Upload
baiez-supersub
View
198
Download
8
Embed Size (px)
Citation preview
PENDAHULUAN
Undescended testis (UDT) atau kriptorkismus adalah suatu keadaan di mana
setelah usia satu tahun, satu atau kedua testis tidak berada di dalam kantong
skrotum, tetapi berada di salah satu tempat sepanjang jalur desensus yang normal.
Kriptorkismus berasal dari kata cryptos (Yunani) yang berarti tersembunyi dan
orchis yang dalam bahasa Latin disebut testis. Kriptorkismus harus dijelaskan lagi
apakah yang dimaksud sebagai kriptorkismus murni, testis ektopik, ataupun
pseudokriptorkismus. Testis yang berlokasi di luar jalur desensus yang normal
disebut sebagai testis ektopik, sedangkan testis yang terletak tidak di dalam
skrotum tetapi dapat didorong masuk ke dalam skrotum dan menaik lagi bila
dilepaskan dinamakan pseudokriptorkismus atau testis retraktil.
Kriptorkismus merupakan gangguan diferensiasi seksual yang paling sering
terjadi pada laki-laki, pada penderita defisiensi gonadotropin, seperti penderita
sindrom Kallman, Prader-Willi, Lawrence-Moon-Biedl, dan pada beberapa
sindrom dengan gangguan biosintesis testosteron. Testis yang terletak tidak di
dalam skrotum akan mengganggu spermatogenesis, meningkatkan kemungkinan
terjadinya torsi dan keganasan. Alasan utama kenapa testis harus diturunkan
adalah agar testis ini dan testis kontralateral yang normal tidak mengalami
kerusakan pada tubulus seminiferus sehingga infertilitas dapat dicegah.
Perkembangan testis normal dimulai saat konsepsi. Faktor penentu-testis
diidentifikasi sebagai gen SRY (regio penentu sex pada kromosom Y).
Keberadaan gen ini dan jalur penurunan testis yang intak secara umum
menyebabkan pembentukan testikular. Pada usia gestasi 3-5 minggu, celah gonad
(gonadal ridge) terbentuk, dan pada usia gestasi 6 minggu, migrasi primordial
germ cell terjadi. Segera setelahnya, sel Sertolli terbentuk dan menyekresikan
mullerian-inhibiting substance (MSI) yang menyebabkan regresi duktus
mullerian. Pada usia gestasi 9 minggu, sel Leydig terbentuk dan menyekresikan
testosteron. USG prenatal menunjukkan tidak ada penurunan testis sebelum usia
gestasi 28 minggu.
EMBRIOLOGI
Kunci untuk dimorfisme seksual adalah kromosom Y, yang mengandung gen
faktor penentu-testis (TDF) pada daerah penentu sex (SRY). Kalau faktor ini ada,
akan terjadi perkembangan laki-laki, kalau tidak ada, akan terjadi perkembangan
perempuan.
Gonad mula-mula tampak sebagai sepasang rigi yang memanjang, rigi gonad, dan
dibentuk oleh proliferasi epitel selom dan pemadatan mesenkim di bawahnya. Sel-
sel benih tidak tampak pada rigi kelamin hingga perkembangan minggu ke-6.
Segera sebelum dan selama datangnya sel-sel benih primordial, epitel selom rigi
kelamin berproliferasi, dan sel-sel epitel menembus mesenkim di bawahnya.
Disini sel epitel tersebut membentuk sejumlah korda yang bentuknya tidak
beraturan, korda kelamin primitif. Pada mudigah pria dan wanita, korda ini
berhubungan dengan epitel permukaan, dan tidak mungkin membedakan antara
gonad pria dan wanita, yang disebut gonad indiferen.
Menjelang akhir bulan ke-2, testis dan mesonefros dilekatkan pada dinding
belakang perut melalui mesenterium urogenital. Dengan terjadinya degenerasi
mesonefros, pita pelekat tersebut berguna sebagai mesenterium untuk gonad. Ke
arah kaudal, mesenterium ini menjadi ligamentum genitalis kaudal. Yang juga
berjalan dari kutub kaudal testis adalah suatu pemadatan mesenkim kaya matriks
ekstraselular yang disebut gubernakulum. Sebelum testis turun, korda mesenkim
ini berujung di daerah inguinal antara muskulus oblikus abdominalis internus dan
eksternus. Kemudian karena testis mulai turun menuju anulus inguinalis,
terbentuklah bagian ekstraabdomen gubernakulum dan tumbuh dari daerah
inguinal menuju ke tonjolan skrotum. Pada saat testis melewati saluran inguinal,
bagian ekstraabdomen ini bersentuhan dengan lantai skrotum.
