Upload
duongquynh
View
216
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
NAHDLATUL ULAMA’ SEBAGAI OPINION LEADER DALAM POLITIK DEMOKRASI DI INDONESIA
(SEBUAH KAJIAN TEORITIK)
Oleh: Hafis Muaddab Staf pengajar akuntansi dan perbankan syariah SMK Negeri 1 Jombang dan
Wakil Sekretaris PC GP Ansor Jombang Tahun 2014-2018 E-mail: [email protected]
ABSTRAK
NU's political role as an opinion leader, was built in the three functions of (1) the function of social culture (2) the function of advocacy and political literacy, (3) social networking functionality. These functions are a series of interrelated to one another. The operation of one of the functions need to be supported by other functions so that a real political role occurred. Implementation of NU's political role should not leave their social functions as religious organizations in Indonesia. Leaving the implementation of the social function of NU not only deny the 1926 legacy but also make the political role NU fragility of the building itself .
Keyword: opinion leader, Nahdlatul Ulama, politic, democracy
Pendahuluan
Dalam konsep good governance, “accountability is a key requirement of good
governance”1. Richard C. Box2, memberikan ruang yang lebih besar terhadap peran masyarakat
sebagai warga negara. Dalam bingkai pemerintahan di Indonesia hal ini dapat ditelusuri dalam
koridor UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Secara formal, undang-undang tersebut
memberikan kerangka yang cukup ideal bagi terwujudnya keadaan politik lokal yang dinamis dan
demokratis terhadap partisipasi masyarakat di setiap daerah. Penguatan media sebagai ekses dari
globalisasi, dalam mempengaruhi hingga mampu menghegemoni dan membentuk kehendak umum
dalam mengatasi persoalan sektoral. Apa yang terjadi di Mesir, Libya dan beberapa kawasan di
Timur Tengah3 membuktikan hal tersebut. Kita menyaksikan betapa mobilisasi massa melalui opini
1 Konsep " pemerintahan " bukanlah hal baru . Hal ini setua peradaban manusia . Sederhananya " governance " berarti : proses pengambilan keputusan dan proses dimana keputusan diimplementasikan ( atau tidak diimplementasikan ) . Tata Kelola dapat digunakan dalam beberapa konteks seperti tata kelola perusahaan , pemerintahan internasional , pemerintahan nasional dan pemerintahan lokal . UN, 2004. What is good governance. Economic and Social Commission for Asia and the Pacific 2 Lihat, Richard C. Box. 1998. Citizen Governance: Leading American Communities into 21st Century, Sage Publication, California 3 Hal ini disitilahkan dengan kebangkitan dunia Arab atau Musim Semi Arab (bahasa Inggris: The Arab Spring; bahasa Arab: ةيبرعلا تاروثلا, secara harafiah Pemberontakan Arab) adalah gelombang revolusi unjuk rasa dan protes yang terjadi di dunia Arab. Sejak 18 Desember 2010, telah terjadi revolusi di Tunisia dan Mesir; perang saudara di Libya; pemberontakan sipil di Bahrain, Suriah, and Yaman; protes besar di Aljazair, Irak, Yordania, Maroko] dan Oman, dan protes kecil di Kuwait, Lebanon, Mauritania, Arab Saudi, Sudan, dan Sahara Barat. Kerusuhan di perbatasan Israel bulan Mei 2011 juga terinspirasi oleh kebangkitan dunia Arab ini. Protes ini menggunakan teknik pemberontakan sipil dalam kampanye yang melibatkan serangan, demonstrasi, pawai, dan pemanfaatan media sosial, seperti Facebook, Twitter, YouTube, dan Skype, untuk mengorganisir, berkomunikasi, dan meningkatkan kesadaran terhadap usaha-usaha penekanan dan penyensoran Internet oleh pemerintah.
14
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
media sosial yang dilakukan secara sistematis mampu melakukan perubahan kepemimpinan
nasional. Di dalam negeri sendiri kita kita dapat melihat pada kasus Prita4 atau Cicak Vs Buaya5,
pembuktian pendapat Gramsci bahwa media memiliki peran sebagai alat hegemoni terhadap
pembentukan kehendak umum. Persoalannya, hegemoni yang berlangsung saat ini apakah
dilakukan melalui integritas ideologis.
Perkembangan selanjutnya, trend globalisasi sangat mempengaruhi proses-proses politik di
seluruh negara di dunia, termasuk berpengaruh terhadap demokratisasi di Indonesia. Globalisasi
bukan saja ditandai oleh ketergantungan antar negara dan terintegrasinya sistem-sistem ekonomi
dan sosial, tetapi juga, dan lebih penting lagi, menimbulkan gejala-gejala baru berupa de-statisation
dan de-nationalisation. Gejala-gejala itu ditandai oleh berkurangnya peran negara sebagai akibat
liberalisasi pasar dan terbentuknya konfigurasi baru hubungan pemerintah pusat dan lokal. Lebih
lanjut, globalisasi menyebabkan perubahan-perubahan politik secara mendasar, yaitu dengan
bercampur-baurnya kepentingan dan kewenangan aktor-aktor negara, bisnis dan masyarakat sipil di
tingkat global, nasional, regional dan lokal. Akibatnya, proses-proses politik demokratis, baik untuk
merumuskan dan menjalankan kepentingan publik, hingga fungsi kontrol media dalam survei publik
didominasi oleh aktivitas berorientasi ekonomi-pasar yang sangat dipengaruhi oleh kekuatan modal
para aktor yang bermain di dalamnya. Yang terpinggirkan dari proses seperti itu adalah hak publik
untuk berpartisipasi di dalam proses-proses perumusan kebijakan publik.
Di Indonesia, studi yang dilakukan Demos pada 2003/2004 dan 2007 serta paparan Robison
dan Vedi Hadiz6, misalnya, memperlihatkan demokratisasi politik yang cenderung oligarkis.
Terjadi dominasi elit ditingkat lokal yang tidak memberikan kontribusi positif terhadap kalangan
akar rumput (grass root). Dalam konteks Nahdhatul Ulama (NU), perkembangan politik demokratis
tidak bisa dipisahkan dari pesantren sebagai entitas politik selain sebagai lembaga pendidikan yang
merupakan basis gerakan NU. Persaingan para elit NU dalam memperebutkan kekuasaan baik pusat
ataupun daerah, menunjukkan bahwa NU telah jauh masuk dalam pusaran liberalisasi politik. Elit
NU yang memilih terjun dalam politik pragmatis ini membuat mereka terfragmentasi di partai
politik. Perebutan akses politik ini jelas sarat kepentingan ekonomi pribadi ataupun golongan. Figur
kiai yang biasanya disegani masyarakat NU juga masuk dalam pusaran politik pragmatis, terutama
4 Kasus yang disebabkan surat elektronik yang menyebar di internet mengenai layanan RS Omni Internasional Alam Sutera. Melalui surat ini Prita dianggap telah mencemarkan nama baik rumah sakit tersebut beserta sejumlah dokter mereka 5 Kedua personifikasi ini diciptakan oleh Susno Duadji ketika diwawancarai oleh majalah Tempo tercetak pada edisi 20/XXXVIII 06 Juli 2009 dengan mengatakan cicak kok mau melawan buaya sebagai personifikasi KPK sebagai cicak sementara Kepolisian sebagai buaya dan dalam perkembangan selanjutnya buaya berubah menjadi penganti tikus yang dahulu diidentikkan dengan para pelaku korupsi 6 Lihat, Ricard Robinson and Vedi R. Hadiz. 2004. Reorganising Power In Indonesia: The Politics of Oligarchy in an age of Markets. Bulletin of Indonesian Economic Studies. Australian National University. Australia
15
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
didaerah basis suara NU. Implikasinya terjadi delegitimasi peran kiai sebagai culture broker atau
agent of change.
Menurunnya jumlah santri dibeberapa pesantren yang kiainya berpolitik memberi bukti
terjadinya delegitimasi tersebut. Saidin Ernas7 dalam studinya menyebutkan bahwa, banyak
pesantren yang mengalami penurunan kualitas karena kiai atau pimpinan pesantrennya lebih sibuk
berpolitik. Pesantren yang terlampau aktif dalam peran politiknya (political oriented) sangat
mungkin akan ditinggal oleh santrinya. Sebab orang tua santri yang kritis akan lebih memilih
pesantren yang lebih menjaga independensinya terhadap politik praktis. Pada titik ini, dapat disimak
bahwa masyarakat yang sebelumnya sangat menghormati pesantren dan selalu mengikuti anjuran
dan arahan pesantren mempunyai dasar untuk menentang legitimasi fatwa pesantren, khususnya
dalam isu-isu sosial dan politik, terutama dalam kasus pemilu.
Lemahnya penegakan hukum, rendahnya komitmen pemerintah terhadap perlindungan
kaum minoritas, persoalan kesejahteraan masyarakat, perilaku koruptif para birokrat hingga
rendahnya empati sosial para wakil rakyat di senayan. Kondisi politik ini menurut Prof. Azumardi
Azra telah menyebabkan terjadinya kelelahan politik (political fatique) yang berujung pada
apatisme politik. Padahal baik di negara yang sudah mapan dengan demokrasi maupun yang masih
dalam proses konsolidasi seperti Indonesia, apatisme politik jelas tidak menguntungkan. Dalam
konteks Indonesia, apatisme politik dapat mengakibatkan kian terbengkalainya agenda-agenda
konsolidasi demokrasi, seperti pemberdayaan pranata dan institusi demokrasi semacam partai
politik, lembaga perwakilan rakyat (DPR); penciptaan good governance dan pemberantasan
korupsi; penguatan kultur politik demokratis, civic culture (budaya kewargaan) dan civility
(keadaban); serta penegakan hukum. Jika agenda-agenda ini telantar, bisa dipastikan konsolidasi
demokrasi di negeri ini tidak bakal pernah berakhir. Sebaliknya, yang terus berlanjut adalah
kerancuan, anomali, dan kekisruhan politik yang menghambat akselerasi Indonesia menjadi sebuah
negara yang bermartabat dan disegani negara-negara lain.
Apatisme masyarakat terhadap politik secara struktural merupakan bagian dari alienasi
politik. Alienasi politik seperti dijelaskan oleh Lane dalam bukunya, Political Ideology, memiliki
definisi umum sebagai keterasingan orang terhadap pemerintah dan politik dalam masyarakatnya
sehingga memunculkan penolakan terhadap kegagalan politik8. Masyarakat yang acuh tak acuh
pada setiap agenda politik nasional maupun daerah dapat ditempatkan sebagai floating mass yang
hanya diaktifkan dimasa pemilihan. Fakta ini terjadi manakala NU hanya dimanfaatkan menjadi
7 Saidin Ernas. 2011. Bias Politik Pesantren: Dari Pragmatisme-Transaksional Hingga Resistensi Sosial. Jurnal Studi Pemerintahan Vol.2 Nomor 1 Februari 2011. UMY Press. Yogyakarta 8 Lihat, Lane, R. E.1962. Political Ideology. Why the American Common Man Believes What He Does, New York, The Free Press.
