25
Modul III Pengembangan Profesional Diri Direktorat Bina Pelayanan Keperawatan Ditjen Bina Pelayanan Medik, Kementerian Kesehatan RI 130 MODUL III PENGEMBANGAN PROFESIONAL DIRI I. DESKRIPSI MODUL Modul ini akan membahas mengenai pemberdayaan kapasitas professional melalui aspek pengembangan budaya organisasi, peningkatan capacity building dan jiwa dan nilai-nilai entrepreneur. Budaya organisasi akan menekankan pada tatacara pembentukan aturan- aturan tertulis ataupun tidak tertulis yang diciptakan dan digunakan secara bersama yang selanjutnya akan mempengaruhi pola hubungan antar elemen atau unsur dalam organisasi dan berdampak langsung terhadap pencitraan organisasi. Capacity building akan menekankan pada peningkatkan kemampuan individu terkait hubungan antara manusia, keterampilan tehnis dan kompetensi interpersonal, motivasi dan citra diri untuk meningkatkan kemampuan kinerja dalam lingkup profesionalnya. Sementara entrepreneur akan memberikan kemampuan melihat peluang, keberanian untuk memulai, mengambil risiko dan nilai-nilai otonomi lainnya yang merupakan ciri utama dari seorang entrepreneur. Nilai ini sangat bermanfaat dalam pengembangan professional individu perawat. Manfaat yang diperoleh dari pengembangan tiga aspek diatas adalah perawat akan memiliki semangat yang tinggi, berjuang, berkorban dan terus menerus meningkatkan kemampuan profesionalnya sehingga jiwa karya terus berkobar yang pada akhirnya akan meningkatkan integritas dan citra profesi itu sendiri. II. KOMPETENSI 1. Memiliki kemampuan dalam mengidentifikasi, mencari, menemukan dan melakukan kegiatan terkait kebutuhan pengembangan diri yang sesuai untuk meningkatkan kemampuan professional 2. Memiliki kemampuan dalam membangun, mengembangkan dan menjalankan aturan-aturan (budaya) yang diciptakan bersama dalam lingkup organisasi. 3. Memiliki kemampuan dalam menciptakan suatu kondisi/lingkungan yang mencerminkan pengembangan nilai-nilai profesional. 4. Memiliki kemampuan dalam mengembangkan dan menjalankan nilai- nilai kewirausahaan dalam pelayanan keperawatan

Modul III Sp2kp

Embed Size (px)

DESCRIPTION

keperawatan

Citation preview

Page 1: Modul III Sp2kp

Modul III Pengembangan Profesional Diri

Direktorat Bina Pelayanan Keperawatan Ditjen Bina Pelayanan Medik, Kementerian Kesehatan RI

130

MMOODDUULL IIIIII PPEENNGGEEMMBBAANNGGAANN PPRROOFFEESSIIOONNAALL DDIIRRII

I. DESKRIPSI MODUL

Modul ini akan membahas mengenai pemberdayaan kapasitas professional melalui aspek pengembangan budaya organisasi, peningkatan capacity building dan jiwa dan nilai-nilai entrepreneur. Budaya organisasi akan menekankan pada tatacara pembentukan aturan-aturan tertulis ataupun tidak tertulis yang diciptakan dan digunakan secara bersama yang selanjutnya akan mempengaruhi pola hubungan antar elemen atau unsur dalam organisasi dan berdampak langsung terhadap pencitraan organisasi. Capacity building akan menekankan pada peningkatkan kemampuan individu terkait hubungan antara manusia, keterampilan tehnis dan kompetensi interpersonal, motivasi dan citra diri untuk meningkatkan kemampuan kinerja dalam lingkup profesionalnya. Sementara entrepreneur akan memberikan kemampuan melihat peluang, keberanian untuk memulai, mengambil risiko dan nilai-nilai otonomi lainnya yang merupakan ciri utama dari seorang entrepreneur. Nilai ini sangat bermanfaat dalam pengembangan professional individu perawat.

Manfaat yang diperoleh dari pengembangan tiga aspek diatas adalah

perawat akan memiliki semangat yang tinggi, berjuang, berkorban dan terus menerus meningkatkan kemampuan profesionalnya sehingga jiwa karya terus berkobar yang pada akhirnya akan meningkatkan integritas dan citra profesi itu sendiri.

II. KOMPETENSI

1. Memiliki kemampuan dalam mengidentifikasi, mencari, menemukan dan melakukan kegiatan terkait kebutuhan pengembangan diri yang sesuai untuk meningkatkan kemampuan professional

2. Memiliki kemampuan dalam membangun, mengembangkan dan menjalankan aturan-aturan (budaya) yang diciptakan bersama dalam lingkup organisasi.

3. Memiliki kemampuan dalam menciptakan suatu kondisi/lingkungan yang mencerminkan pengembangan nilai-nilai profesional.

4. Memiliki kemampuan dalam mengembangkan dan menjalankan nilai-nilai kewirausahaan dalam pelayanan keperawatan

Page 2: Modul III Sp2kp

Modul III Pengembangan Profesional Diri

Direktorat Bina Pelayanan Keperawatan Ditjen Bina Pelayanan Medik, Kementerian Kesehatan RI

131

III. TUJUAN Tujuan Pembelajaran Umum: Setelah mengikuti proses pembelajaran, peserta mempunyai kemampuan dalam pengembangan professional diri.

Tujuan Pembelajaran Khusus: Setelah mengikuti proses pembelajaran, peserta mampu: 1. melakukan kegiatan/aktifitas yang menunjang peningkatan

kemampuan profesional perawat dalam pelayanan (capacity building) 2. membangun, mengembangkan dan menjalankan nilai-nilai profesional

perawat dalam lingkup organisasi sesuai dengan budaya organisasi yang dianut oleh rumah sakit (budaya organisasi)

3. menciptakan suatu kondisi/lingkungan yang mencerminkan pengembangan nilai-nilai profesional perawat

4. mengembangkan dan menjalankan nilai-nilai kewirausahaan dalam lingkup pelayanan keperawatan sesuai dengan nilai dan etika profesi keperawatan serta tata nilai yang ada pada organisasi rumah sakit (nursing entrepreneur)

IV. POKOK BAHASAN DAN SUB POKOK BAHASAN

1. Capacity building

Pengertian

Ruang lingkup capacity building

Pendekatan capacity building

Membangun kapasitas personel / perseorangan

Strategi mengembangkan kapasitas perseorangan

Studi Kasus

2. Membangun Budaya Organisasi

Pengertian/definisi budaya organisasi

Fungsi budaya organisasi

Proses pembentukan budaya organisasi

Budaya organisasi dalam pelayanan keperawatan profesional

Studi Kasus

3. Entrepreneurship dalam Keperawatan

Pengertian

Ruang lingkup praktek entrepreneur dalam keperawatan

Karakteristik perawat enterpreneur

Penerapan entrepreneur dalam keperawatan

Pemicu V. METODA

1. Studi kasus 2. Diskusi 3. Role play 4. Penerapan dalam Praktik klinik

Page 3: Modul III Sp2kp

Modul III Pengembangan Profesional Diri

Direktorat Bina Pelayanan Keperawatan Ditjen Bina Pelayanan Medik, Kementerian Kesehatan RI

132

VI. MEDIA 1. Kasus 2. Skenario 3. AVA 4. Flipchart/whiteboard

VII. EVALUASI

1. Test sumatif (untuk studi kasus) 2. Observasi (untuk diskusi, role play, penerapan)

VIII. REFERENSI

Huston, C.J. 2000. Leadership Roles and Management Functions in Nursing: Theory and application. 3rd ed. Philadelphia. Lippincot. ICN. 2004. Handbook on Entrepreneurial Practice. Lupiyoadi, Rahmat. 2004. Entrepreneurship from Mindset to Strategy. Edisi 2. Jakarta. Penerbian Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Tappen, RM. 1995. Nursing Leadership and Management: Concepts and practice. 3rd ed. Philadelphia. F.A. Davis Company. Rambat. L. 2004. Entrepreneurship; from mindset to strategy. edisi kedua. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Swansburg, R.C. 1996. Management and Leadership for Nurse Managers. 2nd ed. Massachusetts. Jones and Bartlett Publisher. Advance Nursing Practice: The global experience http://nursingsociety.org/RNL/Current/features/feature2.html, diunduh tanggal 10 Agustus 2008 Building Capacities to Develop Inclusive Policy-Making Processes http://www.phac-aspc.gc.ca/canada/regions/atlantic/Publications/Capacity_building/5_e.html, diunduh tanggal 12 Agustus 2008. Capacity Building http://www.managementhelp.org/strt_org/strt_np/strt_np.htm, (Non Profit), diunduh tanggal 10 Agustus 2008 Capacity Building, diunduh tanggal 10 Agustus 2008 https://home.eease.com/recruit/?id=47796, Defining Capacity Building http://www.gdrc.org/uem/capacity-define.html, diunduh tanggal 10 Agustus 2008 Beth R.Cirsp et al. 2000. Four approach to capacity building in health: consequences for measurement and accountability. Health Promotion International.

