Upload
sadam
View
31
Download
2
Embed Size (px)
DESCRIPTION
file
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
Kriptorkismus berasal dari kata cryptos (Yunani) yang berarti tersembunyi
dan Orchis (latin) yang berarti testis. Nama lain dari kriptorkismus adalah
undescended testis, tetapi harus dijelaskan lanjut apakah yang di maksud
kriptorkismus murni, testis ektopik , atau pseudokriptorkismus. Kriptorkismus murni
adalah suatu keadaan dimana setelah usia satu tahun, satu atau dua testis tidak berada
di dalam kantong skrotum, tetapi berada di salah satu tempat sepanjang jalur
penurunan testis yang normal. Sedang bila diluar jalur normal disebut testis ektopik,
dan yang terletak di jalur normal tetapi tidak di dalam skrotum dan dapat didorong
masuk ke skrotum serta naik lagi bila dilepaskan disebut pseudokriptorkismus atau
testis retraktil. Keadaan ini terjadi karena reflek otot kremaster yang terlalu kuat
akibat cuaca dingin, atau setelah melakukan aktifitas fisik. Kelainan ini tidak perlu
diobati.
Retraktil testis merupakan kelainan dimana testis sudah mengalami penurunan
yang sempurna tetapi tidak berada di tempat yang sesuai yaitu di skrotum. Banyak
anak laki – laki yang diperiksakan ke dokter dengan kriptorkismus atau
undesensustestis.
Insidens maldesensus testis setelah usia satu tahun adalah 1,8-2%. Pembagian
dibuat berdasarkan retensi testis pada abdomen, inguinal atau preskrotal dan ekstopik
2
testis di epifasial, femoral atau penodorsal. Sliding atau testis retraktil merupakan
variasi dan kriptorkismus. Sliding testis dengan funikulus spermatikus yang terlalu
pendek akan kembali ke posisi nonfisiologik saat ditarik ke dalam skrotum dan
kemudian dilepaskan. Testis retraktil atau pendulosa dengan hipertrofik otot
kremaster dihubungkan dengan retraksi intermiten dari testis yang umumnya
orthotopik.
Kriptokismus pada bayi prematur kurang dari 30%, sedangkan pada bayi
cukup bukan sebesar 3%. Dengan ertambahnya usia, testis mengalami desensus
spontan, sehingga pada usia 1 tahun angka kejadian menurun hingga 0,7-0,9%.
Setelah 1 tahun, sudah jarang mengalami desensus spontan.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Etiologi
Testis maldesensus dapat terjadi karena :
- Gubernakulum testis
- Kelainan intrinsik testis
- Defisiensi hormon gonadotropin yang memacu proses desensus testis.
Gambar 1. Kriptokismus dan Testis Ektopik
4
Keterangan gambar :
1. Testis retraktil.
2. Inguinal.
3. Abdominal.
Sedangkan gambar di sebelah kiri menunjukkan testis ektopik, antara lain:
4. Inguinal superfisial.
5. Penis
6. Femoral
2.2 Patofisiologi dan Patogenesis
Suhu di dalam rongga abdomen ± 10C lebih tinggi daripada suhu di dalam
skrotum, sehingga testis abdominal selalu mendapatkan suhu yang lebih tinggi
daripada testis normal; hal ini mengakibatkan kerusakan sel-sel epitel germinal testis.
Pada usia 2 tahun, sebanyak 1/5 bagian dari sel-sel germinal testis telah mengalami
kerusakan, sedangkan pada usia 3 tahun hanya 1/3 sel-sel germinal yang masih
normal. Kerusakan ini makin lama makin progresif dan akhirnya testis menjadi
mengecil.
5
Karena sel-sel Leydig sebagai penghasil hormon androgen tidak ikut rusak,
maka potensi seksual tidak mengalami gangguan.
Akibat lain yang ditimbulkan dari letak testis yang tidak berada di skrotum
adalah mudah terpluntir (torsio), mudah terkena trauma, dan lebih mudah mengalami
degenerasi maligna.
2.3 Gambaran klinis
Pasien biasanya dibawa berobat ke dokter karena orang tuanya tidak
menjumpai testis di kantong skrotum, sedangkan pasien dewasa mengeluh karena
infertilitas yaitu belum mempunyai anak setelah kawin beberapa tahun. Kadang-
kadang merasa ada benjolan di perut bagian bawah yang disebabkan testis
maldesensus mengalami trauma, mengalami torsio, atau berubah menjadi tumor
testis.
