67
MODUL I SISTEM TERAPEUTIK “TATALAKSANA DIABETES” Skenario 2 Kelompok 4 Tutor : Dr. dr. Sitti Airiza Jenie, Sp.S(K) Ketua : Virni Tiana Aprielis (2013730186) Sekretaris : Sally Novrani Puteri (2013730174) Anggota : Badai Ardyana Arimbi P. (2013730129) Carissa Gayatri Putri (2013730131) Dias Rahmawati Wijaya (2013730134) Dyoza Ashara Cinnamon (2013730139) Fikri Akbar Alfarizi (2013730143) Lisa Nopiyanti (2013730149) Nina Amelinda (2013730162) Shandy Seta Dwi Tama (2013730177) Tasya Sabrina Chairunnisa (2013730183) Program Studi Pendidikan Dokter

Modul 1 Sistem Terapeutik

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Modul 1 Sistem Terapeutik

MODUL I SISTEM TERAPEUTIK

“TATALAKSANA DIABETES”

Skenario 2

Kelompok 4

Tutor : Dr. dr. Sitti Airiza Jenie, Sp.S(K)

Ketua : Virni Tiana Aprielis (2013730186)

Sekretaris : Sally Novrani Puteri (2013730174)

Anggota : Badai Ardyana Arimbi P. (2013730129)

Carissa Gayatri Putri (2013730131)

Dias Rahmawati Wijaya (2013730134)

Dyoza Ashara Cinnamon (2013730139)

Fikri Akbar Alfarizi (2013730143)

Lisa Nopiyanti (2013730149)

Nina Amelinda (2013730162)

Shandy Seta Dwi Tama (2013730177)

Tasya Sabrina Chairunnisa (2013730183)

Program Studi Pendidikan Dokter

Fakultas Kedokteran dan Kesehatan

Universitas Muhammadiyah Jakarta

Mei 2016

Page 2: Modul 1 Sistem Terapeutik

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb

Puji syukur Alhamdulillah, atas berkah Rahmah Hidayah-Nya kami dapat

menyelesaikan laporan modul ini. Laporan ini dibuat untuk memenuhi tugas PBL Modul I

Terapeutik kami yaitu “Tatalaksana Diabetes”. Tugas ini ialah hasil diskusi dari semua

anggota kelompok 4.

Terimakasih kami ucapkan kepada tutor kami yaitu Dr. dr. Sitti Airiza Jenie, Sp.S(K)

yang telah membimbing kelompok kami sehingga dapat melakukan diskusi dengan baik. Juga

untuk penulis dan penerbit dari buku yang kami jadikan referensi.

Kami menyadari dalam pembuatan laporan ini masih banyak kekurangannya, oleh

karena itu kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan demi perbaikan dan

penyempurnaan tugas ini kedepannya.

Semoga hasil analisis di laporan ini dapat berguna dan dimanfaatkan sebaik-baiknya.

Wassalamualaikum wr.wb

Jakarta, 17 Mei 2016

i

Page 3: Modul 1 Sistem Terapeutik

Kelompok 4

ii

Page 4: Modul 1 Sistem Terapeutik

DAFTAR ISI

Kata pengantar..............................................................................................................................i

Daftar Isi.......................................................................................................................................ii

BAB I (Pendahuluan)....................................................................................................................1

Latar Belakang..............................................................................................................................1

Sasaran Pembelajaran....................................................................................................................1

Proses Pemecahan Masalah..........................................................................................................2

Skenario..............................................................................................................................2

Data Tambahan...................................................................................................................2

Kata/Kalimat Sulit..............................................................................................................2

Kata/Kalimat Kunci............................................................................................................2

Mind Map...........................................................................................................................3

Pertanyaan..........................................................................................................................4

BAB II (Pembahasan)...................................................................................................................5

BAB III (Kesimpulan)..................................................................................................................

Daftar Pustaka...............................................................................................................................

iii

Page 5: Modul 1 Sistem Terapeutik

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Tujuan utama terapi diabetes mellitus tipe II adalah mencoba menormalkan aktivitas insulin dan kadar glukosa darah dalam upaya untuk mengurangi terjadinya komplikasi vaskuler neuropatik. Tujuan terapeutik pada setiap tipe diabetes mellitus adalah mencapai kadar glukosa darah normal tanpa terjadinya hipoglikemia dan gangguan serius pada pola aktivitas pasien.

Ada lima komponen dalam penatalaksanaan diabetes mellitus, yaitu yang pertama diet dan pengendalian berat badan yang merupakan dasar dari penatalaksanaan diabetes, kedua latihan, latihan ini sangat penting dalam penatalaksanaan diabetes karena efeknya dapat menurunkan kadar glukosa darah dan mengurangi faktor risiko kardiovaskular, latihan ini akan menurunkan kadar glukosa darah dengan meningkatkan pengambilan glukosa oleh otot dan memperbaiki pemakaian insulin. Ketiga terapi farmakologi yaitu dengan obat hipoglikemik oral (OHO), pada diabetes tipe II insulin mungkin diperlukan sebagai terapi jangka panjang untuk mengendalikan kadar glukosa darah jika diet dan obat hipoglikemik oral tidak berhasil mengontrolnya. Dan yang kelima adalah pendidikan kesehatan, karena diabtes mellitus merupakan sakit kronis yang memerlukan perilaku penanganan mandiri seumur hidup, pasien bukan hanya belajar keterampilan untuk merawat diri sendiri guna menghindari penurunan atau kenaikan kadar glukosa darah yang mendadak, tetapi juga harus memiliki perilaku preventif dalam gaya hidup untuk menghindari komplikasi jangka panjang yang dapat ditimbulkan dari penyakit diabetes mellitus.

1.2. Sasaran Belajar

Setelah selesai mengikuti modul ini diharapkan mahasiswa dapat mengetahui terapi terkini dalam mengontrol hiperglikemia dan memantau A1c yang penting untuk tatalaksana diabetes tipe 2 dan meningkatkan kondisi kesehatan pasien sesuai dengan langkah-langkah sebagai berikut :

1. Menjelaskan patofisiologi gejala-gejala dan atau penyakit yang dialami pasien

2. Menentukan diagnosis

3. Menentukan tujuan yang ingin dicapai dari terapi berdasarkan patofisiologi penyakit

4. Menentukan kesesuaian terapi dengan kondisi pasien

a. membuat daftar golongan obat sesuai dengan tujuan terapi

b. memilih golongan obat dari daftar tersebut sesuai dengan tujuan terapi dan kondisi pasien (efikasi, keamanan, kecocokan dan biaya)

c. mahasiswa mampu memilih preferred drug

d. memilih bahan aktif, dosis, bentuk sediaan obat, dan lama pengobatan

1

Page 6: Modul 1 Sistem Terapeutik

e. pendekatan terapi: informasi atau saran, terapi tanpa obat, terapi dengan obat, rujukan atau kombinasi

5. Mahasiswa mampu memilih terapi

a. mampu memberikan saran dan penjelasan tentang terapi yang diberikan kepada pasien

b. mahasiswa mampu menulis resep dengan jelas

6. Mahasiswa mampu memberikan informasi, instruksi, dan peringatan kepasa pasien

7. Menetapkan, monitor efek terapi dan mengantisipasi efek samping obat

8. Mengevaluasi hasil pengobatan

1.3. Skenario

Seorang perempuan berusia 58 tahun, menderita diabetes tipe 2 sejak 2 tahun yang lalu. Pada saat diagnosis, glukosa plasma puasa 118 mg/dL dan HbA1c 6,9%. Pasien menolak terapi dengan obat dan memilih olahraga dan diet. Ia mulai berolahraga di gym 3x seminggu selama 1 jam. Dalam 4 bulan, turun berat badan 9 lbs, dan HbA1c 6,8%. Tetapi 8 minggu terakhir ia kesulitan dengan restriksi kalori dan kesibukan di rumah dan kantor tidak memungkinkannya untuk berolahraga. Pasien kembali 10 bulan setelah kunjungan sebelumnya.

1.4. Data Tambahan- Riwayat Penyakit Keluarga : bapak dan 2 paman menderita diabetes, pemeriksaan

fisik : tinggi 5’ 4”, berat 182 lbs (BMI 34), TD 138/80 mmHg, denyut jantung 82x/menit regular, lingkar pinggang 37”, tidak ada retinopati tetapi terdapat penurunan sensasi getar pada kedua ekstremitas bawah.

- Pemeriksaan Penunjang : kolesterol total 202 mg/dL, trigliserida 227 mg/dL, kolesterol HDL 38 mg/dL, kolesterol LDL 119 mg/dL, AST dan ALT sedikit meningkat, lain-lain dalam batas normal. Follow up 10 bulan setelah kunjungan sebelumnya berat badan kembali ke berat awal, HbA1c 7,8% dan glukosa plasma puasa 156 mg/dL. Dislipidemia dan tekanan darah tidak berubah secara bermakna.

1.5. Kata/ Kalimat Kunci-

1.6. Kata/ Kalimat Kunci1. Perempuan, 58 tahun2. Menderita DM tipe 2, sejak 2 tahun yang lalu3. Glukosa darah puasa 118 mg/dL, HbA1c 6,9%4. Pasien menolak terapi dengan obat5. Berolahraga di gym 3x seminggu selama 1 jam. Dalam 4 bulan BB turun 9 lbs dan

HbA1c 6,8%

2

Page 7: Modul 1 Sistem Terapeutik

6. 8 minggu terakhir kesulitan dengan restriksi kalori dan kesibukannya tidak memungkinkan dia berolahraga

7. Pasien kembali 10 bulan setelah kunjungan sebelumnya1.7. Mind Map

3

Perempuan 58thnDM Tipe II

Page 8: Modul 1 Sistem Terapeutik

1.8.Pertanyaan

1. Bagaimana patofisiologi pada penyakit di skenario (DM Tipe II)?2. Jelaskan obat antidiabetik secara umum!3. Bagaimana algoritma pada skenario dan obat yang tepat untuk pasien!4. Jelaskan interaksi obat pada DM tipe II! Beserta farmakokinetik, farmakodinamik dan

side effectnya!5. Jelaskan faktor risiko DM pada skenario! 6. Jelaskan monitoring pada pasien DM!7. Jelaskan alur diagnosis dan interpretasi hasil pemeriksaan penunjang pada skenario!8. Jelaskan terapi non-farmakologi pada DM Tipe II! Edukasi, lifestyle, cara motivasi

pasien, olahraga dan diet!9. Jelaskan tatalaksana dan komplikasi yang timbul pada skenario!10. Jelaskan kesesuaian terapi dengan kondisi pasien!11. Jelaskan cara mengevaluasi hasil pengobatan pada pasien!

4

Kunjungan I

Tatalaksana : Olahraga dan Diet

Monitoring dan Evaluasi Terapi

Kunjungan II (Follow Up 10 bulan kemudian)

• BB kembali• HbA1C 7,8%

• GDP 156 mg/dL• TD : tak berubah

Tatalaksana

Farmakologi Non- Farmakologi

Page 9: Modul 1 Sistem Terapeutik

BAB II

PEMBAHASAN

1. Bagaimana patofisiologi pada penyakit di skenario (DM Tipe II)?

Jawab :

Insulin dihasilkan oleh pankreas dan di dalarnnya terdapat kumpulan sel yang

berbentuk seperti pulau pada peta, karena itu disebut pulau-pulau Langerhans yang berisi sel

beta yang mengeluarkan hormon insulin yang sangat berperan dalam mengatur kadar glukosa

darah.

