dan CT-Scan baik Kelompok
Perlakuan maupun Kelompok Kontrol
Kelompok Perlakuan No
Kelompok Kontrol
Kondisi Nama
Responden
Nama
Responden Kondisi
Broca Wernicke Broca Wernicke
√ IR 1 MI
√
√ NR 2 SN
√
√ IA 3 IK
√
√ SH 4 AN
√
√ LK 5 YK
√
*)baik kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol keduanya menjalani TMS dan
CT-Scan
Tabel 15 menunjukkan bahwa anak PSD memiliki gangguan pada
area broca (Broca’s Area). Seperti dijelaskan oleh Wenar dan Kerig (2006)
bahwa anak normal dipastikan menggunakan hemisfer kiri, sedangkan anak
disleksia hemisfer kanan. Inilah aspek yang paling mendasar yang
membedakan anak PSD dan anak normal.
178
Untuk membedakan gambaran otak anak yang menyandang disleksia
dan gambaran otak anak normal dapat dilakukan dengan hasil pemeriksaan
melalui CT-Scan.
b. Karakteristik Anak Disleksia
Karakteristik anak disleksia amat bervariasi, bergantung dari
masalahnya (Sodiq dalam Imandala, 2009). Subini (2011) telah memaparkan
ciri-ciri anak yang mengalami disleksia. Berbagai hal dijelaskan sama, tetapi
lebih dari itu, penelitian ini lebih rinci menemukan beberapa hal sebagai
berikut:
a. Terjadi inakurasi dalam membaca (seringkali membaca lambat,
mengeja kata demi kata, intonasi suara turun naik tidak teratur, dan
sesekali mengeluh).
b. Seringkali menyebutkan kata tidak menurut tekanan kata, tekanan
kata yang seharusnya jatuh pada suku kedua justru dibacanya pada
suku pertama. Hal yang paling sering adalah mengenal kata secara
terbalik, misalnya antara “kumbang" dengan "kambing”, “sapi”
dengan “sapu”.
c. Tidak atau kurang peduli dengan tanda baca apa saja. Sebagian
kalimat pertama disambung dengan sebagian lain dari kalimat
berikutnya.
179
d. Dalam kondsi sulit, ia hanya mencoba menebak sejumlah kata atau
frasa.
e. Ketidakberaturan terhadap kata yang hanya sedikit perbedaannya
misalnya , “tari” dan “jari”, “buah” dan “bau”.
f. Akibat kesalahan dalam membaca kata mengakibatkan salah dalam
memahami isi tulisan yang dibacanya (memahami isi ceritera dalam
satu paragrap).
g. Kesulitan dalam mengurutkan huruf-huruf dalam kata. Misalnya
ASYA PUYNA UAGN: saya punya uang, GURU MEMABCA: guru
membaca, dan DLEAPNA: delapan.
h. Sulit menyuarakan fonem (satuan bunyi) dan memadukannya
menjadi sebuah kata, misalnya *rrrrrrrumah untuk /rumah/.
i. Sulit mengeja dengan benar. Ia bahkan mungkin akan mengeja satu
kata dengan bermacam-macam ucapan. Misalnya, kunci
kuncing, kucing kungci, dan sebagainya.
j. Membaca satu kata dengan benar di satu paragraf, tetapi salah
pada paragraf lainnya.
k. Sering terbalik dalam menuliskan atau mengucapkan kata.
Misalnya, “tikus lari di bawah meja” menjadi “meja lari di bawah
tikus”.
l. Rancu dengan kata-kata dalam penggunaan kata depan, misalnya
“ke”. “dari”,” dan”, “di depan, di samping dan di bawah”.
180
m. Tidak menghiraukan penggunaan tanda baca, titik (.), koma (,),
tanda seru (!) dan tanda tanya (?).
Adapun bentuk-bentuk kesulitan membaca anak PSD seperti yang diklaim
oleh Subini (2011) adalah sebagai berikut:
a. Melakukan penambahan dalam suku kata (addition), misalnya
“batu” menjadi “baltu”.
b. Menghilangkan huruf dalam suku kata (omission), misalnya “masak”
menjadi “masa”.
c. Membalikan huruf, kata, atau angka dengan arah terbalik kiri kanan
(inversion / mirroring), misalnya “dadu” menjadi “babu”.
d. Membalikan bentuk huruf, kata, atau angka dengan arah terbalik
atas bawah (reversal) misalnya “papa” menjadi “qaqa”.
e. Mengganti huruf atau angka (substitution) misalnya “lupa” menjadi
“luga”, “3” menjadi “8”.
Disleksia termasuk salah satu karakteristik yang dimiliki oleh anak
kesulitan belajar dan masuk dalam kategori masalah prestasi akademis
(Hallahan dan Kaufman dalam Mangunsong, 2009). Masalahnya dibagi
dalam tiga aspek, aspek yang pertama adalah decoding atau mengalami
kesulitan dalam mengubah bahasa tulisan menjadi bahasa lisan, misalnya
kesulitan dalam menyebutkan huruf-huruf yang membentuk kata /topi/, yaitu
t,o,p, dan i. Aspek yang kedua adalah kelancaran (fluency atau reading
fluency), reading fluency adalah kemampuan untuk mengenali kata demi kata
181
dengan cepat dan tepat, membaca kalimat atau wacana yang lebih panjang,
dan dapat dengan mudah menghubungkannya. Kemampuan ini
mengindikasikan bahwa anak mengerti materinya tetapi tidak dapat
mewujudkan dalam ‘membaca’. Aspek yang ketiga adalah memahami arti
bacaan (comprehension). Berapa pun paragraf itu hanya terdiri atas
beberapa kalimat. Misalnya: Ini bapak Randi. Ini ibu Randi. Bapak Randi
memakai baju putih. Baju putih mudah kotor. Jika baju kotor harus dicuci.
Dengan paragraf yang sederhana ini, seorang anak PSD sulit memahami
bacaan secara komprehensif. Mereka sulit merekam secara baik hal yang
dibacanya. Inilah yang sering disebut sebagai kesulitan belajar.
c. Faktor Penyebab/Etiologi
Penyebab disleksia dilihat dari konteks biologis, faktor-faktornya
disebutkan sebagai berikut:
i) Faktor genetik atau keturunan. Penelitian yang dilakukan oleh
Grigorenko menghasilkan 20-65% anak yang disleksia juga memiliki
ii) yang orangtua yang mengalami kesulitan membaca (Wenar dan
Kerig, 2006).
iii) Masalah dalam migrasi neuron / saraf, penelitian oleh Simos
menunjukkan bahwa anak disleksia memiliki pola aktivitas yang
berbeda dengan anak normal, anak normal menggunakan hemisfer
182
kiri, sedangkan anak disleksia hemisfer kanan (Wenar dan Kerig,
2006). Ada juga kerusakan akibat hipoksi-iskemik saat prenatal di
daerah parieto-temporo-oksipital, yakni lobus-lobus dalam otak.
iv) Pengaruh hormonal prenatal seperti testosteron (faktor orangtua dari
ayah)
Disleksi juga dapat dipengaruhi oleh sebab-sebab lain, misalnya
kecelakaan / benturan pada kepala bayi (saat belum dapat memproduksi
ujaran bahasa). Dalam penelitian ini, ditemukan responden seperti ini.
Informasi ini diperoleh dari keterangan orangtua subjek penelitian melalui
wawancara. Meski demikian, derajat disleksia seseorang tetap mengacu
pada hasil uji linguistis dan uji klinis. Hasil wawancara hanya merupakan
pelengkap dan memperkuat hasil uji linguistis dan uji klinis yang menjadi
pusat perhatian penelitian ini.
Sementara itu, faktor-faktor penyebab disleksia (Zainal Kassan, 2010),
dipaparkan sebagai berikut:
a. Keturunan
Setiap anak PSD memiliki gen keluarga dan keturunan disleksia. Hal
ini telah dibuktikan melalui penelitian yang dilakukan oleh Hallgren (1970)
yang membuat kajian terhadap 12 kasus pasangan kembar monozygote dan
mendapati ke-12 kasus tersebut menghadapi masalah dalam membaca dan
mengeja pada masa kanak-kanak. Hallgren juga mendapati bahwa disleksia
lebih banyak dihadapi oleh anak lelaki dibandingkan anak perempuan
183
dengan perbandingan 3 : 1 atau 2 : 1. Penelitian ini mensinyalir bahwa ini
disebabkan karena lelaki lebih banyak memikul tanggungjawab dibanding
perempuan.
b. Asupan Makanan
Berdasarkan beberapa penyelidikan, kajian, dan penemuan, terdapat
beberapa unsur penyedap makanan, bahan awet dan pewarna tiruan yang
dipercayai menjadi penyebab terganggunya otak jika dikonsumsi secara
berlebihan dalam waktu lama. Gangguan terhadap otak ini terjadi bukan
melalui reaksi imunologi, tetapi akibat kandungan bahan atau racun yang
terkandung dalam bahan-bahan makanan tersebut. Di antara bahan tersebut
adalah salicylates, tartazine (zat pewarna makanan), nitrat, monosodium
glutamate (MSG) dan sejenisnya. Oleh karena itu, para peneliti ini
berpendapat bahwa bahan pencemar dalam makanan ini diyakini menjadi
penyebab disleksia.
c. Bawaan sejak Lahir
Masalah pendengaran dalam kalangan anak-anak amat mungkin
terjadi sejak dilahirkan. Dalam tempo lima tahun pertama selepas dilahirkan,
seseorang kanak-kanak yang sering mengalami salesma dan keterjangkitan
kuman pada bahagian tenggorokan, akan mempengaruhi pendengaran dan
perkembangannya dari waktu ke waktu hingga menyebabkan kecacatan.
Keadaan ini hanya dapat dipastikan melalui pemeriksaan intensif yang
terperinci oleh seorang dokter. Masalah pendengaran yang dihadapi sejak
184
dilahirkan akan menyebabkan otak yang dalam masa perkembangan akan
sulit menghubungkan bunyi atau suara yang didengar dengan huruf atau kata
yang dilihatnya. Padahal, perkembangan pendengaran terkait erat dengan
perkembangan kemampuan bahasa yang pada gilirannya akan menimbulkan
masalah jangka panjang, terutama jika disleksia ini tidak ditangani dengan
segera oleh ahlinya.
d. Perkembangan
Disleksia terjadi secara prestatif, yakni berkembang sedikit demi
sedikit. Hal ini terjadi pada bagian-bagian tertentu dalam otak.
Pertambahannya tidak seimbang lalu menyebabkan bagian otak yang terkait
bacaan dan ejaan tidak dapat berfungsi dengan sempurna. Keterkaitan ini
berada dalam dua hemisfera cerebral untuk menguasai kemahiran membaca.
Seperti diketahui hemisfer kiri yang menguasai bacaan. Oleh sebab
hemisfera ini lemah, maka terjadilah keterbalikan huruf dan perkataan yang
dilakukan oleh anak-anak penyandang disleksia.
2. Penerapan Model Terapi “Kinect-Based Dyslexia Therapy”
LexiPal adalah salah satu media belajar membaca untuk anak umur 5
–12 tahun. Alat ini lebih dari sekadar alat terapi bagi anak yang mengalami
kesulitan membaca yang disebut disleksia. Sebagai sebuah alat (media
belajar) LexiPal memiliki banyak kegunaan, terutama untuk siswa, orangtua,
guru, dan terapi. Namun bagi seorang peneliti, alat ini lebih dari sekadar alat
185
bantu untuk mendorong anak belajar membaca, melainkan sebuah alat yang
dapat digunakan untuk membantu para penyandang mengurangi kesulitan,
khususnya dalam kesulitan membaca (belajar).
Sebagai sebuah alat terapi, LexiPal tidak dapat bekerja dan
bermanfaat begitu saja tanpa didahului dengan penelusuran tingkat dan
bagian kesulitan membaca penyandang disleksia. Inilah yang menjadi tugas
penelitian ini, yakni menelusuri fakta linguistik kesulitan membaca seorang
anak sebelum diberikan terapi.
Terapi LexiPal dapat memperbaiki (1) reaksi (response) anak, (2)
persepsi, (3) pengenalan arah, (4) ingatan, (5) asosiasi objek, (6) perbaikan
pelafalan, dan (7) pemahaman kalimat. Dengan LexiPal, logika bahasa dan
respon si anak dapat berkembang dengan baik. Melalui terapi yang teratur
dan berkesinambungan, melalui penelitian terbukti berbagai kesulitan
membaca anak dapat ditingkatkan ke arah yang lebih baik, dengan tingkat
perbaikan 24,7%.
LexiPal merupakan alat terapi disleksia yang dirancang dalam bentuk
game (permainan) yang disukai oleh anak-anak. Alat ini terdiri atas 12 (dua
belas) kategori dengan manfaat yang berbeda-beda. Alat terapi LexiPal
meliputi: 1) bentuk dan pola, 2) persamaan, perbedaan, dan perbandingan, 3)
ingatan jangka pendek, 4) asosiasi objek, 5) persepsi arah, 6) urutan
aktivitas, 7) pemahaman tempat, 8) konsep waktu, 9) keterampilan sosial, 10)
186
huruf, 11) suku kata dan kata, dan 12) kalimat sederhana. Uraian dari
masing-masing dijelaskan sebagai berikut:
a. Bentuk dan Pola
Mengenal bentuk dan pola adalah salah satu kemampuan dasar yang
harus dipelajari sebelum anak mulai belajar mengenal huruf karena
sesungguhnya bentuk-bentuk huruf adalah susunan dari berbagai bentuk
dan pola yang berbeda.
b. Persamaan, Perbedaan, dan Perbandingan
Kemampuan dalam menemukan persamaan dan perbedaan gambar
sangat bermanfaat dalam mengidentifikasi persamaan dan perbedaan
huruf-huruf. Begitu pula dengan kemampuan membandingkan ukuran
akan diperlakukan oleh anak untuk mengidentifikasi perbedaan bentuk
huruf.
c. Ingatan Jangka Pendek
Salah satu kesulitan yang dihadapi oleh anak-anak dengan Kesulitan
Belajar Spesifik adalah lemah dalam ingatan jangka pendek. Media-
media pada kategori “Ingatan Jangka Pendek” akan melatih kemampuan
tersebut.
d. Asosiasi Objek
Asosiasi objek adalah kemampuan untuk mengasosiasikan suatu objek
dengan objek tertentu atau dengan kategori tertentu. Kemampuan
187
pengategorian ini akan membantu anak dalam mengategorikan huruf-
huruf.
e. Persepsi Arah
Kemampuan memahami arah merupakan salah satu kemampuan yang
hampir selalu digunakan pada aktivitas sehari-hari. Pada kategori ini,
anak akan belajar mengenai berbagai persepsi arah, seperti kanan, kiri,
atas, bawah, depan, belakang, dan di antara.
f. Urutan Aktivitas
Kategori Urutan Aktivitas berkaitan dengan kemampuan mengurutkan
tahap-tahap dalam sebuah aktivitas tertentu. Selain bermanfaat dalam
kehidupan sehari-hari anak, ini juga melatih kemampuan berpikir
sekuensial yang sering kali anak-anak dengan Kesulitan Belajar Spesifik
mengalami kesulitan.
g. Pemahaman Tempat
Kategori Pemahaman Tempat berkaitan dengan kemampuan dalam
mengasosiasikan suatu benda atau aktivitas dengan suatu lokasi
tertentu.
h. Konsep Waktu
Salah satu masalah yang dihadapi anak dengan Kesulitan Belajar
Spesifik adalah mengenai pemahaman terhadap waktu. Kategori konsep
waktu mengajarkan pemahaman terhadap istilah-istilah yang berkaitan
dengan waktu.
188
i. Keterampilan Sosial
Kesulitan dalam memahami bahasa sosial juga menjadi salah satu
kelemahan anak-anak dengan kesulitan belajar spesifik. Kategori
Keterampilan Sosial mengajarkan anak segala sesuatu yang dibutuhkan
dalam aktivitas sosial.
j. Huruf
Kategori huruf mengajarkan dan melatih anak mengenai huruf abjad
dalam Bahasa Indonesia, yang mencakup huruf vokal, huruf konsonan,
bagaimana bunyi fonem dan bunyi masing-masing nama huruf, serta
bentuk dan cara penulisannya.
k. Suku Kata dan Kata
Kategori Suku Kata dan Kata mengajarkan berbagai pola gabungan kata
yang membentuk suku kata dan kata beserta bagaimana bunyi
pengucapannya, mulai dari yang paling sederhana, misalnya pola
Konsonan-Vokal (KV), hingga pola Kata Berimbuhan me-, me-i, dan me-
kan.
l. Kalimat Sederhana
Kategori Kalimat Sederhana mengajarkan dan melatih anak untuk
membentuk dan memahami pola kalimat Subjek-Predikat-Objek (S-P-O).
Kedua belas butir kategori di atas telah didesain sedemikian rupa
untuk mengatasi serangkaian aspek yang dirancang sejalan dengan hal yang
tertuang pada materi Uji Linguistis. Uji Linguistis akan memetakan pada
189
aspek mana seorang penyandang disleksia mengalami kegagalan membaca.
Setelah kegagalan seorang terpetakan, seorang tenaga terapi akan
mengarahkan bagian-bagian LexiPal untuk memperbaiki aspek kegagalan si
anak dalam membaca.
3. Efektivitas Penggunaan Model Terapi “Kinect-Base Dyslexia Therapy"
Penelitian ini berdasar pada sebuah asumsi bahwa disleksia dapat
diperbaiki. Perbaikan dimaksud adalah dengan pemberian terapi kepada
penyandang. Untuk mengukur terjadinya perbaikan, maka telah disiapkan
kelompok kontrol sebagai pembanding kelompok perlakuan (lihat tabel 7).
Setelah masalah kebahasaan penyandang terpetakan, maka peneliti
memberi terapi kepada subjek selama beberapa kali pertemuan. Setiap
kejadian (baca perbaikan) dicatat dalam ‘katalog penelitian’ untuk kemudian
mengukur perbaikan yang terjadi.
Menurut sifat dan peruntukannya, alat terapi LexiPal seyogyanya
dimanfaatkan sesuai ‘model’ yang telah didesain secara khusus (baca
uraiannya) untuk suatu keterampilan yang dilatih.
Tabel 16. Model dan Keterampilan yang Dilatih
NO. MODEL URAIAN KETERAMPILAN
YANG DILATIH
1. Bentuk dan Pola Mengenal bentuk dan pola adalah
salah satu kemampuan dasar yang
harus dipelajari sebelum anak mulai
Mengkoordinasi mata dengan tangan
Motorik halus
Penelusuran dan
190
belajar mengenal huruf.
Sesungguhnya bentuk-bentuk huruf
adalah susunan dari berbagai bentuk
dan pola yang berbeda.
pengenalan mata
2. Persamaan,
Perbedaan, dan
perbandingan
Kemampuan dalam menemukan
persamaan dan perbedaan gambar
sangat bermanfaat dalam
mengidentifikasi persamaan dan
perbedaan huruf-huruf. Begitu pula
dengan kemampuan
membandingkan ukuran akan
diperlakukan oleh anak untuk
mengidentifikasi perbedaan bentuk
huruf.
Identifikasi bentuk dan gambar
Membedakan posisi gambar (untuk gambar matriks).
Sense of number (untuk gambar dot screener)
3. Ingatan Jangka
Pendek
Salah satu kesulitan yang dihadapi
oleh anak-anak dengan Kesulitan
Belajar Spesifik adalah lemah dalam
ingatan jangka pendek. Media-media
pada kategori “Ingatan Jangka
Pendek” akan melatih kemampuan
tersebut.
