12
Al-Mahdi Ibn Tumart Oleh: Fadhlurrahman Armi 1. Gambaran Awal Bernama lengkap Abdullah bin Muhammad bin Abdullah bin Tumart. Dikenal dengan sebutan al-Mahdi yang dinanti. Nasabnya dicatat dalam sejarah bersambung sampai ke Sayyidina Hassan bin Ali bin Abi Thalib RA. Menurut satu riwayat yang masih dipertanyakan kevalidannya, nama lengkap dari Ibnu Tumart adalah Muhammad bin Abdullah bin Abdurrahman bin Hud bin Khalid bin Tamam bin Adnan bin Shafwan bin Sofyan bin Jabir bin Yahya bin ‘Atha’ bin Rabbah bin Yasar bin Abbas bin Muhammad bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib RA. 1 Berasal dari dataran tinggi Sus, bagian paling ujung selatan Maghribi. Di masa mudanya, Ia mengembara ke timur untuk mencari ilmu. Ibnu Tumart banyak menimba ilmu dari dua murid al-Imam al-Juwaini yaitu dari Alkiya al-Harrasi dan Abu Hamid al-Ghazali. Dia dikenal sebagai pendakwah kepada kebaikan dan pencegah kemungkaran. Dia adalah seorang imam, ahli fikih dan pakar dalam ilmu usul. Seorang yang zuhud dan memiliki jiwa yang kuat dan penyabar. Dia sering disakiti dan dipukuli, akan tetapi tetap sabar. Ia disakiti di Mekkah, lalu beranjak ke Mesir. Setibanya di Mesir, ia pun ditolak dan disakiti mungkin dikarenakan dakwahnya yang dianggap bertentangan. 2 Dia tumbuh dalam kehidupan yang keras, berada pada belenggu kefakiran, hanya berpakaian layaknya seorang pengemis. Akan tetapi dia berani menumpahkan darahnya untuk mendapatkan kekuasaan. Kekuasaan yang nantinya digunakan 1 Ibn Khalkan (681 H.), Wafayat al-A’yan wa Abnaa’ al-Zaman, hal. 45/5 2 Al-Dzahabi (748 H.), Siar a’lam al-Nubalaa’, hal. 377/14

Muhammad Bin Tumart

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Tentang Ibn Tumart dan beberapa pemikiran teologisnya yang sangat erat dengan pergerakan politiknya.

Citation preview

Al-Mahdi Ibn TumartOleh: Fadhlurrahman Armi1. Gambaran AwalBernama lengkap Abdullah bin Muhammad bin Abdullah bin Tumart. Dikenal dengan sebutan al-Mahdi yang dinanti. Nasabnya dicatat dalam sejarah bersambung sampai ke Sayyidina Hassan bin Ali bin Abi Thalib RA. Menurut satu riwayat yang masih dipertanyakan kevalidannya, nama lengkap dari Ibnu Tumart adalah Muhammad bin Abdullah bin Abdurrahman bin Hud bin Khalid bin Tamam bin Adnan bin Shafwan bin Sofyan bin Jabir bin Yahya bin Atha bin Rabbah bin Yasar bin Abbas bin Muhammad bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib RA.[footnoteRef:1] [1: Ibn Khalkan (681 H.), Wafayat al-Ayan wa Abnaa al-Zaman, hal. 45/5 ]

Berasal dari dataran tinggi Sus, bagian paling ujung selatan Maghribi. Di masa mudanya, Ia mengembara ke timur untuk mencari ilmu. Ibnu Tumart banyak menimba ilmu dari dua murid al-Imam al-Juwaini yaitu dari Alkiya al-Harrasi dan Abu Hamid al-Ghazali. Dia dikenal sebagai pendakwah kepada kebaikan dan pencegah kemungkaran. Dia adalah seorang imam, ahli fikih dan pakar dalam ilmu usul. Seorang yang zuhud dan memiliki jiwa yang kuat dan penyabar. Dia sering disakiti dan dipukuli, akan tetapi tetap sabar. Ia disakiti di Mekkah, lalu beranjak ke Mesir. Setibanya di Mesir, ia pun ditolak dan disakiti mungkin dikarenakan dakwahnya yang dianggap bertentangan.[footnoteRef:2] [2: Al-Dzahabi (748 H.), Siar alam al-Nubalaa, hal. 377/14]

Dia tumbuh dalam kehidupan yang keras, berada pada belenggu kefakiran, hanya berpakaian layaknya seorang pengemis. Akan tetapi dia berani menumpahkan darahnya untuk mendapatkan kekuasaan. Kekuasaan yang nantinya digunakan untuk amar makruf dan nahi mungkar. Dia fasih dalam berbahasa Arab dan Bar-bar serta bahasa setempat.[footnoteRef:3] [3: Loc.cit.]

