Upload
la-ode-sahrul-ramadan
View
431
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
artikel
Citation preview
MAKALAH NANOPARTIKEL
Pembuatan Tulang Sintesis dan Obat HIV
Disusun oleh:
KHAIRUL AMRY (N11109294)
SASMITA SARI (N11109299)
RESTI ANUGERAH R (N11109300)
SYAHRIANI SYAHRIR (N11109301)
MAKASSAR
2012
1. Pengertian Nanopartikel
Nanopartikel didefinisikan sebagai suatu dispersi partikulat atau
partikel padat dengan ukuran berkisar pada range 10-1000nm. Obat yang
dilarutkan, entrapped, di kapsulasi atau attached pada matriks
nanopartikel. Dengan mengandalkan metode preparasi, nanopartikel,
nanosphere atau nanokapsul dapat diperoleh. Nanokapsul merupakan
sistem dimana suatu sediaan obat dibatasi ruangnya dengan
membungkusnya dalam suatu membran polimer, sedangkan nanosphere
merupakan sistem matriks dimana suatu obat dapat terdispersi secara
seragam.
Sekarang ini, kemampuan biodegradasi polimer nanopartikel
dimana suatu partikel disalut dengan polimer hidrofilik seperti poli(etilen
glikol) atau PEG yang diketahui sebagai partikel long-circulating yang
telah digunakan sebagai pelengkap dari penghantaran potensial obat
karena kemampuan dari sediaan obat untuk beredar (sirkulasi) pada
waktu yang lama pada organ target khusus, sebagai pembawa DNA pada
terapi gen dan kemampuannya pada penghantaran protein, peptida dan
gen.
2. Keuntungan Nanopartikel
Beberapa keuntungan dari penggunaan nanopartikel sebagai
sistem panghantaran pada sediaan obat :
1. Ukuran partikel dan karakteristik permukaan dari nanopartikel dapat
dengan mudah dimanipulasi untuk mencapai target obat pasif maupun
aktif setelah pemberian parenteral.
2. Nanopartikel dapat dijadikan sebagai metode pelepasan obat
(pelepasan terkontrol dan pelepasan berlanjut) dari sediaan obat
selama penghantaran dan kerja lokal, perubahan distribusi pada
organ dari obat dan eliminasi obat untuk mencapai peningkatan efek
terapeutik dan mengurangi efek samping.
3. Pelepasan terkontrol dan karakteristik degradasi dari partikel yang
dapat dengan segera diatur dengan pemilihan matriks. Muatan obat
yang relatif tinggi dan obat dapat digabungkan ke dalam sistem tanpa
adanya reaksi kimia, dan ini merupakan faktor yang penting untuk
menjaga aktifitas obat.
4. Target site-specific dapat dicapai dengan menyerang ligan targen
pada permukaan partikel atau menggunakan ‘magnetic guidance’.
5. Sistem ini dapat digunakan untuk rute yang bervariasi pada
penghantaran termasuk oral, nasal, parenteral, intraokular, dan
lainnya.
3. Teknologi Nanopartikel Pembuatan Tulang Sintesis
Pada ilmu ortopedi, pencangkokan tulang menggunakan
perkembangan dari bentuk tulang dalam kerusakan ‘osseous’ disebabkan
oleh trauma atau intervensi operasi. Materi pencangkokan biasanya
digunakan untuk menutupi kerusakan pada tulang atau memudahkan
penyatuan. Bracing, casting, external fixation atau instrumen internal
untuk sementara waktu dapat menstabilkan bagian yang rusak dengan
proses perbaikan, tetapi proses biologi dari pertumbuhan tulang baru dan
penyatuannya merupakan hasil akhir yang terpenting.
Beberapa syarat yang menunjang definisi. Bahan osteokonduktif
menyediakan gantungan dimana tulang baru dapat dibentuk, bahan
osteoinduktif menginduksi sel prekursor, bahan osteopromotif
menginduksi proliferasi dari osteoblas, dan bahan osteogenik memiliki
kemampuan secara langsung untuk menyediakan sel pembentuk tulang.