Identifikasi gambar secara tepat
Visual memory
4. Asosiasi Objek Asosiasi objek adalah kemampuan
untuk mengasosiasikan suatu objek
dengan objek tertentu atau dengan
kategori tertentu. Kemampuan
pengategorian ini akan membantu
anak dalam mengategorikan huruf-
huruf.
Asosiasi atau hubungan antara dua gambar
Pengelompokan benda ke dalam dua kategori yang berbeda
5. Persepsi Arah Kemampuan memahami arah
merupakan satu kemampuan yang
hampir selalu digunakan pada
aktivitas sehari-hari. Pada kategori
ini, anak akan belajar mengenai
berbagai persepsi arah, seperti
kanan, kiri, atas, bawah, depan,
belakang, dan di antara.
Pemahaman terhadap posisi depan, belakang, kanan, dan kiri.
Motorik kasar
6. Urutan Aktivitas Kategori Urutan Aktivitas berkaitan
dengan kemampuan mengurutkan
tahap-tahap dalam sebuah aktivitas
tertentu. Selain bermanfaat dalam
Urutan kegiatan dalam aktivitas sehari-hari.
Berpikir secara runtut dan sekuensial
191
kehidupan sehari-hari anak, ini juga
melatih kemampuan berpikir
sekuensial yang sering kali anak-
anak dengan Kesulitan Belajar
Spesifik mengalami kesulitan.
7. Pemahaman
Tempat
Kategori Pemahaman Tempat
berkaitan dengan kemampuan dalam
mengasosiasikan suatu benda atau
aktivitas dengan suatu lokasi
tertentu.
Kemampuan terhadap nama lokasi dan benda yang ada pada lokasi tersebut
Keterkaitan antara lokasi dengan benda dan aktivitas
8. Konsep Waktu Salah satu masalah yang dihadapi
anak dengan Kesulitan Belajar
Spesifik adalah mengenai
pemahaman terhadap waktu.
Kategori konsep waktu mengajarkan
pemahaman terhadap istilah-istilah
yang berkaitan dengan waktu.
Urutan nama hari
Asosiasi hari dengan aktivitas sehari-hari
9. Keterampilan
Sosial
Kesulitan dalam memahami Bahasa
Sosial juga menjadi salah satu
kelemahan anak-anak dengan
kesulitan Belajar Spesifik. Kategori
Keterampilan Sosial mengajarkan
anak segala sesuatu yang
dibutuhkan dalam aktivitas sosial.
Membaca kondisi suatu kejadian
Memahami ekspresi emosi (senang, sedih, takut, marah, terkejut) yang terjadi pada suatu kejadian
10. Huruf Kategori huruf mengajarkan dan
melatih anak mengenai huruf abjad
dalam Bahasa Indonesia, yang
mencakup huruf vokal, huruf
konsonan, bagaimana bunyi fonem
dan bunyi masing-masing nama
huruf, serta bentuk dan cara
penulisannya.
Diskriminasi bunyi fonem dan nama huruf vokal
Asosiasi bentuk huruf vokal dengan bentuk suatu benda dalam kehidupansehari-hari
11. Suku Kata dan
Kata
Kategori Suku Kata dan Kata
mengajarkan berbagai pola
gabungan kata yang membentuk
suku kata dan kata beserta
bagaimana bunyi pengucapannya,
mulai dari yang paling sederhana,
misalnya pola Konsonan-Vokal (KV),
Bunyi suku kata KV (Konsonan Vokal) atau penggabungan huruf konsonan dan vokal
Membaca kata dengan pola VKV, KVKV, dan KVKVKV
192
hingga pola Kata Berimbuhan me-,
me-i, dan me-kan.
12. Kalimat
Sederhana
Kategori Kalimat Sederhana
mengajarkan dan melatih anak untuk
membentuk dan memahami pola
kalimat Subjek- Predikat- Objek (S-P-
O)
Pemahaman kalimat berpola S-P-O
Menyusun kalimat yang benar
Merujuk ke tahapan terapi seperti disebutkan terdahulu, prinsip dasar
terapi adalah pelatihan berulang (remedial). Setiap tahap, dilakukan 4
(empat) kali terapi. Terapi diadakan secara berulangkali dengan penuh
kesabaran. Selama 8 (delapan) kali tahap terapi, terlihat adanya perbaikan
dari setiap tahapan terapi. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa terapi
linguistis dengan LexiPal amat membantu penyandang.
Perhatikan tiap-tiap PSD pada grafik 1 capaian terapi subjek di bawah
ini.
193
Diagram 11: Capaian Terapi Subjek
Untuk lebih jelasnya, nilai capaian terapi subjek dapat dilihat pada
tabel di bawah ini:
Tahap 1 Tahap 2 Tahap 3 Tahap 4 Tahap 5 Tahap 6 Tahap 7 Tahap 8
saspek 1 saspek 2 saspek 3 saspek 4 saspek 5
194
Tabel 17. Perkembangan Capaian melalui Terapi dari tahap ke tahap
Suspek 1 Suspek 2 Suspek 3 Suspek 4 Suspek 5 Ket.
Tahap 1 1.7 2.4 2.2 2.1 2.1
Tahap 2 1.9 2.1 3.7 3.2 2.8
Tahap 3 2.5 2.7 3.9 3.7 3.4
Tahap 4 3.4 2.8 4.1 3.9 4.1
Tahap 5 3.7 3.6 4.4 4.4 4.9
Tahap 6 4.8 4.5 4.9 4.7 5.4
Tahap 7 5.2 5.3 5.3 5.8 5.9
Tahap 8 5.9 6.1 5.8 6.1 6.2
Hal yang ditunjukkan pada Tabel 17 di atas adalah perkembangan capaian
seorang PSD (responden) melalui terapi LexiPal dari tahap ke tahap.
Istilah suspek 1, 2, 3, dan seterusnya merupakan cara penyamaran
identitas anak PSD. Capaian tahap 1 misalnya terlihat adanya perbedaan
satu sama lain, yakni 1.7 s.d. 6.2. Angka ini menunjukkan bahwa capaian
setiap anak berbeda-beda, demikian pula capaian pada tahap-tahap
195
berikutnya. Hal ini bergantung dari prestasi perbaikan yang dicapai
seseorang.
Berbeda pada Uji Linguistis, dimana besaran dihitung berdasarkan
tingkat kegagalan, sedangkan pada perlakuan terapi, besaran dihitung
berdasarkan tingkat keberhasilan.
B. Pembahasan
1. Deskripsi Masalah Kebahasaan Penyandang Disleksia
dari Sisi Neuropsikolinguistik
a. Perilaku Subjek Saat Membaca
Pada kenyataan merujuk hasil olah data lapangan bahwa terdapat
10 (sepuluh) macam kesulitan membaca, yakni 1) Addition (penambahan),
2) Omission (penghilangan), 3) Inversion (pembalikan), 4) Mirrowing,
(keterbalikan), 5) Reversal (pengejaan terbalik), 6) Substitution
(penggantian), 7) Reduplication (pengulangan), 8) Stressing (penekanan),
9) Uncaring (ketakpedulian), dan 10) Strengtening (penekanan yang belum
berterima).
Perilaku penyandang disleksia saat membaca menunjukkan
beberapa hal yang tidak lazim. Antara lain 1) menunjuk setiap kata yang
dibaca dengan menggunakan telunjuk, 2) kepala bergerak mengikuti arah
196
kalimat, yang umum terjadi adalah menggerakkan mata dan bukan kepala,
3) subjek memiringkan posisi bacaan yakni menempatkan posisi bacaan
dengan cara yang tidak lazim, 4) sesekali terdiam pada kata yang pasti
dirasakannya sulit, atau sekalian membaca terlalu cepat seperti orang
berkumur, 5) sesekali terdengar mengeluh atau terdiam pikiran melayang,
6) menempatkan objek bacaan kurang dari 35cm sebagaimana umumnya
(terkadang objek bacaan didekatkan hanya sejengkal dari mata), 7)
kelihatan tertekan dimana seolah membaca itu adalah beban, dan 8)
dalam beberapa hal ia terkadang kelihatan gugup, dan hal ini terlihat dari
gerakan tangannya.
Seperti kebanyakan dugaan keliru yang terjadi selama ini diketahui
bahwa anak PSD 1) agak pelan membaca, 2) berupaya mengeja, dan atau
3) berupaya memperbaiki kesalahan membaca, ketiga hal ini tidak terbukti
selama pengamatan. Ia membaca tergesa-gesa karena ia seolah-olah
ingin segera merampungkan hal yang ia baca. Dengan karakter ini, ia tidak
berupaya mengeja, dan akibatnya ia seolah-olah tidak pernah sadar
memperbaiki hal yang ia baca.
Penelitian ini, seperti disebutkan terdahulu, bertujuan untuk
mengetahui efektivitas penggunaan media video game (media kinect-based
dyslexia therapy) dalam meningkatkan kemampuan membaca pada anak
disleksia. Selain tujuan umum tersebut, penelitian ini juga menetapkan tujuan
197
khusus berupa upaya 1) mengungkap masalah kebahasaan penyandang
disleksia dari aspek neurolinguistik, 2) memetakan kegagalan berbahasa dari
aspek fonologis, leksikal dan sintaksis, 3) mengetahui efektivitas terapi media
game, perbaikan leksikal, moroflogis, dan sintaksis.
Arah penelitian ini mengacu pada tujuan penelitian seperti yang telah
dirumuskan. Untuk menjawab tujuan penelitian tersebut, maka pembahasan
sejatinya mengarah pada tahapan-tahapan seperti di bawah ini:
b. Analisis Capaian Subjek
Setelah melakukan dua pengujian seperti diuraikan terdahulu (Uji
Linguistis dan Uji Klinis), pembahasan kedua pengujian dimaksud dapat
dijelaskan sebagai berikut:
i) Capaian melalui Uji Linguistis
Terdapat tujuh bagian yang diberikan kepada responden dalam Uji
Linguistis dengan 136 poin. Total quartile nilai dari ke 136 poin tersebut
adalah 100. Ini berarti bahwa responden yang memperoleh nilai 100 berarti
masuk kategori disleksia akut perhitungan dalam penelitian ini, lihat Tabel 4). Untuk diketahui nilai uji didapatkan melalui penjumlahan total nilai per
kelompok aspek (tab), sedangkan nilai suspek diperoleh melalui penjumlahan
dari total nilai per kelompok aspek dibagi dengan jumlah nilai satuan aspek.
198
Kelompok aspek dihitung dari kegagalan penyandang suspek dalam
menyebutkan objek. Ini yang menjadi dasar pembagian sistem kuartil.
Quartile 1 (kategori disleksia akut) dalam penelitian ini terhitung dari 88
s.d. 100, sementara Quartile 2 terhitung antara 56 s.d. 87, namun quartile
(kuartil) 2 termasuk disleksia ringan. Disleksia dalam penelitian ini dikenal
dalam dua kategori; disleksia akut dan disleksia ringan. Sistem kuartil
ditemukan dari nilai tertinggi dari pengujian yakni 100 dan nilai terendah
adalah 23.5.
Memperhatikan hasil olah data penelitian ini, nilai uji dan nilai suspek
ditentukan dengan cara nilai uji dihitung dari tab 7 ke tab 1 (atas, kiri ke
kanan) dan nilai suspek dari tab 1 ke tab 7 (bawah, kanan ke kiri). Perhatikan
tabel di bawah ini:
Tabel 18. Nilai Uji dan Nilai Suspek Responden Anak PSD
No. Nama
JK Nilai Uji
Tab 1
Tab 2
Tab 3
Tab 4
Tab 5
Tab 6
Tab 7
Nilai Suspek
1. IJ
Lk 100 13/
0,5 22,5/ 0,75
13,5/ 0,75
9/ 0,75
17,5/ 0,79
8,5/ 0,85
16/ 0,88
5,27
2. NR
Lk 100 13/ 0,5
22,5/ 0,75
13,5/ 0,75
9/ 0,75
17,5/0,79
8,5/ 0,85
16/ 0,88
5,27
3. SR Pr 100 13/ 0,5
22,5/ 0,75
13,5/ 0,75
9/ 0,75
17,5/0,79
8,5/ 0,85
16/ 0,88
5,27
4. AR Pr 88.25 5/ 0,26
21/ 0,7
11,25/0,62
9/ 0,75
17,5/0,79
8,5/ 0,85
16/ 0,88
4,85
5. LK
Pr 89.75 3,5/ 0,14
21,75/0,7
5
13,5/ 0,75
9/ 0,75
17,5/0,79
8,5/ 0,85
16/ 0,88
4,91
*) istilah Tab = tabulasi merupakan klaster dalam Uji Linguistis
199
Berdasarkan tabel 18 di atas dapat dipastikan bahwa semua anak
yang menjadi responden penelitian ini adalah penyandang disleksia akut dan
ini disebabkan karena tingginya tingkat kegagalan mereka dalam mengenali
huruf dan bacaan pada saat mengikuti Uji Linguistis.
ii) Capaian Melalui Uji Klinis
Penelitian ini telah berhasil melakukan uji inguistis berupa serangkaian
pemeriksaan kesehatan THT (pendengaran), Mata (penglihatan) dan Saraf
(otak) khusus yang terkait dengan fungsi-fungsinya yang mendukung
lingkungan produksi bahasa (khususnya membaca). Uji klinis sangat penting
dilakukan untuk membuktikan apakah seorang anak PSD disebabkan karena
pengaruh dari sesuatu yang tidak terkait dengan masalah linguistik. Dengan
kata lain, apakah seseorang PSD dapat disebabkan karena pengaruh di luar
masalah kebahasaan. Inilah yang menjadi alasan kuat untuk melihat
hubungan anatara Uji Linguistis dan Uji Klinis.Hasil Uji Klinis yang dicapai
dalam penelitian ini berupa:
1. Pemeriksaan pendengaran: dilakukan di poli THT dengan memeriksa
secara keseluruhan fungsi pendengaran dengan menggunakan alat
audiometri. Berdasarkan hasil pemeriksaan tidak ditemukan (-)
responden yang mengalami gangguan pendengaran, meskipun 5
(lima) di ataranya memiliki riwayat keterlambatan bicara.
200
2. Pemeriksaan penglihatan dilakukan di Poli Mata: pemeriksaan meliputi
ketajaman penglihatan, lapangan pandang dan gangguan saraf
penglihatan menggunakan Snellen Test, Oftalmoskop. Dari hasil
pemeriksaan sama sekali tidak ditemukan (-) yang mengalami
gangguan pada mata.
3. Pemeriksaan saraf: dilakukan di Poli Saraf dengan memeriksa a)
fungsi kesadaran, b) fungsi kortikal luhur, c) fungsi saraf otak, d)
kekuatan e) rasa, dan f) fungsi keseimbangan. Merujuk hasil
pemeriksaan 2 (dua) diantara 10 (sepuluh) responden atau 50%
terindikasi memiliki gangguan pada saraf.
Selain yang disebutkan di atas, ditemukan pula 3 (dua) di antara 10
(sepuluh) responden atau 33.3% yang pernah mengalami riwayat cedera
kecelakaan, namun tidak dapat dibuktikan bahwa seseorang yang pernah
mengalami cedera pada waktu tertentu secara otomatis akan menyandang
gangguan berbahasa (khususnya disleksia).
Semua kasus yang disebutkan di atas termasuk uji klinis (faktor
internal) namun ada pula sumber data di luar yang disebutkan (faktor
eksternal) yakni riwayat orangtuapenyandang disleksia dan riwayat gangguan
persalinan orangtua saat anak PSD dilahirkan.
Demikian pula dengan riwayat gangguan persalinan normal orangtua
si anak dalam kandungan, dipandang perlu menjadi bagian dari pengujian ini
karena bukan tidak mungkin seseorang mengalami disleksia karena
201
merupakan bawaan sejak lahir. Dari data pengujian ditemukan 2 (dua) dari
10 (sepuluh) responden ditemukan memiliki riwayat gangguan persalinan
orangtua. Dalam hal yang sama juga ditemukan 2 (dua) dari 10 (sepuluh)
responden yang berprilaku hiperaktif.
Tabel 19. Paparan Responden Berdasarkan Uji Klinis
No Nama Paparan Ket
1 IJ Gangguan Saraf*) Riawayat Terlambat Bicara*)
Kelompok perlakuan
2 NR Riwayat Terlambat Bicara Riwayat Cedera Kecelakaan
Sda
3 SR Prilaku Hiperaktif*) Riwayat Cedera Kecelakaan*)
sda
4 AR Gangguan Saraf*) Riwayat Orangtua Disleksia**)
sda
5 LK Riwayat Terlambat Bicara*) Riwayat Orangtua Disleksia**) Riwayat Gangguan Persalinan Orangtua**)
sda
6 MI Prilaku Hiperaktif*) Kelompok control
7 SN Riwayat Terlambat Bicara*) Riwayat Cedera Kecelakaan*)
sda
8 IK Riwayat Orangtua Disleksia**) sda
9 AN Riwayat Terlambat Bicara*) sda
10 YK Riwayat Terlambat Bicara*) Riwayat Orangtua Disleksia**) Riwayat Gangguan Persalinan Orangtua**)
sda
Keterangan:
*)aspek internal **)akspek eksternal
Untuk membedakan gambaran otak anak yang menyandang disleksia
dan gambaran otak anak normal dapat dilakukan dengan pemeriksaan TMS
dan CT-Scan. Adapun pengujian TMS dan CT-Scan untuk mengetahui
202
kondisi otak responden, baik kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol
bersifat sama dan setara yakni memiliki gangguan pada Parieto-Temporo
Occipital (lihat Tabel 15).
Di bawah ini gambaran/rekaman perbedaan anak Normal dengan
anak Disleksia berdasarkan hasil CT-Scan
Gambar 27: Perbedaan Anak Normal dan Anak Disleksia
Melalui gambar di atas terlihat jelas perbedaan antara gambaran otak
penyandang disleksia dan otak anak normal. Semakin kurang ‘sel’ aktif dalam
diri seseorang, maka semakin tinggi pula derajat disleksia yang diderita.
Untuk mendapatkan gambaran seperti ini hanya dapat dilakukan melalui alat
fMRI (fungsional MRI)
2. Aspek Etiologi dan Lingkungan Keluarga
Aspek etiologi merupakan salah satu aspek yang amat penting
dibicarakan dalam penelitian disleksia. Secara etiologis, disleksia dipandang
bukan sesuatu yang berdiri sendiri tanpa sebab-sebab yang mudah diamati.
203
Penyebab disleksia, dari konteks biologis misalnya, beberapa faktor
dapat diuraikan sebagai berikut:
a) Faktor genetik atau keturunan. Tidak dapat dipungkiri bahwa faktor genetik
atau keturunan amat berpengaruh. Namun perlu dicatat bahwa disleksia
tidak menular tetapi menurun. Disleksia yang menurun dari generasi
orangtua keanak disebut developmental disleksia. Penelitian ini mengklaim
bahwa disleksia seperti ini masih berpeluang untuk diterapi tetapi tidak
semudah acquired dysleksia. Seperti penelitian yang dilakukan oleh
Grigorenko menunjukkan bahwa antara 20-65 % anak yang disleksia juga
memiliki yang orangtua yang mengalami kesulitan membaca (Wenar dan
Kerig, 2006).
b) Masalah dalam migrasi neuron/saraf, penelitian oleh Simos menunjukkan
bahwa anak disleksia memiliki pola aktivitas yang berbeda dengan anak
normal, anak normal menggunakan hemisfer kiri sedangkan anak disleksia
hemisfer kanan (Wenar dan Kerig, 2006). Ada juga kerusakan akibat
hipoksi-iskemik saat prenatal di daerah parieto-temporo-oksipital yakni
lobus-lobus dalam otak. Perilaku berbeda anak disleksia dengan anak
normal dapat dilihat pada uraian sebelumnya.
c) Pengaruh hormonal prenatal seperti testosteron (faktor orangtua dari
ayah). Untuk kasus ini, perlu dilakukan penelusuran untuk mengetahui
riwayat penyakit kedua orangtua anak disleksia.