Dia adalah seorang pemerhati sekaligus ahli politik praktis dan pembaharu ulung di bidang politik dan bernegara. Tak heran jika kemudian ia dikenal dan diakui sebagai salah satu pendiri Daulah Muwahhiddin. Tokoh ini mencoba untuk melanggengkan pemikirannya untuk berbagai tujuan politiknya dengan menggunakan pendekatan teologis. Baik itu pemikiran politiknya ataupun tentang ketertarikannya pada pembaharuan dan perubahan secara masif dan menyeluruh di kawasan barat Islam, terutama Maghrib Aqsha. Hingga bisa kita rasakan melalui catatan sejarah tentang bagaimana transformasi dari dinamika pemikirannya yang kemudian menjadi sebuah ideologi negara yang aplikatif dan akomodatif. Ibnu Tumart adalah tokoh yang amat identik dengan politik dan birokrasi pemerintahan di abad ke lima hijriah. Dalam hal ini yang menjadi salah satu dari langkah-langkahnya agar dapat mencapai tujuannya secara sempurna adalah bagaimana ia dapat mendeklarasikan nama muwahhidin agar menyatu di dalam jiwa setiap para pendukungnya. Demikian pula usahanya membumikan nama muwahhidin agar melekat erat dengan pandangan akidahnya hingga pada akhirnya ia mampu mendeklarasikan nama muwahhidin secara terang-terangan agar disematkan pada Daulah yang merdeka dan berdaulat. Dan ini menunjukkan posisi Ibnu Tumart di hadapan pemerintah resmi saat itu. Posisi yang mengancam daulah murabitin hingga tiba masa tumbangnya dari kejayaan dan kegemilangan.Ini semua jelas merupakan bagian dari masterplan yang telah dipikirkan secara matang oleh Ibnu Tumart untuk dapat melakukan kudeta terhadap pemerintah di saat itu. Salah satu propagandanya yang sangat gencar adalah dengan penyebaran isu atau tuduhan teologis terhadap Murabitin bahwa mereka adalah kelompok mujassima dan musyabbiha.Dengan menggunakan berbagai taktik cemerlangnya, ia kemudian dianggap sebagai salah satu tokoh yang memiliki pengaruh yang besar terhadap perkembangan sejarah dan peradaban di kawasan barat Islam. Dari sekian hasil jerih payahnya, melalui sejarah terasa jelas hingga kini apa yang ditinggalkan dari pemikiran dan kebijakannya. Dan tidak sampai jauh ke sana, terbukti ia dapat mengudeta pemerintah resmi saat itu dengan berbagai alasan politiknya. Ini membuktikan ia dapat mengubah poros peradaban barat Islam melalui cara politiknya.[footnoteRef:4] [4: Yusuf Ihnana, Tathawwur al-madzhab al-Asyari fi al-Gharbi al-Islami, hal. 111-112.]

