27
Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015 NAHDLATUL ULAMA’ SEBAGAI OPINION LEADER DALAM POLITIK DEMOKRASI DI INDONESIA (SEBUAH KAJIAN TEORITIK) Oleh: Hafis Muaddab Staf pengajar akuntansi dan perbankan syariah SMK Negeri 1 Jombang dan Wakil Sekretaris PC GP Ansor Jombang Tahun 2014-2018 E-mail: [email protected] ABSTRAK NU's political role as an opinion leader, was built in the three functions of (1) the function of social culture (2) the function of advocacy and political literacy, (3) social networking functionality. These functions are a series of interrelated to one another. The operation of one of the functions need to be supported by other functions so that a real political role occurred. Implementation of NU's political role should not leave their social functions as religious organizations in Indonesia. Leaving the implementation of the social function of NU not only deny the 1926 legacy but also make the political role NU fragility of the building itself . Keyword: opinion leader, Nahdlatul Ulama, politic, democracy Pendahuluan Dalam konsep good governance, “accountability is a key requirement of good governance1 . Richard C. Box 2 , memberikan ruang yang lebih besar terhadap peran masyarakat sebagai warga negara. Dalam bingkai pemerintahan di Indonesia hal ini dapat ditelusuri dalam koridor UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Secara formal, undang-undang tersebut memberikan kerangka yang cukup ideal bagi terwujudnya keadaan politik lokal yang dinamis dan demokratis terhadap partisipasi masyarakat di setiap daerah. Penguatan media sebagai ekses dari globalisasi, dalam mempengaruhi hingga mampu menghegemoni dan membentuk kehendak umum dalam mengatasi persoalan sektoral. Apa yang terjadi di Mesir, Libya dan beberapa kawasan di Timur Tengah 3 membuktikan hal tersebut. Kita menyaksikan betapa mobilisasi massa melalui opini 1 Konsep " pemerintahan " bukanlah hal baru . Hal ini setua peradaban manusia . Sederhananya " governance " berarti : proses pengambilan keputusan dan proses dimana keputusan diimplementasikan ( atau tidak diimplementasikan ) . Tata Kelola dapat digunakan dalam beberapa konteks seperti tata kelola perusahaan , pemerintahan internasional , pemerintahan nasional dan pemerintahan lokal . UN, 2004. What is good governance. Economic and Social Commission for Asia and the Pacific 2 Lihat, Richard C. Box. 1998. Citizen Governance: Leading American Communities into 21st Century, Sage Publication, California 3 Hal ini disitilahkan dengan kebangkitan dunia Arab atau Musim Semi Arab (bahasa Inggris: The Arab Spring; bahasa Arab: تاروثلاةيبرعلا, secara harafiah Pemberontakan Arab) adalah gelombang revolusi unjuk rasa dan protes yang terjadi di dunia Arab. Sejak 18 Desember 2010, telah terjadi revolusi di Tunisia dan Mesir; perang saudara di Libya; pemberontakan sipil di Bahrain, Suriah, and Yaman; protes besar di Aljazair, Irak, Yordania, Maroko] dan Oman, dan protes kecil di Kuwait, Lebanon, Mauritania, Arab Saudi, Sudan, dan Sahara Barat. Kerusuhan di perbatasan Israel bulan Mei 2011 juga terinspirasi oleh kebangkitan dunia Arab ini. Protes ini menggunakan teknik pemberontakan sipil dalam kampanye yang melibatkan serangan, demonstrasi, pawai, dan pemanfaatan media sosial, seperti Facebook, Twitter, YouTube, dan Skype, untuk mengorganisir, berkomunikasi, dan meningkatkan kesadaran terhadap usaha-usaha penekanan dan penyensoran Internet oleh pemerintah. 14

NAHDLATUL ULAMA’ SEBAGAI OPINION LEADER · PDF fileArab: الثورات العربية, secara harafiah Pemberontakan Arab) adalah gelombang revolusi unjuk rasa dan protes yang terjadi

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: NAHDLATUL ULAMA’ SEBAGAI OPINION LEADER · PDF fileArab: الثورات العربية, secara harafiah Pemberontakan Arab) adalah gelombang revolusi unjuk rasa dan protes yang terjadi

Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015

NAHDLATUL ULAMA’ SEBAGAI OPINION LEADER DALAM POLITIK DEMOKRASI DI INDONESIA

(SEBUAH KAJIAN TEORITIK)

Oleh: Hafis Muaddab Staf pengajar akuntansi dan perbankan syariah SMK Negeri 1 Jombang dan

Wakil Sekretaris PC GP Ansor Jombang Tahun 2014-2018 E-mail: [email protected]

ABSTRAK

NU's political role as an opinion leader, was built in the three functions of (1) the function of social culture (2) the function of advocacy and political literacy, (3) social networking functionality. These functions are a series of interrelated to one another. The operation of one of the functions need to be supported by other functions so that a real political role occurred. Implementation of NU's political role should not leave their social functions as religious organizations in Indonesia. Leaving the implementation of the social function of NU not only deny the 1926 legacy but also make the political role NU fragility of the building itself .

Keyword: opinion leader, Nahdlatul Ulama, politic, democracy

Pendahuluan

Dalam konsep good governance, “accountability is a key requirement of good

governance”1. Richard C. Box2, memberikan ruang yang lebih besar terhadap peran masyarakat

sebagai warga negara. Dalam bingkai pemerintahan di Indonesia hal ini dapat ditelusuri dalam

koridor UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Secara formal, undang-undang tersebut

memberikan kerangka yang cukup ideal bagi terwujudnya keadaan politik lokal yang dinamis dan

demokratis terhadap partisipasi masyarakat di setiap daerah. Penguatan media sebagai ekses dari

globalisasi, dalam mempengaruhi hingga mampu menghegemoni dan membentuk kehendak umum

dalam mengatasi persoalan sektoral. Apa yang terjadi di Mesir, Libya dan beberapa kawasan di

Timur Tengah3 membuktikan hal tersebut. Kita menyaksikan betapa mobilisasi massa melalui opini

1 Konsep " pemerintahan " bukanlah hal baru . Hal ini setua peradaban manusia . Sederhananya " governance " berarti : proses pengambilan keputusan dan proses dimana keputusan diimplementasikan ( atau tidak diimplementasikan ) . Tata Kelola dapat digunakan dalam beberapa konteks seperti tata kelola perusahaan , pemerintahan internasional , pemerintahan nasional dan pemerintahan lokal . UN, 2004. What is good governance. Economic and Social Commission for Asia and the Pacific 2 Lihat, Richard C. Box. 1998. Citizen Governance: Leading American Communities into 21st Century, Sage Publication, California 3 Hal ini disitilahkan dengan kebangkitan dunia Arab atau Musim Semi Arab (bahasa Inggris: The Arab Spring; bahasa Arab: ةيبرعلا تاروثلا, secara harafiah Pemberontakan Arab) adalah gelombang revolusi unjuk rasa dan protes yang terjadi di dunia Arab. Sejak 18 Desember 2010, telah terjadi revolusi di Tunisia dan Mesir; perang saudara di Libya; pemberontakan sipil di Bahrain, Suriah, and Yaman; protes besar di Aljazair, Irak, Yordania, Maroko] dan Oman, dan protes kecil di Kuwait, Lebanon, Mauritania, Arab Saudi, Sudan, dan Sahara Barat. Kerusuhan di perbatasan Israel bulan Mei 2011 juga terinspirasi oleh kebangkitan dunia Arab ini. Protes ini menggunakan teknik pemberontakan sipil dalam kampanye yang melibatkan serangan, demonstrasi, pawai, dan pemanfaatan media sosial, seperti Facebook, Twitter, YouTube, dan Skype, untuk mengorganisir, berkomunikasi, dan meningkatkan kesadaran terhadap usaha-usaha penekanan dan penyensoran Internet oleh pemerintah.

14

Page 2: NAHDLATUL ULAMA’ SEBAGAI OPINION LEADER · PDF fileArab: الثورات العربية, secara harafiah Pemberontakan Arab) adalah gelombang revolusi unjuk rasa dan protes yang terjadi

Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015

media sosial yang dilakukan secara sistematis mampu melakukan perubahan kepemimpinan

nasional. Di dalam negeri sendiri kita kita dapat melihat pada kasus Prita4 atau Cicak Vs Buaya5,

pembuktian pendapat Gramsci bahwa media memiliki peran sebagai alat hegemoni terhadap

pembentukan kehendak umum. Persoalannya, hegemoni yang berlangsung saat ini apakah

dilakukan melalui integritas ideologis.

Perkembangan selanjutnya, trend globalisasi sangat mempengaruhi proses-proses politik di

seluruh negara di dunia, termasuk berpengaruh terhadap demokratisasi di Indonesia. Globalisasi

bukan saja ditandai oleh ketergantungan antar negara dan terintegrasinya sistem-sistem ekonomi

dan sosial, tetapi juga, dan lebih penting lagi, menimbulkan gejala-gejala baru berupa de-statisation

dan de-nationalisation. Gejala-gejala itu ditandai oleh berkurangnya peran negara sebagai akibat

liberalisasi pasar dan terbentuknya konfigurasi baru hubungan pemerintah pusat dan lokal. Lebih

lanjut, globalisasi menyebabkan perubahan-perubahan politik secara mendasar, yaitu dengan

bercampur-baurnya kepentingan dan kewenangan aktor-aktor negara, bisnis dan masyarakat sipil di

tingkat global, nasional, regional dan lokal. Akibatnya, proses-proses politik demokratis, baik untuk

merumuskan dan menjalankan kepentingan publik, hingga fungsi kontrol media dalam survei publik

didominasi oleh aktivitas berorientasi ekonomi-pasar yang sangat dipengaruhi oleh kekuatan modal

para aktor yang bermain di dalamnya. Yang terpinggirkan dari proses seperti itu adalah hak publik

untuk berpartisipasi di dalam proses-proses perumusan kebijakan publik.

Di Indonesia, studi yang dilakukan Demos pada 2003/2004 dan 2007 serta paparan Robison

dan Vedi Hadiz6, misalnya, memperlihatkan demokratisasi politik yang cenderung oligarkis.

Terjadi dominasi elit ditingkat lokal yang tidak memberikan kontribusi positif terhadap kalangan

akar rumput (grass root). Dalam konteks Nahdhatul Ulama (NU), perkembangan politik demokratis

tidak bisa dipisahkan dari pesantren sebagai entitas politik selain sebagai lembaga pendidikan yang

merupakan basis gerakan NU. Persaingan para elit NU dalam memperebutkan kekuasaan baik pusat

ataupun daerah, menunjukkan bahwa NU telah jauh masuk dalam pusaran liberalisasi politik. Elit

NU yang memilih terjun dalam politik pragmatis ini membuat mereka terfragmentasi di partai

politik. Perebutan akses politik ini jelas sarat kepentingan ekonomi pribadi ataupun golongan. Figur

kiai yang biasanya disegani masyarakat NU juga masuk dalam pusaran politik pragmatis, terutama

4 Kasus yang disebabkan surat elektronik yang menyebar di internet mengenai layanan RS Omni Internasional Alam Sutera. Melalui surat ini Prita dianggap telah mencemarkan nama baik rumah sakit tersebut beserta sejumlah dokter mereka 5 Kedua personifikasi ini diciptakan oleh Susno Duadji ketika diwawancarai oleh majalah Tempo tercetak pada edisi 20/XXXVIII 06 Juli 2009 dengan mengatakan cicak kok mau melawan buaya sebagai personifikasi KPK sebagai cicak sementara Kepolisian sebagai buaya dan dalam perkembangan selanjutnya buaya berubah menjadi penganti tikus yang dahulu diidentikkan dengan para pelaku korupsi 6 Lihat, Ricard Robinson and Vedi R. Hadiz. 2004. Reorganising Power In Indonesia: The Politics of Oligarchy in an age of Markets. Bulletin of Indonesian Economic Studies. Australian National University. Australia

15

Page 3: NAHDLATUL ULAMA’ SEBAGAI OPINION LEADER · PDF fileArab: الثورات العربية, secara harafiah Pemberontakan Arab) adalah gelombang revolusi unjuk rasa dan protes yang terjadi

Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015

didaerah basis suara NU. Implikasinya terjadi delegitimasi peran kiai sebagai culture broker atau

agent of change.