204
Disleksia juga dapat dipengaruhi oleh sebab-sebab lain misalnya
kecelakaan / benturan pada kepala saat bayi (saat belum dapat memproduksi
ujaran bahasa). Dalam penelitian ini, ditemukan responden yang mengalami
keadaan seperti ini. Informasi penting ini diperoleh dari keterangan orangtua
subjek penelitian melalui wawancara. Meski demikian, derajat disleksia
seseorang tetap mengacu pada hasil uji linguistis dan uji klinis. Hasil
wawancara hanya merupakan pelengkap dan memperkuat hasil uji linguistis
dan uji klinis yang menjadi pusat pian penelitian ini.
Faktor penyebab disleksia selalu menjadi pertanyaan besar. Disleksia
merupakan sebuah bentuk kesulitan belajar yang dialami oleh seseorang
yang disebabkan karena untuk melakukan kegiatan dalam membaca,
sebagian saraf di dalam otak tidak dapat bekerja dengan optimal. Secara
pasti hal ini belum dapat diketahui apa faktor penyebab utama dari kondisi
disleksia, akan tetapi tetap saja terdapat berbagai kemungkinan faktor
penyebab yang dapat diketahuii supaya bisa mengatasi disleksia yang sesuai
dengan faktor penyebabnya, berikut di antaranya:
a. Faktor Keturunan atau Genetik
Dari sisi kondisi disleksia, ada yang dikarenakan faktor keturunan atau
genetik, dipandang sebagai faktor pemicu kondisi disleksia yang paling
umum dan juga utama. Hasil penelitian juga menjelaskan bahwa sebuah
keluarga yang memiliki riwayat buta huruf sehingga akan cenderung
205
mempengaruhi kondisi kesehatan terhadap keturunannya dimana akan
berisiko mengalami buta huruf. Buta huruf yang dimaksud yakni kondisi
disleksia.
b. Neuroanatomi
Susunan unsur otak atau neuroanatomi juga diketahui sangat
mempengaruhiterhadap sebagian besar penyandang dengan kondisi
disleksia serta kasus-kasus yang sering terjadi yang masalah otak sebelah
kiri, tepatnya, biasanya akan sering timbul di Wernicke’s area serta Broca’s
area sebab dua bagian ini adalah bagian otak yang berperan vital terhadap
proses bahasa.
Ketidakseimbangan untuk ukuran otak serta bentuk otak dapat
menjadi faktor yang mengakibatkan kondisi disleksia. Apabila seseorang
mempunyai otak kanan yang memiliki ukuran lebih besar sehingga biasanya
dapat meningkatkan risiko kondisi disleksia. Kondisi neuroanatomi ini, bisa
terjadi saat bayi masih terdapat di dalam kandungan ataupun sudah dewasa
yang akan terjadi sebagai akibat benturan.
c. Cedera Otak
Disleksia justru sangat sering diakibatkan oleh cedera pada otak serta
tidak selalu disleksia terjadi pada saat bayi masih ada di dalam kandungan.
Sejumlah kondisi disleksia juga dijumpai terjadi setelah anak lahir serta
bukan karena faktor genetik. Kecelakaan, mengalami trauma, ataupun
206
mengalami stroke bisa mencederai bagian otak yang akan berujung
mengalami disleksia.
d. Gangguan Pendengaran dan Penglihatan
Faktor penyebab kondisi disleksia bisa berupa adanya gangguan pada
pendengaran serta visual dimana terdapat sejumlah kasus, penyandang
dengan kondisi disleksia pada akhirnya mengalami terhambat untuk
membaca sebab fungsi visualnya mengalami masalah. Misalnya gangguan
visual yang terjadi yakni mata bergerak tidak fokus, masalah terhadap saraf
penghubung mata serta pada otak, masalah di bagian retina mata.
Karena hal-hal ini, pada akhirnya tulisan yang akan dilihat pada
penyandang juga menjadi tidak bisa diterjemahkan dengan benar oleh bagian
otak. Pada penyandang yang mempunyai hambatan untuk membaca dan
juga menulis biasanya mengalami masalah seperti ini. Terdapat juga yang
diakibatkan oleh adanya gangguan pendengaran dengan demikian setiap
huruf yang penyandang tangkap serta diterjemahkan bunyinya akan tidak
sama yang pada akhirnya mengakibatkan penyandang akan kesulitan untuk
mengeja.
e. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan misalnya bagaimana seorang orangtua mengajak
anak untuk berkomunikasi atau mengajarkan bahasa dan juga proses
pengajaran bahasa yang dilakukan di luar rumah misalnya di sekolah yang
207
dapat membuat anak sulit serta menjadikannya terhambat untuk hal
membaca.
Kelima faktor tersebut menjadi faktor penting diketahui untuk
melakukan terapi kepada anak penyandang disleksia.
3. Aspek Perbaikan dan Kerusakan Permanen
Telah diuraikan sebelumnya, disleksia terbagi atas dua bagian yakni
developmental dyslexia (bawaan sejak lahir) dan aquired dyslexia (diperoleh
karena gangguan atau perubahan cara otak kiri membaca). Developmental
dyslexia diderita sepanjang hidup si anak dan biasanya bersifat genetik.
Acquired dyslexia amat berpotensi menjadi developmental dyslexia jika
dibiarkan berlarut-larut tanpa adanya terapi. Intevensi di sini dapat diartikan
salah satu diantaranya adalah terapi. Jika posisinya sebagai aquired
dyslexia, maka ia dapat diperbaiki melalui terapi, dan ini hal yang akan
menjadi sumbangan dari penelitian ini.
4. Strategi Perbaikan Kesalahan Membaca bagi Penyandang Disleksia
Kesalahan atau juga disebut kesulitan membaca bagi penyandang
disleksia dapat diperbaiki. Demikian prinsip dasar dalam terapi. Penelitian ini
setelah mengeksplorasi seluruh aspek kesulitan membaca, maka kesalahan
membaca tersebut, berdasarkan rekaman orang perorang.
Penelitian ini menganut prinsip pengamatan. Metode ini dimaksudkan
sebagai proses sistematik dari pencatatan pola-pola perilaku manusia, objek,
208
dan peristiwa tanpa bertanya atau berkomunikasi dengan subjek yang
diamati. Pengamatan dimaksudkan untuk melihat sesuatu yang bersifat
berulang, terpola, dan terkelompok. Selama berlangsungnya penelitian ini
peneliti mencermati sejumlah kesulitan membaca yang dialami subjek yang
dikelompokkan berikut ini.
Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa kategori 1 memiliki tingkat
kesalahan terendah dibanding kategori 2 dan 4. Sementara kategori 3 berada
di atas kategori 2 dan 4. Ini berarti bahwa penyebutan vokal rangkap dan
huruf mirip memiliki tingkat kesulitan tersendiri bagi penyandang disleksia.
Pada kasus huruf mirip misalnya, yang terjadi adalah inversion ataumirroring
yakni membalikkan huruf, kata, atau angka dengan arah terbalik kiri kanan,
misalnya “dadu” menjadi “babu”, karena si penyandang mengalami
kegagalan membedakan ‘d’ dengan ‘b’.
Adapun pada kategori V, VI dan VII, dapat dipastikan memiliki tingkat
kesulitan tersendiri tak terkecuali dengan penyebutan kata bersuku dua
hingga bersuku banyak, membedakan pasangan minimal, hingga pada
tingkat membaca paragraf. Ini adalah logis, jika pada kategori III saja si
penyandang mengalami proses inversion atau mirrowing bagaimana pula
dengan membedakan pasangan minimal, misalnya ‘kambing’, ‘kembang’,
‘kumbang’ dan ‘kembung’.
Beberapa anak memang dilahirkan berbeda, begitu juga dengan anak
disleksia yang kesulitan dalam belajar, terutama dalam membaca dan
209
menulis. Kesulitan belajar pada anak disleksia bukan disebabkan karena
sistem pengajaran yang buruk, namun lebih disebabkan karena adanya
gangguan pada otak. Mengatasi kesulitan belajar pada anak disleksia
memang bukan perkara mudah. Walaupun demikian tidak berarti kesulitan
belajar pada anak disleksia tidak dapat diatasi. Beberapa anak dengan
disleksia mampu mengatasi kesulitan belajar justru berhasil menjadi orang
hebat, seperti Albert Einstein, Agatha Christy, Muhammad Ali, dll.
Disleksia adalah salah satu jenis gangguan atau kesulitan belajar yang
umumnya memengaruhi kemampuan membaca serta pengejaan seseorang.
Gejala-gejala dalam disleksia sangat bervariasi dan umumnya tidak sama
untuk tiap penyandang sehingga sulit dikenali, terutama sebelum sang anak
memasuki usia sekolah. Ada beberapa gen keturunan yang dianggap dapat
memengaruhi perkembangan otak yang mengendalikan fonologi, yaitu
kemampuan dan ketelitian dalam memahami suara atau bahasa lisan.
Misalnya membedakan kata “paku” dengan kata “palu”. Selain masalah pada
kepekaan fonologi, gejala disleksia juga bisa berupa hal-hal berikut :
Kurang memori verbal untuk mengingat urutan informasi secara lisan
dalam jangka waktu singkat, semacam perintah singkat seperti
menaruh tas dan kemudian mencuci tangan.
Kesulitan dalam mengurutkan dan mengucapkan sesuatu dalam kata-
kata, misalnya urutan angka, menamai warna-warna, atau benda.
210
Kesulitan memroses informasi lisan, misalnya saat mencatat nomor
telepon atau didikte.
Indikasi disleksia biasa akan lebih jelas ketika anak mulai belajar membaca
dan menulis di sekolah. Anak Anda akan mengalami beberapa kesulitan
seperti:
Sulit memproses dan memahami hal yang didengarnya.
Lamban dalam mempelajari nama dan bunyi abjad.
Sering salah atau terlalu pelan saat membaca.
Sulit mengingat urutan, misalnya urutan abjad atau nama hari.
Sulit mengeja, misalnya huruf “d” sering tertukar dengan huruf “b”.
Cara baca yang terbata-bata atau sering salah.
Kesulitan mengucapkan kata yang baru dikenal.
Lamban menulis, misalnya saat didikte atau menyalin tulisan.
Memiliki kepekaan fonologi yang rendah.
Cara Terbaik untuk mengatasi disleksia pada anak atau untuk
meningkatkan kemampuan anak, orangtua mempunyai peranan yang sangat
penting. Langkah sederhana yang dapat dilakukan orangtua adalah dengan
membacakan buku yang menarik minat anak. Kegiatan ini dapat dilakukan
lebih dari sekali agar anak dapat terbiasa dengan teks dalam buku.
Menyemangati dan membujuk anak untuk membaca buku, lalu
mendiskusikan isinya bersama-sama akan berguna.
211
Orangtua juga dianjurkan untuk tidak mencela saat anak melakukan
kesalahan dalam membaca sehingga kepercayaan diri anak juga dapat
dibangun. Di samping itu, melibatkan bantuan teknologi seperti program
komputer dengan perangkat lunak pengenalan suara juga umumnya dapat
bermanfaat.
Penanganan disleksia membutuhkan waktu dan tenaga yang tidak
sedikit. Karena itu, keluarga serta penyandang dianjurkan untuk bersabar
menjalaninya. Dukungan serta bantuan dari anggota keluarga serta teman
dekat akan sangat membantu. Melakukan latihan multisensorik untuk
membantu anak penyandang disleksia belajar baca tulis.
Latihan multisensorik adalah cara mengajar yang melibatkan lebih dari
satu indra dalam satu waktu. Bagi anak-anak yang memiliki kesulitan
membaca, mungkin akan terasa sulit untuk memperhatikan semua detail
dalam kosakata baru, terutama jika kata tersebut memiliki ejaan yang tidak
biasa. Dengan penggunaan penglihatan, pendengaran, gerakan dan
sentuhan, teknik ini dapat sangat membantu proses belajarnya. Berikut
adalah beberapa dari banyak contoh latihan multisensory yang bisa
digunakan untuk membantu anak yang kesulitan membaca:
a. Ajarkan Penyebutan Kata Mendetail
Pertama, ajarkan anak dengan menunjukkan satu kata, misalnya kata
‘kucing’ dan bacakan untuknya dengan suara yang jelas dan lantang.
Kemudian, minta ia untuk coba mengeja huruf pembentuk kata tersebut.
212
Tanyakan huruf hidup apa saja yang ia lihat, huruf apa yang ia lihat di awal,
tengah, dan akhir kata. Hal ini akan membantunya untuk menganalisis
kosakata tersebut dan memprosesnya dengan terinci. (kata /kucing/ yang
dieja akan mengenalkan si anak sejumlah huruf yang tidak sama). Setelah
mengenal kata ini, sebaiknya diuji dengan kata /kunci/ atau /kencing/ untuk
memancing kemampuan membedakan satu kata dengan kata yang lain.
b. Gunakan Hamparan Pasir
Kegiatan ini melibatkan indra penglihatan, sentuh, gerakan, dan suara
untuk anak bisa menghubungkan huruf dan suara. Mulai dengan menebarkan
segenggam pasir atau sesendok besar krim cukur (atau whipping cream) di
atas kertas atau meja. Kemudian, minta si kecil untuk membuat kata /kucing/
dengan menggunakan jari mereka di atas pasir atau krim tersebut. Selagi
mereka menulis, minta ia untuk mengeja bunyi setiap huruf yang ia buat. Beri
aba-aba untuk membaca kata tersebut secara bersama-sama. Biarkan ia
melihat gerakan mulut untuk menyebutkan kata tersebut.
c. Menulis di Udara dengan Telunjuk
Menulis di udara akan memperkuat hubungan antarsuara dan setiap
huruf melalui “memori otot”. Hal ini juga dapat membantu memperkuat anak
untuk bisa membedakan bentuk huruf yang membingungkan, misalnya “b”
dan “d”. Ajarkan anak menggunakan dua jari — telunjuk dan jari tengah —
untuk membuat huruf imajinasi di udara, sambil menjaga siku dan
213
pergelangan tangan tetap lurus. Setiap kali ia membuat satu huruf di udara,
minta ia untuk mengeja bunyi huruf tersebut dengan keras.
Aktivitas ini juga akan membantu mereka untuk membayangkan
bentuk huruf yang mereka tulis. Anda mungkin bisa melakukan improvisasi
dengan meminta si kecil mengasosiasikan penulisan huruf dengan warna
tertentu, misalnya merah untuk “b”, kuning untuk “d”.
d. Menggunakan Balok Huruf
Menyusun suatu kata dengan balok mainan warna-warni berbentuk
huruf dapat membantu anak untuk menghubungkan suara dengan huruf.
Lakukan ini secara berulang dengan situasi riang tanpa tekanan dan tekanan.
Pastikan si anak menikmati permainan ini. Untuk membuat si anak tertarik,
manfaatkan warna-warni balok huruf dengan mengelompokkan konsonan
dan vokal.
Perlu diperhatikan, saat si anak menyusun kata, minta ia mengeja
bunyi huruf-huruf tersebut, kemudian minta ia menyebutkan kata tersebut
dengan jelas. Untuk memastikan bahwa anak disleksia mulai mengenal kata
dengan baik, siapkan sejumlah huruf balok dan tanyakan kata apa saja yang
mungkin ia bisa susun.
e. Baca - Tulis
Susun dengan selembar kertas karton, buat tiga kolom: Baca, Susun,
dan Tulis. Kemudian, sediakan spidol dan balok huruf warna-warni. Tuliskan
kosakata yang ingin dilatih di kolom “baca” dan minta anak untuk melihat
214
huruf-huruf pembentuk kata tersebut. Kemudian, si kecil akan menyusun kata
tersebut di kolom “susun” menggunakan balok huruf. Terakhir, minta ia
untuk coba menuliskan kata tersebut di kolom “tulis” sambil
membacakannya dengan lantang.
f. Membaca Merek Produk
Setiap produk memiliki nama dan merek. Gunakan merek produk
untuk melatih si anak membaca. Jangan pernah bosan membimbing mereka.
Alihkan hal demikian seolah-olah menjadi suatu permainan yang
menyenangkan. Pada saat yang sama, orangtua dan lingkungan harus
memberi dukungan. Hal yang sama juga dapat menggunakan nama toko,
tulisan iklan, atau spanduk yang ditemui setiap bepergian.
g. Ketukan Jari
Menggunakan ketukan jari saat mengeja huruf mengajarkan anak
untuk merasa, meraba, dan mendengar bagaimana huruf-huruf tertentu bisa
membentuk satu kata, beserta bunyi keseluruhannya. Misalnya, kata /budi/.
Minta anak untuk mengetukkan jari telunjuk ke ibu jarinya saat mereka
mengucapkan huruf “b”, ketukkan jari tengah dengan ibu jari saat
mengucapkan huruf “d”, jari manis dengan ibu jari saat mengucapkan “u”,
dan kelingking untuk huruf “i”.
h. Asosiasi Gambar
Untuk beberapa anak, mengingat kata akan lebih mudah jika mereka
menghubungkannya dengan suatu gambar. Berikut salah satu cara untuk
215
menyiasatinya. Tuliskan kata yang ingin dilatih pada kedua sisi kertas,
misalnya kata /dua/. Pada satu sisi, orangtua bersama si kecil bisa
menggambar langsung pada kata tersebut (misalnya, menambahan dua
buah mata di atas huruf U untuk menggambar wajah tersenyum; atau
menggambar angsa yang melambangkan bentuk angka “2”). Menggunakan
kata berilustrasi ini, latih si kecil untuk mengasosiasikan kata tersebut dengan
gambar dan huruf-huruf pembentuknya — dua pasang mata untuk mewakili
kata “dua”. Ketika anak Anda mulai lancar untuk membaca dengan cepat dan
lebih mudah, alihkan latihan ke sisi lainnya dimana hanya ada teks kata
“dua”.
i. Dinding sebagai Media Belajar
Untuk kata-kata yang sering terlihat atau dipakai dalam sebuah kalimat
utuh, misalnya “saya”, “di”, “ke”, “dari”, dan cetaklah kata-kata ini dalam
ukuran besar dan berwarna-warni, kemudian tempelkan dalam urutan
alfabetik di dinding kamar anak. Secara otomatis bisa mengenali sejumlah
kosakata dapat membantu anak lebih cepat tanggap, menjadi pembaca yang
lebih lancar. Paparan yang berulang adalah kunci sukses untuk orangtua.
Dinding kosakata memberikan anak paparan ekstra untuk kosakata-
kosakata penting ini. Dinding khusus ini juga memberikan akses cepat
terhadap kosakata tertentu yang mungkin mereka butuhkan selama aktivitas
membaca atau menulis.
216
j. Membaca dan Mendengarkan
Dalam kegiatan ini, orangtua dan anak akan terlibat bersama-sama
membaca. Anak lebih suka dibacakan cerita padanya sambil ia juga
memperhatikan kalimat-kalimat dalam buku tersebut. Mereka bisa
berinteraksi dengan teks, menggarisbawahi kosakata penting atau
membulatkan kosakata yang panjang atau pendek.
Selama membaca bersama, anak juga bisa menulis ulang atau
menggambar visualisasi yang bisa ia hubungkan dengan kata tersebut untuk
mencocokkan kalimat.
Ada banyak alat dan strategi lainnya yang sama baiknya dalam
membantu anak lebih lancar untuk menulis-membaca. Mungkin akan
membutuhkan beberapa percobaan kanan-kiribagi orangtua untuk mencari
tahu mana yang terbaik bagi anak. Yang paling penting adalah usaha dan
dukungan yang konsisten dari orang-orang di sekitarnya untuk meningkatkan
rasa percaya diri anak untuk terus belajar.