16
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
pengumpul suara (vote getter) bukan sebagai mitra strategis pemerintah dalam membangun
demokrasi yang lebih baik.
Agar komunikasi politik berjalan dengan baik maka keberadaan ormas menjadi penting
sebagai perantara komunikasi politik. Sehingga sesuai khittah 1926 yang digariskan para
pendirinya, NU perlu berperan sebagai perantara komunikasi politik, sebuah peran yang dalam ilmu
komunikasi disebut sebagai peran “opinion leader”. Untuk melaksanakan peran tersebut NU perlu
mendayagunakan tiga elemen dasar. Pertama, pembenahan fungsi kultur sosial (moralitas politik)
pesantren yang terdegradasi oleh perilaku para elitnya. Kedua mendayagunakan kelembagaan
media sebagai ruang publik alternatif yang dapat menjadi kekuatan potensial. Ketiga, membangun
kemandirian masyarakat tentang apa yang harus dilakukan untuk memungkinkan berlangsungnya
fungsi pengendalian terhadap urusan-urusan publik dan kesetaraan warga negara dalam politik
demokrasi yang dibangun. Tokoh NU yang pernah berhasil melakukan peranan tersebut adalah KH.
Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
Tinjauan Teoritik
Konsep Opinion Leader
Istilah opinion leader menjadi perbincangan dalam literatur komunikasi sekitar tahun 1950-
1960an. Sebelumnya dalam istilah komunikasi sering digunakan istilah influentials, influence atau
tastemakers untuk menyebut opinion leader. Kata opinion leader kemudian menjadi lebih lekat
dengan kondisi masyarakat di pedesaan karena tingkat media exposure-nya dan tingkat
pendidikannya yang masih rendah. Akses dari media lebih memungkinkan dari mereka yang
mempunyai tingkat pemahaman yang lebih tinggi. Melalui seorang opinion leader-lah informasi
yang datangnya dari media diketahui oleh masyarakat awam.
Secara tidak langsung, opinion leader merupakan perantara berbagai informasi yang
diterima dan diteruskan kepada masyarakat setempat. Pihak yang sering menjadi media exposure di
masyarakat desa kadang diperankan oleh seorang opinion leader. Mereka ini sangat dipercaya dan
dijadikan panutan serta menjadi tempat bertanya dan meminta nasehat dalam segala hal.
Opinion leader dalam kelompok mempunyai cara yang berbeda-beda dalam menyampaikan
pesannya kepada komunikan untuk mendapatkan respon atau tanggapan tertentu dalam situasi
tertentu pula. Kesesuaian maksud dari opinion leader ini tergantung dari isi pesan dan feedback
yang diharapkan dari komunikan. Selain itu faktor psikologis masing-masing opinion leader juga
menentukan gaya dan caranya dalam mengelola penyampaian pesan. Dalam sebuah komunikasi, umpan balik merupakan bentuk khas dari sebuah pesan.
Komunikasi disebut efektif jika umpan balik yang didapatkan sesuai dengan harapan komunikator.
17
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
Oleh karena itu perlu seorang komunikator yang berkemampuan untuk mendapatkan kategori
komunikasi efektif. Untuk itu karakteristik opinion leader dapat dibagi menjadi 6 (enam), yaitu:
1. The Controlling Style
Dalam karakter opinion leader yang pertama adalah bersifat mengendalikan. Gaya
mengendalikan ini ditandai dengan adanya satu kehendak atau maksud untuk
membatasi, memaksa dan mengatur baik perilaku, pikiran dan tanggapan komunikan.
Gaya ini dapat dikategorikan sebagai one step flow. Oleh karena itu opinion leader tidak
berusaha untuk membicarakan gagasannya, namun lebih pada usaha agar gagasannya
ini dilaksanakan seperti apa yang dikatakan dan diharapkan tanpa mendengarkan pikiran
dari komunikan.
2. The Equalitarian Style
Gaya ini lebih megutamakan kesamaan pikiran antara opinion leader dan komunikan.
Dalam gaya ini tindak komunikasi dilakukan secara terbuka. Artinya setiap anggota
dapat mengkomunikasikan gagasan ataupun pendapat dalam suasana yang rileks, santai
dan informal. Dengan kondisi yang seperti ini diharapkan komunikasi akan mencapai
kesepakatan dan pengertian bersama. Opinion leader yang menggunakan pola two step
flow ini merupakan orang-orang yang memiliki sikap kepedulian tinggi serta
kemampuan membina hubungan baik dengan orang lain dalam lingkup hubungan
pribadi maupun hubungan kerja. Oleh karena itu akan terbina empati dan kerjasama
dalam setiap pengambilan keputusan terlebih dalam masalah yang kompleks.
3. The Structuring Style
Poin dalam gaya ini adalah penjadwalan tugas dan pekerjaan secara terstuktur. Seorang
opinion leader yang menganut gaya ini lebih memanfaatkan pesan-pesan verbal secara
lisan maupun tulisan agar memantapkan instruksi yang harus dilaksanakan oleh semua
anggota komunikasi. Seorang opinion leader yang mampu membuat instruksi terstuktur
adalah orang-orang yang mampu merencanakan pesan-pesan verbal untuk
memantapkan tujuan organisasi, kerangka penugasan dan memberikan jawaban atas
pertanyaan yang muncul.
4. The Relinquising Style
Gaya ini lebih dikenal dengan gaya komunikasi agresif, artinya pengirim pesan atau
komunikator mengetahui bahwa lingkungannya berorientasi pada tindakan (action
oriented). Komunikasi semacam ini seringkali dipakai untuk mempengaruhi orang lain
dan memiliki kecenderungan memaksa. Tujuan utama komunikasi dinamis ini adalah
untuk menstimuli atau merangsang orang lain berbuat lebih baik dan lebih cepat dari
saat itu. Untuk penggunaan gaya ini lebih cocok digunakan untuk mengatasi persoalan
18
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
yang bersifat kritis namun tetap memperhatikan kemampuan yang cukup untuk
menyelesaikan persoalan tersebut bersama-sama.
5. The Dynamic Style
Dalam sebuah komunikasi kelompok tidak semua hal dikuasai oleh opinion leader, baik
dalam percakapan hingga pengambilan keputusan. Bekerja sama antara seluruh anggota
lebih ditekankan dalam model komunikasi jenis ini. Komunikator tidak hanya
membicarakan permasalahan tetapi juga meminta pendapat dari seluruh anggota
komunikasi. Komunikasi ini lebih mencerminkan kesediaan untuk menerima saran,
pendapat atau gagasan orang lain. Komunikator tidak memberi perintah meskipun ia
memiliki hak untuk memberi perintah dan mengontrol orang lain. Untuk itu diperlukan
komunikan yang berpengatahuan luas, teliti serta bersedia bertanggung jawab atas tugas
yang dibebankan.
6. The Withdrawal Style
Deskripsi konkret dari gaya ini adalah independen atau berdiri sendiri dan menghindari
komunikasi. Tujuannya adalah untuk mengalihkan persoalan yang tengah dihadapi oleh
kelompok. Gaya ini memiliki kecenderungan untuk menghalangi berlangsungnya
interaksi yang bermanfaat dan produktif. Akibat yang muncul jika gaya ini digunakan
adalah melemahnya tindak komunikasi, artinya tidak ada keinginan dari orang-orang
yang memakai gaya ini untuk berkomunikasi dengan orang lain, karena ada beberapa
persoalan ataupun kesulitan antar pribadi yang dihadapi oleh orang-orang tersebut.
Opinion Leader dalam Kelompok
Sebuah kelompok adalah kumpulan dari beberapa individu yang memiliki tujuan sama
untuk membangun sebuah perubahan. Kelompok merupakan bagian kehidupan kita sehari-hari.
Bagi individu, kelompok dikatakan sebagai media pengungkapan persoalan-persoalan baik yang
bersifat pribadi (keluarga sebagai kelompok primer) maupun yang bersifat umum (kebutuhan
pengetahuan semua anggota kelompok). Setiap individu memilih kelompoknya masing-masing
berdasarkan ketertarikannya (interest) masing-masing. Orang yang memisahkan atau mengisolasi
diri dari orang lain adalah orang yang penyendiri, benci kepada orang lain atau dapat dikatakan
sebagai orang antisosial.
Semua anggota di dalam kelompok memiliki tujuan yang sama sehingga mereka bersatu dan
membangun sebuah sinergi untuk mewujudkannya. Di dalam teori kepribadian kelompok, sinergi
dikatakan memiliki peran penting dalam sebuah pencapaian cita-cita. Namun sinergi tidak hanya
dihabiskan untuk mencapai tujuan saja tetapi juga termasuk untuk menjaga hubungan antar anggota,
baik pribadi maupun umum. Dalam sebuah kelompok terdapat opinion leader (komunikator) dan
19
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
anggota (komunikan). Fungsi seorang komunikator dapat dijabarkan dalam 8 (delapan) aspek
menurut Burgoon, Heston dan Mc. Croskey. Kedelapan fungsi tersebut adalah: (1) Fungsi Inisiasi
(2) Fungsi Keanggotaan, (3) Fungsi Perwakilan (4) Fungsi Organisasi (5) Fungsi Integrasi (6)
Fungsi Manajemen Informasi Internal (7) Fungsi Penyaring Informasi (8) Fungsi Imbalan.
Dalam konteks politik peran opinion leader lebih dikaitkan pada kemampuan atau otoritas
yang tinggi untuk menentukan sikap dan perilaku kelompok. Bukan dari kedudukan politik tetapi
karena kewibawaan, ketundukan, kharisma, mitos yang melekat padanya atau karena pengetahuan
serta pengalaman yang dimilikinya. Dengan demikian, kondisi kultural NU yang merupakan
representasi pesantren yang memiliki solidaritas primordial memungkinkan untuk menampilkan
peran politik sebagai sebagai opinion leader secara kelembagaan. Membangun NU sebagai
kekuatan ekstra parlementer dalam paradigma Ahlus Sunnah Wal Jamaah dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Teori Elit
Garis besar perkembangan elit Indonesia adalah dari yang bersifat tradisional yang
berorientasi kosmologis, dan berdasarkan keturunan kepada elit modern yang berorientasi kepada
negara kemakmuran, berdasarkan pendidikan. Elit modern ini jauh lebih beraneka ragam daripada
elit tradisional. Secara struktural ada disebutkan tentang administratur-administratur, pegawai-
pegawai pemerintah, teknisi-teknisi, orang-orang profesional, dan para intelektual, tetapi pada
akhirnya perbedaan utama yang dapat dibuat adalah antara elit fungsional dan elit politik.
Elit fungsional adalah pemimpin-pemimpin yang baik pada masa lalumaupun masa sekarang
mengabdikan diri untuk kelangsungan berfungsinya suatu negara dan masyarakat yang modern,
sedangkan elit politik adalah orang-orang (Indonesia) yang terlibat dalam aktivitas politik untuk
berbagai tujuan tapi biasanya bertalian dengan sekedar perubahan politik. Kelompok pertama
berlainan dengan yang biasa ditafsirkan, menjalankan fungsi sosial yang lebih besar dengan
bertindak sebagai pembawa perubahan, sedangkan golongan ke dua lebih mempunyai arti simbolis
daripada praktis.