Insulin yang dikeluarkan oleh sel beta tadi dapat diibaratkan sebagai anak kunci yang

dapat membuka pintu masuknya glukosa ke dalam sel, untuk kemudian di dalam sel glukosa

tersebut dimetabolisasikan menjadi tenaga. Bila insulin tidak ada, maka glukosa dalam darah

tidak dapat masuk ke dalam sel dengan akibat kadar glukosa dalam darah meningkat.

Keadaan inilah yang terjadi pada diabetes melitus tipe 1.

Pada diabetes melitus tipe 2 jumlah insulin normal, malah mungkin lebih banyak

tetapi jumlah reseptor insulin yang terdapat pada permukaan sel yang kurang. Reseptor

insulin ini dapat diibaratkan sebagai lubang kunci pintu masuk ke dalam sel. Pada keadaan

tadi jumlah lubang kuncinya yang kurang, hingga meskipun anak kuncinya (insulin) banyak,

tetapi karena lubang kuncinya (reseptor) kurang, maka glukosa yang masuk sel akan sedikit,

sehingga sel akan kekurangan bahan bakar (glukosa) dan glukosa di dalam pembuluh darah

meningkat. Dengan demikian keadaan ini sama dengan pada diabetes melitus tipe 1, bedanya

adalah pada diabetes melitus tipe 2 di samping kadar glukosa tinggi, kadar insulin juga tinggi

atau normal. Pada diabetes melitus tipe 2 juga bisa ditemukan jumlah insulin cukup atau lebih

tetapi kualitasnya kurang baik, sehingga gagal membawa glukosa masuk ke dalam sel. Di

samping penyebab di atas, diabetes melitus juga bisa terjadi akibat gangguan transport

glukosa di dalam sel sehingga gagal digunakan sebagai bahan bakar untuk metabolisme

energi.

Baik pada diabetes melitus tipe 1 maupun pada diabetes melitus tipe 2 kadar glukosa

darah jelas meningkat dan bila kadar itu melewati batas ambang ginjal, maka glukosa itu

5

Page 10: Modul 1 Sistem Terapeutik

akan keluar melalui urin. Mungkin inilah sebabnya penyakit ini juga disebut penyakit

kencing manis (Suyono, 2005).

6

Page 11: Modul 1 Sistem Terapeutik

2. Jelaskan obat antidiabetik secara umum!

Jawab :

Terapi farmakologis

Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan jasmani (gaya hidup sehat).Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan.

1. Obat hipoglikemik oral

Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5 golongan:

A. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonilu rea dan glinid

B. Peningkat sensitivitas terhadap insulin: metformin dan tiazolidindion

C. Penghambat glukoneogenesis (metformin)

D. Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase alfa.

E. DPPIV inhibitor

A. Pemicu Sekresi Insulin

1. Sulfonilurea

Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat badan normal dan kurang.

Namun masih boleh diberikan kepada pasien dengan berat badan lebih.Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada ber bagai keadaaan seperti orang tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi serta penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan sulfonilurea kerja panjang.

2. Glinid

Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (de- rivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui hati. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post prandial.

B. Peningkat sensitivitas terhadap insulin

TiazolidindionTiazolidindion (pioglitazon) berikatan pada Peroxisome Pro- liferator Activated Receptor Gamma (PPARg), suatu reseptor inti di sel otot dan sel lemak.Golongan ini

7

Page 12: Modul 1 Sistem Terapeutik

mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di perifer. Tiazolidindion dikontraindikasikan pada pasien dengan ga gal jantung kelas IIV karena dapat memperberat edema/re tensi cairan dan juga pada gangguan faal hati. Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion perlu dilakukan peman tauan faal hati secara berkala. *golongan rosiglitazon sudah ditarik dari peredaran karena efek sampingnya

C. Penghambat glukoneogenesis

Metformin

Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glu kosa hati (glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer. Terutama dipakai pada penyandang diabetes gemuk. Metformin dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin >1,5 mg/dL) dan hati, serta pasienpasien dengan kecenderungan hipok semia (misalnya penyakit serebrovaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung). Metformin dapat memberikan efek samping mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat diberikan pada saat atau sesudah makan. Selain itu harus diperha tikan bahwa pemberian metformin secara titrasi pada awal penggunaan akan memudahkan dokter untuk memantau efek samping obat tersebut.

D. Penghambat Glukosidase Alfa (Acarbose)

Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus, sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Acarbosetidak menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek samping yang paling sering ditemukan ialah kembung dan latulens.

E. DPP-IV inhibitor

Glucagon-like peptide-1 (GLP1) merupakan suatu hormon peptida yang dihasilkan oleh sel L di mukosa usus. Peptida ini disekresi oleh sel mukosa usus bila ada makanan yang masuk ke dalam saluran pencernaan. GLP1 merupakan perangsang kuat penglepasan insulin dan sekaligus seba gai penghambat sekresi glukagon. Namun demikian, se cara cepat GLP1 diubah oleh enzim dipeptidyl peptidase4 (DPP-4), menjadi metabolit GLP1(9,36)amide yang tidak aktif.

Sekresi GLP1 menurun pada DM tipe 2, sehingga upaya yang ditujukan untuk meningkatkan GLP1 bentuk aktif merupa kan hal rasional dalam pengobatan DM tipe 2. Pening katan konsentrasi GLP1 dapat dicapai dengan pemberian obat yang menghambat kinerja enzim DPP4 (penghambat DPP4), atau memberikan hormon asli atau analognya (analog incretin=GLP1 agonis).

Berbagai obat yang masuk golongan DPP4 inhibitor, mampu menghambat kerja DPP-4 sehingga GLP1 tetap dalam kon sentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif dan mampu

8

Page 13: Modul 1 Sistem Terapeutik

merang sang penglepasan insulin serta menghambat penglepasan glukagon.

Mekanisme kerja OHO, efek samping utama, serta pengaruh obat terhadap penurunan A1C dapat dilihat pada tabel 5, sedangkan nama obat, berat bahan aktif (mg) per tablet, dosis harian, lama kerja, dan waktu pemberian dapat dilihat pada lampiran 2.

Cara Pemberian OHO, terdiri dari:

 OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara ber tahap sesuai respons kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis optimal

Sulfonilurea: 15 –30 menit sebelum makan Repaglinid, Nateglinid: sesaat sebelum makan Metformin : sebelum /pada saat / sesudah makan Penghambat glukosidase (Acarbose): bersama makan suapan pertama Tiazolidindion: tidak bergantung pada jadwal makan. DPPIV inhibitor dapat diberikan bersama makan dan atau sebelum makan.

2. Suntikan

1. Insulin

2. Agonis GLP1/incretin mimetic

1. Insulin

Insulin diperlukan pada keadaan:

o Penurunan berat badan yang cepat o  Hiperglikemia berat yang disertai ketosis o Ketoasidosis diabetik o  Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik o Hiperglikemia dengan asidosis laktat o Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal o  Stresberat(infeksisistemik,operasibesar,IMA,stroke) o  Kehamilan dengan DM/diabetes mellitus gestasional yang tidak terkendali

dengan perencanaan makan o Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat o Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO

Jenis dan lama kerja insulinBerdasar lama kerja, insulin terbagi menjadi empat jenis, yakni:

o Insulin kerja cepat (rapid acting insulin)

9

Page 14: Modul 1 Sistem Terapeutik

o Insulin kerja pendek (short acting insulin) o Insulin kerja menengah (intermediate actinginsulin) o Insulin kerja panjang (long acting insulin) o Insulin campuran tetap, kerja pendek dan menengah (premixed insulin).

Jenis dan lama kerja insulin dapat dilihat pada lampiran 3.

Efek samping terapi insulin

Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemia. Penatalaksanaan hipoglikemia dapat dilihat dalam bab komplikasi akut DM. Efek samping yang lain berupa reaksi imunologi ter hadap insulin yang dapat

menimbulkan alergi insulin atau resistensi insulin.

Dasar pemikiran terapi insulin:

Sekresi insulin isiologis terdiri dari sekresi basal dan sekresi prandial. Terapi insulin diupayakan mampu meniru pola sekresi insulin yang isiologis.

Deisiensi insulin mungkin berupa deisiensi insulin basal, insulin prandial atau keduanya. Deisiensi in sulin basal menyebabkan timbulnya hiperglikemia pada keadaan puasa, sedangkan deisiensi insulin prandial akan menimbulkan hiperglikemia setelah makan.

Terapi insulin untuk substitusi ditujukan untuk melakukan koreksi terhadap deisiensi yang terjadi.

Sasaran pertama terapi hiperglikemia adalah mengendalikan glukosa darah basal (puasa, sebe lum makan). Hal ini dapat dicapai dengan terapi oral maupun insulin. Insulin yang dipergunakan untuk mencapai sasaran glukosa darah basal adalah insulin basal (insulin kerja sedang atau panjang).

Penyesuaian dosis insulin basal untuk pasien rawat jalan dapat dilakukan dengan menambah 24 unit setiap 34 hari bila sasaran terapi belum tercapai.

Apabila sasaran glukosa darah basal (puasa) telah tercapai, sedangkan A1C belum mencapai target, maka dilakukan pengendalian glukosa darah pran dial (mealrelated). Insulin yang dipergunakan untuk mencapai sasaran glukosa darah prandial adalah insulin kerja cepat (rapid acting) atau insulin kerja pendek (short acting). Kombinasi insulin basal dengan insulin prandial dapat diberikan subkutan dalam bentuk 1 kali insulin basal + 1 kali insulin prandial (basal plus), atau 1 kali basal + 2 kali prandial (basal 2 plus), atau 1 kali basal + 3 kali prandial (basal bolus).

Insulin basal juga dapat dikombinasikan dengan OHO untuk menurunkan glukosa darah prandial seperti golongan obat peningkat sekresi insulin kerja pendek (golongan glinid), atau penghambat penye- rapan karbohidrat dari lumen usus (acarbose).

Terapi insulin tunggal atau kombinasi disesuaikan dengan kebutuhan pasien dan respons individu, yang dinilai dari hasil pemeriksaan kadar glukosa darah harian.

2. Agonis GLP-1

Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP1 merupa kan pendekatan baru untuk pengobatan DM. Agonis GLP1 dapat bekerja sebagai perangsang penglepasan insulin yang tidak menimbulkan hipoglikemia ataupun peningkatan berat badan yang biasanya terjadi pada

10

Page 15: Modul 1 Sistem Terapeutik

pengobatan dengan insulin ataupun sulfonilurea. Agonis GLP1 bahkan mungkin menurunkan berat badan. Efek agonis GLP1 yang lain adalah menghambat peng lepasan glukagon yang diketahui berperan pada proses glukoneogenesis. Pada percobaan binatang, obat ini terbukti memperbaiki cadangan sel beta pankreas. Efek samping yang timbul pada pemberian obat ini antara lain rasa sebah dan muntah.

11

Page 16: Modul 1 Sistem Terapeutik

3. Bagaimana algoritma pada skenario dan obat yang tepat untuk pasien!

Jawab :

PERKENI (PERKUMPULAN ENDOKRINOLOGI INDONESIA)

Langkah-langkah penatalaksanaan:- Begitu terdiagnosis Diabetes, pasien disarankan untuk memperbaiki pola hidupnya

menjadi lebih sehat. Diantaranya mengurangi konsumsi gula, meningkatkan konsumsi serat serta rutin olahraga

- Berikutnya, perubahan pola hidup atau life style dievaluasi 2-3 bulan ke depan. Bila terapi diberikan tambahan 1 macam obat anti diabetes (OAD).