Inspeksi pada regio skrotum terlihat hipoplasia kulit skrotum karena tidak
pernah ditempati oleh testis. Pada palpasi, testis tidak teraba di kantung skrotum
melainkan berada di inguinal atau di tempat lain. Pada saat melakukan palpasi untuk
mencari keberadaan testis, jari tangan pemeriksa harus dalam keadaan hangat.
Jika kedua buah testis tidak diketahui tempatnya, harus dibedakan dengan
anorkismus bilateral (tidak mempunyai testis). Untuk itu perlu dilakukan pemeriksaan
hormonal antara lain hormon testosteron, kemudian dilakukan uji dengan pemberian
hormon hCG (human chorionic gonadotropin).
6
2.4 Diagnosis
Retraktil testis sering keliru dibedakan dengan undesensus testis, ada beberapa
pemeriksaan yang diperlukan dalam mendiagnosa retraktil testis, salah satunya adalah
dengan pemeriksaan fisik , pemeriksaan fisik ini harus dilakukan dalam suasana
tenang dan nyaman, laki – laki usia lebih dari 1 tahun mempunyai refleks kremaster
sehingga apabila pada saat pemeriksaan pasien cemas dan mudah geli atau dalam
keadaan tidak nyaman maka akan sangat sulit memasukan testis ke dalam skrotum.
Untuk menciptakan suasanya nyaman dan tidak menimbulkan refleks kremaster itu
sendiri bisa dilakukan dengan beberapa cara seperti pasien diperiksa dengan posisi
kaki kodok “frog leg position”, atau pasien diperiksa dengan kaki menggantung di
bibir meja periksa, selain itu juga dapat dilakukan dengan menggunakan valsava
maneuver atau dengan menggunakan sabun atau jelly yang dioleskan pada jari
pemeriksa untuk mendapatkan sensasi taktil yang dapat membedakan apakah skrotum
berada di kanalis inguinalis atau tertutupi oleh lemak sekitar skrotum. Apabila testis
bisa dimasukkan ke dalam skrotum dengan mudah maka kita bisa mendiagnosa hal
tersebut dengan retraktil testis.
Apabila sulit dibedakan antara undesensus testis dengan retraktil testis dapat
dilakukan pemeriksaan penunjang dengan menggunakan tes HCG (Human Chorionic
7
Gonadotropine) dimana hal ini berdasarkan bukti klinis yang ditemui pada penderita
retraktil testis yang akan hilang dengan sendirinya tanpa manipulasi operasi pada saat
penderita mengalami masa pubertas, hal ini diduga erat berhubungan dengan HCG
yang dihasilkan oleh laki – laki pubertas, sehingga diharapkan setelah pemberian
HCG penderita retraktil testis akan hilang dengan sendirinya, tetapi pada undesensus
testis hal ini tidak akan terjadi. Dosis HCG yang disarankan oleh para klinisi adalah
2000 IU dalam 3 hari.
Uji hCG untuk mengetahui keberadaan testis dengan periksa kadar testosteron
dengan Injeksi hCG 2000U/hari selama 4 hari, apabila pada hari ke 5 kadar
meningkat 10 kali lebih tinggi daripada kadar semula berarti testis memang ada.
Keberadaan testis sering kali sulit untuk ditentukan, apalagi testis yang letaknya
intraabdominal dan pada pasien yang gemuk. Untuk itu diperlukan bantuan beberapa
sarana penunjang, di antaranya adalah flebografi selektif atau diagnostik laparoskopi.
Pemakaian ultrasonografi untuk mencari letak testis sering kali tidak banyak
manfaatnya sehingga jarang dikerjakan. Pemeriksaan flebografi selektif adalah usaha
untuk mencari keberadaan testis secara tidak langsung, yaitu dengan mencari
keberadaan pleksus Pampiniformis. Jika tidak didapatkan pleksus pampiniformis
kemungkinan testis memang tidak pernah ada.
Pemerikasaan dengan USG juga sering digunakan dalam pemeriksaan pasien
dengan keluhan testis yang tidak teraba, namun sering menjadi salah diagnosa sebab
8
sering pasien dengan testis yang tidak teraba akan mudah terdiagnosa dengan
pemeriksaan USG padahal sesungguhanya pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan
hanya menggunakan pemeriksaan fisik testis.
