54
Cultural Studies, Multiculturalism and Media Culture (Ekstensi dan Refleksi Kritis atas Pemikiran Kritis artikel Douglas Kellner dengan judul yang sama) ( AG. Eka Wenats Wuryanta/0806402515) Wacana kebudayaan adalah wacana yang tidak pernah habis untuk dibahas. Perkembangan kebudayaan modern juga menjadi tonggak telaah kritis di dalamnya, belum lagi ketika kebudayaan disebarkan dan ”menunggangi kuda hitam” yang sering disebut dengan media massa kontemporer yang dengan kecanggihan teknologi mampu melakukan penetrasi yang dramatis dalam kehidupan kontemporer. Dapat dikatakan bahwa media massa modern selain menjadi ”medium atau tool”, rupanya media mampu menjadi ”pesan” itu sendiri (lih. McLuhan dengan sebutan medium is a message) atau malah menjadi ”sang komunikator” itu sendiri. Selain bahwa media merupakan alat representasi sosial, media massa melalui gambar-gambarnya memberikan ruang perspektif manusia 1 | e k a / m e d i a - p o s m o / u a s - u i

Multiculturalism, Postmodernism and Media

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Multiculturalism, Postmodernism and Media

Cultural Studies, Multiculturalism and Media

Culture

(Ekstensi dan Refleksi Kritis atas Pemikiran Kritis artikel Douglas

Kellner dengan judul yang sama)

( AG. Eka Wenats Wuryanta/0806402515)

Wacana kebudayaan adalah

wacana yang tidak pernah habis untuk

dibahas. Perkembangan kebudayaan

modern juga menjadi tonggak telaah

kritis di dalamnya, belum lagi ketika

kebudayaan disebarkan dan

”menunggangi kuda hitam” yang sering

disebut dengan media massa

kontemporer yang dengan kecanggihan

teknologi mampu melakukan penetrasi

yang dramatis dalam kehidupan

kontemporer. Dapat dikatakan bahwa

media massa modern selain menjadi

”medium atau tool”, rupanya media

mampu menjadi ”pesan” itu sendiri (lih.

McLuhan dengan sebutan medium is a

message) atau malah menjadi ”sang

komunikator” itu sendiri.

Selain bahwa media merupakan

alat representasi sosial, media massa

melalui gambar-gambarnya

memberikan ruang perspektif manusia

1 | e k a / m e d i a - p o s m o / u a s - u i

Page 2: Multiculturalism, Postmodernism and Media

untuk membentuk cara pandangnya

terhadap dunia berikut nilai-nilai yang

ada di dalamnya. Media massa melalui

wacananya menyediakan simbol, mitos

dan ”oase” kebudayaan dalam sistem

sosial masyarakat. Media massa melalui

performa dan kinerja tontonan-

tontonannya meredefinisikan siapa

yang berkuasa dan siapa yang harus

dikuasai, siapa yang patut menjadi

korban dan siapa yang perlu

dipinggirkan.

Dalam wacana kritis kajian

budaya, media massa diperlihatkan

sebagai entitas yang mampu

membujuk. Tidak hanya membujuk, tapi

juga mendidik dan mendikte tentang

selera minum sampai selera pakaian

yang harus dipakai untuk kesempatan

tertentu, Mendikte dari masalah

makanan apa yang dikonsumsi tubuh

dengan golongan darah tertentu sampai

masalah shampoo apa yang cocok

dengan rambut kita masing-masing.

Oleh sebab itu, pembahasan

kajian budaya menjadi sangat penting

karena kontribusi dan isu budaya yang

berkembang sampai sekarang,

termasuk di dalam bagaimana kita

harus mengkritisi fenomena

2 | e k a / m e d i a - p o s m o / u a s - u i

Page 3: Multiculturalism, Postmodernism and Media

kebudayaan keseharian kita sampai

kemampuan kita untuk mendefinisikan

posisi sosial dalam konteks dan wilayah

kultur tertentu.

Posmodernisme: Sebagai Aras

Dasar Cultural Studies.

Fenomena postmodern mencakup

banyak dimensi dari masyarakat

kontemporer. Pada intinya, Postmodern

adalah suasana intelektual atau "isme"-

postmodernisme. Para ahli saling

berdebat untuk mencari aspek-aspek

apa saja yang termasuk dalam

postmodernism. Tetapi mereka telah

mencapai kesepakatan pada satu butir:

fenomena ini menandai berakhirnya

sebuah cara pandang universal. Etos

postmodern menolak penjelasan yang

harmonis, universal, dan konsisten.

Mereka menggantikan semua ini

dengan sikap hormat kepada perbedaan

dan penghargaan kepada yang khusus

(partikular dan lokal) serta membuang

yang universal. Postmodernisme

menolak penekanan kepada penemuan

ilmiah melalui metode sains, yang

merupakan fondasi intelektual dari

modernisme untuk menciptakan dunia

yang lebih baik. Pada dasarnya,

3 | e k a / m e d i a - p o s m o / u a s - u i

Page 4: Multiculturalism, Postmodernism and Media

postmodernisme adalah anti-modern.

Sebenarnya postmodernisme telah

mengalami masa-masa inkubasi yang

cukup lama. Meskipun para ahli saling

berdebat mengenai siapakah yang

pertama kali menggunakan istilah

tersebut, terdapat kesepakatan bahwa

istilah tersebut muncul pada suatu

waktu pada tahun 1930-an.

Salah satu pemikir

postmodernisme, Charles Jencks,

menegaskan bahwa lahirnya konsep

postmodernisme adalah dari tulisan

seorang Spanyol Frederico de Onis.

Dalam tulisannya "Antologia de la

poesia espanola e hispanoamericana"

(1934), de Onis memperkenalkan istilah

tersebut untuk menggambarkan reaksi

dalam lingkup modernisme.

Yang lebih sering dianggap

sebagai pencetus istilah tersebut adalah

Arnold Toynbee, dengan bukunya yang

terkenal berjudul "Study of History".

Toynbee yakin benar bahwa sebuah era

sejarah baru telah dimulai, meskipun

Toynbee sendiri berubah pikirannya

mengenai awal munculnya, entah pada

saat Perang Dunia I berlangsung atau

semenjak tahun 1870-an.

4 | e k a / m e d i a - p o s m o / u a s - u i

Page 5: Multiculturalism, Postmodernism and Media

Menurut analisa Toynbee, era

postmodern ditandai dengan

berakhirnya dominasi Barat dan

semakin merosotnya individualisme,

kapitalisme, dan Kekristenan. Ia

mengatakan bahwa transisi ini terjadi

ketika peradaban Barat bergeser ke

arah irasionalitas dan relativisme. Ketika

hal ini terjadi, kekuasaan berpindah dari

kebudayaan Barat ke kebudayaan non-

Barat dan muncullah kebudayaan dunia

pluralis yang baru.

Meskipun istilah ini muncul pada

tahun 1930-an, postmodernisme

sebagai sebuah fenomena kultural

belum menjadi sebuah momentum

sampai 40 tahun setelahnya. Ia muncul

pertama-tama dalam lingkup kecil

masyarakat. Selama tahun 1960-an,

suasana yang menandai

postmodernisme sangat menarik bagi

para seniman, arsitek, dan pemikir yang

sedang mencari alternatif untuk

melawan dominasi kebudayaan modern.

Bahkan beberapa teolog ikut tertarik

dengan trend tersebut, antara lain

William Hamilton dan Thomas J.J. Altizer

yang "mengundang arwah" Nietzsche

untuk memberitakan matinya Allah.

Perkembangan yang beraneka ragam ini

5 | e k a / m e d i a - p o s m o / u a s - u i

Page 6: Multiculturalism, Postmodernism and Media

membuat "pengamat kebudayaan"

Leslie Fiedler pada tahun 1965

menambahkan istilah "post" kepada

kata modern sehingga menjadi

postmodernisme yang menjadi simbol

kontra-kultural pada zaman itu.

Selama tahun 1970-an tantangan

postmodern menembus kepada arus

budaya utama. Pada pertengahan tahun

tersebut, muncullah seorang pembela

postmodern yang paling konsisten

mempropagandakan ide postmodern,

yakni: Ihab Hassan. Ia menghubungkan

postmodernisme dengan

eksperimentalisme dalam bidang seni

dan ultra teknologi dalam bidang

arsitektur.

Tetapi etos postmodern secara

tepat menjalar terus ke bidang-bidang

lain. Profesor-profesor di universitas

dalam berbagai fakultas mulai berbicara

mengenai postmodernisme. Bahkan

beberapa di antara mereka tenggelam

dalam konsep-konsep postmodern.

Akhirnya penerimaan etos baru

begitu menjalar terus ke mana-mana

sehingga istilah "postmodern" menjadi

label yang digunakan bagi berbagai

fenomena sosial dan budaya.

Gelombang postmodern menyeret

6 | e k a / m e d i a - p o s m o / u a s - u i

Page 7: Multiculturalism, Postmodernism and Media

berbagai aspek kebudayaan dan

beberapa disiplin ilmu, khususnya

sastra, arstektur, film, dan filsafat.