- Dua sampai 3 bulan berikutnya dievaluasi lagi, bisa terapi gagal dibrikan 2 macam OAD atau bisa diberikan 3 macam OAD disamping tetap menjaga pola hidup sehat.

-- \\\Pemberian 3 macam OAD adalah berdasarkan pertimbangan:

Tidak tersedia insulin, Pasien menolak diberikan terapi insulin, Glukosa darah belum terkontrol

- Evaluasi dilakukan 2-3 bulan berikutnya, bila dengan 2 OAD gagal, terapi tetap dilanjutkan dengan menambah suntikan insulin 1x sehari (insulin basal)

- Bila dengan 3 macam OAD gagal, OAD tidak diberikan lagi. Pasien diterapi dengan 2

macam insulin, yaitu insulin basal (1x sehari) dan insulin prandial (3x sehari).

12

Page 17: Modul 1 Sistem Terapeutik

- TERAPI DIKATAKAN GAGAL BILA: HbA1c belum mencapai Bila tidak dapat dilakukan pemeriksaan HbA1c, hasil pemeriksaan kadar gula darah juga bisa dipergunakan. Rata2 hasil beberapa pemeriksaan kadar gula darah dalam sehari bisa dikonversi menjadi HbA1c. 6

13

Page 18: Modul 1 Sistem Terapeutik

4. Jelaskan interaksi obat pada DM tipe II! Beserta farmakokinetik, farmakodinamik dan side effectnya!

Jawab :

INTERAKSI OBAT PADA DIABETES MELITUS TIPE 2

a. InsulinInsulin kerja singkat dan kerja cepat merupakan larutan insulin zink Kristal yang regular (injeksi insulin) yang biasanya dilarutkan dalam buffer pada pH netral. Sediaan ini memilki onset kerja paling cepat tetapi durasinya paling singkat. Insulin kerja singkat (yakni, regular atau mudah larut) biasanya harus diinjeksikan 30-45 menit sebelum makan. Insulin regular juga dapat diberikan secara intravena atau intramuscular. Setelah injeksi intravena, konsentrasi glukosa darah menurun dengan cepat, yang biasanya mencapai titik terendah dalam waktu 20-30 menit. Tanpa adanya pemberian infus insulin yang terus menurus, hormone akan segera menghilang, dan hormone regulasi yang sifatnya berlawanan (glucagon, epinefrin, norepinefrin, kortisol, dan hormon pertumbuhan) mengembalikan glukosa plasma ke konsentrasi awal dalam waktu 2-3 jam. Tanpa adanya respon regulasi berlawanan yang normal (misalnya, pada pasien diabetes neuropati autonom), glukosa plasma akan tetap tersupresi selama beberapa jam setelah pemberian bolus insulin 0,15 U/kg, karena kerja insulin di sel lebih diperpanjang melebihi bersihannya dari plasma. Infus insulin intravena bermanfaat untuk pasien ketoasidosis atau jika kebutuhan insulin berubah secara cepat, seperti selama periode perioperatif, selama proses persalinan dan pelahiran, dan situasi rawat intensif.

Ketika kondisi metabolic stabil, insulin regular biasanya diberikan secara subkutan dalam kombinasi dengan sediaan kerja sedang atau kerja lama. Insulin kerja singkat adalah satu-satunya bentuk horman yang dapat digunakan dalam pompa infus subkutan. Formulasi buffer insulin regular yang khusus sudah dibuat untuk tujuan pompa infus subkutan; sangat kecil kemungkinan formulasi ini untuk mengkristal di dalam tabung selama dilakukan infus lambat pada jenis terapi ini.

Monomer-monomer insulin asli digabung sebagai heksamer pada sediaan insulin yang ada sekarang. Heksamer ini memperlambat absorpsi dan mengurangi puncak injeksi subkutan insulin setelah makan. Keadaan yang mengecewakan ini menstimulasi perkembangan sejumlah analog insulin kerja singkat yang tetap memakai konfigurasi monomer atau dimer. Sejumlah besar senyawa telah diteliti selama dasawarsa terakhir. Di antara analog-analog yang diuji, insulin lispro (HUMALOG) dan insulin aspart (NOVOLOG) menunjukkan keefektifan klinis. Analog insulin ini diabsorpsi 3 kali lebih cepat dari tempat injeksi subkutan dibandingkan insulin manusia. Dengan demikian, terjadi peningkatan konsentrasi insulin plasma yang lebih cepat dan respon hipoglikemia yang lebih dini. Injeksi analog tersebut 15 menit sebelum makan memberikan kontrol glikemik yang serupa dengan kontrol glikemik dari injeksi insulin manusia yang diberikan 30 menit sebelum makan. Analog kerja singkat pertama yang tersedia secara komersial adalah lispro, insulin manusia. Analog ini identik dengan insulin manusia

14

Page 19: Modul 1 Sistem Terapeutik

kecuali pada posisi B28 dan B29, yang urutan dua residunya dibalik agar sesuai urutan IGF-1, yakni polipeptida yang tidak bergabung sendiri. Seperti insulin regular, lispro terdapat dalam bentuk heksamer dalam sediaan di pasaran. Tidak seperti insulin regular, lispro hampir terurai menjadi monomer setelah diinjeksi. Sifat ini menghasilkan absorpsi khas yang cepat dan durasi kerja yang lebih singkat dibandingkan dengan insulin regular. Suatu tinjauan terhadap pengamatan klinis dengan insulin lispro telah dipublikasikan. Telah diketahui adanya dua keuntungan terapeutik lispro dibandingkan dengan insulin regular. Pertama, prevalensi hipoglikemia diturunkan hingga 20%-30% dengan penggunaan lispro; kedua, kontrol glukosa, seperti yang dinilai dari haemoglobin A1c

dengan penggunaan lispro membaik secara signifikan walaupun sedikit demi sedikit (0.3-0.5%) dibandingkan dengan insulin regular. Insulin aspart dibuat dengan mengganti prolin pada posisi B28 dengan asam aspartate. Penggantian ini menyebabkan menurunnya self-association dibandingkan yang diamati denga lispro. Seperti halnya lispro, insulin aspart segera terurai menjadi monomernya setelah diinjeksi.

b. SulfonylureaSulfonylurea menyebabkan hipoglikemia dengan cara menstimulasi pelepasan insulin dari sel β pancreas. Namun, efeknya untuk pengobatan diabetes lebih kompleks. Pemberian akut sulfonylurea ke pasien DM tipe 2 meningkatkan pelepasan insulin dari pancreas. Sulfonilurea juga selanjutnya dapat meningkatkan kadar insulin dengan cara mengurangi bersihan hormone di hati. Pada bulan-bulan awal pada pengobatan sulfonylurea, kadar insulin plasma saat puasa dan respons insulin terhadap glukosa oral meningkat. Pada pemberian kronis, kadar insulin dalam sirkulasi menurun dibandingkan sebelum pengobatan, tetapi meskipun kadar insulin ini berkurang, penurunan kadar glukosa plasma tetap dapat dipertahankan.

Hal ini belum dapat dijelaskan secara pasti, tetapi mungkin berkaitan dengan menurunnya glukosa plasma yang menyebabkan insulin dalam sirkulasi memberikan efek lebih nyata pada jaringan target, dan juga berdasarkan fakta bahwa hiperglikemia kronis sendiri mengganggu sekresi insulin.

Harus dicatat bahwa tidak ada efek penstimulasi akut sulfonilurea yang terukur pada sekresi insulin selama pengobatan klinis. Hal ini diduga karena berkurangnya afinitias reseptor sulfonylurea di permukaan sel pada sel β pancreas. Jika terapi sulfonylurea kronis dihentikan, keresponsifan sel β pancreas terhadap pemberian obat akut akan kembali lagi. Sulfonylurea juga menstimulasi pelepasan somatostatin, dan senyawa ini dapat sedikit mensupresi sekresi glucagon.

Efek sulfonylurea di awali dengan mengikat dan memblok saluran K+ sensitive ATP, yang telah diklon. Dengan demikian, obat ini menyerupai perangsang sekresi fisiologis yang juga menurunkan kemampuan konduksi saluran ini. Berkurangnya konduksi K+ ini menyebabkan depolarisasi membrane dan influx Ca+ melalui saluran Ca+ sensitive tegangan.

15

Page 20: Modul 1 Sistem Terapeutik

Absorpsi, Nasib, dan EkskresiSenyawa-senyawa sulfonylurea memilki spectrum kerja yang mirip. Oleh karena itu, sifat farmakokinetiknya merupakan karakteristiknya yang paling jelas. Walaupun terdapat perbedaan dalam laju absorpsi sulfoniurea yang berbeda, semuanya diabsorpsi secara efektif dari saluran gastrointestinal. Namun, makanan dan hiperglikemia dapat mengurangi absorpsi sulfonylurea. Mengingat waktu yang dibutuhkan untuk mencapai konsetrasi optimal dalam plasma, sulfonylurea yang memilki waktu paruh singkat mungkin lebih efektif jika diberikan 30 menit sebelum makan. Sulfonylurea sebagian besar berikatan dengan protein, terutama albumin; ikatan protein plasma paling kecil terhadap klorpropamida dan paling besar terhadap gliburida. Volume distribusi sebagian besar sulfonylurea adalah sekitar 0.2 liter/kg.

Senyawa sulfonylurea generasi paruh dan tingkat metabolisme yang berbeda. Waktu paruh asetoheksamida singkat, tetapi obat ini direduksi menjadi senyawa aktif dengan waktu paruh yang serupa dengan waktu tolbutamida dan tolazamida. Obat-obat ini harus diminum dalam dosis terbagi setiap hari. Klorpropamida memiliki waktu paruh yang lama. Senyawa generasi kedua sekitar 100 kali lebih kuat daripada generasi pertama. Walaupun waktu paruhnya singkat, efek hipoglikemianya terlihat selama 12 sampai 24 jam, dan hal ini memungkinkan untuk memberikan obat sekali sehari. Alasan ketidaksesuaian antara waktu paruh dan durasi kerja obat-obat ini belum jelas.