5. Efektivitas Hasil Terapi LexiPal
LexiPal seperti disebutkan terdahulu merupakan alat terapi yang
dirancang seperti game agar disenangi oleh anak-anak. Setelah dilakukan
terapi selama beberapa minggu, terlihat adanya perbaikan yang
menggembirakan. Dengan menggunakan uji linguistis, terbukti bahwa terapi
LexiPal memberi dampak perbaikan pada anak PSD. Nilai suspek (Kelompok
217
Perlakuan) sebelum dan sesudah perlakuan dapat dilihat pada Tabel 20 di
bawah ini:
Tabel 20. Perbandingan Nilai Suspek Sebelum dan Sesudah Terapi
No Responden Jenis
Kelamin
Nilai Suspek (Terapi) Keterangan
Sebelum Sesudah
1 IJ Lk 5.27 4.97
2 NR Lk 5.27 4.92
3 SR Pr 5.27 4.04
4 AR Pr 4.85 3.87
5 LK Pr 4.91 3.35
Sumber: Data Primer
Nilai suspek seorang anak disleksia ditentukan oleh ketidakmampuan
yang bersangkutan menyebutkan secara benar instrument (uji linguistis) yang
diberikan. Semakin tinggi tiingkat kesalahan anak, maka tentu semakin tinggi
pula nilai suspek yang dimilikinya. Berbeda halnya dengan hasil terapi, justru
capaian si anak disleksia ditentukan berapa jumlah nilai benar yang dicapai.
Sementara itu, perbandingan hasil yang dicapai antara kelompok
perlakuan dan kelompok kontrol terlihat sebagai berikut:
218
Tabel 21. Hasil yang dicapai Kelompok Perlakuan (Y)
dan Kelompok Kontrol (X) Setelah Pemberian Terapi
Kelompok Perlakuan (Y) Kelompok Kontrol (X)
Nama Jenis
Kelam
in
Nilai
Suspe
k
Nama Jenis
Kelam
in
Nilai
Suspe
k
IJ Lk 4.97 MI Lk 5.27
NR Lk 4.92 SN Pr 5.27
SR Pr 4.04 IK Pr 5.21
AR Pr 3.87 AN Lk 4.99
LK Pr 3.35 YK Pr 4.92
Total 21.15 Total 25.66
Hal yang dapat dijelaskan melalui sajian dalam tabel di atas
menunjukkan capaian hasil terapi dengan selisih dari 25.66 ke 21.15. Untuk
menemukan hasil penelitian dengan menggunakan metode eksperimental,
dirumuskan sebagai berikut:
X – Y = efektivitas hasil terapi
Dimana:
X = menyatakan standing position responden (tanpa perlakuan)
219
Y = menyatakan hasil capaian setelah terapi (perlakuan)
Dengan demikian, didapatkan hasil sebagai berikut:
25.66 – 21.15 = 4.51
Berdasarkan hitungan statistik sederhana, efektivitas hasil terapi
adalah 4.51 atau terjadi perbaikan rata-rata sebesar 0.90 (4.51/5 = 0.90).
Kemudian, analisis statistik menggunakan Uji T berpasangan didapatkan
hasil dengan p = 0,023 (Tabel 22).
Tabel 22: Hasil Uji T-test Berpasangan pada Kelompok Perlakuan
Nilai Suspek Rerata Selisih IK95% Nilai p
Sebelum 5.11
0.88 (0.55) 0.20 – 1.57 0.023 Sesudah 4.23
Uji T- berpasangan; p<0.05
Hasil uji statistik menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan
dengan nila p<0,023 pada kelompok perlakuan sebelum dan sesudah
dilakukan terapi.
220
Untuk membandingkan perbaikan yang didapatkan antara kelompok
kontrol dan kelompok perlakuan, maka dilakukan Uji T tidak berpasangan.
Hasilnya ditemukan signifikan dengan nilai p= 0.043.
Tabel 23: Hasil Uji T-Test Tidak Berpasangan
Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol
Nilai Suspek Rerata Nilai p Perbedaan rerata
(IK95%)
Perlakuan 4.23 0.043 -0.90 (-1.76 - -0.04)
Kontrol 5.13
Uji T- tidak berpasangan: p<0.05
Demikian pula hasil uji statistik pada kelompok kontrol dan perlakuan
didapatkan hasil yang signifikan dengan P=0,043.
Jika dibandingkan sebelum diterapi (rerata 5,11) dan sesudah
dilakukan terapi (rerata 4,23), maka didapatkan perbaikan. Hal ini diperjelas
dengan uji statistik dimana didapatkan nilai p <0.05, yang berarti ada
perbedaan yang bermakna. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang telah
dilakukan sebelumnya. Hasil penelitian Harrar, et al (2014), Fitri Nurul Aini
(2013), Green, C.S. (2010), semuanya mendapatkan peningkatan
kemampuan membaca pada penyandang disleksia.
Demikian pula halnya jika dibandingkan antara kelompok kontrol (5,13)
dan perlakuan (4,23) dan dari hasil uji statistik didapatkan hasil yang
221
bermakna antara kedua kelompok tersebut. Hasil ini sesuai dengan hasil
yang didapatkan Nation K., (2010), Castles A. (2010), Swanson (2003),
hasilnya didapatkan perbaikan yang signifikan.
Selanjutnya, tahapan-tahapan yang dilakukan dalam terapi LexiPal
dapat dilihat di bawah ini:
Diagram 12: Aspek Tindakan Penanganan Disleksia
Untuk melakukan terapi LexiPal, harus dilakukan secara berjenjang.
Kerusakan pada aspek III hanya dapat dilakukan setelah uji linguistis. Hasil
uji linguistis akan dirujuk pada aspek II (mana yang terkait). Namun demikian,
222
sebuah tindakan yang tepat hanya dapat dilakukan melalui perlakuan secara
terapi dari aspek I. Hal ini dimaksudkan agar prinsip skema dari seorang PSD
dapat ditata dengan baik. Hal yang terjadi selama ini, seseorang yang akan
menangani PSD langsung pada aspek III tidak membuahkan hasil maksimal
karena sesungguhnya akar permasalahan ada pada aspek I dan II.
Dengan struktur tahapan seperti disebutkan pada Grafik/Bagan di atas
menunjukkan bahwa terapi LexiPal tidak dapat dilakukan secara simultan
setiap tahapan. Pada setiap tahapan pun harus dilakukan secara tertib.
Misalnya 1) bentuk dan pola harus mendahului 2) persamaan, perbedaan,
dan perbandingan, demikian seterusnya.
Selanjutnya, ketika tahapan II sudah selesai, maka untuk berpindah ke
tahap III, harus dilakukan pola gabungan antara aspek I dan II untuk
berpindah ke tahap III. Sistematika ini sudah dirancang sedemikian rupa
sebagai sebuah bentuk terapi yang dapat meringankan beban si
penyandang.
223
BAB V
SIMPULAN DAN REKOMENDASI
A. Simpulan
Penelitian disleksia umumnya dilakukan secara terpisah antara bidang
linguistik dan neurologi. Penelitian ini dilaksanakan di bawah payung
neuropsikolinguistik. Dengan uji linguistik dan uji klinis telah memetakan
tingkat kesulitan belajar bagi anak Penyandang Suspek Disleksia (PSD).
Selanjutnya, dilakukan terapi untuk mengurangi kesulitan membaca dan
menulis penyandang disleksia.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan terapi “Kinect-Based
Dyslexia Therapy” (LexiPal), beban kesulitan membaca anak PSD dapat
ditekan semaksimal mungkin. Bukti kuat keberhasilan terapi LexiPal terlihat
melalui metode eksperimental (dihitung selisih dari posisi kelompok
perlakukan dan kelompok kontrol pada akhir eksperimen). Perhitungan
dilakukan melalui perhitungan statistik sederhana.
Secara neurolinguistis, kajian disleksia merupakan kajian interdisipliner
antara dua bidang ilmu, yakni neurologi dan linguistik yang bernaung di
bawah payung neurolinguistik. Neurologi tidak dapat mengkaji tuntas
masalah disleksia tanpa bantuan ilmu linguistik, demikian pula sebaliknya.
224
Selanjutnya, kegagalan berbahasa yang ditemukan pada anak
penyandang disleksia antara lain adalah terjadinya inakurasi dalam
membaca, menyebutkan kata tidak menurut tekanan kata, mengenal kata
secara terbalik (/kumbang/ menjadi /kambing/), kesulitan dalam mengurutkan
huruf-huruf dalam kata, sulit mengeja dengan benar, dan tidak menghiraukan
penggunaan tanda-tanda baca. Selain itu, kegagalan berbahasa pada
mereka juga disebabkan kesalahan dalam memahami isi tulisan yang dibaca,
kesulitan menyuarakan fonem dan memadukannya menjadi sebuah kata.
Kemudian, dalam kondisi sulit, mereka hanya mencoba menebak sejumlah
kata atau frasa, rancu dalam penggunaan kata depan (/ke/, /dari/, /dan/, /di
depan/, /di samping/, dan /di bawah/), dan membaca satu kata dengan benar
di satu paragraf, tetapi salah pada paragraf lainnya.
Media Kinect-Based Dyslexia Therapy dirancang seperti game agar
disenangi oleh anak-anak. Setelah dilakukan terapi selama beberapa
minggu, terlihat adanya efektivitas terapi (media Kinect-Based Dyslexia
Therapy) yang menggembirakan untuk meningkatkan kemampuan membaca
pada anak disleksia dibandingkan dengan kelompok kontrol. Hal ini terlihat
jelas pada uji linguistis yang menunjukkan capaian hasil terapi, dengan
selisih dari 25.66 ke 21.15. Hal ini membuktikan bahwa hasil terapi LexiPal
memberikan dampak perbaikan pada anak Penyandang Suspek Disleksia
(PSD) kelompok perlakuan dibandingkan dengan kelompok kontrol.
225
Dengan demikian, efektivitas perbaikan fonologis, leksikal, dan
sintaksis pada anak disleksia dapat dilihat pada capaian perbaikan sebanyak
4.51 atau terjadi perbaikan rata-rata sebesar 0.90 (4.51/5 = 0.90)
sebagaimana diuraikan terdahulu. Tentu saja semakin banyak remedial
terhadap penyandang disleksia, kecendrungan prospek mencapai perbaikan
semakin positif.
Berdasarkan simpulan tersebut, dapat dipastikan bahwa terdapat dua
tipe disleksia, yaitu developmental dyslexia (bawaan sejak lahir) dan aquired
dyslexia (diperoleh karena gangguan atau perubahan cara otak kiri
membaca). Developmental dyslexia diderita sepanjang hidup pasien dan
biasanya bersifat genetik (keturunan). Developmental dyslexia dapat
memancing lahirnya aquired dyslexia. Aquired dyslexia dapat diperbaiki
melalui terapi, dan ini menjadi sumbangan penelitian ini.
B. Rekomendasi
Hampir dipastikan disleksia tidak dapat disembuhkan secara total.
Namun, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa disleksia dapat diterapi.
Salah satu terapi yang dianjurkan adalah dengan menggunakan LexiPal.
Selain dengan terapi, penelitian ini merumuskan rekomendasi sebagai
berikut:
226
1. Rekomendasi untuk Guru
Anak PSD seyogyanya duduk di barisan paling depan di kelas. Cara
ini amat membantu untuk memusatkan perhatian.
Amat diharapkan guru senantiasa mengawasi/mendampingi anak
PSD saat pemberian tugas di sekolah, misalnya guru meminta
untuk membuka buku halaman 14, pastikan anak PSD tidak
membuka halaman lain, misalnya halaman 41.
Guru dapat memberikan toleransi pada anak disleksia saat
menyalin soal di papan tulis sehingga mereka mempunyai waktu
lebih banyak untuk menyiapkan latihan (guru dapat memberikan
soal dalam bentuk tertulis di kertas).
Guru harus membangun komunikasi dengan orangtua murid untuk
saling mengisi hal yang dilakukan oleh guru di sekolah dan hal yang
mungkin dilakukan oleh orangtua di rumah.
Pastikan bahwa anak PSD harus selalu diberi sanjungan dan
motivasi. Jangan pernah memberi beban pelajaran yang berat
karena dikhawatirkan justru berdampak sebaliknya, yakni si anak
akan merasa putus asa.
2. Rekomendasi untuk Orangtua
Anak disleksia yang sudah menunjukkan usaha keras untuk berlatih
dan belajar harus diberikan penghargaan yang sesuai dengan
usahanya. Dukungan orangtua dan lingkungan keluarga amat
227
menentukan. Kemudian, setiap proses belajar yang dilakukan perlu
diselingi dengan waktu istirahat yang cukup, dan sesekali dibawa ke
tempat rekreasi.
Hindari disharmonisasi dalam keluarga yang diketahui oleh si anak.
Jauhkan mereka dari beban psikologis yang dapat mengganggu
ketenangan mereka. Orangtua harus selalu memotivasi dengan
tidak menetapkan target.
Jalin komunikasi dengan guru. Penanganan anak disleksia menjadi
tanggungjawab bersama. Orangtua tidak dapat lepas tangan dari
upaya guru di sekolah.
3. Rekomendasi untuk Guru dan Orangtua
Perlu ada komunikasi dan pemahaman yang sama mengenai anak
disleksia antara orangtua dan guru
Melatih anak menulis sambung sambil memerhatikan cara anak
duduk dan memegang pinsilnya. Tulisan sambung memudahkan
murid membedakan antara huruf yang hampir sama misalnya ’b’
dengan ’d’. Murid harus diperlihatkan terlebih dahulu cara menulis
huruf sambung karena kemahiran tersebut tidak dapat diperoleh
begitu saja. Pembentukan huruf yang betul sangatlah penting dan
murid harus dilatih menulis huruf huruf yang hampir sama berulang
kali. Misalnya huruf-huruf dengan bentuk bulat: ”g, c, o, d, a, s, q”,
228
bentuk zig zag:”k, v, x, z”, bentuk linear:” j, t, l, u, y, j”, bentuk hampir
serupa:”r, n, m, h”
Guru dan orangtua perlu melakukan pendekatan yang berbeda
ketika belajar matematika dengan anak disleksia.Pada umumnya
mereka lebih senang menggunakan sistem belajar yang praktikal.
Selain itu, kita perlu menyadari bahwa anak disleksia mempunyai
cara yang berbeda dalam menyelesaikan suatu soal matematika.
Oleh karena itu, tidak bijaksana untuk ”memaksakan” cara
penyelesaian yang klasik jika cara tersebut sukar diterima oleh sang
anak.
Aspek emosi. Anak disleksia dapat menjadi sangat sensitif,
terutama jika mereka merasa bahwa mereka berbeda dibanding
teman-temannya dan mendapat perlakukan yang berbeda dari
gurunya. Lebih buruk lagi jika prestasi akademis mereka menjadi
demikian buruk akibat ”perbedaan” yang dimilikinya tersebut.
Kondisi ini akan membawa anak menjadi individu dengan ”self-
esteem” yang rendah dan tidak percaya diri. Jika hal ini tidak segera
diatasi, akan terus bertambah parah dan menyulitkan proses terapi
selanjutnya. Orangtua dan guru seyogyanya adalah orang-orang
terdekat yang dapat membangkitkan semangatnya, memberikan
motivasi dan mendukung setiap langkah usaha yang diperlihatkan
229
anak disleksia. Jangan sekali-sekali membandingkan anak disleksia
dengan temannya, atau dengan saudaranya yang tidak disleksia.
4. Rekomendasi untuk Pemerintah
Seyogyanya pemerintah mendukung pendirian pusat-pusat terapi
disleksi yang berlisensi di bawah pengawasan ahli disleksia.
Menyediakan tempat bermain bagi anak penyandang disleksi di setiap
perpustakaan umum dengan menyediakan tenaga terlatih untuk
menangani anak PSD.
Mengangkat guru profesional tenaga disleksia pada sekolah-sekolah
luar biasa yang ada.
Mengingat demikian ”kompleks”nya keadaan disleksia ini, disarankan
bagi orangtua yang mempunyai anak yang menunjukkan tanda-tanda seperti
disebutkan di atas, agar segera berkonsultasi dengan tenaga medis
profesional yang terpercaya di bidang tersebut atau menuju ke pusat terapi
disleksia. Semakin dini kelainan ini dikenali, semakin ”mudah” pula terapi
yang dapat dilakukan, sehingga anak tidak terlanjur larut dalam kondisi yang
lebih parah.
230
DAFTAR PUSTAKA
Aaron, P. G., and Phillips, S. 1986. “A Decade of Research with Dyslexic College Students.” Annals of Dyslexia, 36:44–68.
__________. 1988. “Is There a Thing Called Dyslexia?” Annals of Dyslexia.
38:33–49. Jurnal Psikolinguistik, No. II, tahun ke-9. __________, dan Endang Widyorini. 2014. Deteksi dan Penanganan Anak
Cerdas Istimewa (Anak Gifted) Melalui Pola Alamiah Tumbuh Kembangnya. Jakarta: Prenada.
Abdurrahman, M. 1999. Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta:
Rineka Cipta. Aini, Fitri Nurul. 2013. “Implementasi Terapi Gestalt dalam Menangani Siswa
Disleksia Studi Kasus Siswa X di SD Negeri Ponokawan Krian Sidoarjo”. Laporan Penelitian.
Ali, Muhammad dan Mohammad Asrori. 2015. Cetakan Kesepuluh. Psikologi
Remaja: Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Bumi Aksara. Andika, Dutha Bachari. 2009. “Dasar-dasar Psikolinguistik.” Universitas
Pendidikan Indonesia Press VI, 120 Hlm.: 17 X 25 cm: Gambar: Tabel. Cetakan-1, Februari 2009.
Anjarningsih, Harwintha Y. 2011. Jangan Kucilkan Aku Karena Aku Tidak
Mahir Membaca (Pentingnya Identifikasi Dini Disleksia untuk Masa Depan Anak). Yogyakarta: Pustaka Cendikia Press.
Anna. 2003. An fMRI Investigation Basso, Aphasia and It’s Therapy. New
York: Oxford University Press. Aram, D.M., Ekelman, B.L., and Nation, J.E. 1984. “Preschoolers with
Language Disorders”: 10 Years Later. Journal of Speech and Hearing Research, 27: 232–244.
Arifuddin. 2013. Neuropsikolinguistik. Jakarta: Rajagrafindo Persada. Bailhaqi, M.I.F. dan Sugiarmin, M. 2014. Memahami dan Membantu Anak
ADHD. Bandung: Refika Aditama.
231
Bakker, et al. 1987. “Individualized Quantification of Brain-Amyloid Burden: Results of a Proof of Mechanism Phase Florbetaben PET Trial in Patients with Alzheimer’s Disease and Healthy Controls.” Eur J. Nucl Med Mol Imaging; 38:1702–1714.
Basir, Hasmawaty. 2012. “Faktor Prognostik Afasia Berdasarkan Tadir pada
Penyandang Stroke Akut di Beberapa Rumah Sakit Pendidikan di Makassar”. (Tesis S2 Tidak Dipublikasikan) Makassar: Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin.
Beacham, Nigel A. dan James L. Alty. 2006. “An Investigation Into The
Effects That Digital Media Can Have on The Learning Outcomes of Individuals Who Have Dyslexia”. Computers dan Education, 47, 74–93.
Bender, W.N., Rosenkrans, C.B., dan Crane, M.K. 1999. “Stress, Depression,
and Suicide Among Students with Learning Disabilities: Assessing The Risk”. Learning Disability Quarterly, 22, 143–156.
Benson, D.F. 1979. Aphasia, Alexia, and Agraphia. New York: Churchill
Livingstone. Bird, Helen, Sue Franklin, and David Howard. 2002. “Litle Words–Not Really:
Function and Content Word in Normal and Aphatic Speech”. Dimuat dalam Journal of Neurolingistics Seri 14 pp. 209-237.