Bahan pencangkokan tulang yang ideal harus memiliki segala sifat ini.
3.1 Tulang buatan dan komposisinya
3.1.1 Tulang buatan dari coral laut
Para ahli telah menggunakan koral sebagai bahan pengisi tulang
(bone filler) dan bahan perancah (scaffold). Tapi koral sulit diolah sesuai
kebutuhan individu yang memerlukan Dan pada akhirnya menuai protes
dari para pencinta lingkungan, mengingat untuk membuat diperlukan coral
laut yang sangat banyak.
3.1.2 Tulang buatan dari tulang manusia lain
Hal lain juga bisa dilakukan dengan menggunakan tulang manusia
lain, biasanya tulang orang yang telah meninggal. Namun, hal ini berisiko
karena kerap kali ada perbedaan imunologi yang menjadikan pergantian
tulang tidak berjalan baik. Dengan cara ini, risiko penularan penyakit juga
sangat besar.
3.1.3 Tulang buatan dari kapur (hidroksi apatit)
Dua dasa warsa terakhir ini banyak dikembangkan material
Hidroksiapatit (HA) dengan rumus kimia Ca10(PO4)6(OH)2 sebagai tulang
sintetis. Di samping sifat-sifat yang menonjol dari Hidroksiapatit adalah
berpori, terserap ulang (resorpsi), bioaktif, tidak korosi, inert dan tahan
aus. Akan tetapi kelemahan sifat-sifat pada Hidroksiapatit adalah getas,
mudah patah, ini menjadi kendala dalam desain.
Upaya untuk itu telah dilakukan penelitian sintesis Ti-HA dengan
mensubstitusi titanium pada Hidroksiapatit dengan cara basah/ larutan di
Laboratorium. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan sifat mekanik
ditinjau dari aspek porositas, densitas, daya serap air, kuat tekan,
kekerasan, kuat tarik dan modulus elastisitas.
Pada penelitian ini dilakukan sintesis Hidroksiapatit yaitu
mereaksikan suspensi 0,5M Ca(OH)2 dan 0,3M H3PO4 (Mo). Sintesis Ti-
HA dilakukan dengan mereaksikan 0,3M H3PO4 dengan konsentrasi tetap
yang telah dicampur dengan larutan TiCl3 dengan variasi ; 0,490M
Ca(OH)2 dan 0,010M TiCl3 (Ml); 0,485M Ca(OH)2 dan 0,015M TiCl3 (M2)
; 0,480M Ca(OH)2 dan 0,020M TiCl3 (M3) ; 0,475M Ca(OH)2 dan 0,025M
TiCl3 (M4).
Reaksi dilakukan dalam reaktor dengan pengadukan terus menerus
dan dimonitor pH, saat reaksi suhu dipertahankan 40-50°C. Reaksi
dilakukan selama 2½ jam dan dilakukan replikasi 4 kali. Hasil dicuci
dengan aquades supaya bebas khlor, disaring kemudian dipanasi pada
suhu 110°C. Hasilnya dihaluskan berupa serbuk dan dicetak dalam bentuk
kubus untuk uji kuat tekan, silinder tipis untuk uji kekerasan dan sifat
fisika, bentuk balok untuk uji degradasi. Dari kelima senyawa hasil sintesis
M0, M1, M2, M3, M4 diidentifikasi komposisi kimianya dengan sinar-x.
Pada senyawa hasil sintesis Titanium-Hidroksiapatit substitusi
0,025M TiCl3 (M4) dilakukan analisis DTA dan TGA untuk menentukan
suhu pembakaran yaitu 800°C, 1000°C, 1100°C, 1200°C. Hasil
pembakaran, pada Hidroksiapatit suhu 1200°C, dan hasil sintesis
Titanium-Hidroksiapatit suhu (M4) 1000°c, 1100°c, 1200°c diidentifikasi
komposisi kimianya dengan sinar-x. Hasil komposisi kimia dari
Hidroksiapatit adalah Ca5(PO4)3OH; Ca3(PO4)2.xH2O ; Ca3(PO4)2,
sedang hasil komposisi kimia dari sintesis Titanium-Hidroksiapatit (M4)
adalah CaS(PO4)30H; Ca Ti(PO4)6; Ca3(PO4h .xH20 ; Ca5(PO4)3OH;
Ca Ti(PO4)6; Ca3(PO4)2.xH2O; Ca3(PO4)2.