Menurunnya jumlah santri dibeberapa pesantren yang kiainya berpolitik memberi bukti

terjadinya delegitimasi tersebut. Saidin Ernas7 dalam studinya menyebutkan bahwa, banyak

pesantren yang mengalami penurunan kualitas karena kiai atau pimpinan pesantrennya lebih sibuk

berpolitik. Pesantren yang terlampau aktif dalam peran politiknya (political oriented) sangat

mungkin akan ditinggal oleh santrinya. Sebab orang tua santri yang kritis akan lebih memilih

pesantren yang lebih menjaga independensinya terhadap politik praktis. Pada titik ini, dapat disimak

bahwa masyarakat yang sebelumnya sangat menghormati pesantren dan selalu mengikuti anjuran

dan arahan pesantren mempunyai dasar untuk menentang legitimasi fatwa pesantren, khususnya

dalam isu-isu sosial dan politik, terutama dalam kasus pemilu.

Lemahnya penegakan hukum, rendahnya komitmen pemerintah terhadap perlindungan

kaum minoritas, persoalan kesejahteraan masyarakat, perilaku koruptif para birokrat hingga

rendahnya empati sosial para wakil rakyat di senayan. Kondisi politik ini menurut Prof. Azumardi

Azra telah menyebabkan terjadinya kelelahan politik (political fatique) yang berujung pada

apatisme politik. Padahal baik di negara yang sudah mapan dengan demokrasi maupun yang masih

dalam proses konsolidasi seperti Indonesia, apatisme politik jelas tidak menguntungkan. Dalam

konteks Indonesia, apatisme politik dapat mengakibatkan kian terbengkalainya agenda-agenda

konsolidasi demokrasi, seperti pemberdayaan pranata dan institusi demokrasi semacam partai

politik, lembaga perwakilan rakyat (DPR); penciptaan good governance dan pemberantasan

korupsi; penguatan kultur politik demokratis, civic culture (budaya kewargaan) dan civility

(keadaban); serta penegakan hukum. Jika agenda-agenda ini telantar, bisa dipastikan konsolidasi

demokrasi di negeri ini tidak bakal pernah berakhir. Sebaliknya, yang terus berlanjut adalah

kerancuan, anomali, dan kekisruhan politik yang menghambat akselerasi Indonesia menjadi sebuah

negara yang bermartabat dan disegani negara-negara lain.

Apatisme masyarakat terhadap politik secara struktural merupakan bagian dari alienasi

politik. Alienasi politik seperti dijelaskan oleh Lane dalam bukunya, Political Ideology, memiliki

definisi umum sebagai keterasingan orang terhadap pemerintah dan politik dalam masyarakatnya

sehingga memunculkan penolakan terhadap kegagalan politik8. Masyarakat yang acuh tak acuh

pada setiap agenda politik nasional maupun daerah dapat ditempatkan sebagai floating mass yang

hanya diaktifkan dimasa pemilihan. Fakta ini terjadi manakala NU hanya dimanfaatkan menjadi

7 Saidin Ernas. 2011. Bias Politik Pesantren: Dari Pragmatisme-Transaksional Hingga Resistensi Sosial. Jurnal Studi Pemerintahan Vol.2 Nomor 1 Februari 2011. UMY Press. Yogyakarta 8 Lihat, Lane, R. E.1962. Political Ideology. Why the American Common Man Believes What He Does, New York, The Free Press.

16

Page 4: NAHDLATUL ULAMA’ SEBAGAI OPINION LEADER · PDF fileArab: الثورات العربية, secara harafiah Pemberontakan Arab) adalah gelombang revolusi unjuk rasa dan protes yang terjadi

Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015

pengumpul suara (vote getter) bukan sebagai mitra strategis pemerintah dalam membangun

demokrasi yang lebih baik.

Agar komunikasi politik berjalan dengan baik maka keberadaan ormas menjadi penting

sebagai perantara komunikasi politik. Sehingga sesuai khittah 1926 yang digariskan para

pendirinya, NU perlu berperan sebagai perantara komunikasi politik, sebuah peran yang dalam ilmu

komunikasi disebut sebagai peran “opinion leader”. Untuk melaksanakan peran tersebut NU perlu

mendayagunakan tiga elemen dasar. Pertama, pembenahan fungsi kultur sosial (moralitas politik)

pesantren yang terdegradasi oleh perilaku para elitnya. Kedua mendayagunakan kelembagaan

media sebagai ruang publik alternatif yang dapat menjadi kekuatan potensial. Ketiga, membangun

kemandirian masyarakat tentang apa yang harus dilakukan untuk memungkinkan berlangsungnya

fungsi pengendalian terhadap urusan-urusan publik dan kesetaraan warga negara dalam politik

demokrasi yang dibangun. Tokoh NU yang pernah berhasil melakukan peranan tersebut adalah KH.

Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.

Tinjauan Teoritik

Konsep Opinion Leader

Istilah opinion leader menjadi perbincangan dalam literatur komunikasi sekitar tahun 1950-

1960an. Sebelumnya dalam istilah komunikasi sering digunakan istilah influentials, influence atau

tastemakers untuk menyebut opinion leader. Kata opinion leader kemudian menjadi lebih lekat

dengan kondisi masyarakat di pedesaan karena tingkat media exposure-nya dan tingkat

pendidikannya yang masih rendah. Akses dari media lebih memungkinkan dari mereka yang

mempunyai tingkat pemahaman yang lebih tinggi. Melalui seorang opinion leader-lah informasi

yang datangnya dari media diketahui oleh masyarakat awam.

Secara tidak langsung, opinion leader merupakan perantara berbagai informasi yang

diterima dan diteruskan kepada masyarakat setempat. Pihak yang sering menjadi media exposure di

masyarakat desa kadang diperankan oleh seorang opinion leader. Mereka ini sangat dipercaya dan

dijadikan panutan serta menjadi tempat bertanya dan meminta nasehat dalam segala hal.

Opinion leader dalam kelompok mempunyai cara yang berbeda-beda dalam menyampaikan

pesannya kepada komunikan untuk mendapatkan respon atau tanggapan tertentu dalam situasi

tertentu pula. Kesesuaian maksud dari opinion leader ini tergantung dari isi pesan dan feedback

yang diharapkan dari komunikan. Selain itu faktor psikologis masing-masing opinion leader juga

menentukan gaya dan caranya dalam mengelola penyampaian pesan. Dalam sebuah komunikasi, umpan balik merupakan bentuk khas dari sebuah pesan.

Komunikasi disebut efektif jika umpan balik yang didapatkan sesuai dengan harapan komunikator.

17

Page 5: NAHDLATUL ULAMA’ SEBAGAI OPINION LEADER · PDF fileArab: الثورات العربية, secara harafiah Pemberontakan Arab) adalah gelombang revolusi unjuk rasa dan protes yang terjadi

Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015

Oleh karena itu perlu seorang komunikator yang berkemampuan untuk mendapatkan kategori

komunikasi efektif. Untuk itu karakteristik opinion leader dapat dibagi menjadi 6 (enam), yaitu:

1. The Controlling Style

Dalam karakter opinion leader yang pertama adalah bersifat mengendalikan. Gaya

mengendalikan ini ditandai dengan adanya satu kehendak atau maksud untuk

membatasi, memaksa dan mengatur baik perilaku, pikiran dan tanggapan komunikan.

Gaya ini dapat dikategorikan sebagai one step flow. Oleh karena itu opinion leader tidak

berusaha untuk membicarakan gagasannya, namun lebih pada usaha agar gagasannya

ini dilaksanakan seperti apa yang dikatakan dan diharapkan tanpa mendengarkan pikiran

dari komunikan.

2. The Equalitarian Style

Gaya ini lebih megutamakan kesamaan pikiran antara opinion leader dan komunikan.

Dalam gaya ini tindak komunikasi dilakukan secara terbuka. Artinya setiap anggota

dapat mengkomunikasikan gagasan ataupun pendapat dalam suasana yang rileks, santai

dan informal. Dengan kondisi yang seperti ini diharapkan komunikasi akan mencapai

kesepakatan dan pengertian bersama. Opinion leader yang menggunakan pola two step

flow ini merupakan orang-orang yang memiliki sikap kepedulian tinggi serta

kemampuan membina hubungan baik dengan orang lain dalam lingkup hubungan

pribadi maupun hubungan kerja. Oleh karena itu akan terbina empati dan kerjasama

dalam setiap pengambilan keputusan terlebih dalam masalah yang kompleks.

3. The Structuring Style

Poin dalam gaya ini adalah penjadwalan tugas dan pekerjaan secara terstuktur. Seorang

opinion leader yang menganut gaya ini lebih memanfaatkan pesan-pesan verbal secara

lisan maupun tulisan agar memantapkan instruksi yang harus dilaksanakan oleh semua

anggota komunikasi. Seorang opinion leader yang mampu membuat instruksi terstuktur

adalah orang-orang yang mampu merencanakan pesan-pesan verbal untuk

memantapkan tujuan organisasi, kerangka penugasan dan memberikan jawaban atas

pertanyaan yang muncul.

4. The Relinquising Style

Gaya ini lebih dikenal dengan gaya komunikasi agresif, artinya pengirim pesan atau

komunikator mengetahui bahwa lingkungannya berorientasi pada tindakan (action

oriented). Komunikasi semacam ini seringkali dipakai untuk mempengaruhi orang lain

dan memiliki kecenderungan memaksa. Tujuan utama komunikasi dinamis ini adalah

untuk menstimuli atau merangsang orang lain berbuat lebih baik dan lebih cepat dari

saat itu. Untuk penggunaan gaya ini lebih cocok digunakan untuk mengatasi persoalan

18

Page 6: NAHDLATUL ULAMA’ SEBAGAI OPINION LEADER · PDF fileArab: الثورات العربية, secara harafiah Pemberontakan Arab) adalah gelombang revolusi unjuk rasa dan protes yang terjadi

Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015

yang bersifat kritis namun tetap memperhatikan kemampuan yang cukup untuk

menyelesaikan persoalan tersebut bersama-sama.

5. The Dynamic Style

Dalam sebuah komunikasi kelompok tidak semua hal dikuasai oleh opinion leader, baik

dalam percakapan hingga pengambilan keputusan. Bekerja sama antara seluruh anggota

lebih ditekankan dalam model komunikasi jenis ini. Komunikator tidak hanya

membicarakan permasalahan tetapi juga meminta pendapat dari seluruh anggota

komunikasi. Komunikasi ini lebih mencerminkan kesediaan untuk menerima saran,

pendapat atau gagasan orang lain. Komunikator tidak memberi perintah meskipun ia

memiliki hak untuk memberi perintah dan mengontrol orang lain. Untuk itu diperlukan

komunikan yang berpengatahuan luas, teliti serta bersedia bertanggung jawab atas tugas

yang dibebankan.

6. The Withdrawal Style

Deskripsi konkret dari gaya ini adalah independen atau berdiri sendiri dan menghindari

komunikasi. Tujuannya adalah untuk mengalihkan persoalan yang tengah dihadapi oleh

kelompok. Gaya ini memiliki kecenderungan untuk menghalangi berlangsungnya

interaksi yang bermanfaat dan produktif. Akibat yang muncul jika gaya ini digunakan

adalah melemahnya tindak komunikasi, artinya tidak ada keinginan dari orang-orang

yang memakai gaya ini untuk berkomunikasi dengan orang lain, karena ada beberapa

persoalan ataupun kesulitan antar pribadi yang dihadapi oleh orang-orang tersebut.

Opinion Leader dalam Kelompok

Sebuah kelompok adalah kumpulan dari beberapa individu yang memiliki tujuan sama

untuk membangun sebuah perubahan. Kelompok merupakan bagian kehidupan kita sehari-hari.

Bagi individu, kelompok dikatakan sebagai media pengungkapan persoalan-persoalan baik yang

bersifat pribadi (keluarga sebagai kelompok primer) maupun yang bersifat umum (kebutuhan

pengetahuan semua anggota kelompok). Setiap individu memilih kelompoknya masing-masing

berdasarkan ketertarikannya (interest) masing-masing. Orang yang memisahkan atau mengisolasi

diri dari orang lain adalah orang yang penyendiri, benci kepada orang lain atau dapat dikatakan

sebagai orang antisosial.

