85
2 - 1 Modul 2 Pengumpulan dan Analisis Data Spasial serta Pemetaan untuk Mendukung RZWP-3-K Tujuan Peserta dapat memahami kebutuhan data dasar dan tematik, pengumpulan data, survei lapangan, penyusunan peta tematik, dan penyusunan paket sumberdaya. Topik Kebutuhan data dasar dan tematik Pengumpulan data Survei lapangan Penyusunan peta tematik Penyusunan paket sumberdaya Penyajian peta Durasi Durasi penyampaian materi di dalam modul ini secara keseluruhan ialah selama 90 menit. Metode Materi di dalam modul ini disampaikan dengan pendekatan partisipatif dan menggunakan metode yang interaktif. Bahan dan Alat Bahan dan alat yang digunakan dalam penyampaian modul meliputi: presentation slides, LCD/Proyektor, Laptop, flipchart, pointer laser serta perlengkapan untuk simulasi dan diskusi kelompok sesuai kebutuhan.

Modul 2 Pengumpulan Dan Analisis Data 13 Juni 2014

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Modul 2 Pengumpulan Dan Analisis Data 13 Juni 2014

Citation preview

Page 1: Modul 2 Pengumpulan Dan Analisis Data 13 Juni 2014

2 - 1

Modul 2 Pengumpulan dan Analisis Data Spasial

serta Pemetaan untuk Mendukung RZWP-3-K

Tujuan

Peserta dapat memahami kebutuhan data dasar dan tematik, pengumpulan data, survei

lapangan, penyusunan peta tematik, dan penyusunan paket sumberdaya.

Topik

Kebutuhan data dasar dan tematik

Pengumpulan data

Survei lapangan

Penyusunan peta tematik

Penyusunan paket sumberdaya

Penyajian peta

Durasi

Durasi penyampaian materi di dalam modul ini secara keseluruhan ialah selama 90

menit.

Metode

Materi di dalam modul ini disampaikan dengan pendekatan partisipatif dan

menggunakan metode yang interaktif.

Bahan dan Alat

Bahan dan alat yang digunakan dalam penyampaian modul meliputi: presentation slides,

LCD/Proyektor, Laptop, flipchart, pointer laser serta perlengkapan untuk simulasi dan

diskusi kelompok sesuai kebutuhan.

Page 2: Modul 2 Pengumpulan Dan Analisis Data 13 Juni 2014

2 - 2

Modul 2

Pengumpulan dan Analisis Data Spatial

serta Pemetaan untuk Mendukung RZWP-3-K

A. Data apa saja yang dibutuhkan dalam penyusunan RZWP-3-K?

Penyusunan Rencana Zonasi Wilayah dan Pulau-pulau Kecil (RZWP-3-K) di tingkat propinsi,

kabupaten dan kota membutuhkan berbagai macam data, baik spasial maupun non-spasial. Data

spasial merupakan data dan informasi yang memiliki referensi geografis dan/atau informasi lokasi

dalam kedudukannya di ruang muka bumi, sedangkan data non-spasial tidak berhubungan dengan

referensi geografis, yang meliputi data statistik dan informasi deskriptif.

Data spasial merupakan input utama dalam penyusunan peta RZWP-3-K. Data spasial yang

digunakan dalam penyusunan RZWP-3-K terdiri dari 12 dataset yang meliputi dua dataset dasar

(baseline dataset) dan 10 dataset tematik (thematic dataset), dengan rincian sebagai berikut:

Dataset dasar terdiri dari:

1) Terestrial

2) Batimetri

Dataset tematik terdiri dari:

1) Geologi dan geomorfologi laut

2) Oseanografi

3) Penggunaan Lahan dan Status Lahan

4) Pemanfaatan Wilayah Laut Eksisting

5) Sumberdaya Air

6) Ekosistem Pesisir dan Sumberdaya Ikan

7) Infrastruktur

8) Demografi dan Sosial

9) Ekonomi Wilayah

10) Risiko Bencana dan Pencemaran

Kebutuhan data spasial selengkapnya dapat dilihat pada Tabel Kebutuhan Data pada

Lampiran 1a dan 1b.

Data spasial dasar dan tematik yang dibutuhkan dalam penyusunan RZWP-3-K propinsi,

kabupaten, dan kota memiliki skala yang berbeda, yaitu:

Propinsi : minimum skala 1 : 250.000

Kabupaten : minimum skala 1 : 50.000

Kota : minimum skala 1 : 25.000

Page 3: Modul 2 Pengumpulan Dan Analisis Data 13 Juni 2014

2 - 3

Dalam penyusunan RZWP-3-K propinsi, kabupaten dan kota, data spasial yang digunakan

adalah data spasial yang memenuhi syarat kualitas dan kuantitas data sesuai dengan kebutuhan

untuk menyusun RZWP-3-K di tingkat pemerintahan tersebut di atas. Adapun persyaratan kualitas

dan kuantitas data untuk penyusunan RZWP-3-K adalah sebagai berikut:

1) Kualitas data

Skala

Skala memberikan informasi mengenai perbandingan antara ukuran obyek di peta

dibandingkan dengan kondisi sebenarnya di lapangan. Untuk tingkatan perencanaan propinsi, skala

yang harus digunakan ialah minimum 1 : 250.000; kabupaten dengan skala minimum 1 : 50.000; dan

kota minimum skala 1 : 25.000.

Akurasi geometrik

Akurasi geometrik merupakan informasi mengenai ketepatan posisi dan presisi dalam

penyusunan peta dasar atau tematik sesuai dengan sistem/kerangka/referensi koordinat yang telah

ditetapkan di Indonesia. Sebagai acuan standar, proyeksi yang digunakan dalam pemetaan adalah

Universal Transverse Mercator (UTM) dan datum horisontal yang digunakan adalah World Geodetik

System 1984 (WGS-84). Dengan persyaratan akurasi geometrik ini, seluruh data spasial yang

digunakan diharuskan mengacu pada proyeksi dan datum tersebut, sehingga seluruh data spasial

dapat diintegrasikan dalam satu sistem dengan tepat.

Tingkat kedalaman data

Tingkat kedalaman data hampir mirip dengan tingkat kedetailan data. Data atau informasi

yang dipetakan pada saat proses penyusunan data/peta tematik, baik pada saat identifikasi obyek

dari citra satelit maupun pada saat survei lapangan, memiliki tingkat kedalaman informasi yang

berbeda.

Pada saat interpretasi citra satelit, tingkat kedalaman data menentukan seberapa detail

obyek tertentu dapat diidentifikasi. Sebagai contoh, pada saat delineasi mangrove dengan

menggunakan citra satelit A akan menghasilkan tingkat kedalaman informasi yang berbeda pada

saat delineasi menggunakan citra satelit B. Contoh lain adalah pada saat survei dan pengambilan

sampel di lapangan, skala survei dan berapa besar jumlah sampel yang diambil, akan

mempengaruhi tingkat kedalaman informasi yang dihasilkan. Untuk informasi tingkat kedalaman

data pada data sekunder (peta analog maupun digital) dapat diketahui dari riwayat peta dan

metadata (informasi mengenai data). Informasi yang tersaji di dalam setiap peta tematik dapat

diklasifikasikan lagi, secara lebih rinci, dan bervariasi, karena bergantung kepada skala yang

digunakan.

Tingkat kedetailan data

Tingkat kedetailan data menentukan sejauh mana informasi dari peta tematik dapat

dikeluarkan. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, pada skala 1 : 250.000, 1 : 50.000 dan

Page 4: Modul 2 Pengumpulan Dan Analisis Data 13 Juni 2014

2 - 4

1 : 25.000, klasifikasi informasi yang dikeluarkan melalui peta tematik akan berbeda-beda. Skala 1 :

25.000 akan memberikan informasi yang paling detail. Pada peta analog, tingkat kedetailan data

dapat diketahui dari legenda peta, sedangkan pada data/peta digital, kedetailan data dapat dilihat

dari tingkatan klasifikasi pada data atributnya. Dengan persyaratan kedetailan data, seluruh data

tematik yang digunakan harus mengacu pada standar klasifikasi data yang ada sesuai tingkatan

perencanaannya.

Kemutakhiran data

Ada persyaratan batasan waktu terhadap data sekunder (data spasial dan di luar spasial)

yang dapat digunakan dalam penyusunan rencana zonasi WP-3-K. Batasan waktu ini mencakup

waktu penyusunan data, waktu verifikasi lapangan, sumber-sumber data yang digunakan dan

konsistensi waktu untuk berbagai data spasial yang digunakan. Kemutakhiran data untuk masing-

masing peta tematik berbeda-beda, tergantung sifat dari obyek-obyek yang dipetakan. Sebagai

contoh, kemutakhiran data untuk peta penggunaan lahan perkotaan berbeda dengan kemutakhiran

data untuk peta geologi.

Kelengkapan atribut

Ada persyaratan mengenai kelengkapan atribut di dalam setiap data spasial, terutama data

digital. Kelengkapan atribut sangat tergantung pada tipe data dan skala pemetaan. Sebagai contoh

untuk data spasial mangrove pada skala 1 : 250.000 memiliki kelengkapan atribut: id (identitas

poligon), koordinat, jenis penutupan lahan (mangrove dan selain mangrove), dan luas. Untuk skala

1 : 50.000 kelengkapan atribut: id, koordinat, jenis penutupan (mangrove dan selain mangrove),

penutupan tajuk dan kerapatan pohon.

Selain enam (6) persyaratan di atas, data spasial perlu diklarifikasi mengenai topologi dan

konsistensi antar komponen data, sehingga siap digunakan (GIS Ready) dalam analisis lanjutan

dalam penyusunan RZWP-3-K.

2) Kuantitas data

Kuantitas data merupakan persyaratan jumlah dataset spasial yang harus dipenuhi dalam

penyusunan RZWP-3-K. Jumlah dataset terdiri 12 dataset, dengan perincian dua dataset dasar

(baseline dataset) dan 10 dataset tematik (tematik dataset).

B. Data sekunder apa saja yang harus dikumpulkan dan dari instansi mana data diperoleh?

Pengumpulan data merupakan salah satu bagian terpenting dalam penyusunan RZWP-3-K.

Data sekunder yang dikumpulkan meliputi 12 dataset yang terdiri dari dua dataset dasar (baseline

dataset) dan 10 dataset tematik (thematic dataset).

Pengumpulan data (sekunder) dari instansi terkait dilakukan sebelum survei lapangan.

Apabila data sekunder yang dikumpulkan belum memenuhi persyaratan kualitas dan kuantitas,

Page 5: Modul 2 Pengumpulan Dan Analisis Data 13 Juni 2014

2 - 5

maka harus dilakukan survei lapangan untuk melengkapi kebutuhan data dalam penyusunan RZWP-

3-K. Data sekunder (data spasial) yang dikumpulkan dari instansi terkait memiliki berbagai macam

bentuk dan format, di antaranya berupa peta analog (hardcopy), peta digital (data digital), dan data

tabular/numerik. Pada Tabel 2.1 dijelaskan secara lebih detail mengenai data sekunder tersebut.

Pengumpulan data sekunder dilakukan sesuai dengan kebutuhan penyusunan RZWP-3-K,

misalnya untuk tingkat propinsi, kabupaten atau kota. Masing-masing tingkat perencanaan

membutuhkan data sekunder dengan skala dan tingkat kedetailan data yang berbeda-beda. Data

yang dikumpulkan dari instansi terkait berupa data spasial hasil pemetaan dan data non spasial yang

telah dilakukan oleh instansi tersebut.

Untuk mendapatkan data sekunder tersebut, langkah-langkah yang perlu dilakukan adalah

sebagai berikut:

1) Menyiapkan daftar data yang dibutuhkan di setiap instansi

2) Mendatangi instansi terkait untuk mendapatkan data sesuai dengan tema

3) Melakukan kompilasi data dan mengklasifikasikan data sesuai tema dan skala

4) Melakukan analisis data untuk menyeragamkan format data yang berbeda-beda menjadi format

peta digital

5) Menyusun peta-peta tematik

6) Melakukan penilaian kualitas dan kuantitas data

Data yang dikumpulkan dari dari berbagai instansi dapat dikategorikan menjadi dataset dasar

dan dataset tematik. Pengumpulan data untuk tingkat propinsi, kabupaten dan kota dapat dilihat

pada tabel berikut:

b.1. Peta Dasar dan Citra Satelit

Tabel 2.1 Pengumpulan Peta Dasar dan Citra Satelit dari Berbagai Instansi

untuk Level Provinsi, Kabupaten dan Kota

NO KATEGORI

DATA

PENGUMPULAN DATA SEKUNDER UNTUK PENYUSUNAN RZWP-3-K PROVINSI, KABUPATEN DAN KOTA

JENIS DATA/PETA SKALA/RESOL

USI

BENTUK/FORMAT

DATA/PETA

SUMBER DATA

INSTANSI PENYEDIA

DATA

1 Peta Dasar

Peta Rupabumi 1 : 250.000 1 : 50.000 1 : 25.000

Softcopy & hardcopy Shapefile

Peta Rupabumi Indonesia skala 1 : 250.000, 1 : 50.000 dan 1 : 25.000

BIG

Lingkungan Pantai Indonesia

1 : 250.000 1 : 50.000 1 : 25.000

Softcopy & hardcopy

Peta Lingkungan Pantai

BIG

Page 6: Modul 2 Pengumpulan Dan Analisis Data 13 Juni 2014

2 - 6

NO KATEGORI

DATA

PENGUMPULAN DATA SEKUNDER UNTUK PENYUSUNAN RZWP-3-K PROVINSI, KABUPATEN DAN KOTA

JENIS DATA/PETA SKALA/RESOL

USI

BENTUK/FORMAT

DATA/PETA

SUMBER DATA

INSTANSI PENYEDIA

DATA

Indonesia skala 1 : 250.000, 1 : 50.000 dan 1 : 25.000

Peta Batas Wilayah Perencanaan WP-3-K provinsi, kabupaten dan kota

1 : 250.000 1 : 50.000 1 : 25.000

Softcopy Analisis KKP

2 Citra Satelit

- Citra Satelit ALOS, Landsat, (untuk ekosistem pesisir dan substrat dasar laut,)

- Citra Quickbird, Ikonos, GeoEye, WorldView (untuk ekosistem pesisir, substrat dasar laut dan pemanfaatan wilayah laut eksisting, infrastruktur)

- Citra satelit NOAA-AVHR, MODIS, SeaWiffs (untuk suhu permukaan laut, klorofil,

Resolusi 30 x 30 m, 10 x 10 m Resolusi minimum 1 x 1 m Resolusi 500 m x 500 m dan 250 x 250 m

Softcopy (.ecw dan format standar citra)

USGS, JAXA, NASDA, NOAA, Digital Globe,

LAPAN

Page 7: Modul 2 Pengumpulan Dan Analisis Data 13 Juni 2014

2 - 1

a. Dataset Dasar

Data spasial dasar merupakan data spasial yang menjadi dasar dalam pemetaan tematik suatu wilayah. Data spasial dasar terbagi

menjadi data terestrial dan bathimetri.

Tabel.2.2. Pengumpulan Dataset Dasar dari Berbagai Instansi untuk Level Provinsi, Kabupaten dan Kota

NO KATEGORI

DATA

PENGUMPULAN DATA SEKUNDER UNTUK PENYUSUNAN RZWP-3-K PROVINSI, KABUPATEN DAN KOTA

JENIS DATA/PETA SKALA/RESOLUSI BENTUK/FORMAT

DATA/PETA SUMBER DATA

INSTANSI PENYEDIA DATA

1 Terestrial Peta Tanah

1 : 250.000 1 : 50.000 1 : 25.000

Softcopy & hardcopy Peta Tanah skala 1 : 250.000, 1 : 50.000 dan 1 : 25.000 (dari Peta RTRW)

BIG, BAPPEDA

Topografi

1 : 250.000 1 : 50.000 1 : 25.000

Softcopy Peta Rupabumi Indonesia skala 1 : 250.000, 1 : 50.000 dan 1 : 25.000 (dari Peta RTRW)

BIG, BAPPEDA

Kemiringan Lereng

1 : 250.000 1 : 50.000 1 : 25.000

Softcopy Peta Rupabumi Indonesia skala 1 : 250.000, 1 : 50.000 dan 1 : 25.000 (dari Peta RTRW)

BIG, BAPPEDA

2 Bathimetri Bathimetri

1 : 250.000 1 : 50.000 1 : 25.000

Softcopy & hardcopy Peta Lingkungan Pantai Indonesia skala 1 : 250.000, 1 : 50.000 dan 1 : 25.000

BIG, DISHIDROS

Page 8: Modul 2 Pengumpulan Dan Analisis Data 13 Juni 2014

2 - 2

b. Dataset Tematik

Data spasial tematik merupakan data spasial yang memiliki tema tertentu yang dibutuhkan sebagai bahan penyusunan peta tematik.

Data tematik yang dibutuhkan dalam penyusunan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil terbagi menjadi data geologi dan

geomorfologi, oseanografi; penggunaan lahan dan status lahan, rencana tata ruang wilayah, pemanfaatan wilayah laut eksisting, sumberdaya

air, ekosistem pesisir dan sumberdaya ikan, infrastruktur, demografi dan sosial, ekonomi wilayah, dan risiko bencana dan pencemaran.