Kemudian dilakukan pengujian sifat mekanik yang meliputi
porositas, densitas, daya serap air, kuat tekan, kekerasan, kuat tarik dan
modulus elastisitas. Pengujian didapat makin tinggi suhu pembakaran dan
makin tinggi substitusi titanium pada HA makin kecil porositasnya. Harga
densitas makin besar dengan makin tingginya suhu pembakaran dan
makin tingginya substitusi titanium pada HA. Harga daya serap air makin
kecil dengan makin tingginya suhu pembakaran dan makin tingginya
substitusi titanium pada HA Harga daya serap Ti-HA (M4) pada suhu
1200°C adalah 0,49% lebih kecil dibanding dengan Hidroksiapatit (M0)
adalah 3,28%.
Harga kuat tekan makin tinggi dengan makin tingginya suhu
pembakaran dan makin tingginya substitusi titanium pada HA. Harga kuat
tekan pada Ti-HA (M4) suhu 1200°C adalah 36,268 MPa dan lebih tinggi
dibanding dengan Hidroksiapatit (M0) 24,162 MPa . Harga kekerasan
makin tinggi dengan makin tingginya suhu pembakaran dan makin tinggi
substitusi titanium pada HA. Harga kekerasan pada Ti-HA (M4) pada suhu
1200°C adalah 18,093 MPa dan pada HA (M0) adalah 11,878 MPa. Harga
kuat tarik makin tinggi dengan makin tingginya suhu pembakaran dan
makin tingginya substitusi titanium, demikian pula harga modulus
elastisitas makin naik dengan makin naiknya suhu pembakaran dan makin
tinggi substitusi titanium pada HA Harga kuat tarik pada Ti-HA (M4) pada
suhu 1200°C adalah 4,690 MPa dan pada HA (M0) adalah 2,542 MPa.
Adapun harga Modulis Elastisitas pada Ti-HA (M4) pada suhu 1200°C
adalah 53,295 MPa dan pada HA (M0) adalah 30,622 MPa.
Pengujian degradasi dilakukan dengan merendam senyawa hasil
dengan larutan SBF/ Syntetic Body Fluid selama 12 minggu, hasil bentuk
fisik HA maupun Ti-HA tetap seperti semula, tidak terdekomposisi dan
tidak terdegradasi.
Pengujian biokompatibilitas dilakukan dengan pengujian toksik dan
penumbuhan sel fibroblast (cell line BHK 21 clone 13) secara in vitro,
dengan hasil pengujian HA(M0) maupun Ti-HA (M4) pada suhu 1200 °C
tidak toksik dan dapat ditumbuhi sel, pertumbuhan sel yang terbanyak
adalah Ti-HA (M4) pada suhu l000°C.
Hasil sintesis substitusi titanium pada Hidroksiapatit pada penelitian
ini adalah meningkatkan sifat mekanik meliputi porositas, densitas, daya
serap air dan kuat tekan, kekerasan serta memenuhi persyaratan sebagai
biomaterial tulang sintetis. Adapun senyawa Ti-HAyang diperoleh M1, M2,
M3, M4 dapat digunakan sebagai tulang sintetis alternatif: yang dalam
aplikasinya harus disesuaikan dengan peruntukan dan tempat implannya
perlu dikaji lebih lanjut.
3.1.4 Tulang Buatan Dari Gipsum (Karbonat Apatit)
Potensi untuk menghasilkan tulang buatan ini terbuka luas,
mengingat Indonesia sangat kaya akan mineral, yakni gipsum dan batu
kapur. Dengan memakai bahan gipsum dan batu kapur ini biayanya bisa
ditekan sehingga harganya bisa lebih murah, menjadi Rp 200.000 per
gram.