Semua anggota di dalam kelompok memiliki tujuan yang sama sehingga mereka bersatu dan

membangun sebuah sinergi untuk mewujudkannya. Di dalam teori kepribadian kelompok, sinergi

dikatakan memiliki peran penting dalam sebuah pencapaian cita-cita. Namun sinergi tidak hanya

dihabiskan untuk mencapai tujuan saja tetapi juga termasuk untuk menjaga hubungan antar anggota,

baik pribadi maupun umum. Dalam sebuah kelompok terdapat opinion leader (komunikator) dan

19

Page 7: NAHDLATUL ULAMA’ SEBAGAI OPINION LEADER · PDF fileArab: الثورات العربية, secara harafiah Pemberontakan Arab) adalah gelombang revolusi unjuk rasa dan protes yang terjadi

Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015

anggota (komunikan). Fungsi seorang komunikator dapat dijabarkan dalam 8 (delapan) aspek

menurut Burgoon, Heston dan Mc. Croskey. Kedelapan fungsi tersebut adalah: (1) Fungsi Inisiasi

(2) Fungsi Keanggotaan, (3) Fungsi Perwakilan (4) Fungsi Organisasi (5) Fungsi Integrasi (6)

Fungsi Manajemen Informasi Internal (7) Fungsi Penyaring Informasi (8) Fungsi Imbalan.

Dalam konteks politik peran opinion leader lebih dikaitkan pada kemampuan atau otoritas

yang tinggi untuk menentukan sikap dan perilaku kelompok. Bukan dari kedudukan politik tetapi

karena kewibawaan, ketundukan, kharisma, mitos yang melekat padanya atau karena pengetahuan

serta pengalaman yang dimilikinya. Dengan demikian, kondisi kultural NU yang merupakan

representasi pesantren yang memiliki solidaritas primordial memungkinkan untuk menampilkan

peran politik sebagai sebagai opinion leader secara kelembagaan. Membangun NU sebagai

kekuatan ekstra parlementer dalam paradigma Ahlus Sunnah Wal Jamaah dalam kerangka Negara

Kesatuan Republik Indonesia.

Teori Elit

Garis besar perkembangan elit Indonesia adalah dari yang bersifat tradisional yang

berorientasi kosmologis, dan berdasarkan keturunan kepada elit modern yang berorientasi kepada

negara kemakmuran, berdasarkan pendidikan. Elit modern ini jauh lebih beraneka ragam daripada

elit tradisional. Secara struktural ada disebutkan tentang administratur-administratur, pegawai-

pegawai pemerintah, teknisi-teknisi, orang-orang profesional, dan para intelektual, tetapi pada

akhirnya perbedaan utama yang dapat dibuat adalah antara elit fungsional dan elit politik.

Elit fungsional adalah pemimpin-pemimpin yang baik pada masa lalumaupun masa sekarang

mengabdikan diri untuk kelangsungan berfungsinya suatu negara dan masyarakat yang modern,

sedangkan elit politik adalah orang-orang (Indonesia) yang terlibat dalam aktivitas politik untuk

berbagai tujuan tapi biasanya bertalian dengan sekedar perubahan politik. Kelompok pertama

berlainan dengan yang biasa ditafsirkan, menjalankan fungsi sosial yang lebih besar dengan

bertindak sebagai pembawa perubahan, sedangkan golongan ke dua lebih mempunyai arti simbolis

daripada praktis.

Elit politik yang dimaksud adalah individu atau kelompok elit yang memiliki pengaruh

dalam proses pengambilan keputusan politik. Suzanne Keller (dalam Nas, 2007: 22)

mengelompokkan ahli yang mengkaji elit politik ke dalam dua golongan. Pertama, ahli yang

beranggapan bahwa golongan elite itu adalah tunggal yang biasa disebut elit politik (Aristoteles,

Gaetano Mosca dan Pareto). Kedua, ahli yang beranggapan bahwa ada sejumlah kaum elit yang

berkoeksistensi, berbagi kekuasaan, tanggung jawab, dan hak-hak atau imbalan. (ahlinya adalah

Saint Simon, Karl Mainnheim, dan Raymond Aron).

20

Page 8: NAHDLATUL ULAMA’ SEBAGAI OPINION LEADER · PDF fileArab: الثورات العربية, secara harafiah Pemberontakan Arab) adalah gelombang revolusi unjuk rasa dan protes yang terjadi

Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015

Teori Hegemoni Gramsci

Istilah hegemoni berasal dari bahasa Yunani kuno yaitu ‘eugemonia’. Sebagaimana yang

dikemukakan Encylclopedia Britanica dalam prakteknya di Yunani, diterapkan untuk menunjukkan

dominasi posisi yang diklaim oleh negara-negara kota (polism atau citystates) secara individual

misalnya yang dilakukan oleh negara Athena dan Sparta terhadap negara-negara lain yang sejajar.9

Adapun teori hegemoni yang dicetuskan Gramsci10 adalah:

“Sebuah pandangan hidup dan cara berpikir yang dominan, yang di dalamnya sebuah

konsep tentang kenyataan disebarluaskan dalam masyarakat baik secara institusional maupun

perorangan; (ideologi) mendiktekan seluruh cita rasa, kebiasaan moral, prinsip-prinsip religius dan

politik, serta seluruh hubungan-hubungan sosial, khususnya dalam makna intelektual dan moral.”

Berdasarkan pemikiran Gramsci tersebut dapat dijelaskan bahwa hegemoni merupakan suatu

kekuasaan atau dominasi atas nilai-nilai kehidupan, norma, maupun kebudayaan sekelompok

masyarakat yang akhirnya berubah menjadi doktrin terhadap kelompok masyarakat lainnya dimana

kelompok yang didominasi tersebut secara sadar mengikutinya. Kelompok yang didominasi oleh

kelompok lain (penguasa) tidak merasa ditindas dan merasa itu sebagai hal yang seharusnya terjadi.

Berdasarkan pemikiran Gramsci tersebut dapat dijelaskan bahwa hegemoni merupakan suatu

kekuasaan atau dominasi atas nilai-nilai kehidupan, norma, maupun kebudayaan sekelompok

masyarakat yang akhirnya berubah menjadi doktrin terhadap kelompok masyarakat lainnya dimana

kelompok yang didominasi tersebut secara sadar mengikutinya. Kelompok yang didominasi oleh

kelompok lain (penguasa) tidak merasa ditindas dan merasa itu sebagai hal yang seharusnya terjadi,

jika direfleksikan ke dalam kehidupan sosial-politik di Indonesia. Bagi Gramci, media merupakan

arena pergulatan antar ideologi yang saling berkompetisi (the battle ground for competing

ideologies). Antonio Gramci melihat media sebagai ruang di mana berbagai ideologi

dipresentasikan. Ini berarti, di satu sisi media bisa menjadi sarana penyebaran ideologi penguasa,

alat legitimasi dan kontrol atas wacana publik. Namun di sisi lain, media juga bisa menjadi alat

resistensi terhadap kekuasaan. Media bisa menjadi alat untuk membangun kultur dan ideologi

dominan bagi kepentingan kelas dominan, sekaligus juga bisa menjadi instrumen perjuangan bagi

kaum tertindas untuk membangun kultur dan ideologi tandingan.

Konsep Keterwakilan Dalam Politik Demokrasi

Unsur mendasar demokrasi seperti disinggung sebelumnya dalam latar belakang setidaknya

melibatkan tiga unsur pokok, yaitu warga negara yang setara (demos), urusan publik (public

matters), dan kontrol publik (popular control). Maka, pertanyaan-pertanyaan terpenting untuk

9 Lihat, Hendarto, Heru, 1993, Mengenal Kosep Hegemoni Gramsci: dalam Diskursus Kemasyarakatan dan Kemanusiaan, Gramedia, Jakarta 10 Gramsci, Antonio, 2001. Catatan-Catatan Politik. Pustaka Prometehea. Surabaya

21

Page 9: NAHDLATUL ULAMA’ SEBAGAI OPINION LEADER · PDF fileArab: الثورات العربية, secara harafiah Pemberontakan Arab) adalah gelombang revolusi unjuk rasa dan protes yang terjadi

Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015

mendiagnosa situasi dan kondisi demokrasi adalah: (1) siapa demos?; (2) bagaimana urusan publik

dirumuskan?; dan (3) bagaimana kontrol publik dijalankan?. Pertanyaan-pertanyaan ini sangat erat

kaitannya dengan persoalan keterwakilan dan partisipasi. Keterwakilan berkaitan dengan jaminan

atas hak-hak setiap warga negara untuk mewujudkan kepentingan-kepentingannya. Sedangkan

partisipasi berkaitan dengan jaminan atas hak-hak setiap warga negara untuk ikut serta secara aktif

di dalam proses-proses politik yang menentukan pengambilan, pelaksanaan dan kontrol atas

kebijakan-kebijakan publik.Institusi keterwakilan dan partisipasi yang demokratis harus menjamin

hak dan kepentingan setiap warga negara. Abai terhadap kedua aspek itu, maka demokrasi hanyalah

sebatas serangkaian prosedur demokrasi, dan karena itu jauh dari demokrasi yang substansial.

Partisipasi dan keterwakilan merupakan dua konsep penting yang senantiasa muncul dalam

topik diskusi demokrasi. Kendati begitu, masing-masing konsep merupakan buah dari dua gagasan

yang berbeda. Partisipasi tumbuh dalam tradisi pemikiran republikanisme, sedangkan keterwakilan

lebih dekat dengan gagasan liberalisme. Partisipasi merupakan prinsip keterbukaan bagi semua

individu untuk mengontrol semua urusan publik, sedangkan keterwakilan berkaitan dengan

pengakuan dan pemenuhan atas hak-hak (kepentingan) setiap individu. Dalam wacana demokrasi,

karena itu, muncul istilah demokrasi langsung (direct democracy) dan demokrasi perwakilan

(representative democracy).

Pada perkembangannya hingga kini, baik partisipasi maupun keterwakilan kerap menjadi

tolok ukur kualitas demokrasi. Semakin luas partisipasi publik dan semakin banyak kepentingan

publik yang terwakili, dikatakan kualitas demokrasi semakin baik. Sebaliknya, keterbatasan akses

partisipasi dan ketimpangan muatan kepentingan dalam proses dan produk-produk kebijakan publik

merupakan indikasi bagi buruknya kualitas demokrasi. Itu sebabnya demokrasi – entah langsung

ataupun perwakilan – dikatakan menjadi semakin baik kualitasnya jika semakin substantif pada

pelaksanaannya, bukan semata-mata mengutamakan prosedur.

Dalam kaitan itu, identifikasi mengenai siapa demos merupakan hal yang sangat mendasar.

Dari rumusan mengenai demos itulah aspek-aspek perbaikan partisipasi dapat ditentukan dan

agregasi kepentingan publik melalui mekanisme perwakilan demokratis bisa berlangsung lebih

baik. Semakin terbatas demos maka akan semakin terbatas kepentingan publik yang bisa

dirumuskan. Dan semakin terbatas kepentingan publik, prosedur-prosedur demokrasi hanya akan

menguntungkan sebagian anggota masyarakat.

Sebagai sebuah tema kajian, keterwakilan sudah banyak menyedot perhatian para akademisi.

Salah satu yang paling dikenal adalah karya Hanna Fenichel Pitkin yang berjudul The Concept of

Representation. Pitkin memberikan definisi yang jelas terhadap keterwakilan, yaitu “to make

present again.” On this definition, political representation is the activity of making citizens' voices,

22

Page 10: NAHDLATUL ULAMA’ SEBAGAI OPINION LEADER · PDF fileArab: الثورات العربية, secara harafiah Pemberontakan Arab) adalah gelombang revolusi unjuk rasa dan protes yang terjadi

Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015

opinions, and perspectives “present” in the public policy making processes. Ulasan Pitkin

mengenai keterwakilan itu dirangkum oleh Tornquist dan Warouw:

“.. .bahwa keterwakilan mengasumsikan adanya wakil, orang-orang yang diwakili, sesuatu

yang diwakili dan sebuah konteks politiknya. Dinamika keterwakilan terutama menyangkut

dengan otorisasi dan akuntabilitas, yang mengasumsikan adanya transparansi dan daya

tanggap. Apa yang diketerwakilankan dapat bersifat substantif, deskriptif atau simbolik.