Page 4: Modul III Sp2kp

Modul III Pengembangan Profesional Diri

Direktorat Bina Pelayanan Keperawatan Ditjen Bina Pelayanan Medik, Kementerian Kesehatan RI

133

IX. LAMPIRAN 1. Lembar Bacaan 2. Penugasan

Page 5: Modul III Sp2kp

Modul III Pengembangan Profesional Diri

Direktorat Bina Pelayanan Keperawatan Ditjen Bina Pelayanan Medik, Kementerian Kesehatan RI

134

LLEEMMBBAARR BBAACCAAAANN

Page 6: Modul III Sp2kp

Modul III Pengembangan Profesional Diri

Direktorat Bina Pelayanan Keperawatan Ditjen Bina Pelayanan Medik, Kementerian Kesehatan RI

135

CCAAPPAACCIITTYY BBUUIILLDDIINNGG I. PENDAHULUAN

Pengembangan tenaga perawat melalui capacity building merupakan salah satu prioritas untuk meningkatkan kualitas organisasi. Peningkatan tersebut mencakup pengetahuan, nilai-nilai professional, sikap dan pengembangan ketrampilan melaksanakan asuhan keperawatan melalui sosialisasi internal dan eksternal, serta terlibat dalam seminar, workshop dan pelatihan. Hal yang perlu diyakini oleh SDM keperawatan adalah bahwa capacity building merupakan bagian dari investasi organisasi. Untuk menjamin kesinambungan pelayanan yang bermutu perlu diberikan perhatian pada pengembangan diri melalui pendidikan dan pelatihan serta pengalaman di tatanan pelayanan kesehatan. Pemimpin berupaya mempengaruhi setiap staf untuk berupaya meningkatkan kapasitasnya melalui jenjang pendidikan dan pelatihan sebagai bagian dari capacity building perorangan. Manfaat capacity building antara lain: menghasilkan kepemimpinan yang kuat, kemampuan mengembangkan penelitian dan pengembangan professional serta mengembangkan kapasitas individual dan organisasi untuk mempertahankan kualitas pelayanan.

II. PENGERTIAN Tahun 1991, UNDP mendefinisikan capacity building sebagai suatu upaya menciptakan lingkungan yang didukung oleh kebijakan dan kerangka kerja yang legal, pembangunan institusi termasuk didalamnya partisipasi masyarakat, HRD, dan pemantapan/peningkatan sistem manajemen. Selain itu, UNDP menyatakan bahwa capacity building merupakan proses jangka panjang dan berkesinambungan dimana melibatkan banyak stakeholder seperti kementrian/departemen, pemerintah daerah, LSM, organisasi profesi, pendidikan dll. Menurut Ann Philbin (1996), capacity building merupakan proses dalam mengembangkan dan menguatkan keterampilan, insting, kemampuan, proses dan sumber daya yang dimiliki agar individu atau organisasi atau komunitas mampu bertahan dan beradaptasi di dunia yang berubah dengan cepat. Jadi, capacity building adalah suatu proses untuk meningkatkan kemampuan individu, kelompok, organisasi, dan masyarakat untuk dapat mengidentifikasi masalah/kebutuhan/isu/peluang, merencanakan strategi dan rencana aksi terhadap masalah/kebutuhan/isu/peluang dari potensi yang tersedia, serta memonitor dan mengevaluasi rencana tersebut.

Page 7: Modul III Sp2kp

Modul III Pengembangan Profesional Diri

Direktorat Bina Pelayanan Keperawatan Ditjen Bina Pelayanan Medik, Kementerian Kesehatan RI

136

Capacity building diperlukan karena:

Issue terhadap kapasitas yang kritis dan tingkat kebutuhan besar tetapi perhatian terhadap problem rendah.

Hubungan antara kebutuhan dan pemenuhan lemah

Ada kesenjangan dari pendanaan yang nyata

Ada kebutuhan untuk dukungan perubahan

Training institusi terisolasi serta komunikasi yang lemah.

Pengembangan materi pelatihan kurang efisien.

Cara alternatif untuk capacity building kurang mendapat perhatian III. RUANG LINGKUP CAPACITY BUILDING

Ruang lingkup capacity building mencakup: 1. Pengembangan sumber daya manusia

Yaitu, proses pembekalan individu dengan pemahaman, keterampilan dan akses pada informasi, pengetahuan serta pelatihan sehingga individu tersebut dapat bekerja dengan efektif. Bagi individu, capacity building berkaitan dengan bagaimana membangun kemampuan kompetensi bidang utama (kompetensi inti), kemampuan kepemimpinan, keterampilan advokasi, kemampuan berbicara/komunikasi, keterampilan teknis, dll yang berhubungan dengan peningkatan diri dan profesional.

2. Pengembangan organisasi Yaitu, suatu elaborasi antara struktur manajemen, proses dan prosedur tidak hanya di dalam organisasi tapi juga dengan organisasi berbeda atau sektor publik. Bagi suatu organisasi, capacity building berkaitan dengan hampir semua aspek lingkup kerja dari organisasi tersebut seperti: pemerintahan, kepemimpinan, misi dan strategi, administrasi (SDM, manajemen keuangan, dan legal matters), pengembangan dan implementasi program, pendapatan, perbedaan, kerjasama dan kolaborasi, evaluasi, advokasi dan perubahan kebijakan, pemasaran, positioning, perencanaan, dll.

3. Pengembangan kerangka legal dan institusional (system) yaitu membuat peraturan dan kebijakan yang dapat membuat organisasi, institusi maupun pembuat kebijakan di semua tingkat dan sektor untuk meningkatkan kapasitas/kemampuan mereka.

Page 8: Modul III Sp2kp

Modul III Pengembangan Profesional Diri

Direktorat Bina Pelayanan Keperawatan Ditjen Bina Pelayanan Medik, Kementerian Kesehatan RI

137

IV. PENDEKATAN CAPACITY BUILDING Dalam mencapai capacity building diperlukan suatu proses dan strategi. Secara umum dilakukan dengan 4 (empat) pendekatan utama: 1. Top-down organizational

Pendekatan ini fokus pada kapasitas organisasi. Pendekatan dapat dilakukan melalui restrukturisasi organisasi, penyediaan infrastruktur dan fasilitas, serta sistem penjaminan mutu.

2. Bottom-up organizational Pendekatan ini focus pada pelatihan terhadap anggota organisasi. Melalui pendekatan ini, para anggota organisasi dikondisikan kemampuan dan pengetahuannya sesuai dengan tujuan organisasi serta kepentingan yang lebih luas.

3. Partnership Pendekatan dilakukan antar kelompok dengan tujuan terjadinya transfer ilmu diantara kedua kelompok tersebut.

4. Community Organizing (pengorganisasian komunitas) Pendekatan yang bertujuan untuk merubah individu yang pasif menjadi individu yang aktif dalam pelayanan kesehatan dalam suatu proses perubahan nilai – nilai masyarakat.