Elit politik yang dimaksud adalah individu atau kelompok elit yang memiliki pengaruh
dalam proses pengambilan keputusan politik. Suzanne Keller (dalam Nas, 2007: 22)
mengelompokkan ahli yang mengkaji elit politik ke dalam dua golongan. Pertama, ahli yang
beranggapan bahwa golongan elite itu adalah tunggal yang biasa disebut elit politik (Aristoteles,
Gaetano Mosca dan Pareto). Kedua, ahli yang beranggapan bahwa ada sejumlah kaum elit yang
berkoeksistensi, berbagi kekuasaan, tanggung jawab, dan hak-hak atau imbalan. (ahlinya adalah
Saint Simon, Karl Mainnheim, dan Raymond Aron).
20
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
Teori Hegemoni Gramsci
Istilah hegemoni berasal dari bahasa Yunani kuno yaitu ‘eugemonia’. Sebagaimana yang
dikemukakan Encylclopedia Britanica dalam prakteknya di Yunani, diterapkan untuk menunjukkan
dominasi posisi yang diklaim oleh negara-negara kota (polism atau citystates) secara individual
misalnya yang dilakukan oleh negara Athena dan Sparta terhadap negara-negara lain yang sejajar.9
Adapun teori hegemoni yang dicetuskan Gramsci10 adalah:
“Sebuah pandangan hidup dan cara berpikir yang dominan, yang di dalamnya sebuah
konsep tentang kenyataan disebarluaskan dalam masyarakat baik secara institusional maupun
perorangan; (ideologi) mendiktekan seluruh cita rasa, kebiasaan moral, prinsip-prinsip religius dan
politik, serta seluruh hubungan-hubungan sosial, khususnya dalam makna intelektual dan moral.”
Berdasarkan pemikiran Gramsci tersebut dapat dijelaskan bahwa hegemoni merupakan suatu
kekuasaan atau dominasi atas nilai-nilai kehidupan, norma, maupun kebudayaan sekelompok
masyarakat yang akhirnya berubah menjadi doktrin terhadap kelompok masyarakat lainnya dimana
kelompok yang didominasi tersebut secara sadar mengikutinya. Kelompok yang didominasi oleh
kelompok lain (penguasa) tidak merasa ditindas dan merasa itu sebagai hal yang seharusnya terjadi.
Berdasarkan pemikiran Gramsci tersebut dapat dijelaskan bahwa hegemoni merupakan suatu
kekuasaan atau dominasi atas nilai-nilai kehidupan, norma, maupun kebudayaan sekelompok
masyarakat yang akhirnya berubah menjadi doktrin terhadap kelompok masyarakat lainnya dimana
kelompok yang didominasi tersebut secara sadar mengikutinya. Kelompok yang didominasi oleh
kelompok lain (penguasa) tidak merasa ditindas dan merasa itu sebagai hal yang seharusnya terjadi,
jika direfleksikan ke dalam kehidupan sosial-politik di Indonesia. Bagi Gramci, media merupakan
arena pergulatan antar ideologi yang saling berkompetisi (the battle ground for competing
ideologies). Antonio Gramci melihat media sebagai ruang di mana berbagai ideologi
dipresentasikan. Ini berarti, di satu sisi media bisa menjadi sarana penyebaran ideologi penguasa,
alat legitimasi dan kontrol atas wacana publik. Namun di sisi lain, media juga bisa menjadi alat
resistensi terhadap kekuasaan. Media bisa menjadi alat untuk membangun kultur dan ideologi
dominan bagi kepentingan kelas dominan, sekaligus juga bisa menjadi instrumen perjuangan bagi
kaum tertindas untuk membangun kultur dan ideologi tandingan.
Konsep Keterwakilan Dalam Politik Demokrasi
Unsur mendasar demokrasi seperti disinggung sebelumnya dalam latar belakang setidaknya
melibatkan tiga unsur pokok, yaitu warga negara yang setara (demos), urusan publik (public
matters), dan kontrol publik (popular control). Maka, pertanyaan-pertanyaan terpenting untuk
9 Lihat, Hendarto, Heru, 1993, Mengenal Kosep Hegemoni Gramsci: dalam Diskursus Kemasyarakatan dan Kemanusiaan, Gramedia, Jakarta 10 Gramsci, Antonio, 2001. Catatan-Catatan Politik. Pustaka Prometehea. Surabaya
21
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
mendiagnosa situasi dan kondisi demokrasi adalah: (1) siapa demos?; (2) bagaimana urusan publik
dirumuskan?; dan (3) bagaimana kontrol publik dijalankan?. Pertanyaan-pertanyaan ini sangat erat
kaitannya dengan persoalan keterwakilan dan partisipasi. Keterwakilan berkaitan dengan jaminan
atas hak-hak setiap warga negara untuk mewujudkan kepentingan-kepentingannya. Sedangkan
partisipasi berkaitan dengan jaminan atas hak-hak setiap warga negara untuk ikut serta secara aktif
di dalam proses-proses politik yang menentukan pengambilan, pelaksanaan dan kontrol atas
kebijakan-kebijakan publik.Institusi keterwakilan dan partisipasi yang demokratis harus menjamin
hak dan kepentingan setiap warga negara. Abai terhadap kedua aspek itu, maka demokrasi hanyalah
sebatas serangkaian prosedur demokrasi, dan karena itu jauh dari demokrasi yang substansial.
Partisipasi dan keterwakilan merupakan dua konsep penting yang senantiasa muncul dalam
topik diskusi demokrasi. Kendati begitu, masing-masing konsep merupakan buah dari dua gagasan
yang berbeda. Partisipasi tumbuh dalam tradisi pemikiran republikanisme, sedangkan keterwakilan
lebih dekat dengan gagasan liberalisme. Partisipasi merupakan prinsip keterbukaan bagi semua
individu untuk mengontrol semua urusan publik, sedangkan keterwakilan berkaitan dengan
pengakuan dan pemenuhan atas hak-hak (kepentingan) setiap individu. Dalam wacana demokrasi,
karena itu, muncul istilah demokrasi langsung (direct democracy) dan demokrasi perwakilan
(representative democracy).
Pada perkembangannya hingga kini, baik partisipasi maupun keterwakilan kerap menjadi
tolok ukur kualitas demokrasi. Semakin luas partisipasi publik dan semakin banyak kepentingan
publik yang terwakili, dikatakan kualitas demokrasi semakin baik. Sebaliknya, keterbatasan akses
partisipasi dan ketimpangan muatan kepentingan dalam proses dan produk-produk kebijakan publik
merupakan indikasi bagi buruknya kualitas demokrasi. Itu sebabnya demokrasi – entah langsung
ataupun perwakilan – dikatakan menjadi semakin baik kualitasnya jika semakin substantif pada
pelaksanaannya, bukan semata-mata mengutamakan prosedur.
Dalam kaitan itu, identifikasi mengenai siapa demos merupakan hal yang sangat mendasar.
Dari rumusan mengenai demos itulah aspek-aspek perbaikan partisipasi dapat ditentukan dan
agregasi kepentingan publik melalui mekanisme perwakilan demokratis bisa berlangsung lebih
baik. Semakin terbatas demos maka akan semakin terbatas kepentingan publik yang bisa
dirumuskan. Dan semakin terbatas kepentingan publik, prosedur-prosedur demokrasi hanya akan
menguntungkan sebagian anggota masyarakat.
Sebagai sebuah tema kajian, keterwakilan sudah banyak menyedot perhatian para akademisi.
Salah satu yang paling dikenal adalah karya Hanna Fenichel Pitkin yang berjudul The Concept of
Representation. Pitkin memberikan definisi yang jelas terhadap keterwakilan, yaitu “to make
present again.” On this definition, political representation is the activity of making citizens' voices,
22
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
opinions, and perspectives “present” in the public policy making processes. Ulasan Pitkin
mengenai keterwakilan itu dirangkum oleh Tornquist dan Warouw:
“.. .bahwa keterwakilan mengasumsikan adanya wakil, orang-orang yang diwakili, sesuatu
yang diwakili dan sebuah konteks politiknya. Dinamika keterwakilan terutama menyangkut
dengan otorisasi dan akuntabilitas, yang mengasumsikan adanya transparansi dan daya
tanggap. Apa yang diketerwakilankan dapat bersifat substantif, deskriptif atau simbolik.
Keterwakilan substantif adalah ketika wakil ‘bertindak untuk’ (acts for) mereka yang
diwakili, seperti misalnya seorang pemimpin memperjuangkan kepentingan buruh.
Keterwakilan deskriptif adalah ketika wakil ‘berdiri untuk’ (stands for) orang-orang yang
secara objektif serupa. Misalnya, seorang perempuan mewakili perempuan dan seorang
penduduk desa mewakili keseluruhan penduduk desanya. Jenis terakhir adalah keterwakilan
simbolik yaitu ketika seorang aktor dianggap oleh mereka yang diwakili, juga, ‘berdiri
untuk’ (stands for) mereka, tetapi kali ini dalam pengertian kesamaan kebudayaan dan
identitas. Namun demikian keterwakilan simbolik bisa juga dipahami secara lebih luas,
sebagaimana ditulis Bourdieu (Wacquant, 2005; Stokke, 2002) dan Anderson (1983),
sebagai sesuatu yang mengonstruksi demos, kelompok-kelompok dan berbagai kepentingan
yang diwakili dan menyatakan diri sebagai otoritas yang absah sebagai seorang wakil.”
Berangkat dari kategorisasi keterwakilan Pitkin itu, Törnquist menawarkan sebuah
pendekatan baru untuk memahami keterwakilan. Keterwakilan harus mencakup pula model-model
partisipasi alternatif berupa partisipasi langsung warga yang melibatkan kelompok-kelompok
kewargaan dan organisasi-organisasi masyarakat. Dalam kerangka yang ditawarkan Törnquist ini,
model-model partisipasi alternatif dalam politik demokrasi bekerja atas dasar kesepakatan-
kesepakatan dan cara-cara informal, misalnya perantaraan melalui tokoh-tokoh informal, kelompok
lobi, dan LSM. Tetapi nampaknya konsep ini mengesampingkan globalisasi yang memiliki dampak
yang signifikan.
Di Indonesia, globalisasi menyebabkan perubahan-perubahan politik secara mendasar, yaitu
dengan bercampur-baurnya kepentingan dan kewenangan aktor-aktor negara, bisnis dan masyarakat
sipil di tingkat global, nasional, regional dan lokal. Akibatnya, proses-proses politik demokratis,
baik untuk merumuskan dan menjalankan kepentingan publik, hingga fungsi kontrol media dalam
survei publik didominasi oleh aktivitas berorientasi ekonomi-pasar yang sangat dipengaruhi oleh
kekuatan modal para aktor yang bermain di dalamnya. Yang terpinggirkan dari proses seperti itu
adalah hak publik untuk berpartisipasi di dalam proses-proses perumusan kebijakan publik.