Tabel 2.3. Pengumpulan Dataset Tematik dari Berbagai Instansi

NO KATEGORI

DATA

PENGUMPULAN DATA SEKUNDER UNTUK PENYUSUNAN RZWP-3-K PROVINSI, KABUPATEN DAN KOTA

JENIS DATA/PETA SKALA/RESOLUSI BENTUK/FORMAT

DATA/PETA SUMBER DATA & SKALA

INSTANSI PENYEDIA DATA

1 Geologi dan Geomorfologi Laut

Geologi dan

geomorfologi dasar laut

(Substrat dasar laut)

1 : 250.000 1 : 50.000 1 : 25.000

Softcopy & hardcopy Peta Geologi dan geomorfologi dasar laut skala 1 : 250.000, 1 : 50.000 dan 1 : 25.000

- P3GL Kemen. ESDM

- Dit. Vulkanologi Kementerian ESDM

Geomorfologi

1 : 250.000 1 : 50.000 1 : 25.000

Softcopy & hardcopy Peta Land System – RePProT (dari Peta RTRW)

BIG, BAPPEDA

Morfologi Pantai

1 : 250.000 1 : 50.000 1 : 25.000

Softcopy & hardcopy Peta LPI dan Peta Tipologi Pantai skala 1 : 250.000, 1 : 50.000 dan 1 : 25.000 (dari Peta RTRW)

BIG, BAPPEDA

2 Oseanografi Oseanografi Fisik:

1 : 250.000 1 : 50.000 1 : 25.000

Softcopy Peta oseanografi fisik skala 1 : 250.000, 1 : 50.000, 1 : 25.000

Dishidros, KKP, LIPI,

Instansi terkait,

Perguruan Tinggi

Page 9: Modul 2 Pengumpulan Dan Analisis Data 13 Juni 2014

2 - 3

a. Pasut

b. Gelombang

c. Arus

d. Suhu Permukaan

e. Kecerahan

f. Total Suspended Solid

(TSS)

BIG, Adpel, Pelindo

BMKG, Pelindo

BPPT, KKP, P2O LIPI,

DISHIDROS

BPPT, KKP, P2O LIPI

KKP, P2O LIPI

KKP, P2O LIPI

Oseanografi Kimia

pH, salinitas,COD, BOD,

Ammonia (NH3-N)+,

Nitrat (NO3-N), Nitrit

(NO2), Fosfat (PO4-P)+,

Silika (Si), Logam berat

1 : 250.000 1 : 50.000 1 : 25.000

Softcopy Peta oseanografi kimia skala 1 : 250.000, 1 : 50.000, 1 : 25.000

KKP, P2O LIPI, BIG,

Perguruan Tinggi

Oseanografi Biologi

Klorofil, Plankton,

Benthos

1 : 250.000 1 : 50.000 1 : 25.000

Softcopy Peta oseanografi biologi skala 1 : 250.000, 1 : 50.000, 1 : 25.000

KKP, P2O LIPI, BIG,

Perguruan Tinggi

Page 10: Modul 2 Pengumpulan Dan Analisis Data 13 Juni 2014

2 - 4

3 Penggunaan

Lahan dan

Status Lahan

Penggunaan Lahan

1 : 250.000 1 : 50.000 1 : 25.000

Softcopy Peta Penggunaan Lahan skala 1 : 250.000, 1 : 50.000, 1 : 25.000 (dari Peta RTRW)

BIG, BAPPEDA,

Kemen. Kehutanan,

kemen. Pertanian,

kemen. PU, KKP

BAPPEDA

Status Lahan

1 : 250.000 1 : 50.000 1 : 25.000

Softcopy & hardcopy Peta status lahan skala 1 : 250.000, 1 : 50.000, 1 : 25.000 (dari Peta RTRW)

BPN, BAPPEDA

4 Pemanfaatan

Wilayah Laut

Eksisting

Pemanfaatan Wilayah Laut Eksisting

1 : 250.000 1 : 50.000 1 : 25.000

Softcopy Peta Pemanfaatan Wilayah Perairan/Laut eksisting skala 1 : 250.000, 1 : 50.000, 1 : 25.000

KKP, ESDM, Pelindo,

Kemenparekraf,

BAPPEDA

5 Sumberdaya

Air

Sumberdaya Air

Permukaan dan Air

Tanah

1 : 250.000 1 : 50.000 1 : 25.000

Softcopy & hardcopy Peta Sumberdaya Air Permukaan dan Air Tanah skala 1 : 250.000, 1 : 50.000, 1 : 25.000 (dari Peta RTRW)

PU, BAPPEDA,

kemen. Pertanian,

Kemen. Kehutanan

6 Ekosistem

Pesisir dan

Sumberdaya

Ikan (Jenis dan

Kelimpahan

Ikan)

Mangrove

1 : 250.000 1 : 50.000 1 : 25.000

Softcopy Peta Mangrove skala 1 : 250.000, 1 : 50.000, 1 : 25.000

Kemen. Kehutanan ,

BIG, LIPI, KKP, KLH

Terumbu Karang 1 : 250.000 1 : 50.000 1 : 25.000

Softcopy Peta Terumbu Karang

skala 1 : 250.000, 1 : 50.000, 1 :

25.000

BIG, LIPI, KKP

Padang Lamun 1 : 250.000 1 : 50.000 1 : 25.000

Softcopy Peta Padang Lamun

skala 1 : 250.000, 1 : 50.000, 1 : 25.000

BIG, LIPI, KKP

Page 11: Modul 2 Pengumpulan Dan Analisis Data 13 Juni 2014

2 - 5

Daerah Potensi Ikan

Demersal

1 : 250.000 1 : 50.000 1 : 25.000

Softcopy Peta Daerah Potensi Ikan Demersal (Fishing Ground), disertai informasi Jenis dan Kelimpahan Ikan skala 1 : 250.000, 1 : 50.000, 1 : 25.000

KKP, BPPT

Daerah Potensi Ikan

Pelagis

1 : 250.000 1 : 50.000 1 : 25.000

Softcopy Peta Daerah Potensi Ikan Pelagis (Fishing Ground), disertai informasi Jenis dan Kelimpahan Ikan skala 1 : 250.000, 1 : 50.000, 1 : 25.000

KKP, BPPT, LIPI

7 Infrastruktur Infrastruktur Eksisting

dan Rencana

Infrastruktur Umum:

Bandara, terminal, pasar

umum, pelabuhan

umum, kawasan

industri, kantor

pemerintah, sekolah,

rumah sakit/puskesmas,

bangunan

wisata/sejarah

Infrastruktur Khusus:

Pasar ikan, KUD, BBI,

Pelabuhan perikanan,

TPI, Gudang

penyimpanan, bangunan

perlindungan pesisir

(jeti, penahan

1 : 250.000 1 : 50.000 1 : 25.000

Softcopy & hardcopy Peta Lokasi Infrastruktur

Eksisting dan Rencana

skala 1 : 250.000, 1 : 50.000, 1 :

25.000

KKP, Kemen PU,

BAPPEDA

Page 12: Modul 2 Pengumpulan Dan Analisis Data 13 Juni 2014

2 - 6

gelombang)

8 Demografi dan

Sosial

Data Kependudukan

dan Sosial:

- Pendidikan umum - Mata Pencaharian - Agama - Budaya - Tingkat akses dan

keterlayanan fasilitas publik: listrik, air bersih, sanitasi, kesehatan, pendidikan

- Lembaga Masyarakat, LSM

- Masyarakat hukum adat

- Wilayah nelayan tradisional

1 : 250.000 1 : 50.000 1 : 25.000

Softcopy & hardcopy Peta Kependudukan dan Sosial

skala 1 : 250.000, 1 : 50.000, 1 :

25.000 (time series),

BPS, BAPPEDA,

Masyarakat

9 Ekonomi

Wilayah

Tingkat perekonomian

wilayah:

- Pendapatan perkapita provinsi

- Pertumbuhan Pendapatan perkapita provinsi

- Angkatan kerja dan tingkat pengangguran per kabupaten

- Tenaga kerja di bidang perikanan, pertanian, kehutanan, dll

- Populasi dan

1 : 250.000 1 : 50.000 1 : 25.000

Softcopy & hardcopy Peta perekonomian wilayah

skala 1 : 250.000, 1 : 50.000, 1 :

25.000

PU, BPS,

Disnaker, Dinas

pariwisata, Dinas

Perikanan, BAPPEDA

Page 13: Modul 2 Pengumpulan Dan Analisis Data 13 Juni 2014

2 - 7

kepadatan nelayan - Pendapatan di sektor

perikanan - Produksi perikanan

dan sektor -sektor lain - Potensi

pengembangan sumberdaya perikanan dan kelautan

- Jumlah wisatawan - Pendapatan rata-rata

dan pengeluaran per

sektor

10 Risiko

Bencana dan

Pencemaran

Peta sebaran daerah

rawan dan risiko

bencana

1 : 250.000 1 : 50.000 1 : 25.000

Softcopy & hardcopy Peta sebaran daerah rawan dan

risiko bencana

skala 1 : 250.000, 1 : 50.000, 1 :

25.000

BNPB, BMKG, KKP,

BPBD, ESDM, BPPT

Peta sebaran daerah

tercemar

1 : 250.000 1 : 50.000 1 : 25.000

Softcopy & hardcopy Peta sebaran daerah

pencemaran

skala 1 : 250.000, 1 : 50.000, 1 :

25.000

KLH, BLHD

Page 14: Modul 2 Pengumpulan Dan Analisis Data 13 Juni 2014

2 - 65

Setelah dilakukan pengumpulan data sekunder, perlu dilakukan pengolahan data.

Pengolahan yang dilakukan terhadap data sekunder merupakan upaya untuk menjadikan data dalam

bentuk spasial atau mengolah data menjadi data yang memiliki informasi keruangan, tetapi tidak

mengubah substansi data. Pengolahan yang dilakukan berbeda-beda, tergantung jenis data yang

dikumpulkan dari berbagai instansi terkait, misalnya peta analog, data/peta digital, atau data

tabular/numerik.

Tabel 2.4. Jenis, Bentuk, dan Metode Pengolahan Data sekunder Peta Tematik yang Dikumpulkan dari Instansi Terkait

No Jenis

Peta Tematik Bentuk Data/Peta

Sumber

Data Metode Pengolahan Data/Peta

1 Peta Bathimetri Data titik-titik

kedalaman perairan

Peta Laut

Hardcopy

1. Scan peta laut menjadi data jpeg

2. Transformasi koordinat menjadi

koordinat WGS84 dan UTM

3. Digitasi titik-titik kedalaman

4. Interpolasi titik-titik kedalaman

menggunakan software GIS dengan

metode IDW

Data garis kontur

kedalaman perairan

dalam bentuk

hardcopy

Peta

LPI/Peta

laut

1. Scan peta menjadi data jpeg

2. Transformasi koordinat menjadi

koordinat WGS84 dan UTM

3. Digitasi garis kontur kedalaman perairan

2 Peta

oseanografi

Data garis kontur

oseanografi fisika,

kimia dan biologi :

gelombang, arus,

Suhu Permukaan,

Kecerahan, Total

Suspended Solid

(TSS), pH,

salinitas,COD, BOD,

Ammonia (NH3-N)+,

Nitrat (NO3-N), Nitrit

(NO2), Fosfat (PO4-

P)+, Klorofil,

Plankton, Benthos

dalam bentuk

hardcopy

Peta hasil

pengukuran

instansi

tertentu

1. Scan peta menjadi data jpeg

2. Transformasi koordinat menjadi

koordinat WGS84 dan UTM

3. Digitasi garis kontur kedalaman perairan

Page 15: Modul 2 Pengumpulan Dan Analisis Data 13 Juni 2014

2 - 66

No Jenis

Peta Tematik Bentuk Data/Peta

Sumber

Data Metode Pengolahan Data/Peta

Data garis kontur

oseanografi fisika,

kimia dan biologi :

gelombang, arus,

Suhu Permukaan,

Kecerahan, Total

Suspended Solid

(TSS), pH,

salinitas,COD, BOD,

Ammonia (NH3-N)+,

Nitrat (NO3-N), Nitrit

(NO2), Fosfat (PO4-

P)+, Klorofil,

Plankton, Benthos

dalam bentuk

softcopy

Peta hasil

pengukuran

instansi

tertentu

1. Konversi data ke shapefile

2. Transformasi koordinat menjadi

koordinat WGS84 dan UTM

3. Klasifikasi interval garis kontur sesuai

dengan standar interval yang telah

ditentukan

3 Peta

pemanfaatan

wilayah laut

eksisting

Peta pemanfaatan

wilayah laut eksisting

dalam bentuk

hardcopy

Peta hasil

pengukuran

instansi

tertentu

1. Scan peta menjadi data jpeg

2. Transformasi koordinat menjadi

koordinat WGS84 dan UTM

3. Digitasi titik/poligon pemanfaatan

wilayah laut eksisting

4 Peta ekosistem

pesisir dan

sumberdaya

ikan

Peta pemanfaatan

wilayah laut eksisting

dalam bentuk

hardcopy

Peta hasil

pengukuran

instansi

tertentu

1. Scan peta menjadi data jpeg

2. Transformasi koordinat menjadi

koordinat WGS84 dan UTM

3. Digitasi titik/poligon pemanfaatan

wilayah laut eksisting

5 Peta

infrastruktur

Peta infrastruktur

dalam bentuk

hardcopy

Peta hasil

pengukuran

instansi

tertentu

1. Scan peta menjadi data jpeg

2. Transformasi koordinat menjadi

koordinat WGS84 dan UTM

3. Digitasi titik/poligon pemanfaatan

wilayah laut eksisting

6 Demografi dan

sosial

Data demografi dan

sosial dalam bentuk

data statistik

hasil

penelitian

instansi

tertentu

1. Input data ke dalam excel

2. Konversi data excel ke shapefile dengan

koordinat WGS84 dan UTM

3. Plot data ke peta dasar

7 Ekonomi

wilayah

Data perekonomian

wilayah dalam

bentuk data statistik

hasil

penelitian

instansi

tertentu

1. Input data ke dalam excel

2. Konversi data excel ke shapefile dengan

koordinat WGS84 dan UTM

3. Plot data ke peta dasar

Page 16: Modul 2 Pengumpulan Dan Analisis Data 13 Juni 2014

2 - 67

No Jenis

Peta Tematik Bentuk Data/Peta

Sumber

Data Metode Pengolahan Data/Peta

8 Peta Risiko

bencana dan

Pencemaran

Peta titik-titik lokasi

berisiko bencana

dalam bentuk

hardcopy

Peta Risiko

bencana

BNPB

1. Scan peta menjadi data jpeg

2. Transformasi koordinat menjadi

koordinat WGS84 dan UTM

3. Digitasi titik-titik lokasi risiko bencana

Peta area/poligon

daerah-daerah yang

berisiko bencana

dalam bentuk

hardcopy

Peta Risiko

bencana

BNPB

1. Scan peta menjadi data jpeg

2. Transformasi koordinat menjadi

koordinat WGS84 dan UTM

3. Digitasi area/poligon lokkasi risiko

bencana

C. SURVEI LAPANGAN

Survei lapangan merupakan tahapan yang dilakukan apabila data sekunder yang

dikumpulkan dari berbagai instansi terkait tidak memenuhi syarat kualitas (skala, akurasi geometrik,

kedalaman data, kedetailan data, kemutakhiran data, dan kelengkapan atribut) dan kuantitas data.

Survei lapangan merupakan rangkaian proses observasi, pengukuran dan pengambilan data, serta

pengambilan sampel yang akan dianalisis untuk menghasilkan 12 dataset peta-peta tematik.

Sebelum pelaksanaan survei lapangan, terlebih dahulu dilakukan pengolahan data pra survei

sebagai bahan acuan survei lapangan. Pengolahan data pra survei dilakukan untuk peta-peta yang

dianalisis menggunakan data citra satelit penginderaan jauh. Proses pengolahan awal meliputi

koreksi radiometrik dan geometrik, penajaman citra satelit, dan interpretasi citra.

1. Metode Survei Dataset Dasar 1) Bathimetri

- Bagaimana Metode Pengumpulan Data Bathimetri?

Pengumpulan data bathimetri dimaksudkan sebagai data dasar dalam menganalisis

kedalaman perairan laut. Untuk mendapatkan informasi bathimetri digunakan metode

pemeruman, dengan menggunakan alat echosounder, yang terintegrasi dengan GPS. Alat

tersebut memancarkan gelombang suara secara vertikal ke dasar perairan dan dipantulkan

kembali ke echosounder melalui jalur-jalur yang telah direncanakan pada peta pre plot

digital, yang dapat terbaca di dalam komputer. Pengukuran kedalaman muka air laut dengan

alat echosounder dilakukan dari atas perahu motor, dengan kecepatan kapal maksimum 5

(lima) knot dan kondisi kapal stabil. Koordinat titik-titik pengukuran didapat dengan

menggunakan alat GPS (Global Positioning System) yang telah terintegrasi dengan

echosounder. Gambar 2.1 dan 2.2 memberikan ilustrasi mengenai aktivitas pengumpulan

data.

Pada pemetaan skala 1:50.000, lokasi ditentukan dengan menggunakan metode grid

Page 17: Modul 2 Pengumpulan Dan Analisis Data 13 Juni 2014

2 - 68

pengukuran 500 meter yaitu dengan perekaman data bathimetri setiap satu detik. Misal:

lebar tegak lurus ke arah laut (ke selatan) 4 mil/kedalaman maksimum 100 m dan sejajar

pantai sepanjang garis pantai (lihat gambar 2.3). Pengumpulan data bathimetri dimaksudkan

sebagai data dasar dalam menganalisis kedalaman perairan laut. Untuk mendapatkan

informasi bathimetri digunakan metode pemeruman, dengan menggunakan alat

echosounder, yang terintegrasi dengan GPS. Alat tersebut memancarkan gelombang suara

secara vertikal ke dasar perairan dan dipantulkan kembali ke echosounder melalui jalur-jalur

yang telah direncanakan pada peta pre plot digital, yang dapat terbaca di dalam komputer.

Pengukuran kedalaman muka air laut dengan alat echosounder dilakukan dari atas perahu

motor, dengan kecepatan kapal maksimum 5 (lima) knot dan kondisi kapal stabil. Koordinat

titik-titik pengukuran didapat dengan menggunakan alat GPS (Global Positioning System)

yang telah terintegrasi dengan echosounder.

Data kedalaman yang dihasilkan dari hasil survey bathimetri dikoreksi dengan titik

referensi Mean Sea Level (MSL) yang diperoleh dari analisis data elevasi muka air saat

pengukuran. Jadwal pengukuran/pencatatan elevasi pasang surut (pasut) dilakukan

bersamaan dengan jadwal pengukuran bathimetri. Pengukuran/- Kedalaman perairan yang

sebenarnya dan garis kontur dasar laut diperoleh dengan superposisi (memadukan) data

pengukuran bathimetri dengan selisih antara elevasi muka air laut saat pengukuran

bathimetri dengan MSL yang telah diikat dengan referensi muka bumi.

Pengukuran bathimetri mengacu pada Standard IHO 44, LPI SNI 19-6726-2002 skala

1:50.000 dan LPI SNI 19-6727-2002 skala 1 : 250.000, IHO S-57. Prinsip kerja dari

pemeruman dengan menggunakan echo-sounder diterangkan oleh gambar-gambar berikut

ini:

Gambar. 2.1 Ilustrasi Proses Survei Bathimetri

Page 18: Modul 2 Pengumpulan Dan Analisis Data 13 Juni 2014

2 - 69

Gambar 2.2 Prinsip Pengukuran Kedalaman Laut

Gambar 2.3 Contoh Rencana Jalur Pengukuran Kedalaman Laut

- Bagaimana Metode Analisis Data Bathimetri?