Cara ini juga ramah lingkungan dan tak berisiko sebagaimana
halnya bila memakai tulang manusia. Terlebih lagi, proses penyerapan
oleh jaringan tubuh berjalan lancar. Sehingga remodeling tulang menjadi
sempurna. Hal ini disebabkan zat karbonat apatit sesuai jaringan tubuh.
Berdasarkan riset yang telah dilakukan, proses penggantian tulang
cedera menggunakan karbonat apatit lebih bagus jika dibandingkan
dengan cara kimiawi yang sudah digunakan yang disebut dengan hidroksi
apatit yang menunjukkan remodeling tulang berjalan lambat. Jika
menggunakan hidroksi apatit dalam waktu 2-4minggu masih tersisa
hidroksi apatitnya. Tetapi jika menggunakan karbonat apatit setelah empat
minggu tulang baru yang benar-benar bersih sudah dapat
menggantikannya.
Pembuatan tulang dari gipsum dan batu kapur ini menggunakan
teknik karbonasi dan fosfatisasi. Dengan cara itu, batu kapur dan gipsum
bisa diubah menjadi karbonat apatit yang memiliki kandungan yang sesuai
dengan sistem metabolisme dan jaringan tulang manusia.
Dalam sistem kimiawi dasar, gipsum merupakan kalsium solfat,
sedangkan kapur adalah kalsium hidroksida. Ketika dicampur air, sesuai
sifatnya gipsum akan menjadi bahan yang mudah dibentuk. Sedangkan
kapur ketika bereaksi dengan karbon dioksida akhirnya bisa membentuk
kalsium karbonat. Selanjutnya dengan fosfatisasi akhirnya membentuk
karbonat apatit. Gipsum disini hanya membentuk setting-nya untuk
pembentukan tulang sesuai yang dibutuhkan.
3.2 Tulang buatan nanopartikel
Tulang alami telah diketahui dengan baik sebagai suatu jenis
nanokomposit organik-inorganik 3 dimensi yang berjalin yang terdiri dari
kristal hydroxyapatite (HAp, Ca10(PO4)6(OH)2) yang tersimpan dalam
fibrous kolagen. Struktur spesifik ini mengarah pada keuntungan
kombinasi yaitu fleksibiliti karena kolagen fibrous dan kekuatan mekanik
yang tinggi karena apatit tulang.
Mengembangkan bahan bioaktif karbonat apatit dari beberapa jenis
mineral untuk dijadikan scaffold atau perancah tulang berporus tiga
dimensi adalah sesuatu hal mungkin.
Jika serbuk scaffold yang diproduksi dapat dikombinasi agar tidak usah
prefabrikasi, akan lebih menguntungkan. Sebab nantinya penggantian
tulang menjadi lebih baik karena bahan penggantinya dapat disuntikkan,
mengisi bagian yang hilang, dan membentuk porus nano-interkonektif di
dalam tubuh.
Nano kalsium dan posfat komposit dipergunakan sebagai tulang
sintetis sebagai pengganti tulang manusia. Contohnya BATAN, P2TBDU
mengembangkan teknologi pelapisan grafit pada struktur untuk menjadi
pelumas padat. P3IB sedang mengembangkan bahan fero magnetik untuk
agen kontras MRI, dan nanokomposit NdFeB. P3TIR sedang membuat
bio-material hydroxyapatite (HAp) sebagai bahan biokompatibel untuk
mengganti bahan gigi dan tulang manusia.
3.2.1 Nanokomposit
1. chitosan-Hap nanocomposites
Chitosan dihasilkan dari kitin yang merupakan polisakarida
natural yang ditemukan pada kepiting, udang, lobster, koral, jamur
dan fungi. Diantara polimer organik, chitosan memiliki karakteristik
yang menarik sebagai tulang sintesis seperti toksisitas rendah,
biodegradabilitas, dan fleksibilitas tinggi. Sebagai tambahan
chitosan mempunyai sisi untuk pembentukan kompleks dengan
kalsium.
Kombinasi antara Chitosan dan Hidroksiapatit dapat meniru
karakteristik tulang alami dibandingkan dengan hanya Chitosan
atau hanya Hidroksiapatit saja.