Sehingga demokratisasi politik di Indonesia berkembang menjadi cenderung oligarkis. Terjadi
dominasi elit ditingkat lokal yang tidak memberikan kontribusi positif terhadap kalangan akar
rumput (grass root).Padahal prosedur-prosedur politik demokratis seharusnya menyangga satu pilar
23
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
terpenting demokrasi, yaitu pemenuhan kepentingan-kepentingan publik dan terbukanya akses
partisipasi popular.
Untuk memahami konsep keterwakilan yang ditawarkan oleh Pitkin dapat dilihat pada
gambar 2.1 di bawah ini:
Gambar 2.1 Kerangka Terintegrasi Bagi Studi Keterwakilan Popular Demokratis (Sumber: Törnquist, Webster, Stokke (eds.), Rethinking Popular Representation
(New York: Palgrave Macmillan, 2009), hal 11). Dalam kajian ini bagi Nahdhatul Ulama (NU) pilihan strategi tersebut tentu dapat dilakukan
semua mengingat modal ekonomi, sosial dan kultural yang dimiliki sebagai ormas keagamaan di
Indonesia. Akan tetapi tentu bukan pilihan strategi tentunya berangkat dari sebuah peran yang
dimiliki oleh NU dibidang politik demokrasi, peran tersebut adalah peran lembaga NU sebagai
opinion leader. Lembaga keterwakilan alternatif bagi kepentingan yang tidak terwakili oleh ketiga
lembaga aspirasi seperti; civil society, politic society dan informal leaders. Keterwakilan ini
mencakup peran politik NU sebagai;
a) Fungsi Kultur Sosial (Social Culture). Untuk membangun kepercayaan diri kader NU,
persamaan wacana dan komitmen kebangsaan dalam rangka memperkuat kelembagaan
representrasi demokrasi
b) Fungsi Advokasi dan Literasi Politik (Advocacy and Politic Literacy). Untuk mengawal
proses politik demokrasi dan membangun literasi politik anggota masyarakat
c) Fungsi Jejaring Sosial (Social Networking). Memperkuat modal ekonomi, modal kultural dan
modal sosial NU untuk membangun fungsi kontrol demokrasi dan penyalur aspirasi masyarakat
24
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
Untuk lebih jelasnya silahkan melihat gambar dibawah ini;
Gambar 2.2 Kerangka Terintegrasi Peran NU Sebagai Opinion Leader Lembaga keterwakilan alternatif bagi kepentingan yang tidak terwakili
(civil society, politic society dan informal leaders)
Sesuai dengan gambar di atas sebenarnya, peran NU dalam politik demokrasi berada pada
lembaga civil society dan informal leader. Tetapi seiring tidak berjalannya fungsi keterwakilan
karena adanya dominasi elit, maka perlu mengambil peran politik sebagai opinion leader. Peran
tersebut mengambil fungsi untuk membentuk perwakilan aspirasi masyarakat yang tidak terwakili
dengan menghilangkan hambatan-hambatan komunikasi politik seperti; dominasi elit, politik
transaksional, kaderisasi organisasi yang lambat serta lemahnya penegakan hukum. Peran politik ini
kemudian dikaitkan dengan fungsi sosial NU sebagaimana terdapat dalam khittah 1926. Keterkaitan
antara khittah NU 1926 dengan peran politiknya diimplementasikan dalam peran politik sebagai
opinion leader.
Nahdhatul Ulama’ dan Gerakan Politik Islam
Nahdhatul Ulama’ (NU) merupakan salah satu organisasi kemasyarakatan Islam yang
didirikan pada 16 Rajab 1344/ 31 Januari 1926 di Surabaya oleh KH. Hasyim Asy’ari dan KH.
Abdul Wahab Hasbullah. Dalam pengertian harfiah NU berarti kebangkitan ulama. Berdasarkan
statuten NU pertama 1930 dan AD/ART NU terakhir tahun 2004, jelas sekali bahwa NU adalah
organisasi sosial keagamaan yang mengukuhkan dirinya menjadi pengawal tradisi Ahlus Sunnah
Wal Jamaah bermadzhab empat yang diusahakan melalui berbagai ikhtiar di bidang agama,
pendidikan, sosial, dan ekonomi. Islam berdasarkan Ahlus Sunnah Wal Jamaah adalah dasar
Bypassing democratic representation
OPINION LEADERS
25
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
gerakan keagamaan NU. Pemihakan tujuan NU pun sangat jelas, yakni fakir miskin, yatim piatu,
petani, pedagang, dan pendidikan madrasah, masjid, musholla, serta pesantren. Tak satu poin pun
dalam tujuan organisasi NU menyebutkan untuk merebut kekuasaan politik atau pembentukan
partai politik.
Berikut ini perjalanan sejarah NU jelang satu abad yang disusun dari berbagai sumber
berdasarkan momen-momen politik di mana NU ambil bagian, baik secara aktif maupun pasif.
Tabel 3.1 Peran NU Dalam Politik Demokrasi Indonesia No Waktu Peristiwa 1 1914 Berdiri Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air), organisasi pendidikan
dan dakwah, cikal bakal organisasi NU, oleh pemuda Kyai Abdul Wahab Chasbullah dan Kyai Mas Mansur yang dibantu beberapa orang lainnya. Nahdlatul Wathan mendapat pengakuan badan hukum pada tahun 1916.
2 1918 Berdiri Tasywirul Afkar (Keterwakilan Gagasan-gagasan)-nama resmi organisasinya Suryo Sumirat Afdeling Tasywirul Afkar--di Surabaya oleh Kyai Ahmad Dahlan, pemimpin pesantren Kebondalem Surabaya bersama Kyai Mas Mansur, Kyai Abdul Wahab Chasbullah dan Mangun. Tujuan utamanya menyediakan tempat bagi anak-anak untuk mengaji dan belajar, kemudian menjadi "sayap" untuk membela kepentingan Islam tradisionalis.
3 1918 Atas restu KH. Hasyim Asy'ari didirikan usaha perdagangan dalam bentuk koperasi (syirkah al-‘inan) dengan nama Nahdlatut Tujjar (Kebangkitan Usahawan).
4 Sebelum Januari 1926 Dibentuk Komite Hijaz, yang diketuai Hasan Dipo, dan wakil Saleh Sjamil, sekretaris Moehammad Shadiq Setijo dan wakil Abdul Halim, penasehat KH Abdul Wahab Chasbullah, KH. Masjhoeri, dan KH. Khalil.
5 30 Januari 1926 Kyai Abdul Wahab Chasbullah mengenai kemerdekaan Indonesia: "Tentu, itu syarat nomor satu, umat Islam menuju ke jalan itu, umat Islam tidak leluasa sebelum negara kita merdeka." "Ini bisa menghancurkan bangunan perang, kita jangan putus asa, kita harus yakin tercapai negeri merdeka."
6 31 Januari 1926 Rapat Komite Hijaz yang memutuskan pengiriman delegasi ke Mekah, dengan nama jam'iyyah Nahdlatoel-‘Oelama (NO).
7 1928 NU menetapkan anggaran dasarnya pada Muktamar tahun 1928. 8 6 Februari 1930 NU memperoleh pengakuan resmi dari Pemerintah Belanda. 9 1936 Pada Muktamar NU ke-11 di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, NU
menetapkan bahwa Indonesia yang saat itu masih dikuasai Pemerintah Hindia Belanda adalah Daru Islamin (Negeri Islam). Pertimbangan NU bahwa masyarakat Islam di kawasan Nusantara dapat menjalankan agamanya dan melaksanakan hukum Islam tanpa terusik meskipun secara formal kekuasaan politik berada di tangan Hindia Belanda. Selain itu, dalam sejarahnya Indonesia pernah dikuasai sepenuhnya oleh Kerajaan Islam dan bagian terbesar penduduknya beragama Islam.
10 1937 NU bersatu dalam konfederasi MIAI (Majlis Islam A'laa Indonesia). Bagi NU, keterlibatannya ini merupakan langkah pertama menuju dunia politik dalam arti terbawa untuk menentukan posisi secara tegas terhadap penjajahan Belanda menjelang Perang Dunia II.
11 1939 Aktivis muda NU saat itu, Mahfudz Shiddiq dan Wahid Hasyim, sebagai wakil NU terlibat dalam GAPI (Gabungan Politik Indonesia) di MIAI. Selain itu, banyak aktivis NU terlibat dalam perjuangan nasional melawan penjajahan.
12 Juni 1940 Pada Muktamar ke-15 NU (Muktamar terakhir masa pemerintahan kolonial Belanda), suatu rapat tertutup yang dihadiri oleh 11 ulama di bawah pimpinan KH. Mahfudz Shiddiq membicarakan calon Presiden pertama Indonesia mendatang. Para ulama memilih Soekarno dengan 10 suara dan 1 suara untuk Mohamad Hatta. Keputusan ini karena diambil pada saat
26
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
No Waktu Peristiwa berlangsungnya perdebatan seru mengenai Indonesia yang akan dijadikan negara Islam atau bukan. Soekarno tampak lebih sekular dan cenderung ke negara demokrasi ketimbang Mohamad Hatta yang memiliki citra lebih "santri".
13 1942 KH. Hasyim Asy'ari dijebloskan ke penjara beberapa bulan karena penolakannya terhadap penghormatan terhadap Kaisar Jepang dengan cara membungkukkan badan.
14 1943 MIAI dibubarkan dan diganti dengan Masyumi (Madjlis Sjuro Muslimin Indonesia) yang dipimpin Muhammadiyah dan NU dan menyatakan siap membantu kepentingan Jepang.
15 Agustus 1944 KH. Hasyim Asy'ari diangkat sebagai Ketua Shumubu, Kantor Urusan Agama Islam buatan Jepang, dan NU pun mulai masuk ke dalam urusan pemerintah untuk pertama kalinya. Kemudian, diikuti pembukaan Kantor Urusan Agama di setiap Karisidenan yang menjangkau kehidupan desa.
16 1942-1945 Semasa pendudukan Jepang, aktivitas NU terpusat pada perjuangan membela Tanah Air, baik fisik maupun politik. Ini berarti NU sudah tidak lagi mengkhususkan diri pada urusan sosial kemasyarakatan keagamaan saja, melainkan juga melibatkan diri pada urusan politik perjuangan kemerdekaan. Dalam periode ini terlibat kyai generasi pertama NU, yakni KH. Hasyim Asy'ari, KH. Abdul Wahab Hasbullah, KH. A. Wahid Hasyim, KH. M. Dahlan, KH. Masykur, KH. Saifuddin Zuhri, KH. Zaenul Arifin, dll.
17 Mei - Agustus 1945 KH. Wahid Hasyim, wakil dari NU, terlibat aktif dalam perumusan dasar negara Indonesia yang akan diproklamasikan, mulai dari penyusunan Piagam Jakarta hingga menjadi Pancasila seperti sekarang ini.