Pada tahun 1980-an, pergeseran

dari lingkup kecil kepada lingkup besar

terjadi. Secara bertahap, suasana

postmodern menyerang budaya pop

bahkan juga hidup sehari-hari

masyarakat. Konsep-konsep postmodern

bahkan bukan hanya diterima tetapi

populer: sangat menyenangkan menjadi

seorang postmodern. Akibatnya, para

kritikus kebudayaan dapat berbicara

mengenai "nikmatnya menjadi seorang

postmodern." Ketika postmodernisme

diterima sebagai bagian dari

kebudayaan, lahirlah postmodernitas.

Tetapi kata "postmodern"

mencakup lebih dari sekedar suasana

intelektual. Penolakan postmodernisme

terhadap rasionalitas terwujud dalam

banyak dimensi dari masyarakat kini.

Tahun-tahun belakangan ini, pola pikir

postmodern terwujud dalam banyak

aspek kebudayaan, termasuk arsitektur,

seni, dan drama. Postmodernisme telah

merasuk ke dalam seluruh masyarakat.

Kita dapat mencium pergeseran dari

modern kepada postmodern dalam

budaya pop, mulai dari video musik

7 | e k a / m e d i a - p o s m o / u a s - u i

Page 8: Multiculturalism, Postmodernism and Media

sampai kepada serial Star Trek. Tidak

terkecuali, hal-hal seperti spiritualitas

dan cara berpakaian juga terpengaruh.

Postmoderisme menunjuk kepada

suasana intelektual dan sederetan

wujud kebudayaan yang meragukan

ide-ide, prinsip-prinsip dan nilai-nilai

yang dianut oleh modernisme.

Postmodernitas menunjuk kepada era

yang sedang muncul, era di mana kita

hidup, zaman di mana postmodernisme

mencetak masyarakat kita.

Postmodernitas adalah era di mana ide-

ide, sikap-sikap, dan nilai-nilai

postmodern bertahta - ketika

postmodernisme membentuk

kebudayaan. Inilah era masyarakat

postmodern. Tujuan kita dalam bab ini

adalah melihat dari dekat fenomena

postmodern dan memahami sedikit

tentang etos postmodernisme. Apakah

tanda-tanda ekspresi budaya dan

dimensi hidup sehari-hari dari "generasi

mendatang ini?" Apakah buktinya

bahwa pola pikir baru sedang menyerbu

kehidupan masyarakat sekarang ini?

Ciri utama budaya postmodern

adalah pluralisme. Untuk merayakan

pluralisme ini, para seniman

postmodern mencampurkan berbagai

8 | e k a / m e d i a - p o s m o / u a s - u i

Page 9: Multiculturalism, Postmodernism and Media

komponen yang saling bertentangan

menjadi sebuah karya seni. Teknik seni

yang demikian bukan hanya merayakan

pluralisme, tetapi merupakan reaksi

penolakan terhadap dominasi rasio

melalui cara yang ironis. Buah karya

postmodernisme selalu ambigu

(mengandung dua makna). Kalaupun

para seniman ini menggunakan sedikit

gaya modern, tujuannya adalah

menolak atau mencemooh sisi-sisi

tertentu dari modernisme.

Post-modernisme adalah

campuran antara macam-macam tradisi

dan masa lalu. Post-Modernisme adalah

kelanjutan dari modernisme, sekaligus

melampaui modernisme. Ciri khas

karya-karyanya adalah makna

ganda,ironi, banyaknya pilihan, konflik,

dan terpecahnya berbagai tradisi,

karena heterogenitas sangat memadai

bagi pluralisme.

Salah satu tehnik campuran yang

sering digunakan adalah "collage".

"Collage" menawarkan suatu cara

alamiah untuk mencampurkan bahan-

bahan yang saling bertentangan.

"Collage" menjadi wahana kritik

postmodern terhadap mitos

pengarang/seniman tunggal. Teknik

9 | e k a / m e d i a - p o s m o / u a s - u i

Page 10: Multiculturalism, Postmodernism and Media

lainnya adalah "bricolage", yaitu:

penyusunan kembali berbagai objek

untuk menyampaikan pesan ironis bagi

situasi masa kini.

Seniman postmodern

menggunakan berbagai gaya yang

mencerminkan suatu eklektisisme yang

diambil dari berbagai era dalam sejarah.

Seniman umumnya menganggap cara

demikian harus ditolak karena

menghancurkan keutuhan gaya-gaya

historis. Para kritikus tersebut

menyalahkan gaya postmodern karena

tidak ada ke dalaman atau keluasan,

melanggar batas sejarah hanya demi

memberikan kesan untuk masa kini.

Gaya dan historis dibuat saling tumpang

tindih. Mereka mendapatkan

postmodernisme sangat kurang dalam

orisinalitas dan tidak ada gaya sama

sekali.

Namun ada prinsip lebih

mendalam yang ditampilkan melalui

ekspresi budaya postmodernisme.

Maksud dan tujuan karya-karya

postmodernisme bukanlah asal-asalan

saja. Sebaliknya postmodern berusaha

menyingkirkan konsep mengenai

"seorang pengarang atau pelukis asli

yang merupakan pencetus suatu karya

10 | e k a / m e d i a - p o s m o / u a s - u i

Page 11: Multiculturalism, Postmodernism and Media

seni". Mereka berusaha menghancurkan

ideologi "gaya tunggal" dari

modernisme dan menggantikannya

dengan budaya "banyak gaya". Untuk

mencapai maksud tersebut, para

seniman ini memperhadapkan para

peminatnya dengan beraneka ragam

gaya yang saling bertentangan dan

tidak harmonis. Teknik ini - yang

mencabut gaya dari akar sejarahnya -

dianggap sebagai sesuatu yang aneh

dan berusaha meruntuhkan sejarah.

Seniman-seniman postmodern

sangat berpengaruh bagi budaya Barat

masa kini. Pencampuran gaya, dengan

penekanan kepada keanekaragaman,

dan penolakan kepada rasionalitas

menjadi ciri khas masyarakat kita. Ini

semakin terbukti dalam banyak ekspresi

kebudayaan lainnya.

CS adalah Cultural Studies

Cultural Studies (selanjutnya

disingkat CS, red.) merupakan kajian

yang dikembangkan oleh mazhab

Birmingham terutama oleh Centre for

Contemporary Cultural Studies yang

mengembangkan metode kritis pada

analisis, interpretasi dan kritisisme

11 | e k a / m e d i a - p o s m o / u a s - u i

Page 12: Multiculturalism, Postmodernism and Media

artifak budaya (umumnya artifak

budaya kontemporer). Mazhab ini

berfokus pada kajian interplay sosial

dari representasi serta ideologi dalam

teks budaya terutama dalam budaya

media. CS memfokuskan diri pada

hubungan antara relasi-relasi sosial

dengan makna-makna. Berbeda dengan

"kritik kebudayaan" yang memandang

kebudayaan sebagai bidang seni,

estetika, dan nilai-nilai moral/kreatif,

kajian budaya berusaha mencari

penjelasan perbedaan kebudayaan dan

praktek kebudayaan tidak dengan

menunjuk nilai-nilai intrinsik dan abadi

(how good?), tetapi dengan menunjuk

seluruh peta relasi sosial (in whose

interest?)

Yang jelas adalah CS lebih ingin

melihat sejauh mana budaya dengan

segala produk-produk mampu

membentuk cara pandang, tindakan

bahkan identitas personal atau

kelompok sosial tertentu. Mazhab ini

juga memperlihatkan bagaimana ikhwal

dan pertarungan ideologi dalam setiap

budaya termasuk dalamnya isu

resistensi budaya lokal dengan budaya

narasi besar atau mainstream culture.

12 | e k a / m e d i a - p o s m o / u a s - u i

Page 13: Multiculturalism, Postmodernism and Media

Celah perspektif CS yang

sedemikian luas juga memperlihatkan

bahwa kebudayaan perlu dilihat dalam

sistem relasi sosial, ekonomi dan politik.

Dalam pengertian ini, CS juga

menunjukkan bahwa budaya media

mengartikulasi atau bahkan

mengamplifikasikan nilai dominan,

ideologi politik dan pembangunan

sosial. CS menyediakan perangkat

metodis yang dimanfaatkan untuk

membaca dan menginterpretasikan

gejala budaya (termasuk di dalamnya

budaya media) secara kritis. Maka tidak

mengherankan apabila CS membuka

kemungkinan-kemungkinan kajian kritis

terhadap semua fenomena atau gejala

yang nampak yang berhubungan

dengan kebudayaan kontemporer.

Hanya memang dalam

perkembangan dan peragaman wacana

CS, CS secara instrinsik mempunyai

dimensi kritis dan politis pada setiap

pendekatan dan usaha untuk

memahami serta menginterpretasikan

hubungan antara budaya dan

masyarakat. Bidang ilmu pengetahuan

yang relatif baru ini dengan sengaja

mengambil kata majemuk sebagai

penamaan diri, yakni studies (kajian-

13 | e k a / m e d i a - p o s m o / u a s - u i

Page 14: Multiculturalism, Postmodernism and Media

kajian), bukannya study (kajian).