Keterwakilan substantif adalah ketika wakil ‘bertindak untuk’ (acts for) mereka yang

diwakili, seperti misalnya seorang pemimpin memperjuangkan kepentingan buruh.

Keterwakilan deskriptif adalah ketika wakil ‘berdiri untuk’ (stands for) orang-orang yang

secara objektif serupa. Misalnya, seorang perempuan mewakili perempuan dan seorang

penduduk desa mewakili keseluruhan penduduk desanya. Jenis terakhir adalah keterwakilan

simbolik yaitu ketika seorang aktor dianggap oleh mereka yang diwakili, juga, ‘berdiri

untuk’ (stands for) mereka, tetapi kali ini dalam pengertian kesamaan kebudayaan dan

identitas. Namun demikian keterwakilan simbolik bisa juga dipahami secara lebih luas,

sebagaimana ditulis Bourdieu (Wacquant, 2005; Stokke, 2002) dan Anderson (1983),

sebagai sesuatu yang mengonstruksi demos, kelompok-kelompok dan berbagai kepentingan

yang diwakili dan menyatakan diri sebagai otoritas yang absah sebagai seorang wakil.”

Berangkat dari kategorisasi keterwakilan Pitkin itu, Törnquist menawarkan sebuah

pendekatan baru untuk memahami keterwakilan. Keterwakilan harus mencakup pula model-model

partisipasi alternatif berupa partisipasi langsung warga yang melibatkan kelompok-kelompok

kewargaan dan organisasi-organisasi masyarakat. Dalam kerangka yang ditawarkan Törnquist ini,

model-model partisipasi alternatif dalam politik demokrasi bekerja atas dasar kesepakatan-

kesepakatan dan cara-cara informal, misalnya perantaraan melalui tokoh-tokoh informal, kelompok

lobi, dan LSM. Tetapi nampaknya konsep ini mengesampingkan globalisasi yang memiliki dampak

yang signifikan.

Di Indonesia, globalisasi menyebabkan perubahan-perubahan politik secara mendasar, yaitu

dengan bercampur-baurnya kepentingan dan kewenangan aktor-aktor negara, bisnis dan masyarakat

sipil di tingkat global, nasional, regional dan lokal. Akibatnya, proses-proses politik demokratis,

baik untuk merumuskan dan menjalankan kepentingan publik, hingga fungsi kontrol media dalam

survei publik didominasi oleh aktivitas berorientasi ekonomi-pasar yang sangat dipengaruhi oleh

kekuatan modal para aktor yang bermain di dalamnya. Yang terpinggirkan dari proses seperti itu

adalah hak publik untuk berpartisipasi di dalam proses-proses perumusan kebijakan publik.

Sehingga demokratisasi politik di Indonesia berkembang menjadi cenderung oligarkis. Terjadi

dominasi elit ditingkat lokal yang tidak memberikan kontribusi positif terhadap kalangan akar

rumput (grass root).Padahal prosedur-prosedur politik demokratis seharusnya menyangga satu pilar

23

Page 11: NAHDLATUL ULAMA’ SEBAGAI OPINION LEADER · PDF fileArab: الثورات العربية, secara harafiah Pemberontakan Arab) adalah gelombang revolusi unjuk rasa dan protes yang terjadi

Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015

terpenting demokrasi, yaitu pemenuhan kepentingan-kepentingan publik dan terbukanya akses

partisipasi popular.

Untuk memahami konsep keterwakilan yang ditawarkan oleh Pitkin dapat dilihat pada

gambar 2.1 di bawah ini:

Gambar 2.1 Kerangka Terintegrasi Bagi Studi Keterwakilan Popular Demokratis (Sumber: Törnquist, Webster, Stokke (eds.), Rethinking Popular Representation

(New York: Palgrave Macmillan, 2009), hal 11). Dalam kajian ini bagi Nahdhatul Ulama (NU) pilihan strategi tersebut tentu dapat dilakukan

semua mengingat modal ekonomi, sosial dan kultural yang dimiliki sebagai ormas keagamaan di

Indonesia. Akan tetapi tentu bukan pilihan strategi tentunya berangkat dari sebuah peran yang

dimiliki oleh NU dibidang politik demokrasi, peran tersebut adalah peran lembaga NU sebagai

opinion leader. Lembaga keterwakilan alternatif bagi kepentingan yang tidak terwakili oleh ketiga

lembaga aspirasi seperti; civil society, politic society dan informal leaders. Keterwakilan ini

mencakup peran politik NU sebagai;

a) Fungsi Kultur Sosial (Social Culture). Untuk membangun kepercayaan diri kader NU,

persamaan wacana dan komitmen kebangsaan dalam rangka memperkuat kelembagaan

representrasi demokrasi

b) Fungsi Advokasi dan Literasi Politik (Advocacy and Politic Literacy). Untuk mengawal

proses politik demokrasi dan membangun literasi politik anggota masyarakat

c) Fungsi Jejaring Sosial (Social Networking). Memperkuat modal ekonomi, modal kultural dan

modal sosial NU untuk membangun fungsi kontrol demokrasi dan penyalur aspirasi masyarakat

24

Page 12: NAHDLATUL ULAMA’ SEBAGAI OPINION LEADER · PDF fileArab: الثورات العربية, secara harafiah Pemberontakan Arab) adalah gelombang revolusi unjuk rasa dan protes yang terjadi

Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015

Untuk lebih jelasnya silahkan melihat gambar dibawah ini;

Gambar 2.2 Kerangka Terintegrasi Peran NU Sebagai Opinion Leader Lembaga keterwakilan alternatif bagi kepentingan yang tidak terwakili

(civil society, politic society dan informal leaders)

Sesuai dengan gambar di atas sebenarnya, peran NU dalam politik demokrasi berada pada

lembaga civil society dan informal leader. Tetapi seiring tidak berjalannya fungsi keterwakilan

karena adanya dominasi elit, maka perlu mengambil peran politik sebagai opinion leader. Peran

tersebut mengambil fungsi untuk membentuk perwakilan aspirasi masyarakat yang tidak terwakili

dengan menghilangkan hambatan-hambatan komunikasi politik seperti; dominasi elit, politik

transaksional, kaderisasi organisasi yang lambat serta lemahnya penegakan hukum. Peran politik ini

kemudian dikaitkan dengan fungsi sosial NU sebagaimana terdapat dalam khittah 1926. Keterkaitan

antara khittah NU 1926 dengan peran politiknya diimplementasikan dalam peran politik sebagai

opinion leader.

Nahdhatul Ulama’ dan Gerakan Politik Islam

Nahdhatul Ulama’ (NU) merupakan salah satu organisasi kemasyarakatan Islam yang

didirikan pada 16 Rajab 1344/ 31 Januari 1926 di Surabaya oleh KH. Hasyim Asy’ari dan KH.

Abdul Wahab Hasbullah. Dalam pengertian harfiah NU berarti kebangkitan ulama. Berdasarkan

statuten NU pertama 1930 dan AD/ART NU terakhir tahun 2004, jelas sekali bahwa NU adalah

organisasi sosial keagamaan yang mengukuhkan dirinya menjadi pengawal tradisi Ahlus Sunnah

Wal Jamaah bermadzhab empat yang diusahakan melalui berbagai ikhtiar di bidang agama,

pendidikan, sosial, dan ekonomi. Islam berdasarkan Ahlus Sunnah Wal Jamaah adalah dasar

Bypassing democratic representation

OPINION LEADERS

25

Page 13: NAHDLATUL ULAMA’ SEBAGAI OPINION LEADER · PDF fileArab: الثورات العربية, secara harafiah Pemberontakan Arab) adalah gelombang revolusi unjuk rasa dan protes yang terjadi

Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015

gerakan keagamaan NU. Pemihakan tujuan NU pun sangat jelas, yakni fakir miskin, yatim piatu,

petani, pedagang, dan pendidikan madrasah, masjid, musholla, serta pesantren. Tak satu poin pun

dalam tujuan organisasi NU menyebutkan untuk merebut kekuasaan politik atau pembentukan

partai politik.

Berikut ini perjalanan sejarah NU jelang satu abad yang disusun dari berbagai sumber

berdasarkan momen-momen politik di mana NU ambil bagian, baik secara aktif maupun pasif.

Tabel 3.1 Peran NU Dalam Politik Demokrasi Indonesia No Waktu Peristiwa 1 1914 Berdiri Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air), organisasi pendidikan

dan dakwah, cikal bakal organisasi NU, oleh pemuda Kyai Abdul Wahab Chasbullah dan Kyai Mas Mansur yang dibantu beberapa orang lainnya. Nahdlatul Wathan mendapat pengakuan badan hukum pada tahun 1916.

2 1918 Berdiri Tasywirul Afkar (Keterwakilan Gagasan-gagasan)-nama resmi organisasinya Suryo Sumirat Afdeling Tasywirul Afkar--di Surabaya oleh Kyai Ahmad Dahlan, pemimpin pesantren Kebondalem Surabaya bersama Kyai Mas Mansur, Kyai Abdul Wahab Chasbullah dan Mangun. Tujuan utamanya menyediakan tempat bagi anak-anak untuk mengaji dan belajar, kemudian menjadi "sayap" untuk membela kepentingan Islam tradisionalis.

3 1918 Atas restu KH. Hasyim Asy'ari didirikan usaha perdagangan dalam bentuk koperasi (syirkah al-‘inan) dengan nama Nahdlatut Tujjar (Kebangkitan Usahawan).

4 Sebelum Januari 1926 Dibentuk Komite Hijaz, yang diketuai Hasan Dipo, dan wakil Saleh Sjamil, sekretaris Moehammad Shadiq Setijo dan wakil Abdul Halim, penasehat KH Abdul Wahab Chasbullah, KH. Masjhoeri, dan KH. Khalil.

5 30 Januari 1926 Kyai Abdul Wahab Chasbullah mengenai kemerdekaan Indonesia: "Tentu, itu syarat nomor satu, umat Islam menuju ke jalan itu, umat Islam tidak leluasa sebelum negara kita merdeka." "Ini bisa menghancurkan bangunan perang, kita jangan putus asa, kita harus yakin tercapai negeri merdeka."

6 31 Januari 1926 Rapat Komite Hijaz yang memutuskan pengiriman delegasi ke Mekah, dengan nama jam'iyyah Nahdlatoel-‘Oelama (NO).

7 1928 NU menetapkan anggaran dasarnya pada Muktamar tahun 1928. 8 6 Februari 1930 NU memperoleh pengakuan resmi dari Pemerintah Belanda. 9 1936 Pada Muktamar NU ke-11 di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, NU

menetapkan bahwa Indonesia yang saat itu masih dikuasai Pemerintah Hindia Belanda adalah Daru Islamin (Negeri Islam). Pertimbangan NU bahwa masyarakat Islam di kawasan Nusantara dapat menjalankan agamanya dan melaksanakan hukum Islam tanpa terusik meskipun secara formal kekuasaan politik berada di tangan Hindia Belanda. Selain itu, dalam sejarahnya Indonesia pernah dikuasai sepenuhnya oleh Kerajaan Islam dan bagian terbesar penduduknya beragama Islam.

10 1937 NU bersatu dalam konfederasi MIAI (Majlis Islam A'laa Indonesia). Bagi NU, keterlibatannya ini merupakan langkah pertama menuju dunia politik dalam arti terbawa untuk menentukan posisi secara tegas terhadap penjajahan Belanda menjelang Perang Dunia II.

11 1939 Aktivis muda NU saat itu, Mahfudz Shiddiq dan Wahid Hasyim, sebagai wakil NU terlibat dalam GAPI (Gabungan Politik Indonesia) di MIAI. Selain itu, banyak aktivis NU terlibat dalam perjuangan nasional melawan penjajahan.

12 Juni 1940 Pada Muktamar ke-15 NU (Muktamar terakhir masa pemerintahan kolonial Belanda), suatu rapat tertutup yang dihadiri oleh 11 ulama di bawah pimpinan KH. Mahfudz Shiddiq membicarakan calon Presiden pertama Indonesia mendatang. Para ulama memilih Soekarno dengan 10 suara dan 1 suara untuk Mohamad Hatta. Keputusan ini karena diambil pada saat

26

Page 14: NAHDLATUL ULAMA’ SEBAGAI OPINION LEADER · PDF fileArab: الثورات العربية, secara harafiah Pemberontakan Arab) adalah gelombang revolusi unjuk rasa dan protes yang terjadi

Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015

No Waktu Peristiwa berlangsungnya perdebatan seru mengenai Indonesia yang akan dijadikan negara Islam atau bukan. Soekarno tampak lebih sekular dan cenderung ke negara demokrasi ketimbang Mohamad Hatta yang memiliki citra lebih "santri".