Analisis data bathimetri dilakukan terhadap titik-titik kedalaman yang telah diukur di

lapangan. Titik-titik yang memiliki informasi kedalaman dan koordinat tersebut kemudian

diinterpolasi dengan metode Inverse Distance Weighted (IDW). Interpolasi dapat dilakukan

4

5

2

1

Keterangan :

1. GPS Satellites 2. Known Station (BM)

3. Sounding Boat + Mobile DGPS + Echosounder

4. Tide Observation/Tide Pole

4 mil atau sampai kedalaman 100 m apabila sebelum jarak 4 mil telah dijumpai kedalaman >100 m

Daratan

Manuver kapal peta skala 1 : 250.000 jarak 2,5 km, tegak lurus garis pantai Manuver kapal peta skala 1 : 50.000

jarak 0,5 km, tegak lurus garis pantai

Perairan Laut

Lajur Pemeruman

Keterangan :

Page 19: Modul 2 Pengumpulan Dan Analisis Data 13 Juni 2014

2 - 70

dengan bantuan software GIS sehingga menghasilkan garis kontur kedalaman untuk wilayah

perairan yang disurvey. Garis kontur kedalaman menunjukkan lokasi-lokasi yang memiliki

nilai kedalaman yang sama (isobath). Garis kontur kedalaman diolah lebih lanjut melalui GIS

dan diklasifikasikan sesuai kelas kedalaman untuk skala 1 : 50.000.

- Bagaimana Penyajian Data Bathimetri?

Peta Batimetri skala 1: 50.000 digambarkan dalam bentuk garis kontur batimetri dengan

dengan kelas kedalaman 0 ; 2 ; 5 ; 10 ; 15 ; 20 ; 40 ; 50 ; 70 ; 100 meter. Peta Bathimetri

digambarkan dengan kelas kedalaman tersebut di atas sampai jarak 4 mil apabila belum

mencapai kedalaman 100 m, atau sampai kedalaman 100 m apabila sebelum jarak 4 mil telah

dijumpai kedalaman lebih dari 100 m. Penggambaran simbol kontur bathimetri dan tampilan

layout peta 1 : 50.000 mengikuti Standar Simbol, Notasi, dan Kode Unsur Penyajian Peta

Dasar, Peta Tematik dan Peta RZWP-3-K. Contoh penyajian peta bathimetri dapat dilihat pada

gambar di bawah.

Gambar 2.4 Ilustrasi Peta Bathimetri Kab. Banggai

Page 20: Modul 2 Pengumpulan Dan Analisis Data 13 Juni 2014

2 - 71

Gambar 2.5 Ilustrasi Interval Bathimetri Kab. Banggai untuk wilayah Teluk Poh

2. Metode Pemetaan dan Analisis Data Tematik

1). Geologi dan Geomorfologi Dasar Laut

a. Geologi dan geomorfologi Dasar Laut (Substrat Dasar Laut)

- Bagaimana Metode Pengumpulan Data Substrat Dasar Laut?

Dataset geologi dan geomorfologi laut umumnya diperoleh dari peta geologi atau

geomorfologi laut yang dikeluarkan oleh Instansi terkait (PPPGL, Kementerian ESDM). Akan

tetapi, apabila peta tersebut tidak tersedia, perlu dilakukan survei lapangan. Dataset geologi

dan geomorfologi laut yang memungkinkan untuk disurvey adalah jenis substrat dasar laut.

Jenis substrat dasar laut yang mungkin ditemukan misalnya pecahan karang, pasir, lumpur,

lumpur berpasir dan sebagainya.

Untuk mendeteksi substrat dasar laut, dapat dilakukan dengan metode penginderaan

jauh dan survey lapangan. Melalui pendekatan penginderaan jauh, substrat dasar

diidentifikasi menggunakan citra satelit yang memiliki kemampuan menembus air sampai

kedalaman tertentu (<20 m). Identifikasi dilakukan menggunakan pendekatan kunci

interpretasi, diantaranya rona, warna, pola, bentuk, tekstur, situs dan asosiasi. Hasil

interpretasi citra penginderaan jauh berupa poligon substrat dasar laut tentatif. Berdasarkan

poligon substrat dasar laut, dapat ditentukan lokasi pengambilan sampel di lapangan. Untuk

perairan dengan kedalam di atas 20 meter perlu dilakukan survey lapangan secara langsung

karena umumnya citra satelit tidak mampu mendeteksi obyek perairan dasar laut pada

Page 21: Modul 2 Pengumpulan Dan Analisis Data 13 Juni 2014

2 - 72

kedalaman lebih dari 20 meter.

Pada pemetaan skala 1:50.000, jumlah sampel substrat dasar laut yang diambil di

lapangan minimal 10 titik sampai dengan 4 mil atau sampai kedalaman 100 m apabila

sebelum jarak 4 mil telah dijumpai kedalaman lebih dari 100 m. Peralatan yang digunakan

berupa peralatan sedimen dasar laut (Grab sampler). Grab sampler diturunkan ke dasar laut

dalam keadaan terbuka menggunakan tali. Setelah sampai dasar laut, alat tersebut akan

menutup sambil menggaruk sedimen ketika ditarik ke atas. Pada saat pengambilan sampel

substrat dasar laut dilakukan pengukuran posisi menggunakan GPS.

Gambar.2.6. Proses pengambilan sampel substrat dasar laut

- Bagaimana Metode Analisis Data Substrat Dasar Laut?

Sampel substrat dasar laut dianalisis di laboratorium dan besar butirnya diukur

menggunakan metode Buchanan (1984, dalam Holme and Mc Intyre (1984)). Analisis ukuran

butir dilakukan menggunakan kurva distribusi frekuensi ukuran butir, sehingga dapat

diketahui ukuran butir rata-rata maupun persentase yang lain.

Gambar.2.7. Sistem Grafik Trianguler Untuk Proses Penamaan Sampel Substrat (Sumber:

Buchanan, 1984 Dalam Holme Dan Mc Intyre, 1984)

Page 22: Modul 2 Pengumpulan Dan Analisis Data 13 Juni 2014

2 - 73

Tabel 2.5. Skala ASTM (kisaran ukuran butir)

Jenis Kisaran Ukuran Butir Partikel (mm)

Bongkah Berangkal Kerakal Kerikil Pasir sangat kasar Pasir kasar Pasir sedang Pasir halus Pasir sangat halus Lanau Lempung

> 256 64 – 256 4 – 64 2 – 4 1 – 2 0,5 – 1,0 0,25 – 0,50 0,125 – 0,250 0,063 – 0,125 0,0039 – 0,0630 < 0,0039

Sumber : Dacombe dan Gardiner, 1983

Hasil analisis laboratorium dan perhitungan ukuran butir tersebut kemudian dikonversi

menjadi data GIS sehingga menghasilkan data titik dalam format shapefile yang memiliki

informasi jenis bongkah dan koordinat geografis. Data titik shapefile kemudian dianalisis

dengan cara interpolasi dengan software GIS untuk mengetahui lokasi-lokasi yang memiliki

sebaran substrat yang sama di seluruh dasar perairan. Hasilnya berupa data sebaran substrat

dasar laut.

- Bagaimana Penyajian Data Substrat Dasar Laut?

Peta sebaran substrat dasar laut skala 1: 50.000 digambarkan dalam bentuk poligon yang

berisi informasi jenis substrat dasar laut, misalnya pecahan karang, pasir, lumpur, lumpur

berpasir dll. Pengambaran simbol substrat dasar laut dan tampilan layout peta untuk skala 1 :

50.000 mengikuti Standar Simbol, Notasi, dan Kode Unsur Penyajian Peta Dasar, Peta Tematik

dan Peta RZWP-3-K.

Page 23: Modul 2 Pengumpulan Dan Analisis Data 13 Juni 2014

2 - 74

Contoh penyajian peta jenis substrat dasar laut dapat dilihat pada gambar di bawah.

Gambar.2.8. Contoh peta sebaran jenis substrat dasar laut Kab. Banggai

2. Data Oseanografi

1) Fisika Perairan

a) Pasang Surut

- Bagaimana Metode Pengumpulan Data Pasang Surut?

Pengumpulan data pasang surut dimaksudkan sebagai data dasar dalam menganalisis kondisi

pasang surut, sehingga dapat diketahui elevasi muka air laut, tipe pasang surut dan

komponen pasang surutnya. Data pasang surut yang dikumpulkan diharapkan dapat

menjelaskan: tipe pasang surut, Mean Sea level (MSL), Mean High Water Level (MHWL),

Mean Low Water Level (MLWL), Mean Lowest Low Water Level (MLLWL) dan tunggang air

(maksimum, minimum dan rata rata).

Metode yang digunakan dalam pengukuran pasang surut meliputi:

1) Metode langsung

Merupakan metode pengukuran pasut pada lokasi secara langsung (misalnya

menggunakan papan berskala, meteran, serta tide gauge outomatic).

Page 24: Modul 2 Pengumpulan Dan Analisis Data 13 Juni 2014

2 - 75

2) Metode tidak langsung

Merupakan metode pengukuran gelombang laut melalui informasi atau perekaman dari

citra satelit (satelit altimetry)

Pada pengukuran pasut dengan metode langsung, bila belum ada stasiun pengamatan,

maka penentuan lokasi pengukuran pasut stabil dan terlindung dari ombak besar, angin, lalu

lintas kapal/perahu, arus kuat, serta titik pasut diikatkan pada Bench Mark (BM) yang

permanen yang stabil, dengan kedalaman minimum air laut pada station pasut minimum

satu meter di bawah permukaan air laut terendah. Kriteria lokasi pengamatan pasut adalah:

1) Tersedianya informasi awal tentang kondisi lokasi, diutamakan pada lokasi yang sudah

ada station pengamatan pasang - surut dari Dishidros TNI - AL atau Bakosurtanal, jika

tidak ada informasi tersebut maka ditentukan pada lokasi yang aman, mudah

pemantauan, serta tidak terganggu

2) Lokasi stasiun pasut stabil dan terlindung dari ombak besar, angin, lalu lintas

kapal/perahu, serta arus kuat

3) Kedalaman minimum air laut pada station pasut minimum satu meter di bawah

permukaan air laut terendah

4) Stasiun pasut tidak terganggu selama pengamatan berlangsung

5) Titik pasut diikatkan pada BM yang permanen yang stabil

Pasang surut diukur dengan menggunakan peralatan tide recorder selama 7 hari 7

malam pada 2 stasiun pengamatan. Tide recorder harus dipasang dengan posisi terendam air

dan tegak tidak bergerak, serta kedudukan tide recorder yang tidak menghalangi alur

nelayan. Setelah dilakukan pengukuran harus diikat dengan Bench Mark terdekat (kalau ada).

Jika tidak ada maka harus dibuatkan Bench Mark.

Gambar.2.9. Ilustrasi Pengukuran Pasang Surut Menggunakan Papan Berskala (Palem Pasut)

Page 25: Modul 2 Pengumpulan Dan Analisis Data 13 Juni 2014

2 - 76

Gambar.2.10. Ilustrasi Pengukuran Pasang Surut Menggunakan Tide Gauge Automatic

Gambar.2.11. Ilustrasi Pengikatan Alat Pengukur Pasut Pada Titik Ikat Bench Mark (BM)

- Bagaimana Metode Analisis Data Pasang Surut?

Setelah memperoleh data dari pengukuran di lapangan, maka hal terpenting adalah

bagaimana data tersebut dapat diolah sehingga dapat dilakukan analisis sesuai tujuan yang

akan dicapai. Adapun beberapa pengolahan/analisis data pasang surut adalah sebagai

berikut:

1. Grafik Plot

Tujuan dari penyajian data dengan ini adalah untuk mengetahui tinggi elevasi muka air

(pasut) terhadap waktu (selama waktu) pengukuran.

Page 26: Modul 2 Pengumpulan Dan Analisis Data 13 Juni 2014

2 - 77

Gambar. 2.12. Contoh Grafik Pengamatan Pasang Surut Selama 30 Hari

2. Analisis Harmonik Pasut

Tujuan dari pengolahan analisis harmonik pasang surut dengan menggunakan metode

admiralty adalah untuk mengetahui komponen pasang surut, sehingga dapat diketahui

tipe pasut dan elevasi muka air acuan, serta elevasi penting lainnya

Tipe pasang surut dapat dihitung menggunakan formula sebagai berikut:

𝐹 =𝐴𝐾1 + 𝐴𝑂1

𝐴𝑀2 + 𝐴𝑆2

dimana :

F = Konstanta pasut

AK1 = Amplitudo dari anak gelombang pasut harian rata-rata yang dipengaruhi oleh

deklinasi bulan dan matahari

AO1 = Amplitudo dari anak gelombang pasut harian tunggal yang dipengaruhi oleh

deklinasi matahari

AM2 = Amplitudo dari anak gelombang pasut harian ganda rata-rata yang dipengaruhi

oleh bulan

AS2 = Amplitudo dari anak gelombang pasut harian ganda rata-rata yang dipengaruhi

oleh matahari

Apabila harga F memiliki nilai :

0 < F < 0,25 : Sifat pasut Harian Ganda Murni

0,25 < F < 1,50 : Sifat pasut Campuran Condong harian Ganda

1,50 < F < 3,0 : Sifat pasut Campuran Condong harian Tunggal

3,0 < F : Sifat pasut Harian Tunggal Murni

Spring tide Neap tide

Neap tide Neap tide

Page 27: Modul 2 Pengumpulan Dan Analisis Data 13 Juni 2014

2 - 78

Gambar.2.13. Tipe pasut

Untuk memastikan bahwa hasil pengolahan data pasang surut dengan metode admiralty

mempunyai tingkat akurasi yang cukup baik, maka komponen-komponen hasil dari

pengolahan data pasut digunakan untuk memprediksikan lagi kejadian pasang surut pada

waktu pengamatan dengan menggunakan model metode least square.

Dari hasil yang diperoleh terlihat bahwa pola pasang surut hasil pengamatan dan hasil

prediksi dengan model metode least square mempunyai pola yang berimpit (hampir sama)

seperti pada gambar di bawah ini.

Gambar. 2.14. Contoh verifikasi data pasang surut lapangan dan hasil peramalan

dengan model Least Square

Page 28: Modul 2 Pengumpulan Dan Analisis Data 13 Juni 2014

2 - 79

- Bagaimana Penyajian Data Pasang Surut?

Data pasut umumnya tidak disajikan dalam bentuk peta. Pasut disajikan dalam bentuk

grafik plot yang menunjukkan informasi mengenai tinggi elevasi muka air (pasut) terhadap

waktu selama pengukuran.

b) Gelombang

- Bagaimana Metode Pengumpulan Data Gelombang?

Pengukuran gelombang dilakukan untuk mengetahui karakteristik dan parameter gelombang

(meliputi tinggi, periode, panjang gelombang, dll) di lokasi pengukuran. Periode gelombang

(T) yang diukur berdasarkan waktu tempuh antara satu puncak gelombang dan puncak

gelombang berikutnya, dan tinggi gelombang (H), yaitu jarak antara puncak gelombang dan

lembah gelombang yang terbentuk.

Metode pengukuran gelombang terbagi menjadi metode langsung, yaitu metode

pengukuran gelombang pada lokasi secara langsung (misalnya menggunakan papan berskala,

meteran dan wave rider /wave recorder) dan metode tidak langsung yaitu melalui informasi

atau perekaman dari citra satelit.

Metode penentuan lokasi pengukuran gelombang biasanya menggunakan metode

teknik non random sampling dengan teknik area sampel, yaitu penentuan lokasi ditentukan

pada lokasi tertentu dengan pertimbangan dapat mewakili karakteristik wilayah perairan

setempat.

1. Karakteristik Daerah Pantai/Lepas Pantai

Pertimbangan yang digunakan adalah lokasi dekat pantai (near shore) untuk mengetahui

karakteristik gelombang di dekat pantai dan lokasi lepas pantai (off shore) untuk

karakteristik gelom-bang lepas pantai. Untuk lokasi dekat pantai karakteristik gelombang

sangat dipengaruhi oleh proses deformasi gelombang akibat refraksi dan difraksi

gelombang yang dipengaruhi oleh perubahan kedalaman (pendangkalan), adanya

bangunan pantai, pulau-pulau kecil, maupun pengaruh lainnya. Oleh karena itu

karakteristik gelombang dekat pantai berbeda dengan gelombang lepas pantai.

2. Karakteristik Daerah Teluk dan Tanjung

Pertimbangan yang digunakan adalah lokasi di dalam teluk untuk mengetahui

karakteristik gelombang di dalam teluk dan lokasi di luar teluk untuk karakteristik arus di

luar teluk. Seperti halnya kondisi di dekat pantai, karakteristik gelombang sangat

dipengaruhi oleh proses deformasi gelombang akibat refraksi dan difraksi gelombang

yang dipengaruhi oleh perubahan kedalaman (pendangkalan) dan morfologi bentuk

pantai.

Fenomena yang terjadi di daerah teluk di dominasi oleh proses refraksi

gelombang (divergensi gelombang) dan cenderung mempunyai tinggi ge-lombang yang

Page 29: Modul 2 Pengumpulan Dan Analisis Data 13 Juni 2014

2 - 80

relative lebih tenang. Oleh karena itu karakteristik gelombang di dalam teluk ber-beda

dengan gelombang di daerah di luar teluk. Sedangkan untuk daerah tanjung juga

mempunyai karakteristik gelombang yang berbeda yang disebabkan oleh refraksi

gelombang (konvergensi gelombang).

Gambar 2.15. Penentuan Lokasi Survey Gelombang di Perairan Kecamatan Bualemo,

Kabupaten Banggai

Pengukuran gelombang di perairan laut dilakukan minimal selama 3 x 24 jam dengan

interval waktu pencatatan antara 10-60 menit. Pengukuran sebaiknya dilakukan pada saat

kondisi pasang surut pada fase spring tide (pasang surut di saat bulan purnama atau bulan

mati), hal ini untuk memperoleh hasil pengukuran gelombang dengan kondisi pasang surut

dengan kisaran yang besar.

Page 30: Modul 2 Pengumpulan Dan Analisis Data 13 Juni 2014

2 - 81

Gambar. 2.16 Ilustrasi alat dan proses pengukuran gelombang

Contoh Raw Data Tinggi dan Periode Gelombang hasil pembacaan ADCP pada

permukaan air dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 2.17 Contoh Raw Data Tinggi dan Periode Gelombang hasil pembacaan ADCP pada

permukaan air, di Kec. Bualemo, Kab. Banggai

Keterangan Gambar :

1. Persiapan Pemasangan Wave

Recorder di atas kapal

2. Instalasi Deploy Wave Recorder

3. Penyelam untuk membantu

pemasangan wave recorder di dasar

perairan

Page 31: Modul 2 Pengumpulan Dan Analisis Data 13 Juni 2014

2 - 82

- Bagaimana Metode Analisis Data Gelombang?

a. Analisis Gelombang Representatif

Data hasil pengamatan gelombang dianalisis menggunakan metode penentuan

gelombang representatif sebagai berikut:

n

HHHHs

N+...++=

21

n

TTTTs

N+...++=

21

dimana : n = 33,3% x Jumlah data

Nilai Hs dihitung dari 33,3% kejadian tinggi gelombang tertinggi, sedangkan nilai Ts

dihitung dari 33,3% kejadian periode gelombang terbesar.