Penamaan ini dengan sendirinya

menyiratkan sikap dan positioning para

penggagas CS terhadap kondisi ilmu

pengetahuan di era modern yang

terkotak-kotak, saling mengklaim

kebenaran, meskipun lambat laun

dimengerti juga bahwa kebenaran yang

dihasilkan disiplin ilmu pengetahuan

bersifat parsial. Kondisi semacam itu

dijawab oleh CS dengan menempuh

strategi inter dan multidisipliner. CS

memasukkan kontribusi teori maupun

metode dari berbagai disiplin ilmu yang

dipandang strategis untuk

mengedepankan realita kehidupan

umat manusia maupun representasinya

yang dipandang krusial dalam

kehidupan mutakhir. Karena CS

merupakan bidang keilmuan yang multi,

maka wilayah kajian, pendekatan, teori

dan konsep, maupun pendekatan

metodologisnya pun sangat bervariasi;

sehingga tidak mungkin dibahas

selengkap-lengkapnya dalam paper ini.

Salah satu ciri terpenting CS

adalah pemahamannya terhadap dunia

sehari-hari sebagai bagian dari budaya

yang perlu dicermati. Hal-hal yang biasa

dilakukan, dirasakan, diomongkan,

14 | e k a / m e d i a - p o s m o / u a s - u i

Page 15: Multiculturalism, Postmodernism and Media

didengar, dilihat, digunjingkan, dalam

kehidupan sehari-hari oleh orang

kebanyakan merupakan wilayah amatan

CS. Budaya bukanlah yang adiluhung

saja. Pemahaman serupa ini sebenarnya

tidak jauh berbeda dari pemahaman

antropologis atas budaya sebagai

keseluruhan cara hidup (way of life)

sekelompok masyarakat. Salah satu

pondasi terpenting bagi pendekatan

yang memandang budaya sebagai

kegiatan sehari-hari

adalahpemahaman tentang konstruksi

sosial atas realita (the social

construction of reality). Dalam

perspektif ini realitas dipahami dan

diabaikan, diperbincangkan dan

dilupakan, dihidupi atau dimatikan,

dikelola atau dirusak, dimanfaatkan

atau dihindari, berdasarkan sistem

konstruksi yang beredar di kalangan

warga masyarakat. ‘Tugas’ CS

adalah membongkar dan memaparkan

unsur-unsur penyusun konstruk

tersebut dan cara kerjanya, agar

manusia sebagai subyek dapat

melibatkan diri secara aktif dalam dunia

konstruksi.

Dalam era teknologi informasi

dewasa ini perhatian CS terhadap

15 | e k a / m e d i a - p o s m o / u a s - u i

Page 16: Multiculturalism, Postmodernism and Media

masalah konstruksi sosial atas realita

telah mengarahkan perhatian mereka

pada media komunikasi massa,

khususnya televisi – namun, sebenarnya

juga pada film, internet, handphone,

radio, koran, majalah, poster, kotbah

atau pidato, gosip, dan sebagainya.

Persoalan yang diajukan adalah perihal

kaitan antara representasi dan media

yang digunakan.

Komponen Pokok CS

Kellner menyatakan bahwa CS

mempunyai tiga komponen pokok yang

menjadi dasar pengembangan dan

wacana dalam CS.

Pertama adalah masalah produksi

dan ekonomi politik budaya. Komponen

ini menyiratkan bahwa analisa

kebudayaan, yang utamanya adalah

analisis dalam simbol dan teks, tidak

bisa memisahkan diri dari sistem

produksi, distribusi dan ekonomi politik

kebudayaan. Pertimbangan politik dan

ekonomi rupanya menjadi

pertimbangan melekat pada produksi

dan distribusi budaya itu sendiri (hal

mana akan sangat terlihat dalam

budaya media). Studi ekonomi politik

16 | e k a / m e d i a - p o s m o / u a s - u i

Page 17: Multiculturalism, Postmodernism and Media

membantu untuk menentukan

keterbatasan jangkauan dan efek

ideologi dalam setiap wacana budaya

kontemporer. Hal tersebut tentunya

dipengaruhi dari posisi dasar

pemahaman bahwa globalisasi dan

industrialisasi budaya menempatkan

budaya itu sendiri sebagai komoditas

dan berada dalam jejaring global yang

berkekuatan kapital.

Kedua adalah komponen analisa

tekstual. Analisa tekstual menjadi

penting karena teks merupakan artifak

yang menyimpan rekaman ideologi dan

cara pandang dalam konteks budaya.

Hal ini menjadikan rentang yang

panjang pada studi teks yang tidak

berhenti pada pendekatan atau

metodologi yang bersifat positivistik

tapi juga dalam paradigma interpretatif

dan kritis. Dalam point ini, juga

dikatakan bahwa analisa tekstual ingin

juga memahami kritik bagaimana

makna budaya terkandung dan

terekspresikan dalam bentuk-bentuk

ideologi yang ditawarkan dalam media.

Analisa tekstual juga memberikan ruang

yang lebih luas dalam memahami teks

dalam cara pandang yang lebih holistik

sehingga tidak menutup kemungkinan

17 | e k a / m e d i a - p o s m o / u a s - u i

Page 18: Multiculturalism, Postmodernism and Media

bahwa analisis tekstual dilakukan dalam

perspektif yang luas dan beragam.

Ketiga adalah masalah resepsi

khalayak dan penggunaan budaya

media. Komponen ini menyatakan

kekuatan teks yang menjadi subjek

dalam CS. Keragaman perspektif dibuka

selebar mungkin sehingga dalam hal ini

khalayak merupakan pembaca. Ingat

Derrida yang mengatakan “The Author

is Dead”. Tidak mengherankan juga

bahwa identitas dan realitas merupakan

konstruksi yang dibuat oleh khalayak.

Budaya media menyediakan bahan bagi

individu untuk menciptakan identitas

dan pemaknaan sehingga bisa

dimanfaatkan dalam bentuk-bentuk

budaya. Hal ini menandakan bahwa

akhirnya CS tidak mempunyai sifat yang

monolitik dalam kajiannya melainkan

multidimensi dan idyosinkratik. Posisi

subjek yang menengari,

menginterpretasikan sekaligus

mereproduksi budayanya akan

menghasilkan budaya yang mempunyai

sifat subjektif posisional (diri, gender,

umur-kelompok, keluarga, kelas, bangsa

dan etnisitas).

18 | e k a / m e d i a - p o s m o / u a s - u i

Page 19: Multiculturalism, Postmodernism and Media

Wacana Derivatif CS (1):

Representasi

Representasi adalah konsep yang

mempunyai beberapa pengertian. Ia

adalah proses sosial dari 'representing'.

Ia juga produk dari proses sosial

'representing'. Representasi menunjuk

baik pada proses maupun produk dari

pemaknaan suatu tanda. Representasi

juga bisa berarti proses perubahan

konsep-konsep ideologi yang abstrak

dalam bentuk-bentuk yang kongkret.

Jadi, pandangan-pandangan hidup kita

tentang perempuan, anak-anak, atau

laki-laki misalnya, akan dengan mudah

terlihat dari cara kita memberi hadiah

ulang tahun kepada teman-teman kita

yang laki-laki, perempuan dan anak-

anak. Begitu juga dengan pandangan-

pandangan hidup kita terhadap cinta,

perang, dal lain-lain akan tampak dari

hal-hal yang praktis juga. Representasi

adalah konsep yang digunakan dalam

proses sosial pemaknaan melalui sistem

penandaan yang tersedia: dialog,

tulisan, video, film, fotografi, dsb.

Secara ringkas, representasi adalah

produksi makna melalui bahasa.

Menurut Stuart Hall (1997),

representasi adalah salah satu praktek

19 | e k a / m e d i a - p o s m o / u a s - u i

Page 20: Multiculturalism, Postmodernism and Media

penting yang memproduksi

kebudayaan. Kebudayaan merupakan

konsep yang sangat luas, kebudayaan

menyangkut 'pengalaman berbagi'.

Seseorang dikatakan berasal dari

kebudayaan yang sama jika manusia-

manusia yang ada disitu membagi

pengalaman yang sama, membagi

kode-kode kebudayaan yang sama,

berbicara dalam 'bahasa' yang sama,

dan saling berbagi konsep-konsep yang

sama.

Bahasa adalah medium yang

menjadi perantara kita dalam

memaknai sesuatu, memproduksi dan

mengubah makna. Bahasa mempu

melakukan semua ini karena ia

beroperasi sebagai sistem representasi.

Lewat bahasa (simbol-simbol dan tanda

tertulis, lisan, atau gambar) kita

mengung-kapkan pikiran, konsep, dan

ide-ide kita tentang sesuatu. Makna

sesuatu hal sangat tergantung dari cara

kita 'merepresentasikannya'. Dengan

mengamati kata-kata yang kita gunakan

dan imej-imej yang kita gunakan dalam

merepresenta-sikan se-suatu bisa

terlihat jelas nilai-nilai yang kita berikan

pada se-suatu tersebut.