18 18 Agustus 1945 Menjelang sidang PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia), KH. Wahid Hasyim yang mewakili NU ikut menyepakati untuk menghapuskan tujuh kata "dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluknya" dalam Piagam Jakarta, sehingga hanya menjadi "Ketuhan Yang Maha Esa."
19 22 Oktober 1945 Resolusi Jihad NU, yakni fatwa jihad melawan tentara sekutu Inggris-Belanda dan NICA sebagai djihad fi sabilillah yang hukumnya fardlu ‘ain bagi orang yang berada dalam jarak radius 94 Km demi tegaknya Negara Republik Indonesia Merdeka dan Agama Islam.
20 7-8 November 1945 Muktamar Ummat Islam Islam Indonesia di Yogyakarta, yang melahirkan Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia). Pada periode pertama, Majelis Syura Masyumi dipimpin oleh KH. Hasyim Asy'ari.
21 3 Januari 1946 Departemen Agama dibentuk dan KH. Wahid Hasyim dari NU menjadi Menteri Agama.
22 26-29 Maret 1946 Muktamar ke-16 NU di Purwokerto menetapkan naskah Resolusi Jihad yang memutuskan wajib bagi warga NU untuk membela Negara Indonesia yang diproklamasikan 17 Agustus 1945; menegaskan NU masuk sebagai istimewa Masyumi dan menyerukan kepada seluruh warga NU di semua tingkatan untuk tetap aktif mendukung tegaknya Partai Islam Masyumi.
23 25 Mei 1947 Muktamar ke-17 NU di Madiun menyetujui prakarsa KH. A. Wahid Hasyim untuk mendirikan "Biro Politik NU" yang bertugas mengadakan perundingan-perundingan dengan kelompok intelektual yang didominasi Masyumi dan guna menyelesaikan berbagai ketimpangan yang dirasakan sangat merugikan NU.
24 25 Juli 1947/7 Ramadlan 1366 H
Rais Akbar NU, KH. Hasyim Asy'ari berpulang ke rahmatullah.
30 April - 3 Mei 1950 Muktamar ke-18 NU di Jakarta memutuskan NU keluar dari Partai Masyumi, tapi pelaksanaannya ditangguhkan, dan menetapkan KH. Abdul Wahab Hasbullah sebagai Rais Aam (bukan lagi Rais Akbar) PBNU, sekaligus menyetujui berdirinya Fatayat NU, organisasi pemudi/remaja puteri NU.
27
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
No Waktu Peristiwa 25 1952 NU keluar dari Masyumi. 26 1952-1973 NU menjadi organisasi partai politik. 27 Juli 1953 NU masuk dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo yang dipimpin PNI dan
dikukung oleh PKI. Masyumi dan PSI menjadi oposisi. NU memperoleh jabatan Menteri Agama, Menteri Pertanian, dan Wakil Perdana Menteri.
28 1954 Dalam Muktamar ke-20 tahun 1954 di Surabaya, NU memutuskan untuk menerima dan memandang sah hasil Konferensi Alim Ulama di Cipanas tahun 1954 yang menetapkan bahwa Presiden RI (Ir. Soekarno) dan alat-alat negara adalah waliyyul amri ad-dlaruri bi asy-syawkah.
29 29 Maret 1954 KH. Abdul Wahab Chasbullah membenarkan pemberian gelar waliyyul amri ad-dlaruri bi asy-syawkah di depan Parlemen, dengan argumentasi bahwa menurut fikih perempuan Islam yang tidak memiliki wali nasab, perlu kawin di depan wali hakim supaya anaknya tidak menjadi anak zina. Karena itu, ditetapkan bahwa yang harus menjadi wali hakim pada masa ini ialah Kepala Negara kita.
30 1955 Dalam Pemilu 1955, NU menjadi partai terbesar ketiga memperoleh 45 kursi di Parlemen (18,4% suara), setelah PNI (22,3%) dan Masyumi (20,9%), dan di atas PKI (16,4%).
31 Mei 1959 Di tengah perdebatan negara Islam atau bukan, NU menerima "Kembali kepada UUD 1945" dengan syarat Piagam Jakarta diakui sebagai bagian dari UUD. Ketika Sidang Konstituante memilih tidak menerima Piagam Jakarta, NU berbalik menolak UUD 1945.
32 Juli 1959 KH. Idham Cholid, Ketua Tanfidhiyah PBNU, dan KH. Saefuddin Zuhri, Sekretaris PBNU, menyetujui Dekrit Presiden untuk "Kembali kepada UUD 1945" tetapi minta "agar Piagam Jakarta diakui kedudukannya sebagai yang menjiwai UUD 1945."
33 5 Juli 1959 Presiden Soekarno membubarkan Majelis Konstituante dan mendekritkan berlakunya UUD 1945 dengan pernyataan: "Kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945 menjiwai UUD 1945 dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut."
34 5 Juli 1971 Pada Pemilu 1971, Partai NU menjadi partai terbesar kedua memperoleh 58 kursi DPR (18,68% suara) setelah Golongan Karya (Golkar) yang memperoleh 236 kursi DPR (62,82% suara), dan dua tingkat di atas PNI yang memperoleh 20 kursi (6,93% suara).
35 5 Januari 1973 KH. Dr. Idham Chalid, Ketua Umum PBNU, menandatangani Deklarasi Pembentukan Partai Persatuan Pembangunan (PPP); NU berfusi ke dalam PPP.
36 1984 Pada Muktamar ke-27 tahun 1984 di Situbondo, Jawa Timur, NU kembali ke Khittah 1926, tidak terlibat politik praktis, dan menegaskan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berlandaskan Pancasila dan Undang-undang Dasar (UUD) 1945 adalah bentuk final perjuangan umat Islam. Karenanya, tidak diperlukan lagi bentuk negara apapun dalam negeri ini, meskipun Negara Islam atau Negara Syari'ah.
37 23 Juli 1998 Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dideklarasikan oleh KH. Munasir Ali, KH. Ilyas Ruchiyat, KH. Abdurrahman Wahid, KH. A. Mustofa Bisri, KH. A. Muhith Muzadi. Pendirian PKB diinisiasi oleh Tim Lima yang dibentuk PBNU pada 3 Juni 1998, yakni KH. Ma'ruf Amin (Rais Suriyah/Koordinator Harian PBNU), dengan anggota KH. M. Dawam Anwar (Katib Aam PBNU), Dr. KH. Said Aqil Siradj, M.A. (Wakil Katib Aam PBNU), HM. Rozy Munir, S.E., M.Sc. (Ketua PBNU), dan Ahmad Bagdja (Sekretaris Jenderal PBNU).
38 20 Oktober 1999 KH. Abdurrahman Wahid, Ketua Umum PBNU (1984-1999), terpilih menjadi Presiden RI ke-4 (20 Oktober 1999-23 Juli 2001).
39 Mei-Juli 2004 KH. Hasyim Muzadi, Ketua Umum PBNU (1999-sekarang), menjadi calon Wakil Presiden mendampingi Ketua Umum DPP PDI-P Megawati
28
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
No Waktu Peristiwa Sukarnoputri sebagai calon Presiden pada Pemilu 2004; dan KH. Ir. H. Shalahuddin Wahid, Ketua PBNU (1999-2004), sebagai calon Wakil Presiden mendampingi Jenderal (Purn.) H. Wiranto, SH sebagai calon Presiden pada Pemilu 2004.
Sumber: http://www.fahmina.or.id dan data diolah
Dari tabel diatas tampak bahwa dari satu waktu ke waktu lain, perjalanan sejarah NU hampir
selalu bersentuhan dengan politik, kekuasaan, negara, dan kebijakan publik, baik sebagai pelaku
utama, pendukung, maupun hanya sekadar pengikut. Bentuk keorganisasiannya berubah-ubah
secara dinamis mengikuti perkembangan politik pada masanya; dari organisasi sosial keagamaan
menjadi organisasi politik, lalu kembali lagi menjadi organisasi sosial keagamaan, berubah lagi
menjadi organisasi sosial keagamaan yang mendirikan partai politik.
Berdasarkan perubahan-perubahan penting sikap politik NU dalam kehidupan politik
Indonesia dapat dibagi periodesasi politik NU sebagai berikut:
Tabel 3.2 Periodesasi Peran NU di Bidang Politik
Periode Peristiwa 1926-1946 Periode pemerintah kolonial Belanda, yang dicirikan oleh sikap abstain NU terhadap
politik. 1942-1945 Periode pendudukan Jepang, masa ketika kyai mulai terlibat dalam politik. 1945-1949 Perjuangan kemerdekaan merupakan periode di mana NU terlibat secara aktif dan radikal
dalam politik. 1949-1959 Masa demokrasi parlementer adalah perubahan penting NU dari organisasi sosial
keagamaan menjadi partai politik, tetapi gagal memberikan dampak yang sepadan dengan besar jumlah pendukungnya.
1959-1965 Pada masa demokrasi terpimpin Soekarno, NU menjadi penyangga rezim otoriter populis, yang menyebabkan sejumlah konflik internal.
1965-1966 Pada masa transisi yang keras, NU mendefinisikan ulang perannya dalam kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan.
1967-1998 Selama masa Orde Baru Soeharto, NU untuk beberapa lama menampilkan diri sebagai kekuatan oposisi yang tegar, namun mengalami depolitisasi yang luar biasa.
1998-1999 Sejalan dengan pembukaan kran demokrasi, masa Orde Reformasi adalah masa transisi NU masuk kembali ke dalam negara, melalui pendirian partai politik PKB oleh elit PBNU.
1999-2001 Masa KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Ketua Umum PBNU, menjadi Presiden; NU masuk ke dalam negara, menjadi pendukung utama pemerintah.
2001-2010 Masa perjuangan NU untuk masuk kembali ke dalam negara, ditandai dengan pencalonan KH. Hasyim Muzadi, Ketua Umum PBNU, menjadi calon Wakil Presiden, tetapi gagal. Namun sejumlah kader NU masuk ke dalam kabinet.
Sumber: http://www.fahmina.or.id dan data diolah Sebagai partai politik, NU di bawah kepemimpinan para kyai pesantren tradisional pernah
tercatat sebagai satu-satunya partai Islam terbesar di Indonesia pada tahun 1960-an dan awal
1970an, mengalahkan Parmusi, PSII, dan Perti. Kenyataan sejarah tersebut menunjukkan bahwa
NU tidak jumud, lentur, adaptif, dan menerima perubahan atas perkembangan sosial politik
sepanjang sejarah. Gerakan politik NU adalah bagian dari responnya atas perkembangan sosial yang
terjadi saat itu. Sejarah NU adalah sejarah bangsa Indonesia. Dengan gaya zig-zag-nya, NU tetap
29
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
setia dengan kebangsaan Indonesia, tak bergeser sedikitpun dari garis pertama berangkat.
Nasionalisme NU tunggal hanya untuk Indonesia dengan seluruh darah daging kebudayaannya.