13 1942 KH. Hasyim Asy'ari dijebloskan ke penjara beberapa bulan karena penolakannya terhadap penghormatan terhadap Kaisar Jepang dengan cara membungkukkan badan.

14 1943 MIAI dibubarkan dan diganti dengan Masyumi (Madjlis Sjuro Muslimin Indonesia) yang dipimpin Muhammadiyah dan NU dan menyatakan siap membantu kepentingan Jepang.

15 Agustus 1944 KH. Hasyim Asy'ari diangkat sebagai Ketua Shumubu, Kantor Urusan Agama Islam buatan Jepang, dan NU pun mulai masuk ke dalam urusan pemerintah untuk pertama kalinya. Kemudian, diikuti pembukaan Kantor Urusan Agama di setiap Karisidenan yang menjangkau kehidupan desa.

16 1942-1945 Semasa pendudukan Jepang, aktivitas NU terpusat pada perjuangan membela Tanah Air, baik fisik maupun politik. Ini berarti NU sudah tidak lagi mengkhususkan diri pada urusan sosial kemasyarakatan keagamaan saja, melainkan juga melibatkan diri pada urusan politik perjuangan kemerdekaan. Dalam periode ini terlibat kyai generasi pertama NU, yakni KH. Hasyim Asy'ari, KH. Abdul Wahab Hasbullah, KH. A. Wahid Hasyim, KH. M. Dahlan, KH. Masykur, KH. Saifuddin Zuhri, KH. Zaenul Arifin, dll.

17 Mei - Agustus 1945 KH. Wahid Hasyim, wakil dari NU, terlibat aktif dalam perumusan dasar negara Indonesia yang akan diproklamasikan, mulai dari penyusunan Piagam Jakarta hingga menjadi Pancasila seperti sekarang ini.

18 18 Agustus 1945 Menjelang sidang PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia), KH. Wahid Hasyim yang mewakili NU ikut menyepakati untuk menghapuskan tujuh kata "dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluknya" dalam Piagam Jakarta, sehingga hanya menjadi "Ketuhan Yang Maha Esa."

19 22 Oktober 1945 Resolusi Jihad NU, yakni fatwa jihad melawan tentara sekutu Inggris-Belanda dan NICA sebagai djihad fi sabilillah yang hukumnya fardlu ‘ain bagi orang yang berada dalam jarak radius 94 Km demi tegaknya Negara Republik Indonesia Merdeka dan Agama Islam.

20 7-8 November 1945 Muktamar Ummat Islam Islam Indonesia di Yogyakarta, yang melahirkan Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia). Pada periode pertama, Majelis Syura Masyumi dipimpin oleh KH. Hasyim Asy'ari.

21 3 Januari 1946 Departemen Agama dibentuk dan KH. Wahid Hasyim dari NU menjadi Menteri Agama.

22 26-29 Maret 1946 Muktamar ke-16 NU di Purwokerto menetapkan naskah Resolusi Jihad yang memutuskan wajib bagi warga NU untuk membela Negara Indonesia yang diproklamasikan 17 Agustus 1945; menegaskan NU masuk sebagai istimewa Masyumi dan menyerukan kepada seluruh warga NU di semua tingkatan untuk tetap aktif mendukung tegaknya Partai Islam Masyumi.

23 25 Mei 1947 Muktamar ke-17 NU di Madiun menyetujui prakarsa KH. A. Wahid Hasyim untuk mendirikan "Biro Politik NU" yang bertugas mengadakan perundingan-perundingan dengan kelompok intelektual yang didominasi Masyumi dan guna menyelesaikan berbagai ketimpangan yang dirasakan sangat merugikan NU.

24 25 Juli 1947/7 Ramadlan 1366 H

Rais Akbar NU, KH. Hasyim Asy'ari berpulang ke rahmatullah.

30 April - 3 Mei 1950 Muktamar ke-18 NU di Jakarta memutuskan NU keluar dari Partai Masyumi, tapi pelaksanaannya ditangguhkan, dan menetapkan KH. Abdul Wahab Hasbullah sebagai Rais Aam (bukan lagi Rais Akbar) PBNU, sekaligus menyetujui berdirinya Fatayat NU, organisasi pemudi/remaja puteri NU.

27

Page 15: NAHDLATUL ULAMA’ SEBAGAI OPINION LEADER · PDF fileArab: الثورات العربية, secara harafiah Pemberontakan Arab) adalah gelombang revolusi unjuk rasa dan protes yang terjadi

Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015

No Waktu Peristiwa 25 1952 NU keluar dari Masyumi. 26 1952-1973 NU menjadi organisasi partai politik. 27 Juli 1953 NU masuk dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo yang dipimpin PNI dan

dikukung oleh PKI. Masyumi dan PSI menjadi oposisi. NU memperoleh jabatan Menteri Agama, Menteri Pertanian, dan Wakil Perdana Menteri.

28 1954 Dalam Muktamar ke-20 tahun 1954 di Surabaya, NU memutuskan untuk menerima dan memandang sah hasil Konferensi Alim Ulama di Cipanas tahun 1954 yang menetapkan bahwa Presiden RI (Ir. Soekarno) dan alat-alat negara adalah waliyyul amri ad-dlaruri bi asy-syawkah.

29 29 Maret 1954 KH. Abdul Wahab Chasbullah membenarkan pemberian gelar waliyyul amri ad-dlaruri bi asy-syawkah di depan Parlemen, dengan argumentasi bahwa menurut fikih perempuan Islam yang tidak memiliki wali nasab, perlu kawin di depan wali hakim supaya anaknya tidak menjadi anak zina. Karena itu, ditetapkan bahwa yang harus menjadi wali hakim pada masa ini ialah Kepala Negara kita.

30 1955 Dalam Pemilu 1955, NU menjadi partai terbesar ketiga memperoleh 45 kursi di Parlemen (18,4% suara), setelah PNI (22,3%) dan Masyumi (20,9%), dan di atas PKI (16,4%).

31 Mei 1959 Di tengah perdebatan negara Islam atau bukan, NU menerima "Kembali kepada UUD 1945" dengan syarat Piagam Jakarta diakui sebagai bagian dari UUD. Ketika Sidang Konstituante memilih tidak menerima Piagam Jakarta, NU berbalik menolak UUD 1945.

32 Juli 1959 KH. Idham Cholid, Ketua Tanfidhiyah PBNU, dan KH. Saefuddin Zuhri, Sekretaris PBNU, menyetujui Dekrit Presiden untuk "Kembali kepada UUD 1945" tetapi minta "agar Piagam Jakarta diakui kedudukannya sebagai yang menjiwai UUD 1945."

33 5 Juli 1959 Presiden Soekarno membubarkan Majelis Konstituante dan mendekritkan berlakunya UUD 1945 dengan pernyataan: "Kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945 menjiwai UUD 1945 dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut."

34 5 Juli 1971 Pada Pemilu 1971, Partai NU menjadi partai terbesar kedua memperoleh 58 kursi DPR (18,68% suara) setelah Golongan Karya (Golkar) yang memperoleh 236 kursi DPR (62,82% suara), dan dua tingkat di atas PNI yang memperoleh 20 kursi (6,93% suara).

35 5 Januari 1973 KH. Dr. Idham Chalid, Ketua Umum PBNU, menandatangani Deklarasi Pembentukan Partai Persatuan Pembangunan (PPP); NU berfusi ke dalam PPP.

36 1984 Pada Muktamar ke-27 tahun 1984 di Situbondo, Jawa Timur, NU kembali ke Khittah 1926, tidak terlibat politik praktis, dan menegaskan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berlandaskan Pancasila dan Undang-undang Dasar (UUD) 1945 adalah bentuk final perjuangan umat Islam. Karenanya, tidak diperlukan lagi bentuk negara apapun dalam negeri ini, meskipun Negara Islam atau Negara Syari'ah.

37 23 Juli 1998 Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dideklarasikan oleh KH. Munasir Ali, KH. Ilyas Ruchiyat, KH. Abdurrahman Wahid, KH. A. Mustofa Bisri, KH. A. Muhith Muzadi. Pendirian PKB diinisiasi oleh Tim Lima yang dibentuk PBNU pada 3 Juni 1998, yakni KH. Ma'ruf Amin (Rais Suriyah/Koordinator Harian PBNU), dengan anggota KH. M. Dawam Anwar (Katib Aam PBNU), Dr. KH. Said Aqil Siradj, M.A. (Wakil Katib Aam PBNU), HM. Rozy Munir, S.E., M.Sc. (Ketua PBNU), dan Ahmad Bagdja (Sekretaris Jenderal PBNU).

38 20 Oktober 1999 KH. Abdurrahman Wahid, Ketua Umum PBNU (1984-1999), terpilih menjadi Presiden RI ke-4 (20 Oktober 1999-23 Juli 2001).

39 Mei-Juli 2004 KH. Hasyim Muzadi, Ketua Umum PBNU (1999-sekarang), menjadi calon Wakil Presiden mendampingi Ketua Umum DPP PDI-P Megawati

28

Page 16: NAHDLATUL ULAMA’ SEBAGAI OPINION LEADER · PDF fileArab: الثورات العربية, secara harafiah Pemberontakan Arab) adalah gelombang revolusi unjuk rasa dan protes yang terjadi

Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015

No Waktu Peristiwa Sukarnoputri sebagai calon Presiden pada Pemilu 2004; dan KH. Ir. H. Shalahuddin Wahid, Ketua PBNU (1999-2004), sebagai calon Wakil Presiden mendampingi Jenderal (Purn.) H. Wiranto, SH sebagai calon Presiden pada Pemilu 2004.

Sumber: http://www.fahmina.or.id dan data diolah

Dari tabel diatas tampak bahwa dari satu waktu ke waktu lain, perjalanan sejarah NU hampir

selalu bersentuhan dengan politik, kekuasaan, negara, dan kebijakan publik, baik sebagai pelaku

utama, pendukung, maupun hanya sekadar pengikut. Bentuk keorganisasiannya berubah-ubah

secara dinamis mengikuti perkembangan politik pada masanya; dari organisasi sosial keagamaan

menjadi organisasi politik, lalu kembali lagi menjadi organisasi sosial keagamaan, berubah lagi

menjadi organisasi sosial keagamaan yang mendirikan partai politik.

Berdasarkan perubahan-perubahan penting sikap politik NU dalam kehidupan politik

Indonesia dapat dibagi periodesasi politik NU sebagai berikut:

Tabel 3.2 Periodesasi Peran NU di Bidang Politik

Periode Peristiwa 1926-1946 Periode pemerintah kolonial Belanda, yang dicirikan oleh sikap abstain NU terhadap

politik. 1942-1945 Periode pendudukan Jepang, masa ketika kyai mulai terlibat dalam politik. 1945-1949 Perjuangan kemerdekaan merupakan periode di mana NU terlibat secara aktif dan radikal

dalam politik. 1949-1959 Masa demokrasi parlementer adalah perubahan penting NU dari organisasi sosial

keagamaan menjadi partai politik, tetapi gagal memberikan dampak yang sepadan dengan besar jumlah pendukungnya.

1959-1965 Pada masa demokrasi terpimpin Soekarno, NU menjadi penyangga rezim otoriter populis, yang menyebabkan sejumlah konflik internal.

1965-1966 Pada masa transisi yang keras, NU mendefinisikan ulang perannya dalam kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan.

1967-1998 Selama masa Orde Baru Soeharto, NU untuk beberapa lama menampilkan diri sebagai kekuatan oposisi yang tegar, namun mengalami depolitisasi yang luar biasa.

1998-1999 Sejalan dengan pembukaan kran demokrasi, masa Orde Reformasi adalah masa transisi NU masuk kembali ke dalam negara, melalui pendirian partai politik PKB oleh elit PBNU.

1999-2001 Masa KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Ketua Umum PBNU, menjadi Presiden; NU masuk ke dalam negara, menjadi pendukung utama pemerintah.