Bluemstein, Sheila E. 1994. “Neurolinguistic: An Overview of Language –
Brain” dalam Language: Psycological and Biological Aspects”, ed. F.J. Newmeyer, pp. 210-238. Cambridge University Press.
Bondan, Riyani T. 2014. “Mengenal Disleksia dan Mengatasinya”. Makalah
Seminar Disleksia, Jakarta. Bruce, F. Pennington. 2012. “Developmental Dyslexia”, Lancet, 05-26,
Volume 379, Issue 9830, Pages 1997-2007,
Byrne Brian, Cara Delaland, Ruth Fielding‐Barnsley, Peter Quain; et al. 2002. “Longitudinal Twin Study of Early Reading Development in Three Countries: Preliminary Result.” Annals of Dyslexia; 52, Pro Quest Medical Library.pg.49.
232
Cahyono, Bambang Yudi. 1995. Kristal-kristal Ilmu Bahasa. Surabaya: Airlangga University Press.
Carlson, Neil R. 2016. Fisiologi Perilaku. Edisi Kesebelas. Alih Bahasa:
Fatmah Nurjanti. Jakarta: Erlangga. Carrol. M, Julia. 2013. The Development of Phonological Awareness in Pre
School Children. Developmental Psychology Vol. 39.no 5.913‐923. Catts, H.W. 2012. Varieties of Developmental Dyslexia. Cognition; 47:149–
80. Castles A, Bates T, Coltheart M. John Marshall. 2006. The Developmental
Dyslexia. Aphasiology 20:871–92.4. Castles A, Wilson K., Coltheart M. 2011. “Early Orthographic Influences on
Phonemic Awareness Tasks Evidence from a Preschool Training Study”. Journal of Experimental Child Psychology.
Chaer, Abdul. 2003. Psikolinguistik Kajian Teoretik. Jakarta: PT Rineka Cipta. Charles Wenar, Patricia Kerig. 2006. “Developmental Psychopathology: from
Infancy Through Adolescence”. Front Cover. McGraw-Hill, Medical, 696 pages.
Child Develoment Institue. 2008. “The Effect of Morphology on Spelling and
Reading Accuracy: a Study on Italian Children”, Journal List Front Psychol, PMC4237035.
Colledge, Essi, et.al. 2002. “The Structure of Language Ability at 4 Years: A
Twin Study”. Development Psychology. Vol 38. no.5, 749- 757.
Components of Reading and Dyslexia. Annals of Dyslexia, 53.201‐217. Corsini. 1987. “Transposition Errors in Visual Matching of Orthographic
Stimuli: A Study of Normal Children with Aplications for Orton’s Theory
of Developmental Dyslexia”. Neurolinguistics, Vol. 9, No. 4, Pp. 289‐295.
Creswell, John W. 2014. Research Design–Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif,
dan Mixed (diterjemahkan oleh Achmad Fawaid), Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
233
Crystal, David. 2015. Ensiklopedi Bahasa. Alih Bahasa: Rahmani Astuti. Bandung: Nuansa Cendekia.
Cummings, Louise. 2010. Pragmatik Klinis–Kajian tentang Penggunaan dan
Gangguan Bahasa Secara Klinis (diterjemahkan oleh Adolina, dkk.) Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Dardjowidjojo, Soenjono. 2005. Psikolinguistik–Pengatar Pemahaman
Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Darmojuwono, Seliawati dan Kushartanti. 2000. Pesona Bahasa. Langkah Awal Memahami Linguistik. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.
___________. 2002. Afasia: Deskpripsi, Pemeriksaan, dan Penanganannya. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
David, Kemmerer. 2014. Neurolinguistics: Mind, Brain, and Language. Department of Speech, Language, and Hearing Sciences; Department of Psychological Sciences Purdue University, West Lafayette, IN 47906, USA [email protected].
Delphie, Bandi. 2012. Pembelajaran Anak Tunagraha–Suatu Pengantar
dalam Pendidikan Inklusi. Bandung: PT Rafika Aditama.
Derek, Wood, dkk. 2012. Kiat Mengatasi Gangguan Belajar. Yogyakarta: Katahati.
Devaraj, S. Roslan. 2006. An Effective Conceptual Multisensory Multimedia Model to Support Dyslexic Children in Learning. Canada: International Media Publisihing.
Dewi M., dan Wawan, A. 2010. Teori dan Pengukuran Pengetahuan, Sikap
dan Perilaku Manusia. Yogyakarta: Nuha Medika.
Dharmaperwira-Prins, Reni I.I. 1996. Disatria–Apraksia Verbal dan TEDYVA (Tes untuk. Disatria–Apraksia Verbal). Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Dye, M.W.G., Green, C.S., and Bavelier, D. 2009. “Increasing Speed of Processing with Action Video Games”. Curr. Dir. Psychol. Sci. 18, 321–326.
Eicher, J.D. Gruen, J.R. 2013. Dyslexic Problem. Boston, USA: International Media Publishing.
234
Emily, B. Myers. 2005. “Neural Correlates of Phonetic Category Structure”.
Dissertation. Brown University (expected): Cognitive Science.
Emily S. Finn1,*, Xilin Shen2, John M. Holahan3, Dustin Scheinost4, Cheryl Lacadie2, Xenophon Papademetris2,4, Sally E. Shaywitz3, Bennett A. Shaywitz3, and R. Todd Constable2. 2014. “Disruption of Functional Networks in Dyslexia: A Whole - Brain, Data - Driven Analysis of Connectivity.” Philadelphia: Biology Psychiatry.
Endang, W. 2014. “Siswa SD yang Berkesulitan Belajar Umum dan
Penanganan Kesulitan Membaca.” Kajian Dikbud No. 13, Tahun IV. Hal. 20-35.
Fisher, Simon E. and John C. de Fries. 2002. Group 767‐780.
“Developmental Dyslexia: Genetic Dissection of a Complex Cognitive
Trait.” Vol. 3. Nature Publishing.
Ferrer, E. 2010. The Secret Life of Dyslexic Child, a Practical Guide for Parents and Educators. The Philip Lief Group, Inc.
Frank R. Vellutino, Jack M. Fletcher, Margaret J. Snowling, and Donna M.
Scanlon1. 2004. “Specific Reading Disability (Dyslexia): What Have
We Learned in the Past Four Decades?” Journal of Child Psychology
and Psychiatry 45:1 2004, pp 2–40.
Gabriel, J. 2009. “Annals of Dyslexia: Phonology, Reading Development, and
Dyslexia: a Cross‐Linguistic Perspective”. 52, Pro-Quest Medical
Library. pg. 141.
Ghazali, Syukur. 2000. Pemerolehan dan Pengajaran Bahasa Kedua. Jakarta: Dikti Depdiknas.
Gobin, et al. 1980. “Sex Differences in Developmental Reading Disability: New Findings from 4 Epidemiological Studies.” JAMA: Journal of the American Medical Association, 291(16)–12.
Gori, et al. 2013. “Dyslexia: A Complete Guide for Parents. John Wiley and Sons, Ltd, England General Reading Backwardness or Specific Reading Retardation.” Journal of Child Psychology and Psychiatry. 1985;26 (3): 407–21.
235
Green, et.al. 2010. “Adapting Music Instruction for Students with Dyslexia”. Music Educators Journal; May; 90, 5; Academic Research Library.pg. 27.
Gregory, Robert J. 2013. Tes Psikologi: Sejarah, Prinsip, dan Aplikasi. Edisi Keenam. Jakarta: Erlangga.
Gupta A, Singhal G. 2011. “Understanding Aphasia in a Simplified Manner”, Journal Indian Academy of Clinical Medicine.
Hadi, et al. 2013. “Pattern Visual Evoked Potentials in Dyslexic Versus
Normal Children”, J. Ophthalmic Vis Res. 10 (3): 274-278. Hani'ah, Munnal. 2015. Kisah Inspiratif Anak-anak Autis Berprestasi. Jakarta:
Diva Press. Hargio, Santoso. 2012. Cara Memahami Anak Berkebutuhan Khusus. Jakarta: Rineka Cipta. Harrar, V., et al. 2014. “Improved Probabilistic Inference as a General
Learning Mechanism with Action Video Games.Curr”. Biol. 20, 1573 1579.
__________, V. Jonathan Tammam, Alexis Pérez-Bellido, Anna Pitt, John
Stein, and Charles Spence. 2014. Multisensory Integration and Attention in Developmental Dyslexia. Philadelphia: Grill Inc.
Harwintha Y. Anjarningsih. 2006. Dissertation “Cross Linguistic Study to
Aphasia Validating a Test on Temporal and Aspectual Adverbs of Time Denoting Past Tense to Non-Brain Damaged Speakers of Bahasa Indonesia”. Netherland: University of Groningen.
Gearheart. 2014. “Impaired Visual Processing of Letter and Digit Strings in
Adult Dyslexic Readers.” Vision Research, 46(5):718–23. Helmur Mycklebust, Doris Jhonson. 2011. “Dyslexia in Children”, First
Published. September 1.
Heru, Nanang S. 2012. “Kajian Teori Psikolinguistik”. Diakses dari: http://eprints.uny.ac.id/.
Hickok, Gregory. 2015. The Myth of Mirror Neurons: The Real Neuroscience of Communication and Cognition. New York: W.W. Norton and Company.
236
Hjikoktijen. 1986. “Development of Auditory Saltation and its Relationship to Reading and Phonological Processing”. Journal of Speech, Language, and Hearing Research; 42, 2;352. Proquest Medical Library.Pg.925.
Hornsby and Shear. 1983. Learning Disabilities. In E.J. Mash dan R.A.
Barkey (Eds), Child Psychopathology.pp.390‐35. New York: The Guilford Press.
Imandala, Iim. 2009. “Remedial Membaca dengan Metode Fernald Bagi Anak Disleksia.” [Online]. Tersedia: http://iimimandala.blogspot.com. [12 Desember 2011]
Indrawati, Sri dan Santi Oktarina. 2005. “Pemerolehan Bahasa Anak TK:
Sebuah Kajian Fungsi Bahasa.” Lingua, 7 (1). Interpretation. Exceptional Children. 2009; 76(1):31–51.
Jensen, Eric. 2008. Brain-Base Learning: Pembelajaran Berbasis
Kemampuan Otak: Cara Baru dalam Pengajaran dan Pelatihan. Edisi Revisi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
J.H. Menkes, H.B. Sarnat B.L. Maria. 2005. Learning Disabilities, dalam: J.H.
Menkes, H.B. Sarnat (penyunting). Child Neurology, edisi ke-7. Lippincott Williams and Wilkins, Philadelphia.
J. Ohene, Djan and R. Begum. 2008. Imaging - Genetics in Dyslexia:
Connecting Risk Genetic Variants to Buroimaging and Ultimately to
Reading Impairments. New York: Medical Library Publishing.
John. W. Santrock. 1995. Live Span Development (terjemahan). Jakarfta: Erlangga.
Jufri. 2002. Prinsip-prinsip Strategi Pembelajaran Bahasa. Makassar: State University of Makassar Press.
Kame'enui, Edward J., Deborah C Simmons, Michael D. Coyne. 2000. “Schools as Hosts Environments: Toward a Schoolwide Reading Improvement Model”. Annals of Dyslexia; 50, ProQuest Medical Library pg. 33.
Kerig, P.K., dan Wenar, C. 2006. Developmental Psychopathology: from Infancy Through Adolescence (5th ed.). New York: McGraw-Hill.
Kieran, Maher. 2006. “Examples of T1 Weighted, T2 Weighted and PD
Weighted MRI scans. Adapted with Permission by Kieran Maher using
237
Graphic Converter”, from [http:// homepage.mac.com/kieranmaher/ait/ Applied Imaging Technology] by Heggie, Liddell and Maher.
Kleeck, Anne van., Ronald B. Gillam; Teresa U. McFadden. 2014. “A Study of
Classroom‐Based Phonological Awareness Training for Preschoolers.” American Journal of Speech Language Pathology; 7, 3; ProQuest
Medical Library.p.65‐76.Lancet, 379(9830). Kridalaksana, Harimurti. 2010. Forum Linguistik Pascasarjana 2010. Depok:
Laboratorium Leksikologi dan Leksikografi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.
Leonard Christiana, Mark Eckert, 2 Barbara Given, 3 Berninger Virginia, 4
Guinevere Eden. 2013. “Individual Differences in Anatomy Predict Reading and Oral Language Impairments in Children Brain Advance”, Access Published September 29.
Lerner, J. 2003. Learning Disabilities: Theories, Diagnosis and Teaching Strategies. Boston: Houghton Mifflin Company.
Ling, Jonathan, Jonathan Catling. 2012. Psikologi Kognitif. Jakarta: Erlangga.
Lyon, G.R. Fletcher, J.M., Shaywitz, S.E., Shaywitz, B.A.,Torgesen, J.K., Wood, F.B., Schulte, A., Olson, R. 2001. “Rethinking Learning Disabilities. Thomas B. Fordham Foundation”. (Online). Sumber: http://www.edexcellence.net/library/special_ed/special_ed_ch,12. Pdf.
__________, G.R., Shaywitz S.E, Shaywitz B. A. 2003. “A Definition of Dyslexia”. Boston: Annals of Dyslexia, 53:1–9.
Lyytinen, Paula. 2015. “Language Development and Literacy Skills in Late Talking Toddlers with and without Familial Risk for Dyslexia”. Annuals
of Dyslexia. Vol.55.no.2.166‐192.
Marat, Samsunuwiyati. 2009. Psikolinguistik – Suatu Pengantar. Bandung: Rafika Aditama.
Marshall, Catherine, Margaret, Snowling, and Pater, Bailey. 2004. “Rapid Auditory Processing and Phonological Ability in Normal Readers and Readers with Dyslexia”. Journal of Speech, Language, and Hearing Research; Dec 2004; 47, 6; ProQuest Medical Library.pg.1301.
__________, Catherine M., Margaret J. Snowling, Peter J. Bailey. 2001. “Rapid Auditory Processing and Phonological Ability in Normal
238
Readers and Reading”. Journal of Speech, Language, and Hearing Research; 44, 4; ProQuest Medical Library.pg.925.
Martini, Jamaris. 2014. Kesulitan Belajar: Perspektif, Asesmen, dan Penanggulangannya. Cetakan ke-1. Jakarta: Ghalia Indonesia.
McGrath, L.M., Smith S.D., Pennington B.F. 2006. “Breakthroughs in The Search for Dyslexia Candidate Genes. Trends in Molecular Medicine”, 12(7):333–41. PubMed: 16781891.
Miller‐Shaul,Shelley, Zvia Breznitz. 2012. “Electrocortical Measures During a Lexical Decision Task: A Comparison Between The Journal of Genetic Psychol”, PubMed: 16781891.
Morais, J., Cognition 1979. “Defining Dyslexia as a Developmental Language
Disorder”, Annals of Dyslexia 36:44–68.
Mulyadi. 2010. Diagnosis Kesulitan Belajar dan Bimbingan terhadap Kesulitan Belajar. Yogyakarta: Nuha Litera.
Mustafa, dkk. 2013. “Learning Model Development for Dislexia Students of
Initial Inclusive Elementary Schools at Makassar”. Lembaga Penelitian
UNM Makassar.
Nation K., Cocksey J., Taylor J.S.H., Bishop D.V.M.A. 2010. “Longitudinal
Investigation of Early Reading and Language Skills in Children with
Poor Reading Comprehension”. Journal of Child Psychology and
Psychiatry, 51(9):1031–9. (PubMed: 20456536).
NINDS. 2011. “Impaired Phonological and Orthographic Word
Representations Among Adult Dyslexia”. The Journal of Genetic
Psychology; 166, 2; ProQuest Medical Library pg. 215.
Nini, Subini. 2012. Mengatasi Kesulitan Belajar pada Anak. Yogyakarta: Javalitera.
Nirmala, M.A, Saputra, M.U. 2015. LexiPal: Aplikasi Belajar Membaca
Permulaan untuk Anak-anak Disleksia. Yogyakarta: Nextin Indonesia. Nurhasanah dan Didin Tumianta. 2007. Kamus Besar Bergambar Bahasa
Indonesia untuk SD dan SMP. Jakarta: PT Bina Sarana Pustaka.
239
Ott, Sclikowitz. 1997. “Reading Comprehension Skills of Young Adults with Childhood Diagnoses of Dyslexia.” Journal of Learning Disabilities; Nov/Dec; 36, 6; Roquest Medical Library. Pg.538.
Otto, Beverly. 2015. Perkembangan Bahasa pada Anak Usia Dini. Edisi
Ketiga. Jakarta: Prenadamedia Group. Owens, R.E. 2001. Language Development an Introduction, 5th edition. New
York: Allyn and Bacon. Parker, S., Zuckerman, B., Augustyn, M. 2013. Developmental and
Behavioral Pediatrics (2nd). New York: Allyn and Bacon. Partiwisastro. 1984. Diagnosing Learning Disorders: A Neuropsychological
Framework (2nd ed.). New York: The Guilford Press. Pennington, B. F. 2011. “Controversial Therapies for Dyslexia.1. Vol. 37.
Perspectives on Language and Literacy”, A Quarterly Publication of the International Dyslexia Association.
Peterson, R.L., Pennington B.F., Shriberg L.D., Boada R. 2017. “What
Influences Literacy Outcome in Children with Speech Sound Disorder?” Journal of Speech Language and Hearing Research. 2012; 52(5):1175–88
__________, R.L., dan Pennington, B.F. 2012. Developmental Dyslexia.
Boston: Lancet 379. Poedjosoedarmo, Soepomo. 2003. Filsafat Bahasa. Surakarta:
Muhammadiyah University Press. Pringle, Morgan. 1987. “Dyslexia”, dalam: K.F. Swaiman, S. Ashwal, DM.
Ferreier (penyunting). “Pediatric Neurology Principles and Practice”, volume 1, edisi ke-4. Mosby, Philadelphia.
Prins, Reni Dharmaperwira dan Willemijn Maas. Afasia: Deskripsi,
Pemeriksaan, Penanganan. Edisi Kedua. Jakarta: UI Press. Pumprey and Reason. 1991. The Secret life of Dyslexic Child, a Practical
Guide for Parents and Educators. New York: The Philip Lief Group, Inc.
240
Qadariah, Siti, dkk. 2014. “Pengaruh Brain Gym Terhadap Penurunan Frekuensi Kesulitan Membaca pada Anak Disleksia”, Asosiasi Disleksia Indonesia.
Rahim, F. 2005. Pengajaran Membaca di Sekolah Dasar. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Ramus, Franck. 2001. “Talk of Two Theories”, Macmillan Magazines Ltd. Nature. Vol 412, 26 July 2001.
Rate. 2011. “An Early Predictor of Reading Disability”. Journal of Speech, Language, and Hearing Research;15:3.; ProQuest Medical Library.pg.289. Reading Difficulties as a Function of IQ: An Update. Behavior
Reid. 2004. “Dyslexia: A Complete Guide for Parents. John Wiley and Sons”, Ltd, England Related to Response to Reading Instruction: A Meta-Analytic.
Rifa, Hidayah. 2007. Kemampuan Baca-Tulis Siswa Disleksia. Jakarta:
Rineka Cipta.
Robin, et al. 2012. “Neural Systems for Compensation and Persistence:
Young Adultoutcome of Childhood Reading Disability”. Biological
Psychiatry, 54 (1):25–3.
Roongpraiwan. 2012. “Structural Abnormalities in The Dyslexic Brain: A Meta-
Analysis of Voxel-Based Morphometry Studies”. Human Brain Mapping, 34, 3055-3065. doi: 10.1002/hbm.22127.