2. KaryanyaSalah satu karangannya yang sangat fenomenal adalah sebuah buku yang kemudian diklaim di dalamnya berisikan doktrin-doktrin teologis yang berbasis pada metode mazhab al-Asyari dalam bertauhid dan berakidah. Kitab ini dijadikan sebagi buku pegangan bagi setiap masyarakat khususnya anak-anak untuk dihafalkan. Dikatakan ini adalah salah satu cara agar dapat menyatukan keyakinan masyarakat di kawasan barat Islam. Buku ini diberi nama Aazzu ma yuthlab. Dalam buku ini terdiri dari tidak hanya pembahasan tentang akidah, namun juga tentang fikih ibadah, Muamalat, dan fikih Jihad. Dari buku ini terlihat juga bagaimana langkah-langkah Ibn Tumart dalam mendirikan Negara Muwahhidin.2.1. Metode Ibn TumartIbnu Tumart memiliki metodologi khusus dalam penulisan buku ini. Ia menulis bukunya Aazzu ma yuthlab dengan berlandaskan kepada perdebatannya dengan para cendekiawan dari Murabitin. Ia mencari kesalahan dan kekurangan dari pemikiran mereka yang dianggap sesat dan berbahaya bagi keimanan seorang muslim. Kemudian Ia menawarkan solusi dengan teori-teorinya yang dapat dipastikan sesuai dengan mazhab al-Asyari secara umum walaupun nantinya akan kita temui banyak perbedaan dalam beberapa hal-hal yang sifatnya masih tidak bersentuhan langsung dengan hal-hal yang menjadi pokok dasar dan tsabit dalam Islam.Melalui rutinitas perdebatannya, diketahui pula nantinya kecondongan Ibn Tumart kepada pengklasifikasian metode ilmiahnya untuk mendapatkan hakikat kebenaran dan mengetahui dasar-dasarnya.Di dalam kitabnya Aazzu Ma Yuthlab, Ia memulai penjelasannya tentang cara berilmu dan dasar-dasar kebenaran serta segala sesuatu yang berhubungan dengan kebenaran sehingga bisa sampai kepada titik Iman yang sesungguhnya. Demikian pula ia memaparkan perbandingannya dengan apa yang menyebabkan timbulnya kebatilan. Singkat kata, sumber dari kebatilan tersebut menurutnya adalah kebodohan dan keraguan.[footnoteRef:5] [5: Al-Mahdi Ibn Tumart, Aazzu Ma Yuthlab, hal. 33, Tahqiq Dr. Abdul Ghani Abu al-Azm.]

Ia seolah memberikan gambaran dari sikap politiknya yang tersirat dalam buku ini. Tak heran jika kita temui di dalam buku ini ia memulainya dengan pembahasan tentang ilmu dan cara mendapatkannya secara benar. Kemudian dilanjutkan dengan bab-bab yang berkaitan dengan fikih hingga memasuki ke dalam bab yang berkaitan dengan akidah yang sahih begitu pula dengan cara dan proses untuk mengetahuinya dengan benar. Pada akhirnya ia menutup karyanya ini dengan pembahasan jihad yang dengannya sempurnalah tujuan dari Ibnu Tumart untuk merefresh keimanan pembacanya yang merupakan dogma agama yang ditujukan untuk menghadapi rival-rivalnya dari daulah Murabithin. Bisa dikatakan bahwa Ibnu Tumart tidak menulis karyanya ini dalam jangka waktu yang ia khususkan, akan tetapi Ia menulisnya beriringan dengan proses pendirian daulah yang baru. Penulisan buku yang tetap terus berlanjut dalam keadaan perang maupun tidak. Penulisan yang jika ditinjau lebih jauh lagi, sangat terpengaruh dengan keputusan-keputusan politik. Maka dari itu pula banyak pemikiran di dalamnya yang mencolok perbedaannya dengan karya yang sebelumnya yaitu Mursyidah. Mursyidah adalah buku kecil yang berisikan tentang ajaran-ajaran pokok dari akidah Islam yang sesuai dengan mazhab Asyari.3. Metode Istidlal Ibnu Tumart untuk Membuktikan Wujud Allah

3.1. Bukti hudus (semua yang diciptakan dan tidak abadi) dan adanya semesta.Ibnu Tumart menggunakan adanya manusia sebagai entitas yang diciptakan sehingga bersifat tidak abadi dan diadakan dari ketiadaan. Maka entitas ini membutuhkan kepada yang menciptakannya yaitu Sang Khalik yaitu Allah taala.Ibnu Tumart berkata; Dan dengan sifat hudus manusia dapat diketahui wujud Penciptanya yang dengan pengetahuannya pula bahwa Tuhan sudah ada jauh sebelum ia (manusia) ada. Sebagaimana Sabda-Nya: . Dan dengan pengetahuannya bahwa ia (manusia) telah diciptakan dari air yang hina dan ia mengetahui bahwa air tersebut hanyalah memiliki satu sifat yang kemudian diadakan dengan berbagai sifat yang melekat seperti pendengaran, penglihatan, memiliki daging, berotot, memiliki raut muka dan berorgan lengkap. Semuanya ada setelah sebelumnya tidak ada sama sekali. Maka ketika ia (manusia0 tersebut mengetahui hakikat dari hudus dirinya tersebut, ia akan mengetahui bahwa pasti ada Sang Pencipta yang menciptakannya.[footnoteRef:6] [6: Ibid, hal. 213.]