2001-2010 Masa perjuangan NU untuk masuk kembali ke dalam negara, ditandai dengan pencalonan KH. Hasyim Muzadi, Ketua Umum PBNU, menjadi calon Wakil Presiden, tetapi gagal. Namun sejumlah kader NU masuk ke dalam kabinet.

Sumber: http://www.fahmina.or.id dan data diolah Sebagai partai politik, NU di bawah kepemimpinan para kyai pesantren tradisional pernah

tercatat sebagai satu-satunya partai Islam terbesar di Indonesia pada tahun 1960-an dan awal

1970an, mengalahkan Parmusi, PSII, dan Perti. Kenyataan sejarah tersebut menunjukkan bahwa

NU tidak jumud, lentur, adaptif, dan menerima perubahan atas perkembangan sosial politik

sepanjang sejarah. Gerakan politik NU adalah bagian dari responnya atas perkembangan sosial yang

terjadi saat itu. Sejarah NU adalah sejarah bangsa Indonesia. Dengan gaya zig-zag-nya, NU tetap

29

Page 17: NAHDLATUL ULAMA’ SEBAGAI OPINION LEADER · PDF fileArab: الثورات العربية, secara harafiah Pemberontakan Arab) adalah gelombang revolusi unjuk rasa dan protes yang terjadi

Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015

setia dengan kebangsaan Indonesia, tak bergeser sedikitpun dari garis pertama berangkat.

Nasionalisme NU tunggal hanya untuk Indonesia dengan seluruh darah daging kebudayaannya.

Ketegasan ini tersimpul dari sejumlah keputusan keagamaan (bahstul masa'il) NU dari

muktamar ke muktamar sebagai forum tertinggi organisasi NU. Mulai dari muktamar sebelum

kemerdekaan di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, tahun 1936 hingga muktamar terakhir 2004 di

Solo Jawa Tengah, NU-dengan nalar fiqhnya yang sangat dominan--tidak mengubah sedikitpun

Indonesia dari negara-bangsa yang multietnik, multiagama, dan multibahasa menjadi bentuk negara

lain, termasuk negara Islam. Komitmen terhadap Pancasila dan UUD 1945 telah bulat dan

menetapkannya sebagai bentuk final yang tidak perlu diubah.

Peran NU Sebagai Opinion Leader di Bidang Politik

Dalam konteks Nahdhatul Ulama, elit politik lokal Nahdhatul Ulama adalah para kiai/tokoh

yang menjadi pemuka agama/panutan ditingkat lokal yang dapat dilihat dalam 3 kategori;

1) Pertama, kategori elit berdasarkan status ekonomi

Elit NU dalam kategori ini dapat berasal dari semua kalangan dengan tingkat kemapanan

finansial yang tinggi. Sebagai organisasi nirlaba, pengurusan NU memberi ruang terhadap

kelompok tersebut khususnya dalam pendanaan organisasi. Dalam kategori ini elit NU yang

dimaksud adalah pengusaha, politisi dan birokrat pemerintahan

2) Kedua kategori elit berdasarkan kegiatan fungsional;

Elit NU dalam kategori ini terkait dengan jabatan kepengurusan NU disetiap tingkatan

kepengurusan. Akses terhadap kekuasaan sering menjadi latar belakang seseorang untuk

menjadi pengurus NU. Posisi struktural NU tidak jarang digunakan untuk mendapatkan sesuatu

yang jauh dari kepentingan NU secara organisatoris. Hal ini dapat dilihat dari bentuk kegiatan

seperti; penggalangan massa, pelibatan jajaran pengurus sebagai tim pemenangan dan lain

sebagainya. Jauh dari komitmen awal politik NU yang lebih mengedepankan politik kultural

(pendidikan politik) dalam rangka kontrol politik pemerintah.

3) Ketiga, elit berdasarkan kharisma yang diwakili oleh identitas kiai

Basis NU yang berasal dari pesantren memberi kelas sosial yang tinggi bagi kiai sebagai

pimpinan pesantren.Kelompok ini meliputi para ustad atau guru ngaji, da’i pengajian keliling

hingga kiai yang memiliki pesantren dengan jumlah santri yang besar.

Terjadinya dominasi elit NU di tingkatan lokal dapat dilihat dalam beberapa kategori persoalan

yang ada pada tabel dibawah ini;

Tabel 3.3 Kategorisasi Dominasi Elit NU di Tingkatan Lokal No. Kategorisasi Potensi Permasalahan 1. Faktor keturunan

dalam kepemimpin Keturunan memiliki fungsi besar untuk ‘membuka pintu’

Belum terbangun budaya yang bangga jika mampu berprestasi atau

30

Page 18: NAHDLATUL ULAMA’ SEBAGAI OPINION LEADER · PDF fileArab: الثورات العربية, secara harafiah Pemberontakan Arab) adalah gelombang revolusi unjuk rasa dan protes yang terjadi

Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015

No. Kategorisasi Potensi Permasalahan dalam membangun hubungan dengan pihak lain.

sukses berdasarkan kerja kerasnya sendiri dari bawah

2. Basis kepemimpinan pada ideologi bukan pada figur

Legitimasi akan figur atau identitas kelompok sebagai kekuatan pemimpin

NU sebagai ormas keagamaan seringkali hanya mengandalkan latar belakang figur untuk memimpin organisasi (darah biru/pendiri NU atau tidak)

3. Kondisi untuk memperkuat gelombang regenerasi kepemimpinan

Perseteruan, perselisihan, pertikaian, bahkan pemberontakan berlatar belakang politik dan ideologis adalah bagian dari pendewasaan berpolitik

Terjadi dendam politik sehingga pengurusan NU seringkali didasarkan pada kesamaan politik ketua umum dengan meninggalkan semangat kebersamaan. Pengurus lama meski potensial seringkali disingkirkan

4. Pelibatan generasi muda dalam proses kaderisasi kepemimpinan baru

Berpolitik dengan program, visi, nilai, kebijakan, bisa memenangkan pertarungan politik demokratis.

Penyiapan generasi muda dengan memberi mereka karpet merah akan menciptakan anak muda yang apolitis, pragmatis, meskipun seolah-olah berpolitik

5. Kepentingan Ekonomi Semua aktivis politiklah untuk secara konsisten mengubah kondisi itu. Politik harus dijadikan sebagai sarana memperjuangkan idealisme, bukan untuk cari makan, cari harta, atau cari kekuasaan

Posisi pengurus yang sebagian besar memiliki basis ekonomi yang belum mapan. Oleh sebab itu perilaku politik elit NU kerapkali mengarah pada bias ekonomi pasar, transaksional dan ditentukan pada penawaran tertinggi

6. Karakter Building para Politisi muda

Perlu pemimpin yang berani, tegas, berani melakukan terobosan, termasuk dalam berinisiatif membuat aturan. Pemimpin yang berani untuk mengambil risiko. Sekarang kebanyakan kita ini politisi, bukan negarawan

Elit dan politisi NU seringkali hanya mengandalkan latar belakang figur untuk memimpin. Hal ini menyebabkan rendahnya kepemimpinan dan kurangnya character building yang membuat kepentingan rakyat terlupakan.

7. Kesuksesan dalam karir bisa dibangun dengan pematangan secara alami

Kredibilitas dan profesionalitas dibutuhkan untuk membangun karir dan berorganisasi.

Rekrutmen yang didominasi senior, regenerasi tidak berjalan ilmiah, sistem belum terkelola baik

8. Transparansi dan akuntabilitas organisasi

Transparansi dan akuntabilitas organisasi membangun keteladanan dan kekuatan tawar organisasi

Keuangan organisasi berasal dari sumber yang belum dipertanggungjawbkan secara jelas. Sehingga kerapkali ormas tidak terkecuali NU menjadi sasaran tempat pencucian uang

Konteks persoalan diatas tentu tidak bisa kita pisahkan begitu saja dari konflik elit NU

ditingkatan lokal yang selama ini terjadi. Sehingga merupakan dampak peningkatan konflik elit

ditingkatan lokal yang tepatnya berada di pesantren sebagai pusat gerakan NU. Konflik elit

dibeberapa pesantren sebagai basis masa NU telah menyebabkan labelisasi sehingga menyebabkan

adanya peristilahan merah, kuning, biru dan lain sebagainya sebagai pencerminan kecenderungan

31

Page 19: NAHDLATUL ULAMA’ SEBAGAI OPINION LEADER · PDF fileArab: الثورات العربية, secara harafiah Pemberontakan Arab) adalah gelombang revolusi unjuk rasa dan protes yang terjadi

Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015

tersebut kepada suatu partai politik. Belum lagi jika labelisasi itu berlaku pada beberapa keluarga

yang merupakan pendiri pesantren, seringkali menjadikan konflik urat saraf yang diantara anggota

keluarga atas dasar ketidaksamaan aliran politik yang dipilih. Belum lagi persoalan betapa

mudahnya pesantren menerima dana dari pemerintah atau partai politik dengan kompensasi

tertentu. Merupakan tolok ukur betapa rendahnya integritas dan kedewasaan politik para elit politik

NU ditingkatan lokal, seiring dengan perilaku koruptif dan manipulatif yang mulai menjangkiti

generasi mudanya.

Aspek integritas dan kedewasaan berpolitik adalah hal dasar mengapa politik kontra

produktif terhadap NU secara keorganisasian. Hal ini pula yang menyebabkan mengapa orang luar

pesantren menganggap ada perbedaan mendasar antara kiai dulu dengan sekarang. Dalam kultur

NU, para kiai selama ini dipandang dan ditempatkan sebagai sosok yang suci, pewaris ajaran nabi

dan segala tindak tanduknya harus diikuti. Selama ini, kiai telah ditahbiskan sebagai pemegang

otoritas moral, pembawa “pesan langit” dan label-label surgawi lainnya. Masyarakat pun

mengamini hal itu dan menjadikan para kiai/ulama sebagai panutan dalam kehidupannya. Namun

yang tidak banyak disadari oleh umat adalah kesamaan situasi. Pada saat masuk politik, para kiai itu

sama dengan politikus dan manusia lainnya yang lekat dengan ambisi, vested of interest serta tidak

lepas dari tarik menarik kepentingan duniawi serta hal-hal yang bersifat profan lainnya.

Di sisi lain, sebagian besar pesantren masih bergulat dengan manajemen pengelolaan

pesantren secara tradisional dan sangat kental dengan nuansa kekerabatan. Status kepemilikan

pesantren rata-rata dimonopoli keluarga kiai yang menjadi episentrum dalam pesantren itu.

Hubungan yang terjadi antara kiai dan santri dibangun dalam pola patron klien dan bersifat

irasional. Kesetiaan dibangun atas dasar ikatan emosional, psikologis dan kadangkala imbas hutang

budi yang bersifat ekonomis dari santri pada kiai. Pada saat terjadi perbedaan pendapat, khususnya

dalam orientasi politik para santri cenderung mengeyampingkan pilihan pribadinya. Santri akan

tunduk dan patuh pada apa yang menjadi pilihan politik kiainya meskipun para santri tidak pernah

mengetahui hal-hal yang mendasari sikap politik kiainya. Sikap itu dimaknai sebagai bagian dari

“taqlid” (kepatuhan tanpa reserve pada kiai). Perbedaan orientasi politik itu antara santri dan kiai

akan muncul pada saat santri sudah lepas dari . Selama masih mengenyam pendidikan di pesantren,

santri akan sangat sulit untuk dapat mengekspresikan sikap politiknya secara mandiri.