Faktor-faktor yang mengendalikan turunnya testis tidak semuanya jelas. Tetapi,
tampaknya merupakan pertumbuhan keluar bagian ekstraabdomen gubernakulum
tersebut menimbulkan migrasi intraabdomen, bahwa bertambah besarnya tekanan
intraabdomen yang disebabkan oleh pertumbuhan organ mengakibatkan lewatnya
testis melalui kanalis inguinalis, dan bahwa regresi bagian ekstraabdomen
gubernakulum menyempurnakan pergerakan testis masuk ke skrotum. Proses ini
dipengaruhi oleh hormon androgen dan SPM. Saat turun, suplai darah ke testis
dari aorta tetap dipertahankan. Terlepas dari desensus testis, peritoneum rongga
selom membentuk evaginasi pada sisi kanan dan kiri garis tengah ke dalam
dinding ventral perut. Penonjolan ini mengikuti perjalanan gubernakulum testis
menuju ke tonjolan skrotum disebut prosesus vaginalis. Prosesus vaginalis disertai
lapisan otot dan fasia dinding badan menonjol keluar masuk ke tonjolan skrotum
membentuk kanalis inguinalis. Testis turun melalui anulus inguinalis dan
melintasi tepi atas os pubikum ke dalam tonjolan skrotum pada saat lahir.
Jadi, ada 3 faktor yang berperan pada proses turunnya testis :
1. Anti Mullerian hormone (AMH)
2. Tekanan intra abdomen
3. Faktor hormon androgen
Proses migrasi / turunnya testis meliputi 3 tahap :
1. Nephric displacement, yaitu saat posisi testis secara relatif berubah, akibat
naiknya mesonephros. Pada tahap ini faktor endokrin tidak berperan. Fase ini
selesai dalam 7 minggu.
2. Migrasi transabdominal, disebabkan oleh pertumbuhan gubernakulum
ekstraabdominal. Pada fase ini Mullerian Inhibiting Substance mempunyai
peranan. Fase ini terjadi antara minggu ke-7 dan 12.
3. Migrasi transinguinal, terjadi sejak bulan ke-7 sampai kelahiran.
Tahap kedua dan ketiga ini dipengaruhi oleh hormon androgen dan gonadotropin.
Gambar 1. Macam-macam kemungkinan letak testis.
ETIO-PATOGENESIS
Penyebab kriptorkismus mungkin berbeda antara satu kasus dengan yang lainnya.
Namun, sebagian besar tidak diketahui penyebabnya. Ada beberapa hal yang
berhubungan dengannya, yaitu :
1. Disgenesis gonadal
Banyak kasus kriptorkismus yang secara histologis normal saat lahir,
tetapi testisnya menjadi atrofi/disgenesis pada akhir usia 1 tahun dan
jumlah sel germinalnya sangat berkurang pada akhir usia 2 tahun.
2. Mekanis/kelainan anatomis lokal
Testis yang kriptorkismus sering disertai dengan arteri spermatika yang
pendek, terganggunya aliran darah, hernia, kurang panjangnya vas
deferens, abnormalnya ukuran kanalis inguinalis atau cincin inguinal
superfisial, kurangnya tekanan abdominal dan tarikan gubernakulum untuk
mendorong testis ke cincin inguinal, serta adanya kelainan epididimis.
3. Endokrin/hormonal
Meliputi kelainan aksis hipotalamus-hipofise testis atau kurang sensitifnya
androgen. Dilaporkan desensus testis tidak terjadi pada mamalia yang
hipofisenya telah diangkat. Diduga terjadinya defisiensi androgen prenatal
merupakan faktor yang utama bagi terjadinya kriptorkismus. Tingginya
insidens undescended testis pada bayi prematur, diduga terjadi karena
tidak adekuatnya HCG menstimulasi pelepasan testosteron pada masa
fetus akibat imaturnya sel leydig dan aksis hipotalamus-hipofise testis.
Ada laporan bahwa tidak aktifnya hormon Insulin-Like Factor 3 (Insl3)
sangat mempengaruhi desensus testis pada tikus. Insulin-Like Factor 3
(Insl3) diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi gubernakulum.
4. Genetik/herediter
Kriptorkismus termasuk di antara gejala-gejala berbagai sindrom
malformasi yang berhubungan dengan atau tanpa kelainan kromosom yang
bersifat herediter. Dilaporkan adanya tiga anak bersaudara dengan
kriptorkismus yang disertai dengan defisiensi gonadotropin dan kongenital
adrenal hipoplasia. Corbus dan O’Conor (1922) melaporkan beberapa
generasi dalam satu keluarga yang menderita kriptorkismus. Perrett dan
O’Rourke (1969) menemukan delapan kasus kriptorkismus unilateral
kanan pada empat generasi dalam satu keluarga.
5. Nervus genitofemoralis
Berkurangnya “stimulating substances” yang diproduksi oleh nervus
genitofemoralis.
Mekanisme yang berperan dalam proses turunnya testis belum seluruhnya dapat
dimengerti. Adanya bukti bahwa untuk turunnya testis ke dalam skrotum,
memerlukan aksi androgen yang memerlukan aksis hipotalamus-hipofise-testis
yang normal. Mekanisme aksi androgen untuk merangsang desensus testis tidak
diketahui, tetapi diduga membantu pembentukan, pembesaran, dan proses
degenerasi prosessus vaginalis. Diduga, organ sasaran androgen kemungkinan
adalah gubernakulum, suatu pita fibro muskular yang terkait pada testis-
epididimis dan pada bagian bawah dinding skrotum, yang pada minggu-minggu
terakhir kehamilan berkontraksi dan menarik testis ke dalam skrotum.