20 | e k a / m e d i a - p o s m o / u a s - u i

Page 21: Multiculturalism, Postmodernism and Media

Untuk menjelaskan bagaimana

representasi makna lewat bahasa

bekerja, kita bisa memakai tiga teori

representasi yang dipakai sebagai

usaha untuk menjawab pertanyaan:

darimana suatu makna berasal? Atau

bagaimana kita membedakan antara

makna yang sebenarnya dari sesuatu

atau suatu imej dari sesuatu?

Yang pertama adalah pendekatan

reflektif. Di sini bahasa berfungsi

sebagai cermin, yang merefleksikan

makna yang sebenarnya dari segala

sesuatu yang ada di dunia. Kedua

adalah pendekatan intensional, dimana

kita menggunakan bahasa untuk

mengkomunikasikan sesuatu sesuai

dengan cara pandang kita terhadap

sesuatu. Sedangkan yang ketiga adalah

pendekatan konstruksionis. Dalam

pendekatan ini kita percaya bahwa kita

mengkonstruksi makna lewat bahasa

yang kita pakai.

Menurut Stuart Hall, ada dua

proses representasi. Pertama,

representasi mental. Yaitu konsep

tentang 'sesuatu' yang ada di kepala

kita masing-masing (peta konseptual).

Representasi mental ini masih

berbentuk sesuatu yang abstrak. Kedua,

21 | e k a / m e d i a - p o s m o / u a s - u i

Page 22: Multiculturalism, Postmodernism and Media

'bahasa', yang berperan penting dalam

proses konstruksi makna. Konsep

abstrak yang ada dalam kepala kita

harus diterjemahkan dalam 'bahasa'

yang lazim, supaya kita dapat

menghubungkan konsep dan ide-ide

kita tentang sesuatu dengan tanda dan

simbol-simbol tertentu.

Proses pertama memungkinkan

kita untuk memaknai dunia dengan

mengkonstruksi seperangkat rantai

korespondensi antara sesuatu dengan

sistem 'peta konseptual' kita. Dalam

proses kedua, kita mengkonstruksi

seperangkat rantai korespondensi

antara 'peta konseptual' dengan bahasa

atau simbol yang berfungsi

merepresentasikan konsep-konsep kita

tentang sesuatu. Relasi antara

'sesuatu', ‘peta konseptual', dan

'bahasa/simbol' adalah jantung dari

produksi makna lewat bahasa. Proses

yang menghubungkan ketiga elemen ini

secara bersama-sama itulah yang kita

namakan: representasi.

Konsep representasi bisa

berubah-ubah. Selalu ada pemaknaan

baru dan pandangan baru dalam konsep

representasi yang sudah pernah ada.

Karena makna sendiri juga tidak pernah

22 | e k a / m e d i a - p o s m o / u a s - u i

Page 23: Multiculturalism, Postmodernism and Media

tetap, ia selalu berada dalam proses

negosiasi dan disesuaikan dengan

situasi yang baru. Intinya adalah:

makna tidak inheren dalam sesuatu di

dunia ini, ia selalu dikonstruksikan,

diproduksi, lewat proses representasi. Ia

adalah hasil dari praktek penandaan.

Praktek yang membuat sesuatu hal

bermakna sesuatu.

Wacana Derivatif CS (2): Budaya

sebagai Arena Pertarungan Ideologi

- Kekuasaan

Di samping itu, perspektif atau

cara pandang CS juga ditandai dengan

adanya kesadaran tentang kehadiran

relasi kuasa (power relations) tak

berimbang di antara para pelaku

budaya, yang terwujud melalui relasi

kuasa ekonomis, politis, ideologis,

keagamaan, pendidikan, magis; di

samping jasmaniah. Perhatian CS

terutama diberikan pada kelompok atau

individu pelaku budaya yang

terpinggirkan (marginalized), yang

suaranya tidak didengarkan, yang

kehadirannya diabaikan. Berkaitan

dengannya, beberapa konsep

terpenting dalam pendekatan konstruksi

sosial atas realita adalah hegemoni dan

23 | e k a / m e d i a - p o s m o / u a s - u i

Page 24: Multiculturalism, Postmodernism and Media

identitas. Selanjutnya pemihakan pada

yang terpinggirkan membawa CS pada

pemikiran, strategi dan praktik

resistensi.

Dalam hal metodologi, CS secara

garis besar ditandai dengan gabungan

antara metode dekonstruktif (mengurai

unsur-unsur pembentuk struktur)

dengan analisis teksutal (membedah

struktur teks atau bentuk ekspresi),

metode etnografi (penggambaran rinci

berdasarkan kacamata pemilik budaya),

analisa respesi (komunikasi dipahami

sebagai peristiwa interaktif antara

sender dan reseptor yang dijembatani

oleh media tertentu dalam konteks

tertentu), dan meletakkan teori pada

tingkatan praxis (‘teori’ yang

dipraktikkan – theory of practice).

Konsep sentral yang menyolok

ada dalam pembahasan CS adalah

masalah ideologi. Hal ini terjadi karena

ranah ideologi tidak berhenti pada

ranah politik melainkan juga bergerak

pada domain sosial dan budaya

kontemporer (dominasi dan subordinasi

sosial). Sifat kelenturan dan global dari

sistem sosial masyarakat modern

membuat bahwa ideologi tidak lagi

menjadi entitas yang kaku melainkan

24 | e k a / m e d i a - p o s m o / u a s - u i

Page 25: Multiculturalism, Postmodernism and Media

menjadi entitas yang dinamis seturut

dinamika masyarakat itu sendiri.

Ketika CS banyak berbicara

tentang representasi maka ada

kecenderungan bahwa program-

program yang dibawa oleh CS akan

bersifat multikultural. Ini berarti bahwa

CS memperlihatkan bagaimana budaya

memproduksi bentuk-bentuk budaya

yang nantinya akan meramaikan diskusi

tentang peripherial narratives.

Banyak karya CS memahami

komunikasi sebagai tindakan produksi

makna, dan bagaimana sistem-sistem

makna dinegosiasikan oleh pemakainya

dalam kebudayaan. Kebudayaan bisa

pula dimengerti sebagai totalitas

tindakan komunikasi dan sistem-sistem

makna. Posisi seseorang dalam

kebudayaan akan ditentukan oleh

'kemelek-budayaan' (cultural literacy),

yaitu pengetahuan akan sistem-sistem

makna dan kemampuannya untuk

menegosiasikan sistem-sistem itu

dalam berbagai konteks budaya.

Pandangan yang melihat

komunikasi sebagai sebuah tindakan

budaya, yang memerlukan berbagai

bentuk kemelek-hurufan budaya, sangat

dipengaruhi oleh pemikiran sosiolog

25 | e k a / m e d i a - p o s m o / u a s - u i

Page 26: Multiculturalism, Postmodernism and Media

Perancis Pierre Bourdieu. Ide-idenya

sangat berguna karena ia mengatakan

bahwa 'tindakan' (practice) atau apa

yang secara aktual dilakukan

seseorang, merupakan bentukan dari

(dan sekaligus respon terhadap) aturan-

aturan dan konvensi-konvensi budaya.

Salah satu cara memahami

hubungan kebudayaan dengan tindakan

adalah mengikuti pengandaian Bourdieu

tentang perjalanan dan peta.

Kebudayaan adalah peta sebuah

tempat, sekaligus perjalanan menuju

tempat itu. Peta adalah aturan dan

konvensi, sedangkan perjalanan adalah

tindakan aktual. Apa yang disebut

dengan kemelek-hurufan budaya adalah

"perasaan" untuk menegosiasikan

aturan-aturan budaya itu, yang

bertujuan untuk memilih jalan kita

dalam kebudayaan. Tindakan adalah

performance dari kemelek-hurufan

budaya.

Kemelek-hurufan budaya

misalnya dapat dilihat dalam sebuah

film Jepang Tampopo, dalam adegan

ketika sekolompok pebisnis Jepang

makan bersama di sebuah restoran

Perancis yang mahal. Perilaku kelompok

dalam budaya bisnis Jepang dikenal

26 | e k a / m e d i a - p o s m o / u a s - u i

Page 27: Multiculturalism, Postmodernism and Media

bersifat sangat hirarkis. Dalam acara

makan bersama macam ini, kebiasaan

yang umum berlaku adalah seseorang

yang dianggap superior dalam

kelompok akan terlebih dulu memesan

makanan, kemudian orang lain tinggal

mengikutinya saja.

Kebiasaan itu jadi berubah ketika

mereka harus "tampil" di sebuah

restoran Perancis, yang tentu saja

menuntut kemelek-hurufan dalam

makanan dan anggur Perancis.