V. MEMBANGUN KAPASITAS PERSONEL/ PERSEORANGAN

Kapasitas perserorangan adalah kemampuan seseorang untuk mencapai tujuan. Kapasitas perseorangan meliputi perilaku, keterampilan dan pengetahuan. Pada umumnya, kapasitas perseorangan digunakan untuk menghubungkan antara organisasi masyarakat/komunitas dengan system pemerintahan. Setiap individu memiliki kekuatan dan dapat menentukan kapan dan bagaimana kekuatan tersebut digunakan. Banyak jenis kekuatan yang dapat digunakan untuk mempengaruhi kebijakan public, seperti: 1. Otoritas jabatan 2. Kemampuan dan pengetahuan dalam proses penyusunan kebijakan 3. Mempunyai kendali/control dalam keuangan, sarana, prasarana 4. Mempunyai wewenang dalam memberikan reward dan punishment. 5. Kemampuan dalam mempengaruhi orang lain karena memiliki nilai-

nilai dan keyakinan yang kuat. Kunci dari pengembangan kapasitas perseorangan (building personal capacity) adalah pemahaman terhadap kekuatan yang dimiliki diri sendiri. Penting untuk dapat mengetahui pengaruh individu terhadap lingkungannya sehingga dapat dipahami kekuatan yang dimiliki dalam sebuah grup dan kekuatan yang dimiliki dalam sebuah sistem. Sering, seseorang memiliki sebuah kekuatan karena posisi di tempat kerjanya

Page 9: Modul III Sp2kp

Modul III Pengembangan Profesional Diri

Direktorat Bina Pelayanan Keperawatan Ditjen Bina Pelayanan Medik, Kementerian Kesehatan RI

138

(jabatan) tetapi orang tersebut memiliki sedikit kemampuan untuk menggunakan kekuatan tersebut secara efektif.

VI. STRATEGI MENGEMBANGKAN KAPASITAS PERSEORANGAN. Kapasitas perseorangan mempengaruhi kekuatan, ketrampilan serta kemampuan individu untuk membangun hubungan yang efektif dan berhubungan dengan proses kebijakan di seluruh unit kerja. Setiap kapasitas di setiap unit dapat dikembangkan dalam berbagai cara dan komitmen untuk membangun kapasitas individu untuk bekerja secara horizontal dapat didemonstrasikan dalam strategi yang berbeda. Beberapa langkah strategi untuk mengembangkan kapasitas individu.

Individual capacity Strategi pengembangan kapasitas individu

Kemampuan untuk mengenal kekuatan individu dan kelemahan serta mengetahui dan menentukan batasan kemampuan

Mencari kesempatan untuk belajar tentang kebijakan, proses membuat kebijakan dan rencana strategi

Menentukan batasan, interes dan tujuan

Keterampilan komunikasi Menjadi pendengar aktif dan menghargai

Mengembangkan keterampilan dalam penelitian, menulis dan presentasi

Kemampuan menyelesaikan konflik dengan secara terus menerus berupaya mencapai tujuan serta memperbaiki hubungan

Secara terus menerus melakukan pendekatan terhadap lingkungan dan individu melalui belajar dan berbagai.

Menciptakan kesempatan dan peluang untuk memperhatikan pandangan-pandangan lain

Menghargai pengalaman dan perbedaan

Belajar tentang peran kelompok dan masyarakat dalam proses kebijakan publik

Menemukan orang yang memiliki latar belakang dan pengalaman berbeda tentang issue kebijakan

Keterampilan kepemimpinan untuk memotivasi orang lain terkait kemampuannya dalam berkolaborasi

Meningkatkan kepercayaan diri dan keterampilan sebagai motivator dengan menyampaikan visi ke kelompok; secara bertahap memberikan kesan untuk meningkatkan level otoritas

Mencari kesempatan belajar tentang keterampilan dalam kerja kolaborasi melalui pendidikan berkelanjutan dan terlibat dalam kelompok masyarakat.

Page 10: Modul III Sp2kp

Modul III Pengembangan Profesional Diri

Direktorat Bina Pelayanan Keperawatan Ditjen Bina Pelayanan Medik, Kementerian Kesehatan RI

139

Langkah-langkah melaksanakan Capacity Building di ruang perawatan rumah sakit.

1. Identifikasi lingkungan ruang perawatan Pelaksanaan indentifikasi ruangan mencakup SDM, Metoda,

Peralatan, Sarana Pendukung dan finansial, salah satunya dapat menggunakan pendekatan analisa SWOT.

2. Identifikai masalah ruang perawatan 3. Menyusun strategi untuk penyelesaian masalah 4. Melakukan rencana aksi sesuai dengan strategi yang telah disusun. 5. Menggunakan umpan balik yang ada sebagai pembelajaran.

VII. KASUS

Di ruang perawatan Bedah Umum RS ”S” dengan jumlah TT 45, dengan BOR 80%, jumlah perawat sebanyak 33 orang dengan latar belakang pendidikan S1 20% dan D III 80%. Hasil audit keperawatan ditemukan angka infesi akibat plebitis 30%, decubitus 5% dan terjadinya peningkatan angka kejadian cemas. Untuk menurunkan hasil audit tersebut, sebagai kepala ruangan apa tindakan yang akan dilaksanakan terkait dengan penerapan Capacity Building di ruangan tersebut.

Page 11: Modul III Sp2kp

Modul III Pengembangan Profesional Diri

Direktorat Bina Pelayanan Keperawatan Ditjen Bina Pelayanan Medik, Kementerian Kesehatan RI

140

MMEEMMBBAANNGGUUNN BBUUDDAAYYAA OORRGGAANNIISSAASSII Rumah sakit memberikan pelayanan kepada manusia (individu) secara terus menerus selama 24 jam, aktifitas pekerjaan dengan tingkat ketergantungan yang sangat tinggi dan sifat pekerjaan dengan tingkat toleransi kesalahan yang sangat kecil. Tenaga keperawatan salah salah satu tenaga kesehatan yang secara berkesinambungan memberikan pelayanan keperawatan dirumah sakit secara terus menerus selama 24 jam setiap hari, 365 hari setahun. Oleh karena itu organisasi rumah sakit haruslah mengelola sumber daya manusia dengan baik khususnya SDM keperawatan, karena tenaga keperawatan merupakan jumlah terbesar (50-60%), di RS dan berkontribusi 60 % dari total pelayanan kesehatan yang ada di rumah sakit (Gillies, 1994). Pelayanan keperawatan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari system pelayanan kesehatan di rumah sakit yang mempunyai peran cukup penting dalam menentukan mutu pelayanan kesehatan secara keseluruhan karena di rumah sakit jumlah perawat merupakan jumlah yang terbanyak (Gilies, 1994; Azwar, 1996). Perawat merupakan modal sumber daya manusia yang menyusun inti dari hampir seluruh pelaksanaan pelayanan kesehatan (Huber, 2000). Oleh karena itu pengelolaannya perlu mendapat perhatian oleh pihak manajemen rumah sakit.

Organisasi pelayanan keperawatan mempunyai suatu struktur atau uraian kerja dalam melakukan hubungan dan budaya yang merefleksikan pola prilaku kelompok. Perawat membutuhkan adaptasi pada suatu organisasi yang memperkerjakan mereka. Dalam banyak cara budaya organisasi dipikirkan sangat kompleks, sulit untuk ditentukan, sulit untuk dirubah, namun sangat penting untuk mencapai perubahan dan melakukan pembaharuan (Huber,2000). Setiap organisasi mempunyai budaya, demikian juga organisasi pelayanan keperawatan. Budaya organisasi telah dikaji sebagai sesuatu yang dimiliki organisasi dan sesuatu yang ada pada organisasi itu (Mark 1996, dalam Huber 2000). Budaya adalah pola pengendalian internal kelompok dan berdasarkan keyakinan tentang perjuangan kelompok. Melalui budaya organisasi perawat dan organisasi belajar melakukan pembaharuan untuk mencapai tujuan organisasi dengan sikap profesional untuk mewujudkan pelayanan keperawatan profesional. Dalam materi ini akan dibahas tentang pengertian, fungsi dan proses terbentuknya budaya organisasi di pelayanan keperawatan.