Gambar 2. Pola aksis hipotalamus-hipofise-testis pada penurunan testis yang normal, serta kelainan klinis yang mungkin terjadi.
Tekanan intraabdominal memainkan peran dalam desensus testis. Kondisi-kondisi
yang berkaitan dengan penurunan tekanan, seperti Prune Belly syndrome, ekstrofi
kloaka, omfalokel, dan gastroschisis lebih berisiko terkena kriptorkismus. Efek
penurunan tekanan intraabdominal paling dirasakan selama migrasi transinguinal
ke skrotum.
EPIDEMIOLOGI
Angka kejadiannya saat lahir bervariasi berkisar 3,4% hingga 5-6 % bayi laki-laki
mengalami kriptorkismus. Bahkan pada bayi pematur, angkanya mencapai 17-
33%. Pada bayi dengan berat badan di bawah 1000 gram mencapai 100% karena
testis baru turun pada umur 7 bulan kehamilan ketika berat badan janin sekitar
2000 gram. Sekitar 10% kriptorkismus terjadi pada kedua testis (bilateral). Sekitar
30% ternyata memang tidak ditemukan testis setelah dicari dari rongga perut, jalur
menuju kantung zakar, atau dalam kantung zakarnya. Kriptorkismus unilateral
insidensinya lebih banyak daripada yang bilateral dan lokasinya sebagian besar di
kiri (52,1% kiri dan 47,9% kanan).
Di Inggris, insidensi kriptorkismus meningkat lebih dari 50% pada 1965–1985.
Baru-baru ini, dilaporkan meningkatnya angka kejadian kriptorkismus di Inggris,
Amerika Serikat, dan Amerika Selatan. Di Bagian IKA FKUI-RSUPNCM dari
1987–1993 didapatkan 82 anak dengan kriptorkismus sedangkan di Bagian IKA
FKUSU-RSUP H. Adam Malik Medan dari 1994–1999 didapatkan 15 kasus.
Berat badan saat lahir adalah faktor penentu utama untuk insidensi kriptorkismus
sejak lahir sampai umur 1 tahun. Studi terbaru menunjukkan hampir 23% pasien
dengan kriptorkismus memiliki riwayat keluarga positif kriptorkismus.
KLASIFIKASI
Kriptorkismus dapat diklasifikasikan berdasarkan etiopatogenesis dan lokasi.
Klasifikasi berdasarkan etiopatogenesis:
1. Mekanik/anatomik (perlekatan-perlekatan, kelainan kanalis inguinalis, dan
lain-lain)
2. Endokrin/hormonal (kelainan aksis hipotalamus-hipofise-testis)
3. Disgenetik (kelainan interseks multiple)
4. Herediter/genetik
Klasifikasi berdasarkan lokasi:
1. Skrotal tinggi (supra skrotal) : 40%
2. Intra kanalikular (inguinal) : 20%
3. Intra abdominal (abdominal) : 10%
4. Terobstruksi : 30%
Ada juga yang memakai klasifikasi berdasarkan lokasi sebagai berikut : (1) Intra
abdominal; (2) Inguinal; (3) Preskrotal; (4) Skrostal; dan (5) Retraktil.
DIAGNOSIS
Pada kriptorkismus, penentu yang paling berguna adalah apakah testisnya dapat
dipalpasi atau tidak saat pemeriksaan fisik. Meskipun terlihat sederhana, cukup
sulit untuk menentukan secara akurat lokasi tepat dari testis. Habitus tubuh, posisi
testikular, dan komplians sang anak adalah faktor penentu dalam pemeriksaan
fisik. Sekitar 80% kriptorkismus dapat dipalpasi dan 20% tidak dapat dipalpasi.
Testis yang tidak teraba dapat terletak di intraabdomen atau memang tidak ada.
Testis yang teraba dapat undescended, ektopik, atau retraktil.
Sekitar 20-30% pasien dengan kriptorkismus memiliki testis yang tidak teraba.
Kebanyakan testis intraabdomen ditemukan beberapa sentimeter dari internal
ring. Testis ektopik keluar dari cincin inguinalis eksterna kemudian salah jalan
sepanjang jalur normalnya. Testis retraktil dapat teraba dimana saja di sepanjang
jalur testis normal, meskipun kebanyakan di inguinal. Meskipun tidak sepenuhnya
kriptorkismus, testis ini dapat menjadi suprascrotal karena refleks kremaster.
Refleks ini biasanya lemah pada bayi dan paling aktif pada anak laki-laki usia 5
tahun.