Semua senyawa sulfonylurea dimetabolisme oleh hati, dan metabolitnya diekskresikan di dalam urin. Metabolisme klorpropamida tidak sempurna, dan sekitar 20% obat ini diekskresikan tanpa diubah. Oleh karena itu, sulfonylurea harus diberikan secara hati-hati pada pasien insufisiensi ginjal atau hati.

c. RepaglinidaRepaglinida (Prandin) adalah perangsangan sekresi insulin oral dari golongan meglitinida. Senyawa ini merupakan turunan asam benzoate, dan strukturnya tidak berkaitan dengan senyawa sulfonylurea. Namun, seperti halnya sulfonylurea, repaglinida menstimulasi pelepasan insulin dengan cara menutup saluran kalium bergantung ATP pada sel β pancreas. Obat ini diabsorpsi secara cepat dari saluran gastrointestinal; kadar puncak dalam darah dicapai dalam waktu satu jam. Waktu paruh obat ini sekitar satu jam. Sifat obat ini memungkinkan penggunaan multiple sebelum makan, seperti pendosisan sulfonylurea klasik yakni sekali atau dua kali sehari. Repaglinida terutama dimetabolisme oleh hati. Metabolit obat ini tidak memilki kerja hipoglikemia. Repaglinida harus digunakan secara hati-hati pada pasien insufisiensi hati. Karena sebagian kecil repaglinida dimetabolisme oleh ginjal, peningkatan dosis obat pada pasien insufisiensi ginjal juga harus dilakukan secara hati-hati. Sama seperti sulfonylurea, efek samping utama repaglinida adalah hipoglikemia.

d. NateglinidaNateglinida (Starlix) merupakan perangsang sekresi insulin turunan D-fenialanin yang efektif secara oral. Seperti sulfonylurea dan repaglinida, nateglinida menstimulasi sekresi

16

Page 21: Modul 1 Sistem Terapeutik

insulin dengan cara memblok saluran kalium sensitif ATP pada β pancreas. Nateglinida mendorong sekresi insulin lebih cepat tapi kurang mempertahankannya dibandingkan senyawa antidiabetes oral lainnya yang tersedia. Efek terapeutik utama obat ini adalah mengurangi peningkatan glikemik setelah makan pada pasien DM tipe 2. Baru-baru ini nateglinida telah disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) USA untuk digunakan pada pasien DM tipe 2 dan paling efektif jika diberikan antara 1 sampai 10 menit sebelum makan dengan dosis 120 mg. Nateglinida terutama dimetabolisme oleh hati, sehingga harus digunakan secara hati-hati pada pasien insufisiensi hati. Sekitar 16% dosis yang diberikan diekskresi oleh ginjal sebagai obat yang tidak diubah. Penyesuaian dosis tidak diperlukan pada pasien gagal ginjal. Penelitian awal menunjukkan bahwa terapi nateglinida dapat menurunkan episode hipoglikemia dibandingkan dengan perangsangan sekresi insulin oral lainnya yang tersedia.

e. BiguanidaMetformin (Glukophage) dan fenformin diperkenalkan pada tahun 1957 dan buformin diperkenalkan pada tahun 1958. Buformin terbatas penggunaannya, tetapi metformin dan fenformin digunakan secara luas. Fenformin ditarik di berbagai negara sekitar tahun 1970an karena menyebabkan asidosis laktat. Metformin jarang menyebabkan komplikasi tersebut dan telah banyak digunakan di Eropa dan Kanada. Obat ini tersedia di Amerika pada tahun 1995. Metformin yang diberikan tunggal atau kombinasi dengan sulfonylurea memperbaiki kontrol glikemia dan konsentrasi lipid pada pasien yang merespons kurang baik terhadap diet atau sulfonylurea saja.

Metformin terutama diabsorpsi dari usus kecil. Obat ini stabil, tidak berikatan dengan protein plasma, dan diekskresi dalam bentuk tidak berubah di dalam urin. Waktu paruhnya sekitar 2 jam. Dosis maksimal harian metformin yang dianjurkan di USA adalah 2.5 g, diminum dalam tiga dosis bersama makanan.

Metformin bersifat antihiperglikemia, bukan hipoglikemia. Obat ini tidak menyebabkan pelepasan insulin dari pancreas dan tidak menyebabkan hipoglikemia, bahkan dalam dosis yang besar. Metformin tidak memiliki efek yang signifikan pada sekresi glucagon, kortisol, hormon pertumbuhan, atau somatostatin. Metformin menurunkan kadar glukosa terutama dengan cara mengurangi produksi glukosa di hati dan meningkatkan kerja insulin di otot dan lemak. Mekanisme penurunan produksi glukosa di hati oleh metformin masih kontroversial, tetapi banyak data menunjukkan efek penurunan glukosa plasma dengan cara mengurangi reabsorpsi glukosa dari usus, tetapi kerja ini belum terbukti memiliki relevansi klinis.

Pasien gangguan ginjal tidak boleh menerima metformin. Penggunaan obat ini kontraindikasi pada pasien penyakit hati, riwayat asidosis laktat, gagal jantung yang memerlukan terapi farmakologis, atau penyakit paru hipoksia kronis. Obat ini juga harus dipertahankan selama 48 jam setelah pemberian medium kontras secara intravena. Obat ini tidak boleh diberikan kembali hingga fungsi ginjal kembali normal. Semua kondisi ini cenderung meningkatkan produksi laktat., sehingga dapat menyebabkan komplikasi

17

Page 22: Modul 1 Sistem Terapeutik

asidosis laktat fatal. Insiden asidosis laktat selama pengobatan metformin dilaporkan di bawah 0.1 kasus per 10000 pasien per tahun, bahkan risiko motalitasnya lebih rendah.

Efek samping akut metformin, yang muncul hingga pada 20% pasien, meliputi diare rasa tidak enak di perut, mual, rasa logam, dan anoreksia. Hal ini biasanya diminimalkan dengan dengan cara meningkatkan dosis obat secara perlahan dan dimakan bersama makanan. Absorpsi B12 dan folat dalam usus sering menurun selama terapi metformin jangka panjang. Suplemen kalsium membalikan efek metformin terhadap absorpsi vitamin B12.

f. TiazolidinedionTiga senyawa tiazolidinedion telah digunakan dalam praktik klinis (troglitazon, rosiglitazone, dan pioglitazone). Namun, senyawa pertama yang diperkenalkan (troglitazon) ditarik dari penggunaannya karena menyebabkan toksisitas hati yang parah.

Tiadzolidinedion merupakan agonis selektif terhadap reseptor gamma yang diaktivasi proliferator peroksisoma inti (nuclear peroxisome proliferator-activated receptor gamma, PPARɤ). Obat ini berikatan dengan PPARɤ kemudian mengaktivasi gen responsive-insulin yang mengatur metabolisme karbohidrat dan lipid. Tiazolidinedion membutuhkan insulin untuk melakukan kerjanya. Tiazolidinedion menggunakan efek utamanya dengan cara mengurangi resistensi insulin di jaringan perifer, tetapi juga dilaporkan efeknya untuk menurunkan produksi glukosa hati. Tiazolidinedion meningkatkan transport glukosa ke dalam otot dan jaringan adiposa dengan cara meningkatkan sintesis dan translokasi bentuk protein transporter glukosa spesifik. Tiazolidimedion juga dapat mengaktivasi gen yang mengatur metabolisme asam lemak bebas di jaringan perifer. Kini sedang dilakukan penelitian untuk mengetahui jika senyawa ini mengurangi resistensi insulin terutama melalui kerjanya terhadap metabolisme asam lemak bebas.

g. Inhibitor α GlukosidaseInhibitor α Glukosidase menurunkan absorpsi pati, dekstrin, dan sakarida di usus dengan cara menghambat kerja α-glukosidase pada mikrovili usus. Penghambatan enzim ini memperlambat absorpsi karbohidrat; peningkatan glukosa plasmasetelah makan tidak terjadi pada subjek normal dan diabetes.

Akarbosa (Precose), suatu oligosakarida yang berasal dari mikroba, dan miglitol (Glyset), suatu turunan glukoamilase dan sukrase tetapi memilki efek yang lemah terhadap α-amilase pancreas. Kedua senyawa ini menurunkan kadar glukosa plasma setelah makan pada subjek DM tipe I dan DM tipe II. Inhibitor α-glukosidase dapat memiliki efek yang besar terhadap kadar haemoglobin A1c pada pasien DM tipe 2 hiperglikemia yang parah. Namun, pada pasien dengan hiperglikemia yang ringan hingga sedang, potensi penurun glukosa oleh inhibitor α Glukosidase tidak menstimulasi pelepasan insulin, sehingga tidak menyebabkan hipoglikemia. Senyawa ini dapat dipertimbangkan sebagai terapi tunggal untuk pasien lanjut usia atau terutama pasien

18

Page 23: Modul 1 Sistem Terapeutik

hiperglikemia setelah makan. Inhibitor α Glukosidase biasanya dikombinasikan dengan senyawa antidiabetes oral lain dan/atau insulin. Obat ini harus diberikan saat mulai makan. Obat ini diabsorpsi kurang baik.

Inhibitor α Glukosidase menyebabkan malabsorpsi, flatulen, diare, dan perut kembung terkait dosis. Pentitrasian dosis obat secara perlahan (25 mg saat mulai makan selam 4 sampai 8 minggu diikuti dengan peningkatan pada minggu ke-4 sampai ke-8 hingga 75 mg tiap sebelum makan) akan menurunkan efek samping gastrointestinal. Dosis yang lebih kecil diberikan bersama kudapan. Akarbosa paling efektif jika diberikan dengan makanan berpati, berserat tinggi dengan kandungan glukosa dan sukrosa yang terbatas. Jika hipoglikemia terjadi saat Inhibitor α Glukosidase digunakan bersama insulin atau perangsang sekresi insulin, lebih baik diberikan glukosa daripada sukrosa, pati atau maltose.

h. GlukagonGlucagon berinteraksi dengan reseptor glikoprotein bermasa 60.000 dalton pada membrane plasma sel target. Walaupun struktur pasti reseptor ini belum diketahui, senyawa ini berinteraksi dengan protein pengatur pengikatan nukleotida guanine stimulatori, G8, yang mengaktivasi adenil siklase. Efek utama glucagon pada hati diperantarai oleh AMP siklik. Secara umum, modifikasi daerah amino-terminal glucagon dan des-His1 menghasilkan molekul parsial yakni menjaga afinitas terhadap reseptor glucagon tetapi kemampuannya untuk menstimulasi adenilil siklase sangat berkurang.

Fosforilase, yaitu enzim pembatas laju pada glikogenolisis, diaktivasi oleh glucagon sebagai hasil fosforilasi distimulasi AMP siklik, sementara fosforilasi glikogen sintase secara bersamaan akan menginaktivasi enzim tersebut; sehingga glikogenolisis meningkat dan sintesis glikogen dihambat. AMP siklik juga menstimulasi transkripsi gen untuk fosfoenolpiruvat karboksikinase, yang merupakan enzim pembatas laju pada gluconeogenesis. Efek ini biasanya dilawan oleh insulin, dan jika kedua hormone ini terdapat dalam konsentrasi maksimumnya, insulin lebih dominan.

AMP siklik juga menstimulasi fosforilasi enzim 6 fosfofrukto 2 kinase/fruktosa-2,6-bifosfatase yang memilki dua fungsi. Enzim ini menentukan konsentrasi fruktosa 2, 6 bifosfat dalam sel, yang bekerja sebagai pengatur gluconeogenesis dan glikogenesis yang kuat. Jika konsetrasi glucagon relative tinggi terhadap konsentrasi insulin, enzim ini difosforilasi dan bekerja sebagai fosfatase, sehingga menurunkan konsentrasi fruktase, sehingga menurunkan konsentrasi fruktosa-2,6-bifosfat di hati. Jika konsentrasi insulin relative tinggi terhadap konsentrasi glucagon, enzim ini didefosforilasi dan bekerja sebagai suatu kinase, sehingga menaikkan konsentrasi fruktosasa-2,6-bifosfat. Fruktosasa-2,6-bifosfat berinteraksi secara alosterik dengan fosfofruktokinase-1, yaitu enzim pembatas laju dalam glikolisis, sehingga meningkatkan aktivitasnya. Dengan demikian, jika konsetrasi glukagon tinggi, glikolisis dihambat dan gluconeogenesis distimulasi. Hal ini juga menyebabkan penurunan konsentrasi malonil CoA, stimulasi

19

Page 24: Modul 1 Sistem Terapeutik

oksidasi asam lemak, dan produksi badan keton. Sebaliknya, jika konsentrasi insulin tinggi, glikolisis distimulasi serta glukoneogensis dan ketogenesis dihambat.