Page 12: Modul III Sp2kp

Modul III Pengembangan Profesional Diri

Direktorat Bina Pelayanan Keperawatan Ditjen Bina Pelayanan Medik, Kementerian Kesehatan RI

141

I. PENGERTIAN BUDAYA ORGANISASI

Budaya berasal dari bahasa sanskerta yakni budhayah. Menurut kamus umum bahasa indonesia , budaya pada percakapan yang lazim adalah sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang sukar diubah.(PDK,1993). Budaya organisasi menjadi pusat perhatian bagi pemimpin., dikenal sebagai suatu fenomena yang dapat mempengaruhi atau memfasilitasi suatu perubahan, untuk mempertahankan kemajuan produktifitas dan efektivitas dalam persaingan bisnis dunia.

a. Budaya organisasi adalah sesuatu yang mempengaruhi perawat

sebagai individu dan mereka menyatu dengan organisasi (Hubber, 2000). Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa budaya organisasi berada didalam organisasi dan mempengaruhi perawat dalam bekerja.

b. Budaya organisasi merupakan kumpulan pengetahuan, pengalaman, arti, keyakinan, prilaku, kekuatan, dan kesejahteraan yang dibutuhkan oleh suatu organisasi (Veninga 1982, dalam Huber 2000). Definisi menurut veninga ini menekankan bahwa budaya organisasi merupakan kumpulan faktor yang dibutuhkan oleh suatu organisasi.

c. Budaya organisasi merupakan suatu pola asumsi dan keyakinan dasar yang dirasakan besama oleh para anggotanya ketika memecahkan masalah adaptasi eksternal dan integarasi internal organisasi. Asumsi atau keyakinan dasar ini dapat bekerja dengan cukup baik valid, sehingga perlu diajarkan kepada para anggota organisasi baru sebagai cara yang tepat untuk berfikir dan merasakan sesuatu yang berhubungan dengan masalah-masalah terkait Schein EH (1992).

Menurut definisi budaya itu sukar dipahami (elusive), tidak berwujud, implisit, dan dianggap sudah semestinya. Tetapi semua organisasi mengembangkan seperangkat inti pengandaian, pemahaman, dan aturan implisit yang mengatur prilaku sehari hari dalam tempat kerja. Pendatang baru akan belajar aturan-aturan yang berlaku, mereka tidak diterima baik sebagai anggota penuh dari organisasi itu apabila tidak berprilaku seperti pegawai lama. Pelanggaran aturan di pihak eksekutif tingkat tinggi atau karyawan garis depan mengakibatkan ketidaksetujuan yang universal dan hukuman berat. Kesesuaian dengan aturan menjadi dasar primer untuk imbalan dan mobilitas naik pangkat (Deal&Kennedy, 1983 dalam Robin, 1996).

Tiga elemen dari budaya organisasi, yaitu ;

a) Masalah sosialisasi, budaya organisasi harus disosialisasikan kepada anggota baru, sehingga budaya dapat menjadi mekanisme untuk kontrol social,

b) masalah sikap, budaya organisasi didapatkan dari sikap kebiasaan anggota yang didapatkan dari lingkungan organisasi,

c) sub budaya, pada setiap unit organisasi mempunyai sub budaya. Sub-budaya ini dapat menjadi konflik satu dengan lainnya.

Page 13: Modul III Sp2kp

Modul III Pengembangan Profesional Diri

Direktorat Bina Pelayanan Keperawatan Ditjen Bina Pelayanan Medik, Kementerian Kesehatan RI

142

Merupakan tema untuk menambah kinerja yang bersaing melalui komitmen karyawan yang lebih kuat dan fleksibel.

II. FUNGSI BUDAYA ORGANISASI

Budaya memiliki sejumlah fungsi di dalam sebuah organisasi. Pertama, budaya mempunyai suatu peran menetapkan garis pembatas, artinya budaya menciptakan pembedaan yang jelas antara satu organisasi dan yang lain. Kedua, budaya membawa suatu rasa identitas bagi anggota-anggota organisasi. Ketiga, budaya mempermudahtimbulnya komitmen pada sesuatu yang lebih luas daripada kepentingan individual. Keempat, budaya itu meningkatkan kemantapan sistem sosial. Budaya merupakan perekat sosial yang membantu mempersatukan organisasi itu dengan memberikan standar-standar yang tepat untuk dilakukan oleh para karyawan. Akhirnya, budaya berfungsi sebagai mekanisme pembuat makna dan kendali yang memandu dan membentuk sikap serta prilaku para karyawan. Fungsi yang terakhir inilah yang terutama menarik perhatian (Robin,1996). Menurut Martin dan Siehl (1983; dalam Monica, 1994) ada 4 fungsi budaya organisasi; a. Fungsi pengetahuan, mitos, legenda dan cerita yang membentuk

sebuah organisasi, merupakan pengetahuan membuat pegawai mengerti tentang sejarah organisasi dan pendekatan umum segala sesuatu yang dipakai sebagai panduan bagaimana seseorang agar diterima di dalam organisasi.

b. Sebagai arti mengembangkan komitmen pada filosofi dan nilai perusahaan. Setiap organisasi mempunyai budaya, meskipun beberapa budaya organisasi lebih efektif dari budaya organisasi yang lain. Hal yang membuat budaya efektif menurut peter dan waterman (1985; dalam Gibson 1986) adalah dimana terdapat kecenderungan untuk menciptakan suatu iklim agar karyawan merasa terlibat dan merasa berpartisipasi dalam pekerjaannya. Untuk mencapai hal tersebut karyawan perlu memahami manfaat dan tujuan melalui jalur komunikasi dan melibatkannya dalam membuat keputusan dan penyelesaian masalah pada tingkat manajemen rendah. Hal ini dapat melibatkan prilaku karyawan dan nilai-nilai yang dominan diatur.

c. Sebagai mekanisme, kontak bagi prilaku karyawan, nilai, keyakinan, dan asumsi luas, merupakan kebutuhan bagi manajemen dengan metode tradisional guna mengatur prilaku karyawan. Pada kondisi tersebut, prilaku karyawan dapat dipisahkan antara prilaku yang kurang baik dan prilaku yang lebih baik sesuai dengan budaya organisasi.

d. Mengkaji upaya meningkatkan efektifitas organisasi pada kondisi yang berbeda, Denson (1984;dalam monica 1994), mengkaji 34 organisasi dan menemukan kejadian hubungan tinggi antara budaya organisasi dan penampilan. Ia menemukan perusahaan dengan ’budaya partisipatif” dan tempat kerja yang tertata baik secara umum,

Page 14: Modul III Sp2kp

Modul III Pengembangan Profesional Diri

Direktorat Bina Pelayanan Keperawatan Ditjen Bina Pelayanan Medik, Kementerian Kesehatan RI

143

penampilannya lebih baik dari perusahaan yang tidak mempunyai budaya.

Budaya organisasi berakar dalam organisasi. Menurut schein, (1992) manifestasinya adalah a) Cara teratur dalam bekerja, b) Norma kelompok kerja, c) Nilai-nilai utama organisasi, d) Filsafat yang mendasari kebijaksanaan organisasi, e) Aturan main untuk mendapatkan yang baik dalam organisasi, f) Suasana perasaan atau atmosfir kerja. Misi organisasi merupakan bagian dari budaya tersebut, pegawai, pelayanan, belajar dan penelitian, merupakan teknis bagaimana menggerakkan untuk mencapai hasil pekerjaan, baik dalam bidang administrasi, gaji, promosi, membuat laporan, anggaran dan lain-lain.

III. PROSES PEMBENTUKAN BUDAYA ORGANISASI

Menurut Judkins dan Eldridge (2001) sebelum diskusi bagaimana melakukan perawatan sebaiknya perawat berdiskusi berdasarkan konteks budaya organisasi. Perlu diciptakan budaya yang menopang pelayanan keperawatan pada setiap organisasi pelayanan kesehatan guna memutuskan bagaimana asuhan keperawatan akan dilaksanakan. Sedangkan bagaimana budaya itu terbentuk menurut robbin. (1996) adalah sebagai berikut : a) Budaya diturunkan b) Selanjutnya budaya itu sangat mempengaruhi kriteria yang digunakan dalam memperkerjakan karyawan. C) Tindakan dari manajemen puncak menentukan iklim umum dari prilaku yang dapat diterima baik dan yang tidak, d) Bagaimana harus disosialkan akan tergantung pada tingkat sukses yang dicapai dalam mencocokkan nilai-nilai karyawan baru dengan organisasi dalam seleksi maupun preferensi manajemen puncak akan metode sosialisasi. Berdasarkan pemikiran robin bahwa pendiri organisasi membentuk terjadinya budaya organisasi melalui filosofi, visi yang akan mempengaruhi karyawan bekerja dan diperlukan manajemen puncak untuk mensosialisasikan agar dapat diterima karyawan dan diajarkan pada karyawan baru. Kondisi budaya perusahaan dipengaruhi oleh kebijaksanaan perusahaan, gaya perusahaan dan identitas perusahaan (Atmosuprapto, 2000). Sedangkan budaya yang kuat menurut Kotter dan Heskett (1998) dikeluarkan oleh pendiri atau pemimpin awal yang mengartikulasikannya sebagai suatu visi, strategis bisnis, filosofi atau kesemuanya, seperti diagram 1. Budaya yang kuat, sukar untuk diubah oleh seorang manajer. Namun bila budaya tidak cocok, maka budaya tersebut dapat diubah. Namun kadangkala konflik internal terjadi antara arah budaya perusahaan yang diinginkan oleh manajemen dengan cara karyawan mengamatinya. Konflik ini bila berlanjut akan berdampak pada usaha perubahan yang ingin dilakukan oleh organisasi dan juga akan berpengaruh buruk pada

Page 15: Modul III Sp2kp

Modul III Pengembangan Profesional Diri

Direktorat Bina Pelayanan Keperawatan Ditjen Bina Pelayanan Medik, Kementerian Kesehatan RI

144

hasil akhir, sehingga dalam jangka panjang akan berdampak buruk pula pada profitabilitas perusahaan.