Cendron dan Duckett telah mencatat posisi testis selama pemeriksaan fisik dan
dibandingkan dengan posisi pada saat operasi. Hasilnya sebagai berikut :
1. Pemeriksaan fisik
a. Tidak teraba – 32,8%
b. Di atas tuberkulum – 11,8%
c. Di tuberkulum – 34,7%
d. Di atas skrotum – 15,3%
e. Suspek ektopia – 5,4%
2. Operasi
a. Intraabdomen – 9%
b. Tuberkulum – 42%
c. Di atas skrotum – 8%
d. Superficial Inguinal Pouch (SIP)/ektopik – 12%
e. Absen atau atrofi – 9%
Anomali dan kondisi yang berkaitan meliputi :
1. Processus vaginalis paten
2. Epididimis abnormal
3. Cerebral palsy
4. Retardasi mental
5. Tumor Wilm
6. Defek dinding abdomen (gastroschisis, omfalokel, prune belly syndrome)
7. Hipospadia
Secara umum, abnormalitas duktal, hernia (Processus vaginalis paten), dan
testicular maldevelopment lebih sering terjadi pada pasien dengan testis abdomen.
Sekitar 32-79% kriptorkismus berhubungan dengan beberapa tipe abnormalitas
epididimal. Tetapi, abnormalitas yang menghambat transpor sperma (misal,
separasi caput komplit, atresia, agenesis), telah dilaporkan hanya pada sekitar 8%
pasien dengan kriptorkismus. Jika processus vaginalis paten, epididimis lebih
sering menjadi abnormal.
Biasanya, orang tua membawa anak ke dokter dengan keluhan skrotum anaknya
kecil, dan bila disertai dengan hernia inguinalis dijumpai adanya pembengkakan
atau nyeri yang berulang.
Anamnesa ditanyakan:
1. Pernahkah testisnya diperiksa, diraba sebelumnya di skrotum?
2. Apakah pasien lahir prematur?
3. Apakah pasien pernah dioperasi di daerah inguinal sebelumnya?
4. Apakah ibunya pernah atau sedang diet vegetarian? Apakah saat bayi
pasien diberi susu formula kedelai?
5. Berapa berat badan pasien saat lahir?
6. Ada/tidak adanya kelainan kongenital yang lain seperti hipospadia,
interseks, prune-belly syndrome, dan kelainan endokrin lainnya?
7. Ada/tidaknya riwayat kriptorkismus dalam keluarga?
8. Tentukan riwayat prenatalnya, termasuk apakah ibu pasien pernah atau
sedang menerima terapi hormon dan apakah dulu ada gestasi multipel.
Pemeriksaan fisik
Penentuan Lokasi Testis
Pemeriksaan testis pada anak harus dilakukan dengan tangan yang hangat pada
posisi duduk dengan tungkai dilipat atau dalam keadaan rileks pada posisi tidur.
Kemudian testis diraba dari inguinal ke arah skrotum dengan cara milking. Bisa
juga dengan satu tangan berada di kantong skrotum sedangkan tangan yang
lainnya memeriksa mulai dari daerah spina iliaka anterior superior (SIAS)
menyusuri inguinal ke kantong skrotum. Hal ini dilakukan supaya testis tidak
bergerak naik/retraksi, karena pada anak refleks kremasternya cukup aktif.
Refleks ini akan menyebabkan testis bergerak ke atas/retraktil sehingga
menyulitkan penilaian.
Penentuan posisi anatomis testis sangat penting dilakukan sebelum terapi, karena
berhubungan dengan keberhasilan terapi. Karena, sebagian dari penderita
mempunyai testis yang retraktil yang kadang-kadang tidak memerlukan terapi.
Testis yang retraktil ini sudah turun pada waktu lahir, tetapi tidak ditemukan di
dalam skrotum pada pemeriksaan, kecuali bila anaknya dalam keadaan rileks.
1. Ditentukan apakah testisnya palpable atau impalpable
2. Bila palpable, kemungkinannya adalah retraktil testis; undescended testis;
ascending testis syndrome (testisnya di dalam skrotum atau retraktil, tetapi
kemudian menjadi letak tinggi karena pendeknya spermatic cord.
Biasanya baru diketahui pada usia 8–10 tahun) atau ektopik testis
(desensus testisnya hanya normal sampai di kanalis inguinalis, tetapi
kemudian menyimpang ke perineum atau ke the femoral triangle).
3. Kalau impalpable, kemungkinannya adalah testisnya bisa berada di intra
kanalikular, di intra abdominal, testisnya lebih kecil, atau testisnya tidak
ada sama sekali. Pada testis impalpable, sering disertai hernia, kelainan
duktus, dan sering berdegenerasi menjadi ganas. Pada bayi merupakan
risiko tinggi adanya kelainan seperti interseksual, prune belly syndrome.
Ini harus segera dirujuk untuk pemeriksaan analisis kromosom dan
endokrin.
4. Pemeriksaan teliti dilakukan untuk melihat adanya sindrom-sindrom yang
berhubungan dengan kriptorkismus, seperti sindrom Kleinefelter, sindrom
Noonan, sindrom Kallman, sindrom Prader Willi, dan lain-lain.