Ketegasan ini tersimpul dari sejumlah keputusan keagamaan (bahstul masa'il) NU dari
muktamar ke muktamar sebagai forum tertinggi organisasi NU. Mulai dari muktamar sebelum
kemerdekaan di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, tahun 1936 hingga muktamar terakhir 2004 di
Solo Jawa Tengah, NU-dengan nalar fiqhnya yang sangat dominan--tidak mengubah sedikitpun
Indonesia dari negara-bangsa yang multietnik, multiagama, dan multibahasa menjadi bentuk negara
lain, termasuk negara Islam. Komitmen terhadap Pancasila dan UUD 1945 telah bulat dan
menetapkannya sebagai bentuk final yang tidak perlu diubah.
Peran NU Sebagai Opinion Leader di Bidang Politik
Dalam konteks Nahdhatul Ulama, elit politik lokal Nahdhatul Ulama adalah para kiai/tokoh
yang menjadi pemuka agama/panutan ditingkat lokal yang dapat dilihat dalam 3 kategori;
1) Pertama, kategori elit berdasarkan status ekonomi
Elit NU dalam kategori ini dapat berasal dari semua kalangan dengan tingkat kemapanan
finansial yang tinggi. Sebagai organisasi nirlaba, pengurusan NU memberi ruang terhadap
kelompok tersebut khususnya dalam pendanaan organisasi. Dalam kategori ini elit NU yang
dimaksud adalah pengusaha, politisi dan birokrat pemerintahan
2) Kedua kategori elit berdasarkan kegiatan fungsional;
Elit NU dalam kategori ini terkait dengan jabatan kepengurusan NU disetiap tingkatan
kepengurusan. Akses terhadap kekuasaan sering menjadi latar belakang seseorang untuk
menjadi pengurus NU. Posisi struktural NU tidak jarang digunakan untuk mendapatkan sesuatu
yang jauh dari kepentingan NU secara organisatoris. Hal ini dapat dilihat dari bentuk kegiatan
seperti; penggalangan massa, pelibatan jajaran pengurus sebagai tim pemenangan dan lain
sebagainya. Jauh dari komitmen awal politik NU yang lebih mengedepankan politik kultural
(pendidikan politik) dalam rangka kontrol politik pemerintah.
3) Ketiga, elit berdasarkan kharisma yang diwakili oleh identitas kiai
Basis NU yang berasal dari pesantren memberi kelas sosial yang tinggi bagi kiai sebagai
pimpinan pesantren.Kelompok ini meliputi para ustad atau guru ngaji, da’i pengajian keliling
hingga kiai yang memiliki pesantren dengan jumlah santri yang besar.
Terjadinya dominasi elit NU di tingkatan lokal dapat dilihat dalam beberapa kategori persoalan
yang ada pada tabel dibawah ini;
Tabel 3.3 Kategorisasi Dominasi Elit NU di Tingkatan Lokal No. Kategorisasi Potensi Permasalahan 1. Faktor keturunan
dalam kepemimpin Keturunan memiliki fungsi besar untuk ‘membuka pintu’
Belum terbangun budaya yang bangga jika mampu berprestasi atau
30
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
No. Kategorisasi Potensi Permasalahan dalam membangun hubungan dengan pihak lain.
sukses berdasarkan kerja kerasnya sendiri dari bawah
2. Basis kepemimpinan pada ideologi bukan pada figur
Legitimasi akan figur atau identitas kelompok sebagai kekuatan pemimpin
NU sebagai ormas keagamaan seringkali hanya mengandalkan latar belakang figur untuk memimpin organisasi (darah biru/pendiri NU atau tidak)
3. Kondisi untuk memperkuat gelombang regenerasi kepemimpinan
Perseteruan, perselisihan, pertikaian, bahkan pemberontakan berlatar belakang politik dan ideologis adalah bagian dari pendewasaan berpolitik
Terjadi dendam politik sehingga pengurusan NU seringkali didasarkan pada kesamaan politik ketua umum dengan meninggalkan semangat kebersamaan. Pengurus lama meski potensial seringkali disingkirkan
4. Pelibatan generasi muda dalam proses kaderisasi kepemimpinan baru
Berpolitik dengan program, visi, nilai, kebijakan, bisa memenangkan pertarungan politik demokratis.
Penyiapan generasi muda dengan memberi mereka karpet merah akan menciptakan anak muda yang apolitis, pragmatis, meskipun seolah-olah berpolitik
5. Kepentingan Ekonomi Semua aktivis politiklah untuk secara konsisten mengubah kondisi itu. Politik harus dijadikan sebagai sarana memperjuangkan idealisme, bukan untuk cari makan, cari harta, atau cari kekuasaan
Posisi pengurus yang sebagian besar memiliki basis ekonomi yang belum mapan. Oleh sebab itu perilaku politik elit NU kerapkali mengarah pada bias ekonomi pasar, transaksional dan ditentukan pada penawaran tertinggi
6. Karakter Building para Politisi muda
Perlu pemimpin yang berani, tegas, berani melakukan terobosan, termasuk dalam berinisiatif membuat aturan. Pemimpin yang berani untuk mengambil risiko. Sekarang kebanyakan kita ini politisi, bukan negarawan
Elit dan politisi NU seringkali hanya mengandalkan latar belakang figur untuk memimpin. Hal ini menyebabkan rendahnya kepemimpinan dan kurangnya character building yang membuat kepentingan rakyat terlupakan.
7. Kesuksesan dalam karir bisa dibangun dengan pematangan secara alami
Kredibilitas dan profesionalitas dibutuhkan untuk membangun karir dan berorganisasi.
Rekrutmen yang didominasi senior, regenerasi tidak berjalan ilmiah, sistem belum terkelola baik
8. Transparansi dan akuntabilitas organisasi
Transparansi dan akuntabilitas organisasi membangun keteladanan dan kekuatan tawar organisasi
Keuangan organisasi berasal dari sumber yang belum dipertanggungjawbkan secara jelas. Sehingga kerapkali ormas tidak terkecuali NU menjadi sasaran tempat pencucian uang
Konteks persoalan diatas tentu tidak bisa kita pisahkan begitu saja dari konflik elit NU
ditingkatan lokal yang selama ini terjadi. Sehingga merupakan dampak peningkatan konflik elit
ditingkatan lokal yang tepatnya berada di pesantren sebagai pusat gerakan NU. Konflik elit
dibeberapa pesantren sebagai basis masa NU telah menyebabkan labelisasi sehingga menyebabkan
adanya peristilahan merah, kuning, biru dan lain sebagainya sebagai pencerminan kecenderungan
31
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
tersebut kepada suatu partai politik. Belum lagi jika labelisasi itu berlaku pada beberapa keluarga
yang merupakan pendiri pesantren, seringkali menjadikan konflik urat saraf yang diantara anggota
keluarga atas dasar ketidaksamaan aliran politik yang dipilih. Belum lagi persoalan betapa
mudahnya pesantren menerima dana dari pemerintah atau partai politik dengan kompensasi
tertentu. Merupakan tolok ukur betapa rendahnya integritas dan kedewasaan politik para elit politik
NU ditingkatan lokal, seiring dengan perilaku koruptif dan manipulatif yang mulai menjangkiti
generasi mudanya.
Aspek integritas dan kedewasaan berpolitik adalah hal dasar mengapa politik kontra
produktif terhadap NU secara keorganisasian. Hal ini pula yang menyebabkan mengapa orang luar
pesantren menganggap ada perbedaan mendasar antara kiai dulu dengan sekarang. Dalam kultur
NU, para kiai selama ini dipandang dan ditempatkan sebagai sosok yang suci, pewaris ajaran nabi
dan segala tindak tanduknya harus diikuti. Selama ini, kiai telah ditahbiskan sebagai pemegang
otoritas moral, pembawa “pesan langit” dan label-label surgawi lainnya. Masyarakat pun
mengamini hal itu dan menjadikan para kiai/ulama sebagai panutan dalam kehidupannya. Namun
yang tidak banyak disadari oleh umat adalah kesamaan situasi. Pada saat masuk politik, para kiai itu
sama dengan politikus dan manusia lainnya yang lekat dengan ambisi, vested of interest serta tidak
lepas dari tarik menarik kepentingan duniawi serta hal-hal yang bersifat profan lainnya.
Di sisi lain, sebagian besar pesantren masih bergulat dengan manajemen pengelolaan
pesantren secara tradisional dan sangat kental dengan nuansa kekerabatan. Status kepemilikan
pesantren rata-rata dimonopoli keluarga kiai yang menjadi episentrum dalam pesantren itu.
Hubungan yang terjadi antara kiai dan santri dibangun dalam pola patron klien dan bersifat
irasional. Kesetiaan dibangun atas dasar ikatan emosional, psikologis dan kadangkala imbas hutang
budi yang bersifat ekonomis dari santri pada kiai. Pada saat terjadi perbedaan pendapat, khususnya
dalam orientasi politik para santri cenderung mengeyampingkan pilihan pribadinya. Santri akan
tunduk dan patuh pada apa yang menjadi pilihan politik kiainya meskipun para santri tidak pernah
mengetahui hal-hal yang mendasari sikap politik kiainya. Sikap itu dimaknai sebagai bagian dari
“taqlid” (kepatuhan tanpa reserve pada kiai). Perbedaan orientasi politik itu antara santri dan kiai
akan muncul pada saat santri sudah lepas dari . Selama masih mengenyam pendidikan di pesantren,
santri akan sangat sulit untuk dapat mengekspresikan sikap politiknya secara mandiri.
Setidaknya NU telah mengeluarkan pedoman yang disebut sebagai Sembilan Pedoman
Berpolitik Warga NU, yaitu: (1) Berpolitik bagi NU mengandung arti keterlibatan warga negara
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara menyeluruh sesuai dengan Pancasila dan UUD
1945. (2) Politik bagi NU adalah politik yang berwawasan kebangsaan dan menuju integrasi bangsa
dengan langkah-langkah yang senantiasa menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan untuk mencapai
cita-cita bersama, yakni terwujudnya masyarakat adil makmur lahir batin dan dilakukan sebagai
32
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
amal ibadah menuju kebahagiaan di dunia dan kehidupan di akhirat. (3) Berpolitik bagi NU adalah
pengembangan nilai-nilai kemerdekaan yang hakiki dan demokratis, mendidik kedewasaan bangsa
untuk menyadari hak, kewajiban dan tanggungjawab untuk mencapai kemaslahatan bersama. (4)
Berpolitik bagi NU dilakukan dengan moral, etika, dan budaya yang berketuhanan Yang Maha Esa,
berperikemanusiaan yang adil dan beradab, menunjung tinggi persatuan Indonesia, berkerakyatan
yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan dan berkeadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. (5) Berpolitik bagi NU haruslah dilakukan dengan kejujuran
nurani, moral agama, konstitusional sesuai dengan peraturan dan norma-norma yang disepakati
serta dapat mengembangkan mekanisme musyawarah dalam memecahkan masalah bersama. (6)
Berpolitik bagi NU dilakukan untuk memperkokoh konsensus-konsensus nasional dan dilaksanakan
dengan akhlaqul karimah sebagai pengamalan ajaran Islam Ahlussunah wal jama’ah. (7) Berpolitik
bagi NU dengan dalih apapun, tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan kepentingan bersama
memecah belah persatuan. (8) Perbedaan pandangan diantara aspirasi-aspirasi politik warga NU
harus tetap berjalan dalam suasana persaudaraan, tawadlu’dan saling menghargai satu sama lain
sehingga dalam berpolitik itu tetap dijaga persatuan dan kesatuan di lingkungan NU. (9) Berpolitik
bagi NU menuntut adanya komunikasi kemasyarakatan timbal balik dalam pembangunan nasional
untuk menciptakan iklim yang memungkinkan perkembangan organisasi kemasyarakatan yang
lebih mandiri dan mampu melaksanakan fungsinya sebagai sarana masyarakat untuk berserikat,
menyalurkan aspirasi serta berpartisipasi dalam pembangunan.