Rydz D., Srour M., Oskoui M., Marget N., Shiller M., Majnemer A., et.al. 2006. “Screening for developmental delay in the setting of a community pediatr clinic: A Prospective Assessment of Parent-Report Questionnaires”. Pediatrics, 118;e1178-e1186.S. Devaraj, S. Roslan. 2006. Apa itu Disleksia, Panduan untuk Ibu Bapak, Guru dan Kaunselor, dalam: S. Amirin (penyunting). PTS Profesional, Kuala Lumpur.
Said, Ikhwan M. 2009. “Perkembangan Kompetensi Berbahasa Penyandang Afasia Tidak Lancar yang Disebabkan oleh Stroke Iskemik” (Disertasi Tidak Diterbitkan) Makassar: Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin.
241
Sanapiah, Faisal. 1990. Penelitian Kualitatif; Dasar-dasar dan Aplikasi. Malang: YA319.
Santrock, John W. 2015. Psikologi Pendidikan. Edisi Kedua. Alih Bahasa: Tri
Wibowo. B.S. Jakarta: Kencana. Saputra, Mega. 2015. Aplikasi LexiPal. Yogyakarta: UGM Press. Sastra, Gusdi. 2010. Neurolinguistik: Suatu Pengantar. Bandung: Alfabeta. Sastry, Anjali dan Blaise Anguirre. 2012. Parenting Anak dengan Autisme:
Solusi, Stategi, dan Saran Praktis untuk Membantu Keluarga Anda. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Schneider, Wolfgang. 2016. “Training Phonological Skills. Dyslexia in
Chinese”, Clues from Cognitive Neuropsychology. Vol. 92. No. 2.284‐295.
Shaywitz, S. 2003. Overcoming Dyslexia: A new and Complete Science-
Brain. Mosby: Philadephia. ---------------, Bennett. 2006. “Dyslexia”, dalam: K.F. Swaiman, S. Ashwal,
D.M. Ferreier (penyunting). “Pediatric Neurology Principles and Practice”, volume 1, edisi ke-4. Mosby: Philadelphia.
Senechal, MoniQue,and Jo‐Anne LeFevre. 2012. “Parental Involvement in
The Development of Childre’s Reading Skiill: A Five‐Year Longitudinal Study”. Child Development, volume 73. No. 2. Pages: 445‐460.
Sidiarto, Lili dan Sidiarto Jokosetio. 2007. Perkembangan Otak dan Kesulitan Belajar pada Anak. Jakarta: UI Press. Simanjuntak, Mangantar. 1990. Teori Linguistik Chomsky dan Teori Linguistik
Wernicke - ke Arah Satu Teori Bahasa yang Lebih Sempurna. Jakarta:
Radar Jaya Offset.
Singer, Elly. 2005. “The Strategies Adopted by Dutch Children with Dyslexia
to Maintain Their Self”. Journal of Learning Disabilities; Sep/Oct 38, 5;
ProQuest Medical Library pg.411.
242
S. Purkayastha. 2012. “Perceptual Discrimination of Speech Sounds in Developmental Dyslexia. Journal of Speech, Language, and Hearing Research”, Apr; 44, 2; ProQuest Medical Library/pg. 384.
Smith C., Hill J., “Language Development and Disorders of Communication
and Oral Motor Function”, in Molnar G.E., Alexander M.A., editors. “Pediatric Rehabilitation”. Philadelphia: Hanley and Belfus;1999.p. 57-79.
Smythe, E. and Salter. 2004. “A Comparison of Multiple Methods for The
Identification of Children with Reading,” Journal of Learning Disabilities; 35, 3; ProQuest Medical Library.pg.234.
Soetjiningsih, dkk. 2016. Tumbuh Kembang Anak. Edisi Kedua. Jakarta:
EGC. Solso, Robert L., et.al. 2016. Psikologi Kognitif. Alih Bahasa: Mikael
Rahardanto dan Kristianto Batuadji. Edisi Kedelapan. Jakarta: Erlangga.
Solek and K. Dewi, 2013. Dyslexia Today, Genius Tomorrow. Bandung:
Dyslexia Association of Indonesia Production. Somantri, T. Sutjihati. 2012. Psikologi Anak Luar Biasa. Cetakan Keempat.
Bandung: Refika Aditama. Sternberg, R.J. 2006. “Cognitive Psychology”. Belmont, C.A. Thomson
Wadsorth. Study. JAMA: Journal of the American Medical.
Stuebing, K.K., Barth, A.E., Molfese P.J., Weiss B, Fletcher J.M. 2014. Developmental Dyslexia. New York: Grill Publishing.
Subini, Nini. 2011. Mengatasi Kesulitan Belajar pada Anak. Yogyakarta:
Javalitera Sugiyono. 2006. Statistik untuk Penelitian. Bandung: CV Alfabet. Sulastri. 2008. “Peningkatan Kemampuan Membaca Melalui Penggunaan
Papan Flanel di Kelas Satu SD Negeri 17 Kampung Manggis Kota Padang Panjang”. Jurnal Guru .Vol. 5 (1): 49-63.
Stark, David D. 1988. Magnetic Resonance Imaging. Toronto: The CV Mosby
Company.
243
Steven, L. Bressler In: M.A. Arbib (Ed.). 2012. “The Hand bookof Brain Theory and Neural Networks”, MIT Press, Cambridge M.A. pp.412-415. Event-Related Potentials StevenL. Bressler.
Tallal, P. 1984. “Temporal or Phonetic Processing Deficit in Dyslexia?” That is
The Question.” Applied Psycholinguistics, 5(2), 167-169. Tammasse dan Jumraini. “Gangguan Berbahasa Disleksia: Suatu Perkenalan
Awal”. 2015. (Prosiding) Seminar Antarbangsa IV Arkeologi, Sejarah, dan Budaya di Alam Melayu (ASBAM IV), Langkawi, Malaysia.
__________. 2016. “Dyslexia Speech Problem. A Neurolinguistics
Perspective”. (Prosiding) The 1st Annual Seminar on English Language Studies, “Bringing up an Issue of Shaping New Trend in English Language Studies, Linguistics, Literature, Education, and Culture”, Postgraduate Program Faculty of Cultural Sciences Hasanuddin University.
__________. 2017. “Mengatasi Kesulitan Belajar Disleksia (Studi
Neuropsikolinguistik)”. (Prosiding) Seminar Antarbangsa VI Arkeologi, Sejarah, dan Budaya di Alam Melayu (ASBAM VI), JIlid 2, Johor Bahru, Malaysia.
__________. 2017. “Disleksia Bisa Diperbaiki”. Makalah Seminar Sehari
“Penanganan Anak Suspek Disleksia di SLB Negeri 2 Makassar”, LP2M Universitas Hasanuddin.
__________. 2017. “Brain and Relationship”. (Prosiding) The 2nd Annual
Seminar on English Language Studies, “The Role of Language and Culture, Literature, Education, and Culture in the Development of “Nation Character Building”, Postgraduate Program Faculty of Cultural Sciences Hasanuddin University.
__________. 2017. “Relationship Between Language and Though”.
(Prosiding) The 2nd Annual Seminar on English Language Studies, “The Role of Language and Culture, Literature, Education, and Culture in the Development of “Nation Character Building”, Postgraduate Program Faculty of Cultural Sciences Hasanuddin University.
__________. 2017. “LexiPal Therapy to Rehabilitate Learning Difficultly of
Dyslexic Children”. Imperial Journal of Interdiciplinary Research.
244
Temple, E., Deutsch,G.K., Poldrack, R.A., Miller, S.L., Tallal, P., Merzenich, M.M., dan Gabrieli, J.D. 2003. “Neural Deficits in Children with Dyslexia Ameliorated by Behavioral Remediation: Evidence from functional MRI. Proceedings of the National Academy of Sciences”, 100(5), 2860-2865The Boston Globe Abnormal Brain Patterns Indicate Dyslexia has Physical Explanation by Richard Saltus, Globe Staff.
Thompson, Jenny. 2010. Memahami Anak Berkebutuhan Khusus. Jakarta: Esensi.
Tiel, Julia Maria van. 2011. Anakku Terlambat Bicara. Jakarta: Prenada Media Group.
Titone, Renzo dan Marcel Danesi. 1985. Applied Psycho-Linguistics – An Introduction to the Psychology of Language Learning and Teaching. Canada: University of Toronto Press.
T.L. Harris dan R.E Hodges. 2007. “Dyslexia, in Kindergarten Children”,
Journal of Educational Psychology. 84. 364‐370. Tomasello, M. 1999. The Cultural Origins of Human Cognition. London:
Harvard University Press Torgessen, JK. Morgan, S.T., Davis, C. 1992. “Effect of Two Types of
Phonological Awareness Training on Word Learning in Kindergarten Children”. Journal of Educational Psychology. 84. 364‐370.
T. Wood Chloe Prado, Matthieu Dubois, et al. 2006. The Eye Movements of
Dyslexic Children During Reading and Visual Search. New York: Impact of the Visual Attention Span.
Vidyasagar, T.R., and Pammer, K. 2010. “Dyslexia: a Deficit in Visuo-Spatial
Attention, Not in Phonological Processing”, Journal Trends Cogn. Sci. 14, 57–63.
Wade, Carole dan Carol Tavris. 2007. Psikologi. Jilid 1. Edisi Kesembilan.
Jakarta: Erlangga. Wadlington, Elizabeth. 2014. “Effective Language Arts Instruction for
Students with Dyslexia”. Journal, Preventing School Failure; 44, 2; Academic Res
245
Wahyudi. 2006. “Pelaksanaan Remedial Bagi Anak Kesulitan Belajar Membaca Permulaan di Kelas II SD Negeri 07 Silaing Bawah Kecamatan Padang Panjang Barat Kota Padang Panjang”, Jurnal Guru. Vol. 3 (1) : 71-84.
Weggelaar, Cornelis. 2006. “Kinesthetic Feedback and Dyslexic Students
Learning to Read and Write”. Et Cetera; 63, 2; Academic Research Library.Pg. 144.
Widyastono. 1998. “Siswa SD yang Berkesulitan Belajar Umum dan
Penanganan Kesulitan Belajar Membaca”. Kajian Dikbud no.013
Tahun IV Juni 1998.,hal. 20‐27. Wikipedia 2014. “Kemampuan Kognisi”. Diakses: http: id.wikipedia.org/ wiki/Kognisi. Willcutt E. G., Pennington B.F. 2000. “Psychiatric Comorbidity in Children and
Adolescents with Reading Disability.” Journal of Child Psychology and Psychiatry”, 41(8):1039–48. [PubMed: 11099120].
Wing, Bonnie. 2015. “Phonological Processing Skills and Early Reading
Abilities in Hongkong Chinese Kindergarteners Learning to Read English as a Second Language”. Journal of Educational Psychology,
Vol. 97. No.1,81‐87. Wolf, Maryanne. 2009. “The Double Hipotesis for Developmental Dyslexia”.
Journal of Educational Psychology. Vol.91.No3.415438. Wolfgang Schneider. 2000. “Traning Phonological Skills. Dyslexia in
Chinese”, Clues from Cognitive Neuropsychology. Vol. 92. No. 2.284‐295. Yogyakarta: Gosyen Publishing.
Yoshimasu K., Barbaresi W.J., Colligan R.C., Killian J.M., Voigt R.G., Weaver
A.L., dan Katusic S.K. 2010. “Gender, Attention-Deficit / Hyperactivity Disorder, and Reading Disability in a Population-Based Birth Cohort”. Pediatrics, 126 (4) PMID: 20876182.
Yulianti. 2011. “Efektivitas Penggunaan Audiovisual dalam Meningkatkan
Kemampuan Membaca Awal pada Anak Berkesulitan Belajar Membaca.” Skripsi. Makassar: Universitas Negeri Makassar.
246
SUMBER INTERNET:
1. http://forums.merdeka.com/threads/kesehatan/ 3028-7 – “tokoh-
terkenal-yang-ternyata-menyandang-disleksia.”html (diakses pada
tanggal 14 September 2015).
2. “https://id.wikipedia.org/wiki/ “Disleksia” (diakses pada tanggal 15
September 2015).
3. https://id.wikipedia.org/wiki/ “Neurolinguistik” (diakses pada tanggal 20
Sepetember 2015).
4. https://id.wikipedia.org/wiki/ “Psikolinguistik” (diakses pada tanggal 22
September 2016.
5. "NINDS Dyslexia Information Page. National Institute of Neurological
Disorders and Stroke.” National Institutes of Health. 11 September
2016.
247
Lampiran-lampiran
248
Lampiran 1
SEKOLAH LUAR BIASA (SLB) DI SULAWESI SELATAN*)
No. Kota /Kabupaten Jumlah Siswa Rombel
1. Makassar 20 1102 270
2. Maros 2 110 30
3. Bone 8 227 74
4. Sinjai 1 59 15
5. Bulukumba 2 96 37
6. Selayar 1 49 20
7. Bantaeng 1 52 14
8. Jeneponto 4 130 35
9. Takalar 6 67 39
10 Gowa 5 222 80
11. Pangkep 1 54 18
12. Barru 1 13 9
13. Parepare 2 75 27
14. Pinrang 1 26 11
15. Sidrap 1 39 14
16. Soppeng 5 123 61
17. Wajo 1 44 17
249
18. Enrekang 1 27 9
19. Toraja 3 35 19
20. Toraja Utara 1 32 9
21. Palopo 2 134 28
22. Luwu 3 212 54
23. Luwu Utara 3 98 32
24. Luwu Timur 2 44 18
Total 78 3.050 940
*) diolah pada bulan Januari 2017 dari data Dinas Pendidikan Provinsi
Sulawesi Selatan (2016)
250
Lampiran 2
LEMBAR UJI LINGUISTIS
Nama Siswa = …………….. (inisial)
Kelas = ……………..
Sekolah = ……………..
Tanggal Pengujian = ……………..
1. Penyebutan Vokal
A i U o E
2. Penyebutan Konsonan
B c d F g H j
K l m N p Q r
S t v W x Y z
251
3. Penyebutan diftong (ai, au, oi)
surau kaloi limau
amboi landai pantai
4. Penyebutan Konsonan-Vokal
ka te si
ku to da
5. Penyebutan Vokal-Konsonan
uk ut om
il ik as
252
6. Penyebutan Vokal Rangkap
ai ia oe
ei ua iu
7. Penyebutan Gabungan Huruf Konsonan-Vokal-Konsonan
lap bor min
bir bar pis
8. Penyebutan Gabungan Kata Bervokal-Konsonan-Vokal
oto apa itu
iga ini aku
253
9. Penyebutan Kata Bervokal Rangkap
surau Balai pantau
lebai Pulau andai
10. Penyebutan Huruf Mirip
p – q m – n b – d
i – j u – w h – n
11. Penyebutan Gabungan Konsonan-Vokal / Vokal-Konsonan
malam rata bubuk
sayap susut tidur
254
12. Penyebutan Vokal – Nasal (bunyi sengau)
eng ung ang
ong ing Eng
13. Penyebutan Kata Bersuku Dua
lampu tuba gula
tolak suruh malas
14. Penyebutkan kata bersuku tiga
pahlawan kelereng menulis
terlanjur kecubung belanja
255
15. Penyebutan kata bersuku empat
kendaraan menantikan pedesaan
perhatian berkelana penulisan
16. Penyebutan Kata Bersuku Banyak
mempertanggungjawabkan berkesinambungan
diperjualbelikan mengatasnamakan
17. Membedakan Pasangan minimal 2 kata
malam malang makan makin
tahap tarap mencuci mencuri
256
cari ciri bungkuk bengkak
18. Membedakan pasangan minimal 3 kata
gantung ganteng gandeng
umur ukur ulur
bingkai bangkai tangkai
panjat pantat pangkat
19. Membaca kalimat
Ayah pergi ke kebun Bibi menyapu lantai
Adik bermain bola Kakak membakar rumput
257
Engkau boleh masuk Kita harus rajin
Aku sayang ibu dan ayah Saya pandai membaca
20. Membaca paragraf
1) Nama saya Wawan. 2) Setiap hari saya bangun pagi.
3) Sebelum ke sekolah saya mandi dan sarapan pagi.
4) Teman saya bernama Parman. 5) Setiap pagi dia mandi
sebelum ke sekolah. 6) Di sekolah saya belajar membaca
dan menulis. 7) Parman pintar membaca dan berhitung
8) Guru saya bernama Ibu Siti. 9) Dia sangat sayang kepada
saya, 10) karena saya pintar membaca
Deskripsi singkat keadaan subjek penelitian sebelum pengujian dimulai:
............................................................................................................................
............................................................................................................................
............................................................................................................................
............................................................................................................................
............................................................................................................................
............................................................................................................................
............................................................................................................................
............................................................................................................................
.............................................................................
Deskripsi keadaan subjek penelitian saat pengujian berlangsung:
258
............................................................................................................................
............................................................................................................................
............................................................................................................................
............................................................................................................................
............................................................................................................................
.................................
Berdasarkan Uji Linguistis, suspek disleksia dapat dirumuskan sebagai
berikut:
1. …………………………………………………………………………………
1. ………………………………………………………………………………..
2. ………………………………………………………………………………..
3. ………………………………………………………………………………..
4. ………………………………………………………………………………..
5. ………………………………………………………………………………..
6. ………………………………………………………………………………..
259
Lampiran 3
FORMAT RANGKUMAN HASIL UJI LINGUISTIS
No. Aspek yang Diamati / Diuji Terpantau
Keterangan
Sukses gagal
1. Penyebutan Vokal
2. Penyebutan Konsonan
3. Penyebutan diftong
4. Penyebutan gabungan
Konsonan-vokal
5. Penyebutan gabungan Vokal-
konsonan
6. Penyebutan gabungan vokal
rangkap
7. Penyebutan gabungan huruf
Konsonan-vokal-konsonan
8. Penyebutan gabungan kata
bervokal-konsonan-vokal
9. Penyebutan kata bervokal
rangkap
10. Penyebutan huruf mirip
11. Penyebutan gabungan
konsonan – vokal / vokal -
konsonan
260
12. Penyebutan gabungan diftong
– vocal / vokal - diftong
13. Penyebutan kata bersuku dua
14. Penyebutan kata bersuku tiga
15. Penyebutan kata bersuku
empat
16. Penyebutan kata bersuku
banyak
17. Membedakan pasangan
minimal dua kata
18. Membedakan pasangan
minimal tiga kata
19. Membaca Kalimat
20. Membaca Paragraf
261
Lampiran 4
LEMBAR UJI KLINIS
Nama Sisiwa = ................................ (disamarkan)
Kelas = …………………...…
Sekolah = ..................…………
Tempat pengujian = ………………………
A. Pemeriksaan THT (Pendengaran)
Tanggal Bagian yang
diperiksa
Hasil
Pemeriksaan
Keterangan
Simpulan pemeriksaan:
……………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………
………………………………………………………………
Dokter Pemeriksa,
-----------------------------
262
B. Mata
Tanggal Bagian yang
diperiksa
Hasil
Pemeriksaan
Keterangan
Simpulan pemeriksaan:
……………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………
…………………………………………
Dokter yang memeriksa,
-----------------------------
263
C. Saraf
I. Langkah dan Prosedur
1. Anak Suspek Disleksia (PSD) berada di klinik 20 menit sebelum
pemeriksaan klinis dimulai, dan diberitahu tindak klinik yang akan
dilakukan. Amat baik jika ia didampingi oleh orangtua.
2. PSD dalam kondisi sehat dan tidak dalam keadaan tegang, dan telah
dipastikan bahwa yang bersangkutan sudah makan.
3. PSD dan orangtua memperoleh penjelasan mengenai alat yang akan
digunakan dan alat tersebut aman bagi si PSD.