Selain efeknya pada hati, glucagon juga menggunakan efeknya ke jaringan, terutama pada konsentrasi yang lebih tinggi. Pada jaringan adiposa, glucagon menstimulasi adenilil siklase dan meningkatkan lipolysis. Pada jantung, glucagon meningkatkan daya kontrasi. Glucagon memilki efek relaksan pada saluran gastrointestinal; hal ini teramati dengan analog yang ternyata tidak menstimulasi adenilil siklase. Beberapa jaringan memilki jenis reseptor glucagon kedua untuk pembentukan inositol trifosfat, diasigliserol, dan Ca2+. Peran reseptor ini dalam pengaturan metabolisme masih belum jelas.

i. SomatostatinSomatostatin, yakni nama yang awalnya diberikan untuk peptide siklik yang mengandung 14 asam amino, kini diketahui merupakan salah satu golongan peptide sejenis. Senyawa-senyawa ini meliputi somatostatin asli (S-14), molekul peptide 28-asam amino yang diperpanjang (S-28), dan fragmen yang mengandung 12 asam amino awal pada somatostatin-28 [S-28 (1-12)]. Somatostatin-14 merupakan bentuk yang dominonan di dalam otak, sedangkan somatostatin-28 adalh bentuk terbanyak di usus. Somatostatin menghambat pelepasan hormone penstimulasi tiroid dan hormone pertumbuhan dari kelenjar hipofisis, menghambat pelepasan gastrin, motilin, peptide vasoaktif usus (vasoactive intestinal peptide, VIP), glisentin dan polipeptida gastrointestinal dari usus serta menghambat pelepasan insulin, glucagon, polipeptida pancreas, dan somatostatin dari pancreas.

Somatostatin yang disekresikan dari pancreas dapat mengatur fungsi hipofisis, sehingga bekerja sebagai neurohormon sejati. Namun, di dalam usus, somatostatin bekerja sebagai senyawa parakrin dengan cara memengaruhi fungsi sel-sel di dekatnya. Somatostatin juga bekerja sebagai senyawa autokrin dengan cara menghambat pelepasannya sendriri dari pancreas. Sel-sel D merupakan sel terakhir yang menerima aliran darah di pulau pancreas; hal ini dikarenakan sel Dterletak di bagian hilir dari sel β dan α. Dengan demikian, somatostatin hanya dapat mengukur sekresi insulin dan glucagon melalui sirkulasi sistemik.

Somatostatin dilepaskan sebagai respons terhadap berbagai nutrient dan hormone yang menstimulasi sekresi insulin, termasuk glukosa, arginine, leusin, glucagon, VIP, kolesistokinin, dan bahkan tolbutamida. Peran fisiologis somatostatin belum diketahui secara pasti. Jika diberikan dalam jumlah yang memberikan efek farmakologis, somatostatin menghambat hampir semua sekresi endokrin dan eksokrin pancreas, usus dan kandung empedu. Somatostatin juga dapat menghambat sekresi kelenjar saliva dan pada kondisi tertentu, dapat menghambat sekresi paratiroid, kalsitonin, prolactin dan ACTH. Sel α lebih sensitive sekitar 50 kali terhadap somatostatin daripada sel β, tetapi penghambatan sekresi glucagon lebih bersifat sementara. Somatostatin juga menghambat

20

Page 25: Modul 1 Sistem Terapeutik

absorpsi nutrient dari usus, menurunkan motilitas usus, dan mengurangi aliran darah visera.

j. DiazoksidaDiazoksida merupakan senyawa antihipertensi dan antidiuretic turunan benzotiadiazin yang memiliki kerja hiperglikemia kuat jika diberikan secara oral. Hiperglikemia terutama diakibatkan oleh penghambatan sekresi insulin. Diazoksida berinteraksi dengan saluran K+ sensitive ATP, yakni mencegah penutupannya atau memperpanjang waktu pembukaannya; efek ini berlawanan dengan efek sulfonylurea. Obat ini tidak menghambat sintesis insulin, sehingga terjadi akumulasi insulin di dalam sel β. Diazoksida juga memilki kemampuan yang sedang untuk menghambat pemakaian glukosa perifer oleh otot dan untuk menstimulasi gluconeogenesis di hati.

k. ProspektusPeningkatan tajam pada DM tipe 2 mengharuskan pemfokusan kembali strategi klinis untuk mengendalikan kadar glukosa plasma dan mencegah komplikasi penyakit ini. Uji DPP merupakan penelitian klinis multisenter yang besar di USA yang ditujukan untuk menentukan perubahan gaya hidup atau intervensi terapeutik (metformin) pada tahap terganggunya toleransi glukosa (impaired glucose tolerance, IGT) dapat atau tidak dapat mencegah onset diabetes. Uji besar lainnya (BARI 2, VA Cooperative Study) terfokus pada penentuan kontrol metabolisme yang ketat dan golongan obat dapat atau tidak dapat menurunkan penyakit makrovaskuler pada diabetes tipe 2. Kini tidak ada obat yang diizinkan di USA untuk mengobati IGT. Jumlah penderita IGT di seluruh dunia sangat banyak. Sekitar 5% penderita IGT menderita diabetes setiap tahunnya. Dengan demikian, pilihan terapeutik apapun yang dapat mencegah transformasi IGT menjadi diabetes sangat dinantikan.

21

Page 26: Modul 1 Sistem Terapeutik

5. Jelaskan faktor risiko DM pada skenario!

Jawab :

1) Faktor risiko yang berhubungan dengan penyakit DM tipe 2 yaitu memiliki riwayat keluarga menderita DM, berusia ≥45, dan kurang berolahraga secara teratur.

2) Faktor risiko yang tidak berhubungan terhadap kejadian DM tipe 2 adalah jenis kelamin, status gizi, riwayat hipertensi, riwayat dislipidemia, kebiasaan merokok, dan kebiasaan mengonsumsi makanan dan minuman manis.

3) Faktor risiko yang berpengaruh terhadap kejadian DM tipe 2 yaitu memiliki riwayat keluarga menderita DM dan kebiasaan merokok.

4) Riwayat keluarga menderita DM dan kebiasaan merokok mempengaruhi kejadian DM tipe 2 sebesar 75%.

22

Page 27: Modul 1 Sistem Terapeutik

6. Jelaskan monitoring pada pasien DM!

Jawab :

Monitoring adalah pemantauan yang dapat dijelaskan sebagai kesadaran (awareness) tentang

apa yang ingin diketahui, pemantauan berkadar tingkat tinggi dilakukan agar dapat membuat

pengukuran melalui waktu yang menunjukkan pergerakan ke arah tujuan atau menjauh dari

itu. Monitoring akan memberikan informasi tentang status dan kecenderungan bahwa

pengukuran dan evaluasi yang diselesaikan berulang dari waktu ke waktu, pemantauan

umumnya dilakukan untuk tujuan tertentu, untuk memeriksa terhadap proses berikut objek

atau untuk mengevaluasi kondisi atau kemajuan menuju tujuan hasil manajemen atas efek

tindakan dari beberapa jenis antara lain tindakan untuk mempertahankan manajemen yang

sedang berjalan.

Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah terbentuk

dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan partisipasi aktif pasien,

keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi pasien dalam menuju perubahan

perilaku sehat. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang

komprehensif dan upaya peningkatan motivasi.

Evaluasi:

Anamnesis Gejala yang timbul,

Pola makan, status nutrisi, dan riwayat perubahan berat badan

Riwayat komplikasi akut

Faktor risiko: merokok, hipertensi, riwayat penyakit jantung koroner, obesitas, dan

riwayat penyakit keluarga

Pola hidup, budaya, psikososial, pendidikan, dan status ekonomi

Kehidupan seksual, penggunaan kontrasepsi, dan kehamilan.

Pemeriksaan Fisik

Pengukuran tinggi badan, berat badan, dan lingkar pinggang,

23

Page 28: Modul 1 Sistem Terapeutik

Pengukuran tekanan darah tidak lebih dari 130/80 mm Hg,

Evaluasi nadi,

Pemeriksaan funduskopi,

Pemeriksaan ekstremitas atas dan bawah, termasuk jari.

Evaluasi Laboratoris / penunjang lain

Glukosa darah puasa dan 2 jam post prandial

HbA1C

Profil lipid pada keadaan puasa (kolesterol total, HDL, LDL, dan trigliserida)

Kreatinin serum

Albuminuria

Keton, sedimen, dan protein dalam urin

Elektrokardiogram

Elektromyelografi (EMG)

PEMANTAUAN GLUKOSA DARAH MANDIRI (PGDM)

Untuk memantau kadar glukosa darah dapat dipakai darah kapiler. Saat ini banyak dipasarkan

alat pengukur kadar glukosa darah cara reagen kering yang umumnya sederhana dan mudah

dipakai. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah memakai alat-alat tersebut dapat dipercaya

sejauh kaliberasi dilakukan dengan baik dan cara pemeriksaan dilakukan sesuai dengan cara

standar yang dianjurkan. Secara berkala, hasil pemantauan dengan cara reagen kering perlu

dibandingkan dengan cara konvensional. PGDM dianjurkan bagi pasien dengan pengobatan

insulin atau pemicu sekresi insulin. Waktu pemeriksaan PGDM bervariasi, tergantung pada

tujuan pemeriksaan yang pada umumnya terkait dengan terapi yang diberikan. Waktu yang

dianjurkan adalah pada saat sebelum makan, 2 jam setelah makan (menilai ekskursi maksimal

glukosa), menjelang waktu tidur (untuk menilai risiko hipoglikemia), dan di antara siklus

tidur (untuk menilai adanya hipoglikemia nokturnal yang kadang tanpa gejala), atau ketika

mengalami gejala seperti hypoglycemic spells.

24

Page 29: Modul 1 Sistem Terapeutik

PENILAIAN PENGONTROLAN GLUKOSA (HbA1C)

Metode yang digunakan untuk menentukan pengontrolan glukosa pada semua tipe diabetes

adalah pengukuran glikat hemoglobin. Hemoglobin pada keadaan normal tidak mengandung

glukosa ketika pertama kali keluar dari sumsum tulang. Selama 120 hari masa hidup

hemoglobin dalam eritrosit, normalnya hemoglobin sudah mengandung glukosa. Bila kadar

glukosa meningkat diatas normal, maka jumlah glikat hemoglobin juga akan meningkat.

Karena pergantian hemoglobin yang lambat, nilai hemoglobin yang tingg menunjukkan

bahwa kadar glukosa darah tinggi selama 4 – 8 minggu. Nilai normal glikat hemoglobin

bergantung pada metode pengukuran yang dipakai, namun berkisat antara 3,5% hingga 5,5%.

Disarankan untuk menentukan referensi nilai untuk setiap laboratorium.

25

Page 30: Modul 1 Sistem Terapeutik

7. Jelaskan alur diagnosis dan interpretasi hasil pemeriksaan penunjang pada skenario!

Jawab :

Alur Diagnosis Diabetes Melitus

Anamnesis

Hal pertama yang perlu ditanyakan pada pasien curiga Diabetes Mellitus adalah gejala yang timbul dalam perjalanan penyakit. Trias Diabetes Melitus (banyak minum, banyak kencing dan penurunan berat badan) harus ditanyakan untuk mengarahkan diagnosis. Gejala banyak minum dan banyak kencing sering didapatkan pada pasien Diabetes Mellitus, namun penurunan berat badan baru akan dijumpai bila telah terjadi kegagalan pankreas mensekresi insulin.