Seseorang yang dianggap pemimpin

dalam kelompok ini ternyata buta huruf

dalam wilayah ini: ia tak mengenal dan

tak bisa membayangkan makanan yang

terdaftar di menu. Ia juga tak tahu

bagaimana menyesuaikan jenis anggur

dengan jenis makanan yang dipilih.

Akhirnya ia memesan makanan dan

anggur sekenanya. Semua anggota

kelompok ini, kecuali satu orang saja,

sama-sama buta hurufnya dan memilih

hidangan dengan mengikuti pilihan

pemimpinnya.

Pesanan terakhir dari seorang

pebisnis muda, sangat berbeda dengan

pesanan lainnya. Pesanannya

menunjukkan bahwa ia sangat melek

huruf dalam makanan dan anggur

27 | e k a / m e d i a - p o s m o / u a s - u i

Page 28: Multiculturalism, Postmodernism and Media

Perancis. Ia tampak tenang

mengahadapi menu, membaca dan

menganalisisnya, dan menunjukkan

betapa ia sangat tahu akan semua yang

dilakukannya. Ia berbicara sebentar

dengan pelayan, mengajukan beberapa

pertanyaan "bermutu", dan akhirnya

menjatuhkan pilihan yang sangat

"berselera". Semua koleganya sangat

terkesan dan ini membuka peluang

yang lebih baik buat si pebisnis muda

itu meningkatkan posisinya dalam dunia

bisnis.

Lantas bagaimana kemelek-

hurufan budaya diterjemahkan ke

dalam tindakan seseorang? Untuk

menjelaskannya, kita memerlukan 3

konsep lagi dari Bourdieu: 'medan

budaya' (cultural field), habitus, dan

'modal budaya' (cultural capital).

Bourdieu mendefinisikan medan

budaya sebagai institusi, nilai, kategori,

perjanjian, dan penamaan yang

menyusun sebuah hierarki objektif,

yang kemudian memproduksi dan

memberi "wewenang" pada berbagai

bentuk wacana dan aktivitas; dan

konflik antarkelompok atau

antarindividu yang muncul ketika

mereka bertarung untuk menentukan

28 | e k a / m e d i a - p o s m o / u a s - u i

Page 29: Multiculturalism, Postmodernism and Media

apa yang dianggap sebagai "modal" dan

bagaimana ia harus didistribusikan.

Yang disebut modal oleh Bourdieu

meliputi benda-benda material (yang

bisa mempunyai nilai simbolis),

prestise, status, otoritas, juga selera

dan pola konsumsi.

Kekuasaan yang dimiliki

seseorang dalam sebuah 'medan'

(field), ditentukan oleh posisinya dalam

medan itu, yang pada gilirannya akan

menentukan besarnya kepemilikan

modal. Kekuasaan itu digunakan untuk

menentukan hal-hal macam mana yang

bisa disebut modal (keaslian modal).

Modal selalu tergantung dan

terikat pada medan tertentu, ia bersifat

partikular. Dalam medan gaya hidup

remaja Indonesia sekarang misalnya,

pengenalan akan film dan musik

Amerika, kemampuan berbahasa gaul,

atau berdandan dengan gaya tertentu,

bisa disebut sebagai modal.

Bagaimanapun, kemampuan-

kemampuan ini, bukanlah modal,

misalnya saja, dalam medan pelayanan

diplomatik.

Pemahaman seseorang akan

modal berlangsung secara tak sadar,

karena menurut Bourdieu dengan cara

29 | e k a / m e d i a - p o s m o / u a s - u i

Page 30: Multiculturalism, Postmodernism and Media

begitulah ia akan berfungsi efektif.

Seperangkat pengetahuan, aturan,

hukum, dan kategori makna yang

ditanamkan secara tak sadar ini oleh

Bourdieu disebut habitus. Habitus

bersifat abstrak dan hanya muncul

berkaitan dengan putusan tindakan:

ketika seseorang dihadapkan pada

masalah, pilihan atau konteks. Dengan

begitu habitus bisa juga dimengerti

sebagai " feel of the game ".

Wacana Derivatif CS (3):

Multikulturalisme

Sejarah multikulturalisme adalah

sejarah masyarakat majemuk.

Amerika, Kanada, Australia adalah dari

sekian negara yang sangat serius

mengembangkan konsep dan teori-

teori mulikulturalisme dan juga

pendidikan multikultur. Ini dikarenakan

mereka adalah masyarakat imigran

dan tidak bisa menutup peluang bagi

imigran lain untuk masuk dan

bergabung di dalamnya. Akan tetapi,

negara-negara tersebut merupakan

contoh negara yang berhasil

mengembangkan masyarakat

multikultur dan mereka dapat

membangun identitas kebangsaannya,

dengan atau tanpa menghilangkan

30 | e k a / m e d i a - p o s m o / u a s - u i

Page 31: Multiculturalism, Postmodernism and Media

identitas kultur mereka sebelumnya,

atau kultur nenek moyangnya.

Dalam

sejarahnya, multikulturalisme diawali

dengan teori melting pot yang sering

diwacanakan oleh J Hector seorang

imigran asal Normandia. Dalam

teorinya Hector menekankan

penyatuan budaya dan melelehkan

budaya asal, sehingga seluruh imigran

Amerika hanya memiliki satu budaya

baru yakni budaya Amerika, walaupun

diakui bahwa monokultur mereka itu

lebih diwarnai oleh kultur White Anglo

Saxon Protestant (WASP) sebagai

kultur imigran kulit putih berasal

Eropa.

Kemudian, ketika komposisi etnik

Amerika semakin beragam dan budaya

mereka semakin majemuk, maka

teori melting pot kemudian dikritik

dan muncul teori baru yang populer

dengan nama salad bowl sebagai

sebuah teori alternatif dipopulerkan

oleh Horace Kallen. Berbeda

denganmelting pot yang melelehkan

budaya asal dalam membangun

budaya baru yang dibangun dalam

keragaman, Teori salad bowl atau teori

gado-gado tidak menghilangkan

31 | e k a / m e d i a - p o s m o / u a s - u i

Page 32: Multiculturalism, Postmodernism and Media

budaya asal, tapi sebaliknya kultur-

kultur lain di luar WASP diakomodir

dengan baik dan masing-masing

memberikan kontribusi untuk

membangun budaya Amerika, sebagai

sebuah budaya nasional. Pada

akhirnya, interaksi kultural antar

berbagai etnik tetap masing-masing

memerlukan ruang gerak yang leluasa,

sehingga dikembangkan teori Cultural

Pluralism, yang membagi ruang

pergerakan budaya menjadi dua, yakni

ruang publik untuk seluruh etnik

mengartikulasikan budaya politik dan

mengekspresikan partisipasi sosial

politik mereka. Dalam konteks ini,

mereka homogen dalam sebuah

tatanan budaya Amerika. Akan tetapi,

mereka juga memiliki ruang privat,

yang di dalamnya mereka

mengekspresikan budaya etnisitasnya

secara leluasa.

Dengan berbagai teori di atas,

bangsa Amerika berupaya

memperkuat bangsanya, membangun

kesatuan dan persatuan,

mengembangkan kebanggaan sebagai

orang Amerika. Namun pada dekade

1960-an masih ada sebagian

masyarakat yang merasa hak-hak

32 | e k a / m e d i a - p o s m o / u a s - u i

Page 33: Multiculturalism, Postmodernism and Media

sipilnya belum terpenuhi. Kelompok

Amerika hitam, atau imigran Amerika

latin atau etnik minoritas lainnya

merasa belum terlindungi hak-hak

sipilnya. Atas dasar itulah, kemudian

mereka

mengembangkanmulticulturalism,

yang menekankan penghargaan dan

penghormatan terhadap hak-hak

minoritas, baik dilihat dari segi etnik,

agama, ras atau warna kulit.

Multikulturalisme pada akhirnya

sebuah konsep akhir untuk

membangun kekuatan sebuah bangsa

yang terdiri dari berbagai latar

belakang etnik, agama, ras, budaya

dan bahasa, dengan menghargai dan

menghormati hak-hak sipil mereka,

termasuk hak-hak kelompok minoritas.

Sikap apresiatif tersebut akan dapat

meningkatkan partisipasi mereka

dalam membesarkan sebuah bangsa,

karena mereka akan menjadi besar

dengan kebesaran bangsanya, dan

mereka akan bangga dengan

kebesaran bangsanya itu.

Akar kata dari multikulturalisme

adalah kebudayaan. Pengertian

kebudayaan diantara para ahli harus

dipersamakan atau setidak-tidaknya

33 | e k a / m e d i a - p o s m o / u a s - u i

Page 34: Multiculturalism, Postmodernism and Media

tidak dipertentangkan antara satu

konsep yang dipunyai oleh seorang ahli

dengan konsep yang dipunyai oleh ahli

atau ahli-ahli lainnya. Karena

multikulturalsime itu adalah sebuah

ideologi dan sebuah alat atau wahana

untuk meningkatkan derajat manusia

dan kemanusiannya, maka konsep

kebudayaan harus dilihat dalam

perspektif fungsinya bagi kehidupan

manusia. Saya melihat kebudayaan

dalam perspektif tersebut dan karena

itu melihat kebudayaan sebagai

pedoman bagi kehidupan manusia.