Untuk mengetahui kondisi gelombang pada berbagai musim, gelombang diprediksi dari

data angin dengan mempertimbangan panjang fetch, kecepatan dan arah angin. Data angin

dapat diperoleh dari stasiun meteorologi terdekat.

b. Perhitungan Parameter Gelombang

Data parameter gelombang yang dianalisis meliputi frekuensi gelombang, panjang

gelombang, bilangan gelombang, kecepatan gelombang, dll. Data parameter gelombang

salah satunya dapat digunakan untuk menentukan kedalaman relatif. Kedalaman relatif

adalah perbandingan antara kedalaman air dan panjang gelombang (Yuwono, 1982).

Berdasarkan data kedalaman relatif, dapat dilakukan perhitungan klasifikasi gelombang

dengan tiga tipe kelas berdasarkan kedalaman relatif (d/L) yaitu:

1) Gelombang di laut dangkal jika d/L < 0,05

Apabila nilai kedalaman dibanding panjang gelombang suatu perairan kurang dari 0,05

maka disebut sebagai gelombang perairan dangkal atau gelombang panjang.

2) Gelombang di laut transisi jika 0,05 < d/L < 0,5

Apabila nilai kedalaman dibanding panjang gelombang suatu perairan berada diantara

0,05 sampai 0,5 maka disebut sebagai gelombang perairan menengah.

3) Gelombang di laut dalam jika d/L > 0,5

Apabila nilai kedalaman dibanding panjang gelombang suatu perairan lebih besar dari

0,5 maka disebut gelombang perairan dalam.

Dimana d adalah kedalaman laut dan L adalah panjang gelombang. Selama penjalaran

gelombang dalam ke laut dangkal terbentuk orbit yang terdiri dari partikel-partikel.

Perubahan orbit tersebut seperti yang ditunjukkan pada gambar dibawah:

Page 32: Modul 2 Pengumpulan Dan Analisis Data 13 Juni 2014

2 - 83

Gambar 5.18. Gerak orbit partikel zat cair di laut dangkal, transisi, dan dalam

Sebagai contoh, dari data pengukuran gelombang diperoleh data perhitungan dimana, L

= 55,14 meter dan d = 21 meter, maka d/L = 0,38, artinya bahwa 1/20 < d/L < ½ sehingga

termasuk klasifikasi gelombang laut transisi.

c. Pemodelan Matematis Penjalaran Gelombang

Tujuan dari pemodelan matematis adalah untuk mengetahui besar dan arah penjalaran

gelombang menuju pantai. Hal ini penting untuk mengetahui proses deformasi gelombang

menuju pantai, seperti difraksi ataupun refraksi gelombang. Untuk mengetahui distribusi

spasial tinggi dan arah gelombang (setiap grid 500 meter untuk RZWP-3-K kabupaten, setiap

grid 250 meter untuk RZWP-3-K kota) di seluruh perairan wilayah perencanaan disimulasikan

dengan model matematika refraksi gelombang.

Hasil pemodelan matematik refraksi gelombang berupa nilai tinggi gelombang disetiap

titik grid yang ada di seluruh perairan di wilayah perencanaan. Nilai tinggi gelombang

disetiap titik grid yang diperoleh dari hasil pemodelan matematik diinterpolasi sehingga

menghasilkan kontur isoline tinggi gelombang. Kontur isoline tinggi gelombang kemudian

diklasifikasi dengan interval kontur setiap 0,1 meter .

Gambar 5.19. Diagram Proses Pemodelan Data Spasial Oseanografi (Data Titik Hasil

Lapangan, Interpolasi, Konversi Ke Polygon Dan Line)

Page 33: Modul 2 Pengumpulan Dan Analisis Data 13 Juni 2014

2 - 84

- Bagaimana Penyajian Data Gelombang?

a. Grafik Tinggi dan Periode Gelombang

Tujuan dari penyajian data ini adalah untuk mengetahui pola dari tinggi (H) dan periode

gelombang (T) terhadap waktu (selama waktu) pengukuran.

Gambar. 2.20 Tinggi Gelombang harian hasil pembacaan ADCP pada permukaan air di Perairan Kec. Bualemo, Kab. Banggai

Gambar 2.21 Periode Gelombang harian hasil pembacaan ADCP pada permukaan air

di Perairan Kec. Bualemo. Kab. Banggai

Page 34: Modul 2 Pengumpulan Dan Analisis Data 13 Juni 2014

2 - 85

b. Peta Gelombang

Peta gelombang untuk RZWP-3-K dengan skala 1 : 50.000 digambarkan dalam bentuk kontur

isoline setiap 0,1 meter. Peta ini dihasilkan dari interpolasi nilai tinggi gelombang disetiap

titik grid hasil model matematik refraksi gelombang. Berikut ini adalah beberapa contoh

ilustrasi hasil pemodelan matematik refraksi gelombang.

Gambar 2.22. Contoh Model Penjalaran Gelombang Dari Arah Tenggara Kepulauan Banggai

Gambar 2.23. Contoh Model Penjalaran Gelombang Dari Arah Timur Laut Kepulauan Banggai

Page 35: Modul 2 Pengumpulan Dan Analisis Data 13 Juni 2014

2 - 86

c) Arus

- Bagaimana Metode Pengumpulan Data Arus?

Pengukuran arus dimaksudkan untuk mengetahui pola arus di lokasi pengukuran dan

dominasi jenis arus di perairan (arus pasut atau arus selain pasut). Peta arus adalah peta

yang menginformasikan pola arus di wilayah perencanaan. Informasi ini sangat diperlukan

sebagai data dasar untuk menentukan pemanfaatan pada wilayah perencanaan.

Metode yang digunakan dalam pengukuran arus meliputi Metode Euler dan Metode

Langrange. Metode Euler merupakan metode pengukuran arus pada lokasi yang tetap

(misal: cur-rent meter). Sensor yang digunakan meliputi sensor mekanik dan sensor non-

mekanik. Sensor Mekanik meliputi Current Meters seri RCM, Current Meters Vektor Rata-rata

(VACM) dan Vector Measuring Current Meter (VMCM), sedang sensor non mekanik terbagi

menjadi Acoustic Current Meter (ACM), Elektromagnetik Current Meter (ECM) dan Acoustic

Doppler Current Meter (ADCM).

Metode Lagrange merupakan metode pengukuran arus dengan mengikuti jejak suatu

alat (misal: pelampung). Teknis konvensional dilakukan dengan terjun langsung ke lapangan

sedangkan teknik modern atau Pencatat Arus Quasi-Lagrange, yang meliputi pencatat arus

permukaan dan bawah permukaan.

Gambar 2.24. Berbagai Tipe Macam Parasut (a), dan Skema Drifter (b).

Page 36: Modul 2 Pengumpulan Dan Analisis Data 13 Juni 2014

2 - 87

Metode penentuan lokasi pengukuran arus biasanya menggunakan metode teknik non

random sampling dengan teknik area sampel, yaitu penentuan lokasi ditentukan pada lokasi

tertentu dengan pertimbangan dapat mewakili karakteristik wilayah perairan setempat.

Umumnya pengukuran arus dapat diwakili dengan tiga sampel untuk setiap kawasan

tertentu.

Gambar 2.25. Contoh Penentuan Lokas sampel Pantai (near shore) dan Lepas Pantai (off shore)

Arah dan kecepatan arus dipengaruhi oleh kondisi pasut, gelombang dan angin (self

current). Pengukuran arus di perairan laut dilakukan minimal selama 3 x 24 jam (3 hari 3

malam) dengan interval waktu pencatatan antara 10 -60 menit (umumnya dilakukan setiap

60 menit) secara simultan. ADCP dipasang pada kedalaman 15 meter. Pengukuran sebaiknya

dilakukan pada saat kondisi pasang surut pada fase spring tide (pasang surut di saat bulan

purnama atau bulan mati), hal ini untuk memperoleh hasil pengukuran arus yang optimal.

Untuk kalibrasi arus digunakan tiga titik pengamatan, sedangkan untuk kalibrasi pasut

digunakan dua titik. Data-data yang terkumpul kemudian ditampilan dalam scatter diagram.

Page 37: Modul 2 Pengumpulan Dan Analisis Data 13 Juni 2014

2 - 88

Gambar 2.26. Ilustrasi Pengukuran (Perekaman Data) Kecepatan dan Arah Arus

Menggunakan Accoustic Doppler Current Profiler (ADCP)

Gambar 2.27. Ilustrasi Pengukuran (Perekaman Data) Kecepatan dan

Arah Arus Menggunakan ADCP

- Bagaimana Metode Analisis Data Arus?

Setelah memperoleh data dari pengukuran di lapangan, maka hal terpenting adalah

bagaimana data tersebut dapat diolah sehingga dapat dilakukan analisis sesuai tujuan yang

akan dicapai.

Data tersebut diolah dalam bentuk scatter diagram dan scatter plot. Untuk mengetahui

distribusi spasial pola arus di wilayah perairan pesisir maka dilakukan pemodelan matematik

Ked

alam

an P

erai

ran

Dasar Perairan

Permukaan Air

Sel Awal

Sel Akhir

Ketinggian

Alat

Blank

Distance

Noise

Distance

Page 38: Modul 2 Pengumpulan Dan Analisis Data 13 Juni 2014

2 - 89

hidrodinamika pola arus. Pemodelan matematik hidrodinamika pola arus dapat

menggunakan perangkat lunak (software), seperti SMS BOSS (Amerika), Mike 21 (Denmark),

3DD (New Zealand), Trisula (Belanda), Telemarc (Perancis), dan lain-lain yang hasilnya

dikalibrasi dengan hasil pengukuran arus.

Gambar 2.28. Contoh verifikasi data kecepatan arus realtime di lapangan dengan data model

Gambar 2.29. Contoh verifikasi data arah arus realtime di lapangan dengan data model

0

50

100

150

200

250

0

5

10

15

20

25

30

35

Current Direction ( o)

Curr

ent V

eloc

ity (c

m/s

ec)

Observation Time

Current Velocity - Model Verification with ObservationPT. Lintech Duta Pratama, Paciran Seashore, Lamongan, Oct 14th - 20th 2009

Average Speed Tide Elevation Model Magnitude

0

50

100

150

200

250

300

350

400

0

5

10

15

20

25

30

35

Current Direction ( o)

Curr

ent V

eloc

ity (c

m/s

ec)

Observation Time

Current Magnitude - Model Verification with ObservationPT. Lintech Duta Pratama, Paciran Seashore, Lamongan, Oct 14th - 20th 2009

Average Speed Tide Elevation

Average Direction Model Direction

Page 39: Modul 2 Pengumpulan Dan Analisis Data 13 Juni 2014

2 - 90

Gambar 2.30. Contoh Kalibrasi Kecepatan Arus Hasil Simulasi Model Matematik dengan Data Pengamatan Lapangan dengan Scatter Plot

i) Vector dan Scatter Plot Arus laut

Tujuan dari penyajian data dengan vektor arus adalah untuk mengetahui pola arah dan

besarnya kecepatan arus terhadap waktu (selama waktu) pengukuran. Adapun scatter plot

arus ialah untuk mengetahui distribusi kecepatan dan arah arus selama pengukuran.

Gambar 2.31. Contoh hasil pengolahan data arus berupa grafik arus

0

50

100

150

200

250

300

350

400

0

5

10

15

20

25

30

35

Curre

nt d

irectio

n (

o)

Curr

ent v

elo

city

(cm

/s)

Recording time

Current Velocity and Direction - Data Acquired by Sontek ArgonautPT. Lintech, Paciran, Lamongan Oct 14th - 20th, 2009

Cell04 Speed Cell04 Direction

Page 40: Modul 2 Pengumpulan Dan Analisis Data 13 Juni 2014

2 - 91

Gambar 2.24 Contoh Penyajian Data Arus Dengan Menggunakan Vektor Arus Laut

Gambar 2.32. Contoh hasil pengolahan data arus berupa vector arus

Gambar 2.33. Contoh Penyajian Data Arus Dengan Menggunakan Scatter Plot Arus

ii) Grafik Elevasi (Pasut), Kecepatan dan Arah Arus

Tujuan dari penyajian data dengan grafik elevasi (pasut), kecepatan dan arah arus adalah

Page 41: Modul 2 Pengumpulan Dan Analisis Data 13 Juni 2014

2 - 92

untuk mengetahui pola arah dan besarnya kecepatan arus terhadap waktu (selama waktu)

pengukuran, yang dikaitkan dengan kondisi pasang surut (elevasi muka air laut). Hal ini juga

merupakan salah satu cara untuk mengetahui hubungan pasut dengan kondisi arus. Apakah

pola arusnya mengikuti pola pasang surut atau tidak. Selain itu juga untuk melihat

bagaimana kondisi arus di kedalaman permukaan, tengah maupun dasar.

Gambar 2.34. Contoh hasil Pengolahan Data Kecepatan Arus Kedalaman 10-12 Meter (Cell

1) Perairan Kec. Bualemo, Kab. Banggai Tanggal 27 April 2013 - 3 Mei 2013.

Gambar 2.35. Kecepatan Arus Kedalaman 8-10 meter (Cell 2) Perairan Kec. Bualemo, Kab. Banggai

Page 42: Modul 2 Pengumpulan Dan Analisis Data 13 Juni 2014

2 - 93

Gambar 2.28 Contoh Hasil Pengolahan Data Kecepatan Arus Kedalaman 6-8

Meter (Cell 3) Perairan B Kec. Bualemo, Kab. Banggai

Gambar 2.36. Contoh Hasil Pengolahan Data Kecepatan Arus Kedalaman 4-6 Meter (Cell 3)

Perairan Kec. Bualemo, Kab. Banggai

iii) Current Rose (Mawar Arus)

Selanjutnya untuk melihat frekuensi kejadian arus selama pengukuran dilakukan analisis

statistik dengan menyajikan current rose dan tabelnya. Pada analisis tersebut arah arus

dikelompokkan 16 mata angin dimana setiap 22,5 derajat terwakili oleh 1 arah mata angin.

Page 43: Modul 2 Pengumpulan Dan Analisis Data 13 Juni 2014

2 - 94

Gambar 2.37. Contoh Current Rose Kedalaman Rata-rata Perairan Kec. Bualemo, Kab. Banggai

Gambar 2.38. Contoh Current Rose Kedalaman Cell 5 (2-4 meter) Perairan Kec. Bualemo, Kab. Banggai

Gambar 2.39. Contoh Current Cell 5 (0-2 meter) Perairan Kec. Bualemo, Kab. Banggai

Page 44: Modul 2 Pengumpulan Dan Analisis Data 13 Juni 2014

2 - 95

Pada kedalaman rata-rata arah arus dominan menuju ke arah 315o (Barat Laut).

Frekuensi kejadian kecepatan arus secara keseluruhan yang menuju ke arah 315o sebesar

43,25 %. Frekuensi kejadian kecepatan arus dengan kecepatan terbanyak terjadi pada

kecepatan arus >60 cm/det dengan frekuensi kejadian kecepatan arus secara keseluruhan

sebesar 30,43 %. Kecepatan arus terbesar, yaitu >60 cm/det menuju ke arah 315˚ (Barat Laut)

dengan frekuensi 19,45 %.

iv) Plot World Current Untuk Mengetahui Jenis Arus (Pasut atau Selain Pasut)

Untuk membantu analisis arus digunakan Program World Current Versi 1.03 (12 Desember

2006). Grafik 3-day plot menunjukkan data arus yang diamati (warna merah), prediksi (biru),

sisa/pengurangan (hijau), sehingga memberikan sebuah grafik yang fluktuaktif dalam bentuk

gelombang yang menunjukkan model harmonik pasut sesuai dengan data tersebut. Gambar

23 menunjukkan bahwa pola kecepatan arus di lokasi kajian dipengaruhi oleh pasang surut

dan selain pasut.

Fluktuasi kecepatan arus berdasarkan data lapangan (arus total) mempunyai pola yang

hampir sama dengan data model astronomik (arus pasang surut). Namun nilai residu (arus

selain pasut) yang merupakan selisih dari arus total dan arus pasut mempunyai nilai fluktuasi

yang cukup besar. Berdasarkan analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa arus di perairan

wilayah kajian dipengaruhi oleh pasang surut dan selain pasut (seperti angin, gelombang,

dll.).

Hasil pengukuran digambarkan dalam scatter diagram, vektor plot, current rose (mawar

arus). Untuk distribusi spasial pola arus untuk tiap 500 m disimulasikan dengan model

hidrodinamika pola arus dengan grid maksimal 500 x 500 m, dan dikalibrasi dengan hasil

pengukuran. Pengukuran dilakukan pada saat kondisi pasang tinggi (fase spring tide). Peta

arus skala 1:50.000, digambar dalam bentuk kontur isoline dengan interval 0,05 m/detik.

Page 45: Modul 2 Pengumpulan Dan Analisis Data 13 Juni 2014

2 - 96

Gambar 2.40. Contoh Analisis Scatter plot Kecepatan Arus Kedalaman Rata-rata Perairan Kec. Bualemo, Kab. Banggai.

Gambar 2.41. Scatter Plot Kecepatan Arus Kedalaman Cell 5 (2-4 meter) (Gambar Kiri) dan

Kedalaman Cell 6 (0-2 meter) (Gambar Kanan) Dari Perairan Kec. Bualemo, Kab. Banggai

v) Model Matematika

Untuk mengetahui distribusi spasial pola arus (setiap grid 500 meter untuk RZWP-3-K

kabupaten, setiap grid 250 meter untuk RZWP-3-K kota) di seluruh perairan wilayah

perencanaan disimulasikan dengan model matematika hidrodinamika pola arus dan

dikalibrasi dengan hasil pengukuran yang dilakukan pada kondisi pasang (spring tide).

