Upload
others
View
16
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
MODUL PENGAYAAN MATERI
“SANITASI DAN HIGIENE MAKANAN”
TOPIK: Cemaran Kimia dan Sumbernya
Program Studi Ilmu Gizi
Fakultas Ilmu Kesehatan – Universitas Muhammadiyah
Surakarta
2020
5
Cemaran kimia yang diuraikan dalam Petunjuk ini meliputi cemaran logam
beracun, dioksin, mikotoksin, racun tanaman, racun pada ikan dan kekerangan,
zat kimia beracun akibat proses pengolahan pangan, dan senyawa hasil
migrasi kemasan pangan. Cemaran tersebut dapat berasal dari bahan baku
yang digunakan, peralatan pengolahan dan pengemasan serta akibat proses
pengolahan seperti kukus, rebus, tumis, goreng, panggang dan bakar.
2.1 Cemaran Logam Beracun
Logam beracun adalah istilah yang digunakan untuk logam yang bersifat
toksik/racun. Secara umum logam beracun akan selalu ada pada pangan dalam
jumlah yang sangat rendah. Sumber cemaran logam beracun dapat berasal dari
bahan baku dan lingkungan yang tercemar, termasuk dari
kemasan/pembungkus. Logam beracun yang akan diuraikan dalam petunjuk
ini adalah kadmium (Cd), timah (Sn), timbal (Pb), dan merkuri (Hg). Logam
beracun sulit dikeluarkan dari dalam tubuh manusia dan cenderung ditimbun
dalam jaringan tertentu seperti rambut, tulang dan jaringan lunak lainnya.
2.1.1 Kadmium (Cd)
a. Deskripsi
Kadmium merupakan logam alami dalam kerak bumi yang tidak memiliki rasa
maupun aroma spesifik. Kadmium biasa ditemukan sebagai mineral yang terikat
dengan unsur lain seperti oksigen, klorin, atau sulfur.
b. Sumber/penyebab
Pencemaran Cd pada bahan pangan terjadi melalui lingkungan atau kegiatan
industri, termasuk melalui penggunaan pupuk tanaman, karena Cd dapat
diserap oleh tanaman dan hewan laut. Oleh karena itu, pangan olahan yang
menggunakan bahan baku yang telah mengandung Cd atau yang disimpan
dalam keadaan terbuka dapat berisiko mengandung Cd.
c. Bahaya
Kadmium merupakan bahan kimia karsinogen dan racun kumulatif. Akumulasi
Cd di ginjal dapat berlanjut hingga usia 50-60 tahun, yang dapat mengakibatkan
BAB 1I
CEMARAN KIMIA, BAHAYA DAN SUMBERNYA
6
gangguan kesehatan seperti antara lain anemia, penurunan fungsi ginjal dan
hati, serta perubahan komposisi mineral pada tulang. Selain itu, akumulasi Cd
juga dapat menyebabkan kanker prostat dan paru-paru.
d. Batas Maksimum
Batas maksimum Cd pada pangan telah diatur dalam Peraturan Kepala Badan
POM No. HK.00.06.1.52.4011 Tahun 2009 tentang Penetapan Batas
Maksimum Cemaran Mikroba Dan Kimia Dalam Makanan, misalnya:
Jeroan olahan, batas maksimum Cd: 0,5 mg/kg Daging olahan, batas maksimum Cd: 0,3 mg/kg Ikan olahan, kekerangan (bivalve) moluska olahan dan teripang olahan,
udang olahan dan krustasea olahan lainnya, batas maksimum Cd: 0,1 mg/kg.
2.1.2 Timah (Sn)
a. Deskripsi
Timah merupakan logam yang dapat ditempa dan berwarna keperakan.
Timah digunakan sebagai penyalut pelindung tipis pada lempeng baja dan
merupakan komponen dari sejumlah aloi (misalnya kuningan fosfor, logam
senjata, dan solder).
b. Sumber/penyebab
Pencemaran Sn ditemukan pada produk pangan kaleng (buah, sayur, dan
ikan), debu atau asap polusi industri. Pangan berlemak lebih mudah
menyerap Sn. Dengan demikian, pangan olahan dalam kaleng dan pangan
olahan yang menggunakan bahan baku yang telah mengandung Sn atau
yang disimpan dalam keadaan terbuka dapat berisiko mengandung Sn.
c. Bahaya
Timah merupakan bahan kimia yang disebut sebagai mineral beracun
ringan (mildly toxic mineral). Konsumsi pangan yang mengandung Sn
berlebihan dapat menyebabkan iritasi saluran pencernaan yang ditandai
dengan gejala muntah, diare, kelelahan dan sakit kepala. Pada dosis akut
dapat menyebabkan anoreksia, ataksia dan kelemahan otot, serta
pembengkakan usus halus hingga kematian. Konsentrasi Sn antara
150 - 250 µg/g di dalam pangan kaleng dapat mengakibatkan perlukaan
lambung secara akut.
7
d. Batas Maksimum
Batas maksimum pada pangan telah diatur dalam Peraturan Kepala Badan
POM No. HK.00.06.1.52.4011 Tahun 2009 tentang Penetapan Batas
Maksimum Cemaran Mikroba Dan Kimia Dalam Makanan, misalnya:
Pangan olahan yang diolah dengan proses panas dan dikemas dalam kaleng, batas maksimum Sn: 250,0 mg/kg,
Daging olahan dalam kemasan kaleng, batas maksimum Sn: 200,0 mg/kg,
Minuman dalam kemasan kaleng, batas maksimum Sn: 150,0 mg/kg, Pangan olahan yang tidak dikemas dalam kaleng, batas maksimum
Sn: 40,0 mg/kg.
2.1.3 Timbal (Pb)
a. Deskripsi
Timbal merupakan logam alami yang ditemukan pada tanah. Timbal tidak
berbau dan tidak berasa serta dapat bereaksi dengan senyawa-senyawa
lain membentuk berbagai senyawa-senyawa timbal, baik senyawa-senyawa
organik seperti timbal oksida (PbO), timbal klorida (PbCl2) atau senyawa
organik seperti timbal tetraetil (tetraethyl lead - TEL) yang mudah menguap.
b. Sumber/penyebab
Pencemaran timbal pada pangan dapat terjadi antara lain melalui
lingkungan seperti polusi asap kendaraan dari bahan bakar bertimbal, debu,
udara, air minum, dan cat usang. Dengan demikian, pangan olahan yang
menggunakan bahan baku yang telah mengandung Pb atau yang disimpan
dalam keadaan terbuka dapat berisiko mengandung Pb.
c. Bahaya
Timbal merupakan logam yang sangat beracun terutama terhadap anak-
anak. Timbal dapat masuk ke dalam tubuh melalui pernafasan dan pangan.