4. PSD dan orangtua memperoleh penjelasan bahwa pemeriksaan ini
berkaitan dengan penelitian.
5. Pemeriksaan kepada PSD dilakukan Dokter Neurologi dibantu oleh
Asisten Dokter Neurologi.
6. Semua biaya pemeriksaan ini ditanggung oleh peneliti.
II. Pelaksanaan Pemeriksaan
1. Dengan peralatan Computed Tomography Scan, PSD diminta berbaring /
duduk di tempat yang sudah disiapkan, asisten dokter memasang alat
dan memastikan peralatan siap beroperasi, dan pemeriksaan dimulai.
2. Pemeriksaan alat CT-Scan akan mendeteksi dan merekam aktivitas
(kondisi) otak PSD, mendeteksi bagian yang kemungkinan mengalami
gangguan yang mengakibatkan timbulnya disleksia.
3. Untuk kepentingan pemeriksaan, dokter memberi surat keterangan ke
sekolah / wali kelas masing-masing.
4. Pasien dan orangtuanya berhak mengetahui cara pemeriksaan, hasil
pemeriksaan dan hal-hal yang terkait dengan pemeriksaan ini.
264
5. Setelah data medik yang berkaitan wilayah Broca dan Wernicke terekam,
pemeriksaan dianggap selesai.
III. Pemeriksaan
Dalam pemeriksaan ini, dengan alat CT-Scan, akan terpantau
beberapa hal antara lain;
- ...............................
- ...............................
- ...............................
- ...............................
- ………………………
Hasil pemeriksaan ini akan menentukan apakah seseorang PSD
mengalami kelainan pada otak yang terkait dengan gangguan berbahasa
(disleksia) atau tidak. Bilamana PSD dinyatakan negatif suspek disleksia,
maka dikeluarkan dari populasi penelitian
IV. Hasil Pemeriksaan
Hasil pemeriksaan, sesuai prosedur, akan disampaikan setelah
divalidasi oleh Dokter Neurologi yang berkompeten. PSD (Pasien Suspek
Disleksia) dan keluarganya berhak mengetahui hasil pemeriksaan. Sebagai
contoh, perbandingan otak manusia yang menyandang disleksia dan otak
normal terlihat seperti di bawah ini:
265
Hasil pemeriksaan setiap PSD yang diperiksa dirinci sebagaimana
ditunjukkan dalam tabel sebelumnya.
Simpulan: …………………………………………………………….
Makassar, ……………………………..
Dokter yang Memeriksa,
------------------------------------------
266
Lampiran 5
FORMAT RANGKUMAN HASIL UJI KLINIS
No
.
Aspek yang Diamati Kondisi Klinis
Keterangan
1 2 3
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Keterangan:
1 = normal
2 = terganggu
3 = tidak terbaca
267
Lampiran 6
DAFTAR NAMA INFORMAN / GURU PEMBINA MURID DISLEKSIA
Informan 1
Nama Lengkap = Hj. Hasniar, S.Pd.
Umur = 53 tahun
Jenis Kelamin = Perempuan
Pekerjaan = Guru SLB Negeri Makassar.
Pengalaman Mengajar = 17 tahun
Pendidikan Terakhir = S1 UNM tahun 2004
Alamat = BTN Graha Kalegowa No. 8 Kabupaten Gowa
Informan 2
Nama Lengkap = St. Sulaiha A., S.Sos.
Umur = 52 tahun
Jenis Kelamin = Perempuan
Pekerjaan = Guru SLB Negeri Makassar
Pengalaman Mengajar = 24 tahun
Pendidikan Terakhir = S1
Alamat = Perumahan Berdikari Asri, Gowa
Informan 3
Nama Lengkap = Agustina, S.Pd.
Umur = 24 tahun
Jenis Kelamin = Perempuan
Pekerjaan = Guru SLB Negeri Makassar
Pengalaman Mengajar = 2 tahun
268
Pendidikan Terakhir = S1
Alamat = Jl. Prof. Dr. Ir. Sutami, Makassar
Informan 4
Nama Lengkap = Nurdaya, S.Pd.
Umur = 41 tahun
Jenis Kelamin = Perempuan
Pekerjaan = Guru SLB Negeri Makassar
Pengalaman Mengajar = 12 tahun
Pendidikan Terakhir = S1 PLB
Alamat = Vila Mutiara H17/20 Makassar
Informan 5
Nama Lengkap = Nurhadi, S.Pd.
Umur = 51 tahun
Jenis Kelamin = Perempuan
Pekerjaan = Guru SLB Makassar
Pengalaman Mengajar = 16 tahun
Pendidikan Terakhir = S1 PLB UNM
Alamat = Jl. Salodong Makassar
Informan 6
Nama Lengkap = Sumarni, S.Pd.
Umur = 47 tahun
Jenis Kelamin = Perempuan
Pekerjaan = Guru SLB Negeri Makassar
Pengalaman Mengajar = 15 tahun
Pendidikan Terakhir = S1 Pendidikan Luar Biasa UNM
Alamat = Jl. A.R. Dg. Ngunjung II No. 21 Makassar
269
Informan 7
Nama Lengkap = Erni, S.Pd.
Umur = 46 tahun
Jenis Kelamin = Perempuan
Pekerjaan = Guru SLB Negeri Makassar
Pengalaman Mengajar = 17 tahun
Pendidikan Terakhir = S1 IKIP Makassar 1990
Alamat = Jl. Datuk Patimang Lr. 2/7 Makassar
Informan 8
Nama Lengkap = Hajrah, S.Pd.
Umur = 47 tahun
Jenis Kelamin = Perempuan
Pekerjaan = Guru SLB (Tunagrahita) Negeri Makassar
Pengalaman Mengajar = 11 tahun
Pendidikan Terakhir = S1 Pendidikan Luar Biasa UNM
Alamat = Jl. Veteran Utara Lr. 41/8 Makassar
Informan 9
Nama Lengkap = Amrullah, S.Pd.
Umur = 46 tahun
Jenis Kelamin = Laki-laki
Pekerjaan = Guru SLB Negeri Makassar
Pengalaman Mengajar = 18 tahun
Pendidikan Terakhir = S1 Pendidikan Luar Biasa UNM
Alamat = BTN Maccopa Indah 6/26 Maros
270
Informan 10
Nama Lengkap = Dra. St. Fatimah
Umur = 47 tahun
Jenis Kelamin = Perempuan
Pekerjaan = Guru SLB Negeri Makassar
Pengalaman Mengajar = 10 tahun
Pendidikan Terakhir = S1 Pendidikan Luar Biasa UNM
Alamat = Bumi Sudiang Permai Blok K/136 D Makassar
Informan 11
Nama Lengkap = Nurjannah, S.Pd.
Umur = 48 tahun
Jenis Kelamin = Perempuan
Pekerjaan = Guru SLB Negeri Makassar
Pengalaman Mengajar = 22 tahun
Pendidikan Terakhir = S1 Pendidikan Luar Biasa UNM
Alamat = Jl. Prof. Dr. Ir. Sutami, Makassar
Informan 12
Nama Lengkap = Nalla, S.Pd.
Umur = 55 tahun
Jenis Kelamin = Laki-laki
Pekerjaan = Guru SLB Negeri Makassar
Pengalaman Mengajar = 24 tahun
Pendidikan Terakhir = S1 Pendidikan Luar Biasa UNM
Alamat = Jl. Salodong, Makassar
271
Lampiran 7
DAFTAR NAMA SISWA / MURID SUSPEK DISLEKSIA
No. Nama (disamarkan) Jenis Kelamin Umur Asal Sekolah
1. IK Pr 11
2. AN Lk 10
3. AD Lk 11
4. PR Pr 13
5. WY Lk 13
6. IJ Lk 14
7. MI Lk 17
8. SN Pr 14
9. NR Lk 14
10. EA Lk 14
11. SR Pr 9
12. NA Pr 13
13. RF Lk 10
14. AH Lk 13
15. SI Lk 15
16. WA Lk 14
17. YK Pr 9
272
18. LK Pr 9
19. AR Lk 8
20. HD Lk 9 Dikeluarkan karena
tidak ada izin
orangtua/wali
273
Lampiran 8
TABEL PENGHITUNGAN UJI LINGUISTIS
No. Aspek Uji Linguistis I II III
I. Penyebutan Huruf – Ñ (C/26)
1. Penyebutan Vokal 5 0,5 2,5
2. Penyebutan Konsonan 21 0,5 10.5
II. Penyebutan Vokal / Konsonan / Diftong /
Vokal Rangkap – Ñ (C/30)
3. Penyebutan Huruf Diftong (dua suku kata) 6 0,75 4,5
4. Penyebutan Konsonan – Vokal 6 0,75 4,5
5. Penyebutan Vokal – Konsonan 6 0,75 4,5
6. Penyebutan Vokal Rangkap 6 0,75 4,5
7. Penyebutan Gabungan Huruf Konsonan – Vokal –
Konsonan 6 0,75 4,5
III. Penyebutan Vokal Rangkap dan Huruf Mirip
– Ñ (C/18)
8. Penyebutan Bervokal – Konsonan – Vokal 6 0,75 4,5
9. Penyebutan Kata Bervokal Rangkap 6 0,75 4,5
10. penyebutan hurip mirip 6 0,75 4,5
IV. Penyebutan gabungan
vokal/konsonan/diftong – Ñ (C/12)
11. penyebutan gabungan konsonan/vokal –
vokal/konsonan 6 0,75 4,5
12. penyebutan gabungan diftong-vokal/vokal-diiftong 6 0,75 4,5
274
V. Penyebutan kata bersuku dua hingga
bersuku banyak – Ñ (C/22)
13. penyebutan kata bersuku dua 6 0,75 4,5
14. penyebutan kata bersuku tiga 6 0,75 4,5
15. penyebutan kata bersuku empat 6 0,75 4,5
16. penyebutan kata bersuku banyak 4 1 4
VI. Penyebutan Membedakan Pasangan
Minimal – Ñ (C/22)
17. Membedakan Pasangan Minimal Dua Kata 6 0,75 4,5
18. Membedakan Pasangan Minimal Tiga Kata 4 1 4
VII. Penyebutan dalam Membaca Kalimat /
Paragraf – Ñ (C/18)
19. Membaca Kalimat 8 0,75 6
20. Membaca Paragraf 10 1 10
136 100
Keterangan:
I. jumlah pertanyaan
II. nilai setiap pertanyaan
III. nilai ideal setiap kelompok pertanyaan
275
Lampiran 9
PERMOHONAN IZIN DAN PERSETUJUAN ORANGTUA / WALI MURID
Kepada yang terhormat,
Bapak / Ibu / Orangtua / Wali Murid
a.n. .................................................
di Tempat
Dengan hormat,
Bersama ini saya sampaikan bahwa saya sedang melaksanakan penelitian
tentang anak disleksia untuk penelitian disertasi. Penelitian ini dilaksanakan
setelah memperoleh izin dari pemerintah Sulawesi Selatan dan telah
mendapat persetuan dari pihak sekolah.
Perlu saya sampaikan bahwa murid atas nama ............................... telah
terpilih menjadi salah satu sampel pengambilan data saya. Pengambilan data
akan dilakukan melalui uji linguistis dan uji klinis. Semua biaya ditanggung
oleh peneliti.
Untuk itu, saya mohon perkenan Bapak / Ibu / Orangtua / Wali Murid untuk
menandatangani surat kesediaan terlampir sekaligus menjawab beberapa
pertanyaan terlampir.
Atas perhatian dan kesediaan Bapak / Ibu, saya sampaikan terima kasih.
Makassar, ...............................
Peneliti,
H. Tammasse Balla
Tembusan:
1. Kepala SLB Negeri / Swasta di .........
2. Guru Wali Kelas ................
3. Guru BP
276
Lampiran 10
SURAT TANDA PERSETUJUAN ORANGTUA / WALI
Yang bertanda tangan di bawah ini
Nama : .....................................................
Orangtua / Wali Murid : a.n. ...............................................
Alamat : .....................................................
Jawaban pertanyaan sebagai berikut:
1. Apakah Anda atau istri Anda adalah penyandang Disleksia? [ ] ya [ ] tidak
2. Apakah Anda pernah berkonsultasi dengan psikolog? [ ] ya [ ] tidak
3. Apakah menyekolahkan anak Anda di SLB atas inisiatif sendiri? Jika tidak,
atas inisiatif siapa (sebutkan!) ..................................................................
Dengan ini menyatakan bersedia / tidak bersedia*) menjadi salah seorang
sampel pengambilan data penelitian isleksia yang dilaksanakan oleh peneliti.
Demikian Surat Tanda Persetujuan ini untuk digunakan sebagaimana
mestinya.
Makassar, ...........................
.........................................
*)coret yang tidak perlu
277
Lampiran 11
SURAT PERNYATAAN KESEDIAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini menerangkan
Nama : H. Tammasse Balla
Pekerjaan : Mahasiswa Program S3 Ilmu Linguistik,
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin
benar telah menyampaikan permohonan untuk melakukan Uji Klinis pada
Inggit Medical Center (IMC) Makassar untuk kepentingan penelitian. Sebelum
pengujian dilakukan, yang bersangkutan diwajibkan menunjukkan Surat Etik
dari yang berwewenang dan hasil pengujian ini semata-mata digunakan
untuk keperluan penelitian dimaksud.
Makassar, …………………
...................................
278
Lampiran 12
SURAT KETERANGAN PENGGUNAAN UJI LINGUISTIS
SURAT KETERANGAN
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : ……………………
Pekerjaan : ……………………
Keahlian : ……………………
Setelah membaca uji linguistik yang akan digunakan oleh Sdr.
Tammasse Balla dalam pengambilan data penelitian disleksia untuk
penelitian disertasi, menurut penilaian saya, materi uji linguistik tersebut
sudah memenuhi standar dan cukup layak untuk kepentingan dimaksud.
……………………………..
………………………………………..
279
Lampiran 13
KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
KAMPUS TAMALANREA
JALAN PERINTIS KEMERDEKAAN KM 10 MAKASSAR 90245
TELEPON (0411) 686200 (6 SALURAN ) 584002 FAX 90411) 586188
SURAT KETERANGAN
Yang bertanda tangan di bawah menerangkan bahwa:
Nama : Tammasse Balla
Pekerjaan : Dosen FIB Univ. Hasanuddin yang sedang meneliti masalah disleksia sebagai bagian dari penelitian untuk disertasi pada Pascasarjana S3 Ilmu Linguistik FIB Universitas Hasanuddin
untuk melengkapi penelitiannya, berupa terapi disleksia, yang bersangkutan menggunakan alat terapi LexiPal. Menurut penilaian saya, alat tersebut layak digunakan untuk menstimulasi perbaikan disleksia berdasarkan hasil uji linguistik.
Demikian surat keterangan ini diberikan kepada yang bersangkutan untuk di-gunakan sebagaimana mestinya.
Makassar, 2 Mei 2017
Dr. H. Johan Aras, S.Fisio, M.Si.
280
Lampiran 14
MATERI TERAPI
Tampilan Halaman Home Aplikasi LexiPal
Tampilan Menu Database Anak
281
Menu Siswa Termasuk Foto Profil Siswa
Menu Edit Data Siswa
282
Menu Hapus Data Siswa
Menu Jadwal Belajar Semua Anak
283
Menu Informasi Aplikasi LexiPal
Menu Media Belajar
284
1. Kategori Bentuk dan Pola
a. Menggambar Garis
285
Belajar menelusuri garis titik-titik lurus, dimulai dari gambar monyet
sampai ke pisang.
286
287
b. Media belajar menelusuri jalan dari titik asal ke tempat tujuan
288
289
290
c. Menelusuri Garis
291
292
d. Menggambar Bentuk
293
294
e. Mencocokkan bentuk
295
f. Memahami Pola
296
Mencocokkan Urutan Benda Berdasarkan Warnanya
Mencocokkan Urutan Benda Berdasarkan Bentuknya yang Berbeda
297
Mencocokkan Urutan Benda Berdasarkan Gambar yang Berbeda
Mencocokkan Urutan Benda Berdasarkan Gambar yang Serupa
298
g. Evaluasi Bentuk dan Pola
Pilih Persegi
299
2. Kategori Persamaan, Perbedaan, dan Perbandingan
a. Visual Matching
300
Memilih Bayangan Sama
b. Perbedaan Gambar
Tingkat Pemula
301
Tingkat Mahir
302
c. Media belajar mana yang lebih berat?
Pertanyaan: Mana hewan yang lebih berat?
303
Jika jawaban salah
Jika jawaban benar, siswa mendapatkan bintang (*)
304
Tingkat Mahir
305
d. Membandingkan Benda
Jenis Perbandingan Komparatif atau Lebih
- Tinggi-Rendah
306
- Panjang – Pendek
- Banyak - Sedikit
307
- Berat - Ringan
- Cepat - Lambat
308
- Tebal – Tipis
- Dalam – Dangkal
309
- Besar – Kecil
Jenis Perbandingan Superlatif atau Paling
- Tinggi – Rendah
310
- Panjang – Pendek
- Banyak – Sedikit
311
- Berat – Ringan
- Cepat – Lambat
312
- Tebal – Tipis
- Dalam – Dangkal
313
- Besar – Kecil
e. Mengurutkan Ukuran Benda
- Tinggi – Rendah
314
- Panjang – pendek
315
- Banyak - Sedikit
- Berat – Ringan
316
- Cepat - Lambat
- Tebal - Tipis
317
- Dalam – Dangkal
- Besar – Kecil
318
f. Evaluasi Persamaan, Perbedaan, dan Perbandingan
3. Media Belajar Kategori Ingatan Jangka Pendek
a. Tebak Gambar Hilang
319
- Bentuk Dasar
320
- Gambar Hewan
321
Gambar Buah
322
Alat Transportasi
323
b. Bagian yang Hilang
Wajah
324
Kasur
325
Rumah
326
Pesawat
327
Lompat Katak
328
Evaluasi Media Belajar Ingatan Jangka Pendek
329
330
4. Media Belajar Asosiasi Objek
Pasangan Benda / Sky Matching
331
a. Kelompok Benda
- Pemula
332
- Mahir: Alat-alat
333
Mahir: Hewan
Mahir: Kendaraan
334
b. Evaluasi Asosiasi Objek
Memasangkan Benda-benda
335
5. Persepsi Arah
a. Mengejar Kucing
336
(error)
a. Menepuk Nyamuk
(error)
b. Mobilku
(error)
337
c. Bola Berwarna
(error)
d. Sebelum dan Sesudah
(error)
338
e. Kucing Sembunyi
(error)
6. Urutan Aktivitas
a. Bagaimana Caranya
339
Membersihkan Kamar tidur
340
341
Mencuci Muka
342
343
Mencuci Tangan
344
Menyikat Gigi
345
346
Mandi
347
348
a. Mengurutkan Aktivitas
Menyapu Halaman Rumah
349
b. Evaluasi Mengurutkan Aktivitas yang Hilang
350
7. Pemahaman Tempat
a. Mengenal Lokasi
Dimana benda ini seharusnya ada?
351
a. Lokasi, Benda, dan Aktivitas
Benda apa yang ada di ruang makan? Digunakan apa benda tersebut?
352
a. Evaluasi Pemahaman Tempat
Di mana benda ini seharusnya ada?