Pemodelan matematik hidrodinamika yang digunakan merupakan persamaan aliran 2

dimensi pada rerata kedalaman (depth average). Percepatan gravitasi lebih dominan

dibandingkan dengan percepatan aliran vertikal. Sehingga persamaan aliran dapat didekati

dengan persamaan aliran dangkal (shallow water equation). Komponen kecepatan rata-rata

Page 46: Modul 2 Pengumpulan Dan Analisis Data 13 Juni 2014

2 - 97

dzvH

V

Hz

z

b

b

1

dzuH

U

Hz

z

b

b

1

0

HV

yHU

xt

H

kedalaman dalam koordinat horizontal x dan y didefinisikan sebagai berikut :

Dengan : H = kedalaman air

zb = elevasi dasar sungai

zb+ H = elevasi muka air

u = kecepatan horizontal arah x

v = kecepatan horizontal arah y

Persamaan kontinuitas untuk aliran dua dimensi rata-rata kedalaman (averaged

continuity equation) dapat dituliskan sebagai :

Persamaan momentum pada arah sumbu x dan y untuk aliran dua dimensi rata-rata

kedalaman dapat dituliskan sebagai :

𝜕

𝜕𝑡(𝐻𝑈) +

𝜕

𝜕𝑥(𝛽𝑥𝑥𝐻𝑈𝑈) +

𝜕

𝜕𝑦(𝛽𝑥𝑦𝐻𝑈𝑉) + 𝑔𝐻

𝜕𝑧𝑏

𝜕𝑥+

1

2𝑔

𝜕𝐻2

𝜕𝑥+

1

𝜌[𝜏𝑏𝑥 − 𝜏𝑠𝑥 −

𝜕

𝜕𝑥(𝐻𝜏𝑥𝑥) −

𝜕

𝜕𝑦(𝐻𝜏𝑥𝑦)] = 0

untuk aliran arah sumbu x, dan

𝜕

𝜕𝑡(𝐻𝑉) +

𝜕

𝜕𝑥(𝛽𝑥𝑦𝐻𝑈𝑉) +

𝜕

𝜕𝑦(𝛽𝑦𝑦𝐻𝑉𝑉) + 𝑔𝐻

𝜕𝑧𝑏

𝜕𝑦+

1

2𝑔

𝜕𝐻2

𝜕𝑦+

1

𝜌[𝜏𝑏𝑦 − 𝜏𝑠𝑦 −

𝜕

𝜕𝑥(𝐻𝜏𝑦𝑥) −

𝜕

𝜕𝑦(𝐻𝜏𝑦𝑦)] = 0

untuk aliran pada sumbu y

Dengan : xx, xy, yx yy = koefisien koreksi momentum

g = percepatan gravitasi

= rapat massa air

bx by = tegangan geser dasar

sx sy = tegangan geser permukaan

xx, xy, yx yy = tegangan geser akibat turbulensi

(misal xy adalah tegangan geser ke arah sumbu x yang bekerja pada bidang tegak lurus

sumbu y). Komponen tegangan geser pada dasar dalam arah sumbu x dan y dihitung sebagai

berikut :

Page 47: Modul 2 Pengumpulan Dan Analisis Data 13 Juni 2014

2 - 98

21

2

b

2

b22

fbyy

z

x

z1VUVc

21

2

b

2

b22

fbxy

z

x

z1VUUc

31

H

gn

C

gc

2

2

2f

x

U

x

Uxxxx

x

V

y

Uxyyxxy

y

V

y

Vyyyy

dengan cf adalah koefisien gesek dasar yang dapat dihitung sebagai :

dengan C = koefisien Chezy; n = koefisien kekasaran Manning; dan = 1,486 bila

menggunakan satuan Inggris dan 1,0 bila menggunakan satuan internasional (SI).

Tegangan geser turbulen rata-rata kedalaman dihitung menggunakan konsep eddy

viskositas dari Boussinesq, yakni :

Untuk penyederhanaan perhitungan, nilai eddy viskositas kinematik rata-rata kedalaman

dianggap isotropik (diasumsikan bahwa nilai xx = xy = yx = yy), dan eddy viskositas

isotropik dinotasikan dengan yang nilainya (0,3 0,6 U*H).

Hasil pemodelan matematik hidrodinamika pola arus berupa nilai kecepatan dan arah

arus disetiap titik-titik grid yang ada di seluruh perairan di wilayah perencanaan. Nilai ke-

cepatan arus disetiap titik-titik grid diinterpolasi sehingga menghasilkan kontur isoline ke-

cepatan arus. Kontur isoline kecepatan arus kemudian diklasifikasi dengan interval kontur se-

tiap 0,05 meter per detik.

Page 48: Modul 2 Pengumpulan Dan Analisis Data 13 Juni 2014

2 - 99

Gambar 5.42. Diagram Proses Pemodelan Data Spasial Oseanografi (Data Titik Hasil Lapangan,

Interpolasi, Konversi Ke Polygon Dan Line)

- Bagaimana Penyajian Peta Arus?

Peta arus untuk RZWP-3-K dengan skala 1 : 50.000 digambarkan dalam bentuk kontur isoline

setiap 0,05 meter per detik. Peta ini dihasilkan dari interpolasi nilai kecepatan arus disetiap

titik-titik grid hasil model matematik hidrodinamika pola arus. Berikut ini adalah beberapa

contoh ilustrasi hasil interpolasi nilai kecepatan arus

Gambar .2.43. Peta Arus Pasang Menuju Surut Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah

Page 49: Modul 2 Pengumpulan Dan Analisis Data 13 Juni 2014

2 - 100

Gambar 2.44. Peta Arus Surut Menuju Pasang Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah

d) Oseanografi Fisika Perairan Lainnya

- Bagaimana metode pengumpulan data fisika perairan?

suhu permukaan laut

Data parameter suhu permukaan laut, diperoleh dari analisis citra penginderaan jauh

thermal, contohnya adalah Citra Modis atau citra lain yang memiliki saluran thermal. Untuk

mendapatkan sebaran nilai suhu permukaan laut tiap grid pada citra satelit, dilakukan

transformasi matematis menggunakan software pengolahan citra.

Hasil transformasi tersebut digunakan untuk menentukan titik sampel pengukuran

suhu permukaan laut di lapangan. Jumlah sampel ditentukan berdasarkan keragaman

interval suhu permukaan laut.

Total Suspended Solid (TSS)

Total suspended solid diukur dengan cara pengambilan sampel air laut dan

pengukuran konsentrasi TSS di laboratorium. Penentuan lokasi dan jumlah sampel

ditentukan dengan melihat variabilitas rona/warna perairan, sehingga setiap tingkat

konsentrasi TSS di perairan dapat terwakili secara proporsional. Variabilitas rona/warna

perairan yang menunjukkan tingkat konsentrasi TSS dapat diidentifikasi menggunakan citra

penginderaan jauh secara visual.

Page 50: Modul 2 Pengumpulan Dan Analisis Data 13 Juni 2014

2 - 101

Kecerahan

Kecerahan air laut diukur secara langsung di lapangan menggunakan Seechi Disk.

Penentuan lokasi dan jumlah sampel ditentukan dengan melihat variabilitas rona/warna

perairan, sehingga setiap tingkat kecerahan perairan dapat terwakili secara proporsional.

Variabilitas rona/warna perairan yang menunjukkan tingkat kecerahan perairan dapat

diidentifikasi menggunakan citra penginderaan jauh secara visual.

- Bagaimana Metode Analisis Data Oseanografi Fisika?

suhu permukaan laut

analisis suhu permukaan laut dilakukan dengan cara mengkoreksi data suhu permukaan

laut hasil pengolahan citra satelit dengan menggunakan data hasil pengukuran di lapangan.

Koreksi dilakukan dengan cara transformasi matematik menggunakan software pengolah

citra, sehingga dihasilkan data suhu permukaan laut yang valid/sesuai kondisi di lapangan.

Berdasarkan data suhu permukaan laut yang telah terkoreksi, dilakukan penyusunan peta

kontur isoterm dengan cara interpolasi nilai-nilai suhu permukaan laut disetiap titik-titik

grid yang ada di seluruh perairan di wilayah perencanaan

Total Suspended Solid (TSS)

Berdasarkan hasil pengukuran TSS di laboratorium diperolah nilai-nilai TSS untuk setiap

titik sampel. Nilai-nilai TSS tersebut kemudian di interpolasi sehingga menghasilkan kontur

isoline TSS untuk seluruh perairan di wilayah perencanaan.

Kecerahan

Berdasarkan hasil pengukuran kecerahan di lapangan diperoleh tingkat kecerahan perairan

untuk setiap titik sampel. Tingkat kecerahan perairan tersebut kemudian di interpolasi

sehingga menghasilkan kontur isoline kecerahan untuk seluruh perairan di wilayah

perencanaan.

- Bagaimana cara penyajian datanya?

Peta suhu permukaan laut untuk RZWP-3-K dengan skala 1 : 50.000 digambarkan dalam

bentuk kontur isoterm pada rentang 20 – 35 ˚C dengan interval 0,5˚C. Peta TSS

digambarkan dalam bentuk kontur isoline TSS dengan interval 0,5 mg/L. Kontur isoline

kecerahan digambarkan 1-20 m dengan interval kelas 1 meter.

Penggambaran simbol dan tampilan layout untuk data suhu permukaan laut, TSS dan

kecerahan, dan pada peta skala 1 : 50.000 mengikuti Standar Simbol, Notasi, dan Kode

Unsur Penyajian Peta Dasar, Peta Tematik dan Peta RZWP-3-K. Contoh penyajian Peta

Sebaran Suhu, Peta Sebaran TSS, Peta Sebaran Kecerahan dapat dilihat pada gambar di

bawah.

Page 51: Modul 2 Pengumpulan Dan Analisis Data 13 Juni 2014

2 - 102

Gambar. 2.45. Peta sebaran TSS Kab. Banggai

Gambar. 2.46. Peta Kontur Sebaran Suhu Kab. Banggai

Page 52: Modul 2 Pengumpulan Dan Analisis Data 13 Juni 2014

2 - 103

Gambar. 2.47. Peta Sebaran Kecerahan Kab. Banggai

e) Kimia Perairan

- Bagaimana Metode Pengumpulan Datanya?

Parameter oseanografi kimia meliputi pH, salinitas, COD, BOD, Ammonia (NH3-N)+, Nitrat

(NO3-N), Nitrit, dan Fosfat (PO4-P)+. Untuk menjaga akurasi data, pengukuran semua

parameter ini sebaiknya dilakukan di lokasi (in situ). pH diukur menggunakan pH meter

atau kertas lakmus. Salinitas diukur menggunakan salinometer atau refraktometer. COD,

BOD, Ammonia (NH3-N)+, Nitrat (NO3-N), Nitrit, dan Fosfat (PO4-P)+ diukur menggunakan

spektofotometer dan cairan reagent-nya.

Penentuan Lokasi sampel untuk untuk data oseanografi kimia (pH, salinitas, COD, BOD,

Ammonia (NH3-N)+, Nitrat (NO3-N), Nitrit, dan Fosfat (PO4-P)+) dilakukan dengan metode

purposive sampling. Lokasi sampel ditentukan dengan mempertimbangkan karakteristik

wilayah perairan setempat (daerah pertemuan arus, daerah muara sungai, daerah di

sekitar selat yang menghubungkan dua perairan, daerah teluk dan tanjung dan daerah

yang memiliki variabilitas kondisi ekosistem).

- Bagaimana Metode Analisis Datanya?

Berdasarkan hasil pengukuran data oseanografi kimia di lapangan, diperolah nilai-nilai

pH, salinitas, COD, BOD, Ammonia (NH3-N)+, Nitrat (NO3-N), Nitrit, dan Fosfat (PO4-P)+

untuk setiap titik sampel. Masing-masing nilai parameter tersebut kemudian di interpolasi

sehingga menghasilkan kontur isoline pH, salinitas, COD, BOD, Ammonia (NH3-N)+, Nitrat

(NO3-N), Nitrit, dan Fosfat (PO4-P)+ untuk seluruh perairan di wilayah perencanaan.

Page 53: Modul 2 Pengumpulan Dan Analisis Data 13 Juni 2014

2 - 104

- Bagaimana menyajikan data parameter kimia perairan dalam peta?

Peta Sebaran pH untuk RZWP-3-K dengan skala 1 : 50.000 digambarkan dalam bentuk

kontur isoline pada rentang 4 – 9 dengan selang kontur 0.5. Peta Sebaran Salinitas untuk

RZWP-3-K dengan skala 1 : 50.000 digambarkan dalam bentuk kontur isoline pada rentang

antara 15-35 (o/oo) dengan selang kontur 1 (o/oo). Peta COD dan BOD untuk RZWP-3-K

dengan skala 1 : 50.000 masing-masing digambarkan dalam bentuk kontur isoline dengan

selang kontur 0.4 mg/l. Peta ammonia untuk RZWP-3-K dengan skala 1 : 50.000

digambarkan dalam bentuk kontur isoline dengan selang kontur 0.1 mg/l.

Penggambaran simbol dan tampilan layout untuk data pH, salinitas, COD, BOD,

Ammonia (NH3-N)+, Nitrat (NO3-N), Nitrit, dan Fosfat (PO4-P)+ pada peta skala 1 : 50.000

mengikuti Standar Simbol, Notasi, dan Kode Unsur Penyajian Peta Dasar, Peta Tematik dan

Peta RZWP-3-K. Contoh penyajian masing-masing Peta Sebaran pH, Peta Sebaran Salinitas,

dan Peta Sebaran Ammonia (NH3-N)+ dapat dilihat pada gambar di bawah.

Gambar 2.48. Peta Sebaran pH Kabupaten Banggai

Page 54: Modul 2 Pengumpulan Dan Analisis Data 13 Juni 2014

2 - 105

Gambar 2.49. Peta Sebaran Salinitas Kabupaten Banggai

Gambar 2.50. Peta Sebaran Ammonia Kabupaten Banggai

f) Biologi Perairan

- Bagaimana Metode Pengumpulan Datanya?

Data biologi perairan yang dikumpulkan adalah data plankton. Plankton terbagi atas nabati

(phytoplankton) dan hewani (zooplankton). Data phytoplankton dapat diidentifikasi dari

Page 55: Modul 2 Pengumpulan Dan Analisis Data 13 Juni 2014

2 - 106

citra penginderaan jauh dengan pendekatan kandungan klorofil yang ada di perairan.

Contoh citra penginderaan jauh yang dapat digunakan diantaranya adalah Citra Aqua

Modis, NOAA-AVHRR, atau citra lain yang memiliki kemampuan untuk mendeteksi klorofil.

Untuk mendapatkan sebaran plankton tiap grid pada citra satelit, dilakukan transformasi

matematis menggunakan software pengolahan citra, sehingga dihasilkan klasifikasi

kelimpahan phytoplankton (tentatif).

Hasil transformasi tersebut digunakan untuk menentukan titik sampel pengukuran

nilai plankton di lapangan. Jumlah sampel ditentukan berdasarkan variasi interval nilai

plankton pada citra satelit.

Untuk memvalidasi nilai kandungan plankton dari hasil pengolahan citra satelit,

dilakukan survey lapangan. Survey lapangan dilakukan untuk pengambilan sampel air

menggunakan planktonnet untuk mengekstrak plankton dari volume air tertentu yang akan

dianalisis di laboratorium. Analisis laboratorium dilakukan untuk mengukur kelimpahan

phytoplankton pada setiap lokasi sampling.

- Bagaimana metode analisa data Plankton?

Analisis plankton dilakukan dengan cara mengkoreksi nilai kelimpahan plankton hasil

pengolahan citra satelit dengan menggunakan data hasil analisis laboratorium. Koreksi

dilakukan dengan cara transformasi matematik menggunakan software pengolah citra,

sehingga dihasilkan data klasifikasi kelimpahan plankton yang valid/sesuai kondisi di

lapangan.

Berdasarkan data klasifikasi kelimpahan plankton yang telah terkoreksi, dilakukan

penyusunan peta kontur isoline dengan cara interpolasi nilai-nilai kelimpahan plankton

disetiap titik-titik grid yang ada di seluruh perairan di wilayah perencanaan.

- Bagaimana menyajikan data plankton dalam peta?

Peta Plankton untuk RZWP-3-K dengan skala 1 : 50.000 digambarkan dalam bentuk

kontur isoline antara 0,7 – 2,0 dengan interval 0,4 mg/L. Penggambaran simbol dan

tampilan layout untuk plankton pada peta skala 1 : 50.000 mengikuti Standar Simbol,

Notasi, dan Kode Unsur Penyajian Peta Dasar, Peta Tematik dan Peta RZWP-3-K.

3. Pemanfaatan Wilayah Laut Eksisting

- Bagaimana metode pengumpulan datanya?

Pemanfaatan wilayah laut eksisting adalah berbagai kegiatan pemanfaatan bentang

perairan yang dilakukan secara permanen maupun temporer. Pada wilayah perairan

kabupaten/kota, kegiatan pemanfaatan laut eksisting diantaranya pertambangan, kawasan

konservasi, pariwisata, BMKT, tambat labuh, rig, floating unit, bangunan perikanan

permanen (KJA, seabed, dll.), area penangkapan ikan modern dan tradisional dan budidaya

laut (seperti rumput laut dan mutiara).

Page 56: Modul 2 Pengumpulan Dan Analisis Data 13 Juni 2014

2 - 107

Untuk memperoleh data lokasi pemanfaatan wilayah laut yang telah ada, dilakukan

identifikasi visual menggunakan citra penginderaan jauh resolusi tinggi (resolusi minimal 1

meter.) Hasil identifikasi visual pada citra tersebut digunakan untuk groundcheck di

lapangan dengan cara tracking dan plotting koordinat pada lokasi pemanfaatan laut yang

ditemukan dengan menggunakan GPS

- Bagaimana metode pengolahan datanya?

Metode pengolahan data pemanfaatan laut existing dilakukan dengan cara ploting

koordinat titik GPS hasil identifikasi citra penginderaan jauh dan poligon (untuk data yang

berupa area) hasil groun dcheck di lapangan ke dalam peta dasar.

- Bagaimana menyajikan data Pemanfaatan Wilayah Laut Eksisting dalam peta?

Peta pemanfaatan wilayah laut ekisting untuk RZWP-3-K dengan skala 1 : 50.000

digambarkan dalam bentuk titik dan poligon (untuk data yang berupa area).

Penggambaran simbol dan tampilan layout untuk data pada peta ini mengikuti Standar

Simbol, Notasi, dan Kode Unsur Penyajian Peta Dasar, Peta Tematik dan Peta RZWP-3-K.

4. Ekosistem Pesisir dan Sumberdaya Ikan

a. Terumbu Karang

- Bagaimana metode pengumpulan datanya?

Data terumbu karang dapat diperoleh melalui pendekatan penginderaan jauh dan survei

lapangan. Identifikasi terumbu karang melalui citra penginderaan jauh dilakukan dengan

cara dengan metode visual (on screen digitizing) maupun transformasi matematis,

misalnya transformasi Lyzenga. Secara visual, untuk membedakan terumbu karang dan

substrat dasar lainnya dilakukan dengan pendekatan unsur-unsur interpretasi citra.