Pola makan, status nutrisi, dan riwayat perubahan berat badan penting untuk ditanyakan. Pasien dengan Diabetes Mellitus tipe 2, sering dijumpai dalam kondisi berat badan yang overweight hingga obesitas. Dalam patogenesisnya, resistensi insulin pada Diabetes Mellitus tipe 2 memang diinduksi oleh lemak di adiposit yang mengalami hipertrofi.

Salah satu strategi kendali gula darah pada pasien Diabetes Mellitus tipe 2 adalah dengan penurunan berat badan.

Data tentang hasil pemeriksaan laboratorium terdahulu meliputi: glukosa darah, HbA1C, dan hasil pemeriksaan khusus yang terkait Diabetes Mellitus. Hasil laboratorium di atas yang abnormal akan mengarahkan pada kecurigaan Diabetes Mellitus.

Riwayat pengobatan yang pernah diperoleh sebelumnya perlu digali secara lengkap, termasuk gizi medis dan penyuluhan yang telah diperoleh tentang perawatan Diabetes Mellitus secara mandiri, serta kepercayaan yang diikuti dalam bidang terapi kesehatan. Pasien sering mengaku mengkonsumsi obat-obat alternatif yang teradang berpengaruh pada gula darah yang tidak terkontrol.

Jika pasien sudah mendapat pengobatan sebelumnya, sebaiknya ditanyakan pengobatan apa saja yang sedang dijalani, termasuk obat yang digunakan, perencanaan makan dan program latihan jasmani.

Perlu ditanyakan riwayat komplikasi akut (ketoasidosis diabetik, hiperosmolar hiperglikemia, dan hipoglikemia). Riwayat komplikasi akut perlu ditanyakan untuk mengetahui kerentanan pasien menderita komplikasi akut di masa yang akan datang. Riwayat komplikasi tertentu juga dapat memberikan informasi potensi adanya komplikasi kronik (eg. gagal ginjal kronik).

Perlu ditanyakan riwayat infeksi sebelumnya, terutama infeksi kulit, gigi, dan traktus urogenitalis serta kaki. Infeksi adalah komplikasi yang sering muncul pada pasien Diabetes Mellitus. Kadar gula darah yang tinggi dan penurunan sistem imunitas pasien menjadi keuntungan tersendiri bagi kuman.

Terkadang pasien datang sudah dalam kondisi Diabetes Mellitus dengan komplikasi kronik. Penting untuk digali gejala dan riwayat pengobatan komplikasi kronis (komplikasi

26

Page 31: Modul 1 Sistem Terapeutik

pada ginjal, jantung, susunan syaraf, mata, saluran pencernaan, dll). Manajemen pasien Diabetes Mellitus harus dilakukan secara komprehensif. Selain mengendalikan gula darah, manajemen komplikasi kronik juga harus dikelola dengan baik.

Faktor risiko yang perlu ditanyakan diantaranya adalah merokok, hipertensi, riwayat penyakit jantung koroner, obesitas, dan riwayat penyakit keluarga (termasuk penyakit Diabetes Mellitus dan endokrin lain).

Kehidupan seksual, penggunaan kontrasepsi, dan kehamilan adalah hal-hal spesifik yang perlu digali dari anamnesis pasien Diabetes Melitus. Disfungsi ereksi adalah komplikasi kronik yang sering muncul pada pasien Diabetes Melitus. Riwayat penggunaan kontrasepsi juga perlu ditanyakan karena kontrasepsi hormonal terkadang dapat menyebabkan gangguan kerja hormon insulin. Riwayat kehamilan juga perlu ditanyakan untuk mendeteksi Diabetes Gestational.

Pemeriksaan Fisik

Komponen pemeriksaan fisik pada pasien Diabetes Mellitus meliputi:

1. Pengukuran tinggi badan, berat badan, dan linggar pinggang 2. Pemeriksaan ektremitas atas dan bawah, termasuk jari 3. Pemeriksaan funduskopi 4. Pemeriksaan rongga mulut dan kelenjar tiroid 5. Pemeriksaan jantung 6. Evaluasi nadi, baik secara palpasi maupun dengan stetoskop 7. Pemeriksaan kulit (acantosis nigrican dan bekas tempat penyuntikan insulin) dan

pemeriksaan neurologis 8. Pengukuran tekanan darah, termasuk pengukuran tekanan darah dalam posisi berdiri

untuk mencari kemungkinan adanya hipotensi ortostatik, serta ankle brachial index (ABI), untuk mencari kemungkinan penyakit pembuluh darah arteri tepi

9. Tanda-tanda penyakit lain yang dapat menimbulkan DM tipe lain

Pemeriksaan Penunjang• Glukosa darah puasa dan 2 jam post prandial

27

Page 32: Modul 1 Sistem Terapeutik

• A1C• Profil lipid pada keadaan puasa (kolesterol total, HDL, LDL, dan trigliserida)• Kreatinin serum• Albuminuria• Keton, sedimen, dan protein dalam urin• Elektrokardiogram• Foto sinar-x dada

Kriteria Diagnosis Diabetes Melitus

1. TGT: Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO didapatkan glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140 – 199 mg/dL (7,8-11,0 mmol/L).

2. GDPT: Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa plasma puasa didapatkan antara 100 – 125 mg/dL (5,6 – 6,9 mmol/L) dan pemeriksaan TTGO gula darah 2 jam < 140 mg/dL.

Interpretasi Hasil Pemeriksaan Penunjang

Skenario Baik Sedang Buruk

GDP (mg/dL)

Kunjungan I : 118Kunjungan II – 10 bulan kemudian :156

80 – <100 100 - 125 >126

GD2PP (mg/dL)

- 110 – 114 145 - 179 >180

A1C (%) Kunjungan I : 6,9Kunjungan II –

<6,5 6,5 – 8 >8

28

Page 33: Modul 1 Sistem Terapeutik

10 bulan kemudian :7,8

Kolesterol total

202 <200 200 - 239 >240

Kolesterol LDL

119 <100 100 - 129 >130

Kolesterol HDL

38 >45

Trigliserida (mg/dL)

227 <150 150 - 199 >200

IMT (kg/m2)

34 18,5 – 22,9 23 - 25 >25

Tekanan darah (mmHg)

138/80 <130/80 130-140/ 80-90 >140/90

29

Page 34: Modul 1 Sistem Terapeutik

8. Jelaskan terapi non-farmakologi pada DM Tipe II! Edukasi, lifestyle, cara motivasi pasien, olahraga dan diet!

Jawab :

Terapi nonfarmakologi pada dasarnya adalah perubahan gaya hidup yang mencakup

pengaturan pola makan yang sering disebut sebagai edukasi, terapi gizi, latihan jasmani dan

berbagai masalah yang terkait tentang penyakit diabetes melitus. Terapi nonfarmakologi ini

sebagai dasar, dilakukan terus menerus mendampingi terapi farmakologi.

EDUKASI

Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah terbentuk

dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan partisipasi aktif pasien,

keluarga dan masyarakat (PERKENI, 2006).

Tujuan dari edukasi pada pasien diabetes adalah mendukung usaha pasien penyandang

diabetes untuk mengerti perjalanan penyakitnya dan pengelolaannya, mengenali masalah

kesehatan / komplikasi yang mungkin timbul secara dini, pengelolaan penyakit secara

mandiri, dan perubahan perilaku / kebiasaan kesehatan yang diperlukan.

Edukasi pada penyandang diabetes meliputi pemantauan glukosa mandiri, perawatan

kaki, ketaatan pengunaan obat-obatan, berhenti merokok, meningkatkan aktifitas fisik, dan

mengurangi asupan kalori dan diet tinggi lemak.

TERAPI GIZI

Terapi gizi merupakan bagian penatalaksanaan diabetes secara total. Kunci keberhasilan

terapi gizi adalah keterlibatan secara menyeluruh dari anggota Tim (dokter, ahli gizi, petugas

kesehatan yang lain serta diabetisi dan keluarganya). Setiap diabetisi sebaiknya mendapatkan

terapi nutrisi medis sesuai dengan kebutuhan guna mencapai sasaran terapi.

Terapi gizi ini pada dasarnya adalah melakukan pengaturan pola makan yang didasarkan

pada status gizi, kebiasaan makan, dan kondisi atau komplikasi yang telah ada.

Terapi gizi ini dapat dipakai sebagai pencegahan timbulnya diabetes bagi penderita yang

mempunyai risiko diabetes, terapi pada penderita yang sudah terdiagnosa diabetes (diabetisi)

serta mencegah atau memperlambat laju berkembangnya komplikasi diabetes.

Tujuan diet pada diabetes adalah:

a. Mencapai dan kemudian mempertahankan kadar glukosa darah mendekati kadar

30

Page 35: Modul 1 Sistem Terapeutik

normal.

b. Mencapai dan mempertahankan lipid mendekati kadar yang optimal.

c. Mencegah komplikasi akut dan kronik.

d. Meningkatkan kualitas hidup.

Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes yaitu makanan yang seimbang,

sesuai dengan kebutuhan kalori masing-masing individu, dengan memperhatikan keteraturan

jadwal makan, jenis dan jumlah makanan. Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari:

Karbohidrat

Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi.

Makanan harus mengandung karbohidrat terutama yang berserat tinggi.

Makan tiga kali sehari untuk mendistribusikan asupan karbohidrat dalam sehari. Kalau

diperlukan dapat diberikan makanan selingan buah atau makanan lain sebagai bagian dari

kebutuhan kalori sehari.

Lemak

Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori. Tidak diperkenankan

melebihi 30% total asupan energi.

Lemak jenuh < 7 % kebutuhan kalori

Lemak tidak jenuh ganda < 10 %, selebihnya dari lemak tidak jenuh tunggal.

Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung lemak jenuh dan

lemak trans antara lain : daging berlemak dan susu penuh (whole milk).

Anjuran konsumsi kolesterol < 300 mg/hari.

Protein

Dibutuhkan sebesar 10 – 20% total asupan energi.

Sumber protein yang baik adalah seafood (ikan, udang, cumi, dll), daging tanpa lemak,

ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-kacangan, tahu, tempe.

Pada pasien dengan nefropati perlu penurunan asupan protein menjadi 0,8 g/kg BB

perhari atau 10% dari kebutuhan energi dan 65% hendaknya bernilai biologik tinggi.

Natrium

Anjuran asupan natrium untuk penyandang diabetes sama dengan anjuran untuk

masyarakat umum yaitu tidak lebih dari 3000 mg atau sama dengan 6-7 g (1 sendok teh)

garam dapur.

Mereka yang hipertensi, pembatasan natrium sampai 2400 mg garam dapur.

31

Page 36: Modul 1 Sistem Terapeutik

Sumber natrium antara lain adalah garam dapur, vetsin, soda, dan bahan pengawet seperti

natrium benzoat dan natrium nitrit.

Serat

Seperti halnya masyarakat umum penyandang diabetes dianjurkan mengonsumsi cukup

serat dari kacang-kacangan, buah dan sayuran serta sumber karbohidrat yang tinggi serat,

karena mengandung vitamin, mineral, serat dan bahan lain yang baik untuk kesehatan.

Anjuran konsumsi serat adalah ± 25 g/1000 kkal/hari.

Prinsip Pembagian Porsi Makanan Pada Pasien DM

Disarankan porsi terbagi menjadi 3 porsi besar dan 3 porsi kecil.

3 porsi besar yang dimaksud adalah: makan pagi, makan siang, makan malam.

3 porsi kecil yang dimaksud adalah: makan selingan pagi, makan selingan siang, makan

selingan malam.

Bahan makanan yang dianjurkan

(1) Sumber karbohidrat kompleks : nasi, roti, mie, kentang, singkong, ubi dan sagu.