Dianjurkan melakukan skrining pada saat lahir, usia 6 minggu, usia 8
bulan, dan saat usia 5 tahun. Pada bayi kurang bulan, dianjurkan
melakukan skrining pada usia 3 bulan karena banyaknya turun testis pada
usia 3 bulan dibandingkan dengan bayi yang cukup bulan.
Pria dengan kriptorkismus 40 kali lebih berisiko terkena kanker testis
dibandingkan pria tanpa kriptorkismus. Sekitar 50% tumor malignum testis
berhubungan dengan kriptorkismus berupa testis intraabdomen. Seminoma
merupakan tipe tumor malignum paling sering yang berhubungan dengan
kriptorkismus.
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Pada kriptorkismus bilateral yang impalpable, diperiksa kadar testosteron pada
usia 4 bulan, karena bila lebih dari 4 bulan diperlukan uji stimulasi HCG untuk
melihat ada tidaknya testis. Pada uji HCG, penderita diberikan suntikan 1500 IU
HCG intramuskular setiap hari selama 3 hari berturut-turut. Sebelum dan 24 jam
setelah penyuntikan HCG, diperiksa kadar testosteron plasma. Bila didapatkan
peningkatan kadar testosteron yang bermakna, berarti terdapat testis pada
penderita. Bila tidak ada respons serta kadar FSH dan LH meningkat, dicurigai
adanya anorchia kongenital.
2. Pemeriksaan Radiologis
3. Ultrasonografi
Sudah digunakan untuk mendeteksi kasus kriptorkismus oleh ahli radiologi dan
klinisi sejak 1970. Keuntungannya adalah fasilitas pemeriksaan USG mudah
didapat, bebas radioaktif, non-invasif, praktis, dan relatif murah. Pemeriksaan ini
dianjurkan untuk testis yang berlokasi di kanalis inguinalis dan terhadap testis
yang besar yang terletak di Juxta vesikal. Firman K51 meneliti dengan memakai
USG di subbagian pencitraan I. Kes. Anak FKUI-RSUPNCM selama 6 bulan
(Januari 1994 sampai Juni 1994) terhadap 21 pasien. Ternyata, hanya 2 (9,5%)
yang berhasil ditemukan lokasi testisnya, yaitu di daerah inguinal sedangkan
pemeriksaan CT Scanning tidak dilakukan. Angka keberhasilan ini masih jauh
berbeda dengan penelitian di luar negeri, yang antara lain dilakukan oleh Madrazo
B.L. dan Klugo R.C. (60%),52 serta Michael K., Erik H. dan Elisabeth H. (65%).
4. CT scanning
Pemeriksaan ini mempunyai akurasi yang lebih tinggi terhadap testis yang
lokasinya di intra abdominal dan sudah dibuktikan pada saat operasi.
5. MRI
Dilakukan bila hasil pemeriksaan USG meragukan.
6. Angiografi dilakukan terhadap kasus yang telah dilakukan eksplorasi inguinal,
tetapi tidak dijumpai testis.
7. Intravena urografi dikerjakan secara selektif pada kasus yang dicurigai adanya
kelainan saluran kemih bagian atas, karena 10% kasus didapati horse shoe kidney,
renal hipoplasia, ureteral duplikasi, hidro ureter, dan hidronefrosis.
8. Venografi gonadal selektif dilakukan pada testis impalpable dimana telah
dilakukan eksplorasi lokal di inguinal, retro peritoneal, dan intra abdominal, tetapi
tidak ditemukan testis atau spermatic vessel-nya buntu serta pada kasus yang
reoperasi.
9. Laparoskopi
Dilakukan pada usia 1 tahun sebagai diagnostik yang paling akurat untuk
mengetahui lokasi testis sebagai petunjuk untuk melakukan insisi pembedahan,
untuk melihat apakah testisnya normal, apakah vas spermatika buntu, atau adanya
vassa di dalam abdomen. Sebagai terapeutik untuk mereposisi testis yang
abnormal. Sebagian besar testis impalpable ditemukan pada operasi, paling tidak
di anulus inguinalis interna.
Buccal smear atau analisa kromosom. Dilakukan selektif terhadap bayi dengan
undescended bilateral yang impalpable.
10. Biopsi. Dilakukan saat pembedahan terhadap testis yang berlokasi di intra
abdominal, yang disertai dengan kelainan genitalia eksterna atau kelainan kariotip.
DIAGNOSIS BANDING
1. Retraktil testis. Ini terjadi karena hiperaktifnya refleks kremaster pada
anak, sehingga testis bergerak ke kanalis inguinalis. Biasanya, retraktil ini
bilateral.
2. Anorchia bilateral. Pada keadaan ini, didapati peningkatan kadar
gonadotropin dengan testosteron yang rendah serta kurangnya respons
terhadap stimulasi HCG atau tidak ada sama sekali.
3. Virilisasi dari hiperplasi adrenal kongenital. Pada penderita wanita dengan
penyakit yang berat, terlihat seperti fenotip laki-laki dengan kriptorkismus
bilateral. Karena itu, diperlukan pemeriksaan buccal smear.