Pemeriksaan dengan menggunakan CT – scan juga menjadi rekomendasi oleh
para klinisi dengan harapan akan lebih mudah mengetahui posisi testes yanag
sebenarnya tetapi efek radiasi yang besar akan sangat merugikan untuk anak- anak.
MRI juga mempunyai efek samping yang sama dengan CT-scan, padahal testis yang
tidak teraba mudah diperiksa dengan menggunakan pemeriksaan fisik saja, hal inilah
yang menjadi alasan bagi para klinisi untuk meninggalkan pemeriksaan menggunakan
USG, CT-scan atau MRI karena selain tidak akurat pemeriksaan ini juga memerlukan
biaya yang mahal.
Pemeriksaan penunjang lain yang juga direkomendasikana oleh para klinisi di
Amerika Serikat adalah dengan menggunakan teknik laparoskopi, dimana teknik
operasi ini menjadi sangat popular seiring dengan makin banyaknya laparoskopi
digunakan dalam pembedahan saat ini, dalam survey oleh The American Academy of
Pediatrics, Urology Section, terdapat 5,428 kasus, dimana 75% menggunakan teknik
laparoskopi untuk mengevaluasi testes yang tidak teraba. Komplikasi yang
ditimbulkannya hanya 4%. Melalui laparoskopi dicari keberadaan testis mulai dari
dari fossa renalis hingga anulus inguinalis internus, dan tentunya laparoskopi ini lebih
dianjurkan daripada melakukan eksplorasi melalui pembedahan terbuka.
Penanganan retraktil testis ini dapat dilakukan tanpa tindakan pembedahan
keluhan akan hilang dengan sendirinya pada saat pasien menginjak masa
9
pubertas.Pasien dengan retraktil testes ini harus dimonitor selama 6 – 12 bulan karena
jika tidak dimonitor maka akan dapat menyebabkan undesensus testis bawaan, selain
itu juga anak laki – laki dengan retraktil testis tidak mempunyai resiko tinggi untuk
timbulnya keganasan atau infertilitas.
Maldesensus testis didiagnosis berdasarkan pemeriksaan fisik dan sonografi.
Pada pemeriksaan fisik, testis lebih mudah diraba bila penderita pada posisi skrotum
dan hipertrofi testis kontralateral. Sonografi dan magnetic resonance imaging (MRI)
dapat membantu untuk menemukan lokasi testis yang tidak teraba; akurasi MRI
adalah 90% untuk testis intraabdomen. Laparoskopi sudah ditetapkan sebagai
prosedur diagnostik dan terapeutik jika diduga terdapat retensi abdomen. Pada
prosedur ini, posisi testis di abdomen dapat ditemukan dan diletakkan ke skrotum
dengan menggunakan teknik sesuai dengan kondisi anatomis. Tes stimulasi human
chorionic gonadotrophin (HCG), sebagai bukti adanya jaringan testis yang
menghasilkan testosteron, sebaiknya dilakukan sebelum operasi eksplorasi pada testis
yang tidak teraba bilateral.
2.5 Diagnosis Banding
Seringkali dijumpai testis yang biasanya berada di kantung skrotum tiba-tiba
berada di daerah inguinal dan pada keadaan lain kembali ke tempat semula. Keadaan
ini terjadi karena reflek otot kremaster yang terlalu kuat akibat cuaca dingin, atau
setelah melakukan aktifitas fisik. Hal ini disebut sebagai testis retraktil atau
kriptorkismus fisiologis dan kelainan ini tidak perlu diobati.
10
Selain itu maldesensus testis perlu dibedakan dengan anorkismus yaitu testis memang
tidak ada. Hal ini bisa terjadi secara kongenital memang tidak terbentuk testis atau
testis yang mengalami atrofi akibat torsio in utero atau torsio pada saat neonatus.
2.6 Terapi
Pada prinsipnya testis yang tidak berada di skrotum harus diturunkan ke
tempatnya, baik dengan cara medikamentosa maupun pembedahan. Dengan asumsi
bahwa jika dibiarkan, testis tidak dapat turun sendiri setelah usia 1 tahun sedangkan
setelah usia 2 tahun terjadi kerusakan testis yang cukup bermakna, maka saat yang
tepat untuk melakukan terapi adalah pada usia 1 tahun.