Pandangan ini menyatakan pembentukan budaya organisasi dimulai dari pemilik organisasi yang mencerminkan keinginan dan harapan pemilik terhadap karakteristik bisnis /pelayanan yang akan dikelola. Setiap karyawan dalam bekerja akan mengikuti filosofi yang dibuat dan keberhasilan organisasi tersebut merupakan perilaku karyawan yang berdasarkan visi/misi organisasi tersebut.

Diagram 1 Pola umum munculnya budaya organisasi

(Kotter & Hesket, 1997)

Manajemen puncak Seorang atau para manajer puncak dalam perusahaan yang masih baru atau muda mengembangkan dan berusaha untuk mengimplementasikan suatu visi/filosofi dan atau strategis bisnis.

Perilaku organisasi Karya –karya implementasi. Orang berperilaku melalui cara yang dipandu oleh filosofi dan strategi.

Hasil Dipandang dari berbagai segi, perusahaan itu berhasil dan keberhasilan itu terus berkesinambungan selama bertahun-tahun.

Budaya Suatu budaya muncul, mencerminkan visi dan strategi serta pengalaman-pengalaman yang dimiliki orang dalam mengimlementasikannya.

Page 16: Modul III Sp2kp

Modul III Pengembangan Profesional Diri

Direktorat Bina Pelayanan Keperawatan Ditjen Bina Pelayanan Medik, Kementerian Kesehatan RI

145

Peningkatan kualitas sumberdaya manusia kesehatan, merupakan bagian amat penting dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan. Pada hakekatnya manusia merupakan individu yang mampu berubah, tumbuh dan berkembang sesuai hakekat kemanusiaannya. Perubahan tersebut mencakup pengetahuan, perilaku dan sikap yang dapat diwujudkan melalui proses penciptaan kondisi yang memungkinkan terjadinya perubahan. Proses penguatan perubahan dapat dilakukan melalui pengulangan terhadap perubahan tersebut. Budaya organisasi merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan kinerja individu untuk mencapai tujuan mutu pelayanan keperawatan.

IV. BUDAYA ORGANISASI DALAM PELAYANAN KEPERAWATAN

PROFESIONAL Sejak dahulu, perawat diwarisi nilai-nilai budaya yang konstruktif (membangun) yang merupakan hasil dari pelatihan, sosialisasi, nilai-nilai kewanitaan serta panggilan profesi. Berdasarkan hal tersebut, perawat manajer beserta stafnya harus bekerja sama dan berkoordinasi dalam rangka menciptakan sebuah budaya dimana terdapat keseimbangan antara nilai-nilai kemanusiaan, tujuan organisasi dan kepentingan pasien. Untuk menciptakan budaya organisasi tersebut terdapat langkah-langkah sebagai berikut: 1. Perawat manajer menjelaskan pentingnya budaya organisasi sebagai

jantung dan jiwa dari sebuah organisasi (misal, unit ruang rawat). Hal ini menjadi penting karena budaya organisasi memberi gambaran bagaimana cara kerja mereka sebagai tim. Oleh karena itu, diperlukan kajian budaya untuk memahami nilai-nilai kelompok. Setelah nilai kelompok dibuat dengan jelas, perawat manajer perlu mengembangkan visi yang sejalan dengan nilai-nilai yang dianut dan tujuan organisasi. Visi harus bisa memberikan arah dan memandu serta menginspirasi anggota organisasi untuk fokus dalam menjalankan tugas dan perannya sebagai perawat. Jadi visi merupakan dasar dalam membentuk budaya organisasi.

2. Perawat manajer bertanggung jawab dalam mempertahankan dan

melestarikan budaya organisasi yang telah dibentuk. Cara untuk mempertahankan dan melestarikan budaya tersebut, perawat manajer harus memberi ketauladanan kepada staf dengan menjadi role model dalam penerapan visi dan nilai organisasi. Dalam proses tersebut, perawat manajer harus siap menghadapi resiko yang dapat merusak nilai-nilai yang konstruktif dengan mengkonfrontasi, mengendalikan dan juga merubah tindakan merusak tersebut. Meskipun perawat manajer harus menghadapi resiko-resiko tersebut namun dengan terus ditanamkannya nilai-nilai dari hari ke hari, para staf akan konsisten dalam menerapkan nilai-nilai organisasi. Cara lain untuk mempertahankan budaya organisasi adalah melalui cerita-cerita, simbol, ritual/upacara-upacara, dll.

Page 17: Modul III Sp2kp

Modul III Pengembangan Profesional Diri

Direktorat Bina Pelayanan Keperawatan Ditjen Bina Pelayanan Medik, Kementerian Kesehatan RI

146

3. Perawat manajer memberdayakan anggota untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Hal tersebut membuat anggota organisasi (perawat) termotivasi untuk memberikan kontribusi terbaiknya dalam menjalankan tugasnya. Jadi, membangun budaya organisasi bukan hanya peran dan tanggung jawab dari satu orang pemimpin, tetapi seluruh anggota organisasi.

V. KASUS RS ”M” terletak di jantung kota memiliki visi ”Menjadi rumah sakit kepercayaan masyarakat” serta nilai-nilai yang dianut adalah jujur, ramah, senyum, tanggap, cekatan, disiplin dan profesional. Kondisi nyata di pelayanan khususnya di ruang rawat penyakit dalam, terdapat banyak keluhan pasien dan keluarga dari hasil kuesioner yang diberikan rumah sakit terhadap pelayanan atau asuhan keperawatan dan sikap perawat yang tidak ramah dan lamban. Selain itu, banyak perawat yang datang terlambat, pulang dinas tidak pada waktunya, banyak istirahat dan tidak melakukan dokumentasi keperawatan. Bagaimana tindakan Kepala Ruangan dalam menghadapi permasalahan di atas agar dapat diatasi, dihubungkan dengan budaya organisasi.