Sembilan pokok pedoman itu secara tekstual sangat normatif namun jika diikuti secara nyata
dalam tataran praktik politik, perilaku politik warga NU akan menjadi sangat elegan. Tidak hanya
dalam relasi di antara sesama politisi NU namun dengan komunitas politik non NU. Namun jika
melihat realitas politik, pedoman itu hanya bermakna dalam tataran tekstual. Praktik politik dari
warga NU justru terkesan mengabaikan dan bertolakbelakang dengan pedoman itu. Artinya, akar
konflik dan awal mula permasalahan tidak terletak pada sistem nilai namun pada praktik dan
perilaku politik. Dengan menggunakan teori elit dan hegemoni gramsci, perilaku politik elit NU ini
dilatar belakangi oleh keinginan untuk mempertahankan status. Sehingga “taqlid” (kepatuhan tanpa
reserve pada kiai) sering dikaitkan dengan hal tidak rasional seperti “keberkahan ilmu” sehingga
memperkuat hegemoni kiai terhadap santri. Sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi
Muhammad SAW terhadap para sahabatnya baik dalam konteks dakwah, politik dan kenegaraan.
Mengajarkan kesetaraan dan tanggungjawab sosial, kemandirian berfikir, dan memiliki beragam
perspektif adalah esensi dasar perilaku yang diajarkan oleh Islam. Musyawarah menjadi mekanisme
kesejajaran para sahabat dengan Nabi Muhammad SAW dalam memandang permasalahan, meski
sebenarnya perspektif ideal ada pada diri Nabi Muhammad SAW sebagai penerima misi kenabian.
Islam sebagai ajaran agama diterjemahkan dalam budaya masyarakat, pendidikan dan kolektifitas
33
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
sosial kemasyarakatan (ukhuwah ). Dalam hal ini sebenarnya telah ada penerapan peran opinion
leader oleh Nabi Muhammad SAW, sehingga Islam mengalami perkembangan dan memberi
pengaruh luar biasa bagi peradaban dunia.
Sebagai ormas keagamaan NU memiliki mandat yang sama sebagai penerus misi kenabian
sehingga NU pun harus mampu memfungsikan peran yang dimaksud. Peran opinion leader adalah
peran untuk memperjuangkan nilai-nilai Islam Ahlus Sunnah Wal Jamaah dalam prinsip
melestarikan tradisi yang baik dimasa lalu dan mengambil tradisi yang baik dimasa sekarang
sebagai upaya membangun tatanan masyarakat dan penyelenggaraan negara sesuai kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Dalam menterjemahkan peran tersebut dalam konteks kelembagaan
dan politik, NU membutuhkan kader-kader yang memiliki semangat dan tekad yang satu dan sama,
serta diharapkan dapat memiliki kriteria yang menyangkut 4 (empat) hal pokok, yang meliputi;
Pertama, memiliki kesadaran ideologis yang tinggi. Setiap kader NU harus memiliki
pengertian dan kesadaran ideologi yang tinggi, yaitu ideologi yang hsrus diperjuangkan oleh NU.
Tidak pernaha ada partai yang survive tanpa ideologi; tidak pernah ada bangsa yang bertahan tanpa
ideologi, karena ideologilah yang memberikan cita-cita, memberikan arah, memberikan harapan-
harapan kehidupan masa depan bangsa. Lebih penting lagi bagi kita, ideologi adalah pondasi
organisasi dan negara. Memberikan landasan, alasan tindakan dan perjuangan bangsa, dan bagi NU
adalah final untuk menjadikan Pancasila 1 Juni 1945 sebagai dasar perjuangan. Kedua, memiliki
kesadaran politik yang tinggi. Setiap kader harus betul-betul mempunyai kesadaran dan pemahaman
politik yang tinggi sebab akan dihadapinya setiap saat dan setiap hari. Dalam keseharian, politik
adalah sebuah seni tentang kemungkinan-kemungkinan, seni dalam mengelola kemajemukan cita-
cita, harapan, perbedaan dan kepentingan. Ia adalah seni dalam mengalokasikan sumber-sumber
daya politik secara otoritatif (mandiri). Sehingga kader-kader NU tidak mudah untuk terprovokasi
atau sekedar dimobilisasi untuk kepentingan elit politik. Dan terpenting adalah politik harus dapat
dipakai sebagai wahana perjuangan merealisasikan nilai-nilai ideologi dalam komitmen Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Ketiga, memiliki kesadaran berorganisasi yang tinggi
Untuk mewujudkan kesadaran berorganisasi yang tinggi dibutuhkan pemahaman dan
kesepakatan diri pada aturan main, kepatuhan, disiplin organisasi, militansi dalam perjuangan cita-
cita organisasi, dan taat pula pada asas organisasi. Maksudnya, begitu kita menjadi kader NU,
semua cita-cita pribadi harus tunduk pada cita-cita yang diperjuangkan NU. Bukan berarti
perbedaan pendapat dan metode tidak diperbolehkan tetapi justru merupakan berkah dalam proses
mengambil kebijakan dan keputusan. Keputusan yang diambil menjadi kewajiban kader NU untuk
melaksanakan dan mengamankannya. Keempat, memiliki kesadaran lingkungan dan sosial yang
tinggi. Kader NU harus memiliki kepekaan dan kesadaran lingkungan. Menghindari kesenjangan
antara cita-cita NU dan tingkah laku sosial kader-kadernya dimasyarakat. Hal ini tidak hanya akan
34
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
memperburuk citra NU dan membuat masyarakat menjauh dari NU tetapi juga pengingkaran
terhadap prinsip dasar Islam. Kesalehan spiritual harus senada dengan kesalehan sosial, seperti
halnya Nabi Muhammad SAW yang sebelum misi kenabiannya telah memiliki legitimasi sosial atas
perilaku sosialnya dalam masyarakat.
Disini pendidikan nilai terhadap kader NU menjadi hal yang sangat penting. Pertama, nilai
tentang kepercayaan diri kader NU. Sebagai kaum tradisional NU tidak boleh seketika antipati
dengan modernitas, tetapi yang harus dilakukan adalah membangun modernitas tersebut dalam
nilai-nilai baik tradisonalisme. Sebab kenyataan hidup telah membelajarkan kita bahwa sesuatu
yang paling mahal dalam modernitas adalah tradisionalisme itu sendiri. Jepang dan Korea Selatan
adalah bukti bahwa tradisionalisme dapat bersanding dengan arus modernitas. Modernitas yang
dibangun tanpa kesetiaan terhadap tradisonalisme hanya akan membuat suatu bangsa kehilangan
akar budayanya yang merupakan identitasnya sendiri sebagai bangsa. Kedua, nilai kebersamaan
sebagai bagian dari institusi NU. Institusi ormas keagamaan seperti NU, seharusnya dibangun diatas
keteraturan sistem yang disepakati bersama dengan konstitusi dan ideologi sebagai bingkai nilai
yang menyatukannya. Menjadi orang NU berarti menjadi bagian dari keteraturan sistem yang ada.
Tetapi dalam perjalanannya hubungan individu dan organisasi NU lebih cenderung bersifat
individual dan subyektif sehingga sering fluktuatif dan rawan konflik. Ketiga, nilai sebagai
pengikut. Selain kader NU dididik dan mendidik dirinya untuk menjadi pemimpin yang baik, maka
penting baginya untuk belajar menjadi pengikut yang baik. Sebab salah satu syarat paling penting
untuk bisa menjadi pemimpin yang baik adalah mampu menjadi pengikut yang baik. Tidak akan
ada pemimpin yang baik tanpa pernah menjadi pengikut yang baik. Sejarah telah membuktikannya.
Keempat, nilai dari sebuah disiplin. Tidak ada bangsa yang besar tanpa disiplin. Bercermin pada
pengalaman bangsa-bangsa lain, saya berkeyakinan bahwa pernyataan ini adalah aksioma yang
tidak terbantahkan. Disiplin sebagai nilai berarti kepatuhan pada sistem dan aturan main organisasi.
Dengan nilai disiplin, NU tidak hanya akan berjalan baik secara organisasi tetapi juga mendorong
berjalannya sebuah sistem sosial yang baik dimasyarakat. Kelima, nilai demokrasi dan
kepemimpinan. Untuk membangun politik demokrasi NU harus mempelajari dan mempraktekkan
salah satu nilai fundamental dari demokrasi sebagai sebuah proses sosial politik. Nilai yang
dimaksud adalah kesediaan untuk mendengar. Nilai yang sama adalah juga nilai hakiki dalam
kepemimpinan. Demokrasi tidak dimulai dari perbedaan pendapat dan kesediaan untuk menerima
perbedaan pendapat. Untuk sampai pada tingkat ini, pertama-tama orang harus punya kesediaan
untuk mendengar. Tidak akan pernah terlahir pemimpin yang demokratis kecuali ada kesediaan
untuk mendengar.
Setelah kriteria kader dan pendidikan nilai tersebut, maka untuk melaksanakan peran
politiknya sebagai opinion leader, NU harus mampu memaksimalkan 3 (tiga) fungsi dasar; fungsi
35
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
kultur sosial (social culture), fungsi advokasi dan literasi politik (advocacy and politic literacy) dan
fungsi jejaring sosial (social networking). Ketiga fungsi ini bukanlah hal yang baru bagi NU tetapi
lebih merupakan revitalisasi terhadap fungsionalitas kelembagaan NU yang sudah ada. Sehingga
ketiga fungsi ini harus ditopang oleh pilar-pilar keorganisasian NU sebagai ormas keagamaan.
Disini bukan berarti NU melembagakan dirinya sebagai lembaga politik, tetapi lebih menegaskan
kembali fungsinya sebagai ormas keagamaan yang berfungsi sebagai penegak nilai dalam
masyarakat. Tetapi dengan kesadaran bahwa perjuangan nilai-nilai Islam Ahlus Sunnah Wal
Jamaah harus dibangun dalam dua hal yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Membangun
tatanan masyarakat sebagai pondasi, sekaligus membangun penyelenggaraan pemerintahan sesuai
nilai-nilai Islam Ahlus Sunnah Wal Jamaah.