Setidaknya NU telah mengeluarkan pedoman yang disebut sebagai Sembilan Pedoman

Berpolitik Warga NU, yaitu: (1) Berpolitik bagi NU mengandung arti keterlibatan warga negara

dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara menyeluruh sesuai dengan Pancasila dan UUD

1945. (2) Politik bagi NU adalah politik yang berwawasan kebangsaan dan menuju integrasi bangsa

dengan langkah-langkah yang senantiasa menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan untuk mencapai

cita-cita bersama, yakni terwujudnya masyarakat adil makmur lahir batin dan dilakukan sebagai

32

Page 20: NAHDLATUL ULAMA’ SEBAGAI OPINION LEADER · PDF fileArab: الثورات العربية, secara harafiah Pemberontakan Arab) adalah gelombang revolusi unjuk rasa dan protes yang terjadi

Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015

amal ibadah menuju kebahagiaan di dunia dan kehidupan di akhirat. (3) Berpolitik bagi NU adalah

pengembangan nilai-nilai kemerdekaan yang hakiki dan demokratis, mendidik kedewasaan bangsa

untuk menyadari hak, kewajiban dan tanggungjawab untuk mencapai kemaslahatan bersama. (4)

Berpolitik bagi NU dilakukan dengan moral, etika, dan budaya yang berketuhanan Yang Maha Esa,

berperikemanusiaan yang adil dan beradab, menunjung tinggi persatuan Indonesia, berkerakyatan

yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan dan berkeadilan

sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. (5) Berpolitik bagi NU haruslah dilakukan dengan kejujuran

nurani, moral agama, konstitusional sesuai dengan peraturan dan norma-norma yang disepakati

serta dapat mengembangkan mekanisme musyawarah dalam memecahkan masalah bersama. (6)

Berpolitik bagi NU dilakukan untuk memperkokoh konsensus-konsensus nasional dan dilaksanakan

dengan akhlaqul karimah sebagai pengamalan ajaran Islam Ahlussunah wal jama’ah. (7) Berpolitik

bagi NU dengan dalih apapun, tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan kepentingan bersama

memecah belah persatuan. (8) Perbedaan pandangan diantara aspirasi-aspirasi politik warga NU

harus tetap berjalan dalam suasana persaudaraan, tawadlu’dan saling menghargai satu sama lain

sehingga dalam berpolitik itu tetap dijaga persatuan dan kesatuan di lingkungan NU. (9) Berpolitik

bagi NU menuntut adanya komunikasi kemasyarakatan timbal balik dalam pembangunan nasional

untuk menciptakan iklim yang memungkinkan perkembangan organisasi kemasyarakatan yang

lebih mandiri dan mampu melaksanakan fungsinya sebagai sarana masyarakat untuk berserikat,

menyalurkan aspirasi serta berpartisipasi dalam pembangunan.

Sembilan pokok pedoman itu secara tekstual sangat normatif namun jika diikuti secara nyata

dalam tataran praktik politik, perilaku politik warga NU akan menjadi sangat elegan. Tidak hanya

dalam relasi di antara sesama politisi NU namun dengan komunitas politik non NU. Namun jika

melihat realitas politik, pedoman itu hanya bermakna dalam tataran tekstual. Praktik politik dari

warga NU justru terkesan mengabaikan dan bertolakbelakang dengan pedoman itu. Artinya, akar

konflik dan awal mula permasalahan tidak terletak pada sistem nilai namun pada praktik dan

perilaku politik. Dengan menggunakan teori elit dan hegemoni gramsci, perilaku politik elit NU ini

dilatar belakangi oleh keinginan untuk mempertahankan status. Sehingga “taqlid” (kepatuhan tanpa

reserve pada kiai) sering dikaitkan dengan hal tidak rasional seperti “keberkahan ilmu” sehingga

memperkuat hegemoni kiai terhadap santri. Sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi

Muhammad SAW terhadap para sahabatnya baik dalam konteks dakwah, politik dan kenegaraan.

Mengajarkan kesetaraan dan tanggungjawab sosial, kemandirian berfikir, dan memiliki beragam

perspektif adalah esensi dasar perilaku yang diajarkan oleh Islam. Musyawarah menjadi mekanisme

kesejajaran para sahabat dengan Nabi Muhammad SAW dalam memandang permasalahan, meski

sebenarnya perspektif ideal ada pada diri Nabi Muhammad SAW sebagai penerima misi kenabian.

Islam sebagai ajaran agama diterjemahkan dalam budaya masyarakat, pendidikan dan kolektifitas

33

Page 21: NAHDLATUL ULAMA’ SEBAGAI OPINION LEADER · PDF fileArab: الثورات العربية, secara harafiah Pemberontakan Arab) adalah gelombang revolusi unjuk rasa dan protes yang terjadi

Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015

sosial kemasyarakatan (ukhuwah ). Dalam hal ini sebenarnya telah ada penerapan peran opinion

leader oleh Nabi Muhammad SAW, sehingga Islam mengalami perkembangan dan memberi

pengaruh luar biasa bagi peradaban dunia.

Sebagai ormas keagamaan NU memiliki mandat yang sama sebagai penerus misi kenabian

sehingga NU pun harus mampu memfungsikan peran yang dimaksud. Peran opinion leader adalah

peran untuk memperjuangkan nilai-nilai Islam Ahlus Sunnah Wal Jamaah dalam prinsip

melestarikan tradisi yang baik dimasa lalu dan mengambil tradisi yang baik dimasa sekarang

sebagai upaya membangun tatanan masyarakat dan penyelenggaraan negara sesuai kerangka Negara

Kesatuan Republik Indonesia. Dalam menterjemahkan peran tersebut dalam konteks kelembagaan

dan politik, NU membutuhkan kader-kader yang memiliki semangat dan tekad yang satu dan sama,

serta diharapkan dapat memiliki kriteria yang menyangkut 4 (empat) hal pokok, yang meliputi;

Pertama, memiliki kesadaran ideologis yang tinggi. Setiap kader NU harus memiliki

pengertian dan kesadaran ideologi yang tinggi, yaitu ideologi yang hsrus diperjuangkan oleh NU.

Tidak pernaha ada partai yang survive tanpa ideologi; tidak pernah ada bangsa yang bertahan tanpa

ideologi, karena ideologilah yang memberikan cita-cita, memberikan arah, memberikan harapan-

harapan kehidupan masa depan bangsa. Lebih penting lagi bagi kita, ideologi adalah pondasi

organisasi dan negara. Memberikan landasan, alasan tindakan dan perjuangan bangsa, dan bagi NU

adalah final untuk menjadikan Pancasila 1 Juni 1945 sebagai dasar perjuangan. Kedua, memiliki

kesadaran politik yang tinggi. Setiap kader harus betul-betul mempunyai kesadaran dan pemahaman

politik yang tinggi sebab akan dihadapinya setiap saat dan setiap hari. Dalam keseharian, politik

adalah sebuah seni tentang kemungkinan-kemungkinan, seni dalam mengelola kemajemukan cita-

cita, harapan, perbedaan dan kepentingan. Ia adalah seni dalam mengalokasikan sumber-sumber

daya politik secara otoritatif (mandiri). Sehingga kader-kader NU tidak mudah untuk terprovokasi

atau sekedar dimobilisasi untuk kepentingan elit politik. Dan terpenting adalah politik harus dapat

dipakai sebagai wahana perjuangan merealisasikan nilai-nilai ideologi dalam komitmen Negara

Kesatuan Republik Indonesia. Ketiga, memiliki kesadaran berorganisasi yang tinggi

Untuk mewujudkan kesadaran berorganisasi yang tinggi dibutuhkan pemahaman dan

kesepakatan diri pada aturan main, kepatuhan, disiplin organisasi, militansi dalam perjuangan cita-

cita organisasi, dan taat pula pada asas organisasi. Maksudnya, begitu kita menjadi kader NU,

semua cita-cita pribadi harus tunduk pada cita-cita yang diperjuangkan NU. Bukan berarti

perbedaan pendapat dan metode tidak diperbolehkan tetapi justru merupakan berkah dalam proses

mengambil kebijakan dan keputusan. Keputusan yang diambil menjadi kewajiban kader NU untuk

melaksanakan dan mengamankannya. Keempat, memiliki kesadaran lingkungan dan sosial yang

tinggi. Kader NU harus memiliki kepekaan dan kesadaran lingkungan. Menghindari kesenjangan

antara cita-cita NU dan tingkah laku sosial kader-kadernya dimasyarakat. Hal ini tidak hanya akan

34

Page 22: NAHDLATUL ULAMA’ SEBAGAI OPINION LEADER · PDF fileArab: الثورات العربية, secara harafiah Pemberontakan Arab) adalah gelombang revolusi unjuk rasa dan protes yang terjadi

Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015

memperburuk citra NU dan membuat masyarakat menjauh dari NU tetapi juga pengingkaran

terhadap prinsip dasar Islam. Kesalehan spiritual harus senada dengan kesalehan sosial, seperti

halnya Nabi Muhammad SAW yang sebelum misi kenabiannya telah memiliki legitimasi sosial atas

perilaku sosialnya dalam masyarakat.

Disini pendidikan nilai terhadap kader NU menjadi hal yang sangat penting. Pertama, nilai

tentang kepercayaan diri kader NU. Sebagai kaum tradisional NU tidak boleh seketika antipati

dengan modernitas, tetapi yang harus dilakukan adalah membangun modernitas tersebut dalam

nilai-nilai baik tradisonalisme. Sebab kenyataan hidup telah membelajarkan kita bahwa sesuatu

yang paling mahal dalam modernitas adalah tradisionalisme itu sendiri. Jepang dan Korea Selatan

adalah bukti bahwa tradisionalisme dapat bersanding dengan arus modernitas. Modernitas yang

dibangun tanpa kesetiaan terhadap tradisonalisme hanya akan membuat suatu bangsa kehilangan

akar budayanya yang merupakan identitasnya sendiri sebagai bangsa. Kedua, nilai kebersamaan

sebagai bagian dari institusi NU. Institusi ormas keagamaan seperti NU, seharusnya dibangun diatas

keteraturan sistem yang disepakati bersama dengan konstitusi dan ideologi sebagai bingkai nilai

yang menyatukannya. Menjadi orang NU berarti menjadi bagian dari keteraturan sistem yang ada.

Tetapi dalam perjalanannya hubungan individu dan organisasi NU lebih cenderung bersifat

individual dan subyektif sehingga sering fluktuatif dan rawan konflik. Ketiga, nilai sebagai

pengikut. Selain kader NU dididik dan mendidik dirinya untuk menjadi pemimpin yang baik, maka

penting baginya untuk belajar menjadi pengikut yang baik. Sebab salah satu syarat paling penting

untuk bisa menjadi pemimpin yang baik adalah mampu menjadi pengikut yang baik. Tidak akan

ada pemimpin yang baik tanpa pernah menjadi pengikut yang baik. Sejarah telah membuktikannya.

Keempat, nilai dari sebuah disiplin. Tidak ada bangsa yang besar tanpa disiplin. Bercermin pada

pengalaman bangsa-bangsa lain, saya berkeyakinan bahwa pernyataan ini adalah aksioma yang

tidak terbantahkan. Disiplin sebagai nilai berarti kepatuhan pada sistem dan aturan main organisasi.

Dengan nilai disiplin, NU tidak hanya akan berjalan baik secara organisasi tetapi juga mendorong

berjalannya sebuah sistem sosial yang baik dimasyarakat. Kelima, nilai demokrasi dan

kepemimpinan. Untuk membangun politik demokrasi NU harus mempelajari dan mempraktekkan

salah satu nilai fundamental dari demokrasi sebagai sebuah proses sosial politik. Nilai yang

dimaksud adalah kesediaan untuk mendengar. Nilai yang sama adalah juga nilai hakiki dalam

kepemimpinan. Demokrasi tidak dimulai dari perbedaan pendapat dan kesediaan untuk menerima

perbedaan pendapat. Untuk sampai pada tingkat ini, pertama-tama orang harus punya kesediaan

untuk mendengar. Tidak akan pernah terlahir pemimpin yang demokratis kecuali ada kesediaan

untuk mendengar.

Setelah kriteria kader dan pendidikan nilai tersebut, maka untuk melaksanakan peran

politiknya sebagai opinion leader, NU harus mampu memaksimalkan 3 (tiga) fungsi dasar; fungsi

35

Page 23: NAHDLATUL ULAMA’ SEBAGAI OPINION LEADER · PDF fileArab: الثورات العربية, secara harafiah Pemberontakan Arab) adalah gelombang revolusi unjuk rasa dan protes yang terjadi

Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015

kultur sosial (social culture), fungsi advokasi dan literasi politik (advocacy and politic literacy) dan

fungsi jejaring sosial (social networking). Ketiga fungsi ini bukanlah hal yang baru bagi NU tetapi

lebih merupakan revitalisasi terhadap fungsionalitas kelembagaan NU yang sudah ada. Sehingga

ketiga fungsi ini harus ditopang oleh pilar-pilar keorganisasian NU sebagai ormas keagamaan.