Page 18: Modul III Sp2kp

Modul III Pengembangan Profesional Diri

Direktorat Bina Pelayanan Keperawatan Ditjen Bina Pelayanan Medik, Kementerian Kesehatan RI

147

EENNTTRREEPPRREENNEEUURRSSHHIIPP DDAALLAAMM KKEEPPEERRAAWWAATTAANN

I. PENGERTIAN

Kata entrepreneur berasal dari bahasa Perancis, Anteorende yang berarti petualang, pencipta atau pengelola usaha. Menurut J.B. Say (1934), entrepreneur adalah pelaku utama dalam pembangunan ekonomi yang fungsinya untuk melakukan inovasi dan menciptakan kombinasi-kombinasi baru. Kewirausahaan (entrepreneur) sebagai suatu proses penciptaan suatu yang baru (kreatif) dan membuat sesuatu yang berbeda dari yang sebelumnya(inovasi) yang tujuannya adalah terciptanya kesejahteraan individu dan nilai tambah bagi masyarakat. Entrepreneur adalah seseorang yang memiliki tanggung jawab dan berani mengambil resiko untuk menemukan atau menciptakan peluang yang unik dengan memanfaatkan talenta, keterampilan, kekuatan yang dimilikinya dan menjalankan suatu proses perencanaan stratejik untuk mentransformasi peluang dan kesempatan ke dalam bentuk pelayanan atau servis yang bernilai jual. Seorang perawat entrepreneur adalah seorang kreator bisnis di bidang keperawatan yang menawarkan pelaksanaan pelayaan atau asuhan keperawatan, pendidikan, riset, administratif dan konsultasi di bidang keperawatan. Begitu banyak difinisi entrepreneur yang diungkapkan yang mana prinsipnya adalah berisi kemampuan seseorang untuk menjadi seorang kreator, pencipta, penangkap peluang yang masih jauh, kadang terlihat sebagai berfikir yang aneh yang mana ide-idenya tersebut dapat dituangkan dalam realitas. Entrepreneur tidak sama dengan pengusaha. Orang yang kreatif, inovatif serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan kesejahteraan untuk dirinya, masyarakat dan lingkungannya, memiliki visi untuk pengembangan idenya di sebut seorang entrepreneur. Entrepreneur maknanya lebih jauh dari sekedar pengusaha atau perusahaan, wilayahnya sangat luas, masih asing bagi kebanyakan orang, pola dinamikanya masih tidak beraturan oleh karenanya tidak terlalu mudah untuk dikenali. Orang-orang tertentu saja yang dapat melihatnya, sanggup menjelajahinya, Sementara orang-orang biasa pada umumnya hanya dapat melihat hal-hal biasa saja yang pada umumnya orang bisa lihat. Pola dinamikanya jelas dan terukur maka area seperti ini adalah areanya seorang intrepreneur.

Entrepreneur

Dalam diri seorang entreprenuer memiliki motivasi (untuk bertindak) yang didominasi oleh keinginan (motive) berprestasi dan berkuasa yang sangat tinggi dengan keinginan afiliasi yang rendah (Mc Clelland, 1996). Bekerja lebih berorientasi pada diri sendiri ketimbang berkelompok atau berhubungan dengan orang lain. Setelah membangun konsep yang kuat lalu mereka mampu menterjemahkan menjadi kenyataan dengan berbagai upaya yang dimilikinya. Contoh; Franklin Roosevelt, presiden Amerika yang berhasil membangun kepercayaan rakyat Amerika saat krisis ekonomi

Page 19: Modul III Sp2kp

Modul III Pengembangan Profesional Diri

Direktorat Bina Pelayanan Keperawatan Ditjen Bina Pelayanan Medik, Kementerian Kesehatan RI

148

hanya melalui kemampuan pidatonya dan keberaniannya mengambil keputusan yang solutif secara cepat dan tepat dikatakan memilki jiwa entrepreneur ketimbang intrepreneur. Lalu bagaimana dengan tokoh Indonesia seperti Sukarno, Suharto, Megawati, para pejabat khususnya dibidang keperawatan?. Apakah memiliki jiwa seperti ciri utama yang dimiliki presiden Amerika tersebut, Atau kah kurang memiliki jiwa tersebut.

Intrepreneur Lalu apa itu Intrepreneur? Intrepereneur adalah seseorang yang memiliki keinginan untuk berprestasi yang tinggi, afiliasi sedang-sedang saja dan dengan motif berkuasa yang rendah. Kelompok ini sering disebut sebagai kelompok profesional atau manejer. Menjalankan tugas yang ditargetkan oleh pemberi pekerjaan atau institusinya. Jika mereka dalam batas tertentu mampu mencapai targetnya maka mereka disebut mampu menjalankan fungsi profesionalisme sebagai seorang manejer. Dan sebaliknya jika gagal maka mereka dikatakan kurang profesional. Sebagai akibatnya dia dapat diturunkan dari jabatannya tersebut. Nurse intrepreneur adalah seorang perawat yang dibayar untuk mengembangkan, meningkatkan dan menghasilkan satu program kreatif dan inovatif dalam lingkup tatanan asuhan yang dipercayakan kepadanya. Memperhatikan difinisi diatas, apakah keperawatan sampai saat ini telah mampu berperan sebagai seorang intrepreneur. Cirinya adalah terdapat beberapa perubahan tata kelola asuhan, pelayanan yang diberikan yang terus menerus menunjukan peningkatan kepuasan klien sebagai penerima atau terjadi kepuasan perawat sebagai pelaksana karena dalam pemberian asuhannya telah dapat memuaskan klienya. Jika dilihat secara kasat mata mungkin semangat dan jiwa intrepreneur perawat dari berbagai lini perlu terus ditingkatkan agar mencapai target sebagai seorang intrepreneur.

Antepreneur Orang yang bekerja baik sesuai dengan peran dan fungsinya untuk memberikan pelayanan yang dapat memuaskan pelanggannya dengan baik maka orang tersebut dapat dikatakan memiliki jiwa seorang antepreneur yang tinggi. Jika dia bekerja asalan-asalan tidak memperhatikan kebutuhan pelanggan, kurang ramah, kualitas tidak sesuai standar, nilai-nilai yang diterapkan tidak sesuai dengan standar profesinya maka dapat juga dikatakan orang ini tidak memilki jiwa atau kurang memiliki jiwa antepreneur. Pelanggan yang dimaksud dalam hal ini dapat berupa individu sebagai klien, masyarakat yang dilayani atau atasan, teman sejawat dan atau bawahan. Antepreneur mengandung arti memberikan pelayanan dengan cara terbaik yang diinginkan kliennya dan dapat memuaskan klien. Kembali pertanyaan dapat kita munculkan. Apakah perawat saat ini secara umum dalam menjalankan tugasnya telah dapat memuaskan kliennya?.

Page 20: Modul III Sp2kp

Modul III Pengembangan Profesional Diri

Direktorat Bina Pelayanan Keperawatan Ditjen Bina Pelayanan Medik, Kementerian Kesehatan RI

149

Untuk dapat berperan sebagai antepreneur seseorang perlu memiliki beberapa persyaratan yaitu memiliki kompetensi sesuai bidang tugasnya, memiliki kemampuan untuk menterjemahkan nilai-nilai yang diinginkan oleh pelanggannya dan yang paling penting dari segala persyaratan itu adalah siap menjadi pemberi pelayanan yang terbaik bagi pasien. Jika digali lebih tajam dari persayaratan utama sebagai seorang intrepreneur khusus bidang keperawatan ini tidak lain dan tidak bukan adalah kemampuan dasar perawat yang telah diajarkan dalam pendidikan keperawatan, pengembangan nilai dasar tersebut yang terus dikembangkan dalam pelayanan keperawatan. Bagaimana kita melihat urutan ketiga istilah diatas sesuai dengan pengembangan entrepreneur dalam keperawatan. Entepreneur sebenarnya bukan bakat semata tetapi dapat dipelajari. Perkembangan yang wajar sesuai dengan maturitas dan daya pikir, perkembangan tersebut seharusnya dapat dmulai dengan menjadi seorang anteprenuer sejati dimana seorang perawat dapat mendalami pekerjaannya secara baik sesuai dengan kaedah profesi dan kesejahteraan pelanggannya. Disamping itu dengan berjalannya waktu dan tanggungjawab yang diberikan oleh instirusi dan juga stake holder, maka seorang antepreneur dapat berkembang menjadi seorang intrepreneur. Tanggungjawab lebih luas, dapat lebih kreatif dan mencapai target-target yang diharapkan. Demikian seterusnya dengan ketekunan tinggi ketrampilan yang telah matang tidak tertutup kemungkinan akan berkembang menjadi seorang yang mempunyai jiwa entrepreneur dan menjadi seorang entrepreneur. Lihat contoh; entreprenuer sukses saat ini banyak yang bermula dari seorang yang pekerja keras, bekerja pada orang lain, institusi dimana merupakan tempat pengasahan mental dan keberanian lalu berubah menjadi seorang entrepreneur. Misal; Sokarno (presiden RI pertama), Mario Teguh,seorang konsultan bisnis yang sukses (awalnya seorang manejer siti bank). Apakah keperawatan di Indonesia sudah memiliki contoh yang pantas kita nobatkan sebagai seorag entrepreneur ?. Sampai saat ini mungkin masih sulit menemukannya.