Konsumsi Pb dalam jumlah banyak secara langsung menyebabkan
kerusakan jaringan, termasuk kerusakan jaringan mukosal. Semua sel-sel
yang sedang aktif berkembang sensitif terhadap Pb. Selain itu, Pb juga
dapat merusak syaraf. Pada bayi dan anak-anak, paparan terhadap Pb
yang berlebihan dapat menyebabkan kerusakan otak, penghambatan
pertumbuhan anak-anak, kerusakan ginjal, gangguan pada kecerdasan dan
tingkah laku. Pada orang dewasa, Pb dapat menyebabkan peningkatan
tekanan darah dan gangguan pencernaan, kerusakan ginjal, kerusakan
syaraf, sulit tidur, sakit otak dan sendi, perubahan “mood” dan gangguan
reproduksi.
8
d. Batas Maksimum
Batas maksimum pada pangan telah diatur dalam Peraturan Kepala Badan
POM No. HK.00.06.1.52.4011 Tahun 2009 tentang Penetapan Batas
Maksimum Cemaran Mikroba Dan Kimia Dalam Makanan, misalnya:
Kekerangan (bivalve) moluska olahan dan teripang olahan, batas maksimum Pb: 1,5 mg/kg
Daging olahan, sirup, batas maksimum Pb: 1,0 mg/kg Buah olahan dan sayur olahan, Produk bakeri, Udang olahan dan
krustasea olahan lainnya, batas maksimum Pb: 0,5 mg/kg Serealia dan produk serealia, dan ikan olahan, batas maksimum
Pb: 0,3 mg/kg Sari buah dan nektar buah, teh, batas maksimum Pb: 0,2 mg/kg.
2.1.4 Merkuri (Hg)
a. Deskripsi
Merkuri merupakan logam cair berwarna putih keperakan, mengkilat dan
tidak berbau. Merkuri merupakan salah satu logam beracun yang
berbahaya dan secara alamiah terdapat di lingkungan. Kebanyakan
senyawa merkuri anorganik berupa serbuk atau larutan berwarna putih
kecuali untuk merkuri sulfida (dikenal sebagai sinabar) yang berwarna
merah dan berubah menjadi hitam apabila terkena cahaya. Umumnya Hg
ditemukan di alam dalam bentuk merkuri metalik, merkuri sulfida, merkuri
klorida dan metil merkuri.
b. Sumber/penyebab
Pencemaran Hg pada bahan pangan dapat terjadi akibat pencemaran
lingkungan tempat budidaya bahan pangan tersebut terutama jenis ikan dan
crustaceae. Dengan demikian, pangan olahan yang menggunakan bahan
baku yang telah mengandung Hg atau yang disimpan dalam keadaan
terbuka dapat berisiko mengandung Hg.
c. Bahaya
Merkuri dalam bahan pangan terutama terdapat pada jenis ikan/crustaceae
yang berasal dari lingkungan yang tercemar. Di dalam tubuh ikan, merkuri
anorganik akan diubah menjadi merkuri organik seperti metil merkuri yang
jauh lebih beracun. Saat manusia menghirup uap Hg, 80% Hg akan
langsung masuk ke dalam darah dari paru-paru dan dengan cepat
menyebar ke organ tubuh lainnya termasuk otak dan ginjal. Menghirup
merkuri organik dapat mempengaruhi otak dan fungsi lainnya, dan akan
menyebabkan bermacam-macam gejala seperti mudah marah, mudah
9
gemetar, kehilangan sensasi, kesulitan daya ingat, otak yang tidak
terorganisir, dan lain-lain. Apabila kontak dengan kulit, dapat menyebabkan
alergi dan reaksi yang terjadi tergantung daya tahan tubuh seseorang.
d. Batas Maksimum
Batas maksimum pada pangan telah diatur dalam Peraturan Kepala Badan
POM No. HK.00.06.1.52.4011 Tahun 2009 tentang Penetapan Batas
Maksimum Cemaran Mikroba Dan Kimia Dalam Makanan, misalnya:
Kekerangan (bivalve) moluska olahan dan teripang olahan, udang olahan dan krustasea olahan lainnya, batas maksimum Hg: 1,00 mg/kg
Ikan olahan, batas maksimum Hg: 0,50 mg/kg Tepung dan hasil olahannya, batas maksimum Hg: 0,05 mg/kg Produk bakeri, batas maksimum Hg: 0,05 mg/kg Daging olahan, sari buah, sari buah konsentrat, teh, batas maksimum
Hg: 0,03 mg/kg.
2.2 Dioksin dan Dioksin like PCB
a. Deskripsi
Dioksin merupakan kelompok senyawa yang terdiri dari beberapa senyawa kimia dengan struktur kimia dan karakteristik biologi tertentu. Dioksin terdiri dari 3 kelompok senyawa, yaitu: (1) polychlorinated dibenzo-p-dioxins (PCDDs), (2) polychlorinated dibenzofurans (PCDFs), dan (3) dioxin-like polychlorinated biphenyls (PCBs). Terkadang istilah dioksin mengacu pada dioksin yang paling sering dikaji dan toksik yaitu 2,3,7,8-tetrachlorodibenzo-p-dioxin (2,3,7,8-TCDD). Meskipun dioksin dan dioxin-like PCBs menunjukkan sifat toksikologi dan kimia yang mirip, tetapi sumbernya berbeda.
b. Sumber/penyebab
Dioksin terbentuk sebagai hasil produk yang tidak diinginkan karena aktivitas manusia termasuk industri (kimia, metalurgi, proses pembakaran), pemanasan, pertanian, pembakaran dari buangan rumah tangga. Proses alam seperti gunung meletus, dan kebakaran hutan dapat juga menghasilkan dioksin. Dioksin dapat tersimpan dalam tumbuhan dan tanah yang dapat mengkontaminasi pakan dan pangan. Pangan dapat terkontaminasi melalui banyak cara, termasuk secara langsung terpapar dari udara ke daun tanaman yang digunakan sebagai pakan dan tertelannya tanah yang terkontaminasi oleh hewan herbivora. Dengan demikian pangan yang berasal dari hewan merupakan rute dominan sumber paparan dioksin dan dioxin-like PCBs ke dalam tubuh manusia terutama jika mengonsumsi
lemak yang terdapat di dalam ikan, daging dan produk susu.