Yang juga harus kita perhatikan

bersama untuk kesamaan pendapat dan

pemahaman adalah bagaimana

kebudayaan itu operasional melalui

pranata-pranata sosial.

Sebagai sebuah ide atau ideologi

multikulturalisme terserap dalam

berbagai interaksi yang ada dalam

berbagai struktur kegiatan kehidupan

manusia yang tercakup dalam

kehidupan sosial, kehidupan ekonomi

dan bisnis, dan kehidupan politik, dan

berbagai kegiatan lainnya di dalam

masyarakat yang bersangkutan Kajian-

kajian mengenai corak kegiatan, yaitu

hubungan antar-manusia dalam

34 | e k a / m e d i a - p o s m o / u a s - u i

Page 35: Multiculturalism, Postmodernism and Media

berbagai manajemen pengelolaan

sumber-sumber daya akan merupakan

sumbangan yang penting dalam upaya

mengembangkan dan memantapkan

multikulturalisme dalam kehidupan

bermasyarakat, berbangsa, dan

bernegara bagi Indonesia.

Konsep multikulturalisme tidaklah

dapat disamakan dengan konsep

keanekaragaman secara sukubangsa

atau kebudayaan sukubangsa yang

menjadi ciri masyarakat majemuk,

karena multikulturalisme menekankan

keanekaragaman kebudayaan dalam

kesederajatan. Ulasan mengenai

multikulturalisme akan harus mau tidak

mau akan juga mengulas berbagai

permasalahan yang mendukung

ideologi ini, yaitu politik dan demokrasi,

keadilan dan penegakkan hukum,

kesempatan kerja dan berusaha, HAM,

hak budaya komuniti dan golongan

minoritas, prinsip-prinsip etika dan

moral, dan tingkat serta mutu

produktivitas.

Multikulturalisme bukan hanya

sebuah wacana tetapi sebuah ideologi

yang harus diperjuangkan, karena

dibutuhkan sebagai landasan bagi

tegaknya demokrasi, HAM, dan

35 | e k a / m e d i a - p o s m o / u a s - u i

Page 36: Multiculturalism, Postmodernism and Media

kesejahteraan hidup masyarakatnya.

Multikulturalisme bukan sebuah ideologi

yang berdiri sendiri terpisah dari

ideologi-ideologi lannya, dan

multikulturalisme membutuhkan

seperangkat konsep-konsep yang

merupakan bangunan konsep-konsep

untuk dijadikan acuan bagi

memahaminya dan mengembang-

luaskannya dalam kehidupan

bermasyarakat. Untuk dapat memahami

multikulturalisme diperlukan landasan

pengetahuan yang berupa bangunan

konsep-konsep yang relevan dengan

dan mendukung keberadaan serta

berfungsinya multikulturalisme dalam

kehidupan manusia.

Berbagai konsep yang relevan

dengan multikulturalisme antara lain

adalah, demokrasi, keadilan dan hukum,

nilai-nilai budaya dan etos,

kebersamaan dalam perbedaan yang

sederajat, sukubangsa,

kesukubangsaan, kebudayaan

sukubangsa, keyakinan keagamaan,

ungkapan-ungkapan budaya, domain

privat dan publik, HAM, hak budaya

komunitas, dan konsep-konsep lainnya

yang relevan (Fay 1996, Rex 1985,

Suparlan 2002).

36 | e k a / m e d i a - p o s m o / u a s - u i

Page 37: Multiculturalism, Postmodernism and Media

CS dan multikulturalisme adalah

kajian sosial-budaya yang didasarkan

pada epistemologi teori kritis, pos-

strukturalisme dan posmodernisme. CS

dan multikulturalisme berkaitan dengan

perkembangan budaya kontemporer

seperti yang dikembangkan oleh Robert

Nozik, Charles Taylor, Richard Rorty,

Michael Sandel, John Rawls. Mereka

merumuskan bahwa aliran atau gerakan

kiri dan kanan: kiri adalah gerakan yang

percaya dan mengutamakan persamaan

karena mendukung sosialisme,

sementara kanan lebih menekankan

kebebasan karena itu mendukung

kapitalisme dan pasar, perpaduan

keduanya menghasilkan gerakan liberal.

Dalam perkembangannya

pluralitas nilai-nilai di atas menimbulkan

masalah dalam bidang sosial politik

yang tidak terselesaikan oleh filsafat

politik yang monolitik, karena setiap

nilai mengangap dirinya lebih tinggi.

Namun dalam masyarakat plural dan

multikultural kepentingan bersama

harus menjadi pertimbangan penting

ditengah perbedan dan kemajemukan.

Kelompok Birmingham

memfokuskan perhatinya pada

representasi gender, ideology kelas, ras,

37 | e k a / m e d i a - p o s m o / u a s - u i

Page 38: Multiculturalism, Postmodernism and Media

etnisitas dan nasionalitas dalam teks

kebudayaan pendidikan, termasuk

kebudayaan media. Begitu juga dengan

Madzab Frankfurt memadukan

persilangan budaya dengan ideologi,

kemudian melihat ideologi dan

hegemoni sebagai suatu hal yang

penting dalam CS. Ideologi disini oleh

Gramsci dipahami sebagai ide, makna,

praktek dan peta makna yang

mendukung kelompok tertentu.

Di Inggris, CS di samping

memperhatikan sub-kultur dengan

berbagai identitasnya, juga

memperhatikan kultur kelas pekerja dan

kultur generasi muda yang dianggap

potensial melawan atau beroposisi

terhadap bentuk hegemonik dominasi

kapitalistis/neokapitalis, serta kajian

tentang perilaku kelompok tertentu,

seperti rocker, model gaya pakaian,

rambut, musik dan ritual pesta mereka

yang dianggap sebagai melawan

simbolis terhadap kelompok yang

dominan. Jadi, fokus CS berkembang

begitu luas dengan berupaya

membongkar politik, ideologi yang ada

serta konstruksi sosial ilmu

pengetahuan. Ideologi disini oleh

Althusser adalah kerangka konseptual

38 | e k a / m e d i a - p o s m o / u a s - u i

Page 39: Multiculturalism, Postmodernism and Media

yang melaluinya, kita menafsirkan dan

memahami kondisi material kehidupan

kita. Dengan kata lain, ideologi

memproduksi budaya serta kesadaran

kita tentang siapa dan apa diri kita.

CS bertolak pada heterogenitas

budaya yang membentuk identitas satu

kebudayaan. Sedangkan

multikulturalisme adalah gagasan yang

berupaya untuk memahami hakekat

kompleksistas kebudayaan serta saling

berkaitan satu kultur dengan budaya

lain yang menjadi unsur-unsur

terwujudnya kebudayaan multikultural.

Bertolak pada andaian ini, CS dan kajian

multikulturalisme berkaitan erat dengan

pandangan atau keyakinan yang

mengakui adanya banyak kultur yang

memungkinkan suara-suara dan

tuntutan yang berbeda satu dengan

yang lain hidup secara berdampingan,

di mana masing-masing kultur saling

berinteraksi dan berkomunikasi satu

dengan yang lain secara intens. Begitu

juga teori posmodernisme dan feminis

mendukung gagasan di atas melalui

persepektif polivokal dan mengabaikan

perspektif ilmiah yang monovokal,

seperti paradigma yang dominan dalam

peradaban Barat.

39 | e k a / m e d i a - p o s m o / u a s - u i

Page 40: Multiculturalism, Postmodernism and Media

Konsep multikulturalisme terlahir

dari ruang pergesekan bahkan

pertaruhan kepentingan sehingga tidak

bebas-nilai. Ia merupakan bentuk

metaformosis kesadaran pasca luruhnya

rejim kolonial (militer) Barat. Ketika

sistem berpikir serta tindakan-tindakan

relasional yang berlaku dibangun di atas

politik kolonial yang diskriminatif,

ketimpangan sosial dan ketidakadilan

sistem pasar global, kehadiran wacana

multikulturalisme menjadi berakar

tunjang pada wacana pos-kolonial,

sebagai usaha menolak model

representasi Eropa-Orientalis terhadap

kebudayaan Timur yang distereotipkan

melalui praktik imperialisme Barat.

Kesadaran pada perbedaan antara

kebudayaan pengoloni dengan yang di

koloni, didorong oleh keharusan untuk

berbeda. Itu sebabnya, pencarian

identitas kepribumian dalam spektrum

kesadaran multikulturalisme lebih

banyak merupakan suatu hasil

konstruksi sosial lewat pendekatan

idolasi. Pribumi pada fase dekolonisasi

merasa harus berbeda, harus menjadi

yang lain, harus tampak tidak sama

dengan identitas pengoloninya. Jadi,

identitas dibentuk dari suatu imajinasi

40 | e k a / m e d i a - p o s m o / u a s - u i

Page 41: Multiculturalism, Postmodernism and Media

akan perbedaan, disertai dengan

romantisasi terhadap warisan lokalitas.