Chitosan-Hap nanocomposites disiapkan melalui reaksi
mekanokimia
1. 1 g serbuk chitosan dilarutkan dalam 120 ml larutan asam
asetat 0,2 mol/L kemudian diaduk selama 30 menit
2. pH larutan kemudian diatur pada pH 10 dengan larutan berair
amonia
3. Calcium hydrogen phosphate dihydrate dan calcium nitrate
tetrahydrate ditambahkan pada chitosan, kemudian diaduk
selama 5 menit
4. Setelah itu dilakukan penggilingan dengan ball-mill pada suhu
lingkungan selama 9 jam
5. Setelah penggilingan diaduk pelan pada berbagai temperatur
dari 25-600C selama 24 jam
6. Disaring dan residu dicuci dengan ultrapure water sampai pH
netral
7. Dikeringkan pada suhu 600C dalam oven
4. Teknologi Nanopartikel Menciptakan Obat HIV
Para peneliti berupaya memasukkan molekul obat HIV dalam partikel
polimer yang sangat kecil yang mengeluarkan obat secara perlahan waktu
disuntikkan. Hal ini dilakukan untuk menyederhanakan terapi HIV: ART
suntikan yang dapat kita pakai sebulan sekali.
Perusahaan dan obat yang paling jauh menjalani penelitian ini adalah
Tibotec/Johnson and Johnson dengan rilpivirine (TMC278), obat golongan
NNRTI yang masih belum disetujui. Rilpivirine dipilih karena bentuk
tabletnya mempunyai masa paruh yang lama dan bioavailabilitas yang
tinggi, yang berarti dosis sehari sekali hanya 25mg (dibandingkan dengan
600mg untuk protease inhibitor (PI) darunavir produksi Tibotec).
Dr. Gerben van t’Klooster mempresentasikan temuan ini dalam
Conference on Retroviruses and Opportunistic Infections (CROI) ke-15 di
Boston.
Tibotec membentuk TMC278 sebagai penyangah partikel kecil yang
dikeluarkan secara perlahan. Mereka tidak menjelaskan lebih lanjut
mengenai bagaimana partikel ini dibuat, tetapi mengatakan bahwa
pembuatannya melibatkan teknologi NanoCrystal. Partikel ini kurang lebih
berdiameter 200 nanometer (nm, seperlimaribu milimeter), yang
sebanding dengan ukuran virus HIV (120nm).
Kemudian dalam beberapa percobaan, penyanggah ini didosiskan
sebagai suntikan di bawah kulit atau dalam otot pada tikus (dengan dosis
20mg per kg) dan pada anjing (dengan dosis sampai 300mg per hari).
Suntikan tunggal dari satu bentuk tertentu kemudian diberikan secara
subkutan atau intramuskular pada relawan yang HIV-negatif dengan dosis
obat 200, 400 dan 600mg.
Rilpivirine dengan pelepasan sustained-release, memberi tingkat obat
yang tertahan dan dapat diukur selama dua bulan pada tikus dan selama
enam bulan pada manusia. Dalam penelitian terhadap hewan, pemberian
subkutan memberikan tingkat obat yang tertahan lebih lama dibandingkan
dengan pemberian intramuskular. Tetapi tidak ada perbedaan pada
manusia. Ini adalah sesuatu yang baik karena relawan pada penelitian ini
mengalami efek samping yang cukup tinggi – benjolan yang keras
(indurasi), nyeri dan pembengkakan pada tempat suntikan – yang terjadi
pada suntikan di bawah kulit namun tidak terjadi pada suntikan dalam otot.
Gerben van t’Klooster mengatakan bahwa konsentrasi obat paling
tinggi tercapai kurang lebih tiga jam setelah suntikan. Tingkat dalam tubuh
setelah satu dosis menurun ke tingkat IC90 efektif yang terendah dengan
konsentrasi rilpivirine 94ng/ml (nanogram per milliliter) dalam beberapa
hari. Tetapi uji coba pada anjing menunjukkan bahwa dengan dosis
berulang mencapai tingkat obat ‘yang stabil’ dalam tubuh. Van t’Klooster
menunjukkan model PK yang masih berupa teori ini menunjukkan bahwa
setelah tingkat stabil ini tercapai, suntikan secara bulanan kemungkinan
cukup untuk memastikan konsentrasi rilpivirine tidak turun di bawah batas
IC90.