10
c. Bahaya
Dioksin (PCDDs) dapat menyebabkan penurunan asupan makanan dan hilangnya berat badan, pendarahan di beberapa organ, penurunan selularitas sumsum tulang dan hilangnya lemak tubuh dan bersandarnya massa otot. Hasil beberapa studi genotoksisitas jangka pendek, menunjukkan bahwa TCDD tidak menyebabkan karsinogenesis.
d. Batas Maksimum
Batas maksimum dioksin pada pangan telah diatur dalam Peraturan Kepala
Badan POM No. HK.00.06.1.52.4011 Tahun 2009 tentang Penetapan Batas
Maksimum Cemaran Mikroba Dan Kimia Dalam Makanan, misalnya:
Hati olahan, batas maksimum dioksin (2,3,7,8-TCDD): 6,1 pg WHO-PCDD/F-TEQ/g lemak;
Daging olahan, batas maksimum dioksin (2,3,7,8-TCDD): 3 pg WHO-PCDD/F-TEQ/g lemak;
Ikan olahan, batas maksimum dioksin (2,3,7,8-TCDD): 3 pg/g berat basah;
Telur olahan, batas maksimum dioksin (2,3,7,8-TCDD): 0.91 pg WHO-PCDD/F-TEQ/g lemak;
Serealia, batas maksimum dioksin (2,3,7,8-TCDD): 0.46 pg WHO-PCDD/F-TEQ/g lemak.
2.3 Cemaran Mikotoksin
Mikotoksin adalah hasil metabolit sekunder yang bersifat toksik yang
diproduksi oleh berbagai jenis kapang (jamur mikro). Kapang penyebab
mikotosin biasanya tumbuh di daerah yang beriklim tropis dengan suhu dan
kelembaban yang tinggi. Pada umumnya, mikotoksin bersifat stabil dan tahan
terhadap panas, sehingga dapat bertahan pada produk olahan bahan pangan.
Cara untuk mereduksi mikotoksin antara lain menggunakan senyawa basa dan
suhu tinggi secara bersamaan. Mikotoksin, jika terkonsumsi dapat
menyebabkan penyakit kronis maupun akut, akan tetapi risiko terbesar adalah
sebagai penyebab penyakit kronis. Kapang penghasil mikotoksin dapat tumbuh
pada komoditas pertanian di lapangan ataupun yang disimpan di dalam
gudang. Mikotoksin yang akan diuraikan dalam petunjuk ini adalah aflatoksin,
okratoksin A (OTA), deoksinivalenol (DON) dan fumonisin.
11
2.3.1 Aflatoksin
a. Deskripsi
Aflatoksin merupakan mikotoksin yang diproduksi oleh antara lain
Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus. Aflatoksin yang paling sering
dijumpai adalah aflatoksin B1, B2, G1 dan G2, dan yang paling toksik adalah
aflatoksin B1. Selain itu, terdapat aflatoksin M1 dan M2 yang dihasilkan jika
sapi atau hewan ruminansia lainnya memakan pakan yang terkontaminasi
oleh aflatoksin B1 atau B2. Aflatoksin M1 dan M2 ini kemudian disekresikan
melalui susu yang dihasilkan hewan tersebut. Bila susu tersebut diolah,
maka produk olahannya dapat mengandung aflatoksin M1 dan atau M2.
b. Sumber/penyebab
Kapang penyebab aflatoksin mudah tumbuh pada bahan pangan seperti
sereal, kacang-kacangan, jagung, rempah-rempah, dan kopra. Selain itu
susu dapat juga tercemar oleh aflatoksin M1 dan M2. Dengan demikian,
produk olahan yang dibuat dari bahan–bahan tersebut dapat berisiko
mengandung aflatoksin.
c. Bahaya
Aflatoksin B1 merupakan bahan kimia karsinogen paling potensial yang
termasuk Kelas 1A yaitu senyawa yang dapat menyebabkan kanker
menurut International Agency for Research on Cancer (IARC). Aflatoksin
dosis tinggi dapat menyebabkan efek akut dan berujung pada kematian.
Sedangkan efek kronisnya, aflatoksin adalah sebagai penyebab mutagenik
(perubahan gen), teratotegik (kerusakan pada fetus) dan karsinogenik
(penyebab kanker). Efek mutagenik maupun karsinogenik dapat terjadi pada
organ-organ tubuh seperti hati, paru-paru, dan ginjal. Hati merupakan
bagian yang paling parah menderita kerusakan akibat mengonsumsi
pangan yang mengandung aflatoksin, mulai dari hepatitis kronik,
pembesaran hati, penyakit kuning, sirosis hati hingga kanker hati. Aflatoksin
juga berperan dalam menyebabkan kwasiorkor dan dapat mengganggu
sistem kekebalan tubuh (imunosupresif) pada manusia dan hewan.
d. Batas Maksimum
Batas maksimum pada pangan telah diatur dalam Peraturan Kepala Badan
POM No. HK.00.06.1.52.4011 Tahun 2009 tentang Penetapan Batas
Maksimum Cemaran Mikroba dan Kimia dalam Makanan, misalnya: produk
olahan kacang-kacangan dan produk olahan jagung, batas maksimum
aflatoksin B1: 15 mcg/kg dan aflatoksin total: 20 mcg/kg.
12
2.3.2 Okratoksin A (OTA)
a. Deskripsi
Okratoksin A (OTA) merupakan mikotoksin yang diproduksi oleh kapang
antara lain Aspergillus ochraceus dan Penicilium verrucosum.
b. Sumber/penyebab
Kapang penyebab OTA mudah tumbuh pada bahan pangan seperti jagung,
sereal, kopi, buah kering, kakao dan kacang-kacangan. Dengan demikian,
produk olahan yang dibuat dari bahan–bahan tersebut dapat berisiko
mengandung OTA.
c. Bahaya
Okratoksin A merupakan bahan kimia yang menyebabkan efek sitotoksin
dan penyebab kerusakan pada hati dan ginjal (akut maupun kronis).
Okratoksin A dapat pula menyebabkan gangguan pada sistem kekebalan
untuk sejumlah spesies mamalia dan bersifat genotoksik.
d. Batas Maksimum
Batas maksimum pada pangan telah diatur dalam Peraturan Kepala Badan
POM No. HK.00.06.1.52.4011 Tahun 2009 tentang Penetapan Batas
Maksimum Cemaran Mikroba Dan Kimia Dalam Makanan, misalnya:
Produk olahan serealia sebagai bahan baku, batas maksimum OTA: 5 mcg/kg
Produk olahan serealia siap konsumsi, batas maksimum OTA: 3 mcg/kg
2.3.3 Deoksinivalenol (DON)
a. Deskripsi
Deoksinivalenol (DON, vomitoksin) adalah mikotoksin yang diproduksi oleh
antara lain kapang Fusarium graminearum (Gibberella zeae) dan
F. culmorum.
b. Sumber/penyebab
Kapang penghasil DON banyak terdapat pada tanaman biji-bijian seperti
gandum, jagung, sorgum dan beras. Dengan demikian, produk olahan yang
dibuat dari bahan–bahan tersebut dapat berisiko mengandung DON.