II. RUANG LINGKUP ENTREPRENEUR DALAM KEPERAWATAN

Saat ini lingkup aktivitas keperawatan yang dapat digarap masih sangat luas. Banyak bidang-bidang yang menjadi tanggungjawab perawat masih belum tergali dengan baik. Area ini memberikan peluang bagi perawat secara profesional untuk bekerja mandiri dan sebagai ekspert dibidang kekhususan tertentu yang merupakan area garapan keperawatan. Misalnya ; 1. Asuhan keperawatan area khusus seperti; asuhan keperawatan stroke,

gerontik, Diabetes militus, Home care, 2. Alat-alat kesehatan/keperawatan 3. Publikasi kesehatan/keperawatan 4. Pelayanan hukum kesehatan/keperawatan 5. Konsultasi kesehatan/keperawatan 6. dll

Page 21: Modul III Sp2kp

Modul III Pengembangan Profesional Diri

Direktorat Bina Pelayanan Keperawatan Ditjen Bina Pelayanan Medik, Kementerian Kesehatan RI

150

Faktor utama yang menjadi pendorong dari perkembangan entrepreneur perawat tersebut diatas adalah bergantung dari berkembangnya infrastruktur ekonomi secara keseluruhan dan tingkat perkembangan dan kebutuhan masyarakat akan pelayanan keperawatan dan kesehatan. Sebagai Negara yang berdasarkan hukum entrepreneur dalam bidang keperawatan diyakini akan lebih berkembang secara cepat jika telah diberlakukan undang-undang dibidang keperawatan. Undang-undang keperawatan akan memberikan berbagai rambu-rambu tentang kualitas asuhan, infrastruktur keperawatan dan sebagainya. Oleh karena itu tidaklah terlalu berlebihan jika keperawatan saat ini terus melakukan berbagai upaya untuk menggolkan undang-undang tersebut sebagai satu sumber hukum dalam legalitas pelaksanaan aktifitas keperawatan.

III. KARAKTERISTIK SEORANG ENTERPRENEUR Menurut Sukardi dalam Rambat, L (2004) dalam rangkumannya

menemukan sembilan karakteristik tingkah laku seorang entrepreneur sukses yang paling sering muncul pada penelitian-penelitian terhadap entrepreneur seluruh dunia adalah sebagai berikut ; 1. Sifat Instrumentalia ; seorang entrepreneur selalu memanfaatkan segala

sesuatu yang ada di lingkungannya untuk mencapai tujuan. Seorang entrepreneur selalu mencari segala sesuatu yang dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki kinerjanya. Hubungan interpersonal, kedatangan tokoh-tokoh atau pakar selalu dimanfaatkan untuk mencapai peningkatan kinerjanya. Dengan kata lain apapun yang ada dilingkungannya selalu dianggap sebagai alat (instrumen) untuk tujuan pribadi

2. Sifat Prestatif ; seorang entrepreneur selalu berusaha tampi; lebih baik, lebih efektif dibandingkan dengan penampilan sebelumnya. Tidak pernah puas dengan hasil yang telah diperoleh. Keberhasilan sebagai pemicu untuk keberhasilan yang lebih tinggi. Membuat target yang lebih tinggi dan lebih baik dari sebelumnya.

3. Sifat Keluwesan bergaul; Seorang entrepreneur selalu berusaha untuk cepat menyesuaikan diri dalam berbagai situasi dalam berhubungan. Selalu aktif bergaul, membina kenalan dan mendapatkan kenalan baru dan selalu berusaha untuk terus terlibat dalam kehidupannya kelompok yang baru tersebut.

4. Sifat Kerja Keras; Selalu bekerja keras, terlibat dalam pekerjaan, tidak mudah menyerah sebelum ppekerjaan itu berakhir. Seorang entrepreneur selalu mengisi waktunya untuk berbuat sesuatu yang nyata untuk mencapai tujuan. Keterlibatannya itu bukan semata hasil akhir yang berhasil atau gagal tapi lebih banyak karena dia tidak mau untuk diam dan berpangkutangan. Tidak mau mengandalkan orang lain bekerja untuk dirinya.

5. Sifat Mengambil risiko; Seorang entrepreneur selalu memperhitungkan dan mempertimbangkan keberhasilan dan kegagalan dalam mencapai tujuan secara matang. Selanjutnya berdasarkan pertimbangan matang dimana risiko gagal menurut pandangan mereka lebih kecil dari dari pada keberhasilan maka dengan tegas dan cepat dia akan mengambil

Page 22: Modul III Sp2kp

Modul III Pengembangan Profesional Diri

Direktorat Bina Pelayanan Keperawatan Ditjen Bina Pelayanan Medik, Kementerian Kesehatan RI

151

keputusan tanpa ragu. Dan setelah keputusan dia ambil maka segala bentuk konsekuensinya akan mereka terima dengan baik tentu dalam perjalananya seorang entreprenuer minimal berusaha untuk memperkecil kerugian yang dungkin diperolehnya.

6. Sifat Swakendali ; Seorang entreprenuer dalam bertindak selalu mempertimbangkan kekuatan dan kelemahan pribadi dan batas-batas kemampuannya dalam berusaha. Selalu harus menyadari benar bahwa melalui pengendalaan diri, kegiatan-kegiatannya lebih terarah pada pencapaian tujuan. Dengan pengendalian diri seorang entreprenuer tahu betal kapan dia harus bekerja keras, kapan dia harus berhenti, kapan harus mengubah strategi dan sebagainya

7. Sifat keyakinan diri ; Selalu percaya pada kemampuan diri, tidak ragu-ragu dalam bertindak, memiliki kecenndrngan untuk selalu melibatkan diri secara langsung dalam berbagai situasi. Selalu optimis bahwa segala tindakannya akan membawa hasil yang positif, bersemangat tinggi dan selalu berusaha menemukan alternatif.

8. Sifat Inovatif ; Seorang intrepreneur selalu berusaha melakukan pendekatan-pendekatan baru yang lebih bermanfaat dalam menyelesaikan persoalan. Terbuka untuk gagasan, pandanga, penemuan baru untuk meningkatkan kinerjanya. Tidak selalu harus benar-benar baru dapat juga meniru melalu penyempurnaan-penyempurnaan sana sini (imitatif inovation). Maka layak juga seorang entreprenuer disebut sebagai agent pembaharu. Kalau begitu berarti perawat telah memiliki bekal sebagai seorang entreprenuer.

9. Sifat Kemandirian ; Seorang entreprenuer selalu bertanggungjawab penuh terhadap perbuatanya. Keberhasilan dan kegagalan merupakan konsekuensi pribadi. Dia mementingkan otonomi dalam bertindak, pengambilan keputusan dan pemilihan berbagai kegiatan dalam mencapai tujuan.

Agar mampu menjadi entreprenuer yang tangguh, sifat diatas masih harus ditambah dengan beberapa prilaku yang berkualitas (Steade at all, 1984 dalam Rambat, L, 2004) adalah sebagai berikut : 1. Selalu memiliki tujuan (purposefull) 2. Mampu mempengaruhi orang lain (persuasive) 3. Tahan banting, kegagalan bukan merupakan penghalang (persisten) 4. Berani bertindak saat orang lain masih ragu (presumptuos) 5. Paham akan serangkaian pilihan untuk mencapai tujuan (perceptive)

Keuntungan yang akan muncul pada perawat yang memiliki semangat dan nilai-nilai entreprenuer dalam kehidupan prefesinya atau karirnya adalah bahwa perawat akan memiliki kemampuan : - mudah untuk membuat keputusan secara mandiri - Selalu berani mengambil risiko agar mencapai tujuan yang telah

ditentukanya secara jelas - Mengikuti perencanaan yang telah dibuatnya secara konsisten - Akan fleksibel dan beradaptasi untuk menghadapi perubahan dan

kesempatan yang tidak diperkirakan sebelumnya, sangat bernegosiasi dengan kegagalan, dan ketidak pastian.

- Untuk mendapatkan sesuatu dengan melakukannya secara tepat waktu

Page 23: Modul III Sp2kp

Modul III Pengembangan Profesional Diri

Direktorat Bina Pelayanan Keperawatan Ditjen Bina Pelayanan Medik, Kementerian Kesehatan RI

152

- Meminta saran atau pandangan orang lain - Teguh, tahan banting terhadap tantangan dan kegagalan - Dapat berkomunikasi dengan baik - Mengetahui dengan pasti kapan dia harus berbuat kapan tidak harus

berbuat.