Hasil interpretasi citra satelit digunakan untuk menentukan sampel yang akan dibawa

ke lapangan untuk verifikasi kebenarannya. Metode penentuan sampel yang digunakan

adalah purposive dan proportional random sampling. Purposive dengan

mempertimbangkan keragaman atau variabilitas kelas terumbu karang. Proportional

random sampling digunakan dalam menentukan titik sampel pada lokasi dengan

variabilitas kelas terumbu karang. Jumlah titik sampel yang ditentukan harus representatif

dan proporsional berdasarkan luasan area yang dipetakan.

Survei lapangan dilakukan untuk mendapatkan data sebaran dan kondisi terumbu

karang. Sebaran terumbu karang dilakukan dengan menggunakan metode Manta Tow.

Untuk melihat kondisi terumbu karang beserta keanekaragaman jenisnya digunakan Point

Intercept Transect (PIT). Pada saat survei terumbu karang, dilakukan pula identifikasi

kelimpahan dan keanekaragaman jenis ikan karang (demersal). Metode-metode tersebut di

atas akan dijelaskan secara rinci pada paparan di bawah ini.

Page 57: Modul 2 Pengumpulan Dan Analisis Data 13 Juni 2014

2 - 108

1) Manta Tow

Metode ini bertujuan untuk mengetahui kondisi ekosistem terumbu karang dalam waktu

yang relatif singkat dalam skala yang luas. Metode ini berguna untuk mengetahui kondisi

umum, heterogenitas suatu komunitas karang sehingga data yang dihasilkan dapat

digunakan sebagai acuan dalam menentukan lokasi-lokasi yang mewakili area terumbu

untuk pengamatan ekosistem terumbu karang yang lebih detail.

Manta Tow dilakukan dengan cara mengamati tutupan substrat dasar laut oleh

penyelam snorkel yang ditarik oleh perahu kecil untuk menentukan kondisi terumbu karang

pada skala luas. Kecepatan perahu dijaga tetap dengan kecepatan kurang lebih 5 km/jam

atau sama dengan kecepatan orang berjalan. Metode Manta Tow melibatkan minimal 3

orang, yang terdiri dari pengamat 1, pengamat 2 dan pengemudi perahu (Gambar 1).

Pengamat 1 bertugas memotret, mengamati dan mencatat kondisi tutupan substrat di

wilayah yang diamati, dengan cara berpegangan dengan papan manta kemudian ditarik

oleh perahu dan melintas di atas puncak terumbu (reef crest). Sementara pengamat 2 yang

berada di atas perahu bertugas mengatur waktu, menggunakan GPS dan berkomunikasi

dengan pengamat 1. Pengemudi perahu bertugas mengemudikan perahu agar berada di

jalur yang sesuai dengan kecepatan yang sesuai juga. Waktu setiap tarikan adalah 2 menit,

kemudian setelah 15 tarikan berhenti sejenak untuk pergantian dimana pengamat 2 akan

menggantikan pengamat 1 dan begitu sebaliknya. Hal ini terus berulang sampai seluruh

area yang direncana-kan teramati.

Gambar 2.51 Ilustrasi Teknik Manta Tow (diadaptasi dari Brainard dkk, 2014)

Page 58: Modul 2 Pengumpulan Dan Analisis Data 13 Juni 2014

2 - 109

Gambar. 2.52. Pengamatan Sebaran terumbu karang dengan metode Manta Tow

2) Point Transect

Metode Point Transect adalah salah satu metode penilaian kondisi terumbu karang

dengan cara mencatat jenis substrat dasar utamanya karang keras di bawah transek garis di

setiap in-terval 0,5 m. Pengamat hanya mencatat jenis substrat pada meter ke-0, lalu titik

0,5 m kemudian titik 1 m dan seterusnya hingga meter ke-100. Transek garis dibuat dengan

me-masang roll meter sepanjang 100 m sejajar dengan reef crest pada kedalaman 7 m

(Gambar 3). Penyelam SCUBA yang melakukan pencatatan dengan cara membagi transect

menjadi empat segmen, setiap segmennya terdiri dari 20 m dengan batas antar segmen

sepanjang 5 m, sehingga akan diperoleh 40 data point setiap segmen

Page 59: Modul 2 Pengumpulan Dan Analisis Data 13 Juni 2014

2 - 110

Gambar 2.53. Ilustrasi Teknik Point Transect (diadaptasi dari Brainard dkk, 2014)

Gambar 2.54. Pengamatan substrat dasar menggunakan transek garis

metode Point Transect

Page 60: Modul 2 Pengumpulan Dan Analisis Data 13 Juni 2014

2 - 111

- Bagaimana metode analisis datanya?

Kondisi Ekosistem Terumbu Karang

Kondisi ekosistem terumbu karang ditentukan oleh persentase tutupan karang, indeks

keanekaragaman, indeks keseragaman, dan indeks dominansi biota. Tutupan karang

diperoleh menggunakan metode Manta Tow. Indeks keragaman, indeks keseragaman, dan

indeks dominansi biota diperoleh menggunakan metode Point Transect. Berdasarkan nilai-

nilai tersebut kemudian dapat ditentukan kriteria kondisi terumbu karang (rusak atau baik).

Persentase tutupan karang hidup dapat dilihat dari jumlah karang keras hidup

(Scleractinia spp.), yang merupakan unsur dominan di dalam ekosistem terumbu karang

(Sukarno, 1995).

Tabel 2.6. Kriteria Penilaian Kondisi Terumbu Karang Berdasarkan Persentase Tutupan

Karang Hidup (SK Meneg LH No. 04/2001)

Persentase Tutupan Karang (%) Kondisi Terumbu Karang

0 – 24,9 Rusak

Buruk

25 – 49,9 Sedang

50 – 74,9 Baik

Baik

75 – 100 Baik sekali

Keanekaragaman jenis karang dihitung berdasarkan rumus Indeks Keanekaragaman

Legendre & Legendre (1983) dengan rumus sebagai berikut :

N

nipipipiH

n

i

;log'1

2

dimana : H’ = Indeks Keanekaragaman Legendre & Legendre n = jumlah spesies dalam sampel ni = jumlah panjang karang jenis ke-i N = jumlah panjang total seluruh jenis

Analisa data tentang nilai Indeks Keanekaragaman Legendre & Legendre adalah

sebagai berikut:

H’ < 3,20 = keanekaragaman kecil dan tekanan ekologi sangat kuat 3,20 < H’ < 9,97 = keanekaragaman sedang dan tekanan ekologi sedang (moderat) H’ > 9,97 = keanekaragaman tinggi, terjadi keseimbangan ekosistem.

Sementara Keanekaragaman jenis ikan karang dihitung berdasarkan rumus Indeks

Keanekaragaman Shannon-Wienner dengan rumus sebagai berikut :

Page 61: Modul 2 Pengumpulan Dan Analisis Data 13 Juni 2014

2 - 112

N

ni

N

niH

s

i

ln'1

dimana : H’ = Indeks Keanekaragaman Shannon-Wienner S = jumlah spesies dalam sampel ni = jumlah individu ikan karang jenis ke-i N = jumlah total individu seluruh jenis

Analisa data tentang nilai Indeks Keanekaragaman Shannon-Weaver adalah : H < 1 = berarti komunitas dalam kondisi tak stabil 1 < H < 3 = berarti komunitas dalam kondisi sedang (moderat) H > 3 = berarti komunitas dalam kondisi baik

Indeks Keseragaman (J’) jenis bertujuan untuk mengetahui keseimbangan individu

dalam keseluruhan populasi terumbu karang/ ikan karang, yang merupakan perbandingan

nilai keragaman dengan nilai keragaman maksimum. Nilai Indeks Keseragaman jenis karang

dan ikan karang dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut :

2

'' ; log

HE Hmaks S

Hmaks

dimana : J’ = Indeks Keseragamanan H = Indeks Keanekaragaman S = jumlah spesies dalam sampel Pengambilan keputusannya adalah, jika : J’ < 0,3 = keseragaman populasi kecil 0,3 < J’ < 0,6 = keseragaman populasi sedang J’ > 0,6 = keseragaman populasi tinggi

Bila J mendekati 0 (nol), spesies penyusun tidak banyak ragamnya, ada dominasi dari

spesies tertentu dan menunjukkan adanya tekanan terhadap ekosistem. Bila J mendekati 1

(satu), jumlah individu yang dimiliki antar spesies tidak jauh berbeda, tidak ada dominasi

dan tidak ada tekanan terhadap ekosistem.

Indeks Dominansi jenis digunakan untuk mengetahui sejauh mana kelompok biota

mendominasi kelompok lain (Ludwig, 1988). Nilai Indeks Dominansi jenis karang dan ikan

karang dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut :

2ni

CN

dimana: C = Indeks Dominasi Jenis ni = Jumlah individu jenis ke-i N = Jumlah total individu seluruh jenis

Page 62: Modul 2 Pengumpulan Dan Analisis Data 13 Juni 2014

2 - 113

- Bagaimana metode penyajian data terumbu karang dalam peta?

Peta sebaran terumbu karang untuk RZWP-3-K dengan skala 1 : 50.000 ditampilkan

dalam bentuk poligon, sedangkan kondisi terumbu karang (persentase tutupan, indeks

keanekaragaman, indeks keseragaman dan indeks dominansi) ditampilkan dalam bentuk

pie chart atau diagram batang. Tipe terumbu karang (fringing reef, barier reef, atoll,

patch reef) disajikan dalam bentuk simbol.

Penggambaran simbol dan tampilan layout untuk data terumbu karang pada peta skala

1 : 50.000 mengikuti Standar Simbol, Notasi, dan Kode Unsur Penyajian Peta Dasar, Peta

Tematik dan Peta RZWP-3-K. Contoh penyajian peta sebaran terumbu karang dapat dilihat

pada gambar berikut:

Gambar2.55. Contoh tampilan peta ekosistem pesisir Kabupaten Banggai

b. Data Lamun

Lamun memegang peranan penting pada komunitas pesisir karena merupakan

pendukung bermacam-macam fauna yang berasosiasi di dalamnya, sehingga

keberadaannya mempengaruhi produktivitas pesisir. Komunitas ini juga berperan sebagai

penstabil sedimen dan mengontrol kualitas dan kejernihan air.

Padang lamun pada wilayah tropis hidup di perairan dangkal dengan substrat halus

disepanjang pantai dan estuari. Coles et.al, (1993) menyatakan bahwa komposisi spesies

lamun terdapat pada: (1) perairan dangkal kurang dari 6 meter merupakan daerah dengan

Page 63: Modul 2 Pengumpulan Dan Analisis Data 13 Juni 2014

2 - 114

kelimpahan tinggi; (2) perairan kedalaman antara 6 sampai kedalaman 11 meter,

didominasi oleh Halodule spp dan Halophila spp; dan (3) perairan dengan lebih dari

11 meter, hanya dihuni oleh Halophila spp.

- Bagaimana metode pengumpulan datanya?

Pengumpulan data padang lamun dapat dilakukan melalui interpretasi citra

penginderaan jauh dan survei lapangan. Melalui metode penginderaan jauh, sebaran

padang lamun dapat diidentifikasi menggunakan metode visual (on screen digitizing)

maupun transformasi matematis, misalnya transformasi Lyzenga. Hasil interpretasi citra

satelit berupa peta tentatif sebaran padang lamun yang selanjutnya digunakan sebagai

dasar dalam penentuan titik lokasi survei lapangan.

Untuk survey lapangan, pengamatan padang lamun dilakukan menggunakan metode

transek kuadrat. Pelaksanaan metode ini menggunakan petak berbentuk bujursangkar yang

dibentangkan secara tegak lurus terhadap garis pantai. Pengukuran dilakukan dengan

menggunakan petak pengamatan seluas 10 m x 10 m. Di dalam petak pengamatan

diletakkan petak berbentuk bujursangkar ukuran 1 m x 1 m secara sejajar luas areal

pengamatan. Pengamatan didukung dengan kamera bawah air (underwater camera). Hasil

yang diperoleh dari metode ini adalah persentase tutupan relatif (English et al, 1997).

Penutupan lamun menyatakan luasan area yang tertutupi oleh tumbuhan lamun.

- Bagaimana metode analisis datanya?

Berdasarkan hasil pengukuran persentase pengukuran relatif padang lamun, dilakukan

pengolahan lebih lanjut untuk memperoleh komposisi jenis lamun, kerapatan spesies, dan

penutupan spesies.

Komposisi Jenis Lamun

Komposisi jenis merupakan perbandingan antara jumlah individu suatu jenis terhadap

jumlah individu secara keseluruhan. Komposisi jenis lamun dihitung dengan menggunakan

rumus:

Kerapatan Jenis Lamun

Kerapatan jenis lamun yaitu jumlah total individu suatu jenis lamun dalam unit area

yang diukur. Kerapatan jenis lamun ditentukan berdasarkan rumus:

Page 64: Modul 2 Pengumpulan Dan Analisis Data 13 Juni 2014

2 - 115

𝐾𝑖 = ∑𝑛𝑖

𝐴

𝑝

𝑖=1

Penutupan Spesies ( PCi) adalah perbandingan antara luas area penutupan jenis i (Ci)

dan luas total area penutupan untuk seluruh jenis (A) :

PCi = (Ci / A) x 100

- Bagaimana metode penyajian data lamun dalam peta?

Peta sebaran padang lamun untuk RZWP-3-K dengan skala 1 : 50.000 digambarkan

dalam bentuk poligon, kondisi lamun (komposisi, kerapatan, persentase penutupan lamun,

dan penutupan spesies) ditampilkan dalam bentuk pie chart atau diagram batang. Jenis

lamun disajikan dalam bentuk simbol.

Penggambaran simbol dan tampilan layout untuk data pada peta padang lamun skala

1 : 50.000 mengikuti Standar Simbol, Notasi, dan Kode Unsur Penyajian Peta Dasar, Peta

Tematik dan Peta RZWP-3-K

c. Mangrove

Hutan mangrove merupakan komunitas pantai tropis yang didominasi oleh beberapa

jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang di daerah pasang surut baik

pantai berlumpur atau berpasir (Bengen, 1999). Saenger et al. (1983) dalam Aksornkoae

(1993) mendefinisikan mangrove sebagai karakteristik formasi tanaman litoral tropis dan

sub tropis di sekitar garis pantai yang terlindung.

- Bagaimana Metode Pengumpulan Data Mangrove?

Data mangrove dapat diperoleh melalui pendekatan penginderaan jauh dan survei

lapangan. Identifikasi mangrove melalui citra penginderaan jauh dilakukan dengan metode

visual (on screen digitizing) maupun transformasi matematis. Interpretasi mangrove dengan

citra penginderaan jauh dilakukan dengan melihat perbedaan rona/tingkat kecerahan,

warna, bentuk, pola, dan asosiasi/kedekatan terhadap obyek lain. Selain metode visual,

identifikasi mangrove dapat juga dilakukan dengan metode transformasi matematis

diantaranya, Ratio Vegetation Index (RVI), Transformed RVI (TRVI), Difference Vegetation

Page 65: Modul 2 Pengumpulan Dan Analisis Data 13 Juni 2014

2 - 116

Index (DVI), Normalized Difference Vegetation Index (NDVI), dan Transformed NDVI

(TNDVI).

Hasil interpretasi citra penginderaan jauh meliputi perkiraan luas, kerapatan, dan

distribusi vegetasi. Hasil ini selanjutnya digunakan untuk menentukan lokasi sampling untuk

verifikasi lapangan.

Metode penentuan sampel yang digunakan adalah purposive dan proportional

random sampling. Purposive dengan mempertimbangkan keragaman atau variabilitas kelas

mangrove. Proportional random sampling digunakan dalam menentukan titik sampel pada

lokasi dengan mempertimbangkan jumlah sampel pada setiap kelas mangrove. Jumlah titik

sampel yang ditentukan harus representatif berdasarkan luasan area yang dipetakan.

Survey lapangan kondisi ekosistem mangrove meliputi pengambilan data jumlah

individu, kerapatan dan distribusi vegetasi. Metode ini menggunakan plot/petak dengan

ukuran 10 x 10 meter yang diletakkan secara acak sesuai dengan jumlah sampel yang telah

ditentukan. Pada setiap petak yang telah ditentukan, dilakukan identifikasi setiap

tumbuhan mangrove yang ada, jumlah individu setiap jenis, dan lingkaran batang setiap

pohon mangrove.

Data mangrove yang dikumpulkan meliputi jenis, komposisi jenis, kerapatan jenis,

frekuensi jenis, luas area penutupan, nilai penting jenis, dan biota yang berasosiasi. Data

tersebut diolah lebih lanjut untuk memperoleh kerapatan jenis, frekuensi jenis, luas area

penutupan, dan nilai penting suatu spesies dan keanekaragaman spesies.

Metode pengumpulan data mangrove dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2.7. Metode Survei Mangrove

Page 66: Modul 2 Pengumpulan Dan Analisis Data 13 Juni 2014

2 - 117

Berdasarkan hasil interpretasi citra satelit dan survei lapangan, mangrove dapat

dikategorikan sebagai berikut:

Tabel. 2.8. Klasifikasi tingkat kerapatan mangrove

Sumber : SNI Survey dan Pemetaan Mangrove, 2011

- Bagaimana Metode Analisis Data Mangrove?

Berdasarkan data-data mangrove yang telah diidentifikasi di lapangan berupa spesies,

jumlah individu dan diameter pohon, dilakukan pengolahan lebih lanjut untuk memperoleh

kerapatan jenis, frekuensi jenis, penutupan jenis, indeks keanekaragaman, dan indeks

kemerataan.

Rumus-rumus untuk analisis data adalah sebagai berikut:

● Kerapatan Jenis (Di) adalah jumlah tegakan jenis i dalam suatu unit area:

Di = ni / A

dimana Di adalah kerapatan jenis i, ni adalah jumlah total individu dari jenis i dan A

adalah luas total area pengambilan contoh (luas total petak contoh/plot)

● Frekuensi Jenis (Fi) adalah peluang ditemukannya jenis i dalam petak contoh/ plot yang

diamati:

Fi= pi/∑p

Dimana, Fi adalah frekuensi jenis i, pi adalah jumlah petak contoh/ plot dimana

ditemukan jenis i, dan p adalah jumlah total petak contoh/plot yang diamati.