13
c. Bahaya
Deoksinivalenol dapat berefek negatif terhadap sistem kekebalan tubuh.
Gejala yang ditimbulkan oleh konsumsi gandum yang mengandung DON
adalah sakit perut, pusing, sakit kepala, iritasi pada tenggorokan, mual,
muntah, diare dan diare berdarah.
d. Batas Maksimum
Batas maksimum pada pangan telah diatur dalam Peraturan Kepala Badan
POM No. HK.00.06.1.52.4011 Tahun 2009 tentang Penetapan Batas
Maksimum Cemaran Mikroba dan Kimia dalam Makanan, misalnya:
Produk olahan jagung dan gandum sebagai bahan baku, batas maksimum DON: 1000 mcg/kg
Pasta dan mi serta produk sejenisnya, batas maksimum DON: 750 mcg/kg
Produk olahan terigu siap konsumsi (pastri, roti, biskuit, makanan ringan), batas maksimum DON: 500 mcg/kg.
2.3.4 Fumonisin
a. Deskripsi Fumonisin merupakan mikotoksin yang diproduksi oleh antara lain Fusarium
moniliforme (F.verticillioides) dan F. proliferatum. Terdapat lebih dari 10 tipe
fumonisin antara lain fumonisin B1 (FB1), FB2 dan FB3. Adapun yang
sering ditemukan pada jagung yaitu FB1 dan merupakan fumonisin yang
paling toksik. Mikotoksin ini sering terdapat bersamaan dengan mikotoksin
lain seperti aflatoksin, DON dan zearalenon.
b. Sumber/penyebab
Kapang penyebab fumonisin mudah tumbuh pada jagung, beras dan
sorgum. Konsentrasi fumonisin pada beras dan sorgum lebih rendah
dibandingkan dengan jagung. Dengan demikian, produk olahan yang dibuat
dari bahan–bahan tersebut dapat berisiko mengandung fumonisin.
c. Bahaya
Studi terhadap hewan percobaan telah menunjukkan bahwa fumonisin
dapat menyebabkan gangguan kesehatan dengan gejala hilang nafsu
makan dan lesu. Gangguan kesehatan yang ditimbulkannya antara lain
adalah gangguan pada: saraf, perkembangan karsinoma hepatoseluler,
janin tikus, udema pada otak dan peradangan pada organ hati. Akan tetapi,
belum ada bukti efek fumonisin terhadap kesehatan manusia. Namun
14
diperkirakan terdapat hubungan antara konsumsi jagung yang tinggi di
beberapa daerah di dunia dengan terjadinya kanker esofagus.
d. Batas Maksimum
Batas maksimum pada pangan telah diatur dalam Peraturan Kepala Badan
POM No. HK.00.06.1.52.4011 Tahun 2009 tentang Penetapan Batas
Maksimum Cemaran Mikroba dan Kimia dalam Makanan, misalnya:
Produk olahan jagung sebagai bahan baku, batas maksimum Fumonisin B1+B2: 2000 mcg/kg
Produk olahan jagung siap konsumsi, batas maksimum Fumonisin B1+B2: 1000 mcg/kg.
2.4 Racun Tanaman (Asam Sianida - HCN)
Racun tanaman yang banyak menimbulkan masalah dalam keamanan
pangan adalah asam sianida (HCN).
a. Deskripsi
Asam sianida adalah senyawa kimia yang sangat beracun. Senyawa ini
tidak berwarna, berasa pahit, beraroma kacang almond dan bersifat mudah
terbakar serta dapat bercampur baik dengan udara dan air.
b. Sumber/penyebab
Asam sianida terdapat pada singkong dan rebung dimana kadarnya
tergantung dari jumlah racun glikosida sianohidrin yang dapat membentuk
HCN. Kandungan HCN pada singkong atau rebung yang berasa pahit lebih
tinggi dibandingkan pada singkong atau rebung tidak pahit.
c. Bahaya
Asam sianida sangat mudah masuk ke dalam sistem pencernaan dan
sangat cepat berdifusi pada jaringan ke dalam sistem pencernaan, sehingga
HCN pada dapat menimbulkan gangguan kesehatan, seperti mual, muntah,
sakit kepala, penyempitan saluran pernafasan, bahkan dapat menimbulkan
kematian.
d. Batas Maksimum
Pada singkong mentah dan rebung yang pahit kadar HCN–nya ebih besar
dari 50 mg/kg sedangkan singkong mentah dan rebung yang tidak pahit
kadarnya lebih kecil dari 50 mg/kg. Pada singkong dan rebung yang sudah
15
diolah, kadar HCN-nya lebih rendah daripada bahan mentahnya. Dosis HCN
yang masih dapat ditoleransi tubuh adalah 1 mg/kg BB relatif/hari.
2.5 Racun pada Ikan dan Kekerangan
Racun alami yang terdapat pada ikan dan kekerangan yang dapat
membahayakan kesehatan antara lain tetrodotoksin dan skombrotoksin.
2.5.1 Tetrodotoksin
a. Deskripsi
Tetrodotoksin (TTX) adalah suatu neurotoksin yang berasal dari bakteri
yang berasimilasi ke dalam jaringan ikan buntal (pupper fish) dan beberapa
hewan lainnya. Tetrodotoksin merupakan racun nonprotein, tahan panas
(kecuali di lingkungan alkali) dan larut dalam air.
b. Sumber Sumber TTX antara lain terdapat pada ikan buntal, kodok atelopus, gurita
cincin biru, bintang laut, gastropoda, telur kepiting, mola-mola, ikan toa
(toadfish), dan beberapa spesies salamander.
c. Bahaya
Tetrodotoksin dapat menyebabkan kelumpuhan dengan cepat dan bahkan
kematian. Gejala keracunan pertama terjadi 15 menit sampai beberapa jam
setelah TTX tertelan. Gejala awal terjadi kekakuan pada bibir dan lidah,
diikuti dengan mati rasa, pengeluaran air liur, mual, muntah, dan diare
dengan sakit perut. Kelumpuhan otot saluran pernafasan dapat terjadi
selama lebih kurang 4 - 24 jam setelah mengonsumsi pangan yang
mengandung TTX. Pada akhirnya dapat terjadi gagal jantung; dan
kerusakan saraf pusat yang menyebabkan koma dan kejang. Kematian
dapat terjadi dalam waktu 4 - 6 jam setelah terjadi kelumpuhan otot
pernafasan.
d. Batas Maksimum
Takaran TTX yang dapat menyebabkan kematian pada manusia
diperkirakan sebanyak 2 mg. Namun demikian, takaran tersebut dapat
bervariasi berdasarkan umur, kondisi kesehatan, dan kepekaan terhadap
toksin.