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa seorang perawat yang memiliki semangat dan nilai-nilai profesional dalam dirinya adalah sosok manusia super yang pastinya akan dapat menghadapi segala bentuk tantangan, mulai tantangan yang sederhana sampai yang sangat komplek sekalipun. Perawat yang telah berpengalaman mungkin akan banyak kita temukan memiliki prilaku atau atribut seperti ini pada usianya yang agak mapan. Keinginan mereka jika dicermati sepertinya banyak mengikuti alur normal yaitu pertama menjadi seorang antepreneur lalu menjadi intepreneur dan beberapa dari mereka setelah melewati proses panjang ada yang masuk ke wilayah entreprenuer. Bagi seorang yang mengarah ke jalur entrepreneur khususnya dalam bidang keperawatan, kematangan pengalaman dan mental tampaknya sangat diperlukan selain sifat-sifat sebagai seorang entreprenuer yang sudah terbentuk sebelumnya.

IV. PENERAPAN ENTREPRENEUR DALAM KEPERAWATAN

Perencanaan karir merupakan hal yang esensial bagi perawat untuk mempercepat proses terbentuknya jiwa entrepreneur dalam keperawatan (RCN, 1995). Perencanaan karir memang menjadi alat ukur sebagai tahapan untuk mencapai tujuan akhir. Karir bukanlah merupakan kejadian yang sekali jadi, karir merupakan satu proses panjang yang dilalui oleh seseorang. Perencanaan dan perkembangan karir membantu perawat untuk mengembangkan dan menguatkan pengetahuan, ketrampilan dan prilaku yang sangat penting bagi perawat. Pengetahuan, ketrampilan yang ditekuni secara terus menerus akan memberikan pengalaman bagi perawat itu sendiri untuk melangkah lebih jauh, lebih berani dan selanjutnya akan berkembang jiwa dan kemampuan entrepreneur. Jenjang karier yang jelas juga akan memberikan kesempatan bagi perawat untuk mengidentifikasi dan memahami nilai-nilai personal dan kekuatatan profesional serta berpotensi untuk memberikan reinforment atau penguatan terhadap apa yang telah mereka lakukan yang selanjutnya terus berkembang menjadi sebuah keinginan untuk menciptakan sesuatu yang baru yang terkait dengan lingkup kewenangan perawat itu sendiri. Melakukan sesuatu dengan pemahaman yang kuat tentang bidang yang akan dikerjakan membuat perawat lebih mampu untuk mengontrol karier dan pekerjaan mereka sendiri.

Menampilkan suatu model pengembangan profesionalisme bagi perawat memang merupakan satu proses yang sangat panjang yang memerlukan suatu refleksi yang berulang dan terus menerus serta konsisten dalam menjalankan peran profesinya. Sebenarnya kita dapat mengembangkan karir leader ini secara terencana. Pengalaman profesi yang ditekuni dengan penuh pengembangan profesionalisme yang diiringi dengan kreatifitas dan inovasi akan memberikan arah dan tentu akan mempercepat proses

Page 24: Modul III Sp2kp

Modul III Pengembangan Profesional Diri

Direktorat Bina Pelayanan Keperawatan Ditjen Bina Pelayanan Medik, Kementerian Kesehatan RI

153

perawat menjadi seorang entrepreneur. ICN telah mengeluarkan semacam panduan berupa modul program training perencanaan karir dan perkembangan (Donner and Wheeler, 2001)

Seperti disampaikan di atas, area yang dapat dimasuki oleh seorang perawat untuk mengembangkan diri sebagai seorang entrepreneur adalah sesuai dengan peran dan fungsi perawat serta derivat-derivatnya. Diantaranya adalah sebagai seorang klinisi perawat di ruang rawat anak misalnya, mereka bekerja mengamati secara berulang pada pasien anak yang dipasang IV line di ekstremitas terfiksasi dengan guru, konsultan, therapis, peneliti, pengusaha, supervisor, koresponden, pekerja atau mungkin juga sebagai akunting. Namun demikian bidang-bidang yang akan digeluti tersebut harus dipersiapkan secara baik sejak dari awal karir mereka.

Bidang yang telah berkembang saat ini walaupun belum dikembangkan secara profesional adalah Home Care. Namun yang dapat digarap lebih jauh sesuai ciri perawat itu sendiri dimana dia sangat intensif bertemu dengan pasien adalah Badan konsultasi keperawatan profesional terutama dalam pendidikan kesehatan pasien. Nursing agent atau agent perawat dimana dapat menampung berbagai kemampuan klinik keperawatan yang sewaktu-waktu dapat mensuplai tenaga profesional yang diperlukan sebuah institusi pelayanan yang kekurangan tenaga karena peningkatan jumlah pasien sementara perawat yang dimiliki oleh kurang. Peluang lainnya saat ini adalah sebagai konsultan manejemen keperawatan di rumah sakit atau puskesmas.

Jiwa antepreneur perawat secara hakiki dapat diterapkan melalui semangat melayani pasien (klien) yang memberikan pelayanan terbaik; profesional, kompetensi dalam pengetahuan, ketrampilan yang sesuai dan sikap.

V. CONTOH ILUSTRASI Contoh 1 Seorang perawat ruangan yang bekerja di ruang rawat anak secara berulang mengamati anak yang terpasang IV line di ekstremitas dan perlu dilakukan fiksasi adequat. Pengalaman sebelumnya fiksasi tersebut di kerjakan dengan memasang spalk terbuat dari dus tebal atau dengan bidai kemudian dibalut dengan kasa balut atau elastis verban. Perawat kemudian mengamati dari mulai cara pemasangan, respon anak melihat kondisi ekstremitas, dan resiko trauma fisik. Hasil inisiatif dan inovativnya perawat tersebut mencoba mengembangkan model alat fiksasi yang lebih efektif dan efisien dari segi pemasangan, mempertahankan kestabilan psikologis anak, mudah dipantau oleh perawat, mengurangi resiko injuri/ trauma fisik, memilki nilai estetika, akhirnya ditemukan sebuah alat bantu fiksasi yang memenuhi kriteria diatas. Dibuatlah model alat tersebut dengan mengunakan kain bercorak boneka seperti membuat manset yang disisipkan bahan pengeras sebagai alas, dilengkapi dengan perekat fleksibel dan tali pengikat.

Page 25: Modul III Sp2kp

Modul III Pengembangan Profesional Diri

Direktorat Bina Pelayanan Keperawatan Ditjen Bina Pelayanan Medik, Kementerian Kesehatan RI

154

Kreatifitas dan inovasi perawat tersebut dapat dijadikan produk penunjang asuhan perawat dalam mempertahankan fiksasi IV line yang adequat. Manfaat yang diperoleh dari hasil inovasi ini adalah : a. Bagi pasien :

1. Mengurangi angka kecemasan pasien 2. Mengurangi resiko injuri karena terpasangnya IV line 3. Meningkatkan kenyamanan pasien

b. Bagi Perawat :

1. Memudahkan pemasangan tidak membutuhkan waktu yang lama. 2. Menjadi produk inovatif yang dapat disempurnakan dan menjadi

peroduk penunjang asuhan keperawatan 3. Bila diproduksi dalam partai besar akan menjadi selisih margin bagi

perawat. Contoh 2 Seorang Kepala Ruang Rawat yang juga berperan sebagai pendidik di ruang rawat berupaya mengembangkan suatu modul praktik di ruang rawat dengan kasus yang terdapat diruang dengan proses asuhan keperawatan yang sistematis disertai dengan contoh gambar foto dan video yang nyata dalam bentuk CD dengan disertai deskripsi tentang kasus-kasus tersebut dan asuhan keperawatannya. Hal ini diperuntukan untuk kemudahan proses pembelajaran diruangan apabila pada saat itu tidak terdapat pasien dengan kasus tersebut. Upaya yang dilakukan Kepala Ruang Rawat tersebut dapat dikategorikan sebagai bentuk entrepreneurship.

VI. PEMICU Sebagai kepala ruang rawat diharapkan Saudara dapat membuat suatu ilustrasi bentuk inovasi dan kreatif perawat dalam mengembangkan asuhan keperawatan di ruang rawat yang Saudara kelola.