● Penutupan jenis (Ci) adalah jenis luas penutupan jenis i dalam suatu unit area:

Ci=∑BA/A

Dimana BA= πDBH2/4 (dalam cm2), π (3,1416) adalah suatu konstanta dan DBH adalah

Page 67: Modul 2 Pengumpulan Dan Analisis Data 13 Juni 2014

2 - 118

diameter batang pohon dari jenis i,A adalah luas area pengambilan contoh (luas total

petak contoh/ plot). DBH= CBH adalah lingkaran pohon setinggi dada.

Indeks Keanekaragaman (H’). Keanekaragaman jenis (species diversity) vegetasi

mangrove ditentukan dengan indeks Keanekaragaman Shanon-Wiener (H’) (Odum,

1971) dengan formula sebegai berikut :

H’ = -∑ Pi ln Pi

dimana :

H’ = Indeks Keanekaragaman

Pi = (ni / N)

ni = jumlah individu dari jenis ke-i

N = jumlah total seluruh individu

Kisaran nilai indeks keanekaragaman Shannon Wienner diklasifikasikan sebagai berikut :

H’ < 1 = Keanekaragaman jenis kecil dan komunitas rendah

H’ < 1 < 3 = Keanekaragaman jenis sedang dan komunitas sedang

H’ > 3 = Keanekaragaman jenis tinggi dan komunitas tinggi

Indeks Kemerataan (E). Keseragaman jenis vegetasi mangrove ditentukan dengan

indeks kemerataan (Brower and Zar, 1977), dengan formula sebagai berikut :

E = H’ / H maks’

H maks’ = l n S

Dimana ;

H’ = Indeks Keanekaragaman

S = Jumlah Jenis

Nilai keseragaman berkisar antara 0 – 1. Apabila nilai E mendekati 0, maka sebaran

individu antara jenis tidak merata dan apabila nilai E mendekati 1, maka sebaran

individu antara jenis merata.

- Bagaimana Penyajian Data Mangrove ke Dalam Peta?

Peta sebaran mangrove untuk RZWP-3-K dengan skala 1 : 50.000 digambarkan dalam

bentuk poligon. Kondisi mangrove yang meliputi kerapatan jenis, frekuensi jenis,

penutupan jenis, indeks keanekaragaman, indeks pemerataan dan nilai penting jenis

digambarkan dalam bentuk diagram batang.

Penggambaran simbol dan tampilan layout untuk data mangrove mengikuti Standar

Simbol, Notasi, dan Kode Unsur Penyajian Peta Dasar, Peta Tematik dan Peta RZWP-3-K.

Contoh penyajian peta sebaran mangrove dapat dilihat pada Peta Ekosistem Perairan

Kabupaten Banggai .

Page 68: Modul 2 Pengumpulan Dan Analisis Data 13 Juni 2014

2 - 119

Fitur yang harus ada dalam peta mangrove adalah fitur dasar dan fitur tematik

sesuai dengan hasil klasifikasi.

Tabel 2.9. Fitur dasar dan fitur tematik untuk penyajian peta mangrove

d. Sumberdaya Ikan

1. Daerah Penangkapan Ikan Pelagis Ikan pelagis merupakan ikan yang memiliki kebiasaan berenang dekat permukaan

perairan, berenang secara terus menerus dan cenderung beruaya atau tidak menetap di

suatu area. Ikan pelagis dibagi menjadi ikan pelagis besar dan ikan pelagis kecil. Contoh

ikan pelagis besar antara lain : ikan tuna besar (madidihang, tana mata besar, albakora,

tuna sirip biru selatan, tuna ekor panjang; ikan pedang/setuhuk (ikan pedang, setuhuk,

setuhuk biru, setuhuk hitam, setuhuk loreng, ikan layaran); ikan tuna kecil (cakalang,

tongkol); dan jenis-jenis ikan cucut. Contoh ikan pelagis kecil antara lain: ikan selar,

kembung, teri, layang, tembang, lemuru, dan ikan terbang.

- Bagaimana Metode Pengumpulan Data Sumberdaya Ikan Pelagis?

Delineasi/pemetaan daerah penangkapan ikan (DPI) pelagis dilakukan dengan metode

penginderaan jauh multitemporal dan survei lapangan. Metode penginderaan jauh

menggunakan beberapa parameter sebagai pendekatan, yaitu suhu permukaan laut

(SPL)/Sea Surface Temperature (SST), klorofil, Sea Surface Height Anomaly (SSHA) dan Total

Suspended Solid (TSS). Citra Satelit yang digunakan diantaranya NOAA-AVHRR (Advance

Very High Resolution Radiometer), Aqua/Terra Modis dan SeaWiffs untuk periode lima

tahun (multitemporal). Penggunaan parameter untuk skala pemetaan DPI Pelagis 1 :

250.000 dan 1 : 50.000 sebagai berikut:

Page 69: Modul 2 Pengumpulan Dan Analisis Data 13 Juni 2014

2 - 120

Tabel 2.10. Parameter Oseanografi Dalam Penentuan DPI Pelagis Sesuai Skala Pemetaan

No Skala

Pemetaan Parameter yang digunakan Keterangan

1 1 : 250.000

1. Suhu permukaan laut (SPL atau SST)

2. Klorofil

3. Sea Surface height Anomaly (SSHA) -

Arus

- Data diperoleh dari citra

penginderaan jauh oseanografi

dan altimetri multitemporal (5

tahunan)

2 1 : 50.000 1. Suhu permukaan laut (SPL atau SST)

2. Klorofil

3. Sea Surface height Anomaly (SSHA) -

Arus

4. Total Suspended Solid (TSS).

- Data diperoleh dari citra

penginderaan jauh oseanografi

dan altimetri multitemporal (5

tahunan)

- TSS digunakan sebagai

pembatas untuk keberadaan

ikan pelagis di daerah perairan

dangkal.

- Metode Analisis DPI Pelagis

Untuk menentukan lokasi fishing ground ikan pelagis berbasis data penginderaan jauh,

secara tepat, maka diperlukan langkah-langkah sebagai berikut:

• Langkah 1. Pengolahan data Aqua MODIS dilakukan dengan menggunakan perangkat

lunak SeaDAS

• Langkah 2. Koreksi geometrik merupakan tahapan pengolahan awal. Setelah itu dil-

akukan pemotongan pada daerah yang akan dikaji

• Langkah 2A. Pengolahan data SSH untuk mendapatkan informasi tinggi muka laut, se-

lanjutnya diturunkan menjadi informasi pergerakan arus laut

• Langkah 3. Ekstraksi klorofil-a dan suhu permukaan laut

• Langkah 3A. Data satelit yang digunakan: Satelit Jason atau Topex/Poseidon yang

disimpan di NOAA GEO-IDE UAF ERDDAP berupa data AVISO Altimetry and Niiler

Climatology, Global, SSH.

• Langkah 4. Pendekatan Knowledge-Based Expert Systems (KB-ES) yang diintegrasikan

dengan sistem berbasis spasial

• Langkah 5. Penyusunan dan standardisasi data serta penyajian data FG lebih mengacu

pada konsep Sistem Informasi Geografi (SIG)

• Langkah 6. Perbandingan kualitas produk pengamatan sensor dibandingkan dengan

kondisi sebenarnya dilakukan dalam proses validasi

Page 70: Modul 2 Pengumpulan Dan Analisis Data 13 Juni 2014

2 - 121

Analisis citra oseanografi dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut

Analisis Suhu Permukaan Laut

Identifikasi suhu permukaan laut menggunakan pendekatan citra penginderaan jauh

dilakukan melalui penerapan algoritma untuk menonjolkan informasi suhu permukaan

pada citra satelit. Langkah-langkah analisis citra sebagai berikut:

Gambar 2.56. Diagram Alir Pengolahan Citra Satelit untuk analisis Suhu Permukaan Laut

Page 71: Modul 2 Pengumpulan Dan Analisis Data 13 Juni 2014

2 - 122

Gambar 2.57. Contoh Hasil Analisis SST Multitemporal Dari Citra Satelit Untuk Wilayah Teluk Tomini

Analisis Klorofil

Dalam pendeteksian klorofil perairan, citra penginderaan jauh Ocean Color (Misal

SeaWIFS) dapat memberikan data dan informasi tentang adanya variasi warna perairan

sebagai implementasi dari perbedaan konsentrasi fitoplankton dalam perairan. Langkah-

langkah pengolahan data ocean color sebagai berikut:

Gambar 2.58. Pengolahan Data Ocean Color untuk Identifikasi Klorofil Perairan

Page 72: Modul 2 Pengumpulan Dan Analisis Data 13 Juni 2014

2 - 123

Gambar 2.59. Contoh Hasil Analisis Klorofil Menggunakan Citra Satelit Multitemporal Analisis Sea

Surface Height Anomaly (SSHA)

Data SSHA diperoleh melalui analisis citra penginderaan jauh altimetri, yaitu citra

satelit yang dapat menunjukkan pola-pola perubahan permukaan laut secara kontinu,

misalnya perputaran arus dan gelombang.

Analisis selanjutnya dilakukan melalui tumpangsusun peta suhu permukaan laut,

klorofil dan arus sebagaimana gambar berikut:

Page 73: Modul 2 Pengumpulan Dan Analisis Data 13 Juni 2014

2 - 124

Gambar 2.60 Langkah-langkah Identifikasi Fishing Ground

Page 74: Modul 2 Pengumpulan Dan Analisis Data 13 Juni 2014

2 - 125

Untuk mendapatkan informasi DPI pelagis yang valid dilakukan identifikasi suhu

permukaan laut, klorofil dan SSHA pada tiga musim, yaitu musim barat, musim timur dan

musim peralihan. Dari hasil analisis didapatkan Peta DPI Pelagis Musim Barat, Peta DPI

Pelagis Musim Timur, dan Peta DPI Pelagis Musim Peralihan. Peta-peta tersebut kemudian

divalidasi dengan cara membandingkan dengan hasil pengukuran jenis dan kelimpahan ikan

pelagis di lapangan. Pengukuran di lapangan dilakukan pada waktu dan musim yang sama

dengan tanggal perekaman citra penginderaan jauh.

Metode pengukuran jenis dan kelimpahan ikan pelagis di lapangan sebagai berikut:

1. Pencatatan Data Hasil Tangkapan

Data hasil tangkapan meliputi : komposisi jumlah dan jenis serta total hasil tangkapan

setiap hauling. Pengambilan data dilakukan dengan cara menimbang hasil tangkapan ikan

dengan menggunakan timbangan pada setiap kegiatan hauling selesai dilaksanakan.

Penghitungan jumlah tangkapan ikan berasal dari kapal ikan (jumlah lebih dari satu

kapal ikan sejenis dengan ukuran dan jumlah trip yang sama). Untuk mendapatkan data

yang memiliki waktu yang sama dengan data dari hasil analisis citra penginderaan jauh dan

GIS, maka data penangkapan ikan dari kapal ikan diambil pada periode waktu yang sama

dengan data penginderaan jauh/citra satelit dan data GIS. Apabila analisis citra satelit

menggunakan data citra satelit multitemporal 5 tahun, maka data hasil tangkapan ikan

menggunakan data pada pariode yang sama. Data dapat diperoleh dari fishing log book

selama 5 tahun.

2. Identifikasi densitas ikan menggunakan Metode Hidroakustik

Metode hidroakustik dilakukan untuk memperoleh informasi tentang obyek di bawah air

dengan cara pemancaran gelombang suara dan mempelajari pantulan gelombang suara

yang dihasilkan. Perangkat akustik yang digunakan antara lain: echosounder, fish finder,

sonar, dan Acoustic Doppler Current Profiler (ADCP). Berdasarkan metode ini, dapat

diketahui tingkat densitas ikan per meter kubik dan dapat diketahui sebarannya untuk

wilayah perairan yang disurvey.

Page 75: Modul 2 Pengumpulan Dan Analisis Data 13 Juni 2014

2 - 126

Berdasarkan hasil identifikasi DPI Pelagis menggunakan pendekatan penginderaan jauh

dan hasil pengumpulan densitas ikan di lapangan, dilakukan validasi dengan metode

sebagai berikut:

Gambar 2.61. Alur Validasi Lokasi Fishing Ground (Diwakili Dengan Kondisi Klorofil) dengan

Data Sebaran Densitas Ikan

Berdasarkan hasil validasi diperoleh Peta Sebaran DPI Pelagis Musim Barat, Peta

Sebaran DPI Pelagis Musim Timur, dan Peta Sebaran DPI Pelagis Musim Peralihan.

Selanjutnya, untuk mendapatkan titik lokasi fishing ground pilihan dari berbagai lokasi

tersebut perlu dilakukan analisis:

Jarak titik/area fishing ground ke pelabuhan terdekat

Tumpang susun dengan batas wilayah perencanaan kabupaten (4 mil)

Contoh analisis dapat dilihat pada gambar berikut ini:

Gambar. 2.62. Contoh Hasil Analisis Lokasi Fishing Ground Pilihan

Page 76: Modul 2 Pengumpulan Dan Analisis Data 13 Juni 2014

2 - 127

- Bagaimana Penyajian Peta DPI Pelagis?

Peta DPI Pelagis untuk RZWP-3-K dengan skala 1: 50.000 digambarkan dalam bentuk

poligon. Jenis dan kelimpahan ikan dalam bentuk pie chart atau diagram batang dengan

informasi dasar lokasi fishing ground. Peta dibuat untuk musim barat, musim timur dan

musim peralihan.

Penggambaran simbol dan tampilan DPI pelagis skala 1 : 50.000 mengikuti Standar

Simbol, Notasi, dan Kode Unsur Penyajian Peta Dasar, Peta Tematik dan Peta RZWP-3-K.

2. Daerah Penangkapan Ikan Demersal

Ikan demersal adalah ikan yang mempunyai kebiasaan hidup di dasar atau dekat dasar

perairan. Contoh ikan demersal diantaranya: kerapu, beronang, kakap putih, kakap

merah/bambangan, manyung, gerot-gerot, kurisi, beloso, kuniran, bawal putih, bawal

hitam, peperek, layur, dll.

Delineasi/pemetaan DPI demersal dilakukan dengan metode analisis GIS dengan

pendekatan ekosistem perairan. Beberapa parameter yang digunakan yaitu sebaran dan

kualitas terumbu karang, padang lamun, mangrove, kedalaman perairan, topografi

perairan, kecerahan, perubahan cuaca dan pencemaran.

Analisis kesesuaian untuk daerah penangkapan (fishing ground) ikan demersal

menggunakan 2 pendekatan, yaitu pendekatan kesesuaian parameter biofisik dan

pendekatan konvensional.

- Bagaimana memperoleh data untuk mengetahui sebaran dan kondisi DPI demersal ?

a. Identifikasi Sebaran DPI Demersal

Identifikasi Sebaran DPI Demersal dilakukan dengan menggunakan kriteria kesesuaian

berdasarkan habitat sumberdaya ikan demersal. Habitat ikan demersal umumnya berkaitan

langsung maupun tidak langsung dengan keberadaan ekosistem pesisir, antara lain:

ekosistem mangrove (habitat menetap dan habitat temporer/ruaya pasang surut),

ekosistem padang lamun (habitat menetap dan habitat temporer/ruaya pasang surut), dan

ekosistem terumbu karang.

Data-data yang dibutuhkan dalam penentuan Identifikasi Sebaran DPI Demersal dapat

dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel.2.11. Kebutuhan Data Dalam Penentuan Kesesuaian Parameter Biofisik

No Data Sumber Data Keterangan

1 Ekosistem pesisir (terumbu karang, mangrove, padang lamun)

- Kondisi ekosistem (buruk, sedang, baik sangat baik)

Survey lapangan Kondisi ekosistem mempengaruhi kelimpahan ikan

- Kelimpahan ikan Survey lapangan

- Keanekaragaman/kekayaan jenis Survey lapangan

Page 77: Modul 2 Pengumpulan Dan Analisis Data 13 Juni 2014

2 - 128

No Data Sumber Data Keterangan

ikan (ikan target)

2 Kedalaman perairan Peta bathimetri Distribusi ikan demersal sangat dibatasi oleh kedalaman karena jenis ikan demersal hanya mampu bertoleransi terhadap kedalaman tertentu sebagai akibat perbedaan tekanan air.

3 Morfologi dasar laut Peta bathimetri (analisis garis isodepth)

Persebaran habitat ikan demersal di sekitar ekosistem dengan morfologi dasar laut landai lebih jauh jangkauannya dibandingkan morfologi dasar laut curam – karena faktor kedalaman

4 Kecerahan air Citra satelit atau survey lapangan

Mempengaruhi feeding activity

5 Pencemaran Pengukuran lapangan Mempengaruhi distribusi/kehidupan ikan

Tabel 2.12. Kriteria Penentuan Daerah Potensi Perikanan Tangkap Demersal

No Parameter

Skor

1 3 5

1 Kondisi ekosistem terumbu karang/

tutupan karang hidup

Buruk (<25%) Sedang

(25-49,9%)

Baik & sangat

baik (50%)

2 Kondisi ekosistem padang lamun/

penutupan lamun

Buruk (<29,9%) Sedang

(30 – 59,9%)

Baik

(50%)

3 Kondisi ekosistem mangrove/ penutupan

mangrove

Rusak

(<50%)

Sedang

(50-74,9%)

Baik

(75%)

4 Kelimpahan ikan Rendah Sedang Tinggi

5 Kekayaan Jenis <10 jenis 10 – 30 jenis > 30 jenis

6 Kedalaman perairan (m) < 3 dan >100 3-5 dan

50-100

5-50

7 Morfologi dasar perairan landai Landai - curam curam

8 Kecerahan < 5 5-10 > 10

9 Pencemaran Ada Sedikit Tidak Ada

Sebagai unit analisis, delineasi DPI demersal menggunakan pendekatan ekosistem

terumbu karang, padang lamun dan mangrove. Asumsi yang digunakan ialah ketiga

ekosistem ini merupakan tempat spawning ground, nursery ground dan feeding ground

bagi berbagai jenis ikan.

Page 78: Modul 2 Pengumpulan Dan Analisis Data 13 Juni 2014

2 - 129

b. Identifikasi Kondisi Sumberdaya Ikan Demersal

Langkah ini ditujukan untuk mengetahui secara lebih lebih detail kondisi sumberdaya

ikan demersal yang berasosiasi dengan ekosistem yang diamati. Lokasi survey lapangan

ditentukan berdasarkan hasil identifikasi sebaran DPI demersal. Kondisi sumberdaya ikan

demersal yang diteliti melalui pendekatan ini adalah jenis, kelimpahan, keanekaragaman,

keseragaman, dan dominasi sumberdaya ikan demersal.