16
2.5.2 Skombrotoksin
a. Deskripsi Skombrotoksin/racun scombroid disebut juga racun histamin. Produksi
histamin pada ikan dapat terbentuk dengan cepat terutama jika disimpan
pada suhu kamar (28 - 320C) selama 3 - 4 jam. Semakin tinggi suhu, dan
semakin lama disimpan, semakin tinggi produksi histamin yang dihasilkan.
b. Sumber
Perubahan histidin menjadi histamin atau biogenik amin lainnya dapat
disebabkan karena bakteri terutama dari golongan Enterobacteriaceae yang
menghasilkan enzim dekarboksilase. Histamin banyak terbentuk pada ikan
famili Scombridae (tuna dan mackerel), dan lumba-lumba atau mahi-mahi.
Produk olahan yang dapat mengandung skombrotoksin adalah antara lain
ikan fermentasi, berbagai jenis keju, minuman beralkohol, sayuran
fermentasi, buah-buahan, sayuran, produk kedelai.
c. Bahaya
Gejala keracunan skombrotoksin berlangsung cepat dan biasanya terjadi
dalam 10 menit hingga 4 jam setelah mengonsumsi ikan yang tercemar.
Gejala keracunan histamin antara lain: mual, muntah, diare, keram perut,
tekanan darah rendah, sakit kepala, perasaan geli (tingling), susah
bernafas, rasa panas ketika membasuh wajah, gelisah, dan wajah berwarna
gelap seperti habis terbakar.
d. Batas Maksimum
Batas maksimum skombrotoksin yang dapat diterima belum ditetapkan
disebabkan senyawa kimia yang terlibat belum diketahui secara jelas pada
setiap kejadian. Food and Drug Administration (FDA) Amerika telah
menetapkan kadar histamin yang masih dapat diterima adalah 50 mg/100 g.
2.6 Zat Kimia Beracun Akibat Pengolahan Pangan
Zat kimia beracun akibat pengolahan pangan merupakan bahan kimia
yang keberadaannya dalam pangan tidak dikehendaki dan kebanyakan
terbentuk karena proses pengolahan. Cemaran tersebut antara lain
benzo[a]piren; kloropropanol (3-Monokloropropan-1,2-diol (3-MCPD) dan
1,3-Dikloropropan-2-ol (1,3-DCP); akrilamida; asam lemak trans; dan senyawa
hasil degradasi minyak goreng.
17
2.6.1 Benzo[a]piren
a. Deskripsi Benzo[a]piren termasuk senyawa golongan Polycyclic Aromatic
Hydrocarbons (PAHs). Benzo[a]piren merupakan cemaran yang ada
dimana-mana di dalam lingkungan sebagai hasil dari pembakaran yang
tidak sempurna bahan organik yang mengandung karbon dan hidrogen.
Senyawa PAHs banyak berasal dari udara, air, tanah dan terdapat pada
asap kendaraan bermotor, asap pabrik, asap rokok, asap pembakaran
arang, asap hasil kebakaran hutan, aspal petroleum, beberapa pelarut
komersial, bahan pengawet kayu, dan juga hasil pirolisis karbohidrat, asam
amino, serta asam lemak.
b. Sumber/penyebab
Sumber kontaminasi benzo[a]piren pada pangan antara lain akibat
pengolahan pangan seperti pemanggangan dengan arang, pengasapan,
pengeringan dan penggunaan bahan tambahan pangan seperti perisa asap.
Benzo[a]piren yang terdapat pada pangan terjadi akibat adanya proses
pengolahan yang menggunakan suhu tinggi seperti pemanggangan dan
penggorengan, maupun akibat kontaminasi atau polusi dari udara. Semakin
tinggi kadar lemak, semakin tinggi pembentukan benzo[a]piren pada proses
pembakaran bahan pangan. Pembentukan benzo[a]piren terjadi pada suhu
diatas 300oC. Suhu oven yang normal berkisar sekitar 200
oC.
c. Bahaya
Benzo[a]piren bersifat karsinogenik pada manusia yang menurut klasifikasi
IARC (International Agency for Research on Cancer) termasuk kelas 1
(carsinogenic to human).
d. Batas Maksimum
Batas maksimum pada pangan telah diatur dalam Peraturan Kepala Badan
POM No. HK.00.06.1.52.4011 Tahun 2009 tentang Penetapan Batas
Maksimum Cemaran Mikroba Dan Kimia Dalam Makanan, misalnya:
Kekerangan olahan, batas maksimum Benzo[a]piren: 10 mcg/kg Daging asap olahan, Ikan olahan, Krustase olahan dan sefalopoda
olahan selain yang diasapkan, batas maksimum Benzo[a]piren: 5 mcg/kg
Ikan olahan, selain ikan asap, batas maksimum Benzo[a]piren: 2 mcg/kg
18
2.6.2 Kloropropanol (3-Monokloropropan-1,2-diol (3-MCPD) dan 1,3-Dikloropropan-2-ol (1,3-DCP)
a. Deskripsi
Kloropropanol adalah senyawa kimia yang terbentuk ketika gliserol bereaksi
dengan klorin dalam suasana asam. Kloropropanol utama adalah 3-MCPD
dan 1,3-DCP yang merupakan akibat proses hidrolisis protein nabati
menggunakan asam. Proses penghilangan lemak dari protein nabati melalui
proses hidrolisis dengan HCl menghasilkan 3-MCPD dan 1,3-DCP dalam
jumlah yang signifikan.
b. Sumber/penyebab
Pangan yang banyak mengandung kloropropanol adalah kecap hasil
hidrolisis asam. Kemungkinan sumber cemaran kloropropanol pada kecap
yaitu:
Penambahan asam yang digunakan untuk hidrolized vegetable protein (acid-HVP)
hidrolisis asam dari sebagian atau seluruh kacang kedelai/gandum proses pemanggangan gandum 3-MCPD dapat ditemukan di dalam air minum sebagai kontaminan
dalam kopolimer epiklorhidrin / amina yang digunakan sebagai bahan flokulan atau koagulan dalam pengolahan air.