Disini bukan berarti NU melembagakan dirinya sebagai lembaga politik, tetapi lebih menegaskan

kembali fungsinya sebagai ormas keagamaan yang berfungsi sebagai penegak nilai dalam

masyarakat. Tetapi dengan kesadaran bahwa perjuangan nilai-nilai Islam Ahlus Sunnah Wal

Jamaah harus dibangun dalam dua hal yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Membangun

tatanan masyarakat sebagai pondasi, sekaligus membangun penyelenggaraan pemerintahan sesuai

nilai-nilai Islam Ahlus Sunnah Wal Jamaah.

Fungsi yang dibangun dalam tiga fungsi (1) fungsi kultur sosial (2) fungsi advokasi dan

literasi politik, (3) fungsi jejaring sosial yang kemudian diterjemahkan sebagai peran politik NU

merupakan kesatuan yang utuh. Fungsi-fungsi tersebut merupakan suatu rangkaian yang saling

terkait satu dengan yang lain. Bekerjanya salah satu fungsi perlu didukung oleh fungsi lain sehingga

peran politik nyata terjadi. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada gambar dibawah ini ;

Gambar 3.2 Peran NU di Bidang Politik Sebagai Opinion Leader

Lebih lanjut, apabila dikaitkan dengan keberadaan khittah NU 1926 maka peran politik NU

tidak bisa untuk berdiri sendiri. Peran ini harus didukung pula oleh fungsi sosial NU seperti;

pendidikan (maarif), kesejahteraan sosial (mabarrot), penyebaran agama (dakwah) dan

perekonomian (muamalat). Politik bagi NU tidak sekedar berkenaan dengan kekuasaan belaka

tetapi juga esensi ideologi Ahlus Sunnah Wal Jamaah yang dianutnya. Adapun prinsip-prinsip yang

Mekanisme Kontrol Organisasi

Kemandirian Pesantren

Kultur Organisasi yang Terbuka

Periodeisasi dan sistem kaderisasi yang ketat

Apresiasi prestasi kader

Transparansi Organisasi

Revitalisasi Peran Pesantren Gerakan Moral NU

Diversifikasi Tema Diskursus Ilmiah

Peningkatan Capacity Building Kader

Membangun Media Belajar Kader NU

Simpul Komunikasi Kader NU

Ruang public Alternatif

Standarisasi Mutu Pesantren

Kekuatan Basis Ekonomi

Kemitraan dan Kerjasama Strategis

Membangun Lembaga Survey Kebijakan Publik

36

Page 24: NAHDLATUL ULAMA’ SEBAGAI OPINION LEADER · PDF fileArab: الثورات العربية, secara harafiah Pemberontakan Arab) adalah gelombang revolusi unjuk rasa dan protes yang terjadi

Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015

digunakan dalam peran politnya adalah sikap tawasuth (tengah), I’tidal (lurus), hindari fatharruf

(ekstimitas), dan sikap tasamuh (toleran). Keterkaitan antara fungsi sosial dan peran politik NU,

dapat dengan jelas dilihat pada gambar dibawah ini;

Gambar 3.3 Peran NU Sebagai Opinion Leader di Bidang Politik dan Khittah NU 1926

Dalam gambar tersebut dapat dilihat bahwa peran politik NU dibangun bersama fungsi

sosialnya. Keberadaan setiap komponen menjadi sangat penting dan vital, sehingga bangunan ini

akan roboh disaat salah satu komponen tidak ada. Pelaksanaan peran politik dengan meninggalkan

fungsi sosial NU tidak hanya mengingkari khittah 1926 tetapi juga membuat rapuhnya bangunan

peran politik NU itu sendiri. Dengan demikian fungsi sosial NU adalah merupakan landasan atau

pondasi keorganisasian NU sebagai ormas keagamaan sedangkan peran NU dalam politik lebih

merupakan upaya untuk melindungi tatanan sosial kemasyarakatan yang dibangun berdasarkan

nilai-nilai Islam Ahlus Sunnah Wal Jamaah.

Sesuai dengan peran sosialnya maka dalam pelaksanaan peran NU sebagai opinion leader di

bidang politik lebih difokuskan pada pelembagaan perilaku politik berdasarkan nilai-nilai Islam

Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Perilaku politik yang dimaksud adalah tindakan-tindakan politik yang

disebabkan cara pandang warga NU terhadap sistem politik dalam rangka mempengaruhi kebijakan

politik (pemerintah). Sesuai khittah 1926, nilai-nilai Islam Ahlus Sunnah Wal Jamaah menjadi cara

pandang NU pada segala hal, tidak terkecuali dalam bidang politik. Dengan demikian, pelembagaan

perilaku politik NU berarti juga membangun konsep budaya politik NU berdasarkan nilai-nilai

Islam Ahlus Sunnah Wal Jamaah.

Budaya politik masyarakat idealnya tetap sebagai pola orientasi dan sikap yang mampu

berkontribusi melalui tindakan-tindakan konstruktif dalam sistem politik. Pemilihan umum yang

damai, pilkada yang tidak bergejolak dan semakin berkurangnya konflik politik di masyarakat,

menjadi ciri bahwa budaya politik semakin membaik. Kondisi tersebut akan berdampak secara

positif dalam proses pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintahan yang terpilih. Namun

37

Page 25: NAHDLATUL ULAMA’ SEBAGAI OPINION LEADER · PDF fileArab: الثورات العربية, secara harafiah Pemberontakan Arab) adalah gelombang revolusi unjuk rasa dan protes yang terjadi

Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015

fenomena yang sering terjadi, sebagai misal pasca pemilu 2004 atau 2009 atau pilkada sepanjang

tahun 2006 sampai 2010 ini, menunjukkan bahwa setelah memenangkan pemilu atau pilkada dan

berhasil menjadi pemimpin, mereka lupa diri dan bahkan mereka tidak lagi perduli pada rakyat.

Sudah dipastikan tidak ada sosok yang mampu menjadi panutan masyarakat.

Padahal untuk membangun budaya politik dibutuhkan keteladanan sikap dari para elite

politik, pejabat negara dan tokoh-tokoh yang duduk pada lembaga tinggi maupun lembaga publik di

tingkat daerah. Proses membangun kualitas keteladanan para pelaku politik tersebut tidak bisa

berlangsung secara instan, karena harus terpolakan dan tersistematisasikan secara baik. Hal inilah

yang kemudian mendorong NU untuk menuntut adanya moralitas berpolitik bagi para kadernya.

Sebuah kecenderungan untuk menyesuaikan budaya politik dengan tatanan nilai-nilai Islam Ahlus

Sunnah Wal Jamaah.

Penutup

Peran politik NU sebagai opinion leader, tersebut dibangun dalam tiga fungsi, fungsi kultur

sosial, fungsi advokasi dan literasi politik, serta fungsi jejaring sosial. Fungsi-fungsi tersebut

merupakan suatu rangkaian yang saling terkait satu dengan yang lain. Bekerjanya salah satu fungsi

perlu didukung oleh fungsi lain sehingga peran politik nyata terjadi. Pelaksanaan peran politik NU

tidak boleh meninggalkan fungsi sosialnya sebagai ormas keagamaan di Indonesia. Meninggalkan

pelaksanaan fungsi sosial NU tidak hanya mengingkari khittah 1926 tetapi juga membuat rapuhnya

bangunan peran politik NU itu sendiri. Dengan demikian fungsi sosial NU adalah merupakan

landasan atau pondasi keorganisasian NU sebagai ormas keagamaan sedangkan peran NU dalam

politik lebih merupakan upaya untuk melindungi tatanan sosial kemasyarakatan yang dibangun

berdasarkan nilai-nilai Islam Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Sekaligus untuk membangun mekanisme

kontrol organisasi NU terhadap perilaku politik kadernya disemua tingkatan. Dalam rangka

membangun tatanan sosial kemasyarakatan dan politik demokrasi Indonesia yang yang dibangun

berdasarkan nilai-nilai Islam Ahlus Sunnah Wal Jamaah

Daftar Pustaka

Azra, Azyumardi. 2010. Apatisme Politik.

http://nasional.kompas.com/read/2010/08/03/08525794/Apatisme.Politik diakses pada 10

Desember 2012

Adian, Donny Gahral. 2012. Opini, Rakyat dan Demokrasi.

Anam, Choirul. 2002. Sembilan Pedoman Berpolitik Warga NU. Surabaya, Bisma Satu Printing

Budiarjo, Miriam. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik-Edisi Revisi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka

Utama

38

Page 26: NAHDLATUL ULAMA’ SEBAGAI OPINION LEADER · PDF fileArab: الثورات العربية, secara harafiah Pemberontakan Arab) adalah gelombang revolusi unjuk rasa dan protes yang terjadi

Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015

Clarke, Paul Barry and Joe Foweraker (eds.). 2001. Encyclopedia of Democratic Thought. London:

Routledge

Dhofier, Zamakhsyari. 1984. Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta;

LP3ES.

Gramsci, Antonio, 2001. Catatan-Catatan Politik. Pustaka Prometehea. Surabaya

Hadiz, Vedi R and Richard Robison. 2004. Reorganising Power in Indonesia: The politics of

oligarchy in an age of markets. London: Routledge Curzon

Harriss, Stokke, Törnquist (eds.). 2004. Politicising Democracy: The New Local Politics of

Democratisation (New York: Palgrave Macmillan

Hendarto, Heru, 1993, Mengenal Kosep Hegemoni Gramsci: dalam Diskursus Kemasyarakatan dan

Kemanusiaan, Gramedia, Jakarta

Lane, R. E.1962. Political Ideology. Why the American Common Man Believes What He Does,

New York, The Free Press.

Lawrence & Wishart. 1973. Karl Marx: Economic and Philosophic Manuscripts 1844. L & W

Press. London

Nas, Jayadi. 2007. Konflik Elit Di Sulawesi Selatan Analisis Pemerintahan dan Politik Lokal.

Yayasan Massaile bekerjasama dengan Lembaga Penerbitan Unhas (Lephas), Jakarta

Nurullah, Ahmad. 2011. Memperkuat Politik Warga. http://www.jurnas.com/halaman/10/2011-10-

21/186249 diakses pada 10 Desember 2012

Osborne and Ted Gaebler, 1992. Reinventing Government:How the Entrepreneurial Spirit is

Transforming the Public Sector. New York: Penguin Books Ltd.

Pitkin, H. F., 1967. The Concept of Representation. Berkeley: University of California Press

Priyono, A.E., Willy Purna Samadhi dan Olle Törnquist (eds.). 2007. Making Democracy

Meaningful: Problems and Options in Indonesia. Jakarta-Yogyakarta: Demos and PCD

Press

Priyono dkk. 2009. Re-Politisasi Gerakan Sipil Menuju Demokratisasi Substansial. Jakarta: Demos,

tidak dipublikasikan

Richard C. Box. 1998. Citizen Governance: Leading American Communities into 21st Century,

Sage Publication, California

Ricard Robinson and Vedi R. Hadiz. 2004. Reorganising Power In Indonesia: The Politics of

Oligarchy in an age of Markets. Bulletin of Indonesian Economic Studies. Australian

National University. Australia

Robert Van Niel. 1984. Munculnya Elite Modern Indonesia, Pustaka Jaya, Jakarta,

Saidin Ernas. 2011. Bias Politik Pesantren: Dari Pragmatisme-Transaksional Hingga Resistensi

Sosial. Jurnal Studi Pemerintahan Vol.2 Nomor 1 Februari 2011. UMY Press. Yogyakarta

39

Page 27: NAHDLATUL ULAMA’ SEBAGAI OPINION LEADER · PDF fileArab: الثورات العربية, secara harafiah Pemberontakan Arab) adalah gelombang revolusi unjuk rasa dan protes yang terjadi

Jurnal Politika, Vol. 1, Nomor. 1, September 2015

Samadhi, Willy Purna dan Nicolaas Warouw (eds.). 2009. Demokrasi di Atas Pasir. Yogyakarta:

PCD Press

Sendjaja, S. Djuarsa. 1994. Teori Komunikasi. Jakarta: Universitas Terbuka

Susilo, Hari. 2012. Berebut Suara Nahdhatul Ulama. Artikel Kompas 10 Desember 2012

________, Perjalanan Politik NU Jelang Seabad: Selayang

Pandang,http://www.fahmina.or.id/penerbitan/buku/829-jelang-seabad-politik-nu-

sumbangan.html?start=1

UN, 2004. What is good governance. Economic and Social Commission for Asia and the Pacific,

http://www.unescap.org/sites/default/files/good-governance.pdf

40