Identifikasi kondisi sumberdaya ikan demersal dilakukan dengan pengamatan langsung

oleh penyelam SCUBA yang mencatat jenis dan jumlah ikan yang berada di kolom air. Ikan

karang yang berada di area terumbu karang diidentifikasi dan dihitung dengan mengikuti

transek garis sepanjang 30 m. Pencatat berenang di atas garis transek dan populasi ikan

yang disensus adalah pada luasan 7,5 m samping kiri-kanan dan atas bawah sepanjang garis

transek (Gambar 4). Selain pencatatan data komunitas ikan karang (demersal) untuk

mendukung deskripsi kondisi ekosistem terumbu karang juga dilakukan perekaman kondisi

bawah air dengan memotret dan mengambil gambar video menggunakan kamera

underwater.

Gambar . 2.63. Ilustrasi pengambilan data ikan karang (diadaptasi dari Brainard dkk, 2014)

Jumlah ikan karang yang disensus disajikan sebagai kelimpahan ikan karang sedangkan

data ikan karang dianalisa untuk menghitung keanekaragaman (H’), keseragaman (E) dan

dominasi (C).

- Bagaimana Menganalisis Data Sumberdaya Ikan Demersal?

Untuk mendapatkan Peta DPI Demersal dengan identifikasi sebaran DPI Demersal,

dilakukan analisis dengan cara overlay seluruh parameter sehingga menghasilkan Peta DPI

Demersal.

- survey pada kolom air di

kedalaman 0-30 m

- diameter transek sepanjang 15 m

- Pengambilan gambar benthos

sepanjang alur transek

- pencatatan data survey ikan

Page 79: Modul 2 Pengumpulan Dan Analisis Data 13 Juni 2014

2 - 130

Untuk mengetahui kondisi sumberdaya ikan demersal, dilakukan analisis komunitas

ikan karang dengan menggunakan analisis kelimpahan ikan, indeks keanekaragaman (H’),

indeks keseragaman (E), dan indeks dominansi. Berikut penjelasan masing-masing indeks

komunitas yang dipakai:

Kelimpahan Ikan

Kelimpahan komunitas ikan karang adalah jumlah ikan karang yang dijumpai pada

suatu lokasi pengamatan persatuan luas transek pengamatan. Kelimpahan ikan karang

dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Xi =ni

A x 100%

Dimana :

Xi = Kelimpahan ikan ke-i (ind/ha)

ni = Jumlah total ikan pd stasiun pengamatan ke-i

A = Luas transek pengamatan

Indeks keanekaragaman (H’)

Indeks keanekaragaman atau keragaman (H’) menyatakan keadaan populasi organisme

secara matematis agar mempermudah dalam menganalisis informasi jumlah individu

masing-masing bentuk pertumbuhan/genus ikan dalam suatu komunitas habitat

dasar/ikan. Indeks keragaman yang paling umum digunakan adalah rumus:

PiPiHS

i

1

ln'

dimana : H’ = Indeks keanekaragaman

Pi = Perbandingan proporsi ikan ke i

S = Jumlah ikan karang yang ditemukan

Indeks keanekaragaman digolongkan dalam kriteria sebagai berikut :

H’≤ 2 : Keanekaragaman kecil

2 < H’≤ 3 : Keanekaragaman sedang

H’ > 3 : Keanekaragaman tinggi

Indeks keseragaman (E)

Indeks keseragaman (E) menggambarkan ukuran jumlah individu antar spesies dalam

suatu komunitas ikan. Semakin merata penyebaran individu antar spesies maka

keseimbangan ekosistem akan makin meningkat. Rumus yang digunakan adalah:

maksH

HE

'

Page 80: Modul 2 Pengumpulan Dan Analisis Data 13 Juni 2014

2 - 131

dimana : E = Indeks keseragaman

H maks = Ln S

S = Jumlah ikan karang yang ditemukan

Nilai indeks keseragaman berkisar antara 0 – 1. Selanjutnya nilai indeks keseragaman

berdasarkan Krebs (1972) dikategorikan sebagai berikut :

0 < E ≤ 0.5 : Komunitas tertekan

0.5 < E ≤ 0.75 : Komunitas labil

0.75 < E ≤ 1 : Komunitas stabil

Semakin kecil indeks keseragaman, semakin kecil pula keseragaman populasi, hal ini

menunjukkan penyebaran jumlah individu setiap jenis tidak sama sehingga ada

kecenderungan satu jenis biota mendominasi. Semakin besar nilai keseragaman,

menggambarkan jumlah biota pada masing-masing jenis sama atau tidak jauh beda.

Indeks dominansi (C)

Indeks dominansi berdasarkan jumlah individu jenis ikan karang digunakan untuk

melihat tingkat dominansi kelompok biota tertentu. Persamaan yang digunakan adalah

indeks dominansi yaitu :

S

i

PiC1

2)(

dimana : C = Indeks dominansi

Pi = Perbandinga proporsi ikan ke i

S = Jumlah ikan karang yang ditemukan

Nilai indeks dominansi berkisar antara 1 – 0. Semakin tinggi nilai indeks tersebut,

maka akan terlihat suatu biota mendominasi substrat dasar perairan. Jika nilai indeks

dominansi (C) mendekati nol, maka hal ini menunjukkan pada perairan tersebut tidak ada

biota yang mendominasi dan biasanya diikuti oleh nilai keseragaman (E) yang tinggi.

Sebaliknya, jika nilai indeks dominansi (C) mendekati satu, maka hal ini menggambarkan

pada perairan tersebut ada salah satu biota yang mendominasi dan biasanya diikuti oleh

nilai keseragaman yang rendah. Nilai indeks dominansi dikelompokkan dalam 3 kriteria,

yaitu:

0 < C ≤ 0.5 : Dominansi rendah

0.5 < C ≤ 0.75 : Dominansi sedang

0.75 < C ≤ 1 : Dominansi tinggi

Page 81: Modul 2 Pengumpulan Dan Analisis Data 13 Juni 2014

2 - 132

- Bagaimana Menyajikan Data DPI Demersal Dalam Peta?

Peta DPI demersal untuk RZWP-3-K dengan skala 1:50.000 digambarkan dalam bentuk

poligon dan hasil analisis kondisi sumberdaya ikan demersal (kelimpahan ikan, indeks

keanekaragaman, indeks keseragaman, dan indeks dominansi) ditampilkan dalam bentuk

diagram batang dengan informasi dasar ekosistem pesisir.

Penggambaran simbol dan tampilan DPI demersal skala 1 : 50.000 mengikuti Standar

Simbol, Notasi, dan Kode Unsur Penyajian Peta Dasar, Peta Tematik dan Peta RZWP-3-K.

5. Infrastruktur

Pemetaan infrastruktur di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil bertujuan untuk

mengetahui sebaran infrastruktur yang ada, sebagai data dasar dalam pengembangan

alokasi ruang dan proyeksi kebutuhan sarana dan prasarana. Terdapat berbagai jenis

insfrastruktur penting yang perlu dipetakan.

Untuk infrastruktur terkait dengan kelautan dan perikanan, sarana infrastruktur yang

penting meliputi Infrastruktur Umum, diantaranya bandara, terminal, pasar umum,

pelabuhan umum, kawasan industri, kantor pemerintah, sekolah, rumah sakit/puskesmas,

bangunan wisata/sejarah; dan Infrastruktur Khusus diantaranya pasar ikan, KUD, BBI,

Pelabuhan perikanan, TPI, Gudang penyimpanan, bangunan perlindungan pesisir (jeti,

penahan gelombang). Sedangkan infrastruktur penting lainnya yang perlu dipetakan adalah

data eksisting dan rencana jaringan sistem prasarana yang meliputi Transportasi,

Sumberdaya air, Energi, Telekomunikasi, Persampahan, Sanitasi, dan Drainase.

- Bagaimana cara mengumpulkan data infrastruktur?

Kondisi infrastruktur dapat diketahui berdasarkan data sekunder yang telah ada dan

juga melalui pengamatan langsung di lapangan. Data sekunder terkait dengan kondisi

infrastruktur berupa peta analog atau data tabular sebaran infrastruktur. Melalui

pengamatan langsung di lapangan diperoleh data jenis infrastruktur dan posisinya

(menggunakan GPS).

- Bagaimana cara mengolah dan menyajikan data infrastruktur?

Pemetaan dilakukan dengan mengkonversi data sekunder dan survey lapangan. Data

sekunder berupa peta analog perlu dikonversi terlebih dahulu menjadi peta digital sebelum

diolah menjadi peta infrastruktur. Konversi peta analog menjadi peta digital dilakukan

dengan metode digitasi.

Sedangkan, data sekunder berupa data tabular dapat diintegrasikan langsung ke dalam

peta dasar untuk menjadi peta infrastruktur. Data sekunder dan/atau data hasil

pengamatan langsung di lapangan selanjutnya diintegrasikan ke dalam peta dasar sehingga

diperoleh Peta Infrastruktur umum, khusus, dan infrastruktur lainnya. Peta Infrastruktur

untuk skala 1 : 50.000 digambarkan dalam bentuk titik dan garis dengan penggambaran

Page 82: Modul 2 Pengumpulan Dan Analisis Data 13 Juni 2014

2 - 133

simbol dan tampilan mengikuti Standar Simbol, Notasi, dan Kode Unsur Penyajian Peta

Dasar, Peta Tematik dan Peta RZWP-3-K.

6. Demografi dan Sosial

Pemetaan demografi dan sosial dimaksudkan untuk mengetahui kondisi dan komposisi

masyarakat di suatu wilayah secara struktural dan kultural. Data terkait demografi dan

sosial yang dikumpulkan meliputi Populasi (jumlah, kepadatan dan distribusi umur), Trend

pertumbuhan populasi (tingkat kelahiran dan kematian), Pendidikan, Mata Pencaharian,

Agama, Budaya, Lembaga kemasyarakatan dan hukum adat serta masyarakat tradisional

- Bagaimana cara mengumpulkan data Demografi dan Sosial?

Metode pengumpulan data demografi dan sosial dapat dilakukan secara primer dan

sekunder. Pengumpulan/survey data primer dilakukan dengan cara wawancara dan Focus

Group Discussion (FGD) terhadap kelompok masyarakat yang dianggap mengetahui

informasi yang diperlukan dan perwakilan masyarakat dari lembaga lokal, pemuka

masyarakat, pemuka agama, dan lainnya. Pengamatan secara langsung terhadap lingkungan

sosial, hubungan sosial dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat setempat, juga merupakan

upaya yang dapat dilakukan untuk memperoleh data primer serta memverifikasi (cross

check) informasi dari hasil wawancara dan Focus Group Discussion (FGD) .

Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan cara mengunjungi instansi penyedia

data kependudukan dan sosial seperti Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kantor

Kepemerintahan lainnya.

- Bagaimana cara mengolah dan menyajikan data Demografi dan Sosial?

Pemetaan dilakukan dengan menintegrasikan data survey lapangan dan data sekunder

ke dalam peta dasar. Peta dasar yang digunakan adalah peta administrasi. Peta demografi

dan sosial skala 1:50.000 digambar dalam bentuk polygon disertai informasi dalam bentuk

diagram/tabel/pie chart.

7. Ekonomi Wilayah

Pemetaan ekonomi wilayah bertujuan untuk mengetahui kondisi perekonomian suatu

wilayah. Kondisi perekonomian suatu wilayah dapat dilihat dari : 1) Pendapatan perkapita;

2) Pertumbuhan Pendapatan perkapita ; 3) Angkatan kerja dan tingkat pengangguran; 4)

Tenaga kerja di bidang perikanan, pertanian, kehutanan, dll; 5) Populasi dan kepadatan

nelayan; 6) Pendapatan di sektor perikanan; 7) Produksi perikanan dan sektor-sektor lain;

8) Potensi pengembangan sumberdaya perikanan dan kelautan; 9) Jumlah wisatawan; 10)

Pendapatan rata-rata dan pengeluaran per sektor; dan data perekonomian lainnya.

Page 83: Modul 2 Pengumpulan Dan Analisis Data 13 Juni 2014

2 - 134

- Bagaimana cara mengumpulkan data Ekonomi Wilayah?

Metode pengumpulan data Ekonomi Wilayah dilakukan melalui pengumpulan data

sekunder. Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan cara mengunjungi instansi

penyedia data ekonomi wilayah seperti Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kantor

Kepemerintahan lainnya.

- Bagaimana cara mengolah dan menyajikan data Ekonomi Wilayah?

Pemetaan dilakukan dengan menintegrasikan data sekunder ke dalam peta dasar. Peta

dasar yang digunakan adalah peta administrasi. Peta Ekonomi Wilayah skala 1:50.000

digambar dalam bentuk polygon disertai informasi dalam bentuk diagram/tabel/pie chart.

Peta tersebut diklasifikasikan menjadi Peta Ekonomi Wilayah Per Kecamatan Pesisir dengan

kedalaman informasi berisikan Pendapatan perkapita kabupaten, Pertumbuhan

Pendapatan perkapita kabupaten, Angkatan kerja dan tingkat pengangguran per kabupaten,

Tenaga kerja di bidang perikanan, pertanian, kehutanan, dll, Populasi dan kepadatan

nelayan, Pendapatan di sektor perikanan, Produksi perikanan dan sektor–sektor lain,

Jumlah wisatawan, Pendapatan rata-rata dan pengeluaran per sektor.

Peta tersebut ditampilkan bersama dengan batas administrasi kabupaten, batas

administrasi kecamatan pesisir, batas wilayah perencanaan WP3K kabupaten, titik pusat

pemerintahan kabupaten, jaringan jalan, sungai, kontur ketinggian, kontur batimetri,

infrastruktur kelautan dan perikanan dengan simbolisasi sesuai standar Simbol, Notasi, dan

Kode Unsur Penyajian Peta Dasar, Peta Tematik dan Peta Rencana Zonasi WP-3-K.

8. Risiko Bencana dan Pencemaran

a) Risiko Bencana

Risiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu

kawasan dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam,

hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan

masyarakat.

Bencana Pesisir adalah kejadian karena peristiwa alam atau karena perbuatan orang

yang menimbulkan perubahan sifat fisik dan/atau hayati pesisir dan mengakibatkan korban

jiwa, harta, dan/atau kerusakan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Bencana yang

diakibatkan karena peristiwa alam seperti gempa bumi, tsunami, gelombang ekstrim,

gelombang laut berbahaya, letusan gunung api, banjir, kenaikan paras muka air laut, tanah

longsor, erosi pantai, angin puting beliung, serta jenis bencana lainnya sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan. Sedangkan bencana yang diakibatkan karena

perbuatan orang seperti banjir, kenaikan paras muka air laut, tanah longsor dan erosi

pantai.

Peta Risiko Bencana dan Kajian Risiko Bencana harus disusun untuk setiap jenis

ancaman bencana yang ada pada daerah kajian. Rumus dasar umum untuk analisis risiko

yang diusulkan dalam 'Pedoman Perencanaan Mitigasi Risiko Bencana' yang telah disusun

Page 84: Modul 2 Pengumpulan Dan Analisis Data 13 Juni 2014

2 - 135

oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana Indonesia (Peraturan Daerah Kepala BNPB

Nomor 4 Tahun 2008) adalah sebagai berikut:

Dimana:

R : Disaster Risk ; Risiko Bencana

H : Hazard Threat : Frekuensi (kemungkinan) bencana tertentu cenderung terjadi

dengan intensitas tertentu pada lokasi tertentu.

V : Vulnerability : Kerugian yang diharapkan (dampak) di daerah tertentu dalam sebuah

kasus bencana tertentu terjadi dengan intensitas tertentu. Perhitungan variabel ini

biasanya didefinisikan sebagai pajanan (penduduk, aset, dll) dikalikan sensitivitas

untuk intensitas spesifik bencana

C : Adaptive Capacity : Kapasitas yang tersedia di daerah itu untuk pulih dari bencana

tertentu

Metode pengumpulan data, metode analisis data dan simbolisasi peta mengacu pada

Peraturan Kepala BNPB Nomor 02 Tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko

Bencana. Sedangkan untuk penyajian peta risiko bencana mengikuti Pedoman Pemetaan

RZWP-3-K (Keputusan Dirjen KP3K No 46 Tahun 2013).

b) Pencemaran

Pencemaran yang terjadi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dapat diidentifikasi

melalui pendekatan penginderaan jauh dan survei lapangan. Beberapa jenis polutan yang

menyebabkan terjadinya pencemaran di antaranya adalah:

Air Raksa (Hg)

Timbal (Pb)

Kadmium (Cd)

Daerah yang terpapar oleh pencemaran atau polusi akibat kimia dan limbah dapat

diidentifikasi secara in situ dan melalui analisis citra penginderaan jauh. Interpretasi citra

dilakukan dengan cara identifikasi perubahan suhu permukaan perairan maupun

identifikasi perubahan warna perairan yang menginformasikan kandungan polutan yang

ada di perairan. Survei lapangan dilakukan untuk pengukuran kualitas kimia dari perairan

yang telah dideteksi mengalami pencemaran bahan kimia.

Page 85: Modul 2 Pengumpulan Dan Analisis Data 13 Juni 2014

2 - 136

DAFTAR PUSTAKA

Direktorat Tata Ruang Laut Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (2011). Ketentuan Mengenai

Penyusunan RZWP-3-K Kab/Kota. Jakarta: Direktorat Tata Ruang Laut Pesisir dan Pulau-

pulau Kecil.

Direktorat Tata Ruang Laut Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (2012). Pedoman Teknis Pemetaan

Rencana Zonasi Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Provinsi, Kabupaten / Kota. Jakarta:

Direktorat Tata Ruang Laut Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.

Direktorat Tata Ruang Laut Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (2012). Pedoman Teknis Penyusunan

RZWP-3-K Kabupaten / Kota. Jakarta: Direktorat Tata Ruang Laut Pesisir dan Pulau-

pulau Kecil.

Diposaptono, S & D.N. Sugianto, 2010. Metodologi Pengumpulan dan Analisis Data Hidro-

oseanografi. Diklat penilaian Amdal di Pusdiklat Kementerian Negara Lingkungan Hidup:

Jakarta.

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.16/ MEN/2008 tentang Perencanaan

Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Peraturan Pemerintah No.10 tahun 2000 tentang Tingkat Ketelitian Peta untuk Penataan Ruang

Wilayah.

Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 2013 tentang Tingkat Ketelitian Peta Rencana Tata Ruang.

Peraturan Pemerintah No.85 tahun 2007 tentang Jaringan Data Spasial Nasional.

Direktorat Tata Ruang Laut Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (2011). Modul Bimbingan Teknis

Penyusunan Perencanaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil. Jakarta: Direktorat

Tata Ruang Laut Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.

Undang-undang No.4 tahun 2011 tentang Informasi Geospasial.

Undang-Undang No.24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.

Undang-undang No.26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

Undang-undang No.27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.