c. Tahapan proses yang diduga sebagai sumber pembentukan 3-MCPD
adalah: sudah ada secara alamiah di bahan baku penyimpanan bahan baku atau produk jadi penggunaan air berklorinasi untuk pencucian perlakuan pemanggangan, penguapan, fermentasi, pembentukan malt,
pasteurisasi, pengasapan, pengeringan semprot, sterilisasi, pemanasan ultra, pembakaran, pendidihan, pengeringan, dan lain-lain.
d. Bahaya
Pada tahun 1988, EC Scientific Committee on Foods (SCF) menyatakan
bahwa kloropropanol khususnya 1,3-DCP merupakan karsinogen
genotoksik yang dapat menyebabkan kanker dengan merusak secara
langsung materi genetik. Komite menyimpulkan bahwa 3-MCPD dan
1,3-DCP merupakan kontaminan yang tidak diinginkan dalam pangan dan
jumlahnya dalam protein nabati terhidrolisa harus dikurangi sampai jumlah
serendah mungkin yang dapat dicapai oleh pengolahan.
Berdasarkan hasil penelitian pada tikus jantan, 3-MCPD memiliki efek
menghambat fertilitas, namun bersifat dapat pulih (reversibel). Pada studi
19
in vitro, 3-MCPD bersifat genotoksik, namun studi secara in vivo hasilnya
negatif.
e. Batas Maksimum
Batas maksimum 3-MCPD pada pangan telah diatur dalam Peraturan
Kepala Badan POM No. HK.00.06.1.52.4011 Tahun 2009 tentang
Penetapan Batas Maksimum Cemaran Mikroba Dan Kimia Dalam Makanan,
misalnya:
(i) 3-MCPD
Semua makanan yang mengandung protein nabati terhidrolisis secara asam (makanan padat), batas maksimum 3-MCPD: 50 mcg/kg
Semua makanan yang mengandung protein nabati terhidrolisis secara asam (makanan cair), batas maksimum 3-MCPD: 20 mcg/kg.
(ii) 1,3-DCP
Saus kedelai dan saus tiram , batas maksimum 1,3-DCP: 5 mcg/kg
dihitung berdasarkan 40% total padatan.
2.6.3 Akrilamida
a. Deskripsi
Akrilamida (2-propenamida) merupakan senyawa monomer yang berbentuk
kristal putih, tidak berbau, bersifat larut dalam: air, etanol dan aseton serta
memiliki suhu lebur 84,5oC. Senyawa ini mudah membentuk polimer pada
saat meleleh. Akrilamida digunakan sebagai bahan untuk sintesis
poliakrilamida. Poliakrilamida digunakan sebagai koagulan untuk
menjernihkan air, pembuatan kertas, plastik, dan lain-lain. Akrilamida bukan
merupakan senyawa alami sehingga semua akrilamida yang ada di
lingkungan merupakan akrilamida sintetik yang terpapar ke lingkungan.
b. Sumber/penyebab
Akrilamida terbentuk di dalam berbagai bahan pangan, ketika bahan pangan
yang kaya karbohidrat (kentang, kopi, rerotian, dan sebagainya) dimasak
pada suhu tinggi (lebih dari 120oC) dan kelembaban rendah seperti pada
penggorengan, pemanggangan, penyanggraian, dan pembakaran. Contoh
produknya adalah keripik kentang dan kentang goreng.
Mekanisme utama pembentukannya adalah reaksi antara gula pereduksi
(misalnya glukosa) dengan asam amino asparagin dan terjadi selama reaksi
pencoklatan non enzimatis (reaksi Maillard). Gula pereduksi dan asparagin
secara alami terdapat di dalam berbagai bahan pangan dengan konsentrasi
20
yang bervariasi. Sehingga, kadar akrilamida di dalam suatu produk pangan
akan sangat tergantung pada komposisi awal bahan pangan dan kondisi
pemasakannya. Pada suhu yang lebih tinggi dan waktu pengolahan yang
lebih lama, maka akrilamida yang terbentuk akan semakin banyak. Selain
itu, pembentukan akrilamida meningkat tajam seiring dengan penambahan
gula pereduksi. Akrilamida dapat pula terbentuk melalui reaksi
3-aminopropionamida.
Proses pemasakan dengan perebusan atau pengukusan tidak
menyebabkan peningkatan kadar akrilamida.
c. Bahaya
Akrilamida bersifat karsinogenik pada manusia yang menurut klasifikasi
IARC (International Agency for Research on Cancer) termasuk Kelas 2A
yaitu kemungkinan besar dapat menyebabkan kanker pada manusia
(Probably carcinogenic to humans). Disamping itu akrilamida dapat merusak
syaraf dan mengganggu kesuburan (fertilitas).
d. Batas Maksimum
WHO belum menetapkan standar konsentrasi akrilamida di dalam pangan
yang dapat menyebabkan risiko kesehatan pada manusia, juga tidak
menyarankan seseorang mengubah pola makannya untuk menghindari
akrilamida tetapi lebih menyarankan konsumen untuk mengonsumsi
makanan dengan menu yang sehat dan seimbang, termasuk didalamnya
mengonsumsi produk gorengan dan produk berlemak lainnya secara tidak
berlebihan. Masyarakat Ekonomi Eropa (EU), telah menetapkan nilai
indikatif untuk kadar akrilamida pada beberapa jenis pangan olahan,
sebagai salah satu indikator untuk melakukan investigasi jalur pembentukan
akrilamida dan untuk mereduksi kadar akrilamida dalam pangan olahan.
Nilai indikatif beberapa jenis pangan antara lain:
- Kentang goreng (french fries), nilai indikatif : 600 µg/kg - Keripik kentang, nilai indikatif: 1000 µg/kg - Roti manis (soft bread), nilai indikatif: 150 µg/kg
- Sereal untuk sarapan, nilai indikatif: 400 µg/kg - Biskuit, kreker, wafer, roti kering, kecuali roti jahe, nilai indikatif:
500 µg/kg.