Fungsi yang dibangun dalam tiga fungsi (1) fungsi kultur sosial (2) fungsi advokasi dan
literasi politik, (3) fungsi jejaring sosial yang kemudian diterjemahkan sebagai peran politik NU
merupakan kesatuan yang utuh. Fungsi-fungsi tersebut merupakan suatu rangkaian yang saling
terkait satu dengan yang lain. Bekerjanya salah satu fungsi perlu didukung oleh fungsi lain sehingga
peran politik nyata terjadi. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada gambar dibawah ini ;
Gambar 3.2 Peran NU di Bidang Politik Sebagai Opinion Leader
Lebih lanjut, apabila dikaitkan dengan keberadaan khittah NU 1926 maka peran politik NU
tidak bisa untuk berdiri sendiri. Peran ini harus didukung pula oleh fungsi sosial NU seperti;
pendidikan (maarif), kesejahteraan sosial (mabarrot), penyebaran agama (dakwah) dan
perekonomian (muamalat). Politik bagi NU tidak sekedar berkenaan dengan kekuasaan belaka
tetapi juga esensi ideologi Ahlus Sunnah Wal Jamaah yang dianutnya. Adapun prinsip-prinsip yang
Mekanisme Kontrol Organisasi
Kemandirian Pesantren
Kultur Organisasi yang Terbuka
Periodeisasi dan sistem kaderisasi yang ketat
Apresiasi prestasi kader
Transparansi Organisasi
Revitalisasi Peran Pesantren Gerakan Moral NU
Diversifikasi Tema Diskursus Ilmiah
Peningkatan Capacity Building Kader
Membangun Media Belajar Kader NU
Simpul Komunikasi Kader NU
Ruang public Alternatif
Standarisasi Mutu Pesantren
Kekuatan Basis Ekonomi
Kemitraan dan Kerjasama Strategis
Membangun Lembaga Survey Kebijakan Publik
36
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
digunakan dalam peran politnya adalah sikap tawasuth (tengah), I’tidal (lurus), hindari fatharruf
(ekstimitas), dan sikap tasamuh (toleran). Keterkaitan antara fungsi sosial dan peran politik NU,
dapat dengan jelas dilihat pada gambar dibawah ini;
Gambar 3.3 Peran NU Sebagai Opinion Leader di Bidang Politik dan Khittah NU 1926
Dalam gambar tersebut dapat dilihat bahwa peran politik NU dibangun bersama fungsi
sosialnya. Keberadaan setiap komponen menjadi sangat penting dan vital, sehingga bangunan ini
akan roboh disaat salah satu komponen tidak ada. Pelaksanaan peran politik dengan meninggalkan
fungsi sosial NU tidak hanya mengingkari khittah 1926 tetapi juga membuat rapuhnya bangunan
peran politik NU itu sendiri. Dengan demikian fungsi sosial NU adalah merupakan landasan atau
pondasi keorganisasian NU sebagai ormas keagamaan sedangkan peran NU dalam politik lebih
merupakan upaya untuk melindungi tatanan sosial kemasyarakatan yang dibangun berdasarkan
nilai-nilai Islam Ahlus Sunnah Wal Jamaah.
Sesuai dengan peran sosialnya maka dalam pelaksanaan peran NU sebagai opinion leader di
bidang politik lebih difokuskan pada pelembagaan perilaku politik berdasarkan nilai-nilai Islam
Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Perilaku politik yang dimaksud adalah tindakan-tindakan politik yang
disebabkan cara pandang warga NU terhadap sistem politik dalam rangka mempengaruhi kebijakan
politik (pemerintah). Sesuai khittah 1926, nilai-nilai Islam Ahlus Sunnah Wal Jamaah menjadi cara
pandang NU pada segala hal, tidak terkecuali dalam bidang politik. Dengan demikian, pelembagaan
perilaku politik NU berarti juga membangun konsep budaya politik NU berdasarkan nilai-nilai
Islam Ahlus Sunnah Wal Jamaah.
Budaya politik masyarakat idealnya tetap sebagai pola orientasi dan sikap yang mampu
berkontribusi melalui tindakan-tindakan konstruktif dalam sistem politik. Pemilihan umum yang
damai, pilkada yang tidak bergejolak dan semakin berkurangnya konflik politik di masyarakat,
menjadi ciri bahwa budaya politik semakin membaik. Kondisi tersebut akan berdampak secara
positif dalam proses pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintahan yang terpilih. Namun
37
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
fenomena yang sering terjadi, sebagai misal pasca pemilu 2004 atau 2009 atau pilkada sepanjang
tahun 2006 sampai 2010 ini, menunjukkan bahwa setelah memenangkan pemilu atau pilkada dan
berhasil menjadi pemimpin, mereka lupa diri dan bahkan mereka tidak lagi perduli pada rakyat.
Sudah dipastikan tidak ada sosok yang mampu menjadi panutan masyarakat.
Padahal untuk membangun budaya politik dibutuhkan keteladanan sikap dari para elite
politik, pejabat negara dan tokoh-tokoh yang duduk pada lembaga tinggi maupun lembaga publik di
tingkat daerah. Proses membangun kualitas keteladanan para pelaku politik tersebut tidak bisa
berlangsung secara instan, karena harus terpolakan dan tersistematisasikan secara baik. Hal inilah
yang kemudian mendorong NU untuk menuntut adanya moralitas berpolitik bagi para kadernya.
Sebuah kecenderungan untuk menyesuaikan budaya politik dengan tatanan nilai-nilai Islam Ahlus
Sunnah Wal Jamaah.
Penutup
Peran politik NU sebagai opinion leader, tersebut dibangun dalam tiga fungsi, fungsi kultur
sosial, fungsi advokasi dan literasi politik, serta fungsi jejaring sosial. Fungsi-fungsi tersebut
merupakan suatu rangkaian yang saling terkait satu dengan yang lain. Bekerjanya salah satu fungsi
perlu didukung oleh fungsi lain sehingga peran politik nyata terjadi. Pelaksanaan peran politik NU
tidak boleh meninggalkan fungsi sosialnya sebagai ormas keagamaan di Indonesia. Meninggalkan
pelaksanaan fungsi sosial NU tidak hanya mengingkari khittah 1926 tetapi juga membuat rapuhnya
bangunan peran politik NU itu sendiri. Dengan demikian fungsi sosial NU adalah merupakan
landasan atau pondasi keorganisasian NU sebagai ormas keagamaan sedangkan peran NU dalam
politik lebih merupakan upaya untuk melindungi tatanan sosial kemasyarakatan yang dibangun
berdasarkan nilai-nilai Islam Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Sekaligus untuk membangun mekanisme
kontrol organisasi NU terhadap perilaku politik kadernya disemua tingkatan. Dalam rangka
membangun tatanan sosial kemasyarakatan dan politik demokrasi Indonesia yang yang dibangun
berdasarkan nilai-nilai Islam Ahlus Sunnah Wal Jamaah
Daftar Pustaka
Azra, Azyumardi. 2010. Apatisme Politik.
http://nasional.kompas.com/read/2010/08/03/08525794/Apatisme.Politik diakses pada 10
Desember 2012
Adian, Donny Gahral. 2012. Opini, Rakyat dan Demokrasi.
Anam, Choirul. 2002. Sembilan Pedoman Berpolitik Warga NU. Surabaya, Bisma Satu Printing
Budiarjo, Miriam. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik-Edisi Revisi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama
38
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
Clarke, Paul Barry and Joe Foweraker (eds.). 2001. Encyclopedia of Democratic Thought. London:
Routledge
Dhofier, Zamakhsyari. 1984. Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta;
LP3ES.
Gramsci, Antonio, 2001. Catatan-Catatan Politik. Pustaka Prometehea. Surabaya
Hadiz, Vedi R and Richard Robison. 2004. Reorganising Power in Indonesia: The politics of
oligarchy in an age of markets. London: Routledge Curzon
Harriss, Stokke, Törnquist (eds.). 2004. Politicising Democracy: The New Local Politics of
Democratisation (New York: Palgrave Macmillan
Hendarto, Heru, 1993, Mengenal Kosep Hegemoni Gramsci: dalam Diskursus Kemasyarakatan dan
Kemanusiaan, Gramedia, Jakarta
Lane, R. E.1962. Political Ideology. Why the American Common Man Believes What He Does,
New York, The Free Press.
Lawrence & Wishart. 1973. Karl Marx: Economic and Philosophic Manuscripts 1844. L & W
Press. London
Nas, Jayadi. 2007. Konflik Elit Di Sulawesi Selatan Analisis Pemerintahan dan Politik Lokal.
Yayasan Massaile bekerjasama dengan Lembaga Penerbitan Unhas (Lephas), Jakarta
Nurullah, Ahmad. 2011. Memperkuat Politik Warga. http://www.jurnas.com/halaman/10/2011-10-
21/186249 diakses pada 10 Desember 2012
Osborne and Ted Gaebler, 1992. Reinventing Government:How the Entrepreneurial Spirit is
Transforming the Public Sector. New York: Penguin Books Ltd.
Pitkin, H. F., 1967. The Concept of Representation. Berkeley: University of California Press
Priyono, A.E., Willy Purna Samadhi dan Olle Törnquist (eds.). 2007. Making Democracy
Meaningful: Problems and Options in Indonesia. Jakarta-Yogyakarta: Demos and PCD
Press
Priyono dkk. 2009. Re-Politisasi Gerakan Sipil Menuju Demokratisasi Substansial. Jakarta: Demos,
tidak dipublikasikan
Richard C. Box. 1998. Citizen Governance: Leading American Communities into 21st Century,
Sage Publication, California
Ricard Robinson and Vedi R. Hadiz. 2004. Reorganising Power In Indonesia: The Politics of
Oligarchy in an age of Markets. Bulletin of Indonesian Economic Studies. Australian
National University. Australia
Robert Van Niel. 1984. Munculnya Elite Modern Indonesia, Pustaka Jaya, Jakarta,
Saidin Ernas. 2011. Bias Politik Pesantren: Dari Pragmatisme-Transaksional Hingga Resistensi
Sosial. Jurnal Studi Pemerintahan Vol.2 Nomor 1 Februari 2011. UMY Press. Yogyakarta
39
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015
Samadhi, Willy Purna dan Nicolaas Warouw (eds.). 2009. Demokrasi di Atas Pasir. Yogyakarta:
PCD Press
Sendjaja, S. Djuarsa. 1994. Teori Komunikasi. Jakarta: Universitas Terbuka
Susilo, Hari. 2012. Berebut Suara Nahdhatul Ulama. Artikel Kompas 10 Desember 2012
________, Perjalanan Politik NU Jelang Seabad: Selayang
Pandang,http://www.fahmina.or.id/penerbitan/buku/829-jelang-seabad-politik-nu-
sumbangan.html?start=1
UN, 2004. What is good governance. Economic and Social Commission for Asia and the Pacific,
http://www.unescap.org/sites/default/files/good-governance.pdf
40