Masa Depan CS

CS jelas mempunyai masa depan.

Kellner sendiri menawarkan bahwa CS

harus bersifat multiperspektif, jika

melihat argumentasi-argumentasi yang

dia buat sebelumnya.

Ketika CS menawarkan perspektif

yang beragam bahwa jelas terdapat

pengandaian bahwa pendekatan

multikultur menjadi kondisi yang harus

ada (conditio sine qua non)

Meskipun begitu, CS tetap

menawarkan cara pandang kritis

terhadap proses dominasi dan opresi.

Dalam konteks itulah, CS mempunyai

rentang pendekatan yang kritis dengan

tetap menjadi dan menghormati

keragaman budaya sehingga harus

berada dalam keragaman perspektif

yang diharapkan CS bisa membantu

individu atau kelompok manusia

memahami dunia dengan gejala

budayanya dalam bingkai yang relatif

lebih komprehensif.

41 | e k a / m e d i a - p o s m o / u a s - u i

Page 42: Multiculturalism, Postmodernism and Media

Refleksi Kritis “Budaya Klik” dalam

era Posmodernitas – CS dan Budaya

Media

Perlombaan menciptakan

teknologi informasi dan komunikasi

terbaru saat ini tak sebatas

menekankan pada kemampuan produk

dan kecanggihan teknologi belaka. Para

produsen kini mulai melirik sisi emosi

dan perasaan pelanggannya. Kemajuan

ini menyebabkan gejolak dan pasang

surut emosi pelanggan semakin volatile,

naik-turun tak karuan layaknya luncuran

roller coaster. Maka tak heran jika

perusahaan telepon genggam, Nokia,

lebih suka menyebut teknologi yang

dipakainya sebagai human technology.

Teknologi bagi Nokia adalah alat

yang mengakomodasi kebutuhan

emosional manusia untuk berhubungan,

sharing pendapat, bercanda, curhat

dengan orang lain. Prinsip umum Nokia

yang tertera dengan jelas dalam

tagline-nya “Connecting People”

tersebut mungkin sesuai dengan

gagasan filsuf abad ke-20, Martin

Heidegger yaitu tentang “mengada-

bersama”. Bagi Heidegger, pada 1927,

di dalam momen kontak itulah

terungkap jalan untuk menjadi manusia:

42 | e k a / m e d i a - p o s m o / u a s - u i

Page 43: Multiculturalism, Postmodernism and Media

“Manusia membuktikan dirinya sendiri

sebagai entitas yang bercakap.”

Tak hanya Nokia yang

memasukkan unsur-unsur emosi dan

perasaan pelanggan pada produknya.

MSN keluaran Microsoft juga tak kalah

emosionalnya. Untuk mempermudah

penggunanya mengekspresikan

perasaannya, layanan Instant

Messenger ini menyediakan fasilitas

emoticons. Jika penggunanya sedang

bahagia, maka user tinggal

menunjukkan perasaan tersebut dengan

memilih emoticons yang tersenyum

lebar. Kalau sedang marah, emoticons

dengan simbol red devil bisa menjadi

pilihan.

Apa yang dilakukan Nokia, MSN, di

atas menandakan bahwa kemajuan

teknologi komunikasi kini

memungkinkan seseorang

mengungkapkan dan mengekspresikan

emosinya secara cepat bahkan instant,

mudah dan praktis, tidak perlu

menunggu waktu lama. Kebutuhan

natural manusia untuk

mengekspresikan rasa sedih, gembira,

takjub, kagum, cinta, kangen, ngefans

pada seseorang, empati, maupun rasa

puas bisa “terbebaskan” hanya dengan

43 | e k a / m e d i a - p o s m o / u a s - u i

Page 44: Multiculturalism, Postmodernism and Media

beberapa klik mouse computer,

beberapa pencetan tombol di ponsel

atau tiupan halus seperti pada Kiss

Communicator.

Masyarakat kini hidup ditopang

oleh sarana teknologi informasi dan

komunikasi, dengan kemajuan dahsyat

micro processor, memory bank,

komputer, dan internetnya. Masyarkat

telah berubah menjadi masyarakat

komputerisasi. Dalam masyarakat

komputerisasi seperti ini, nilai-nilai serta

asumsi-asumsi dasar modernisme, yaitu

rasio, hokum logika linier, subjek, ego,

narasi besar, otonomi, identitas tidak

lagi mampu menggambarkan realitas.

Tak ayal, fenomena ini

menciptakan sisi lain dari kemajuan

teknologi informasi dan komunikasi.

“Realitas telah menguap!” kata Jean

Baudrillard . Realitas kini tidak sekedar

dapat diceritakan, direpresentasikan

dan disebarluaskan. Lebih jauh, realitas

kini dapat dibuat, direkayasa dan

disimulasi. Dalam realitas buatan,

segala sesuatu bercampur baur,

bersilang-sengkarut. Sehingga, alih-alih

memposisikan masyarakat sebagai

manusia seutuhnya, malahan yang

terjadi adalah sebaliknya yaitu

44 | e k a / m e d i a - p o s m o / u a s - u i

Page 45: Multiculturalism, Postmodernism and Media

pemandangan yang sangat

mencemaskan. Seolah-olah arah

kemajuan berbalik lagi ke belakang dan

seakan-akan di balik penampakan

berupa kemajuan berlangsunglah

proses degenerasi besar-besaran.

Revolusi teknologi informasi dan

komunikasi telah menciptakan

pergeseran-pergeseran bentuk dan

makna dari aktivitas komunikasi itu

sendiri melampaui pergeseran

teknologis belaka..

Dengan semangat mobilisasi,

konsep komunikasi berubah menjadi

upaya untuk memenuhi hasrat individu

—suatu keinginan. Tercatat dua ide

kunci konsep komunikasi baru dari

“Nokia Press Release”, 12 Juli 2000.

Pertama, skala kesalingterhubungan

yang luas; dan kedua, sebaliknya,

gagasan tentang kebebasan individu.

Bisa berkomunikasi merupakan aspek

dasar untuk menjadi bebas. Bahkan,

fakta komunikasi itu sendiri adalah

pertanda utama kebebasan. Tetapi nada

keseluruhan didasarkan pada “mereka

ingin” yang senantiasa muncul kembali.

Basis mobilisasi konsep

komunikasi, yakni suatu aktivitas yang

dilakukan individu yang kemudian si

45 | e k a / m e d i a - p o s m o / u a s - u i

Page 46: Multiculturalism, Postmodernism and Media

individu berusaha untuk mengendalikan

aktivitas tersebut. Berada dalam kontrol

komunikasi berarti menjadi tuan dari

teknologi itu sendiri. Dengan demikian

kita tiba pada bagian anjuran yang

terpenting, yang mewujudkan praktik

dasar mobilisasi. Komunikasi akan

berjalan paling ideal ketika hanya

terdapat satu pribadi yang terlibat.

Dalam pandangan ini, hanya ada

satu penjelasan penting berkenaan

dengan konsep komunikasi, yaitu Prinsip

Keinginan. Ini bukan berarti orang-orang

“ingin” berkomunikasi. Sebaliknya,

orang-orang berkomunikasi untuk

memuaskan keinginan-keinginan lain.

Produk teknologi informasi dan

komunikasi yang menerapkan sisi emosi

dan perasaan manusia ke dalamnya

adalah kunci untuk memuaskan

keinginan orang-orang pada umumnya.

Ia memberi banyak hal. Hasilnya adalah

semacam gambaran kehidupan sehari-

hari yang baru dan luar biasa. Lantas,

siapa yang berkomunikasi?

Marshall McLuhan dalam dua

bukunya, The Gutenberg Galaxy: The

Making of Typographic Man (1962) dan

Understanding Media: The Extensions of

Man (1964), meramalkan bahwa

46 | e k a / m e d i a - p o s m o / u a s - u i

Page 47: Multiculturalism, Postmodernism and Media

peralihan teknologi dari era teknologi

mekanik ke era teknologi elektronik

akan membawa peralihan pula pada

fungsi teknologi sebagai perpanjangan

badan manusia dalam ruang, menuju

perpanjangan sistem syaraf. Menurut

McLuhan, perpanjangan ini bersesuaian

dengan tahapan-tahapan sejarah.

Teknologi percetakan merujuk pada era

modernitas, dan teknologi media

elektronik merujuk pada era

postmodernitas. Namun perkembangan

teknologi media elektronik saat ini,

dalam bentuknya yang paling canggih

dan massif, telah meredusi kandungan

pesan media itu sendiri dan

menggantikannya dengan permainan

bahasa yang bersifat simbolik. Media

menjadi sekedar perpanjangan badan

manusia, namun tanpa pesan, makna,

dan kedalaman. Pesan itu sendiri, kini

tidak lebih dari media-media lain.