21
2.6.4 Asam Lemak Trans (ALT)
a. Deskripsi
Asam lemak trans (ALT) adalah isomer geometris dari asam lemak tidak jenuh tunggal atau jamak yang memiliki ikatan rangkap karbon non konjugasi, dalam konfigurasi trans. Secara alami, asam lemak trans tidak ada atau sangat sedikit keberadaannya, tetapi dapat terbentuk pada proses pengolahan tertentu.
b. Sumber/penyebab
Pembentukan ALT dapat terjadi pada saat proses penggorengan bahan
pangan dan pada proses pembuatan mentega/margarin yang menggunakan
teknik hidrogenasi parsial. Pada proses penggorengan, minyak dipanaskan
secara terus menerus pada suhu tinggi dan adanya oksigen mengakibatkan
terjadi reaksi oksidasi asam lemak tidak jenuh. Berdasarkan penelitian
Sartika (2009), ALT baru terbentuk setelah proses penggorengan (deep
frying) pengulangan ke-2 dengan suhu 200oC dan kadarnya meningkat
sejalan dengan pengulangan penggunaan minyak. Kadar ALT pada minyak
goreng pengulangan kedua yang digunakan untuk menggoreng singkong
selama 30 menit adalah 0,37% b/b, sedangkan pada minyak yang
digunakan untuk menggoreng daging (suhu 200oC) sebesar 0,13% b/b.
Kadar ALT terus meningkat pada pengulangan ke-3 dan ke-4 serta
penambahan waktu menggoreng.
Adapun pembentukan ALT pada proses hidrogenasi parsial disebabkan
oleh perubahan konfigurasi sebagian ikatan rangkap dari bentuk cis
(alaminya) menjadi bentuk trans. Tujuan dari proses hidrogenasi parsial
adalah untuk mengubah minyak nabati yang bersifat tidak jenuh menjadi
jenuh agar lebih stabil dalam arti lebih tahan terhadap reaksi ketengikan dan
tetap padat pada suhu ruang. Margarin dan shortening, walau tidak semua,
adalah produk minyak lemak yang banyak dibuat dengan teknik hidrogenasi
parsial.
c. Bahaya Asam lemak trans (ALT) dapat menaikkan kadar Low Density Lipoprotein
(LDL) dan menurunkan kadar High Density Lipoprotein (LDL) darah. Asam
lemak trans juga dapat mengurangi kemampuan tubuh mengendalikan gula
darah karena dapat mengurangi respon terhadap hormon insulin.
d. Batas Maksimum
Hingga saat ini belum ada peraturan mengenai batas maksimum ALT pada
pangan. Akan tetapi, pada April 2004, FDA merekomendasikan tingkat
22
konsumsi dari ALT adalah kurang dari 1% dari total energi (setara dengan
kurang dari 2 gram ALT / hari untuk diet 2000 kilokalori).
2.6.5 Senyawa Hasil Degradasi Minyak Goreng seperti Aldehida, Keton, Peroksida
a. Deskripsi
Senyawa hasil degradasi minyak goreng seperti peroksida, aldehida, keton,
hidrokarbon dan polimer terdapat pada minyak goreng yang telah digunakan
untuk menggoreng bahan pangan. Senyawa-senyawa ini merupakan
turunan asam lemak dan gliserol yang terdapat pada minyak goreng.
b. Sumber/penyebab
Selama penggorengan, minyak goreng akan mengalami pemanasan pada
suhu tinggi 170-180oC dalam waktu yang cukup lama. Hal ini akan
menyebabkan terjadinya proses oksidasi, hidrolisis, dan polimerisasi yang
menghasilkan senyawa-senyawa hasil degradasi minyak seperti keton,
aldehida dan polimer yang merugikan kesehatan manusia. Proses-proses
tersebut menyebabkan minyak mengalami kerusakan. Senyawa-senyawa
ini bersifat reaktif sehingga mudah bereaksi dengan pangan dan menempel
pada pangan yang digoreng. Minyak yang sudah lama digunakan untuk
menggoreng mengandung senyawa-senyawa tersebut dalam jumlah tinggi.
Jika minyak goreng tersebut masih digunakan untuk menggoreng bahan
pangan, maka produk gorengannya mengandung senyawa tersebut dalam
jumlah tinggi.
c. Bahaya
Senyawa hasil degradasi minyak goreng bersifat toksik. Senyawa-senyawa
ini juga dapat membentuk radikal bebas di dalam tubuh yang dapat
menyebabkan gangguan kesehatan. Diantara senyawa-senyawa ini bahkan
ada kemungkinan menyebabkan kanker. Dengan demikian, menggoreng
pangan dengan menggunakan minyak goreng bekas (yang sudah
digunakan berulang-ulang) dapat menghasilkan makanan yang tidak sehat.
d. Batas maksimum
Sampai saat ini belum diketahui batas maksimum senyawa hasil degradasi
minyak goreng yang dapat ditoleransi. Disamping itu, belum ada regulasi
yang mengatur tentang batas maksimum yang diizinkan pada produk
pangan. Mengingat risiko bahaya kesehatan yang dapat ditimbulkan oleh
senyawa hasil degradasi minyak goreng yang sudah dibuktikan secara
23
ilmiah, maka perlu diupayakan untuk menggunakan minyak goreng secara
bijak dalam proses penggorengan pangan.
2.7 Senyawa Kimia Beracun Akibat Migrasi Komponen Kemasan Pangan
Kemasan pangan dapat dibuat dari berbagai jenis bahan antara lain
keramik, kertas, plastik, karet, gelas dan kayu. Dari berbagai jenis bahan
tersebut plastik dan kertas merupakan bahan kemasan pangan yang paling
banyak digunakan. Plastik tersusun dari berbagai jenis komponen penyusun
dan diantara komponen ini terdapat zat yang berbahaya bagi kesehatan. Bahan
plastik yang sering digunakan antara lain polikarbonat (PC), polistirena (PS –
kaku dan foam), polivinil klorida (PVC), polietilena (PE), polipropilen (PP),
polietilen teftalat (PET) dan melamin (melamin-formaldehida). Dari berbagai
jenis plastik tersebut terdapat berbagai jenis bahan berbahaya yang terkandung
dalam jenis-jenis plastik tersebut, antara lain Bisphenol A (BPA), Stirena,
Monomer vinil klorida dan senyawa ftalat, dan formaldehida.
2.7.1 Bisphenol A (BPA)
a. Deskripsi
Bisphenol A (4,4‟-dihidroksifenil 2,2‟-propan) merupakan monomer
penyusun polikarbonat. Plastik polikarbonat banyak digunakan sebagai
wadah pangan seperti botol susu, botol minuman atau botol galon air
minum.
b. Sumber/penyebab
Bisphenol A dari wadah dapat terlepas dan berpindah ke dalam pangan.