4. Ektopik testis.
KOMPLIKASI
1. Hernia.
Sekitar 90% penderita kriptorkismus menderita hernia inguinalis
ipsilateral yang disebabkan oleh kegagalan penutupan prosesus vaginalis.
2. Torsi.
Terjadi karena abnormalnya jaringan yang menyangga testis yang
kriptorkismus dan tingginya mobilitas testis serta sering terjadi setelah
pubertas.
3. Trauma.
Testis yang terletak di atas pubic tubercle mudah terjadi cedera oleh
trauma.
4. Neoplasma.
Testis yang mengalami kriptorkismus pada dekade ke-3 atau ke-42,
mempunyai kemungkinan keganasan 20–30 kali lebih besar daripada testis
yang normal. Kejadian neoplasma lebih besar terhadap testis intra
abdominal yang tidak diterapi, atau yang dikoreksi secara bedah
saat/setelah pubertas, bila dibandingkan dengan yang intra kanalikular.
Neoplasma umumnya jenis seminoma. Namun, ada laporan bahwa biopsi
testis saat orchiopexy akan meningkatkan risiko keganasan.
5. Infertilitas.
Kriptorkismus bilateral yang tidak diterapi akan mengalami infertilitas
lebih dari 90% kasus, sedangkan yang unilateral 50% kasus. Testis yang
berlokasi di intra abdominal dan di dalam kanalis inguinalis, akan
mengurangi spermatogenik, merusak epitel germinal.
6. Psikologis.
Perasaan rendah diri terhadap fisik atau seksual akibat tidak adanya testis
di skrotum.
PENATALAKSANAAN
Dasar Pertimbangan Terapi Hormonal
Turunnya testis dipengaruhi oleh aksis hipotalamus hipofise testis. Oleh karena
itu, digunakan terapi hormonal HCG dan LHRH untuk pengobatan kriptorkismus.
Di samping itu, terapi hormonal akan meningkatkan rugocity skrotum, ukuran
testis, vas deferens, memperbaiki suplai darah, diduga meningkatkan ukuran dan
panjang vessel spermatic cord, serta menimbulkan efek kontraksi otot polos
gubernakulum untuk membantu turunnya testis. Terapi hormonal sebaiknya
diberikan pada kriptorkismus yang palpable.
Bila kriptorkismus ini diobati sebelum usia 2 tahun, maka fertilitas yang
didapatkan berkisar 87%, kalau tidak diobati setelah usia 3 tahun maka terjadi
penurunan jumlah sel germinal, spermatogonia, dan sel Leydig. Jika tidak
diturunkan sebelum pubertas, menyebabkan germinal hipoplasia dan
mengakibatkan hipospermatogenesis. Bila diturunkan sewaktu pubertas, 30%
menjadikan spermatogenesis yang akseptabel. Sedangkan bila diturunkan setelah
pubertas maka hasilnya hanya 13,5%. Dari laporan ini, terlihat bahwa pengobatan
dini sangat penting dalam penatalaksanaan kriptorkismus. Dianjurkan agar terapi
hormonal dimulai sebelum usia 2 tahun, dan sebaiknya pada usia 10 bulan sampai
24 bulan. Di Bagian I. Kes. Anak FKUI-RSUPNCM, terapi dimulai setelah anak
berusia di atas 9 bulan, karena setelah usia 9 bulan hampir tidak didapatkan lagi
penurunan testis secara spontan.
Human Chorio Gonadotropic Hormone
HCG ini mempunyai cara kerja seperti LH merangsang sel leydig untuk
memproduksi testosteron yang kemudian secara sendiri atau melalui Dihidro-
testosteron (DHT) akan menginduksi turunnya testis.
Schapiro B. (1931) melaporkan keberhasilan terapi HCG terhadap kasus
kriptorkismus. Mosier H.D. (1984) menganjurkan untuk kasus kriptorkismus
inguinal bilateral, terapi HCG diberikan setelah anak berusia 4–5 tahun dengan
dosis 1000-4000 IU, diberikan 3 kali seminggu selama 3 minggu. Garagorri JM,
Job JC, Canlorbe, P, dan Chaussain JL (1982) melakukan penelitian terhadap 153
kasus kriptorkismus dengan rentang usia 6–59 bulan, terdiri dari 109 unilateral
dan 44 bilateral, diterapi dengan HCG dosis 500–1500 IU I.M sebanyak 9 kali
dengan selang sehari. Penelitian ini melaporkan kegagalan terapi pada kelompok
usia kurang dari 3 tahun dan usia 3–4 tahun masing-masing 81% dan 55%.