8. Konsep waktu
353
a. Hariku
Membuat Alur Kegiatan Sehari-hari
354
Memasukkan Foto Lain dari Komputer Kita
b. Mengenal Waktu
Pilih Hari dan Waktu
355
c. Mengenal Jam
Mengenal Bagian-bagian Jam
356
d. Mengenal Nama-nama Bulan
- Belajar Nama-nama Bulan
- Latihan
357
Menyusun nama-nama bulan sesuai urutannya
e. Evaluasi Konsep Waktu
Memilih nama hari yang hilang
358
9. Keterampilan Sosial
359
360
361
362
Lampiran 15
Seminar Proposal Penelitian Disertasi, 20 Februari 2017
363
364
365
Ujian Hasil Penelitian Disertasi, 29 Januari 2018
366
367
368
Ujian Prapromosi (Tutup), 12 Februari 2018
369
370
Ujian Promosi Doktor, 20 Februari 2018, pk. 10.00-13.00 WITA di Aula
Mattulada FIB Unhas
371
372
373
374
375
Studi Banding ke Dyslexia Corner Surabaya
Kunjungan ke Dyslexia Corner di Surabaya
Peninjauan Aplikasi LexiPal yang ada di Dyslexia Corner Surabaya
376
Studi Banding ke Dyslexia Corner Surabaya
Penjelasan oleh Petugas Disleksia Corner Surabaya
Penjelasan oleh Petugas Disleksia Corner Surabaya
377
Studi Banding I
@Pusat Dyslexia Malaysia, Jl. Ampang Raya, KL, Malalysia
Bersama dengan Presiden Direktur Pusat Disleksia Malaysia
Hasil Karya Anak Penyandang Disleksia Malaysia
378
Studi Banding I di Pusat Dyslexia Malaysia
Informasi Mengenai Disleksia yang ada di Pusat Disleksia Malaysia
Hasil Karya Anak Penyandang DDisleksia yang ada di
Pusat Disleksia Malaysia
379
Pengarahan kepada Guru yang Menangani Disleksia
Pengarahan kepada Guru yang Menangani Anak Penyandang Disleksia
Pengarahan kepada Guru yang Menangani Anak Penyandang Disleksia
380
Pengarahan Kepada Guru yang Menangani Disleksia
Pemberian Penjelasan Mengenai Disleksia
Pemberian Penjelasan Mengenai Disleksia
381
Pelatihan LexiPal
Pelatihan LexiPal kepada Guru yang
Menangani Anak Penyandang Disleksia
Pelatihan LexiPal kepada Guru yang Menangani Anak Penyandang Disleksia
382
Pelatihan LexiPal
Pelatihan LexiPal kepada Guru yang
Menangani Anak Penyandang Disleksia
Pelatihan LexiPal kepada Guru yang Menangani Anak Penyandang Disleksia
383
Peneliti bersama Anak-anak Penyandang Disleksia
Anak-anak Suspek Penyandang Disleksia
Suasana Belajar Anak-anak Suspek Penyandang Disleksia di kelas
384
Anak-anak Penyandang Disleksia
Pemantauan Kondisi Anak Penyandang Disleksia
Pemantauan Kondisi Anak Penyandang Disleksia
385
Pelaksanaan Uji Klinis dengan CT Scan di IMC
Pelaksanaan Uji Klinis terhadap Anak Penyandang Disleksia
Pelaksanaan Uji Klinis terhadap Anak Penyandang Disleksia
386
Pelaksanaan Uji Klinis
Pelaksanaan Uji Klinis terhadap Anak Penyandang Disleksia
Pelaksanaan Uji Klinis didampingi oleh Guru
387
Pelaksanaan Terapi LexiPal terhadap Anak Penyandang Disleksia
Pelaksanaan Terapi LexiPal terhadap Anak Penyandang Disleksia
388
Terapi Tahap I
Pelaksanaan Terapi LexiPal terhadap Anak Penyandang Disleksia
Pelaksanaan Terapi LexiPal terhadap Anak Penyandang Disleksia
389
Terapi Tahap II
Pelaksanaan Terapi Lanjutan terhadap Anak Penyandang Disleksia
Pelaksanaan Terapi Lanjutan terhadap Anak Penyandang Disleksia
390
Terapi Tahap II
Pelaksanaan Terapi Lanjutan terhadap Anak Penyandang Disleksia
Pelaksanaan Terapi Lanjutan terhadap Anak Penyandang Disleksia
391
Studi Banding II di Pusat Disleksia Malaysia
Kunjungan ke Pusat Disleksia di Malaysia (Kunjungan II)
Peninjauan Hasil Karya Anak Penyandang Disleksia di Pusat Disleksia
Malaysia
392
Studi Banding II di Pusat Disleksia Malaysia
Hasil Karya Anak Penyandang Disleksia
Hasil Karya Anak Penyandang Disleksia
393
Lampiran 16
Keterangan Etik Penelitian
394
Lampiran 17
Surat Izin Penelitian
395
Lampiran 18
INISIALISASI NAMA RESPONDEN
No Nama Responden Diinisialkan Keterangan
1 I*a IK
2 Ar*y N AN
3 A*ria*i AD
4 P*t*i PR
5 W*h*u WY
6 In*ra Ja*a IJ
7 Mu*. Il*am MI
8 Sa*r*a*a SN
9 Na**ir NR
10 E*lang*a A*a*da EA
11 S*na* SR
12 N**la NA
13 R*f*y RF
14 Ab*ul*ah AH
15 Sul**kar Im*m M SI
16 Wa**u A**ad F WA
17 Ayl* K**ih YK
18 Aly* K**ih LK
19 A**ad R**ad*n AR
20 H*m*d HD
396
Lampiran 19
SISTEM IDENTIFIKASI DINI DISLEKSIA
(SKRINING AWAL DISLEKSIA)
----------------------------------------------------------------------------------------------------
(SIDD/SAD ini telah diajukan menjadi paten
dengan nomor pendaftaran paten: P00201602435)
Perhatikan, apakah masalah di bawah ini terjadi pada ananda?
1. Ananda baru bisa bicara 2 (dua) kata pada usia 2 tahun.
O Ya
O Tidak
O Tidah Tahu
2. Kata-kata yang diucapkan dapat dipahami oleh orang yang baru dikenal.
O Tidak
O Ya
O Tidak Tahu
3. Sering salah artikulasi / pengucapan kata. Contoh: "Telor" jadi "Teror",
"Pesawat" jadi
Tesawap", "Kloset" jadi "Klesot".
O Ya
O Tidak
O Tidak Tahu
397
4. Tertukar dalam menyebutkan huruf yang bunyinya mirip.
O Ya
O Tidak
O Tidak Tahu
5. Kesulitan menceritakan kembali cerita yang didengar sebelumnya atau
tidak mampu
bercerita dengan runtut.
O Ya
O Tidak
O Tidak Tahu
6. Menggunakan istilah yang tidak tepat saat mengungkapkan sesuatu.
Contoh: "Jangan berenang di kolam yang tebal", maksudnya "Jangan
berenang di kolam yang dalam", "Guruku orangnya panjang", maksudnya:
"Guruku orangnya tinggi".
O Ya
O Tidak
O Tidak Tahu
7. Tertukar dalam menuliskan huruf dan atau angka yang bentuknya mirip.
Misalkan /b/ dituliskan /d/, /p/ dituliskan /q/.
O Ya
O Tidak
O Tidak Tahu
8. Kesulitan membedakan bentuk huruf yang mirip. Misalnya: /b/ tertukar
dengan /d/, /p/ tertukar dengan /q/.
O Ya
398
O Tidak
O Tidak Tahu
9. Kesulitan mengeja huruf dengan tepat.
O Ya
O Tidak
O Tidak Tahu
10. Kesulitan menyalin tulisan dari buku atau papan tulis.
O Ya
O Tidak
O Tidak Tahu
11. Mudah frustrasi jika mengalami kesulitan belajar, misalnya: menangis,
menarik diri, marah-marah, menyendiri.
O Ya
O Tidak
O Tidak Tahu
12. Takut ke sekolah.
O Ya
O Tidak
O Tidak Tahu
13. Kesulitan memahami konsep "lebih banyak" dan "lebih sedikit"
O Ya
O Tidak
O Tidak Tahu
399
14. Kesulitan menyebutkan huruf sesuai urutan alfabet a-z
O Ya
O Tidak
O Tidak Tahu
15. Kesulitan menyebutkan urutan angka dari 1 sampai dengan 10.
O Ya
O Tidak
O Tidak Tahu
16. Tertukar dalam menunjukkan arah.
Misal: tertukar menunjukkan mana tangan kanan dan kiri, mana arah depan
dan belakang, mana atas dan bawah.
O Ya
O Tidak
O Tidak Tahu
17. Lupa nama orang-orang sekitar (misalnya: nama teman atau nama guru)
O Ya
O Tidak
O Tidak Tahu
18. Kesulitan mengingat instruksi panjang (lebih dari 2 (dua) instruksi).
"Simpan tas di kamarmu di lantai atas, ganti pakaian, cuci kaki, dan tangan!"
O Ya
O Tidak
O Tidak Tahu
400
19. Tampil ceroboh dan grasa grusu. Contohnya sering menabrak, sering
terjatuh, dan menjatuhkan barang.
O Ya
O Tidak
O Tidak Tahu
20. Ibu memiliki ciri-ciri seperti pertanyaan yang disebutkan sebelumnya.
O Ya
O Tidak
O Tidak Tahu
21. Ayah memiliki ciri-ciri seperti pernyataan yang disebutkan sebelumnya.
O Ya
O Tidak
O Tidak Tahu
===========================================================
Hasil Main Screening
Skor Total : .........................
dari Skor Maksimal: 148
BIODATA
Nama Anak : .........................
Tgl. Skrining Awal : .........................
Jenis Kelamin : .........................
Tanggal Lahir : ..........................
Usia : ..........................
401
Kelas : ..........................
Orangtua : ..........................
Kode Anak : ..........................
402
LAMPIRAN 20
RIWAYAT HIDUP PENELITI
I. IDENTITAS DIRI :
a. Nama : Dr. H. Tammasse Balla, M.Hum.
b. NIP / NIDN : 19660825 199103 1 004 / 0025086601
c. Jenis Kelamin : Laki-laki
d. Tempat / Tgl. Lahir : Pacongkang, Soppeng, 25 Agustus 1966
e. Agama : Islam
f. Pekerjaan Dosen Departemen Sastra Indonesia,
Fakultas Ilmu Budaya, UNHAS
403
g. Jabatan Akademik : Lektor Kepala / Gol. IV
h. Bidang Kepakaran : Neuropsikolinguistik
i. Mata Kuliah
di FIB Unhas : - Bahasa Indonesia (MKDU)
(sedang dan pernah - Bahasa Indonesia 2*
diampu*) - Bahasa dan Media
- Retorika*
- Bahasa Indonesia Akademik
- Kemahiran Menyimak Bahasa Indonesia*
- Korespondensi Bahasa Indonesia*
- Morfologi Bahasa Indonesia*
- Sintaksis Bahasa Indonesia*
- Sosiolinguistik*
- Linguistik Bandingan Nusantara /
Linguistik Bandingan Historis
- Pengantar Metode Penelitian
- Metode Penelitian Linguistik
- Dialektologi
j. Alamat Rumah : Perumahan BTP Blok I No. 33,
Jl. Tamalanrea Raya – Makassar 90245
k. Telepon / HP : (0411) 584415 / 0821 888 333 66
l. E-Mail : [email protected]. / [email protected]
m. Whatsapp : 082188833366
n. Line : 082188833366
404
o. FB : Haji Tammasse Balla
p. Jabatan :
2012 – 2014 : Sekretaris Departemen Sastra Indonesia
2010 – Sekarang : Sekretaris BIPA (Bahasa Indonesia bagi
Penutur Asing) FIB Universitas Hasanuddin
2016 – Sekarang : Kepala Penerbitan FIB Press Unhas
1999 – Sekarang : Direktur Inggit Medical Centre (IMC) BTP
2017 – Sekarang : Direktur IMD Photo Studio BTP
II. KELUARGA
Orangtua :
Ayah : H. Balla (almarhum)
Ibu : Hj. Asia Balla (almarhumah)
Saudara : I. Hj. Nurbah Balla, S.Pd. (adik)
(Guru SLTP Negeri 1 Soppeng)
II. Nur Asibah Balla, S.Pd., M.Pd. (adik) (Guru SLTA Negeri 2 Wajo / Wakasek)
Istri : Dr. dr. Hj. Jumraini Tammasse, S.Ked., Sp.S.
- Sekretaris Departemen Neurologi FKUH
- Sekretaris Penjaminan Mutu FKUH
- Ketua Umum PERDOSSI (Persatuan Dokter
Spesialis Saraf Indonesa), SULSEL
Anak : I. Iin Fadhilah Utami Tammasse, S.Ked.
(Dokter Muda di RSP Unhas / RSWS)
II. Gita Fitri Aidini Tammasse
(IGCSE 2, EF, Torquay UK (Inggris)
405
III. RIWAYAT PENDIDIKAN
1973-1979
1979-1983
1983-1985
1985-1989
1996-1998
2014-2018
:
:
:
::
:
:
SD Negeri 91 Pacongkang, Kabupaten Soppeng
SMP Negeri Pacongkang, Kabupaten Soppeng
SMA Negeri Cangadi (Jurusan IPA), Kabupaten Soppeng
S1: Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin
S2: Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung,
BKU (Bidang Kajian Utama) Linguistik Terapan
S3: Program Ilmu Linguistik FIB Universitas Hasanuddin
IV. ORGANISASI PROFESI / KEMASYARAKATAN
1. IKA Fakultas Sastra 2014 – 2019, Pembina
2. Forum Komunikasi BTP, 2014-2019, Pengurus
3. KKS, 2015-2019, Pengurus
4. Ketua PB (Persatuan Bulutangkis) Sastra Unhas, 1991-2015
5. International Herbalife Association, 1999 – 2015, Anggota
6. Komunitas Pemerhati Gangguan Berbahasa pada Anak (Makassar) 2014
– sekarang, Ketua
7. Komunitas “Inggit Brain Gym”, Makassar, 2015 – Sekarang, Ketua
V. KARYA ILMIAH / PENELITIAN / BUKU
1. “Konstruksi Aktif-Pasif Bahasa Indonesia dan Bahasa Bugis:
Suatu Studi Komparatif”, 1989, Skripsi S1, Universitas Hasanuddin
(di bawah bimbingan: Drs. Arifin Usman dan Dra. Berhana Menggang
Lussa)
406
2. “Interferensi Morfologis Bahasa Bugis terhadap Penggunaan
Bahasa Indonesia Tulis Murid-murid SD di Kabupaten Soppeng”,
2000, Tesis S2, Universitas Padjadjaran Bandung (di bawah
bimbingan: Prof. Dr. Hj. T. Fatimah Djajasudarma, M.A., Prof. Dr.
Moch. Tajuddin, M.A., dan Dr. Cece Sobarna, M.Hum.)
3. “Model Terapi Linguistik “Kinect-Based Dyslexia Therapy”
terhadap Anak Penyandang Disleksia di Sulawesi Selatan: Kajian
Neuropsikolingustik”, 2018, Disertasi S3, Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Hasanuddin (di bawah bimbingan: Prof. Dr. Abdul Hakim
Yassi, Dipl. TESL, M.A., Dr. dr. Hj. Jumraini Tammasse, S.Ked., Sp.S.,
dan Dr. Ikhwan M. Said, M.Hum.)
4. “Gangguan Berbahasa Disleksia: Suatu Perkenalan Awal”
(Prosiding) Atma - UKM, Langkawi Malaysia, (Pemakalah bersama Dr.
dr. Jumraini T., S.Ked., Sp.S.), 2015
5. Epilepsi Klinis (Penulis Dr. dr. Jumraini T., S.Ked., Sp.S. / Editor),
Masagena Press, 2016
5. Buku Kumpulan Puisi Suara Kata (Penulis), Unhas Press, 2017
6. Merangkul Salju di Negeri Mimpi (Penulis Iin Tammasse / Editor
bersama M. Dahlan Abubakar), Identitas Unhas, 2017
8. Mahasiswa Tanpa Batas (Penulis Iin Tammasse, dkk. / Editor
bersama M. Dahlan Abubakar), FIB Press, 2017
9. “Dyslexia Speech Problems: A Neurolinguistic Perspective”, ELS
Annual Seminar, 2016, ELS FIB Unhas (Pemakalah)
10. “Relationship Between Language and Thought”, (Proceeding) ELS
Annual Seminar, 2017, ELS FIB Unhas (Pemakalah)
11. “Brain and Language Relationships”, (Proceeding) ELS Annual
Seminar, 2017, ELS FIB Unhas (Pemakalah bersama dr. Jumraini)
12. Anak Disleksia: Intan yang Belum Digosok (Penulis, buku ini
sedang dalam proses penyelesaian), 2017
407
13. LexiPal Therapy in Rehabilitating Learning Difficultly of Dyslexic
Children, International Journal on Interdisciplinary Research, 2017
14. “Konstruksi Bahasa-bahasa di Pulau Rote”, 1998, Hasil Penelitian,
Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung
15. “Kehematan Penggunaan Kalimat”, Hasil Penelitian Mandiri,
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin, 2017
16. “Cintaku di Kampus Merah: Novel Otobiografi”, (Penulis, buku ini
sedang dalam proses penyuntingan), 2017
17. Buku Kumpulan Puisi “Catatan Hati” (Penulis), FIB Press Unhas,
(proses penyuntingan), 2018
VI. KEGIATAN PENGABDIAN PADA MASYARAKAT
1. Sosialisasi Tanaman Obat di Pallawa Kec. TellulimpoE, Kabupaten
Bone, 2013.
2. Korespondensi Bahasa Indonesia pada Kelompok Guru Kecamatan
Leppangeng Kab. Bone, 2011.
3. Program Sosialisasi Fakultas Sastra Unhas, di Kabupaten Pangkep,
2013.
4. Kunjungan Panti Asuhan Al-Fitrah dalam Rangka Dies Natalis FIB
Unhas ke 54, Makassar, 2014.
5. Tutor Senam Otak Massal dalam rangka HUT RI ke 70, di BTP
Makassar, 2015.
6. Tim Bedah Buku dan Talkshow “Motivator Pengembangan Diri untuk
Siswa SMU bersama Iin Fadhilah Utami Tammasse, di SMU Negeri 1
Liliriaja Kabupaten Soppeng, 2016.
7. Pelatihan Penanganan Anak Suspek Disleksia di Kota Makassar, (Ketua
Tim Pengabdi). LP2M (Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada
Masyarakat) Universitas Hasanuddin, 2017
408
8. Pelatihan Penulisan Jurnal Ilmiah Terindeks Scopus bagi PTN-PTS di
Kota Watampone (Anggota Tim) LP2M (Lembaga Penelitian dan
Pengabdian pada Masyarakat) Universitas Hasanuddin, 2017
VII. KUNJUNGAN ILMIAH INTERNASIONAL
1. On Neurolinguistics Summit, (Visiting Scholar), Geneva, Switzerland,
2010.
2. Visiting Scholar, Roma, Italy, 2010
3. On Neurolinguistics Summit, (Visiting Scholar), Hongkong, 2010.
4. Library Research, Melbourne, 2011
5. On Neurolinguistics Summit, (Visiting Scholar), Sidney, 2011.
6. Library Research, Seoul, South Korea, 2011
7. On Neurolinguistics Summit, (Visiting Scholar), Macao, China, 2012
8. Library Research, Kualalumpur, Malaysia, 2014
9. Library Research, Hong Kong, 2014
10. Library Visit, Seameo – RELC Singapore, 2014.
11. Pertemuan Ilmiah Peneliti Disleksia, Thailand 2014
12. Anggota Delegasi FIB Unhas pada pertemuan kerjasama FIB-Unhas
dengan The School of Humanity, Nanchang University China, 2015
13. Library Research, Boston, USA, 2015
14. Library Research, Washington DC, 2015
15. Library Research, New York, 2015
16. Library Research, London, 2016
17. Library Research, Torquay, South England, 2016
18. Library Research, Amsterdam, Netherland, 2016
19. Library Research, Groningen, Netherland, 2016
20. Library Research, Ampang, Kualalumpur, 2017
409