Secara implisit Ibnu Tumart menunjukkan akan kewajiban mempelajari secara teliti ciptaan Allah untuk membuktikan keberadaan-Nya.

3.2. Bukti dari ciptaan dan PenciptaIbnu Tumart menggunakan pendekatan logika dalam memahami dan guna mengetahui dengan benar hakikat dari adanya Tuhan. Ia berpendapat bahwa makhluk mustahil secara mutlak menjadi khalik karena makhluk terdiri dari tiga jenis. Pertama makhluk hidup berakal, makhluk hidup tak berakal, dan makhluk jamad (benda mati). Kemudian Ibnu Tumart memberi perumpamaan jika semua makhluk yang berakal berkumpul dan ditantang untuk menyatukan kembali secara sempurna satu jari saja yang baru terputus maka tidak akan ada yang sanggup. Maka bagaimana dengan yang tidak berakal? Demikian pula dengan benda mati yang tak bergerak nan berakal. Maka lebih lagi tidak akan sanggup. Maka dengan penuh kesadaran, dapat diketahui bahwa Allah adalah Sang Pencipta segala sesuatu. 3.3. Hukum similarity (keserupaan)Bahwa segala sesuatu akan dianggap serupa atau mirip jika ia merupakan satu jenis yang sama. Ciptaan yang terdiri dari manusia, tumbuhan, hewan dan semesta beserta isinya yang berada dalam dimensi ruang dan waktu merupakan satu jenis yang memiliki sifat-sifat kekurangan dan ketidak-abadian. Sehingga tidak mungkin dikatakan Tuhan adalah sejenis dengan ciptaannya. Karena jika benar demikian maka Tuhan harus memiliki kelemahan selayaknya manusia dan ciptaan lainnya. Harus memiliki kekurangan dan ketidakabadian. Maka ini akan menggiring kita pada kesimpulan bahwa itu mustahil bagi Tuhan yang Maha Sempurna.[footnoteRef:7] [7: Ibid, hal. 215.]

3.4. Hukum diferensiasi Tuhan dan ciptaannyaKetika mengetahui dengan benar adanya ketidaksamaan antara Pencipta dan ciptaan maka kemudian dapat diketahui pula adanya sang Pencipta secara mutlak. Bahwa setiap sifat yang melekat pada ciptaan adalah mustahil sama adanya bagi Sang Pencipta. Karena Allah adalah Yang Maha Permulaan, Maha Akhir, Maha Nyata, dan Maha Gaib. Yang Mula tanpa didahului permulaan dan Yang Akhir tanpa dilewati pengakhiran. Yang Nyata tanpa adanya batasan apapun dan Yang Gaib tanpa adanya pengkhususan. Yang Ada secara mutlak tanpa adanya pembentukan dan penyerupaan.[footnoteRef:8] [8: Loc.cit.]

Di sini terlihat jelas pandangannya tentang takwil. Ibn Tumart berkata: Jika orang-orang yang berakal berkumpul untuk menggambarkan bentuk penglihatan makhluk hidup atau pendengarannya atau akalnya, maka mereka tidak akan mampu untuk melakukannya padahal mereka sendiri adalah sesama makhluk yang sejenis. Maka ketika ketidakmampuan ini ada, maka terlebih lagi jika mendeskripsikan sifat-sifat dari entitas yang tidak sejenis dengannya. Yaitu Allah. Maka tidak bisa kemudian sifat-Nya digambarkan dengan hal-hal logis yang dianggap serupa. Karena Allah tidak bisa dibanding-bandingkan dengan hal-hal yang dianggap serupa dengan-Nya. Dan anggapan ini salah karena tidak ada yang serupa dengan-Nya taala.[footnoteRef:9] [9: Ibid, hal. 215-216.]

Allah berfirman:

4. Pemikiran Teologis Ibnu Tumart

4.1. Pandangannya terhadap ayat-ayat mutasyabihat.Ia memiliki keyakinan bahwa wajib beriman atas ayat-ayat yang membicarakan tentang istiwa, kursi Allah, tangan Allah, dan lain sebagainya yang termasuk dalam ayat-ayat mutasyabihat. Ia berkata: Dan tidak tergambar di pikiran seseorang kecuali yang terhubung erat dengan sepuluh lingkaran batasan berikut, yaitu sebelum dan sesudah, di atas dan di bawah, di kanan dan di kiri, di depan dan di belakang, serta berada di cakupan keseluruhan dan di cakupan sebahagian. Karena setiap apapun yang berkaitan erat dengan sepuluh batasan tadi maka pasti memiliki sifat huduts dan membutuhkan kekuatan Pencipta dan Dia adalah Allah Yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji.[footnoteRef:10] [10: Ibid, hal. 220.]