Tingginya persentase kegagalan terapi didapatkan pada kasus-kasus dimana dosis
HCG < 1000 IU/m2 dan tingginya lokasi testis. Terapi HCG paling baik diberikan
pada kriptorkismus bilateral dengan lokasi testis dekat ke skrotum, tidak
dianjurkan untuk kriptorkismus unilateral, dan testis yang berlokasi di intra
abdominal atau yang letak tinggi. Penulis lain menganjurkan untuk kriptorkismus
bilateral diberi HCG 3300 units intra muskuler setiap selang sehari (3 X injeksi)
dan untuk yang unilateral diberikan 500 units intra muskuler, 3 kali seminggu
selama 6,5 minggu (20 X injeksi).
Terapi hormonal HCG secara injeksi tidak dilakukan tiap hari. Hal ini untuk
mencegah desensitisasi sel leydig terhadap HCG yang dapat menyebabkan
steroidogenic refractoriness dan dosisnya jangan terlalu tinggi karena dapat
menyebabkan refrakternya testis terhadap stimulasi HCG, edema interstisial testis,
gangguan tubulus, dan efek toksik pada testis.
Sebelum dan sesudah penyuntikan, diperiksa kadar testosteron untuk melihat
fungsi sel leydig dalam meningkatkan kadar testosteron plasma yang diperlukan
untuk proses penurunan testis. Jika tidak ada respons, penyuntikan dapat diulang 6
bulan kemudian. Kontra indikasi pemakaian HCG adalah kriptorkismus dengan
hernia, pasca operasi hernia, orchiopexy, dan testis ektopik.
Luteinizing-Hormone-Releasing-Hormone
LHRH diberikan pada penderita kriptorkismus dengan maksud merangsang
hipotalamus untuk mengeluarkan LH dan FSH yang kemudian akan merangsang
sel Leydig untuk mengeluarkan testosteron yang berfungsi dalam proses
penurunan testis. LHRH dengan dosis 3 x 400 ug intra nasal selama 4 minggu,
menurunkan testis secara komplit berkisar 30–64% dari kasus dan desensus
parsial antara 25–43% kasus31. LHRH intra nasal dengan dosis 1–1,2 mg/hari
selama 4 minggu tidak menimbulkan efek samping.
Job JC, Gendrel D, Safar A, et al tidak mendapatkan manfaat yang berarti pada
penggunaan LHRH untuk meningkatkan kadar LH terhadap kasus kriptorkismus
pada kelompok usia 4–11 bulan. Vliet GV, Caufriez A, Robyn C, Wolter R,
meneliti 13 anak kriptorkismus unilateral (usia 1,8–8,5 tahun) dan 13 anak
kriptorkismus bilateral (usia 3–8,5 tahun) dimana tiap anak diberi LHRH
(Hoechst, FRG 25 ug/m2) I.V bolus 1 kali. Ternyata, didapati peningkatan kadar
FSH basal dan respons FSH terhadap LHRH sama pada kriptorkismus unilateral
dan bilateral. Pengobatan dengan LHRH tidak dilakukan karena hasilnya kurang
meyakinkan, tidak tersedianya obat-obat tersebut, serta potensinya di bawah
HCG.
Kombinasi LHRH dengan HCG
Terdapat hipotesis bahwa pemberian HCG dan atau LHRH dapat digunakan pada
anak dengan kriptorkismus. Terapi kombinasi ini dilakukan untuk mengurangi
terjadinya relaps pada pengobatan dengan LHRH saja dan untuk kasus yang
testisnya di luar external inguinal ring.
Waldschmidt J, EL Dessouky M, Friefer A (1987) memberikan LHRH sebanyak
3 kali sehari 400 µg secara intranasal selama 2 minggu, kemudian dilanjutkan
dengan pemberian HCG intra muskuler sebanyak 5 kali dengan selang sehari.
Dosis HCG yang dipakai sesuai dengan anjuran WHO, yaitu 5 kali 250 µg (usia <
2 tahun), 5 kali 500 µg (usia 3–5 tahun), dan 5 kali 1000 µg (usia > 5 tahun).
Didapatkan penurunan testis sebanyak 86,4% sehingga penderita yang sangat
memerlukan tindakan bedah hanya 13,6%. Tetapi, setelah di-follow-up selama 2
tahun, sebagian penderita mengalami relaps dan penurunan testis ini berkurang
menjadi 70,6%.
Evaluasi Pengobatan
Evaluasi pengobatan dilakukan pada tahap selama pengobatan, pada akhir
pengobatan, 1 bulan kemudian, 3 bulan kemudian, 6 bulan, dan 12 bulan
kemudian. Penurunan testis dikatakan komplit bila testis desensus ke dalam
skrotum, dan dikatakan parsial bila turunnya testis dari abdomen atau inguinal
ring turun ke inguinal middle atau lebih rendah.
Hasil penelitian kriptorkismus yang diberi terapi dengan HCG atau LHRH,
tergantung dari:
1. Posisi testis sebelum pengobatan. Terapi hormonal lebih berhasil pada
penderita dengan lokasi testis di inguinal dibandingkan dengan intra
abdominal.
2. Umur penderita saat pengobatan. Hasil terapi lebih baik pada anak-anak
dengan usia lebih besar dibanding anak usia lebih rendah.