(2) Sumber protein rendah lemak : ikan, ayam tanpa kulit, susu skim, tempe, tahu, dan

kacang-kacangan

(3) Sumber lemak dalam jumlah terbatas yaitu makanan yang mudah dicerna. Makanan

terutama diolah dengan cara dipanggang , dikukus, disetup, direbus, dibakar.

(4) Buah, contoh: apel, pisang, pir, jeruk, buah naga.

(5) Sayuran dibagi 2 golongan : sayur golongan A dan golongan B

32

Page 37: Modul 1 Sistem Terapeutik

(a) Sayur golongan A bebas dikonsumsi, sangat sedikit mengandung energy, protein,

karbohidrat. Jenis sayuran gol A: oyong, lobak, selada, jamur segar, mentimun,

tomat, sawi, tauge, kangkung, kembang kol, kol, lobak, labu air

(b)Sayur golongan B boleh dikonsumsi, tapi hanya 100 gram/hari. Jenis sayuran gol

B diantaranya: buncis, labu siam, nangka muda, jagung muda, kacang kapri,

daun beluntas, bayam, kacang panjang, wortel.

Bahan makanan yang tidak diaanjurkan (dibatasi/dihindari)

(1) Mengandung banyak gula sederhana seperti :

(a) Gula pasir, gula jawa

(b) Sirup, jelly, buahn-buahan yang diawetkan dengan gula , susu kental manis,

minuman botol ringan dan es cream

(c) Kue-kue

(2) Mengandung banyak lemak : cake, makanan siap saji, goreng-gorengan.

LATIHAN JASMANI

Latihan Jasmani Latihan jasmani secara teratur 3-4 kali seminggu. Olahraga yang

disarankan adalah yang bersifat CRIPE (Continuous, Rhytmical, Interval, Progressive,

Endurance Training). Sedapat mungkin mencapai zona sasaran 75-85% denyut nadi

maksimal (220-umur), disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi penderita. Beberapa

contoh olah raga yang disarankan, antara lain jalan atau lari pagi, bersepeda, berenang, dan

lain sebagainya. Olahraga aerobik ini paling tidak dilakukan selama total 30-40 menit per hari

didahului dengan pemanasan 5-10 menit dan diakhiri pendinginan antara 5-10 menit. Olah

raga akan memperbanyak jumlah dan meningkatkan aktivitas reseptor insulin dalam tubuh

dan juga meningkatkan penggunaan glukosa.

CARA MEMOTIVASI PASIEN AGAR PATUH DALAM TATALAKSANA DM

33

Page 38: Modul 1 Sistem Terapeutik

Untuk memotivasi pasien agar pasien patuh untuk mengatasi penyakitnya sendiri yaitu

dengan dorongan dari internal dan juga external.

Segi penderita (internal)

Usaha yang dapat dilakukan penderita DM untuk meningkatkan kepatuhan dalam menjalani

terapi diet, olahraga dan pengobatan yaitu :

1) Meningkatkan kontrol diri.

Penderita DM harus meningkatkan kontrol dirinya untuk meningkatkan ketaatannya

dalam menjalani pengobatan, karena dengan adanya kontrol diri yang baik dari penderita DM

akan semakin meningkatkan kepatuhannya dalam menjalani pengobatan. Kontrol diri yang

dilakukan meliputi kontrol berat badan, kontrol makan dan emosi.

2) Meningkatkan efikasi diri.

Efikasi diri dipercaya muncul sebagai prediktor yang penting dari kepatuhan. Seseorang

yang mempercayai diri mereka sendiri untuk dapat mematuhi pengobatan yang kompleks

akan lebih mudah melakukannya.

3) Mencari informasi tentang pengobatan DM

Kurangnya pengetahuan atau informasi berkaitan dengan kepatuhan serta keinginan dari

penderita untuk mencari informasi mengenai DM dan terapi medisnya, informasi tersebut

biasanya didapat dari berbagai sumber seperti media cetak, elektronik atau melalui program

pendidikan di rumah sakit. Penderita DM hendaknya benar-benar memahami tentang

penyakitnya dengan cara mencari informasi mengenai tatalaksana penyakitnya tersebut.

4) Meningkatkan monitoring diri

34

Page 39: Modul 1 Sistem Terapeutik

Penderita DM harus melakukan monitoring diri, karena dengan monitoring diri,

penderita dapat lebih mengetahui tentang keadaan dirinya seperti keadaan gula dalam

darahya, berat badan, dan apapun yang dirasakanya.

Segi tenaga medis (external)

Usaha-usaha yang dilakukan oleh orang-orang di sekitar penderita DM untuk

meningkatkan kepatuhan dalam menjalani pengobatan antara lain :

1) Meningkatkan keterampilan komunikasi para dokter

Salah satu strategi untuk meningkatkan kepatuhan adalah memperbaiki komunikasi

antara dokter dengan pasien. Ada banyak cara dari dokter untuk menanamkan kepatuhan

dengan dasar komunikasi yang efektif dengan pasien.

2) Memberikan informasi yang jelas kepada pasien tentang penyakitnya dan cara

pengobatanya. Tenaga kesehatan, khususnya dokter adalah orang yang berstatus

tinggi

3) Bagi kebanyakan pasien dan apa yang ia katakan secara umum diterima sebagai

sesuatu yang sah atau benar.

3) Memberikan dukungan sosial

Tenaga kesehatan harus mampu mempertinggi dukungan sosial. Selain itu keluarga dan

orang terdekat pasien juga ikut dilibatkan dalam memberikan dukungan kepada pasien,

karena hal tersebut juga akan menigkatkan kepatuhan, bahwa dukungan tersebut bisa

diberikan dengan bentuk perhatian dan memberikan nasehatnya yang bermanfaat bagi

kesehatannya.

PENGARUH OLAHRAGA DAN DIET

MANFAAT OLAHRAGA PADA PASIEN DM TIPE II

35

Page 40: Modul 1 Sistem Terapeutik

Mengontrol kadar gula darah, terutama pada DM tipe II yang melakukakn olahraga

secara teratur maka monitoring kada gula darah HbA1C mengalami perbaikan. Glukosa

darah dibakar menjadi energi sehingga sel-sel menjadi lebih sensitif terhadap insulin.

Menghambat dan memperbaiki faktor risiko penyakit kardiovaskular yang banyak terjadi

pada penderita DM, olahraga dapat membantu memperbaiki profil lemak darah,

menurunkan kolestrol total.

Menurunkan berat badan sehingga dapat memperbaiki resistensi insulin, mengontrol

kadar gula darah dan menghambat risiko dari terjadinya penyakit PJK.

Mengurangi rasa cemas terhadap penyakitnya sehingga kualitas hidupnya mengingkat

meskipun ia penderita DM menahun.

MANFAAT DIET TERHADAP PASIEN DM TIPE II

Mengendalikan kadar glukosa darah dan lemak darah agar komplikasi diabetes dapat

dicegah atau ditunda

Mendapatkan dan mempertahankan BB normal atau ideal

Menghasilkan status gizi yang adekuat

Menghasilkan kebugaran dan membuat tubuh merasa lebih nyaman karena pengendalian

gula darah dapat menghilangkan keluhan mudah lelah, sering pusing atau sakit kepala,

kram, kesemutan, gatal-gatal dan sebagainya.

36

Page 41: Modul 1 Sistem Terapeutik

9. Jelaskan tatalaksana dan komplikasi yang timbul pada skenario!

Jawab :

Hipoglikemia

Adalah suatu keadaan klinik gangguan sarafyang disebabkan penurunan glukosa darah. Gejala dapat ringan berupa gelisah sampai berat berupa koma disertai kejang. Penyebab tersering hipglikemia adalah akibat obat hipoglikemik oral golongan sulfonilurea, khususnya klorpopamida dan glibenklamida.Penyebab hipoglikemia :- Makan kurang dari aturan yang ditentukan- Berat badan turun- Sesudah olahraga- Sesudah melahirkan - Sembuh dari sakit- Makan obat yang mempunyai sifat serupa- Pemberian suntikan insulin yang tidak tepat

Pengobatan hipoglikemia

Pada keadaan apapun pengobatan yang paling baik adalah pencegahan. Bila hypokalemia telah terjadi maka pengobatan harus segera dilaksanankan terutama gangguan terhadap otak yang paling sensitive terhadap penurunan glukosa darah :

a) Stadium permulaan (sadar)Pemberian gula murni ±30 g (2 sendok makan) atau sirup, permen dan makanan yang mengandung hidrat arang. Stop obat hipoglikemik, periksa glukosa darah sewaktu dan pemulihan ulang setiap 4 jam setelah 24 jam penderita OADperlu dikaji ulang.

b) Stadium lanjut (koma hipoglikemi)Penanganan keadaan darurat ini harus cepat dan tepat. Berikan larutan glukosa 40% sebanyak 2 flakon, intravena setiap 10-20 menit hingga pasien sadar disertai pemberian cairan dextrose 10% per infus 6 jam per kolf, untuk mempertahankan glukosa darah dalam nilai normal atau diatas normal. Bila belum teratasi dapat diberikan antagonis insulin seperti : adrenalin, kortison dosis tinggi atau glucagon 1 mg intravena tetapi sebaiknya penggunaan adrenalin perlu dibatasi mengingat efek sampingnya.

1. Hipergilkemia a. Ketoasidosis Diabetik (KAD)

Adalah defisiensi insulin berat dan akut dari suatu perjalanan penyakit dm. timbulnya KAD merupakan ancaman kematian bagi penyandang DM.Pengobatan :- Rehidrasi

Rehidrasi cepat merpakan tindakan awak yang harus segera dilakukan. Cairan yang dipilih adalah NaCl 0,9%, meskipun ada pendapat lebih baik

37

Page 42: Modul 1 Sistem Terapeutik

digunakan 0,45%. Pemberian cairan sebanyak 1 liter pada 30 menit pertama kemudian 0,5 liter pada 30 menit kedua, jadi berjumlah 3 liter pada jam pertama. Setelah itu cairan diberikan sesuai tingkat dehidrasi. Pada permulaan diagnosis,plasma expander sangat berguna pada keadaan syok. Bila kadar glukosa darah <200 mg/dl, NaCl 0,9% segera diganti dengan dextrose 5%.

- InsulinInsulin mulai diberikan pada jam ke-2, dalam bentuk bolus (IV) dosis 180 mU/Kg BB, dilanjutkan dengan drip insulin 90 mU/jam/kgBB dalam NaCl 0,9%. Bila glukosa darah <200 mg/dl, kecepatan dikurangi menjadi 45 mU/KgBB. Bial glukos darah stabil sekitar 200-300 mg/dl selama 12 jam, dilanjutkan dengan drip insulin 1-2 unit/jam dan dilakukan penyesuaian kebutuhan insulin setiap 6 jam.

- BikarbonasKoreksi natrium bikarbonat dilakukan bila pH <7,1. Pemberian bikarbonas berlebihan dan tidak tepat akan menimbulkan asidosis serbral.

- KaliumPemberiaan kalium agak penting terutama pada pasien yang tidak mengalami syok. Cara pemberian tergantung skema pengobatan yang dipergunakan. Sumplementasi kalium dapat dilakukan perinfus atau bila pasien sadar dapat diberikan peroral. Bila pH naik, kalium akan turun oleh karena itu pemberian Natrium Bikarbonat disertai dengan pemberian kalium.