Dalam logika perpanjangan badan

manusia, mesin ketik adalah

perpanjangan tangan manusia, mobil

adalah perpanjangan kaki manusia,

radio adalah perpanjangan telinga

manusia, media cetak adalah

perpanjangan mata manusia, dan

teknologi televisi, komputer serta

47 | e k a / m e d i a - p o s m o / u a s - u i

Page 48: Multiculturalism, Postmodernism and Media

internet adalah perpanjangan pusat

sistem syaraf manusia.

Sehingga menurut logika

perpanjangan manusia di atas yang

berkomunikasi adalah alat-alat

komunikasi dan sistemnya itu sendiri.

Proses komunikasi dalam masyarakat

berteknologi canggih sama sekali tidak

memerlukan manusia sebagai pelaku

komunikasi. Proses komunikasi sekadar

aliran pesan-pesan yang diregistrasi

dalam kaitannya dengan biaya finansial.

Jadi kita tinggal mengecek ke dalam

sistem untuk memenuhi hasrat atau

tujuan individual, dan hanya itulah

hakikat dari partisipasi individual kita.

Jika alat-alat sudah berkonvergensi,

mereka akan jauh lebih kompatibel,

semakin berkemampuan tinggi untuk

membaca pesan satu sama lain.

Ketika seorang individu hendak

mengejar hasrat dan melakukan kontak

dengan sistem besar untuk mencapai

pemenuhan hasrat, sistem bertindak

memberikan tanggapan seakan-akan ia

adalah agen manusia sesamanya.

Bedanya, sistem itu lebih “cerdas”

sekaligus efisien.

Di sini kita melihat manusia

seolah telah menjadi manusia

48 | e k a / m e d i a - p o s m o / u a s - u i

Page 49: Multiculturalism, Postmodernism and Media

seutuhnya. Mampu menguasai ruang

dan waktu yang dalam perspektif

Newtonian bersifat linear dan simultan.

Padahal, komunikasi yang berdasarkan

hanya untuk mengejar beraneka hasrat

individu secara perlahan akan menyeret

mereka dalam sebuah sistem besar

yaitu bahwa hasrat atau hawa nafsu

tidak akan pernah terpenuhi. Ia akan

selalu direproduksi dalam bentuk yang

lebih tinggi oleh apa yang disebutnya

mesin hasrat (desiring machine) —

istilah yang mereka gunakan untuk

menjelaskan reproduksi “perasaan

kekurangan” (lack) di dalam diri secara

terus-menerus. Sekali hasrat dicoba

dipenuhi lewat substitusi objek-objek

tidak disebabkan kekurangan alamiah

terhadap objek tersebut, akan tetapi

“perasaan kekurangan” yang kita

produksi dan reproduksi sendiri.

Perkembangan ilmu dan teknologi

tidak saja dapat memperpanjang badan

atau pusat sistem syaraf manusia,

namun bahkan lebih fantastis lagi,

mampu mereproduksi realitas, masa

lalu dan nostalgia; menciptakan realitas

baru dengan citra-citra buatan;

menyulap fantasi, ilusi bahkan

halusinasi menjadi kenyataan; serta

49 | e k a / m e d i a - p o s m o / u a s - u i

Page 50: Multiculturalism, Postmodernism and Media

melipat realitas sehingga tidak lebih

dari sebuah kaca televisi, disket,

ataupun internet.

Lebih jauh, realitas yang

dihasilkan teknologi baru ini telah

mengalahkan realitas yang

sesungguhnya dan bahkan menjadi

model acuan yang baru bagi

masyarakat. Citra lebih meyakinkan

ketimbang fakta dan mimpi lebih

dipercaya ketimbang kenyataan sehari-

hari. Inilah dunia hiperrealitas: realitas

yang lebih nyata dari yang nyata, semu

dan meledak-ledak. Dalam dunia

hiperrealitas, objek-objek asli hasil

produksi bercampur menjadi satu

dengan objek-objek hiperreal yang

merupakan hasil reproduksi. Realitas-

realitas hiper, seperti media massa,

telepon genggam, PDA, Kiss

Communicator, Instant Messenger,

bermetamorfosa sebagai pengontrol

pikiran dan tindak-tanduk manusia.

Dunia hiperrealitas merupakan

dunia yang mengasyikkan sekaligus

mengerikan. Ia sanggup membawa

manusia berfantasi dan berimajinasi

sampai titik yang paling tinggi.

Menuntunnya secara perlahan pada

ekstasi kehidupan. Dan pada saat yang

50 | e k a / m e d i a - p o s m o / u a s - u i

Page 51: Multiculturalism, Postmodernism and Media

bersamaan bisa menghancurkan

hubungan antar manusia yang sudah

terjalin baik. Oleh karena dalam kondisi

yang seperti ini, manusia telah

menganggap objek-objek mati kini

sudah memiliki jiwa. Objek-objek mati

pada titik ekstremnya sudah bukan lagi

kepanjangan manusia, melainkan

manusia itu sendiri. Dan manusia

sebaliknya adalah objek mati yang

digerakkan oleh “manusia” ciptaannya

sendiri. Seperti bagaimana seorang

teman bisa begitu marahnya hanya

gara-gara SMS-nya tidak dibalas. Atau

seorang suami mau menceraikan

istrinya sebab mendapatkan pesan

singkat yang isinya janji bertemu pada

“berhala seluler” milik sang isteri.

51 | e k a / m e d i a - p o s m o / u a s - u i

Page 52: Multiculturalism, Postmodernism and Media

Daftar Pustaka

Bacaan Utama:

Kellner, Douglas. Cultural Studies,

Multiculturalism and Media Culture,

Artikel

Bacaan Pendukung

Best, Steven & Kellner, Douglas, Teori Posmodernisme: Interogasi Kritis, Boyan Publishing, Yogyakarta, 2003

Docherty, Thomas (ed.), Postmodernism: A Reader, Harvester Wheatsheaf, England, 1993

Homer, Sean, Fredric Jameson: Marxism, Hermeneutics, Postmodernism, Routledge, New York, 1998

Ibrahim, Idi Subandi (ed.), “Lifestyle Ecstacy: Kebudayaan Pop dalam ‘Masyarakat Komoditas’ Indonesia” dalam Idi Subandi Ibrahim (ed.), Lifestyle Ecstasy: Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komoditas Indonesia, Penerbit Jalasutra, Yogyakarta & Bandung, 1997

Jameson, Fredric, “Cognitive Mapping” dalam Nelson, Cary & Grossberg, Lawrence (eds.),Marxisme and the Interpretation of Culture, MacMillan Education, London, 1988

52 | e k a / m e d i a - p o s m o / u a s - u i

Page 53: Multiculturalism, Postmodernism and Media

Jameson, Fredric, “Postmodernism and the Market”, dalam Slavoj Zizek, Mapping Ideology, Verso, London-New York, 1994

Jameson, Fredric, Postmodernism, or, The Cultural Logic of Late Capitalism, Duke University Press Durham, 1991

John Storey, An Introductory Guide To Cultural Theory And Popular Culture, Vesterwheatsheaf, 1993.

Keith Jenkins, The Postmodern History

Reader, Rout Ledge, 1997.

Mike Featherstone, Cultural Theory And

Cultural Change, Sage Publication,

1994.

Piliang, Yasraf Amir, “Realitas-realitas Semu Masyarakat Konsumer: Estetika Hiperealitas dan Politik Konsumerisme”, dalam Idi

Ritzer, George & Goodman, Douglas J., Teori Sosiologi Modern (terj.), Prenada Media, Jakarta, 2004

Sarup, Madan, Posstrukturalisme dan Posmodernisme: Sebuah Pengantar Kritis, Penerbit Jendela, Yogyakarta, 2003

Subandi Ibrahim (ed.), Lifestyle Ecstasy: Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komoditas Indonesia, Penerbit Jalasutra, Yogyakarta & Bandung, 1997

53 | e k a / m e d i a - p o s m o / u a s - u i

Page 54: Multiculturalism, Postmodernism and Media

Tommy F Awuy, Problem Filsafat Modern Dan Dekonstruksi, LSF, 1993.

-------------------, Wacana Tragedi Dan Dekonstruksi, Jentera, 1995.

George Mierson, Heidegger, Habermas dan Telepon Genggam, Jendela, 2003.

Yasraf Amir Piliang, Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan, Jalasutra.

__________________, Hipersemiotik: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna, Jalasutra, 1998

Bertens, K., Etika. Jakarta: Gramedia, 2001

Fay, Brian, Contemporary Philosophy of Social Science: A Multicultural Approach. Oxford: Blackwell. 1998

Magnis-Suseno, Etika Dasar. Yogyakarta: Kanisius. 1997

Nieto, Sonia, Affirming Diversity: The Sociopolitical Context of Multicultural Education. New York: Longman, 1992

Suparlan, Parsudi, 1999, "Kemajemukan Amerika: Dari Monokulturalisme ke Multikulturalisme". Jurnal Studi Amerika, vol.5 Agustus, hal. 35-42.

Watson, C.W., Multiculturalism. Buckingham-Philadelphia: Open University Press, 2000

54 | e k a / m e d i a - p o s m o / u a s - u i