3. Bilateral/Unilateral kriptorkismus. Terapi lebih berhasil pada penderita
dengan kriptorkismus bilateral. Hal ini mungkin disebabkan oleh lebih
banyaknya ditemukan penyebab kelainan anatomi pada kriptorkismus
unilateral.
4. Kegagalan terapi hormonal disebabkan 80% kasus karena adanya kelainan
anatomis.
Efek Samping
Sebelum pengobatan dimulai, kemungkinan terjadinya efek samping ini
dijelaskan kepada orangtua. Semua efek samping ini bersifat reversibel. Efek
samping pengobatan HCG antara lain: Bertambahnya volume testis; pembesaran
penis; ereksi; meningkatnya rugocity skrotum; kadang-kadang pertumbuhan
rambut pubis; pigmentasi; serta gangguan emosi.
Sedangkan LHRH tidak memberikan efek samping yang berarti. Walaupun
banyak sekali “controled trial” pemakaian hormonal pada undescended testis
dengan hasil yang bervariasi, terapi hormonal tetap merupakan pilihan utama
pengobatan sebelum dilakukan tindakan operasi.
Terapi Bedah
Terapi bedah dilakukan bila terapi hormonal tidak berhasil, terjadinya obstruksi,
hernia yang potensial menimbulkan obstruksi, atau dicurigai terjadinya torsi, testis
yang lokasinya intra abdominal atau letaknya lebih tinggi di atas kanalis
inguinalis. Tindakan bedah dilakukan bisa satu atau dua tahap, tergantung pada
spermatic vessels apakah normal atau sangat pendek. Tujuannya untuk
memobilisasi testis, adekuatnya spermatik, fiksasi testis yang adekuat ke dalam
skrotum, dan operasi hernia yang menyertainya.
Indikasi orchiopexy (testis difiksasi ke dalam skrotum) adalah testis yang
lokasinya di intra abdominal dengan tingkat kesulitan operasinya kecil, dilakukan
antara usia 10–12 bulan, dengan alasan merupakan saat berhentinya perubahan
degeneratif testis, dan dokter bedah anak melakukannya secara elektif pada usia
1–4 tahun, serta ada yang menganjurkan sebelum usia pubertas. Orchiopexy
dilakukan untuk memperbaiki spermatogenesis, menurunkan risiko keganasan,
dan alasan kosmetik. Orchidectomy (testis di eksisi) dilakukan pada testis yang
kecil di intra abdominal, unilateral, dan yang mengalami atrofi hebat.
Action Comitte on Surgery of the Genitalia dan sebagain penulis
merekomendasikan bahwa Orchiopexy sebaiknya dilakukan pada usia 12 bulan.
Ini didasarkan bahwa pada usia 12 bulan terjadi penurunan spontan testis
sebanyak 75% kasus dan minimalnya risiko anestesi. Bila terapi bedah dilakukan
pada usia lebih dini, akan meningkatkan risiko iatrogenik atrofinya testis, dan bila
dilakukan pada usia setelah pubertas akan menurunkan jumlah sperma serta
terbentuknya antibodi antisperma. Komplikasi dari terapi bedah berupa trauma
vasa sekitar 1–2% kasus, dan atrofinya testis yang disebabkan oleh terganggunya
aliran darah.
KESIMPULAN
Diagnosis kriptorkismus ditegakkan setelah usia 1 tahun, walaupun sesudah usia 9
bulan hampir tidak didapatkan lagi penurunan testis secara spontan. Dianjurkan
diobati antara usia 10 bulan sampai 24 bulan.
Insiden undescended testis lebih tinggi pada bayi kurang bulan, tetapi ada laporan
pada usia 3 bulan desensus testis lebih banyak terjadi dibandingkan dengan bayi
cukup bulan. Insidens kriptorkismus pada anak usia 1 tahun sebesar 0,5–0,8%.
Walaupun penyebab kriptorkismus sebagian besar tidak diketahui, terapi
hormonal dianjurkan terutama terhadap kriptorkismus bilateral, lokasi testisnya di
inguinal, serta tidak dijumpai kelainan anatomi dan kontra indikasi terhadap HCG.
Terapi hormonal LHRH tidak dianjurkan karena potensinya di bawah HCG, dan
sediaan obat ini belum ada di Indonesia. Bervariasinya dosis dan lama pemberian
HCG, diperlukan penelitian untuk menilai mana yang lebih baik.
Terapi bedah dilakukan bila tidak ada respons dengan pengobatan hormonal,
terjadinya obstruksi, hernia yang potensial menimbulkan obstruksi, atau dicurigai
terjadinya torsi.
REFERAT
UNDESCENDED TESTIS
OLEH :
BAIS SUBAIKI (0818011052)NINDYASARI DIAJENG LARASATI (0818011077)
WIDYA EMILIANA (0818011103)
PRECEPTOR :
dr. Mars Dwi Tjahyo, Sp.U
SMF BEDAHRUMAH SAKIT UMUM DAERAH H. ABDUL MOELOEK
BANDAR LAMPUNG
MEI 2012