Selain itu senyawa sejenis BPA yaitu senyawa epoksi lain digunakan
sebagai lapisan tipis dari kemasan kaleng, untuk mengurangi kontak antara
logam dengan pangan yang dikemas.
c. Bahaya Bisphenol A memberikan efek “mimic” (menyerupai) estrogen, yang dapat
menyebabkan gangguan hormon. Percobaan pada hewan menunjukkan
timbulnya gangguan kesehatan berupa kanker prostat dan payudara;
kegemukan; hiperaktif; infertilitas; diabetes; dan gangguan sistem
kekebalan. Bayi dan anak-anak merupakan pengguna utama botol susu dan
tubuhnya baru berkembang dan sistem detoksifikasi di dalam hati belum
24
sempurna sehingga perlu mendapat banyak perhatian untuk pemilihan botol
susunya.
d. Batas Maksimum
Batas maksimum BPA yang bermigrasi ke dalam pangan telah diatur dalam
Peraturan Kepala Badan POM No HK.03.1.23.07.11.6664 tentang
Pengawasan Kemasan Pangan Tahun 2011, ditetapkan bahwa batas
maksimum migrasi BPA dari botol susu adalah 0,3 ppm dan untuk botol
minum/galon/peralatan makan-minum lainnya 0,6 ppm.
2.7.2 Stirena
a. Deskripsi
Stirena berbentuk gas, salah satu produk dari industri minyak bumi,
merupakan monomer penyusun polistiren (PS) baik yang kaku maupun
yang berbentuk foam (misalnya styrofoam).
b. Sumber/penyebab
Dalam pembuatan plastik PS sebagai wadah pangan terdapat sisa stirena
yang terikat di dalam material plastiknya dan ketika digunakan sebagai
wadah pangan dapat lepas ke dalam pangan. Stirena juga ditemukan dalam
bahan alam lain seperti cengkeh. Senyawa ini mudah larut dalam minyak,
sehingga penggunaan kemasan PS untuk pangan berminyak perlu
dikurangi apalagi dalam keadaan panas.
c. Bahaya
Stirena menurut IARC merupakan karsinogen Kelas 2B yaitu diduga
karsinogen pada manusia (Possibly carcinogenic to humans) dan seperti
senyawa yang mengandung cincin benzena lainnya, jalur metabolismenya
melalui pembentukan epoksi dan hal inilah yang perlu diperhatikan.
d. Batas Maksimum
Batas maksimum stirena yang ditetapkan dalam Peraturan Kepala Badan
POM No. HK.03.1.23.07.11.6664 tentang Pengawasan Kemasan Pangan
Tahun 2011 adalah batas maksimum residu monomer PS di dalam bahan
kemasan PS sebesar 5000 ppm.
25
2.7.3 Monomer Vinil Klorida (VCM) dan Senyawa Ftalat
a. Deskripsi
Monomer vinil klorida adalah monomer penyusun polivinil klorida (PVC)
merupakan gas, salah satu produk dari industri minyak bumi. Senyawa ftalat
adalah kelompok senyawa biftalat dengan variasi rantai karbon, antara lain
dietil heksil ftalat (DEHP) yang lebih dikenal sebagai DOP, diiso nonil ftalat
(DINP), diiso desil ftalat (DIDP), dibutil ftalat (DBP) dan butil benzil ftalat
(BBP). Fungsi senyawa ftalat adalah untuk melunakkan PVC yang keras
dan kaku dan biasanya digunakan dalam jumlah yang banyak (sampai
40%).
b. Sumber/penyebab
Keberadaan VCM di dalam pangan dikarenakan terjadinya migrasi residu
VCM dari kemasan PVC. Senyawa ini mudah larut dalam minyak dan
pelarut organik lainnya, sehingga tidak dianjurkan menggunakan
pembungkus PVC untuk pangan berminyak, terlebih dalam keadaan panas.
c. Bahaya
Monomer vinil klorida merupakan senyawa yang berbahaya dan menurut
IARC dikelompokkan sebagai karsinogen Kelas 1 (terbukti menimbulkan
kanker pada manusia). Meskipun demikian keberadaannya di dalam pangan
sangat kecil karena sifat PVC yang cukup stabil. Sebetulnya bahaya dari
plastik PVC ini lebih dikarenakan sifat fisik PVC yang tidak stabil terhadap
cahaya dan sangat kaku, sehingga berturut-turut memerlukan bahan
penstabil dan bahan pelunak/pemlastik. Senyawa penstabil PVC telah
banyak berkembang sehingga saat ini banyak digunakan campuran
senyawa kalsium karbonat dan timah yang lebih aman dari pada bahan
penstabil sebelumnya. Sedangkan bahan pelunak perlu mendapat
perhatian, karena penggunaannya dalam jumlah besar dan bahaya
utamanya adalah mengganggu sistem hormonal pada hewan atau manusia.
d. Batas Maksimum
Batas maksimum VCM dan senyawa ftalat yang ditetapkan dalam Peraturan
Kepala Badan POM No HK.03.1.23.07.11.6664 tentang Pengawasan
Kemasan Pangan Tahun 2011 adalah batas maksimum residu VCM di
dalam bahan kemasan adalah 1 ppm. Sedangkan untuk senyawa ftalat
sebagai bahan pemlastis, pembatasannya adalah sebagai berikut:
26
No Nama bahan Batas migrasi (ppm)
1. Butil benzil ftalat – BBP 30
2. Dietilheksil ftalat – DEHP 1,5
3. Dibutil ftalat – DBP 0,3
4. Diisononil ftalat – DINP
(campuran dengan > 60% DINP)
9 (terhadap DINP)
5. Diisodesil ftalat – DIDP
(campuran dengan > 90% DIDP)
9 (terhadap DIDP)
2.7.4 Formaldehida
a. Deskripsi
Formaldehida adalah monomer penyusun plastik melamin. Melamin adalah
hasil polimerisasi triazin (melamin) dengan formaldehida dan biasanya lebih
stabil. Selain itu dikenal plastik urea-formaldehida („melamin‟ palsu), yang
merupakan hasil polimerisasi urea dan formaldehida yang kurang stabil dan
lebih mudah melepaskan formaldehida.
b. Sumber/penyebab
Keberadaan melamin di dalam pangan merupakan akibat dari terlepasnya
senyawa formaldehida dari wadah melamin. Formaldehida dari melamin
terlepas baik dalam media air, asam maupun minyak.
c. Bahaya
Formaldehida merupakan senyawa yang berbahaya dan menurut IARC
dikelompokkan sebagai karsinogen Kelas 1 (terbukti menimbulkan kanker
pada manusia).
d. Batas Maksimum
Batas maksimum Formaldehid yang bermigrasi ke dalam pangan telah
diatur dalam Peraturan Kepala Badan POM No HK.03.1.23.07.11.6664
tentang Pengawasan Kemasan Pangan Tahun 2011, ditetapkan bahwa
batas maksimum migrasi formaldehid adalah 3 ppm.