Van t’Klooster mengatakan langkah selanjutnya adalah untuk
memekatkan rilpivirine dalam nanopartikel secara lebih efisien sehingga
volume yang disuntikkan dapat dikurangi.
Dia menambahkan: “Saya berharap saya meyakinkan Anda terhadap
kemungkinan munculnya pemberian dosis antiretroviral (ART) yang benar-
benar dilakukan dengan jangka waktu yang lama – pada rangkaian
profilaksis dan terapeutik,” memberi isyarat bahwa Tibotec juga tertarik
dengan bentuk suntikan yang dikeluarkan secara perlahan ini untuk
dipakai sebagai profilaksis pre-exposure (PrPP) atau dalam mikrobisida.
Dia mengatakan bahwa Tibotec secara aktif mencari molekul untuk
dipasangkan dengan rilpivirine sehingga terapi suntikan kombinasi
tersebut dapat ditemukan. Dia mengatakan bahwa obat semacam
darunavir memerlukan dosis harian yang terlalu besar untuk
memungkinkannya dijadikan sebagai formulasi injeksi yang dikeluarkan
secara perlahan, karena volume injeksi yang besar tidak dapat ditoleransi.
Tetapi kelompok lain yang berpusat di Universitas Creighton di
Omaha, Nebraska, berhasil menciptakan nanopartikel yang mengandung
lopinavir, ritonavir dan efavirenz yang dapat dikeluarkan secara perlahan.
Sejauh ini mereka hanya melakukan uji coba terhadap unsur pengeluaran
obat dari partikel dengan menahannya dalam medium di piring
laboratorium. Tingkat obat terbanyak yang dapat dicapai dalam medium
ini tercapai dalam enam hari, tetapi pada hari ke-30 konsentrasi obat
dalam medium tersebut masih ada, lebih dari 30mg/ml obat bahkan
dengan perubahan medium secara rutin,. Mereka juga melakukan uji coba
untuk menunjukkan bahwa nanopartikel mudah diserap oleh makrofag
yang diambil dari monosit manusia, sejenis sel sistem kekebalan.
Dari keterangan lain menggambarkan secara rinci cara memakai
nanopartikel. Dalam uji coba lain di Universitas Creighton, ilmuwan
berhasil memasukkan Indinavir ke dalam nanopartikel kemudian
mengambil makrofag yang diambil dari sumsum tulang belakang (bone-
marrow-derived macrophag/BMM), sejenis sel sistem kekebalan lain,
untuk menyerapnya. Kemudian obat ini diinjeksikan pada tikus yang
pernah mempunyai ensefalitis terkait HIV. BMM secara luar biasa mampu
berpindah menuju otak tempat sel dirusak karena peradangan terkait HIV.
Sebaliknya BMM tidak ditemukan di bagian otak yang tidak meradang.
Model ini memberi cara yang luar biasa dan sangat tepat untuk membidik
obat yang biasanya tidak mampu menembus sawar darah-otak secara
efisien, mencapai bagian otak yang paling membutuhkan obat tersebut.
Terakhir, tim dari Universitas North Carolina mengaitkan CCR5
inhibitor yang biasanya tidak aktif pada nanopartikel emas, dengan
demikian kegiatan anti-HIV dapat diaktifkan kembali. Tujuan untuk
melakukan ini adalah untuk menciptakan molekul kompleks obat-emas
yang besar yang dapat berperan sebagai dan berinteraksi dengan protein
virus yang besar, dan pada akhirnya mengembangkan mekanisme untuk
memasukkan unsur ke dalam ruang sel yang terbukti sulit dibidik dengan
obat molekul kecil. Sebuah contoh termasuk faktor kemampuan virus
untuk menulari (viral infectivity factor/vif), protein HIV tambahan yang
selama bertahun-tahun merupakan target yang menggiurkan untuk
mengantar obat HIV tetapi selama ini terhindar dari obat penghambat.