4.2. Pandangannya terhadap persoalan kemampuan manusia melihat Allah di hari kiamat.Dalam hal ini Ibnu Tumart tidak berseberangan dengan mazhab Asyari secara umum yaitu melihat Allah pada hari kiamat adalah benar dan diyakini kebenarannya sesuai dengan apa yang tertera di al-Quran. Akan tetapi Ia menambahkan syarat dari kemampuan manusia untuk melihat Allah tersebut, masih tidak dapat memberikan asumsi penyerupaan, pendeskripsian bentuk-Nya, dan tidak akan dapat dibayangkan oleh akal manusia. Serta Ibnu Tumart menafsirkan ayat dengan keterbatasan akal manusia membayangkan Allah. Keterbatasan manusia yang tidak mampu menangkap esensi Allah yang cakupan-Nya menyeluruh tanpa ruang dan waktu. Bahwa manusia terbatas untuk menentukan gambaran adanya Tuhan sebagai Zat yang terhubung dengan zat yang lain atau keterpisahan-Nya dari sesuatu tersebut.[footnoteRef:11] [11: Ibid, hal. 218]

Karena jika ada keterhubungan dan keterpisahan maka akan terjadi pembatasan bagi Tuhan. Dan itu tidak mungkin. Maka manusia terbatas untuk mengetahui sampai ke titik ini. Pada akhirnya sifat-sifat ini hanya berlaku bagi ciptaan Allah yang berorientasi dengan kekurangan serta batasan ruang dan waktu. Sehingga setiap apapun yang menunjukkan pada hal-hal yang bersifat cacat dan serba tidak sempurna harus dijauhkan dari zat Allah.[footnoteRef:12] [12: Yusuf Ihnana, Tathawwur al-madzhab al-Asyari fi al-Gharbi al-Islami, hal. 122.]

4.3. Pandangannya tentang ImamahIbnu Tumart beranggapan bahwa konsep Imamah adalah wajib diyakini bagi seluruh masyarakat Islam. Karena Imamah adalah bagian dari rukun Islam dan sandaran syariat Islam yang dapat ditegakkan hakikat kebenaran dengannya. Akan tetapi Ibnu Tumart tidak membatasi Imamah hanya berasal dari suku Quraisy saja jika dibandingkan dengan pendapat ulama asyari lainnya yang mengkhususkannya. Ia berkata, Imamah menjadi topangan secara mutlak di sepanjang masa. Sebagaimana adanya pada agama salaf saleh dan umat-umat sebelumnya hingga masa Nabi Ibrahim As. dan hingga masa sebelumnya. Meyakininya adalah bagian dari agama. Mengamalkan dan mematuhinya adalah bagian dari agama pula. Maksud dari Imamah adalah mengikutinya, mendengarkan, patuh dan taat. Maka hanya orang ingkar dan kafir saja yang mendustakannya.[footnoteRef:13] [13: Al-Mahdi Ibn Tumart, Aazzu Ma Yuthlab, Tahqiq Dr. Abdul Ghani Abu al-Azm, hal. 304.]

Dalam pembahasan ini, Ibnu Tumart memberikan tambahan syarat yang sangat fundamental bagi seorang Imam dan mungkin dianggap bertentangan dengan kebanyakan pemikiran dan pandangan di mazhab asyari. Yaitu Imam haruslah mashum. Perlu diperhatikan bahwa sebenarnya maksud dari mashum di sini bukan seperti apa yang dipahami oleh kelompok Syiah yang mengultuskan tinggi-tinggi secara berlebihan seorang Imam hingga sampai pada titik kesetaraannya dengan seorang Nabi. Namun yang dimaksud mashum oleh Ibnu Tumart di sini adalah yang ada hubungannya dengan ayat berikut { }[footnoteRef:14] [14: QS. Al-Baqarah: 124.]