- AntibiotikaUntuk mencegah infeksi atau meluasnya infeksi maka sebaiknya antibiotika adekuat diberikan pada waktu permulaan. Bila keadaan tidak mememungkinkan dapat diberikan sefalosporin 2-3 g IV per hari atau floxacine sambil emnungu hasil mikroba dan resistensinya.

- Pengobatan KAD dengan infuse insulin dosis rendah b. Hiperglikemik Non-Ketotik (HNK)

HNK ditandai dengan hiperglikemia berat non ketotik atau ketotik atau asidosis sedang.pada keadaan lanjut dapat mengalami koma. Koma hyperosmolar hiperglikemia nonketotik ialah sindrom yang ditandai hiperglikemia berat, hyperosmolar, dehidrasi berat tanpa ketoasidosisdisertai menurunnya kesadaran. Pengobatan :- Cairan

1) NaClBisa diberikan cairan isotonic atau hipotonik ½ normal, diguyur 1000ml/jam sampai keadaan dimana cairan intravaskular dan perfusi jarinagn mulai membaik, baru diperhitungkan kekuranganya dan diberikan dalam 12-48 jam. Pemberian cairan isotonic harus mendapat pertimbangan untuk pasien dengan kegagalan jantung, penyakit ginjal atau hypernatremia. Untuk memonitor rehidrasi dengan baik sebaiknya dipasang CVP monitoring.

2) Glukosa 5% diberikan pada waktu kadar gula drah sekitar 200-250mg%

38

Page 43: Modul 1 Sistem Terapeutik

- InsulinPada saat ini para ahli menganggap hyperosmolar hiperglikemik non ketotik sensitive terhadap insulin dan diketahui pula bahwa terapi dengan insulin dosis rendah pada ketoasidosis diabetic sangat bemanfaat, maka penatalaksanaan terapi bisa menggunakan skema mirip protocol terapi ketoasidosis diabetic dapat digunakan tanpa menggunakan bolus insulin. Pembelian insulin drip sangat dianjurkan dengan monitoring yang tepat.

- KaliumKalium darah harus dimonitor dengan baik, segera tampak fungsi membaik maka perhitungan kekurangan harus segera diberikan.

- Hindari infeksi sekunderHati-hati dengan suntikan, pemasangan infus set, kateter dan lain-lain.

Komplikasi akut DM berupa hipoglikemia dan hiperglikemia asidosis maupun non-ketotik mempunyai angka kematian yang tinggi disebabkan karena ketidaktahuan pasien faktor keterlambatan datang ke rumah sakit. Angka kematian yang sangat tinggi dapat dicegah dengan informasi penyakit DM secar umum, melakukan edukasi dan self monitoring gula darah yang tepat bagi pasien-pasien. Didalam mengobati komplikasi akut ini perlu mencari factor penyebabnya agar dapat memberikan pengobatan yang tepat untuk penyakit penyerta serta mencegah terulangnya episode komplikasi akut ini pada masa yang akan datang.

39

Page 44: Modul 1 Sistem Terapeutik

10. Jelaskan kesesuaian terapi dengan kondisi pasien!

Jawab :

EFIKASI KEAMANAN KESESUAIAN BIAYA

Metformin(500-850 mg)(Gol.Biguanid)

Menurunkan produksi glukosa di hepar

Aman bagi penderita DM tanpa gangguan fungsi ginjal dan hati.

Dapat menurunkan berat badan meskipun belum diketahui mekanisme yang jelas

Terjangkau

Acarbose(50-30 mg)(Gol.Penghambat alfa glukosidse)

Menurunkan glukosa plasma post prandial, pada DM tipe 2 dapat menurunkan HbA1c secara bermakna

Aman karena walaupun terjadi efek samping, akan menghilang setelah pengobatan lebih lama

Efektif bagi pasien dengan diet tinggi kH dan kadar GDP <180 mg/dL

Mahal

1. Biguanid

Nama obat: Metformin

Merk dagang: Glucophage, Diabex, Neodipar.

Dosis harian: 250-3000 mg

Lama Kerja: 6-8 jam

Frekuensi pemberian: 1-3

Efek samping: nausea, muntah-muntah, kadang diare.

Kontra indikasi :

Gangg. Fungsi ginjal (kreainin: >1,5 mg/dL bagi laki2 dan >1,4 mg/dL bagi perempuan)

Dehidrasi

Gangg. Fungsi hati

Asidosis metabolik

40

Page 45: Modul 1 Sistem Terapeutik

Usia Lanjut

Gagal jantung

Edukasi: Obat ini sebaiknya diberikan bersama makanan.

2. Penghambat alfa glukosidase

Nama obat: Acarbose

Merk dagang: Glucobay

Dosis harian: 50-300 mg

Lama kerja: 1-3 jam

Frekuensi pemberian: -

Efek samping: perut kurang enak, lebih banyak flatus, kadang diare.

Edukasi: Obat ini sebaiknya diberikan dengan dosis awal 50 mg dan dinaikan secara bertahap, serta dianjurkan untuk memberikannya bersama suap pertama setiap kali makan.

41

Page 46: Modul 1 Sistem Terapeutik

11. Jelaskan cara mengevaluasi hasil pengobatan pada pasien!

Jawab :

Evaluasi medis secara berkala Jasmani lengkap Mikroalbuminuria Kreatinin Albumin / globulin dan ALT Kolesterol total, kolesterol LDL, kolesterol HDL, dan trigliserida EKG Foto sinar-X dada Funduskopi

Penilaian hasil terapiDalam praktek sehari-hari, hasil pengobatan DM tipe 2 harus dipantau secara terencana dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan jasmani, dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah:Pemeriksaan kadar glukosa darahTujuan pemeriksaan glukosa darah:• Untuk mengetahui apakah sasaran terapi telah tercapai• Untuk melakukan penyesuaian dosis obat, bila belum tercapai sasaran terapi. Guna mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah puasa, glukosa 2 jam post prandial, atau glukosa darah pada waktu yang lain secara berkala sesuai dengan kebutuhan.Pemeriksaan A1CTes hemoglobin terglikosilasi, yang disebut juga sebagai glikohemoglobin, atau hemoglobin glikosilasi (disingkat sebagai A1C), merupakan cara yang digunakan untuk menilai efek perubahan terapi 8-12 minggu sebelumnya. Tes ini tidak dapat digunakan untuk menilai hasilpengobatan jangka pendek. Pemeriksaan A1C dianjurkan dilakukan setiap 3 bulan, minimal 2 kali dalam setahun.Pemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM)Untuk memantau kadar glukosa darah dapat dipakai darah kapiler. Saat ini banyak dipasarkan alat pengukur kadar glukosa darah cara reagen kering yang umumnya sederhana dan mudah dipakai. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah memakai alat-alat tersebut dapat dipercaya sejauh kaliberasi dilakukan dengan baik dan cara pemeriksaan dilakukan sesuai dengan cara standar yang dianjurkan. Secara berkala, hasil pemantauan dengan cara reagen kering perlu dibandingkan dengan cara konvensional. PGDM dianjurkan bagi pasien dengan pengobatan insulin atau pemicu sekresi insulin. Waktu pemeriksaan PGDM bervariasi, tergantung pada tujuan pemeriksaan yang pada umumnya terkait dengan terapi yang diberikan. Waktu yang dianjurkan adalah pada saat sebelum makan, 2 jam setelah makan (menilai ekskursi maksimal glukosa), menjelang waktu tidur (untuk menilai risiko hipoglikemia), dan di antara siklus tidur (untuk menilai adanya hipoglikemia nokturnal yang kadang tanpa gejala), atau ketika mengalami gejala seperti hypoglycemic spells. Prosedur PGDM dapat dilihat pada tabel 5.PDGM terutama dianjurkan pada:- Penyandang DM yang direncanakan mendapat terapiinsulin- Penyandang DM dengan terapi insulin berikuto Pasien dengan A1C yang tidak mencapaitarget setelah terapi

42

Page 47: Modul 1 Sistem Terapeutik

o Wanita yang merencanakan hamilo Wanita hamil dengan hiperglikemiao Kejadian hipoglikemia berulang32 Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2

Table 5. Prosedur pemantauan

*ADA menganjurkan pemeriksaan kadar glukosa darah malam hari (bedtime)dilakukan pada jam 22.00

Pemeriksaan Glukosa UrinPengukuran glukosa urin memberikan penilaian yang tidak langsung. Hanya digunakan pada pasien yang tidak dapat atau tidak mau memeriksa kadar glukosa darah. Batas ekskresi glukosa renal rata-rata sekitar 180 mg/dL, dapat bervariasi pada beberapa pasien, bahkan pada pasien yang sama dalam jangka waktu lama. Hasil pemeriksaan sangat bergantung pada fungsi ginjal dan tidak dapat dipergunakan untuk menilai keberhasilan terapi.

Pemantauan Benda KetonPemantauan benda keton dalam darah maupun dalam urin cukup penting terutama pada penyandang DM tipe 2 yang terkendali buruk (kadar glukosa darah >300 mg/dL). Pemeriksaan benda keton juga diperlukan pada penyandang diabetes yang sedang hamil. Tes benda keton urin mengukur kadar asetoasetat, sementara benda keton yang penting adalah asam beta hidroksibutirat. Saat ini telah dapat dilakukan pemeriksaan kadar asam beta

Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2hidroksibutirat dalam darah secara langsung dengan menggunakan strip khusus. Kadar asam betahidroksibutirat darah <0,6 mmol/L dianggap normal, di atas 1,0 mmol/L disebut ketosis dan melebihi 3,0 mmol/L indikasi adanya KAD. Pengukuran kadar glukosa darah dan benda keton secara mandiri, dapat mencegah terjadinya penyulit akut diabetes, khususnya KAD.

Pemantauan Berat BadanPerhitungan berat badan Ideal (BBI) dengan rumus Brocca yangdimodifikasi adalah sbb: Berat badan ideal = 90% x (TB dalam cm - 100) x 1 kg. Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita dibawah 150 cm, rumus dimodifikasi menjadi :Berat badan ideal (BBI) = (TB dalam cm - 100) x 1 kg.

43

Page 48: Modul 1 Sistem Terapeutik

BB Normal : BB ideal ± 10 %Kurus : < BBI - 10 %Gemuk : > BBI + 10 %

Perhitungan berat badan ideal menurut Indeks Massa Tubuh (IMT).Indeks massa tubuh dapat dihitung dengan rumus:IMT = BB(kg)/ TB(m2)Klasifikasi IMT* BB Kurang < 18,5 BB Normal 18,5-22,9 BB Lebih ≥ 23,0o Dengan risiko 23,0-24,9o Obes I 25,0-29,9

44

Page 49: Modul 1 Sistem Terapeutik

BAB III

Kesimpulan

45

Page 50: Modul 1 Sistem Terapeutik

DAFTAR PUSTAKA

Goodman, Gilman.2015.Dasar Famakologi Terapi.Jakarta:EGC

Michele Woodley, Alison Whelan. 1995. Pedoman Pengobatan. Yogyakarta : Yayasan Essentia Medica.PERKENI. Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia; 2011.PERKENI. Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia; 2006.Soewondo Pradana, Soegondo Sidartawan, dan Subekti Imam. 2013. Penatalaksanaan

Diabetes Melitus Terpadu. Jakarta: FKUI.

Sudoyo, Aru W. 2009. BUKU AJAR ILMU PENYAKIT DALAM jilid 3. Jakarta : InternaPublishing

Sylvia A Price, Lorraine M Wilson. 2003. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses

Penyakit edisi 6 Volume 2. Jakarta : Penerbit buku kedokteran EGC.

46