Nanopartikel Emas dapat Menahan HIV
Para peneliti percaya bahwa
nanopartikel emas dapat menjadi
sumber kehidupan baru karena
menjanjikan sumber obat yang
baru. Mengingat obat yang
sebelumnya didesain untuk menghentikan HIV, tidak dipergunakan lagi
karena efek sampingnya. Obat tersebut adalah TAK-779, yang pertama
kali diajukan oleh para peneliti pada 1996 dan dibuktikan efektif menahan
virus dari sistem kekebalan tubuh. Tapi dihentikan pada 2005 karena
ditemukan tanda iritasi pada bekas injeksinya, sedangkan penggunaan
secara dosis minum kurang efektif.
Para peneliti telah mengetahui bahwa molekul garam amoniak memicu
hasil yang jelek. Namun mereka tidak dapat menemukan pengganti yang
mampu menunjukkan fungsinya dengan mengikatkan obat ke sel T, yaitu
sel darah putih yang melawan infeksi termasuk HIV.
Meski TAK-779 dikatakan sukses, Christian Melander, asisten
profesor kimia di Universitas negeri North Carolina mengatakan para
ilmuwan terus mencari penggantinya, yang mungkin mereka ternyata telah
menemukannya.
Melander dan koleganya, David Mergolis, profesor penyakit menular di
Universitas negeri North Carolina, dan Daniel Feldheim, dari asosiasi
profesor analitik dan material kimia di Universitas Colorado, melaporkan
pada Journal of the American Chemical Society bahwa nanopartikel emas
mungkin adalah jawabannya.
Para teknisi di MIT telah mempelajari potensial nanopartikel emas
yang digunakan untuk menembus membran pelindung disekitar sel tanpa
merusaknya. Tapi, ketika ilmuwan MIT menggunakan nanopartikel
sebagai perantara pengantar obatnya, Melander dan timnya ingin
nanopartikel juga menjadi bagian dari obatnya itu sendiri.
Peneliti menemukan pada tes di laboratorium dimana 12 molekul TAK-779
(yang dimodifikasi tanpa mengandung molekul garam amonia)
dirangkaikan dengan satu nanopartikel emas, memberikan hasil yang
sama untuk menahan HIV.
Ukuran dari partikel emas (dengan diameter 2 nanometer) cocok
dengan protein HIV yang mereka coba menahannya. Ini akan
membuatnya cocok untuk menghentikan protein viral dari kontak dengan
reseptornya.
Masalahnya adalah HIV akan menyerang reseptor yang berbeda pada
sel T. Dan hambatan lainnya adalah bahwa HIV memiliki kemampuan
untuk bermutasi, dan dapat menjadi kebal terhadap obat yang diberikan
untuk kesekian kalinya. Langkah berikutnya dari para peneliti ini adalah
membuat nanopartikel mampu mengantar obat anti-HIV langsung ke otak
manusia, dimana HIV bersembunyi, bereplikasi dan bermutasi.
Daftar Pustaka
1. Van t’Klooster G et al. Long-acting TMC278, a parenteral-depot
formulation delivering therapeutic NNRTI concentrations in preclinical
and clinical settings. Fifteenth Conference on Retroviruses and
Opportunistic Infections, Boston. Abstract 134. 2008.
2. Destache C et al. Ritonavir-, lopinavir-, and efavirenz-containing
nanoparticles: in vitro release of ART. Fifteenth conference on
Retroviruses and Opportunistic Infections, Boston. Abstract 743. 2008.
3. Dou HY et al Anti-retroviral nanoformulations for HIV-1-associated
cognitive impairments. Fifteenth conference on Retroviruses and
Opportunistic Infections, Boston. Abstract 745. 2008.
4. Bowman MC. HIV-1 inhibition with multi-valent gold nanoparticles.
Fifteenth conference on Retroviruses and Opportunistic Infections,
Boston. Abstract 744. 2008.
5. Vankatesan, J; Kim, SK. Chitosan Composites for Bone Tissue
Engineering-An Overview. 2010. Online. http://marinedrug-08-
02552.pdf . Diakses tanggal 27 Maret 2012