Ibnu Tumart memahami ayat tersebut bahwa Allah tidak mengamanatkan kekuasaan dan Imamah bagi orang-orang zalim. Maka dari itu Ibnu Tumart berpendapat bahwa Imam haruslah orang Mashum yang terjaga dari kebatilan agar dapat menghancurkan kebatilan. Demikian pula, Imam harus terjaga dari kerusakan, fitnah, kejahatan, perkara bidah, berbohong, kebodohan dan lainnya dari sifat-sifat yang merusak perangai baiknya. Karena tidak mungkin orang yang penuh kebatilan akan menghancurkan kebatilan. Ditambah lagi jika seorang Imam memiliki sifat-sifat tercela tadi maka ia tidak mungkin akan memberikan perubahan dan kedamaian serta tidak dapat mempertahankan syariat Allah di muka bumi. Maka di sini Ibnu Tumart memberikan contoh Nabi Muhammad sebagai panutan dalam hal ini dan disusul kemudian dengan khulafa Rasyidin sesuai dengan urutan yang telah dijanjikan dan diamanatkan sebelumnya.[footnoteRef:15] [15: Al-Mahdi Ibn Tumart, Aazzu Ma Yuthlab, Tahqiq Dr. Abdul Ghani Abu al-Azm, hal. 304.]

Jadi bisa disimpulkan bahwa Ismah seorang Imam menurut Ibnu Tumart adalah pengosongan diri dari sifat-sifat hina dan cela. Dan menghias diri dengan sifat-sifat kebaikan dan terpuji.5. Pandangan Ibnu Tumart tentang Ilmu dan ImanMenurut Ibnu Tumart ada tiga jalan menuju hakikat ilmu. Di antaranya adalah indera, akal, dan khabar (sama). Pembagian ini berlandaskan kepada beragamnya cara mendapatkan ilmu tersebut. Ada yang cukup dengan pancaindra manusia, ataupun dengan berpikir logis (akal), dan dengan cara memahami teks agama yang keabsahannya bersifat absolut dari Tuhan.Ibnu Tumart juga membagi ilmu menjadi tiga, yaitu; ilmu agama, ilmu dunia, dan ilmu penyambung kepada ilmu agama dan dunia. Ilmu agama dibagi menjadi tiga bagian; ilmu tentang Allah, ilmu tentang rasul-rasul Allah, dan ilmu tentang segala yang diajarkan rasul (kitab-kitab). Ilmu tentang Allah dibagi lagi menjadi tiga, yaitu; ilmu tentang apa yang wajib[footnoteRef:16] bagi Allah, ilmu tentang apa yang boleh bagi-Nya, dan ilmu tentang apa yang mustahil[footnoteRef:17] bagi-Nya. [16: Secara akal mengharuskan adanya hal tersebut.] [17: Secara akal mengingkari adanya hal tersebut.]

Ilmu tentang apa yang wajib bagi Allah ada tiga, yaitu; wujud, wahdaniyyah, dan kesempurnaan.Ilmu tentang apa yang boleh bagi Allah adalah menciptakan semesta dan membinasakannya, serta mengembalikannya lagi setelah binasa.Sedangkan ilmu tentang apa yang mustahil bagi Allah ada tiga, yaitu; penyerupaan Tuhan (tasybih), persekutuan Tuhan (syarik), dan kekurangan Tuhan (naqais).Ilmu yang dimaksudkan Ibnu Tumart pada teks di atas dapat disimpulkan dalam koridor ilmu kalam dan tampaknya Ibnu Tumart mendahulukan kewajiban berilmu daripada ibadah. Karena baginya ilmu ini adalah fondasi bagi kesempurnaan iman seseorang. Maka tidak diterima ibadah-ibadah mu jika tidak dibungkus dengan keimanan dan keikhlasan. Sedangkan iman dan ikhlas hanya dapat dicapai dengan ilmu.[footnoteRef:18] [18: Yusuf Ihnana, Tathawwur al-madzhab al-Asyari fi al-Gharbi al-Islami, hal. 118-119]

Dengan mengutamakan ilmu kalam terlebih dahulu dari semua iman, ini juga menunjukkan bahwa Ibnu Tumart condong ke mazhab Asyari yang pada umumnya menjadikan hal ini sebagai kewajiban setiap muslim dan tidak cukup secara kolektif. Dari sekian ulama besar yang mewajibkan ilmu sebelum iman di antaranya Abu Ishaq al-Isfirayani, Imam al-Baqillani, Imam al-Juwaini dan lainnya.