A. Medikamentosa
Pemberian hormonal pada kriptorkismus banyak memberikan hasil terutama
pada kelainan bilateral, sedangkan pada kelainan unilateral hasilnya masih belum
memuaskan. Hanya diberikan untuk testis yang retensi karena terapi ini tidak efektif
untuk testis ektopik. Obat yang diberikan adalah suntikan HCG intramuskular (1500
IU/m2 dua kali seminggu selama 4 minggu) atau luteinizing hormone releasing
hormone (LHRH) berupa semprotan nasal (400 µg, tiga kali sehari). Kedua metode
terbukti efektif pada 20-30% kasus. Penting untuk melakukan follow-up karena dapat
terjadi kegagalan setelah beberapa waktu {reascend 10 - 25%).
11
B. Operasi
Tujuan operasi pada kriptorkismus adalah: (1) mempertahankan fertilitas, (2)
mencegah timbulnya degenerasi maligna, (3) mencegah kemungkinan terjadinya
torsio testis, (4) melakukan koreksi hernia, dan (5) secara psikologis mencegah
terjadinya rasa rendah diri karena tidak mempunyai testis.
Operasi yang dikerjakan adalah orkidopeksi yaitu meletakkan testis ke dalam
skrotum dengan melakukan fiksasi pada kantong sub dartos. Pembedahan
orkhidofunikulolisis dan orkhidopeksi merupakan penatalaksanaan pilihan pertama.
Testis pendulosa (retraktil) tidak diindikasikan untuk koreksi bedah. Indikasi absolut
untuk operasi primer adalah retensi testis setelah gagal terapi hormonal atau setelah
operasi di daerah inguinal, ektopik testis dan seluruh maldesensus testis yang disertai
dengan kelainan patologis lainnya (hemia dan atau prosesus vaginalis yang terbuka).
Akses inguinal funikulus spermatikus dicapai setelah membuka kanalis inguinalis.
Kondisi patologis lain yang berhubungan (seperti prosesus vaginaiis yang terbuka,
hemia inguinalis) dikoreksi pada saat yang bersamaan. Setelah funikulus spermatikus
dan testis dibebaskan dari jaringan ikat dan serat kremaster telah direseksi, testis
diletakkan tension free secara peksi ke dalam skrotum. Jika tidak ditemukan testis
atau jaringan funikulus spermatikus pada saat eksplorasi kanalis inguinalis,
peritoneum dibuka dan dilakukan orkhido-funikulolisis intraperitoneal. Jika funikulus
spermatikus terlalu pendek, dapat dilakukan teknik Fowler-Stephens (ligasi dan
diseksi pembuiuh darah spermatika). Syaratnya adalah duktus deferens dan pembuluh
12
darah epididimis yang intak; hal ini dapat dites dengan melakukan klem sementara
pada arteri testikularis. Pada kasus yang jarang, dapat dipertimbangkan untuk
melakukan auto-transplantasi dengan anastomosis bedah mikro pembuluh darah testis
dengan pembuluh darah epigastrika.
13
DAFTAR PUSTAKA
1. Adult and Pediatric Urology 4th edition (January 15, 2011): by Jay Y.,
Md. Gillenwater (Editor), Stuart S., Md. Howards (Editor), John T., Md.
Grayhack (Editor), Michael, Md. Mitchell (Editor), Bauer By Lippincott
Williams & Wilkins Publishers.
2. Nelson text book Pediatric, 16th edition (2011): by behrman.
3. IDAI, 2010, Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak, Badan Pnerbit
IDAI, Jakarta.
4. Ikatan Ahli Urologi Indonesia (IAUI). 2011. Panduan Penatalaksanaan
(Guidelines) Pediatric Urology (Urologi Anak) di Indonesia.
5. Price, Sylvia A & Wilson, Lorraine M. 2010. Patofisiologi Konsep
Klinis Proses-proses Penyakit. Ed.6. EGC: Jakarta.
6. Purnomo, Basuki B. Dasar-dasar Urologi, ed. 2. 2012. Sagung Seto :
Jakarta.
7. Sjamsuhidajat, R & Jong Wim De. Buku-Ajar Ilmu Bedah. Ed.2. EGC:
Jakarta.